Visi dan Realitas : Masalah-masalah dalam membangun masyarakat HAM Elizabeth Evatt AC Australia-Indonesia Institute Lecture Jakarta 1 December 1998 Deklarasi Universal: menjadikan Negara-negara bertanggung jawab atas hakhak azasi manusia Saya ingin bicara mengenai sistim internasional dari hak-hak azasi manusia yang telah berkembang dalam masa pasca perang dan beberapa masalah yang timbul dalam memberlakukannya hak-hak ini untuk semua orang di seluruh dunia. Titik pangkalnya adalah Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia dan diputus dalam Sidang Umum (PBB) lima puluh tahun yang lalu pada tanggal 10 Desember 1948. Asalnya adalah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1945, yang memasukkan antara tujuantujuan PBB promosi untuk menghargai hak-hak azasi manusia dan kemerdekaan dasar dari semua orang tanpa membedakan bangsa, kelamin, bahasa dan agama. Setiap negara anggota PBB telah berjanji untuk membuat tindakan, baik bersama maupun secara terpisah untuk mencapai hak-hak azasi manusia dan standar kehidupan lebih tinggi. Dalam Piagam PBB hak setiap individu merupakan kepentingan internasional. (1) Rincian hak-hak azasi manusia dan cara-cara melaksanakannya tidak ditentukan dalam Piagam.PBB, tetapi dibiarkan terbuka untuk ditentukan kemudian. (2) Komisi mengenai Hak-hak Azasi Manusia diberi tugas untuk menyiapkan suatu international Bill of Human Rights (Ketentuan-ketentuan Internasional Hak Azasi Manusia). Tahap pertamanya adalah suatu pernyataan prisip-prinsip, suatu Deklarasi Hak-hak Azasi Manusia. Komisi, yang diketuai Eleanor Roosevelt menghasilkan suatu konsep yang pada dasarnya merupakan dokumen yang diputuskan oleh Sidang Umum PBB sebagai Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia pada tanggal 10 Desember 1945. Deklarasi sendiri tidak menciptakan hak-hak - hanya memprokalirkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang pada dalam setiap manusia berdasarkan harkat dan harga orang itu Hak-hak ini tidak tergantung pada suatu pemberian suatu pemerintah atau adanya undang-undang tertentu. Keberadaannya diakui dalam Piagam PBB. Dengan menyatakan isi hak-hak, Deklarasi memberikan isi dan liputan kepada kesanggupan yang dibuat oleh masing-masing negara untuk patuh pada Piagam PBB untuk memajukan dan menghargai hak-hak azasi manusia. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan dalam Deklarasi sifatnya universal dalam arti bahwa hal-hal tersebut tidak tidak hanya mewakili nilai-nilai suatu kelompok budaya; tetapi berlaku untuk semua orang, kapan saja dan dimana saja. Hak-hak dan kebebasankebebasan itu menyeluruh, artinya meliputi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dan juga hak-hak sipil dan politik. Diantara ke-30 ketentuan dalam Deklarasi itu disimpulkan hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan dari seseorang, di hadapan suatu persidangan yang adil and umum, kekebasan untuk mengemukakan pendapat dan pandangan, juga hak atas keamanan sosial, standar kehidupan dan pendidikan yang layak. Deklarasi Universal mengakui bahwa keadaan standar ekonomi dan social yang layak adalah mutlak untuk menikmati sepenuhnya hak-hak itu dan untuk menghindarkan sengketa, nasional atau internasional, yang merupakan ancaman untuk perdamaian. Ketentuan pokok dalam Deklarasi itu mengakui persamaan dari setiap manusia dan hak sama dari masing-masing individu untuk menikmati hak-hak dan kebebasankebebasan yang ditentukan, tanpa membedakan apapun juga, seperti ras, warna, kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal nasional atau sosial. (3) Suatu hal yang tidak selalu diberikan cukup perhatian adalah bahwa Deklarasi Universal bukan ditujukan kepada Negara-negara. Deklarasi ini menantang setiap orang dan anggota dari masyarakat untuk