Hukum dan Masyarakat

advertisement
JURNAL HUKUM DAN MASYARAKAT ISSN 1693-2889
Volume 13 Nomor 3
Agustus 2014
“PERLINDUNGAN HAK MORAL DALAM HUKUM HAK CIPTA”
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Cenderawasih
Oleh : Yuliana Diah Warsiki Susi Irianti
Abstrak
Pelaksanaan perlindungan hak moral pencipta Sebagai ciptaan yang dilindungi hak
cipta, terhadapnya melekat hak ekonomi dan hak moral.Hak moral memberi jaminan
perlindungan terhadap pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaan dan dihargai
dengan cara tidak mengubah yang berpotensi merugikan integritas pencipta. Bentuk
perlindungan tersebut menjadi nyata dan berwujud apabila ada pelanggaran terhadap kedua
esensi hak moral, yaitu : right of paternity atau right of integrity. Ketika pelanggaran untuk
memulihkan hak-hak dan kepentingannya.Pelaksanaan hak tersebut difasilitasi dengan
mekanisme penuntutan sebagaimana layaknya bila terjadi pelangaran hak yang merugikan. Dan
Upaya dan penegakan hukum terhadap kasus hak moral dalam praktik penggunaan hak cipta
yaitu dengan adanya perlindungan hukum hak cipta dan sasaran penegakkannya akhirnya
hanya akan terbatas pada enforcement.
Kata Kunci : perlindungan hak moral dan hak cipta
A. Pendahuluan
Istilah Hak Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right
(selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul karena
kemampuan intelektual manusia.IPR sendiri pada prinsipnya merupakan perlindungan hukum
atas Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum
yang disebut "Intellectual Property Right".1 Dalam konfigurasi hokum khususnya hak kekayaan
intelektual maka hak moral mencakup dua hal besar, yaitu paternity atau right of paternity yang
esensinya mewajibkan nama pencipta disebut atau dicantumkan dalam ciptaan. Hak ini juga
berlaku sebaliknya, yaitu meminta untuk tidak dicantumkan namanya atau dipertahankan
penggunaan nama samarannya. Hak lainnya dikenal dengan right of integrity, yang jabarannya
menyangkut segala bentuk sikap dan perlakuan yang terkait dengan integritas atau martabat
pencipta. Dalam pelaksanaannya, hak tersebut diekspresikan dalam bentuk larangan untuk
mengubah, mengurangi atau merusak ciptaan yang dapat menghancurkan integritas penciptanya.
Norma pengaturan hak moral, yaitu Right of Paternity dan Right of Integrity, tampak sangat
terbatas, tidak terstruktur dan tidak terjabar secara secara sistematis. Konsep perlindungan hak
1
Adriana Krisnawati dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif
Hak Paten Dan Hak Pemulia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 13
Hukum dan Masyarakat 2014
moral lebih diekspresikan dalam norma-norma yang bernuansa ofensif, yaitu dalam ketentuan
mengenai hak dan wewenang menuntut, dengan sasaran siapapun dengan sengaja meniadakan
nama pencipta, atau memutilasi ciptaan, mendistorsi atau memodifikasi, termasuk mengubah
judul maupun isi ciptaan.
Dalam perkembangannya, setelah dilakukan revisi dua kali tahun 1987 dan tahun 1997
dan diganti pada tahun 2002, Undang-Undang Hak Cipta tetap alpa mengartikulasi nilai-nilai,
kaedah dan norma-norma budaya secara jelas dan tegas, sehingga gagal berperan sebagai pagar,
tuntutan maupun pemberi arah dalam tatanan kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan hak
cipta, khususnya terkait dengan jaminan perlindungan hak moral kepada pencinta.Nilai-nilai,
kaidah, serta norma-norma adat dalam pembentukan sikap pengakuan (terhadap hak-hak dan
identitas pencipta), penghormatan (terhadap ciptaan dan martabat penciptanya), Tetapi
kesemuanya belum menjadi muatan utama Undang-Undang Hak Cipta, yang masih dengan
karakter economic right heavy. Pada kenyataannya, sebagaimana tercermin dalam proses
kelahiran Undang-Undang Hak Cipta 1982, nilai-nilai kaidah dan norma-norma yangn
berdimensi hak moral tidak memperoleh cukup perhatian dan ruang pengaturan yang
proporsional. Substansi pengaturan hak moral dalam Undang-Undang Hak Cipta 1982
senyatanya hanya mengadopsi ketentuan Auteurswet 1912, yang selanjutnya tetap dipertahankan
tanpa ada pemikiran untuk disempurnakan pada saat Undang-Undang Hak Cipta direvisi tahun
1987 dan 1997 maupun saat diganti dengan Undang-Undang Hak Cipta 2002.
