sindrom pramenstruasi a

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINDROM PRAMENSTRUASI
1.
DefinisiSindrom Pramenstruasi
Menurut Kaunitz (2008) sindrom pramenstruasi adalah kombinasi
perubahan fisik, psikologis, dan perilaku yang menyedihkan terjadi selama
fase luteal dari siklus menstruasi. Sindrom pramenstruasi
adalah suatu
kondisi yang menganggu terdiri atas beberapa gangguan seperti gejala fisik,
emosi dan perilaku,yang dialami oleh seorang perempuan sebelum
datangnya siklus menstruasi, sehinggia mengalami gangguan dalam fungsi
dan aktifitas sehari-hari. Gejala-gejala tersebut akan menghilang saat
menstruasi tiba (Nonita &Ika, 2012).
Menurut
Thu,
Diaz
dan
Shawsarkaphaw
(2006)
sindrom
pramenstruasiadalah nama yang diberikan untuk kumpulan gejala fisik dan
psikologis yang beberapa pengalaman perempuan selama fase luteal akhir
dari setiap siklus menstruasi (7 sampai 14 hari sebelum menstruasi).
Sindrom pramenstruasi adalah gangguan psikologis dan gejala fisik dalam
fase luteal dari siklus menstruasi, selama minimal satu minggu pada fase
folikular dan menyebabkan penderitaan dan gangguan fungsional (Zaka &
Mahmood, 2012)
Menurut Nurmiaty, dkk (2013) Sindrom pramenstruasi adalah keluhankeluhan yang biasanya mulai satu minggu sampai beberapa hari sebelum
datangnya menstruasi berupa gangguaan fisik, emosional dan psikologis.
Menurut Ozturk (2006) Sindrom Pramenstruasi adalah sekumpulan gejala
yang dialami wanita menjelang menstruasi dan menganggu kehidupan
wanita. Menurut Chen, dkk (2014) Sindrom pramenstruasi adalah penyakit
ginekologi umum di kalangan wanita di usia reproduksi . Kebanyakan wanita
mengalami satu atau lebih gejala fisik , psikologis atau perilaku sebelumnya
atau selama menstruasi, gejala ini sangat mengganggu kehidupan normal
wanita.
Dari
beberapa
teori
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
sindrom
pramenstruasi adalah keadaan dimana seorang wanita sebelum mengalami
menstruasi dengan rentang waktu satu minggu sebelum mengalami
mestruasi tersebut dengan beberapa gangguan seperti gangguan fisik,
psikologis atau emosional dan perilaku yang muncul dan dapat menganggu
aktivitas sehari-hari.
2. Aspek-Aspek Sindrom Pramenstruasi
Menurut Kaunitz (2008) ada tiga gejala atau aspek pada saat menjelang
menstruasi tiba atau sindrom pramesntruasi, yaitu:
a. Aspek Fisik
Pada aspek fisik dimana seorang wanita yang mengalami
sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala seperti : perut
kembung, sakit punggung, nyeri pada payudara (terasa bengkak),
sakit kepala, nyeri otot, dan kenaikan pada berat badan
b. Aspek Perilaku
Pada aspek perilaku dimana seorang wanita yang
mengalami sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala
seperti : berperilaku agresi, penurunan minat pada seksual,
pusing, merasa kelelahan (fatigue), menginginkan makanan
tertentu (ngidam), kesulitan tidur (insomnia).
c. Aspek Psikologis
Pada aspek psikologis dimana seorang wanita yang
mengalami sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala
seperti: mudah marah, cemas, bingung, kesulitan bekonsentrasi,
mudah lupa, merasa ingin menangis, penurunan harga diri,
depresi, Irritability (mudah tersinggung), kesepian, mood tidak
stabil, kegelisahan, dan merasa tertekan atau ketegangan
(tension).
Menurut Ozturk (2006) Aspek aspek Sindrom Pramenstruasi adalah :
a. Merasa depresi
b. Merasa cemas
c. Merasa kelelahan (fatigue)
d. Merasa mudah tersinggung
e. Memiliki pikiran depresif
f.
