Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim MENEROPONG KONSEP QATH’I DAN ZANNI DALAM PEMIKIRAN ISLAM Abd. Rahim IAIN Datokarama Palu SULTENG Jln Diponegoro No 23 Palu Sulawesi Tengah 94221 Email: [email protected] Abstract; This article discusses the concept of qath'i and Zanni in Islamic thought. The alNas dalalah is a hadis which has a single meaning that it is not possible to accept an interpretation such as ta'wil, takhsis and tabdil and other so-called definitive. The pronouncement Zanni is the opposite of the qath'i, both in terms of dalalah Zanni and wurud. Zanni teachings are teachings which are the elaboration of a definitive teachings (implementable). Zanni teachings that do not contain the truth itself which is the opposite of the definitive teachings that are universal, teachings Zanni bound by space, time, circumstances and conditions. Islamic teachings can apply to all areas and for all ages. The basic tenets are universal, absolute truth, remains unchanged and can not be altered by the scholars-in number only about 500, paragraph, or approximately 14% of all the verses of the Qur'an. But the details and the purpose of the implementation of the basic doctrines contained in the Koran is tailored to the circumstances of a particular place and time, so-called Islam shalih li kulli zamaan wa makaan (actual). Keywords; Qathi – Dhanni – Islamic Thought - Definitive Abstrak; Artikel ini membahas tentang konsep qath’i dan zanni dalam pemikiran Islam. Nas yang al-dalalah adalah naṣ (ayat/hadis) yang memiliki makna tunggal yang tidak mungkin menerima interpretasi baik berupa ta’wil, takhsis maupun tabdil dan lain-lain disebut sebagai qath’i. Adapun lafaz zanni adalah kebalikan dari yang qath’i, baik zanni dari segi dalalahnya maupun wurudnya. Ajaran yang zanni ini adalah ajaran yang merupakan penjabaran dari ajaran yang qath’i (implementatif). Ajaran yang zanni tidak mengandung kebenaran dengan sendirinya yang merupakan kebalikan dari ajaran yang qath’i yang bersifat universal, ajaran zanni terikat oleh ruang, waktu, situasi dan kondisi. Ajaran Islam dapat berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaranajaran dasar yang bersifat universal, mutlak benar, absolut, kekal tidak berubah dan tidak boleh diubah itu-jumlahnya menurut para ulama hanya kurang lebih 500 ayat atau kurang lebih 14 % dari seluruh ayat Al-Qur’an. Namun perincian AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 93 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam dan maksud pelaksanaan dari ajaran-ajaran dasar yang terkandung dalam AlQur’an tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat dan zaman tertentu, sehingga Islam disebut salih li kulli zaman wa makan. Kata Kunci; Qathi – Dhanni – Pemikiran Islam - Definitif I. PENDAHULUAN alah satu pembahasan yang paling rumit dan cenderung kontroversial dalam dalil-dalil syariah, adalah pembahasan tentang qath’i dan zanni. Para ulama usul al-fiqh berusaha keras untuk mengidentifikasi dalil-dalil syariah yang bermakna qath’i dan zanni dalam kaitan penetapan hukum. Apabila suatu hukum didasarkan pada dalil yang qath’i al-dalalah (kepastian makna) dan qath’i al-subut, (kebenaran sumber), maka validitas hukum tersebut jelas juga bersifat absolut (pasti) dan meyakinkan. Sebaliknya jika suatu hukum didasarkan pada dalil yang zanni, maka validitasnya juga bersifat relatif (nisbi). Selanjutnya penetapan status qath’i dan zanni juga dilakukan oleh para ulama dengan tujuan untuk menentukan “domain” ajaran Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan yang masih dapat (bahkan ada yang harus) dilakukan ijtihad.1 Akan tetapi, pernyataan eksistensi qath’i dalam dalil-dalil syari’ah itu, dibantah oleh para ulama tafsir yang mengatakan bahwa dalam dalil syariah – khusunya al-Qur'an- tidak ada yang bermakna qath’i, dengan alasan bahwa