15 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan maka peranan pemerintah sangat dibutuhkan dalam menyediakan dana dan memberikan prakarsa dalam usaha pembangunan perumahan. Kehadiran sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang penghasilan ekonominya dalam level kecil dan menengah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk pembangunan perumahan yang layak huni antara lain pembangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS). Tingkat ketergantungan dari para pembeli rumah sekarang ini sangat terkait dengan kredit permintaan rumah, meningkatnya suku bunga akan sangat berpengaruh terhadap permintaan rumah. Berbagai usaha yang dilakukan lembaga perbankan untuk berkompetitif dalam persaingan suku bunga KPR. Hal ini memberikan peluang untuk bisa memaksimalkan Kredit Pemilikan Rumah yang dikucurkan oleh sektor perbankan untuk pembelian rumah bagi keluarga.1 Memang tidak dipungkiri bahwa perbankanlah merupakan salah satu sumber guna memperoleh dana yang dianggap mudah dan cepat bagi sebagian masyarakat dalam hal membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya, seperti dalam 1 C. Djemabut Blaang, Perumahan dan Pemukiman sebagai Kebutuhan Pokok , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 108-109. Universitas Sumatera Utara 16 pemanfaatan pendanaan dari bank dalam fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR). KPR yang dimaksud disini adalah KPR Program, yang merupakan program dari pemerintah yang dikenal dengan istilah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, yang diatur didalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2010, yang diundangkan tanggal 03 September 2010 tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Adapun isi dari peraturan menteri tersebut antara lain mengatur tentang kriteria kredit/pembiayaan pemilikan rumah, nilai maksimal KPR yang diberikan berikut suku bunga yang berlaku untuk selama masa kredit, jumlah uang muka yang harus dibayar, persyaratan dalam permohonan kredit, pengaturan jual beli atau pemindahtanganan dan juga hal-hal yang dilarang sehubungan dengan kegiatan pinjam-meminjam dalam bentuk KPR tersebut. Kegiatan pinjam-meminjam2 uang itu sendiri telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Kegiatan pinjam-meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.3 2 Pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. 3 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.1. Universitas Sumatera Utara 17 Dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang menjadi jaminan kredit ialah hak atas tanah, bukan tanah secara fisik. UUPA menyatakan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan dapat dibebani hak tanggungan untuk menjamin pelunasan suatu hutang. Karena sifatnya yang istimewa, untuk dapat dibebani hak tanggungan, suatu benda harus ditunjuk oleh suatu Undang-Undang sebagai objek hak tanggungan yaitu UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam UndangUndang tersebut kekhawatiran dan keberadaan hak tanggungan ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.4 Secara substansi banyak hal yang diatur dalam UUHT tersebut, salah satu hal yang menarik dan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini yaitu dilembagakannya penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUHT , yaitu: (1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan ; b. tidak memuat kuasa substitusi ; c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemilik Hak Tanggungan. (2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ; 4 Effendi Perangin, 1991, Praktek Penggunaan Tanah sebagai Jaminan Kredit, Jakarta, Rajawali, hlm, 1-2. Universitas Sumatera Utara 18 (3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 ( satu ) bulan sesudah diberikan; (4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 ( tiga ) bulan sesudah diberikan; (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ; (6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan penggunaan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum. Namun dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan membantu kepentingan golongan ekonomi lemah, Pemerintah melakukan intervensi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 8 Mei 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu, dimana dalam Pasal 1 disebutkan : Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.26/24/KEP/Dir tanggal 29 Mei 1993 tersebut dibawah ini berlaku sampai saat ini berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan : 1. Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi : a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa; b. Kredit Usaha Tani; c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya. 2. Kredit Pemilikan Rumah yang diadakan untuk pengadaan perumahan, yaitu : a. Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 Universitas Sumatera Utara 19 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2 (tujuh puluh meter persegi); b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 m2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya; c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b;. 3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), antara lain : a. Kredit Umum Pedesaan (BRI); b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah); Menurut ketentuan dari Pasal 1 angka 2 tersebut diatas khususnya terhadap Kredit Pemilikan Rumah sederhana, tidak ada pembatasan waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam artian jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) tersebut dikecualikan. Selain daripada ketentuan didalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tersebut tentang Kredit Pemilikan Rumah Sederhana yang tidak harus diikat dengan hak tanggungan, juga diatur didalam : 1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 28 Mei 1993, Sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil, dan diubah lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1997 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil Untuk Mendukung Program Kemitraan Terpadu dan Pengembangan Universitas Sumatera Utara 20 Koperasi dan terakhir diubah dengan Peraturan Bank Indonesia nomor 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil. 2. Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dengan membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), berarti pemberi hak tanggungan tidak melakukan sendiri dalam pembebanan hak tanggungan yang ditandatangani dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tetapi memberi kuasa kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan untuk sewaktu-waktu membebankan hak tanggungan sesuai kehendak bank. Kebiasaan pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang tidak segera diikuti pembebanan hak tanggungan tidak memberi keamanan bagi kreditur karena dengan membuat SKMHT berarti hak tanggungan belum lahir sehingga kreditur belum memiliki hak preferent (hak istimewa bagi penagih sebagai orang yang memiliki piutang atau hak yang didahulukan)5 terhadap jaminan tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “PELAKSANAAN DENGAN PENGIKATAN KREDIT SURAT PEMILIKAN KUASA RUMAH SEDERHANA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), DITINJAU DARI PMNA/KEPALA BPN NOMOR 4 TAHUN 1996”. 5 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 156. Universitas Sumatera Utara 21 B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan kredit pemilikan rumah sederhana dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ditinjau dari PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 ? 2. Bagaimanakah fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) terkait dengan pemberian fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Sederhana ? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pihak bank dalam hal debitur wanprestasi, dan bank hanya sebagai pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan kredit pemilikan rumah sederhana dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ditinjau dari PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996. 2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) terkait dengan pemberian fasilitas kredit pemilikan rumah sederhana. Universitas Sumatera Utara 22 3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak bank dalam hal debitur wanprestasi, dan bank hanya sebagai pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat mengenai perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Pertanahan dan Hukum Jaminan yang berhubungan dengan pengaturan-pengaturan mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan khususnya yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dan dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu. 2. Secara praktis. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas kepada masyarakat mengenai jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dalam hal pemberian fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Sederhana, agar masyarakat paham apa yang menjadi hak dan kewajibannya serta memberikan gambaran upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan oleh pihak Universitas Sumatera Utara 23 bank sebagai pemberi kredit dalam hal debitur penerima kredit tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi), sedangkan bank pemberi kredit hanya sebagai pemegang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan dari penelusuran di Kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian dengan judul “PELAKSANAAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH SEDERHANA MEMBEBANKAN HAK DENGAN PENGIKATAN TANGGUNGAN (SKMHT) SURAT DITINJAU KUASA DARI PMNA/KEPALA BPN NOMOR 4 TAHUN 1996”, belum pernah dilakukan. Pernah ada penelitian sebelumnya terkait dengan Perjanjian Kredit yang dibebankan dengan Hak Tanggungan, yang dilakukan oleh : 1. Kiki Riarahma, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2006, dengan judul “Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hal Tanggungan dalam Perjanjian Kredit” (studi penelitian di PT. Bank Bukopin Cabang Medan), dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu bagaimanakah fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan dalam perjanjian kredit setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, adakah hambatan-hambatan dalam pelaksanaan membuat Akta Pemberian Hak Universitas Sumatera Utara 24 Tanggungan sesudah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam praktek perbankan dan bagaimanakah jika terjadi kredit macet sebelum jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berakhir. 2. Redy Mulya Thomson Aritonang, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2004, dengan judul “Aspek Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam pemberian kredit oleh bank” (studi penelitian pada PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Iskandar Muda Medan), dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu bagaimanakah pelaksanaan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam praktek perbankan, adakah hambatan-hambatan dalam penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam praktek perbankan dan bagaimanakah upayaupaya mengatasi hambatan jika terjadi terhadap penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan menjadi Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam praktek perbankan. Namun jika dihadapkan penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan penelitian ini, maka ada perbedaan materi dan pembahasan yang dilakukan. Dengan demikian maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran. Universitas Sumatera Utara 25 F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Menurut Soerjono Soekanto, teori6 adalah suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu. Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan teori7 : “Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antarvariabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”. Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah8 : “Asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”. Dari pendapat diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa yang namanya teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum, yang berguna 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hlm.6. Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 133. 8 Ibid,. hlm. 134. 7 Universitas Sumatera Utara 26 untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalah (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.9 Sehubungan dengan itu dalam meneliti tentang pelaksanaan Kredit Pemilikian Rumah Sederhana dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah Teori Kepastian Hukum, yakni teori yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian kredit pemilikan rumah sederhana yang diikat dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mempunyai kekuatan hukum yang pasti dengan segala akibatnya dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Tugas kaidah-kaidah hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguhsungguh menyadari bahwa kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.10 Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian 9 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm. 49-50. 10 Universitas Sumatera Utara 27 hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.11 Menurut Radbruch dalam Theo Huijbers:12 Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan. Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan:13 Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (Undang-Undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”. Berdasarkan pengertian diatas dapat diartikan hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan, sebab perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan selain undang- 11 Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 12 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Jakarta, 1982, hlm. 163. Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op.Cit., hlm. 136. 58. 13 Universitas Sumatera Utara 28 undang. Jadi perikatan merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang kongkrit.14 Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, tetapi mencakup sampai kepada lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, namun memiliki sifat yang berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ke-III kriterianya dapat dinilai secara materiil atau uang.15 Dari pengertian perjanjian yang telah dikemukakan diatas, agar suatu perjanjian mempunyai kekuatan maka harus dipenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : 1) Syarat Subyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan yang meliputi : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 2) Syarat Obyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum yang meliputi : a. Suatu hal (obyek) tertentu. 14 Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta, 1985, hlm. 122. Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 65. 15 Universitas Sumatera Utara 29 b. Sebab yang halal. Kesepakatan diantara para pihak diatur dalam Pasal 1321-1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kecakapan dalam rangka tindakan pribadi orang perorangan diatur dalam Pasal 1329-1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat tersebut merupakan syarat subyektif yaitu syarat mengenai subyek hukum atau orangnya. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Sedangkan syarat obyektif diatur dalam Pasal 1332-1334 Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu obyek dalam perjanjian dan Pasal 1335-1337 mengatur mengenai kewajiban adanya suatu causa yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak . Syarat tersebut merupakan syarat obyektif, apabila tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas penting yang perlu diketahui, antara lain : 1) Asas Kebebasan Berkontrak. Pasal 1320 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan hak kepada para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan apa saja dengan siapa saja, selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Universitas Sumatera Utara 30 2) Asas Konsensualitas. Dengan sistem terbuka yang dianut Buku Ke-III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum perjanjian memberikan kesempatan seluasluasnya kepada para pihak untuk membuat perjanjian yang akan mengikat mereka sebagai undang-undang, selama dan sepanjang dapat dicapai kesepakatan oleh para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Walaupun demikian, untuk menjaga kepentingan debitur (yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) maka diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan tertentu. Ketentuan mengenai ini dapat ditemui dalam rumusan pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 3) Asas Kekuatan Mengikat. Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh hukum kontrak ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada Pasal 1374 ayat 1 atau Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kemudian didalam Pasal 1339 Kitab UndangUndang Hukum Perdata juga dimasukkan prinsip kekuatan mengikat ini. Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, mengingat kekuatan Universitas Sumatera Utara 31 hukum yang terkandung didalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penaatannya.16 Atau dengan kata lain asas pacta sunt servanda itu adalah perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Konsepsi Konsep berasal dari Bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.17 Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operational definition18. Pentingnya definisi operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius), dari suatu istilah yang dipakai.19 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut : 16 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 31. 17 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 122. 18 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 10. 19 Tan Kamelo, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, Medan, PPs-USU, 2002, hlm. 35. Universitas Sumatera Utara 32 a. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.20 b. Rumah Sederhana adalah rumah yang tidak bersusun dengan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2, yang dibangun diatas tanah dengan luas kaveling tidak lebih dari 200 m2. c. Perjanjian Kredit adalah persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara bank dengan debitur atas sejumlah kredit.21 d. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli rumah dan/atau berikut tanah guna dimiliki dan dihuni atau dipergunakan sendiri. e. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.22 f. Hukum Jaminan menurut Rachmadi Usman adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima 20 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 21 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. Ke-3, Citra Aditya Bakti, 2003, Bandung, hlm. 385. 22 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Universitas Sumatera Utara 33 jaminan (kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit) dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).23 Sementara Salim HS memberikan perumusan Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.24 e. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.25 f. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk menjamin utang seorang debitur yang memberikan hak utama kepada seorang kreditur tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kredit-kreditur lain apabila debitur cidera janji.26 g. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk 23 24 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.1-2. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 6. 25 Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 26 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm.4-5 Universitas Sumatera Utara 34 pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.27 h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah surat kuasa yang diberikan pemberi Hak Tanggungan (pemilik benda jaminan) kepada kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan untuk membebankan Hak Tanggungan atas objek Hak Tanggungan.28 i. Ingkar janji (wanprestasi) Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu : 1) Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, 2) Debitur terlambat memenuhi perikatan, 3) Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.29 G. Metode Penelitian Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinankemungkinan, sebagai berikut30 : 1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2) Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, 3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir 27 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 28 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Cet.Ke-3, Alfabeta, Jakarta, 2005, hlm. 179. 29 Mariam Darus Badrulzaman et al., Kompilasi Hukum Perikatan, op. cit, hlm.18-19. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit, hlm. 5. Universitas Sumatera Utara 35 dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian31. Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan data-data yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data-data sebagaimana yang dimaksud maka dilakukan suatu metode tertentu, karena setiap cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri. Maka dalam tulisan hukum secara otomatis metode yang dipakai adalah metode penulisan hukum. Metode penulisan ini merupakan pedoman atau petunjuk dalam mempelajari, menganalisa, memahami serta menemukan penyelesaian bagi permasalahan yang dihadapai. Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini memiliki sifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian dilapangan32. Sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang Pelaksanaan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) diuji petikkan lewat PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996, berikut segala permasalahan yang akan timbul. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan. 31 32 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hlm.15-16. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 63. Universitas Sumatera Utara 36 2. Metode Pendekatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)33. Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan, sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Jadi penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum tentang pelaksanaan kredit Pemilikan Rumah Sederhana dengan pengikatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang ditinjau dari PMNA/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk mnjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. 33 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, op. cit. hlm.34. Universitas Sumatera Utara 37 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.34 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 5) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu. 6) Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan 34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hlm. 39. Universitas Sumatera Utara 38 Rumah Sejahtera Dengan Dukungan Bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. 7) Surat Edaran atau peraturan-peraturan Bank Indonesia dan peraturan lainnya yang terkait dengan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian. c. Bahan tertier adalah bahan pendukung diluar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian. 4. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang tekait dengan pelaksanaan kredit pemilikan rumah sederhana dengan pembebanan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. b. Wawancara (interview) adalah sekumpulan pertanyaan (tersusun dan bebas) yang diajukan dalam situasi atau keadaan tatap muka atau langsung berhadapan dan catatan lapangan diperlukan untuk menginventarisir hal-hal Universitas Sumatera Utara 39 baru yang terdapat dilapangan yang ada kaitannya dengan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan35, antara lain dengan : 1) Legal Staff dan Bagian Kredit Bank BTN Medan. 2) Pegawai Badan Pertanahan Nasional Kota Medan 3) Notaris/PPAT Kota Medan/sekitarnya. 5. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas. Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.36 Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. 35 36 J. Supranto, Metode Riset, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 83. H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, UNS Press, Surabaya, 1998, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara