problematika putusan perceraian karena salah satu pihak murtad

advertisement
PROBLEMATIKA PUTUSAN PERCERAIAN
KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD
(STUDI KOMPARATIF PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA
NO. 138/Pdt.G/2006/PA. SALDAN NO. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
IRMA SURYANI
21210001
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2015
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Setia pada proses. Sesulit apapun sebuah proses selama berusaha dan jalani ikhlas
semua pasti tercapai.
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Untuk orang tuaku yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa
memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil
Terima kasih untuk para dosen atas ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada saya
semoga ilmu berguna dan bermanfaat. Amiin.
Sahabat-sahabat perjuanganku AS angkatan 2010, semoga sukses selalu.
Dan anakku Abhinaya yang selalu menjadi semangat hidupku.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah, senatiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNYA, sehingga
sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan Islam. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi Agung Muhammad SAW yang
senantiasa kita ikuti sunnah-sunnahnya dan semoga kita selalu mendapatkan
syafaatnya di dunia dan di akhirat.
Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga
2. Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah.
3. Moh. Khusen, M.Ag., M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu tenaga dan fikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan
penuh kesabaran dan akademis.
4. Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga.
5. Drs. Muhdi Kholil, S.H., M.M selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama
Salatiga sekaligus Hakim Pembimbing.
6. Segenap Dosen Jurusan Syari‟ah
7. Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga
8. Kedua orang tua yang saya sayangi dan hormati, yang selalu mendoakan.
9. Teman Angkatan 2008, 2010 terima kasih atas kritik, saran dan masukan yang
diberikan.
v
10. Pihak-pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
dukungan moral dan material sehingga selesainya proses belajar di STAIN
Salatiga
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi, maupun analisisnya, sehingga kritik dan
saran sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Salatiga, 14 Februari 2015
Irma Suryani
NIM. 21210001
vi
ABSTRAK
Suryani, Irma. 2015. Problematika Putusan Perceraian Karena Salah Satu Pihak
Murtad (Studi Komparatif Putusan Pengadilan Agama Salatiga Putusan
No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL).
Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah
Tinggi Agma Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M.Ag.,
M.A
Kata Kunci: perceraian dan murtad
Penelitian Problematika Putusan Perceraian Karena Murtad adalah studi
komparatif putusan antara dua putusan dengan tema yang sama tetapi memiliki
perbedaan pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Penelitian ini merupakan upaya
untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama
yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah Hakim Pengadilan
Agama Salatiga menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2)
Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara
perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt.
G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? (3) Bagaimanakah
implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusan No. 138/Pdt.
G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL?
Penulis untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam penelitian didasarkan
pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis.
Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan
hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan.
Pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian yurisprudensi. Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian
kajian pustaka. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Sumber data
yang didapat dari data primer maupun sekunder. Data primer didapat dari dokumen
dan informan. Data sekunder didapat dari sumber yang bukan asli memuat informasi
atau data dalam penelitian.
Hasil dari penelitian yang didapat yaitu tentang cara Hakim Pengadilan
Agama Salatiga dalam menangani perkara adalah Hakim memeriksa dan mempelajari
petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam gugatan tersebut,
identifikasi alasan dalam perceraian dalam gugatan, menerapkan asas personalitas
keislaman kemudian mencari fakta pembuktian yang menjadi alasan utama. Hasil
penelitian yang selanjutnya adalah sebab terjadi perbedaan putusan dapat ditinjau dari
alasan utama perceraian masing-masing putusan. Putusan fasakh pada No. 138/Pdt.
G/2006/PA.SAL alasan utama perceraian adalah murtad sebagai satu-satunya alasan
sehingga menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Putusan Thalaq
Ba‟in pada No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL alasan utama perceraian adalah murtad
vii
bukan satu-satunya alasan dalam perceraian dan ketidakharmonisan dalam rumah
tangga ang menjadi alasan utama. Pertengkaran sudah terjadi sebelum adanya salah
satu pihak murtad. Hasil penelitian berikutnya adalah implikasi dari perbedaan kedua
putusan tersebut terletak pada akibat hukum dari masing-masing putusan. Perbedaan
akibat hukum dari putusan tersebut ditinjau dari lima aspek, yaitu aspek jumlah
bilangan talak, rujuk, harta bersama, ikrar talak dan nafkah istri.
viii
DAFTAR ISI
JUDUL .......................................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 6
E. Penegasan Istilah ............................................................................ 6
F. Telaah Pustaka ................................................................................ 6
G. Metode Penelitian ......................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan.................................................................... 16
BAB II
PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN
PERUNDANG-UNDANGAN............................................................ 17
A. Perceraian Menurut Fiqh ............................................................... 17
1. Pengertian Perceraian ......................................................... 18
2. Dasar Hukum Perceraian .................................................... 15
3. Bentuk-Bentuk Perceraian .................................................. 22
4. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian .................................... 30
5. Akibat Perceraian ................................................................ 33
B. Perceraian Menurut Perundang-Undangan..................................... 35
1. Pengertian Perceraian .......................................................... 35
ix
2. Sebab dan Alassan Perceraian ............................................. 36
3. Tata Cara Perceraian .......................................................... 38
4. Akibat Perceraian ....................................................................
C. Fasakh ............................................................................................. 42
1. Fasakh Menurut Fiqh .......................................................... 42
2. Fasakh dalam Perundang-Undangan ................................... 47
3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian ...................................... 52
D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ............................................... 53
1. Pengertian Murtad ............................................................... 53
2. Hukum Murtad .................................................................... 56
3. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ..................................... 58
BAB III
GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA SALATIGA
DAN DUA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA MURTAD ......... 60
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga .............................. 60
1. Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga....................... 60
2. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga.................................... 66
B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ............... 75
C. Putusan Kasus Gugatan Perceraian Karena Murtad ....................... 79
1. Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL .............................. 79
2. Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL ............................ 86
3. Pertimbangan Hakim ........................................................... 93
BAB IV
ANALISA KASUS CERAI GUGAT KARENA MURTAD ............. 97
A. Penanganan Kasus Gugat Cerai Karena Murtad ........................... 97
1. Teknis Administrasi Secara Umum .................................... 97
2. Dasar Hukum Materiil....................................................... 100
B. Perbedaan Putusan No. 138/Pdt. G/2006 dan Putusan No. 0356/Pdt.
G/2011 ........................................................................................... 103
C. Implikasi Putusan Perceraian Karena Murtad ............................. 105
x
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 109
A. Kesimpulan .................................................................... 109
B. Saran ............................................................................................ 110
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 112
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 113
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perceraian pada prinsipnya tidak dikehendaki dalam Islam. Perkawinan
merupakan ikatan yang kuat, diharapkan dalam perkawinan dapat terwujud keluarga
yang bahagia dan kekal sesuai ajaran Islam. Meskipun demikian Islam juga tidak
menutup diri terhadap perceraian yang terjadi antara suami istri dengan berbagai
alasan serta dengan melalui bentuk perceraian yang ada. Mengacu tetap pada satu
prinsip yaitu kaidah fiqh menghindari timbulnyakeburukan harus didahulukan
daripada menarik kebaikan, sehingga perceraian adalah merupakan pintu darurat dari
ikatan perkawinan, yaitu yang berbunyi:
‫َد ُر ْلأا َد َد ا َدض ِد ا ُر َّق َدا ٌم َد َدًا َد ْل ِد ْل‬
‫اأاا َد َد ااِد ِدا‬
Islam memahami dan menyadari tentang hal perceraian. Islam membuka
kemungkinan perceraian dengan jalan talak maupun jalan fasakh demi menjunjung
tinggi kebebasan dan kemerdekaan manusia (Latif, 1985:29)
Suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal sesuai dengan pasal 113 KHI,
“karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Dalam pasal 114 KHI
disebutkanbahwa, “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.
1
Dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun
1989 Pasal 2 disebutkan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.
UU No. 50 tahun 2009 ayat 1 sampai ayat 6 dijelaskan bahwa amar putusan
dalam cerai talak hanya menetapkan memberi ijin pemohon untuk menjatuhkan talak
terhadap termohon, mengakibatkan bahwa putusnya perkawinan karena cerai talak
dihitung sejak diucapkannya ikrar talak, baik saat dihadiri oleh termohon atau tidak.
Pemohon yang riddah dalam hal ikrar talak berkaitan dengan syari‟at Islam,
sudah tidak memiliki hak dalam mengucapkan ikrar talak. Hukum putusnya
perkawinan antara suami dan istri mengacu pada putusan majelis Hakim, tanpa
adanya ikrar talak disebabkan karena peralihan agama tersebut.
Dalam hasil rakernas (rapat kerja nasional) MARI (Mahkamah Agung
Republik Indonesia) tahun 2005 bagian c Bidang Uldilag (urusan lingkungan
Peradilan Agama) angka 3 huruf (a) yang dinyatakan bahwa, “Pengadilan Agama
berwenang mengadili seseorang (pihak) yangsudah murtad, karena yang menjadi
ukuran untuk menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum
yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan, dan bukan berdasarkan agama
yang dianut pada saat sengketa terjadi” (IKAHI, hal 134).
Kajian yang menarik dalam perkara yang diteliti adalah suami sebagai
pemohon pengajuan cerai talak berada dalam keadaan riddah (keluar dari agama
2
Islam) di mana pada awal pernikahan adalah seorang mu‟allaf namun ketika
pernikahan berlangsung suami kembali pada agama semula yaitu katolik.
Ditinjau dari hukum Islam jelas di sini hukum perkawinan tersebut menjadi
fasakh. Fasakh berarti merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang
telah berlangsung yang disebabkan ada hal-hal yang membatalkan akad nikah atau
karena suatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dan perkawinan berlangsung
(Basyir, 1999:85). Fasakh karena terjadinya hal yang baru dialami sesudah akad
nikah dan perkawinan berlangsung, yaitu salah satunya suami istri beragama Islam
kemudian suami murtad. Apabila telah diusahakan agar kembali Islam, tetapi suami
tetap mempertahankan murtad, hubungan perkawinan diputuskan sebab terdapat
penghalang perkawinan yaitu larangan menikah antara perempuan muslimah dengan
laki-laki nonmuslim (Basyir, 1999:86)
Observasi pendahuluan yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga
ditemukan dua putusan tentang kasus perceraian karena salah satu pihak murtad.
Putusan pertama adalah No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL denganamar putusan yaitu
menjatuhkan talak satu ba‟in sughro tergugat kepada penggugat.Pertimbangan dan
dasar hukum Hakimdalam menentukan putusan adalah pertama dalil gugatan
perceraian diajukan karena faktor tidak harmonis dan sering terjadi perselisihan
karena salah satu pihak murtad seperti yang diatur dalam pasal 174 HIR dan pasal
116 huruf H KHI. Kedua, mediasi telah dilakukan tetapi hasilnya gagal sesuai dengan
3
ketentuan Pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Ketiga, mengetengahkan
pendapat ahli yangtermuat dalam kitab Fiqh As-Sunnah bab Ath-Thalaq:
‫ض َدر ِدافَد ِد ْلنا َد ْلحبَدتَد ْل‬
‫َدتاأا َّقسوْل َد ةا َدوطَد بَد ْل‬
‫أِد َدذأأا َّق ع ْل‬
ّ ‫تاأاتّ ْل ِدر ْلَقَدابَد ْلُنَدهَد ا َدوبَد ْلُنَد ا َدزوْل ِد هَد ااِدهَدذأأا‬
‫تاا ا‬
‫ًاأا َد ْل هُرىْل ِداطَد َّق َدهَد ْل‬
‫ض َدر َد ا َدواَدىْل َد َّقر ًةا َدوأ ِدا َد ًةا َدع َد ْل‬
ّ ‫أا‬
‫اًا ِد ْلنا َدزوْل ِد هَد اطَد ْل َدةًةابَد اِدنَد اةًةا‬
‫اأا َد ِد‬
Artinya : jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami,
karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu
terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur,
Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talak
bain sughro(Sabiq, 1980: 237).
Putusan kedua adalah putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dengan bunyi
amar putusan yaitu memfasakhkan perkawinan Penggugat dan Tergugat. Dasar
hukum dan pertimbangan Hakim adalah pertama, permohonan Pemohon terbukti dan
beralasan secara hukum sesuai dengan ketentuan pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 jo
pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan jo pasal 116 huruf (f dan h) KHI, pasal 2 KHI dan oleh karenanya
hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat harus difasakhkan karena murtad.
Kemudian Majelis Hakim mengetengahkan lebih dahulupendapat pakar Hukum
IslamImam al-Haramayn al-Juwayni dalam kitab Hidayah al-Matlab fi Dirayah alMazhab sebagai berikut:
‫اأِد َدذأأ ْل َد َّق اأا َدسوْل َد ِدناأَدوْل أَد َدا ُر ُر َد افُر ِدط َد ْل‬
‫اأا َد ْل ُرا‬
‫ا‬
“Jika kedua suami istri atau salah satunya murtad (keluar dari agama Islam)
maka nikahnya difasakhkan” (al-Juwayni, 2007:119)
4
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas maka penulis akan
melakukan kajian secara komparatif tentang problematika putusan perceraian yang
disebabkan oleh salah satu pihak murtad.
B. Rumusan Masalah
Dari tema dan latar belakang masalah di atas, dapat diperinci rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama Salatiga menangani perkara
perceraian karena salah satu pihak murtad?
2. Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang
perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt.
G/2006/PA.SAL dan putusanNo. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL?
3. Bagaimanakah implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara
putusanNo.
138/Pdt.
G/2006/PA.SAL
dan
putusanNo.
0356/Pdt.
G/2011/PA.SAL?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui prosedur Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam
menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad.
5
2. Untuk mengetahui perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang
perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusanNo. 138/Pdt.
G/2006/PA.SAL dan putusan No.0356/Pdt. G/2011/PA SAL.
3. Untuk mengetahui implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara
putusan No.138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA
SAL.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad
yaitu dapat dijadikan model prototipe dalam penyelesaian perkara perceraian.
2. Sebagai wacana dan pengetahuan yang dapat dijadikan bahan analisis
komparatif
antara
putusan-putusan
di
Pengadilan
khususnya
dalam
penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda dengan
maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan
beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian, antara lain sebagai berikut:
6
1. Cerai, secara bahasa bermakna melepas, mengurai atau meninggalkan;
melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi
seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19). Tentang istilah
perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalahcerai talak yaitu
pengajuan cerai dari pihak suami (beragama Islam) terhadap istri dengan
mengucap ikrar di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal
129, 130, dan 131KHI. Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan
oleh istri dalam petitumnya berisi permohonan agar diputus perkawinan antara
penggugat dan tergugat.
2. Murtadadalah keluar dari agama Islam; peralihan agama selain Islam; sama
halnya dengan murtad keluar dari Islam (Yasyin, 1995:159).Murtad berarti
juga kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki adalah kembalinya orang
Islam yang berakal sehat dan dewasa kekafiran dengan kehendaknya sendiri
tanpa paksaan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq,
1986:168). Istilah murtad dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan
salah satu alasan penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama.
4. Telaah Pustaka
Penelitian tentang perceraian karena perpindahan agama oleh salah satu
pasangan sesungguhnya bukan yang pertama. Sejauh penelusuran penulis, telah ada
7
beberapa penelitian dengan tema yang sama yang dilakukan oleh peneliti lain.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nastangin, yang berjudul Perceraian Karena
Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0356/pdt.
G/2011/PA. SAL) tahun 2012 di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini berisi
tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga, melalui dua fokus penelitian yaitu pertama tentang bagaimana pertimbangan
dan dasar hukum Hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak
murtad. Kedua, apa akibat hukum dari perceraian karena salah satu pihak murtad.
Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi dengan pendekatan normatif.
Hasil penelitian ini adalah bahwa pertimbangan hakim yaitu keluarga Penggugat dan
tergugat tidak harmonis karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan
sebelumnya mediasi telah dilakukan tetapi hasilnya gagal. Kemudian yang menjadi
dasar hukum yaitu pasal 116 KHI hruf (h) dan ijtihad dengan berpedoman pada
kitabFiqh As-Sunnah bab Ath-Thalak. Akibat hukum sama dengan akibat hukum
perceraian secara umum, yaitu menjadikannya putus tali perkawinan, masih berlaku
iddah, suami masi berkewajiban menanggung hadhanah dan memberi nafkah sampai
dewasa (usia 21 tahun).
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Mir‟atul Hidayah, berjudul Fasakh
Suatu Perkawinan karena Murtad(Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No.