redaksi al-Qur'an bersifat interpretable (dapat ditafsirkan). Abdullah Darraz, sebagaimana dikutif oleh M. Quraish Shihab mengatakan bahwa, apabila ayatayat al-Qur'an dibaca, maka maknanya akan jelas. Akan tetapi jika ayat yang sama dibaca sekali lagi, maka akan ditemukan lagi makna yang lain yang berbeda dengan makna yang terdahulu dan demikian seterusnya sampaisampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai makna yang bermacammacam.2 Senada dengan hal tersebut, Muhammad Arkoun, sebagaimana dikutif oleh M. Quraih Shihab, mengatakan bahwa al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, sehingga al-Qur’an selalu terbuka untuk diinterpretasi.3 Ungkapan yang sama juga dilansir oleh al-Syathiby dalam kitabnya alMuwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Dia mengatakan ‘apabila dalil-dalil syari’ah berdiri sendiri, tidak ada yang bermakna qath’i kalaupun ada hanya sedikit.4 Pendapat tersebut jelas mementahkan usaha bagi pencari makna yang qath’i di dalam al-Qur'an di kalangan para ulama usul. Barangkali inilah argumen para ahli tafsir, sehingga mereka tidak membahas topik tersebut di dalam ilmu ‘ulum Al-Qur'an, tetapi topik tersebut kita dapatkan dalam kitab usul fiqh, karena para ulama usul menganggap bahwa persoalan usul fiqh dalam agama adalah persoalan yang bersifat qath’i (pasti).5 S 94 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik suatu permasalahan yaitu, ‘mungkinkah ada dalil yang qath’i di dalam al-Qur'an dan bagaimana proses yang dilaluinya sehingga dikatakan qath’i? Inilah persoalan penting yang berusaha penulis jawab dalam artikel ini. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Qath’i dan Zanni Secara etimologi, kata qath’i dan zanni masing-masing berasal dari kata bahasa Arab قطعا-يقطع- قطعyang berarti, memotong, putus dan pasti.6 Sedangkan ّ ّ berarti sangkaan dan perkiraan.7 zanni ظنّا- يظنظن Sedangkan menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf (pakar hukum Universitas Kairo) bahwa nas yang qath’i aldalalah adalah nas (ayat/hadis) yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami dari redaksi (lafaz) dan tidak mungkin menerima takwil maupun pengertian lain.8 Definisi tersebut sejalan dengan pendapat Abu Ainain Badran Abu al‘Ainain, sebagaimana yang dikutif oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa qath’i al-dalalah adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan (makna) selainnya.9 Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa nas yang al-dalalah adalah naṣ (ayat/hadis) yang memiliki makna tunggal yang tidak mungkin menerima interpretasi baik berupa ta’wil, takhsis maupun tabdil dan lain-lain. Adapun lafaz zanni adalah kebalikan dari yang qath’i, baik zanni dari segi dalalahnya maupun wurudnya. Dengan demikian, setelah dipahami dengan jelas tentang pengertian qath’i secara istilah, maka pengertian tentang zanni agaknya juga sudah tuntas. B. Pemikiran Qath’i dan Zanni dalam Ajaran Islam Pada dasarnya ajaran Islam dapat dibedakan kepada dua kategori. Pertama, ajaran Islam yang bersifat absolut, universal dan permanen, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis mutawatir. Kedua, ajaran Islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanen, melainkan dapat berubah dan diubah.10 Ajaran Islam pada kategori pertama ini adalah ajaran yang diperoleh dari dalil-dalil yang qath’i, baik dari segi dalalahnya maupun wurudnya. Sedangkan ajaran Islam pada kategori kedua adalah ajaran Islam yang diperoleh dari dalil-dalil yang zanni baik wurud maupun dalalahnya atau dari dalil yang wurudnya qath’i tetapi dalalahnya zanni.11 Ajaran yang zanni ini adalah ajaran yang merupakan penjabaran dari ajaran yang qath’i (implementatif). Ajaran yang zanni tidak mengandung kebenaran dengan AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 95 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam sendirinya yang merupakan kebalikan dari ajaran yang qath’i yang bersifat universal, ajaran zanni terikat oleh ruang, waktu, situasi dan kondisi.12 Termasuk kelompok kedua ini adalah ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses Ijtihad.13 Ajaran ini, meminjam istilah Harun Nasution disebut dengan ajaran nondasar. Ajaran ini, menurutnya, dapat ditemukan dalam buku-buku seperti tafsir, hadis, fiqh, atau hukum Islam, ilmu tauhid, teologi Islam, ilmu tasawuf atau mistitisme dalam Islam.14 Ajaran Islam kategori pertama, dapat berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal, mutlak benar, absolut, kekal tidak berubah dan tidak boleh diubah itu-jumlahnya menurut para ulama hanya kurang lebih 500 ayat atau kurang lebih 14 % dari seluruh ayat Al-Qur’an. Namun perincian dan maksud pelaksanaan dari ajaran-ajaran dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat dan zaman tertentu, sehingga Islam disebut salih li kulli zaman wa makan. Di sinilah latar belakang munculnya mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam.15 Contoh ajaran yang bersifat universal adalah ayat-ayat tentang keadilan, kesetaraan manusia di hadapan Allah tanpa memandang jenis kelamin, warna kulit dan bangsa, persaamaan manusia di hadapan hukum, tidak merugikan diri sendiri, musyawarah dan lain-lain.16 Menurut Harun Nasution, umat Islam telah melakukan kesalahan yang sangat besar sepanjang sejarah, karena ajaran yang bersifat tradisi-tradisi atau ijtihad dianggapnya sebagai ajaran yang baku dan dogmatis, tidak boleh diubah atau diadakan reaktualisasi. Pemahaman seperti ini mengakibatkan umat Islam jumud dan tidak dinamis karena terlalu banyaknya ajaran-ajaran yang mengikat sehingga ruang gerak umat Islam sangat terbatas. Sebaliknya menurut Harun Nasution ajaran-ajaran dasar yang bersifat mutlak dan mengikat itu, jumlahnya sangat sedikit, sehingga umat Islam memiliki ruang gerak yang sangat luas.17 Oleh karena itu, ruang ijtihad bagi umat Islam sangat luas yang dapat menjadikan umat Islam dinamis, berkembang tidak kaku sehingga secara teoritis dan aplikatif ajaran Islam dapat berlaku dalam segala tempat dan waktu di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. C. Pemikiran Qath’i dan Zanni dalam al-Qur'an Sebagaimana telah disebutkan, bahwa pembahasan tentang qaṭ’i dan zannī dibahas dalam usul al-fiqh, tidak dalam ‘ulum al-Qur'an. Hal ini tidaklah menunjukkan bahwa topik ini tidak penting dan tidak diakui oleh pakar tafsir, tetapi mungkin karena bidang dan disiplin ilmu yang berbeda menyebabkan garapan juga berbeda. Pembagian tentang qath’i dan zanni dalam dalil syariah masing-masing dapat dibagi kepada dua bagian yaitu; qath’i al-subut (kepastian sumber) dan 96 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim qath’i al-dalalah (kepastian makna). Adapun zanni, juga terbagi kepada dua yaitu zanni al-subut (sangkaan sumber) dan zanni al-dalalah (sangkaan makna).18 Al-Qur'an dan hadis mutawatir, apabila ditinjau dari segi sumbernya adalah qath’i al-subut.19 Al-Qur’an diterima secara mutawatir dan tidak seorang pun dari kalangan umat Islam yang meragukan kepastian sumber al-Qur'an. Karena barang siapa yang menolak eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu, maka dianggap kafir.20 Al-Qur'an pasti bersumber dari Allah swt., tidak sedikit pun ada perubahan mulai yang dinukilkan dari Rasulullah saw., sampai kepada kita. Maka seluruh redaksi al-Qur'an yang kita baca persis seperti apa yang disampaikan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw., dengan demikian seluruh redaksi al-Qur'an bersifat qath’i al-wurud tidak bersifat zanni al-wurud.21 Hal ini berbeda dengan hadis ahad, hadis ahad dianggap zanni al-wurud. Al-Qur’an apabila ditinjau dari segi kandungannya ada yang qath’i dalalah (pasti maknanya), dan ada yang zanni dalalah (relatif