Pembangunan sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Nasional yang modern dan
efektif merupakan kebutuhan nyata. Kondisi nasional mengharuskan langkah ke arah itu seiring
dengan derap pembangunan ekonomi, industri serta antisipasi terhadap globalisasi. Namun
demikian, pembangunan sistem Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya dilakukan dengan
tahap memperhatikan kepentingan dan kemampuan Indonesia sendiri, baik yang menyangkut
kebutuhan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, penyebarluasan pemahaman,
termasuk bagi kalangan aparat penegak hukum maupun peningkatan kesadaran hukum
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Ketiga hal itu diselaraskan dan diarahkan untuk
mewujudkan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia yang modern, khususnya
dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional.
Dengan adanya perkembangan kehidupan yang berlangsung cepat, terutama di bidang
perekonomian tingkat Nasional maupun Internasional, pemberian perlindungan hukum yang
semakin efektif terhadap Hak Kekayaan Intelektual, khususnya di bidang hak cipta, perlu lebih
ditingkatkan dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya
kegiatan penelitian yang menghasilkan penemuan dan pengembangan teknologi yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan terciptanya masyarakat
adil, makmur, maju dan mandiri.
Pentingnya perlindungan yang memadai terhadap hak moral dapat dikaitkan dengan
aspek pengembangan teknologi dan aspek potensi ekonomi. Perlindungan hukum terhadap hak
cipta pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi
tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta dibidang ilmu pengetahuan seni, dan sastra.
Menyadari akan hal tersebut, Pemerintah Indonesia secara terus-menerus berusaha untuk
memperbaharui peraturan perundang-undangan dibidang hak cipta untuk menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang ada, baik perkembangan dibidang ekonomi maupun bidang
teknologi. Usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan terhadap
27
Hukum dan Masyarakat 2014
karya cipta . Undang-Undang Hak Cipta dalam memberikan perlindungan terhadap suatu karya
maupun terhadap hak dan kepentingan pencipta dan pemegang hak cipta cukup baik.
Dalam realitasnya, pelanggaran hak cipta masih menggejala dan seolah-olah tidak dapat
ditangani walaupun pelanggaran itu dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai macam bentuk pelanggaran yang dilakukan dapat berupa pembajakan terhadap karya
cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin
penciptanya ataupun pemegang hak cipta. Dampak dari pelanggaran hak cipta ini disamping
merusak tatanan masyarakat pada umumnya, juga akan mengakibatkan lesunya gairah untuk
berkarya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dampak lainnya yang ditimbulkan adalah
berkurangnya penghasilan/pemasukan negara berupa pajak penghasilan yang seharusnya dibayar
oleh pencipta atau pemegang hak cipta.
Pentingnya perlindungan hak cipta didasarkan beberapa alasan, yakni : mendorong
kreativitas dengan menghormati karya cipta orang lain; meningkatkan iklim usaha di bidang hak
cipta sehingga investor berkeinginan untuk menanamkan modalnya di Indonesia; adanya
kepastian hukum pada masyarakat pencipta. Prinsipnya, ciptaan harus tetap utuh sesuai dengan
ciptaan aslinya. Beberapa contoh dapat ditampilkan untuk sekadar memperjelas. Misalnya,
mengganti lirik lagu dengan uangkapan-ungkapankonyol dan canda yang mengubah sama sekali
makna syair aslinya. Ini terjadi dalam lagu-lagu parody2. Karya Padhyangan, yang pernah ramai
di blantika music Indonesia. Contoh lainya, mengubah dekorasi pesta secara tanpa izin, dapat
dianggap sebagai pelanggaran hak.
Namun harus diakui, pelaksanaan perlindungan hak moral semakin terabaikan dalam
era ekonomi global, terutama karena kemajuan media teknologi informasi dan telekomonikasi.
Dalam era digital itu eksploitasi karya cipta semakin intensif, kompleks, dan multifacet sehingga
cendeerung mengabaikan penghormatan terhadap hak moral pencipta. Sementara itu, proses
globalisasi telah mereduksi kekuatan norma-norma pengaturan hak moral seiring dengan
melemahnya budaya hukum karena kurangnya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan kaidahkaidah penghormatan dalam regulasi hak cipta. Serbuan produk-produk multimedia yang
bermuatan hak cipta telah menampilkan secara lebih dominan nilai ekonomi ciptaan ketimbang
eksistensi hak moral. Kepedulian dan perhatian terhadap nilai-nilai ekonomi menjadi lebih
menonjol. Kondisi demikian cenderung memberi stimulan pembiaran dan memperkuat sikap
pengabaian terhadap integritas (dignity) dan identitas (paternity) pencipta. Kecenderungan
seperti ini pada gilirannya akan semakin memperparah ketidakpastian hukum dan
membahayakan sendi-sendi kehidupan bangsa terutama dalam aspek ketertiban, keselarasan dan
keadilan yang bertumpu pada tatanan hukum dan norma-norma aturan yang telah ditetapkan.
