TINJAUAN YURIDIS IMPLIKASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS BERAS TE SIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar MAGISTER HUKUM (M.H.) Oleh : MUMTAZ SORAYA NASUTION NPM : 6502020789 UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM PASCASARJAN A Jakarta, 2004 UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS IMPLIKASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS BERAS TESIS MAGISTER MUMTAZ SORAYA NASUTION NPM . 6502020789 Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai bagian Persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) pad~ Program Kekhususan Hukum Ekonomi Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta, 2004 Pembimbing, Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ~1::~ -. Prof. Hikmahanto Juwana, , LL.M., Ph.D. Prof. Erman Raj agukguk, SH, LLM, Ph.D. UNIVERSITAS INDONESIA Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Kekhususan Judul : Mumtaz Soraya Nasution 6502020789 Hukum Ekonomi "TINJAUAN YURIDIS IMPLIKASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN TERHADAP KET AHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS BERAS" Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar : MAGISTER HUKUM (MH) pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tangga123 Januari 2004 DEW AN PENGUJI : Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. Ketua Sidang I Pembimbing I Penguji Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH, M.H. Penguj i Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H. Penguji ABSTRAK Secara teoritis perdagangan internasional, ekspor dan impor, dapat menghasilkan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terlebih dalam era liberalisasi perdagangan dimana efisiensi dan persaingan yang sehat diharapkan mampu meningkatkan kepuasan masyarakat dengan mengkonsumsi barang yang lebih beragam secara efisien pada tingkat pendapatan tertentu. Demikian pula dari sisi ekonomi aktivitas ekspor dan impor akan mampu memberikan kesempatan kerja baru di bidang barang dan jasa yang selanjutnya dapat memacu perkembangan ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi ini berlaku secara timbal balik baik bagi negara importir maupun ekspotir. Sejak dirasakan sulitnya penyelenggaraan perekonomian nasional yang selalu bergantung pada meningkatkan ekspor migas sumber devisa. dan komoditi Kebijakan primer dalam ekonomi nasional rangka untuk diarahkan untuk meningkatkan keragaman ekonomi nasional, mengarah pada sektor industri yang berorientasi ekspor. Kita sadar bahwa proses kebijakan perdagangan, investasi, dan ekonomi disusun menjadi bagian integral pembangunan nasional, harus mempertimbangkan dilema industrialisasi dan pembangunan pertanian di dalam konstelasi global. Kesadaran masalah seperti ini perlu dijaga, agar para pemangku kepentingan (stake holders), yaitu pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta tidak terlena, sehigga tiba-tiba saja dikejutkan oleh permasalahan yang terlanjur berat dan membahayakan bagi ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Sementara persoalan ketahanan pangan nasional semakin kompleks terutama dalam masa transisi dan proses pemuliha:1 ekonomi dewasa ini, tidak semestinya rakyat ditambah kecemasan dengan informasi atau opini yang dipolitisir. Apalagi dikaitkan dengan perl<embangan General Agreement on Tariffs and Trade- GATT di dalam Putaran Urugay sejak sembilan tahun yang lalu. Bagaimanapun dan dalam kondisi apapun pemenuhan pangan yang mencukupi bagi setiap individu untuk dapat hidup sehat dan produktif harus menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. K.\T.A. PENGANTAR Puji syukur yang setinggi-tinggi penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penulisan tesis yang berjudul ''Tinjauan Yuridis lmplikasi Kebijakan Perdagangan lnternasional di Bidang Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Beras". Sehubungan dengan tema penelitian tesis ini, pada kesempatan pertama disampaikan terima kasih kepada Bapak DR. M. Husein Sawit, yang makalahnya berjudul "Gioba/isasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia" (tahun 2001) masih relevan untuk dikaji lebih jauh. Penulis dengan ijin dan dorongan beliau pula melakukan penelitian lebih mendalam dari segi tinjauan yuridis mengenai implikasi kebijakan perdagangan lnternasional di bidang pertanian terhadap ketahanan pangan Indonesia dewasa ini. Ternyata temuan penelitian lapangan saat ini tahun 2003 dengan situasi di tahun 2001 yang tertuang pada makalah tersebut atas kebijakan perdagangan intenasional di bidang pertanian, didapat suatu benang merah bahwa kebijakan yang ditempuh pemerintah masih kurang berpihak kepada kehidupan petani serta status negara agraris selama ini. Atas terselesaikannya tesis ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang selama ini membantu memberikan bimbingan, pengarahan, petunjuk dan menolong serta mendukung penulis dalam proses penyelesaian penyusunan tesis ini, maupun selama penulis menuntut ilmu pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Program Studi llmu Hukum- Fakultas Hukum Universitas Indonesia: II 1. Yang Terhormat, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., selaku dosen pembimbing penulls. Beliau telah membimbing, memperbaiki, dan mengoreksi dalam rangka penulisan tesis ini di tengah-tengah kesibukan dan jadwal kerjanya yang sangat padat. Atas kesediaan beliau menjadi pembimbing penulis dan memberikan masukan-masukan yang sangat berarti dalam rangka penyelesaian tesis ini dan sekaligus sebagai penguji pada saat penulis mempertahankan tesis ini dalam sidang di hadapan Dewan Penguji, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 2. Yang Terhormat, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., selaku dosen penguji. 3. Yang Terhormat, Dr. lnosentius Samsul, S.H., M.H., selaku dosen penguji. 4. Yang Tercinta, suami Tory Suryo Harninto dan anak Nadira Taufiqa, yang selalu memberikan pengertian, dukungan serta kesabaran, dan cintanya memotivasi penulis untuk menambah ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 5. Yang Tersayang, Kedua orang tua penulis, abang Doli dan abang Dion, yang selalu memberikan dukungan dalam segala hal, dan juga atas doa-doanya, sehingga penulisan tesis ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. 6. Yang Terhormat, Bapak lr. Rizky Ferianto, MA atasan penulis, selaku Direktur pada Direktorat Pertahanan dan Keamanan Bappenas yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil dan semangat dari awal keinginan penulis untuk meneruskan pendidikan S2 sampai terselesaikannya penulisan tesis ini sehingga berjalan dengan baik dan lancar. Tidak lupa terima kasih kepada rekan-rekan penulis pada Direktorat Pertahanan dan Keamanan 111 Bappenas atas pengertian dan dukungan selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesainya tesis ini. 7. Yang Terhormat Bapak Dr. lr. Arif Haryana, M.Sc dan Asriani, S.Sos rekan penulis pada Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas, yang telah banyak membantu ide penulisan ini dan selalu menjadi ternan diskusi dalam rangka penyusunan tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh daripada sempurna, sebagaimana pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa penulis masih membutuhkan masukan-masukan dan kritikan-kritikan yang membangun dari sidang pembaca sekalian. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan kepada para pembaca maupun bagi penulis sendiri. Jakarta, Januari 2004 Pen u I is, Mumtaz Soraya Nasution IV Daftar lsi AIJS . . f.I{AK .............................................................. .................................... i KA TA PENGANTAR ............... ............................................................... ... ... ii DAFT AR lSI .............................................................................................................................. 1 DAFT AR TABEL ....................................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3 I. I. 1.2. 1.3. 1.4. LA TAR BELAKANG ··················································································· ····················· 3 PERUMUSAN MASALAH ................................................................................... ............ II TUJIJAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN ........................................................................ I2 KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL ......................................................................... 13 1.5. 1.6. METODE PENELITIAN ··················································································· ··············· 34 SJSTEMATIKA PENULISAN ··················································································· ········ 35 BAB II PARADOKS DALAM LIBERALISASI PERDAGANGAN WTO ..................... 37 11.1. 11.2. 11.3. Il.4. Il.5. SUBSTANSI WTO ADALAH NEO-LIBERALISME ........................................................... 37 KESENJANGAN YANG TERABAIKAN DALAM LIBERALISASI PERDAGANGAN ................ 43 AGENDA Dl BALIK PENGARUH MULTINATIONAL CORPORATIONS- MNCS ................... 48 DALAM WTO, NEGARA BERKEMBANG PELAKU ATAU PECUNDANG .......................... 55 LIBERALISASI MENELIKUNG KONSTITUSI INDONESIA ................................................. 64 BAB Ill MENGKA.JI LIBERALISASI DI BIDANG PERTANIAN WT0 ....................... 66 Ill.1. ASPEK PERJANJIAN DI BIDANG PERTANIAN WTO ....................................................... 66 JTT.2. PELUANG DAN TANTANGAN P ARTISIPASI NEGARA BERKEMBANG DALAM PERJANJIAN Dl BIDANG PERTANIAN ................................................................................... ............. 76 111.3. IMPLEMENTASI PERJANJIAN DI BIDANG PERTANIAN WTO DI INDONESIA ................... 90 BAB IV KET AHANAN PANG AN INDONESIA DALAM KONTEKS WTO: KASUS BERAS .................................................................................................................... 109 IV.l. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN DAN PERBERASAN .............................................. 109 IV.2. UPA YA PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN .............................................. 123 IV.3. STRATEGI PENGENDALIAN IMPOR ............................................................................. 134 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN MENDATANG .......................... 146 v.1. KESIMPULAN .................................................................................. ........................... 146 V.2. SARAN KEBIJAKAN MENDATANG .............................................................................. 147 DAFT AR PUSTAKA ............................................................................................................. 152 Daftar Tabel Skema I-I Komponen GATT sebagai Sistem: Fungsi, Instrumen, dan Produk ........................ 25 Skema I-2 GATT sebagai Forum Negosiasi.. ............................................................................ 28 Skema I-3 Prosedur Penyelesaian Sengketa .............................................................................. 29 Tabel 11-1 Sejarah Sistem Perdagangan Dunia 1500- 1995 ...................................................... 41 Tabel 11-2 Nuansa De Javu antara Liberalisme Klasik dengan Neo-Liberalisme ..................... 43 Tabel III-I Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi Berdasarkan Angka-Angka ................. 72 Kotak I Special and Differential Treatment.. ............................................................................. 77 Tabel III-2 Penyesuaian Tarif Sejumlah Produk Pertanian AS ................................................. 80 Tabel IV-I Neraca Perdagangan Produk Pertanian Tahun 1997-2001 .................................... 112 Tabel IV -2 Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Komoditas Utama Tanaman Pangan ..... 113 Skema IV -1 Kerangka Sistem Ketahanan Pang an (Suryana, 2001) ........................................ 117 Tabel IV-3 Konsumsi Aneka Pangan dan Pola Konsumsi (glkaplhr) ..................................... 126 Tabel IV -4 Simulasi Program Aksi Komoditas (Jangka Pendek & Jangka Panjang ............... 131 Skema IV -2 Alur Domestic Support ........................................................................................ 144 Tabel V-1 Luas Area 0 anen, Rerata Hasil Panen dan Hasil Produksi Padi di Indonesia ........ 150 2 Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia. Namun hingga saat menjelang abad 21 dalam era globalisasi ini, ketika pengembangan teknologi oleh manusia begitu canggih mampu menguasai bio-teknologi 1 demi kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik. Akan tetapi mengapa kenyataan menurut Bank Dunia yang dikutip IRRI pada laporan tahun 1999 masih terdapat 840 juta manusia menderita kelaparan, 8 milyar orang kekurangan gizi, dan 1,3 milyar orang hid up di garis kemiskinan 2 . Masalah pangan telah lama menjadi perhatian (concern) para pengamat, praktisi dan akademisi. Kebutuhan pangan yang senantiasa meningkat, baik jumlah maupun mutu dan keragamannya, merupakan konsekuensi pertumbuhan penduduk. Bahkan Malthus (1798) dalam bukunya "An Essay on The Principle of Population", berkesimpulan bahwa pertumbuhan penduduk dunia mengikuti formula geometrik atau deret ukur, sedangkan pertumbuhan (produksi) pangan mengikuti formula aritmatik atau de ret hitung 3 . Artinya permasalahan pang an tidak sesederhana untuk menjawab pertanyaan dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup. 1 Bisnis yang menguntungkan di masa depan berkaitan dengan "industri ilmu pcngetahuan" yang mencakup farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetik. Bahan dasar industri ilmu kehidupan adalah bahan hayati, dan industri ini menerapkan pengetahuan hayati serta bioteknologi modem yang menghasilkan komoditi untuk diperdagangkan. Lebih lanjut: Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Glohalisasi dan Monopoli Pengetahuan: Telaah tentang TRIPS dan Keragaman llayati di !ndonesia,Cetakan Pertama,(Jakarta: INFID KONPHALINDO- IKG, 2002), hal.53-54. 2 IRRI Report 1998-1999, Rice and Hope, (IRRI, Manila, 1999). 3 Thomas Malthus, An Essay on The Principle of Population, (Middlesex: Pinguin Book Ltd, I 798). 3 Meski kesimpulan Malthus tersebut dianggap terlalu statis dan pesimis, karena tidak mempertimbangkan perkembangan teknologi, namun demikian sejumlah pakar masih juga mengkhawatirkan tentang kecukupan pangan. Hal ini pada tahun 1970-an diingatkan kembali oleh Lappe dan Collins (1977) dalam buku mereka berjudul "Food first: beyond the Myth of Scarcity" meminta pemerintah agar menempatkan pangan sebagai prioritas pertama. Menurut mereka tidak ada negara dapat mengefektifkan pengerahan tenaga atau pikiran secara optimal tanpa dukungan kecukupan pangan. Oleh karena itu setiap negara harus dapat memobilisasi sumberdaya untuk memproduksi pangan agar dapat terpenuhi keperluan sendiri, hal ini tidak diartikan setiap negara harus memproduksi semua jenis pangannya apalagi yang tidak sesuai dengan sumberdaya alam dan iklim 4 . Lebih lanjut Lappe dan Collins menegaskan bahwa setiap negara seharusnya mengutamakan kemampuan untuk memproduksi pangan. Tidak ada suatu negara yang mengalami kelangkaan absolut sumberdayanya untuk menghasilkan pangan. Karena kelebihan pangan di suatu negara tidak dengan sendirinya akan mengalir ke negara-negara berkembang yang banyak mengalami kelaparan, tetapi kaedah pasar lah yang mengatur aliran produk pangan terutama jatuh ke negara-negara lain yang punya devisa mampu membayar pada tingkat lebih tinggi walalupun di sana tidak ada orang lapar. Sejalan dengan pandangan Lappe dan Collins. Brown dalam tulisannya "Who will Feed China?" mengungkapkan bahwa di Cina telah terjadi konversi lahan yang berlebihan, pada tahun 2030 diperkirakan RRC akan membutuhkan 200 juta ton bijibijian per tahun bahan pangan penduduknya, padahal produksi dunia hanya mampu 4 F.M. Lappe and J. Collins, Food First: Beyond the Myth of Scarcity, (Boston-USA: Institute for Food and Development and Development Policies, Houghton Miffin Company, 1977). 4 mensuplai tidak lebih setengahnya 5 . Situasi ini akan bertambah gawat lagi jika permintaan bertambah dari negara-n6gara besar penduduknya seperti India dan Indonesia. Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 206 juta · pad a tahun 2000 dan terus tumbuh sekitar 1,49 persen per tahun (tambahan penduduk yang jumlahnya kurang lebih sama dengan penduduk Singapura, sekitar 3 juta). Upaya pemenuhan pangan di Indonesia merupakan pekerjaan sangat serius. Di lain pihak seperti di Cina dan negara-negara berkembang lain yang padat penduduknya. Terjadi pula di Indonesia, masalah pertambahan penduduk mendorong peningkatan konversi lahan pertanian menjadi pemanfaatan lahan untuk perumahan, tapak industri, dan prasarana lainnya. Demikian juga dengan sumberdaya modal dialihkan untuk memproduksi non-pangan misalnya elektronik, tekstil, sepatu, dan lain-lain. Persoalannya adalah apabila negara-negara berpenduduk padat seperti Cina, India, dan Indonesia tersebut harus bergantung pada pangan impor yang berlebihan (imported food trap), maka dikhawatirkan pasar dunia tidak akan mampu menyediakannya. Masalah kepadatan penduduk diperburuk dengan kondisi di mana sekitar 70% orang miskin berada di negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia di dalamnya. Permasalahan terus bertambah dengan semakin terbatasnya ketersediaan pangan di dalam negeri akibat dari degradasi lahan, konversi lahan produktif, serangan hama, dan penyakit serta kekeringan yang diakibatkan fenomena alam El Nino semakin kerap menimpa kawasan Asia, di samping berkurangnya investasi publik untuk meningkatkan pangan. Sehingga negara-negara berkembang tersebut 5 L.R. Brown, Who Will Feed China? The Wake-up Call for Small Planet, (The Worldwatch Environmental Alert Series). 5 sangat terbatas kemampuan impor pangan karena terbatasnya devisa, menimbulkan risiko kekurangan pangan tetap tinggi 6 . Ketergantungan yang berlebihan bagi pemenuhan kebutuhan pokok dari impor dapat membahayakan, karena secara politis menjadi sangat rentan menganggu · stabilitas nasional, dan berpotensi menggoyahkan kemandirian sebagai bangsa. Sejak dirasakan sulitnya penyelenggaraan perekonomian nasional yang selalu bergantung pada meningkatkan ekspor migas sumber devisa. dan komoditi Kebijakan primer dalam ekonomi rangka untuk nasional diarahkan untuk meningkatkan keragaman ekonomi nasional, mengarah pada sektor industri yang berorientasi ekspor7 . Kita sadar bahwa proses kebijakan perdagangan, investasi, dan ekonomi disusun menjadi bagian integral pembangunan nasional, harus mempertimbangkan dilema industrialisasi dan pembangunan pertanian di dalam konstelasi global. Kesadaran masalah seperti ini perlu dijaga, :1gar para pemangku kepentingan (stake holders), yaitu pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta tidak terlena, sehigga tiba-tiba saja dikejutkan oleh permasalahan yang terlanjur berat dan 6 M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia, (Disampaikan pada Lokakarya yang bertajuk "Ketahanan Pangan Nasional" diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Consumers International Regional Office for Asia Pacific (CIROAP) di Hotel Kemang, Jakarta 28 - 29 Agustus 200 I), hal. 2. 7 Pada tahun 1980-an, Indonesia mulai mengubah haluan strategi ekspornya. Semula, pada tahun 1970-an Indonesia dapat menikmati penghasilan devisa dari sektor minyak bumi dan gas alam sebagai sumber devisa utama. Kebijaksanaan dalam sektor nonmigas pada waktu itu lebih dipusatkan kepada peningkatan produksi dan substitusi impor. Hal tersebut berubah ketika harga minyak mengalami kemerosotan besar sejak tahun 1980. Untuk mempertahankan tingkat ekspor dan laju pertumbuhan perekonomiannya maka kemerosotan hasil devisa dari sektor migas perlu diimbangi dengan peningkatan sektor nonmigas. Ketergantungan terhadap ekspor migas sebagai sektor andalan tunggal dalam ekspor temyata kurang menguntungkan untuk jangka waktu yang panjang. H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga lnternasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 1996), hal. 5 6 membahayakan bagi ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Bagaimanapun dan dalam kondisi apapun pemenuhan pangan yang mencukupi bagi setiap individu untuk dapat hidup sehat dan produktif harus menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Sementara persoalan ketahanan pangan nasional semakin kompleks terutama dalam masa transisi dan proses pemulihan ekonomi dewasa ini, tidak semestinya rakyat ditambah kecemasan dengan informasi atau opini yang dipolitisir. Apalagi dikaitkan dengan perkembangan General Agreement on Tariffs and Trade - GATT di dalam Putaran Urugay sejak sembilan tahun yang lalu. Suatu perundingan mengenai perdagangan internasional berhasil diselesaikan pada bulan April tahun 1994, GATT salah satu keputusannya, adalah membentuk Organisasi Perdagangan Dunia atau lebih dikenal sebagai WTO (World Trade Organization). Dari hasil Putaran Uruguay, GATT-WTO antara lain berfungsi sebagai forum yang memfasilitasi perundingan perdagangan internasional, memonitor kebijakan perdagangan di setiap negara anggota, dan menangani perselisihan perdagangan (trade dispute). WTO dengan peranan yang cukup luas tersebut - sampai 30 Nopember 2000 telah diratifikasi oleh 140 negara - kini menjadi satu-satunya organisasi yang paling berpengaruh dalam sektor perdagangan dan ekonomi 8 . Indonesia juga meratifikasi WTO melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat Indonesia terikat pada seluruh keputusan, aturan dan perjanjian yang terdapat dalam WTO tanpa terkecuali seperti disyaratkan hasil Putaran Uruguay tersebut. 8 Ibid, hal. 58. 7 Kegiatan perdagangan dan investasi global yang semakin kompetitif demikian ini hanya mungkin dilakukan oleh negara yang perekonomiannya bersifat terbuka. Sebagai konsekuensinya, perekonomian nasional menjadi semakin terlibat terhadap perkembangan yang terjadi pada perekonomian dunia, terutama terhadap gejolak yang ditimbulkan o~eh perekonomian negara mitra dagangnya, dan kebijakan yang berpengaruh terhadap hubungan ekonorni, perdagangan dan moneter antarnegara. Sementara masyarakat mungkin memandang Putaran Uruguay hanya sebagai permasalahan perdagangan bebas dalam era globalisasi. Padahal implikasi dari berbagai kesepakatan perdagangan tadi sangatlah luas dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia di masa mendatang. Oleh karena itu penyebaran informasi mengenai proses dan hasil perundingan dalam Putaran Uruguay serta kepentingan Indonesia di dalamnya sangat perlu untuk diketahui oleh masyarakat. Pada kesempatan ini, salah satu perundingan WTO yang perlu dicermati adalah mengenai kesepakatan produk pertanian (agreement on agriculture - AoA). Dengan alasan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan sektor pertanian masih perlu dilindungi. Bagaimanapun pembukaan pasar pertanian juga harus melihat kondisi ketahanan pangan masing-masing negara, tidak didekati dengan cara atau aturan yang seragam. Persetujuan Perjanjian di Bidang Pertanian harus melihat kondisi negara masing-masing 9 . Di mana pertanian seperti Indonesia, perlu mendapat perlindungan karena bisa mengatasi masalah kemiskinan. Pertanian juga dapat meningkatkan 9 Kesulitan yang dihadapi dalam proses unifikasi hukum adalah hambatan-hambatan yang muncul, baik pada saat pembentukan maupun pada saat pelaksanaan konvensi, sebagai akibat adanya keengganan politis dari negara-negara untuk meratifikasi dan atau melaksanakan konvensi sesuai kesepakatan, karena alasan-alasan nasional. 