Merasa nyeri
g. Perubahan pada pola makan
h. Perubahan pada pola tidur
i.
Merasa Kembung
Dari aspek yang diungkapkan Kaunitz (2008) dan Ozturk (2006), peneliti
mengacu pada teori dari Kaunitz (2008) ada tiga aspek atau gejala dari
sindrom pramenstruasi yaitu gejala fisik, gejala perilaku, dan gejala
psikologis.
3.
Tipe-tipe Sindrom Pramenstruasi
Tipe PMS bermacam-macam. Abraham
(Saryono dan Waluyo, 2009)
membagi PMS menurut gejalanya yakni PMS tipe A, H, C, dan D. Delapan
puluh persen penderita PMS termasuk tipe A. Penderita tipe H sekitar 60%,
PMS C 40%, dan PMS D 20%.
a. PMS Tipe A
Sindrom Premenstruasi tipe A (anxiety) ditandai dengan
gejala seperti rasa cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan labil.
Bahkan beberapa wanita mengalami depresi ringan sampai
sedang saat sebelum mendapat menstruasi. Gejala ini timbul
akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron:
hormon estrogen terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon
progesteron.
b. PMS Tipe H
PMS tipe H (hyperhydration) memiliki gejala edema
(pembengkakan), perut
kembung,
nyeri pada buah dada,
pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan
sebelum haid. Gejala tipe ini dapat juga dirasakan bersamaan
dengan
tipe
PMS
lain.
Pembengkakan
itu
terjadi
akibat
berkumpulnya air pada jaringan di luar sel (ekstrasel) karena
tingginya asupan garam atau gula pada diet penderita.
c. PMS Tipe C
PMS tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin
mengkonsumsi makanan yang manis-manis (biasanya coklat) dan
karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20
menit setelah menyantap gula dalam jumlah yang banyak.
d. PMS Tipe D
Sindrom Premenstruasi tipe D (depression) ditandai
dengan gejala rasa depresi, ingin menangis, lemah, gangguan
tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata
(verbalisasi). Biasanya PMS tipe D berlangsung bersamaan
dengan PMS tipe A, hanya sekitar 3% dari seluruh tipe PMS
benar-benar murni tipe D.
PMS tipe D disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon
progesteron dan estrogen, di mana hormon progesteron dalam
siklus
haid
terlalu
tinggi
dibandingkan
dengan
hormon
estrogennya. Kombinasi PMS tipe D dan tipe A dapat disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu stres, kekurangan asam amino
tyrosine.
4.
Faktor yang mempengaruhi Premenstruasi Syndrome
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sindrom pramenstruasi
menurut Saryono dan Waluyo (2009) ada beberapa faktor yaitu :
a. Faktor Hormonal
Faktor hormonal yakni terjadi ketidakseimbangan antara
hormon estrogen dan progesteron berhubungan dengan PMS.
Kadar hormon estrogen sangat berlebih dan melampaui batas
normal sedangkan kadar progesteron menurun. Selain faktor
hormonal, sindrom premenstruasi berhubungan dengan gangguan
perasaan, faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin
yang dialami penderita. Sindrom premenstruasi biasanya lebih
mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan
hormonal dalam siklus menstruasi.
Beberapa teori menunjukkan adanya kelebihan estrogen
atau defisit progesteron dalam fase luteal dari siklus menstruasi.
Selama bertahun-tahun teori ini mendapat dukungan yang cukup
banyak dan terapi progesteron biasa dipakai untuk mengatasi
PMS.
Penelitian
lebih
lanjut
menunjukkan
bahwa
terapi
progesteron kelihatan tidak efektif bagi kebanyakan wanita, selain
kadar
progesteron
pada
penderita
tidak
menurun
secara
konsisten. Bila kadar progesteron yang menurun dapat ditemukan
hampir pada semua wanita yang menderita PMS, maka dapat
dipahami bahwa kekurangan hormon ini merupakan sebab utama.