Lebih dari itu , menghadapi ancaman eksploitasi ciptaan dalam rangka media digital tecknology,
Undang-Undang Hak Cipta semakin tidak mampu memberi jaminan perlindungan dan bahkan
telah gagal menjadi pelindung kepentingan pencipta, terutama untuk menjaga dignity dan
paternity-nya.
Adanya kenyataan tersebut mendorong penulis untuk menelaah permasalahan dimaksud
dalam suatu tulisan ilmiah dengan memilih tema “ Perlindungan Hak Moral Dalam Hukum Hak
Cipta”
2
Soelistyo, Henry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 16.
28
Hukum dan Masyarakat 2014
B. Isu Hukum
Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang menjadi isu hukum yang relevan
adalah sebagai berikut; dasar filofofis pentingnya pelaksanaan perlindungan hak moral
pencipta dan upaya dan penegakan hukum terhadap kasus hak moral.
C. Pembahasan Dan Analisis
Dalam Civil Law System, persyaratan asal ciptaan atau authorship berkonsekuensi pada
persyaratan keaslian, yang keduanya kemudian digunakan sebagai parameter bagi perlindungan
hak cipta. Persyaratan asal mula ideatau inspirasinya. Sedangkan persyaratan keaslian
merupakan petunjuk untuk menentukan dan memastikan lingkup hak pencipta dalam substansi
ciptaannya.
Harus diakui model Civil Law System lebih menjamin kepastian hukum. Hal itu dapat
dibktikan dari cara hukum mengakui eksistensi hak cipta dan member jaminan perlindungannya.
Prinsipnya, ciptaan harus asli dan benar-benar bersal dari diri pencipta sehingga sehingga
mencerminkan kepribadian penciptanya. Perlindungan hukum, dengan demikian, adalah
perlindungan terhadap diri pribadinya.Perlindungan Hak Cipta dengan demikian, merupakan
perlindungan terhadap diri pencipta. Oleh karena itu, dengan mudah dapat dikatakan bahwa apa
yang merupakan manifestasi dari diri mudah dapat dikatakan bahwa apa yang merupakan
manifestasi dari diri pencipta menjadi milik pencipta. Di luar itu merupakan milik masyarakat,
Disinilah pembatasan mengenai lingkup Hak Cipta memiliki dasar dan rasionalitas yang benar.
Meski tidak sejelas klaim dalam invensi paten, klaim atas lingkup Hak Cipta sebenarnya dapat
juga ditentukan dengan mengacu pada inspirasi asli pencipta yang tercermin dalam ciptaan.
Selanjutnya, dari aspek Hak Moral, tradisi Civil Law System memiliki justifikasi yang
kuat, yaitu merujuk pada Konvensi Bern yang mengatur Hak Moral yang meliputi The right of
attribution atau lasim disebut Right of peternity dan The right of integrity. Kedua elemen Hak
Moral tersebut selanjutnya dijabarkan dalam norma-norma yang bervariasi. Diantaranya,
pencipta memiliki hak untuk diakui dan dilindungi kepemilikan ciptaannya, termasuk
dicantumkan namanya sebagai pencipta atas ciptaan tersebut, The right of recognition authorship
seperti itu merupakan jabaran dari the right of attribution atau the right of paternity.
Selain itu, Konvensi Bern juga meneguhkan elemen Hak Moral yang esensial lainnya
berupa the right of intergrity.Hak Moral ini member hak kepada pencipta untuk menyatakan
keberatan atau melarang tindakan perusakan atau perubahan atas ciptaannya.Tindakan distortif
seperti itu berpotensi mengganggu reputasi dan integritas atau martabatnya sebagai pencipta.
Dua pilar Hak Moral yang diatur dalam Konvensi Bern ini dalam perkembangannya telah
banyak diadopsi dan dijadikan norma hukum dinegara-negara penganut paham Common Law
System, termasuk Inggris dan Australia.
Menurut L.J. Taylor dalam bukunya Copyright For Librarians menyatakan bahwa yang
dilindungi hak cipta adalah ekspresinya dari sebuah ide, jadi bukan melindungi idenya itu
sendiri. Artinya, yang dilindungi hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai sebuah
ciptaan, bukan masih merupakan gagasan.