8 kesejahteraan penduduk di pedesaan. Dalam hal demikian negara wajib memberikan perlindungan bagi s~ktor pertanian. Seperti halnya Indonesia, Jepang setuju perlunya perlindungan pertanian, dalam negosiasi di WTO, Indonesia dan Jepang sepakat berusaha atau bereaksi hatihati terhadap negara-negara yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Pandangan demikian seperti diungkapkan oleh Soichi Nakagawa, Ketua Komisi Riset Kebijakan Perdagangan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Partai Demokrat Liberal Jepang yang mengemukakan, bahwa (Kompas, 26 Juni 2003): "Kesepakatan perdagangan produk pertanian tidak harus mengambil titik ekstrem yang diberlakukan sama untuk semua negara. Kami berpikir seperti negaranegara yang ingin meningkatkan produksi pangan di dalam negeri terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perdagangan ... " "Sikap kami dalam perundingan setuju dengan berbagai reformasi peraturan perdagangan yang sudah dibahas sangat lama. Akan tetapi, kami berpendapat bahwa pembukaan pasar itu tidak bisa dilakukan tanpa memperhatikan masalahmasalah ketahanan pangan di masing-masing negara." Dinamika perkembangan WTO yang diwarnai dengan kontroversi kepentingan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Bagi Indonesia, yang masih dalam situasi kesulitan impor pangan - akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menambah beban devisa yang harus ditanggung oleh negara dan masyarakat. Apabila liberalisasi perdagangan WTO dikaitkan pada produksi pertanian dalam negeri, maka masalahnya menjadi serius karena mempengaruhi ketahanan nasional secara keseluruhan. Secara faktual, pasar pangan dunia yang oligopoli, di kuasai beberapa negara produsen umumnya negara-negara maju, yang mempunyai kekuatan politik maupun ekonomi. Selain memiliki keunggulan komparatif, produksi mereka pun disokong subsidi karenanya harga barang strategis tersebut tidak lagi merefleksikan harga pasar. Mereka dapat saja melakukan embargo pangan apabila perundingan berjalan 9 tidak sesuai dengan format kebijakan seperti yang dikehendaki oleh negara produsen tersebut. lmplikasinya adalah pasar pangan mendatang semakin menjauhi pasar persaingan, sehingga akan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan nasional 10 . Menilik hal diatas. WTO dengan isu-isu terbaru 11 dipastikan akan mempunyai dampak besar bagi Indonesia yang merupakan negara sedang berkembang dengan 206 juta penduduk, yang sebagian besar penduduknya bekerja atau tergantung dengan sektor pertanian. Sementara tidak banyak masyarakat bahkan pejabat pemerintahan maupun pembuat keputusan yang memahami serta mengantisipasi pemberlakuan ketentutan-ketentuan dalam WTO di negeri ini. Pengintegrasian hasil perundingan internasional WTO ke dalam pembentukan hukum modern Indonesia menarik untuk dicermati. Mengingat Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi perubahan, baik dalam dimensi penggunaan teknologi, struktur pemerintahan, dan kehidupan politik maupun dalam cara-cara produksi yang kemudian lebih mengedepankan konsep efisiensi, terjadi pergeseran dari konsep padat karya ke arah konsep padat modal sebagai konsekuensi dari perkembangan agraris ke industrialisasi. Pertanyaannya sampai seberapa jauh liberalisasi perdagangan sebagai aspirasi globalisasi tersebut 10 M. Husein Sawit, Op.cit, hal. 9. 11 lsu baru yang dimaksud adalah perJanJian di bidang jasa (GATS - General Agreement on Trade in Services), perjanjian yang mengatur hak atas kekayaan intelektual yang terkait perdagangan (TRIPs - Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights), dan perjanjian investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs - Trade Related Investment Measures) ... TRIPs akan menguntungkan perusahaan multinasional dan secara umum rl?erugikan masyarakat; khususnya petani kecil dan masyarakat adat di negara-negara Selatan. Selain itu, kalau dulu kapal meriam adalah teknologi yang memungkinkan tegaknya penjajahan, maka sekarang teknologi manipulasi mahluk hidup atau rekayasa genetik yang digunakan untuk invasi dan kolonisasi dengan dukungan hukum untuk hak atas kekayaan intelektual (HaKI) ... TRIPs juga dikhawatirkan akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk kesehatan dan pertanian. Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op.cit., hal. 2. 10 dapat dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan struktur hukum ketahanan pangan sebagai bagian ketahanan nasional. 1.2 Perumusan Masalah 1.2.1 Alasan Pemilihan Judul Tema atau judul penelitian: "Tinjauan Yuridis lmplikasi Kebijakan Perdagangan lnternasional di Bidang Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Beras" dipilih berawal dari keingin-tahuan penulis atas membanjirnya buah-buahan impor yang dijajakan di segenap penjuru Jakarta mulai pedagang buah di pinggir jalan, di pasar-pasar tradisionil hingga di hypermarket. Dari beberapa jenis buah-buah impor dan produk pertanian lain kita ketahui Thailand sebagai salah satu negara eksportir produk pertanian telah memiliki pangsa pasar di pasar Indonesia, dan berhasil memposisikan sebagai produsen buah-buah eksotis Asia, seperti: durian Monthong, jambu Bangkok, pepaya Bangkok, beras Thailand dan lain-lain. Mengapa Thailand bisa berhasil mengembangkan pasar ekspor agrobisnis ke mancanegara, sedangkan Indonesia terkesan jauh tertinggal dalam persaingan perdagangan internasional terutama produk pangan. Sementara ini kita berkeyakinan mempunyai keunggulan komparatif (seperti iklim, sumberdaya keanekaragaman hayati, luas negara maupun jumlah penduduk). Untuk itu secara khusus sesuai latar belakang pendidikan hukum penulis, rasa keingin-tahuan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang kebijakan pemerintah dalam pembangunan, dan perdagangan intenasional komoditi pangan ditinjau dari aspek yuridis. Tinjauan yuridis dalam penelitian ini, adalah untuk mendalami dan mencermati aspek-aspek sebagai berikut: 11 1. Pilihan kebijakan dan langkah-langkah strategis pemerintah Indonesia dalam perdagangan internasional di bidang produk pertanian dalam konteks WTO, terutama yang terkait dengan ketahanan pangan nasional. 2. Kajian apakah kebijakan dan langkah strategis di atas telah diimplementasikan secara efektif dalam kerangka pembangunan nasional, juga dipertimbangkan implikasi legal-sosial yang ditimbulkan. 1.2.2 Pokok Permasalahan Ruang lingkup masalah pangan dan perdagangan pasti akan sangat kompleks dan luas permasalahan yang akan dijumpai di lapangan. Agar penelitian dapat berhasil efektif, maka penulis sengaja mengambil kasus komoditi beras sebagai obyek penelitian, lebih jauh khusus lagi menyoroti pada aspek kebijakan perdagangan beras dan harga beras di pasaran internasional dalam konteks Agreement on Agriculture- World Trade Organization (AoA-WTO). 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian yang dituangkan dalam tesis ini bertujuan untuk: (1). Mengkaji ulang hasil perkembangan Putaran Uruguay - WTO dalam bidang pertanian khususnya pangan; (2). Mengkaji kebijakan Indonesia perdagangan internasional produk-produk pertanian dalam konteks WTO (3). Mengidentifikasi permasalahan implikasi dari Perjanjian WTO terhadap ketahanan pangan. dan (4). Menarik kesimpulan serta saran arah kebijakan pangan masa depan. Ruang lingkup masalah tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (I). Perkembangan konvensi internasional konteks WTO terutama berkaitan dengan bidang pertanian; dan (2). Permasalahan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan ketahanan pangan. 12 Penyajian hasil penelitian ke dalarn tesis ini ditujukan bagi rekan-rekan rnahasiswa, kolega kerja di BAPPENAS terutarna di Direktorat Pangan dan Pertanian, ternan-ternan LSM, pernerintah dan khalayak umurn yang rnernpunyai rninat pada pernbangunan sektor pangan dan rnasalah perdagangan internasional. Karenanya, penyusunan tesis ini difokuskan untuk dapat rnernberikan kegunaan sebagai berikut: (1). Mernberi penjelasan tentang persepsi atas irnpor pangan dalarn kaitan liberalisasi perdagangan; (2). Mernbantu rnernberikan pernecahan perrnasalahan dan penanganan secara kornprehensif, baik secara teoritis rnaupun praktis; (3). Menarnbah wawasan atau sebagai bahan pernikiran pengernbangan studi hukurn di Indonesia, khususnya berkenaan dengan aspek yuridis dalarn penyusunan kebijakan dan langkah strategis perdagangan internasional kornoditas pangan dan pertanian. 1.4 Kerangka Teori dan Konseptual 1.4.1 Kerangka Teori Peran Perdagangan lnternasional bagi Kebutuhan Pangan Dalam Negeri Secara teoritis perdagangan internasional, ekspor dan irnpor, dapat rnenghasilkan rnanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rnasyarakat, terlebih dalarn era liberalisasi perdagangan dirnana efisiensi dan persaingan yang sehat diharapkan rnarnpu rneningkatkan kepuasan rnasyarakat dengan rnengkonsurnsi barang yang lebih beragarn secara efisien pada tingkat pendapatan tertentu 12 . Dernikian pula dari 12 Bandingkan: "As a matter of simple economic theory, the gains to domestic consumers from foreign trade will almost always be greater than additional gains to domestic purely domestic trade. This is so because higher domestic than foreign price will entail a transfer of resources from domestic consumers to domestic producers (arguably creating matching decrease and increase in welfare), but in addition some domestic consumers will priced out the market by the higher domestic price and will be forced to allocate their resources to less preferred consumption choice, entailing a dead-weight social loss. An alternative way in which to conceive of the net domestic loss from foregone foreign exchange opportunities is to ask what compensation domestic producers would need to offer domestic consumers to render them indifferent to these forgone opportunities. Presumably only domestic price that matched 13 sisi e!<onomi aktivitas ekspor dan impor akan mampu memberikan kesempatan kerja baru di bidang barang dan jasa yang selanjutnya dapat memacu perkembangan ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi ini berlaku secara timbal balik baik bagi negara importir maupun ekspotir 13 . Globalisasi perdagangan yang melembaga di dalam WT0 14 oleh banyak pihak baik pengamat, praktisi, bahkan akademisi diragukan keefektifitasnya terutama menyangkut dikotomi antara liberalisasi dengan kepentingan nasional, seperti terjadi pada masalah perdagangan internasional produk pangan. Sehingga pendapat dan ungkapan yang berkembang dalam polemik di mass media dapat membuat cemas masyarakat. Ungkapan yang sering dikemukakan itu antara lain: Indonesia sudah berada pada krisis pangan, ketahanan pangan kita berada pada kondisi jebakan impor (Imported food trap), sebagian besar kebutuhan pangan kita dipenuhi impor, ataupun impor pangan kita sudah pada tahap mencemaskan. Selanjutnya dalam konteks ekonomi global, apabila membicarakan isu perdagangan internasional komoditi pangan, tidaklah lengkap jika hanya menekankan satu sisi, yaitu impor saja, atau ekspor saja. Pemahaman neraca perdagangan pangan menjadi substansial untuk dianalisa, karena potensi sumberdaya di suatu foreign producers price would achieve this end." Michael J. Trebilcock & Robert Howse, "The Evolution of International Trade Theory and Policy": The Regulation of International Trade, (USA: Routledge, 1999), p. 4-5, dikumpulkan oleh: Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Edisi revisi, (Jakarta: Universitas Indonesia, tanpa tahun), hal. 26-27. 13 Achmad Suryana, Benarkah Impor Pangan Kita Mencemaskan?, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2002), hal. 7-8. (Jakarta, 14 Sorensen mengistilahkan perkembangan ini sebagai institutionalized cooperation, sebagaimana diperlihatkan adanya GATT, IMF, dan berbagai perjanjian multilateral yang telah mclcmbaga lainnya. Max Sorensen, "Institutionalized International Co-operation in Economic, Social and Cultural Fields", Manual of Public International Law, (Hongkong: the Macmillan Press, Ltd., [reprint], 1978), hal. 317-345. 14 wilayah atau negara memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas pangan yang berbeda. Perdagangan pangan global dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan suatu negara dengan cara seperti: 1. Mengisi kekurangan antara kebutuhan untuk konsumsi dengan kemampuan produksi; 2. Dapat mengurangi gejolak (variability) suplai pangan di suatu negara; 3. Meningkatkan pertumbuhan ekonorr.i; 4. Penggunaan sumberdaya di dunia akan lebih efisien, karena pangan dihasilkan di wilayah yang punya keunggulan komparatif; dan 5. Memungkinkan berproduksi secara global di wilayah yang lebih ekonomis sesuai dengan sumberdayanya. Meski banyak aspek yang menguntungkan dihasilkan dari perdagangan global (free trade) untuk pangan dapat memunculkan sejumlah risiko, yaitu antara lain 15 : 1. Suplai pangan dalam negeri di suatu negara menjadi sering tidak akan menentu; 2. Harga pangan di pasar dunia kurang stabil, tidak terkecuali beras, juga gandum, jagung, dan sebagainya; 3. Merusak pola pertukaran barang di pasar dunia yaitu risiko defisit neraca perdagangan antara harga rendah untuk barang-barang pertanian primer yang diekspor dan harga tinggi pada pangan yang diimpor, misalnya pangan olahan, pangan siap konsumsi atau prepared food jika kebijakan tidak tepat. Pendekatan the Economic Analysis of Law Kebijakan neraca perdagangan internasional yang komprehensif banyak dilaksanakan oleh beberapa negara, khususnya negara-negara golongan pendapatan 15 K.Ohga, Food Security and Trade Liberalisation, (Makalah disampaikan pada the NGO Forum of Food Importing Countries: on the Next WTO Agricultural Negotiation, Seoul, 26 Oktober 1999). 15 tinggi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan swasembada pangan dalam negeri, maka harga produk dimungkinkan untuk naik ketingkat yang optimal, atau memberikan insentif yang cukup pada pmdusen dalam negerinya. Akan tetapi biaya untuk mempertahankan atau mencapai swasembada pangan dapat memberatkan semakin tinggi, manakala timbul perbedaan harga yang besar antara harga pasar dalam negeri dengan harga pasar dunia atau luar negeri. Dengan demikian harga pangan impor akan lebih menguntungkan daripada produksi dalam negeri, risiko ini diantisipasi, antara lain melalui diversifikasi pangan, serta kebijakan tarif atau bea masuk, juga non-tarif. Kebijakan diversifikasi atau penganekaragarnan pangan, diterapkan Indonesia menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. Seperti ditegaskan Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskan sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman untuk dikonsumsi, merata serta terjangkau. Usaha membangun ketahanan pangan pada umumnya dan keanekaragaman pangan khususnya saat ini, sangat menarik dikaji secara khusus tentang keterlibatan pendekatan teori efisiensi Ekonomi memaknai eksistensi dan peran Hukum. Dalam hal ini, diversifikasi sebagai landasan untuk terciptanya suatu efisiensi dalam aturan Ekonomi dan Hukum seperti tertuang ke dalam Undang-undang tersebut. Seperti telah kita ketahui, bidang ekonomi yang merupakan pendorong utama globalisasi terlihat dengan meningkatnya arus informasi, uang, dan barang melalui perusahaan multinasional - tuntutan dari liberalisasi perdagangan era WTO. Namun globalisasi tidak hanya berdimensi ekonomi saja, tetapi juga berdimensi lebih luas, seperti dalam bidang politik dengan semakin menguatnya tuntutan demokratisasi, transparansi, penegakan hak asasi manusia, dan lain-lain. Demikian pula di bidang 16 hukum, ditandai dengan meningkatnya kebutuhan adaptasi konvensi internasional ke dalam hukum nasional. Mencermati globalisasi ekonomi dalam konteks WTO, hal yang mendasar untuk memahami penelitian ini, adalah keterkaitan Ekonomi dan Hukum 16 . Dalam hal ini menjadi relevan untuk merangkum pembatasan kajian serta implikasi kebijakan perdagangan internasional bidang pertanian terhadap ketahanan pangan Indonesia, perlu dilakukan analisis Ekonomi terhadap Hukum (The Economic Analysis of Law): apa dan sejauh manakah peran llmu Ekonomi terhadap Hukum, atau bagaimanakah peran analisis Ekonomi terhadap Hukum dan sebaliknya 17 . 16 WTO yang kemudian kita ketahui, merupakan perkembangan GATT tahun 1949 itu, memuat kesepakatan negara-negara anggota untuk secara bertahap menghapus hambatanhambatan tarif dan non-tarif yang dianggap mengganggu kelancaran perdagangan internasional, dan terkait dengan peningkatan produktifitas pengelolaan sumber daya, untuk peningkatan pendapatan termasuk lapangan kerja. Keyakinan ini mengacu paham laissez-faire adanya economic interdependence yang melandasi international trade akan menguntungkan masyarakat internasional karena menghasilkan alokasi sumber daya paling efisien. Untuk itu, maka tiap negara setidaknya harus menemukan dan mengembangkan comparative advantagenya, selanjutnya keunggulan itu harus dibandingkan dengan kemampuan dan potensi perekonomian negara lain yang memproduksi barang yang sama. Singkatnya masing-masing negara (relatif) memiliki keunggulan komparatif terhadap negara lain, dan harus dimanfaatkan dcngan scbaik-baiknya, schingga masing-masing industri di ncgara yang bersangkutan dapat mengalokasikan sumber daya dengan cara efisien. Untuk mengurangi pemborosan maupun kerugian dalam produksi - surplus di suatu negara, kekurangan di lain negara- maka dapat dilaksanakan suatu pertukaran (perdagangan internasional) - keunggulan komparatif mendorong pertukaran barang. Kenyataannya, keunggulan komparatif tidak selalu dapat diandalkan sebagai modalitas persaingan dagang. Bagaimanapun efisiensi menjadi kata kunci dalam perekonomian dan perdagangan. Untuk itu, kebijakan dewasa ini diarahkan pada penciptaan competitive advantage atau keunggulan daya saing. Modalitas keunggulan melalui efisiensi sebagai patokan dasar atau benchmark; nilai tambah sebagai output-nya; dan entry barrier (modal, teknologi, akses pasar, informasi dan pengetahuan). /-.;ntry barrier dalam konteks nasional merupakan political dependence. Aspek political dependence kolaborasi liberal-kapitalistik antara pemerintah dan para pelaku usaha - terutama lobby Multinational Corporations (MNCs). Sekaligus menjadi hidden agenda kebijakan perdagangan dan politik internasional. Kebijakan luar negeri AS misalnya, sering diprasangkakan memuat kepentingan MNCs, seperti pendudukan pasukan koalisi AS di Irak saat ini, yang sarat dengan kepentingan penguasaan ladang minyak. 17 Para penemu bidang kajian ini: Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economic, (Glenview Illionis London: Scott Foresman and Company, 1988; Pierre Lemieux, Economic Imprealism: an Introduction to Economic Analysis of Law, (The Laisses Faire City 17 Roda pembangunan berjalan bagaikan hubungan roda-roda gigi ekonomi dan hukum. Oleh karena itu hukum modern dilihat dalam konsep inti sebagai prasyarat fungsional dari perekonomian berbasis industri. Asumsi sudut pandang ini, adalah institusi pasar bagian penting dari pertumbuhan ekonomi, dan melihat hukum modern sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan dan .memelihara pasar itu sendiri. Penekanan di sini adalah adanya aspek kemampu-meramalkan (predictability) dimiliki oleh hukum modern sebagai tatanan aturan universal yang seragam. Oleh karenanya aspek predictability dalam hukum modern dapat dipergunakan untuk mendorong aktivitas perekonomian dan menjamin bahwa kepentingan ekonomi akan terlindungi 18 . Hukum dan Ekonomi dalam era globalisasi semakin terikat dalam suatu wawasan yang sifatnya interdisipliner studi, bahkan kadang interdependence satu dengan yang lain. Sebagai kerangka teori penelitian, hubungan Ekonomi dan Hukum dipergunakan untuk menganalisis aturan-aturan Hukum menjadi landasan terciptanya efisiensi, dan sebaliknya analisis Ekonomi terhadap Hukum adalah bagaimana menciptakan efisiensi dalam aturan Hukum. Untuk memahami permasalahanpermasalahan dalam penelitian ini, dapat kita menemukan jawabannya dengan memahami baik teori Efisiensi, dan teori lain yang menyertainya. Time, September 3, 2001) Vol. 5, No. 36; Richard A. Postner, Economic Analysis of Law 51h Ed., (USA: A Division of Aspen Publisher, inc A Wolters Kluwer Company); Howard DavidDavid Holdcoft, Jurisprudence Texts and Commentary, (Butterworths, 1991), p. 393. 18 David M. Trubek, "Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of LaH• and Development", (The Yale Law Journal, Vol. 82 No.1, 1972), dikumpulkan oleh Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi I, (Jakarta: Fakultas Hukum UI Program Pascasarjana), 2000, hal. 6- 7. 18 Efisiensi dal3m ilmu Ekonomi tidak hanya pengertian an sich 19 , melainkan value dan utility mempunyai peranan penting terhadap Hukum. Pierre Limieux menyatakan bahwa the Economic analysis of Law is concerned with the eficiency of legal rules. Sedangkan yang dimaksudkan dengan efisiensi yang mendasar Law and Economy adalah efficiency means a attaining the highest net value in terms of money, as evaluated by the individual themselves, yang diilustrasikan sebagai efficiency is concerned only with the size of the economic pie, not its redistribution. Sedangkan legal rules should be concerned with efficiency if only because they are not effective at redistribution 20 . Teori efisiensi Ekonomi dapat membenarkan pelanggaran kontrak dan perkecualian seperti diantisipasi dalam konsensus GATT- WTO. Perkecualian terjadi, jikalau hal itu telah menjadi pemborosan sumber-sumber sejalan dengan pandangan Muarar Siahaan dalam kajiannya tentang interrelated law and economics dengan mengutip pendapat Allan Farnsworth, mengemukakan secara jelas 21 : "Demi kebaikan masyarakat, sumber-sumber haruslah dialokasikan secara efisien setiap waktu. Adalah merupakan kepentingan masyarakat bahwa setiap unit-unit Ekonomi mengalokasikan ulang sumber-sumbernya jikalau hal ini akan mengarah pada efisiensi yang lebih besar, walaupun satu pihak terikat oleh suatu kontrak untuk mengalokasikan sumber-sumbernya dalam satu hal yang khusus, kebaikan masyarakat menuntut bahwa dia memutuskan kontraknya dan mengalokasikan ulang sumber-sumbernya jikalau hal ini membuatnya lebih baik, tanpa menjadikan keadaan ekonomi perorangan lainnya lebih buruk. Karena alokasi ulang tidak akan menjadikan pihak yang dirugikan menjadi lebih buruk sepanjang pengharapannya terlindungi dan secara hipotesis membuat pihak pelanggar lebih baik, maka 19 Robert Cooter dan Thomas Ullen, Lac. cit.: memberikan pemahaman awal definisi tentang economics. Dikatakan bahwa ilmu Ekonomi adalah alat yang tepat tentang perilaku rasional (rational behavior) yang didefinisikan sebagai the pursuit of consistent ends by ejjicien means. Ini berarti, Ilmu Ekonomi adalah alat yang tepat (a suitable tool) untuk mempelajari perilaku seseorang yang memahami Hukum, administrasi atau institusi. 