Sebagian wanita yang menderita PMS terjadi penurunan kadar
progesteron dan dapat sembuh dengan penambahan progesteron,
akan tetapi banyak juga wanita yang menderita gangguan PMS
hebat tapi kadar progesteronnya normal (Shreeve, 1983 dan
Smeltzer, 2001)
b. Faktor Kimiawi
Faktor kimiawi sangat mempengaruhi munculnya PMS.
Bahan-bahan kimia tertentu di dalam otak seperti serotonin,
berubah-ubah salama siklus menstruasi. Serotonin adalah suatu
neurotransmitter yang merupakan suatu bahan kimia yang terlibat
dalam pengiriman pesan sepanjang saraf di dalam otak, tulang
belakang dan seluruh tubuh. Serotonin sangat mempengaruhi
suasana hati.
Aktivitas serotonin berhubungan dengan gejala depresi,
kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan,
kesulitan untuk tidur, impulsif, agresif dan peningkatan selera.
Rendahnya kadar dan aktivitas serotonin ditemukan pada wanita
yang mengeluh PMS .
c. Faktor Genetik
Faktor genetik juga memainkan suatu peran yang sangat
penting, yaitu insidensi PMS dua kali lebih tinggi pada kembar
satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur.
d. Faktor psikologis
Faktor psikis, yaitu stress sangat besar pengaruhnya
terhadap kejadian PMS. Gejala-gejala PMS akan semakin
menghebat jika di dalam diri seorang wanita terus menerus
mengalami tekanan. Menurut Simanjuntak (Prawiroharjo, 2005),
faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lainlain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah
menderita PMS adalah wanita yang lebih peka terhadap
perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor
psikologis.
e. Faktor Patofisiologi
Keluhan kesehatan fisik juga mempengaruhi munculnya sindrom
pramenstruasi dari wanita. Banyak masalah kesehatan yang
terkait dengan sindrom pramenstruasi dengan gejala yang sama.
f.
Faktor gaya hidup
Faktor gaya hidup dalam diri wanita terhadap pengaturan
pola makan atau perilaku makan juga memegang peranan yang
tidak kalah penting. Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit,
sangat berperan terhadap gejala-gejala PMS. Makanan terlalu
banyak garam akan menyebabkan retensi cairan, dan membuat
tubuh
bengkak.
Terlalu
banyak
mengkonsumsi
minuman
beralkohol dan minuman-minuman berkafein dapat mengganggu
suasana hati dan melemahkan tenaga.
Dari uraian diatas bahwa faktor yang mempengaruhi
sindrom pramenstruasi menurut Saryono dan Waluyo (2009)
adalah faktor hormonal, faktor kimiawi, faktor genetik faktor
psikologis, faktor patofisiologi, dan faktor gaya hidup.
B. Regulasi Emosi
1. Definisi Regulasi Emosi
Menurut Thompson (1994) bahwa regulasi emosi terdiri dari proses
intrinsik
dan
ekstrinsik
yang
bertanggung
jawab
untuk
memonitor,
mengevaluasi dan memodifikasi respon emosi khususnya intensitas dan
bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Millgram(2015)
bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan seseorang dalam menilai
pengalaman emosi yang ada dalam dirinya, kemampuan mengontrol serta
kemampuan mengekspresikan emosi dan perasaan yang terjadi dalam diri.
Individu dikatakan mampu meregulasi emosinya ketika bersifat kritis terhadap
pengalaman emosi, mampu mengatur emosi dengan baik, serta dapat
mengekspresikan emosi dengan tepat.
Menurut Gross
(2002) Regulasi emosi adalah suatu proses luar dan
dalam, kesadaran dan ketidaksadaran akan pengaruh dari bagian emosi
yang menggabungkan, mewujudkan berdasarkan situasi dari fakta-fakta yang
akan terjadi. Kalat dan Shiota (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai
kemampuan individu dalam mengontrol emosi yang akan diungkapkan pada
saat mendapat pengalaman.Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa
regulasi emosi meliputi kesadaran dan pemahaman emosi, penerimaan
emosi, kemampuan untuk mengendalikan impuls perilaku yang sesuai
dengan tujuan yang diinginkan bila seandainya mengalami emosi negatif, dan
kemampuan untuk mengatur situasi.