438/Pdt. G/2003/PA. Sal dan No. 138/Pdt. G/2006/PA. Sal) tahun 2007. Penelitian ini
8
menjelaskan tentang tujuan dari penelitian, metode yang digunakan dan hasil dari
penelitian tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
konsep fasakhnya perkawinan karena murtad menurut fiqh dan perUndang-undangan
di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui alasan atau dasar dan pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Salatiga pada kasus gugat cerai oleh masyarakat non muslim
dengan putusan fasakh. Ketiga, unutk mengetahui akibat hukum karena putusan
fasakh. Metode yang digunakan adalah penelitian kasus (case study) yaitu suatu
penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam tetapi memiliki sifat
penelitian kasus yang lebih mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah pertama,
konsep fasakh perkawinan menurut fiqh didasarkan pada Kitab Al-Muhadzdzab Juz II
halaman 54. Fasakhnya suatu perkawinan karena murtad tidak memerlukan keputusan
Hakim, yaitu fasakh atau batal seketika itu juga, sedangkan dalam KHI pasal 116 (h)
bahwa, “putusnya perkawinan dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan ketidakrukunan di dalam rumah tangga. Kedua, alasan Hakim
Pengadilan Agama Salatiga menerima suatu perkara perceraian non muslim bukanlah
orangnya melainkan status perkawinannya. Dasar hukum dan pertimbangan Hakim
adalah didasarkan pada pasal 116 (h), pasal 3 KHI, pasal 1 UU No. 1 tahun 1974,
pasal 19 (f),dan PP No. 9 tahun 1975. Ketiga, akibat hukum karena putusan fasakh
maka kembali ke akibat hukum thalaq yang tercantum dalam pasal 149 KHI.
9
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan memakai pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah
suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu AlQur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan. Pendekatan
yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yurisprudensi.
Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka.
Penelitian yurisprudensi adalah penelitianyang mengkaji tentang putusanputusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan
Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua
putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan
sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses
eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai
putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.
2. Sumber Data
a. Data Primer
10
Data primer adalah data utama yang diperoleh dari sumber-sumber
primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut berupa
kata-kata, tindakan, selebihnya sumber data tertulis seperti dokumen
(Moleong. 2008:157). Macam-macam data primer sebagai berikut:
1) Dokumen
Dokumen artinya barang-barang tertulis seperti buku-buku,
majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya (Arikunto, 2010:201). Dokumen biasanya dibagi atas
dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong, 2008:217). Dokumen
dalam penelitian yang dipakai adalah dua putusan tersebut Dalam
penelitian ini setiap tahun tertulis data-data di Pengadilan Agama
Salatiga yang berkaitan dengan penelitian seperti : buku register
perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian.
Dokumen utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
putusan perceraian yang di mana putusan tersebut merupakan putusan
Pengadilan Agama sebagai Tingkat I dan suadh incrah karena setelah
putusan, tidak ada lagi upaya banding.
2) Informanatau Responden
Informan atau respondenadalah orangyang bisa memberikan
informasi dan keterangan tentang suatu fakta atau pendapat dalam
bentuk tulisan (Arikunto, 2010:188), yaitu berupa jawaban lisan
11
melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket (Arikunto,
2010:172).
Informan dalam penelitian ini adalah Ketua majelis hakim yang
mengadili perkara di Pengadilan Agama Salatiga dan Wakil Penitera
Pengadilan Agama Salatiga.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli
memuat informasi atau data dalam penelitian. Sumber data sekunder dapat
berupa buku atau majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi
(Moleong, 2008:159).
3. Prosedur Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasiadalah
suatu
cara
pengumpulan
data
dengan
jalan
pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian.Observasi dapat
dilakukan dengan tes, kuesinoer, rekaman gambar, rekaman suara
(Arikunto, 2010:199). Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu
Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama
Salatiga. Observasi dilakukan dengan ikut serta dalam sidang perceraian.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah mengumpulkan data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa buku-buku, majalah,peraturan-peraturan, notulen
12
rapat, catatan harian (Arikunto, 2010:201), benda-benda peninggalan
seperti prasasti dan simbol-simbol (Arikunto, 2010: 202).
Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengambilan
data tentang perceraian oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Salatiga
dengan perkara cerai salah satu murtad yaitusalinan putusan No. 138/Pdt.
G/2006/PA. SAL dan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL.Bukti otentik yang
dipakai penggugat dan tergugat adalah akta nikah.
c. Wawancara (Interview)
Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu
yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186)untuk memperoleh
informasi dari terwawancara atau interviewee (Arikunto, 2002:132).
Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengadilan
Agama, Ketua majelis hakim, Wakil Panitera Pengadilan Agama Salatiga.
4. Analisis Data
Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untul menganalisa (data
analysis) dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat diambil
suatu kesimpulan yang kongkrit tentang permasalahan yang diteliti dan
dibahas (Arikunto. 2010:278).
Metode analisis data yang digunakan adalah metode komparatif.
13
Metode komparatif disebut juga penelitian komparasi yaitu menemukan
persamaan-persamaan
dan
perbedaan-perbedaan
dan
membandingkan
persamaan atau perbedaan tersebut terhadap pandangan orang, group atau
negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa ataupun ide-ide (Arikunto,
2010:310).
Dalam penelitian ini yang dikomparatifkan adalahputusan-putusan
Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah
Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebagai bahan analisis data adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan; KHI; PP No. 9 tahun 1975; UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU
No. 50 tahun 2009 jo Pasal 14 s.d 36 PP No. 9 tahun 1975.
5. Tahap-Tahap Penelitian
Setelah peneliti menentukan tema dan judul yang akan diteliti,
kemudian peneliti melakukan tahapan observasi pendahuluan ke Pengadilan
Agama Salatiga yaitu memperoleh salinan putusan perkara. Selanjutnya
bertanya pada panitera tentang perkara perceraian khususnya perkara cerai
talak bagi suami yang riddahdi Pengadilan Agama Salatiga secara praktek.
Tahapan berikutnya adalah melakukan wawancara dengan Ketua majelis
hakim perkara tersebut.
14
H. Sistematika Penulisan
Secara sistematis penulisan penelitian ini adalah akan disusun sebagai berikut:
BABPertamaberisi pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka,
metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB Keduaberisiteori perceraian meliputi: Perceraian menurut fiqh yang
diantaranya membahas tentang pengertian, dasar hukum, bentuk-bentuk perceraian,
sebab-sebab terjadinya perceraian, serta akibat perceraian. Kemudian perceraian
menurut perundang-undangan baik menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, dan KHI yang diantaranya membahas tentang
pengertian, sebab dan alasan perceraian, tata cara perceraian serta akibat perceraian.
Selanjutnya fasakh ditinjau dari fiqh dan perundang-undangan yang diantaranya
membahas pengertian fasakh, sebab-sebab terjadinya fasakh, bentuk-bentuk fasakh,
perbedaan fasak dengan talak, akibat fasakh dan fasakh sebagai alasan perceraian.
Dan yang terakhir murtad sebagai alasan fasakh yang diantaranya membahas
pengertian murtad, hukum murtad, murtad sebagai alasan perceraian.
BAB Ketigaberisi hasil penelitian dan pembahasan meliputi: gambaran umum
Pengadilan Agama Salatiga, administrasi berperkara di PA Salatiga, putusan
kasusgugatan perceraian karena salah satu pihak murtad di PA Salatiga.
15
BAB Keempatanalisis databerisi analisis data yaitu penanganan kasus gugat
cerai karena murtad, perbedaan putusan No. 138/Pdt.G/2006/PA. SAL dan putusan
No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL, implikasi putusan perceraian karena murtad.
BAB Kelimapenutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
16
BAB II
TEORI PERCERAIAN
A Perceraian menurut Fiqh
1. Pengertian Perceraian
Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau
meninggalkan, melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu
riil
atau
maknawi
seperti
tali
pengikat
perkawinan
(Supriatna,
2009:19).Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitab Al-Fiqh „ala alMadzahib Al-Arba‟ah )‫اأال ب ة‬
‫)أا هاع ًاأا ذأ‬talaq menurut istilah adalah:
‫أِد َدزأاَدةُراأانِّن َد َداا وْل ا ُر ْل َد ُرناا َدا ًة ِدهابِد َد ْل ٍظ َد ْل ُرىْل ا ٍظا ا‬
“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan lafaz khusus” (Al-Jaziri, 1972:861)
Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad
perkawinan sehingga istri sudah tidak halal lagi bagi suami, seperti talak yang
sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya
berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan istri, yaitu
dalam talak raj‟i dapat mengurangi pelepasan istri (Supriatna, 2009:20).
Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian
yang sama dengan talak dalam istilah fiqh yang berarti bubarnya hubungan
nikah (Harjono, 1987:234).
17
Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam
senantiasa
mengandung
pendidikan,
yakni
pendidikan
untuk
tidak
mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan
perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup. Hanya
kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi
berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai
suami istri. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami istri dengan
kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta
mempunyai akibat bagi suami istri tersebut.
2. Dasar Hukum Perceraian
Tentang hukum perceraian ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar di antara semua
itu adalah yang menyatakan bahwa perceraian itu “terlarang”, kecuali karena
alasan yang benar. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah golongan
Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu:
‫اا‬
‫اا ِد ْل َد ا ٍظا‬
‫قَد َدلا َد اضُرىْل لُراهللاِدا َد‬
‫اَد َد نَد اُرا ُر َّقا َدذ َّقوأ ٍظ‬:‫ص َدًاهللاا َدع َد ْلُ ِدها َدو َدض َد َدما‬
Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka
merasai dan bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan cerai).
Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan
kawin adalah salah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi
18
tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan cerai
yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istri, atau sudah tidak
memiliki cinta dengan suami. Tetapi jika tidak ada alasan apapun berarti kufur
terhadap nikmat Allah dan jahat kepada istri, maka karena itu dibenci dan
terlarang.
Golongan Hambali menjelaskan secara terperinci tentang hukum talak
dalam Islam adalah wajib, haram, mubah dan sunnah (Thalib, 1993:99):
a. Talak wajib
Hukumnya talak wajib ada dua macam yaitu pertama talak yang
dijatuhkan oleh hakam (penengah) karena perpecahan antara suami istri sudah
sedemikian rupa dan menurut hakam talaklah jalan keluar yang paling baik
sebagai upaya penyelesaian perselisihan antara suami istri (Sabiq, 1980:9).
Kedua, talak wajib dijatuhkan oleh hakimketika suami bersumpah illa‟
dan telah berlalu empat bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada istrinya
dengan membayar kafarah sumpah lebih dahulu dan istri akan mendapatkan
madharat (Supriatna, 2009:24). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S
Al-Baqarah: 226-227

‫ا‬
19
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat
bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
b. Talak sunnat
Talak sunnat yaitu dikarenakan istri mengabaikan kewajiban kepada
Allah, seperti shalat dan sebagainya padahal suami tidak mampu memaksanya
agar istri menjalankan kewajibannya atau istri kurang rasa malunya. Dalam
hal keadaan seperti ini suami tidak salah untuk bertindak keras kepada
istrinya, agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya
untuk bercerai. Sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S
An-Nisa:19


‫ا‬
19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu.
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
20
Hukumnya sunnat yaitu jika suami tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi
kewajibannya
(nafkah),
atau
perempuan
tidak
menjaga
kehoramatan diri (Rasjid, 1986:402).
c. Haram
Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan,sedangkan istri
dalam keadaan suci atau keadaan haid tetapi pada masa suci tersebut istri
sudah digauli (Saleh, 2008:320). Diharamkan karena merugikan bagi suami
dan istri, dan tidak adanya kemashlatan yang mau dicapai dengan perbuatan
talak itu. Jadi talaknya haram, seperti haramnya merusakkan harta benda
(Sabiq, 1990:10). Sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
‫ا َدراأا َدا ا‬
‫ص َدًاأااُرا َدع َد ْلُ ِدها َدوا َدض َّق َدما االَدا َد‬
‫قَد ا َدلا َد اضُرىْل الُراأااِدا َد‬
‫ا َدرا َد ا َدو َداالا ِد‬
Rasulullah saw bersabda: “Tidak (boleh) berbuat membahayakan dan tidak
(boleh) membalas dengan bahaya.”
d. Makruh
Yaitu hukum asal dari talak (Rasjid, 1986:403). Jika suami
menjatuhkan talak kepada istri yang salehah dan berakhlak yang baik, karena
hal yang demikian dapat mengakibatkan istri dan anak terlantar serta akan
menimbulkan kemadharatan. Atas dasar alasan ini yang menjadikan hukum
talak menjadi makruh.
Dalam riwayat lain dikatakan talak serupa ini dibenci
‫ض ْلاا َد َد ا ِدلاأااَّقًاأااِد ْل‬
‫اا‬
‫اأا َد َدا ُرا‬
‫ص َدًاأااُراا َدع َد ْلُ ِدها َدوا َدض َد َدماأَدا ْلب َد ُر‬
‫اقَد َدلا َد ضُرىلُراأااا َد‬
21
Nabi saw bersabda: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
talak.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
3. Bentuk-Bentuk Perceraian
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan
suami istri atau yang disebut dengan perceraian. Putusnya perkawinan itu ada
dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang
berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4
kemungkinan sebagai berikut:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah
seorang suami istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir pula
hubungan perkawinan. Walaupun dengan kematian, hubungan suami istri
tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yamg suaminya
telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru
dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya telah habis.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan
dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam
bentuk ini disebut talaq ‫ا)ا‬
‫)أا‬. Talaq adalah perbuatan yang halal tapi
paling dibenci oleh Allah swt, hukum talaq lebih terperinci sudah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:231
22



‫ا‬
231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian,
Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi
pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak) adalah sebagai berikut:
1) Perceraian ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali kepada istri
setelah ditalak.
(a) Talak Raj‟I yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk
kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istri dalam masa iddah,
baik istri bersedia dirujuk maupun tidak tanpa akad nikah baru
(Wasman, 2011:92).
(b) Talak Ba‟in adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami
untuk rujuk terhadap istrinya. Apabila suami ingin kembali
23
kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang
baru yang memenuhi unsur dan syarat pernikahan. Talak ba‟in
menghilangkan tali ikatan suami istri.
2) Bentuk perceraian yang ditinjau dari waktu ikrar talak sebagai berikut:
(a) Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan perintah Allah SWT
dan Rasulullah SAW, yaitu talak yang dilakukan ketika istri
dalam keadaan suci dan belum disetubuhi kemudian dibiarkan
sampai selesai menjalankan masa iddahnya (Wasman, 2011:95).
(b) Talak Bid‟I adalah talak yang dilarang dan menyalahi ketentuan
agama, yaitu seperti mentalak tiga kali secara terpisah-pisah
dalam satu tempat atau satu waktu, atau juga talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam
keadaan suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut
(Wasman1, 2011:96).
3) Bentuk perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak
terhadap istrinya.
(a) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
dengan ucapan lisan di hadapan istrinya dan istri mendengarkan
secara langsung ucapan suaminya itu.
(b) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri memahami isi
24
dan maksud dari tulisan tersebut. Menurut Sayyid Sabiq syarat
sah talak secara tertulis bahwa tulisan harus jelas, tegas dan nyata
ditunjukkan oleh suami terhadap istri secara khusus.
(c) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang
tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama
dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu
jelas dan meyakinkan. Para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat
sah bagi tuna wicara.
(d) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
kepada istri melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam
hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang
menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak tersebut (Sabiq,
1980:27).
c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu
yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak
berkehendak. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si
istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan
ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putus perkawinan dengan
cara ini disebut khulu‟(‫(أا ع‬. Hukumnya khulu‟ menurut jumhur ulama
adalah boleh atau mubah.
Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:229
25



‫ا‬
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir
tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan
tidak
dapatnya
perkawinan
hubungan
dalam
perkawinan
bentuk
ini
itu
disebut
dilanjutkan.
Putusnya
fasakh) ‫()أا ط‬Syarifuddin,
2006:197).
Sebagaimana yang tercantum dalam Hadist Nabi saw yang diriwiyatkan
oleh Imam Bukhari, yang isinya sebagai berikut:
26
‫ا َدٍ َد‬
‫ت)ا ُر تَّق َد ٌم‬
‫قا َدع َد ْلُ ِدها‬
‫ا( ُر ُ َدَّقر ْل ابَد ِدر َد ُر َدع َدًازَد وْل ِد هَد ِدا ْلُنَد ا َدعتَد َد ْلا‬:‫ت‬
‫اهللاُرا َدع ْلنهَد قَد اَد ْلا‬
‫َدوع ْلَدنا َدع اِد َد ةَدا َد ِد‬
‫ا( َد َد ُر ًّةرأ)ا‬:‫ا( َد َّقنازَد وْل َد هَد ا َد نَد ا َدع ْلب ًةأ)اا َدوفِدٍا ِد َدوأََد ِدة َدع ْلنهَد ا‬: ‫اواِد ُر ْلط ِد ِدما َدع ْلنهَد‬
‫فِد َد‬
‫ٍاا ِد اَ ِد‬
‫جاطَد ِدى ْلَ ِد َد‬
‫شا ِدع ْلن ْلَدأابُر َد ِدٌِّن ا َد َّقهُرا َد نَد ا َدع ْلب ًةأ‬
‫جاو َد‬
‫َدو ْلأْلَد َّقولُرا َد ْلحبَدتُر َد‬
‫ص َّقاع ِدَدناأب ِدْلنا َدعبَّق ِد‬
“Aisyah Radiyallahu „anhu berkata: Barirah disuruh memilih untuk
melanjutkan kekeluargaan dengan suaminya atau tidak ketika ia
merdeka. Muttafaq Alaihi dalam hadits panjang. Menurut riwayat
Muslim tentang hadits Barirah bahwa suaminya adalah seorang
budak. Menurut riwayat lain, suaminya orang merdeka. Namun yang
pertama lebih kuat Ibnu Abbas Radiyallahu „anhu riwayat Bukhari
membenarkan bahwa ia adalah seorang budak”. (Tim Pustaka
Hidayah, 2008:1035).