maknanya). Yang dimaksud dengan kepastian makna atau qath’i dalalah adalah ayat-ayat yang sudah jelas maknanya (tidak membutuhkan penafsiran), sedangkan yang dimaksud dengan zanni dalalah (relatif maknanya) adalah ayat-ayat al-Qur’an yang masih membutuhkan penafsiran, sehingga memungkinan para ulama dan pemikir Islam berbeda pendapat dari zaman kezaman.22 Contoh ayat qath’i dalalahnya yang biasa ditemukan dalam kitab usul fiqh adalah الزانية و الزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة, makna redaksi ayat ini dianggap qath’i (pasti), karena had penzina baik laki-laki maupun perempuan adalah 100 kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dikurangi dan ditambah, pasti 100 kali dera. Sementara ayat yang dianggap zanni dalalah nya adalah و المطلقات بتربصن ّ بأنفسهن ثالثة قروء, kata قروءdalam ayat ini memiliki arti ganda, dapat berarti suci dan haid. Maka ثالثة قروءdapat berarti tiga kali suci dan dapat pula berarti tiga kali haid. Ketidak jelasan ini, menyebabkan dalalah ayat tersebut digolongkan sebagai zanni. Para ulama usul fiqh membagi makna lafaz nas kepada dua kategori yaitu yang jelas dalalahnya dan yang tidak jelas dalalahnya.23 Lafaz nas yang memiliki kejelasan makna, mereka membagi kepada empat yaitu, ẓahir,24 nas,25 mufassar,26 dan muhkam.27 Ayat Q.S. Al-Baqarah (2): 275 di bawah ini dianggap memiliki redaksi zahir dan nas sekaligus. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 97 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Terjemah Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Ayat tersebut mengungkapkan tentang haramnya riba dan halalnya jual beli. Ungkapan ini sangat jelas dan mudah dipahami tanpa memerlukan qarinah dan penjelasan yang luas. Inilah yang dinamai dengan lafaz zahir. Akan tetapi dalalah yang menunjukkan perbedaan antara keduanya dikategorikan sebagai lafaz nas. Lafaz nas dianggap lebih tinggi kedudukannya dari pada zahir, karena nas lebih terang dari segi maknanya.28 Meskipun dalil kategori zahir dan nas, memiliki makna yang jelas, tetapi karena memungkinkan untuk menerima takhsis, ta’wil, maupun nasakh,29 maka tetap digolongkan kepada zanni dalalah. Adapun yang berkategori mufassar adalah redaksi yang tidak menerima ta’wil dan takhsis, tetapi dapat menerima nasakh. Selanjutnya lafaz yang tidak menerima tabdil, ta’wil, takhsis maupun nasakh adalah muhkam. Maka kedua lafaz terakhir inilah yang dapat dikatakan sebagai qath’i dalalahnya dan hukumnya wajib diamalkan.30 Contoh mufassar dalam Q.S. al-Nur (24); 4. فاجلدوهم ثمانين جلدة, kata ثمانين جلدة maknanya dianggap mufassar dan dikategorikan sebagai qath’i al-dalalah, karena tidak mungkin jumlah yang ditunjukkan lafaz tersebut dikurangi atau ditambah, pasti 80 dera. Seperti firman Allah swt. yang dikategorikan sebagai muhkam QS. al-Nur (24) : 4 .( و ال تقبلوا لهم شهادة أبداjanganlah kamu menerima kesaksian mereka selamanya). Di samping teori yang dikemukakan oleh Abu Wahab Khallaf di atas, ada pula teori lain yang dikemukakan oleh al-Syathiby, seorang ahli usul al-fiqh (w.790 H. 1388 M), dia mengatakan “apabila dalil-dalil syariah itu berdiri sendiri, amat jarang ditemukan memiliki makna yang pasti, karena dalil-dalil tersebut bersifat ahad maka jelas tidak bisa memberikan makna yang pasti, dengan alasan karena ahad adalah zanni.”31 Kesulitan tersebut, menurut al-Syathiby, karena manakala dalil-dalil syara’ adalah ahad, sehingga jelas tidak akan menghasilkan suatu kepastian. Sedangkan apabila dalil tersebut lafaznya bersifat mutawatir, maka untuk 98 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim menyimpulkan pengertian yang pasti masih diperlukan muqaddimahmuqaddimah yang pasti pula, dan muqaddimah-muqaddimah tersebut haruslah mutawatir. Padahal untuk mencapai sifat mutawatir hampir dipastikan sulit dilakukan. Sebab, ia sangat tergantung kepada sepuluh kenyataan