J U R N A L H U K U M A C A R A P E R D ATA ADHAPER Vol. 1, No. Juli Desember 2015 2015 Vol. 1, 2, No. 1, – Januari-Juni • Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata Efa Laela Fakhriah ISSN. 2442-9090 Vol. 1, No.2, Juli – Desember 2015 ISSN 2442-9090 JURNAL HUKUM ACARA PERDATA ADHAPER DAFTAR ISI 1. Problematika Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia Candra Irawan............................................................................................................... 61–73 2. Tipologi Sengketa Tanah dan Pilihan Penyelesaiannya (Studi pada Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang) Aprila Niravita dan Rofi Wahanisa............................................................................... 75–85 3. Pemutusan Hubungan Kerja pada Badan Usaha Milik Negara: Studi Kasus Pemutusan Hubungan Kerja di PT. Pelindo II (Persero) Sherly Ayuna Putri......................................................................................................... 87–100 4. Sidang Keliling dan Prinsip-prinsip Hukum Acara Perdata: Studi Pengamatan Sidang Keliling di Pengadilan Agama Tasikmalaya Hazar Kusmayanti, Eidy Sandra, dan Ria Novianti...................................................... 101–116 5. Proses Kepailitan oleh Debitor Sendiri dalam Kajian Hukum Acara Perdata dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Rai Mantili..................................................................................................................... 117–134 6. Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Menuju Pembaruan Hukum Acara Perdata Efa Laela Fakhriah........................................................................................................ 135–153 7. Rekaman Pembicaraan Telepon sebagai Alat Bukti Perjanjian Bank dengan Nasabah pada Bancassurance Nancy S. Haliwela......................................................................................................... 155–170 8. Mengevaluasi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan sebagai Perlindungan terhadap Dunia Usaha di Indonesia Mulyani Zulaeha........................................................................................................... 171–187 9. Patologi dalam Arbitrase Indonesia: Ketentuan Pembatalan Putusan Arbitrase dalam Pasal 70 UU No. 30/1999 Sujayadi......................................................................................................................... 189–213 10. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata Herowati Poesoko......................................................................................................... 215–237 Printed by: Airlangga University Press. (OC 198/11.15/AUP-B2E). Kampus C Unair, Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia. Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail: [email protected] EDITORIAL Dalam edisi kedua volume pertama ini, Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER akan menyajikan tulisan-tulisan hasil Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata yang diselenggarakan di Ambon (2014) dan Surabaya (2015) yang merupakan artikel konseptual dan terdapat pula artikel hasil penelitian. Artikel pertama akan mengulas permasalahan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi. Artikel kedua, ketiga, keempat dan kelima merupakan hasil penelitian empiris yang membahas berbagai prosedur penegakan hukum perdata, mulai dari sengketa pertanahan, perselisihan hubungan industrial, pelaksanaan sidang keliling Pengadilan Agama, dan prosedur kepailitan yang dimohonkan oleh Debitor sendiri. Artikel keenam dan ketujuh secara khusus berfokus pada perkembangan alat bukti dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang saat ini tidak saja terbatas pada lima alat bukti sebagaimana diatur di dalam HIR, RBG dan KUH Perdata. Artikel kedelapan akan mengulas permasalahan pembuktian sederhana dalam kepailitan sebagai upaya perlindungan bagi pelaku usaha. Artikel kesembilan menyoroti permasalahan yang ada di dalam ketentuan mengenai pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur di dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Rangkaian artikel dalam jurnal ditutup dengan satu artikel yang membahas mengenai penemuan hukum dalam penyelesaian perkara perdata dengan merujuk pada prinsip-prinsip yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata. Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel tersebut semoga dapat memberikan manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian pada pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup usang serta tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara Perdata diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata di Indonesia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman. Selamat membaca! Surabaya, Oktober 2015 Redaktur PERKEMBANGAN ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN MENUJU PEMBARUAN HUKUM ACARA PERDATA Efa Laela Fakhriah* ABSTRAK Dalam era perdagangan bebas yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan industri, telah mempengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, terutama di bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkrit, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Hal ini juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam era globalisasi. Sampai saat ini alat bukti yang diatur dalam undang-undang adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat, keterangan saksi ahli, dan secara khusus media elektronik yang menyimpan dokumen perusahaan (menurut undang-undang Dokumen Perusahaan) seperti microfilm dan media penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya. Dalam praktik muncul berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video conference (teleconference), sistem layanan pesan singkat/SMS, hasil rekaman kamera tersembunyi/cctv, informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpan data. Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Kata kunci: alat bukti, pembaharuan hukum, hukum acara perdata LATAR BELAKANG Pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi. ∗ Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung dapat dihubungi melalui e-mail [email protected]. 135 136 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 Perkembangan yang saat ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat global, adalah perkembangan teknologi dan informasi, yang antara lain ditandai dengan era teknologi informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya interconnected network (internet) yang mempergunakan komunikasi tanpa kertas (paperless document). Kemajuan teknologi akhir-akhir ini menimbulkan banyak kemajuan di segala bidang, termasuk dalam kontak seseorang dengan pihak lainnya. Aktivitas dunia maya merupakan salah satu contoh dari perkembangan teknologi yang sedemikian pesat. Sebenarnya aktivitas dunia maya sangat luas mencakup banyak hal dan di berbagai bidang. Melalui media elektronik masyarakat memasuki dunia maya yang bersifat abstrak, universal, lepas dari keadaan, tempat dan waktu. Internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru, saat ini hubungan antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas territorial negara (borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti: e-mail, chating video, video teleconference, dan situs website (www), telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas negara. Fenomena ini merupakan salah satu bagian dari globalisasi yang melanda dunia. Derasnya penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan yang berbasis transaksi elektronik, seperti misalnya layanan ATM (Anjungan Tunai Mandiri), transaksi bisnis melalui handphone, mobile banking, internet banking, e-commerce, dan lain-lain; ternyata belum diikuti dengan perkembangan hukum yang dapat mengikuti percepatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena itu diperlukan kehadiran hukum yang dapat menyelesaikan permasalahan/ sengketa yang terjadi di dunia maya, karena hukum positif yang ada belum sepenuhnya dapat menjangkaunya. Perkembangan teknologi yang menimbulkan kemajuan di bidang komunikasi dan informasi sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak hanya harus ditunjang oleh perangkat hukum materiil saja (cyber law), tetapi juga harus didukung oleh perangkat hukum formal, dalam hal ini Hukum Acara Perdata, sebagai sarana untuk melaksanakan hukum perdata materiil. Terjadinya berbagai perubahan yang disebabkan oleh perkembangan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum ini, memengaruhi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia awalnya berkiblat pada Man S. Sastrawidjaja, 2005, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, h. 171, dikutip dari Mariamdarus Badrulzaman, Mendambakan Kelahiran Siber (Cyber Law) di Indonesia, Pidato diucapkan pada upacara memasuki masa Purna Bhakti Sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, Selasa 13 November 2001, Medan, h. 3. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 137 negara-negara Eropa Continental dengan sistem civil law. Hal ini disebabkan karena sebagai Negara bekas jajahan Belanda, hukum tertulis di Indonesia banyak diadopsi dari hukum Belanda berdasarkan asas konkordansi, yang sampai saat ini masih banyak yang dijadikan hukum positif, namun dalam perkembangannya, sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat, telah terjadi pergeseran kiblat sistem hukum Indonesia yang tidak lagi secara penuh mengarah pada Eropa Continental dengan sistem civil law, melainkan kombinasi dengan sistem common law dari Anglo Saxon. Dalam era perdagangan bebas yang disertai dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan industri, telah memengaruhi berbagai sektor usaha termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan dan perbankan. Transaksi elektronik semakin banyak dilakukan, terutama di bidang perdagangan dan perbankan. Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkret, kontan dan komun, melainkan dilakukan dalam dunia maya secara tidak kontan dan bersifat individual. Hal ini juga dipengaruhi oleh pergaulan hidup internasional dalam era globalisasi. Sebagaimana dikatakan bahwa, interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan kaidah-kaidah hukum internasional akan semakin bertambah karena berkembangnya lalu lintas pergaulan hidup internasional. Terdapat pengaruh sistem common law terhadap pembangunan hukum di Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara parsial sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebagaimana telah diuraikan di atas. Demikian pula terhadap cara penyelesaian sengketa perdata, khususnya sengketa bisnis, dengan dikenal adanya alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) dan gugatan perwakilan kelompok (class action) serta perkembangan/pembentukan badan-badan penyelesaian sengketa baik pengadilan maupun di luar pengadilan, seperti antara lain Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak, Pengadilan Hubungan Industrial, Arbitrase, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal ini berpengaruh pula terhadap hukum acara perdata yang berlaku, termasuk juga terhadap sistem pembuktian perdata. Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Melalui tahap pembuktian, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam tulisan ini akan diuraikan berbagai masalah yang berkenaan dengan perkembangan alat bukti yang digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, berkenaan Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, h. 55. 138 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik dalam lalu lintas hukum keperdataan, khususnya perdagangan/transaksi yang dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik, dihubungkan dengan sistem pembuktian perdata. PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum, kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang dikemukakan. Sementara itu Subekti berpendapat bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku. Dalam proses pembuktian ada kegiatan membuktikan. Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan, sehingga tampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan. Mengenai pengertian bukti dan alat bukti dapat disimak pendapat dari Subekti yang menyatakan bahwa bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan, misalnya: bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain. Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, Andi Hamzah juga memberikan batasan hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah. Dengan demikian Bambang Waluyo menyimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, h. 55. Subekti, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 7. Lihat juga: Soepomo, 2010, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 62. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandungh. 78. Subekti, 2003, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 17. Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 99. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 139 atau gugatan. Jenis-jenis alat bukti sangat tergantung pada hukum acara yang dipergunakan, misalnya apakah acara pidana, perdata atau tata usaha negara. MACAM-MACAM ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Pasal 164 HIR/ 284 RBg mengatur secara limitatif mengenai alat bukti dalam perkara perdata, yaitu: alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu, terdapat alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk memperoleh kepastian mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) yang diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg. dan keterangan ahli/ saksi ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg. 1. Alat Bukti Tertulis (Surat) Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 137, 138, 165, 167 HIR; Pasal 164, 285, 305 RBg. Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat. Surat (tulisan) merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan (seperti jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan sebagainya), orang memang dengan sengaja membuat alat-alat bukti yang akan digunakan (dipersiapkan) untuk membuktikan perbuatan hukum yang ia lakukan di kemudian hari seandainya timbul perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berbentuk tulisan.10 Alat bukti surat dibagi menjadi dua, yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta (surat biasa), sedangkan akta juga dibagi dua, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta ialah surat yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang sejak semula dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dan ditandatangani oleh pembuatnya.11 Jadi untuk dapat digolongkan ke dalam pengertian akta maka surat Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 3. Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty, Yogyakarta, h. 141. 10 Subekti, 1982, Op.cit., h. 89. Lihat juga: Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 559. 11 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 142; Subekti, 1982, Op.cit., h. 89; Taufik Makarao, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, h. 99. 140 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 tersebut harus ditandatangani, keharusan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1869 BW yang menerangkan bahwa seandainya pembuatan akta otentik dilakukan oleh pejabat yang tidak berwenang, namun akta tersebut ditandatangani oleh para pihak, maka akta tersebut mempunyai kekuatan alat bukti tertulis. Akta otentik yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum (pejabat umum) yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.12 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akta otentik dapat dibagi menjadi akta yang dibuat oleh pejabat (acte ambtelijk) yaitu: pertama, akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu serta pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi di sini inisiatif tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan dalam akta tersebut, misalnya berita acara di kepolisian; kedua, akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang (acte partij), yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya akta notaris tentang jual beli atau sewa menyewa. Selain akta otentik juga ada akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan, atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum termasuk rumpun akta di bawah tangan. Surat yang bukan akta diatur secara khusus dalam Pasal 1881 BW (294 RBg) dan 1883 BW (297 RBg), yaitu buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya. 2. Alat Bukti Keterangan Saksi Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.13 Keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh melalui berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Demikian dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 171 ayat (2) HIR, 308 ayat (2) RBg, dan 1907 BW. Selain itu, keterangan saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri oleh saksi dan tidak diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis. Pada asalnya setiap orang yang bukan merupakan salah satu pihak yang berperkara, 12 13 Pasal 165 HIR; 285 RBg; 1868 BW. Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 159. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 141 dapat didengar sebagai saksi, dan apabila ia telah dipanggil oleh pengadilan untuk memberi kesaksian maka ia wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk memberi kesaksian ini diatur dalam Pasal 139 HIR (165 RBg/1909 BW) yang juga menjelaskan tentang sanksinya apabila mereka tidak memenuhinya. Terhadap kewajiban memberi kesaksian ini ada pembatasannya, yaitu mereka yang oleh undang-undang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi, baik tidak mampu secara mutlak seperti keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak, dan suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai; maupun yang tidak mampu secara relatif yaitu mereka yang boleh didengar tetapi tidak sebagai saksi seperti anak-anak yang belum mencapai umum 15 tahun dan orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya sehat. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai penjelasan saja. Di samping itu, mereka yang atas permintaan sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian (mempunyai hak undur diri/hak ingkar), yaitu: saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak, keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak, semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan menyimpan rahasia seperti dokter, advokat, notaris dan polisi.14 3. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan Persangkaan pada hakikatnya merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, karena alat bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan dengan perantaraan alat bukti lain. Dengan persangkaan, suatu peristiwa dibuktikan secara tidak langsung, artinya dengan melalui pembuktian peristiwa lain. Misalnya untuk membuktikan ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu, dilakukan dengan cara membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama di tempat lain.15 Pengertian persangkaan tidak diatur dalam HIR, melainkan terdapat pada Pasal 1915 BW yang menyebutkan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata ke arah peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Oleh karena itu, alat bukti persangkaan-persangkaan dapat dibedakan menjadi: a. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens) Pada persangkaan berdasarkan kenyataan atau persangkaan hakim, hakim yang memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai berapa jauh 14 15 Idem., h. 165-166. Idem., h. 169; Mohon dilihat juga Subekti, Op. Cit., Hukum Acara Perdata, h. 107. 142 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan peristiwa lain. Hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan, setiap peristiwa yang telah dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan. b. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke vermoedens atau rechtsvermoedens). Pada persangkaan berdasarkan hukum, undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan (praesumptiones juris tantum). 2) Persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (praesumptiones juris et de jure). HIR hanya mengatur tentang persangkaan yang didasarkan pada kenyataan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens) saja yang diatur dalam Pasal 173 HIR yaitu bahwa persangkaan saja yang tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada waktu menjatuhkan putusannya apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. 4. Alat Bukti Pengakuan Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Karenanya dengan adanya pengakuan maka sengketa dianggap selesai sekalipun pengakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran, dan hakim tidak perlu meneliti kebenaran pengakuan tersebut. Oleh karena itu, pada hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang kebenaran akan tetapi lebih merupakan pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimasukkan sebagai alat bukti dalam Pasal 164 HIR (284 RBg, 1866 BW), pada hakikatnya pengakuan bukanlah merupakan alat bukti.16 Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi tiga, yaitu: pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi, dan pengakuan dengan klausula. Demikian pula Pitlo menyatakan bahwa, “Er zijn drie soorten bekentenissen: de zuivere bekentenis, de gequalificeerde bekentenis, de geclausuleerde bekentenis”.17 Pengakuan murni adalah pengakuan terhadap tuntutan pihak lawan sepenuhnya sesuai dengan tuntutan, tanpa ada tambahan apa pun; Sedangkan pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan klausula merupakan pengakuan dengan tambahan. Pengakuan dengan 16 17 No. 126. Sudikno Mertokusumo, op.cit., Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 174. Pitlo, 1981, Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Zesde Druk, Gouda Quint, Arnhem, Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 143 kualifikasi (gequalificeerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pada hakikatnya pengakuan dengan kualifikasi merupakan jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian lagi terdiri dari sangkalan. Pengakuan dengan klausula (geclausuleerde bekentenis) adalah pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan kewajiban yang mengakui. Pada hakikatnya dalam pengakuan dengan klausula, jawaban tergugat merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan oleh penggugat tetapi disertai dengan tambahan penjelasan yang menjadi dasar penolakan gugatan. Terhadap pengakuan dengan tambahan sebagaimana telah diuraikan di