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang
dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan
hubungan perkawinan itu secara hukum syara‟. Terhentinya hubungan
perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk antara lain sebagai berikut:
a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya
dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami
telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan perkawinan dalam
bentuk ini disebut zhihar ( ‫)أا ه ا‬. Hukumnya zhihar adalah haram sesuai
dengan firman Allah swt Q.S Al-Mujadilah:2

‫ا‬
27
2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar
kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya
hubungan perkawinan dalam bentuk kini disebut ila‟. Hukumnya ila‟
adalah boleh atau mubah.Secara terperinci ada dua macam hukum ila‟
yaitu hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada istrinya, dan
hukum duniawi yaitu perceraian setelah empat bulan menunggu sejak
mengucapila‟ (Supriatna, 2009:36).
Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:226-227

‫ ا‬
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat
bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya),
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
227.dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah
atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai proses
28
li‟an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam
bentuk ini disebut li‟an (Syarifuddin, 2006:198).
Dasar hukumnya adalah Al-Qur‟an Q.S An-Nur:6-10




‫ا‬
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia
Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orangorang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya
itu Termasuk orang-orang yang benar.
10. dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan
(andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana,
(niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).
4. Sebab-Sebab Terjadinya Talaq (Putusnya Perkawinan)
Ada tiga hal yang menjadi penyebab putusnya suatu perkawinan di
mana apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan
29
akan terjadi. Akan tetapi, Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus
dilakukan menghadapi kemelut dari tiap penyebab tersebut agar tidak sampai
terjadi perceraian.Sebab-sebab terjadinya talak atau perceraian adalah sebagai
berikut:
a. Nusyuz Istri
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara
etimologi berarti meninggi atau terangkat. Secara definitif nusyuzdiartikan
dengan kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa
yang diwajibkan Allah atasnya (Syarifuddin, 2006:191).
Nusyuzmenjadi awal penyebab perceraian karena istri yang demikian
telah lalai akan kewajiban dalam rumah tangga atas kehidupan suami dan
istri. Atas perbuatan itulah pelaku mendapat ancaman diantaranya gugur
haknya sebagai istri dalam masa nusyuz tersebut. Nusyuz itu haram
hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui
Al-Qur‟an dan Hadits. Allah menetapkan beberapa cara menghadapi
kemungkinan nusyuznya seorang istri dalam Q.S An-Nisa:34


30

‫ا‬
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.
b. Nusyuz suami
Nusyuz suami yaitu pendurhakaan suami kepada Allah karena
meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Nusyuz suami terjadi bila ia
tidak melaksanakan kewajibannya, baik yang bersifat materi atau nafaqah
dan atau yang bersifat non materi di antaranya mu‟asyarah bi al-ma‟ruf
yaitu menggauli istrinya dengan baik.
Tidak menggauli istri dengan baik maksudnya adalah segala sesuatu
yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku
kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan
badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang yang bertentangan
dengan asas pergaulan baik (Syarifuddin, 2006:193).
31
Nusyuz suami merupakan salah satu penyebab perceraian karena pihak
istri dirugikan dan jelas di sini keharmonisan rumah tangga tidak akan
terwujud dan mengarah pada perceraian. Adapun tindakan istri apabila
menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan oleh Allah dalam Q.S
An-Nisa:128


‫ا‬
128. dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
c. Syiqaq
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan
kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami
dan istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini
timbul apabila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban
yang mesti dipikulnya.
Syiqaq merupakan tahap perselisihan antara suami dan istri yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Bila terjadi konflik
32
keluarga seperti ini Allah swt memberikan petunjuk untuk menyelesaikanny.
Hal ini terdapat dalam firman Allah swt Q.S AN-Nisa:35

‫ا‬
35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak
yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut
5. Akibat Perceraian
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala
bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya sebagai akibat dari
perceraian tersebut antara lain:
a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah, tidak
boleh memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaiman yang
berlaku antara dua orang yang saling asing. Dengan kata lain
mengembalikan status semula yang berarti haram ketika masih bergaul.
b. Keharusan memberi mut‟ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut‟ah
sebagai pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya
33
jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun
diimbangi dengan suatu pemberian yang disebut mut‟ah. Mengenai hukum
mut‟ah sendiri berbeda pendapat antara golongan Zahiriyah dan golongan
ulama Malikiyah.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut‟ah itu
hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mut‟ah itu
wajib, dasar wajibnya adalah Q.S Al-Baqarah:241
‫ا‬
241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut'ahmenurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa.
c. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama
masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, yang menurut
sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya didak dapat
membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya,
harus dilunasi setelah bercerai.
d. Berlaku ketentuaniddah atas istri yang dicerai. Iddah berasal dari kata addawa‟uddu – „idatan dan jamaknya adalah „iddad. Secara (etimologi) berarti
menghitung atau hitungan. Secara istilah berarti nama bagi suatu masa bagi
seorang wanita menunggu untuk perkawinan selanjutnya setelah wafat
suaminya atau karena perpisahan (perceraian hidup) dengan suaminya.
34
Dasar hukum „iddah sendiri telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah:228 dan
234, Ath-Thalaq:4(Supriatna, 2009:68).
e. Hadhanah yaitu pemeliharaan terhadap anak. Secara bahasa hadhanah
berarti erat, secara istilah berarti memelihara, mengasuh, mendidik anakanak yang masih kecil untuk menjaga kepentingannya dan melindunginya
dari bahaya yang mengancamnya karena dia belum bisa berdiri sendiri.
Dasar ajaran tentang hadhanah adalah Q.S An-Nisa:9

‫ا‬
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar.
B. Perceraian Menurut Perundang-undangan
1. Pengertian Perceraian
Dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan
dapat putus karena a. kematian, b. perceraian dan c. atas putusan
pengadilan.Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah
jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk
sebab perceraian, UUP memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci,
35
dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan
adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang
lama.
Dalam KHI juga disebutkan tentang putusnya perkawinan pada pasal
113 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas
putusan Pengadilan. Kemudian pada pasal 114 yaitu bahwa putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Dilanjutkan pada pasal 115 yaitu disebutkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Menurut PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No. 1 tahun
1974 dalam pasal 18 disebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada
saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.
2. Sebab dan Alasan Perceraian
UUP No. 1 tahun 1974 dan KHI memiliki persamaan dari hal sebab
putusnya perkawinan, hanya saja di dalam KHI alasan-alasan perceraian lebih
dijelaskan secara terperinci. UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 dan dalam KHI
Pasal 113 sebab putusnya perkawinan ada tiga yaitu kematian, perceraian dan
atas putusan Pengadilan.
36
Sedangkan untuk alasan perceraian dalam KHI terdapat pasal 116,
perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Alasan perceraian yang terdapat pada PP No. 9 tahun 1975 diatur
dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa perceraian dapat terjadi karena alasanalasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi,
pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
37
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
3. Tata Cara Perceraian
Tata cara perceraian diatur di dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 39
dan pasal 40. Dalam pasal 39 disebutkan bahwa:
a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak
b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar
suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Selanjutnya dalam pasal 40 disebutkan sebagai berikut:
a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan
b) Tata cara menjalankan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri
Dalam KHI diatur tentang tata cara perceraian di bagian kedua dari
pasal 129 sampai dengan pasal 148. Pasal 129 menyebutkan bahwa seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan
baik lisan atau tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal istri atau disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang
untuk keperluan itu. Pasal 130 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan
tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.
38
Pasal 131 menjelaskan secara terperinci tentang tata cara perceraian
yaitu sebagai berikut:
a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah
pihak dan ternyata cukup alasan, untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga.
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talak.
c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri
oleh istri atau kuasanya.
d) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo enam bulan
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikar talak
baginya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh,
e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama
membuatpenetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang
merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri.
Pasal 132 berisi tentang tata cara gugatan yang dilakukan oleh pihak
istri. Pasal 133 berisi tentang gugatan perceraian berdasarkan alasan pasal 116
huruf b. Pasal 134 tentang tata cara gugatan perceraian berdasarkan pasal 116
huruf f. Pasal 135 dijelaskan tentang gugatan perceraian yang dimaksud dalam
pasal 116 huruf c.
Pasal 136 berisikan tentang hal-hal sebagai berikut:
a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin ditimbulkan Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami
istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
39
b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
1. menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami.
2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri atas barang-barang yang menjadi hak milik suami
atas barang-barang yang menjadi hak istri.
Sedangkan pasal 137 yaitu gugatan perceraian gugur apabila suami
atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai
gugatan perceraian itu. Pasal 138 berisi tentang aturan tempat tinggal baik
penggugat ataupun tergugat. Untuk tata cara pemeriksaan gugatan dan sidang
perceraian diatur dalam pasal 141, 142, 143, 144 dan 145. Pembacaan putusan
dan penjelasan tentang salinan putusan diatur dalam pasal 146, 147, dan pasal
148.
Menurut pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 menjelaskan tentang perihal
tata cara perceraian sebagai berikut seorang suami yang telah melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya,
mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan alasanalasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu. Dilanjutkan pada pasal 15 bahwa Pengadilan yang bersangkutan
mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga
istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
40
dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 dan pasal 17 menjelaskan tentang
ketentuan sidang di Pengadilan. Untuk gugatan perceraian dan jalannya sidang
di Pengadilan diatur lebih terperinci pada pasal 20 sampai dengan pasal 36.
4. Akibat Perceraian
Ditinjau dari UUP No. 1 tahun 1974 pasal 41, akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Ditinjau dari KHI BAB XVII bagian kesatu pasal 149 yaitu bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh
apabila qobla al dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
41
Selanjutnya menurut PP No. 9 tahun 1975 pasal 24 ayat 2, selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak
istri.
C. Fasakh
1. Fasakh menurut Fiqh
Putusnya perkawinan selain disebabkan karena talak, juga dapat
disebabkan karena fasakh. Meskipun talak dan fasakh sama-sama dapat
menyebabkan putusnya suatu perkawinan namun latar belakang penyebabnya
dan dampak hukum yang ditimbulkan berbeda.
a. Pengertian Fasakh
Secara bahasa (etimologis), fasakh berasal dari kata al-faskh yang
berarti batal atau fasid atau rusak. Sedangkan secara definitif konseptual
(terminologis) adalah mencabut hukum dari asalnya hingga seakan-akan tidak
pernah terjadi(Supriatna, 2009:60). Sebagaimana yang diutarakan oleh
Wahbah az Zuhaili, fasakh berarti:
42
‫أَد ْلا ُر َدرأ ُرغتَد ْل ِدر ْلَقًةاو ِدُِد َدطبَد ُر اأ ْل‬
‫اوأا ّسوْل َد ِدةاا( ) َدوقَدىْل ٌم‬
‫عا ا‬
‫د َد‬
‫أدابَد ْلُنَد اأا ّسوْل ِد‬
‫أداع ْلَدنا َد بَد ِدطاأا ّس َدو ِد‬
‫الفِد َدر ِد‬
‫ا َدر َد أَد ْلَُد ْل ِد َد‬
‫ًةاوأاَّقتِد ْلٍا‬
‫اثافَدَُد ْل ِد ُراأا َّقس َدوأ ُر نَد ْل َدطهُرا َدوْل عَدناطَد ِدرَْلق(ب)اأَد ْلْل ْلشَُد ِدءا َد ِدوأَد ِدْلَداْل َدأ ِد‬
‫ِد‬
‫ثاأَداّتِد ْلٍا َدأ ِدٍاالَد ِداق َد‬
‫َد َد ْل ا اَدًاأارّأبِد َد ِدةاأا َّقسوْل ِد َُّقةَد َدالَُر ِد َد ُرنا ِدَُد ْلطتَد ِد َّقار‬
“batal, putus, dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri
yang disebabkan oleh (a) terjadinya kerusakan atau cacat yang terjadi
pada akad nikah itu sendiri maupun oleh (b) hal-hal atau peristiwaperistiwa yang datang kemudian yag menyebabkan ikatan perkawinan
itu tidak dapat dilanjutkan”. (Az Zuhaili, 1989:349).
Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnyaAl-Ahwal AlSyakhshiyyahmenyebutkan:
‫أَدا َد ْلط ُراأا َّقبِد ْلُ َد ةَدا ِدَُد َد ْلُ ُرر َد ْل رُروْل فَد ٍظةا َدوْل َُر َد ِد َد‬
‫ُقا‬
‫اث َداال ِدا ًة ُرنَد َد ِدِل ْلنا َدذأاِدكَداأِد ْلضتُر ِد َدرأ ُر َد ْل ِد ِد‬
‫اأا َد ْل َداأاَّق ِدذٌا َد َد َد ْل‬
‫ْلرافَد ِدةا َدش ْلٍ ٍظءأاتِدٍا ُر َد ِدا ُر ْل‬
‫اأا َد ْل َدابَد ِدط اًة‬
‫أد وْل ُر َدى َدتِد ْلُ َد ةٌمااِد َد ِد‬
‫أَدا َّقس َدو ِد‬
Artinya:
“fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi
belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya
pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu
yang mengiringi akad yang menjadikan akad tersebut tidak sah” (Abu
Zahroh, 1957:347).
Dari definisi-definisi di atas, penulis memiliki kesimpulan tentang
pengertian fasakh. Fasakh dalam perkawinan yaitu membatalkansuatu
hubungan ikatan perkawinan antara suami dan istri karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat dan rukun ketika berlangsung akad nikah. Fasakh juga bisa
43
terjadi karena hal-hal yang lain yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan perkawinan.
b. Sebab-Sebab Terjadinya Fasakh Dalam Suatu Perkawinan
Menurut fiqh suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah dapat
mengalami fasakh atau rusak tanpa harus adanya keputusan Hakim dengan
dua sebab utama yaitu sebagai berikut:
1) Rusaknya atau adanya cacat ketika akad nikah dilangsungkan.
Rusaknya akad pernikahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut:
(a) Apabila setelah perkawinan berlangsung di kemudian hari
diketahui bahwa ternyata antara suami istri adalah masih muhrim.
Menurut para fuqaha, ketika keduanya mengetahui bahwa mereka
ternyata masih muhrim maka disaat itu juga akad nikah
(perkawinan) mereka batal dengan sendirinya tanpa perlu
mengcapkan ikarar talak dan juga tanpa adanya putusan hakim.
(b) Apabila wali (ayah atau kakek) menikahkan anak laki-laki atau
perempuan yang masih di bawah umur maka setelah pernikahan
terjadi dan keduanya sudah menjadi dewasa, maka keduanya
berhak secara bebas untuk mengakhiri pernikahan tersebut.
2) Munculnya suatu penghalang setelah berlangsungnya perkawinan.
44
(a) Setelah pernikahan (rumah tangga) berlangsung, salah satu dari
suami istri itu murtad (keluar dari agama Islam) dan
pernikahannya batal dengan sendirinya.
(b) Jika pasangan suami istri dahulu menganut agama non Islam
kemudian istri masuk Islam maka pernikahan batal karena wanita
muslimah tidak boleh nikah dengan lelaki musyrik. Apabila suami
masuk Islam dan istri menganut non Islam maka pernikahan tidak
batal sebab lelaki muslim boleh nikah dengan wanita ahlulkitab
(Supriatna, 2009:60).
c. Bentuk-Bentuk Fasakh
Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya:
1) Fasakh terjadi karena rusak atau cacatnya akad pernikahan yang
penyebabnya diketahui setelah pernikahan berlangsung.
2) Fasakh terjadi karena istri dimerdekakan dari status budak sedangkan
suaminya tetap berstatus budak dan istri berhak untuk fasakh.
3) Fasakh yang terjadi karena perkawinan yang dilakukannya adalah
nikah mut‟ah.
4) Fasakh yang terjadi karena menikahi wanita yang masih dalam iddah.
Bentuk-bentuk fasakh yang memerlukan campur tangan hakim atau
Pengadilan antara lain adalah:
45
1) Fasakh yang disebabkan si istri merasa tidak sekufu (setara, sepadan)
dengan suaminya.
2) Fasakh yang disebabkan karena li‟an yang berarti saling melaknat.
Secara istilah adalah kesaksian-kesaksian yang diperkuat dengan
sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami atau istri
menuduh istrinya berzina.
3) Fasakh yang terjadi karena istri masih musyrik dan tidak mau masuk
Islam sedangkan istri menuntut perceraian dari suami.
4) Fasakh akibat salah satu dari suami atau istri menderita penyakit gila
(Supriatna, 2009:62).
d. Perbedaan antara Fasakh dengan Talak
Sebagaimana telah sedikit disinggung, antara talak dan fasakh adalah
sama-sama dapat memutuskan atau mengakhiri sebuah pernikahan namun
antara keduanya memiliki beberapa perbedaan antara lain sebagai berikut:
Pertama, dari segi hakikatnya. Fasakh berarti pembatalan akad nikah
serta menghilangkan seluruh akibat pernikahan secara otomatis ataupun
sekaligus. Talak artinya upaya mengakhiri suatu pernikahan (rumah tangga)
dan seluruh akibat-akibatnya serta baru habis apabila talak yang dijatuhkan
itu adalah talak tiga.