berjuang memajukan penghargaan untuk hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Terkadang ada yang menyatakan bahwa hak-hak dari Deklarasi Universal merupakan nilai-nilai barat belaka dan bahwa hak-hak itu tidak sama berlaku untuk semua budaya dan agama. (4) Dengan napas yang sama dikatakan bahwa hak-hak azasi manusia lebih mementingkan individu yang merugikan kepentingan masyarakat atau nilai-nilai masyarakat. Cara pandangan demikian ini sering diperdebatkan dalam tahun-tahun terakhir ini. Jawab saya adalah bahwa wakil-wakil dari semua bagian dunia mengambil bagian dalam pembuatan Deklarasi Universal ini; dan bahwa universalitas dan tidak terbaginya hak-hak azasi manusia ditegaskan pada Konferensi Dunia di Wina tahun 1993. (5) Terhadap pendapat bahwa nilai-nilai masyarat harus diberi prioritas lebih besar dari hak-hak individu, saya ingin menunjuk bahwa Deklarasi Universal secara tegas mengakui bahwa individu mempunyai kewajiban-kewajiban dalam masyarakat, dimana hanya disana saja perkembangan yang bebas dan penuh dari kepribadiannya dapat terjadi. (6) Saya juga ingin menambahkan bahwa kesejahteraan suatu masyarakat adalah kumpulan kesejahteraan dari masing-masing anggota masyarakat itu. Kesejahteraan masyarakat tidak dapat diperoleh atas pengorbanan penderitaan individu atau dengan menbenarkan individu-individu ditahan secara sewenang-wenang atau siksaan atau dengan pelarangan orang untuk berserikat untuk mendiskusikan hal-hal yang merupakan perhatian umum. Penghargaan seyogianya untuk hak-hak azasi manusia membangun kepercayaan antara masyarakat dan pemerintahnya yang merupakan hal yang pokok apabila demokrasi mau berkembang. Walaupun Deklarasi Universal ini bukan suatu Perjanjian, namun telah memperoleh cukup pengakuan dalam tahun-tahun selanjutnya. Pengadilan internasional maupun pengadilan nasional memakainya, prinsip-prinsipnya telah dimasukkan dalam undang-undang dasar atau konstitusi negara-negara, dan banyak pihak telah dianggapnya mempunyai kekuatan dari hukum kebiasaan internasional. (7) Deklarasi ini menjadi dasar dari seluruh sistim hak-hak azasi manusia dari PBB. Saya akan memfokuskan pada sistim perjanjiannya dari pada mekanisme lain. Perjanjian2 dan dokumen2 hak-hak azasi manusia PBB lainnya Setelah menyiapkan Deklarasi Universal, Komisi tentang Hak-hak Azasi Manusia melanjutkan pekerjaannya dengan menyiapkan suatu perjanjian tentang hak-hak azasi manusia yang mengikat, dengan mengambilnya dari hak-hak dalam Deklarasi itu. Dalam tahun 1954 Komisi mengirim dua konsep Perjanjian kepada Sidang Umum PBB, satu mengenai hak-hak sipil dan hak-hak politik dan yang lain mengenai hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa hak-hak Deklarasi dihilangkan dari keduanya. (8) [ump. hak suaka dan hak atas harta benda]. Perjanjian tentang Hak Sipil dan Hak Politik juga memuat hak-hak anggota masyarakat minoritas yang tidak tertulis dalam Deklarasi. (9) Walaupun pembagian kedua perangkat hak sebenarnya agak kurang menguntungkan, tetapi telah diusahakan untuk menjaga saling mengisi antara kedua Perjanjian. Keduanya memasukkan menyebutkan lagi hak bagi bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) (10), keduanya menciptakan kewajiban yang mengikat untuk Negara2 dan keduanya mendirikan panitia yang indipenden, atau badan perjanjian, untuk memantau pelanggaran hak. Akan tetapi ada perbedaan penting dalam definisi kewajiban Negara. ICCPR mewajibkan Negara2 untuk menyediakan upaya tertentu dan efektif dalam hal pelanggaran hak. Akan tetapi hal hak ekonomi, sosial dan budaya kewajiban Negara tidak segera. Terbatas pada dilakukannya tindakan-tindakan tersendiri dan melalui kerja-sama internasional dengan maksud untuk mencpai hak-hak secara bertahap. Perbedaan lain adalah bahwa telah