THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta BUKU CERITA BERGAMBAR “YUK, KE TOILET SENDIRI!” PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN BUKU UNTUK PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA 2 – 4 TAHUN Avanti Vera Risti P.1, Ega Asnatasia M.2 1 PG PAUD, Universitas Ahmad Dahlan [email protected] 2 PG PAUD, Universitas Ahmad Dahlan [email protected] Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan media pembelajaran khususnya buku cerita bergambar bagi anak usia dini dengan topik pendidikan seksual yang sesuai usia dan umur perkembangan. Buku cerita yang dikembangkan terdiri dari empat tokoh dalam sebuah keluarga yaitu ayah, ibu, Kak Rara, dan Adit. Tema cerita yang dikembangkan adalah tata cara anak untuk toilet trainingdan perbedaan laki-laki dan perempuan bagi anak usia dua sampai empat tahun. Tata cara toilet training adalah salah satu bagian dari pendidikan seksual yang paling awal. Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (research and development) yang dikembangkan oleh Borg dan Gall yang terdiri dari sepuluh tahapan pengembangan. Pada penelitian ini pengembangan dilakukan sampai dengan tahapan uji coba terbatas atau tahap keenam. Hasil pengembangan berupa buku cerita bergambar yang tervalidasi oleh ahli media dan psikologi anak dengan skor rata-rata 66.05 atau termasuk dalam kriteria baik. Sedangkan hasil uji coba skala terbatas kepada pengguna diperoleh hasil skor 76.20 dengan kriteria baik. Berdasarkan kriteria tersebut maka buku cerita bergambar layak digunakan oleh orangtua atau guru untuk pendidikan seks khususnya tentang toilet training bagi anak usia tiga sampai empat tahun. Kata Kunci: pendidikan seks, cerita bergambar, dan anak usia dini Salah satu indikator sekolah yang aman adalah menghindarkan semua warga sekolah dari tindakan kekerasan apapun bentuknya. Kekerasan seksual pada anak menjadi yang tidak mudah untuk diatasi. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan terjadi di lingkungan rumah maupun sekolah. Data yang sampaikan Rita Pranawati Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan bahwa terjadi kenaikanjumlah korban dan pelaku kekerasan pada anak dari tahun 2013 ke tahun 2014 sebanyak 100 persen (Hendrian, 2016). Bahkan peningkatan jumlah kekerasan seksual kepada anak terus bertambah dari waktu kewaktu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua KPAI Asrorun Niam, pada triwulan pertama periode Januari – 25 April 2016 terjadi 298 kasus, terdapat 15 persen dari tahun 2015 (Rismawan, 2016). Jumlah kekerasan seksual pada anak sebelumnya telah diprediksikan oleh salah 1. PENDAHULUAN Rumah dan sekolah adalah tempat yang seharusnya menyediakan rasa aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dalam dirinya. Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman secara fisik dan non fisik bagi anak tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kewajiban bagi orang dewasa. Sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Tujuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah menciptakan kondisi proses pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan. Untuk menciptakan sekolah tersebut bukanlah hal yang mudah, diperlukan usaha bersama antar warga sekolah. 1554 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 satu Komisioner KPAI Erlinda (2014). Dalam pemaparannya,ia memprediksi pada tahun 2014 diproyeksikan akan ada 1380 kasus seksual pada anak. Peningkatan jumlah kasus dikarenakan semakin luas lingkup kekerasana seksual yang terdiri dari: 1) hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi; 2) eksploitasi seksual dalam prostitusi dan pornografi; 3) stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling); 4) memperlihatkan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual; 5) memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain; 6) memaksakan anak untuk melihat kegiatan seksual (Erlinda, 2014). Upaya pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan lebih efektif dengan membangun “defend mechanism” atau mekanisme pertahanan