Kostiuk (2011) Menyatakan regulasi emosi adalah perubahan yang
dialami dalam intensitas dan durasi ketika emosi positif dan negatif telah
diaktifkan, akan dianggap telah terjadi regulasi emosi ketika emosi positif
dipertahankan dan emosi negatif telah berkurang atau terhambat. Sementara
itu, Gross (1999) menyatakan regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi
emosi negatif dan menaikkan emosi positif. Menurut Reivich dan Shatte
(2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat
mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa
cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu
masalah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik berupa memonitor emosi,
mengevaluasi emosi dan memodifikasi emosi yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, cara
berpikir
seseorang,
dan
respon
emosi
serta
dapat
dengan
cepat
menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.
regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi emosi negatif dan menaikkan
emosi positif.
2. Aspek- Aspek Regulasi Emosi
Menurut Thompson (1994) ada tiga aspek dari regulasi emosi, yaitu:
a. Emotion Monitoring ( Kemampuan memonitor emosi)
Kemampuan
individu
untuk
menyadari
dan
memahami
keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya seperti perasaannya,
pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya. Memonitor emosi
membantu individu terhubung dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran
dan keterhubungan ini membuat individu mampu mengenal atau
menamakan setiap emosi yang muncul dan mampu fokus kedalam
tindakan individu.
b. Emotion Evaluating (Kemampuan mengevaluasi emosi)
Kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan
emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk mengelola dan
menyeimbangkan munculnya emosi khususnya emosi negatif (seperti
kemarahan, kesedihan, kecewa, dan menangis) akan membuat
individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat
mengakibatkan
individu
tidak
dapat
berfikir
secara
rasional.
Kemampuan ini juga dapat membantu individu agar mampu
memprediksi dan mengontrol penyebab munculnya emosi pada
tempat dan situasi yang biasa ditemui.
c. Emotion Modifying (Kemampuan memodifikasi emosi)
Kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian rupa
sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada
dalam putus asa, cemas, dan marah. Sehingga individu mampu
memilih ekspresi emosi yang sesuai dengan tujuan dan situasi.
Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah
yang sedang dihadapinya.
Menurut Gross (2002) aspek-aspek regulasi emosi ada dua yaitu :
a. Reappraisal (penilaian kembali)
Bagaimana individu membuat suatu aspek penilaian kembali dari
sebuah peristiwa yang menjelaskan bagaimana pengaruh atribusi
yang berdampak pada emosi.
b. Suppression (penekanan)
Perbuatan yang menerangkan situasi emosional yang berpotensi
merubah jalan yang positif atau mengurangi efek negatif yang secara
keseluruhan berhasil dalam arti regulasi
Dari aspek yang diungkapkan oleh Thompson (1994) Gross (2002)
Peneliti mengacu pada aspek Thompson (1994) yaitu ada tiga aspek dari
regulasi emosi yaitu Emotion Monitoring (Kemampuan memonitor emosi),
Emotion Evaluating (Kemampuan mengevaluasi emosi), dan Emotion
Modifying (kemampuan memodifikasi emosi).
C. Hubungan Antara Regulasi Emosi denganSindrom
Pramenstruasi
Menurut Kaunitz (2008) sindrom pramenstruasi adalah kombinasi
perubahan fisik, psikologis, atau perilaku yang menyedihkan terjadi selama
fase luteal dari siklus menstruasi. Thompson (1994) mengatakan bahwa
regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung
jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi respon emosi
khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan.
regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi emosi negatif dan menaikkan
emosi positif (Gross, 1999).