ditambahkan suatu Protokol Pilihan pada Perjanjian tentang Hak Sipil dan Politik, yang memberikan peluang kepada individu untuk mengadu kepada Panitia Hak-hak Azasi Manusia mengenai pelanggaran hak-hak mereka. Perjanjian2 itu akhirnya diterima oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1966 dan mulai berlaku tahun 1976. (11) Keduanya menyempurnakan International Bill of Human Rights. Sistim hak-hak azasi manusia PBB juga merangkum beberapa konvensi lainnya, antara lain tentang diskriminasi (12), diskriminasi terhadap perempuan (13), penyiksaan (14) dan hak anak. (15) Semua dokumen bersumber pada prinsip2 Deklarasi Universal dan mengadakan panitia2 indipenden untuk memantau pelaksanaannya. Pekerjaan membuat dokumen hak-hak azasi manusia masih berlangsung di PBB, meliput berbagai topik berbeda seperti pekerja migran (16), kesenjangan agama (17), hak-hak pribumi (18), dan hak untuk membangun (19). Komisi tentang Hak-hak Azasi Manusia juga telah membuat mekanisme dan program pertanggungan jawab lain yang tidak dapat dibahas disini (20), badan-badan perjanjian dan tanggung jawab. Pekerjaan saya dalam hak-hak azasi manusia adalah sebagai anggota dari dua badan perjanjian PBB. Kedua badan perjanjian PBB adalah Panitia untuk Akhli Indipenden yang dipilih oleh negara2 anggota. Peranannya adalah untuk memantau kemajuan yang telah dicapai oleh Negara2 dengan mengakomodasikan kewajiban hak-hak azasi mamusia rmereka berdasarkan dokumen2 pokok hak-hak azasi manusia PBB. Negara2 yang telah meratifikasi salah satu dokumen ini berkewajiban untuk memasukkan laporan tertulis dengan jangka waktu empat hingga lima tahun, menjelaskan bagaimana mereka memberdayakan hak-hak ini dan kemajuan yang diperoleh dalam menikmati hak-hak itu. (21) Panitia2 dari masing2 dokumen ini bertemu dalam sidang-sidang teratur untuk mepelajari laporan2. Wakil2 para pemerintahan diundang untuk hadir, dan diajukan banyak pertanyaan oleh Panitia dalam usaha untuk mengungkapkan apakah sesungguhnya pengalaman orang sesuai dengan standar hak-hak azasi manusia yang dijanjikan untuk diperlakukan oleh pemerintahnya. Setelah berdialog dengan Pemerintah, Panitia mempersiapkan penilaian tertulis atau kesimpulan pemantauan, yang isinya adalah rekomendasi kepada Negara itu untuk mengkaji ulang aspek dan praktek hukum yang ternyata kurang dari standar Konvensi. (22) Pemantauan ini menurut hukum tidak mengikat, tetapi Panitia2 mengharapkan bahwa Negara2 akan mempertimbangkannya dengan itikad baik dan memberi reaksi secara positif. Sejak tahun 1984 sampai 1992 saya adalah anggota CEDAW (Konvensi Penghapusan semua bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), badan yang memantau diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia adalah peserta pada dokumen itu dan telah melaorkan kepada Panitia lebih dari sekali. Ibu Pudjiwati Sajogo adalah anggota komite selama saya bertugas disana. Sejak tahun 1993 saya adalah anggota Panitia Hak-hak Azasi Manusia, yang memantau International Covenant on Civil and Political Rights. Negara2 pesertanya 140, tetapi Indonesia belum menjadi peserta. Panitia Hak-hak Azasi Manusia memeriksa laporan2 Negara, dan juga dapat menerima pengaduan dari individu yang menyatakan bahwa haknya dilanggar oleh Negara. Ini juga berlaku untuk Negara2 yang telah menerima Protokol Polihan, sekitar 90-an sekarang ini. Menanggapi pengaduan2 ini, atau pemberitahuan2, merupakan bagian besar dari pekerjaan Panitia. NGO/LSM (Organisasi2 non-pemerintah) ikut serta secara aktif dalam pekerjaan dari badan2 perjanjian. Mereka ikut serta dalam pekerjaan Hak-hak azasi Manusia PBB sejak semula ketika mereka diundang untuk menghadiri rapat2 Komisi Hak-hak Azasi manusia ketika Deklarasinya sedang dipersiapkan , dan telah memberikan masukan2 lisan