dalam rangka penanaman pengetahuan dan penghargaan bagian tubuh melalui pendidikan seksual sejak dini (Erlinda, 2014).Defend mechanism paling efektif yaitu memberikan pendidikan seksual sejak dini kepada anak dengan menyesuaikan umur dan usia perkembangan. Selain mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual, pendidikan seks merupakan aspek dasar dari kehidupan manusia yang dipandang dari berbagai dimensi yaitu, 1) fisik, psikologi, spiritual, sosial, ekonomi, politik dan budaya; 2) seksualitas tidak dapat dipahami tanpa referensi akan gender dan memiliki perbedaan yang mendasar pada katakteristiknya, dan 3) aturan dalam pendidikan seksual mengenai bentuk perilaku seksual sangat berbeda dan disesuaikan dengan budaya setempat (UNESCO, 2009). Memberikan pendidikan seksual kepada anak sejak dini bagi sebagian masyarakat masih dianggap bukanlah hal yang pantas. Pandangan tersebut berkembang dikarenakan masih ada anggapan bahwa pendidikan seksual diibaratkan dengan hubungan suami istri. Sempitnya pemahaman tersebut membuat anak tidak memperoleh informasi yang lengkap mengenai seksualitas sehingga rentan menjadi korban kekerasan. Selain pandangan masyarakat yang masih minim UAD, Yogyakarta akan pendidikan seksual bagi anak, anggapan bahwa negara Indonesia merupakan negara mayoritas muslim dan masih menjunjung tinggi adat ketimuran menjadi alasan tidak perlu membicarakan hal tersebut secara terbuka. Pandangan bahwa mayoritas negara muslim dan orang asia tidak sesuai dengan pendidikan seksual tidak sepenuhnya dijadikan sebagai alasan untuk anak tidak memperoleh haknya. Di beberapa negara muslim seperti Tunisia, Turki, Iran, Malaysia sejak awal tahun 1990 mengenalkan seksualitas dan kesehatan produksi di sekolah-sekolah dengan program yang berbeda. Tunisia sebagai negara muslim pertama memasukkan pendidikan seksual kedalam kurikulum sekolah melalui materi science sejak tahun 1989. Negara muslim Turki mengenalkan pendidikan seksual melalui program “Puberty Project”. Program tersebut secara khusus memberikan text book tentang masalah kesehatan dan dilatih khusus oleh ahli kesehatan reproduksi yang masuk ke dalam kelas-kelas. Negara Iran secara khusus memberikan pendidikan seksual kepada mahasiswa perempuan dan laki-laki untuk mengambil pelatihan dengan judul “Family Planning”. Para mahasiswa sebagai calon orangtua diberikan penjelasan akan kesehatan reproduksi agar bersiap dalam menghadapi kehidupan keluarga (Roudi & Fahimi, 2011). Sedangkan di Malaysia melalui Kementerian Pendidikan anak dikenalkan akan pendidikan seksual terintegrasi dengan kurikulum di sekolah dengan nama program “Family Health Education” (Rahman et al., 2011). Negara Indonesia sebenarnya telah mengatur tentang pendidikan seksual menjadi salah satu bagian dari kesehatan reproduksi sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad dalam wawancaranya (Sasongko, 2015), materi pendidikan seksual tidak secara langsung disebut dalam kurikulum 2013 namun secara eksplisit masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Kesehatan produksi 1555 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Bab 1 pasal 1 tentang Kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecatatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Lingkup kesehatan reproduksi yang cukup luas tersebut diharapkan dapat dipahami oleh masyarakat meskipun secara eksplisit memang belum ada program khusus yang diperuntukkan bagi pendidikan seksual di sekolah-sekolah. Memberikan pendidikan seksual kepada anak dapat disesuaikan dengan usia dan relevan dengan budaya setempat. Hal tersebut sesuia dengan konsep pendidikan seksual yang dicanangkan oleh UNESCO, pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan pendidikan seksual yaitu usia dan relevan dengan budaya setempat dan tersedianya informasi yang akurat secara ilmiah, realitis, dan tidak menghakimi. Dalam pendidikan seksual memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi nilai dan sika sendiri serta membangun keterampilan pengambilan keputusan, komunikasi dan pengurangan resiko