lsc insights - Indonesian Policy Review

advertisement
Published: March 2016
ISSN: 2502–8634
Volume 1, Number 9
LSC INSIGHTS
The Contemporary Policy Issues in Indonesia
SELAMAT DATANG ERA INTERDISIPLINER:
MERESPONS PERSILANGAN DISIPLIN
KEILMUAN DI INDONESIA
Zaid P. Nasution
School of Geography, University of Leeds
Ringkasan Eksekutif
Dalam tulisan ini, Zaid Perdana Nasution berargumen bahwa era perkembangan riset
dan pengetahuan di Indonesia sudah masuk pada era interdisipliner. Konsekuensinya,
menurut Zaid, perlu adanya beberapa respons dalam kebijakan pengembangan riset,
pendidikan tinggi, dengan (1) mendorong kolaborasi para ilmuwan eksakta-sains dan
sosial di Indonesia, dan (2) mendorong peneliti untuk menggeluti berbagai disiplin ilmu
dalam satu basis topik/isu.
www.policyreview.id
Pendahuluan
Pada suatu pertemuan American Association for the Advancement of Science (AAAS) di
Washington DC, pada 20 Februari 2010, di terdapat suatu sesi yang mendiskusikan
sejarah konsepsi dunia kecil (history of small world), salah satu konsep penting di
dalam Teori Jejaring Sosial (Social Network Theory), dengan menampilkan Profesor
Harrison White, seorang fisikawan yang belakangan mendalami sosiologi.
Pertanyaannya, mengapa seorang fisikawan bisa sampai diminta membahas sosiologi?
Prof. White mengawali karir akademiknya sebagai seorang fisikawan teoritis yang
mendalami tentang soild state physics di Massachussets Institute of Technology (MIT),
di awal tahun 1950an. Seperti kebanyakan fisikawan muda pada saat itu, dan juga saat
ini, ia segera menyadari bahwa banyak permasalahan besar dalam arus utama ilmu
fisika yang tak juga terselesaikan. Ratusan lulusan-lulusan pascarjana dan postdoktoral fisika yang cerdas dan ambisius di seluruh dunia, seperti juga dia, bekerja
keras siang-malam di laboratorium, berharap membuat lompatan terobosan baru
dalam ilmu fisika.
Hal itu sepertinya hanya mungkin akan terwujud jika anda lebih pintar dari yang
lainnya, bekerja lebih keras lagi, dan terkadang lebih beruntung mendapatkan ide
yang brilian pada saat yang tepat. Jika tidak, maka kesempatan anda untuk sukses
menemukan lompatan terobosan baru adalah tidak ada sama sekali. Semua fisikawan
muda mengalami dan menyadari ketiadaan harapan ini. Harrison pun mengerti
dengan keadaan itu dan juga menyadari hal yang sama. Hal yang membuat dia
menjadi tidak umum diantara para fisikawan lainnya pada saat itu adalah pilihannya
dalam merespon keadaan kebuntuan tersebut.
Pada tahun pertama kelulusan doktoralnya dari MIT, Harrison mengambil kuliah
tentang nasionalisme kepada Prof. Karl Deutsch, seorang ilmuan bidang politik, dan
menemukan hal tersebut begitu memikat. Selanjutnya, dengan dorongan dari Prof.
Deutsch, ia memutuskan untuk meninggalkan fisika dan berpaling kepada ilmu sosial.
Dengan mengambil beasiswa setahun dari Ford Foundation, ia kembali ke sekolah
pascasarjana di Princeton (salah satu kampus terbaik dunia lainnya) dan mendapatkan
gelar PhD keduanya, namun kali ini dalam bidang sosiologi. Ia kemudian mengajar
program-program matematika terapan dan melatih banyak sekali murid yang
belakangan menjadi tokoh-tokoh ilmuan sosiologi yang sangat berpengaruh di
generasi berikutnya.
Interdisiplinaritas: Persilangan Sains-Eksakta dan Ilmu Sosial
Satu dekade sebelum interdisipliner diterima di kalangan kampus dan agensi penyedia
dana beasiswa, Harrison White adalah contoh inti dari seorang saintis interdisiplin,
yang berupaya membentuk sosiologi dengan menggunakan teknik-teknik dari fisika
1
kontemporer. Berkaca pada cerita di atas, ada beberapa kecenderungan persilangan
antara sains-eksakta dan ilmu sosial.
