PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) - E

advertisement
PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) SEBAGAI SALAH SATU
KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
Maria Heviyanti
Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra, Langsa
Abstrak
Kajian penulisan tentang Pengendalian Hayati sebagai Salah Satu Komponen
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilakukan di Desa Alue Merbau Kecamatan Langsa
Timur, Kota Langsa dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat petani
di Desa Alue Merbau tentang pentingnya pengendaliaan hayati, sebagai pengendalian yang
ramah lingkungan, Efektif dan Efisien. Didalan suatu ekosistem terjadi hubungan timbal
balik baik intra maupun antar spesies, yang disebut sebagai rantai makanan. Prinsip
pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan
memanfaatkan musuh-musuh alaminya (biological control agen), seperti predator, parasitoid
dan patogen. Pengendalian hayati memiliki keuntungan dan kelemahan. Dilihat dari
fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi predator, parasitoid dan patogen.
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau
memangsa serangga lain. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau
binatang antropoda lainnya. Patogen adalah golongan mikroorganisme atau jasad renik yang
menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Mikroorganisme yang dapat menjadi
patogen adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan nematoda. Pengelolaan ekosistem
dengan cara bercocok tanam, penggunaan varietas yang tahan hama OPT, pengendalian
secara fisik atau mekanik, pengendalian secara genetik, penggunaan pestisida secara selektif,
penggunaan OPT dengan peraturan atau karantina, ini merupakan teknologi PHT.
Kata Kunci : Predator, Parasitoid, pathogen,Pengendalian Hayati. PHT
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
27
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pengendalian
hayati
sebagai
komponen utama PHT pada dasarnya
adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan
populasi
hama
yang
merugikan.
Pengendalian
hayati
sangat
dilatarbelakangi
oleh
berbagai
pengetahuan dasar ekologi terutama teori
tentang
pengaturan
populasi
oleh
pengendali alami dan keseimbangan
ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas
parasitoid,
predator
dan
patogen
merupakan pengendali alami utama hama
yang bekerja secara "terkait kepadatan
populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan dan perkembangbiakan
hama. Adanya populasi hama yang
meningkat
sehingga
mengakibatkan
kerugian ekonomi bagi petani disebabkan
karena keadaan lingkungan yang kurang
memberi kesempatan bagi musuh alami
untuk menjalankan fungsi alaminya.
Apabila musuh alami kita berikan
kesempatan berfungsi antara lain dengan
introduksi musuh alami, memperbanyak
dan melepaskannya, serta mengurangi
berbagai dampak negatif terhadap musuh
alami, musuh alami dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik.
Meskipun praktek pengendalian
hayati telah dilakukan ratusan tahun yang
lalu di daratan Cina, pengendalian hayati
yang pertama kali didokumentasikan ialah
pada tahun 1762, ketika burung Mynah
dibawa dari India ke Mauritius untuk
memangsa hama belalang. Secara ilmiah
keberhasilan pengendalian hayati pertama
yang tercatat adalah pengendalian hama
kutu berbantal pada kapas Icerya purchasi
di California, Amerika Serikat dengan
mengintroduksikan predator dari Australia
yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis
pada tahun 1888. Setelah keberhasilan
tersebut kemudian ratusan jenis hama telah
berhasil dikendalikan dengan cara hayati.
Banyak hama di Indonesia berhasil
dikendalikan dengan memasukkan musuh
alami terutama sebelum tahun 1950-an
sewaktu
pestisida
belum
banyak
digunakan oleh petani. Salah satu jenis
hama adalah hama belalang pedang Sexava
sp yang menyerang kelapa yang dapat
berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur
Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara.
Juga hama ulat daun kubis (Plutella
xylostella) di Jawa Barat berhasil
dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp.
Introduksi parasitoid telur Chelonus sp
dari wilayah Bogor ke Flores untuk
mengendalikan ngengat mayang kelapa
(Batracedra spp). Pembiakan massal
parasitoid telur Trichogramma spp dan
lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis)
sangat membantu mengendalikan serangan
penggerek batang tebu pada tahun 1972.
Selanjutnya
pada
1975
telah
diintoduksikan
kumbang
moncong
Neochetina eichhorniae dari Flores ke
Bogor untuk pengendalian eceng gondok.
Introduksi
kumbang
Curinus
coreolius dari Hawai dilakukan untuk
mengendalikan hama kutu loncat lamtoro
Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun
1950 sampai 1970an pengendalian hayati
pamornya berkurang akibat penggunaan
pestisida kimia yang sangat dominan di
seluruh dunia.
Sebagai sasaran teknologi PHT
adalah : 1) Peningkatan produksi
pertanian, 2) Peningkatan penghasilan dan
kesejahteraan petani, 3) Populasi OPT dan
kerusakan tanaman tetap pada aras secara
ekonomi tidak merugikan dan 4)
Pengurangan
resiko
pencemaran
Lingkungan akibat penggunaan pestisida
yang berlebihan (Anonim, 2004).