dan tertulis. Sehubungan dengan organisasi badan2 perjanjian seperti Amnesty International, Human Rights Watch dan organisasi2 non-pemerintah nasional dan internasional, membantu proses pelaporan dengan memberikan informasi tertulis mengenai hukum dan praktek menurut pandangan mereka kepada Komisi Hak-hak Azasi Manusia. Mereka dan organisasi2 non-pemerintah lainnya memberikan informasi kepada badan2 perjanjian dengan cara yang sama. Laporan2 alternatif dari organisasi2 NGO/LSM biasanya memberikan gambaran yang kurang cerah untuk Negara dibandingkan dengan laporan pemerintahnya. Masalah-masalah dalam pelaksanaan : pelanggaran-pelanggaran berat Secara singkat saya telah memberikan gambaran suatu sistim internasional tenatng tanggung jawab pemerintahan atas hak-hak azasi manusia yang telah dibangun selama lebih dari 50 tahun lamanya. Ini didasarkan pada suatu visi bagaimana kita ingin jadinya dunia ini. Berapa banyak bedanya kenyataan dengan visi ini ? Dalam diskusi ini saya ingin membagikan pengalaman baru saya dengan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights). Setiap tahun Panitia Hak-hak Azasi Manusia mempelajari laporan dari 15 hingga 18 negara dan melakukan dialog dengan pemerintahnya mengenai catatan hakhak azasi manusia masing-masing. Sudah terpadat banyak kemajuan. Beberapa negara telah kembali ke Panitia setelh suatu jangka waktu untuk memberikan laporan mengenai Perundang-undangan baru, lembaga-lembaga baru, praktek-praktek baru, penarikan reservasi mereka, semuanya lebih mendekatkan kepada pemenuhan kewajiban-kewajiban Perjanjian mereka. Keputusan2 Panitia dalam hal pengaduan pribadi juga telah membawa beberapa hasil baik. Tahanan/terhukum telah dibebaskan, ganti rugi telah dibayarkan dan perundang-undangan dirobah setelah putusan Panitia. Hasil-hasil demikian biasanya terjadi di negara2 yang pada dasarnya demokratis dan masalanya biasanya perundang-undangan dalam negeri tidal memberikan cukup perlindungan untuk semua hak-hak Perjanjian. Akan tetapi ada juga sisi gelapnya. Ada Negara2 yang menganggap mereka telah memenuhi kewajibannya tentang hak-hak azasi manusia dengan meratifikasi Perjanjian dan memberikan laporan kepada Panitia, tanpa melakukan usaha sesungguhnya untuk memenuhi standar2. Dalam kebanyakan negara demikian, terjadi banyak pelanggaran, terkadang dalam skala yang luas. Dalam keadaan paling buruk, pelanggaran-pelanggaran termasuk pembunuh tanpa putusan pengadilan, hilang, penahan sewenang-wenang, penyiksaan, perlakuan buruk kepada para tahanan dan pengadilan tidak adil. Dalam beberapa negara kebentian etnik dan agama, perbedaan idologi, kesenjangan perbedaan ekonomi dan social yang besar menjadi sebab terjadinya konflik bahkan kekerasan. Hal ini menyukarkan pelaksanaan hak-hak azasi manusia, kecuali standarstandarnya dipatuhi secara cermat. Akan tetapi seringkali terjadi adalah institusi pemerintahanlah yang gagal, institusi pemerintahan yang harus bertanggung jawab untuk menjamin dinikmati hak-hak dan kebebasan- kebebasan. Deklarasi Universal dan Perjanjian (23) jelas menunjukkan bahwa adalah kehendak rakyat bahwa dasar kekuasaan pemerintah dan bahwa semua warganegara berhak untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan umum, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih dengan bebas dan untuk ikut serta dalam pemilihan umum yang benar dan jujur dengan pemberian suara secara rahasia. (24) Dalam Negara2 dimana terjadi pelanggaran berat, seringkali kekuasaan terkumpul dalam tangan suatu pemerintahan otoriter yang menekan atau membatasi oposisi dan yang tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya melalui proses demokrasi sebenarnya. (25) Prosesnya mungkin disubversi dengan membatalkan atau mengundurkan pemilihan umum, melarang