BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SINDROM PRAMENSTRUASI 1. DefinisiSindrom Pramenstruasi Menurut Kaunitz (2008) sindrom pramenstruasi adalah kombinasi perubahan fisik, psikologis, dan perilaku yang menyedihkan terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi. Sindrom pramenstruasi adalah suatu kondisi yang menganggu terdiri atas beberapa gangguan seperti gejala fisik, emosi dan perilaku,yang dialami oleh seorang perempuan sebelum datangnya siklus menstruasi, sehinggia mengalami gangguan dalam fungsi dan aktifitas sehari-hari. Gejala-gejala tersebut akan menghilang saat menstruasi tiba (Nonita &Ika, 2012). Menurut Thu, Diaz dan Shawsarkaphaw (2006) sindrom pramenstruasiadalah nama yang diberikan untuk kumpulan gejala fisik dan psikologis yang beberapa pengalaman perempuan selama fase luteal akhir dari setiap siklus menstruasi (7 sampai 14 hari sebelum menstruasi). Sindrom pramenstruasi adalah gangguan psikologis dan gejala fisik dalam fase luteal dari siklus menstruasi, selama minimal satu minggu pada fase folikular dan menyebabkan penderitaan dan gangguan fungsional (Zaka & Mahmood, 2012) Menurut Nurmiaty, dkk (2013) Sindrom pramenstruasi adalah keluhankeluhan yang biasanya mulai satu minggu sampai beberapa hari sebelum datangnya menstruasi berupa gangguaan fisik, emosional dan psikologis. Menurut Ozturk (2006) Sindrom Pramenstruasi adalah sekumpulan gejala yang dialami wanita menjelang menstruasi dan menganggu kehidupan wanita. Menurut Chen, dkk (2014) Sindrom pramenstruasi adalah penyakit ginekologi umum di kalangan wanita di usia reproduksi . Kebanyakan wanita mengalami satu atau lebih gejala fisik , psikologis atau perilaku sebelumnya atau selama menstruasi, gejala ini sangat mengganggu kehidupan normal wanita. Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa sindrom pramenstruasi adalah keadaan dimana seorang wanita sebelum mengalami menstruasi dengan rentang waktu satu minggu sebelum mengalami mestruasi tersebut dengan beberapa gangguan seperti gangguan fisik, psikologis atau emosional dan perilaku yang muncul dan dapat menganggu aktivitas sehari-hari. 2. Aspek-Aspek Sindrom Pramenstruasi Menurut Kaunitz (2008) ada tiga gejala atau aspek pada saat menjelang menstruasi tiba atau sindrom pramesntruasi, yaitu: a. Aspek Fisik Pada aspek fisik dimana seorang wanita yang mengalami sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala seperti : perut kembung, sakit punggung, nyeri pada payudara (terasa bengkak), sakit kepala, nyeri otot, dan kenaikan pada berat badan b. Aspek Perilaku Pada aspek perilaku dimana seorang wanita yang mengalami sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala seperti : berperilaku agresi, penurunan minat pada seksual, pusing, merasa kelelahan (fatigue), menginginkan makanan tertentu (ngidam), kesulitan tidur (insomnia). c. Aspek Psikologis Pada aspek psikologis dimana seorang wanita yang mengalami sindrom pramenstruasi akan memunculkan gejala seperti: mudah marah, cemas, bingung, kesulitan bekonsentrasi, mudah lupa, merasa ingin menangis, penurunan harga diri, depresi, Irritability (mudah tersinggung), kesepian, mood tidak stabil, kegelisahan, dan merasa tertekan atau ketegangan (tension). Menurut Ozturk (2006) Aspek aspek Sindrom Pramenstruasi adalah : a. Merasa depresi b. Merasa cemas c. Merasa kelelahan (fatigue) d. Merasa mudah tersinggung e. Memiliki pikiran depresif f. Merasa nyeri g. Perubahan pada pola makan h. Perubahan pada pola tidur i. Merasa Kembung Dari aspek yang diungkapkan Kaunitz (2008) dan Ozturk (2006), peneliti mengacu pada teori dari Kaunitz (2008) ada tiga aspek atau gejala dari sindrom pramenstruasi yaitu gejala fisik, gejala perilaku, dan gejala psikologis. 