20 p·1erre L"Imieux, . 0 p.czt. . 21 Maruarar Siahaan, Damages in Breach pf Contrac Under 1980 Vienna on International Sales, (Berkeley, 1991) dialihabahasakan dan diterbitkan atas kerjasama the Asia Foundation dan Mahkamah Agung RI. 19 merupakan kepentingan masyarakat bahwa perjanjian tersebut dibatalkan dan sumber-sumber jialokasikan ulang". Dari segi yuridis GATT dapat dilihat sebagai serangkaian "aturan permainan" di bidang perdagangan internasional yang tercantum dalan suatu dokumen utama, yakni General Agreement on Tariffs and Trade sebagai suatu perjanjian internasional atau International Treaty beserta annex yang merupakan penjelasan atas perjanjian tersebut 22 . Dalam kata lain, GATT dapat dilihat secara keseluruhan sebagai suatu sistem yuridis, dan suatu bagian dari studi mengenai hukum internasional (public international law) maupun sebagai studi khusus mengenai international trade law23 . Dalam perkembangannya, ada pula teks persetujuan lainnya dalam GATI yang merupakan bagian integral dari sistem yuridis GATT walaupun teks lainnya yang bersifat code hanya mengikat pihak peserta perjanjian khusus tersebut. Di samping itu ada pula perjanjian khusus yang merupakan penyimpangan besar dari prinsip-prinsip GATT tetapi diterima oleh GATT karena pertimbangan pragmatis, yakni antara lain perjanjian di bidang pertanian. Walaupun penguasaan GATT memerlukan suatu pengertian pula dari segi yuridis, namun tentunya GATT tidak dapat dilihat hanya dari kaca mata yuridis. Menggarisbawahi pertimbangan "pragmatis" tersebut, karenanya pendekatan Analisa Ekonomi pada Hukum atau the Economic Analysis of Law sebagai pisau analisis dalam penelitian ini dipandang sesuai topik tujuan tinjauan yuridis yang akan dilaksanakan. The Economic Analysis of Law sebagai pisau analisis digunakan untuk 22 H.S. Kartadjoemena, Op.cit., hal. 105. 23 Khusus mengenai hukum internasional tentang treaties, lihat antara lain Clive Parry, The Law of Treaties, Manual of Public International Law, ed. by Max Sorensen (Hongkong: the MacMillan Press Ltd, [reprint], 1978), p. 175-245. Lihat juga J.L. Brierly, The Law of Nations, (Oxford: Claredon Press, [reprint], 1972), p. 317-45. 20 membedah permasalahan yang terangkum dalam suatu kerangka konseptual berikut ini. 1.4.2 Kerangka Konseptual Globalisasi di Bidang Hukum Sejalan dengan tema penelitian suatu tinjauan yuridis, kerangka konseptual digunakan untuk menggambarkan hubungan antara konsep-konsep hukum dalam fenomena globalisasi berikut di bawah. Pertama, mengenai fenomena globalisasi, oleh Lodge dengan tepat dikatakan "Globalization is the process where the world's people are becoming increasingly interconeccted in all facets of their lives, cultural, economic, political, technological, and environmental. A major impetus of globalization is the ever increasing flow or information, money, and goods throug multinationel corporation" Kedua, dalam era globalisasi ini, hukum nasional tidak hanya berisi atribut karakteristik lokal saja seperti konstitusi, ideologi, alam maupun adat istiadat tetapi mau tidak mau juga beradaptasi dengan berbagai perkembangan internasional, yang tersurat dan tersirat dalam berbagai instrumen internasional, seperti: konvensi, deklarasi, ataupun resolusi. Ketiga, adaptasi terhadap kecenderungan global tersebut dilakukan dengan melalui ratifikasi konvensi internasional dengan undang-undang maupun keputusan presiden. Menurut Muladi dalam makalahnya yang berjudul "Menjamin Kepastian, Ketertiban, Penegakan, dan Perlindungan Hukum dalam Era Globalisasi", hal ini tidak bertentangan dengan tujuan nasional kita, karena ikut serta menciptakan ketertiban dunia merupakan salah satu pilar tujuan nasional. Di samping itu secara doktriner di ajarkan bahwa traktat internasional merupakan salah satu unsur hukum yang diakui, 24 George C. Lodge, Managing Globalization in the Age of Interdependence, (San Diego, Pfeifer & Co, 1995), hal.18. 21 selain undang-undang, yurisprudensi, doktrin dan hukum kebiasaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional 25 . Adaptasi (ratifikasi) konvensi internasional dalam konteks globalisasi ke dalam hukum nasional ini amat penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Karena dengan turut meratifikasi, maka Indonesia akan memperoleh perlindungan hukum dalam hubungan antar bangsa. Seperti dimaksudkan keikutsertaan Indonesia dalam WTO akan memungkinkan Indonesia melakukan penyelesaian masalah perdagangan internasional melalui mekanisme Dispute Settlement Body, yang akan dibahas lebih lanjut. GATT sebagai Sistem Globalisasi Perdagangan Apa yang sebenarnya diniatkan oleh GATT - WTO? Mengapa organisasi perdagangan dunia ini hendak membentuk "satu dunia" 26 dengan negara-negara anggota yang saling bergantung satu sama lain melalui perdagangan internasional? Pertanyaan ini sebenarnya mewakili persoalan apa yang dimaksud dengan era pasar bebas dan mengapa Indonesia "mau tidak mau" menerima pembukaan pasar dalam negerinya dan harus bersiap sedia ikut bersaing dengan negara-negara lain, serta mengadaptasi "aturan main" GATT ke dalam kebijakan dan aturan hukum nasional? Saat pertama kali diterapkan pada 1 Januari 1948 perdagangan multilateral diatur dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang menjadi 25 Zudan Arif Fak.rulloh, "Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia dalam Kancah Trends Globalisasi", dalam WC?jah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya llmiah lvfenyambut 70 Tahun Prof DR. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 51. 26 Di era 1990-an, globalisasi pemikiran tersebut menebar pengaruh ke berbagai negara. Kita seperti tersentak menjumpai keseragaman pemikiran dan analisis dari ekonom yang sedemikian kuat mempengamhi pemerirttahan, publik, akademisi, maupun media. Seakan dunia yang sangat majemuk ini, tak ada pilihan lain, selain deregulasi, liberalisasi dan privatisasi, dianggap panacea, "one fits all". 22 kesepakatan berlaku secara ad interim agreement atau bersifat sementara, yang terdiri 38 pasal dan hanya mengatur perundingan perdagangan multilateral dengan tujuan memfasilitasi perdagangan internasional 27 . Kini, GATT yang telah beralih wujud menjadi WTO mempunyai aspek luas yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang cukup efektif berjalan selama 40 tahun ini. Secara ringkas GATT-WTO mempunyai fungsi utama sebagai forum bagi para anggotanya untuk melakukan perundingan perdagangan serta mengadministrasikan semua hasil perundingan dan peraturan-peraturan perdagangan .Fungsi yang berjalan sebagai lembaga internasional terdiri dari 28 : 1. Perjanjian lnternasional. General Agreement on Tariff and Trade sebagai perjanjian merupakan instrumen formal yang memberikan batasan maupun ruang gerak GATT yang melembaga. Perjanjian tersebut mengikat untuk semua negara peserta, merupakan dokumen legal yang mempunyai legal intensity atau kadar yuridis yang cukup tinggi, dan menjadi pegangan untuk bergerak sebagai lembaga internasional. 2. Forum Pengambilan Keputusan. GATT sebagai forum konsensus negaranegara anggotanya mengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan bersama, di mana Contracting Parties berfungsi sebagai otoritas puncak dalam pengambilan keputusan. 3. Forum Penyelesaian Sengketa. Adanya perjanjian formal yang isinya mengikat, maka GATT menyediakan forum penyelesaian sengketa yang apabila terjadi pelanggaran hak dan kewajiban negara anggota. 4. Forum Negosiasi. GATT menyelenggarakan serangkaian perundingan formal untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui upaya mengurangi hambatan-hambatan terhadap perdagangan dunia, baik berupa tarif maupun 27 Ministry of Industry and Trade of Republic of Indonesia, WTO dan Perdagangan Dunia, The WTO-Related Information Sharing System, http://wto.dprin.go.id/application, 2 Desember 2003. 28 H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 78-79. 23 non-tarif. Perundingan yang meluas ini dikenal sebagai Putaran Perundingan Perdagangan Multilateral (rounds of multilateral trade negotiations). 5. Forum Pemantauan Perkembangan Perdagangan Dunia. Sejalan tujuan GATT adalah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, yakni kegiatan perdagangan internasional. Karena itu GATT juga merupakan forum untuk mengadakan review tentang perkembangan masalah di bidang perdagangan dunia serta kebijaksanaan-kebijaksanaan makro-ekonomi maupun sektoral negara-negara anggota yang mempunyai dampak terhadap perkembangan dalam perdagangan internasional. 6. Organisasi dan Sekretariat lnternasional. Dalam perjalanan sejarahnya, GATT telah menjadi suatu organisasi internasional, dengan memusatkan kegiatannya pada penerapan aturan main yang telah disepakati, menyediakan mekanisme untuk penyelesaian sengketa, dan menyediakan fasilitas negosiasi, baik dalam perluasan akses ke pasar, ataupun penyempurnaan dan pengembangan aturan permainan dirasakan perlu. Dalam preambule GATT, dinyatakan bahwa negara yang menyetujui perjanjian berniat berikut29 : "Recognizing that their relation in the fields or trade and economic endeavor should be conducted with view to raising standards of living, ensuring full employment and large steadily growing volume of real income and effective demand, developing the full use of resources of the world and expanding the production and exchange of goods." "... being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substansial reduction of tariffs and other barries to trade and to ellimination of discriminatory treatment in international commerce. 29 Ibid, hal. 117. 24 Skema 1-1 Komponen GATT sebagai Sistem: Fungsi, Instrumen, dan Produk30 Fungsi Instrumen Pelaksanaan Produk GATT sebagai Perjanjian lnternasional: Bertindak sebagai juridical body yang menangani substansi perjanjian GATT sebagai sistem terdiri dari serangkaian aturan main yang tercantum dalam perjanjian GATT Teks perjanjian berfungsi sebagai pegangan formal operasi GATT. Sekretariat GATT melakukan kegiatan teknis dalam menganalisis segi yuridis dari perjanjian, keputusan dan kebijaksanaan yang berlaku. Bila ada sengketa mekanismen penyelesaian sengketa merupakan instrumen untuk menyelesaikan sengketa mengenai aspek yuridis yang dihadapi. Pengelolaan dan pengadministrasian aturan main yang tercantum dalam perjanjian GATT. GATT sebagai Forum Peng- Mekanisme sidang Contracting ambilan Keputusan: Bertindak Parties merupakan instrumen sebagai lembaga atas nama se- awal untuk pengambilan keputusmua anggota untuk menentukan an yang kemudian dikembangkan keputusan dan kebijaksanaan rnelalui instrumen lainnya yang dibersama yang berlaku secara beri pelimpahan wewenang untuk multilateral. Keputusan diambil memutuskan keputusan yang mesecara konsensus melalui me- merlukan kesepakatan politis ankanisme yang dikembangkan tara negara peserta perjanjian sesecara pragmatis sejak 1947. cara kolektif. (Council of Representatives, Committee, working groups dsb). Keputusan dan kebijaksanaan bersama yang memerlukan kebijaksanaan dan kensensus politis. GATT sebagai Forum Penyelesaian Sengketa: Bertindak sebagai pengelola teknis mekanisme penyelesaian sengketa yang dikembangkan berdasarkan perjanjian GATI. Perjanjian GATT memungkinkan adanya lembaga penyelesaian sengketa yang telah mengembangkan prosedur yang semakin lengkap untuk melakukan penyelesaian sengketa secara sistematis. Keputusan yang dapat disetujui bersama antara pihak yang bersengketa. GATT sebagai Forum Nego- Sebagai sistem, GATT merupasiasi: Bertindak sebagai penye- kan mekanisme untuk mencapai lenggara dan pengelola proses tujuan bersama melalui negosiperundingan yang sifatnya luas asi. Mekanisme yang paling utadan dikenal sebagai rounds of ma untuk mengadakan negosi-asi multilateral trade negotiations secara luas adalah mekanis-me (MTN). rounds of multilateral trade negotiations yang berfungsi sebagai mekanisme utama negosiasi. Perjanjian dan keputusan penting untuk melakukan liberalisasi perdagangan dunia dalam bentuk penurunan tarif, penghapusan hambatan non-tariff, perubahan aturan GATT yang memerlukan penyesuaian dan perubahan dalam perjanjian GATT. GATT sebagai Organisasi Internasional: Bertindak sebagai pelaksana operasional dari perjanjian GATT dan keputusan bersama dari GATT sebagai lembaga internasional. Penciptaan aparatur internasional yang dapat bertindak secara institusional dan kontinu menunjang keputusan bersama anggota GATT secara kolektif. 30 Dengan semakin banyaknya hal yang harus dilakukan secara terpadu maka mekanisme GATT sebagai organisasi internasional adalah adalah adanya sistem kelembagaan yang mulai dengan sidang-sidang Contracting Parties telah mengembangkan GATT sebagai organisasi internasional. Ibid., hal. 100-101. 25 Fungsi Instrumen Pelaksanaan Produl< GATT sebagai Sekretariat Internasional: Bertindak sebagai pelaksana teknis dan organisatoris semua kegiatan yang dikehendaki oleh negara anggota. Kegiatan GATT yang semakin berbentuk institusional memerlukan mekanisme permanen untuk melakukan pelaksanaan kegiatan secara terpadu dan permanen. Sekretariat semakin berfungsi sebagai aparatur resmi langsung menunjang semua kegiatan GATT. Penciptaan iklim operasional yang mantap dan kontinu, sistem penunjang yang dapat bertindak secara teknis dan manajerial, menunjang kebutuhan negara anggota maupun anggota GATT secara kolektif. Meskipun tujuan akhir GATT adalah untuk meningkatkan tingkat hidup atau kesejahteraan penduduk dunia, berupa: • peningkatan tarat hidup; • menjamin terciptanya pekerjaan; • volume pertumbuhan terus menerus besar pada pendapatan riil dan permintaan efektif; • pembangunan sepenuhnya sumber daya di dunia; • pengembangan produksi dan perdagangan Namun tujuan dekatnya adalah untuk mengurangi sejauh mungkin hambatan baik melalui tarif bea cukai, mengurangi hambatan-hambatan perdagangan lainnya dan menghindari diskriminasi dalam perdagangan dunia. Seperti telah disinggung di atas, bahwa bagi masyarakat Indonesia, berbagai proses perundingan serta prinsip yang melatarbelakangi Putaran Uruguay yang akhirnya melahirkan GATT-WTO belum banyak diketahui secara luas. Antara lain tentang prinsip-prinsip dan aturan perdagangan antarbangsa pada dasarnya terdiri dari lima prinsip pokok 31 : 1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favored Nation Treatment - MFN) atau azas non diskriminansi: prinsip ini diatur dalam pasal I GATT yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani GATT31 Ibid, hal. 109-114. 26 WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua anggota WTO. Suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara dibanding lainnya. 2. Pengikatan Tarif (Tariff Binding): prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994, suatu ketentuan yang mengikat negara-negara anggota supaya tidak meningkatkan bea masuk terhadap barang-barang impor setelah memasukan di daftar bea masuk atau tarif masing-masing negara. 3. Perlakuan Nasional (National Treatment): prinsip ini diatur dalam pasal Ill GATT 1994, yang melarang perbedaan perlakuan (non diskriminasi) antara barang asing (impor) dan barang dalam negeri, yang berarti pada saat barang impor telah masuk pasaran dalarn negeri suatu anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk (bila ada), maka barang impor tersebut tidak boleh diperlakukan tidak adil daripada produk dalam negeri, seperti: pungutan dalam negeri, undang-undang dan persyaratan lainnya yang mempengaruhi penjualan dan distribusi. 4. Proteksi hanya Melalui Tarif: prinsip ini diatur dalam pasal XI, yang mengizinkan proteksi terhadap industri atau hasil dalam negeri hanya dapat diperlakukan melalui tarif atau bea masuk terhadap barang impor, dan tidak boleh dengan cara pembatasan lainnya. 5. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam aturan GATT juga mengandung konsensus untuk persaingan yang adil (fair competition). Karena ada kecenderungan peningkatan pemberian subsidi terhadap produk ekspor serta terjadinya dumping, senantiasa menimbulkan masalah dalam GATT. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor, negara impor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan countervailing duties sebagai tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor. Aturan ini dituangkan pada teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti Dumping Code dan Subsidies Code (pasal VI GATT 1994) 32 hasil Putaran Perundingan Tokyo (Tokyo Round). 32 Guna memenuhi kewajiban sebagai anggota WTO, Indonesia telah melaksanakan ketentuan yang terdaput dalam Pasal 18.5 Agreement on the Implementation of Article VI of the GATT 1994 dan Pasal 32.6 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yaitu 27 Skema 1-2 GATT sebagai Forum Negosiasi33 Forum Perundingan I. GATT menyelenggarakan Putaran Perundingan Perdagangan Multilateral secara berkala 2. dengan tujuan untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui liberalisasi. Sejak 1948 telah dilaksanakan 8 rangkaian Putaran Perundingan atau Trade Rounds of Negotiations. Forum Penyelesaian Sengketa I. 2. 3. Prosedur Perjanjian GATT sebagai sumber ketentuan mengenai sengketa. Prosedur Tokyo Round bagi negara peserta Code. Prosedur Safeguard untuk bidang Pe11anian bagi negara Peserta. Perjanjian GATT General Agreement of Tariffs and Trade sebagai sumber aturan permainan. Perjanjian Tokyo Round sebagai tambahan bagi negara peserta Code dalam perjanjian tersebut. 3. Hasil Uruguay Round. 4. Agreement on Agriculture untuk bidang Pertanian bagi negara peserta. 1. 2. Prinsip Dasar GATT I. Non-diskriminasi. 2. 3. National Treatment. 4. 5. 6. 7. Tarif sebagai Instrument Tunggal Persaingan Adil. Larangan terhadap Restriksi Kuantitatif. Waiver dan Langkah Darurat Membatasi lmpor. Perkecualian non-diskriminasi untuk perjanjian regional. menyampaikan notifikasi peraturan-peraturan mengenai Anti Dumping Duties dan Countervailing Duties sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 34/1996 tanggal 4 Juni 1996, Keputusan Menteri Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 136/MPP/Kep/6/1996 tanggal 4 Juni 1996 mengenai Komite Anti Dumping Indonesia, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 172/MPP/Kep/7/1996 mengenai Organisasi dan Prosedur Operasi dari Tim Operasional Anti Dumping. Notifikasi Indonesia tersebut diatas disampaikan pada tanggal 22 Agustus 1996 dan terdapat dalam Dokumen WTO dengan No. G/ADP/N/1/IDN/2 dan G/SCM/N/1/IDN/2 tanggal 23 September 1996. "Indonesia telah menyampaikan Notifikasi Peraturan Nasional di bidang Anti Dumping dan Suhsidi." http:l/w\vw.geocities.com/WallStreet/4081/hotsubsidi.htm, 12 Nopember 2003. 33 H.S. Kartadjoemena, Op.cit. hal. 95. 28 Dalam sistem GATT, walaupun telah ditanamkan prinsip-prinsip sebagai fondasi keseluruhan struktur GATT - selain prinsip-prinsip utama - terdapat pula perkecualian, yang diatur dalam pasal XX. Skema 1-3 Prosedur Penyelesaian Sengketa34 Konsultasi Negara anggota dapat meminta dibentuk Panel bila dalam 60 hari tidak ada penyelesaian r-------' Dispute Settlement Body (DSB) Membentuk Panel sel&mbatnya Sidang ke-2 DSB Terms of Reference dan Komposisi Panel dengan Pihak DSB mengadopsi Laporan Panel .-------' Panel menyerahkan Laporan kepadaDSB N aik banding ke Appellate Review DSB memantau implementasi keputusan Panel dan/atau Appellate Body Pihak Sengketa merundingkan Jenis Kompensasi DSB memberi otorisasi untuk Retalisasi Persoalan yang mengemuka bagi GATT, pada masa kim dan untuk masa depan adalah, perlu dijaga prinsip umum yang berlaku tetap menjadi dasar, 34 Ibid., hal. 157. 29 sedangkan perkecualian - yang merupakan penyimpangan - tetap menjadi perkecualian dengan tidak dibiarkan menjadi praktek umum. Apabila hal itu tidak terjaga maka sistem GATT yang berlaku akan semakin dianggap tidak adil dan dengan demikian GATT dan organisasi penggantinya, WTO akan mengalami kemerosotan efektifitasnya, lebih banyak dilanggar daripada hal yang dipatuhi. Pandangan ini, oleh John H. Jackson dikatakan: 'Two problems that repose behind every international obligation, whether customary or positive (treaty originating) are the twin ones of how to achieve a reasonable degree of compliance and how to settle dispule about it. ,Js GATT sebagai sistem yuridis, aspek penyelesaian sengketa juga merupakan bagian penting di dalam forum WTO, yang sama penting adanya forum negosiasi. Kedua kegiatan GATT terse but tetap bersumber pad a perjanjian GATT sebagai instrumen dasar termasuk: (a) penjelasan mengenai isi perjanjian, dan (b) mekanisme penerapan aturan permainan yang telah disepakati 36 . Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO Bagi Indonesia, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Peraturan Pemerintah Rl No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan). Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks pembangunan nasional di negara-negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda 35 John H. Jackson, World Trade and the Law of GATT: A Legal Analysis of the General Agreement on Tariffs and Trade, (Charlottesville: Va, The Michie Company Law Publishers, 1969), p. 163. 36 H .S. Kartadjoemena, Op. cit.. hal. 106. 30 yaitu: (a) salah satu sasaran utama pembangunan, dan (b) salah satu instrumen utama pem bangunan e konom1-37 . Sebab itu pula, Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki komitmen mengembangkan sistem ekonomi pasar dengan diberlakukannya Undangundang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization, sejauh apa kesiapannya dan bagaimana pemahaman aparat pemerintahan, masyarakat dan pelaku usaha. Apalagi ini menyangkut perut lebih dari 200 juta penduduk. Dalam sistem ekonomi pasar yang "liberal kapitalistik" seperti ini, maka sangat penting untuk menjaga "aturan permainan" demi kelangsungan persaingan yang sehat, misalnya karena terjadinya monopoli ataupun monopsoni, serta mengurangi sebanyak mungkin distorsi yang timbul, kalau tidak mekanisme pasar akan keropos, dan ekonomi akan runtuh nasional maupun internasional. Pertanyaannya, siapa yang harus menjaga persaingan? Pada tingkat internasional, seperti telah disinggung, pengawasan persaingan dan sengketa antar negara dilakukan melalui mekanisme penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body) yang akan menjangkau level negara, dan secara tidak langsung pelaku-pelaku usaha di dalam suatu negara termasuk yang berkaitan dengan perdagangan pertanian global. Pada tingkat pasar domestik atau nasional, peran itu ada pada negara. Dan hal ini sellarusnya harmonis dengan kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk. Akses 37 P. Simatupang, Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional. (Bahan diskusi "Round Table" Kebijakan Pangan dan Gizi di \trasa Mendatang. Kantor Menpangan dan Holtikultura, Jakarta, 23 Juni 1999.) 