partai-partai oposisi atau membatasi kekuasaan badan-badan terpilih. Dalam negara2 ini biasanya kebebasan berkumpul dan kebebasan mengeluarkan pendapat, kedua hal pokok dalam pelaksanaan hak-hak demokratis, sangat dibatasi. (26) Dalam negara2 tersebut NGO/LSM/organisasi2 non-pemerintah /LSM dihalangi untuk melakukan kegiatannnya secara bebas untuk membela hak-hak azasi manusia atau untuk membawa perobahan dengan proses demokratis. Dalam keadaan demikian, rakyat kurang mempercayai pemerintahnya. Penghancuran masyarakat madani dengan cara demikian juga menghalangi pekerjaan badan2 pemantau internasional. Misalnya, ketika Panitia mengkaji ulang laporan2 dari Irak, Aljazair and Lybia, tidak ada satu NGO/LSM pun yang mengirimkan laporan atau menghadiri sidang Panitia. Atau mereka tidak ada atau takut akan pembalasan. Panitia telah melihat beberapa contoh dimana para pembela hak-hak azasi manusia menhadapi ancaman pembunuhan , (27) dan lainnya dimana usahausaha dilakukan untuk mencegah lembaga2 hak-hak azasi manusia berhubungan dengan Panitia. Represi semacam ini menyebabkan Panitia terhalang untuk memperoleh pandangan penting tentang situasi hak-hak azasi manusia di negaranegara demikian. Sebaliknya, ketika Jepang memlakukan presentasi laporannya belum lama ini, Panitia menerima lusinan masukan dari LSM-LSM, banyak diantaranya menghadiri sidang secara pribadi. Di negara2 dimana terjadi pelecehan hebat atas hak-hak azasi manusia, pihak militer dan/atau penguasa sering mempunyai peran yang dominan dan dapat bertindak tanpa pengawasan penuh atau efektif oleh pemerintah sipil. Mereka tidak bertanggung jawab untuk tindakan2 mereka selain kepada pengadilan militer and menikmati kekebalan penuh untuk pelanggaran2 berat atas hak-hak. (28) Aktifitas mereka terkadang di back up dengan pernyataan keadaan darurat yang tetap berlaku untuk bertahun-tahun lamanya dan membelengku hak-hak dan kebebasan-kebebasan, dengan demikian membiarkan phak militer atau pihak keamanan untuk melakukan kuasa dengan kekuatan raksasa. Penyalahgunaan yang dilakukan oleh pihak keamanan dalam banyak hal dibantu oleh tidak adanya pihak peradilan dan penuntut umum yang bebas yang dapat melakukan penyelidikan atas pelanggaran yang dituduhkan dan menjamin penuntutan para pelanggarnya. Pengadilan seharusnya merupakan penjaga dari rule of law, benteng hukum, dengan kekuasaan untuk menjaga bahwa pemerintah dan badan-badannya bertindak menurut hukum. Sangat menyesal bahwa ada negara2 dimana hakimhakimnya benar-benar tidak mampu untuk mengakomodasi kebutuhan menurut keadaan atau melakukan tugas mereka secara bebas dan tidak memihak. (29) Di beberapa negara hakim-hakim malah terlibat dalam pelanggaran hak-hak azasi manusia. (30) Malahan lebih sering lagi eksekutif mengontrol peradilan, atau demikian dekat mengawasinya sehingga hakim-hakim tidak mampu mengambil tindakan untuk membela hak-hak para warganegara. (31) Umpamanya, pengangkatan adalah untuk jangka waktu yang singkat, eksekutif berkuasa untuk menghentikan atau memindahkan hakim-hakim, atau dibentuk majelis2 non-judisial baru. Beberapa hakim malahan diancam dengan pembunuhan kalau mereka tidak menurut pada keinginan penguasa keamanan. (32) Apabila pengadilan tidak mau atau tidak dapat bertindak dengan bebas dan tidak ada lembaga indipenden yang dapat melakukan penyidikan laporan pelanggaran hak-hak dan mengambil tindakan, para pelakunya, sering di dalamnya termasuk tentara, polisi, penguasa keamanan dapat bebas bertindak terus dengan bebas, dan para korban atau keluarganya tetap tanpa upaya hukum. Negara-negara yang sebutkan maksud kebanyakan ada di Amerika Latin, Afrika dan Timur Tengah. Negara2 tersebut telah meratifikasi perjanjian/konvensi hak-hak azasi manusia dan memberi laporan kepada Panitia Hak-hak