lafaz32 yang disebutnya muqaddimah ‘syarah dan kesemuanya itu bersifat zanni, yaitu: Pertama, kemungkinan subjektivitas periwayatan lafaz (bahasa dalil hukum) dan pemikiran para ahli tata bahasa Arab. Kedua, lafaz itu terkadang mengandung banyak arti (isytirak). Ketiga, lafaz-lafaz itu ada yang majazi bukan hakiki. Keempat, lafaz-lafaz itu terkadang ada dalam istilah syara’ dan adat sekaligus. Kelima, lafaz-lafaz itu sering tersembunyi maknanya. Keenam. lafaz-lafaz itu terkadang bersifat umum, sehingga membutuhkan takhsis. Ketujuh. lafaz-lafaz itu terkadang mutlak, maka membutuhkan batasan (taqyid). Kedelapan, lafaz-lafaz itu kemungkinan mansukh yang memerlukan nasikhnya. Kesembilan, lafaz-lafaz itu terkadang ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan (taqdim/ta’khir). Kesepuluh, tidak mengandung penolakan yang logis (‘adam al-mu‘arid al-‘aqly). Al-Syathiby menjelaskan bahwa apabila terdapat salah satu unsur tersebut di atas pada lafaz, maka statusnya adalah zanni.33 Dan kemungkinan itu sulit dielakkan. Karena itu, beliau menyimpulkan bahwa apabila dalil-dalil syariah berdiri sendiri sulit ditemukan yang bermakna qath’i kalaupun ada jarang terjadi. Senada dengan hal tersebut, menjelaskan bahwa tiga premis pertama jelas bersifat zanni, karena riwayat-riwayat menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya ahad, sedangkan tujuh sisanya hanya dapat diketahui melalui alistiqra’ al-tamm (metode induktif yang sempurna) dan hal ini mustahil, tetapi yang dapat dilakukan adalah istiqra al-naqis (metode induktif yang tidak sempurna). Ini juga tidak memberikan kepastian, dengan kata lain yang dihasilkan adalah zanni. 34 Al-Syathiby menjelaskan lebih lanjut bagaimana sebenarnya proses yang dilalui oleh suatu hukum yang diangkat dari suatu nas sehingga pada akhirnya dinamai qath’i. Dalil-dalil yang memiliki qath’i al-dalalah ialah dalil yang muncul dari sekumpulan dalil-dalil yang status dalalahnya zanni yang bermuara kepada kesepakatan makna, atau memiliki makna yang sama, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semua dalil itu makna, dan tujuannya sama, sehingga meningkat menjadi semacam mutawatir maknawi. Maka dinamailah qat‘i aldalalah.35 Dengan demikian, proses tersebut menunjukkan bahwa kepastian makna dalil haruslah bersifat mutawatir maknawi, bukan makna lafzi ataupun redaksi semata. Selanjutnya al-Syathiby mencontohkan bahwa maqasid al-syari’ah yang lima (memelihara agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal) yang bersifat qath’i pada dasarnya tidak ada dalil syari’ah yang menunjukkan secara jelas (tersirat), akan tetapi karena semua hukum yang harus dijalankan, semua bertujuan AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 99 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam untuk memelihara yang lima itu, maka us­l (maqasid al-syari’ah) tersebut dianggap qath’i (pasti) atau ma’lum an al-din bi daruri.36 Contoh lain yang dikemukakan al-Syathiby adalah haramnya membunuh. Ketetapan haramnya membunuh pada dasarnya tidak diperoleh dari satu dalil, tetapi diperoleh dari berbagai dalil yang status dalalahnya zanni, yang bermuara kepada satu makna dan tujuan. Misalnya: 1) Larangan membunuh manusia, dan kewajiban menjalankan qiṣaṣ bagi si pembunuh, 2) Kewajiban memelihara diri dari hal-hal yang membuat mudarat, 3) Kewajiban menunaikan zakat demi untuk menolong orang yang tidak mampu untuk mempertahankan kehidupannya, 4) Kewajiban mendirikan peradilan dalam masalah qisas, 5) dan keharusan mengorganisir tentara untuk menumpas pembunuh, 6) kebolehan memakan daging babi bagi orang yang terancam kematian karena kelaparan. 37 Sekumpulan dalalah nas tersebut, meskipun bersifat zanni dalalah, tetapi membuat kita dapat berkesimpulan, bahwa hukum pembunuhan adalah haram, sehingga larangan pembunuhan dalam dalil bersifat qath’i dalalah, karena setelah diinduksi dari beberapa dalil ternyata memiliki makna yang sama, sehingga meningkat menjadi mutawatir maknawi. Dengan demikian berbeda dengan ahli hukum Islam yang lain, alSyathiby memandang bahwa dalil yang qath’i itu adalah dalil yang bersifat kolektif, bukan terpisah-pisah. Dalil semacam ini menurutunya, telah mendekati mutawatir maknawi yang disebutnya dengan syabih bi al-tawatur almaknawi. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa, para ulama usul, ketika mereka ingin menetapkan makna qath’i pada dalil yang berdiri sendiri, mereka biasanya merujuk kepada proses ijma’, demi untuk menguatkan pendapat mereka. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi peralihan makna lagi bagi pihak yang tidak mengetahui ijma’.38 Setelah menyimak proses terjadinya qath’i dalalah dalam dalil-dalil syari’ah khususnya dalam al-Qur'an, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syathiby agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa penentuan qath’i maupun zanni berisfat ijtihadi. D. Pemikiran Qath‘ī dan zanni yang Berkaitan dengan al-Sunnah Teori yang dikemukakan oleh al-Syathiby di atas, jika diperhadapkan kepada al-Qur'an, mungkin tidak terlalu mengalami kesulitan, tetapi yang bermasalah, adalah jika teori ini dihadapkan kepada al-Sunnah. Karena alSunnah – sebagaimana kita maklumi- wurudnya sebagian besar bersifat zanni, dan banyaknya kitab-kitab hadis yang tidak mungkin kita mengadakan induksi secara keseluruhan. Namun karena kedudukan al-Sunnah tidak lain hanyalah penjabaran (syarah), penjelas (bayān) al-Qur'an,39 maka pada dasarnya al-Sunnah tidak mendatangkan hal-hal yang bersifat mendasar, tetapi menguatkan dan 100 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim menjelaskan hal-hal yang bersifat mendasar dalam al-Qur'an. Jadi kalau demikian status qath‘i dalalah dalam al-sunnah adalah berupa gabungan antara qath‘i dalalah dalam al-Qur'an dan sunnah itu sendiri. Hal ini ditegaskan oleh alSyathiby, bahwa yang berstatus qath’i hanyalah hukum yang bersifat kulliyat bukan juz’iyat, sementara kulliyat semua terdapat dalam al-Qur'an. Selanjutnya al-Sunnah yang diklaim sebagai qath’i al-subut hanya sunnah yang periwayatannya bersifat mutawatir. Sedangkan sunnah al-masyhurah mutawatirnya hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Nabi, maka statusnya juga zanni al-wurud.40 Dengan demikian al-sunnah dari segi wurudnya dapat bersifat qath’i dan juga bersifat zanni apabila periwayatannya bersifat ahad, dan demikian juga dalalahnya dapat bersifat qath’i dan juga berstaus zanni.41 Menurut M. Syuhudi Ismail, kesepakatan pendapat ataupun perbedaan pendapat di kalangan para ulama dalam menetapkan satatus dalalah suatu sunnah Nabi tertentu, tidak dapat dijadikan ukuran bahwa sunnah Nabi yang bersangkutan memang berstatus qath’i al-dalalah. Tetapi ukuran yang digunakan adalah keabsahan dan kekuatan argomentasi yang mereka gunakan.42 Demikian juga kejelasan arti harfiah (zahir, nas dan mufassar) suatu sunnah tertentu tidak dapat selalu menunjukkan bahwa sunnah yang bersangkutan berstatus qath’i al-dalalah. Tetapi penentuan qath’i al-dalalah baru dapat dipastikan setelah meninjau dari berbagai aspek.43 Maka untuk menentukan status dalalah al-Sunnah Nabi kepada qath’i dan zanni, perlu diperhatikan beberapa hal penting terhadap al-sunnah yang sedang diteliti. Hal penting tersebut antara lain berupa: 1) sabab al-wurud, 2) hubungannya dengan dalil-dalil naqli yang lain, 3) latar belakang isinya, 4) aspek-aspek ajaran yang dikemukakannya, dan, 5) hubungannya dengan fungsi Nabi ketika Nabi mengemukakan sunnahnya itu.44 Selanjutnya M. Syuhudi Ismail mengatakan bahwa pengetahuanpengetahuan yang diperlukan untuk menentukan satatus dalalah al-sunnah tidak cukup hanya pengetahuan yang berkenaan dengan syarh al-hadis, fiqh alhadis dan fiqh al-sirah, tetapi juga