Kedua, dari segi penyebabnya. Fasakh adakalanya disebabkan oleh
adanya cacat pada akad nikah ketika pernikahan dilangsungkan atau
46
disebabkan oleh munculnya hal-hal tertentu yang menyebabkan pernikahan
tersebut
tidak bisa dilanjutan. Talak merupakan hak suami yang
dipergunakan atas kehendak sendiri sementara akad nikah itu sendiri sama
sekali tidak ada akadnya.
Ketiga, dari segi ada atau tidaknya kehendak untuk melepaskan ikatan
pernikahan. Unsur kehendak dalam fasakh pada umumnya tidak ada kecuali
dalam kasus khiyar al-bulug. Dalam talak, unsur kehendak untuk
menjatuhkan talak dengan tujuan untuk mengakhiri pernikahan sangat
menentukan.
Keempat, dari segi akibat atau dampak hukum, Putusnya pernikahan
akibat fasakh tidak mengurangi bilangan talak. Sedangkan putusnya
pernikahan akibat talak yang membawa akibat berkurangnya bilangan talak
yang dimiliki suami (Supriatna, 2009:64).
2. Fasakh Menurut Perundang-undangan.
Undang-undang di Indonesia juga mengatur tentang batalnya
perkawinan baik UUP No. 1 tahun 1974, KHI maupun PP No. 9 tahun 1975.
a. Pengertian Fasakh
Dalam BAB VI Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya
dapat diputuskan oleh Pengadilan.
47
Penulis tidak menemukan definisi pembatalan perkawinan dari PP ini,
namun dari pasal tersebut penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena
sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan dan
harus melalui keputusan sah Pengadilan.
Dalam UU perkawinan tidak disebutkan tentang istilah fasakh
melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pengertian kata dapat pada pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak
batal yaitu tergantung apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu,
menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak menentukan lain.
Sebagaimana dalam PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 1 tahun 1974, di
dalam KHI juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh,
melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan
pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, tetapi dari
penjelasan-penjelasan pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan
suami dan istri sesudah dilangsungkan akad nikah yang disebabkan karena
syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Apabila setelah akad ditemukan rukun
48
yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak hanya batal tetapi tidak
sah.
b. Sebab-Sebab Fasakh
Di dalam UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan tentang sebab-sebab
pembatalan nikah dan berhubungan dengan pembatalan nikah. Pada pasal 22
dijelaskan perkawinan dapat batal apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat (pada pasal 6-12) untuk melangsungkan perkawinan. Maksud dari pasal
ini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh
Pengadilan apabila terbukti syarat dari para pihak tidak terpenuhi. Pasal 26
dan pasal 27 menjelaskan tentang sebab-sebab dibatalkannya suatu
perkawinan. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan tentang perkawinan dapat batal
karena tiga hal. Pertama, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah yang tidak resmi dan berwenang. Kedua, Wali dalam nikah
tidak sah atau di luar nasab. Ketiga, perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri
oleh dua orang saksi. Pembatalan dapat dimintakan oleh keluarga garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa, suami atau istri.
Pasal 26 ayat 2 menjelaskan tentang gugurnya hak untuk membatalkan
oleh suami atau istri yang terdapat pada pasal 26 ayat 1. Ada dua hal yang
menyebabkan gugur hak pembatalan nikah yaitu apabila pasangan suami dan
istri telah hidup bersama sebagai suami istri. Kedua, memiliki akte
49
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang
sehingga perkawinan tersebut harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27 ayat 1 menyebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat
mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah
ancaman yang melanggar hukum. Hak pembatalan nikah akan gugur termuat
dalam pasal 27 ayat 2 yaitu apabila terdapat tiga hal, pertama ancaman
berhenti. Kedua yang bersalah sangka menyadari keadaannya. Ketiga, dalam
jangka waktu enam bulan pasangan suami istri telah hidup bersama dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan pembatalan pernikahan.
Di dalam KHI juga dijelaskan tentang pembatalan perkawinan. Pada
bab XI pasal 70 menyebutkan sebab-sebab pembatalan nikah. Pembatalan
perkawinan dapat terjadi apabila yang pertama suami melakukan perkawinan
sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat
orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj‟i.
Kedua seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya. Ketiga
seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria
lain kemudian bercerai lagi dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
Kemudian keempatperkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungandarah,
semenda
dan
sesusuan
sampai
derajat
tertentu
yangmenghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:
50
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau
ayah tiri.
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan,
saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
Kelima yaitu istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri atau istri-istrinya.
c. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan
Akibat dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU No. 1
tahun 1974 pasal 28 yaitu batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku
sejak berlangsungnya perkawinan.Kedua putusan tidak berlaku surut terhadap
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau istri yang
bertindak dengan i‟tikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, orangorang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau istri yaitu
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i‟tikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap.
Dalam pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan
tidak akan memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya. Selain itu juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut kepada perkawinan yang batal
51
karena salah satu suami atau istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Selanjutnya pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh
hak-hak dengan beri‟tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian
Di dalam perundangan Islam maupun perundangan umum, fasakh bisa
terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah,
atau hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan
perkawinan. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad
nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan
kelangsungan perkawinannya. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi ketika akad nikah yaitu setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa
istri merupkan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami. Fasakh
yang datang setelah akad apabila salah seorang suami atau istri murtad dan
tidak mau kembali ke agama Islam, maka akadnya fasakh karena kemurtadan
yang terjadi belakangan.
Perkara-perkara lain yang mengaruskan untukfasakh bagi suami atau
istri kecacatan atau keaiban. Kemudian suami tidak sanggup memberi nafkah
kepada istri. Iatri memiliki hak untuk fasakh jika istri tidak mengetahui
keadaan kemiskinan suami saat akad. Perkara selanjutnya adalah suami
melakukan kekejaman. Perkara ini sudah jelas bahwa tujuan pertama
52
pernikahan sudah tidak terwujud. Suami yang meninggalkan tempat kediaman
bersama tidak diketahui ke mana perginya dan tidak diketahui hdup dan
matinya. Kemudian perkara yang terakhir adalah suami yang dihukum penjara
dapat dijadikan alasan untuk meminta fasakh karena dengan sebab ini
menimbulkan penderitaan bagi istri (Gazhali, 2006:89)
D. Murtad Sebagai Alasan Fasakh
1. Pengertian Murtad
Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti “kembali (kapada jahiliyah)”.
Riddah merupakan perbuatan kufur yang sangat keji dan menghapus semua
amal jika dilakukan terus-menerus sampai mati (Zainuddin, 1994:548). Kata
riddah merupakan isim masdar dari kata irridad yang secara harfiah berarti
“kembali”, “dikembalikan”, “berpaling”. “dipalingkan” (Soleh, 1994:9).
Sebagaimana yang termaktub dalam Q.S Al-An‟am:28
‫ا‬
28. tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka
dahulu selalu menyembunyikannya[466]. Sekiranya mereka dikembalikan ke
dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang
mengerjakannya. dan Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.
Menurut istilah Ensiklopedia Islam riddahmakna asal dari kembali
(ke tempat atau jalan semula), namun kemudian istilah ini dalam
53
penggunaannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau
keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah agama
selain Islam. Dari pengertian riddah dapat dikemukakan pengertian murtad
adalahorang Islam yang keluar dari agama Islam kemudian pindah (memeluk)
agama lain atau sama sekali tidak beragama (Nasution, 1992:696)
Murtad (riddah) adalah kembali ke jalan asal. Di sini yang
dikehendaki dengan murtad adalah kembalinya orang Islam yabg berakal dan
dewasa kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang
lain. Baik yang kembali itu orang lelaki maupun orang perempuan (Sabiq,
1984:168).
Allah berfirman dalam Q.S Ali-Imran:85 yang berbunyi:
‫ا‬
85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk
orang-orang yang rugi.
Dalam hal ini Imam Syafi‟i mempunyai dua pendapat yaitu pendapat
yang pertama, mengatakan bahwa bila ada orang kafir pindah ke agama
lainnya yang juga kafir, maka ia tidak dapat diterima kecuali masuk Islam
atau dibunuh. Kemudian pendaoat yang kedua mengatakan bahwa bila apabila
ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir tetapi sepadan
54
kualitasnya lebih tinggi, maka menurut pendapat Imam Syafi‟I ini setuju
terhadap hal tersebut.
Jika orang Islam murtad atau berpindah agama maka terdapatlah
perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah yaitu ada tiga:
1) Hubungan Perkawinan
Jika suami dan istri murtad, maka putuslah hubungan
perkawinan mereka. Karena riddahnya salah satu pihak merupakan
suatu hal yang mengharuskan suami istri berpisah. Dan bila salah satu
yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke Islam, maka untuk
mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka haruslah
memperbaharui lagi akad nikah dan mahar.
2) Hak Waris
Orang murtad tidak boleh mewarisi harat peninggalan kerabatkerabat muslimnya. Karena orang murtad itu adalah orang yang tidak
beragama. Jika ia tidak beragama, maka tentu saja tidak boleh
mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Dan bila ia
mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya diambil alih oleh para
pewarisnya yang beragama Islam.
3) Hak kewajibannya
55
Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap
orang lain, ia tidak boleh menjadi wali dalam akad nikah anak
perempuannya.
2. Hukum Murtad
Menurut Fiqh, hukum murtad adalah haram.Murtad (riddah) adalah
dosa besar yang dapat menghapus amal-amal shaleh sebelumnya. Dosa ini
pasti dibalas dengan hukuman yang setimpal di akherat. Allah SWT berfirman
dalam Q.S. Al-Baqarah:217
.....
‫ا‬
‫اا‬
....”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia
mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”
217.
Sebagaimana yang termaktub dalam Hadits HR. Bukhari:
‫اأهللاُرا َدو َد ِّنٍا َد ضُرىْل ل َّق‬
‫ئا ُر ْلط ِد ٍظم اََد ْل هَد ُر ا َد ْلناالا اَّقهَدا ِد َدل َّق‬
‫ُراهللاِد ا لَّقاأاابِدإِداْل َديا‬
‫الَدََد ِد َّقا َد ُرماأ ْل ِدر ٍظ‬
‫ص ا َدوأاخَّقُِّن ُر اأا َّقسأ ِدٍ ا َدوأا َد ِد ُر‬
‫اا ِد نَد اأا ِّنَ ِدناأاتَّق ِد ُر ااِد ْل َد اع ِدةا‬
‫حَد َد ٍظا‬
‫اأانَّق ْلصُر ابِد انَّق ْل ِد‬:‫ث‬
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan
bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa,
orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan
agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin” (HR. Bukhari
6878, Muslim 1676, Nasai 4016).
56
Hukuman murtad di dalam Fiqh adalah dibunuh. Hukuman ini berdasarkan
keputusan dari Nabi saw dan hal ini bukan pemikiran atau hasil ijtihad
manusia, apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum muslimin.
Sebagaimana yang ada pada hadits Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda:
‫َد ْلنابَد َّق ا َدلا ِد ََدنَدهُرافَد ْلقتُر ُرى اوُر‬
“Siapa yang mengganti agamanya bunuhlah dia” (HR.Bukhari 3017, Nasai
4059).
Adapun ketentuan diantara para ahli hukum bahwa tindak pidana ini
diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang. Karena pernyataan Nabi
ketika orang yang mengganti Agama harus dihukum mati, hal itu terjadi pada
musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik
bertindak disersi (pengkhianat negara), maka orang yang melakukan disersi
diperintahkan
untuk
dibunuh.
Itupun
diawali
dengan
upaya
untuk
menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam.
Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Anfal:38

‫ا‬
38. “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang
dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610]
Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap)
orang-orang dahulu ".
57
Konseptualisasi perbuatan murtad yang ada di dalam Al-Qur‟an dan
As-sunnah dipertemukan dengan pendekatan komplementatif dan kontradiktif.
Artinya kalau perbuatan murtad hanya diajukan kepada keyakinan dirinya
sendiri, tanpa mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk murtad, kondisi
negara sedang damai, serta orang lain tidak terganggu dengan kemurtadan
orang tersebut. Maka baginya tidak ada sanksi di dunia, malainkan hanya ada
sanksi yang bersifat ukhrawi (Munajat, 2009:163).
3. Murtad sebagai Alasan Perceraian
a. Menurut Perundangan.
Di dalam KHI dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan
karena murtad atau peralihan agama salah satu pihak murtad yang termaktub
dalam pasal 116 huruf (h) adalah perbuatan murtad yang dilakukan salah
seorang suami atau istri yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumahtangga. Dengan kata lain, apabila perbuatan murtad itu tidak disertai
dengan ketidakrukunan dalam rumahtangga, maka perbuatan murtad suami
atau istri tidak dapat dijadika alasan perceraian. Pada pasal 75 secara eksplisit
menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad.
Secara implisit pasal 75 memberikan pemahaman bahwa murtadnya salah
seorang suami atau istri membatalkan perkawinan, namun batalnya
perkawinan itu dihitung sejak dibatalkannya perkawinan itu saja bukan sejak
58
akad perkawinan. Sehingga dampak dari perkawinan tersebut, seperti anakanak yang lahir dalam perkawinan tetap diakui keabsahannya.
b. Menurut Fiqh
Putusnya perkawinan karena murtadnya suami atau istri dalam
pandangan fiqh dibedakan menjadi dua perbuatan murtad yaitu perbuatan
murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan
setelah dukhul(Ismail, 1998:231). Perbuatan murtad sebelum dukhul, akibat
hukum terhadap status perkawinan adalah putus seketika (ba‟in) dengan jalan
fasakh. Waktu putusnya perkawinan adalah sejak terjadinya perbuatan murtad
tersebut. Sedangkan akibat hukum perbuatan murtad setelah dukhul adalah
putus dengan fasakh. Waktu putusnya perkawinan tersebut adalah diberikan
waktu tenggang sampai berakhirnya masa iddah. Tetapi, ketika telah putus,
waktu putusnya perkawinan dihitung sejak terjadinya perbuatan murtad
tersebut.
59
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga
1. Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga.
Pengadilan Agama Salatiga terletak di Jl. Raya Lingkar Salatiga,
Dusun Jagalan Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga,
Jawa Tengah. Nomor telepon layanan publik yang dapat dihubungi adalah
(0298)325243. Website resmi dan akun resmi Pengadilan Agama Salatiga
adalah
www.pa-salatiga.go.id
dan
[email protected]
Pengadilan Agama Salatiga memiliki luas bangunan 1300m2 dan berdiri di
atas tanah seluas 5425m2. Batas-batas wilayah Pengadilan Agama Salatiga
sebelah utara adalah Kabupaten Semarang, sebelah timur Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Boyolali, kemudian sebelah selatan adalah
Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang, sebelah barat adalah
Kabupaten Semarang dan Kota Semarang (Tim Pengadilan Tinggi Agama
Semarang, 2014:63).
Sumber hukum formil dalam pembentukan Pengadilan Agama
Salatiga adalah Staatblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama di Jawa dan Maduradengan nama Raad Agama/penghulu Landraad.
60
Tentang perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama di Salatiga juga
didasarkan pada KMA RI (Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia)
No. 76 tanggal 10 Nopember 1983 tentang Penetapan Perubahan Wilayah
Hukum
Pengadilan
Agama.Wilayah
yurisdiksi
atau
daerah
hukum
PengadilanAgama Salatiga meliputi wilayah Kabupaten Semarang dan Kota
Salatiga (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63).
Kompetensi atau kewenangan Pengadilan Agama di Salatiga dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
Kompetensi relatif adalah kekuasaan atau dasar wilayah hukum dan tingkatan,
dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu
tingkatan. Kompetensi relatif dijelaskan dalam pasal 4 ayat 1UU No. 7 Tahun
1989 yang berbunyi, “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau
Ibu Kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
Kabupaten”.Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga meliputi
Pemerintahan Daerah Kabupaten Semarang yang terdiri dari 13 Kecamatan
dan 169 Desa. Wilayah Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan yaitu
Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, dan
Kecamatan Tingkir. Jumlah penduduk sebanyak 177.088 orang, dengan
rincian penduduk beragama Islam sebanyak 136.870 orang, penduduk
beragama Kristen Protestan sebanyak 30.193 orang,penduduk beragama
Katolik sebanyak 9.035 orang, penduduk beragama Hindu sebanyak 98 orang,
61
penduduk beragama Budha sebanyak 882 orang dan yang menganut
berdasarkan kepercayaan sebanyak 10 orang.