azasi Manusia. Akan tetapi terdapat jurang yang lebar antara hukum tertulis di satu pihak dan dalam praktek di lain pihak. Memulihkan demokrasi : masalah transformasi Apa yang dapat dilakukan oleh Panitia Hak-hak Azasi manusia apabila dihadapkan kepada keadaan2 demikian? Panitia bertetap bahw Negara2 harus menghormati kewajiban2 yang mereka sanggupi, dan bahwa apabila mereka lalai melakukannya maka mereka melanggar hukum perjanjian internasional. Panitia yang terdiri atas 18 anggota dari semua penjuru dunia, bertindak dengan konsensus. Panitia selalu mempertahankan perannya sebagai penjaga hak-hak Perjanjian, bahkan waktu gencarnya perang dingin pun, pada waktu mana seakan-akan tak ada harapan akan terjadi perobahan. Tetapi tidak dapat melakukannya lain kecuali bertetap. Tindakan harus datang dari dalam negara itu sediri. Walaupun pada umum cuaca buruk meliputi hak-hak azasi manusia terdapat di banyak negara sehingga akhir 1980-an, dalam dasawarsa terakhir sejumlah pemerintahan yang represif telah diganti dengan pemerintahan yang lebih demokratik, dan sutuasinya dimana dulu terjadi pelanggaran berat sekarang mulai terlihat harapan. Banyak contohnya di Eropah Timur, Amerika Latin, asia dan Afrika. Afrika Selatan merupakan kasus istimewa yang kita semua kenal. Dalam beberapa hal, seperti di negara2 Balkan dan beberapa negara eropah Timur, penguasa represif tumbang dengan sendirinya, dan lembaga2 demokrasi dipulihkan oleh rakyatnya yang sebelumnya sudah mengenal demokrasi. Di negara2 Amerika Latin, dimana pemerintahan demokrasi ada ada ditumbangkan oleh pemerintahan militer, pemulihan demokrasi merupakan pokok dari konsesi2 dan perjanjian2 dalam suatu jangka waktu. Kadang-kadang uang tebusnya suatu amnesti dengan mana para pelaku pelanggaran hak-hak azasi manusia, penguasa militer, dibebaskan dari tuntutan. Uruguay merupakan suatu kasus khusus, yang lain adalah Cili. Apa yang menyebabkan perobahan2 ini? Hal ini merupakan suatu pertanyaan komplek, dan masing-masing ceritanya berlainan. Walaupun rekomendasi Panitia tidak mengikat menurut hukum, Perjanjian itu sendiri menciptakan kewajiban hukum Standar hak-hak azasi manusia internasional memang mempunyai suatu tekanan yang dilakukan melalui berbagai badan politik dan badan akhli yang merupakan bagian dari sistim hak-hak azasi manusia PBB dan organisasi2 international non pemerintah. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa tekanan dari luar seperti demikian, bahkan pemberian saksi2, jarang merupakan tenaga pemacu tunggal. Bagi saya sering terlihat bahwa tekanan untuk berubah timbul dari dalam Negera itu sendiri. Persoalan sebenarnya adalah bagaimana rezim yang berkuasa mengakomodasikan suara dari rakyat. Sering tindakan pertama dalam pemulihan demokrasi adalah bahwa pemerintah mengalah kepada tuntutan dalam negeri dengan mengurangan pengawas untuk kebebasab mengeluarkan pendapat dan berkumpul, membiarkan terbentuknya kelompok oposisi, serikat buruh dan organisasi non pemerintah lainnya. Begitu kelompok-kelompok ini bebas untuk bergerak, untuk menantang pemerintah secara terbuka, maka jalan terbuka untuk mengembangkan lembaga2 demokrasi secara damai dan teratur, (seperti terjadi di beberapa negara Amerika Latin) menghindari konfrontasi kekerasan, diteruskannya penyalah gunaan kekuasan, diteruskannya rekriminasi. Di lain pihak ketika pemerintah mengakomodasikan dengan tindakan kekerasan untuk mencegah masyarakat madani mengemukakan pendapatnya (seperti di beberapa bekas negara satelit Uni Sovyet) hasilnya malahan akan terjadi kekerasan dan akan mudah menyebabkan penggantian dengan kediktatoran lain. Apabila suatu Negara membuat kesanggupan untuk berobah, ini barumerupakan permulaan suatu proses yang panjang dalam pembangunan, atau pembanguna kembali