Kecenderungan pertama, sosio-fisika. Salah satu perkembangan terkini dari sains
sosio-fisik ini dapat dilihat dari bukunya tokoh sosio-fisika dunia asal Perancis, Serge
Galam, pada bukunya: Sociophysics: A Physicist’s Modeling of Psycho-political
Phenomena, terbitan tahun 2012, dimana fisika sudah memasuki bidang ilmu sosial
lainnya, seperti sosiologi, psikologi maupun politik. Salah satu contoh aplikasi model
fisika di ilmu sosial yang sederhana barangkali adalah model perambatan bunyi atau
suara, yang bisa digunakan untuk melacak persebaran penyakit (di bidang
epidemiologi) maupun persebaran informasi/gossip (di bidang ilmu komunikasi).
Tentunya banyak model-model fisika lainnya yang juga relavan untuk aplikasi ilmu
sosial lainnya.
Kecenderungan kedua, ekonofisika. Gagasan interdisipliner ini tidak hanya
merambah sosiologi (sosiofisik), namun berkembang kepada ekonomi dengan
munculnya bidang ilmu ekonofisika, yang menggunakan sangat banyak model dan
formula fisika untuk aplikasi di bidang ekonomi. Mungkin hal ini sejalan dengan
pernyataan Prof. Yohanes Surya (tokoh ekonofisika dan olimpiade fisika dunia asal
Indonesia), di suatu kesempatan bedah buku Sains Kompleksitas di Jakarta pada tahun
2009, bahwa “Fisika memiliki sangat banyak model namun kurang data, sedangkan
ekonomi memiliki sangat banyak data namun miskin model”.
Sehingga, kita tak jarang menemukan fakta bahwa di pasar saham luar negeri, paling
tidak di AS, banyak pialang saham yang berlatar belakang ilmu fisika. Salah satu yang
terkenal adalah Nashim Nicholas Taleb., pengarang buku The Black Swan (Angsa
Hitam, 2010).
Kecenderungan Ketiga, “Science, Tecnology, and Society Studies”. Selain dunia
sains menggeluti dunia ilmu sosial, telah ada pula perkembangan ilmu sosial yang
menggeluti sains dan tenologi. Saat ini telah berkembang pula keilmuan Science and
Technology and Society Studies (STSS), dimana perkembangan sains dan teknologi
dijadikan objek kajian bagi ilmuan bidang social, seperti psikologi, sosiologi maupun
antropologi. Salah satu contoh sederhana aplikasi STSS, misalnya adalah kajian
tentang dampak psikologi, sosial maupun politik dari adanya teknologi digital.
Perkembangan STSS ini telah sangat luas di luar Indonesia, terutama di Amerika dan
Eropa.
Di Indonesia, upaya pendirian departemen semacam STSS ini pernah dicoba di
kampus ITB di sekitar tahun 2002-2003, melalui departemen Sosioteknologi, namun
belum bisa teralisasi. Penulis sempat terlibat dalam proses pendirian Departemen
tersebut.
2
Terkait STSS, meskipun di Indonesia belum ada dibuka secara resmi jurusan pada
bidang tersebut, paling tidak saat ini telah ada 2 (dua) tokoh STSS dunia asal
Indonesia, yakni Sulfikar Amir dan Merlyna Lim. Sulfikar, selain lulusan seni rupa, ia
juga seorang doktor lulusan Rensellaer Polytechniq Institute, New York, dan saat ini
menjadi dosen di NTU Singapore. Sedangkan Merlyna Lim, seorang arsitek, yang
kemudian doktor bidang dinamika social dari adanya teknologi informasi/komunikasi
di University of Twente, Belanda, dan saat ini menjadi Canada Research Chair di bidang
Media Dijital dan Masyarakat Global.
Namun demikian , kajian-kajian awal telah muncul sebagai diskusi di beberapa tokoh
ilmuan senior, paling tidak oleh Prof. Filino Harahap (Guru Besar Teknik Mesin ITB) dan
Romo Mangunwijaya (Arsitek dan Budayawan), yang bisa dilihat dari buku “Teknologi
dan Dampak Kebudayaannya (Mangunwijaya, 1983)”. Publikasi terkini di Indonesia
terkait STSS ini paling tidak dapat dilihat dari serial Sains, Teknologi dan Masyarakat,
terbitan Mizan, yang terbit sejak tahun 2000. Publikasi yang dipimpin oleh Dr. Sonny
Yuliar (Dosen Teknik Fisika ITB) ini terbit sebagai kerjasama antara Laboratorium
Kontrol Departement Teknik Fisika ITB, Studi Pembangunan ITB dan STMIK Bandung.