Menurut Hutahuruk ada dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian
hak cipta yang termuat dalam ketentuan UHC (Undang-Undang Hak Cipta) Indonesia yaitu:
29
Hukum dan Masyarakat 2014
1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain
2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak
dapat ditinggalkan dari padanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau
integritas ceritanya.
Pasal 2 Undang-undang Hak Cipta Indonesia secara tegas menyatakan dalam
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, itu harus memperhatikan pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembatasan yang dimaksud sudah tentu
bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau mengfungsikan hak cipta harus sesuai dengan
tujuannya.
Dalam setiap perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum selalu diletakkan
syarat-syarat tertentu. Menurut Vollmar, penggunaan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-undang sudah pasti tidak memperoleh perlindungan hukum.
Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap hak cipta ini adalah agar
setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang.
Setiap penggunaan hak harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu tidak
bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Walaupun sebenarnya Pasal 2 UHC
Indonesia ini menyatakan hak cipta itu adalah hak eksklusif, yang memberikan arti bahwa selain
pencipta orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin pencipta. Hak itu timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan.
Untuk mengetahui perlindungan hukum secara preventif ini akan diawali dengan
menegaskan kembala fungsi dari hak cipta. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 2
ayat (1) UU Hak Cipta yang berbunyi : Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau
pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 3
Selanjutnya dalam penjelasan ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa yang
dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya
sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
Dalam pengertian mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan,
mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik publik, menyiarkan, merekam, dan
mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Konsep hak cipta sebagai hak eksklusip yang dimiliki oleh pemegang hak cipta pada
dasarnya mempunyai dua hal pokok, yakni hak ekonomi (economi rights) dan hak moral (moral
rights). Di dalam penjelasan UU hak Cipta dua hak ini telah didefenisikan. Hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk terkait. Hak moral adalah
hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapuskan
tanpa alas an apapun, walaupun hak cipta atas dihapuskan tanpa alas an apapun, walaupun hak
cipta atas hak terkait telah dialihkan.
3
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, Masalah-masalah HAKI Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta,
2006, h. 155.
30
Hukum dan Masyarakat 2014
Hak moral diatur permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan hak moral.
Pengaturan ini diawali dari ketentuan pasal 24 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Hak Cipta yang
berbunyi :
(1)
Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut pemegang hak cipta supaya nama
pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.
(2)
Suatu ciptaan tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan
kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan penciptanya atau
dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap
perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran
pencipta.
(4)
Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan nama atau nama samaran
pencipta.
(5)
Pencipta tetap berhak amengadakan perubahan pada ciptaannya sesuai dengan
kepatuhan dalam masyarakat.
Kalau dicermati ketentuan pasal 24 UU Hak Cipta ini memberikan kriteria-kriteria dari
pada hak moral, yakni pertama, bahwa si pencipta berhak namanya dicantumkan dalam
ciptaannya; kedua, bahwa dilarang untuk mengubah ciptaan meskipun ciptaan tersebut telah
diserahkan kepada pihak lain; dan ketiga, bahwa dilarang untuk melakukan perubahan judul
nama samaran pencipta.
Dalam hal lain dari ketentuan yang mengatur hak moral ini didasarkan pada
pemanfaatan teknologi informasi Pasal 25 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa informasi
elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
Berdasarkan pada tidak boleh ditiadakan atau diubah. Berdasarkan pada ketentuan ini, maka hak
moral juga melekat pada informasi elektronik. Dapat diberikan contoh pelanggaran hak moral
sebagai berikut :
1.
Pelanggaran Hak Moral Karya Tulis/ Karya ilmu Pengetahuan
Pasal 12 UU Hak Cipta menentukan daftar panjang jenis-jenis ciptaan yang
dilindungi.Secara kategoris, ciptaan tersebut meliputi karya ilmu pengetahuan, karya seni dan
karya sastra.
Karya ilmu pengetahuan atau scientific work meliputi ciptaan : buku, program
computer, pamphlet, perwajahan atau lay out, karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil
karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaanlain yang sejenis dengan itu; alat peraga yang
dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, arsitektur, dan peta. Sedangkan
karya seni mencakup; lagu atau musik dengan atau tanpa teks; drama atau drama musical, tari,
koreografi, pewayangan dan pantomim , seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis,
gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni trepan, seni batik, ,
fotografi, dan sinematografi, Adapun karya sastranya adalah : terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai,database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Dari uraian mengenai jenis-jenis
ciptaan tersebut, karya ilmu pengetahuan dan karya sastra memiliki media tertulis, baik yang
berupa buku, karya tulis ilmiah, seperti disertasi, tesis, skripsi dan makalah maupun yang berupa
artikel untuk jurnal, bulletin, majalah atau Koran.
Sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta, terhadapnya melekat hak ekonomi dan hak
moral.Sejauh menyangkut hak ekonomi, penulisnya sebagai pencipta berhak mengekploitasi
karya tulisnya, baik melalui penerbitan dalam buku maupun pemuatannya dalam media publikasi
31
Hukum dan Masyarakat 2014
ilmiah maupun majalah popular lainnya.Pencipta dapat memperoleh royalty dari penerbitan
bukunya atau mendapatkan honorarium bagi pemuatan artikelnya di media.Bila dapat dihimpun
dalam jumlah yang memadai, kumpulan tulisan-tulisan tersebut dapat dibukukan menjadi bunga
rampai.Penerbitan seprti itu dapat dibukukan menjadi bunga rampai. Penerbitan seperti itu akan
memberikan tambahan income bagi penciptanya. Sementara itu, hak moral memberi jaminan
perlindungan terhadap pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaan dan dihargai dengan
cara tidak mengubah atau memutilasi yang yang berpotensi merugikan integritas pencipta.
Bentuk perlindungan tersebut menjadi nyata dan berwujud apabila ada pelanggaran terhadap
kedua esensi hak moral, yaitu : right of paternity atau right of integrity. Ketika pelanggaran
untuk memulihkan hak-hak dan kepentingannya.Pelaksanaan hak tersebut difasilitasi dengan
mekanisme penuntutan sebagaimana layaknya bila terjadi pelangaran hak yang merugikan.
Dalam tindakan plagiat, harus diakui, ciptaan karya ilmiah memang tidak dapat
dilepaskan dari sumber utamnya, yaitu kampus dan kalangan intelektual.Jika diibaratkan pabrik,
kampus adalah produser karya tulis, buku dan karya ilmiah lainnya. Sejauh ini, system
pendidikan di Perguruan Tinggi mengharuskan mahasiswa menulis karya ilmiah untuk
selanjutnya diuji untuk menentukan berhak atau tidaknya seseorang menyandang gelar, baik
gelar Sarjana Strata I, Strata II, Strata III, Demikian pula dosen atau staf pengajar di Perguruan
Tinggi yang dituntut untuk aktif melakukan penelitian dan menulis karya-karya ilmiah termasuk
menerbitkan buku. Kegiatan tersebut akan menentukan besaran cum untuk kemudian
mendapatkan status akan akademik sesuai dengan jenjang kepangkatan berbasis cum tadi.
Gelaran tertinggi dari karier dosen adalah menjadi Mahaguru atau Profesor.Karena gelar
professor menuntut jumlah cum yang besar, yang secara normal baru dapat terkumpul dalam
waktu lama, maka hal itu mengundang tindakan potong jalan. Diantaranya, melakukan plagiat
atau mengambil karya orang lain dan mengakui sebagai karyanya.
Selain PerguruanTinggi, pelanggaran seperti ni jugaterjadi di Instansi Pemerintah yang
jenjang kepangkatan pegawainya ditentukan berdasarkan cum maupun prestasi akademik
lainnya, Misalnya, jabatan peneliti atau pejabat fungsional di LIPI, dan diklat-diklat di
Kementerian. Para peneliti, pejabat dan pegawai di lembaga-lembaga riset/ penelitian seperti itu
biasanya mengalami problema mengatur waktu sehingga menjadi kendala dalam mengejar
kariernya. Para peneliti pada umumnya telah kehabisan tenaga dan pemikirannya karena dipakai
untuk kegiatan rapat dan pertemuan lain yang acapkali sangat menyita waktu. Dengan
terbatasnya waktu yang tersedia dan dihadapkan dengan tuntutan kariaernya untuk aktif menulis,
maka timbullah godaan yang sangat kuat untuk melakukan plagiat. Masalahnya tidak semua
orang mampu melawan godaan itu, meski harus menghadapi risiko terbongkar dan menjadi aib
di masyarakat.