lembaga2 demokrasi. Pengalaman belum lama dari Panitia Hak-hak azasi manusia dengan negara2 yang bergerak menjauhkan cara-cara kekerasan atau represif yang lampau (33) menunjukkan bahwa tidaklah selalu mudah untuk membuat perobahan strukural besar-besaran yang diperlukan. Hukum harus disesuaikan dengan standar hak-hak azasi manusia internasional. Pengadilan harus bebas sama sekali. Badan2 indipenden, seperti Ombudsman atau Komisi hak-hak azasi manusia diperlukan dengan hak, kuasa dan sumber daya untuk menyelidikan pelanggaran dan memastikan bahwa tindakan penghukuman yang perlu dan pemulihan dilakukan. In beberapa negara Amerika Latin, terutama di negara dimana lama terjadi pelanggaran berat hak-hak azasi manusia, persoalan2 yang berlanjut disebabkan oleh undang-undang amnesti. Dalam pandangan Panitia Hak-hak Azasi Manusia, tekanan2 politik yang menyebabkan konsesi demikian tidak membebasklan Negara dari kewajibannya berdasarkan Perjanjian untuk menyelidiki pelanggaran2 hak-hak azasi manusia yang lampau dan menjamin bahwa para pelakunya diadili dan dihukum dan bahwa para korbannya atau keluarga menerima ganti rugi. (34) Kegagalan untuk melaksanakan tanggung jawab ini melemahkan usaha2 untuk menghormati hak-hak azasi manusia. Kita melihat kasus Pinochet, keengganan penerimaan oleh masyarakat madani atas ketentuan2 pengalihan kekuasaan berarti bahwa luka2 dahulu belum sembuh. Pengalaman Panitia mengenai Negara2 yang menjalani jalan sukar ini, memperlihatkan bahwa lebih gampang untuk merobah undang2 dan lembaga2 dari pada menanamkan ide-ide demokasi kepada mereka yang melaksanakannya. Yang satu tidak akan bekerja tanpa yang lain. Sikap harus dirobah. Mereka yang terlibat dalam semua aspek pemerintahan harus belajar meninggalkan sikap dan tingkah laku otoriter yang lalu dan mengalami bagaimana demokrasi bekerja dalam prakteknya. Lembaga2 parlemen harus belajar bagaimana mewakili rakyat dari pada berlomba untuk memenangkan kepentingan sektorial. Pengadilan harus berobah dari hamba penurut dari Negara menjadi kekuatan yang tegar dan bebas, berani untuk membela hak-hak warganegaranya. Hal yang sama berlaku untuk polisi, tentara atau penguasa keamanan. (35) Mereka yang ternyata bersalah atas pelanggaran hak-hak azasi manusia harus diadili dan dihukum secara memadai. Untuk mencapai tujuan2 ini pelatihan hak-hak azas manusia komprihensif adalah penting di segala tingkat pemerintahan. Akan tetapi saya ingin menekankan bahwa pendidikan hak-hak azasi manusia harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Penutup Dalam pengukapan2 ini saya berusaha menunjukkan bahwa perlindingan efekti atas hak-hak azasi manusia memerlukan tindakan dari dalam masyarakat. Aset yang paling berharga dari suatu masyarakat yang dapat dimiliki adalah individu2 dan organisasi2 yang mengetahui tentang prinsip2 hak-hak azasi manusia dan merasa terikat untuk bertindak untuk mendukung prinsip2 itu. (36) Standar2 Universal dan pekerjaan dari badan2 seperti Panitia Hak-hak Azasi Manusia sendiri sangat penting. Tetapi mereka menjadi sangat penting kalau mereka meminjamkan kekuatan dan isi kepada pekerjaan badan-badan hak-hak azasi manusia nasional. Dengan cara ini suatu masyarakat dengan hak-hak azasi manusia dibangun atas teraksi antara standar2 internasional dan kegiatan lokal. Penjalinan jaringan hak-hak azasi manusia di seluruh dunia dimulai dengan penerimaan Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia; mungkin ada kekosongannya, tetapi benang-benangnya kuat, dibuat dari harapan2 manusia dimana saja 'kebebasan, keadilan dan damai', janji dari Deklarasi Universal. References 1 The Charter refers to human rights in the preamble and in articles 1.3, 13.1.b, 55.c & 56, 62, 68 and 76. Sieghart, P The International Law of Human Rights, Clarendon, 1983, #1.4, 1.8. Cf Charter, article 2.7, Cassese, p 148, #185, 287. 