Emotion Monitoring merupakan salah satu aspek dari regulasi emosi
yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan
proses yang terjadi didalam dirinya seperti, perasaannya, pikirannya dan latar
belakang dari tindakannya sehingga individu mampu mengenal atau
menamakan setiap emosi yang muncul. Menurut Mallinckrodt dan Coble
(Retnowati dkk, 2003)
keterbatasan individu dalam memahami emosi
mereka memberi dampak yang negatif berupa rendahnya hubungan
interpersonal individu. Remaja putri yang merasakan gejala sindrom
pramenstruasi
dan kurang mampu memahami emosi tersebut akan
menganggu kehidupan remaja putri. Sesuai dengan Bungasari (2015)
kumpulan gejala yang dirasakan menjelang haid menganggu aktivitas seharihari, seperti hubungan interpersonal dan prestasi akademik.
Weinberger dan Schwartz (Mowrer, 2007) menyatakan bahwa individu
yang memiliki kemampuan mengenal atau memahami emosi yang baik dan
tepat pada akhirnya dapat terhindar dari keadaan distress psikologis. Remaja
putri menjelang menstruasi tetapi kurang memiliki kemampuan mengenal
atau memahami emosi dengan baik, maka dapat memicu timbulnya perasaan
cemas ketika berinteraksi dengan orang lain dikarenakan remaja putri
merasa kebingungan dalam memberikan reaksi emosi yang baik dan tepat.
Menurut Sukadiyanto (2010) perasaan cemas dapat menimbulkan stress.
Penelitian yang dilakukan Sukadiyanto (2010) keluhan fisik remaja putri yang
mengalami stress menjelang menstruasi adalah merasakan nyeri (otot, perut,
payudara), mual-mual dan sakit kepala. Sesuai dengan penelitian oleh
Lustyk, dkk (2006) semakin meningkatnya tingkat stress dalam diri individu
maka tingkat sindrom pramenstruasi akan meningkat pula.
Emotion evaluating adalah salah satu aspek regulasi emosi yaitu
kemampuan individu untuk mengelola atau mengontrol dan menyeimbangkan
emosi-emosi yang dialaminya khususnya emosi negatif seperti marah,
kesedihan, kecewa dan menangis. Menurut Khairunnisa (2009)remaja putri
menjelang menstruasi dan kurang mampu mengelola atau mengatasiemosi
kesedihan akan menjadi depresi yang akan menganggu kehidupan remaja
putri. Sesuai dengan penelitian Abraham (Saryono dan Waluyo, 2009) remaja
putri yang mengalami depresi termasuk dalam PMS
tipe D yang mana
remaja putri menjelang menstruasi akan mengalami perubahan seperti
gangguan tidur, pelupa, ingin menangis, lemah, dan bingung. Banyak dari
wanita yang mengalami depresi menjelang menstruasi (Wade dan Tavris,
2008)
Idealnya remaja putri harus tetap tenang meskipun menjelang
menstruasi, sesuai Surah Al-Imran ayat 139"Janganlah kamu bersikap
lemah. dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman”.
Salah satu gejala psikologis dari sindrom pramenstruasi
perasaan marah yang merupakan emosi negatif.
adalah
Remaja putri yang
menjelang menstruasi dan kurang mampu mengontrol emosi negatif akan
mengakibatkan perilaku yang negatif pula. Sesuai dengan Santrock (2012)
ketika remaja putri menjelang menstruasi dan tidak mampu mengontrol emosi
marah dapat memicu munculnya perilaku seperti kenakalan remaja,
penyalahgunaan obat serta perilaku agresi. Idealnya individu harus bisa
menahan amarah, sesuai dengan surah di dalam Al-qur’an yang berbunyi
“……dan
orang-orang
(kesalahan)
orang.
yang
Allah
menahan
menyukai
amarahnya
orang-orang
dan
mema`afkan
yang
berbuat
kebajikan”.(QS.Ali-Imraan(3):134).