pengetahun-pengetahuan yang relevan seperti usul al-fiqh, bahasa Arab, sosiologi, antropologi dan ilmu sejarah.45 Dengan demkian - menurut hemat penulis - teori tentang cara menetapkan status dalalah al-sunnah sebagaimana yang dikemukakan oleh Syhudi Ismail, hampir sama dengan teori al-Syathiby tentang cara menetapkan status dalalah al-Qur'an. Dengan demikian berdasarkan kedua teori tersebut (al-Syathiby dan M. Syuhudi ismail), dapat dipahami bahwa dalil-dalil syari’ah (al-Qur’an/alsunnah) jika berdiri sendiri dapat dipastikan tidak ada yang berstatus qath’i aldalalah, kecuali setelah mempetimbangkan berbagai aspek, dan melalui induksi secara keseluruhan terhadap dalil-dalil yang memiliki tujuan dan makna yang sama. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 101 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam III. PENUTUP Setelah menyimak dan memahami sejumlah pembahasan mengenai konsep qath’i dan zanni dalam dalil-dalil syariah, penulis ingin menarik kesimpulan sebagai jawaban yang tegas mengenai permasalahan yang diajukan dalam awal tulisan ini. Qath’i dalalah dan zanni dalalah, benar terdapat dalam al-Qur'an dan alsunnah, dan diakui keberadaannya oleh pakar tafsir, apalagi ulama usul, tetapi zanni al-wurud hanya berlaku untuk al-sunnah, dan tidak berlaku pada alQur'an. Konsep qath’i dalalah dalam nas syariah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf dan Abu al-‘Ainain Badrān al-Ainain adalah nas yang maknanya mufassar dan muhkam. Sedangkan konsep al-Syaṭiby tentang qath’i dalalah dalam dalil-dalil syari‘ah (ayat/sunnah) adalah naṣ yang bersifat mutawatir maknawi atau dalil-dali yang memiliki makna yang sama melalui induksi. Dengan demikian konsep ini menunjukkan bahwa qath’i dalalah hanyalah hukum yang bersifat kulliyat. Sedangkan konsep Abdul Wahab Khallaf dapat menunjuk kepada hukum juz’iyyat dan kulliyat sekaligus. Zanni dalalah dalam dalil-dalil syari‘ah (ayat/sunnah) merupakan dalil yang mayoritas dan merupakan kawasan ajaran Islam yang masih memerlukan ijtihad. Endnotes Lihat M. Syuhudi Ismail, “Konsep Qath‘ī dan Zanni dalam Kaitannya dengan al-Sunnah” 1 Uswah, No. 4. 1993, h. 26. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam 2 Kehidupan Masyarakat (Cet. IX; Bandung Mizan, 1995), h. 72. 3 Lihat ibid. 4 Lihat Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwafaqat fi Usul al-Syarī’ah Juz I (Cet. II. Beirut-Lubnan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,1424 H/2003 ), h. 24. 5 Ibid., h. 19. Lihat Ab­ Husai Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqayis al-Lugah Juz VI (Cet. II; Misrah: al- 6 Babi al-Halabi, 1971 M/1391 H.), h. 101. 7 Lihat ibid. Juz. IV., h. 462. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm ‘Usul al-Fiqh (Cet. XII; al-Qahirah: t.t. 1398 H./1978), h. 8 35. 9 102 2015 Lihat M. Qurasih Shihab, op. cit, h. 139. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim 10 Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986), h. 113. 11 Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 101. Lihat Said Agil Husin al-Munawwar., Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 210. 12 13 Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Cet. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 43 14 Lihat Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 1995), h. 122. Lihat juga Fathurrahman Djamil, op. cit. h. 45. 15 Lihat Harun Nasution, Ibid., h. 33. Lihat juga, Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Munawir Sjadzali (Cet. Jakarta: Paramadina, 1995), h. 274 16 Lihat Said Agil Husin al-Munawwar, lo. cit.. 17 Harun Nasution, Islam, op. cit., h. 113. Lihat Safi Hasan Abu Thalib, Tatbiq al-Syari’ah fi Balad al-Arabiyyah (Cet. III .Cairo: Dār 18 al-Nah«ah al-Arabiyyah, 1990), h. 62. Lihat Mustafa Said al-Khinni, Asar al-Ikhtilaf fī al-Qawa’id al-Ushuliyat fi Ikhtilaf alFuqaha (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976 M/1401 H), h. 206. 