Menurut pandangan kalangan akademisi, Contoh, tindakan plagiat si A. Sangat obvious,
karena menyalin tulisan-tulisan ilmiah tersebut hampir100 persen.Karena keberaniannya
melanggar etika akademisi dan hukum hak cipta tersebut menjadikan si A. Dijuluki sebagai
plagiat of the year yang juga disebut “intelektual tukang”. Dari sebanyak 20 judul buku dan
makalah yang disalin si A. Perlu dicatat bahwa, ketidakjelasan seperti itu tentu disengaja untuk
memberi kesan bahwa seluruh isi diktat itu adalah tulisan Si A. Sebab, seorang akademisi dengan
gelar Ph.D. tentu memahami etika akademik dan hukum hak cipta. Oleh karena itu,secara
normative tindakan si A. Dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, khususnya hak moral
lebih khusus lagi mengenai hak Atribusi. Seandainya Si A. Memiliki kejujuran intelektual
dengan mencantumkan nama sebagai “fair dealing” yang mendapatkan perlindungan hak cipta
32
Hukum dan Masyarakat 2014
dengan tidak mengurangi hak cipta atas masing-masing bagian dari ciptaan aslinya itu,
sebagaimana dapat dipahami dari ketentuan pasal dari ciptaan aslinya itu sebagaimana dapat
dipahami dari ketentuan pasal 12 ayat (2) UU Hak Cipta 2002.Perlu dicatat bahwa kasus dugaan
plagiat seperti ini biasanya disikapi dengan pembelaan dengan menuduh adanya muatan politis
yang mengarah pada Character assassination. Dalam kasus Si A. Unsur politis tersebut terkait
dengan kedudukannya dalam mengalami konflik internal.
2.
Pelanggaran Hak Moral Karya Lagu/ Musik Dan Rekaman Suara
Dalam era global ini, music lebih banyak hadir sebagai hiburan atau entertainment.
Musik seperti itu membanjiri masyarakat melalui radio, televise,kaset CD/VCD maupun medium
MP. Diluar itu, music tampil di panggung-panggung pertunjukan, cafe, Restoran, Pub dan
tempat-tempat terapi.Musik rakyat atau folklore merupakan music etnik yang biasanya juga
bersifat ritual yang sering dianggap sebagai music tradisional.Dalam catatan sejarah music
Indonesia, pernah ada music rakyat dan music keratin yang menjadi hiburan. Diantaranya,
seperti yang dikatakan oleh pengamat music, Dieter Mack, Legong Keraton dan Tari Bedoyo
yang diciptakan semata-mata sebagai hiburan meski memiliki nilai estetis yang tinggi. Musikmusik pop religious yang banyak dimunculkan pada bulan puasa, memiliki nuansa agamis.
Meski tidak selalu menyebut nama Tuhan, banyak music-musik religious yang liriknya mengajak
umat menjalankan ajaran-ajaran Tuhan. Lagu-lagu Bimbo,Ungu, Rhoma Irama dan beberapa
penyanyi lain yang rajin menyampaikan dakwah lewat music. Bagi umat nasrani lagu-lagu
pujian dalam rangka merayakan natal juga termasuk music4 religi.
Dengan tema seperti itu, rasanya menjadi dosa dua kali bila orang sampai melakukan
tindak pembajakan.Bukan hanya melanggar hak ekonomi pencipta, tetapi tindakan pembajakan
juga berarti melawan hati nurani.Demikian apabila seseorang meniru lagu-lagu seperti itu
danmengkomersialkan untuk kepentingan dirinya.Selain pelanggaran Hak Ekonomi,
tindakanseperti itu juga berdimensi pelanggaran Hak Moral.
Menarik apa yang dinyatakan ULLY Hary Rusady mengenai masalah mencontek lagu
ini. Bagi Ully sebuah karya haruslah sesuai dengan hati kecil. Jika mencontek karya orang lain,
Sebagus apapun karya dihasilkan.itu bukanlah karya kita. Orang yang mencontek karya orang
lain berarti ia tidak menghargai hati kecilnya. Bagi Armand Maulana, vokalis Band Gigi,
maraknya musisi atau band plagiator dianggap tak punya nurani, memprihatinkan dan tidak
memajukan music Indonesia.Harus diakui bahwa penyesuaian terhadap tuntutan masyarakat
yang homogeny menjadikan kreativitas para pencipta lagu menurun dari tahun ketahun. Industri
rekaman Indonesia dipenuhi dengan lagu-lagu bertema cinta, dengan lirik yang serupa dan
melodi yanghampir sama. Yang unik, ketika Titiek Sandhora sukses dengan lagu bertipe
mandarin,serempak beberapa penyanyi dan grup Band mengikutinya.Ketika kumunitas pencipta
lagu menjadi tidak penting.Bagi mereka, musik pop tidak lebih dari sekedar hiburan. Dengan
trent dan iklim penciptaan seperti itu maka ukuran normatif penentu eksistensi hak cipta, berikut
pengakuan hak moralnya. Peniruan, penciplakan dan adaptasi ciptaan lagu karena tuntutan selera
pop masyarakat dapat menjadi hal yang biasa dan tidak ada yang mempersoalkannya.Hal ini
dapat dipahami karena aturan hukum.Hak cipta masih mejadi aturan tidur dan tidak ditegakkan
dengan optimal.