tentang berbagai aspek dari seksualitas (UNESCO, 2009). Pendidikan seksual bagi anak usia dini khususnya di rentang dua sampai empat tahun dapat diberikan dengan menyesuaikan usia dan tahapan perkembangan anak. Menurut UNESCO (2009), peletakan dasar seksualitas dimulai dengan mempelajari nama-nama bagian tubuh dengan benar, memahami prinsip reproduksi manusia, menjelajahi hubungan keluarga dan interpersonal, belajar tentang keselamatan dan mengembangkan kepercayaan diri. Mengajarkan anak akan pendidikan seksual apabila disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan maka dapat mengacu pada konsep perkembangan psikoseksual yang dikemukakan oleh Freud. Menurut Freud yang dikutip oleh Izzaty dkk (2008), perkembangan seksual pada anak dimulai sejak lahir dan UAD, Yogyakarta berkembang sesuai dengan psikoseksualnya. Tahapan psikoseksual pada anak terutama rentang usia dua sampai delapan tahun terdiri atas; 1) tahap oral pada usia 0 – 18 bulan, 2) tahap anal diusia 1 – 3 tahun, 3) tahap phalik pada usia 3 – 6 tahun, dan 4) tahap laten pada usia 6 tahun – pubertas. Pada anak usia dua sampai dengan empat tahun anak memasuki tahap anal dan phalik. Tahap anal adalah ditandai dengan kesenangan atau kepuasan anak akan tindakan mempermainkan atau menahan faeces. Pada tahap ini sangat sesuai bagi anak untuk memulai toilet training karena anak akan mendapatkan pengalaman pertama untuk pengaturan impulsimpulsnya dari luar. Anak akan belajar untuk menunda kenikmatan yang timbul dari defekasi (bebaskan diri). Pengaruh yang diterima anak dalam pembiasaan akan kebersihan melalui toilet training dapat berpengaruh besar pada sifat-sifat kepribadian anak dimasa yang akan datang. Anak akan memiliki kekuatan, kemandirian dan otonomi bila fase ini dapat berhasil dikuasai. Berikan anak kekebasan untuk mengalami pengalaman untuk berbuat salah dan merasa bahwa mereka tetap individu yang dapat diterima atas kesalahan tersebut serta mampu menyadari diri sebagai individu yang terpisah dan mandiri (Carey, 1997). Pada tahap phalik, akan muncul Complex Oedipus dimana ada keinginan dari anak anak laki-laki terarah kepada sang ibu dan merasa tidak menyukai ayah karena dianggap sebagai pesaing. Sedangkan bagi anak perempuan akan mengalami electra complex dimana anak perempuan merasa tersaingi dengan adanya ibu di samping ayah (Carey, 1997). Pada tahap ini akan sesuai bagi anak untuk mengenalkan perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai dasar di tahap selanjutnya. Kedua tahap tersebut menjadi acuan dalam mengembangkan materi pendidikan seksual bagi anak usia dua sampai dengan empat tahun. Selain materi yang disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan, 1556 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 dalam mengajarkan pendidikan seksual juga harus mempertimbangkan media yang digunakan. Karakteristik anak usia dini secara kognitif bila dilihat dari teori Piaget memasuki tahap praopersional sehingga media pembelajaran yang dapat digunakan adalah media yang bersifat kongkrit karena anak masih bersifat egosentris, belum mampu membedakan berat, jumlah, volume meliputi bentuk, ukuran, dan dimensi (Morrison, 1988). Salah satu media yang mampu mengakomodasi kebutuhan anak adalah buku cerita bergambar sebagai media pembelajaran grafis. Buku cerita bergambar adalah media pembelajaran grafis yang terdiri dari gambar, simbol, tulisan, ekspresi, dan pesan. Materi yang akan diberikan kepada anak akan diilustrasikan dalam gambar dan dibantu dengan cerita pendek sehingga anak tertarik serta lebih memahami konsep melalui gambar dan tulisan. Sebagaimana pendapat Mitchell dalam Fauziah (2009) yang menyatakan alur cerita dan ilustrasi gambar adalah unsur yang saling mendukung dalam sebuah cerita dan tidak dapat dipisahkan, sehingga buku cerita bergambar selain menyajikan alur cerita juga diberikan gambaran cerita tersebut melalui ilustrasi. Permasalahan kekerasan seksual dengan korban anak meruapakan hal yang tidak mudah untuk diurai, persoalan tersebut menjadi semakin bertambah dengan tatangan untuk