Konsep PHT muncul dan berkembang
sebagai koreksi terhadap kebijakan
pengendalian hama secara konvensional,
yang sangat utama dalam manggunakan
pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan
penggunaan pestisida oleh petani yang
tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini
dapat meningkatkan biaya produksi dan
mengakibatkan dampak samping yang
merugikan terhadap lingkungan dan
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
28
kesehatan petani itu sendiri maupun
masyarakat secara luas.
Akhir-akhir ini disadari bahwa
pemakaian pestisida, khususnya pestisida
sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik
manfaatnya yang besar bagi peningkatan
produksi pertanian, terselubung bahaya
yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri,
bahaya pestisida semakin nyata dirasakan
masyarakat, terlebih akibat penggunaan
pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian
berupa
timbulnya
dampak
buruk
penggunaan
pestisida,
dapat
dikelompokkan atas 3 bagian: (1).
Pestisida berpengaruh negatip terhadap
kesehatan
manusia,
(2).
Pestisida
berpengaruh buruk terhadap kualitas
lingkungan,
dan
(3).
Pestisida
meningkatkan perkembangan populasi
jasad penganggu tanaman. Di Kota
Langsa, khususnya di Desa Alue Merbau,
Kecamatan Langsa Timur, merupakan
daerah yang masih banyak sekali terdapat
beberapa jenis musuh alami yang diketahui
dapat menjaga keseimbangan ekosistem,
akan tetapi akhir-akhir ini musuh alami
tersebut makin berkurang dan jarang untuk
dapat ditemui lagi, sebagai missal ada
beberapa jenis spesies burung, dan juga
serangga yang dikenal sebagai pengendali
alami hama serangga, saat ini sulit
diketemukan dan mungkin saja sedang
menuju
kepunahan.
Salah
satu
penyebabnya adalah akibat pengaruh
buruk pestisida terhadap lingkungan, yang
tercemar melalui rantai makanan.
Dari uraian diatas maka penulis
tertarik untuk mengangkat judul penulisan
dengan judul:”Pengendalian Hayati
(Biological Control) sebagai Salah Satu
Komponen
Pengendalian
Hama
Terpadu
(PHT)”
Penulisan
ini
merupakan salah satu bentuk penulisan
ilmiah dan diharapkan dapat memberikan
kontribusi kepada pemerintah, akademisi
dan masyarakat khususnya petani di Desa
Alue Merbau, tentang pengendalian hayati
yang ramah lingkungan.efektif, dan
efesien.
B. Tujuan penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk
memberikan
pemahaman
kepada
masyarakat petani di Desa Alue Merbau,
Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa,
tentang pentingnya pengendaliaan hayati,
sebagai suatu teknik pengendalian yang
ramah lingkungan, Efektif dan Efisien.
Pembahasan
A. Prinsip Pengendalian Hayati
Pengendalian Hayati merupakan
taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau
memanipulasikan musuh alami untuk
menurunkan atau mengendalikan populasi
hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan
Pengendalian Hayati sebagai pengaturan
populasi organisme dengan musuh-musuh
alami sehingga kepadatan populasi
organisme tersebut berada di bawah rataratanya
dibandingkan
bila
tanpa
pengendalian.
Ada beberapa ahli yang meluaskan
pengertian pengendalian hayati sebagai
usaha
pengendalian
hama
yang
mengikutsertakan
organisme
hidup.
Varietas tahan hama, manipulasi genetik,
dan penggunaan serangga mandul
dimasukkan sebagai bagian teknik
pengendalian hayati. Untuk selanjutnya
dalam kuliah kita gunakan pengertian
pengendalian hayati yang pertama.
Pengendalian Alami merupakan
proses pengendalian yang berjalan sendiri
tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh
manusia. Pengendalian alami terjadi tidak
hanya oleh karena bekerjanya musuh
alami, tetapi juga oleh komponen
ekosistem lainnya seperti makanan, dan
cuaca.
Pengendalian
hayati
dalam
pengertian ekologi didifinisikan sebagai
pengaturan populasi organisme dengan
musuh-musuh alam hingga kepadatan
populasi organisme tersebut berada
dibawah rata-ratanya dibandingkan bila
tanpa pengendalian.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
29
Menurut Untung (2006). Prinsip
pengaturan populasi organisme oleh
mekanisme saling berkaitan antar anggota
suatu komonitas pada jenjang tertentu juga
terjadi didalam agroekosistem yang
dirancang manusia. Musuh alami sebagai
bagian dari agroekosistem memiliki
peranan menentukan dalam pengaturan
dan pengendalian populasi hama. Sebagai
faktor yang bekerjanya tergantung dari
kepadatan yang tidak lengkap (imperfectly
density dependent) dalam kisaran tertentu,
populasi
musuh
alami
dapat
mempertahankan populasi musuh alami
tetap berada disekitar batas keseimbangan
dan mekanisme umpan
balik negatif. Kisaran keseimbangan
tersebut dinamakan Planto Homeostatik.