31 terhadap pangan dalam jumlah yang memadai merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin uleh negara bersama masyarakat. Penelitian ini, secara khusus akan meninjau salah satu perjanjian dalam GATT khususnya di Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture), baik dari substansi, implementasi, dan mekanisme dalam Forum WTO, serta implikasinya terhadap kebijakan Indonesia, terutama berkaitan der.gan Ketahanan Pangan sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang kreatif dan produktif dan sebagai determinan penting dalam mendukung lingkungan perekonomian yang stabil dan kondusif bagi pembangunan nasional. Sebelumnya perlu ditetapkan definisi tentang pangan, meliputi makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan, baik produk primer maupun olahan (Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan). Pangan bukan berarti hanya komoditas tanaman pangan, apalagi jika hanya terbatas pada beras saja. Komoditas pangan juga berasal dari hasil tanaman hortikultura serta perkebunan, dan produk peternakan serta perikanan; termasuk hasil industri pengolahan pangan. Dengan demikian, pada saat membahas isu pangan, tidaklah tepat kalau terfokus hanya pada komoditas sumber karbohidrat saja. Namun demikian, dapat dimengerti kalau perhatian diberikan pada komoditas beras, karena beras merupakan bahan pangan pokok strategis terutama salah satu produksi sektor pertanian. GATT menetapkan produk pertanian seperti tertuang dalam Annex 1 Agreement on Agriculture, produk pertanian yang merujuk pada definisi sistem harmonisasi tidak hanya produk pertanian dasar, seperti: gandum, susu, dan ternak hidup; termasuk produk turunan seperti: roti, mentega, dan daging; serta diperluas 32 produk yang diproses lainnya seperti: coklat, saus, anggur, dan tembakau, katun, wool, sutera, dan bahan kulit, tidak termasuk ikan maupun produk kehutanan. 38 Negosiasi bidang pertanian walaupun porsinya hanya 10,5% dalam perdagangan dunia 39 , merupakan tema terpenting bagi negara berkembang. Sektor pertanian, seperti di Indonesia negara yang sedang berkembang, perannya sangat krusial sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja. Sementara bagi negara maju, proteksi masih mempunyai bobot politik yang cukup besar40 . Perjanjian GATT di bidang Pertanian, masih kontroversial, karena seperti telah dikemukakan setiap aturan utama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban disertai pula dengan perkecualian. Dengan demikian, liberalisasi produk pertanian dalam sistem GAIT tertanam bib it kontroversi karen a terbuka kemungkinan timbulnya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban di antara negara anggota. Setiap kali ada ketidakseimbangan maka ada hal yang dianggap tidak adil. Dalam suasana yang kontroversial pihak yang kuat selalu mempunyai peluang yang lebih besar untuk menentukan penyelesaian sepihak daripada yang lemah. Sehingga menimbulkan keadaan yang tidak jelas menempatkan pihak yang lemah dalam keadaan kurang menguntungkan 41 . Ketidakadlian ini secara eksplisit menimbulkan resistensi terhadap neo-liberalisme semangat GAn yang berlaku sa at ini. 38 World Trade Organization, Agriculture- explanation of agreement- introduction, http://www.wto.org/english/tratop e/agric e/ag introOI intro e.htm, 15 Desember 2003. 39 World Trade Organization, Loc.cit. ° 4 Kamar Nainggolan, Pertanian Pasca Cancun, Peluang Negara Berkembang, http://www.kompas.com, 25 September 2003. 41 Aturan permainan yang terlalu ketat, secara praktis berisiko akan terlalu banyak negara yang akan melanggar, karena menghadapi kesulitan untuk mematuhinya. Sebaliknya, jika aturan permainan terlalu longgar banyak perkecualian, prinsip-prinsipnya yang kabur, akan timbul kctidak adilan diantara mereka yang mematuhi dan mereka yang menggunakan perkecualian prinsip tersebut. Oleh karenanya, GATT diselenggarakan dengan pendekatan 33 1.5 Metode Penelitia n Kerangka teori dan kerangka konseptual tersebut dikembangkan untuk kajian analisis guna memberikan jawaban efektifitas bekerjanya seluruh struktur institusional hukum. Penelitian tesis ini, juga menggunakan metode pendekatan sosiologis hukum (sociology of law). Metode pendekatan aspek yuridis yang berkaitan dengan usaha untuk mencapai tujuan kebutuhan kongkret sosial-ekonomi dalam masyarakat. Metode sosiologis hukum (sociology of law) dipergunakan untuk mendalami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat sekaligus menjelaskan efektivitas hukum hasil penelitian. Oleh karena itu, mencakup: asas-asas hukum terutama pada kaedah-kaedah yang berlaku, diperbandingkan kepada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangannya, dan dikaji perkembangannya melalui pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder, dikumpulkan dari sumber-sumber di lapangan dan kepustakaan,. Sumber data primer terwakili dari pernyataan resmi pejabat-pejabat pemerintah, seperti dari Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta didapat melalui ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, dan perundangan-undangan yang berlaku serta berhubungan dengan tema penelitian. Data sekunder diperlukan untuk dapat memberikan penjelasan lebih lanjut, melalui kajian pustaka, berupa tulisan atau pendapat para pakar, yang berkaitan dengan tema dan tujuan penelitian. pragmatis yang mengedepankan prinsip umum namun membolehkan adanya perkecualian, didampingi prasyarat tertentu yang harus dipenuhi, dan dalam banyak hal harus mendapatkan kesepakatan bersama atau consensus. Baca lebih lanjut: Oliver Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1987), hal. 8-11. 34 1.6 Sistematika Penulisan Selanjutnya hasil penelitian dituangkan dalam tesis, yang terdiri lima bab ini, merupakan penelitian perkembangan Perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture - AoA) - WTO di Indonesia, yang terkait dengan ketahanan pangan. Pembahasan atas aspek-aspek yuridis dibatasi pada hal-hal yang pokok saja, terutama bagaimana perkembangan kebijakan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan di bidang produk pertanian di Indonesia dalam konteks WTO. Hal ini selain untuk menghindari melebarnya pembahasan, secara teknis pun cakupan ketentuan operasionalnya yang tersebar luas di pelbagai sektor tidak memungkinkan untuk di bahas satu persatu dalam tulisan ini. Maka tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu sumber informasi atau wacana mengenai implikasi Perjanjian di bidang pertanian di dalam forum WTO yang saat ini pun masih banyak menimbulkan perdebatan, yang harapannya dapat dikembangkan atau disusul oleh penelitian lain yang lebih lanjut nantinya. • Bab I Pendahuluan: memaparkan aspek yang melatar-belakangi tema penelitian; perumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian; kerangka teori dan konseptual; metode dan sistematika penelitian. • Bab II Paradoks dalam Liberalisasi Perdagangan WTO mengemukakan aspek yang selama ini terlupakan sebagai pertimbangan dalam rangka keterlibatan Indonesia di WTO, padahal aspek ini merupakan substansi permasalah yang melekat pada suatu kebijakan yang berkaitan dengan perjanjian internasional, antara lain: sejarah pasang surut paham liberalisme klasik hingga perkembangan neo-liberalisme; kesenjangan yang ditimbulkan akibat liberalisasi perdagangan, hidden agenda dari negara-negara maju. • Bab Ill Mengkaji Perkembangan Perjanjian di Bidang Pertanian WTO: membahas hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan liberalisasi pertanian era WTO, mulai dari aspek perjanjian, peluang dan tantangan negara-negara berkembang, dan implementasinya di Indonesia. 35 • Bab IV Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO: membahas tentang kebijakan ketahanan panngan dan perberasan; upaya ketahanan pangan; dan strategi pengendalian impor. • Bab V Kesimpulan dan Saran Kebijakan Mendatang: pada bab akhir ini akan disampaikan suatu kesimpulan saran-saran mengenai kebijakan mendatang. 36 Bab 2 Paradoks dalam Liberalisasi Perdagangan WTO 2.1 Substansi WTO adalah Neo-Liberalisme "Premis free trade jangan dijadikan suatu novelties atau kegandrungan baru terhadap zaman keemasan perdagangan bebas, periode laissez-faire 18141914 ... Berkaitan dengan ini pula, dalam perspektif saat ini memandang masa depan, kita bangsa Indonesia yang pada masa laissez-faire yang lampau hanyalah obyek eksploitasi liberalisme-kapitalistik tunduk di bawah pemerintahan kolonial... Tetapi kali ini kita telah menjadi bangsa merdeka dan negara berdaulat bersama berbagai bangsa merdeka lainnya, akankah juga dapat menikmati basil dari liberalisasi pasar dunia?" Sejak awal, mulai dari Konferensi Bretton Wood tahun 194442 semangat yang terus menjiwai dan menjadi karakter dalam evolusi gagasan dan perundingan GATT hingga mewujudnya WTO, adalah prinsip free trade atau liberal trading regime. Hal ini kita ketahui dari substansi yang tidak pernah lepas dalam pembicaraan arah tujuan, perkembangan selama ini, yakni untuk menerapkan sistem perdagangan terbuka, transparan, dan akomodatif terhadap mekanisme pasar. Layaknya suatu perjalanan - secara harfiah, free trade bukan tujuan GATT sehingga negara-negara yang tidak sepenuhnya menerima paham free trade dapat turut serta menikmati perjalanan tanpa harus menyatakan bahwa eksplisit tujuan free 42 Pasca Perang Dunia II, dalam Konferensi Bretton Wood, dalam waktu relatif singkat masyarakat internasional menyetujui didirikannya Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Demikian pula dalam rangka rencana untuk rekonstruksi bagi negara-negara yang mengalami kerusakan akibat Perang Dunia, telah didirikan International Bank for Reconstruction and Development Bank (IBRD). Secara bersamaan pada tahun 1944 juga didirikan Bank Dunia atau World Bank yang ditandatangani di Bretton Wood. Hanya untuk masalah yang menyangkut perdagangan dunia, sejarah berjalan lain. ITO (international Trade Organization) semula diharapkan dapat disetujui untuk diciptakan agar menangani masalah perdagangan dunia, seperti halnya IMF menangani masalah moneter internasional, IBRD dan World Bank menangani masalah pembiayaan pembangunan. Karena pertimbangan politis, terutama Kongres Amerika Serikat tidak dapat menyetujui, maka terdapat kekosongan institusional pada tingkat internasional dalam bidang perdaganngan. Dengan demikian, GATT- yang semula merupakan suatu perjanjian interim - menjadi satusatunya instrumen di bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus yang luas untuk menjadi landasan dalam pengaturan tatacara perdagangan internasional. H.S. Kartadjoemena, OJJ.cit .. hal. 34. 37 trade harus tercapai 43 . Ataupun, free trade dapat dipersepsikan sebagai proses perdagangan internasional bukan hasil. Maka, pragmatisme fr\3e trade melekat pada GATT, karena sifat keluwesan diperlukan agar dapat menghindar dari benturan yang menimbulkan perpecahan. Untuk itu, irnpikasinya perlu disikapi secara rasional, tidak apriori, dengan mengedepankan kajian empiris komprehensif. Dan implementasi dalam kebijakan nasional perlu disertai benchmarking dengan perkembangan yang terjadi pada beberapa negara anggota maupun bukan anggota. Premis free trade jangan dijadikan suatu novelties atau kegandrungan baru terhadap zaman keemasan perdagangan bebas, periode laissez-faire 1814 - 1914. Periode selama satu abad, masa di mana perdagangan dunia berjalan diatas paham liberalisme klasik mencapai kemakmuran seperti yang diidamkan. Praktis liberal klasik, setiap negara secara khusus menempatkan produksi yang memiliki keunggulan komparatif ke dalam kegiatan perdagangan ekspor, dibandingkan dengan mitra dagangnya. Serta membebaskan dari campur tangan pemerintahan dalam perdagangan, aturan permainannya diserahkan sepenuhnya pada invisible hand mekanisme pasar. Oleh Ellsworth, perkembangan periode 18141914, digambarkan secara ringkas sebagai berikut: "From the vintage point of the mind-twentieth century, there can be no doubt that the nineteenth, or more accurately the hundred years betweeen the Napoleonic Wars and World War I (1814 - 1914) constituted a unique period in many respects. From our focus of interest, it stands out as the century during which deliberate governmental regulation of trade gave way to regulation by market forces. Nations became free to specialize in production according to dictates of relative costs, and did so. A large and constantly growing volume of international trade linked the various regions of the world into a smoothly functioning, integrated economy of global scope". 44 43 Ibid. hal. 117. 44 PT. Ellesworth, The International Economy, 3'd ed. (New York: the Macmilan Company, 1964), p. 199. 38 Gambaran faktual menunjukkan bahwa perdagangan bebas pada abad ke-19 ini menjadi benchmark yang diidamkan 45 - telah menimbulkan laju pertumbuhan yang pesat dibandingkan periode merkantilisme abad sebelumnya 46 , memberikan banyak keuntungan dan kemakmuran yang terutama dinikmati oleh bangsa Eropa, tidak oleh bangsa lain seperti di Asia dan Afrika. 47 Paradoks ini, oleh para ilmuwan Barat, tidak pernah diungkap dalam sejarah ekonomi, yang notabene menjadi premis yang diidamkan atau dicita-citakan terwujud kembali pada masa kini dan mendatang. Gairah liberalisme klasik yang menggeser paham merkantilisme timbul dari hasil terobosan pemikiran Adam Smith melalui karyanya The Wealth of Nations yang 45 Secara makro, angka dan bukti empiris menunjukkan bahwa sistem perdagangan bebas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara yang terlibat dalam kegiatan pada masa laissez-faire itu. Dan kini menjadi patokan pembanding yang diidamkan terjadinya lagi di masa mendatang. namun ka!i ini dalam konteks global. Abad pertengahan, paham merkantilisme mendominasi persepsi ekonomi dan politik dalam kurun tahun 1500 hingga 1750, bercirikan menghendaki peningkatan kekuasaan pemerintahan nation state di bawah kekuasaan raja bersifat absolut. Sehingga penguasaan politis melalui militer di bawah raja, dikerahkan untuk penguasaan ekonomi maupun perdagangan wilayah kolonialisasi yang lebih luas dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya. Paham merkantilisme ini dalam berbagai segi membawa kemakmuran bagi negaranegara kolonialis, karena persepsi dasarnya bersifat konfliktual, memandang statis terhadap pertumbuhan ekonomi; regulasi kegiatan ekonomi yang berlebihan; kekuasaan yang monopolitis cenderungan korup; maka dianggap tidak stabil, dan a-historis menghambat sistem ekonomi dan perdagangan yang koheren dengan kehidupan asasi individu anggota masyarakat. Di sinilah benih kegagalan merkantilisme berkembang, tidak mampu menghadapi tantangan zaman gerakan masyarakat kelas menengah, pengusaha kapitalis, dan golongan lain.Lihat, pada awal Abad ke-19, pada waktu perang Napoleon, Hindia Belanda pernah diduduki oleh Inggris, di mana Sir Stamford Raffles pernah menjadi Lt. Gubemur Jenderal Inggris di Jawa. Pada waktu itu, Raffles sebagai penganut paham liberal berupaya mempercepat proses peralihan dari merkantilisme perdagangan dengan memantapkan praktek liberlisme dalam kebijakan pemerintah kolonialis lnggris di Pulau Jawa. Lebih lanjut baca: C.E. Wurtzburg, Raffles ofthe Eastern Isles, (Singapore: Oxford University Press, 1990), p. 184-400. 46 Keuntungan dan kesejahteraan sepanjang zaman keemasan periode liberal pada abad kc-19 itu yang hanya dinikmati oleh bangsa Eropa, sedangkan terutama bagi bangsa Asia dan Afrika perkembangan itu tidak banyak berarti kecuali pengalaman kolonialisasi dan imperialis, dan dirampas sumber dayanya oleh nafsu kaum liberal-kapitalistik. Masa itu, bangsa dan wilayah Asia-Afrika dieksploitasi dan dikuasai secara politik dan ekonomi sebagai jajahan negara-negara Eropa. 47 39 diterbitkan pada tahun 177648 . Jika secara cermat kita pahami, pandangannya terhadap perdagangan tidaklah seratus persen liberal, yakni: "Setiap pengusaha sebaiknyalah berusaha sekeras-kerasnya, mengikuti naluri alamiahnya, yaitu membuat keuntungan usaha yang sebesar-besarnya demi kepentingan pribadinya (individualisme). Sesuatu kekuatan gaib (invisible hand atau invisible brain), nantinya akan mengatur pasar tersebut sehingga tidak hanya pengusaha secara pribadi mendapatkan keuntungan besar, tetapi juga konsumen dan seluruh masyarakat akan mendapat keuntungan secara keseluruhan (sosialisme)". 49 . Pandangan Adam Smith itu, meski agak kontroversial jika tidak dibaca atau dipikir dengan sabar dan teliti .. Namun, telah membuka pola pikir mengatasi hambatan paham merkantilisme. Suatu peningkatan perdagangan terjadi. apabila suatu negara mengkhususkan pada bidang yang memiliki keunggulan absolut, agar memberikan keuntungan sebesar-besarnya dalam perdagangan. Suatu kekuatan gaib positif, nantinya akan mengatur perdagangan tersebut sehingga tidak hanya pelaku usaha akan mendapat keuntungan, masyarakat dan pemerintah secara keseluruhan tujuan perdagangan. Kemudian oleh David Ricardo di tahun 1817, dipertajam konsepsinya, bahwa dalam perdagangan internasional, dimungkinkan adanya pertukaran produkproduk yang memiliki keunggulan komparatif di antara masing-masing negara. 50 Melalui perjalanan sejarah yang panjang dan pasang surut paham liberalisme (Lihat Tabel 11-1 ), pad a tahun 1980-an, liberalisme diredifinisikan kembali oleh Friederich von Hayek ekonom dari Universitas Chicago AS, dan mahasiswanya Milton 48 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, (New York: Modern Library, 1937). 49 Iskandar Alisjahbana, "Perlu Didukung Pembaruan Mata Kuliah Evolusi ", Harian Kompas (28 Juni 2003): 34. 50 David Ricardo, Principles of Political Economy and Taxation dalam The Works if David Ricardo, (London: John Murray, 1817). 40 Friedman 51 . Sejalan dengan itu di AS, pada masa kepresidenan Ronald Reagan, dan lnggris di bawah Margaret Thatcher, mereka mengadopsi kebijakan politik dan perdagangan internasional ke sistem neo-liberalisme, dan didistribusikan melalui wahana institusional IMF, World Bank, termasuk WT0 52 . Tabe12-1 Sejarah Sistem Perdagangan Dunia 1500- 1995 53 Peri ode 1500- 1750 Keterangan D Merkantilisme D D D D 1815-1914 Zaman Keemasan Liberalisme Klasik D D D D D 1918 - 1941 D Fragmentasi Perdagangan Dunia D Kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk mendukung pemerintahan nation state yang kuat di bawah kekuasaan raja. Regulasi dan retriksi yang ketat oleh pemerintah Monopoli oleh pemerintah hampir disemua usaha Pemupukan kekayaan untuk membiayai armada militer AL., guna mendukung ekspansi koloni teritorial Kolonialisasi dan imperialisme untuk menguasai sumber daya dan teritori ekonomi. Perdagangan diserahkan pada mekanismen pasar, dan bursa komoditi. Deregulasi lalulintas modal, melalui perbankan, asuransi. Pengembangan pelayaran, deregulasi imigrasi. Menerapkan sistem pembayaran internasional gold standard sebagai cadangan devisa. Memusatkan perdagangan pada bidang yang memiliki keunggulan komparatif lebih daripada mitra dagangnya. Peningkatan proteksionisme, adanya kebangkitan nasionalisme Eropa yang agresif dan konfrontatif serta ekspansi ke dua di wilayah Afrika dan Asia, disertai regulasi yang ketat dalam urusan imigrasi. Terjadi dua Perang Dunia dan depresi besar di AS pada tahun 1930~n. D D 1945 - 1989 D Pasca Perang Dunia D D Restriksi dan regulasi meningkat dalam lalulintas modal, dan devisa. Saling relatiasi dalam mengatasi krisis ekonomi (beggar-thyneighbor policy). Tajamnya persaingan antara Rusia dan AS, negara-negara Marxis dan Non-Marxis, atau negara-negara Pakta Warsawa dan Nato .. Kesenjangan dan perbedaan kepentingan antara negara-negara Utara dan Selatan atau negara maju dan berkembang. Terbentuknya sistem moneter dan pembayaran internasional yang teratur dan bebas melalui IMF. 51 Khudori, Cancun dan Masa Depan http://www.republika.eo.id/, 24 September 2003. Neo-Liberalisme, Harian Republika 52 A.F. Elly Erawaty, Globalisasi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam kumpulan karya ilmiah A.\pek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, tim editor Ida Susanti dan Bayu Setio, (Bandung, Citra Aditya Bakti dan PH-Universitas Katolik Parahyangan, 2003), hal. 17-23. 53 H.S. Kartadjocmcna, Op.cil. hal. 11-12. 41 Keterangan Periode 0 0 0 0 1990Pasca Perang Dingin 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Terbentuknya kerjasama pembiayaan pembangunan dan perekonomian melalui IBRD dan Bank Dunia. Crisis energy pada tahun 1970 akibat boikot minyak dari negaranegara Arab sebagai perlawanan terhadap Zionisme. Pada tahun 1970-an era Presiden Nixon, AS melepaskan keterkaitan nilai tukar dolar denr,an sistet'l cadangan emas. Pada tahun 1980-an dikumandangkan paham neo-liberalisme di AS oleh Presiden Ronald Reagan dan di Inggris oleh Margaret Thatcher, gaungnya melalui IMF, dan Bank Dunia .. Runtuhnya regim Marxis-Lenin di seluruh dunia, pecahnya Uni Sovyet kurun tahun 1989-1991. Terwujudnya GATT-WTO di tahun 1994. Meningkatnya blok-blok perdagangan, a.l. UE, APEC, AFTA, dsb. Fenomena krisis moneter akhir masa 90-an di beberapa negara, seperti wilayah ASEAN, Mexico, Brasil, dsb. Persaingan dagang dan ekonomi di antara negara-negara rnaju. Kesenjangan antara negara-negara maju dan negara berkembang yang semakin curam. Fenomena tumbuhnya negara industri baru (new industrial contriesNICs). ternyata cenderung ersatz capitalism atau kapitalisme semu yang menghasilkan buble economics pertumbuhan ekonomi melalui yang deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan yang dipaksakan. Menurunnya pangsa dan harga-harga prodt:k pertanian primer dalam perdagangan dunia. Aksi pengemboman yang meruntuhkan Gedung Kembar WTC, New York pada 11 September 2001, simbol perlawanan terhadap liberalkapitalistik dan keadidayaan AS. Oleh ekonom dan ilmuwan dunia yang merindukan terwujudnya kembali zaman keemasan liberalisas1 perdagangan seperti periode /aissez-faire dikemukakan dengan teori neo-liberal disertai penjelasan faktual yang meyakinkan. Memang dari berbagai sumber yang ada, diperoleh gambaran secara makro, angka dan bukti empiris liberalisasi perdagangan menunjukan mampu meningkatkan laju pertumbuhan perdagangan dan ekonomi, serta memberikan kemakmuran dan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara yang terlibat dalam kegiatan masa itu. Berkaitan dengan ini pula, dalam perspektif saat ini memandang masa depan, kita bangsa Indonesia yang pada masa laissez-faire yang lampau hanyalah obyek eksploitasi liberalisme-kapitalistik tunduk di bawah pemerintahan kolonial selama lebih dari tiga abad. Tetapi kali ini kita telah menjadi bangsa merdeka dan negara berdaulat 42 bersama berbagai bangsa merdeka lainnya, akankah juga dapat menikmati hasil dari liberalisasi pasar dunia? 