BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan penutup dan memuat tiga sub bab pokok bahasan, yaitu: Kesimpulan, Implikasi Penelitian dan Saran. A. Kesimpulan Berdasarkan fokus penelitian, paparan data dan temuan kasus individu serta pembahasan lintas situs, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keberadaan public relations di ponpes salafiyah Lirboyo Kediri dan Sidogiri Pasuruan dapat dipresentasikan sebagai berikut: a. Keberadaan public relations di pondok pesantren salafiyah (pondok pesantren Lirboyo dan pondok pesantren Sidogiri) secara formal tidak ditemukan. Tidak ditemukan public relations sebagai bidang tersendiri dalam kepengurusan organisasi. Ditemukan seksi informasi, namun seksi ini lebih berfungsi pada pengelolaan informasi dan kebutuhankebutuhan yang berhubungan dengan masalah internal pondok pesantren, dan belum menyentuh pada aspek bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan publik, sehingga keberadaan public relations yang merupakan corong utama penyampai informasi dan menjalin komunikasi berkesinambungan untuk mencapai saling pengertian antara ponpes dengan masyarakat luas secara legal formalitas tidak ditemukan. 426 427 b. Keberadaan public relations secara legal formal tidak ditemukan, namun fungsi public relations tersebut telah dilaksanakan oleh seluruh elemen pondok pesantren, baik santri, alumni, maupun kiai sebuah pondok pesantren. Semua elemen pondok pesantren, baik Lirboyo maupun Sidogiri berusaha untuk menjalin hubungan baik secara internal yang berupa hubungan dengan sesama elemen pondok pesantren maupun eksternal yang berupa hubungan dengan masyarakat luas. c. Secara fungsional public relations di ponpes salafiyah Lirboyo dijalankan oleh: 1) kiai sebagai figur center (personal branding); 2) santri, ustadz dan pengelola, melalui proses yang intensif dan produk yang berkualitas.; 3) alumni, melalui jaringan HIMMASAL. Sedangkan public relations di ponpes salafiyah Sidogiri dijalankan oleh seluruh elemen yang ada di ponpes: 1) kiai sebagai personal branding; 2) santri, pengelola, ustadz, melalui pengabdian di masyarakat dan media massa; serta 3) alumni melalui kegiatan keagamaan dan pemberdayaan ekonomi. d. Hal yang membedakan pelaksanaan fungsi public relations antara kedua ponpes salafiyah ini adalah di ponpes salafiyah Sidogiri lebih kuat dalam hal penggunaan media berbasis IT dan bidang pemberdayaan ekonomi. Fungsi public relations bisa dijalankan oleh lembaga-lembaga ekonomi produktif yang berbasis syari’ah., 428 sedangkan di ponpes salafiyah Lirboyo lebih pada kualitas keilmuannya dengan tidak menafikan penggunaan IT. e. Keberadaan public relations dalam kepengurusan organisasi tidak ditemukan di ponpes salafiyah, namun ketika mekanisme public relations yang meliputi publication dan publicity, event, news, community, identity media, lobbying dan social investment telah jalankan oleh seluruh elemen, maka hakekat public relations dijalankan sebagai software institusi dan bukan sekadar hardware institusi. 2. Komunikasi yang dijalankan di ponpes salafiyah Lirboyo dan Sidogiri meliputi: a. Komunikasi secara internal: komunikasi secara internal terjadi antara santri, ustadz, pengurus/pengelola dan kiai. Komunikasi interaktif terjadi antara santri, ustadz dan pengurus, yaitu komunikasi yang berlapis dan menjunjung tinggi adab dan sopan santun. Demikian pula komunikasi dengan figur kiai. Ketika komunikasi itu selesai dalam tataran pengurus dan ustadz, maka komunikasi tidak dilanjutkan ke kiai, begitu sebaliknya, sehingga komunikasi yang dijalankan memperhatikan retorika atau konteks situasi maupun masalah yang dihadapi. b. Cara komunikasi kiai dengan santri dan pengelola yang ada di ponpes melalui pesan persuasif, yaitu perilaku yang ditunjukkan oleh figur kiai dicontohkan dalam memberi materi pengajian, memberikan nasehat, 429 memberikan petunjuk, cara kiai menghadapi orang lain, menghadapi tamu dari berbagai kalangan (uswatun hasanah). Komunikasi ini mengarah pada kharisma kiai sebagai personal influence. Komunikasi ini menguatkan teori spiral keheningan dan teori agenda setting, bahwa cara mempengaruhi opini publik adalah melalui pesan persuasif dengan mengkondisikan situasi sedemikian rupa, sehingga masyarakat bisa mengamati, turut merasakan, dan akhirnya membentuk proses sosial dalam kultur komunitas tersebut. c. Komunikasi eksternal pondok pesantren salafiyah dengan masyarakat mengarah pada model public informations menuju two way asymmetric melalui: 1) komunikasi dengan cara menyampaikan pesan atau informasi melalui figur kharisma kiai yang diistilahkan dengan personal branding, karena kiai sebagai top manager secara tidak langsung apa yang dilakukan dan dikatakan merupakan salah satu bentuk komunikasi kiai dengan masyarakat; 2) komunikasi dengan cara menyampaikan pesan atau informasi melalui show force, yaitu pengerahan massa melalui event religi yang diselenggarakan pondok pesantren; 3) komunikasi dengan cara menyampaikan pesan atau informasi melalui simbol dan perilaku, yaitu simbol dan perilaku yang melekat pada santri, ustadz, pengurus, maupun alumni; 4) komunikasi dengan cara menyampaikan pesan atau informasi melalui media, yaitu media pers, media TV, radio, website; 5) komunikasi dengan cara 430 menyampaikan pesan atau informasi melalui khidmah di masyarakat atau by action. d. Dalam hal komunikasi eksternal, terdapat perbedaan antara ponpes salafiyah Lirboyo dan Sidogiri, yaitu komunikasi eksternal dengan cara menyampaikan pesan atau informasi melalui media. Di ponpes salafiyah Sidogiri ditemukan lebih aktif dan produktif jika dibandingkan dengan ponpes salafiyah Lirboyo, sehingga ditemukan reading-writing culture, bukan sekadar reading-speaking culture. 3. Proses membangun citra di kedua ponpes salafiyah di peroleh melalui pengabdian di masyarakat (khidmah) dan informasi secara lesan (word of mouth) a. Citra ponpes diperoleh dari figur kiai dan juga citra sejarah (tokoh pendirinya), yang dikenal dengan istilah personal branding b. Pembangunan citra pondok pesantren diperoleh dengan cara penyampaian informasi melalui media massa dan penggunaan IT, seperti: website, radio, TV, media pers, majalah, buletin, buku, dan lain-lain c. Program pendidikan, dakwah dan sosial, yang tergabung dalam pengabdian di masyarakat juga merupakan bagian dari upaya ponpes untuk membangun citra di masyarakat. 431 d. Branding santri merupakan identity lembaga yang melekat pada ponpes, yang membedakan dengan lembaga yang lain, sehingga merupakan salah satu upaya untuk membangun image positif e. Peran alumni di masyarakat dan kuatnya jaringan antar alumni yang ditunjukkan melalui komunitas alumni santri ponpes, menjadikan pembeda alumni ponpes dengan alumni sekolah pada umumnya, karena hubungan emosional yang masih terjaga dan jiwa santri yang masih melekat walaupun mereka sudah alumni menjadikan para santri alumni loyal terhadap almamater pondok. Secara tidak langsung, hal ini menjadikan citra ponpes meningkat di masyarakat umum. f. Terdapat dua hal yang dijadikan network dalam rangka membangun citra ponpes yaitu: personal network, yang didominasi alumni melalui word of mouth dan quality product network, yaitu kiprah santri dan alumni ponpes di masyarakat. 4. Proses public relations pondok pesantren salafiyah adalah integrated, maksudnya proses public relations di ponpes dijalankan tidak secara terang-terangan, namun ponpes salafiyah lebih memilih cara sosialisasi atau khidmah di masyarakat, yaitu dengan cara partisipasi langsung dalam program di masyarakat (by action). Proses public relations yang dijalankan mulai dari how to integrate, how to inform, how to perfome, how to persuade, baru kembali lagi ke how to integrate. Cara public relations seperti ini bersifat circle sehingga ter-integrated 432 Dari temuan tersebut di atas, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa manajemen public relations di pondok pesantren adalah natural, personal influence, integrated. Natural dikarenakan secara legal formal public relations tidak ditemukan dalam kepengurusan di ponpes salafiyah, namun secara fungsi public relations dijalankan oleh seluruh elemen ponpes yang pelaksanaannya terselubung dalam semua seksi/bidang; personal influence karena kiai merupakan figur sentral sebagai pengambil keputusan dalam setiap arah dan kebijakan yang berkenaan dengan ponpes, termasuk memberikan arahan dan nasehat