Diluar plato homeostatik musuh alami
menjadi
kurang
efektif
dalam
mengembalikan
populasi
kearas
keseimbangan. Populasi hama dapat
meningkat menjahui kisaran keseimbangan
akibat bekerjanya factor yang bebas
kepadatan populasi seperti cuaca dan
akibat tindakan manusia dalam mengelola
lingkungan pertanian.
Menurut Jumar (2000). Pengendalian
hayati memiliki keuntungan yaitu : (1).
Aman
artinya
tidak
menimbulkan
pencemaran lingkungan dan keracunan
pada manusia dan ternak, (2) tidak
menyebabkan resistensi hama, (3) musuh
alami bekerja secara selektif terhadap
inangnya atau mangsanya, dan (4) bersifat
permanen untuk jangka waktu panjang
lebih murah, apabila keadaan lingkungan
telah
setabil
atau
telah
terjadi
keseimbangan antara hama dan musuh
alaminya.
Selain keuntungan pengendalian
hayati juga terdapat kelemahan atau
kekurangan seperti: (1) hasilnya sulit
diramalkan dalam waktu yang singkat, (2)
diperlukan biaya yang cukup besar pada
tahap awal baik untuk penelitian maupun
untuk pengadaan sarana dan prasarana, (3)
dalam hal pembiakan di laboratorium
kadang-kadang
menghadapi
kendala
karena musuh alami menghendaki kondisi
lingkungan yang kusus dan (4) teknik
aplikasi dilapangan belum banyak
dikuasai.
AGENS PENGENDALIAN HAYATI
Sebagai bagian kompleks komunitas
dalam ekosistem setiap spesies serangga
termasuk serangga hama dapat diserang
oleh atau menyerang organisme lain. Bagi
serangga yang diserang organisme
penyerang disebut "musuh alami". Secara
ekologi istilah tersebut kurang tepat karena
adanya musuh alami tidak tentu merugikan
kehidupan serangga terserang. Hampir
semua kelompok organisme dapat
berfungsi sebagai musuh alami serangga
hama termasuk kelompok vertebrata,
nematoda, jasad renik, invertebrata di luar
serangga. Kelompok musuh alami yang
paling penting adalah dari golongan
serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya
musuh alami atau agens pengendalian
hayati dapat kita kelompokkan menjadi
parasitoid, predator, dan patogen.
1. Parasitoid
Parasitoid adalah binatang yang
hidup di atas atau di dalam tubuh binatang
lain yang lebih besar yang merupakan
inangnya.
Serangan
parasit
dapat
melemahkan inang dan akhirnya dapat
membunuh inangnya karena parasitoid
makan atau mengisap cairan tubuh
inangnya. Untuk dapat mencapai fase
dewasa
suatu
parasitoid
hanya
memerlukan satu inang. Dengan demikian
parasitoid adalah serangga yang hidup dan
makan pada atau dalam serangga hidup
lainnya sebagai inang. Inang akan mati
jika perkembangan hidup parasitoid telah
lengkap.
Parasitoid merupakan serangga
yang memarasit serangga atau binatang
artropoda yang lain. Parasitoid bersifat
parasitik
pada
fase
pradewasanya
sedangkan pada fase dewasa mereka hidup
bebas tidak terikat pada inangnya.
Umumnya parasitoid akhirnya dapat
membunuh inangnya meskipun ada inang
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
30
yang mampu melengkapi siklus hidupnya
sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang
setiap instar serangga. Instar dewasa
merupakan instar serangga yang paling
jarang terparasit.
Oleh induk parasitoid telur dapat
diletakkan pada permukaan kulit inang
atau dengan tusukan ovipositornya telur
langsung dimasukkan dalam tubuh inang.
Larva yang keluar dari telur menghisap
cairan inangnya dan menyelesaikan
perkembangannya dapat berada di luar
tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau
sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai
endoparasitoid). Contoh
ektoparasit
adalah Campsomeris sp yang menyerang
uret sedangkan Trichogramma sp yang
memarasit telur penggerek batang tebu dan
padi merupakan jenis endoparasit. Fase
inang yang diserang pada umumnya adalah
telur dan larva, beberapa parasitoid
menyerang pupa dan sangat jarang yang
menyerang imago. Larva parasitoid yang
sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh
larva inang yang sudah mati kemudian
memintal kokon untuk memasuki fase
pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul
dari kokon pada waktu yang tepat untuk
kemudian meletakkan telur pada tubuh
inang bagi perkembangan generasi
berikutnya.
Parasitoid soliter merupakan
suatu
spesies
parasitoid
yang
perkembangan hidupnya terjadi pada satu
tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu
individu parasitoid. Contoh parasitoid
soliter antara lain Charops sp (famili
Ichneumonidae). Parasitoid gregarius
adalah jenis parasitoid yang beberapa
individu dapat hidup bersama-sama dalam
tubuh satu inang. Contoh parasitoid
gregarious adalah Tetrastichus schoenobii.
Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh
inang dapat banyak sekali.