3. Tipe-tipe Sindrom Pramenstruasi Tipe PMS bermacam-macam. Abraham (Saryono dan Waluyo, 2009) membagi PMS menurut gejalanya yakni PMS tipe A, H, C, dan D. Delapan puluh persen penderita PMS termasuk tipe A. Penderita tipe H sekitar 60%, PMS C 40%, dan PMS D 20%. a. PMS Tipe A Sindrom Premenstruasi tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti rasa cemas, sensitif, saraf tegang, perasaan labil. Bahkan beberapa wanita mengalami depresi ringan sampai sedang saat sebelum mendapat menstruasi. Gejala ini timbul akibat ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron: hormon estrogen terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon progesteron. b. PMS Tipe H PMS tipe H (hyperhydration) memiliki gejala edema (pembengkakan), perut kembung, nyeri pada buah dada, pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan sebelum haid. Gejala tipe ini dapat juga dirasakan bersamaan dengan tipe PMS lain. Pembengkakan itu terjadi akibat berkumpulnya air pada jaringan di luar sel (ekstrasel) karena tingginya asupan garam atau gula pada diet penderita. c. PMS Tipe C PMS tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin mengkonsumsi makanan yang manis-manis (biasanya coklat) dan karbohidrat sederhana (biasanya gula). Pada umumnya sekitar 20 menit setelah menyantap gula dalam jumlah yang banyak. d. PMS Tipe D Sindrom Premenstruasi tipe D (depression) ditandai dengan gejala rasa depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi). Biasanya PMS tipe D berlangsung bersamaan dengan PMS tipe A, hanya sekitar 3% dari seluruh tipe PMS benar-benar murni tipe D. PMS tipe D disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon progesteron dan estrogen, di mana hormon progesteron dalam siklus haid terlalu tinggi dibandingkan dengan hormon estrogennya. Kombinasi PMS tipe D dan tipe A dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu stres, kekurangan asam amino tyrosine. 4. Faktor yang mempengaruhi Premenstruasi Syndrome Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sindrom pramenstruasi menurut Saryono dan Waluyo (2009) ada beberapa faktor yaitu : a. Faktor Hormonal Faktor hormonal yakni terjadi ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron berhubungan dengan PMS. Kadar hormon estrogen sangat berlebih dan melampaui batas normal sedangkan kadar progesteron menurun. Selain faktor hormonal, sindrom premenstruasi berhubungan dengan gangguan perasaan, faktor kejiwaan, masalah sosial, atau fungsi serotonin yang dialami penderita. Sindrom premenstruasi biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus menstruasi. Beberapa teori menunjukkan adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam fase luteal dari siklus menstruasi. Selama bertahun-tahun teori ini mendapat dukungan yang cukup banyak dan terapi progesteron biasa dipakai untuk mengatasi PMS. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa terapi progesteron kelihatan tidak efektif bagi kebanyakan wanita, selain kadar progesteron pada penderita tidak menurun secara konsisten. Bila kadar progesteron yang menurun dapat ditemukan hampir pada semua wanita yang menderita PMS, maka dapat dipahami bahwa kekurangan hormon ini merupakan sebab utama. Sebagian wanita yang menderita PMS terjadi penurunan kadar progesteron dan dapat sembuh dengan penambahan progesteron, akan tetapi banyak juga wanita yang menderita gangguan PMS hebat tapi kadar progesteronnya normal (Shreeve, 1983 dan Smeltzer, 2001) b. Faktor Kimiawi Faktor kimiawi sangat mempengaruhi munculnya PMS. Bahan-bahan kimia tertentu di dalam otak seperti serotonin, berubah-ubah salama siklus menstruasi. Serotonin adalah suatu neurotransmitter yang merupakan suatu bahan kimia yang terlibat dalam pengiriman pesan sepanjang saraf di dalam otak, tulang belakang dan seluruh tubuh. Serotonin sangat mempengaruhi suasana hati. Aktivitas serotonin berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, impulsif, agresif dan peningkatan selera. Rendahnya kadar dan aktivitas serotonin ditemukan pada wanita yang mengeluh PMS . c. Faktor Genetik Faktor genetik juga memainkan suatu peran yang sangat penting, yaitu insidensi PMS dua kali lebih tinggi pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur. d. Faktor psikologis Faktor psikis, yaitu stress sangat besar pengaruhnya terhadap kejadian PMS. Gejala-gejala PMS akan semakin menghebat jika di dalam diri seorang wanita terus menerus mengalami tekanan. Menurut Simanjuntak (Prawiroharjo, 2005), faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lainlain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita PMS adalah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus haid dan terhadap faktor-faktor psikologis. e. Faktor Patofisiologi Keluhan kesehatan fisik juga mempengaruhi munculnya