PENDAHULUAN Pada tanggal 6 Juli 1823

advertisement
PEMBATALAN SEWA TANAH DI VORSTENLANDEN
TAHUN 1823: KASUS KONTRA LEX REI SITAE
Harto Juwono
*)
Abstract
Land leasing is a crucial factor in history of Vorstenlanden. This phenomenon has
appeared since the early XIX century. In her history, the land leasing has been stopped as
Governor General G.A.G.P. Baron van der Cappelen published Staatsblad number 6 in
1823 that forbad the land leasing by Europeans in Javanese Vorstenlanden. The fact that
seen as one of factors which caused Diponegoro War was a result of the application of
two different legal systems: Western positive law and traditional common law. As both
were applied on the same object, the subject and object would be confused and they lost a
guidance for a legal action. Consequently, the conflict could not be avoided and the
subject revolted against the legality of formal decision. As the decision was published,
many people saw that Dutch colonial government did a breach of Javanese royal
authority and his legal system. It was a reason for Javanese noblemen to support
Diponegoro’s revolt against the Dutch.
Key words: land leasing, Vorstenlanden, colonial legal system
Abstrak
Persewaan tanah menjadi bagian penting dari perkembangan sejarah di Vorstenlanden.
Fenomena ini telah berlangsung sejak dekade kedua abad XIX. Sepanjang sejarahnya,
proses persewaan tanah pernah dihentikan, yaitu ketika Gubernur Jenderal G.A.G.P.
Baron van der Capellen mengeluarkan Staatsblad tahun 1823 no. 6 yang melarang
orang-orang Eropa menyewa tanah di wilayah kekuasaan raja-raja Jawa. Peristiwa
yang dianggap berperan bagi terjadinya Perang Diponegoro ini merupakan akibat dari
penerapan dua sistem hukum yang berbeda pada objek dan dalam konteks yang sama,
yaitu hukum positif dan hukum adat. Ketika keduanya diterapkan bersamaan di lokasi
dan pada objek yang sama, baik subjek maupun objek hukum akan menjadi kabur dan
kehilangan pedoman bagi pengambilan tindakan yang dianggap sah. Akibatnya,
benturan tidak dapat dihindari dan mengakibatkan pengingkaran terhadap keabsahan
keputusan yang diambil oleh pihak yang berwenang. Ketika keputusan pembatalan ini
dikeluarkan, banyak orang menganggap pemerintah kolonial Hindia Belanda
melakukan pelanggaran bukan hanya kewenangan raja Jawa melainkan juga terhadap
aturan hukum yang berlaku. Pandangan itu memberikan dasar legal bagi keterlibatan
banyak pemilik tanah pribumi dalam perlawanan Diponegoro.
Kata kunci: sewa tanah, vorstenlanden, hukum kolonial
PENDAHULUAN
Pada tanggal 6 Juli 1823 Gubernur
Jenderal G.A.G.Ph. Baron van der
Capellen mengeluarkan sebuah peraturan
yang pada prinsipnya melarang persewaan
tanah oleh orang-orang Eropa di wilayah
Vo r s t e n l a n d e n . L a r a n g a n i n i
menimbulkan kekecewaan di antara
khalayak publik, baik di antara penyewa
tanah maupun pemilik tanah. Kekecewaan
ini, terutama di kalangan para pemilik
tanah pribumi, memuncak dalam bentuk
dukungan mereka kepada Pangeran
Diponegoro, yang memulai
perlawanannya terhadap intervensi
kolonial Belanda di Yogyakarta pada
*) Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.
115
Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae
tanggal 22 Juli 1825. Sebagai akibatnya,
tim khusus yang dibentuk oleh pemerintah
di Batavia untuk menyelidiki latar
belakang perlawanan Diponegoro ini
mengajukan laporan. Dalam laporan
tersebut dikatakan bahwa faktor yang
sangat menentukan terjadinya perlawanan
r a k y at d i Vo r s te n l a n d e n a d a l ah
pembatalan persewaan tanah, karena para
bangsawan pemilik tanah yang kecewa
bergerak memimpin perlawanan.
Dalam historiografi Indonesia,
kondisi tersebut di atas dianggap sebagai
suatu kenyataan sejarah dan diakui
kebenarannya sebagai bagian dari proses
perlawanan Diponegoro. Hal itu terutama
bisa diterima apabila pendekatan politik
dan ekonomi diterapkan untuk
menganalisis dan merekonstruksi
peristiwa Perang Diponegoro yang
berlangsung antara 1825-1830 (van den
Kemp, 1897). Namun demikian, dalam
telaah lebih lanjut terdapat sejumlah aspek
yang perlu dicermati, khususnya bila
dilihat dalam konteks yang berbeda dari
pendekatan politik. Sejumlah pertanyaan
dapat dilontarkan di sini, terutama
menyangkut kewenangan van der
Capellen mengeluarkan keputusan yang
berlaku di wilayah yang tidak berada di
bawah kewenangan pemerintah kolonial.
Dilihat dari pendekatan hukum, dasar
yang melandasi keputusan van der
Capellen perlu dipertanyakan kembali,
khususnya keabsahan dari penerapan
kebijakan tersebut dan bagaimana
relevansinya dengan konteks hukum adat
yang berlaku di Kesultanan Yogyakarta. 1)
Melalui pendekatan ilmu hukum,
diharapkan akan diperoleh penjelasan
lebih jauh dan mungkin juga simpulan
yang berbeda dengan apa yang selama ini
dipahami dalam historiografi Indonesia.
DUALISME HUKUM
Dalam menganalisis peristiwa
pembatalan sewa tanah tersebut di atas,
1)
harus dilihat adanya tiga pihak yang
terlibat dalam hal ini. Pihak pertama
adalah pemerintah kolonial sebagai pelaku
pencabutan peraturan yang berdampak
pada pembatalan transaksi, pihak kedua
adalah pengusaha asing yang menjadi
penyewa tanah, dan pihak ketiga adalah
elit tradisional Jawa sebagai pemilik
sekaligus pihak yang menyewakan tanah.