Remaja putri menjelang menstruasi yang tidak dapat mengelola emosi
negatif akan menganggu aktivitas sehari-hari dan dapat bertindak secara
irasional. Sesuai dengan Robbins dan Judge (2009) ketika individu
terpengaruh dengan emosi negatif sepenuhnya akan mengakibatkan individu
berperilaku secara irasional dan emosi negatif dapat berpengaruh pada mood
menjadi negatif. Baret, Gross, Christensen, dan Bonvenuto (Muttaqin, 2012)
mengatakan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang,
dengan kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi
negatif akibat pengalaman emosional seperti contoh menjelang menstruasi.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2000) yang
menyatakan bahwa individu yang pintar mengelola emosi dapat mengatasi
perasaan yang dirasakannya, dapat memotivasi dirinya guna mempersiapkan
diri
menghadapi situasi
yang
menimbulkan
kekhawatiran
dan
tidak
menganggu aktivitas.
Emotion modification
adalah salah satu aspek dari regulasi emosi
yaitu kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian rupa sehingga
mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam putus asa,
cemas, dan marah. Ketika remaja putri menjelang menstruasi merasakan
gejala emosional seperti kecemasan dan kurang mampu untuk mengubah
emosi tersebut akan memancing munculnya gejala sindrom pramenstruasi
serta memunculkan gejala kecemasan sepertikegelisahan, kelelahan, lekas
marah, insomnia dan pusing, serta dampak dari kecemasan adalah
terganggunya aktivitas (Nevid Jeffrey S, Spencer A, & Greene Beverly,
2005). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ricka (2011) bahwa
semakin tinggi tingkat kecemasan semakin tinggi pula tingkat sindrom
pramenstruasi . Kecemasan tersebut dapat dihindari salah satunya dengan
cara regulasi emosi, sesuai penelitian Sulistyo (2014) Semakin baik regulasi
emosi individu semakin rendah pula tingkat kecemasan individu tersebut.
Remaja putri menjelang menstruasi dan merasakan gejala emosional
seperti ketegangan, marah, mudah tersinggung dan depresi tetapi tetap
tenang, dikatakan mampu meregulasi emosi dengan baik. Sesuai dengan
penelitian Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang
terkait dengan regulasi emosi yaitu ketenangan (calming) dan fokus
(focusing), individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini dapat
membantu meredakan emosi yang ada. Sesuai dengan Salovey (Mowrer,
2007) dengan merubah emosi secara positif dapat menumbuhkan rasa
optimis, harga diri dan kepuasan dalam komunikasi interpersonal dan dapat
menunjukkan berkurangnya perasaan depresi, gejala fisik, dan kecemasan.
Kemampuan untuk meregulasi emosi secara efektif dapat membuat
remaja putri terhindar dari gangguan fisik, perilaku maupun psikologis atau
mental (Davidson, dkk 2000) yang berupa emosi negatif dari sindrom
pramenstruasi
sehingga mampu untuk tetap berpikir secara rasional dan
tidak melakukan perbuatan irasional meskipun menjelang menstruasi. Di usia
remaja kemampuan untuk mengelola emosi belum berkembang secara
matang. Santrock (2012) berpendapat bahwa remaja cenderung memiliki
emosi yang bergejolak. Hal inilah yang dapat membuat remaja cenderung
untuk mengikuti emosinya dalam berbagai tindakan termasuk dalam
menunjukan perilaku Sindrom Pramenstruasi.
Dari
uraian
diatas,
dapat
disimpulkan
bahwa
regulasi
emosi
berhubungan dengan sindrom pramenstruasipada remaja putri. Ketiga aspek
regulasi emosi di atas, membantu remaja putri untuk dapat mempertahankan
emosi positif sehingga dapat tenang meskipun menjelang menstruasi.
Remaja putri yang memiliki kemampuan regulasi emosi dapat mengendalikan
dirinya walaupun menjelang menstruasi dengan cara mengurangi bahkan
tidak memunculkan gejala fisik, perilaku maupun psikologis dari sindrom
pramenstruasi.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian – uraian yang telah disebutkan di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara
regulasi emosi dengan sindrom pramenstruasi pada mahasiswi. Semakin
tinggi regulasi emosi semakin rendah sindrom pramenstruasi yang dialami
dan sebaliknya semakin rendah regulasi emosi maka semakin tinggi sindrom
pramenstruasi yang akan dialami.
Download