atas, hakim harus menerimanya secara bulat, tidak boleh dipisahkan atau dipecah antara pengakuan dengan tambahannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 176 HIR (313 RBg) yang menyatakan bahwa: “Tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk menerima sebagian dan menolak selebihnya, sehingga merugikan yang memberi pengakuan, hal demikian itu hanya boleh dilakukan kalau orang yang berutang, dengan maksud membebaskan dirinya, menyebutkan peristiwa yang terbukti tidak benar.” Asas pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) ini berlaku terhadap pengakuan dengan tambahan, baik pengakuan dengan kualifikasi maupun pengakuan dengan klausula haruslah diterima bulat dan tidak boleh dipisahkan dari keterangan tambahannya sehingga merugikan pihak yang memberi pengakuan. Maksud pembentuk undang-undang tidak lain adalah agar jangan sampai hakim memisah-misahkan pengakuan itu menjadi bagian yang berisikan pengakuan yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, dan bagian tambahannya dibebankan kepada pihak yang memberikan pengakuan untuk membuktikan kebenarannya.18 5. Alat bukti sumpah Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa dari Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji atau keterangan yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan.19 Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan ada dua macam sumpah, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu disebut sumpah promissoir, dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar atau tidak yang disebut sumpah assertoir. Sumpah yang diucapkan oleh seorang saksi atau saksi ahli sebelum memberi kesaksian atau pendapatnya, termasuk ke dalam sumpah 18 19 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 174. Ibid., h. 179. 144 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 promissoir karena diakhiri dengan janji akan memberikan keterangan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya; sedangkan sumpah sebagai alat bukti termasuk ke dalam sumpah assertoir karena fungsinya untuk meneguhkan suatu peristiwa. HIR/RBg menyebutkan ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap (suppletoir eed), sumpah pemutus (decisoir eed) dan sumpah penaksir (aestimatoir eed), yang diatur dalam Pasal 155–158, Pasal 177 HIR; dan Pasal 182–185, Pasal 314 RBg. Suppletoir eed atau sumpah pelengkap yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Untuk dapat diperintahkan bersumpah suppletoir kepada salah satu pihak, harus ada pembuktian permulaan lebih dahulu, tetapi belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain, sehingga apabila ditambah dengan sumpah maka pemeriksaan perkara menjadi selesai dan hakim dapat menjatuhkan putusannya.20 Decisoir eed atau sumpah pemutus yang bersifat menentukan dan menyelesaikan sengketa (litis decisoir), yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Sumpah ini dapat diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, karenanya sumpah ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. Akibat mengucapkan sumpah ini adalah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu (tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu), sehingga sumpah decisoir merupakan bukti yang bersifat menentukan, berarti orang yang menyuruh bersumpah harus dikalahkan tanpa dimungkinkan untuk mengajukan alat bukti lainnya. Aestimatoir eed atau sumpah penaksir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan besarnya uang ganti kerugian yang belum secara jelas dimintakan/disebutkan dalam gugatannya. Sumpah ini baru dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat bila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian tersebut. Di luar Pasal 164 HIR/180 RBg, terdapat pula pemeriksaan setempat dan keterangan ahli yang dapat d igunakan sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara perdata. Pemeriksaan (descente) setempat diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg ialah pemeriksaan perkara oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa.21 Tujuan pemeriksaan setempat adalah 20 21 NJ, HR 3 April 1890, W 5856; P.T. Bandung 24 Juni 1971 No. 285/1969 dalam Ibid., h. 180. Ibid., h. 187. Lihat juga: M. Yahya Harahap, Op.cit., h. 780. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 145 agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, oleh karena itu fungsi pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah sebagai alat bukti meskipun tidak dimuat dalam Pasal 164 HIR sebagai alat bukti. Keterangan ahli (expertise) diatur dalam Pasal 154 HIR/ 181 RBg, ialah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan perkara, guna menambah pengetahuan hakim.22 Pada umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, bahkan mengenai hukum pun hakim dapat meminta bantuan seorang ahli hukum tertentu. PERKEMBANGAN ALAT BUKTI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA Sampai saat ini, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 di Indonesia, Hukum Acara Perdata yang berlaku adalah HIR (Stb. 1848 No. 16 jo Stb. 1941 No. 44) untuk wilayah Jawa dan Madura; serta RBg (Stb. 1927 No. 227) untuk wilayah luar Jawa dan Madura; Rv. (Stb. 1847 No. 52 jo. Stb. 1849 No. 63) ditambah dengan berbagai peraturan tentang acara perdata lainnya, sehingga terjadi pluralisme hukum. HIR dan RBg merupakan bagian dari tata hukum Hindia Belanda karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda yang masih berlaku sampai sekarang. Bangsa Indonesia sejak merdeka sampai saat ini belum membentuk hukum acara perdata yang baru sebagai pembaruan atas hukum acara perdata yang sekarang berlaku yaitu HIR/RBg, meskipun demikian upaya untuk membentuknya sudah lama dilakukan, terbukti dengan sudah dimilikinya rancangan undang-undang tentang Hukum Acara Perdata yang sampai saat ini masih dalam proses penyusunan.23 Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat yang disertai dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, timbul pula bermacam alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan di luar yang telah diatur dalam peraturan acara perdata (HIR/RBg). Dimulai dengan munculnya fotokopi sampai dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik. 22 Ibid., h. 188. Lihat juga: Taufik Makarao, Op.cit., h.120; dan Yahya Harahap, Op.cit., h. 789. Himpunan Risalah Rapat Panitia Penyusunan RUU tentang Hukum Acara Perdata, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Proyek Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, 2004. 