Hubungan ketiganya memiliki
posisi yang berbeda. Jika penyewa dan
pemilik tanah terlibat dalam transaksi
yang sah secara hukum, karena masingmasing pihak melakukan aktivitas dan
transaksinya tanpa paksaan atau tekanan,
dan tidak melakukan pelanggaran atas
aturan hukum setempat yang digunakan,
pemerintah kolonial dalam hal ini
memiliki posisi yang unik. Ditinjau dari
aspek hukum, posisi pemerintah kolonial
seharusnya adalah yang paling lemah
mengingat dalam hal ini hubungan
pemerintah kolonial dan raja-raja di
Vorstenlanden hanya dijalin lewat
kontrak-kontrak politik.
Sejak Sultan Hamengku Buwono II
naik tahta di Kesultanan Yogyakarta pada
tahun 1792 dan juga Sultan Paku Buwono
IV di Surakarta memegang kekuasaan di
Kesunanan Surakarta pada tahun 1788,
pemerintah kolonial di Batavia lebih
banyak menggunakan kontrak politik
sebagai dasar hubungan antara mereka dan
kerajaan-kerajaan ini. Hal ini berbeda
dengan peristiwa sebelum kekuasaan
mereka yang lebih terikat dengan bentuk
perjanjian (ANRI No. 258). Dalam
kontrak politik, raja-raja Jawa harus
mengakui dan menerima petunjuk dari
Belanda dalam menjalankan kekuasaan
dan pemerintahannya. Namun, pasalpasal yang dimuat di dalamnya tidak
menyentuh persoalan hukum, khususnya
yang berkenaan dengan tanah-tanah.
Dilihat dari kondisi tersebut di
atas, bisa diduga bahwa pemerintah
kolonial sebenarnya hanya memiliki
Persewaan tanah ini berlaku di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta juga. Namun selain
kuantitasnya, sistem dan jatuh tempo yang berlaku di Kesultanan Yogyakarta berbeda daripada di
Kesunanan Surakarta sehingga menimbulkan dampak dan reaksi yang berbeda pada kedua kerajaan Jawa
ini.
116
: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2
Juli - Desember 2013: 100 - 219
pengaruh dan kewenangan atas sosok raja.
Pengikatan terhadap raja yang dimuat
dalam kontrak-kontrak politik mereka
juga dianggap sebagai ikatan hukum yang
kabur mengingat dalam kontrak tersebut
tidak dimuat apa konsekuensinya apabila
pasal-pasal di dalamnya dilanggar, baik
oleh raja-raja Jawa atau bahkan oleh
Belanda sendiri. Dengan demikian,
legalitas dari kontrak-kontrak tersebut
lebih menekankan pada pengaturan
hubungan diplomatik daripada ikatan
hukum dengan segala bentuk tindakan
hukum yang akan muncul sebagai akibat
dari penyimpangan atau pelanggarannya.
Melalui kerancuan kondisi tersebut
di at as , penyelesaian hukum d i
Vorstenlanden tidak bisa dilakukan
kecuali dengan pendekatan politik. Setiap
tindakan yang mengancam hak-hak orang
Eropa dianggap sebagai pelanggaran
kontrak politik meskipun tidak tercantum
pasal yang jelas di situ. Hukuman yang
diterapkan ditentukan menurut aturan
hukum Eropa walaupun ketentuan hukum
yang digunakan tidak ditegaskan.
Misalnya kasus perlawanan dan akhirnya
pembunuhan terhadap Raden Ronggo
Prawirodirjo, Adipati Mancanegara
Wetan, pada bulan Desember 1810 dan
diikuti dengan penurunan Sultan
Hamengku Buwono II dari tahta pada
bulan yang sama dan sekali lagi pada
bulan Juni 1812 menunjukkan bahwa
hukum yang dipakai pemerintah Eropa
adalah kontrak politik (Adams, 1931:
230).
Di samping sifat kabur dalam sistem
yuridis formal tersebut di atas, baik pada
ketentuan pasal-pasal kontrak maupun
pelaksanaannya, kontrak politik juga
memiliki kelemahan hukum ketika
diterapkan pada bidang per data,
khususnya di sektor agrobisnis. Selain
aneksasi agraria yang mewarnai kontrakkontrak politik pada awal abad XIX,
khususnya kontrak bulan Januari 1811 dan
Agustus 1812, tidak ada ketentuan yang
mengatur aspek perdata dalam kontrakkontrak tersebut. Dengan demikian, secara
de facto penguasa kolonial Eropa
mengakui keabsahan aturan hukum yang
117
dibuat dan diberlakukan pada wilayah
Vorstenlanden oleh raja-raja Jawa.
Ketika hubungan antara penguasa
Eropa dan raja-raja Jawa masih terbatas
pada aspek politik dan kekuasaan,
persoalan perdata tidak menjadi masalah
yang rumit. Kondisi ini berubah ketika
intervensi ekonomi mulai muncul akibat
aktivitas niaga para pemilik modal Eropa
di wilayah Vorstenlanden pada awal tahun
1820-an. Pengakuan secara de facto
terhadap situasi yang ada telah mengarah
pada prinsip Lex Rei Sitae. Untuk
memahaminya, konsep berikut ini
memberikan penjelasan,
The traditional conflict of laws rule for
determining the enforceability of a
transfer of property or a pledge of
securities effected in the direct holding
system is the lex rei sitae. Under the
rule, the validity of the transfer is
determined by the law of the place
where the security is located. The
principle was first applied to
immovables and those movables which
by their origin belong to the territory
(Bernasconi, 2007: 76).
Konflik kewenangan hukum tradisional
untuk menentukan pemberlakuan
pengalihan hak kekayaan atau janji
jaminan yang muncul dalam sistem
kepemilikan langsung disebut lex rei
sitae. Dalam aturan ini, keabsahan
pengalihan hak ditentukan oleh hukum
di tempat jaminan berada. Prinsip ini
pada mulanya berlaku bagi barang yang
tidak bergerak dan kemudian barang
bergerak menurut asal-usul wilayah
pemiliknya.
Dari konsep di atas, tampak bahwa
lex rei sitae merupakan hukum atau aturan
yang berlaku di suatu tempat di mana
benda atau barang yang disengketakan
berada. Dalam kasus tanah sebagai barang
tidak bergerak (inmovable), aturan hukum
tempat tanah berada seharusnya menjadi
pedoman untuk mengatur semua transaksi
yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Ketika tanah itu berada di wilayah
Vo r s t e n l a n d e n , b a i k m i l i k r a j a
( vor stdo mein ) atau milik rakyat
( volksdomein ), aturan hukum yang
berlaku seharusnya adalah hukum rajaraja Jawa.
Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae
PERUBAHAN HUKUM ADAT
Setelah pengambilalihan koloni
Hindia Timur pada tanggal 16 Agustus
1816 dari Letnan Gubernur Jenderal
Inggris John Fendall kepada Komisaris
Jenderal Belanda, kekuasaan Belanda
kembali ditegakkan di wilayah Nusantara.
Semua yang dikuasai Inggris pada bulan
September 1811, sesuai dengan isi
Kapitulasi Tuntang, dikembalikan kepada
Belanda. Oleh karena itu, kekuasaan
Belanda diberlakukan juga di Jawa,
sementara hubungan dengan raja-raja
Jawa tetap dipertahankan seperti ketika
berada di bawah kekuasaan Inggris
(Brascamp, 1921: 1022; Fillet, 1895: 267270).
Bertolak dari kondisi tersebut,
daerah-daerah yang dianeksasi di bawah
pemerintahan Raffles dari raja-raja Yogya
dan Solo praktis menjadi hak dan
kewenangan pemerintah Hindia Belanda.
Begitu juga dengan jabatan residen yang
mewakili pemerintah Inggris di kedua
kuthagara digantikan oleh para pejabat
Belanda (ANRI, 1808). Mereka memiliki
status yang sama yaitu sebagai wakil
pemerintah di Batavia dengan tugas utama
untuk mengawasi pelaksanaan kontrakkontrak politik yang dibuat sebelumnya,
memberikan nasehat kepada raja-raja
Jawa, dan mewakili kepentingan
pemerintah Eropa di Vorstenlanden.
Salah satu residen ini adalah Nahuys
van Burgst, seorang perwira angkatan
darat yang telah mengabdi di Hindia
Timur di bawah Marsekal Daendels dan
berpengalaman di Vorstenlanden. Sosok
ini lebih menunjukkan sebagai politikus
daripada perwira militer, dan sekaligus
seorang ekonom (Walderen-Rengers,
1947: 175). Nahuys menyadari bahwa
Hindia Timur tidak banyak mengalami
perubahan di bawah pemerintahan
Inggris, khususnya Vorstenlanden. Jadi,
pemerintahannya atas wilayah ini tidak
membawa masalah. Namun demikian,
justru persoalan terletak pada beban
negaranya yang mengalami defisit
anggaran sebagai akibat dari hilangnya
koloni selama enam tahun, sementara
ne g ar an ya s eda n g dala m p ros es
pemulihan akibat peperangan di Eropa
(Lauts, 1866: 102).
Untuk itu, sebagai seorang pejabat,
Nahuys wajib memikirkan bagaimana
cara mengatasi krisis ekonomi dan
anggaran yang melanda pemerintahnya.
Selain itu, Nahuys juga memiliki koneksi
yang luas di kalangan para pengusaha
swasta di Belanda, yang terpaksa
menganggur karena investasinya harus
ditarik sebagai akibat perang. Ketika
menerima jabatan sebagai residen di
Yogyakarta, Nahuys telah mendengar
sejumlah keluhan dari rekan-rekan
pengusahany a mengenai p eluang
melakukan investasi di tanah koloni (den
Doel, 1996: 42).
Mengingat sistem yang diterapkan
oleh Komisaris Jenderal, yang didominasi
oleh G.A.G.P. Baron van der Capellen,
lebih menyukai dominasi dan eksploitasi
oleh negara di sektor ekonomi daripada
menyerahkan lahan itu kepada swasta dan
pemerintah hanya bertindak sebagai
fasilitator, para pengusaha swasta ini
hampir tidak mendapatkan tempat untuk
melakukan investasi di tanah-tanah
pemerintah ( gouvernementlanden ).
Kecuali tanah-tanah partikelir yang telah
ada sejak era Daendels dan Raffles, praktis
tidak ada usaha investasi modal swasta di
sektor agraris (onderneming) yang bisa
dibuka di wilayah pemerintah.
Karena tekanan ini, para pengusaha
tersebut kemudian mendekati Nahuys
untuk mencari jalan keluar. Mengingat
Nahuys tidak memiliki hubungan dekat
dengan para Komisaris Jenderal, ia
menemukan solusi untuk menampung
tuntutan para investor swasta. Di mata
Nahuys solusi ini harus bisa memberikan
penyelesaian bagi sejumlah persoalan.
Pertama, investasi swasta juga harus
menguntungkan bagi keuangan negara
lewat setoran pajak atau penyisihan hasil
keuntungan penjualan produknya,
menguntungkan investor sendiri,
sekalig us memp er kaya keuangan
pribadinya sebagai seorang pejabat
pemerintah kolonial (Burgst, 1850: 116;
Burgst, 1835: 346).
Ketiga solusi itu kemudian dijumpai
118
: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2
Juli - Desember 2013: 100 - 219
oleh Nahuys dalam pembukaan lahan bagi
investasi agraria swasta di Vorstenlanden,
khususnya di Yogyakarta tempat ia
b er k ua s a. D e ng a n m en gg un a ka n
posisinya sebagai seorang pejabat Eropa
tertinggi di Kesultanan Yogyakarta,
Nahuys menjamin bahwa dirinya bisa
memengaruhi elite penguasa pribumi di
sana untuk menyewakan tanah-tanahnya
kepada para pengusaha swasta bagi
investasi perkebunan, dengan produk
tanaman tropis sebagai komoditi
utamanya. Kondisi ini dipermudah dengan
situasi politik di Kesultanan Yogyakarta,
yang disebabkan oleh kevakuman
kekuasaan akibat pemerintahan perwalian
(Soekanto, 1984: 20).
Akan tetapi, suatu kendala besar
dihadapi oleh Nahuys. Meskipun secara
politik ia berada dalam posisi dominan
untuk melakukan pemaksaan bagi
penerimaan investasi di kalangan para
pemegang apanage di Kesultanan
Yogyakarta, hukum yang mengatur proses
transaksi itu harus ada. Para investor
Eropa juga menuntut adanya jaminan
hukum dan kepastian kerja ketika
menyerahkan modalnya untuk menyewa
tanah serta untuk mengelola produktivitas
kebunnya dari resiko pelanggaran atau
pembatalan sepihak oleh para pemilik
tanah. Mengingat dalam hukum adat Jawa
yang selama ini digunakan untuk
mengatur masalah agraria di Yogyakarta,
yaitu Hangger Sadasa, tidak memuat
trans aks i s ewa- menyewa kecual i
peminjaman tanah, jaminan hukum itu
tidak bisa diperoleh. Situasi ini jelas
menimbulkan ragu-ragu di kalangan para
investor, yang berarti ancaman gagal
terhadap rencana Nahuys (Nes, 1850:
207).2)
Untuk mengatasi hal tersebut,
Nahuys kembali menggunakan
kepandaiannya sebagai seorang politikus.
Pada masa itu, tahun 1817-1818, Sultan
3)
Hamengku Buwono IV belum
memerintah sendiri dan pemerintahan
dipegang oleh para wali. Salah satu wali
yang dominan adalah K.G.P.A. Paku Alam
I, yang pernah berhutang budi karena
diselamatkan oleh Nahuys di Cirebon saat
akan dihukum mati oleh Daendels pada
tahun 1810. Melalui wali ini, dan dengan
dukungan Patih R.A. Danurejo IV, Nahuys
kemudian merancang upaya untuk
mengubah ketentuan dalam Hangger
Sadasa (Anon, 1844: 49).
Perubahan terjadi pada tanggal 4
Oktober 1818 dengan adanya beberapa
pasal yang memungkinkan transaksi
sewa-menyewa tanah dari para bangsawan
Jawa, khususnya pemegang apanage yang
dianggap subur, kepada investor swasta.
Di antaranya adalah pasal 20 sebagai
berikut (Anon, 1868, 1-16):
Over het verhuren en verpanden van
desas
Ook bij het verhuren en verpanden van
desas, zal men een behoorlijke
overeenkomst aangaan. Wanneer
daaruit geschillen onstaan zullen
dezelve even als in het voorgaande
artikel afgedaan worden.
Tentang persewaan dan penggadaian
desa
Juga dalam persewaan dan
penggadaian desa-desa, orang
hendaknya membuat suatu
kesepakatan yang sewajarnya. Ketika
dari situ sengketa muncul, hal itu akan
diselesaikan seperti pada pasal
sebelumnya.
Selanjutnya juga pasal 21,
Over het verpachten, verhuren of
verpanden van landen
Zonder schriftelijke overeenkomst
Wanneer desas zonder schriftelijke
overeenkomst verpacht, verhuurd
of verpand worden en daarover
geschillen ontstaan, zullen dezelve
zoo veel doenlijk beslist worden,
maar dan verbeuren beide partijen
Hal ini disebabkan karena dalam konsep Jawa terdapat pengertian adol sende, dari kata disendekake atau
disandarkan. Jadi maksudnya di sini adalah menitipkan atau mungkin dalam pengertian modern
menggadaikan dan menjaminkan. Namun pengertian sewa tidak pernah ada pada orang Jawa tampak dari
istilah adol yang lebih menekankan menjual.
119
Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae
eene boete door de overheat te
evenredigen.
Tentang pemborongan, penyewaan
atau penjaminan tanah-tanah tanpa
kesepakatan tertulis
Ketika desa-desa tanpa
kesepakatan tertulis diborongkan,
disewakan atau dijaminkan dan
sengketa tentang hal itu terjadi,
begitu banyak yang perlu
diputuskan, tetapi kedua pihak
harus menanggung denda sama
seperti yang diputuskan oleh
penguasa.
Dari kedua pasal tersebut di atas,
jelas bahwa peluang bagi persewaan tanah
terbuka lebar dari pihak para penguasa
pribumi. Hal ini telah dijamin oleh Nahuys
dan disampaikan kepada para calon
investor (ANRI, 1818).3)
Untuk memperkuat posisi para
investor ini, Nahuys kemudian
melaporkan semua hasil kerjanya kepada
pemerintah di Batavia dan mendesak
Komisaris Jenderal agar memberikan izin
sekaligus jaminan bagi investasi modal
swasta di Vorstenlanden. Atas tanggungan
Nahuys bahwa kehadiran mereka tidak
akan membahayakan dan justru akan
meningkatkan produksi tropis yang tidak
mampu dilakukan sendiri oleh pemerintah
kolonial, pada tanggal 22 Desember 1818
Komisaris Jenderal menerbitkan Resolusi
yang mengijinkan para pemilik modal
swasta melakukan transaksi persewaan
tanah dan investasi di sektor perkebunan.4
)
Dengan diterbitkannya Resolusi itu,
pada awal tahun 1819 sejumlah investor
swasta masuk ke wilayah Kesultanan
Yogyakarta dan melakukan transaksi, atas
perantaraan Nahuys dan Patih Danurejo
IV,5) dengan sejumlah bangsawan pemilik
3)
tanah apanage . Mereka melakukan
persewaan selama jangka waktu antara 1015 tahun dengan dibayar di muka,
setidaknya uang muka separuh dan
sebulan kemudian dilunasi. Dengan
proses ini, tanah-tanah apanage yang
sebelumnya merupakan lahan pertanian
padi dan tanaman pangan untuk memasok
kebutuhan para patuh berubah menjadi
lahan perkebunan tanaman tropis terutama
kopi (Anon, 1909: 227).
Di samping kesuburan tanah yang
menjadi pesona tersendiri sebagai daya
tarik bagi para pemilik modal, Nahuys
mempromosikan pesona lain pada tanahtanah apanage ini. Pesona ini adalah
sistem yang berlaku, yaitu hubungan
patron-klien dengan ikatan feodal sebagai
fondasinya. Di bawah kekuasaan para
patuh, petani atau cacah yang menghuni
dan ikut menikmati hasil tanah-tanah
apanage wajib bukan hanya menyetorkan
hasilnya tetapi juga tenaganya untuk
kepentingan tertentu dari para patuh
(ANRI, 1825; Haspel, 1985: 14). Dengan
persewaan tanah, persembahan ganda
dialihkan dari patuh kepada pengusaha
swasta, sesuatu yang mirip dengan sistem
Preanger Stelsel oleh pemerintah di
wilayah Priangan.
Ketika wilayah Kesultanan
Yogyakarta telah dipenuhi oleh petakpetak tanah sewaan, sejumlah investor lain
yang tidak mendapatkan kesempatan
berinvestasi di Yogyakarta mendesak
Nahuys untuk mencari peluang lain. Kini
pandangan Nahuys diarahkan ke
Surakarta. Akan tetapi, kondisi di
Surakarta berbeda, mengingat Sunan Paku
Buwono IV masih bertahta. Selain ia
m em er i nt ah l a ng s ung d an t i da k
Pada hari pengundangan Hangger Sadasa, Nahuys juga memprakarsai kesepakatan antara dua patih dari
Yogya dan Solo agar memberikan jaminan bersama bagi keselamatan dan kelancaran usaha para investor
di wilayah mereka.
Sebagai dasar dari keputusan ini adalah Staatsblad van Nederlandsch Indië over het jaar 1818 no. 67, yang
memberikan kepastian hukum bagi orang-orang Eropa untuk menanamkan modalnya dalam
pengembangan sektor perkebunan dan pertanian.
Sesuai dengan kesepakatan tanggal 4 Oktober 1818, peran Danurejo IV dalam hal ini sangat besar. Bahkan
Nahuys sendiri tidak mau membubuhkan persetujuannya apabila tidak terdapat cap dari patih
Yogyakarta ini dalam kontrak sewa tanah antara investor asing dan pemegang apanage. Periksa Van der
Kemp (1890: 150).
120
: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2
Juli - Desember 2013: 100 - 219
menggunakan perwalian, raja ini juga
dikenal sebagai anti-Eropa. Oleh karena
itu, Nahuys tidak mau berspekulasi untuk
membujuk Sunan PB IV bersedia
menerima investasi modal swasta Eropa di
wilayah kekuasaannya. Lebih-lebih pada
akhir tahun 1819 Sunan PB IV baru saja
berkonflik dengan Residen Solo Prehn
yang berakhir dengan pemindahan Prehn
dari jabatannya (ANRI, 1816).
Meskipun peristiwa itu dianggap
sebagai kemenangan Sunan, justru
kepergian Prehn memberi peluang bagi
Nahuys untuk bisa mendekati Sunan PB
IV. Hal ini dimungkinkan oleh hubungan
dekat Nahuys dengan panglima militer
Belanda di Jawa, Mayor Jenderal H.M. De
Kock yang berpengaruh pada Gubernur
Jenderal Baron van der Capellen. Oleh
karena itu kekosongan jabatan residen di
Solo segera dirangkap oleh Nahuys van
Burgst. Meskipun pada mulanya Nahuys
tidak banyak berbuat mengingat sikap
hati-hatinya terhadap Sunan dan
kesibukannya di Yogyakarta, kematian
Sunan PB IV dan penggantiannya dengan
Sunan PB V yang masih muda memberi
kesempatan Nahuys untuk bertindak
seperti di Yogyakarta (ANRI, 1820).
Langkah pertama adalah
mendekati wali Sunan, Pangeran Adipati
Aryo Buminoto, untuk merevisi Hangger
Sadasa seperti yang dilakukan di
Yogyakarta. Langkah ini berhasil
dilakukan sehingga pada akhir tahun 1820
Kesunanan Surakarta juga terbuka bagi
investasi modal swasta. Akan tetapi, para
bangsawan Surakarta, terutama Buminoto
dan Patih Sosrodiningrat II, lebih berhatihati daripada bangsawan di Yogyakarta
(ANRI, 1821). Mereka tidak menyewakan
tanah apanagenya dalam jangka waktu
lama melainkan tiap tahun yang terus
diperpanjang. Meskipun lahan yang
disewa lebih banyak daripada di
Yogyakarta, persewaan di Surakarta
cenderung terletak terpisah-pisah dan
tidak terkonsentrasi. Kedua faktor ini,
persewaan tahunan dan lokasi
perkebunan, membedakan karakter
dengan persewaan di Yogyakarta dan
kelak akan berpengaruh pada krisis politik
121
di Kesultanan Yogyakarta tahun 1825.
PEMBATALAN SEWA TANAH
Perkembangan persewaan tanah di
Vorstenlanden berlangsung dengan lancar.
Para investor, khususnya di Yogyakarta,
be rh as i l m en d ap at ka n a pa y an g
dibutuhkan dan melakukan penanaman
produk tropis. Mereka pada umumnya
m en an am t a n a m a n t r o p i s u n tu k
kepentingan pasaran dunia yang
memberikan prospek keuntungan jauh
lebih besar daripada tanaman domestik.
Produk kopi merupakan prioritas bagi
lahan yang sesuai untuk tumbuhnya
tanaman ini, karena kopi menjadi produk
dengan posisi penawaran tertinggi
dibandingkan yang lain.
Di Yogyakarta, yang persewaannya
berlangsung selama 10-15 tahun, periode
bagi produktivitas tanaman kopi menjadi
jauh lebih memungkinkan daripada di
Surakarta yang periodenya berlangsung
lebih singkat. Di samping itu, penanaman
yang berlangsung lebih dahulu di
Yogyakarta memungkinkan produksi
lebih awal diperoleh daripada di
Surakarta. Karena lokasinya di wilayah
ya n g d i l ua r k e ku a s a an h uk um
pemerintah, para pengusaha ini memiliki
kemampuan untuk langsung mengekspor
hasil perkebunannya ke pelabuhanpelabuhan di Batavia dan Semarang.
Hasil panen pertama yang dijual
pada akhir tahun 1822 telah membuat
pangs a pasar kopi internasional,
khususnya pemasaran bagi kopi tropis
Hindia, mengalami lonjakan. Harga kopi
internasional yang cukup tinggi telah
berhasil memberikan keuntungan bagi
produsen kopi, termasuk para pengusaha
penyewa tanah di Vorstenlanden .
Sementara para penyewa tanah di Solo
masih belum sempat memanen
produknya, para penyewa tanah di
Yogyakarta telah menikmati keuntungan
sehingga beberapa ada yang berpikir
untuk memperpanjang masa sewa mereka.
Begitu juga dengan para pemilik tanah
apanage yang menerima uang sewa tunai
segera bisa menikmati hasil dari
penguasaan tanahnya.
Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae
Akan tetapi, justru kondisi ini
menimbulkan dampak negatif pada pihak
yang tidak terlibat dalam persewaan itu,
yaitu pemerintah kolonial. Melimpahnya
produksi kopi dari Vorstenlanden dan
pemasarannya bersama dengan kopi
pemerintah telah membuat harga kopi di
pasaran dunia menurun mengingat jumlah
pasokan kemudian menjadi lebih banyak
daripada permintaan. Penurunan harga ini
membawa dampak pada perolehan
anggaran negara dari sektor perkebunan
terutama kopi, karena pemerintah masih
mengandalkan pada sistem lama yaitu
verplichte leverantie dan pembelian
produk wajib. Sementara itu, biaya
produksi oleh para pengusaha swasta di
Vorstenlanden bisa ditekan dengan
memanfaatkan sistem ikatan primordial
yang berlaku di tanah-tanah sewaan
apanage.
Meskipun tidak menderita kerugian,
jumlah penerimaan yang tidak sesuai
dengan target memengaruhi defisit
anggaran belanja negara. Untuk itu, pada
awal tahun 1822 Gubernur Jenderal van
der Capellen memerintahkan Direktur
Keuangan H.J. van der Graaff untuk
melakukan penyelidikan terhadap hal ini
(ANRI, 1823). Hasil penyelidikan van der
Graaff yang laporannya diajukan pada
tanggal 23 Maret 1822 menunjukkan
bahwa penyebab berkurangnya
pemasukan adalah turunnya harga kopi di
pasaran dunia, akibat pasokan dan
kompetisi kopi dari Vorstenlanden
terhadap produksi kopi pemerintah
(ANRI, 1822).
Atas usul Van der Graaff, Baron van
der Capellen kemudian
m em pe r t i mb an gk an p en g a mb il a n
tindakan yang tepat. Risiko teguran dari
Raja Willem II yang memercayakan
produktivitas koloni Hindia Belanda
6)
kepadanya membuat van der Capellen
memutuskan untuk mengakhiri kondisi
ini. Oleh karena itu, dengan
memanf aatkan pos isinya sebagai
penguasa tertinggi tanah koloni dan wakil
Raja Belanda di Hindia Belanda, van der
Capellen melarang orang-orang Belanda
melakukan persewaan tanah di
Vorstenlanden pada bulan Mei 1823.
Banyak pihak yang menunjukkan
reaksi terhadap keputusan ini. Pertamatama tentu saja adalah mereka yang
terlibat langsung dalam persewaan tanah,
yaitu para penyewa tanah. Mereka merasa
bahwa modal mereka telah terlanjur
diinvestasikan pada sektor agraris dan
produksi yang mereka peroleh belum
mampu mengembalikan jumlah
modalnya. Oleh karena itu, kembali
melalui Nahuys, mereka menuntut agar
Baron van der Capellen mencabut
keputusan tersebut. Nahuys pada mulanya
mendesak van der Capellen untuk
melakukannya, tetapi setelah usaha itu
gagal Nahuys akhirnya meminta
pengunduran diri sebagai Residen
Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan,
kemudian ia tidak lagi mau tinggal di
Hindia Timur dan kembali ke Negeri
Belanda.6)
Dengan ditinggalkan oleh
patronnya, para penyewa tanah kemudian
mengajukan gugatan mereka langsung
kepada Raja Willem II. Raja Willem II
yang mendengar tuntutan ini kemudian
menyerahkan kepada Baron van der
Capellen untuk menyelesaikannya. Atas
saran van der Graaff, Van der Capellen
memaksa raja-raja Yogyakarta dan
Surakarta agar para pemilik tanah
apanage mengembalikan uang sewa yang
tersisa kepada para penyewa tanah untuk
mencegah terjadinya kerugian dalam
usaha (Spengler, 1863: 29-30).
Nahuys sendiri menyatakan bahwa apa yang dituduhkan oleh van der Graaff tidak benar termasuk
kecurigaan kolonisasi. Persewaan tanah di Vorstenlanden yang disponsori olehnya hanya merupakan
aktivitas modal swasta, yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah dan penduduk pribumi bila
diarahkan sesuai dengan tujuan negara. Dengan pemberdayaannya, modal swasta bisa menjadi kekuatan
ekonomi utama yang memperkuat fondasi keuangan koloni Hindia Belanda (Burgst, 1847: 13).
122
: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2
Juli - Desember 2013: 100 - 219
Bagi para pemilik tanah di
Surakarta, perintah ini tidak begitu
bermasalah karena persewaan yang
berlangsung hanya dibayar setiap tahun.
Akibatnya, jumlah uang yang diserahkan
kembali kepada para penyewa tanah tidak
ter lalu bes ar (Nes, 1 84 4: 134).
Sebaliknya, bagi para pemilik tanah di
Yogyakarta, hal ini mengakibatkan
terjadinya krisis di antara para pemilik
apanage. Mereka telah menggunakan
uang sewa yang ada dan tidak lagi mampu
mengembalikan tuntutan itu. Mengingat
tekanan dari pemerintah kolonial yang
begitu keras dan perintah raja untuk
mengembalikannya, banyak dari pemilik
tanah ini yang terjebak hutang, baik
kepada keraton maupun kepada kreditur
swasta, dengan bunga tinggi. Bagi mereka
yang berhutang kepada keraton, mereka
harus rela bahwa tanah apanagenya
diambil alih keraton dan jika
memungkinkan, mereka menerima jumlah
lahan yang jauh lebih kecil (dikenal
sebagai tanah pancasan).
PENUTUP
Fenomena persewaan tanah di
Vorstenlanden menunjukkan suatu kasus
yang menarik untuk dicermati. Dari aspek
politik, jelas jawaban bisa ditemukan
sebagai bentuk dominasi kekuasaan
kolonial pada penguasa pribumi Jawa,
meskipun dalam hal ini bentuk kekuatan
kolonial masih harus dibedakan antara
pemerintah Belanda dan kekuatan modal
swasta yang ironisnya saling berhadapan.
Dengan demikian tidak mungkin
menggambarkan suatu kondisi polarisasi
antara kekuatan kolonial dan kekuatan
pribumi dalam konteks ini.
Akan tetapi, dengan menggunakan
pendekatan ilmu hukum, simpulan
tersebut bisa dipertegas atau bahkan
sedikit berbeda. Pendekatan hukum akan
mengungkap bagaimana legalitas dari
tindakan atau kebijakan yang dijalankan
ol eh s al ah s atu p ih ak s eh in gg a
menimbulkan persoalan hukum yang
harus dicari solusinya berdasarkan nilainilai yuridis yang berlaku.
Seperti telah diungkapkan, dalam
123
peristiwa ini ada tiga pihak yang
berkepentingan : pemerintah kolonial,
penyewa tanah dan pemilik tanah. Dalam
transaksi sewa-menyewa tanah hanya dua
pihak yang berkepentingan langsung.
Meskipun Residen Nahuys memberikan
kesaksian, sifatnya adalah hanya
mengetahui tanpa ada hak pengesahan apa
pun. Justru pengesahan yang berlaku
adalah cap keraton, yang dalam hal ini
dipegang oleh Patih Danurejo IV. Hal ini
membuktikan bahwa kewenangan hukum
tertinggi dipegang oleh keraton, bukan
oleh pemerintah Batavia.
Bukti lain bahwa pemerintah di
Batavia tidak berwenang atas transaksi ini
adalah dalam persewaan tanah pemerintah
tidak memungut apapun, baik atas
transaksinya maupun produk yang
d i h a s i l k an n y a . K e t i d a k m a mp u a n
pemerintah kolonial untuk memungut
pajak, kecuali di pelabuhan ketika produk
itu diekspor, menegaskan tidak adanya
kewenangan pemerintah terhadap
transaksi persewaan tersebut. Tentu saja
kondisi ini menjadi sangat berbeda dengan
keputusan pemerintah untuk
membatalkan persewaan tersebut.
F ak t or ke d ua l ain nya ya ng
membuktikan kelemahan keputusan
pemerintah adalah penerapan prinsip lex
rei sitae, yaitu pemberlakuan hukum di
tempat transaksi berlangsung. Dalam
proses sewa-menyewa tanah tersebut,
hukum raja-raja Jawa yang dimuat dalam
Hangger Sadasa dinyatakan sebagai
aturan yang diberlaku kan unt uk
mengaturnya. Hal ini dipertegas dengan
pengesahannya oleh pihak Keraton
Yogyakarta lewat cap yang dipegang
patih. Dengan demikian, ketika van der
Capellen mengeluarkan keputusan,
meskipun dimuat dalam Staatsblad, ia
melakukan pelanggaran prinsip lex rei
sitae karena Staatsblad merupakan bentuk
perundangan yang berlaku di tanah
pemerintah, bukan di tanah raja-raja
(Vorstenlanden).
Dengan melihat dua pandangan
tersebut di atas, dalam hal ini bisa
dikatakan bahwa keputusan van der
Capellen untuk membatalkan persewaan
Pembatalan Sewa Tanah Di Vorstenlanden Tahun 1823: Kasus Kontra Lex Rei Sitae
t an ah , m e s k i p u n d e n g a n a l as a n
keterkaitannya pada individu penyewa
tanah, tetap dinyatakan tidak sah. Individu
sebagai kawula pemerintah hanya berhak
mendapatkan perlindungan, dan bukan
pada intervensi dalam urusan bisnisnya.
Dengan demikian kesimpulan dalam hal
ini bisa ditarik bahwa pemerintah kolonial
melakukan pelanggaran hukum terhadap
kewenangan raja-raja Jawa, dengan risiko
terjadinya Perang Diponegoro sebagai
bentuk hukumannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adams , L. 1931. “Geschiedkundige
aanteekeningen omrent de
Residentie Madioen.” Djawa, Jilid
XIX.
Anon. 1844. ”Overzicht van de
voornaamste gebeurtenissen in het
Djocjakartasche rijk sedert deszelf
stichting (1755) tot aan de einde van
het Engelsche Tusschenbestuur
( 181 5 ). Tijdch ri ft vo or
Nederlandsch Indië, Jilid IV
Anon. 1868. Korte Inhoud der Javaansche
wetboeken en beschrijving der
Javaansche gebruiken en
instellingen. Soerakarta: Jaspers &
Co.
Anon. 1909. ”Mr. C.T. als Minister van
Koloniën, in zijne veroordeeling van
het beleid der regeering van den
G ou ve r n eu r Bar on v an d er
Capellen.” BKI, Jilid 62
ANRI. 1773.
Punika serat pemut
menggah bumi pasiten Kanjeng
Sultan kadamel ing Semawis tahun
1773, bundel Yogyakarta no. 258.
ANRI. 1808. Ontwerp van een vast
ceremonieel van residenten aan de
hooven van Soerakarta en
Djocjakarta over het jaar 1808,
bundel Solo nomor 55/9.
ANRI. 1818. Contract tusschen den
rijksbestuurder van Soerakarta en
Djokjakarta, Sosrodiningrat en
Danoeredjo, 4 Oktober 1818,
bundel Solo nomor 371.
ANRI. 1819. Surat Komisaris Jenderal
Baron van der Capellen kepada
Residen R. Prehn tanggal 30
November 1819 nomor 73, bundel
Solo nomor 108.
ANRI. 1820. Extract uit het register der
handelingen en besluiten van den
secretaries van staat Gouverneur
Generaal van Nederlandsch Indië,
24 Maart 1820 no. 23, bundel Solo
nomor 109.
ANRI. 1821. Piagemboek aangelegd op
order van de waard. Residen Nahuys
1821, bundel Solo, nomor 481.
ANRI. 1822. Verhuurde gronden in de
Javasche Vorstenlanden over het
jaar 1822, Bundel Solo nomor 482.
ANRI. 1823. Surat Sekretaris Umum
Bousquet kepada Gubernur Jenderal
van der Capellen tanggal 14 Januari
1823, bundel Solo nomor 482.
ANRI.1825. Landverhuuring in
Vorstenlanden 1825, bundel Yogya
nomor 471
Brascamp, A.J.B. 1921. ”De contracten
van 1811 en 1812 met Soerakarta en
Djocjakarta.” Tectona, Jilid XIV
Burgst, G.B. Nahuys van.
1835.
Verzameling van Officiële rapporten
betreffende den oorlog op Java in de
jaren 1825-1830, eerste deel.
Deventer: M. Ballot.
Burgst, Baron Nahuys van. 1847.
Beschouwingen over Nederlandsch
Indië. ’s Gravenhage: Gebroeders
Belifante.
Burgst , Baron Nahuys van. 1850.
”Partikulier Landbezit op Java.”
Tijdschrift voor Nederlandsch Indië,
124
: Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 14, No.2
Juli - Desember 2013: 100 - 219
Jilid 1.
Doel, H.W. van den. 1996. Het Rijk van
Insulinde: opkomst en ondergang
van een Nederlandse kolonie.
Amsterdam: Prohemeus.
Fillet, P.W. 1895. De Verhouding der
Vorsten op Java tot de Ned. Indische
Regeering. ’s Gravenhage: Martinus
Nijhoff
Haspel, C.Cb. van den. 1985. Overwigt in
Overleg: Her vormingen van
Justitie, grondgebruik en bestuur in
de Vorstenlanden op Java 18801930. Dordrecht: Foris Publ.
Kemp, Ph. Van der. 1890. ”Het rapport van
den hoofdinspecteur van financieën
H.J. van der Graaff; dat aanleiding is
geweest tot de intrekking der
landverhuur in de Vorstenlanden.”
Tijdschrift van Nijverheid en
Landbouw in Nederlandsch Indië,
Jilid XLI.
Kemp, Ph. van der. 1897. De Economische
Oorzaken van de Java Oorlog van
1825-1830. ’s Gravenhage : M.
Nijhoff
Lauts, G. 1866. Geschiedenis van de
vestiging, uitbreiding, bloei en
verval van de magt der
Nederlanders in Indië, zesde deel.
Amsterdam: Frederik Muller.
125
Nes, J.F.W. van, “Landverhuur in de
Vorstenlanden” dalam Tijdschrift
voor Nederlandsch Indië, tahun
1850, jilid 2.
N e s , Wa l v a r e n v a n . 1 8 4 4 .
” Ve r h a n d e l i n g e n o v e r d e
waarschijnlijke oorzaken, die de
aanleiding tot de onlusten van 1825
en de volgende jaren en de
vorstenlanden gegeven hebben.”
Tijdschrift voor Nederlandsch Indië,
Jilid IV.
Sarcevic, Peter, and Paul Volken. 2007.
Yearbook of Private International
Law, Vol. III. Berlin: Kluwer Publ.
Soekanto. 1984. Hubungan Diponegoro
dan Sentot. Jakarta: Bina Aksara
Spengler, Johan Albert.1863. De
Nederlandsche Oost Indische
Bezittingen onder het bestuur van
den Gouverneur Generaal G.A.G.P.
Baron van der Capellen, 1819-1826.
Utrecht: Kemink en Zoon.
Staatsblad van Nederlandsch Indië over
het jaar 1818 no. 67
Walderen-Rengers, Daniel Wilco van.
1947. The failure of a Liberal
Colonial Policy, Netherlands East
Indies, 1816-1830. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Download