mengajarkan kepada anak sejak dini tentang pendidikan seksual sebagai bagian dari defend mechanism. Melalui buku cerita bergambar ini diharapkan dapat dapat digunakan sebagai stimulasi guru dalam berdiskusi, memberikan contoh, dan membantu anak memahami permasalahan kekerasan seksual dalam berbagai situasi. Disamping itu dengan adanya buku cerita bergambar ini diharapkan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi guru untuk mengenalkan pendidikan seksual bagi anak usia dini dan sekolah dasar dikelas awal. UAD, Yogyakarta Penelitian ini adalah jenis penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D). Produk yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah buku cerita bergambar tentang pendidikan seksual bagi anak usia dini khususnya usia dua sampai empat tahun. Penelitian ini mengacu pada model pengembangan Borg&Gall, Dick&Carey dan Alessi&Trollip (Borg, 2003) yang terdiri dari sepuluh tahapan penelitian pengembangan meliputi; studi pendahuluan, perencanaan, pengembangan draf produk awal, uji coba tahap awal dengan uji ahli, revisi produk hasil uji coba awal, uji coba lapangan secara skala kecil atau sampel terbatas, uji coba lapangan, penyempurnaan produk akhir, serta diseminasi dan implementasi produk. Namun pada penelitian awal ini hanya dilakukan sampai dengan tahap keenam yaitu uji coba terbatas yang melibatkan ahli materi yaitu psikolog anak dan ahli media pembelajaran. Analisis data hasil uji coba dalam penelitian dan pengembangan ini diolah menggunakan analisis data kuantitatif deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil penilaian ahli dan uji coba lapangan secara terbatas yang diolah kemudian dideskripsikan untuk mengetahui kelayakan produk yang dikembangkan. Nilai kelayakan produk minimal adalah cukup baik dengan kriteria penilaian yaitu sebagai berikut: 1) skor 80 – 100 = Sangat Baik, 2) Skor 66 – 79 = Baik, 3) Skor 56 – 65 = Cukup, 4) Skor 40 – 55 = Kurang, 5) Skor 30 – 39 = Kurang Sekali.Nilai kelayakan produk minimal ditentukan dengan kategori “cukup baik”. Oleh karena itu bila produk yang dikembangkan memperoleh nilai minimal maka produk dianggap layak digunakan sebagai media pembelajaran. 3. HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN DAN Penelitian ini didahului dengan mengindentifikasi kebutuhan anak terutama pada usia dua sampai dengan empat tahun 2. METODE PENELITIAN 1557 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 terkait tentang pendidikan seks. Berdasarkan hasil observasi kepada anak diperoleh data bahwa kemampuan anak dalam toilet training diajarkan orangtua pada anak diusia yang bervariatif. Masih ada anggapan bahwa semakin dini mengajarkan toilet training maka semakin bagus bagi perkembangan anak. Selain itu juga ditemukan bahwa masih ada orangtua yang menganggap bahwa toilet training bukanlah hal yang penting diajarkan. Hal tersebut terlihat dari orangtua yang masih memilih kepraktisan dengan menngenakan anak diapers meskipun usia anak sudah lebih dari dua tahun selama seharian penuh. Dari hasil wawancara dengan orangtua diperoleh data bahwa ayah belum banyak berperan dalam mengajarkan pendidikan seksual sehingga masih banyak ditemui pada tempat umum anak laki-laki masuk ke dalam toilet perempuan dengan alasan lebih baik ibu yang mengajarkan dan ayah kerepotan bila harus membimbing anak untuk toilet training. Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara tersebut, maka produk yang dikembankan akan fokus pada mengajarkan tahapan toilet training secara benar. Produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah buku cerita bergambar dengan topik pengenalan pendidikan seksual bagi anak usia dini khususnya rentang usia dua sampai dengan empat tahun. Produk cerita bergambar dikembangkan dengan terlebih dahulu menentukan karater dalam cerita, kemudian mulai mengembangkan topik yang ditulis dalam story board untuk mengetahui alur cerita. Langkah berikutnya dilakukan sketsa gambar dan memadukan dengan alur cerita yang telah disusun sebelumnya. Produk buku cerita bergambar mengembangkan topik