23 146 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 Fotokopi suatu surat atau akta sudah umum digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk pengajuan alat bukti surat dalam pembuktian di pengadilan. Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 April 1976 No. 71 K/Sip/1974, menyebutkan bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya.24 Pada waktu pengajuan alat bukti, seluruh surat baik yang berbentuk akta (otentik dan di bawah tangan) maupun bukan akta yang dijadikan alat bukti tertulis dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, harus difotokopi kemudian dimateraikan (nazegelen) ke kantor pos agar sah sebagai alat bukti. Di muka hakim, hasil fotokopi bukti surat tersebut harus disamakan dengan aslinya yang kemudian disahkan oleh hakim sebagai alat bukti dengan menyatakan bahwa sesuai dengan aslinya dan kemudian diparaf di atas fotokopi bukti surat tersebut. Foto (potret) dan hasil rekaman suara atau gambar (dalam perkembangannya termasuk hasil rekaman CCTV), berdasarkan literatur tidak dapat dijadikan alat bukti karena dapat saja merupakan hasil rekayasa sehingga tidak dapat membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun dalam perkembangannya dewasa ini, dengan kemajuan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi, asli atau tidaknya suatu foto dan hasil rekaman suara atau gambar dapat diketahui dengan menggunakan teknik tertentu. Hasil print-out dari mesin faximili (dikenal dengan fax), banyak digunakan dalam hubungan surat menyurat jarak jauh dalam waktu yang singkat, demikian pula dengan microfilm atau microfische yang digunakan untuk menyimpan data, apakah dapat dianggap sebagai alat bukti tertulis. Kalau dianalogkan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung 14 April tahun 1976 (yurisprudensi) di atas, maka fax, dan microfilm atau microfische dapat dianggap sebagai alat bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti tertulis terletak pada aslinya, oleh karena itu baik fax maupun microfilm atau microfische harus sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang maka harus disertai dengan keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm tersebut sesuai dengan aslinya. Mahkamah Agung RI dalam suratnya kepada Menteri Kehakiman tanggal 14 Januari 1988 No. 39/TU/88/102/Pid., mengemukakan pendapatnya bahwa microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat 24 Yurisprudensi Indonesia, 1976, h. 549. Lihat juga: Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 157. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 147 ditelusuri kembali dari registrasi maupun berita acara. Terhadap perkara perdata berlaku pula pendapat yang sama.25 Jika pendapat MARI itu sudah dapat diterima, maka sesuai dengan pendapat Paton sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, alat bukti dapat bersifat: oral yaitu merupakan kata-kata yang diucapkan di muka persidangan seperti keterangan saksi, documentary yaitu berupa surat, dan demonstrative evidence yaitu alat bukti yang berupa material dan barang fisik lainnya seperti misalnya foto, film, CD dan lain sebagainya.26 Perkembangan juga terjadi dalam hal macam-macam alat bukti yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan, dengan dikenal dan digunakannya alat bukti elektronik di masyarakat. Baik HIR/RBg maupun peraturan lainnya tentang acara perdata sampai saat ini belum mengatur tentang dokumen/data elektronik sebagai salah satu alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi keberadaan dokumen/data elektronik sebagai alat bukti. Sementara dalam perkembangannya sekarang dikenal adanya bukti elektronik (dianggap sebagai alat bukti) seperti misalnya data/dokumen elektronik yang dikaitkan dengan tanda tangan digital dan peraturan bea materai yang harus dipenuhi oleh alat bukti surat, pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, di samping bukti-bukti lain seperti misalnya rekaman radio kaset, VCD/DVD, foto, faximili, CCTV, bahkan sistem layanan pesan singkat (short massage system/sms). Hukum pembuktian yang berlaku saat ini, secara formal belum mengakomodasi dokumen elektronik sebagai alat bukti, sedangkan dalam praktiknya di masyarakat melalui transaksi perdagangan secara elektronik, alat bukti elektronik sudah banyak digunakan, terutama dalam transaksi bisnis modern. Sementara itu dalam hukum pembuktian perdata, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang saja. Sampai saat ini alat bukti yang diatur dalam undang-undang adalah surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat, keterangan saksi ahli, dan secara khusus media elektronik yang menyimpan dokumen perusahaan (menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan) seperti microfilm dan media penyimpan lainnya yaitu alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan ke dalamnya. 