Enam ordo serangga yang meliputi
86 famili anggota-anggotanya tercatat
sebagai parasitoid yaitu Coleoptera,
Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera,
Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun
dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu
Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili
dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak
mengandung
parasitoid
adalah
Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa
famili yang termasuk Chalcidoidea.
Sedangkan dalam ordo Diptera famili
Tachinidae merupakan famili yang
terpenting.
Tetrastichus
schoenobii
memiliki
kemampuan
memarasit
kepompong penggerek batang padi
bergaris, penggerek batang padi kuning
dan penggerek batang padi putih.
Apanteles artonae memarasit larva Chilo
sp dan Artona catoxantha. Pertanaman
pisang yang terserang Erionata thrax dapat
dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla
sp.
Parasitoid
Trichogrammatoidea
batrae-batrae cukup efektif memparasit
telur penggerek polong kedelai (Etiella
spp).
Keuntungan
atau
kekuatan
pengendalian hama dengan parasitoid
adalah:
a. Daya kelangsungan hidup ("survival")
parasitoid tinggi.
b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau
sedikit
individu
inang
untuk
melengkapi daur hidupnya.
c. Populasi parasitoid dapat tetap
bertahan meskipun pada aras populasi
yang rendah.
d. Sebagian besar parasitoid bersifat
monofag atau oligofag sehingga
memiliki kisaran inang sempit. Sifat
ini mengakibatkan populasi parasitoid
memiliki respons numerik yang baik
terhadap perubahan populasi inangnya.
Di samping kekuatan pengendalian
dengan parasitoid beberapa kelemahan
atau masalah yang biasanya dihadapi di
lapangan dalam menggunakan parasitoid
sebagai agens pengendalian hayati adalah:
a. Daya cari parasitoid terhadap inang
seringkali dipengaruhi oleh keadaan
cuaca atau faktor lingkungan lainnya
yang sering berubah.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
31
b. Serangga betina yang berperan utama
karena mereka yang melakukan
pencarian inang untuk peletakan telur.
c. Parasitoid yang memiliki daya cari
tinggi biasanya menghasilkan telur
sedikit.
Serangga predator dan serangga
parasitoid juga memiliki musuh alami
yang berupa parasitoid. Fenomena
serangga parasitoid menyerang parasitoid
lain
sebagai
inangnya
disebut
hiperparasitasi sedangkan parasitoid
tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila
kelompok parasitoid yang memarasit hama
disebut
parasitoid
primer
maka
kelompok
hiperparasitoid
disebut
parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder
masih mungkin diserang oleh parasitoid
tersier. Brachymeria sp yang menyerang
kepompong Charops sp merupakan salah
satu contoh hiperparasitasi. Adanya
parasitoid sekunder perlu diperhitungkan
dalam setiap usaha pengendalian hayati
dengan menggunakan predator atau
parasitoid.
2. Predator
Predator merupakan organisme
yang hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa binatang
lainnya. Apabila parasitoid memarasit
inang, predator atau pemangsa memakan
mangsa. Predator umumnya dibedakan
dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau
oligofag,
predator pada umumnya
mempunyai banyak inang atau bersifat
polifag meskipun ada juga jenis
predator yang monofag dan oligofag.
b. Predator umumnya memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar dibandingkan
mangsanya. Namun ada beberapa
predator yang memiliki ukuran tubuh
yang tidak lebih besar daripada
mangsanya, contohnya semut yang
mampu membawa mangsa secar
berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh
mangsa secara langsung sehingga
harus memiliki daya cari yang tinggi,
memiliki kelebihan sifat fisik yang
memungkinkan
predator
mampu
membunuh mangsanya. Beberapa
predator
dilengkapi
dengan
kemampuan bergerak cepat, taktik
penangkapan mangsa yang lebih baik
daripada taktik pertahanan mangsa,
kekuatan yang lebih besar, memiliki
daya jelajah yang jauh serta dilengkapi
dengan organ tubuh yang berkembang
dengan baik untuk menangkap
mangsanya seperti kaki depan belalang
sembah (Mantidae), mata besar
(capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya
parasitoid memerlukan hanya satu
inang umumnya fase pradewasa, tetapi
predator memerlukan banyak mangsa
baik fase pradewasa maupun fase
dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah
hanya serangga dewasa betina, tetapi
predator betina dan jantan dan juga
fase pradewasa semuanya dapat
mencari dan memperoleh mangsa.
f. Sebagian besar predator mempunyai
banyak pilihan inang sedangkan
parasitoid mempunyai sifat tergantung
kepadatan yang tinggi. Predator
memiliki daya tanggap rendah
terhadap perubahan populasi mangsa
sehingga fungsinya sebagai pengatur
populasi hama umumnya kurang
terutama untuk predator yang polifag.
Hampir semua ordo serangga
mempunyai spesies yang menjadi predator
serangga lain. Selama ini ada beberapa
ordo yang anggota-anggotanya banyak
merupakan predator yang digunakan
dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo
tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera,
Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera.