Wilayah Kabupaten Semarang terdiri dari 9 kecamatan yaitu
Kecamatan Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan
Getasan, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan, Kecamatan Suruh,
Kecamatan Pabelan dan Kecamatan Kaliwungu. Jumlah penduduk sebanyak
578.845 orang, dengan rincian penduduk beragama Islam sebanyak 423.347
orang, penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 100.452 orang,
penduduk beragama Katolik sebanyak 43.252 orang, penduduk beragama
Hindu sebanyak 7.216 orang, penduduk beragama Budha sebanyak 5.578
orang dan yang menganut berdasarkan kepercayaan sebanyak 114
orang.Masing-masing jumlah desa dalam setiap kecamatan diperinci sebagai
berikut wilayah Kecamatan Argomulyo terdapat 6 kelurahan, Kecamatan
Bancak terdapat 9 desa, Kecamatan Bringin terdapat 16 desa, Kecamatan
Getasan terdapat 14 desa, Kecamatan Kaliwungu terdapat 11 desa, Kecamatan
Pabelan terdapat 17 desa, Kecamatan Sidomukti terdapat 4 desa, Kecamatan
Sidorejo terdapat 6 desa, Kecamatan Suruh terdapat 17 desa, Kecamatan
Susukan terdapat 13 desa, Kecamatan Tengaran terdapat 15 desa, Kecamatan
Tingkir terdapat 5 desa dan Kecamatan Tuntang terdapat 16 desa (Tim
Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:68).
.
62
Untuk lebih dijelasnya disajikan dalam tabel 3.1
Tabel 3.1Wilayah Yurisdiksi atau Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga
No
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Wilayah
Kec. Argomulyo
Kec. Bancak
Kec. Bringin
Kec. Getasan
Kec. Kaliwungu
Kec. Pabelan
Kec. Sidomukti
Kec. Sidorejo
Kec. Suruh
Kec. Susukan
Kec. Tengaran
Kec. Tingkir
Kec. Tuntang
Jumlah
Jumlah/Desa
6 Desa
9 Desa
16 Desa
14 Desa
11 Desa
17 Desa
4 Desa
6 Desa
17 Desa
13 Desa
15 Desa
5 Desa
16 Desa
149 Desa dan Kelurahan
Sumber : Buku Profil Peradilan Agama Se-Jawa Tengah
Selanjutnya kompetensi kedua di Pengadilan Agama Salatiga adalah
kompetensi absolut yaitu wewenang suatu Pengadilan yang bersifat mutlak
dan dapat diartikan kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, sebagai contoh
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, sedangkan selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
Batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah
yang dimaksud dengan kompetensi absolut. Artinya apa yang telah ditegaskan
63
menjadi
porsi setiap lingkungan peradilan, secara mutlak menjadi
kewenangan peradilan tersebut untuk memeriksa dan memutus perkara.
Lingkungan peradilan yang lain tidak berwenang untuk mengadili.
Kompetensi absolut diatur dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 yang
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 di mana dibagun atas azaz
Personalitas Keislaman. Dalam pasal 2 disebutkan, “peradilan agama
merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu
yang sudah diatur dalam pasal 49 ayat 1 UU No. 3 tahun 2006, yaitu bidang
perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari‟ah.
Visi Pengadilan Agama Salatigaadalah mewujudkan Pengadilan
Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
mandiri, bersih, bermartabat dan berwibawa. Sedangkan misi Pengadilan
Agama Salatiga adalah
a. Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai ddengan hati
nurani.
b. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen bebas dari
campur tangan pihak lain.
64
c. Meningkatkan pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan
proporsional.
e. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat
dalam melaksanakan tugas.
Dalam struktur organisasi di Pengadilan Agama Salatiga, yang
menjabat sebagai Ketua yakni Drs. H. Umar Muchlis, sebagai Wakil Ketua
adalah Drs. Muhdi Kholil, SH. MH kemudian yang menjadi fungsional hakim
adalah H. Suyanto, SH. MH; Muhsin, SH; Drs. Jaenudi, MH dan Drs. M.
Muslim. Panitera Sekretaris adalah Drs. H. Jamali, Wakil Panitera Drs.
Farkhan dan sebagai Wakil Sekretaris H. M. N. Agus A., SH. Selanjutnya
Panitera Muda permohonan yakni Handayani, SH, Panitera Muda Hukum
adalah Drs. Widad, sedangkan Panitera Muda gugatan adalah Mamnukin, SH.
Kemudian dilanjutkan Kasubag kepegawaian adalah Mi‟ratul Hidayah S.Hi,
Kasubag Keuangan Ruli Arista W., S. Kom dan Kasubag Umum yakni M.
Azim Rozi. Untuk kelompok Kepaniteraan Panitera Pengganti antara lain
dijabat oleh Miftan Jaunnara, SH; Imam Yasykub, SA; Hj. Wasilatun, SH;
Fitri Ambarwati, SH; dan terakhir H. Fadlan Nasyim, S.Ag. Untuk kelompok
Jurusita atau Jurusita Pengganti antara lain Khalim Mudrik, M. S.Sy; M.
65
Nawal Annaji dan Danang P. N (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang,
2014:72).
2. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga
a. Masa Sebelum Penjajahan
Awal mula Pengadilan Agama Salatiga tidak telepas dari sejarah awal
peradilan di Indonesia. Sebelum datangnya agama Islam, Indonesia
mempunyai dua jenis peradilan yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.
Peradilan Pradata menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi urusan raja,
sedangkan Peradilan Padu menyelesaikan perkara-perkara yang bukan
menjadi urusan raja. Dua jenis peradilan tersebut muncul karena adanya
pengaruh budaya Hindu yang masuk ke Indonesia.
Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi yang
dibawa langsung oleh saudagar-saudagar dari Makkah danMadinah,
masyarakat mulai melaksanakan dan menerapkan ajaran dan aturan-aturan
agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fiqih. Kemudian hal ini
memberikan pengaruh kepada tata hukum di Indonesia. Sejarah mencatat
bahwa Sultan Agung (Raja Mataram) yang pertama kali mengadakan
perubahan dalam tata hukum dengan pengaruh agama Islam. Perubahan ini
awalnya diwujudkan khusus dalam nama pengadilan, yaitu pengadilan yang
semula bernama pengadilan Pradata diganti dengan pengadilan Surambi.
66
Begitu juga dengan tempat pelaksana pengadilan, yang semula pengadilan
Pradata diselenggarakan di Sitinggil dan dilaksanakan oleh raja, kemudian
dialihkan ke serambi masjid agung dan dilaksanakan oleh para penghulu yang
dibantu oleh para alim ulama‟. Perkembangan berikutnya yaitu pada masa
akhir pemerintahan Mataram, terdapat 3 majelis pengadilan di daerah
periangan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drigama dan Pengadilan
Cilaga.Pengadilan Agama Salatiga yang kita ketahui sekarang sudah ada sejak
Agama Islam masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga mulaiada
bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam
di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat beragama
Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang yang terjadi sengketa, mereka
menyelesaikan perkara melalui Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan atau
Raja. Kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yaitu penguasa
tertinggi. Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama‟ yang
ahli di bidang Agama Islam (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang,
2014:63)
b. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang
Ketika penjajah Belanda masuk ke Pulau Jawa khususnya di Salatiga
dijumpai masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan menjalankan syari‟at
Islam. Demikian pula dalam bidang Peradilan umat Islam Salatiga dalam
67
menyelesaikan perkara dengan menyerahkan keputusan kepada para hakim
sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan aturan yang
telah ada. Kemudian karena kesulitan tersebut, oleh pemerintah kolonial
Belanda diterbitkan pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatregaling) sebagai
landasan formil untuk mengawasi masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu
berdirinya Raad Agama. Pemerintah kolonial Belanda juga menginstruksikan
kepada para Bupati yang termuat dalam Staatsblaad No. 22 tahun 1980 yang
menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan
rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama‟.
Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940.
Kantor yang digunakan masih berada di serambi MasjidAl-Atiq Kauman
Salatiga. Ketua dan Hakim Anggota adalah dari alumnus Pondok
Pesantren.Pada struktur organisasi berjumlah3orang yaitu K. Salim sebagai
ketua, K.Abdil Mukti sebagai Hakim Anggota, Sidiq sebagai Sekretaris
merangkap Bendahara serta seorang pesuruh.
Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Salatiga dan
Kabupaten Semarang. Adapun perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu
perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Masa
penjajahan Jepangpada tahun 1942 sampai dengan 1945 keadaan Pengadilan
Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang
68
karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan dihadapkan dengan berbagai
pertempuran. Dari struktur organisasi, Ketua beserta stafnya juga masih sama
(Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63-64).
c. Masa Kemerdekaan
`Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan
Agama Salatiga berjalan dengan aturan seperti pada masa penjajahan Belanda
sampai dengan Jepang. Kemudian pada tahun 1949 ada perubahan dalam
struktur organisasi yaituK. Salim sebagai Ketua digantikan oleh K. Irsyam dan
dibantu oleh 7 pegawai. Kantor yang digunakan masih di serambi Masjid AlAtiq Kauman Salatiga yang tepat bersebelahan dengan KUA Kecamatan
Salatiga. Keduanya menggunakan serambi Masjid sebagai kantor.
Pada tahun 1953 terjadi perubahan struktur organisasi yaitu ketua
sebelumnya digantikan oleh K. Moh Muslih. Kemudian pada tahun 1963
Ketua dijabat oleh KH. Musyafa'. Selanjutnya pada tahun 1967 Ketua dijabat
oleh K. Sa'dullah. Semua ketua yang pernah menjabat serta pegawai adalah
alumnus Pondok Pesantren.
Kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid Al-Atiq
ke kantor baru di Jl. Diponegoro No.72 Salatiga hingga tanggal 30 April 2009.
Kemudian pada tanggal 1 Mei 2009 kantor berpindah lagi di Jl. Lingkar
69
Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kantor lama digunakan
sebagai arsip dan rumah dinas(Tim Dirjen Badan Peradilan Agama, 2014:64).
d. Masa Berlakunya UU No. 1 tahun 1974
Sejak berlakunya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan
dan posisi Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan
Agama Salatiga. Akan tetapi umat Islam Indonesia masih harus berjuang
karena belum mempunyai UU yang mengatur tentang keluarga muslim.Pada
tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan dan diundangkan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Dalam pasal 68 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah:
1) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
2) Pengadilan Umum bagi lainnya
Adapun peraturan pelaksanaannya diterapkan dalam PP No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan
berlakunya PP No. 9 tahun 1975 secara efektif
UU perkawinan telah
diterapkan. Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari sektor fisik masih tetap
seperti peradilan agama sebelum masa berlakunya UU No. 1 tahun 1974.
Akan tetapi fungsi dan peranan semakin luas karena banyak perkara yang
masuk menjadi wewenang Pengadilan Agama Salatiga.
70
Pada perkembangan berikutnya sehubungan dengan perananPengadilan
Agama dalam periode 1974 sampai dengan 1989 adalah dikeluarkan PP No.
28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan pemerintah
iniberpengaruh terhadap wewenang Pengadilan Agama yang semakin luas dan
mantap (Pengadilan Tinggi Semarang, 2014:65).
e. Masa Berlakunya UU No. 7 tahun 1989
Sejak diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Pengadilan Agama Salatiga berwenang menjalankan keputusannya
sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri. Hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri. Dalam pasal 49UU No. 7 tahun 1989 yang diperjelas dalam
Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga tentang kewenangan Pengadilan
Agama Salatiga meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakafdan shadaqah.
UU No. 7 tahun 1989 memberikan kewenangan penuh kepada
Pengadilan Agama Salatiga untuk menangani perkara yang menjadi
kompetensi absolutnya. Pengadilan Agama tidak lagi menjadi quasidari
Pengadiilan Negeri. Undang-Undang ini masih menberikan ruang intervensi
bagi
eksekutif
dalam
bentuk
71
pembinaan
kepegawaian
di
bawah
KementrianAgama. Undang-undang inilah yang dianggap sebagai titik
bangkit Peradilan Agama menjadi peradilan sesungguhnya.
Sesuai dengan UU, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan
bimbingan dan pembinaan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.Sejak
Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung
RI,
mulai
diadakan
pemisahan
jabatan
antara
kepaniteraan
dan
kesekretariatan. Jabatan antara jurusita dan panitera pengganti dirangkap
menjadi satu tugas. Jabatan Ketua Pengadilan Agama Salatiga bertugas
mengawasi dibidang upaya pembenahan dan peningkatan kinerja di
Pengadilan Agama Salatiga.
f. Masa berlakunya UU No. 3 tahun 2006
Sebelum UU No. 3 tahun 2006 diberlakukan, Pengadilan Agama
secara administrasi dan finansial berada dibawah Departemen Agama. Akan
tetapi sejak Undang-undang tersebut diberlakukan pengaruh dalam pembinaan
teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial adalah dilakukan oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia.UU No. 3 tahun 2006 yang berisi 42
perubahan atas UU N0 7 tahun 1989 kemudian dirubah lagi dengan UU No,
50 tahun 2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya kedudukan Peradilan
Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya.
72
Pada tanggal 20 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 tahun 2006
tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dengan telah disahkannya UU tersebut terjadi perubahan-perubahan mendasar
yaitu memperkuat dan memperluas kewenangan Peradilan Agama. Sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat muslim, Pengadilan
Agama selain menangani perkara dalam bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah juga berwenang menangani perkara
dalam bidang ekonomi Syari‟ah. Dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun
2006 bahwa penanganan dalam hal ekonomi syari‟ah menjadi kewenangan
Pengadilan Agama. Kewenangan baru lainnya dari UU No. 3 tahun 2006
adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik dan pemberian itsbat
kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah,
pemberian keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat
dan penentuan waktu sholat.
Secara bertahap sejak Peradilan Agama berada dalam satu atap
bersama dibawah Mahkamah Agung, secara administrasi Pengadilan Agama
Salatiga mulai mendapat perhatian. Salah satunya dengan pembangunan
gedung baru. Kantor Pengadilan Agama Salatiga yang semula di Jl.
Diponegoro No. 72 Salatiga berpindah di Jl. Lingkar Selatan, Argomulyo,
Kota Salatiga. Kemudian kantor lama digunakan sebagai penyimpanan arsiparsip dan rumah dinas Ketua, Wakil Ketua, para Hakim serta pegawai lainnya.
73
Selain itu pada masa ini adalah momentum paling bersejarah bagi
perkembangan Pengadilan Agama dengan perluasan kewenangannya dalam
perkara ekonomi syari‟ah (wawancara Bpk. Kholil selaku Wakil Ketua
Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 13 Oktober 2014).
Setalah UU No. 3 tahun 2006 kemudian dilanjutkan masa UU No. 50
tahun 2009.Mengenai perkembangan Peradilan Agama pada masa ini ada empat
aspek perubahan yaitu pertama berkenaan dengan kedudukan Peradilan dalam
tatanan hukum dan Peradilan Nasioal. Kedua, berkaitan dengan susunan Badan
Peradilan yang mencangkup hierarki dan struktur organisasi Pengadilan termasuk
komponen sumber daya manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan dengan
kewenangan Pengadilan baik kewenangan absolut maupun kekuasaan relatif.
Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara.
Dari masa UU No. 7 tahun 1989, UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50
tahun 2009 adalah bentuk eksistensi dari hukum Islam. Persamaan ketiga UU ini
adalah sama-sama membahas tentang tugas dan wewenang Peradilan Agama
untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di tingkat pertama. Sedangkan
perbedaannya adalah pada bidang perkara yang ditangani. Di masa UU No 50
tahun 2009 memuat perubahan dan tambahan yang baru yaitu Pengadilan Agama
khusus
di
lingkungan
Peradilan
Agama,
pengawasan
internal
oleh
MA(Mahkamah Agung) dan eksternal oleh KY (Komisi Yudisial), seleksi
74
pengangkatan Hakim dilakukan oleh MA dan KY, pemberhentian Hakim,
tunjangan Hakim sebagai pejabat negara (Pengadilan Tinggi Semarang,
2014:67).
Selanjutnya dipaparkan pejabat Ketua PA Salatiga dari tahun 1949
sampai dengan tahun sekarang..
Tabel 3.2Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Salatiga sejak berdirinya sampai
dengan sekarang
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Periode
Nama
K. Irsyam
KH. Muslih
KH. Musyafak
K. Sa‟dullahmron
Drs. H. Imron
Drs. H. Samsudi Anwar
Drs. H. Ali Muhson, MH
Drs. H. Nuh Muslim
Drs. H. Fadhil Sumadi, SH, M.Hum
Drs. H. Izzudin Mahbub, SH
Drs. H. Arifin Bustam, MH
Drs. H. M. Fauzi Humaidi, SH, MH
Drs. H. Ahmad Ahrory, SH
Drs. H. Masruhan Ms, SH, MH
Drs. H. Umar Muchlis
Tahun 1949-1952
Tahun 1953-1962
Tahun 1963-1966
Tahun 1967-1974
Tahun 1975-1980
Tahun 1981-1985
Tahun 1986-1988
Tahun 1989-1993
Tahun 1994-1998
Tahun 1999-2002
Tahun 2002-2004
Tahun 2004-2005
Tahun 2006-2008
Tahun 2009-2011
Tahun 2011-sekarang
Sumber : Buku Profil Peradilan Agama SeJawa Tengahditerbitkan oleh PTA Semarang.
B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga
Administrasi di Pengadilan Agama dikenal dua bentuk administrasi,
yaitu administrasi umum (bidang kesekretariatan) dan administrasi perkara
yang disebut administrasi perkara bidang kepaniteraan. Berdasarkan pasal
75
43UU No. 7 tahun 1989 administrasi umum meliputi administrasi
kepegawaian, persuratan, keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan
penyelesaian perkara. Pelaksana dan penanggung jawab bidang ini adalah
Wakil Sekretaris dan Kepala Bagian Sub.