2.2 Kesenjangan yang Terabaikan dalam Liberalisasi Perdagangan "Bila kesenjangan tersebut mulai dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil maka timbul resistensi terhadap sistem liberal yang berlaku". Pada dekade 1980-an, perekonomian dan perdagangan dunia, mengalami keadaan yang bernuansa de javu seperti pada situasi sistem liberalisme klasik pada A bad ke-19 itu 54 (Lihat Tabel 11-2): Tabel2-2 Nuansa De Javu antara Liberalisme Klasik dengan Neo-Liberalisme Periode Laissez-Faire Revolusi Industri di Inggris, adanya penemuan mesin uap mendorong pertumbuhan industri manufaktur, dan penciptaan kapal uap yang memungkinkan untuk transportasi jaringan perdagangan dunia maupun kolonialisme yang lebih luas. Dalam bidang informasi di Jerman di temukan mesin cetak gutenberg yang bermanfaat- untuk penyebaran informasi media cetak sampai saat Menguatnya institusi serta instrumen keuangan dan perbankan peranannya di dalam sistem finansial dan moneter dunia. Pasar uang di London, peran Bank of England untuk menjamin integrasi sistem perbankan dalam Gold Standard. Deregulasi diberbagai bidang ekonomi dan keuangan yang diterapkan era merkantilisme sebelumnya, atas desakan masyarakat kelas menengah, saudagar, dan ekonom liberalkapitalistik. Periode Neo-Liberalisme Perkembangan teknologi sedemikian pesat terjadi disegala bidang, melampaui periodeperiode sebelumya, antara lain dalam bidang transportasi pesawat terbang, perkapalan, otomotif dan industri manufaktur lainnya. Revolusi teknologi ini memacu pertumbuhan ekonomi dan perdagangan. Perkembangan komputer dan internet serta teknologi mass-media (broadcasting) telah diantisipasi akan membawa perubahan keterhubungan seketika antara individu-individu di seluruh dunia, dalam konteks poleksosbud. Peran dan pengaruh yang luas institusi serta instrumen keuangan dunia, seperti World Bank, IBRD, dan IMF. Pasar Modal di New York (diikuti dengan Inggris, Jepang, Singapura) dan Bank Sentral AS, terutama setelah AS era kepresidenan Nixon melepaskan Gold Standard menjadikan dolar AS sebagai mata uang yang paling berpengaruh di dunia. Deregulasi diberbagai bidang ekonomi dan keuangan yang diterapkan era inward looking atau nasionalisme agresif tahun 1940 - 1970an sebelumnya, atas pengaruh Multinational Corporations (MNCs), ekonom dunia, IMF dan World Bank. 54 Lihat misalnya, Jeffrey Sach and Andrew Warner, Economic Reform and the Process oj'(;/ohal Integration, (l JNC'T AD, Trade and Development Report, 2002). 43 Periode Neo-Liberalisme Kegiatan perdagangan dan perekonomian mencakup ke seluruh dunia dalam konteks globalisasi, mengingat hampir semua negara maju, negara berkembang dan miskin terlibat. Kebijakan globalisasi perdagangan dan perekonomian mencakup seluruh dunia dikembangkan dalam konstelasi Structural Adjustment and Stabilization Program - IMF . Lebih jauh, sistem ekonomi neo-liberalisme ini memperoleh legitimasi yang Periode Laissez-Faire Kegiatan perdagangan dan perekonomian mencakup ke seluruh dunia dalam konteks internasionalisasi, negara-negara yang terlibat terkonsentrasi di beberapa negara Barat . Kebijakan internasionalisasi perdagangan dan perekonomian mencakup seluruh dunia dikembangkan dalam konstelasi kolonialisasi. lebih luas di dunia ini, dengan kegagalan sistem sosialisme-komunisme sejalan pecahnya negara Uni Sovyet dan kekuasaannya di beberapa negara Eropa Timur di kurun 1989-1991, sekaligus menandai berakhirnya era Perang Dingin. Kalahnya sistem sosialisme-komunisme menjadikan sistem ekonomi neo-liberalisme-kapitalistik muncul sebagai pemenang tunggal, dan sejElk itu berlaku sebagai globalisasi ekonomi sampa1. k"1n1-55 . Secara fakta, liberalisasi dalam kegiatan ekonomi domestik dan internasional telah meningkatkan kesejahteraan negara peserta. Pemahaman iri kita terima dalam rangka mendukung teori ekonomi neo-liberalisme, yang diajukan berdasarkan buktibukti indikator dan data ekonomi oleh para ekonom dunia 56 . Namun demikian ada satu hal yang menjadi paradoks, yakni: apakah keuntungan dan kemakmuran yang 55 Baca an tara lain, Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man ( 1992); juga Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996). 56 Para ekonom (neo-liberal) dunia sering kali mengemukakan, bahwa perdagangan bebas seperti diaspirasikan oleh globalisasi dewasa ini, yang didukung peran serta perusahaan multinasional sebagai pelaku utama dalam mobilisasi kapital-investasi memenuhi hukum permintaan dan penawaran secara teoritis menguntungkan dan membawa kebaikan bagi setiap umat manusia. Logikanya, perdagangan bebas yang berlandaskan teori komparatif akan meningkatkan volume perdagangan dunia, dan di setiap negara yang terlibat, di mana adanya multiplier effect meningkat sehingga pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan naik, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan per individu penduduk negara itu. Selanjutnya, perdagangan bebas akan menumbuhkan iklim kompetisi yang sehat di antara para produsen dalam merebut pangsa pasar, sehingga akan mendorong mereka untuk melakukan efisiensi ekonomi, spesialisasi produksi, peningkatan kualitas, dan pada gilirannya konsumen akan diuntungkan karena mempunyai banyak pilihan dengan kualitas setara dan harga bersaing. 44 ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan tersebut memang secara nyata tersebar secara adil dan menjangkau kepada individu-individu masyarakat di antara negara-. negara di dunia ini dan di dalam masing-masing negara? Dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ternyata dalam kurun waktu yang sama, sejak tahun 1980-an kesenjangan kekayaan antara negara industri maju dengan negara berkembang dan negara yang terbelakang justru semakin curam 57 . Demikian pula halnya, kesenjangan pendapatan per individu antara mereka yang menguasai faktor-faktor produksi dengan mereka yang tergolong hanya kelas pekerja di dalam masing-masing negara juga bertambah besar. Melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin di berbagai negara tersebut justru semakin tajam, seiring dengan semakin tergesa-gesanya negara-negara itu menerapkan liberalisasi perdagangan. Tidaklah mengherankan adanya kelemahan-kelemahan itu menimbulkan reaksi, yang oleh para aktivis buruh, dan lingkungan hidup sert2 mereka yang kritis terhadap liberalisasi perdagangan, keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan ini merupakan dampak dari kebijakan perdagangan bebas yang salah atau yang terlalu tergesa-gesa dipaksakan di semua negara sementara kondisi ekonomi, sosial, politik, dan faktor-faktor otonom 58 lainnya tidaklah sama. Bila kesenjangan tersebut mulai dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil maka timbul resistensi terhadap sistem liberal yang berlaku. Faktor ini pulalah dalam sejarah perdagangan dunia tercatat sebagai awal keretakan sistem liberal Abad ke- 57 John Cavu.nagh (et.al), Alternatives Task Force of International Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World is Possible, (USA: Berret-Koehler Publisher, 2002). 58 Faktor otonom seperti di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya terutama berkaitan dengan produksi di bidang pertanian seperti: penguasaan teknologi, luas tanah garapan, tingkat pendidikan petani yang rendah, tingkat pendapatan, dan sebagainya. 45 19. Di samping faktor kesenjangan ekonomi yang langsung berkaitan dengan pelaku ekonomi, ada pula faktor otonom yang berkembang pada akhir Abad ke-19 dan awal Abad ke-20, muncul kembali akhir-akhir ini dengan hanya karena Amerika Serikat yang suka tidak suka - saat ini diakui sebagai satu-satunya negara adidaya, telah menimbulkan nasionalisme serta regionalisme agresif baru. Hal-hal tersebut tentunya sangat mempengaruhi kepada gerak - yang implisit terasosiasi dengan kepentingan AS 59 - agar sistem perdagangan bebas dapat berkembang. Secara berangsur, dalam periode terakhir seperti terjadi dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-5 WTO di · Cancun, Mexico pada bulan September 2003, ditemui beberapa hambatan dan semakin jauh dari kepastian yang diperlukan karena timbulnya konflik politik dan kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Klaim para ekonom liberalis, bahwa perdagangan bebas adalah cara paling tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ternyata juga banyak di bantah oleh beberapa ekonom dunia. Suatu pernyataan yang paradoksal diutarakan oleh Dani Rodrik mengatakan bahwa tidak ada bukti absolut dan meyakinkan mengenai liberalisasi perdagangan selalu berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak terbukti pula bahwa liberalisasi perdagangan adalah baik untuk pembangunan manusia 60 . Ada beberapa fakta yang dapat menjadi dasar argumentasi pernyataan menerapkan ini. Vietnam, reformasi misalnya, ekonomi, sejak tetapi tahun tidak 1980-an dengan secara bijaksana mengadopsi kebijakan perdagangan bebas, dan Vietnam juga bukan anggota WTO, namun ternyata 59 Meskipun mengasosiasikan globalisasi paham neo-liberalisme dengan Amerika Serikat memang tidak sepenuhnya salah, namun pandangan ini dapat menyesatkan mengingat banyaknya faktor yang memicu globalisasi ekonomi-perdagangan dan Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang harus bertanggungjawab atas liberalisasi global tersebut. 60 Bruce Ross-Larson (ed), Making Global Trade Work for People, (UK: UNDPEarthscan Publication, 2003). 46 mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. 61 Sebaliknya, Argentina dan Haiti keduaduanya anggota World Trade Organization (WTO) menerapkan perdagangan bebas secara komprehensif sejak 1990-an ternyata mengalami nasib buruk: pertumbuhan ekonominya stagnan, kemiskinan meningkat, indikator sosial merosot, hutang luar negeri meningkat, yang semuanya mengakibatkan instabilitas politik yang berpuncak pada kerusuhan sosial dan pergantian presiden berkali-kali di Argentina dalam kurun waktu 2000-2003. 62 Dernikian juga halnya di negara-negara industri maju sebagai pelaku utama WTO, liberalisasi perdagangan dan ekonomi melaju bukan tanpa tantangan keras. Organisasi buruh di negara ini dan aktivis lingkungan hidup adalah dua kelompok dari sekian banyak kelompok yang paling keras mengkritik globalisasi ekonomi karena dianggap sebagai penyebab banyaknya perusahaan industri manufaktur merelokasikan pabriknya dengan membuka pabril< di negara-negara berkembang, atau merupakan bagian dari sistem pemasaran, perluasan skala ekonomi usahanya dan sekaligus upaya peningkatan keunggulan komparatif melalui pengsubkontrakkan produksinya ke berbagai perusahaan di negara-negara berkembang itu. lni dilakukan dalam rangka rasionalisasi dengan pertimb3ngan upah buruh yang lebih rendah serta menekan serendah mung kin biaya produksi dan risi'<o social enviromental cost secara keseluruhan di bandingkan membuka pabrik di negerinya. Akibatnya lapangan kerja untuk para pekerja negeri maju semakin berkurang, yang berarti meningkatnya pengangguran dan menurunkan kualitas hidup. Mengingkari tujuan WTO sendiri, muncul kenyataan paradoksallainnya. bahwa liberalisasi perdagangan secara embedded hanya menguntungkan perusahaan- 61 Ibid. 62 Sarah Anderson, Ar~entina and the !MF, dalam John Cavangh (et.al), Op.cit. 47 perusahaan multinational corporations (MNCs) atau sering juga disebut transnational corporations (TNCs) yang notabene mayoritas berbasis di negara-negara industri maju (Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan beberapa dari Korea Selatan), oleh karena liberalisasi perdagangan mereka memperoleh legalisasi setidaknya kepastian hukum melalui berbagai perjanjian WTO, untuk lebih bebas beroperasi menguasai pasar di negara-negara berkembang. 2.3 Agenda di Balik Pengaruh Multinational Corporations- MNCs "Tidak boleh diingl<ari bahwa kchadiran mereka melaui aliran Foreign Direct Investments (FDI) atau Pcnanaman Modal Asing (PMA) juga mcmberikan keuntungan bagi negara-negara manapun yang dituju ... Keuntungan ekonomi ini sewajarnya tidak menyilaukan mata hati nurani para pembuat kebijakan politik pembangunan nasional di Indonesia ... Toh, kalau ada gejolak politik, keamanan dan ekonomi serta pcrubahan iklim investasi yang dianggap tidak kondusif dan menguntungkan lagi, mereka tinggal cabut dari negara yang semrawut ini, bagi mereka nothing to loss it's just a business". Sebagai salah satu pelaku utama perdagangan bebas era globalisasi ini adalah perusahaan multinatational corporations. Keberadaan mereka pada tahun 2000 saja mencapai jumlah lebih dari 50.000, peningkatan luar biasa pesat dibandingkan tahun 1970 yang baru sekitar 7000 63 . Dan sebagian besar di antaranya berdomisili di negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Sebagaimana umumnya bisnis, jejaringan (network) dan koneksi mereka baik melalui asosiasi, lobby politik serta akses ke pemerintahan-pemerintahan demikian kuat. Hubungan sirnbiosis mutualisme antara MNCs dan pemerintahan terutama jika terkait dalam suatu kebijakan perdagangan dan perekonomian tak dapat disangkal demikian besar. Bagaimana tidak kekayaan multinational coorporation sangatlah besar bahkan ada beberapa di antaranya melebihi Anggaran Pendapatan 63 UNCT AD, World Investment Report 2001, (200 1). 48 dan Belanja Negara (APBN) negara-negara terbelakang di dunia 64 . Untuk tidak mengatakan sebagai pesaing utama negara - karena kemampuan ekonomi riilnya yang sedemikian besar - mereka dianggap sebagai asset nasional bahkan sebagai pilar perekonomian suatu negara, seperti dikenal kebijakan yang merujuk istilah Japan Incorporated, Indonesia Incorporated dan lain sebagainya 65 . Beberapa contoh multinational corporations, misalnya Coca Cola, Nokia, Microsoft Inc. Sony, Dupont, Mosanto, British Petroleum, Samsung, Time-Warner Bros, ICI, Toyota, dan banyak lagi sampai Me Donald. Tidak boleh diingkari bahwa kehadiran mereka melaui aliran Foreign Direct Investments (FDI) atau Penanaman Modal Asing (PMA) juga memberikan keuntungan bagi negara-negara manapun yang dituju. Kehadiran multinational corporations akan membuka lapangan l<erja baru, meningkatkan pendapatan negara dari sisi perpajakan, apalagi bila produksi mereka diorientasikan untuk pasar ekspor tentu menguntungkan bagi perekonomian secara umum dan penambahan devisa khususnya. Keuntungan ekonomi ini sewajarnya tidak menyilaukan mata hati nurani para pembuat kebijakan politik pembangunan nasional di Indonesia. Selayaknya air selalu mengalir i<e tempat yang lebih rendah, demikian pula para pelaku usaha apalagi reputasi MNCs tersebut tentu memberlakukan azas oportunitas, mereka akan memprioritas ke negara-negara yang menurut mereka mempunyai posisi tawar (bargaining position) lebih rendah dipandang dari persepsi keuntungan yang akan diperoleh nantinya. Suatu regim otoriter, zaman Soeharto contohnya, era pemerintahan otoriter yang penuh dengan perilaku serakah, korup, 64 A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 18-20. 65 .Japan Jncorporaled istilah dibcrikan oleh mass-media untuk menyebut gencarnya kebijakan politik perdagagangan dan perekonomian yang diintergrasikan dengan kebijakan luar negeri pemerintah Jepang dalam rangka strategi pemasaran dan pengembangan investasi dan produksi, istilah ini kemudian diadopsi pemerintahan Indonesia. 49 dan kolutif sangat menguntungkan bagi kepentingan pengembangan bisnis MNCs ini. Karena aparat birokrat dan ekonom era Orba yang hipoKrit kapital-liberalistik mudah diajak kongkalikong yang penting UUD (ujung-ujungnya duit) dapat lestari mengisi kantong mereka. Toh, kalau ada gejolak politik, keamanan dan ekonomi serta perubahan iklim investasi yang dianggap tidak kondusif dan menguntungkan lagi, mereka tinggal cabut dari negara yang semrawut ini, bagi mereka nothing to loss it's just a business. Seperti dicontohkan hengkangnya PT Primarindo Asia Infrastructure (Reebok), PT Doson Indonesia (Nike), PT Avon Indonesia maupun PT Sony Indonesia di tahun 2002 memperlihatkan betapa modal dapat seenaknya keluar masuk sebuah negara demi mencari keuntungan yang lebih tinggi dari negara yang mampu memberi berbagai kemudahan yany maksimal, termasuk juga menghindar dari adanya gerakan buruh yang kuat. Relokasi telah lama dipakai oleh MNCs untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya dengan harga serendah-rendahnya. Relokasi adalah dasar dari globalisasi korporasi dan digunakan untuk memperlemah kemampuan industri nasional dan memperlemah kaum buruh. Dalam relokasi terdapat prinsip fleksibilitas tenaga kerja (labour flexibility) yang semakin menempatkan buruh dalam posisi yang serba lemah berhadapan dengan pengusaha, lewat kerja kontrak jangka pendek, kerja paruhwaktu, pekerja sub-kontrak maupun pekerja rumahan. Globalisasi semakin merusak standar perburuhan dan hak-hak buruh, dan hanya menekankan pada liberalisasi investasi dan pembukaan pasar sebebas-bebasnya. Tidak hanya itu, dalam masalah persengketaan dagang mereka bisa berupaya melalui berbagai jalan, antara lain Dispute Settlement Body WTO, Badan Arbitrase lnternasional, sampai cara jalur tekanan politik oleh pemerintah negara asalnya. Dan bila demikian reputasi negara kita buruk, karena indeks country risk-nya tinggi, investor jadi enggan datang. 50 Banyak faktor yang mempengaruhi aliran foreign direct investments (FDI) ke suatu negara, antara lain: • Pasar yang tersedia, tujuan pasar dan sifat produk. Apakah produksi sebagai substitusi produk impor bagi kebutuhan dalam negeri atau dibuat untuk pasar ekspor. Indonesia dalam hal ini, oleh investor asing dianggap sangat menguntungkan sebagai pasar dalam negeri dari segi 200 juta penduduknya, sekaligus lokasi pendirian pabrik untuk produksi ekspor dari segi dari segi sumber daya alam, manusia dan letak negara. • Situasi ekonomi, politik, keamanan sosial negara bersangkutan. Di beberapa negara terutama negara berkembang, tingkat upah buruh seringkali dianggap sebagai salah satu keunggulan komparatif. Indonesia, misalnya oleh investor asing faktor keamanan dianggap lebih penting dalam menarik investasi asing. Penulis pada bagian ini, ingin menyinggung secara khusus masalah liberalisasi perdagangan di biuang pertanian, terutama keterkaitan Agreement on Agriculture dengan salah satu isu baru yakni Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) - WTO yang sangat kontroversial 66 , dan posisi multinational corporation (MNCs) sebagai pihak yang paling diuntungkan di dalam keseluruhan konteks perjanjian WTO. Negara maju mendesakkan usulan TRIPs - yang merupakan hidden agenda pesan sponsor dari pelaku-pelaku MNCs - dengan menegaskan tiga keuntungan bagi 66 Pada bulan Oktober 1992, 500 ribu petani di negara bagian Karnataka, India memulai gerakan Satyagraha Benih dengan melakukan demonstrasi menentang pemberlakuan hak paten atas benih tanaman pertanian. Dalam unjuk rasa besar-besaran itu- dalam rangka memprotes dan menentang perjanjian yang berkaitan dengan TRJPS- para petani mengatakan bahwa perlindungan paten atas benih tumbuhan yang diberikan kepada perusahaan besar memberikan hak monopoli ini akan memaksa petani India dan di Dunia Ketiga umumnya membayar lebih mahal untuk benih, Shiva dalam M. BaummaP, et. a!., The Life Industry: Biodiversity, People and Profits, (London: World Wide Fund for Nature and Swiss Aid, 1996) .. 51 negara berkembang, apabila mereka menerapkan perlindungan Hak atas Kekayaan lntelektual, yaitu: 67 ( 1). Peningkatan jumlah penanaman modal asing langsung atau foreign direct investments (FDI); (2). Peningkatan alih atau transfer teknologi; dan (3). Peningkatan kegiatan penelitian serta pengembangan atau research and development (R&D) di tingkat lokal. Tetapi, dalam perspektif negara berkembang, hal itu belum tentu terbukti. Sebaliknya pemberlakuan TRIPs justru dapat menimbulkan dampak negatif, seperti misalnya terhadap kesehatan dan terhadap inovasi komunal seperti sering dilakukan oleh para petani tradisionil dan suku-suku pedalaman. Dalam konteks perdagangan internasional saat ini, suatu multinational corporations tidak lagi hanya dapat menjadi pemegang paten penemuan-penemuan baru di bidang teknologi industri yang lazim secara harfiah, kini mereka juga di mungkinkan menjadi pemegang paten atas proses rekayasa "makhluk hidup". Kepemilikan Paten atau Hak atas Kekayaan lntelektual (HaKI) benih atau varietas unggul yang "dikembangkan" oleh multinational corporations yang bergerak di bidang agroindustri akan merugikan para petani tradisional di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Mereka harus membayar mahal harga benih yang dibutuhkan, serta mengurangi cadangan devisa 68 -yang sangat diperlukan bagi keperluan impor 67 C.M. Correa, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the TRIPs Agreement and Policy Option, (London: Zed Books and Penang, Third World Network, 2000), p. 28. 68 Ada indikasi penguatan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) akan meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti. Misalnya, laporan UNDP menyatakan bahwa sebagian besar paten di dunia dimintakan dan dipegang oleh perusahaan yang berada di Amerika Utara, Eropa Barat atau Jepang. Hanya tiga persen paten dunia yang dimiliki oleh inventor di negara berkembang. Situasinya lebih tidak adil dalam hal hak paten.atas produk bio-tekonologi. Dari 25 ribu hak paten atas produk bio52 pada saat kesulitan pangan - melalui pembayaran royalti ke negara maju di mana MNCs tersebut berada. Hal ini selain mengurangi pendapatan dan keuntungan petani, karena meningkatnya biaya produksi otomatis menjadikan harga jual mahal, dan masyarakat belum tentu mampu membeli 69 . Sehingga secara aggregate harga produk pertanian tidak kompetitif terhadap harga impor. Adanya keterbatasan akses dan rendahnya daya beli para petani tradisionil untuk mendapatkan benih unggul, mengakibatkan ;:>roduktivitas menurun dan mereka akan frustrasi sehingga berpaling ke produksi tanaman lainnya, atau bahkan urbanisasi mencari kerja ke sektor lain di kota.yang dianggap lebih menguntungkan. Pola perilaku petani (farmer behavior) kontraproduktif stereotipe di berbagai negara berkembang, yang pada gilirannya mengancam produksi yang dapat mengurangi cadangan pangan, sementara 200 juta lebih penduduk di Indonesia membutuhkan cadangan pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan ini membuat negara menjadi sangat bergantung pada pasokan impor yang belum tentu dapat dipenuhi bila devisa untuk impornya tidak ada, semua mengovergensikan pada masalah ketahanan pangan. Liberalisasi perdagangan dengan jaminan dan kepastian hukum pada Hak atas Kekayaan lntelektual (HaKI) seperti disyaratkan dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang ditekankan oleh negara maju, akan menafikan keberadaan hak kolektif atau komunal atas benih atau genetic teknologi di dunia pada 1990-1995, sekitar 93% dimiliki oleh AS, Jepang dan Eropa Barat. Dari sisanya 1, 7% dimiliki Eropa bagian lain, 1,2% Australia, 0,6% Kanada, 1,1% China, 0,5% Israel, 0,8% Korea Selatan, dan 0, 7% dimiliki oleh negara sedang berkembang Lebih lanjut: Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op.cit., hal. 25-31. 