Beberapa famili predator yang terkenal
adalah kumbang kubah (Coleoptera:
Coccinellidae),
kumbang
tanah
(Coleoptera: Carabidae), undur-undur
(Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas
(Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk
panjang
(Orthoptera:
Tettigonidae),
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
32
jangkerik
(Orthoptera:
Gryllidae),
Kepinding air (Hemiptera: Vellidae),
Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae),
capung jarum (Odonata: Coenagrionidae),
semut (Hymenoptera: Formicidae) dan
dari golongan laba-laba harimau (Araneae:
Lycosidae).
Keberhasilan pengendalian hayati
memang sulit untuk diduga dan dianalisis
secara tepat karena kerumitan dan
dinamika agroekosistem. Predator dan
parasitoid mempunyai banyak kelebihan
dan kelemahan. Oleh karena itu untuk
meningkatkan keberhasilan pengendalian
hayati kedua agens tersebut harus
dimanfaatkan secara optimal berdasarkan
pada informasi dasar yang mencukupi
tentang berbagai aspek biologi dan ekologi
kedua kelompok agens pengendalian
hayati tersebut.
3. Patogen
Golongan mikroorganisme atau
jasad renik yang menyebabkan serangga
sakit dan akhirnya mati. Patogen adalah
salah satu faktor hayati yang turut serta
dalam mempengaruhi dan menekan
perkembangan serangga hama. Karena
mikroorganisme ini dapat menyerang dan
menyebabkan kematian serangga hama,
maka patogen disebut sebagai salah satu
musuh alami serangga hama selain
predator dan parasitoid dan juga
dimanfaatkan
dalam
kegiatan
pengendalian. Beberapa patogen dalam
kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi
faktor mortalitas utama bagi populasi
serangga tetapi ada banyak pathogen
pengaruhnya kecil terhadap gejolak
populasi serangga.
Penggunaan
patogen
sebagai
pengendali hama sejak abab ke-18 yaitu
pengendali hama kumbang moncong pada
bit gula, Cleonus punctiventus dengan
menggunakan sejenis jamur. Kelompok
serangga dalam kehidupan diserang
banyak patogen atau penyakit yang berupa
virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan
nematoda.
a) Bakteri
Bakteri yang biasa digunakan
adalah bakteri yang menghasilkan spora.
Bakteri yang menyerang serangga dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu
bakteri yang tidak membentuk spora dan
bakteri yang membentuk spora. Bakteri
penghasil spora merupakan bakteri yang
sangat penting yang saat ini banyak
digunakan sebagai insektisida mikrobia.
Contoh bakteri yang biasa digunakan
sebagai berikut. Cth - Bacillus popiliae
sebagai pathogen dari kumbang jepang
Popilie japonica dan kumbang skarabia
lainya – Bacillus thuringiensis sangat
efektif dalam mengendalikan larva dari
ordo Lepidoptera dan larva nyamuk.
b) Jamur
Jamur yang menginfeksi serangga
disebut Jamur Entopatogenik. Saat ini
telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur
entopatogenik dan sekitar 100 genera
jamur. Berbeda dengan virus, jamur
patogen masuk kedalam tubuh serangga
tidak melalui saluran makanan tetapi
langsung masuk kedalam tubuh melalui
kulit atau integumen. Setelah konodia
jamur masuk kedalam tubuh serangga,
jamur memperbanyak diri melalui
pembentukan
hife
dalam
jaringan
epicutikula, epidermis, hemocoel serta
jaringan-jaringan lainnya, dan pada
akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh
miselia jamur. Disamping itu juga ada
beberapa jamur yang dapat mempengaruhi
pigmentasi serangga dan menghasilkan
toksin yang sangat mempengaruhi
fisiologis serangga.
Penyebaran dan infeksi jamur
sangat dipengaruhi oleh beberapa factor
antara lain kepadatan inang, kesediaan
spora, cuaca terutama angin dan
kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin
kencang sangat membantu penyebaran
konidia dan pemerataan infeksi pathogen
pada seluruh individu populasi inang.
Contoh : jamur yang sering dipakai dalam
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
33
pengendalian dengan patogen jamur
adalah: Cth. Jamur Metarhizium anisopliae
digunakan untuk mengendaliakan hama
Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa
dan juga hama awereng hijau yang
meyerang tanaman padi.
c) Virus
Saat ini kurang lebih 1500 virus
telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi
dari serangga antropoda. Virus-virus
antropoda sebagian besar masuk dalam
genera
Nucleopolyhidrovirus,
Granulavirus, Iridovirus, Entomopoxvirus,
Cypovirus dan Nodavirus. Diantara ke-6
genera
ini
jenis
NPV
(Nucleopolyhidrovirus) merupakan genus
terpenting karena 40 % jenis virus yang
dikenal menyerang serangga termasuk
jenus ini. Selain NPV ada jenus lain yaitu
GV
(Granulavirus),
CPV
(Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan
kelompok lain yang lebih kecil jumlahnya.
Larva serangga terinfeksi oleh
virus umumnya melemah pada saluran
pencernaan makanan ini terjadi sewaktu
larva makan bagian tanaman yang
mengandung polyhidra.
d) Nematoda
Disamping virus, jamur dan bakteri
juga ada banyak spesies nematode yang
bersifat parasitik terhadap serangga hama,
baik yang bersifat parasit obligat maupun
fakultatif. Dari 19 famili yang menyerang
serangga Famili Mermithidae merupakan
famili yang paling banyak/terpenting
terdiri atas 50 genera dan 200 spesies.
Nematoda muda meninggalkan telur dan
masuk kedalam tubuh serangga melalui
kutikula dan masuk kedalam homocoel,
setelah berganti kulit beberapa kali maka
nematoda dewasa keluar dari tubuh
serangga, dan serangga mati sebelum atau
sesudan nematoda keluar.
Keuntungan
menggunakan
nematoda
entomopagen
adalah
kemampuan mematikan inang sangat
cepat, karena serangan nematoda akan
mengalami kematian dalam waktu 24-48
jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan
lemas terjadi penurunan aktivitas dan
terjadi perubahan warna tubuh menjadi
merah
kecoklatan
jika
terserang
Steinernema spp dan hitam jika terserang
Heterorhabditis spp. Nematoda akan
berkembangbiak dalam tubuh serangga
inang sampai menghasilkan keturunan
yang sangat banyak. Contoh nematoda
yang sering digunakan untuk pengendalian
hayati adalah: Nematoda Steinernema spp
dapat mengendalikan hama dari Ordo
Lepidoptera dan Coleoptera.
e) Protozoa dan Riketsia
Spesies-spesies protozoa yang
patogenik terhadap serangga pada
umumnya termasuk dalam sub kelompok
Mikrosporodia. Telah dikenal kurang lebih
250 spesies mikrospodia yang menyerang
serangga. Tiga jenis mikrosporodia yang
telah dikenal antara lain Nosema locustae,
N. Acridopagus dan N. Cuneatum telah di
jadikan sebagai agen hayati untuk
mengendalikan hama
belalang kususnya di Amirika.
Penyebaran mikrosporadia melalui
makanan dan dipindahkan dari induk yang
terinfeksi
keketurunanya.
Pengaruh
mikrosporodia terhadap kehidupan inang
relatif lambat dan gejala luarnya sangat
bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas
secara alami dapat menjadi factor
mortalitas yang penting bagi serangga
inangnya.
Jenis
rikettsia
banyak
menyerang kumbang. Kematian akibat
riketsia akan terjadi 1-4 bulan setelah
aplikasi atau lebih lama dibandingkan
kematian akibat agen hayati seperti jamur,
bakteri, nematoda dan virus. Contoh
Protozoa dan Rikettsia yang dapat dipakai
dalam pengendalian hayati adalah: Cth.
Cocodia mampu menginfeksi hama
gudang Tribolium confusum.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
34
C. Strategi Pengendalian Hayati
Teknik pengendalian hayati dengan
menggunakan parasitoid dan predator yang
dilakukan sampai saat ini dapat
dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu,
Konservasi, Introduksi, dan Augmentasi.
Meskipun ketiga teknik pengendalian
hayati tersebut berbeda tetapi dalam
pelaksanaanya sering digunakan secara
bersama.
a) Konservasi
Menurut Rukmana. dan sugandi,
(2002). Musuh alami mempunyai andil
yang sangat besar dalam pembangunan
pertanian berwawasan lingkungan karena
daya kendali terhadap hama cukup tinggi
dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan. Agar upaya ini dapat
berlangsung dan berkesinambungan secara
terus-menerus musuh alami perlu dijaga
kelestariaanya.
Melindungi
dan
mempertinggi populasi musuh alami yang
dapat digunakan sebagai pengendali hama
yang ada dialam baik sebagai parasitoid,
predator maupun patogen. Tujuannya
adalah menghindari tindakan-tindakan
yang dapat mengganggu kelestarian
populasi musuh alami misalnya dengan
memakai sistem tanam yang lebih
beraneka
ragam,
menanam
dan
melestarikan tanaman berbunga sebagai
makanan dari musuh alami, menekan
pemakaian pestisida yang berlebihan,
melestarikan tanman liar yang mendukung
inang alternatif parasitoid atau mangsa
alternatif predator.
Pelepasan musuh alami sebaiknya
dilakukan saat kondisi lingkungan
mendukung aktifitasnya, misalnya pagi
atau sore hari, sehingga saat kondisinya
lingkungan kurang mendukung seperti
cuaca panas, musuh alami telah
mempersiapkan diri untuk mengantisipasi.
Selain itu pelepasan dilakukan saat
populasi
hama
mulai
meningkat
meninggalkan batas keseimbangan alami.
1. Introduksi
Teknik introduksi atau importasi
musuh alami seringkali disebut sebagai
praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini
disebabkan karena pada tahap permulaaan
sebagian besar usaha pengendalian hayati
menggunakan teknik tersebut. Usaha
introduksi bertujuan untuk mencari musuh
alami hama tersebut di daerah asalnya
dan memasukkannya ke daerah baru. Di
daerah asal hama tersebut mungkin tidak
menjadi masalah bagi petani karena
populasinya telah
dapat diatur dan
dikendalikan oleh agens musuh alami
setempat.