toilet training dengan judul “Yuk, Ke Toilet Sendiri”. Tokoh yang dikembangkan yaitu: a. Ayah Rudi, digambarkan sebagai sosok kepala keluarga yang mengajarkan tahapan toilet training kepada anak terutama anak laki-lakinya Adit. Ayah juga memberikan gambaran tentang UAD, Yogyakarta perbedaan laki-laki dan perempuan secara mendasar. b. Ibu Ani, karakter ibu lebih kepada gambaran ibu rumah tangga biasa yang bijaksana dalam menghadapi persoalan terkait perkembangan anak terutama tentang toilet training. c. Kak Rara, adalah karakter seorang kakak yang berumur lima tahun dan telah memahami tahapan toilet training secara benar. Karakter Kak Rara juga digambarkan sebagai seorang kakak yang menyanyangi adiknya. d. Adit, merupakan karakter seorang anak berusia tiga tahun dan adik dari Kak Rara. Karakter Adit menggambarkan akan anak yang sedang belajar memahami tahapan toilet training secara benar. Setting cerita dengan judul “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” mengambil tempat yaitu di rumah dan di sekolah. Cerita dengan setting rumah lebih menunjukkan inetraksi seharihari antara anak dengan orangtua maupun kakak dengan adik. Di rumah juga menggambarkan akan cerita tahapan toilet training. Sedangkan di sekolah menggambarkan interaksi antar anak dengan guru yang membantu dalam toilet training. Cerita yang dikembangkan pada buku cerita bergambar adalah tata cara toilet training yang benar dengan menggunakan WC duduk dan jongkok. Cerita dalam buku juga menggambarkan tentang perbedaan perempuan dan laki-laki secara mendasar seperti ditunjukkan dengan simbol gambar pada toilet dan tidur secara terpisah sesuai jenis kelamin. Selain itu dalam cerita ditunjukkan akan peran ayah yang sangat penting dalam pendidikan seksual anak. Berikut ini tampilan Draf awal produk yang telah dikembangkan: 1558 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 4. Tampilan tokoh cerita menarik bagi anak 5. Tokoh dalam cerita memberikan tauladan bagi anak 6. Topik/tema yang dikembangkan menarik bagi anak B. Materi Cerita 1. Kejelasan alur cerita sudah sesuai dengan perkembangan anak 2. Alur cerita sesuai dengan tujuan untuk pengenalan pendidikan seks 3. Alur cerita dalam buku runtut 4. Alur cerita mudah dipahami anak No. Pernyataan B. 3. Gambar 1 Draf Awal Produk Buku Cerita Bergambar Draf awal produk buku cerita 4. bergambar “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” yang 5. telah tersusun dilakukan uji validasi kepada ahli materi yaitu psikolog yang memiliki kompetensi dalam bidang 6. psikologi 7. terutama perkembangan anak dan ahli media yang memiliki kompetensi dalam C. 1. bidang teknologi pembelajaran. Berikut ini hasil penilaian ahli terhadap draf awal produk buku media cerita bergambar: 2. Tabel 1 Hasil Penilaian Ahli Terhadap Produk Draf Awal Buku Cerita Bergambar “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” No. A. 1. 2. 3. Pernyataan Karakter Cerita Karakter sesuai dengan tujuan cerita Gambar tokoh mudah dikenali anak Penokohan cerita sesuai dengan tujuan untuk pengenalan pendidikan seks 3. 4. Ahli Materi Media 1 4 5. 1 3 6. 2 3 7. 1559 Materi Cerita Alur cerita dalam buku runtut Alur cerita mudah dipahami anak Materi cerita memuat pengenalan pendidikan seks bagi anak Bahasa yang digunakan dalam cerita jelas Bahasa yang digunakan dalam cerita mudah dipahami anak Tampilan Buku Pemakaian warna dalam buku cerita menarik bagi anak Bentuk huruf yang digunakan jelas untuk dibaca Ukuran huruf mudah dibaca bagi anak Ukuran gambar pada buku sesuai dengan umur perkembangan anak Gambar pada buku cerita menarik bagi anak Gambar pada buku memberikan informasi yang sesuai dengan tujuan Ukuran buku cerita bergambar sesuai UAD, Yogyakarta 2 3 2 4 2 4 1 3 1 4 1 3 1 3 Ahli Materi Media 1 3 1 3 1 4 2 3 2 3 3 3 3 3 1 4 3 3 3 3 2 4 3 3 THE 5TH URECOL PROCEEDING 8. dengan anak Buku cerita bergambar membangkitkan minat anak untuk membaca 18 February 2017 3 3 B. 1. Penilaian dari ahli materi diperoleh skor 47.6 dengan kriteria kurang dan ahli media memberikan skor 84.5 dengan kriteria sangat baik. Dari