PROBLEMATIKA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI KOMPARATIF PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NO. 138/Pdt.G/2006/PA. SALDAN NO. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh IRMA SURYANI 21210001 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015 MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Setia pada proses. Sesulit apapun sebuah proses selama berusaha dan jalani ikhlas semua pasti tercapai. PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Untuk orang tuaku yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil Terima kasih untuk para dosen atas ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada saya semoga ilmu berguna dan bermanfaat. Amiin. Sahabat-sahabat perjuanganku AS angkatan 2010, semoga sukses selalu. Dan anakku Abhinaya yang selalu menjadi semangat hidupku. iv KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdulillah, senatiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNYA, sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan Islam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa kita ikuti sunnah-sunnahnya dan semoga kita selalu mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat. Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 2. Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyyah. 3. Moh. Khusen, M.Ag., M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu tenaga dan fikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran dan akademis. 4. Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga. 5. Drs. Muhdi Kholil, S.H., M.M selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga sekaligus Hakim Pembimbing. 6. Segenap Dosen Jurusan Syari‟ah 7. Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga 8. Kedua orang tua yang saya sayangi dan hormati, yang selalu mendoakan. 9. Teman Angkatan 2008, 2010 terima kasih atas kritik, saran dan masukan yang diberikan. v 10. Pihak-pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material sehingga selesainya proses belajar di STAIN Salatiga Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi, maupun analisisnya, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Salatiga, 14 Februari 2015 Irma Suryani NIM. 21210001 vi ABSTRAK Suryani, Irma. 2015. Problematika Putusan Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Komparatif Putusan Pengadilan Agama Salatiga Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agma Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M.Ag., M.A Kata Kunci: perceraian dan murtad Penelitian Problematika Putusan Perceraian Karena Murtad adalah studi komparatif putusan antara dua putusan dengan tema yang sama tetapi memiliki perbedaan pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama Salatiga menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2) Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? (3) Bagaimanakah implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? Penulis untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam penelitian didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan. Pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yurisprudensi. Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Sumber data yang didapat dari data primer maupun sekunder. Data primer didapat dari dokumen dan informan. Data sekunder didapat dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data dalam penelitian. Hasil dari penelitian yang didapat yaitu tentang cara Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara adalah Hakim memeriksa dan mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam gugatan tersebut, identifikasi alasan dalam perceraian dalam gugatan, menerapkan asas personalitas keislaman kemudian mencari fakta pembuktian yang menjadi alasan utama. Hasil penelitian yang selanjutnya adalah sebab terjadi perbedaan putusan dapat ditinjau dari alasan utama perceraian masing-masing putusan. Putusan fasakh pada No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL alasan utama perceraian adalah murtad sebagai satu-satunya alasan sehingga menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Putusan Thalaq Ba‟in pada No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL alasan utama perceraian adalah murtad vii bukan satu-satunya alasan dalam perceraian dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga ang menjadi alasan utama. Pertengkaran sudah terjadi sebelum adanya salah satu pihak murtad. Hasil penelitian berikutnya adalah implikasi dari perbedaan kedua putusan tersebut terletak pada akibat hukum dari masing-masing putusan. Perbedaan akibat hukum dari putusan tersebut ditinjau dari lima aspek, yaitu aspek jumlah bilangan talak, rujuk, harta bersama, ikrar talak dan nafkah istri. viii DAFTAR ISI JUDUL .......................................................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ ii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................................... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................................. v ABSTRAK ................................................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 6 E. Penegasan Istilah ............................................................................ 6 F. Telaah Pustaka ................................................................................ 6 G. Metode Penelitian ......................................................................... 10 H. Sistematika Penulisan.................................................................... 16 BAB II PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN............................................................ 17 A. Perceraian Menurut Fiqh ............................................................... 17 1. Pengertian Perceraian ......................................................... 18 2. Dasar Hukum Perceraian .................................................... 15 3. Bentuk-Bentuk Perceraian .................................................. 22 4. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian .................................... 30 5. Akibat Perceraian ................................................................ 33 B. Perceraian Menurut Perundang-Undangan..................................... 35 1. Pengertian Perceraian .......................................................... 35 ix 2. Sebab dan Alassan Perceraian ............................................. 36 3. Tata Cara Perceraian .......................................................... 38 4. Akibat Perceraian .................................................................... C. Fasakh ............................................................................................. 42 1. Fasakh Menurut Fiqh .......................................................... 42 2. Fasakh dalam Perundang-Undangan ................................... 47 3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian ...................................... 52 D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ............................................... 53 1. Pengertian Murtad ............................................................... 53 2. Hukum Murtad .................................................................... 56 3. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ..................................... 58 BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA SALATIGA DAN DUA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA MURTAD ......... 60 A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga .............................. 60 1. Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga....................... 60 2. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga.................................... 66 B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ............... 75 C. Putusan Kasus Gugatan Perceraian Karena Murtad ....................... 79 1. Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL .............................. 79 2. Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL ............................ 86 3. Pertimbangan Hakim ........................................................... 93 BAB IV ANALISA KASUS CERAI GUGAT KARENA MURTAD ............. 97 A. Penanganan Kasus Gugat Cerai Karena Murtad ........................... 97 1. Teknis Administrasi Secara Umum .................................... 97 2. Dasar Hukum Materiil....................................................... 100 B. Perbedaan Putusan No. 138/Pdt. G/2006 dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011 ........................................................................................... 103 C. Implikasi Putusan Perceraian Karena Murtad ............................. 105 x BAB V PENUTUP ................................................................................................ 109 A. Kesimpulan .................................................................... 109 B. Saran ............................................................................................ 110 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 112 LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................... 113 xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perceraian pada prinsipnya tidak dikehendaki dalam Islam. Perkawinan merupakan ikatan yang kuat, diharapkan dalam perkawinan dapat terwujud keluarga yang bahagia dan kekal sesuai ajaran Islam. Meskipun demikian Islam juga tidak menutup diri terhadap perceraian yang terjadi antara suami istri dengan berbagai alasan serta dengan melalui bentuk perceraian yang ada. Mengacu tetap pada satu prinsip yaitu kaidah fiqh menghindari timbulnyakeburukan harus didahulukan daripada menarik kebaikan, sehingga perceraian adalah merupakan pintu darurat dari ikatan perkawinan, yaitu yang berbunyi: َد ُر ْلأا َد َد ا َدض ِد ا ُر َّق َدا ٌم َد َدًا َد ْل ِد ْل اأاا َد َد ااِد ِدا Islam memahami dan menyadari tentang hal perceraian. Islam membuka kemungkinan perceraian dengan jalan talak maupun jalan fasakh demi menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan manusia (Latif, 1985:29) Suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal sesuai dengan pasal 113 KHI, “karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Dalam pasal 114 KHI disebutkanbahwa, “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. 1 Dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Pasal 2 disebutkan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. UU No. 50 tahun 2009 ayat 1 sampai ayat 6 dijelaskan bahwa amar putusan dalam cerai talak hanya menetapkan memberi ijin pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap termohon, mengakibatkan bahwa putusnya perkawinan karena cerai talak dihitung sejak diucapkannya ikrar talak, baik saat dihadiri oleh termohon atau tidak. Pemohon yang riddah dalam hal ikrar talak berkaitan dengan syari‟at Islam, sudah tidak memiliki hak dalam mengucapkan ikrar talak. Hukum putusnya perkawinan antara suami dan istri mengacu pada putusan majelis Hakim, tanpa adanya ikrar talak disebabkan karena peralihan agama tersebut. Dalam hasil rakernas (rapat kerja nasional) MARI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) tahun 2005 bagian c Bidang Uldilag (urusan lingkungan Peradilan Agama) angka 3 huruf (a) yang dinyatakan bahwa, “Pengadilan Agama berwenang mengadili seseorang (pihak) yangsudah murtad, karena yang menjadi ukuran untuk menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan, dan bukan berdasarkan agama yang dianut pada saat sengketa terjadi” (IKAHI, hal 134). Kajian yang menarik dalam perkara yang diteliti adalah suami sebagai pemohon pengajuan cerai talak berada dalam keadaan riddah (keluar dari agama 2 Islam) di mana pada awal pernikahan adalah seorang mu‟allaf namun ketika pernikahan berlangsung suami kembali pada agama semula yaitu katolik. Ditinjau dari hukum Islam jelas di sini hukum perkawinan tersebut menjadi fasakh. Fasakh berarti merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung yang disebabkan ada hal-hal yang membatalkan akad nikah atau karena suatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dan perkawinan berlangsung (Basyir, 1999:85). Fasakh karena terjadinya hal yang baru dialami sesudah akad nikah dan perkawinan berlangsung, yaitu salah satunya suami istri beragama Islam kemudian suami murtad. Apabila telah diusahakan agar kembali Islam, tetapi suami tetap mempertahankan murtad, hubungan perkawinan diputuskan sebab terdapat penghalang perkawinan yaitu larangan menikah antara perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim (Basyir, 1999:86) Observasi pendahuluan yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga ditemukan dua putusan tentang kasus perceraian karena salah satu pihak murtad. Putusan pertama adalah No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL denganamar putusan yaitu menjatuhkan talak satu ba‟in sughro tergugat kepada penggugat.Pertimbangan dan dasar hukum Hakimdalam menentukan putusan adalah pertama dalil gugatan perceraian diajukan karena faktor tidak harmonis dan sering terjadi perselisihan karena salah satu pihak murtad seperti yang diatur dalam pasal 174 HIR dan pasal 116 huruf H KHI. Kedua, mediasi telah dilakukan tetapi hasilnya gagal sesuai dengan 3 ketentuan Pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Ketiga, mengetengahkan pendapat ahli yangtermuat dalam kitab Fiqh As-Sunnah bab Ath-Thalaq: ض َدر ِدافَد ِد ْلنا َد ْلحبَدتَد ْل َدتاأا َّقسوْل َد ةا َدوطَد بَد ْل أِد َدذأأا َّق ع ْل ّ تاأاتّ ْل ِدر ْلَقَدابَد ْلُنَدهَد ا َدوبَد ْلُنَد ا َدزوْل ِد هَد ااِدهَدذأأا تاا ا ًاأا َد ْل هُرىْل ِداطَد َّق َدهَد ْل ض َدر َد ا َدواَدىْل َد َّقر ًةا َدوأ ِدا َد ًةا َدع َد ْل ّ أا اًا ِد ْلنا َدزوْل ِد هَد اطَد ْل َدةًةابَد اِدنَد اةًةا اأا َد ِد Artinya : jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur, Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talak bain sughro(Sabiq, 1980: 237). Putusan kedua adalah putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dengan bunyi amar putusan yaitu memfasakhkan perkawinan Penggugat dan Tergugat. Dasar hukum dan pertimbangan Hakim adalah pertama, permohonan Pemohon terbukti dan beralasan secara hukum sesuai dengan ketentuan pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 116 huruf (f dan h) KHI, pasal 2 KHI dan oleh karenanya hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat harus difasakhkan karena murtad. Kemudian Majelis Hakim mengetengahkan lebih dahulupendapat pakar Hukum IslamImam al-Haramayn al-Juwayni dalam kitab Hidayah al-Matlab fi Dirayah alMazhab sebagai berikut: اأِد َدذأأ ْل َد َّق اأا َدسوْل َد ِدناأَدوْل أَد َدا ُر ُر َد افُر ِدط َد ْل اأا َد ْل ُرا ا “Jika kedua suami istri atau salah satunya murtad (keluar dari agama Islam) maka nikahnya difasakhkan” (al-Juwayni, 2007:119) 4 Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas maka penulis akan melakukan kajian secara komparatif tentang problematika putusan perceraian yang disebabkan oleh salah satu pihak murtad. B. Rumusan Masalah Dari tema dan latar belakang masalah di atas, dapat diperinci rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama Salatiga menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? 2. Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusanNo. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? 3. Bagaimanakah implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusanNo. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusanNo. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui prosedur Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. 5 2. Untuk mengetahui perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusanNo. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No.0356/Pdt. G/2011/PA SAL. 3. Untuk mengetahui implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusan No.138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA SAL. D. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad yaitu dapat dijadikan model prototipe dalam penyelesaian perkara perceraian. 2. Sebagai wacana dan pengetahuan yang dapat dijadikan bahan analisis komparatif antara putusan-putusan di Pengadilan khususnya dalam penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad. E. Penegasan Istilah Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian, antara lain sebagai berikut: 6 1. Cerai, secara bahasa bermakna melepas, mengurai atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19). Tentang istilah perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalahcerai talak yaitu pengajuan cerai dari pihak suami (beragama Islam) terhadap istri dengan mengucap ikrar di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131KHI. Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri dalam petitumnya berisi permohonan agar diputus perkawinan antara penggugat dan tergugat. 2. Murtadadalah keluar dari agama Islam; peralihan agama selain Islam; sama halnya dengan murtad keluar dari Islam (Yasyin, 1995:159).Murtad berarti juga kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki adalah kembalinya orang Islam yang berakal sehat dan dewasa kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq, 1986:168). Istilah murtad dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan salah satu alasan penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama. 4. Telaah Pustaka Penelitian tentang perceraian karena perpindahan agama oleh salah satu pasangan sesungguhnya bukan yang pertama. Sejauh penelusuran penulis, telah ada 7 beberapa penelitian dengan tema yang sama yang dilakukan oleh peneliti lain. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nastangin, yang berjudul Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0356/pdt. G/2011/PA. SAL) tahun 2012 di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini berisi tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga, melalui dua fokus penelitian yaitu pertama tentang bagaimana pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Kedua, apa akibat hukum dari perceraian karena salah satu pihak murtad. Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi dengan pendekatan normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pertimbangan hakim yaitu keluarga Penggugat dan tergugat tidak harmonis karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan sebelumnya mediasi telah dilakukan tetapi hasilnya gagal. Kemudian yang menjadi dasar hukum yaitu pasal 116 KHI hruf (h) dan ijtihad dengan berpedoman pada kitabFiqh As-Sunnah bab Ath-Thalak. Akibat hukum sama dengan akibat hukum perceraian secara umum, yaitu menjadikannya putus tali perkawinan, masih berlaku iddah, suami masi berkewajiban menanggung hadhanah dan memberi nafkah sampai dewasa (usia 21 tahun). Penelitian yang kedua dilakukan oleh Mir‟atul Hidayah, berjudul Fasakh Suatu Perkawinan karena Murtad(Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 438/Pdt. G/2003/PA. Sal dan No. 138/Pdt. G/2006/PA. Sal) tahun 2007. Penelitian ini 8 menjelaskan tentang tujuan dari penelitian, metode yang digunakan dan hasil dari penelitian tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui konsep fasakhnya perkawinan karena murtad menurut fiqh dan perUndang-undangan di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui alasan atau dasar dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga pada kasus gugat cerai oleh masyarakat non muslim dengan putusan fasakh. Ketiga, unutk mengetahui akibat hukum karena putusan fasakh. Metode yang digunakan adalah penelitian kasus (case study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, konsep fasakh perkawinan menurut fiqh didasarkan pada Kitab Al-Muhadzdzab Juz II halaman 54. Fasakhnya suatu perkawinan karena murtad tidak memerlukan keputusan Hakim, yaitu fasakh atau batal seketika itu juga, sedangkan dalam KHI pasal 116 (h) bahwa, “putusnya perkawinan dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan di dalam rumah tangga. Kedua, alasan Hakim Pengadilan Agama Salatiga menerima suatu perkara perceraian non muslim bukanlah orangnya melainkan status perkawinannya. Dasar hukum dan pertimbangan Hakim adalah didasarkan pada pasal 116 (h), pasal 3 KHI, pasal 1 UU No. 1 tahun 1974, pasal 19 (f),dan PP No. 9 tahun 1975. Ketiga, akibat hukum karena putusan fasakh maka kembali ke akibat hukum thalaq yang tercantum dalam pasal 149 KHI. 9 G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu AlQur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan. Pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yurisprudensi. Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka. Penelitian yurisprudensi adalah penelitianyang mengkaji tentang putusanputusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. 2. Sumber Data a. Data Primer 10 Data primer adalah data utama yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut berupa kata-kata, tindakan, selebihnya sumber data tertulis seperti dokumen (Moleong. 2008:157). Macam-macam data primer sebagai berikut: 1) Dokumen Dokumen artinya barang-barang tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Dokumen biasanya dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong, 2008:217). Dokumen dalam penelitian yang dipakai adalah dua putusan tersebut Dalam penelitian ini setiap tahun tertulis data-data di Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan penelitian seperti : buku register perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian. Dokumen utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah putusan perceraian yang di mana putusan tersebut merupakan putusan Pengadilan Agama sebagai Tingkat I dan suadh incrah karena setelah putusan, tidak ada lagi upaya banding. 2) Informanatau Responden Informan atau respondenadalah orangyang bisa memberikan informasi dan keterangan tentang suatu fakta atau pendapat dalam bentuk tulisan (Arikunto, 2010:188), yaitu berupa jawaban lisan 11 melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket (Arikunto, 2010:172). Informan dalam penelitian ini adalah Ketua majelis hakim yang mengadili perkara di Pengadilan Agama Salatiga dan Wakil Penitera Pengadilan Agama Salatiga. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data dalam penelitian. Sumber data sekunder dapat berupa buku atau majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi (Moleong, 2008:159). 3. Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi Observasiadalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian.Observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesinoer, rekaman gambar, rekaman suara (Arikunto, 2010:199). Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama Salatiga. Observasi dilakukan dengan ikut serta dalam sidang perceraian. b. Dokumentasi Dokumentasi adalah mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variable yang berupa buku-buku, majalah,peraturan-peraturan, notulen 12 rapat, catatan harian (Arikunto, 2010:201), benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol (Arikunto, 2010: 202). Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengambilan data tentang perceraian oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan perkara cerai salah satu murtad yaitusalinan putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL.Bukti otentik yang dipakai penggugat dan tergugat adalah akta nikah. c. Wawancara (Interview) Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186)untuk memperoleh informasi dari terwawancara atau interviewee (Arikunto, 2002:132). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama, Ketua majelis hakim, Wakil Panitera Pengadilan Agama Salatiga. 4. Analisis Data Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untul menganalisa (data analysis) dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas (Arikunto. 2010:278). Metode analisis data yang digunakan adalah metode komparatif. 13 Metode komparatif disebut juga penelitian komparasi yaitu menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dan membandingkan persamaan atau perbedaan tersebut terhadap pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa ataupun ide-ide (Arikunto, 2010:310). Dalam penelitian ini yang dikomparatifkan adalahputusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sebagai bahan analisis data adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; KHI; PP No. 9 tahun 1975; UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 jo Pasal 14 s.d 36 PP No. 9 tahun 1975. 5. Tahap-Tahap Penelitian Setelah peneliti menentukan tema dan judul yang akan diteliti, kemudian peneliti melakukan tahapan observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga yaitu memperoleh salinan putusan perkara. Selanjutnya bertanya pada panitera tentang perkara perceraian khususnya perkara cerai talak bagi suami yang riddahdi Pengadilan Agama Salatiga secara praktek. Tahapan berikutnya adalah melakukan wawancara dengan Ketua majelis hakim perkara tersebut. 14 H. Sistematika Penulisan Secara sistematis penulisan penelitian ini adalah akan disusun sebagai berikut: BABPertamaberisi pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB Keduaberisiteori perceraian meliputi: Perceraian menurut fiqh yang diantaranya membahas tentang pengertian, dasar hukum, bentuk-bentuk perceraian, sebab-sebab terjadinya perceraian, serta akibat perceraian. Kemudian perceraian menurut perundang-undangan baik menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, dan KHI yang diantaranya membahas tentang pengertian, sebab dan alasan perceraian, tata cara perceraian serta akibat perceraian. Selanjutnya fasakh ditinjau dari fiqh dan perundang-undangan yang diantaranya membahas pengertian fasakh, sebab-sebab terjadinya fasakh, bentuk-bentuk fasakh, perbedaan fasak dengan talak, akibat fasakh dan fasakh sebagai alasan perceraian. Dan yang terakhir murtad sebagai alasan fasakh yang diantaranya membahas pengertian murtad, hukum murtad, murtad sebagai alasan perceraian. BAB Ketigaberisi hasil penelitian dan pembahasan meliputi: gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga, administrasi berperkara di PA Salatiga, putusan kasusgugatan perceraian karena salah satu pihak murtad di PA Salatiga. 15 BAB Keempatanalisis databerisi analisis data yaitu penanganan kasus gugat cerai karena murtad, perbedaan putusan No. 138/Pdt.G/2006/PA. SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL, implikasi putusan perceraian karena murtad. BAB Kelimapenutup berisi tentang kesimpulan dan saran. 16 BAB II TEORI PERCERAIAN A Perceraian menurut Fiqh 1. Pengertian Perceraian Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan, melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19).Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitab Al-Fiqh „ala alMadzahib Al-Arba‟ah )اأال ب ة )أا هاع ًاأا ذأtalaq menurut istilah adalah: أِد َدزأاَدةُراأانِّن َد َداا وْل ا ُر ْل َد ُرناا َدا ًة ِدهابِد َد ْل ٍظ َد ْل ُرىْل ا ٍظا ا “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus” (Al-Jaziri, 1972:861) Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga istri sudah tidak halal lagi bagi suami, seperti talak yang sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan istri, yaitu dalam talak raj‟i dapat mengurangi pelepasan istri (Supriatna, 2009:20). Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah fiqh yang berarti bubarnya hubungan nikah (Harjono, 1987:234). 17 Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup. Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami istri. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami istri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami istri tersebut. 2. Dasar Hukum Perceraian Tentang hukum perceraian ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar di antara semua itu adalah yang menyatakan bahwa perceraian itu “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu: اا اا ِد ْل َد ا ٍظا قَد َدلا َد اضُرىْل لُراهللاِدا َد اَد َد نَد اُرا ُر َّقا َدذ َّقوأ ٍظ:ص َدًاهللاا َدع َد ْلُ ِدها َدو َدض َد َدما Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan cerai). Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin adalah salah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi 18 tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istri, atau sudah tidak memiliki cinta dengan suami. Tetapi jika tidak ada alasan apapun berarti kufur terhadap nikmat Allah dan jahat kepada istri, maka karena itu dibenci dan terlarang. Golongan Hambali menjelaskan secara terperinci tentang hukum talak dalam Islam adalah wajib, haram, mubah dan sunnah (Thalib, 1993:99): a. Talak wajib Hukumnya talak wajib ada dua macam yaitu pertama talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah) karena perpecahan antara suami istri sudah sedemikian rupa dan menurut hakam talaklah jalan keluar yang paling baik sebagai upaya penyelesaian perselisihan antara suami istri (Sabiq, 1980:9). Kedua, talak wajib dijatuhkan oleh hakimketika suami bersumpah illa‟ dan telah berlalu empat bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada istrinya dengan membayar kafarah sumpah lebih dahulu dan istri akan mendapatkan madharat (Supriatna, 2009:24). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 226-227 ا 19 226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. b. Talak sunnat Talak sunnat yaitu dikarenakan istri mengabaikan kewajiban kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya atau istri kurang rasa malunya. Dalam hal keadaan seperti ini suami tidak salah untuk bertindak keras kepada istrinya, agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya untuk bercerai. Sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S An-Nisa:19 ا 19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. 20 Hukumnya sunnat yaitu jika suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehoramatan diri (Rasjid, 1986:402). c. Haram Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan,sedangkan istri dalam keadaan suci atau keadaan haid tetapi pada masa suci tersebut istri sudah digauli (Saleh, 2008:320). Diharamkan karena merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemashlatan yang mau dicapai dengan perbuatan talak itu. Jadi talaknya haram, seperti haramnya merusakkan harta benda (Sabiq, 1990:10). Sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagai berikut: ا َدراأا َدا ا ص َدًاأااُرا َدع َد ْلُ ِدها َدوا َدض َّق َدما االَدا َد قَد ا َدلا َد اضُرىْل الُراأااِدا َد ا َدرا َد ا َدو َداالا ِد Rasulullah saw bersabda: “Tidak (boleh) berbuat membahayakan dan tidak (boleh) membalas dengan bahaya.” d. Makruh Yaitu hukum asal dari talak (Rasjid, 1986:403). Jika suami menjatuhkan talak kepada istri yang salehah dan berakhlak yang baik, karena hal yang demikian dapat mengakibatkan istri dan anak terlantar serta akan menimbulkan kemadharatan. Atas dasar alasan ini yang menjadikan hukum talak menjadi makruh. Dalam riwayat lain dikatakan talak serupa ini dibenci ض ْلاا َد َد ا ِدلاأااَّقًاأااِد ْل اا اأا َد َدا ُرا ص َدًاأااُراا َدع َد ْلُ ِدها َدوا َدض َد َدماأَدا ْلب َد ُر اقَد َدلا َد ضُرىلُراأااا َد 21 Nabi saw bersabda: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 3. Bentuk-Bentuk Perceraian Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri atau yang disebut dengan perceraian. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan sebagai berikut: a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. Walaupun dengan kematian, hubungan suami istri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yamg suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya telah habis. b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talaq ا)ا )أا. Talaq adalah perbuatan yang halal tapi paling dibenci oleh Allah swt, hukum talaq lebih terperinci sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:231 22 ا 231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak) adalah sebagai berikut: 1) Perceraian ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali kepada istri setelah ditalak. (a) Talak Raj‟I yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istri dalam masa iddah, baik istri bersedia dirujuk maupun tidak tanpa akad nikah baru (Wasman, 2011:92). (b) Talak Ba‟in adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk terhadap istrinya. Apabila suami ingin kembali 23 kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur dan syarat pernikahan. Talak ba‟in menghilangkan tali ikatan suami istri. 2) Bentuk perceraian yang ditinjau dari waktu ikrar talak sebagai berikut: (a) Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi kemudian dibiarkan sampai selesai menjalankan masa iddahnya (Wasman, 2011:95). (b) Talak Bid‟I adalah talak yang dilarang dan menyalahi ketentuan agama, yaitu seperti mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat atau satu waktu, atau juga talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Wasman1, 2011:96). 3) Bentuk perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya. (a) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan di hadapan istrinya dan istri mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu. (b) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri memahami isi 24 dan maksud dari tulisan tersebut. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah talak secara tertulis bahwa tulisan harus jelas, tegas dan nyata ditunjukkan oleh suami terhadap istri secara khusus. (c) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan. Para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat sah bagi tuna wicara. (d) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istri melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak tersebut (Sabiq, 1980:27). c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak berkehendak. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu‟((أا ع. Hukumnya khulu‟ menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:229 25 ا 229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya perkawinan hubungan dalam perkawinan bentuk ini itu disebut dilanjutkan. Putusnya fasakh) ()أا طSyarifuddin, 2006:197). Sebagaimana yang tercantum dalam Hadist Nabi saw yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhari, yang isinya sebagai berikut: 26 ا َدٍ َد ت)ا ُر تَّق َد ٌم قا َدع َد ْلُ ِدها ا( ُر ُ َدَّقر ْل ابَد ِدر َد ُر َدع َدًازَد وْل ِد هَد ِدا ْلُنَد ا َدعتَد َد ْلا:ت اهللاُرا َدع ْلنهَد قَد اَد ْلا َدوع ْلَدنا َدع اِد َد ةَدا َد ِد ا( َد َد ُر ًّةرأ)ا:ا( َد َّقنازَد وْل َد هَد ا َد نَد ا َدع ْلب ًةأ)اا َدوفِدٍا ِد َدوأََد ِدة َدع ْلنهَد ا: اواِد ُر ْلط ِد ِدما َدع ْلنهَد فِد َد ٍاا ِد اَ ِد جاطَد ِدى ْلَ ِد َد شا ِدع ْلن ْلَدأابُر َد ِدٌِّن ا َد َّقهُرا َد نَد ا َدع ْلب ًةأ جاو َد َدو ْلأْلَد َّقولُرا َد ْلحبَدتُر َد ص َّقاع ِدَدناأب ِدْلنا َدعبَّق ِد “Aisyah Radiyallahu „anhu berkata: Barirah disuruh memilih untuk melanjutkan kekeluargaan dengan suaminya atau tidak ketika ia merdeka. Muttafaq Alaihi dalam hadits panjang. Menurut riwayat Muslim tentang hadits Barirah bahwa suaminya adalah seorang budak. Menurut riwayat lain, suaminya orang merdeka. Namun yang pertama lebih kuat Ibnu Abbas Radiyallahu „anhu riwayat Bukhari membenarkan bahwa ia adalah seorang budak”. (Tim Pustaka Hidayah, 2008:1035). Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara‟. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk antara lain sebagai berikut: a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar ( )أا ه ا. Hukumnya zhihar adalah haram sesuai dengan firman Allah swt Q.S Al-Mujadilah:2 ا 27 2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk kini disebut ila‟. Hukumnya ila‟ adalah boleh atau mubah.Secara terperinci ada dua macam hukum ila‟ yaitu hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada istrinya, dan hukum duniawi yaitu perceraian setelah empat bulan menunggu sejak mengucapila‟ (Supriatna, 2009:36). Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:226-227 ا 226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227.dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai proses 28 li‟an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut li‟an (Syarifuddin, 2006:198). Dasar hukumnya adalah Al-Qur‟an Q.S An-Nur:6-10 ا 6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. 7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030]. 8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orangorang yang dusta. 9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. 10. dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan). 4. Sebab-Sebab Terjadinya Talaq (Putusnya Perkawinan) Ada tiga hal yang menjadi penyebab putusnya suatu perkawinan di mana apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan 29 akan terjadi. Akan tetapi, Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut dari tiap penyebab tersebut agar tidak sampai terjadi perceraian.Sebab-sebab terjadinya talak atau perceraian adalah sebagai berikut: a. Nusyuz Istri Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti meninggi atau terangkat. Secara definitif nusyuzdiartikan dengan kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya (Syarifuddin, 2006:191). Nusyuzmenjadi awal penyebab perceraian karena istri yang demikian telah lalai akan kewajiban dalam rumah tangga atas kehidupan suami dan istri. Atas perbuatan itulah pelaku mendapat ancaman diantaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz tersebut. Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui Al-Qur‟an dan Hadits. Allah menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuznya seorang istri dalam Q.S An-Nisa:34 30 ا 34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. b. Nusyuz suami Nusyuz suami yaitu pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya, baik yang bersifat materi atau nafaqah dan atau yang bersifat non materi di antaranya mu‟asyarah bi al-ma‟ruf yaitu menggauli istrinya dengan baik. Tidak menggauli istri dengan baik maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang yang bertentangan dengan asas pergaulan baik (Syarifuddin, 2006:193). 31 Nusyuz suami merupakan salah satu penyebab perceraian karena pihak istri dirugikan dan jelas di sini keharmonisan rumah tangga tidak akan terwujud dan mengarah pada perceraian. Adapun tindakan istri apabila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan oleh Allah dalam Q.S An-Nisa:128 ا 128. dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. c. Syiqaq Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami dan istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul apabila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya. Syiqaq merupakan tahap perselisihan antara suami dan istri yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Bila terjadi konflik 32 keluarga seperti ini Allah swt memberikan petunjuk untuk menyelesaikanny. Hal ini terdapat dalam firman Allah swt Q.S AN-Nisa:35 ا 35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suamiisteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut 5. Akibat Perceraian Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya sebagai akibat dari perceraian tersebut antara lain: a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah, tidak boleh memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaiman yang berlaku antara dua orang yang saling asing. Dengan kata lain mengembalikan status semula yang berarti haram ketika masih bergaul. b. Keharusan memberi mut‟ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut‟ah sebagai pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya 33 jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang disebut mut‟ah. Mengenai hukum mut‟ah sendiri berbeda pendapat antara golongan Zahiriyah dan golongan ulama Malikiyah.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut‟ah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mut‟ah itu wajib, dasar wajibnya adalah Q.S Al-Baqarah:241 ا 241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ahmenurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. c. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya didak dapat membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasi setelah bercerai. d. Berlaku ketentuaniddah atas istri yang dicerai. Iddah berasal dari kata addawa‟uddu – „idatan dan jamaknya adalah „iddad. Secara (etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Secara istilah berarti nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menunggu untuk perkawinan selanjutnya setelah wafat suaminya atau karena perpisahan (perceraian hidup) dengan suaminya. 34 Dasar hukum „iddah sendiri telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah:228 dan 234, Ath-Thalaq:4(Supriatna, 2009:68). e. Hadhanah yaitu pemeliharaan terhadap anak. Secara bahasa hadhanah berarti erat, secara istilah berarti memelihara, mengasuh, mendidik anakanak yang masih kecil untuk menjaga kepentingannya dan melindunginya dari bahaya yang mengancamnya karena dia belum bisa berdiri sendiri. Dasar ajaran tentang hadhanah adalah Q.S An-Nisa:9 ا 9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. B. Perceraian Menurut Perundang-undangan 1. Pengertian Perceraian Dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena a. kematian, b. perceraian dan c. atas putusan pengadilan.Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian, UUP memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci, 35 dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Dalam KHI juga disebutkan tentang putusnya perkawinan pada pasal 113 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kemudian pada pasal 114 yaitu bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dilanjutkan pada pasal 115 yaitu disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No. 1 tahun 1974 dalam pasal 18 disebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. 2. Sebab dan Alasan Perceraian UUP No. 1 tahun 1974 dan KHI memiliki persamaan dari hal sebab putusnya perkawinan, hanya saja di dalam KHI alasan-alasan perceraian lebih dijelaskan secara terperinci. UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 dan dalam KHI Pasal 113 sebab putusnya perkawinan ada tiga yaitu kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. 36 Sedangkan untuk alasan perceraian dalam KHI terdapat pasal 116, perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Alasan perceraian yang terdapat pada PP No. 9 tahun 1975 diatur dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa perceraian dapat terjadi karena alasanalasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. 37 f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 3. Tata Cara Perceraian Tata cara perceraian diatur di dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 39 dan pasal 40. Dalam pasal 39 disebutkan bahwa: a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Selanjutnya dalam pasal 40 disebutkan sebagai berikut: a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan b) Tata cara menjalankan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri Dalam KHI diatur tentang tata cara perceraian di bagian kedua dari pasal 129 sampai dengan pasal 148. Pasal 129 menyebutkan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan atau tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri atau disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. 38 Pasal 131 menjelaskan secara terperinci tentang tata cara perceraian yaitu sebagai berikut: a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan, untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya. d) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikar talak baginya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh, e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuatpenetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri. Pasal 132 berisi tentang tata cara gugatan yang dilakukan oleh pihak istri. Pasal 133 berisi tentang gugatan perceraian berdasarkan alasan pasal 116 huruf b. Pasal 134 tentang tata cara gugatan perceraian berdasarkan pasal 116 huruf f. Pasal 135 dijelaskan tentang gugatan perceraian yang dimaksud dalam pasal 116 huruf c. Pasal 136 berisikan tentang hal-hal sebagai berikut: a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 39 b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: 1. menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami. 2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atas barang-barang yang menjadi hak milik suami atas barang-barang yang menjadi hak istri. Sedangkan pasal 137 yaitu gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 berisi tentang aturan tempat tinggal baik penggugat ataupun tergugat. Untuk tata cara pemeriksaan gugatan dan sidang perceraian diatur dalam pasal 141, 142, 143, 144 dan 145. Pembacaan putusan dan penjelasan tentang salinan putusan diatur dalam pasal 146, 147, dan pasal 148. Menurut pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 menjelaskan tentang perihal tata cara perceraian sebagai berikut seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan alasanalasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Dilanjutkan pada pasal 15 bahwa Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan 40 dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 dan pasal 17 menjelaskan tentang ketentuan sidang di Pengadilan. Untuk gugatan perceraian dan jalannya sidang di Pengadilan diatur lebih terperinci pada pasal 20 sampai dengan pasal 36. 4. Akibat Perceraian Ditinjau dari UUP No. 1 tahun 1974 pasal 41, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ditinjau dari KHI BAB XVII bagian kesatu pasal 149 yaitu bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. 41 Selanjutnya menurut PP No. 9 tahun 1975 pasal 24 ayat 2, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. C. Fasakh 1. Fasakh menurut Fiqh Putusnya perkawinan selain disebabkan karena talak, juga dapat disebabkan karena fasakh. Meskipun talak dan fasakh sama-sama dapat menyebabkan putusnya suatu perkawinan namun latar belakang penyebabnya dan dampak hukum yang ditimbulkan berbeda. a. Pengertian Fasakh Secara bahasa (etimologis), fasakh berasal dari kata al-faskh yang berarti batal atau fasid atau rusak. Sedangkan secara definitif konseptual (terminologis) adalah mencabut hukum dari asalnya hingga seakan-akan tidak pernah terjadi(Supriatna, 2009:60). Sebagaimana yang diutarakan oleh Wahbah az Zuhaili, fasakh berarti: 42 أَد ْلا ُر َدرأ ُرغتَد ْل ِدر ْلَقًةاو ِدُِد َدطبَد ُر اأ ْل اوأا ّسوْل َد ِدةاا( ) َدوقَدىْل ٌم عا ا د َد أدابَد ْلُنَد اأا ّسوْل ِد أداع ْلَدنا َد بَد ِدطاأا ّس َدو ِد الفِد َدر ِد ا َدر َد أَد ْلَُد ْل ِد َد ًةاوأاَّقتِد ْلٍا اثافَدَُد ْل ِد ُراأا َّقس َدوأ ُر نَد ْل َدطهُرا َدوْل عَدناطَد ِدرَْلق(ب)اأَد ْلْل ْلشَُد ِدءا َد ِدوأَد ِدْلَداْل َدأ ِد ِد ثاأَداّتِد ْلٍا َدأ ِدٍاالَد ِداق َد َد َد ْل ا اَدًاأارّأبِد َد ِدةاأا َّقسوْل ِد َُّقةَد َدالَُر ِد َد ُرنا ِدَُد ْلطتَد ِد َّقار “batal, putus, dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri yang disebabkan oleh (a) terjadinya kerusakan atau cacat yang terjadi pada akad nikah itu sendiri maupun oleh (b) hal-hal atau peristiwaperistiwa yang datang kemudian yag menyebabkan ikatan perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan”. (Az Zuhaili, 1989:349). Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnyaAl-Ahwal AlSyakhshiyyahmenyebutkan: أَدا َد ْلط ُراأا َّقبِد ْلُ َد ةَدا ِدَُد َد ْلُ ُرر َد ْل رُروْل فَد ٍظةا َدوْل َُر َد ِد َد ُقا اث َداال ِدا ًة ُرنَد َد ِدِل ْلنا َدذأاِدكَداأِد ْلضتُر ِد َدرأ ُر َد ْل ِد ِد اأا َد ْل َداأاَّق ِدذٌا َد َد َد ْل ْلرافَد ِدةا َدش ْلٍ ٍظءأاتِدٍا ُر َد ِدا ُر ْل اأا َد ْل َدابَد ِدط اًة أد وْل ُر َدى َدتِد ْلُ َد ةٌمااِد َد ِد أَدا َّقس َدو ِد Artinya: “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi akad yang menjadikan akad tersebut tidak sah” (Abu Zahroh, 1957:347). Dari definisi-definisi di atas, penulis memiliki kesimpulan tentang pengertian fasakh. Fasakh dalam perkawinan yaitu membatalkansuatu hubungan ikatan perkawinan antara suami dan istri karena tidak terpenuhinya syarat-syarat dan rukun ketika berlangsung akad nikah. Fasakh juga bisa 43 terjadi karena hal-hal yang lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. b. Sebab-Sebab Terjadinya Fasakh Dalam Suatu Perkawinan Menurut fiqh suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah dapat mengalami fasakh atau rusak tanpa harus adanya keputusan Hakim dengan dua sebab utama yaitu sebagai berikut: 1) Rusaknya atau adanya cacat ketika akad nikah dilangsungkan. Rusaknya akad pernikahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (a) Apabila setelah perkawinan berlangsung di kemudian hari diketahui bahwa ternyata antara suami istri adalah masih muhrim. Menurut para fuqaha, ketika keduanya mengetahui bahwa mereka ternyata masih muhrim maka disaat itu juga akad nikah (perkawinan) mereka batal dengan sendirinya tanpa perlu mengcapkan ikarar talak dan juga tanpa adanya putusan hakim. (b) Apabila wali (ayah atau kakek) menikahkan anak laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur maka setelah pernikahan terjadi dan keduanya sudah menjadi dewasa, maka keduanya berhak secara bebas untuk mengakhiri pernikahan tersebut. 2) Munculnya suatu penghalang setelah berlangsungnya perkawinan. 44 (a) Setelah pernikahan (rumah tangga) berlangsung, salah satu dari suami istri itu murtad (keluar dari agama Islam) dan pernikahannya batal dengan sendirinya. (b) Jika pasangan suami istri dahulu menganut agama non Islam kemudian istri masuk Islam maka pernikahan batal karena wanita muslimah tidak boleh nikah dengan lelaki musyrik. Apabila suami masuk Islam dan istri menganut non Islam maka pernikahan tidak batal sebab lelaki muslim boleh nikah dengan wanita ahlulkitab (Supriatna, 2009:60). c. Bentuk-Bentuk Fasakh Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya: 1) Fasakh terjadi karena rusak atau cacatnya akad pernikahan yang penyebabnya diketahui setelah pernikahan berlangsung. 2) Fasakh terjadi karena istri dimerdekakan dari status budak sedangkan suaminya tetap berstatus budak dan istri berhak untuk fasakh. 3) Fasakh yang terjadi karena perkawinan yang dilakukannya adalah nikah mut‟ah. 4) Fasakh yang terjadi karena menikahi wanita yang masih dalam iddah. Bentuk-bentuk fasakh yang memerlukan campur tangan hakim atau Pengadilan antara lain adalah: 45 1) Fasakh yang disebabkan si istri merasa tidak sekufu (setara, sepadan) dengan suaminya. 2) Fasakh yang disebabkan karena li‟an yang berarti saling melaknat. Secara istilah adalah kesaksian-kesaksian yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami atau istri menuduh istrinya berzina. 3) Fasakh yang terjadi karena istri masih musyrik dan tidak mau masuk Islam sedangkan istri menuntut perceraian dari suami. 4) Fasakh akibat salah satu dari suami atau istri menderita penyakit gila (Supriatna, 2009:62). d. Perbedaan antara Fasakh dengan Talak Sebagaimana telah sedikit disinggung, antara talak dan fasakh adalah sama-sama dapat memutuskan atau mengakhiri sebuah pernikahan namun antara keduanya memiliki beberapa perbedaan antara lain sebagai berikut: Pertama, dari segi hakikatnya. Fasakh berarti pembatalan akad nikah serta menghilangkan seluruh akibat pernikahan secara otomatis ataupun sekaligus. Talak artinya upaya mengakhiri suatu pernikahan (rumah tangga) dan seluruh akibat-akibatnya serta baru habis apabila talak yang dijatuhkan itu adalah talak tiga. Kedua, dari segi penyebabnya. Fasakh adakalanya disebabkan oleh adanya cacat pada akad nikah ketika pernikahan dilangsungkan atau 46 disebabkan oleh munculnya hal-hal tertentu yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak bisa dilanjutan. Talak merupakan hak suami yang dipergunakan atas kehendak sendiri sementara akad nikah itu sendiri sama sekali tidak ada akadnya. Ketiga, dari segi ada atau tidaknya kehendak untuk melepaskan ikatan pernikahan. Unsur kehendak dalam fasakh pada umumnya tidak ada kecuali dalam kasus khiyar al-bulug. Dalam talak, unsur kehendak untuk menjatuhkan talak dengan tujuan untuk mengakhiri pernikahan sangat menentukan. Keempat, dari segi akibat atau dampak hukum, Putusnya pernikahan akibat fasakh tidak mengurangi bilangan talak. Sedangkan putusnya pernikahan akibat talak yang membawa akibat berkurangnya bilangan talak yang dimiliki suami (Supriatna, 2009:64). 2. Fasakh Menurut Perundang-undangan. Undang-undang di Indonesia juga mengatur tentang batalnya perkawinan baik UUP No. 1 tahun 1974, KHI maupun PP No. 9 tahun 1975. a. Pengertian Fasakh Dalam BAB VI Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. 47 Penulis tidak menemukan definisi pembatalan perkawinan dari PP ini, namun dari pasal tersebut penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan dan harus melalui keputusan sah Pengadilan. Dalam UU perkawinan tidak disebutkan tentang istilah fasakh melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian kata dapat pada pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal yaitu tergantung apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak menentukan lain. Sebagaimana dalam PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 1 tahun 1974, di dalam KHI juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, tetapi dari penjelasan-penjelasan pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami dan istri sesudah dilangsungkan akad nikah yang disebabkan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Apabila setelah akad ditemukan rukun 48 yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak hanya batal tetapi tidak sah. b. Sebab-Sebab Fasakh Di dalam UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan tentang sebab-sebab pembatalan nikah dan berhubungan dengan pembatalan nikah. Pada pasal 22 dijelaskan perkawinan dapat batal apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat (pada pasal 6-12) untuk melangsungkan perkawinan. Maksud dari pasal ini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan apabila terbukti syarat dari para pihak tidak terpenuhi. Pasal 26 dan pasal 27 menjelaskan tentang sebab-sebab dibatalkannya suatu perkawinan. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan tentang perkawinan dapat batal karena tiga hal. Pertama, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah yang tidak resmi dan berwenang. Kedua, Wali dalam nikah tidak sah atau di luar nasab. Ketiga, perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Pembatalan dapat dimintakan oleh keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa, suami atau istri. Pasal 26 ayat 2 menjelaskan tentang gugurnya hak untuk membatalkan oleh suami atau istri yang terdapat pada pasal 26 ayat 1. Ada dua hal yang menyebabkan gugur hak pembatalan nikah yaitu apabila pasangan suami dan istri telah hidup bersama sebagai suami istri. Kedua, memiliki akte 49 perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang sehingga perkawinan tersebut harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 ayat 1 menyebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Hak pembatalan nikah akan gugur termuat dalam pasal 27 ayat 2 yaitu apabila terdapat tiga hal, pertama ancaman berhenti. Kedua yang bersalah sangka menyadari keadaannya. Ketiga, dalam jangka waktu enam bulan pasangan suami istri telah hidup bersama dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan pembatalan pernikahan. Di dalam KHI juga dijelaskan tentang pembatalan perkawinan. Pada bab XI pasal 70 menyebutkan sebab-sebab pembatalan nikah. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila yang pertama suami melakukan perkawinan sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj‟i. Kedua seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya. Ketiga seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. Kemudian keempatperkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungandarah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yangmenghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 tahun 1974, yaitu: 50 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. Kelima yaitu istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. c. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan Akibat dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 28 yaitu batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.Kedua putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau istri yang bertindak dengan i‟tikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, orangorang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau istri yaitu sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i‟tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap. Dalam pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Selain itu juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut kepada perkawinan yang batal 51 karena salah satu suami atau istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Selanjutnya pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri‟tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian Di dalam perundangan Islam maupun perundangan umum, fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinannya. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah yaitu setelah akad nikah ternyata diketahui bahwa istri merupkan saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami. Fasakh yang datang setelah akad apabila salah seorang suami atau istri murtad dan tidak mau kembali ke agama Islam, maka akadnya fasakh karena kemurtadan yang terjadi belakangan. Perkara-perkara lain yang mengaruskan untukfasakh bagi suami atau istri kecacatan atau keaiban. Kemudian suami tidak sanggup memberi nafkah kepada istri. Iatri memiliki hak untuk fasakh jika istri tidak mengetahui keadaan kemiskinan suami saat akad. Perkara selanjutnya adalah suami melakukan kekejaman. Perkara ini sudah jelas bahwa tujuan pertama 52 pernikahan sudah tidak terwujud. Suami yang meninggalkan tempat kediaman bersama tidak diketahui ke mana perginya dan tidak diketahui hdup dan matinya. Kemudian perkara yang terakhir adalah suami yang dihukum penjara dapat dijadikan alasan untuk meminta fasakh karena dengan sebab ini menimbulkan penderitaan bagi istri (Gazhali, 2006:89) D. Murtad Sebagai Alasan Fasakh 1. Pengertian Murtad Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti “kembali (kapada jahiliyah)”. Riddah merupakan perbuatan kufur yang sangat keji dan menghapus semua amal jika dilakukan terus-menerus sampai mati (Zainuddin, 1994:548). Kata riddah merupakan isim masdar dari kata irridad yang secara harfiah berarti “kembali”, “dikembalikan”, “berpaling”. “dipalingkan” (Soleh, 1994:9). Sebagaimana yang termaktub dalam Q.S Al-An‟am:28 ا 28. tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya[466]. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. dan Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka. Menurut istilah Ensiklopedia Islam riddahmakna asal dari kembali (ke tempat atau jalan semula), namun kemudian istilah ini dalam 53 penggunaannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah agama selain Islam. Dari pengertian riddah dapat dikemukakan pengertian murtad adalahorang Islam yang keluar dari agama Islam kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak beragama (Nasution, 1992:696) Murtad (riddah) adalah kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki dengan murtad adalah kembalinya orang Islam yabg berakal dan dewasa kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Baik yang kembali itu orang lelaki maupun orang perempuan (Sabiq, 1984:168). Allah berfirman dalam Q.S Ali-Imran:85 yang berbunyi: ا 85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. Dalam hal ini Imam Syafi‟i mempunyai dua pendapat yaitu pendapat yang pertama, mengatakan bahwa bila ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir, maka ia tidak dapat diterima kecuali masuk Islam atau dibunuh. Kemudian pendaoat yang kedua mengatakan bahwa bila apabila ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir tetapi sepadan 54 kualitasnya lebih tinggi, maka menurut pendapat Imam Syafi‟I ini setuju terhadap hal tersebut. Jika orang Islam murtad atau berpindah agama maka terdapatlah perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah yaitu ada tiga: 1) Hubungan Perkawinan Jika suami dan istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. Karena riddahnya salah satu pihak merupakan suatu hal yang mengharuskan suami istri berpisah. Dan bila salah satu yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar. 2) Hak Waris Orang murtad tidak boleh mewarisi harat peninggalan kerabatkerabat muslimnya. Karena orang murtad itu adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, maka tentu saja tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Dan bila ia mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya diambil alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam. 3) Hak kewajibannya 55 Orang yang murtad tidak mempunyai hak kewalian terhadap orang lain, ia tidak boleh menjadi wali dalam akad nikah anak perempuannya. 2. Hukum Murtad Menurut Fiqh, hukum murtad adalah haram.Murtad (riddah) adalah dosa besar yang dapat menghapus amal-amal shaleh sebelumnya. Dosa ini pasti dibalas dengan hukuman yang setimpal di akherat. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah:217 ..... ا اا ....”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” 217. Sebagaimana yang termaktub dalam Hadits HR. Bukhari: اأهللاُرا َدو َد ِّنٍا َد ضُرىْل ل َّق ئا ُر ْلط ِد ٍظم اََد ْل هَد ُر ا َد ْلناالا اَّقهَدا ِد َدل َّق ُراهللاِد ا لَّقاأاابِدإِداْل َديا الَدََد ِد َّقا َد ُرماأ ْل ِدر ٍظ ص ا َدوأاخَّقُِّن ُر اأا َّقسأ ِدٍ ا َدوأا َد ِد ُر اا ِد نَد اأا ِّنَ ِدناأاتَّق ِد ُر ااِد ْل َد اع ِدةا حَد َد ٍظا اأانَّق ْلصُر ابِد انَّق ْل ِد:ث “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin” (HR. Bukhari 6878, Muslim 1676, Nasai 4016). 56 Hukuman murtad di dalam Fiqh adalah dibunuh. Hukuman ini berdasarkan keputusan dari Nabi saw dan hal ini bukan pemikiran atau hasil ijtihad manusia, apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik kaum muslimin. Sebagaimana yang ada pada hadits Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda: َد ْلنابَد َّق ا َدلا ِد ََدنَدهُرافَد ْلقتُر ُرى اوُر “Siapa yang mengganti agamanya bunuhlah dia” (HR.Bukhari 3017, Nasai 4059). Adapun ketentuan diantara para ahli hukum bahwa tindak pidana ini diancam dengan hukuman mati perlu dikaji ulang. Karena pernyataan Nabi ketika orang yang mengganti Agama harus dihukum mati, hal itu terjadi pada musim perang, yakni ada sebagian tentara Islam yang berjiwa munafik bertindak disersi (pengkhianat negara), maka orang yang melakukan disersi diperintahkan untuk dibunuh. Itupun diawali dengan upaya untuk menyadarkan si pelaku agar ia kembali kepada Islam. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Anfal:38 ا 38. “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610] Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". 57 Konseptualisasi perbuatan murtad yang ada di dalam Al-Qur‟an dan As-sunnah dipertemukan dengan pendekatan komplementatif dan kontradiktif. Artinya kalau perbuatan murtad hanya diajukan kepada keyakinan dirinya sendiri, tanpa mempengaruhi dan mengajak orang lain untuk murtad, kondisi negara sedang damai, serta orang lain tidak terganggu dengan kemurtadan orang tersebut. Maka baginya tidak ada sanksi di dunia, malainkan hanya ada sanksi yang bersifat ukhrawi (Munajat, 2009:163). 3. Murtad sebagai Alasan Perceraian a. Menurut Perundangan. Di dalam KHI dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan karena murtad atau peralihan agama salah satu pihak murtad yang termaktub dalam pasal 116 huruf (h) adalah perbuatan murtad yang dilakukan salah seorang suami atau istri yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumahtangga. Dengan kata lain, apabila perbuatan murtad itu tidak disertai dengan ketidakrukunan dalam rumahtangga, maka perbuatan murtad suami atau istri tidak dapat dijadika alasan perceraian. Pada pasal 75 secara eksplisit menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad. Secara implisit pasal 75 memberikan pemahaman bahwa murtadnya salah seorang suami atau istri membatalkan perkawinan, namun batalnya perkawinan itu dihitung sejak dibatalkannya perkawinan itu saja bukan sejak 58 akad perkawinan. Sehingga dampak dari perkawinan tersebut, seperti anakanak yang lahir dalam perkawinan tetap diakui keabsahannya. b. Menurut Fiqh Putusnya perkawinan karena murtadnya suami atau istri dalam pandangan fiqh dibedakan menjadi dua perbuatan murtad yaitu perbuatan murtad yang dilakukan sebelum dukhul dan perbuatan murtad yang dilakukan setelah dukhul(Ismail, 1998:231). Perbuatan murtad sebelum dukhul, akibat hukum terhadap status perkawinan adalah putus seketika (ba‟in) dengan jalan fasakh. Waktu putusnya perkawinan adalah sejak terjadinya perbuatan murtad tersebut. Sedangkan akibat hukum perbuatan murtad setelah dukhul adalah putus dengan fasakh. Waktu putusnya perkawinan tersebut adalah diberikan waktu tenggang sampai berakhirnya masa iddah. Tetapi, ketika telah putus, waktu putusnya perkawinan dihitung sejak terjadinya perbuatan murtad tersebut. 59 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga 1. Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga. Pengadilan Agama Salatiga terletak di Jl. Raya Lingkar Salatiga, Dusun Jagalan Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Nomor telepon layanan publik yang dapat dihubungi adalah (0298)325243. Website resmi dan akun resmi Pengadilan Agama Salatiga adalah www.pa-salatiga.go.id dan [email protected] Pengadilan Agama Salatiga memiliki luas bangunan 1300m2 dan berdiri di atas tanah seluas 5425m2. Batas-batas wilayah Pengadilan Agama Salatiga sebelah utara adalah Kabupaten Semarang, sebelah timur Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali, kemudian sebelah selatan adalah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang, sebelah barat adalah Kabupaten Semarang dan Kota Semarang (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63). Sumber hukum formil dalam pembentukan Pengadilan Agama Salatiga adalah Staatblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Maduradengan nama Raad Agama/penghulu Landraad. 