2 See Cassese, $171 for outline of history. 3 Preamble, arts 2, 7. 4 Cassese #172-3 . 5 Vienna Declaration and Programme of Action, World Conference on Human Rights, Vienna, 14-25 June 1993, A/CONF.157/23, 12 July 1993. 6 art 29.1. 7 See Simma and Alston, RThe Source of Human Rights Law: Custom, Jus cogens and General PrinciplesS (1992) 12 Aust YB of Int Law 82. Cf Cassese #173 . 8 Eg property, asylum. Cassese #177. 9 Article 27, ICCPR. 10 Eg, self-determination of peoples, Cassese #176. 11 The ICESCR came into force on 3 January 1976; the ICCPR. came into force on 23 March 1976. 12 The Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, Adopted 1965, in force 4.1.1969. 13 The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Adopted 1979, in force 3.9.1981. 14 The Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, Adopted in 1984; in force 26.6. 1987. 15 The Convention on the Rights of the Child. Adopted 1989, in force 1990. 16 The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families, 18 Dec. 1990 [not yet in force] 17 Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief, 1981. 18 Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, E/CN.4/SUB.2/1994/2/Add.1 (1994). 19 Cassese #181; Steiner and Alston, p 1110 ff. UN Declaration on the Right to Development, UN GA resolution 41/128, Dec 4, 1986. 20 Eg, Resolution 1503 communications procedure; thematic and State Rapporteurs; Working Group on Involuntary Disappearances. 21 Eg, ICCPR, article 40. 22 This also provides an opportunity to interpret Covenant principles. 23 UDHR article 21 (3), ICCPR, art 25. 24 UDHR article 21, ICCPR, art 25. 25 Report of HRC to July 1998, para 96, Iraq: concern at lack of accountability 26 Suppression of opposition, Algeria and Iraq, para 105, report for 1998. 27 Threats to human rights defenders: Algeria, report for 1998, para 364; Belarus, report for 1998, para 155, 28 Lack of civilian control, impunity: Peru, Report of HRC to July 1992,Supplement 40 (A/47/40), para 338 ff. 343. Togo, Report of HRC to July 1994,Supplement 40 (A/49/40) para 245 ff. 251. Colombia, Report of HRC to July1992, Supplement 40 (A/47/40), para 390 ff. 393. El Salvador, Report of HRC to July 1994,Supplement 40 (A/49/40) para 209 ff. 216. Burundi, Report of HRC to July 1994,Supplement 40 (A/49/40) para 354 ff. 361. Yugoslavia, Report of HRC to July1992, Supplement 40 (A/47/40), para 463 ff. 466 29 Burundi, Report of HRC to July 1994, Supplement 40 (A/49/40) para 354 ff. 30 El Salvador, Report of HRC to July 1994, Supplement 40 (A/49/40) para 209 ff. 217. 31 Executive control of judiciary: Romania, Report of HRC to July 1994, Supplement 40 (A/49/40) para 132 ff. 143. Guatemala, Report for 1996-1997 (A/51/40) para 229, 235. 32 In Guatemala: police fail to comply with court decisions and orders; members of the judiciary were subjected to death threats. Report for 1996-1997 (A/51/40) para 229. See Attacks on Justice: the Harassment and Persecution of Judges and L awyers 1995, Centre for the Independence of Judges and Lawyers, Geneva, 1997. 33 Eg, Slovakia, Estonia, Armenia, Hungary, Uruguay and Bolivia. 34 Uruguay, Report of HRC to July 1993, Supplement 40 (A/48/40), para 496 ff. 497; Niger, Report of HRC to July 1993, Supplement 40 (A/48/40), para 419 ff. 425; El Salvador, Report of HRC to July 1994, Supplement 40 (A/49/40) para 209 ff. 2 15. 35 El Salvador, Report of HRC to July 1994, Supplement 40 (A/49/40) para 209 ff. 222. 36 Involvement of NGOs in Political transformation after a period of repression is discussed in Diverse partners, Non-Governmental Organisations in the Human Rights Movement, Harvard Human Rights Program, Henry Steiner ed, 1991, p 51.