25 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., h. 158. Lihat juga: Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, h. 41. 26 Ibid. 148 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 Dengan semakin meningkatnya aktivitas elektronik, maka alat pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.27 Dengan belum diakomodasinya alat bukti elektronik secara formal dalam ketentuan acara perdata, akan menyulitkan bagi hakim dalam menyelesaikan dan memutus sengketa apabila para pihak mengajukan dokumen elektronik sebagai bukti atau mengajukan pemeriksaan saksi dengan menggunakan teleconference, karena belum ada aturannya. Akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk tidak menerima serta memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih undang-undangnya tidak jelas atau belum ada pengaturannya. Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam Pasal 10 (1) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa pengadilan (hakim) tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sekalipun dengan dalih hukumnya tidak jelas atau tidak ada. Karenanya hakim harus tetap menerima untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya sekalipun tidak ada undang-undangnya, untuk itu hakim harus melakukan penemuan hukum. Selanjutnya Pasal 5 (1) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sekalipun undang-undangnya tidak jelas atau tidak ada, namun hakim harus berupaya menemukan hukumnya, karena hakim memutus perkara berdasarkan hukum yang terdiri dari hukum tertulis (undang-undang) dan hukum tidak tertulis (nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat). Mengenai masalah dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan yang sampai saat ini belum diatur secara formal, tidak dapat dijadikan alasan oleh hakim untuk tidak menyelesaikan sengketa yang alat buktinya berupa bukti elektronik, karena pada dasarnya hakim dilarang menolak untuk mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih 27 Ibid., h. 14. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 149 belum ada pengaturan hukumnya. Selain itu hakim juga dituntut untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dengan mengkaji norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. Terkait dengan kewajiban hakim untuk melakukan penemuan hukum, maka terhadap hasil print-out dari mesin faximili (dikenal dengan fax) yang banyak digunakan dalam hubungan surat menyurat jarak jauh dalam waktu yang singkat, demikian pula dengan microfilm atau microfische yang digunakan untuk menyimpan data, apakah dapat dianggap sebagai/ dipersamakan dengan alat bukti tertulis (surat/dokumen). Kalau dianalogikan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Agung 14 April tahun 1976 (yurisprudensi) di atas, maka fax, dan microfilm atau microfische dapat dianggap sebagai alat bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti tertulis terletak pada surat aslinya, oleh karena itu baik fax maupun microfilm atau microfische harus sesuai dengan aslinya. Kalau aslinya hilang maka harus disertai dengan keterangan atau dengan jalan apa pun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm tersebut sesuai dengan aslinya. Hukum pembuktian di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasi dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, melalui pembentukan hukum materiil sebenarnya di Indonesia telah ada beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya dengan dikenalnya online trading dalam bursa efek dan pengaturan mikro film serta sarana elektronik sebagai media penyimpan dokumen perusahaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. Pengaturan tentang Dokumen Perusahaan telah mulai menjangkau bukti elektronik, karena telah memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film. Selanjutnya terhadap dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik (paperless) tersebut (mikro film) dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak terjadi sengketa ke pengadilan. Selain itu, dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik melalui Pasal 5, dikatakan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah. Diakui pula oleh ketentuan tersebut bahwa informasi dan/ atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di 150 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 Indonesia. Adapun syarat agar informasi dan/ atau dokumen elektronik dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa secara umum bentuk dari alat bukti elektronik itu adalah informasi elektronik dan dokumen elektronik. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya yang telah diolah sehingga mempunyai arti. Batasanmengenai Dokumen Elektronik, menurut Pasal 1 angka 14 adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya; yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat difahami oleh orang yang mampu memahaminya. Di samping itu, dalam praktik terjadi pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti dengan menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (atau pemeriksaan saksi melalui teleconference). Hal ini dilakukan manakala saksi yang akan diperiksa tidak dapat hadir dipersidangan karena berada di luar negeri, sementara kesaksiannya sangat diperlukan di persidangan yang sedang berlangsung di pengadilan. Pemeriksaan saksi jarak jauh ini dalam praktik pernah dilakukan pada perkara pidana, tentunya hal ini dapat saja dilakukan dalam pemeriksaan sengketa perdata di pengadilan. PENUTUP Pada sistem pembuktian perdata berdasarkan sistem HIR, dalam proses pembuktian hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil atau menjatuhkan keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (Pasal 164 HIR, 284 RBg, 1866 BW) ialah