uji validasi ahli materi diperoleh masukan bahwa cerita yang dikembangkan melalui interaksi anak dengan ibu kurang sesuai dengan tahapan umur anak usia tiga tahun. Sedangkan dari ahli media memberikan masukan untuk karakter ayah agar diperlihatkan sisi maskulin. Berdasarkan hasil uji coba kepada ahli dilakukan revisi sesuai dengan masukan dan saran agar produk buku cerita yang dikembangkan menjadi lebih sempurna sebelum dilakukan uji coba lapangan secara terbatas. Revisi produk buku cerita bergambar dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun kembali alur cerita dan membuat sketsa tambahan sesuai dengan alur. Hasil revisi produk buku cerita bergambar yang telah direvisi, diuji cobakan kelapangan secara terbatas kepada tiga orang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hasil penilaian uji coba lapangan terhadap buku cerita bergambar “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” sebagai berikut: Tabel 2 Hasil Penilaian Uji Coba Lapangan Terhadap Produk Draf Awal Buku Cerita Bergambar “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” No. Pernyataan A. 1. Karakter Cerita Karakter sesuai dengan tujuan cerita Gambar tokoh mudah dikenali anak Penokohan cerita sesuai dengan tujuan untuk pengenalan pendidikan seks Tampilan tokoh cerita menarik bagi anak Tokoh dalam cerita memberikan tauladan bagi anak Topik/tema yang 2. 3. 4. 5. 6. 2. 3. 4. 5. 6. 7. C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 3 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 dikembangkan menarik bagi anak Materi Cerita Kejelasan alur cerita sudah sesuai dengan perkembangan 3 3 anak Alur cerita sesuai dengan tujuan untuk pengenalan 3 3 pendidikan seks Alur cerita dalam buku runtut 3 3 Alur cerita mudah dipahami 3 2 anak Materi cerita memuat pengenalan pendidikan seks 3 3 bagi anak Bahasa yang digunakan dalam 3 3 cerita jelas Bahasa yang digunakan dalam 3 3 cerita mudah dipahami anak Tampilan Buku Pemakaian warna dalam buku 3 3 cerita menarik bagi anak Bentuk huruf yang digunakan 3 3 jelas untuk dibaca Ukuran huruf mudah dibaca 3 3 bagi anak Ukuran gambar pada buku sesuai dengan umur 3 3 perkembangan anak Gambar pada buku cerita 3 3 menarik bagi anak Gambar pada buku memberikan informasi yang 3 3 sesuai dengan tujuan Ukuran buku cerita bergambar sesuai 3 3 dengan anak Buku cerita bergambar membangkitkan 3 3 minat anak untuk membaca Skor yang diperoleh dari pengguna untuk buku cerita bergambar yaitu, a) pengguna 1 memberikan skor 76,2 kriteria baik, b) pengguna 2 skor 75 kriteria baik, dan c) pengguna 3 skor 73,8 dengan kriteria baik. Dari hasil penilaian dapat disimpulkan bahwa buku cerita bergambar ini menurut pengguna termasuk dalam kriteria baik dan layak untuk digunakan dalam pembelajaran pengenalan pendidikan seks bagi anak usia dini. Pengguna memberikan masukan apabila buku ini akan dikembangkan lebih lanjut beberapa hal bisa dilakukan perbaikan seperti, menambah bacaan doa dan adab sesuai tuntutan Islami bila ingin Pengguna 1 2 3 3 UAD, Yogyakarta 1560 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 diintegrasikan dengan agama, dan tingkat pewarnaan buku lebih dipertajam. Produk buku cerita bergambar setelah diuji coba dalam skala terbatas dilakukan revisi berdasarkan masukan dan saran untuk dilakukan uji coba lapangan dengan skala lebih besar pada tahap selanjutnya. Berdasarkan hasil penilaian dari ahli dan pengguna buku cerita bergambar tentang pengenalan pendidikan seks kepada anak usia dini dapat dilanjutkandiproduksi dan digunakan. Penggunaan produk buku cerita bergambar “Yuk, Ke Toilet Sendiri!” disarankan anak selalu didampingi oleh orangtua atau pendidik. Sebagaimana pernyataan yang dicanangkan UNESCO (2009), dalam mengajarkan pendidikan seksual pendekatan yang digunakan yaitu usia dan relevan dengan budaya setempat dan tersedianya informasi yang akurat secara ilmiah, realitis, dan tidak menghakimi. Berikan penjelasan seilmiah mungkin kepada anak akan konsep pendidikan seksual yang benar seperti memberikan penjelasan mengenai kelamin anak. Hindarkan bahasa