Mencermati referensi kasus-kasus pelanggaran hak moral di bidang music, film dan
karya tulis, khususnya plagiarisme, tampak bahwa orientasi perlindungan yang lebih menonjol
4
Soelistyo, Henry, op.cit, h. 216.
33
Hukum dan Masyarakat 2014
diperjuangkan adalah aspek ekonomi ciptaan.Sejauh ini, penyelesaian kasus-kasus tersebut lebih
didekati sebagai tindak pelanggaran hak ekonomi yang serta merta dikonversi dengan tuntutan
untuk pemulihan (kerugian) ekonomi.Hak cipta di bidang tari,seni lukis,arsitektur dan desain
busana yang juga semakin mengukuhkan sikap menegaskan kaidah-kaidah dan norma ketentuan
hak morl. Bilasikap pengabaian seperti ini berlanjut, maka secara tidak langsung akan
melumpuhkan norma-norma ketentuan Hak moral dan hanya akan menjadikannya sebagai
asesoris aturan hak cipta dengan menyisakan karekter monopoli berbasis hak ekonomi. Dari
aspek kemanfaatan, norma hak moral pada gilirannya akan semakin dirasakan tidaklagi
diperlukan. Gejala seperti ini tentu tidak menguntungkan dan bahkan berpotensi melemahkan
upaya penegakan hukum hak cipta dalam segala dimensinya. Perlindungan hukum hak cipta dan
sasaran penegakkannya akhirnya hanya akan terbatas pada enforcement.Upaya dan langkah
penegakan hukum yaitu dengan memperkuat kelembagaan hak cipta
Kemauan politik sebenarnya sudah ditunjukkan pemerintah dalam menyusun
danmenyempurnkan UU Hak Cipta dari waktu ke waktu, seperti pendapat para ahli, produk
hukum adalah produk politik artinya, dibuat dalam suatu proses politik oleh lembaga politik dan
diputuskan dengan mekanisme pengambilan keputusan politik. Dalam hal ini konstelasi politik
sangat mewarnai proses kelahiran Undang-Undang, substansi dan arah implementasinya.Dalam
kerangka sistem hukum, kelengkapan peraturan perundang-undangan saja dirasa tidak cukup
menjamin adanya perlindungan hakPolitical Will ditataran proses legislasi harus juga diikuti
dengan komitmen untuk mewujudkan enforcement yang efektif. Untuk itu, perlu pula
memperkuat kelembagaan yang terkait dengan pelaksanaan UU Hak Cipta,
Memperkuat kelembagaan pada dasarnya tidak terbatas pada aspek administrasi yang
terkait dengan pendaftaran ciptaan. Pendaftaran ciptaan sesungguhnya memilki korelasi dengan
hak atribusi karena akan mengukuhkannama pencipta dalam ciptaannya. Undang-undang Hak
Cipta bahkan menyatakan pembatalan pendaftaran harus ditempuh melalui pengadilan.Secara
tidak langsung, ketentuan ini menunjukkan betapa kuatnya pengakuan dan perlindungan hak
moral pencipta.Adagium hukumpun tidak berlaku dlam pembatalan hak cipta ini.
Dalam skala system perlindungan hak cipta, diperlukan pula kelembagaan yang kuat
dan terpadu untuk dapat mengartikulasikan peran hak cipta sebagai salah satu engine of
economic development.Ini berarti, tidak hanya menyangkut kelembagaan Ditjen HKI, tetapi juga
kementerian atau lembaga dengan portofolio Industri, perdagangan, penyiaran, dan pendidikan
dan kebudayaan. Lembaga-lembaga tadi merupakan sebagian dari simpul-simpul produksi dan
diseminasi karya seni,ilmu pengetahuan maupun pelaku penggunaan ciptaan untuk kegiatan
hiburan dan edukasi. Mereka juga harus dilibatkan dalam misi memfasilitasi perlindungan hak
cipta, khususnya hak moral.Ini berarti harus diarahkan untuk mencegh danturut mengeliminai
bibit-bibit pelanggaran hak moral, baik yang terkait dengan status kepemilikan ciptaan, maupun
penggunaan atau pengelolaannya.Penguatan kelembagaan seharusnya tidak terbatas pada
struktur formal lembaga Negara, tetapi juga perguruantinggi, LSM dan organisasi-organisasi di
bidang Hak cipta seperti ASIRI, ASIREVI, IKAPI, WAMI dan YKCI. Yang tak kalah
pentingnya adalah lembaga para pengacara dan praktisi hukum untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat dan mendorong terwujudnya etika moral untuk menghormati dan menghargai hak
cipta,termasuk khususnya hak moralpencipta.
Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat, dalam kerangka upaya
peningkatan pemahaman masyarakat di bidang hak cipta, langkah pemerintah tampak tidak
pernah surut.Beragam forum seminar dan diskusi dilakukan diberbagai daerah, termasuk
34
Hukum dan Masyarakat 2014
dikalangan perguruan tinggi.Dukungan kalangan asosisi dan lembaga-lembaga resmi luar negeri
telah pula secara optimal dimanfaatkan.Demikian pula bantuan dari Negara-negara
asing.Setidaknya, pemahaman dan kesadaran masyarakat telah memulai tumbuh meski lebih
pada dimensi hak ekonomi dan belum pada apresiasi terhadap hak moral.
D. Kesimpulan
1. Dari segi perlindungan hak moral, kurangnya pemahaman tampak dari sikap dan
perilaku yang cenderung mengabaikan hak-hak orang lain. Hal itu menjadi factor Pelaksanaan
perlindungan hak moral pencipta Sebagai ciptaan yang dilindungi hak cipta, terhadapnya melekat
hak ekonomi dan hak moral. Bentuk perlindungan tersebut menjadi nyata dan berwujud apabila
ada pelanggaran terhadap kedua esensi hak moral, yaitu : right of paternity atau right of integrity.
Ketika pelanggaran untuk memulihkan hak-hak dan kepentingannya. Pelaksanaan hak tersebut
difasilitasi dengan mekanisme penuntutan sebagaimana layaknya bila terjadi pelangaran hak
yang merugikan.
2. Upaya dan penegakan hukum terhadap kasus hak moral dalam praktik
penggunaan hak cipta yaitu dengan adanya perlindungan hukum hak cipta dan sasaran
penegakkannya akhirnya hanya akan terbatas pada enforcement. Upaya dan langkah penegakan
hukum yaitu dengan memperkuat kelembagaan hak cipta, Sosialisasi dan Peningkatan Kesadaran
Hukum Masyarakat dan penindakan hukum terhadap pelanggaran hak moral. Mengingatkan
dikuatirkanjika sikap permisif seperti itu berlanjut, akan timbul anomaly budaya yang berbahaya
bagi etika dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain secara umum. Selain peningkatan
pemahaman aparat kejaksaan, kepolisian, serta jajaran hakim di berbagai tingkat peradilan,
diperlukan pula upaya peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui sosialisasi yang
sistematis terjadwal.
=========================
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Budi Riswandi dan Siti Sumartiah, Masalah-masalah HAKI Kontemporer, Gita
Nagari, Yogyakarta, 2006.
Adriana Krisnawati dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman
Dalam Perspektif Hak Paten Dan Hak Pemulia, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004.
Barrett, Marggareth, Intellectual Property, Emanuel Law Outlines, Inc. Larchment, 1991.
Boldrin, Michele dan David K. Levine, Against Intellectual Monopoly, Cambridge University
Press,2010.
Budi Maulana, Insan dkk, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Pusat Studi Hukum UII,
Yogyakarta, 2000.
Caenegem, William van, Intellectual Property, LaxisNexis Butterworths, Australia, 2006.
35
Hukum dan Masyarakat 2014
C.S.T. Kansil, Hak Milik Intelektual, ; Bumi Aksara, Jakarta,1990
Davison, Mark J.dkk, Australian Intellectual Property Law, Cambridge University Press,
2008.
Djumhan, Muhamad, Hak Milik Intelektual, (Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Ed. Revisi, Cet 3, Jakarta. PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, Ed. Revisi, Cet 2, Jakarta. PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.
Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat DiIndonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
Soelistyo, Hendry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2011.
Kesewo, Bambang, Pembangunan Sistem HaKI Nasional, FH-UNAIR, Surabaya, 1994.
Soelistyo, Hendry, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2011.
Soenggono, Bambang Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
2001.
S. Nasution, Metode Research Penelitian Ilmiah, Jemmars, Bandung, 1991.
Soekamto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986.
- - - - - ,Faktor- faktor yang mempengaruhi penegakkan hukum, Rajawali Press, Jakarta,
2002.
Usman, Rachmadi, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan Dan Dimensi
Hukumnya Di Indonesia, PT. Alumni Bandung, 2003.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Berne Convention for the Protection of Leterary and Artistic Works
WIPO Convention
TRIPs Agreement
36
Hukum dan Masyarakat 2014
37
Download