Kecenderungan keempat, studi kompleksitas. Salah seorang Fisikawan muda
lulusan cum laude ITB, Robi Muhammad, yang ketika mengambil Doctoral di USA,
bertemu dan berteman dengan Duncan Watss, akhirnya terjun ke ranah ilmu sosial,
yakni sosiologi. Saat ini Robi Muhammad mengabdi di Universitas Indonesia dan
mengajar bidang ilmu sosial. Selain itu, adapula Hokky Situngkir, seorang peneliti
muda peraih Bakrie Award 2011, yang juga merupakan Pimpinan Bandung Fe Institute,
The First Research University on Complexity in Indonesia, (www.bandungfe.net) yang
berlatar belakang Teknik Elektro ITB. Situngkir juga belakangan terjun ke bidang
sosiologi, politik, social network analysis, agent based modeling, evolutionary economic,
game theory, dan lainnya, dan memperkenalkan bidang ilmu yang masih sangat baru
di Indonesia, yakni kompleksitas, salah satu ilmu yang sangat mengakomodasi
gagasan interdisipliner.
Tidak heran jika kemudian jika Prof. Yohanes Surya menjuluki peneliti usia 37 tahun ini
sebagai Tokoh Sains Kompleksitas Dunia asal Indonesia –pujian yang beliau sampaikan
langsung ketika menyerahkan penghargaan Bakrie Awards kepada Hokky.
Dari Pengotakan Ilmu Ke Object Oriented Approach
Jadi, jika selama ini kita sudah cukup nyaman dengan pengkotak-kotakan ilmu
pengetahuan –dengan mengategorikan sesuatu dalam ranah IPA, IPS, Fisika, atau
Sosiologi— maka ada hal yang bisa dijadikan refleksi:
Pertama, perlu adanya upaya untuk menghargai perkembangan intelektual
seseorang yang sangat dinamis. Tentu saja, hal ini dilakukan sesuai dengan
refleksinya terhadap realitas dan perkembangan ilmu yang ada. Khusus bagi kalangan
3
akademik, pembatasan kreasi intelektual seseorang untuk mengambil berbagai bidang
ilmu atas nama liniearitas barangkali perlu dipertimbangkan kembali.
Kedua, apakah masih perlu kita mengkotak-kotakkan bidang ilmu dengan
sedemikian kakunya? Padahal, bukankah realitas sesungguhnya adalah utuh, holistik,
dan tidak terpotong-potong? Reduksi atas realitas oleh pemotongan berdasarkan
kacamata pengamat/penyelidik/ilmuan yang mengatasnamakan cara pandang ilmu
pengetahuan barangkali tidak lagi memberikan solusi yang baik.
Hal ini, dengan kata lain, memberikan satu peluang: inilah saatnya semua bidang ilmu
dan cara pandang berkolaborasi atas objek kajian yang sama, yaitu object oriented
approach. Sebagai contoh, river management, salah satu contoh bidang kajian
berdasarkan kesamaan objek yakni sungai (river). Di sini, akan dibutuhkan keahlian
hidrologi, ahli sedimentasi, ahli metereologi, ahli drainase sungai, ahli pemodelan
komputasi, ahli biota sungai, ahli antropologi terkait budaya masyarakat sepanjang
sungai, ahli perikanan sungai, atau ahli gizi dari ikan dan tumbuhan sungai. Kajian ini
juga akan membutuhkan ahli pemasaran produk turunan dari ikan dan tumbuhan
sungai, ahli limbah untuk menangani buangan industri sepanjang sungai, ahli sosiologi
dan kelembagaan masyarakat di sepanjang sungai, ahli hukum untuk pembuatan
aturan berkenaan dengan sungai dll.