69 A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 31. 53 commons 70 yang dimiliki oleh para petani tradisionil sejak berabad-abad yang lalu. Kemudian dapat menimbulkan kesenjangan dalam memenuhi rasa keadilan bagi petani. Jika dilihat dari perkembangan hukum modern sebagai bagian konsep inti dari pembangunan ekonomi (modern law is viewed in the core conception as a functional prerequisite of an industrial economy) harus pula dikritisi mengingat tentang konsep "kepemilikan pribadi" (private property) adalah inti sistem kapitalisme. Achmad Ali, menyatakan bahwa: "Kita jangan pernah mengabaikan konteks politik yang mewarnai kehadiran negara modern sekitar 2 abad silam, yang saya maksudkan adalah faktor atmosfir politik liberalisme. Fokus pemikiran liberal adalah kemerdekaan individu. Maka logis jika positivisme yang dalam sejarahnya lahir dalam atmosfir liberalisme, tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas bagi masyarakat. Sistem hukum, dalam paradigma positivisme, tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivisme berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatannya, sistem hukum yang lebih menonjolkan kemerdekaan individu daripada pencarian kebenaran dan keadilan telah "memakan" banyak korban, baik di negara asalnya di Barat maupun di negara-negara yang menganut positivisme belakangan." 71 Dalam kenyataannya, studi yang dilakukan oleh Universitas PBB memperlihatkan bahwa perlindungan HaKI tidak memiliki peranan yang cukup signifikan dalam mempengaruhi pola aliran foreign direct investments (FDI) dan transfer teknologi 72 . Bahwa HaKI bukanlah penentu mutlak FDI juga dilaporkan oleh UNCTAD pada tahun 1994. Laporan tersebut menyebutkan 90 persen FDI ke negara70 Genetic commons dapat diartikan sebagai the vast building blocks of all life on earth atau aneka ragam mikroorganisme hayati yang ada di muka bumi ini yang keberadaannya karena kemurahan alam dan sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun yang lalu serta amat berguna bagi kehidupan seluruh umat manusia di muka bumi. Biasanya genetic commons ini tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi secara komunal oleh masyarakat tradisional atau suku asli tertentu. Lihat Vandana Shiva, From Commons to Corporate Patents on Life, dalam John Cavanagh, Op.cit, 71 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta: Ghalia, 2002, hal. 40-41. 72 C. Oh, Ten Questions on TRIPs, Technology Transfer and Biodiversity, (Penang: Third World Network, http://www.twnside.org.sg/, 2 Desember 2003. 54 negara Asia Pasific terkonsentrasi hanya di negara-negara tertentu seperti China, Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Berdasarkan data yang ada, lemahnya perlindungan HaKI tidak berarti hambatan bagi FDI pada tingkat global. Bahkan sistem HaKI dapat menghambat perkembangan riset domestik73 . Sebaliknya negara-negara di mana perlindungan HaKI tidak kuat seperti Swiss, Jepang dan negara-negara Asia ternyata mampu mengejar ketertinggalannya dalam bidang teknologi. Tiadanya perlindungan HaKI yang kuat memberi kesempatan bagi negara dan masyarakat di atas untuk membuat produk-produk yang mirip dan sejenis, yang kemudian memacu perkembangan investasi dan dana riset 74 . 2.4 Dalam WTO, Negara Berkembang Pelaku atau Pecundang "Satu orang mati setiap 4 detik karena kelaparan, 24 ribu orang mati setiap hari karena kelaparan atau karena penyakit yang berkaitan dengan l<chtparan. Satu dari lima orang ui ncgara-ncgara bcrl<.cmbang mcngalami kekurangan pangan secara kronis, kebanyakan dari mereka, perempuan dan anal<-anak Di WTO, pcmhicaraan dan pcmhicaraan lagi tcntang pcrdagangan pcrtanian mungkin tidak akan mcmpcringan kcccnderungan ini, tetapi malah mcmpcrbcratnya, cclakanya para pcmbuat kcbijakan dan pcmimpin dunia .iustru semakin tidak scnsitif tcrhadap pendcritaan itu. Fokus mereka tetap bertahan pada keuntungan dari perusahaan agribisnis dan pasar-pasar global yang dapat mereka buka". Di sini kita akan menelaah liberalisasi perdagangan produk pertanian yang dianggap sangat penting oleh banyak negara, terutama negara-negara berkembang. Bidang pertanian di negara berkembang merupakan bagian dari keseluruhan aktifitas ekonomi dan terus memainkan peran utama dalam produksi pertanian dan ketenagakerjaan, juga akan membuka peluang diversifikasi pa'lgan 75 . 73 Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op. cit 74 Ibid 75 Kaman Nainggolan, Pertanian Pasca Cancun, Peluang Negara Berkembang, http://www.kompas.cum, 25 September 2003. 55 Semua "aturan permainan neo-liberalisme" perdagangan dan perekonomian yang tertuang dalam perjanjian GATT-WTO merupakan satu undertaking, artinya semua negara anggota setuju menandatangani perjanjian-perjanjian GATT-WTO sebagai satu kesatuan paket bukan terpisah sendiri-sendiri. 76 Karenanya bagi negara peserta tidak dapat memilih perjanjian tertentu saja atau yang mana saja yang akan diikuti secara parsial. Hal ini bagi negara berkembang - entah disadari atau tidak bagai memilih buah simalakama. Suatu keuntungan- waktu yang akan membuktikan - bahwa perjanjian di bidang tekstil dan pertanian - dua bidang yang sangat penting bagi negara berkembang - yang dahulu sebenarnya "terpisah" dari paket GATT, kini menjadi satu bagian dalam WTO, sehingga semua negara anggota termasuk negara maju menjadi terikat pada perjanjian itu. Sebaliknya suatu kerugian bagi negara berkembang yang umumnya belum siap, namun dipaksakan untuk segera siap menjadi terikat juga pada perjanjian-perjanjian yang memuat isu-isu baru yang kontroversial (karena implikasi sebenarnya sangat luas selain ekonomi-perdagangan mencakup pengetahuan, teknologi, sosial, adat-budaya, dan keanekaragaman hayati) karena lebih banyak menguntungkan negara maju dan membebani negara berkembang, misalnya perjanjian tentang Agreements on Trade in Services (GATS), Trade Related Aspects of Investment Measures (TRIMs) dan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Seorang diplomat dari Kenya, Thomas Ogada, mengatakan bahwa negara berkembang diundang mengikuti Putaran Uruguay hanya untuk ikut bersama-sama mencincang Dunia Ketiga. Hal ini karena kekuatan tawar menawar antara negara maju dan negara berkembang pada serangkaian putaran perundingan GATT, hingga Putaran Urugay tidak seimbang. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa pada akhirnya, 76 A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 13. 56 negara berkembang menerima usulan negara maju untuk mengkaitkan perdagangan internasional dengan perlindungan HaKI dalam bentuk TRIPs, setelah sebelumnya menolak 77 . Satu orang mati setiap 4 detik karena kelaparan, 24 ribu orang mati setiap hari karena kelaparan atau karena penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. Satu dari lima orang di negara-negara berkembang mengalami kekurangan pangan secara kronis, kebanyakan dari mereka, perempuan dan anak-anak 78 .. Di WTO, pembicaraan dan pembicaraan lagi tentang perdagangan pertanian mungkin tidak akan memperingan kecenderungan ini, tetapi malah memperberatnya, celakanya para pembuat kebijakan dan pemimpin dunia justru semakin tidak sensitif terhadap penderitaan itu. Fokus mereka tetap bertahan pada keuntungan dari perusahaan agribisnis dan pasar-pasar global yang dapat mereka buka. Banyak penelitian pun telah menyimpulkan bahwa peraturan perdagangan yang timpang telah memperparah kelaparan dan kemiskinan di pedesaan. Selain mempertahankan tuntutan keadilan dan hak untuk mempertahankan diri mereka dari impor pangan bersubsidi yang dikirim ke negara mereka, perunding dari negaranegara berkembang juga berjuang pertarungan dari meja perundingan yang diduduki Am erika Serikat, Uni Eropa dan anggota-anggota kelompok Cairns. 79 77 Martin Khor, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga,(Jakarta: Gramedia dan KONPHALINDO, 1994). Hal. 13 78 Aileen Kwa, Negosiasi Pertanian WTO Dirancang Untuk Memperparah Kelaparan Di Dunia, http://www.focusweb.org/ publications/bahasa-indon esia/, 12 [Jesember 2003. 79 Dalam perundingan di Cancun baru-baru ini, posisi-posisi negara WTO terpolarisasi antara Amcrika dan Kelompok Cairns (Australia, Sclandia Baru, Canada, Argentina, Brazil, Costa Rica, Malaysia, Thailand, Chili dan lain-lain) di satu pihak melawan Uni Eropa dan negara-negara berkembang di lain pihak. Lebih lanjut: Ibid.. 57 Hingga satu dekade sejak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) didirikan, janji liberalisasi perdagangan dunia masih jauh dari harapan. Realisasi sangat berbeda dengan retorika, dan wacana yang ada didalamnya pun masih banyak diperdebatkan. Sama halnya terhadap liberalisasi perdagangan produk pertanian. Sejak 1 Januari 1995 suatu Agreement on Agriculture (AoA) diberlakukan, untuk menciptakan perdagangan hasil pertanian yang fair, predictable dengan cara penghapusan subsidi, serta membuka akses pasar dengan memperhatikan kepentingan pembangunan negara-negara miskin dan berkembang yang sampai saat ini masih bergantung pada impor pangan (net importir/ 0 . Ternyata pelaksanaannya masih berlangsung beberapa perbedaan konsensus yang mendasar, terutama menyangkut perbedaan kepentingan antara negara-negara Utara dan Selatan. Bagi negara-negara berkembang tuntutan suatu perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment - S&D) merupakan bag ian integral dari seluruh aspek perundingan WTO. Pertama karena adanya kekhawatiran suatu negara yang bergantung pada impor pangan akan menghadapi goncangan. Hal lain yang ditakutkan dalam pembukaan pangan secara global adalah akan meningkatkan kompetisi suplai pangan antara konsumen kaya di negara-negara maju lawan · konsumen di negara-negara berkembang. Sistem perdagangan pertanian memainkan peranan sangat penting dalam ketahanan pangan dunia, sebagai contoh masalah kekurangan pangan yang bersifat sementara ataupun kegagalan panen karena gangguan musim dan lainnya, akan 80 Departemen Perindustrian dan Perdagangan Rl, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djk;pi/wto.htm, 15 Desember 2003. 58 dapat dipenuhi dari perdagangan dunia. Dalam hal ini, impor pangan menjadi vital terhadap ketahanan pangan, ada dua hal yang penting untuk dikaji 81 : (I). Kapasicas untuk mempertahankan impor pad a tingkat yang dikehendaki; dan (2). Kepercayaan bahwa negara tersebut akan tetap akses terhadap impor, sebagai suatu ketentuan minimum access opportunitl 2. Risiko ketergantungan pangan internasional terhadap ketahanan pangan muncul manakala impor tidak tersedia atau menjadi mahal pada saat diperlukan, misalnya dihambat oleh embargo. Sejarah mengungkapkan negara eksportir sering melakukan embargo ekspornya demi kepentingan dalam negerinya ataupun sebagai alat penekan politik, misalnya 83 : • AS pernah melakukan embargo kedelai tahun 1973 dan 1975 sehingga harga kedelai melonjak. • Negara-negara Eropa membatasi ekspor serialia (kuantitatif kontrol atau pajak) tahun 1995-1996, gun a melindungi konsumen dalam negeri mereka. • Pangan dipakai sebagai senjata politik, dan senjata strategis untuk berbagai alasan seperti HAM, lingkungan hidup, sehingga akan memunculkan ketidakpastian suplai dari impor. • Embargo internasional akan lebih efektif lagi manakala di dalamnya dimasukan pangan. 81 Ibid. 82 Kewajiban kepada suatu negara untuk memberikan minimum access opportunity, yakni kewajiban untuk membuka kesempatan bagi negara-negara mitranya dapat mengekspor ke negara bersangkutan. Bagi Indonesia, dalam rangka mencapai swasembada beras dan membangun ketahanan pangan, maka kewajiban memberikan kesempatan minimum access yang sebesar 70.000 ton per tahun merupakan beban. Dan pada giliran Bulog sebagai State Trading Entity (STE) harus memenuhi kewajiban yang bersifat notifikasi, serta dalam kegiatan operasional untuk mengimpor harus mengikuti ketentuan non-diskriminasi. H.S. Kartadjoemena, Op.cit. hal. 243. 83 M. Husein Sawit, Op.cit, hal. 10-1 I. 59 Sementara itu, meski volume ekspor bidang pertanian meningkat secara substansial pada satu dekade terakhir ini, angka pertumbuhan ini jauh tertinggal dibanding produk manufaktur, al hasil bidang pertanian semakin mengecil porsinya dalam komoditi perdagangan dunia. Pada tahun 1998, bidang pertanian tercatat hanya 10,5% dari total komoditas perdagangan dunia - jika perdagangan jasa dimasukan ke dalam perhitungan, porsi bidang pertanian turun menjadi 8,5%. Bagaimanapun, kepentingan perdagangan dunia di bidang pertanian tetap dikedepankan bersama sektor-sektor lainya, seperti produk-produk: pertambangan, otomotif, kimia, tekstil, dan garmen atau besi dan baja. Di antara produk pertanian yang diperdagangkan, produk pangan mencapai 80% dari keseluruhan. Sisanya adalah bahan mentah dalam kategori produk pertanian. Sejak tahun 1988, perdagangan produk pertanian yang telah diproses dan bernilai tinggi telah dikembangkan dengan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan produk primer seperti gandum, beras, dan sebagainya 84 . Persaingan perdagangan produk pertanian dunia yang semakin kompetitif dan bergeser dari jenis produk primer ke produk pangan yang diproses dan bernilai tinggi. Dan produksi pangan kini semakin terkonsentrasi di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Uni Eropa. Sehingga menjadi sangat strategis bagi negara-negara maju menguasai pasar, baik dari kepentingan ekonomi maupun politik 85 . Di sub-sektor pangan itulah, negara berkembang semakin dimarjinalkan menjadi sangat bergantung pada impor pangan. Kenyataan sejak tahun 1990-an, petani dari negara berkembang mengalami pukulan akibat membanjirnya 84 World Trade Organization, Loc. cit. 85 M. Husein Sawit, Kegagalan Perundingan Pertanian WTO di Cancun: Peluang atau Ancaman buat Ekonomi Rakyat?, http://www.ekonomirakyat.org/edisi 20/artikel 4html, 12 Nopember 2003. 60 produk dari negara maju, yang disebabkan kalah bersaing harga terhadap harga yang lebih murah dari produk pertanian negara maju itu. Dalam beberapa tahun belakangan ini, import pangan ke negara-negara berkembang semakin menggelembung, sedangkan ekspor dari negara-negara berkembang tidak bertambah. Pada tahun 1995-1997, jumlah ekspor negara-negara berkembang ke pasar dunia hanya 26 persen dari total perdagangan pada tahun 1995-1997, kira-kira jumlahnya sama dengan tahun 1980. Sementara jumlah impor negara-negara berkembang yang hanya 28 persen pada tahun 1970-an melonjak sampai 37 persen pada tahun 1997. Peningkatan import bahkan nyata dialami oleh negara terbelakang atau Least Developed Countries (LDCs) dan negara-negara berkembang tergantung pada pangan impor atau Net Food lmportir Developing Countries (NFIOCs). Antara awal tahun 1980-an dan 1997, impor pangan untuk negara-negara LOCs meningkat 50 persen (dari 3,9 milyar dollar menjadi 6 milyar dollar), dan 40 persen bagi 19 NFIOCs, dari 9.3 milyar dollar menjadi 13 milyar dollar86 . Oefisit pangan di negara-negara berkembang meningkat. Negara-negara berkembang bukan saja semakin tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, tetapi neraca impor pangan mereka yang semakin meroket juga menjadi beban utama. Khusus Indonesia, salah satu negara berkembang, pertumbuhan sektor pertanian kita turun 2,3% pertahun, sub-sektor pangan merosot 0,5% per tahun. Padahal sektor ini memegang peran sekitar 60% GOP pertanian atau 8% GOP sub-sektor pangan tahun 1994. Indonesia bergeser dari negara net food exporter terdesak menjadi net food importer. Pada periode1998-2000, Indonesia· 86 Aileen Kwa, Loc.cit. 61 mengimpor pangan (net importer) sekitar USD 863 juta/tahun, padahal periode 198991 mengekspor pangan (net exporter) sekitar USD 418 juta/tahun 87 . Hampir semua produktivitas komoditi pangan menurun, paling tidak stagnan, seperti yang terjadi pada beras, jagung, kedelai, gula, seiring dengan penurunan harga komoditas pangan di pasar internasional. Tingkat Ketergantungan lmpor (TKI) untuk semua komoditas pangan penting meledak hampir dua kali setelah 1998, gandum di urutan ke 6 terbesar dari 10 komoditas impor terbesar Indonesia, lainnya berupa barang modal, bahan kimia, dan sebagainya 88 . Bukti-bukti empiris yang terjadi pada sektor pertanian setelah Perjanjian di bidang pertanian- WTO umumnya dan structural adjustment khususnya ditawarkan oleh IMF tersebut cukup mencemaskan. Hal ini terjadi selain karena Indonesia membuka pasar secara radikal, juga rnengurangi bantuan atau subsidi petaninya. Sedangkan peningkatan impor pangan sendiri terus dirangsang oleh 89 : • Pertama, J<ebutuhan dalam negeri yang amat besar; • Kedua, harga di pasar internasional yang rendah; • Ketiga, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi; • Keempat, adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir; dan • Kelima, kapasitas impor pangan sangat bergantung pada harga pangan dunia, kuota impor atau "dibolehkan atau tidak" impor, dan nilai tukar serta ketersediaan devisa .. Kondisi yang sama dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya. 87 M . H us em . Sa wit, . L oc, czt. .. 88 Ibid. 89 Siswono Yudho Husodo, Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhan Bagi lndonesia,http://www.ekonomirakyat.org/edisi 18/mtikel 3htm,17 Desember 2003. 62 Negara-negara berkembang semakin hari tergantung pada impor pangan terutama bahan-bahan pokok. padi-padian menyumbang paling tidak setengah pemasukan kalori penduduk di negara berkembang, sementara produk padi-padian semakin bergerak ke arah negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 90 dan beberapa negara berkembang, seperti Brazil dan Argentina. Persoalannya diperburuk dengan kenyataan bahwa padi-padian dan bahan-bahan pokok kunci seperti gandum, kedelai, jagung, paai dan juga produkproduk sehari-hari paling banyak disubsidi oleh pemerintah negara-negara OECD dan kemudian dijual ke negara-negara berkembang. Komoditas tersebut juga dikuasai oleh perusahaan-perusahaan agrobisnis yang berasal dari negara-negara Utara, baik di negara-negara maju atau berkembang. Beberapa perusahaan-perusahaan raksasa yang sama yang menguasai perdagangan padi-padian di Amerika Serikat yang juga beroperasi di Brazil, Mexico dan Argentina. Meningkatnya kebutuhan pangan negara-negara berkembang pada pasar internasional dan meningkatnya kesenjangan pasar dunia sangat mengkhawatirkan. Hanya 2 persen jumlah penduduk yang menjadi produsen pertanian di Amerika Serikat, dan 5 persen di Uni Eropa, sementara 75-80 persen di Cina, 77 persen di Kenya, 67 persen di India, dan 82 persen di Senegal bergantung pada pertanian untuk penghidupan dan menjadi sumber hidup mereka 91 . FAO menyimpulkan bahwa meningkatnya perdagangan tidak akan cukup mengurangi kemiskinan. Karena orang miskin dan pangan tidak terjamin di negara90 OECD atau Organization for Economic Cooperation and Development dahulu dikenal sebagai Organization for European Economic Cooperation (OEEC) suatu perjanjian pada tahun 1978 antar pemerintahan-pemerintahan anggota untuk mendukung kerjasama di bidang kredit ekspor dan operasi bank exim, yang terdiri negara-negara Eropa, AS, Jepang, dan Selandia Baru, Jerry M. Rosenberg, Dictionary of International Trade, (New York, John Wiley & Sons, Inc., 1994), p.215. 91 Aiken K wa, /,oc.cit. 63 negara berkembang, akses ekonomi akan terjamin hanya bila mereka memproduksi pangan sendiri atau memiliki alat ekonomi untuk membeli, yang dalam keadaan ekonomi mereka saat ini harus berasal dari peningkatan produksi pertanian dan 2.5 Liberalisasi Menelikung Konstitusi Indonesia " ... diungkapkan bahwa tanpa sepengetahuan publik, maka konstitusi pun kini mulai mengalami proses liberalisasi. Amandemen ke-empat atas UUD 1945 ikut serta merubah pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam hal dihapuskannya penjelasan atas pasal 33. Ini mempunyai implikasi luar biasa, karena tidak lagi mencantumkan dasar-dasar keberadaan atau raison d'etre dari pasal tersebut yang bersifat ekonomi kerakyatan (populisme), sehingga akan bisa disalahartikan dalam penerapannya". Dalam suatu konferensi pers di bulan Januari 2003, yang digelar IGJ (Institute for Global Justice) tentang "Giobalisasi Mengarah ke Rekolonisasi" 93 , diungkapkan bahwa tanpa sepengetahuan publik, maka konstitusi pun kini mulai mengalami proses liberalisasi. Amandemen ke-empat atas UUD 1945 ikut serta merubah pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam hal dihapuskannya penjelasan atas pasal 33. lni mempunyai implikasi luar biasa, karena tidak lagi mencantumkan dasar-dasar keberadaan atau raison d'etre dari pasal tersebut yang bersifat ekonomi kerakyatan (populisme), sehingga akan bisa disalahartikan dalam penerapannya. Demikian pula upaya liberalisasi RUU, dengan membuat berbagai RUU baru di bidang ekonomi yang kental hasrat liberalismenya. RUU lnvestasi coba ditetapkan atas desakan ADB dan IMF; dan untungnya kini terkatung-katung karena kesulitannya dalam berhadapan dengan otonomi daerah. Demikian pula RUU sumberdaya air yang sangat terkait dengan 92 L OC,Clt. . 93 IGJ (Institute of Global Justice) adalah lembaga independen yang memfokuskan pada isu-isu perdagangan bebas dan globalisasi, khususnya WTO (World Trade Organization), yang saat ini akan sangat menentukan arah masa depan bangsa dan rakyat Indonesia.IGJ, Globalisasi Mengarah ke Rekolonisasi, (http://www.globaljust.org.id/) 30 Januari 2003. 64 upaya privatisasi air; maupun RUU Privatisasi. Berbagai RUU ekonomi yang akan disiapkan semuanya patut dicurigai bermuara pada liberalisme ekonomi. lni tidak lain adalah praktek Neo-liberalisme yang sekarang menjadi mainstream perekonomian Indonesia, meskipun bertentangan dengan kepentingan nasional. Semenjak penandatangan Lol · antara IMF dengan pemerintah (1998), Indonesia telah merombak kebijakan perdagangannya (khususnya pangan) dengan cukup drastis yaitu berupa penurunan tariff bea masuk beberapa produk pangan hingga 0% dan berkurangnya fungsi Bulog sebagai State Trading Entity (STE), dengan mengesampingkan kemitraan Indonesia dalam WTO. Hal ini menimbulkan dampak yang cukup serius mengingat inefisiensi dan inefektivitas masih melekat pada produk pertanian Indonesia, khususnya tanaman pangan, yang melemahkan daya saing produk pangan Indonesia serta petani semakin tidak terlindungi. Harus diakui, gugatan terhadap masa depan WTO memang kian mengemuka sebagai manifestasi gugatan masa depan neo-liberalisme. Dalam konteks yang lebih besar, karena WTO merupakan satu dari tiga (IMF, Bank Dunia, dan VI/TO) organ penting neo-liberalisme, masa depan neo-liberalisme pun digugat. Saat ini, ditingkat dunia isu globalisasi ekonomi yang dimotori neo-liberalisme memang menjadi isu besar, bahkan sangat besar. 65 Bab3 Mengkaji Liberalisasi di Bidang Pertanian WTO 3.1 Aspek Perjanjian di bidang Pertanian WTO 3.1.1 Beberapa Ketentuan dan Komitmen Baru "Ketentuan-ketentuan GATT berkaitan dengan liberalisasi perdagangan produk pertanian bertujuan untuk membeQ.tuk sistcm perdagangan global di bidang pcrtanian yang lcbih terbuka dan adil bagi anggota, serta penurunan kcmiskinan. Karena itu negara bcrkcmbang memperoleh keleluasaan dengan perpanjangan waktu lebih lama untuk penurunan subsidi mereka, serta diberikan perkecualian dengan adanya pelaksanaan perjanjian yang bersifat khusus dan berbeda". Pertanian menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan karena selama ini disadari sering terjadi distorsi perdagangan atas produk-produk pertanian, berupa pengenaan kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor. Untuk negara-negara berkembang, juga Indonesia, peranan pertanian yang memiliki sifat multifunctionality tinggi, antara lain: (1). ketahanan pangan atau food security; (2). pengentasan kemiskinan atau poverty alleviation; dan (3). pembangunan ekonomi pedesaan atau rural development. Ketentuan-ketentuan GATT berkaitan dengan liberalisasi perdagangan produk pertanian bertujuan untuk membentuk sistem perdagangan global di bidang pertanian yang lebih terbuka dan adil bagi anggota, serta penurunan kemiskinan. Karena itu negara berkembang memperoleh keleluasaan dengan perpanjangan waktu lebih lama untuk penurunan subsidi mereka, serta diberikan perkecualian dengan adanya pelaksanaan perjanjian yang bersifat khusus dan berbeda. Pada saat perundingan Tokyo Round (1973 - 1979), negara-negara yang turut serta dalam perundingan itu 66 juga menandatangani dua perjanjian khusus di bidang pertanian yang diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1980, tersebut adalah 94 : (a). Arrangement Regarding Bovine Meat? 5 . (b). International Dairy Arrangement? 6 . Ketentuan-ketentuan dalam GATT untuk pertanian tersebut pada awalnya juga mengandung banyak kekurangan. Terbukti, Perjanjian Perdagangan Daging Olahan dan Produk Susu Sapi Olahan tidak dapat berjalan dengan baik, karena sedikit negara yang mau menjadi anggota, dan pada akhirnya perjanjian-perjanjian itu dihapuskan pada akhir tahun 1997. Negara-negara yang telah menyepakati perjanjian-perjanjian tersebut akhirnya bersepakat bahwa pengaturan perdagangan mengenai kedua hal ini dapat dimasukkan dalam Perjanjian di Bidang Pertanian khususnya untuk hal Sanitary and Phytosanitary. Sehingga Perjanjian di Bidang Pertanian Uruguay Round - meski hasilnya tidak segera dapat dirasakan dalam jangka pendek, bahkan masih harus menghadapi penyesuaian-penyesuaian teknis yang berkepanjangan - substansi hasil aturan permainan di bidang pertanian secara bertahap disesuaikan dengan GATT, antara lain 97 : 94 H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 127-128. 95 Arrangement Regarding Bovine Meat: Perjanjian ini bertujuan untuk memperluas, liberalisasi dan stabilitas dalam perdagangan daging sapi, daging sapi muda (veal), dan ternak hidup, serta menerapkan perbaikan dalam kerjasama internasional di bidang ini. Berdasarkan perjanjian ini dibentuk pula International Meat Council dalam GATT, yang berperan dalam pengawasan pelaksanaan perjanjian serta melakukan evaluasi mengenai permintaan dan penawaran dalam pasar bidang ini. 96 International Dairy Arrangement: Perjanjian ini bertujuan juga untuk mengadakan stabilitas, liberalisasi dan mengembangkan pasar dan membangun kerjasama perdagangan di bidang hasil ternak di luar daging, yaitu dairy product, termasuk susu, susu bubuk, keju, dan Iemak susu seperti mentega. Penerapan perjanjian ini dilaksanakan dan dievaluasi dengan dibentuknya International Dairy Product. 97 H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 224. 67 • Program utama dalam perjanjian menyangkut penghapusan atau pengurangan distorsi yang ada. Perjanjian menentukan agar proteksi dalam bentuk non-tarif dikonversikan pada tarif sesuai dengan ekuivalen proteksi non-tarif yang berlaku sebelum konversi. Tarif dasar yang digunakan untuk menghitung potongan tarif adalah tingkat tarif yang diikat (bound tariff) per 1 Januari 1995, sedangkan untuk tarif yang belum diikat yang digunakan adalah tingkat tarfi aktual yang dikena:<an pada September 1986 ketika Urugay Round mulai dirundingkan. • Perjanjian juga membatasi jumlah subsidi intern yang diperbolehkan dengan kewajiban untuk menurunkan secara bertahap. • Praktek pemberian subsidi ekspor juga dikenakan disiplin sehingga ada batas maksimal yang boleh diberikan sebagai subsidi ekspor. Ketentuan ini ditujukan untuk membatasi subsidi yang diberikan oleh Masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. • Menempatkan pertimbangan di luar masalah perdagangan, antara lain tentang ketahanan pangan, dan perlindungan lingkungan; juga perlakuan khusus dan berbeda untuk negara-negara berkembang (Special and Differential treatment for developing countries - S&D) Agreement on Agriculture mencakup komitment tarif, kuota tarif, dukungan domestik, subsidi ekspor, Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, dan (Ministerial) Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effect of Reform Programme on Least Developed and Net Food Importing . .98 . Coun tnes Secara singkat peraturan dan komitmen baru diterapkan di atas untuk hal-hal sebagai berikut: • Akses pasar - bermacam restriksi pasar yang dapat mengganggu mekanisme impor. • Dukungan domestik - subsidi dan program lainnya termasuk di dalamnya jaminan harga produk pertanian dan pendapatan petani. 'JX Departement Perindustrian dan Perdagangan Rl, Loc. cit 68 • Subsidi ekspor dan metode lain yang digunakan untuk membuat ekspor seakan-akan kompetitif. Pada prinsipnya, semua perjanjian WTO dan kesepakatan aturan perdagangan barang diterapkan di bidang pertanian, termasuk GATT 1994 dan aturan teknis seperti: • Pemeriksaan bea cukai (customs valuation) 99 , • Prosedur lisensi impor (Import Licensing Procedure/ 00 , • lnspeksi pra-pengapalan (preshipment inspection) 101 , • Hambatan teknis perdagangan (technical barrier to trade) 102 , 99 Custom Valuation: perjanjian mengatur pemberian hak kerada pengelola bea dan cukai untuk meminta informasi lebih lanjut jika ditemukan alasan untuk mencurigai akurasi dari nilai barang impor yang telah di-declare. Pemeriksaan atas barang impor tersebut harus didasarkan pada harga yang dibayarkan (paid or payable) pada waktu terjadinya transaksi (transaction value). Atas dasar ini pihak bea-cukai dapat mencurigai dan menolak harga yang diajukan atau tercantum dalam dokumen yang diserahkan oleh importir. 100 Import Licensing Procedure: perjanjian ini mengakui bahwa impor dapat merupakan hal yang diperlukan dan penerapan sistem lisensi diakui kegunaannya, namun demikian, diakui pula bahwa sistem lisensi dapat menghambat perdagangan internasional. Karenanya diatur sistem lisensi impor tidak dibuat sebagai sistem untuk membatasi impor, dengan komitmen diterapkan secara sederhana dan mengadministrasikan secara netral dan adil. 101 Pre-shipment Inspection: beberapa negara melaksanakan pemeriksaan pra- pengapalan di negara asal ekspor dengan menunjuk jasa perusahaan swasta untuk memeriksa barang-barang secara teliti dan rinci (seperti: harga, jumlah, dan kualitas barang) sebelum dikapalkan, tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan negara di bidang keuangan seperti pelarian modal, penipuan (commercial fraud, over and under invoicing) dan penghindaran bea masuk serta untuk mengatasi kepabeanan karena kekurangmampuan aparat bea cukai. Agar pra1ctek PSI tidak menimbulkan proteksi maka negara anggota mewajibkan PSI dilakukan dengan menghormati prinsip non diskriminasi, transparan, memberikan perlindungan atas kerahasiaan bisnis, menghambat yang tidak perlu, menggunakan tatacara verifikasi yang standard. 102 Technical Barrier to Trade: adalah kebijakan suatu negara yang bersifat teknis yang dapat menghambat perdagangan internasional di mana penerapannya dilakukan sedcmikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. Perjanjian ini mengikat negara anggota yang menandatangani untuk menjarnin agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan peraturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk kepentingan lain, maka peraturan, standar dan testing serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan hambatan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. 69 Government procurement103 . • Perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture) juga terkait dengan aturan permainan yang disempurnakan sehingga dapat mencegah penggunaan aturan sebagai alat proteksi terselubung, seperti 104 : 1. Anti dumping dan subsidi, ketentuan yang mengatur bahwa jika suatu negara memberikan subsidi atau masih memberikan bantuan pendapatan dan harga (income and price support) baik secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau mengurangi impor harus dinotifikasi dahulu ke GATT-WT0 105 . 2. Emergency safeguard measures atau langkah darurat untuk membatasi impor apabila ada peningkatan impor yang menimbulkan kegoncangan pada industri dalam negeri - walaupun impor dilakukan secara wajar dan tanpa pelanggaran aturan GATT; dan 3. Ketentuan dan prosedur untuk mengambil langkah darurat apabila suatu negara menghadapi masalah neraca pembayaran (restriction to safeguard the balance payment). 4. Ketentuan dalam Perjanjian di bidang pertanian juga memperbolehkan pemerintah negara-negara anggota untuk membantu ekonomi pedesaan mereka (rural development), dengan catatan tetap mengutamakan kebijakan yang mengakibatkan distorsi sekecil mungkin terhadap perdagangan. 103 Government Procurement: perjanjian ini dibuat agar undang-undang, peraturan, prosedur dan praktek mengenai pembelian negara menjadi lebih transparan, dan lebih menjamin agar sistem pembelian tersebut tidak memproteksi produsen domestik dan mendiskriminasi produk impor. 104 Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Loc. cit 105 Dcpartcmcnt Pcrindustrian dan Pcrdagangan RI, Loc.cil 70 Oleh HS. Dillon (1995) 106 dan Bello (1999) 107 diberikan ikhtisar mengenai substansi perjanjian di bidang pertanian dalam Uruguay Round di atas, seperti berikut: (1 ). Domestic support dikuantifisir menjadi AMS (Aggregate Measure of Support) yang harus dikurangi sebesar 20% selama 6 tahun di mulai tahun 1995. Suatu negara dibolehkan mensubsidi petaninya tetapi harus seperti dalam Green Bo/ 08; (2). Subsidi ekspor harus dikurangi sebesar 21% (dalam volume) dan 36% (dalam total nilai) selama periode 6 tahun; (3). Kuota impor diubah menjad1 tarif (tarifikasi atau tariff rate quotas- TRQs) dan tarif ini harus dikurangi 36% dalam periode 6 tahun, dengan batas minimum 15%; (4). Negara perlu menetapkan MAV (Minimum Acces Volume) terhadap impor pertanian, awalnya hanya 3% dari tingkat konsumsi 1986-88, kemudian ditingkatkan 5% dalam tahun 2000. (5). Negara berkembang mendapat special and differential treatment, yaitu pemotongan 1/3 masing-masing untuk tarif, domestic support, subsidi ekspor atau tingkatnya lebih rendah dari yang diberlakukan untuk negara maju. Rentang waktu yang diberikan juga lebih lama yaitu selama 10 tahun, sedangkan negara-negara maju selama 6 tahun. 106 H.S. Dillon, Implikasi Persetujuan Putaran Uruguay - GATT dan Komitmen Indonesia di Bidang Pertanian, (Makalah disampaikan pada Temu Dialog Kebijakan Satu Tahun Ratifikasi WTO, Inventarisasi Posisi dan Permasalahan yang Dihadapi Indonesia serta Persiapan Selanjutnya, LPEM FE-UI dan Bappenas, Jakarta, 1995). 107 W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture, Consumer International, Food Security: the New Millenium, International Conference on Food Security, (Penang: Phoenix Printers Sdn. Bhd, 1999). 108 Antara lain yang diperbolehkan yaitu direct income payment, R&D, lingkungan hidup, pengendalian hama dan penyakit, pendidikan dan latihan, penyuluhan, pemasaran dan promosi, jasa-jasa prasarana, stock pangan untuk food security, direct income payment untuk petani, decouple income support untuk sektor pertanian, asuransi dll. M.H. Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia, Loc.cit. 71 Tabel3-1 Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi Berdasarkan Angka-Angka Pengurangan dalam subsidi dan proteksi pertanian yang disetujui dalam Putaran Uruguay, I1anya ang1ka-ang1ka untu k pemotongan su bs1.d.1e kspor yang muncu I da Iam perJanJian Sasaran Negara Maju 6 thn: 1995 - 2000 Negara Berkembang 10 thn: 1995 - 2004 Domestic Support Jumlah potongan AMS untuk sektor pertanian pada periode -20% -13% -36% -21% -24% -14% -36% -24% -15% -10% 1996-1998 Ekspor • Nilai subsidi • Volume produk yang disubsidi Ta.-if • • Potongan rata-rata untuk produk pertanian Potongan minimum per produk Catatan: Negara berkembang paling terbelakang tidah harus membuat komitmen untuk menurunkan tarif dan subsidi. Tarif dasar yang digunakan untuk menghitung potongan tarif adalah tingkat tarifyang diikat (bound tariff) per I .Januari 1995, sedangkan untuk tarif yang belum diikat yang digunakan adalah tingkat tarif aktual yang dikenakan pada September 1986 ketika Uruguay Round mulai dirundingkan. 3.1.2 Ketentuan untuk Produk Hewan Ternak dan Tanaman Pangan Dalam Perjanjian WTO terdapat ketentuan terpisah tentang keamanan pangan dan standar kesehatan hewan ternak dan tanaman pangan (Agreement on Sanitary and Phytosanitary). Perjanjian ini ditujukan untuk memberikan jaminan kepada konsumen mendapatkan produk yang aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta dapat ditambahkan halal atau diperbolehkan agama-agama tertentu, seperti Islam, Yahudi. Ketentuan ini mengijinkan negara-negara anggota untuk mempunyai standar masingmasing, sepanjang serta tidak digunakan untuk melindungi produsen dalam negeri, dengan tetap mengacu kepada standar ilmiah atau internasional 109 yang dapat 109 Stan~ar Internasional mengenai kesehatan hewan dan tanaman pangan (dalam annex Sanitary and Phytosanitary Agreement) mengacu pada: • FAOIWHO Codex Alimentarius Commission (untuk pangan). • The flltemational qjjice <?fEpizootics (untuk kcschatan hcwan ternak). 72 dijadikan panduan, konsisten dan non-diskriminatif. Karenanya, standar ketentuan di masing-masing negara tersebut maupun perubahan-perubahannya dilaporkan kepada Sekretariat WTO, dan negara-negara lain. Sampai saat ini perjanjian ini belum dapat berjalan seperti yang diharapkan, karena banyak negara pelaku utama pengekspor daging dan produk susu sapi olahan ikut menolak terlibat dalam perjanjian ini. 3.1.3 Tentang Negara-Negara Berkembang Di dalam WTO, 2/3 dari jumlah negara-negara anggotanya atau 144 anggota adalah negara-negara berkembang. Bukan suatu kebetulan pula, bahwa negaranegara berkembang pun mewakili 65% jumlah populasi petani dunia 110 . Tidaklah mengherankan Perjanjian di bidang Pertanian WTO menjadi sangat fundamental bagi negara berkembang. Karena selain jumlah anggota negara yang besar, jumlah penduduknya di masing-masing negara pun besar yang sebagian besar kehidupan rakyatnya tergantung pada sektor pertanian. Menanggapi kepentingan negara-negara berkembang termasuk pula negara berkembang paling terbelakang WTO berupaya melalui 3 (tiga) cara, yaitu: (1 ). Persetujuan-persetujuan WTO memuat ketentuan-ketentuan perlakuan khusus dan berbeda atau Special and Differential Treatment (S&D) pada negara berkembang. (2). Komite Perdagangan dan Pembangunan (Committee on Trade and Development- CTD), menangani atau membahas kepentingan negara berkembang di dalam WTO. • The FAO 's Secretariat of the International Plant Protection Convention untuk kesehatan tanaman. • Organisasi-organisasi internasional atau perjanjian-pt.Ljanjian keanggotaannya terbuka untuk semua anggota WTO. lain yang 110 Martin Khor, Developing Countries Prepare for Agriculture Battle an Cancun Ministerial,(TWN Report from Cancun, 9 September 2003, http://www.wto.dprin.go.id/, 5 Desember 2003. 73 (3). Sekretariat WTO menyediakan bantuan teknis melalui berbagai pelatihan bagi negara-negara berkembang. Juga disediakannya penasihat hukum khusus (legal advisor) untuk membantu negara berkembang dalam penyelesaian sengketa di WTO dan memberikan konsultasi hukum yang ditawarkan oleh Divisi Kerjasama Teknik WTO. Komite Perdagangan dan Pembangunan WTO (CTD) memiliki mandat yang luas, diantaranya: • Membahas mengenai bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan negara-negara berkembang. • Menciptakan pedoman kerjasama teknik WTO untuk negara berkembang. • Meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam sistem perdagangan, dan • Membantu posisi perundingan negara-negara LOGs Negara-negara anggota juga harus menginformasikan kepada WTO melalui Committtee Trade and Development CTD mengenai program-program khusus yang melibatkan konsesi perdagangan untuk produk-produk dari negara berkembang dan mengenai pengaturan regional di antara negara berkembang. CTD telah menangani .f.k no t 1 1 as1. mengena1:. Ill • Generalized System of Preference (GSP), program di mana negara maju mengurangi hambatan perdagangan melalui perlakuan khusus bagi produkproduk dari negara berkembang, • Pengaturan perlakuan khusus di antara negara-negara berkembang seperti MERCOSUR (The Southern Common Market In Latin Amerika), COMESA (Common Market for Eastern and Southern Africa), dan AFTA (ASEAN Free Trade Area). 111 Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri RJ, Sekilas WT.Loc.cit 74 3.1.4 Tentang Negara Berkembang Paling Terbelakang dan Negara Tergantung pada lmpor Pangan Ketentuan dalam Perjanjian berkenaan dengan masih terdapat beberapa negara-negara berkembang paling terbelakang atau Least Developed Countries (LOGs). Menu rut PBB 112 terdapat 48 negara yang tergolong LOGs yang tergantung pada impor pangan murah (Net Food lmpoter) dengan memperoleh bantuan subsidi dari negara-negara maju. Bantuan subsidi tersebut dalam rangka membantu ketahanan pangan, bersifat sementara agar negara yang bersangkutan tidak mengalami kesulitan menghadapi harga uarang impor yang ~inggi. Karenanya, negara berkembang paling terbelakang tidak harus membuat komitmen untuk menurunkan tarif dan subsidi. Selanjutnya, dalam rangka bantuan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian, diatur melalui suatu ketentuan Konferensi Tingkat Menteri atau (Ministerial)' Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effect of Reform Programme on Least Developed and Net Food Importing Countries. Di dalam ketentuan itu memberikan kemungkinan untuk mendapatkan bantuan pembiayaan dari IMF dan Bank Dunia melalui program Structural and Adjustment Programs (SAP). 113 Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-1 di Singapura pada tahun 1996, anggota-anggota menyepakati Rencana Aksi untuk Negara Berkembang Paling Terbelakang (Plan of Action for Least Developed Countries), merupakan upaya khusus untuk membantu negara-negara miskin, termasuk untuk meningkatkan 112 Constanza Valdes and Edwin Young, Developing Countries' Issues in the WTO Related to Agriculture. http://www.ers.usda.gov/epubs/pdf/wrs984/wrs984i.pdt: 12 Desember 2003. 113 Lebih lanjut tentang isu-isu liberalisasi perdagangan dan implikasinya pada ketahanan pangan di negara-negara miskin baca: Michael Trueblood and Shahla Shapouri, "Implications of Trade Liberalization on Food Security of Low-income Countries". United State Department of Agriculture: Agriculture Information Bulletin No. 765-5 (April 2001 ). 75 kemampuan partisipasi mereka di WTO dan multilateral lainnya 114 . Negara-negara maju berjanji untuk meningkatkan akses pasar untuk keperluan impor dari negaranegara LDCs dan adanya kemungkinan untuk menghilangkan bea masuk bagi LDCs. Dan, jika negara-negara LDCs terlibat dalam suatu sengketa perdagangan, mereka dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO atau Ketua Badan Penyelesaian Sengketa untuk membantu mereka dalam proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi (consiliation), mediator, dan cara lainnya atau jasa baik (good offices). 3.2 Peluang dan Tantangan Po:~rtisipasi Negara Berkemban g dalam Perjanjian di bidang Pertanian "Our agricultural sectors that are strategic to food and livelihood security and rural employment have already been destabilized as our development program initiatives are frustrated by the gross unfairness of the international trading environment. Even as I speak, our small producers are being slaughtered in our own markets, even the more resilient and efficient are in distress. " 3.2.1 Persoalan yang Menghadang Negara Berkembang Sejak terbentuknya WTO, memperhatikan perubahan kebijakan politik Utara dan Selatan, terutama mengenai persoalan yang berkaitan dengan perkembangan dalam perundingan Perjanjian di Bidang Pertanian yang dapat dikonstantir pada setiap penyelenggaraan Konferensi Tingkat Menteri WTO yang sampai saat ini telah lima kali diselenggarakan 115 . Pada beberapa persoalan, pengelompokan perbedaan kepentingan itu jelas muncul, seperti telah disinggung sebelumnya adalah keterkaitan 114 B anyak d'1 antara negara-negara m1s . k"m yang sangat bergantung pada 1mpor . pangan (fiJod net importer) menerima perlakuan preferential dalam berbagai perjanjian perdagangan multilateral sepcrti pe1janjian Lome Agreement and Caribbean Basin Initiative yang kini dikenal ACP dengan dukungan Uni Eropa. 115 Konferensi Tingkat Menteri (KTM) merupakan forum pengambilan kebijakan tertinggi dalam WTO, yang diadakan setiap dua tahunan. Untuk pertama kali diselenggarakan di Singapura tahun 1996, KTM ke-11 WTO tahun 1998 di Jenewa, KTM ke-111 WTO tahun 1999 di Seatle, KTM WTO ke-V Doha, Qatar pada 9-14 Nopember 2001, dan KTM ke-5 WTO pada 10-14 September 2003 yang baru lalu, di Cancun, Mexico. 