60 Tentang perubahan wilayah hukum Pengadilan Agama di Salatiga juga didasarkan pada KMA RI (Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia) No. 76 tanggal 10 Nopember 1983 tentang Penetapan Perubahan Wilayah Hukum Pengadilan Agama.Wilayah yurisdiksi atau daerah hukum PengadilanAgama Salatiga meliputi wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63). Kompetensi atau kewenangan Pengadilan Agama di Salatiga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif adalah kekuasaan atau dasar wilayah hukum dan tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Kompetensi relatif dijelaskan dalam pasal 4 ayat 1UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi, “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten”.Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga meliputi Pemerintahan Daerah Kabupaten Semarang yang terdiri dari 13 Kecamatan dan 169 Desa. Wilayah Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Tingkir. Jumlah penduduk sebanyak 177.088 orang, dengan rincian penduduk beragama Islam sebanyak 136.870 orang, penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 30.193 orang,penduduk beragama Katolik sebanyak 9.035 orang, penduduk beragama Hindu sebanyak 98 orang, 61 penduduk beragama Budha sebanyak 882 orang dan yang menganut berdasarkan kepercayaan sebanyak 10 orang. Wilayah Kabupaten Semarang terdiri dari 9 kecamatan yaitu Kecamatan Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan Getasan, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan, Kecamatan Suruh, Kecamatan Pabelan dan Kecamatan Kaliwungu. Jumlah penduduk sebanyak 578.845 orang, dengan rincian penduduk beragama Islam sebanyak 423.347 orang, penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 100.452 orang, penduduk beragama Katolik sebanyak 43.252 orang, penduduk beragama Hindu sebanyak 7.216 orang, penduduk beragama Budha sebanyak 5.578 orang dan yang menganut berdasarkan kepercayaan sebanyak 114 orang.Masing-masing jumlah desa dalam setiap kecamatan diperinci sebagai berikut wilayah Kecamatan Argomulyo terdapat 6 kelurahan, Kecamatan Bancak terdapat 9 desa, Kecamatan Bringin terdapat 16 desa, Kecamatan Getasan terdapat 14 desa, Kecamatan Kaliwungu terdapat 11 desa, Kecamatan Pabelan terdapat 17 desa, Kecamatan Sidomukti terdapat 4 desa, Kecamatan Sidorejo terdapat 6 desa, Kecamatan Suruh terdapat 17 desa, Kecamatan Susukan terdapat 13 desa, Kecamatan Tengaran terdapat 15 desa, Kecamatan Tingkir terdapat 5 desa dan Kecamatan Tuntang terdapat 16 desa (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:68). . 62 Untuk lebih dijelasnya disajikan dalam tabel 3.1 Tabel 3.1Wilayah Yurisdiksi atau Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga No 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Wilayah Kec. Argomulyo Kec. Bancak Kec. Bringin Kec. Getasan Kec. Kaliwungu Kec. Pabelan Kec. Sidomukti Kec. Sidorejo Kec. Suruh Kec. Susukan Kec. Tengaran Kec. Tingkir Kec. Tuntang Jumlah Jumlah/Desa 6 Desa 9 Desa 16 Desa 14 Desa 11 Desa 17 Desa 4 Desa 6 Desa 17 Desa 13 Desa 15 Desa 5 Desa 16 Desa 149 Desa dan Kelurahan Sumber : Buku Profil Peradilan Agama Se-Jawa Tengah Selanjutnya kompetensi kedua di Pengadilan Agama Salatiga adalah kompetensi absolut yaitu wewenang suatu Pengadilan yang bersifat mutlak dan dapat diartikan kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, sebagai contoh Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan kompetensi absolut. Artinya apa yang telah ditegaskan 63 menjadi porsi setiap lingkungan peradilan, secara mutlak menjadi kewenangan peradilan tersebut untuk memeriksa dan memutus perkara. Lingkungan peradilan yang lain tidak berwenang untuk mengadili. Kompetensi absolut diatur dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 di mana dibagun atas azaz Personalitas Keislaman. Dalam pasal 2 disebutkan, “peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang sudah diatur dalam pasal 49 ayat 1 UU No. 3 tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari‟ah. Visi Pengadilan Agama Salatigaadalah mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat dan berwibawa. Sedangkan misi Pengadilan Agama Salatiga adalah a. Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai ddengan hati nurani. b. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen bebas dari campur tangan pihak lain. 64 c. Meningkatkan pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan proporsional. e. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat dalam melaksanakan tugas. Dalam struktur organisasi di Pengadilan Agama Salatiga, yang menjabat sebagai Ketua yakni Drs. H. Umar Muchlis, sebagai Wakil Ketua adalah Drs. Muhdi Kholil, SH. MH kemudian yang menjadi fungsional hakim adalah H. Suyanto, SH. MH; Muhsin, SH; Drs. Jaenudi, MH dan Drs. M. Muslim. Panitera Sekretaris adalah Drs. H. Jamali, Wakil Panitera Drs. Farkhan dan sebagai Wakil Sekretaris H. M. N. Agus A., SH. Selanjutnya Panitera Muda permohonan yakni Handayani, SH, Panitera Muda Hukum adalah Drs. Widad, sedangkan Panitera Muda gugatan adalah Mamnukin, SH. Kemudian dilanjutkan Kasubag kepegawaian adalah Mi‟ratul Hidayah S.Hi, Kasubag Keuangan Ruli Arista W., S. Kom dan Kasubag Umum yakni M. Azim Rozi. Untuk kelompok Kepaniteraan Panitera Pengganti antara lain dijabat oleh Miftan Jaunnara, SH; Imam Yasykub, SA; Hj. Wasilatun, SH; Fitri Ambarwati, SH; dan terakhir H. Fadlan Nasyim, S.Ag. Untuk kelompok Jurusita atau Jurusita Pengganti antara lain Khalim Mudrik, M. S.Sy; M. 65 Nawal Annaji dan Danang P. N (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:72). 2. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga a. Masa Sebelum Penjajahan Awal mula Pengadilan Agama Salatiga tidak telepas dari sejarah awal peradilan di Indonesia. Sebelum datangnya agama Islam, Indonesia mempunyai dua jenis peradilan yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu. Peradilan Pradata menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu menyelesaikan perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja. Dua jenis peradilan tersebut muncul karena adanya pengaruh budaya Hindu yang masuk ke Indonesia. Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar dari Makkah danMadinah, masyarakat mulai melaksanakan dan menerapkan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fiqih. Kemudian hal ini memberikan pengaruh kepada tata hukum di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Sultan Agung (Raja Mataram) yang pertama kali mengadakan perubahan dalam tata hukum dengan pengaruh agama Islam. Perubahan ini awalnya diwujudkan khusus dalam nama pengadilan, yaitu pengadilan yang semula bernama pengadilan Pradata diganti dengan pengadilan Surambi. 66 Begitu juga dengan tempat pelaksana pengadilan, yang semula pengadilan Pradata diselenggarakan di Sitinggil dan dilaksanakan oleh raja, kemudian dialihkan ke serambi masjid agung dan dilaksanakan oleh para penghulu yang dibantu oleh para alim ulama‟. Perkembangan berikutnya yaitu pada masa akhir pemerintahan Mataram, terdapat 3 majelis pengadilan di daerah periangan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drigama dan Pengadilan Cilaga.Pengadilan Agama Salatiga yang kita ketahui sekarang sudah ada sejak Agama Islam masuk ke Indonesia. Pengadilan Agama Salatiga mulaiada bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang yang terjadi sengketa, mereka menyelesaikan perkara melalui Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja. Kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yaitu penguasa tertinggi. Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama‟ yang ahli di bidang Agama Islam (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63) b. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang Ketika penjajah Belanda masuk ke Pulau Jawa khususnya di Salatiga dijumpai masyarakat Salatiga telah berkehidupan dan menjalankan syari‟at Islam. Demikian pula dalam bidang Peradilan umat Islam Salatiga dalam 67 menyelesaikan perkara dengan menyerahkan keputusan kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan aturan yang telah ada. Kemudian karena kesulitan tersebut, oleh pemerintah kolonial Belanda diterbitkan pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatregaling) sebagai landasan formil untuk mengawasi masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu berdirinya Raad Agama. Pemerintah kolonial Belanda juga menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staatsblaad No. 22 tahun 1980 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama‟. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940. Kantor yang digunakan masih berada di serambi MasjidAl-Atiq Kauman Salatiga. Ketua dan Hakim Anggota adalah dari alumnus Pondok Pesantren.Pada struktur organisasi berjumlah3orang yaitu K. Salim sebagai ketua, K.Abdil Mukti sebagai Hakim Anggota, Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara serta seorang pesuruh. Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Salatiga dan Kabupaten Semarang. Adapun perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Masa penjajahan Jepangpada tahun 1942 sampai dengan 1945 keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang 68 karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan dihadapkan dengan berbagai pertempuran. Dari struktur organisasi, Ketua beserta stafnya juga masih sama (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63-64). c. Masa Kemerdekaan `Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan Agama Salatiga berjalan dengan aturan seperti pada masa penjajahan Belanda sampai dengan Jepang. Kemudian pada tahun 1949 ada perubahan dalam struktur organisasi yaituK. Salim sebagai Ketua digantikan oleh K. Irsyam dan dibantu oleh 7 pegawai. Kantor yang digunakan masih di serambi Masjid AlAtiq Kauman Salatiga yang tepat bersebelahan dengan KUA Kecamatan Salatiga. Keduanya menggunakan serambi Masjid sebagai kantor. Pada tahun 1953 terjadi perubahan struktur organisasi yaitu ketua sebelumnya digantikan oleh K. Moh Muslih. Kemudian pada tahun 1963 Ketua dijabat oleh KH. Musyafa'. Selanjutnya pada tahun 1967 Ketua dijabat oleh K. Sa'dullah. Semua ketua yang pernah menjabat serta pegawai adalah alumnus Pondok Pesantren. Kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid Al-Atiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No.72 Salatiga hingga tanggal 30 April 2009. Kemudian pada tanggal 1 Mei 2009 kantor berpindah lagi di Jl. Lingkar 69 Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kantor lama digunakan sebagai arsip dan rumah dinas(Tim Dirjen Badan Peradilan Agama, 2014:64). d. Masa Berlakunya UU No. 1 tahun 1974 Sejak berlakunya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan dan posisi Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga. Akan tetapi umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum mempunyai UU yang mengatur tentang keluarga muslim.Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan dan diundangkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 68 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah: 1) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam 2) Pengadilan Umum bagi lainnya Adapun peraturan pelaksanaannya diterapkan dalam PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan berlakunya PP No. 9 tahun 1975 secara efektif UU perkawinan telah diterapkan. Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari sektor fisik masih tetap seperti peradilan agama sebelum masa berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Akan tetapi fungsi dan peranan semakin luas karena banyak perkara yang masuk menjadi wewenang Pengadilan Agama Salatiga. 70 Pada perkembangan berikutnya sehubungan dengan perananPengadilan Agama dalam periode 1974 sampai dengan 1989 adalah dikeluarkan PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan pemerintah iniberpengaruh terhadap wewenang Pengadilan Agama yang semakin luas dan mantap (Pengadilan Tinggi Semarang, 2014:65). e. Masa Berlakunya UU No. 7 tahun 1989 Sejak diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama Salatiga berwenang menjalankan keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Dalam pasal 49UU No. 7 tahun 1989 yang diperjelas dalam Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga tentang kewenangan Pengadilan Agama Salatiga meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakafdan shadaqah. UU No. 7 tahun 1989 memberikan kewenangan penuh kepada Pengadilan Agama Salatiga untuk menangani perkara yang menjadi kompetensi absolutnya. Pengadilan Agama tidak lagi menjadi quasidari Pengadiilan Negeri. Undang-Undang ini masih menberikan ruang intervensi bagi eksekutif dalam bentuk 71 pembinaan kepegawaian di bawah KementrianAgama. Undang-undang inilah yang dianggap sebagai titik bangkit Peradilan Agama menjadi peradilan sesungguhnya. Sesuai dengan UU, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.Sejak Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI, mulai diadakan pemisahan jabatan antara kepaniteraan dan kesekretariatan. Jabatan antara jurusita dan panitera pengganti dirangkap menjadi satu tugas. Jabatan Ketua Pengadilan Agama Salatiga bertugas mengawasi dibidang upaya pembenahan dan peningkatan kinerja di Pengadilan Agama Salatiga. f. Masa berlakunya UU No. 3 tahun 2006 Sebelum UU No. 3 tahun 2006 diberlakukan, Pengadilan Agama secara administrasi dan finansial berada dibawah Departemen Agama. Akan tetapi sejak Undang-undang tersebut diberlakukan pengaruh dalam pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial adalah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.UU No. 3 tahun 2006 yang berisi 42 perubahan atas UU N0 7 tahun 1989 kemudian dirubah lagi dengan UU No, 50 tahun 2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya kedudukan Peradilan Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya. 72 Pada tanggal 20 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan telah disahkannya UU tersebut terjadi perubahan-perubahan mendasar yaitu memperkuat dan memperluas kewenangan Peradilan Agama. Sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat muslim, Pengadilan Agama selain menangani perkara dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah juga berwenang menangani perkara dalam bidang ekonomi Syari‟ah. Dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 bahwa penanganan dalam hal ekonomi syari‟ah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kewenangan baru lainnya dari UU No. 3 tahun 2006 adalah dalam hal penyelesaian sengketa hak milik dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah, pemberian keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat. Secara bertahap sejak Peradilan Agama berada dalam satu atap bersama dibawah Mahkamah Agung, secara administrasi Pengadilan Agama Salatiga mulai mendapat perhatian. Salah satunya dengan pembangunan gedung baru. Kantor Pengadilan Agama Salatiga yang semula di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga berpindah di Jl. Lingkar Selatan, Argomulyo, Kota Salatiga. Kemudian kantor lama digunakan sebagai penyimpanan arsiparsip dan rumah dinas Ketua, Wakil Ketua, para Hakim serta pegawai lainnya. 73 Selain itu pada masa ini adalah momentum paling bersejarah bagi perkembangan Pengadilan Agama dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syari‟ah (wawancara Bpk. Kholil selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 13 Oktober 2014). Setalah UU No. 3 tahun 2006 kemudian dilanjutkan masa UU No. 50 tahun 2009.Mengenai perkembangan Peradilan Agama pada masa ini ada empat aspek perubahan yaitu pertama berkenaan dengan kedudukan Peradilan dalam tatanan hukum dan Peradilan Nasioal. Kedua, berkaitan dengan susunan Badan Peradilan yang mencangkup hierarki dan struktur organisasi Pengadilan termasuk komponen sumber daya manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan dengan kewenangan Pengadilan baik kewenangan absolut maupun kekuasaan relatif. Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Dari masa UU No. 7 tahun 1989, UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009 adalah bentuk eksistensi dari hukum Islam. Persamaan ketiga UU ini adalah sama-sama membahas tentang tugas dan wewenang Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di tingkat pertama. Sedangkan perbedaannya adalah pada bidang perkara yang ditangani. Di masa UU No 50 tahun 2009 memuat perubahan dan tambahan yang baru yaitu Pengadilan Agama khusus di lingkungan Peradilan Agama, pengawasan internal oleh MA(Mahkamah Agung) dan eksternal oleh KY (Komisi Yudisial), seleksi 74 pengangkatan Hakim dilakukan oleh MA dan KY, pemberhentian Hakim, tunjangan Hakim sebagai pejabat negara (Pengadilan Tinggi Semarang, 2014:67). Selanjutnya dipaparkan pejabat Ketua PA Salatiga dari tahun 1949 sampai dengan tahun sekarang.. Tabel 3.2Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Salatiga sejak berdirinya sampai dengan sekarang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Periode Nama K. Irsyam KH. Muslih KH. Musyafak K. Sa‟dullahmron Drs. H. Imron Drs. H. Samsudi Anwar Drs. H. Ali Muhson, MH Drs. H. Nuh Muslim Drs. H. Fadhil Sumadi, SH, M.Hum Drs. H. Izzudin Mahbub, SH Drs. H. Arifin Bustam, MH Drs. H. M. Fauzi Humaidi, SH, MH Drs. H. Ahmad Ahrory, SH Drs. H. Masruhan Ms, SH, MH Drs. H. Umar Muchlis Tahun 1949-1952 Tahun 1953-1962 Tahun 1963-1966 Tahun 1967-1974 Tahun 1975-1980 Tahun 1981-1985 Tahun 1986-1988 Tahun 1989-1993 Tahun 1994-1998 Tahun 1999-2002 Tahun 2002-2004 Tahun 2004-2005 Tahun 2006-2008 Tahun 2009-2011 Tahun 2011-sekarang Sumber : Buku Profil Peradilan Agama SeJawa Tengahditerbitkan oleh PTA Semarang. B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga Administrasi di Pengadilan Agama dikenal dua bentuk administrasi, yaitu administrasi umum (bidang kesekretariatan) dan administrasi perkara yang disebut administrasi perkara bidang kepaniteraan. Berdasarkan pasal 75 43UU No. 7 tahun 1989 administrasi umum meliputi administrasi kepegawaian, persuratan, keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyelesaian perkara. Pelaksana dan penanggung jawab bidang ini adalah Wakil Sekretaris dan Kepala Bagian Sub. ` Menurut pasal 26 UU No. 7 tahun 1989 administrasi bidang kepaniteraan adalah bidang yang meliputi seluruh proses penyelenggaraan yang teratur dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bidang pengelolaan kepaniteraan perkara yang menjadi bagian tugas Pengadilan.Prosedur administrasi di Pengadilan Agama Salatiga mengacu pada aturan yang telah ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 24 Januari 1991 No. KMA/001/SK/1991 Tentang Ketentuan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara yang disebut Pola Bindalmin (Pembinaan dan Pengendalian Administrasi) meliputi lima bidang: a. Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK) adalah prosedur penerimaan perkara. b. Pola register perkara. c. Pola keuangan perkara d. Pola pelaporan perkara e. Pola kearsipan perkara. (Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II:40- 62). 76 Penggugat yang belum bisa membuat surat gugatan atau permohonan diterima oleh petugas di bagian prameja dan dibantu membuat surat gugatan/permohonan. Bagi yang sudah memiliki surat gugatan sesuai dengan ketentuan tidak perlu melewati prameja surat gugatan/permohonan yang sudah ditandatangani oleh penggugat atau pemohon diserahkan ke meja pertama untuk ditaksir biaya perkaranya dan dibuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kemudian dikembalikan kepada penggugat atau pemohon. Penggugat atau pemohon membayar panjar biaya perkara dikasir dan menyerahkan berkas gugatan atau permohonan yang sudah dilengkapi SKUM bagian kasir menerakan nomor perkara sesuai nomor SKUM, menandatangani SKUM, memberi cap pembayaran, memasukkan perkara ke dalam jurnal dan menyerahkan kepada meja kedua. Bagian meja kedua memasukkan berkas perkara ke buku register, memberikan salinan berkas kepada penggugat/pemohon dan Wakil Panitera mencatat berkas ke buku pantauan dan menyerahkan kepada Panitera. Selanjutnya, Panitera menyampaikan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan. Ketua Pengadilan menunjuk Hakim Ketua Majelis dan dua anggota Majelis Hakim beserta Panitera Pengganti. Majelis hakim bertugas menentukan hari sidang. Hari sidang dapat diketahui oleh para pihak setelah dilakukanpanggilan oleh pihak Pengadilantiga hari sebelum sidang berlangsung. Majelis Hakim terlebih 77 dahulu melakukan mediasi antara Penggugat dan Tergugat.Pada saat hari sidang, tahap-tahap yang dilakukan dalam persidangan sebagai berikut: 1. Membuka sidang, memanggil para pihak dengan bertanya identitas penggugat dan tergugat. 2. Mengumumkan hasil mediasi yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai mediator sesuai pilihan Kuasa Hukum pihak yang berperkara atau dengan pilihan dari Pengadilan Agama Salatiga. Jika mediasi berhasil maka penggugat wajib mencabut gugatan dan isi putusannya perkara nomer yang telah tertera. Setelah dicabut perkara tersebut, apabila hasil mediasi adalah sebuah perdamaian maka perdamaian diatas wajib ditaati oleh para pihak. Bukti perdamaian wajib ditandatangani oleh para pihak dan mediator, apabila mediasi gagal maka sidang dilanjutkan. 3. Pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik. 4. Pembuktian oleh para pihak dan yang harus dibuktikan adalah dalil-dalil penggugat yang tidak diketahui oleh tergugat. Selain itu juga harus menghadirkan saksi yang melihat dan mendengarkan hal itu minimal 2 orang. 5. Kesimpulan yaitu menjatuhkan putusan bagi para pihak yang terlibat. Selanjutnya setelah ada putusan dari Majelis Hakim yang sudah tetap dan berkekuatan hukum, maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan. Bentuk amar putusan cerai gugat karena alasan adanya kekejaman atau kekerasan 78 suami adalah menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap Penggugat. Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talakadalah menjatuhkan talak satu khul‟i tergugat terhadap penggugat dengan jumlah iwadh yang telah ditentukan. Besar jumlah iwadh ditulis dengan huruf. Kemudian setalah adanya putusan dari Majelis Hakim, Penggugat kembali ke kasir untuk mengecek biaya perkara.Salinan putusan akan disampaikan ke meja 3 dan meja 3 akan memberikan kepada penggugat, tergugat dan instansi terkait (Hasil wawancara dengan Ibu Widad selaku Panitera Muda 2 Oktober 2014). C. Putusan Kasus Gugatan Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga. 1. Putusan No. 138/Pdt.G/2006/PA. SAL a. Identitas para pihak Penggugat bernama Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo, berumur 26 tahun dan beragama Islam. Alamat Penggugat yakni Jl.Joko Tingkir Rt 01/04 Kelurahan Tingkir Lor Kota Salatiga. Adapun penggugat memberikan kuasa pada Kuasa Hukumnya yang bernama Dwi Heru Wismantasidi, SH berdasarkan surat kuasa tertanggal 20 Februari 2006, kemudian karena perkara belum terselesaikan Kuasa Hukum dilimpahkan kepada Bayu Adi Susetyo, SH dan Imam Supriono, SH. 79 Tergugat bernama Tan Tjee Heap bin Tan Hong Tjan, berumur 47 tahun, beragama Kristen, pekerjaan swasta. Alamat lengkap Jl. Hasanuddin No. 617 B Rt03/07 Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Kuasa Hukum Tergugat bernama Agus Pramono berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 10 April 2006. b. Tentang duduk perkaranya (posita dalam gugatan) Berdasarkan kutipan akta nikah Nomor: 136/09/IX/1998 penggugat dan tergugat telah menikah pada tanggal 9 September 1998 di KUA Argomulyo. Setelah akad berlangsung dan suami telah mengucapkan sighat taklik talak, Pengugat dan Tergugat menjalin hubungan yang baik layaknya suami istri. Pada mulanya Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di rumah kontrakan di Kalicacing, kemudian pindah di Mrican Salatiga dan mulai pada tahun 2002 tinggal bersama di rumah sendiri Banjaran Salatiga. Dari perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah lahir dua orang anak bernama Cevin Ananta dan Vincent Ananta Semenjak anak kedua yang lahir hubungan antara Penggugat dan tergugat tidak membaik justru memburuk karena mulai bulan Agustus 2004 dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran terus menerus yang sulit didamaikan.Pertengkaran dan percekcokan tersebut disebabkan Tergugat sering keluar tanpa pamit dan tidak diketahui di mana tujuan setiap pergi keluar. Pemicu yang lain Tergugat telah berpindah agama dan keyakinan dari 80 Islam menjadi Kristen. Demi keutuhan rumahtangga Penggugat sudah menasehatti Tergugat agar dapat merubah kebiasaan buruk yang pergi tanpa pamit dan kembali ke agama Islam. Namun hal ini tidak berhasil. Puncak dari percekcokan dan perselisihan terjadi pada bulan Mei 2005. Tergugat mengusir Penggugat dari rumah kediaman bersama sehingga Penggugat kembali ke rumah orangtua Penggugat di Tingkir bersama kedua anaknya. Sejak itulah Penggugat dan Tergugat telah pisah ranjang dan rumah selama kurang lebih satu tahun. Selama itu pula Tergugat tidak pernah memberikan nafkah wajib kepada anak maka berdasarkan sighat taklik talaq yang diucapkan saat menikahTergugat telah melanggar angka 2 dan 4. Berdasarkan pasal 116 huruf f, g, dan h KHI telah menjadi dasar kuat bagi Penggugat untuk pengajuan gugatan perceraian. c. Isi petitum yang diajukan oleh Penggugat Petitum yang terdapat dalam putusan terdiri dari petitum primer dan petitum subsidier. Untuk petitum primer berisi Penggugat meminta kepada Hakim untuk menerima dan mengabulkan seluruh gugatan, perkawinan Pengugat dan Tergugat putus karena perceraian, menetapkan syarat taklik talak atas pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat pada angka 2 dan 4, menetapkan hasil putusan adalah jatuh talak satu khul‟i Tergugat kepada Penggugat dengan uang iwadh Rp. 10.000, menetapkan biaya perkara menurut hukum. Petitum yang subsidier adalah menjatuhkan putusan dengan seadilnya. 81 d. Isi Diktum (jawaban dari petitum) Majelis Hakim sudah melakukan mediasi atau perdamaian antara Penggugat dan Tergugat namun hasilnya gagal. Jawaban tertulis Tergugat berisi membenarkan semua hal yang dikemukakan oleh Penggugat. Berita acara persidangan berisi telah terjadi jawab jinawab antara Penggugat dan Tergugat. Penggugat dalam persidangan berusaha meneguhkan semua dalil gugatan disertai dengan alat bukti yang ada. Alat bukti tersebut adalah akte nikah No. 136/09/1998 dari KUA Kec. Tingkir (P-1), saksi dari pihak Penggugat yang merupakan teman Pengugat dan kenal Tergugat. Saksi pertama bernama Handoko Santoso bin Budi Santosa memberikan keterangan Penggugat dan Tergugat menikah tahun 1998 dikarunia 2 orang anak yang sekarang tinggal dengan Penggugat. Sebelum pernikahan berlangsung Penggugat berstatus gadis dan Tergugat berstatus duda. Keterangan saksi pertama selanjutnya adalah semula rumahtangga Penggugat dan Tergugat rukun namun sejak bulan Maret 2004 Tergugat telah kembali ke agama semula yaitu Kristen sehingga sering terjadi pertengkaran dan perselisihan. Saksi melihat beberapa kali Tergugat berangkat ke Gereja. Menurut keterangan saksi antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak tahun 2005. Penggugat telah kembali ke rumah orangtuanya serta tidak ada komunikasi lagi di antara keduanya. 82 Saksi kedua bernama Suk Ping Hong bin Sung Hang Tjong yang merupakan kawan Penggugat dan kenal dengan Tergugat. Berdasarkan keterangan saksi Penggugat dan Tergugat menikah tahun 1998 dan dikarunia 2 orang anak yang tinggal bersama Penggugat. Sebelum pernikahan berlangsung Penggugat berstatus gadis dan Tergugat berstatus duda. Awal rumahtangga antara Penggugat dan Tergugat rukun namun sejak bulan Maret 2004 Tergugat telah kembali keagama semula yaitu Kristen. sehingga sering terjadi pertengkaran dan perselisihan. Saksi beberapa kali melihat Tergugat berangkat ke Gereja. Menurut saksi antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sejak tahun 2005. Penggugat telah kembali ke rumah orangtuanya serta tidak ada komunikasi lagi di antara keduanya. e. Pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum dalam memutus perkara menjadi hal yang sangat penting bagi Hakim.Maksud d3an tujuan isi gugatan yang diuraikan secara terperinci adalah salah satu bahan pertimbangan Hakim. Posita dalam gugatan disesuaikan kebenarannya dengan keterangan saksi, kehadiran Penggugat dan Tergugat dalam persidangan, hasil mediasi gagal atau berhasil, petitum primer maupun subsidier merupakan serangkaian uraian dalam gugatan. Pertimbangan hukum yang lain adalah bukti dan fakta yang ada dalam persidangan. Bukti yang didapat dalam persidangan adalah tidak ada sanggahan dari Tergugat atas gugatan Penggugat yang beralasan dan 83 tidakmelawan hak tetap dibebani wajib bukti, bukti P-1 yaitu posita No. 1 telah diakui dan dibenarkan oleh Tergugat, posita No. 2-7 telah dibenarkan oleh kedua saksi. Dari bukti yang ada maka Hakim dapat menemukan fakta yang ada dalam persidangan. Fakta yang didapat adalah Penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah dan belum pernah bercerai, Pengugat dan Tergugat telah hidup bersama dalam satu rumah dan dikarunia 2 orang anakbernama Cevin Ananta dan Vincen Ananta, awal rumah tangga Pengugat dan Tergugat baik dan rukun akan tetapi sejak bulan Agustus 2004 Tergugat kembali kepada agama semula yaitu Kristen sehingga rumah tangga mulai sering terjadi perselisihan dan pertengkaran puncaknya pada bulan Maret 2005 antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah sampai sekarang. Berdasarkan fakta-fakta yang ada antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada ketentraman dan kesejahteraan lahir bathin. Tergugat telah keluar dari agama Islam dan kembalike agama semula yaitu Kristen sehingga tidak terwujud tujuan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Sesuai fakta ini telah terpenuhi dasar pertimbangan hukum Hakim selanjutnya. Sebagaimana kehendak pasal 1 UUP No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 KHI, maka telah terpenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) PP No. 9tahun 1978 dan pasal 116 huruf (f dan h) KHI dan oleh karenanya hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat difasakhkan karena murtad. 84 Dasar pertimbangan hukum lain yang digunakan Majelis Hakim yaitu mengetengahkan pendapat pakar Hukum Islam Imam al-Haramayn alJuwayni dalam kitab Hidayah al-Matlab fi Dirayah al-Mazhab sebagai berikut: اأِد َدذأأ ْل َد َّق أا َدسوْل َد ِدناأَدوْل أَد َدا ُر ُر َد افُر ِدط َد ْلا َد ْل ُرا ا “Jika kedua suami istri atau salah satunya murtad (keluar dari agama Islam) maka nikahnya difasakhkan” (al-Juwayni, 2007:119) Pertimbangan Hakim selanjutnya adalah pasal 89 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 semua biaya perkara dibebankan kepada Penggugat. f. Tentang Putusan Hakim Putusan Hakim adalah tetap, berkekuatan hukum dan tidak bisa diganggu gugat. Putusan Hakim didapat setelah adanya pertimbangan hukum, bukti dan fakta-fakta yang ada. Putusan pada perkara No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL adalah mengabulkan gugatan dari pihak Penggugat. Gugatan yang diajukan adalah meminta Majelis Hakim untuk menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian. Gugatan yang kedua berdasarkan pasal 116 huruf f, g, dan h KHI dapat dijadikan dasar pelanggaran sighat taklik talaq angka 2 yaitu tidak memberi nafkah wajib selama 3 bulan kepada istri dan pada talaq angka 4 yaitu membiarkan dan tidak memperdulikan istri selama 6 bulan atau lebih. 85 Putusan Hakim yang kedua adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat (Sri Dadi Anggraeni binti Syukur Budi Raharjo dengan Tergugat (Tan Tjee Hiap bin Tan Hong Tjan) sesuai pasal 1 UUP No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 KHI, maka telah terpenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1978 dan pasal 116 huruf (f dan h) KHI. Putusan Hakim yang ketiga adalah membebankan biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- kepada penggugat. Putusan tersebut dibuat pada hari Selasa tanggal 9 Mei 2006 M bertepatan pada tanggal 11 Rabiul Akhir 1427 H. Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini adalah Drs. H. Fadly Hasan. Drs, Ahmad Syaukani, SH. MH dan Drs. Hj. Muhlison, MH sebagai Hakim Anggota dan M. Nur Agus Achmadi, SH. sebagai Penitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat. 2. Putusan No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL a. Identitas para pihak Penggugat nama dirahasiakan, umur 38 tahun, beragama Islam, pekerjaan petani, pendidikan terakhir SMP. Alamat lengkap di Dusun Satriyan Rt. 29/07 Desa Plumbon, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Tergugat nama dirahasiakan, umur 58 tahun, beragama Kristen, pekerjaan tidak ada, pendidikan terakhir SMA, alamat di Ngentak Rt. 02/05, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. b. Tentang Duduk Perkaranya (Posita dalam gugatan) 86 Berdasarkan Kutipan Akta Nikah No.183/25/VII/95 penggugat dan tergugat telah menikah tanggal 21 Juli 1995 di Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Setelah akad nikah dan Tergugat telah mengucapkan sighat taklik talaq, Penggugat dan Tergugat hidup rukun selayaknya suami dan istri. Tempat tinggal yang pertama adalah rumah orangtua Tergugat selama 1 tahun, pindah kontrakan selama 1 tahun, terakhir menempati kediaman bersamaselama 11 tahun 8 bulan. Dari pernikahan antara Penggugat dan Tergugat, lahir seorang anak dengan nama dirahasiakan tanggal 22 Maret 1996. Anak tersebut dalam pemeliharaan Penggugat. Kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus yang sulit diatasi sejak bulan Mei 2009. Sebab terjadi perselisihan dan pertengkaranadalah karena Tergugat yang dahulu beragama Nasrani dan setelah menikah dengan Penggugat beragama Islam, namun setelah beberapa tahun menikah Tergugat kembali lagi beragama Nasrani. Pada bulan Maret 2009, Tergugat pulang ke rumah orang tuanya tanpa seijin maupun sepengetahuan Penggugat. Selama 2 tahun 1 bulan Tergugat tidak pernah pulang lagi ke rumah kediaman bersama di Desa Plumbon sampai gugatan diajukan antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah. Selama pisah rumah Tergugat tidak pernah mengurus serta memberi nafkah kepada Penggugat dan seorang anak yang ikut Penggugat. Penggugat saat ini 87 bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di Kecamatan Suruh dan tergugat tinggal di rumah orang tuanya di Kecamatan Tingkir. Hal ini sesuai dengan pasal 116 KHI karena Tergugat telah melanggar taklik talak. c. Isi Petitum yang diajukan oleh Penggugat Petitum yang terdapat dalam putusan terdiri dari petitum primer dan petitum subsidier. Untuk petitum primer berisi Penggugat meminta kepada Hakim untuk menerima dan mengabulkan seluruh gugatan, perkawinan Pengugat dan Tergugat putus karena perceraian, menetapkan syarat taklik talak atas pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat pada angka 2 dan 4, menetapkan hasil putusan adalah jatuh talak satu khul‟i Tergugat kepada Penggugat dengan uang iwadh Rp. 10.000, menetapkan biaya perkara menurut hukum. Petitum yang subsidier adalah menjatuhkan putusan dengan seadilnya. d. Isi replik dan duplik dalam gugatan. Majelis Hakim sudah melakukan mediasi atau perdamaian antara Penggugat dan Tergugat namun hasilnya gagal.Isi replik (jawaban gugatan dari pihak lawan)adalahTergugat mengakui sebagai suami Penggugat dan sudah mempunyai seorang anak. Tergugat mengakui tempat tinggal di kediaman bersama. Rumahtangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak harmonis bulan Mei 2001 hingga berpisah tempat tinggal. Tergugat tidak beragama Islam lagi melainkan kembali ke agama Nasrani. 88 Ada beberapa dalil yang dibantah oleh Tergugat. Dalil yang dibantah adalah Tergugat tidak meninggalkan Penggugat tetapi Penggugat yang pergi, karena tidak diberi nafkah oleh Tergugat. Jawaban akhir replik Tergugat adalah tidak bersedia bercerai dengan alasan mempunyai anak. Duplik atas jawaban tersebut tetap seperti dalam dalil gugatan dan sebelumnya Penggugat memberikan bukti tertulis berupa fotocopy Kutipan Akta Nikah. e. Persaksian dalam persidangan Nama saksi pertama dirahasiakan bin nama ayah saksi. Saksi tersebut dari pihak keluarga yaitu kakak kandung Penggugat. Saksi berumur 48 tahun, agama Islam, pekerjaan tani. Alamat tinggal Krasaksari Rt 02/07 Desa Koripan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Saksi memberikan keterangan Penggugat menikah dengan Tergugat dan bertempat tinggal di rumah bersama. Sejak 2 tahun lalu Penggugat berpisah tempat tinggal karena terjadi pertengkaran dengan Tergugat. Alasan pertengkaran adalahb Tergugat pindah agama Nasrani kemudian Penggugat pergi meninggalkan Tergugat. Saksi sudah berusaha mendamaikan tetapi tidak berhasil. Saksi kedua nama dirahasiakan binti nama ayah saksi, umur 61 tahun, agama Islam, pekerjaan Pensiunan PNS, alamat tinggal Kalicacing Rt. 06/01 Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Saksi adalah kakak Tergugat. Berdasarkan keterangan saksi, Tergugat menikah dengan Penggugat 89 danbertempat tinggal di rumah bersama selama 12 tahun. Namun Penggugat dan Tergugat sekarang berpisah tempat tinggal karena sering terjadi percekcokan dan pertengkaran. Alasan pertengkaran adalah hutang ke Bank untuk modal usaha Penggugat, akan tetapi oleh Penggugat dipinjamkan kepada tetangga. Upaya untuk memberikan nasehat dan merukunkan telah dilakukan tetapi tidak berhasil. Saksi juga menyampaikan lebih baik rukun lagi, namun semua keputusan kembali lagi pada Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan keterangan saksi baik saksi dari pihak Penggugat maupun saksi dari pihak Tergugat, Penggugat dan Tergugat membenarkan atas keterangan yang diberikan. Setelah persaksian Penggugat tidak mengajukan sesuatu apapun lagi dan memohon putusan dari Majelis Hakim. f. Tentang pertimbangan hukum Pertimbangan hukum dalam memutus perkara menjadi hal yang sangat penting bagi Hakim. Maksud dan tujuan isi gugatan yang diuraikan secara terperinci adalah salah satu bahan pertimbangan Hakim. Posita dalam gugatan disesuaikan kebenarannya dengan keterangan saksi yaitu dengan dalil rumah tangga tidak hamonis, mulai goyah serta sering terjadi pertengkaran dan perselisihan sejak Mei 2001. Alasan pertengkaran adalah Tergugat kembali ke agama Nasrani dan keluar dari agama Islam. Kehadiran Penggugat dan Tergugat dalam persidangan, hasil mediasi gagal atau berhasil, petitum primer maupun subsidier merupakan serangkaian uraian dalam gugatan. 90 Pertimbangan hukum didasarkan pada HIR dan KHI. Mediasi yang telah dilakukan dalam suatu perkara baik hasilnya gagal ataupun berhasil, maka pemeriksaan perkara telah memenuhi ketentuan pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Sesuai pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna Tergugat mengakui dalil gugatan sebagai suami Penggugat dengan dibuktikan bukti otentik berupa akte nikah.Maka sesuai bukti yang ada Penggugat mempunyai hak atas gugatan. Berdasarkan pasal 116 huruf (h) KHI gugatan telah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak satu ba‟in Tergugat terhadap Penggugat. Pengakuan dalil gugatan oleh Tergugat terjadinya pertengkaran karena Tergugat keluar dari agama Islam menjadi dasar pertimbangan Hakim.Keterangan saksi di persidangan yang telah diuraikan sebelumnya juga menjadi salah satu pertimbangan Hakim.. Hakim dalam pertimbangan hukum selain dari UU, saksi dan bukti juga mengambil pendapat pakar Hukum Islam Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As-Sunnahbab Ath-Thalaq َدتاأا َّقسوْل َد ةا َدوطَد بَد ْل أِد َدذأأا َّق ع ْل ّ تاأاتّ ْل ِدر ْلَقَدابَد ْلُنَدهَد ا َدوبَد ْلُنَد ا َدزوْل ِد هَد ااِدهَدذأأا تا ض َدر ِدافَد ِد ْلنا َد ْلحبَدتَد ْلا ًاأا َد ْل هُرىْل ِداطَد َّق َدهَد ْل ض َدر َد ا َدواَدىْل َد َّقر ًةا َدوأ ِدا َد ًةا َدع َد ْل ّ أا اًا ِد ْلنا َدزوْل ِد هَد اطَد ْل َدةًةابَد اِدنَد اةًةا اأا َد ِد Artinya : jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur, 91 Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talak bain sughro.(Sabiq, 1980: 237) Pertimbangan Hakim lain yang digunakan adalah berdasarkan pasal 84 UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa, “Panitera Pengadilan Agama Salatiga mengirimkan Salinan putusan ke KUA tempat dilangsungkan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat”. Berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009, perkara tersebut termasuk bidang perkawinan, maka dari itu biaya perkara dibebankan kepada Penggugat. g. Tentang Putusan Hakim perkara cerai gugat. Putusan Hakim adalah tetap, berkekuatan hukum dan tidak bisa diganggu gugat. Putusan Hakim didapat setelah adanya pertimbangan hukum, bukti dan fakta-fakta yang ada. Putusan pada perkara No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah mengabulkan gugatan dari pihak Penggugat. Gugatan yang diajukan adalah meminta Majelis Hakim untuk menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian. Gugatan yang kedua berdasarkanpemeriksaan perkara telah memenuhi ketentuan pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Sesuai pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna Tergugat mengakui dalil gugatan sebagai suami Penggugat dengan dibuktikan bukti otentik berupa akte nikah. Maka 92 sesuai bukti yang ada Penggugat mempunyai hak atas gugatan. Berdasarkan pasal 116 huruf (h) KHItelah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak satu ba‟in Tergugat terhadap Penggugat. Putusan Majelis Hakim yang kedua adalah berdasarkan pasal 116 huruf (h) KHI yang berbunyi. “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga” maka gugatan telah memenuhi ketentuan dan dinyatakan jatuh talak satu ba‟in Sughra Tergugat terhadap Penggugat. Putusan ketiga adalah sesuai dengan pertimbangan Hakim yaitu pengiriman salinan putusan ke KUA Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang serta KUA Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Hal ini sesuai dengan pasal 84 UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama Putusan terakhir berdasarkan pasal 89 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 50 tahun 2009, perkara tersebut termasuk bidang perkawinan, maka dari itu biaya perkara dibebankan kepada Penggugat sebesar dua ratus sebelas ribu rupiah (Putusan PA Salatiga 30 Mei 2011). 3. Pertimbangan Hakim. Hasil wawancara dengan Bapak Muhdi Kholil selaku Wakil Ketua pengadilan Salatiga tanggal 13 Oktober 2014, Hakim dalam menangani dan memutuskan perkara cerai dengan salah satu pasangan murtad yaitu dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 93 a. Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 menerapkan asas personalitas keislaman di dalam perkawinan dengan asumsi pihak-pihak yang mengajukan perkara adalah muslim. Tetapi tidak dikesampingkan ketika yang bersengketa keluar dari agama Islam atau murtad, untuk perkara cerai khususnya cerai gugat tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama karena perkawinannya dilakukan dengan cara Islam dan telah dicatat di KUA yang bersangkutan. b. Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Hakim memeriksa dan mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam gugatan tersebut. Dari petitum tersebut Hakim dapat identifikasik alasan utama dalam perceraian dan sebagai bahan pertimbangan awal untuk mengabulkan atau tidak gugatan primer maupun subsidier dalam gugatan. c. Pertimbangan Hakim yang selanjutnya dalam memutus perkara adalah dengan pembuktian di persidangan khususnya tentang pembuktian alasan utama dalam perceraian. Pembuktian di persidangan dapat berupa menghadirkan para saksi untuk mencari fakta sebenarnya alasan perceraian yang utama. Bukti otentik melihat berkas KTP atau identitas yang lain para pihak, akte nikah dan KK. d. Setelah pembuktian dilakukan dan saksi dihadirkan dalam persidangan, apabila terbukti untuk perkara cerai gugat karena salah satu pihak murtad 94 adalah satu-satunya alasan dan menjadi alasan utama, maka bunyi amar putusannya adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Apabila terbukti murtad hanya sebagai alasan pendukung penyebab perselisihan dan ketidakharmonisan dalam rumahtangga maka amar putusannya adalah jatuh talak ba‟in sughra dengan maksud gugatan perceraian diajukan ketika rumahtangga sudah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebelum salah satu pihak murtad. e. Dasar hukum dalam memutus perkara adalah Al-Qur‟an dan Hadits, pendapat ahli/pakar Islam, hukum materiil meliputi yurisprudensi, UU No. 1 tahun 1947 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, KHI (Kompilasi Hukum Islam). hukum acara peradilan meliputi HIR dan RBg, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009. f. Untuk akibat hukum diputusnya suatu perkara dengan difasakh dan jatuh talak ba‟in adalah apabila fasakh akibat hukumnya sama dengan talak biasa hanya saja setelah difaskhkannya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat suami sudah tidak ada hak untuk rujuk. Sedangkan apabila oleh majelis hakim Pengadilan Agama Salatiga diputus dengan jatuh talak ba‟in maka suami masih bisa kembali hidup bersama tetapi tidak dengan jalan rujuk melainkan dengan akad nikah baru kepada mantan istri, setelah 95 mantan istri menikah lagi dan bercerai pada laki-laki lain yang menjadi suaminya yang baru. 96 BAB IV ANALISIS DATA A. Penanganan Kasus Gugat Cerai Karena Murtad 1. Teknis Administrasisecara umum a. Penerimaan Perkara Sistem pelayanan perkara di Pengadilan Salatiga menggunakan sistem kelompok kerja yang terdiri dari meja I (termasuk di dalamnya Kasir), meja II dan meja III. Petugas Meja 1 menerima gugatan, permohonan, verzet, permohonan eksekusi dan perlawanan pihak ketiga. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga (pasal 118 ayat 1 HIR atau pasal 142 ayat 1 Rbg). Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatan secara lisan, selanjutnya Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan mencatat gugatan tersebut. Dalam pendaftaran perkara dokumen yang diserahkan kepada petugas Meja 1 adalah surat gugatan sebanyak jumlah pihak ditambah tiga rangkap untuk Majelis Hakim, surat kuasa khusus (dalam hal penggugat atau pemohon menguasakan kepada pihak lain), fotocopy kartu anggota advokat bagi yang menggunakan jasa advokat. Kemudian petugas meja 1 menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan menggunakan daftar periksa (check 97 list).Dalam menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja 1 berpedoman pada Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama tentang Panjar Biaya Perkara yang merujuk pada PP No. 53 Tahun 2008 tentang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), PP MA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya. Hal-hal yang diperhatikan dalam menentukan panjar biaya perkara adalah jumlah pihak yang berperkara, jarak tempat tinggal (radius) dan kondisi daerah para pihak, biaya pemanggilan para pihak untuk menghadirimediasi lebih dahulu dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon yang diambil dari uang panjar biaya perkara tersebut.Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja 1 membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam empat rangkap dan petugas Meja 1 mengembalikan berkas kembali kepada Penggugat atau Pemohon untuk dilanjutkan kepada kasir. Penggugat atau Pemohon membayar uang panjar biaya perkara yang tercantum dalam SKUM melalui Bank. Setelah kasir menerima tanda bukti pembayaran dari Penggugat atau Pemohon kemudian dibukukan dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara,diberi nomor, dibubuhkan tanda tangan dan cap lunas pada SKUM. Kasir menyerahkan satu rangkap surat gugat atau permohonan sesuai dengan nomor perkara beserta SKUM kepada Penggugat atau Pemohon untuk didaftarkan ke Meja II. Petugas Meja II mencatat dalam Buku Register Induk 98 Gugatan atau Permohonan sesuai dengan nomor perkara dalam SKUM. Petugas Meja II menyerahkan berkas kepada Panitera melalui Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga. Dalam waktu paling lambat dua hari kerja berkas tersebut sudah diterima oleh Ketua Pengadilan Agama Salatiga. b. Persiapan Persidangan Penetapan Majelis Hakim (PMH) termasuk dalam persiapan persidangan. Paling lambat dalam waktu 10 hari kerja sejak perkara didaftarkan, Ketua PA sudah menetapkan Majelis Hakim sesuai dengan nama yang tercantum SK pengangkatan sebagai Hakim. Ketua Majelis Hakim adalah Ketua atau Wakil Ketua PA yang merupakan Hakim senior di PA Salatiga dan sudah lama menjadi Hakim. Majelis Hakim dibantu oleh Panitera Pengganti dan Jurusita. Penetapan Majelis Hakim dicatat oleh petugas Meja II dalam Buku Register Induk Perkara. Penunjukkan Panitera Pengganti dilakukan oleh Panitera untuk membantu Hakim dalam menangani perkara dalam persidangan. Penunjukkan Panitera Pengganti dicatat oleh petugas Meja II dalam Buku Register Induk Perkara. Penunjukkan Panitera Pengganti dibuat dalam bentuk “Surat Penunjukkan” ditandatangani Panitera dan dibubuhi stempel. Penetapan hari sidang paling lambat 7 hari setelah berkas dipelajari oleh Majelis Hakim. Pemeriksaan perkara cerai dilakukan paling lambat 30 99 hari sejak tanggal surat gugatan didaftarkan di kepaniteraan PA Salatiga. Atas perintah Ketua Majelis Panitera Pengganti melaporkan hari sidang pertama kepada petugas meja II dan oleh petugas dicata dalam Buku Register Perkara. c. Pelaksanaan Persidangan Sidang dilaksanakan di ruang sidang. Majelis Hakim terlebih dahulu mengupayakan perdamaian melalui proses mediasi sesuai dengan pasal 130 HIR/154 RBg jo pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 jo PERMA No. 1 tahun 2008. Jika mediasi gagal, maka Majelis Hakim tetap berkewajiban mendamaikan para pihak. Sidang pemeriksaan perkara cerai baik cerai talak maupun cerai gugat dilakukan secara tertutup, namun putusan dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam pemeriksaan cerai gugat Pengadilan Agama sedapat mungkin berupaya untuk mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan suami dengan jelas dan pasti sehingga dapat mengetahui perkiraan pendapatan rata-rata perbulan. Hal ini dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah dan nafkah anak. 2. Dasar Hukum Materiil Dasar hukum materiil dalam menentukan perkara cerai adalah dengan berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadist, UU No.22 tahun 1946 jo UU No. 32 tahun 1954 tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR), UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 100 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, HIR/Rbg. Tata cara dan putusnya perceraian yang dimaksud dalam UU No. 1 tahun 1974 ada pengkhususan dalam KHI terkait dengan alasan-alasan dan putusnya perkawinan. Sesuai yang termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 menganut Asas Personalitas Keislaman. Dengan demikian semua sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai hal-hal yang diatur dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 sebagaiman yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Asas personalitasberlaku di bidang perkawinan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), meskipun salah satu (suami atau istri) atau kedua belah pihak (suami istri) keluar dari agama Islam. Asas ini juga berlaku di bidang kewarisan, di bidang ekonomi syari‟ah, di bidang wakaf, di bidang hibah dan wasiat yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam.Untuk perkara cerai baik cerai talak maupun cerai gugat terdapat aturan khusus. Cerai gugat yang diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar merujuk 101 kepada pasal 73 sampai dengan pasal 86 UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 jo pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP No. 9 tahun 1975. Gugatan nafkah anak, nafkah istri, mut‟ah, nafkah iddah dapat diajukan bersama-sama dengan cerai gugat. Gugatan hadhanah dan harta bersama suami istri sebaiknya diajukan terpisah dalam perkara lain. Cerai gugat dengan alasan taklik talak harus dibuat sejak awal diajukan gugatan, agar selaras dengan format laporan perkara. Dalam hal Tergugat tidak hadir, perkara diputus verstek, Pengadilan tetap melakukan sidang pembuktian mengenaim kebenaran adanya alasan perceraian yang didalilkan oleh Penggugat. Untuk keseragaman amar putusan cerai gugat dengan alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami berbunyi, “menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat (nama terang Tergugat bin nama ayah Tergugat) terhadap Penggugat (nama terang Penggugat binti nama ayah Penggugat)”. Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak adalah menjatuhkan talak satu khul‟I Tergugat (nama terang dirahasiakan) terhadap Penggugat (nama terang terang dirahasiakan). Untuk amar putusan cerai gugat dengan alasan suami murtad atau keluar dari agama Islam adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat (nama terang dirahasiakan) 102 dengan Tergugat (nama terang dirahasiakan)”.(Tim Dirjen Badan Peradilan Agama:149). B. Perbedaan Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL merupakan putusan cerai gugat dengan alasan karena Tergugat atau suami murtad (keluar dari agama Islam). Kedua putusan memiliki alasan perceraian yang sama yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga disebabkan karena salah satu pasangan murtad. Akan tetapi meski dengan alasan perceraian yang sama, kedua putusan tersebut terdapat perbedaan amar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Adapun perbedaannya pada Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL amar putusan adalah memfasakhkan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat. Sedangkan pada Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL amar putusan yang dijatuhkan adalah menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap Penggugat. Menurut analisis penulis, perbedaan amar putusan kedua putusan tersebut dapat ditinjau dari aspek fakta di persidangan. Dalam aspek fakta di persidangan diperoleh dari pembuktian dan keterangan saksi. Pembuktian berupa bukti otentik seperti akte nikah. Kedua keterangan saksi dari kedua pihak. Keterangan saksi pertama pada putusan No. 138/09/1998 adalah kejelasan menikah antara Penggugat 103 dan Tergugat dibuktikan dengan akte nikah. Keterangan saksi kedua adalah rumahtangga antara Penggugat dan Tergugat tidak rukun,karena Tergugat telah kembali ke agama Kristen sehingga terjadi pertengkaran dan perselisihan. Alasan utama adalah murtad yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fakta keterangan saksi pada putusan N0. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah kejelasan menikah antara Penggugat dan Tergugat dibuktikan dengan akte nikah. Antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran. Alasan pertengkaran adalah karena Tergugat pindah agama Nasrani dan Penggugat pergi meninggalkan Tergugat. Keterangan saksi kedua selain karena murtad, alasan pertengkaran adalah Penggugat hutang modal untuk usaha akan tetapi oleh Penggugat dipinjamkan kepada tetangga. Alasan utama adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga yang menyebabkan salah satu pihak murtad. Setelah aspek fakta dalam persidangan dilanjutkan aspek alasan perceraian. Pada Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL putusan yang dijatuhkan adalah fasakh. Alasan utama pada putusan ini adalah murtad sebagai satu-satunya alasan. Adanya salah satu pasangan murtad menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Menurut analisis penulis, sebelum adanya putusan fasakh dari Pengadilan, hubungan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah rusak terlebih dahulu karena salah satu pasangan murtad. Murtad dalam sebuah perkawinan membatalkan sahnya hubungan perkawinan. Pada Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. Sal putusan yang dijatuhkan adalah jatuh thalaq ba‟in sughra. Alasan utama pada putusan ini adalah 104 ketidakharmonisan dalam rumah tangga dan murtad bukan satu-satunya alasan perceraian. Pada putusan ini gugatan perceraian diajukanketika rumahtangga sudah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sebelum salah satu pihak atau pasangan suami istri murtad. C. Implikasi Putusan Perceraian Karena Murtad Implikasi dari putusan yang berbeda antara Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah perbedaan akibat hukum dari putusan masing-masing yang dijatuhkan. Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL adalah fasakh. Akibat hukum putusan tersebut sama dengan akibat hukum talak dengan asumsi bahwa sebelum dijatuhkan putusan fasakh perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sudah putus ikatan perkawinan secara agama karena alasan murtad oleh salah satu pihak. Pada dasarnya fasakh adalah perceraian. Ketika suatu perkawinan sudah fasakh maka suami atau Tergugat sudah tidak dapat hidup bersama kembali pada istri atau Tergugat.Akibat hukum perceraian akibat fasakh sebagai berikut: 1. Jumlah bilangan talak Perceraian karena fasakh tidak mengurangi jumlah bilangan talak. Hubungan ikatanperkawinan akan putus sejak mengetahui di kemudian hari ada hal-hal yang membatalkan rukun dan syarat nikah seketika itu tanpa menunggu putusan Hakim jatuh. 105 2. Rujuk Perceraian akibat fasak didalamnya tidak ada hak rujuk. 3. Harta bersama Dalam perceraian karena fasakh harta bersama dibagi menurut hukum masing-masing agamanya (Sabiq, 1980:24-26).Diatur menurut hukumnya masing-masing (pasal 37 KHI). Yang dimaksud dengan hukumnya adalah hukum agama, adat, dan hukum-hukum yang lain. 4. Nafkah istri Jika dilakukan bersamaan dengan akad maka tidak ada hak nafkah untuk nikah meski sedang hamil. Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL adalah dijatuhkan talak satu ba‟in dengan maksud gugatan perceraian diajukan ketika rumahtangga sudah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus sebelum salah satu pihak murtad. Akibat hukum dari talak ba‟in sughra adalah: 1. Jumlah bilangan talak Dapat mengurangi jumlah bilangan talak yang ada pada suami. Setiap ikrar talak yang diucapkan di depan Pengadilan akan mengurangi bilangan talak. 2. Rujuk Suami dapat mengawini istri yang dulu tersebut dengan akad nikah yang baru tanpa si perempuan kawin dulu dengan laki-laki lain apabila masih 106 dalam masa iddah dan belum menikah dengan laki-laki lain. Setelah masa iddah habis masih bisa kembali hidup bersama, tetapi tidak dengan jalan rujuk melainkan dengan akad nikah baru kepada mantan istri, setelah mantan istri menikah lagi dan bercerai pada laki-laki lain yang menjadi suaminya yang baru. 3. Harta bersama Istri mendapatkan setengah dari harta bersama, dan sisanya dibagi dengan ahli waris yang lain (pasal 86 ayat 1 KHI). 4. Nafkah istri Mewajibkan nafkah bagi istri dan membayar mut‟ah 107 Selanjutnya ditampilkan perbedaan akibat hukum perceraian karena fasakh dan akibat hukum perceraian karena thalaq ba‟in Sughro: Tabel 4.1Perbedaan Akibat Hukum Perceraian karena Fasakh dan Perceraian karena Talaq ba’in Sughro Perceraian Akibat Fasakh No Jumlah bilangan talak 2 . Rujuk 3. Harta bersama 4. Ikrar talak Nafkah istri 5. Ba‟in Sughro Perbedaan 1 Perceraian Akibat Talaq Tidak menghitung jumlah Dapat mengurangi jumlah bilangan talak bilangan talak yang ada pada suami. Tidak ada hak rujuk Jika masih masa iddah maka rujuk dilakukan pada istri dengan akad baru tanpa istri menikah lagi dengan laki-laki lain. Dibagi secara hukum yang Dibagi secara hukum dianut oleh masing-masing Islam yaitu istri pasangan suami istri (KHI mendapatkan setengah pasal 37). dari harta bersama(KHI pasal 86 ayat 1). Tidak ada ikrar talak Ada ikrar talak Tidak diwajibkan adanya Mewajibkan nafkah bagi nafkah untuk istri (KHI pasal istri dan membayar mut‟ah 80 ayat 2) 108 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara perceraian karena murtad adalah sebelum memutus perkara, Hakim memeriksa dan mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam gugatan tersebut. Dari petitum tersebut Hakim dapat identifikasi alasan utama dalam perceraian dan sebagai bahan pertimbangan awal untuk mengabulkan atau tidak gugatan primer maupun subsidier dalam gugatan. Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 menerapkan asas personalitas keislaman di dalam perkawinan dengan asumsi pihak-pihak yang mengajukan perkara adalah muslim. Tetapi tidak dikesampingkan ketika yang bersengketa keluar dari agama Islam atau murtad. Fakta pembuktian dari keterangan saksi menjadi pertimbangan selanjutnya oleh Hakim untuk mencari fakta sebenarnya alasan perceraian yang utama. 2. Terjadi perbedaan antara kedua putusan perkara cerai gugat ini adalah masingmasing putusan setelah diadakan mediasi, pembuktian dan saksi, memiliki alasan utama perceraian yang berbeda. No.138/Pdt.G/2006/PA. SAL alasan 109 utama perceraian adalah murtad sebagai satu-satunya alasan perceraian dan menjadi alasan utama dalam perkara ini, maka dari itu putusan Hakim adalah fasakh. Pada No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL alasan utama perceraian adalah murtad bukan sebagai satu-satunya alasan perceraian. Alasan utama adalah ketidakharmonisan dan perselisihan dalam rumahtangga, maka dari itu putusan Hakim adalah jatuh talak ba‟in. Dengan kata lain apabila perbuatan murtad itu tidak disertai dengan ketidakrukunan dalam rumahtangga maka perbuatan murtad suami atau istri tidak dapat dijadikan alasan perceraian, hanya saja putusan yang dberikan oleh Hakim akan berbeda sesuai alasan utama perceraian. 3. Implikasi atau akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad yang berbeda antara putusan No.138/Pdt.G/2006/PA. SAL dan putusan No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL adalah terdapat pada akibat hukum dari masingmasing putusanyang dijatuhkan. Akibat hukum yang berbeda hak antara dua putusan ini adalah mencangkup jumlah bilangan talak, rujuk, harta bersama, ikrar talak dan nafkah istri. B. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis, penulis banyak menemukan kelemahan-kelemahan yang ada dalam penelitian ini. Kelemahan tersebut adalah dalam mendapatkan sumber data primer. Wawancara 110 yang dilakukan oleh penulis bukan informan primer (Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga) sehingga yang didapat adalah data sekunder. Penulis mengalami kesulitan untuk bertemu langsung dengan dalam Putusan No.138/Pdt.G/2006/PA. Hakim yang memutuskan perkara SAL dan Putusan No. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL, karena Hakim yang bersangkutan sudah dipindah dinas ke Pengadilan yang lain. Dengan melihat kelemahan yang ditemukan oleh penulis, saran yang dapat diberikan adalah untuk penelitian yang akan datang khususnya studi putusan hendaknya putusan yang akan diteliti adalah putusan dengan taun yang masih sama dalam melakukan penelitian. Kemungkinan wawancara oleh informan primer (Hakim yang memutus perkara) lebih besar sehingga sumber data yang didapat adalah sumber data primer. Meski dalam penelitian ini masih memiliki kelemahan, sumber data yang didapat dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya. Semoga dengan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan pembaca. 111 DAFTAR PUSTAKA Abu Zahroh, Muhammad. 1957. Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah. Beirut: Dar Al-Arabiy. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1972. Al-Fiqh „ala al-Madzahib Al-Arba‟ah. Beirut: Dar AlFikr. Al-Juwayni, Imam al-Haramayn Abd al-Malik. 2007. Hidayah al-Matlab fi Dirayah al-Madzhab. Jeddah: Dar al-Minhaj Az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islam Wa‟adillatuh. Beirut: Dar Al-Fikr Amirin, Tatang. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: CV Rajawali. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Kencana. Basyir, Ahmad Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Edisi ke-1. Jakarta: Kencana. Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI. 2013. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II: Jakarta. Gazhali, Abdurrahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: PT. Kencana Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 112 Hidayah, Mir‟atul. 2007. Fasakh Suatu Perkawinan karena Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 438/Pdt. G/2003/PA Sal dan No.138/Pdt. G/2006/pa Sal). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Ismail, Al-Imam Abu Ibrahim. 1998. Mukhtasar al-Muzani fi Furu‟ al-Shafi‟iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung: CV Nuansa Aulia. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarata: Teras. Nastangin. 2012. Perceraian Karena Salah Satu Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2011). Sripsitidak dterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Djambatan. Tim Pustaka al-Hidayah. 2008. Bulughul Mahram, Versi 2.0. (http://alquransunnah.com/kitab/bulughul mahram/source/8. Kitab Nikah, diakses 6 februari 2015). Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang. 2014. Profil Peradilan Agama Se-Jawa Tengah. Yogyakarta: Aditya Media. Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandung: CV Sinar Baru. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh as Sunnah jilid 3. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 7. Cetakan kedua. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟rif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 8. Terjemahan oleh Moh. Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. 113 Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Saleh, Hasan. 2008. Kajian fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soleh, A. Mahdi. 1994. Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir Cetakan ke 2. Jakarta: PT. Arista Brahmatyan. Supriatna, Fatma Amilia, & Yasin Baidi. 2009. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta: Teras. Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. Thalib, M. 1993. Perkawinan Menurut Islam Cetakan ke 2. Surabaya: Al-Ikhlas. Tihami & Sahrani. 2009. Fiqh MunakahatKajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Undang-Undang No. 1 tahun 1974Tentang Perkawinan. 2012. Yogyakarta: Tim New Merah Putih. Wasman, Nuroniyah Wardah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras. Yasyin, Sulchan. 1995. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah. Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibaba al-Fannani. 1994. Terjemahan Fat-Hul Mu‟inCetakan 1. Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo 114