kepada santri maupun alumni. Kiai dengan kharismanya memiliki pengaruh besar, sebagai agent of social change dalam sosio kultur masyarakatnya; dan integrated karena pelaksanaan public relations terintegrasi dalam setiap aktifitas ponpes baik internal di ponpes itu sendiri maupun eksternal yang berhubungan langsung dengan masyarakat. B. Implikasi Penelitian 1. Implikasi Teoritis Penelitian ini memberikan implikasi teoritis yaitu: menguatkan teori yang dibangun oleh Cutlip dan Broom bahwa public relations adalah fungsi manajemen untuk menjalin hubungan yang baik antara lembaga dengan masyarakatnya. Keberhasilan atau kegagalan public relations ini tergantung bagaimana membentuk dan memelihara relasi yang saling menguntungkan tersebut. Pondok pesantren salafiyah yang berdiri sejak abad ke-18 sebagai cikal bakal lembaga pendidikan pertama di Indonesia, ketahanannya 433 hingga saat ini membuktikan bahwa pondok pesantren mampu menjalin hubungan yang sinergis dengan masyarakat. Prinsip yang dipegang pondok pesantren salafiyah al-mukhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara hal-hal yang baik yang telah ada dan mengambil hal-hal yang baru yang baik) merupakan wujud nyata penerimaan pondok pesantren terhadap hal yang baik yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai salaf, yaitu pondok pesantren salafiyah telah menjalankan manajemen public relations yang berbasis IT dan penolakan pondok pesantren terhadap pengaruh Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai salafiyah. Aplikasi teknologi ini bukan berarti tanpa adanya aksi di lapangan. Justru pondok pesantren salafiyah lebih memilih sosialisasi melalui pengabdian langsung di masyarakat jika dibandingkan dengan publikasi secara terang-terangan. Dengan berpartisipasi langsung di lapangan, akan menuntut seluruh elemen yang ada di pondok pesantren untuk mengamalkan ilmunya, menginformasikan ponpes kepada publik sekaligus menunjukkan potensi dan karakter melalui kinerjanya. Hal ini akan mempengaruhi persepsi masyarakat, menciptakan kepercayaan masyarakat, sehingga citra ponpes menjadi baik. Tindakan tersebut merupakan penyempurnaan dari teori Edward L. Bernays yang menyatakan bahwa mekanisme public relations adalah how to inform, how to persuade dan how to integrate di sempurnakan menjadi how to inform, how to perform, how to persuade dan how to integrate. 434 Penelitian ini juga relevan dengan teorinya Thomas L. Harris, yang menyatakan bahwa public relations berhubungan erat dengan marketing, komunikasi, citra dan identitas lembaga. Public relations yang dijalankan di pondok pesantren tak lepas dari sejarah keberhasilan para tokoh pendirinya. Pengaruh kiai dengan kharismanya mampu membentuk karakter lembaga, membangun identity lembaga yang berbeda dengan lembaga yang lain, sehingga berhasil membangun image positif. Image lembaga yang terbangun atas sejarah keberhasilan para tokoh pendirinya ini tetap mempertahankan nilai-nilai salafiyahnya. Dan inilah yang menjadi ciri khas dari pondok pesantren salafiyah. Pengaruh keberhasilan tokoh pendiri ini dikenal dengan istilah corporate image atau menurut John Balmer and Alan Wilson diistilahkan organizational saga. Latar belakang budaya pondok pesantren dengan segala aktifitas sosial keagamaannya yang telah mapan di masyarakat, pengalaman masa lalu, nilai-nilai yang dianut lembaga, didukung kharisma kiai, perilaku santri dan alumni dengan branding ‘sarung dan kopiyah’ yang melekat dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap pondok pesantren salafiyah. Santri Lirboyo dengan kapasitas keilmuan dan kitab kuningnya, santri Sidogiri dengan kapasitas keilmuan, kitab kuning dan produksi-produksi ekonomi yang menopangnya menjadikan persepsi publik secara perlahan akan berubah pada sikap akomodatif. Semakin banyak publik yang mengakomodatif sikap santri maka akan merubah opini publik mengenai pondok pesantren. Manakala opini publik telah terbentuk, maka akan 435 terbangun suatu konsensus, dan akhirnya citra lembaga terbangun. Fenomena yang terjadi di pondok pesantren salafiyah Lirboyo dan Sidogiri ini menguatkan teorinya Rosady Ruslan tentang proses pembangunan image building. Penelitian ini juga mengafirmasi