`
Menurut pasal 26 UU No. 7 tahun 1989 administrasi bidang
kepaniteraan adalah bidang yang meliputi seluruh proses penyelenggaraan
yang teratur dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
bidang pengelolaan kepaniteraan perkara yang menjadi bagian tugas
Pengadilan.Prosedur administrasi di Pengadilan Agama Salatiga mengacu
pada aturan yang telah ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 24
Januari 1991 No. KMA/001/SK/1991 Tentang Ketentuan Pola Pembinaan dan
Pengendalian Administrasi Perkara yang disebut Pola Bindalmin (Pembinaan
dan Pengendalian Administrasi) meliputi lima bidang:
a. Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara tingkat pertama,
banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK) adalah prosedur penerimaan
perkara.
b. Pola register perkara.
c. Pola keuangan perkara
d. Pola pelaporan perkara
e. Pola kearsipan perkara. (Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Buku II:40- 62).
76
Penggugat yang belum bisa membuat surat gugatan atau permohonan
diterima oleh petugas di bagian prameja dan dibantu membuat surat
gugatan/permohonan. Bagi yang sudah memiliki surat gugatan sesuai dengan
ketentuan tidak perlu melewati prameja surat gugatan/permohonan yang sudah
ditandatangani oleh penggugat atau pemohon diserahkan ke meja pertama
untuk ditaksir biaya perkaranya dan dibuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) kemudian dikembalikan kepada penggugat atau pemohon.
Penggugat atau pemohon membayar panjar biaya perkara dikasir dan
menyerahkan berkas gugatan atau permohonan yang sudah dilengkapi SKUM
bagian kasir menerakan nomor perkara sesuai nomor SKUM, menandatangani
SKUM, memberi cap pembayaran, memasukkan perkara ke dalam jurnal dan
menyerahkan kepada meja kedua. Bagian meja kedua memasukkan berkas
perkara
ke
buku
register,
memberikan
salinan
berkas
kepada
penggugat/pemohon dan Wakil Panitera mencatat berkas ke buku pantauan
dan menyerahkan kepada Panitera. Selanjutnya, Panitera menyampaikan
berkas perkara kepada Ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan menunjuk Hakim
Ketua Majelis dan dua anggota Majelis Hakim beserta Panitera Pengganti.
Majelis hakim bertugas menentukan hari sidang. Hari sidang dapat
diketahui
oleh
para
pihak
setelah
dilakukanpanggilan
oleh
pihak
Pengadilantiga hari sebelum sidang berlangsung. Majelis Hakim terlebih
77
dahulu melakukan mediasi antara Penggugat dan Tergugat.Pada saat hari
sidang, tahap-tahap yang dilakukan dalam persidangan sebagai berikut:
1. Membuka sidang, memanggil para pihak dengan bertanya identitas
penggugat dan tergugat.
2.
Mengumumkan hasil mediasi yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk
sebagai mediator sesuai pilihan Kuasa Hukum pihak yang berperkara atau
dengan pilihan dari Pengadilan Agama Salatiga. Jika mediasi berhasil
maka penggugat wajib mencabut gugatan dan isi putusannya perkara
nomer yang telah tertera. Setelah dicabut perkara tersebut, apabila hasil
mediasi adalah sebuah perdamaian maka perdamaian diatas wajib ditaati
oleh para pihak. Bukti perdamaian wajib ditandatangani oleh para pihak
dan mediator, apabila mediasi gagal maka sidang dilanjutkan.
3. Pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik.
4. Pembuktian oleh para pihak dan yang harus dibuktikan adalah dalil-dalil
penggugat yang tidak diketahui oleh tergugat. Selain itu juga harus
menghadirkan saksi yang melihat dan mendengarkan hal itu minimal 2
orang.
5. Kesimpulan yaitu menjatuhkan putusan bagi para pihak yang terlibat.
Selanjutnya setelah ada putusan dari Majelis Hakim yang sudah tetap dan
berkekuatan hukum, maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan. Bentuk
amar putusan cerai gugat karena alasan adanya kekejaman atau kekerasan
78
suami adalah menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap
Penggugat. Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik
talakadalah menjatuhkan talak satu khul‟i tergugat terhadap penggugat
dengan jumlah iwadh yang telah ditentukan. Besar jumlah iwadh ditulis
dengan huruf.
Kemudian setalah adanya putusan dari Majelis Hakim, Penggugat
kembali ke kasir untuk mengecek biaya perkara.Salinan putusan akan
disampaikan ke meja 3 dan meja 3 akan memberikan kepada penggugat,
tergugat dan instansi terkait (Hasil wawancara dengan Ibu Widad selaku
Panitera Muda 2 Oktober 2014).
C. Putusan Kasus Gugatan Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di
Pengadilan Agama Salatiga.
1. Putusan No. 138/Pdt.G/2006/PA. SAL
a. Identitas para pihak
Penggugat bernama Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo,
berumur 26 tahun dan beragama Islam. Alamat Penggugat yakni Jl.Joko
Tingkir Rt 01/04 Kelurahan Tingkir Lor Kota Salatiga. Adapun penggugat
memberikan kuasa pada Kuasa Hukumnya yang bernama Dwi Heru
Wismantasidi, SH berdasarkan surat kuasa tertanggal 20 Februari 2006,
kemudian karena perkara belum terselesaikan Kuasa Hukum dilimpahkan
kepada Bayu Adi Susetyo, SH dan Imam Supriono, SH.
79
Tergugat bernama Tan Tjee Heap bin Tan Hong Tjan, berumur 47
tahun, beragama Kristen, pekerjaan swasta. Alamat lengkap Jl. Hasanuddin
No. 617 B Rt03/07 Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti,
Kota
Salatiga. Kuasa Hukum Tergugat bernama Agus Pramono berdasarkan surat
kuasa khusus tertanggal 10 April 2006.
b. Tentang duduk perkaranya (posita dalam gugatan)
Berdasarkan kutipan akta nikah Nomor: 136/09/IX/1998 penggugat
dan tergugat telah menikah pada tanggal 9 September 1998 di KUA
Argomulyo. Setelah akad berlangsung dan suami telah mengucapkan sighat
taklik talak, Pengugat dan Tergugat menjalin hubungan yang baik layaknya
suami istri. Pada mulanya Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di rumah
kontrakan di Kalicacing, kemudian pindah di Mrican Salatiga dan mulai pada
tahun 2002 tinggal bersama di rumah sendiri Banjaran Salatiga. Dari
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah lahir dua orang anak
bernama Cevin Ananta dan Vincent Ananta
Semenjak anak kedua yang lahir hubungan antara Penggugat dan
tergugat tidak membaik justru memburuk karena mulai bulan Agustus 2004
dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran terus menerus yang sulit
didamaikan.Pertengkaran dan percekcokan tersebut disebabkan Tergugat
sering keluar tanpa pamit dan tidak diketahui di mana tujuan setiap pergi
keluar. Pemicu yang lain Tergugat telah berpindah agama dan keyakinan dari
80
Islam menjadi Kristen. Demi keutuhan rumahtangga Penggugat sudah
menasehatti Tergugat agar dapat merubah kebiasaan buruk yang pergi tanpa
pamit dan kembali ke agama Islam. Namun hal ini tidak berhasil.
Puncak dari percekcokan dan perselisihan terjadi pada bulan Mei
2005. Tergugat mengusir Penggugat dari rumah kediaman bersama sehingga
Penggugat kembali ke rumah orangtua Penggugat di Tingkir bersama kedua
anaknya. Sejak itulah Penggugat dan Tergugat telah pisah ranjang dan rumah
selama kurang lebih satu tahun. Selama itu pula Tergugat tidak pernah
memberikan nafkah wajib kepada anak maka berdasarkan sighat taklik talaq
yang diucapkan saat menikahTergugat telah melanggar angka 2 dan 4.
Berdasarkan pasal 116 huruf f, g, dan h KHI telah menjadi dasar kuat bagi
Penggugat untuk pengajuan gugatan perceraian.
c. Isi petitum yang diajukan oleh Penggugat
Petitum yang terdapat dalam putusan terdiri dari petitum primer dan
petitum subsidier. Untuk petitum primer berisi Penggugat meminta kepada
Hakim untuk menerima dan mengabulkan seluruh gugatan, perkawinan
Pengugat dan Tergugat putus karena perceraian, menetapkan syarat taklik
talak atas pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat pada angka 2 dan 4,
menetapkan hasil putusan adalah jatuh talak satu khul‟i Tergugat kepada
Penggugat dengan uang iwadh Rp. 10.000, menetapkan biaya perkara menurut
hukum. Petitum yang subsidier adalah menjatuhkan putusan dengan seadilnya.
81
d. Isi Diktum (jawaban dari petitum)
Majelis Hakim sudah melakukan mediasi atau perdamaian antara
Penggugat dan Tergugat namun hasilnya gagal. Jawaban tertulis Tergugat
berisi membenarkan semua hal yang dikemukakan oleh Penggugat. Berita
acara persidangan berisi telah terjadi jawab jinawab antara Penggugat dan
Tergugat. Penggugat dalam persidangan berusaha meneguhkan semua dalil
gugatan disertai dengan alat bukti yang ada. Alat bukti tersebut adalah akte
nikah No. 136/09/1998 dari KUA Kec. Tingkir (P-1), saksi dari pihak
Penggugat yang merupakan teman Pengugat dan kenal Tergugat. Saksi
pertama bernama Handoko Santoso bin Budi Santosa memberikan keterangan
Penggugat dan Tergugat menikah tahun 1998 dikarunia 2 orang anak yang
sekarang tinggal dengan Penggugat. Sebelum pernikahan berlangsung
Penggugat berstatus gadis dan Tergugat berstatus duda.
Keterangan saksi pertama selanjutnya adalah semula rumahtangga
Penggugat dan Tergugat rukun namun sejak bulan Maret 2004 Tergugat telah
kembali ke agama semula yaitu Kristen sehingga sering terjadi pertengkaran
dan perselisihan. Saksi melihat beberapa kali Tergugat berangkat ke Gereja.
Menurut keterangan saksi antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah
sejak tahun 2005. Penggugat telah kembali ke rumah orangtuanya serta tidak
ada komunikasi lagi di antara keduanya.
82
Saksi kedua bernama Suk Ping Hong bin Sung Hang Tjong yang
merupakan kawan Penggugat dan kenal dengan Tergugat. Berdasarkan
keterangan saksi Penggugat dan Tergugat menikah tahun 1998 dan dikarunia
2 orang anak yang tinggal bersama Penggugat. Sebelum pernikahan
berlangsung Penggugat berstatus gadis dan Tergugat berstatus duda. Awal
rumahtangga antara Penggugat dan Tergugat rukun namun sejak bulan Maret
2004 Tergugat telah kembali keagama semula yaitu Kristen. sehingga sering
terjadi pertengkaran dan perselisihan. Saksi beberapa kali melihat Tergugat
berangkat ke Gereja. Menurut saksi antara Penggugat dan Tergugat telah
pisah rumah sejak tahun 2005. Penggugat telah kembali ke rumah
orangtuanya serta tidak ada komunikasi lagi di antara keduanya.
e. Pertimbangan hukum.
Pertimbangan hukum dalam memutus perkara menjadi hal yang sangat
penting bagi Hakim.Maksud d3an tujuan isi gugatan yang diuraikan secara
terperinci adalah salah satu bahan pertimbangan Hakim. Posita dalam gugatan
disesuaikan kebenarannya dengan keterangan saksi, kehadiran Penggugat dan
Tergugat dalam persidangan, hasil mediasi gagal atau berhasil,
petitum
primer maupun subsidier merupakan serangkaian uraian dalam gugatan.
Pertimbangan hukum yang lain adalah bukti dan fakta yang ada dalam
persidangan. Bukti yang didapat dalam persidangan adalah tidak ada
sanggahan dari Tergugat atas gugatan Penggugat yang beralasan dan
83
tidakmelawan hak tetap dibebani wajib bukti, bukti P-1 yaitu posita No. 1
telah diakui dan dibenarkan oleh Tergugat, posita No. 2-7 telah dibenarkan
oleh kedua saksi. Dari bukti yang ada maka Hakim dapat menemukan fakta
yang ada dalam persidangan.
Fakta yang didapat adalah Penggugat dan tergugat adalah suami istri
yang sah dan belum pernah bercerai, Pengugat dan Tergugat telah hidup
bersama dalam satu rumah dan dikarunia 2 orang anakbernama Cevin Ananta
dan Vincen Ananta, awal rumah tangga Pengugat dan Tergugat baik dan
rukun akan tetapi sejak bulan Agustus 2004 Tergugat kembali kepada agama
semula yaitu Kristen sehingga rumah tangga mulai sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran puncaknya pada bulan Maret 2005 antara Penggugat dan
Tergugat telah pisah rumah sampai sekarang.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada antara Penggugat dan Tergugat
sudah tidak ada ketentraman dan kesejahteraan lahir bathin. Tergugat telah
keluar dari agama Islam dan kembalike agama semula yaitu Kristen sehingga
tidak terwujud tujuan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Sesuai
fakta ini telah terpenuhi dasar pertimbangan hukum Hakim selanjutnya.
Sebagaimana kehendak pasal 1 UUP No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 KHI, maka
telah terpenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) PP No. 9tahun 1978 dan pasal 116
huruf (f dan h) KHI dan oleh karenanya hubungan perkawinan Penggugat dan
Tergugat difasakhkan karena murtad.
84
Dasar pertimbangan hukum lain yang digunakan Majelis Hakim yaitu
mengetengahkan pendapat pakar Hukum Islam Imam al-Haramayn alJuwayni dalam kitab Hidayah al-Matlab fi Dirayah al-Mazhab sebagai
berikut:
‫اأِد َدذأأ ْل َد َّق أا َدسوْل َد ِدناأَدوْل أَد َدا ُر ُر َد افُر ِدط َد ْلا َد ْل ُرا‬
‫ا‬
“Jika kedua suami istri atau salah satunya murtad (keluar dari agama Islam)
maka nikahnya difasakhkan” (al-Juwayni, 2007:119)
Pertimbangan Hakim selanjutnya adalah pasal 89 ayat 1 UU No. 7
tahun 1989 semua biaya perkara dibebankan kepada Penggugat.
f. Tentang Putusan Hakim
Putusan Hakim adalah tetap, berkekuatan hukum dan tidak bisa
diganggu gugat. Putusan Hakim didapat setelah adanya pertimbangan hukum,
bukti dan fakta-fakta yang ada. Putusan pada perkara No. 138/Pdt.
G/2006/PA. SAL adalah mengabulkan gugatan dari pihak Penggugat. Gugatan
yang diajukan adalah meminta Majelis Hakim untuk menyatakan perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian. Gugatan yang kedua
berdasarkan pasal 116 huruf f, g, dan h KHI dapat dijadikan dasar pelanggaran
sighat taklik talaq angka 2 yaitu tidak memberi nafkah wajib selama 3 bulan
kepada istri dan pada talaq angka 4 yaitu membiarkan dan tidak
memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih.
85
Putusan Hakim yang kedua adalah memfasakhkan perkawinan antara
Penggugat (Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo dengan Tergugat
(Tan Tjee Hiap bin Tan Hong Tjan) sesuai pasal 1 UUP No. 1 tahun 1974 dan
pasal 2 KHI, maka telah terpenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun
1978 dan pasal 116 huruf (f dan h) KHI. Putusan Hakim yang ketiga adalah
membebankan biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- kepada penggugat.
Putusan tersebut dibuat pada hari Selasa tanggal 9 Mei 2006 M bertepatan
pada tanggal 11 Rabiul Akhir 1427 H. Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini
adalah Drs. H. Fadly Hasan. Drs, Ahmad Syaukani, SH. MH dan Drs. Hj.
Muhlison, MH sebagai Hakim Anggota dan M. Nur Agus Achmadi, SH.
sebagai Penitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat.
2. Putusan No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL
a. Identitas para pihak
Penggugat nama dirahasiakan, umur 38 tahun, beragama Islam,
pekerjaan petani, pendidikan terakhir SMP. Alamat lengkap di Dusun Satriyan
Rt. 29/07 Desa Plumbon, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang.
Tergugat nama dirahasiakan, umur 58 tahun, beragama Kristen,
pekerjaan tidak ada, pendidikan terakhir SMA, alamat di Ngentak Rt. 02/05,
Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
b. Tentang Duduk Perkaranya (Posita dalam gugatan)
86
Berdasarkan Kutipan Akta Nikah No.183/25/VII/95 penggugat dan
tergugat telah menikah tanggal 21 Juli 1995 di Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang. Setelah akad nikah dan Tergugat telah mengucapkan
sighat taklik talaq, Penggugat dan Tergugat hidup rukun selayaknya suami
dan istri. Tempat tinggal yang pertama adalah rumah orangtua Tergugat
selama 1 tahun, pindah kontrakan selama 1 tahun, terakhir menempati
kediaman bersamaselama 11 tahun 8 bulan.