sindrom pramenstruasi dari wanita. Banyak masalah kesehatan yang terkait dengan sindrom pramenstruasi dengan gejala yang sama. f. Faktor gaya hidup Faktor gaya hidup dalam diri wanita terhadap pengaturan pola makan atau perilaku makan juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, sangat berperan terhadap gejala-gejala PMS. Makanan terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi cairan, dan membuat tubuh bengkak. Terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol dan minuman-minuman berkafein dapat mengganggu suasana hati dan melemahkan tenaga. Dari uraian diatas bahwa faktor yang mempengaruhi sindrom pramenstruasi menurut Saryono dan Waluyo (2009) adalah faktor hormonal, faktor kimiawi, faktor genetik faktor psikologis, faktor patofisiologi, dan faktor gaya hidup. B. Regulasi Emosi 1. Definisi Regulasi Emosi Menurut Thompson (1994) bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Millgram(2015) bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan seseorang dalam menilai pengalaman emosi yang ada dalam dirinya, kemampuan mengontrol serta kemampuan mengekspresikan emosi dan perasaan yang terjadi dalam diri. Individu dikatakan mampu meregulasi emosinya ketika bersifat kritis terhadap pengalaman emosi, mampu mengatur emosi dengan baik, serta dapat mengekspresikan emosi dengan tepat. Menurut Gross (2002) Regulasi emosi adalah suatu proses luar dan dalam, kesadaran dan ketidaksadaran akan pengaruh dari bagian emosi yang menggabungkan, mewujudkan berdasarkan situasi dari fakta-fakta yang akan terjadi. Kalat dan Shiota (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai kemampuan individu dalam mengontrol emosi yang akan diungkapkan pada saat mendapat pengalaman.Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa regulasi emosi meliputi kesadaran dan pemahaman emosi, penerimaan emosi, kemampuan untuk mengendalikan impuls perilaku yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan bila seandainya mengalami emosi negatif, dan kemampuan untuk mengatur situasi. Kostiuk (2011) Menyatakan regulasi emosi adalah perubahan yang dialami dalam intensitas dan durasi ketika emosi positif dan negatif telah diaktifkan, akan dianggap telah terjadi regulasi emosi ketika emosi positif dipertahankan dan emosi negatif telah berkurang atau terhambat. Sementara itu, Gross (1999) menyatakan regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi emosi negatif dan menaikkan emosi positif. Menurut Reivich dan Shatte (2002) regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik berupa memonitor emosi, mengevaluasi emosi dan memodifikasi emosi yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, cara berpikir seseorang, dan respon emosi serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan. regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi emosi negatif dan menaikkan emosi positif. 2. Aspek- Aspek Regulasi Emosi Menurut Thompson (1994) ada tiga aspek dari regulasi emosi, yaitu: a. Emotion Monitoring ( Kemampuan memonitor emosi) Kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya seperti perasaannya, pikirannya, dan latar belakang dari tindakannya. Memonitor emosi membantu individu terhubung dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran dan keterhubungan ini membuat individu mampu mengenal atau menamakan setiap emosi yang muncul dan mampu fokus kedalam tindakan individu. b. Emotion Evaluating (Kemampuan mengevaluasi emosi) Kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan untuk mengelola dan menyeimbangkan munculnya emosi khususnya emosi negatif (seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dan menangis) akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam yang dapat mengakibatkan individu tidak dapat berfikir secara rasional. Kemampuan ini juga dapat membantu individu agar mampu memprediksi dan mengontrol penyebab munculnya emosi pada tempat dan situasi yang biasa ditemui. c. Emotion Modifying (Kemampuan memodifikasi emosi) Kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam putus asa, cemas, dan marah. Sehingga individu mampu memilih ekspresi emosi yang sesuai dengan tujuan dan situasi. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang sedang dihadapinya. Menurut Gross (2002) aspek-aspek regulasi emosi ada dua yaitu : a. Reappraisal (penilaian kembali) Bagaimana individu membuat suatu aspek penilaian kembali dari sebuah peristiwa yang menjelaskan bagaimana pengaruh atribusi yang berdampak pada emosi. b. Suppression (penekanan) Perbuatan yang menerangkan situasi emosional yang berpotensi merubah jalan yang positif atau mengurangi efek negatif yang secara keseluruhan berhasil dalam arti regulasi Dari aspek yang diungkapkan oleh Thompson (1994) Gross (2002) Peneliti mengacu pada aspek Thompson (1994) yaitu ada tiga aspek dari regulasi emosi yaitu Emotion Monitoring (Kemampuan memonitor emosi), Emotion Evaluating (Kemampuan mengevaluasi emosi), dan Emotion Modifying (kemampuan memodifikasi emosi). C. Hubungan Antara Regulasi Emosi denganSindrom Pramenstruasi Menurut Kaunitz (2008) sindrom pramenstruasi adalah kombinasi perubahan fisik, psikologis, atau perilaku yang menyedihkan terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi. Thompson (1994) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi emosi negatif dan menaikkan emosi positif (Gross, 1999). Emotion Monitoring merupakan salah satu aspek dari regulasi emosi yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan memahami keseluruhan proses yang terjadi didalam dirinya seperti, perasaannya, pikirannya dan latar belakang dari tindakannya sehingga individu mampu mengenal atau menamakan setiap emosi yang muncul. Menurut Mallinckrodt dan Coble (Retnowati dkk, 2003) keterbatasan individu dalam memahami emosi mereka memberi dampak yang negatif berupa rendahnya hubungan interpersonal individu. Remaja putri yang merasakan gejala sindrom pramenstruasi dan kurang mampu memahami emosi tersebut akan menganggu kehidupan remaja putri. Sesuai dengan Bungasari (2015) kumpulan gejala yang dirasakan menjelang haid menganggu aktivitas seharihari, seperti hubungan interpersonal dan prestasi akademik. Weinberger dan Schwartz (Mowrer, 2007) menyatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan mengenal atau memahami emosi yang baik dan tepat pada akhirnya dapat terhindar dari keadaan distress psikologis. Remaja putri menjelang menstruasi tetapi kurang memiliki kemampuan mengenal atau memahami emosi dengan baik, maka dapat memicu timbulnya perasaan cemas ketika berinteraksi dengan orang lain dikarenakan remaja putri merasa kebingungan dalam memberikan reaksi emosi yang baik dan tepat. Menurut Sukadiyanto (2010) perasaan cemas dapat menimbulkan stress. Penelitian yang dilakukan Sukadiyanto (2010) keluhan fisik remaja putri yang mengalami stress menjelang menstruasi adalah merasakan nyeri (otot, perut, payudara), mual-mual dan sakit kepala. Sesuai dengan penelitian oleh Lustyk, dkk (2006) semakin meningkatnya tingkat stress dalam diri individu maka tingkat sindrom pramenstruasi akan meningkat pula. Emotion evaluating adalah salah satu aspek regulasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengelola atau mengontrol dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya khususnya emosi negatif seperti marah, kesedihan, kecewa dan menangis. Menurut Khairunnisa (2009)remaja putri menjelang menstruasi dan kurang mampu mengelola atau mengatasiemosi kesedihan akan menjadi depresi yang akan menganggu kehidupan remaja putri. Sesuai dengan penelitian Abraham (Saryono dan Waluyo, 2009) remaja putri yang mengalami depresi termasuk dalam PMS tipe D yang mana remaja putri menjelang menstruasi akan mengalami perubahan seperti gangguan tidur, pelupa, ingin menangis, lemah, dan bingung. Banyak dari wanita yang mengalami depresi menjelang menstruasi (Wade dan Tavris, 2008) Idealnya remaja putri harus tetap tenang meskipun menjelang menstruasi, sesuai Surah Al-Imran ayat 139"Janganlah kamu bersikap lemah. dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman”. Salah satu gejala psikologis dari sindrom pramenstruasi perasaan marah yang merupakan emosi negatif. adalah Remaja putri yang menjelang menstruasi dan kurang mampu mengontrol emosi negatif akan mengakibatkan perilaku yang negatif pula. Sesuai dengan Santrock (2012) ketika remaja putri menjelang menstruasi dan tidak mampu mengontrol emosi marah dapat memicu munculnya perilaku seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan obat serta perilaku agresi. Idealnya individu harus bisa menahan amarah, sesuai dengan surah di dalam Al-qur’an yang berbunyi “……dan orang-orang (kesalahan) orang. yang Allah menahan menyukai amarahnya orang-orang dan mema`afkan yang berbuat kebajikan”.