teori Wilbur Schramm mengenai proses komunikasi dalam public relations yang melibatkan proses dua arah. Hanya saja baik di pondok pesantren salafiyah Lirboyo maupun Sidogiri terdapat gangguan dalam kerangka acuan (frame of reference), di mana dalam konteks situasi, pola komunikasi di kedua ponpes salafiyah ini sangat dipengaruhi oleh interaksi hubungan yang berdasarkan pada strata, wacana, dan komunitas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tawadlu, tata krama, dan ‘andap asor’. Sementara komunikasi eksternal yang dibangun pondok pesantren, melalui cara persuasif. Pada umumnya publik berusaha untuk menghindari terjadi pengucilan atau isolasi. Masyarakat sekitar akan mengamati pondok pesantren dengan segala aktifitasnya dengan mempelajari pandangan mana yang dominan dan mana yang tidak dominan, untuk selanjutnya masyarakat akan menyatakan pendapat, dukungan, partisipasi atau kepasifan, bahkan penolakan kepada pondok pesantren. Komunikasi yang diawali dari diam ini akan mengawali suatu proses spiral keheningan di masyarakat. Namun berdasar hasil temuan di lapangan, masyarakat maupun stakeholders yang ada di sekitar pondok pesantren Lirboyo mayoritas 436 mendukung semua kegiatan yang dilaksanakan oleh pondok pesantren. Masyarakat lebih banyak pasif, menunggu aktifitas pondok lalu mendukungnya. Demikian pula di ponpes Sidogiri. Hanya saja di Sidogiri segala aktifitas yang diselenggarakan pondok sifatnya lebih mandiri, karena pondok telah memiliki produksi-produksi ekonomi yang kuat. Fenomena ini menguatkan teori spiral keheningan sebagaimana pendapat Elisabeth Noelle Nueman. Dalam perspektif manajemen public relations, keberadaan public relations di pondok pesantren salafiyah berfungsi sebagai software-nya lembaga, dimana semua elemen yang ada dalam pondok menjalankan fungsinya sebagai public relations, every one is marketer; komunikasi yang dibangun pondok pesantren berpusat pada kharisma kiai sebagai personal influence; dan cara membangun citra pondok pesantren melalui khidmah (bukan sekadar publikasi). Fenomena ini mengembangkan teorinya James Grunig and Todd Hunt tentang model public relations, yaitu model informasi publik. Public information model adalah model komunikasi dalam public relations yang memberi tahu publik tetapi bukan untuk promosi dan publisitas, namun alur komunikasinya masih tetap satu arah. Alur komunikasi satu arah ini berpusat pada kharisma kiai sebagai personal influence. Sehingga tidak berlebihan jika hasil penelitian ini mengembangkan teorinya Grunig and Hunt, yaitu model pubic relations di pondok pesantren salafiyah adalah natural-personal influence-integrated. 437 2. Implikasi Praktis Public relations merupakan komponen penyempurna dalam lingkup lembaga pendidikan kita. Namun keberadaannya bukan berarti suatu hal yang tidak dibutuhkan. Karena tanpa adanya pengelolaan public relations yang baik dalam suatu lembaga pendidikan, maka jalannya akan tertatih-tatih. Eksistensi public relations bukan sekadar ada tidaknya secara formalitas dalam suatu kepengurusan di lembaga pendidikan, namun yang lebih esensi dari hal tersebut adalah bagaimana fungsi public relations tersebut berhasil dijalankan. Lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga non profit tidak akan lepas dengan sorotan publik mengenai kebijakan yang diambil, proses pembelajaran, dan hal-hal akademik lainnya. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika keberadaan public relations di lembaga pendidikan Islam secara eksistensi diwujudkan dan secara hakiki dilaksanakan. Inilah yang dinamakan dengan manajemen public relations. Penerapan pendidikan manajemen Islam, khususnya public pondok relations pesantren melalui lembaga salafiyah dapat dilaksanakan melalui: pertama, penerapan fungsi public relations yang terintegrasi, artinya semua elemen yang ada di lembaga pendidikan Islam berpartisipasi aktif dalam menjalankan fungsi public relations dengan cara by actions. Langkah ini menjadikan masyarakat percaya berdasarkan fakta (trust based on the fact) bukan percaya berdasar informasi semata (trust base on information). 