19 Lihat Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam 20 al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), h. 338. Lihat Abdul Wahab Khallāf, op. cit., h. 34. 21 22 Lihat Umar Shihab, op. cit. h. 338. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh (t.tt. Dār al-Fikr al-‘Arabiy, 1958 M.), h. 118-171. 23 24 Zahir adalah makna redaksi semata, tanpa memperhatikan faktor lain dan juga bukan makna kontesktual. Lihat Abdul Wahab Khallaf, op. cit., h. 162. 25 Nas adalah makna redaksi yang berpatokan kepada makna kontekstual. Lihat ibid. Mufassar adalah arti yang sangat rinci yang tidak ada kemungkinan menerima ta’wil. Lihat Ibid., h. 166. 26 27 Muhkam adala lafaz yang menunjuk kepada artinya yang tidak menerima pembatalan maupun takwil. Lihat Ibid., h. 167. 28 Lihat Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid II (Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 140. 29 Lihat M. Abu Zahra, op. cit., h. 120-121. 30 Lihat Abdul Wahab Khallaf, op. cit., h. 168. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 103 Abd Rahim Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam 31 Lihat al-Syathiby. loc. cit. 32 Lihat ibid. 33 Lihat ibid. 34 Lihat ibid. Lihat juga Dasuki Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawy al-Syathibi (Cet. I. Jogjakarta: al-Ruz Media, 2008), h. 160 35 Lihat al-Syathiby, op. cit., h. 24. 36 Lihat ibid. h. 26. 37 Lihat Ibid. 38 Lihat M. Qurais Shihab, op. cit., h. 141. 39 Lihat M. Abu Zahra, op. cit., h. 112-113. 40 Lihat ibid., h. 42. 41 Lihat Ibid. 42 Lihat M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 33. 43 Lihat ibid. 44 Lihat ibid. 45 Lihat ibid. DAFTAR PUSTAKA Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam. Cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Ibrahim, Dasuki, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep al-Istiqra’ al-Ma’nawy al-Syathibi. Cet. I. Jogjakarta: al-Ruz Media, 2008. Hosen, Ibrahim, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Munawir Sjadzali, MA. Cet. I. Jakarta: Paramadina, 1995. Ismail, H. M. Syuhudi, “Konsep Qath’ī dan Zanni dalam Kaitannya dengan alSunnah” Uswah, No. 4. 1993, Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh. Cet. XII; al-Qahirah: t.t. 1398 H./1978. al-Khinni, Mustafa Said, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Ushuliyat fi Ikhtilaf alFuqaha’. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976 M/1401 H. 104 2015 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun Meneropong Konsep Qath’i dan Zanni dalam Pemikiran Islam Abd Rahim Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani; Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Wacana Logos, 1999. Syarifuddin, H.Amir, Usul Fiqh, jilid II. Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999. Shihab, M. Qurasih, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat . Cet, IX; Bandung: Mizan, 1995. Shihab, Umar, Kontekstualitas al-Qur’an; Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005. Thalib, Safi Hasan Abu, Tatbiq al-Syara’ah fī Balad al-Arabiyyah. Cet. III. Cairo: Dar al-Nahḍah al-Arabiyyah, 1990. Al-Syathiby, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Usul a-Syari’ah Juz I. Beirut-Lubnan: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2003 M. al-Munawwar, Said Agil Husin, MA., Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki. Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Cet. VI; Jakarta: UI Press, 1986. ………, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran. Cet. II; Bandung: Mizan, 1995. Zahra, Muhammad Abu, Usul Fiqh. t.tt. Dār al-Fikr al-‘Arabiy, 1958 M. Zakariya, Abū Husain Ahmad ibn Faris ibn, Maqayis al-Lugah Juz VI. Cet. II; Misrah: al-Babi al-Halabi, 1971 M/1391 H. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 105