(QS.Ali-Imraan(3):134). Remaja putri menjelang menstruasi yang tidak dapat mengelola emosi negatif akan menganggu aktivitas sehari-hari dan dapat bertindak secara irasional. Sesuai dengan Robbins dan Judge (2009) ketika individu terpengaruh dengan emosi negatif sepenuhnya akan mengakibatkan individu berperilaku secara irasional dan emosi negatif dapat berpengaruh pada mood menjadi negatif. Baret, Gross, Christensen, dan Bonvenuto (Muttaqin, 2012) mengatakan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang, dengan kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman emosional seperti contoh menjelang menstruasi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2000) yang menyatakan bahwa individu yang pintar mengelola emosi dapat mengatasi perasaan yang dirasakannya, dapat memotivasi dirinya guna mempersiapkan diri menghadapi situasi yang menimbulkan kekhawatiran dan tidak menganggu aktivitas. Emotion modification adalah salah satu aspek dari regulasi emosi yaitu kemampuan individu untuk merubah emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam putus asa, cemas, dan marah. Ketika remaja putri menjelang menstruasi merasakan gejala emosional seperti kecemasan dan kurang mampu untuk mengubah emosi tersebut akan memancing munculnya gejala sindrom pramenstruasi serta memunculkan gejala kecemasan sepertikegelisahan, kelelahan, lekas marah, insomnia dan pusing, serta dampak dari kecemasan adalah terganggunya aktivitas (Nevid Jeffrey S, Spencer A, & Greene Beverly, 2005). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ricka (2011) bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan semakin tinggi pula tingkat sindrom pramenstruasi . Kecemasan tersebut dapat dihindari salah satunya dengan cara regulasi emosi, sesuai penelitian Sulistyo (2014) Semakin baik regulasi emosi individu semakin rendah pula tingkat kecemasan individu tersebut. Remaja putri menjelang menstruasi dan merasakan gejala emosional seperti ketegangan, marah, mudah tersinggung dan depresi tetapi tetap tenang, dikatakan mampu meregulasi emosi dengan baik. Sesuai dengan penelitian Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing), individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini dapat membantu meredakan emosi yang ada. Sesuai dengan Salovey (Mowrer, 2007) dengan merubah emosi secara positif dapat menumbuhkan rasa optimis, harga diri dan kepuasan dalam komunikasi interpersonal dan dapat menunjukkan berkurangnya perasaan depresi, gejala fisik, dan kecemasan. Kemampuan untuk meregulasi emosi secara efektif dapat membuat remaja putri terhindar dari gangguan fisik, perilaku maupun psikologis atau mental (Davidson, dkk 2000) yang berupa emosi negatif dari sindrom pramenstruasi sehingga mampu untuk tetap berpikir secara rasional dan tidak melakukan perbuatan irasional meskipun menjelang menstruasi. Di usia remaja kemampuan untuk mengelola emosi belum berkembang secara matang. Santrock (2012) berpendapat bahwa remaja cenderung memiliki emosi yang bergejolak. Hal inilah yang dapat membuat remaja cenderung untuk mengikuti emosinya dalam berbagai tindakan termasuk dalam menunjukan perilaku Sindrom Pramenstruasi. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi berhubungan dengan sindrom pramenstruasipada remaja putri. Ketiga aspek regulasi emosi di atas, membantu remaja putri untuk dapat mempertahankan emosi positif sehingga dapat tenang meskipun menjelang menstruasi. Remaja putri yang memiliki kemampuan regulasi emosi dapat mengendalikan dirinya walaupun menjelang menstruasi dengan cara mengurangi bahkan tidak memunculkan gejala fisik, perilaku maupun psikologis dari sindrom pramenstruasi. D. Hipotesis Berdasarkan uraian – uraian yang telah disebutkan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara regulasi emosi dengan sindrom pramenstruasi pada mahasiswi. Semakin tinggi regulasi emosi semakin rendah sindrom pramenstruasi yang dialami dan sebaliknya semakin rendah regulasi emosi maka semakin tinggi sindrom pramenstruasi yang akan dialami.