TIPE MANUSIA Tafsir Surat Al-Baqarah 204-210 Oleh: Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag Materi Kajian Tafsir Rutin Bulanan di Universitas Muhammadiyah Purworejo Sabtu, 21 Jumadal ’Ula 1430 H / 16 Mei 2009 M∗ ”Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS al-Baqarah: 204-206) ”Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS alBaqarah: 207) ∗ Disarikan oleh Rofiq Nurhadi, M.Ag 1 ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan” (QS al-Baqarah: 208-210) Dalam ayat diatas Allah menggambarkan dua tipe manusia. Tipe pertama adalah orang yang ucapannya mengagumkan kita bahkan ia tambahkan sumpah di dalam ucapannya itu, padahal ia adalah musuh yang sangat keras. Apabila ia telah berpaling atau berkuasa, yakni setelah tercapai keinginannya ia berkata lain serta membuat kerusakan. Kita diingatkan agar kita berhati-hati, karena ia adalah orang yang sangat jahat dan musuh Islam. Kalau dilihat dari cara mengekspresikan isi hatinya, manusia itu bisa dibagi menjadi tiga golongan. (1) Manusia yang memiliki hati yang jahat dan ia ekspresikan juga dengan kejahatan. (2) Manusia yang memiliki hati yang baik dan ia ekspresikan juga dengan kebaikan. (3) Manusia yang memiliki hati yang jahat tapi ia ekspresikan kejahatan hatinya itu dengan muka manis dan pura-pura berbuat baik. Terhadap golongan yang ketiga ini kita diingatkan oleh Allah agar lebih waspada, karena bahayanya sangat besar. Ada golongan orang yang tidak mudah menaruh curiga pada orang lain. Ia menganggap orang lain yang berbicara dengannya adalah orang yang jujur sebagaimana dirinya. Ia tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap orang lain. Ia mudah percaya pada orang lain. Ia melihat orang lain sebagaimana dirinya. Terhadap orang yang demikian ini harus lebih meningkatkan kewaspadaan, agar jangan sampai terjebak. Sebagai ibrah misalnya kisah Imam Bonjol yang ditangkap Belanda saat diajak berunding. Ia mudah saja mempercayai Belanda yang mengajaknya untuk berunding padahal ini hanya sebagai siasat untuk menagkapnya. Tipe kedua adalah orang yang mengorbankan jiwa-raganya serta harta-bendanya untuk dakwah Islam. Dalam kontek ayat ini Allah menggunakan bahasa dagang, yaitu ’yasyri’, yang makna asalnya adalah ’menjual’ dan kemudian diartikan ’mengorbankan’. Orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dakwah Islam sesungguhnya telah berdagang dengan Allah, yakni Allah akan membelinya dengan harga yang sangat mahal. Oleh karena itu kita hanya boleh berdagang hanya kepada Allah. Dalam ayat lain Allah juga melarang kita menjual ayat-ayat-Nya kepada selain Allah dengan harga yang murah. 2 ”dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah,” (QS alBaqarah: 41) Misalnya memutuskan perkara agama secara tidak obyektif untuk memperoleh kepentingan pribadi. Sesuatu yang semestinya haram dihalalkan untuk memperoleh keuntungan duniawi. Oleh karena itu ada baiknya kalau untuk memutuskan perkara yang berkaitan dengan diri sendiri dimintakan fatwa dari orang lain, karena manusia itu cenderung membela kepentingan diri sendiri. Karena itulah para ulama terdahulu banyak yang menolak diangkat jadi mufti pemerintah, agar fatwa-fatwanya bersifat obyektif. Kalau dilihat secara umum ada 3 pendekatan dalam menjalin hubungan dengan Allah. (1) Pendekatan cinta, yakni beribadah kepada Allah kerena cintanya atau ridhanya pada Allah bukan karena mengharap pahala dan tidak pula karena takut siksa. Hal ini biasa ditempuh oleh para sufi. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,” (QS. Al-Anfal: 2) (2) Pendekatan dagang, yakni berburu pahala dengan mencari amal-amal yang pahalanya banyak, misalnya shalat jama’ah sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa shalat jama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian lipat 27 derajat. ( در@?تCDEFG وIJFK Mّ NOة اRS CT UVNW XG?YZOة اR[O) ا (3) Pendekatan tugas (kewajiban), yakni berorientasi pada pelaksanaan kewajiban, misalnya dengan melaksanakan shalat berarti telah diselesaikanya kewajiban. Allah Swt berfirman: ”Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS at-Taubah:105) 3 Ketiga pendekatan ini diperbolehkan. Adapun contoh tipe manusia kedua ini, yaitu manusia yang berdagang kepada Allah atau mengorbankan segalanya untuk dakwah Islam adalah seorang sahabat Nabi, Suhaib namanya. Ia rela meninggalkan harta kekayaannya untuk hijrah mengikuti Nabi Saw. Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah menyeru hamba-Nya untuk masuk Islam secara total ( ) ةفاك ملسلا ىف اولخدا. Turunya ayat ini dilatar belakangi oleh pertanyaan orang Yahudi yang telah masuk Islam. Mereka bertanya pada Nabi mengenai hari sabat (hari sabtu sebagai hari raya mereka). ”Bolehkah kami tetap merayakan hari sabat dan membaca Taurat?”. Dijawablah dengan turun ayat ini. Adapun yang dimaksud as-silmi dalam ayat ini adalah Islam. Masuk Islam secara total berarti tidak secara parsial, yakni masuk dalam Islam secara keseluruhan baik akidahnya, ibadahnya, muamalahnya maupun akhlaqnya. Pada masa Belanda ada upaya-upaya pihak Belanda untuk menjadikan keislaman bangsa Indonesia bersifat parsial. Diantara yang dilakukan oleh Belanda adalah menyeleksi kitabkitab yang boleh masuk ke Indonesia. Adapun yang boleh masuk ke Indonesia: (1) Kitabkitab Nahwu Sharaf, agar para santri habis waktunya mempelajari Bahasa Arab dan lupa pada tujuannya yaitu belajar Bahasa Arab untuk mempelajari literatur keislaman. (2) Kitab-kitab fiqh, agar para santri sibuk berdebat masalah khilafiyah dan mudah dicerai beraikan. (3) Kitab-kitab tasawwuf, agar umat Islam asik dalam hidup kerohanian dan melupakan pergerakan menuju kemerdekaan. Belanda melarang masuk kitab-kitab yang menggerakkan, aqidah dan politik. Belanda membagi Islam menjadi dua, yaitu Islam ibadah dan Islam politik. Terhadap Islam ibadah diberi bantuan, misalnya untuk pelaksanaan ibadah shalat dan zakat, tetapi kalau haji tidak bahkan dipersulit agar umat Islam Indonesia tidak bertemu dengan muslim lain yang sedang memperjuangkan kemerdekaan. Hal inilah salah satu peninggalan Belanda yang sering tidak kita sadari. Hal ini menjadi salah satu sebab pemahaman Islam yang parsial, dimana Islam hanya pada wilayah ibadah, tidak pada wilayah profesi, tidak di pasar, tidak di politik dan sebagainya. Orang sering menganggap bekerja di laborat itu tidak ada pahalanya dan yang ada pahalanya adalah di wilayah masjid. Dampaknya banyak orang hanya mau menyumbang untuk Masjid karena menyumbang pendirian laboratorium bukan ibadah. Kemudian Allah melarang hambaNya untuk mengikuti langkah-langkah syaithan. Langkah-langkah syaithan dalam konteks ayat ini adalah langkah-langkah syaithan yang menjadikan Islam itu juz’i (parsial). @@@@@ 4