Dari pernikahan antara Penggugat dan Tergugat, lahir seorang anak
dengan nama dirahasiakan tanggal 22 Maret 1996. Anak tersebut dalam
pemeliharaan Penggugat. Kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang
sulit diatasi sejak bulan Mei 2009. Sebab terjadi perselisihan dan
pertengkaranadalah karena Tergugat yang dahulu beragama Nasrani dan
setelah menikah dengan Penggugat beragama Islam, namun setelah beberapa
tahun menikah Tergugat kembali lagi beragama Nasrani.
Pada bulan Maret 2009, Tergugat pulang ke rumah orang tuanya tanpa
seijin maupun sepengetahuan Penggugat. Selama 2 tahun 1 bulan Tergugat
tidak pernah pulang lagi ke rumah kediaman bersama di Desa Plumbon
sampai gugatan diajukan antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah.
Selama pisah rumah Tergugat tidak pernah mengurus serta memberi nafkah
kepada Penggugat dan seorang anak yang ikut Penggugat. Penggugat saat ini
87
bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di Kecamatan Suruh dan
tergugat tinggal di rumah orang tuanya di Kecamatan Tingkir. Hal ini sesuai
dengan pasal 116 KHI karena Tergugat telah melanggar taklik talak.
c. Isi Petitum yang diajukan oleh Penggugat
Petitum yang terdapat dalam putusan terdiri dari petitum primer dan
petitum subsidier. Untuk petitum primer berisi Penggugat meminta kepada
Hakim untuk menerima dan mengabulkan seluruh gugatan, perkawinan
Pengugat dan Tergugat putus karena perceraian, menetapkan syarat taklik
talak atas pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat pada angka 2 dan 4,
menetapkan hasil putusan adalah jatuh talak satu khul‟i Tergugat kepada
Penggugat dengan uang iwadh Rp. 10.000,
menetapkan biaya perkara
menurut hukum. Petitum yang subsidier adalah menjatuhkan putusan dengan
seadilnya.
d. Isi replik dan duplik dalam gugatan.
Majelis Hakim sudah melakukan mediasi atau perdamaian antara
Penggugat dan Tergugat namun hasilnya gagal.Isi replik (jawaban gugatan
dari pihak lawan)adalahTergugat mengakui sebagai suami Penggugat dan
sudah mempunyai seorang anak. Tergugat mengakui tempat tinggal di
kediaman bersama. Rumahtangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak
harmonis bulan Mei 2001 hingga berpisah tempat tinggal. Tergugat tidak
beragama Islam lagi melainkan kembali ke agama Nasrani.
88
Ada beberapa dalil yang dibantah oleh Tergugat. Dalil yang dibantah
adalah Tergugat tidak meninggalkan Penggugat tetapi Penggugat yang pergi,
karena tidak diberi nafkah oleh Tergugat. Jawaban akhir replik Tergugat
adalah tidak bersedia bercerai dengan alasan mempunyai anak.
Duplik atas jawaban tersebut tetap seperti dalam dalil gugatan dan
sebelumnya Penggugat memberikan bukti tertulis berupa fotocopy Kutipan
Akta Nikah.
e. Persaksian dalam persidangan
Nama saksi pertama dirahasiakan bin nama ayah saksi. Saksi tersebut
dari pihak keluarga yaitu kakak kandung Penggugat. Saksi berumur 48 tahun,
agama Islam, pekerjaan tani. Alamat tinggal Krasaksari Rt 02/07 Desa
Koripan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Saksi memberikan
keterangan Penggugat menikah dengan Tergugat dan bertempat tinggal di
rumah bersama. Sejak 2 tahun lalu Penggugat berpisah tempat tinggal karena
terjadi pertengkaran dengan Tergugat. Alasan pertengkaran adalahb Tergugat
pindah agama Nasrani kemudian Penggugat pergi meninggalkan Tergugat.
Saksi sudah berusaha mendamaikan tetapi tidak berhasil.
Saksi kedua nama dirahasiakan binti nama ayah saksi, umur 61 tahun,
agama Islam, pekerjaan Pensiunan PNS, alamat tinggal Kalicacing Rt. 06/01
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Saksi adalah kakak Tergugat.
Berdasarkan keterangan saksi, Tergugat menikah dengan Penggugat
89
danbertempat tinggal di rumah bersama selama 12 tahun. Namun Penggugat
dan Tergugat sekarang berpisah tempat tinggal karena sering terjadi
percekcokan dan pertengkaran. Alasan pertengkaran adalah hutang ke Bank
untuk modal usaha Penggugat, akan tetapi oleh Penggugat dipinjamkan
kepada tetangga. Upaya untuk memberikan nasehat dan merukunkan telah
dilakukan tetapi tidak berhasil. Saksi juga menyampaikan lebih baik rukun
lagi, namun semua keputusan kembali lagi pada Penggugat dan Tergugat.
Berdasarkan keterangan saksi baik saksi dari pihak Penggugat maupun
saksi dari pihak Tergugat, Penggugat dan Tergugat membenarkan atas
keterangan yang diberikan. Setelah persaksian Penggugat tidak mengajukan
sesuatu apapun lagi dan memohon putusan dari Majelis Hakim.
f. Tentang pertimbangan hukum
Pertimbangan hukum dalam memutus perkara menjadi hal yang sangat
penting bagi Hakim. Maksud dan tujuan isi gugatan yang diuraikan secara
terperinci adalah salah satu bahan pertimbangan Hakim. Posita dalam gugatan
disesuaikan kebenarannya dengan keterangan saksi yaitu dengan dalil rumah
tangga tidak hamonis, mulai goyah serta sering terjadi pertengkaran dan
perselisihan sejak Mei 2001. Alasan pertengkaran adalah Tergugat kembali ke
agama Nasrani dan keluar dari agama Islam. Kehadiran Penggugat dan
Tergugat dalam persidangan, hasil mediasi gagal atau berhasil,
petitum
primer maupun subsidier merupakan serangkaian uraian dalam gugatan.
90
Pertimbangan hukum didasarkan pada HIR dan KHI. Mediasi yang
telah dilakukan dalam suatu perkara baik hasilnya gagal ataupun berhasil,
maka pemeriksaan perkara telah memenuhi ketentuan pasal 130 HIR dan
PERMA No. 1 tahun 2008. Sesuai pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna
Tergugat mengakui dalil gugatan sebagai suami Penggugat dengan dibuktikan
bukti otentik berupa akte nikah.Maka sesuai bukti yang ada Penggugat
mempunyai hak atas gugatan. Berdasarkan pasal 116 huruf (h) KHI gugatan
telah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak satu ba‟in Tergugat
terhadap Penggugat.
Pengakuan dalil gugatan oleh Tergugat terjadinya pertengkaran karena
Tergugat
keluar
dari
agama
Islam
menjadi
dasar
pertimbangan
Hakim.Keterangan saksi di persidangan yang telah diuraikan sebelumnya juga
menjadi salah satu pertimbangan Hakim..
Hakim dalam pertimbangan hukum selain dari UU, saksi dan bukti
juga mengambil pendapat pakar Hukum Islam Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh
As-Sunnahbab Ath-Thalaq
‫َدتاأا َّقسوْل َد ةا َدوطَد بَد ْل‬
‫أِد َدذأأا َّق ع ْل‬
ّ ‫تاأاتّ ْل ِدر ْلَقَدابَد ْلُنَدهَد ا َدوبَد ْلُنَد ا َدزوْل ِد هَد ااِدهَدذأأا‬
‫تا‬
‫ض َدر ِدافَد ِد ْلنا َد ْلحبَدتَد ْلا‬
‫ًاأا َد ْل هُرىْل ِداطَد َّق َدهَد ْل‬
‫ض َدر َد ا َدواَدىْل َد َّقر ًةا َدوأ ِدا َد ًةا َدع َد ْل‬
ّ ‫أا‬
‫اًا ِد ْلنا َدزوْل ِد هَد اطَد ْل َدةًةابَد اِدنَد اةًةا‬
‫اأا َد ِد‬
Artinya : jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami,
karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu
terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur,
91
Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talak
bain sughro.(Sabiq, 1980: 237)
Pertimbangan Hakim lain yang digunakan adalah berdasarkan pasal 84
UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009
tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa, “Panitera Pengadilan Agama
Salatiga mengirimkan Salinan putusan ke KUA tempat dilangsungkan
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat”. Berdasarkan pasal 89 ayat (1)
UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009,
perkara tersebut termasuk bidang perkawinan, maka dari itu biaya perkara
dibebankan kepada Penggugat.
g. Tentang Putusan Hakim perkara cerai gugat.
Putusan Hakim adalah tetap, berkekuatan hukum dan tidak bisa
diganggu gugat. Putusan Hakim didapat setelah adanya pertimbangan hukum,
bukti dan fakta-fakta yang ada. Putusan pada perkara No. 0356/Pdt.
G/2011/PA. SAL adalah mengabulkan gugatan dari pihak Penggugat. Gugatan
yang diajukan adalah meminta Majelis Hakim untuk menyatakan perkawinan
antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian.
Gugatan yang kedua berdasarkanpemeriksaan perkara telah memenuhi
ketentuan pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Sesuai pasal 174
HIR merupakan bukti sempurna Tergugat mengakui dalil gugatan sebagai
suami Penggugat dengan dibuktikan bukti otentik berupa akte nikah. Maka
92
sesuai bukti yang ada Penggugat mempunyai hak atas gugatan. Berdasarkan
pasal 116 huruf (h) KHItelah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak
satu ba‟in Tergugat terhadap Penggugat.
Putusan Majelis Hakim yang kedua adalah berdasarkan pasal 116
huruf (h) KHI yang berbunyi. “Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga” maka gugatan
telah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak satu ba‟in Sughra
Tergugat terhadap Penggugat. Putusan ketiga adalah sesuai dengan
pertimbangan Hakim yaitu pengiriman salinan putusan ke KUA Kecamatan
Suruh, Kabupaten Semarang serta KUA Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
Hal ini sesuai dengan pasal 84 UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama
Putusan terakhir berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989
yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009, perkara tersebut termasuk
bidang perkawinan, maka dari itu biaya perkara dibebankan kepada Penggugat
sebesar dua ratus sebelas ribu rupiah (Putusan PA Salatiga 30 Mei 2011).
3. Pertimbangan Hakim.
Hasil wawancara dengan Bapak Muhdi Kholil selaku Wakil Ketua
pengadilan Salatiga tanggal 13 Oktober 2014, Hakim dalam menangani dan
memutuskan perkara cerai dengan salah satu pasangan murtad yaitu dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
93
a. Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009
menerapkan asas personalitas keislaman di dalam perkawinan dengan
asumsi pihak-pihak yang mengajukan perkara adalah muslim. Tetapi tidak
dikesampingkan ketika yang bersengketa keluar dari agama Islam atau
murtad, untuk perkara cerai khususnya cerai gugat tetap menjadi
kewenangan Pengadilan Agama karena perkawinannya dilakukan dengan
cara Islam dan telah dicatat di KUA yang bersangkutan.
b.
Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Hakim memeriksa dan
mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam
gugatan tersebut. Dari petitum tersebut Hakim dapat identifikasik alasan
utama dalam perceraian dan sebagai bahan pertimbangan awal untuk
mengabulkan atau tidak gugatan primer maupun subsidier dalam gugatan.
c.
Pertimbangan Hakim yang selanjutnya dalam memutus perkara adalah
dengan pembuktian di persidangan khususnya tentang pembuktian alasan
utama dalam perceraian. Pembuktian di persidangan dapat berupa
menghadirkan para saksi untuk mencari fakta sebenarnya alasan
perceraian yang utama. Bukti otentik melihat berkas KTP atau identitas
yang lain para pihak, akte nikah dan KK.
d.
Setelah pembuktian dilakukan dan saksi dihadirkan dalam persidangan,
apabila terbukti untuk perkara cerai gugat karena salah satu pihak murtad
94
adalah satu-satunya alasan dan menjadi alasan utama, maka bunyi amar
putusannya adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat. Apabila terbukti murtad hanya sebagai alasan pendukung
penyebab perselisihan dan ketidakharmonisan dalam rumahtangga maka
amar putusannya adalah jatuh talak ba‟in sughra dengan maksud gugatan
perceraian diajukan ketika rumahtangga sudah terjadi perselisihan dan
pertengkaran terus menerus sebelum salah satu pihak murtad.
e.
Dasar hukum dalam memutus perkara adalah Al-Qur‟an dan Hadits,
pendapat ahli/pakar Islam, hukum materiil meliputi yurisprudensi, UU No.
1 tahun 1947 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, KHI (Kompilasi Hukum Islam).
hukum acara peradilan meliputi HIR dan RBg, UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3
tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009.
f.
Untuk akibat hukum diputusnya suatu perkara dengan difasakh dan jatuh
talak ba‟in adalah apabila fasakh akibat hukumnya sama dengan talak
biasa hanya saja setelah difaskhkannya perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat suami sudah tidak ada hak untuk rujuk. Sedangkan apabila oleh
majelis hakim Pengadilan Agama Salatiga diputus dengan jatuh talak
ba‟in maka suami masih bisa kembali hidup bersama tetapi tidak dengan
jalan rujuk melainkan dengan akad nikah baru kepada mantan istri, setelah
95
mantan istri menikah lagi dan bercerai pada laki-laki lain yang menjadi
suaminya yang baru.
96
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Penanganan Kasus Gugat Cerai Karena Murtad
1. Teknis Administrasisecara umum
a. Penerimaan Perkara
Sistem pelayanan perkara di Pengadilan Salatiga menggunakan sistem
kelompok kerja yang terdiri dari meja I (termasuk di dalamnya Kasir), meja II
dan meja III. Petugas Meja 1 menerima gugatan, permohonan, verzet,
permohonan eksekusi dan perlawanan pihak ketiga. Gugatan diajukan secara
tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya dan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga (pasal 118 ayat 1 HIR atau pasal
142 ayat 1 Rbg). Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat
mengajukan gugatan secara lisan, selanjutnya Ketua Pengadilan atau Hakim
yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan mencatat gugatan tersebut.
Dalam pendaftaran perkara dokumen yang diserahkan kepada petugas
Meja 1 adalah surat gugatan sebanyak jumlah pihak ditambah tiga rangkap
untuk Majelis Hakim, surat kuasa khusus (dalam hal penggugat atau pemohon
menguasakan kepada pihak lain), fotocopy kartu anggota advokat bagi yang
menggunakan jasa advokat. Kemudian petugas meja 1 menerima dan
memeriksa kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check
97
list).Dalam menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja 1 berpedoman pada
Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Panjar Biaya Perkara yang
merujuk pada PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP (Penerimaan Negara
Bukan Pajak), PP MA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses
Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya.
Hal-hal yang diperhatikan dalam menentukan panjar biaya perkara
adalah jumlah pihak yang berperkara, jarak tempat tinggal (radius) dan
kondisi
daerah
para
pihak,
biaya
pemanggilan
para
pihak
untuk
menghadirimediasi lebih dahulu dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon
yang diambil dari uang panjar biaya perkara tersebut.Setelah menaksir panjar
biaya perkara, petugas Meja 1 membuat Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) dalam empat rangkap dan petugas Meja 1 mengembalikan berkas
kembali kepada Penggugat atau Pemohon untuk dilanjutkan kepada kasir.
Penggugat atau Pemohon membayar uang panjar biaya perkara yang
tercantum dalam SKUM melalui Bank. Setelah kasir menerima tanda bukti
pembayaran dari Penggugat atau Pemohon kemudian dibukukan dalam Buku
Jurnal Keuangan Perkara,diberi nomor, dibubuhkan tanda tangan dan cap
lunas pada SKUM.
Kasir menyerahkan satu rangkap surat gugat atau permohonan sesuai
dengan nomor perkara beserta SKUM kepada Penggugat atau Pemohon untuk
didaftarkan ke Meja II. Petugas Meja II mencatat dalam Buku Register Induk
98
Gugatan atau Permohonan sesuai dengan nomor perkara dalam SKUM.
Petugas Meja II menyerahkan berkas kepada Panitera melalui Wakil Panitera
untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga. Dalam waktu
paling lambat dua hari kerja berkas tersebut sudah diterima oleh Ketua
Pengadilan Agama Salatiga.
b. Persiapan Persidangan
Penetapan Majelis Hakim (PMH) termasuk dalam persiapan
persidangan. Paling lambat dalam waktu 10 hari kerja sejak perkara
didaftarkan, Ketua PA sudah menetapkan Majelis Hakim sesuai dengan nama
yang tercantum SK pengangkatan sebagai Hakim. Ketua Majelis Hakim
adalah Ketua atau Wakil Ketua PA yang merupakan Hakim senior di PA
Salatiga dan sudah lama menjadi Hakim. Majelis Hakim dibantu oleh Panitera
Pengganti dan Jurusita. Penetapan Majelis Hakim dicatat oleh petugas Meja II
dalam Buku Register Induk Perkara.
Penunjukkan Panitera Pengganti dilakukan oleh Panitera untuk
membantu Hakim dalam menangani perkara dalam persidangan. Penunjukkan
Panitera Pengganti dicatat oleh petugas Meja II dalam Buku Register Induk
Perkara. Penunjukkan Panitera Pengganti dibuat dalam bentuk “Surat
Penunjukkan” ditandatangani Panitera dan dibubuhi stempel.