438 Kedua, melalui pengaruh personal figur atau personal influence. Kiai dengan kharismanya yang tinggi mampu mempengaruhi, dan menggerakkan seluruh elemen yang ada di pondok pesantren. Peran kiai sebagai mercusuar pondok pesantren menjadi center of spiritual need masyarakat, sehingga keberadaannya dibutuhkan oleh banyak kalangan. Sikap akomodatif masyarakat terhadap pondok pesantren salafiyah memberikan citra positif tersendiri. Sikap akomodatif ini menunjukkan adanya mutual understanding antara lembaga dengan masyarakatnya. Ketika mutual understanding ini terbangun, berarti terbangun pula komunikasi yang baik antara kedua belah pihak. Di sinilah letak pentingnya personal influence dalam manajemen public relations di lembaga pendidikan Islam. C. Saran Peneliti sangat mengharapkan adanya penelitian lanjut mengenai public relations yang dikelola pondok pesantren salafiyah. Dari temuan penelitian ini, ada beberapa saran yang ditujukan antara lain: 1. Pengasuh/Pengelola pondok pesantren; ponpes salafiyah Lirboyo Kediri dan Sidogiri Pasuruan a. Hendaknya Public relations sebagai sub bidang tersendiri di pondok pesantren dibentuk, mengingat fungsinya yang sangat penting sebagai corong segala informasi lembaga kepada publik dan sebagai pintu akses dalam menjalin relasi dengan pihak lain. 439 b. Hendaknya image lembaga (Corporate image) yang sudah terbangun sejak lama sebagai akibat dari citra sejarah dan tokoh pendiri pondok pesantren salafiyah, tetap dipertahankan dan dilanjutkan dengan meneruskan visi dan misi tokoh pendiri dalam roda aktifitas pondok pesantren melalui khidmahnya di masyarakat sebagai wujud dari fungsi public relations. c. Sebaiknya strategi public relations jaringan alumni dengan menggunakan sistem word of mouth sebagai network personal dikembangkan terus tidak hanya terbatas pada komunitas santri namun bisa menyentuh pada masyarakat umum. d. Hendaknya ponpes me-manage pemberdayaan sumber daya manusia (SDM), khususnya yang berkaitan dengan SDM teknologi, karena pesantren salafiyah telah melakukan fungsi public relations melalui saluran media pers: website, media massa, dan manajemen pondok yang yang berbasis IT lainnya e. Pondok pesantren salafiyah dengan branding ”santri” hendaklah tetap mempertahankan nilai-nilainya, untuk mewujudkan pergeseran paradigma santri salafiyah. Salaf adalah prinsip yang dipegang, yaitu menjalankan nilai-nilai tradisional, namun aktual dalam manajemennya dan terpadu dalam program yang dilaksanakan di masyarakat dengan kata kunci membawa kemaslahatan atau nilai guna bagi orang lain. 440 2. Pemerintah, Kemenag RI dan Kemendikbud Manajemen public relations di ponpes salafiyah bersifat naturalpersonal influence-integrated (build in), artinya semua elemen yang ada di pondok pesantren berpartisipasi aktif dalam menjalankan fungsi-fungsi public relations dengan cara by actions. Untuk itu pihak pemerintah diharapkan ikut menjaga eksistensi ponpes salafiyah (walaupun namanya salafiyah namun menerapkan manajemen aktual) dari kepunahan di Indonesia. Karena lembaga pendidikan ini merupakan indegenious Indonesia. Dengan adanya ciri khas public relations yang ada di ponpes salafiyah diharapkan setiap kali ada kebijakan dari pemerintah, kemenag maupun kemendikbud yang berkenaan dengan akses dari public relations, seperti: jaringan/network, capacity building, sarana prasarana maupun pengembangan sumber diprioritaskan. Selain daya itu manusia, pihak pondok pemerintah pesantren diharapkan lebih mampu memberikan kebijakan solutif bagi keberlangsungan eksistensi pendidikan pesantren, karena pesantren sangat mengakar di masyarakat tingkat grass root. 3. Peneliti selanjutnya Lantaran penelitian ini mengandung sejumlah keterbatasan, maka penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terutama tentang perubahan kekinian pondok pesantren salafiyah. Poin penting yang juga patut diteliti adalah komunikasi sosial antara ponpes salafiyah dengan masyarakat dan 441 juga posisi ponpes salafiyah dengan adanya pergeseran paradigma salafiyah itu sendiri. Hal ini sebagai akibat dari arus informasi global dari berjalannya public relations itu sendiri ataukah memang ada hal lain yang menjadikan kebijakan dan paradigma ponpes salafiyah mulai bergeser. Fokus inilah yang belum dilakukan dalam penelitian ini.