surat, keterangan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di luar itu dalam HIR dan RBg juga diatur mengenai pemeriksaan setempat dan keterangan saksi ahli yang juga dapat merupakan alat bukti. Bukti yang berupa dokumen perusahaan, mikrofilm atau bentuk penyimpanan lain yang berisi rekaman data/dokumen perusahaan, juga merupakan alat bukti yang sah menurut Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 151 Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Demikian pula dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, namun demikian pengaturan alat bukti elektronik dalam kedua peraturan dimaksud merupakan pengaturan dalam bentuk hukum materiil, bukan hukum formal (hukum acara perdata). Secara khusus, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakui dokumen elektronik serta hasil cetaknya sebagai alat bukti. Pengaturan bukti elektronik yang ada saat ini dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan hukum materiil, padahal saat ini media elektronik telah banyak digunakan dalam kehidupan, salah satunya dalam elektronik banking. Misalnya saja ketika seorang nasabah melakukan transaksi melalui mesin ATM, semua transaksi yang dilakukan akan dicatat secara elektronik oleh institusi keuangan atau bank yang bersangkutan. Pembuktian dalam penggunaan ATM masih menjadi masalah penting, dikarenakan ATM merupakan salah satu jenis layanan perbankan yang dapat melayani berbagai jenis transaksi perbankan secara elektronik yang sifatnya paperless document, sehingga tidak mempunyai bukti tertulis kecuali secarik kertas yang dinamakan receipt paper (resi) yang hanya berisi uraian besarnya penarikan dana yang telah dilakukan serta jumlah sisa saldo tabungan nasabah bank pemilik kartu ATM dimaksud. Prosedur sistem perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebet rekening nasabah atau menambah bunga atas dana nasabah. Seluruh proses ini dicatat oleh komputer dan disimpan dalam bentuk file, karenanya proses pembuktian kasus-kasus perbankan dalam kaitannya dengan dana nasabah tidak dapat didasarkan pada bukti aslinya berbentuk dokumen tertulis/ surat (paper document). Kalaupun ada dokumen tertulis hanya merupakan cetakan file komputer data pada bank yang bersangkutan. Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Saat ini terhadap hal yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak 152 JHAPER: Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2015: 135–153 lagi dapat dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dapat dengan mudah dilakukan dari belahan dunia mana pun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya perkara pidana dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik yang bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara di Indonesia, tetapi dalam kenyataannya data dimaksud juga sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik, sehingga dampak yang ditimbulkannya juga demikian cepat, bahkan sangat dahsyat. Teknologi informasi telah menjadi instrumen efektif dalam perdagangan global. Persoalan yang lebih luas juga terjadi dalam masalah keperdataan, karena saat ini transaksi elektronik (e-commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Misalnya untuk memesan obat-obatan orang cukup melakukannya melalui internet, bahkan untuk membeli majalah orang dapat membayar tidak dengan uang tapi cukup dengan mendebet pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS.28 Pelanggaran hukum di internet seringkali sulit dipecahkan, karena di samping perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh subjek yang menggunakan sarana teknologi canggih dan sulit dilacak keberadaannya, juga seringkali dilakukan di luar teritorial Indonesia atau sebaliknya, subjeknya berada di Indonesia tetapi modusnya dan tempat kejadiannya di luar Indonesia. Hal ini menyebabkan pembuktiannya menjadi lebih sulit dibandingkan dengan pembuktian dalam perbuatan melawan hukum biasa. Oleh karena itu perbuatan melawan hukum di dunia siber sangat tidak mudah diatasi jika hanya mengandalkan hukum konvensional.29 DAFTAR BACAAN Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2000, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2004, Himpunan Risalah Rapat Panitia Penyusunan RUU tentang Hukum Acara Perdata, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Proyek Penyusunan Peraturan Perundang-undangan,. Hamzah, Andi, 2007, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 28 Ahmad M. Ramli, Pager Gunung, Indra Apriadi, 2005, Menuju Kepatuhan Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jakarta, h.1–2. 29 Ibid., h. 3. Fakhriah: Perkembangan Alat Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata 153 Harahap, Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Mahkamah Agung, Yurisprudensi Indonesia, tahun 1976. Makarao, Taufik, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty, Yogyakarta. Pitlo, Adriaan, 1981 Bewijs en Verjaring, Deel 4 Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Zesde Druk, Gouda Quint, Arnhem. Ramli, Ahmad M., Pager Gunung, Indra Apriadi, 2005, Menuju Kepatuhan Hukum di Bidang: Informasi dan Transaksi Elektronik, Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jakarta. Sasangka, Hari, 2005, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung. Sastrawidjaja, Man S., 2005, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung. Soepomo, 2010, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung. ---------, 1991, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. ---------, 2003, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Syahrani, Riduan, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1992, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.