kiasan yang dapat membuat anak rancu dengan konsep yang telah diketahui sebelumnya. Misal, nama kelamin anak hindari dengan memberikan sebutan burung, gajah atau hewan lain karena konsep anak akan hewan tersebut akan menjadi rancu. Orangtua tidak ada salahnya memberikan nama ilmiah yang sebenarnya akan kelamin anak. Pendidikan seksual adalah hal yang tidak mudah anak pahami namun ketika orangtua dapat memberikan penjelasan secara kongkrit dan realitis apabila anak mengajukan pertanyaan terkait topik cerita, maka hal yang sulit sekalipun akan anak pahami meskipun secara perlahan. Memberikan pendidikan seksual sejak dini meruapakan upaya pencegahan yang paling efektif dalam membangun defend mechanism atau mekanisme pertahanan diri sendiri sehingga terhindar dari sasaran pelaku kejahatan seksual. Sebagaimana perrnyataan dari Erlinda (2014), defend mechanism paling efektif dengan memberikan pendidikan seksual UAD, Yogyakarta sejak dini kepada anak menyesuaikan umur dan usia perkembangan. Selain mencegah anak menjadi korban kekerasan seksual, pendidikan seks merupakan aspek dasar dari kehidupan manusia yang dipandang dari berbagai dimensi. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Media pembelajaran buku cerita bergambar yang dikembangkan menekankan pada pengenalan pendidikan seks yang masih mendasar yaitu “toilet training”. Cerita yang dikembangkan disesuaikan dengan umur perkembangan anak dari rentang 2 sampai 4 tahun. Hasil penilaian dari ahli materi dan media pembelajaran adalah skor 66.05 dengankriteria “baik”. Buku cerita ini juga dinilai oleh pengguna yaitu pendidik skor 76.2 dengankriteria “baik”. Buku cerita bergambar masih memerlukan pencermatan dalam pengembangan topik pengenalan pendidikan seks sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual kepada anak. Selain itu media pembelajaran diperlukan ujicoba dilapangan yaitu anak usia dini agar lebih sempurna untuk dilakukan publikasi yang lebih luas. 5. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. 2015. Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Kesehatan Reproduksi. 2014. Jakarta. UNESCO. (2009). International Technical Guindance on Sexuality Education. Volume I: The Rationale For Sexuality Education . Borg, W. G. (2003). Educational Research. An Introduction (7th ed.). New York: Longman. Carey, G. (1997). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (E. Koeswara, Trans.) Bandung, Jawa Barat: PT. Refika Aditama. 1561 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 Erlinda. (2014). Upaya Peningkatan Anak dari Bahaya Kekerasan, Pelecehan dan Eksploitasi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Jakarta: KPAI. Fauzia, Ummi. (2009). Keefektifan Cerita Bergambar untuk Pendidikan Nilai dan Keterampilan Berbahasa. Cakrawala Pendidikan. November, Th. XXVVIII, No.3. Hendrian, D. (2016, 03 04). www.berita.kpai.go.id. Retrieved 02 16, 2017, from www.kpai.go.id: http://www.kpai.go.id/berita/kpaipelecehan-seksual-pada-anakmeningkat-100/ Izzaty, R. E., Suadirman, S. P., Ayriza, Y., Purwandari, Hiryanto, & Kusumaryani, R. E. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta, DIY, Indonesia: UNY Press. Morrison, G. S. (1988). Education and Development of Infant, Toddlers, and Preschoolers. Glenview, Illinois, United States of America: Scoot, Foresman and Company. Sasongko, J. P. (2015, Mei 21). Kemendikbud: Pendidikan Seksual Sudah Masuk Dalam Kurikulum. Berita Nasional. (H. Muhammad, Interviewer) CNN Indonesia. Jakarta. Rahman et al., A. (2011). Knowledge of Sexsual and Reproductive Health Among Student Attending School in Kelantan Malaysia. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 3 (42), 718. Rismawan, I. (2016, 03 06). www.tribunnews.com. Retrieved 02 16, 2017, from www.tribun.com: http://www.tribunnews.com/nasional/ 2016/05/06/kpai-angka-kekerasanterhadap-anak-meningkat Roudi, F., & Fahimi. (2011). Fact of Life: Youth Sexuality and Reproductive Helath in the Middle East and North Africa. Population Reference Bureau, Population Reference Bureau, Washington DC. 1562 UAD, Yogyakarta