Penetapan hari sidang paling lambat 7 hari setelah berkas dipelajari
oleh Majelis Hakim. Pemeriksaan perkara cerai dilakukan paling lambat 30
99
hari sejak tanggal surat gugatan didaftarkan di kepaniteraan PA Salatiga. Atas
perintah Ketua Majelis Panitera Pengganti melaporkan hari sidang pertama
kepada petugas meja II dan oleh petugas dicata dalam Buku Register Perkara.
c. Pelaksanaan Persidangan
Sidang dilaksanakan di ruang sidang. Majelis Hakim terlebih dahulu
mengupayakan perdamaian melalui proses mediasi sesuai dengan pasal 130
HIR/154 RBg jo pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 jo
PERMA No. 1 tahun 2008. Jika mediasi gagal, maka Majelis Hakim tetap
berkewajiban mendamaikan para pihak. Sidang pemeriksaan perkara cerai
baik cerai talak maupun cerai gugat dilakukan secara tertutup, namun putusan
dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam pemeriksaan cerai gugat Pengadilan Agama sedapat mungkin
berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami dengan
jelas dan pasti sehingga dapat mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata
perbulan. Hal ini dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah
madhiyah, nafkah iddah dan nafkah anak.
2. Dasar Hukum Materiil
Dasar hukum materiil dalam menentukan perkara cerai adalah dengan
berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadist, UU No.22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun
1954 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR), UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan (PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
100
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, HIR/Rbg. Tata cara dan
putusnya perceraian yang dimaksud dalam UU No. 1 tahun 1974 ada
pengkhususan dalam KHI terkait dengan alasan-alasan dan putusnya
perkawinan.
Sesuai yang termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50
tahun 2009 menganut Asas Personalitas Keislaman. Dengan demikian semua
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang
diatur dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 sebagaiman yang telah diubah
dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun
2009 menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Asas personalitasberlaku di bidang perkawinan tercatat di Kantor
Urusan Agama (KUA), meskipun salah satu (suami atau istri) atau kedua
belah pihak (suami istri) keluar dari agama Islam. Asas ini juga berlaku di
bidang kewarisan, di bidang ekonomi syari‟ah, di bidang wakaf, di bidang
hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam.Untuk perkara
cerai baik cerai talak maupun cerai gugat terdapat aturan khusus.
Cerai gugat yang diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar
Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.
Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar merujuk
101
kepada pasal 73 sampai dengan pasal 86 UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU
No. 50 tahun 2009 jo pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP No. 9 tahun 1975.
Gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut‟ah, nafkah iddah dapat
diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Gugatan hadhanah dan harta
bersama suami istri sebaiknya diajukan terpisah dalam perkara lain. Cerai
gugat dengan alasan taklik talak harus dibuat sejak awal diajukan gugatan,
agar selaras dengan format laporan perkara. Dalam hal Tergugat tidak hadir,
perkara diputus verstek,
Pengadilan tetap melakukan sidang pembuktian
mengenaim kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh
Penggugat.
Untuk keseragaman amar putusan cerai gugat dengan alasan adanya
kekejaman atau kekerasan suami berbunyi, “menjatuhkan talak satu ba‟in
sughra Tergugat (nama terang Tergugat bin nama ayah Tergugat) terhadap
Penggugat (nama terang Penggugat binti nama ayah Penggugat)”. Amar
putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak adalah
menjatuhkan talak satu khul‟I Tergugat (nama terang dirahasiakan) terhadap
Penggugat (nama terang terang dirahasiakan). Untuk amar putusan cerai gugat
dengan alasan suami murtad atau keluar dari agama Islam adalah
memfasakhkan perkawinan antara Penggugat (nama terang dirahasiakan)
102
dengan Tergugat (nama terang dirahasiakan)”.(Tim Dirjen Badan Peradilan
Agama:149).
B. Perbedaan Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt.
G/2011/PA. SAL
Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt.
G/2011/PA. SAL merupakan putusan cerai gugat dengan alasan karena Tergugat atau
suami murtad (keluar dari agama Islam). Kedua putusan memiliki alasan perceraian
yang sama yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga disebabkan karena salah
satu pasangan murtad. Akan tetapi meski dengan alasan perceraian yang sama, kedua
putusan tersebut terdapat perbedaan amar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis
Hakim.
Adapun perbedaannya pada Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL amar
putusan adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat.
Sedangkan pada Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL amar putusan yang
dijatuhkan adalah menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap Penggugat.
Menurut analisis penulis, perbedaan amar putusan kedua putusan tersebut
dapat ditinjau dari aspek fakta di persidangan. Dalam aspek fakta di persidangan
diperoleh dari pembuktian dan keterangan saksi. Pembuktian berupa bukti otentik
seperti akte nikah. Kedua keterangan saksi dari kedua pihak. Keterangan saksi
pertama pada putusan No. 138/09/1998 adalah kejelasan menikah antara Penggugat
103
dan Tergugat dibuktikan dengan akte nikah. Keterangan saksi kedua adalah
rumahtangga antara Penggugat dan Tergugat tidak rukun,karena Tergugat telah
kembali ke agama Kristen sehingga terjadi pertengkaran dan perselisihan. Alasan
utama adalah murtad yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Fakta keterangan saksi pada putusan N0. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah kejelasan
menikah antara Penggugat dan Tergugat dibuktikan dengan akte nikah. Antara
Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran. Alasan pertengkaran adalah
karena Tergugat pindah agama Nasrani dan Penggugat pergi meninggalkan Tergugat.
Keterangan saksi kedua selain karena murtad, alasan pertengkaran adalah Penggugat
hutang modal untuk usaha akan tetapi oleh Penggugat dipinjamkan kepada tetangga.
Alasan utama adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang menyebabkan
salah satu pihak murtad.
Setelah aspek fakta dalam persidangan dilanjutkan aspek alasan perceraian.
Pada Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL putusan yang dijatuhkan adalah fasakh.
Alasan utama pada putusan ini adalah murtad sebagai satu-satunya alasan. Adanya
salah satu pasangan murtad menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Menurut analisis penulis, sebelum adanya putusan fasakh dari Pengadilan, hubungan
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah rusak terlebih dahulu karena salah
satu pasangan murtad. Murtad dalam sebuah perkawinan membatalkan sahnya
hubungan perkawinan. Pada Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. Sal putusan yang
dijatuhkan adalah jatuh thalaq ba‟in sughra. Alasan utama pada putusan ini adalah
104
ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan murtad bukan satu-satunya alasan
perceraian. Pada putusan ini gugatan perceraian diajukanketika rumahtangga sudah
terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sebelum salah satu pihak atau
pasangan suami istri murtad.
C. Implikasi Putusan Perceraian Karena Murtad
Implikasi dari putusan yang berbeda antara Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.
SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah perbedaan akibat hukum
dari putusan masing-masing yang dijatuhkan. Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL
adalah fasakh. Akibat hukum putusan tersebut sama dengan akibat hukum talak
dengan asumsi bahwa sebelum dijatuhkan putusan fasakh perkawinan antara
Penggugat dan Tergugat sudah putus ikatan perkawinan secara agama karena alasan
murtad oleh salah satu pihak. Pada dasarnya fasakh adalah perceraian. Ketika suatu
perkawinan sudah fasakh maka suami atau Tergugat sudah tidak dapat hidup bersama
kembali pada istri atau Tergugat.Akibat hukum perceraian akibat fasakh sebagai
berikut:
1. Jumlah bilangan talak
Perceraian karena fasakh tidak mengurangi jumlah bilangan talak.
Hubungan ikatanperkawinan akan putus sejak mengetahui di kemudian hari
ada hal-hal yang membatalkan rukun dan syarat nikah seketika itu tanpa
menunggu putusan Hakim jatuh.
105
2. Rujuk
Perceraian akibat fasak didalamnya tidak ada hak rujuk.
3. Harta bersama
Dalam perceraian karena fasakh harta bersama dibagi menurut hukum
masing-masing agamanya (Sabiq, 1980:24-26).Diatur menurut hukumnya
masing-masing (pasal 37 KHI). Yang dimaksud dengan hukumnya adalah
hukum agama, adat, dan hukum-hukum yang lain.
4. Nafkah istri
Jika dilakukan bersamaan dengan akad maka tidak ada hak nafkah
untuk nikah meski sedang hamil.
Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah dijatuhkan talak satu ba‟in
dengan maksud gugatan perceraian diajukan ketika rumahtangga sudah terjadi
perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebelum salah satu pihak murtad. Akibat
hukum dari talak ba‟in sughra adalah:
1. Jumlah bilangan talak
Dapat mengurangi jumlah bilangan talak yang ada pada suami. Setiap
ikrar talak yang diucapkan di depan Pengadilan akan mengurangi bilangan
talak.
2. Rujuk
Suami dapat mengawini istri yang dulu tersebut dengan akad nikah
yang baru tanpa si perempuan kawin dulu dengan laki-laki lain apabila masih
106
dalam masa iddah dan belum menikah dengan laki-laki lain. Setelah masa
iddah habis masih bisa kembali hidup bersama, tetapi tidak dengan jalan rujuk
melainkan dengan akad nikah baru kepada mantan istri, setelah mantan istri
menikah lagi dan bercerai pada laki-laki lain yang menjadi suaminya yang
baru.
3. Harta bersama
Istri mendapatkan setengah dari harta bersama, dan sisanya dibagi
dengan ahli waris yang lain (pasal 86 ayat 1 KHI).
4. Nafkah istri
Mewajibkan nafkah bagi istri dan membayar mut‟ah
107
Selanjutnya ditampilkan perbedaan akibat hukum perceraian karena
fasakh dan akibat hukum perceraian karena thalaq ba‟in Sughro:
Tabel 4.1Perbedaan Akibat Hukum Perceraian karena Fasakh dan Perceraian karena
Talaq ba’in Sughro
Perceraian Akibat Fasakh
No
Jumlah bilangan talak
2
.
Rujuk
3.
Harta bersama
4.
Ikrar talak
Nafkah istri
5.
Ba‟in Sughro
Perbedaan
1
Perceraian Akibat Talaq
Tidak menghitung jumlah Dapat mengurangi jumlah
bilangan talak
bilangan talak yang ada
pada suami.
Tidak ada hak rujuk
Jika masih masa iddah
maka rujuk dilakukan pada
istri dengan akad baru
tanpa istri menikah lagi
dengan laki-laki lain.
Dibagi secara hukum yang Dibagi secara hukum
dianut oleh masing-masing Islam
yaitu
istri
pasangan suami istri (KHI mendapatkan
setengah
pasal 37).
dari harta bersama(KHI
pasal 86 ayat 1).
Tidak ada ikrar talak
Ada ikrar talak
Tidak diwajibkan adanya Mewajibkan nafkah bagi
nafkah untuk istri (KHI pasal istri dan membayar mut‟ah
80 ayat 2)
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara perceraian
karena murtad adalah sebelum memutus perkara, Hakim memeriksa dan
mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam
gugatan tersebut. Dari petitum tersebut Hakim dapat identifikasi alasan utama
dalam perceraian dan sebagai bahan pertimbangan awal untuk mengabulkan
atau tidak gugatan primer maupun subsidier dalam gugatan. Sesuai dengan
UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006
dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 menerapkan asas
personalitas keislaman di dalam perkawinan dengan asumsi pihak-pihak yang
mengajukan perkara adalah muslim. Tetapi tidak dikesampingkan ketika yang
bersengketa keluar dari agama Islam atau murtad. Fakta pembuktian dari
keterangan saksi menjadi pertimbangan selanjutnya oleh Hakim untuk
mencari fakta sebenarnya alasan perceraian yang utama.
2. Terjadi perbedaan antara kedua putusan perkara cerai gugat ini adalah masingmasing putusan setelah diadakan mediasi, pembuktian dan saksi, memiliki
alasan utama perceraian yang berbeda. No.138/Pdt.G/2006/PA. SAL alasan
109
utama perceraian adalah murtad sebagai satu-satunya alasan perceraian dan
menjadi alasan utama dalam perkara ini, maka dari itu putusan Hakim adalah
fasakh. Pada No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL alasan utama perceraian adalah
murtad bukan sebagai satu-satunya alasan perceraian. Alasan utama adalah
ketidakharmonisan dan perselisihan dalam rumahtangga, maka dari itu
putusan Hakim adalah jatuh talak ba‟in. Dengan kata lain apabila perbuatan
murtad itu tidak disertai dengan ketidakrukunan dalam rumahtangga maka
perbuatan murtad suami atau istri tidak dapat dijadikan alasan perceraian,
hanya saja putusan yang dberikan oleh Hakim akan berbeda sesuai alasan
utama perceraian.
3. Implikasi atau akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad yang
berbeda antara putusan No.138/Pdt.G/2006/PA. SAL dan putusan No.
0356/Pdt.G/2011/PA. SAL adalah terdapat pada akibat hukum dari masingmasing putusanyang dijatuhkan. Akibat hukum yang berbeda hak antara dua
putusan ini adalah mencangkup jumlah bilangan talak, rujuk, harta bersama,
ikrar talak dan nafkah istri.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis, penulis
banyak menemukan kelemahan-kelemahan yang ada dalam penelitian ini.
Kelemahan tersebut adalah dalam mendapatkan sumber data primer. Wawancara
110
yang dilakukan oleh penulis bukan informan primer (Wakil Ketua Pengadilan
Agama Salatiga) sehingga yang didapat adalah data sekunder. Penulis mengalami
kesulitan untuk bertemu langsung dengan
dalam
Putusan
No.138/Pdt.G/2006/PA.
Hakim yang memutuskan perkara
SAL
dan
Putusan
No.
0356/Pdt.G/2011/PA. SAL, karena Hakim yang bersangkutan sudah dipindah
dinas ke Pengadilan yang lain.
Dengan melihat kelemahan yang ditemukan oleh penulis, saran yang
dapat diberikan adalah untuk penelitian yang akan datang khususnya studi
putusan hendaknya putusan yang akan diteliti adalah putusan dengan taun yang
masih sama dalam melakukan penelitian. Kemungkinan wawancara oleh
informan primer (Hakim yang memutus perkara) lebih besar sehingga sumber
data yang didapat adalah sumber data primer. Meski dalam penelitian ini masih
memiliki kelemahan, sumber data yang didapat dapat dipertanggungjawabkan
kevalidannya. Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan
menambah pengetahuan pembaca.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahroh, Muhammad. 1957. Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Beirut: Dar Al-Arabiy.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1972. Al-Fiqh „ala al-Madzahib Al-Arba‟ah. Beirut: Dar AlFikr.
Al-Juwayni, Imam al-Haramayn Abd al-Malik. 2007. Hidayah al-Matlab fi Dirayah
al-Madzhab. Jeddah: Dar al-Minhaj
Az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islam Wa‟adillatuh. Beirut: Dar Al-Fikr
Amirin, Tatang. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV Rajawali.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum
(Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama
Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat
Islam Edisi ke-1. Jakarta: Kencana.
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI. 2013. Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II: Jakarta.
Gazhali, Abdurrahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT. Kencana
Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
112
Hidayah, Mir‟atul. 2007. Fasakh Suatu Perkawinan karena Murtad (Studi Putusan
Pengadilan Agama Salatiga No. 438/Pdt. G/2003/PA Sal dan No.138/Pdt.
G/2006/pa Sal). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN
Salatiga.
Ismail, Al-Imam Abu Ibrahim. 1998. Mukhtasar al-Muzani fi Furu‟ al-Shafi‟iyyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung: CV Nuansa Aulia.
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarata: Teras.
Nastangin. 2012. Perceraian Karena Salah Satu Murtad (Studi Putusan Pengadilan
Agama Salatiga Tahun 2011). Sripsitidak dterbitkan. Salatiga: Jurusan
Syari‟ah STAIN Salatiga.
Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Djambatan.
Tim Pustaka al-Hidayah. 2008. Bulughul Mahram, Versi 2.0. (http://alquransunnah.com/kitab/bulughul mahram/source/8. Kitab Nikah, diakses 6 februari
2015).
Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang. 2014. Profil Peradilan Agama Se-Jawa
Tengah. Yogyakarta: Aditya Media.
Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandung: CV Sinar Baru.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh as Sunnah jilid 3. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung:
PT Al-Ma‟Arif.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung:
PT Al-Ma‟Arif.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 7. Cetakan kedua. Terjemahan oleh Moh.
Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟rif.
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 8. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung:
PT Al-Ma‟Arif.
113
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT Al-Ma‟Arif.
Saleh, Hasan. 2008. Kajian fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Soleh, A. Mahdi. 1994. Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir Cetakan ke 2. Jakarta:
PT. Arista Brahmatyan.
Supriatna, Fatma Amilia, & Yasin Baidi. 2009. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta:
Teras.
Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Thalib, M. 1993. Perkawinan Menurut Islam Cetakan ke 2. Surabaya: Al-Ikhlas.
Tihami & Sahrani. 2009. Fiqh MunakahatKajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974Tentang Perkawinan. 2012. Yogyakarta: Tim New
Merah Putih.
Wasman, Nuroniyah Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Yogyakarta: Teras.
Yasyin, Sulchan. 1995. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah.
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibaba al-Fannani. 1994. Terjemahan Fat-Hul
Mu‟inCetakan 1. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo
114
Download