Keberhasilan penggunaan teknik
introduksi dimulai dengan introduksi
kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari
benua Australia ke California untuk
mengendalikan hama kutu perisai Icerya
purchasi yang menyerang perkebunan
jeruk di California. Pada waktu itu
diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut
berasal dari benua Australia. Keberhasilan
teknik introduksi ini kemudian dicobakan
pada hama-hama lain dan banyak juga
yang berhasil baik secara lengkap,
substansial maupun parsial.
Di Indonesia pengendalian dengan
introduksi parasitoid yang berhasil antara
lain introduksi parasitoid Pediobius
parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920an ke Indonesia yang ditujukan untuk
pengendalian hama kumbang kelapa
Promecotheca reichei. Pada beberapa
daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat
mendekati 100%. Juga pemasukan
parasitoid Tetrastichus brontispae dari
pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara dapat berhasil menekan
populasi
hama
kelapa
Brontispa
longissima. Parasitoid telur Leefmansia
bicolor pernah dimasukkan dari pulau
Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid
Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke
pulau Flores untuk mengendalikan hama
bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven,
1981). Di Indonesia kasus yang paling
baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
35
introduksi predator Curinus coreolius dari
Hawaii untuk pengendalian hama kutu
loncat lamtoro Heteropsylla sp.
dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik
adalah:
a. Pelepasan Inokulatif
Keuntungan penggunaan pengendalian
hayati klasik dengan introduksi adalah:
a. Agens pengendalian hayati yang
dipilih biasanya sudah mengkhususkan
diri terhadap hama sasaran dan
tidak/sedikit berdampak negatif bagi
organisme lain,
b. Sekali telah menetap di suatu tempat,
agens pengendali tersebut akan
berkembang
sendiri
dan
tidak
diperlukan pemasukan yang berulangulang,
c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan
pengendalian hama lainnya baik oleh
petugas lapangan maupun petani,
d. Semua pihak diuntungkan baik petani
kaya maupun petani miskin,
e. Dari perhitungan manfaat dan biaya
(Benefit Cost) sangat menguntungkan
dibandingkan penggunaan pestisida.
Pelepasan musuh alami dilakukan
satu kali dalam satu musim atau dalam
satu tahun dengan tujuan agar musuh
alami
tersebut
dapat
mengadakan
kolonisasi dan menyebar luas secara alami
dan menjaga populasi hama tetap berada
pada aras keseimbangannya.
b. Pelepasan Suplemen
Pelepasan musuh alami dapat
dilakukan setelah dari kegiatan sampling
diketahui
populasi
hama
mulai
meninggalkan populasi musuh alaminya.
Tujuan pelepasan untuk membantu musuh
alami yang sudah ada agar kembali
berfungsi dan dapat mengendalikan
populasi hama.
c. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan
Massal
2. Augmentasi
Teknik augmentasi atau teknik
peningkatan
merupakan
aktivitas
pengendalian hayati yang bertujuan
meningkatkan jumlah musuh alami atau
pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai
dengan dua cara augmentasi yaitu pertama,
dengan melepaskan sejumlah tambahan
musuh alami ke ekosistem agar dengan
tambahan jumlah tersebut dalam waktu
singkat musuh alami mampu menurunkan
populasi hama. Cara kedua adalah dengan
memodifikasikan ekosistem sedemikian
rupa sehingga jumlah dan efektivitas
musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan
sejumlah
populasi
musuh alami di ekosistem secara teknik
augmentasi sebetulnya sama juga dengan
pelepasan musuh alami dengan teknik
introduksi.
Pelepasan periodik menurut Stehr
(1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk
tergantung pada maksud dan frekuensi
pelepasan serta sumber musuh alami yang
Pelepasan inundatif mengharapkan
agar individu-individu musuh alami yang
dilepas secara sekaligus dapat menurunkan
populasi hama secara cepat terutama
setelah ratusan ribu atau jutaan individu
parasitoid atau predator dilepaskan.
Pelepasan inundatif parasitoid sering
disebut penggunaan "insektisida biologi"
karena dalam hal ini musuh alami seakanakan diharapkan dapat bekerja secepat
insektisida kimiawi dalam penurunan
populasi hama.
D. Keterpaduan Dengan Komponen
PHT Lain
Sesuai dengan konsep dasar
Pengendalian Hama Terpadu (PHT),
pengendalian hayati memegang peranan
yang sangat penting karena pengendalian
ini sangat menentukan semua usaha teknik
pengendalian yang lain secara bersamaan
ditujukan untuk mempertahankan dan
memperkuat berfungsi dari musuh alami
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
36
sehingga populasi hama tetap berada
dibawah ambang ekonomi.