Contoh lainnya, Water Governance, dengan mengusung konsep IWRM (Integrated
Water Resources Management), adalah salah satu pendekatan interdisipliner dalam
tata kelola air yang sedang menuju arus utama dalam tata kelola sumber daya air di
dunia. Banyak lembaga funding dan universitas yang membuka bidang kajian dengan
interdisipliner ini. Salah satunya adalah University of Queensland (UQ), Australia,
tempat penulis sempat mendapatkan pelatihan IWRM di tahun 2010. Kampus UQ ini
membuka program S2 IWRM, yang menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang
S1, dengan 50% pembelajaran dilakukan dengan penelitian di lapangan.
Saat ini di Indonesia, pola pendekatan IWRM ini sedang diujicobakan dalam
penanganan Sungai Citarum (Jakarta – Jabar) melalui projek ICWRMIP (Integrated
Citarum Water Resources Management Investment Program) yang dikerjakan oleh
Pemerintah Indonesia dengan bekejasama dengan berbagai NGO (Non-Government
Organization), yang didanai oleh Bank Dunia.
Bagaimana Arah Ke Depan?
Dari beberapa pemikiran di atas, ada pelajaran penting yang bisa diambil, yakni bahwa
semua bidang ilmu adalah penting dan tidak etis untuk menyatakan bahwa bidang
ilmu A lebih penting daripada bidang ilmu B, dan justru kolaborasi antar bidang ilmu
lah yang jauh lebih penting, terutama kolaborasi untuk suatu objek yang sama.
4
Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi problem ini. Pertama,
memperbolehkan setiap orang untuk menggeluti satu maupun beberapa bidang
ilmu. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mempersilahkan lulusan IPA
(matematika, computer science, dan kimia, fisika, teknik) untuk menggeluti ilmu sosial,
hukum maupun ekonomi dalam pendidikan lanjutannya, demikian juga sebaliknya,
dan demikian juga untuk antar bidang ilmu di dalam ilmu sosial. Hal seperti ini tidak
asing ditemui di universitas-universitas di Eropa, seperti ulusan Teknik Informatika
yang mengambil pendidikan Master di School of Music yang meneliti komputasi musik
atau lulusan Psikologi yang kemudian mengambil Master di School of Music untuk
meneliti efek musik terhadap psikologi anak.
Kedua, membuka jurusan-jurusan interdisipliner, bisa semacam Sains
Kompleksitas maupun STSS serta mengelolanya dengan pendekatan Object
Oriented Approached. Hal ini dapat dilakukan dengan mempersilahkan lulusan dan
berbagai bidang keilmuan yang berbeda untuk menggarap secara bersama objek atau
tema yang sama. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka program studi
pascasarjana interdisipliner berbasis objek spesifik, seperti water governance, river
management, palm oil management, harbor managment, hospital management, dan
mempersilahkan juga menggunakan pendekatan sains kompleksitas dan STSS terlibat
di dalam kajian-kajian tersebut.
Ketiga, secara lebih praktis, tampaknya perlu menempatkan interdisipliner, sains
kompleksitas dan STSS sebagai perspektif dalam tafsir aturan linieritas akademik
secara lebih proporsional. Sehingga, semangat interdisiplinaritas dalam disiplin
keilmuan di Indonesia bisa disesuaikan dengan UU No 14 tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Kedua UU tersebut
menyatakan bahwa kualifikasi akademik dan latar belakang pndidikan mestinya sesuai
dengan bidang tugas dan tidak selalu linear dengan latar belakang pendidikan.
Kabar lebih baik kemudian muncul setelah keluarnya Surat Edaran Dirjen Dikti tentang
Linieritas Bidang Ilmu Bagi Dosen. Secara praktis-administratif, tafsir terhadap aturanaturan linieritas dan rumpun ilmu tersebut dapat berimplikasi terhadap kaku atau
tidaknya aturan penerimaan mahasiswa pascasarjana dan aturan penerimaan dosen,
maupun aturan kenaikan pangkat dosen di Perguruan Tinggi. Implikasi yang lebih luas
adalah bahwa tafsir tersebut bisa membatasi perkembangan pengetahuan yang
mestinya sangat dinamis.
Zaid Perdana Nasution adalah Kandidat PhD di School of Geography, University of
Leeds, UK. Beliau menempuh studi S1 dan S2 di Institut Teknologi Bandung serta
mengajar di Universitas Sumatera Utara, Medan. Selain itu, ia juga terlibat dalam Kawal
Menteri, sebuah inisiatif online untuk mengawal pemilihan Menteri pada tahun 2014.
5
Download