Pengendalian hama terpadu (PHT)
adalah pengendalian hama yang memiliki
dasar ekologis dan menyadarkan diri pada
faktor-faktor mortalitas alami seperti
musuh alami dan cuaca serta mencari
teknik pengendalian yang mendatangkan
gangguan sekecil mungkin terhadap
faktor-faktor tesebut. PHT menggunakan
pestisida
hanya
setelah
adanya
pemantauan populasi hama yang sistemis
dan
pemamtauan
musuh
alami
menunjukan diperlukannya penggunaan
pestisida.
Secara
ideal
program
pengendalian
hama
terpadu,
mempertimbangkan
semua
kegiatan
pengendalian hama yang ada. Dalam PHT
musuh alami, cara-cara bercocok tanam,
varietas tanaman, agensia mikrobia,
memanipulasi genetik, senyawa kimia
tertentu ( seperti sex attraktan/penarik
serangga kelamin tertentu ) dan pestisida
menjadi faktor tergabung dalam proses
pengendalian hama.
Prinsip dasar PHT bukan bertujuan
atau cara pengendalian melainkan suatu
metode ilmiah untuk mengendalikan hama
(OPT) agar secara ekonomis tidak
merugikan, dan untuk mempertahankan
kelestarian lingkungan. Untuk mencapai
Sasaran atau tujuan dari PHT yaitu :
Produktivitas pertanian mantap tinggi,
kesejahteraan petani meningkat, populasi
hama atau kerusakan yang ditimbulkannya
secara ekonomis tidak merugikan, kualitas
dan keseimbangan lingkungan terpelihara.
Selain sasaran dan tujuan, yang tidak kalah
penting adalah adanya Strategi PHT.
Strategi
Pengendalian
Hama
Terpadu yaitu dengan cara : Memadukan
semua teknik atau metode pengendalian
hama secara optimal baik secara ekologis
maupun secara ekonomis, pengendalian
hama ( OPT ) lebih menekankan pada :
cara-cara nonkimiawi ( budidaya tanaman
sehat dan pemanfaatan musuh alami).
Penggunaan pesticida selektif pada saat
populasi hama mencapai ambang ekonomi
atau abang pengendali hama OPT Selain
PHT ekologi ada juga teknologi PHT
dengan cara : Pengelolaan ekosistem
dengan cara bercocok tanam, penggunaan
varietas yang tahan hama OPT,
pengendalian secara fisik atau mekanik,
Pengendalian secara genetic (jantan
mandul), penggunaan pestisida secara
selektif, penggunaan
OPT
dengan
peraturan atau karantina.
KESIMPULAN
1. Didalam suatu ekosistem terjadi
hubungan timbal balik baik intra
maupun antarspesies, mekanisme
hubungan tersebut adalah predasi yang
kemudian akan disebut sebagai rantai
makanan.
2. Prinsip pengendalian hayati adalah
pengendalian serangga hama dengan
cara
biologi,
yaitu
dengan
memanfaatkan
musuh-musuh
alaminya( agen pengendali biologi ),
seperti predator, parasit dan patogen.
3. Pengendalian
hayati
memiliki
keuntungan dan kelemahan.
4. Dilihat dari fungsinya musuh alami
dapat
dikelompokkan
menjadi,
Parasitoid, Predator dan Patogen.
5. Parasitoid
dapat
digolongkan
berdasarkan fase tubuh inang yang
diserang: Parasitoid telur, Parasitoid
telur – larva, Parasitoid larva,
Parasitoid larva – pupa, Parasitoid
pupa, Parasitoid imago.
6. Predator adalah binatang atau serangga
yang memangsa serangga lain.
Predator merupakan organisme yang
hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa serangga
lain.
7. Patogen
adalah
golongan
mikroorganisme atau jasad renik yang
menyebabkan serangga sakit dan
akhirnya mati. Mikroorganisme yang
dapat menjadi patogen adalah virus,
bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan
nenatoda.
8. Pengelolaan ekosistem dengan cara
bercocok tanam, penggunaan varietas
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
37
yang tahan hama OPT, pengendalian
secara
fisik
atau
mekanik,
Pengendalian
secara
genetik,
penggunaan pestisida secara selektif,
Penggunaan OPT dengan peraturan
atau
karantina,
ini
merupakan
teknologi PHT.
DAFTAR PUSTAKA
_____, 2004. Pedoman Pengendalian
Penyakit Tugro Pada Tanaman
Padi. Direktorat Perlindungan
Pangan, Dirjen Tanaman Pangan
Deptan. Jakarta.
Chincholkar, S.B., 2007. Biological
Control Of Plant Disease.
Haworth Food & Agricultural
Products Press, New York,
London, Oxford.
Flint L. M dan Van den Bosch. R,. 2000.
Pengendalian Hama Terpadu,
Sebuah Pengantar. Kanisius.
Yogyakarta.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian.
Rineka Cipta. Jakarta.
Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama
Tanaman
dan
Teknik
Pengendaliaanya,Kanisius.Yogy
akarta.
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan
Hama Terpadu, Gajah Mada
University Press. Yoyakarta.
Van Driesche and Thomas, S.B.Jr. 2000.
Biological Control, Kluwer
Academic Publisher, Boston,
Dordrecht, London.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
38
Download