76 dengan TRIPs, TRIMs, dan GATS atau lebih spe5ifik mengenai masalah tekstil dan pakaian jadi dan masalah produk pertanian. Kotak I Special and Differential Treatment Special and Differential Treatment in the Uruguay Round Agreement on Agriculture Developing countries' reduction commitments are generally two-thirds those for developed countries and implementation periods are longer: 10 versus 6 years. Least-developed countries are not required to undertake across the board reduction commitments, but tariffs and domestic support are bound at base levels. Other exempt policies include certain input and investment subsidies to agriculture, as well as stocks held for food security purposes. Market Access In allocating tariff-rate quotas (TRQs), special consideration can be given to the particular • needs of developing country exporters. Exemptions in reduction commitments for market access are provided for certain products • deemed of importance to food security. Developed cot..ntries agreed to provide better terms of access for agricultural products • important to developing countries. The terms include greater liberalization of trade in tropical agricultural products to help • developing countries shift production out of illicit crops. Domestic Support Least developed countries are granted additional exemptions, including delayed applications • of the provisions and more time for notification on domestic support (only every 2 years). For the non-commodity specific AMS provisions, the de minimis exclusion is 10 percent of • the total value of agricultural output for DCs (versus 5 per cent for other countries). Domestic support to encourage diversification from growing illicit narcotic crops is • exempted from inclusion in the DCs' calculation of AMS. DCs are permitted additional green box flexibility for programs to store foodstuffs and sell at • subsidized prices to the rural and urban poor and to provide general investment subsidies to agriculture. • Export Support DCs are permitted to provide subsidies to reduce export marketing costs, and to provide • internal and international transportation subsidies for agricultural exports. Differential treatment is provided for agricultural export credits. • Economic Research Service/USDA Agriculture in the WTO/WRS-98-44/December 1998 Seperti kita telah ketahui dalam negosiasi Perjanjian di Bidang Pertanian, terutama yang berdampak langsung pada neraca perdagangan produk pertanian (kenaikan harga impor dan penerimaan ekspor) menjadi perhatian utama negara 77 berkembang adalah berkaitan persoalan akses pasar, domestic support, export subsidies dalam suatu perlakuan khusus dan berbeda atau special and differential treatment (S&D) (Lihat Kotak 1). Sementara ini diantara negara-negara berkembang sendiri sering tidak memiliki kepentingan yang menjadi prioritas bersama dan tidak selalu memiliki posisi yang sama. Dengan sendirinya upaya dalam memperjuangkan suatu frame work kepentingan bersama antar negara berkembang - yang sebenarnya mayoritas di dalam keanggotaan WTO - tidak pernah tuntas karena selalu terpecah belah 116 • Seperti pad a 1 Juli 2003, saat pertemuan di "the World Trade Organization (WTO) Committee on Agriculture", di Geneva, delegasi Philipina menyatakan, karena negara kami hanya demi ingin membuktikan ketaatannya kepada "the Agreement on Agriculture", "Our agricultural sectors that are strategic to food and livelihood security and rural employment have already been destabilized as our development program initiatives are frustrated by the gross unfairness of the international trading environment. Even as I speak, our small producers are being slaughtered in our own markets, even the more resilient and efficient are in distress. "117 Pernyataan delegasi Philipina tersebut sebenarnya persoalan utama yang merupakan masalah bersama negara berkembang, kenyataannya sampai dengan 116 Bandingkan: It is difficult to distinguish a separate Developing Countries (DCs) position on many issues since individual country interests are diverse. As DCs identify their negotiating positions for the next round, they will be looking for coalitions of countries with common trade interests. The individual interests of DCs in the negotiations will vary depending on whether a country is a net food and raw material exporter, a net food and raw material importer, or a country that is concerned primarily with food self-sufficiency. The interests will also depend on whether a country is a producer of primary agricultural commodities or processed foods. Many DCs will stress how agricultural trade liberalization has different economic effects on developed countries compared to DCs, and they will try to ensure that new multilateral rules will reinforce the DCs' development policies. The form that any continuation of special and differential treatment takes will be important to the success of any new agreement. However, the types of concessions granted to DCs could slow the economic development and transition to free market economies in these countries . Constanza Valdes and Edwin Young, Op.cit. 117 Walden Bello, Multilateral punishment: the Philippines in WTO, http://www.inq7.net/opi/2003/jul/09/opi wbcllo-l.htm, 4 Nopember 2003. '95-'03, 78 KTM ke IV di Doha tahun 2001, di mana negara-negara maju masih tetap dapat memaksakan kehendaknya. Hal itu, bagi Bello bukan suatu yang mengejutkan, "This was not surprising since the government's public stance is not to make a big deal of the ongoing trade negotiations in Geneva, where the developing countries are getting a raw deal. In the run-up to the fifth WTO Ministerial, which will be held in Cancun, Mexico, Sept. 9-14, the administration of President Gloria MacapagaiArroyo probably feels that the last thing it needs is public perception that it is not doing enough to defend the country's economic interests in the controversial multilateral institution. But the problem will not go away: like other developing countries, the Philippine economy - in particular, its agricultural sector -- is being battered by the consequences of its joir.ing the WTO. In the next few weeks, this column will carry installments of a comprehensive assessment of the impact of the Philippines' membership in the World Trade Organization." 118 Selama ini negara berkembang banyak dikelabui oleh trik dagang yang dilakukan dalam pelaksanaan Perjanjian Pertanian Putaran Uruguay oleh negaranegara maju yang keluar dari komitmen liberalisasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat dukungan domestik (domestic support) sejak tahun 1995 telah meningkat secara signifikan dan tarifikasi diberlakukan sehingga di negara-negara maju beberapa tarif lebih banyak dinaikkan daripada diturunkan sehingga dampaknya bagi negara miskin petani kecil semakin tersingkir dari pe:1ghidupan mereka, orang lapar dan kaum miskin di pedesaan harus membayar harga yang paling mahal 119 . Hampir satu dekade sejak berjalannya Perjanjian tersebut, tampaknya hanya sedikit diperoleh kemajuan dalam pengurangan proteksi dan subsidi untuk pertanian di negara-negara maju. Di mana keadaannya yang oleh Bello 120 dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: • Pertama, tingkat penetapan Aggregate Measures of Support (AMS), subsidi ekspor, dan tarif yang diikat (binding) berdasarkan periode 1986-88 menjadi 118 Ibid 119 A'l . 1 een K wa, L oc,czt 120 W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture Loc.cit. 79 terlalu tinggi dibandingkan tingkat penetapan GATT tahun 1995, sehingga pengurangan subsidi dan tarif menjadi relatif lebih kecil. Uni Eropa dan AS telah melanggar impor kuota yang seharusnya menjadi tarifikasi, AS menambah pajak 350%, di atas minimum akses impor untuk produk tembakau. AS antara tahun 1992-96 menetapkan rata-rata tarif untuk pertanian meningkat seperti pada Tabel 111-2 berikut. Tabel 3-2 Penyesuaian Tarif Sejumlah Produk Pertanian AS Jenis Produk Produksi Pertanian dan Peternakan Produk Pangan Tembakau • Tarif Awal (%) 5,7 6,6 14,6 TarifBerubah (%) 8,5 10 104,4 Kedua, kebijakan Uni Eropa yang tegas adalah mengalihkan subsidi-subsidi ekspor mereka dan, meningkatnya dukungan-dukungan yang membatasi produksi (yang biasanya dikenal sebagai Blue box Payment) ke dalam pembayaran langsung (Green Box) yang sekarang ini disahkan oleh WTO. Di Uni Eropa sebagian besar subsidi petaninya seperti direct income payment masih tetap dipertahankan karena masuk dalam Green Box 121 , sebaliknya negara-negara Selatan lebih banyak memberikan subsidi harga input dan output yang diminta untuk dikurang atau dihapus. Uni Eropa umumnya membantu direct income payment untuk menahan kelebihan produksi pangannya, atau untuk tujuan ekspornya, sedangkan negaranegara berkembang mensubsidi petaninya agar meningkatkan produksi untuk memenuhi konsumsi penduduknya yang relatif miskin. • Ketiga, peraturan untuk pengurangan tarif rata-rata sebesar 36% adalah amat longgar, sehingga banyak negara memenuhinya dengan kombinasi minimum pemotongan tarif. 121 Pergeseran dari subsidi ekspor dalam WTO pada saat ini diterima dengan baik. Tetapi negara-negara berkembang sebaiknya mengawasi subsidi-subsidi ini yang muncul kembali dalam bentuk lain. Pengalaman telah menunjukkan Uni Eropa mengurangi biaya ekspor untuk padi-padian sebanyak 60 persen antara tahun 1992 dan 1999, dari 2200 juta Euro menjadi 883 juta Euro. Tetapi para produsen padi-padian memperoleh pembayaran langsung sampai sebesar 2102 juta Euro selama periode yang sama. Secara keseluruhan subsidi itu sebenarnya meningkat 36 persen. Aileen Kwa, Loc,cit 80 Suatu kesenjangan dalam subsidi demikian besar antara negara-negara kaya dengan negara-negara berkembang, dari segi jumlah maupun dasar tujuan dalam pengenaan subsidi. Negara-negara kaya begitu besar mensubsidi para petaninya untuk menjaga kelangsungan pertaniannya. Sedangkan negara berkembang mengenakan pajak terhadap sektor pertanian (subsidi negatif) yang dialokasikan untuk sektor ekonomi lainnya. 122 Pada saat yang sama, negara-negara Selatan tetap diminta untuk terus menyesuaikan dengan regim perdagangan neo-liberalisme ini, meski dalam situasi ketidakmampuan membantu petaninya, serta buruknya kondisi infrastruktur yang mendukung pertaniannya (terutama dalam pengolahan dan distribusi produk) dan tingginya biaya produksi, harga jualnya pun mahal jadinya. Alihalih kemakmuran untuk para petani negara berkembang, tekanan beban hidup yang didapat karena produksinya kalah bersaing dengan harga impor. Keprihatinan bagi negara-negara berkembang yang sangat terbatas kemampuannya dalam domestic support ini telah lama disuarakan oleh banyak kalangan, Prior to the Uruguay Round, the agricultural sectors in Developing Countries (DCs) received very little government support (and in many cases agriculture was taxed rather than subsidized) due, in part, to exchange-rate overvaluation, budgetary constraints, and the lack of administrative infrastructure to provide the subsidies. In addition, many DCs, principally in Latin America, implemented structural adjustment programs (SAPs) in conjunction with the World Bank and IMF loans. The SAPs involved substantial trade liberalization accompanied by fiscal and monetary austerity and devaluation measures. As a result, many DCs had very low or zero aggregate measures of support (AMS) in the 1986-88 base period. Of the approximately 60 percent of WTO member who reported base AMSs of zero, all. are DCs 123 . 122 Pada tahun 1998, negara-negara OECD telah membantu produk pertaniannya mencapai USD 278 miliar (lihat informal paper AIE/70, 24 September 1999: Agreement in Agriculture WTO). Di lain pihak Bello mendapatkan bahwa 18 negara-negara berkembang mengambil pajak dari sektor pertanian mencapai 30% dari nilai produksinya. W.Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review ofAgreement on Agriculture, Loc.cit. 123 Constanza Valdes and Edwin Young, Op.cit 81 3.2.2 Antara Harapan dan Kenyataan dalam Perdagangan Pangan Dunia Oisebutkan oleh Martin dan Winters 124 bahwa secara substansial hasil dari Uruguay Round diharapkan akan meningkatkan GOP secara global, dan mendorong dunia akan ekspor dari negara-negara berkembang. Jika akses pasar dibuka melalui penurunan tarifikasi sesuai rencana, maka diperkirakan akan meningkatkan GOP dunia dari USO 120 miliar menjadi USO 315 miliar saat perjanjian itu diimplementasikan sepenuhnya. Harapannya negara berkembang akan menikmati hasil sekitar USO 55 miliar sampai USO 90 miliar pembelanjaan dari sebagian kenaikan tersebut ketika mencapai USD 200 miliar. Proyeksi itu memunculkan pertanyaan kritis bagaimana dengan pencapaian dewasa ini? Jika kita menelaah dari sudut pandang produksi pangan dan pertanian yang menyebar di berbagai negara. Sebagian besar negara-negara berusaha memenuhi · swasembada kebutuhan pangannya, sisanya baru mengimpor. Walau ada sejumlah negara seperti Singapura, Monaco dan Hongkong yang kebutuhan pangannya bergantung pada impor (net importer) sepenuhnya, negara kelompok ini jumlahnya sangat sedikit dibandingkan negara-negara pengekspor pangan. Selama regim perdagangan bebas WTO berlangsung ini, terlihat pergeseran pola produksi pangan. Studi yang dilakukan FAO seperti yang disampaikan Alexandratos 125 menunjukkan bahwa suplai pang an bergeser dari negara-negara berkembang ke negara maju. lmpor pangan oleh negara-negara berkembang cenderung terus meningkat, sebaliknya volume ekspor pangan negara-negara maju akan semakin pesat sejalan dengan terbukanya pasar pangan yang selama ini 124 Lihat Martin, Will, and L. Alan Winters (eds.). The Uruguay Round and the Developing Economies, (World Bank Discussion Papers, no. 307, Washington, DC, 1995). 125 N. Alexandratos, World Agriculture: Toward 2010, An FAO Study, (Chichester: FAO & John Willey & Sons, 1995). 82 terproteksi dengan berbagai cara, baik tariff barrier maupun non-tariff barrier. Perkembangan perdagangan internasional produk pangan utama telah mendorong neraca perdagangan pangan dan peternakan di negara-negara berkembang paling terbelakang (least developed countries- LOGs) menjadi defisit. Negara LDCs akan menjadi negara net importer yang volumenya sernakin mencemaskan (Lihat hal. 62). Hal ini dikarenakan alasan sebagai berikut: • Pertama: negara berkembang importir pang an aka1, mengimpor pang an yang relatif tinggi elastisitas pendapatannya, seperti: daging, susu, gandum, dan sebagainya. Tetapi negara berkembang akan mengekspor produk yang rendah elastisitas pendapatannya dan sebagian di antaranya adalah elastisitas harganya rendah. Dengan adanya peningkatan persaingan antara negara-negara berkembang dalam merebut pasar ekspor di negara-negara maju maka akan menurunkan tingkat penerimaan negara berkembang dari ekspor tersebut. • Kedua: sedangkan keberadaan kebijakan intervensi melalui international commodity agreements (ICA) selama ini terbukti gagal untuk mencegah penurunan harga komoditas pangan. Bursa Komoditas Berjangka (Future Market) hanya sedikit menolong dalam fluktuasi harga, di mana para pelaku lebih giat dalam spekulasi jangka pendek, dan memang tidak sebagai instrumen untuk menstabilkan harga dalam jangka panjang. • Ketiga: konsumsi dalam negeri pada negara berkembang untuk sejumlah komoditas ekspor seperti tembakau, kulit, karet, dan kapas cenderung meningkat, yang untuk dipakai sendiri seiring peningkatan kebutuhan agroindustri. • Keempat: meski defisit perdagangan komoditas pertanian kemungkinan dapat ditutup dari net surplus hasil manufaktur yang berasal dari pertanian seperti kapas, kulit tersebut dalam bentuk ekspor tekstil, pakaian dan produk kulit. Namun permintaannya sangat volatile terhadap kondisi pasar (selera, musim, persaingan) dan masih bergantung pada kebijakan Generalized 83 System of Preference (GSP) pemerintahan di negara-negara maju, yang selama ini sebagai tujuan pasar utama. • Kelima: negara-negara berkembang masih terus menghadapi hambatan untuk mengekspor pangan, komorJitas pertanian, dan barang produksi agroindustrinya ke negara-negara maju, karena terbenturnya hambatan sanitasi, eco-labeling, dan lain-lain. Termasuk Bio Terrorism Act yang diberlakukan AS 12 Juli 2002, Bio Security Act Australia dan White Papper on Food Safety dari Uni Eropa yang berlaku bertahap sejak Januari 2003, yang semuanya merupakan non-tariffs barrier perdagangan 126 . Alih-alih liberalisasi perdagangan komoditas pertanian di negara berkembang diharapkan dapat meningkatkan produktifitas sektor pertanian, agribisnis dan agroindustri yang pada gilirannya diharapkan memberikan kemakmuran bagi masyarakat dan para petaninya, kenyataannya - seperti di Philipina - diungkapkan oleh Walden Bello 127, The impact of the WTO has been most damaging in the area of agriculture. In one key sector after another -- rice, com, poultry, vegetables -- the entry of foreign commodities facilitated by the WTO has resulted in the displacement of significant local production and large numbers of producers. At the same time, membership in the WTO has not protected the Philippines from WTO-illegal restrictions on Philippine exports of products like tuna, prawns, and bananas imposed by trading powers such as the United States, European Union, and Australia. 3.2.3 Distorsi Pada Pasar Dunia Dan Dampaknya Bagi Negara Berkembang. Khudori mengungkapkan egoisme negara maju. 128 Bahwa negara-negara maju umumnya sangat bersikukuh ketika bicara akses pasar melalui reduksi tarif. Namun demikian, keprihatinan telah disuarakan mengenai adanya tarif yang dianggap masih terlalu tinggi atas produk-produk tertentu (tariff peak) di pasar negara-negara maju, 126 Khudori, WTO dan Petani Indonesia, http://www.republika.eo.id/, 16 Desember 127 Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.it 1/1 . I ,oc.ctl. . ...... HIC..Ion, 2003. 1211 84 dan dikhawatirkan akan mengganggu dari negara berkembang. 129 Sebaliknya negara maju lebih banyak melakukan hambatan non-tarif untuk menutup pasarnya. Mereka pun tidak adil ketika bicara subsidi, ketika mereka meminta negara berkembang tidak mensubsidi industrinya, nyatanya mereka terus mengucurkan subsidi miliaran dolar bagi petaninya. Tiap tahun negara maju mengeluarkan satu miliar dolar AS per hari untuk memberikan subsidi bagi pertanian mereka. lni tidak mengherankan karena tahun 2002, 30 negara industri yang tergabung dalam OECD menghabiskan 311 rniliar dolar untuk mensubsidi pertanian yang berarti lebih besar dari GOP semua negara Afrika Sub-Sahara. Sementara, menurut Bank Dunia, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) memberikan 913 dolar per sapi kepada para peternak sapi. Demikian pula AS, pada bulan Mei 2002 Presiden Bush menandatangani Farm Bi/1130 menyangkut subsidi 180 miliar dolar dalam tempo 10 129 Tariff Peak (Tarif Tertinggi) yang beberapa diantaranya mempengaruhi ekspor dari negara berkembang. Meski, sebagian besar tarif saat ini sudah dianggap cukup rendah, khususnya di negara-negara maju. Tetapi untuk beberapa produk tertentu yang dinilai sebagai produk sensitif dalam rangka melindungi produsen dalam negerinya tarifnya tetap dipertahankan tinggi, ini dimaksud sebagai tariff Peak. Tariff Escalation (Eskalasi Tarif), adalah ketika suatu negara ingin melindungi industri manufaktur dalam negeri, maka negara tersebut dapat menetapkan kebijakan tarifyang rendah untuk impor bahan baku industri (untuk memotong biaya produksi), dan sebaliknya menetapkan tarif (bea masuk) yang tinggi untuk produk jadi demi melindungi produksi industri manufaktur tersebut. Dampaknya akan menyulitkan negara eksportir bahan baku, dan pengekspor barang jadi mitra dagang saingan. Dircktorat Jcnderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangungan Departemen Luar Negeri RI, Sekilas WTO., Ketua Tim: Dian Triansyah Djani, (Jakarta: Departemen Luar Negeri RI, 2002), hal. 62. 130 US Farm Bill itu berencana memberikan dukungan terutama pada 8 jenis padipadian, yang penting untuk kehidupan negara-negara berkembang seperti kapas, gandum, jagung, padi, kedelai, bailey, oats dan sorghum (cantel). Sebagian besar subsidi ini akan diberikan dalam bentuk pembayaran langsung. Saat ini Amerika Serikat juga mel em par produk pertanian di pasar-pasar Dunia Ketiga dengan harga lebih rendah, mengekspor jagungnya 20 persen dibawah ongkos produksi, dan gandum 46 persen di bawah biaya produksi. Harga kapas di Amerika juga sudah dipotong 66 persen sejak tahun 1995 sampai 50 persen per setengah kilogram supaya bisa menjual dengan harga yang lebih rendah daripada produsen di negara Dunia Ketiga, sementara para produsen Amerika Serikat menerima subsidi sebesar 75 persen. Disahkannya Farm Bill Pertanian akan memperburuk kondisi tersebut. Aileen Kwa, Loc,cit 85 tahun atau setara Rp 160 triliun/tahun. Bandingkan dengan anggaran Departemen Pertanian yang cuma Rp2,3 triliun tahun 2003. Menurut perjanjian WTO ini dianggap sebagai distorsi subsidi non perdagangan karena terpisah dari produksi. Perjanjian tentang Pertanian saat ini (AOA) memungkinkan subsidi-subsidi ini (program Green Box) diberikan tanpa batas. Seringkali dikatakan bahwa pemberian subsidi akan mendistorsi non perdagangan dan itu tidak benar, karena su,bsidi jelas akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi kerugian bagi para produsen, dengan demikian lebih menggalakkan produksi. Harga-harga yang rendah ini secara artifisial menjadikan bahan-bahan pokok ini kompetitif di pasar dunia. Sementara para petani di Negara-negara Utara memperoleh kompensasi karena harga-harga yang rendah ini, sebaliknya para petani dari Dunia Ketiga sedang disapu bersih. Jika pembayaran langsung ini benar-benar penyimpangan non perdagangan dan terpisah dari produksi, tingkat produksi semestinya menyusut, total intervensi harga Uni Eropa lima puluh persen lebih rendah. Tetapi tingkat kenaikan pembayaran langsung mengakibatkan kenaikan 25 persen produksi sereal di Uni Eropa. Karena itu, bukan hanya subsidi yang meningkat, tetapi mekanisme "dumping" ekspor jadi semakin kurang transparan, sehingga semakin mempersulit para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang untuk menangkal praktek-praktek semacam itu. Negara-negara yang mempunyai hubungan dagang dengan Uni Eropa sangat rentan, misalnya lebih dari 70 negara ACP 131 dimana Uni Eropa saat ini sedang merundingkan perjanjian dagang secara timbal balik. Produk-produk Uni Eropa yang 131 ACP (states): Pada bulan Juli 1989, negara-negara dari Afrika, kepulauan Caribbean, dan Pasific bersama-sama negara-negara Uni Eropa menandatangani the European Community's Lome Convention,perjanjian direncanakan untuk memberikan kompensasi bagi 66 negara ACP atas kerugian yang ditimbulkan karena fluktuasi harga komoditas di pasar dunia. Jerry M. Rosenberg.Op.cit. p.4. 86 dihargai secara kompetitif akan membanjiri pasar-pasar di negara-negara itu dan negara-negara ACP akan menjadi tempat pembuangan produk-produk Uni Eropa 132 . Masalah distorsi banyak disorot dalam negosiasi perdagangan di bidang pertanian. lntinya perdagangan mengalami distorsi ketika harga lebih rendah atau lebih tinggi dari harga normal. Dan bila jumlah produksi, dibeli dan dijual menjadi lebih tinggi dari normal atau tingkat yang umumnya terdapat pada pasar kompetitif. Seperti diungkapkan di atas, hambatan impor dan subsidi domestik dapat menaikkan harga panenan di pasar domestik. Harga yang lebih tinggi dapat mendorong terjadi produksi yang berkelebihan (over production). Jika hasil surplus ini .dijual ke luar negeri, di mana harga di luar negeri lebih rendah, maka untuk bersaing, harga harus diberikan subsidi ekspor. Ketika beberapa negara melakukan hal tersebut dan ada beberapa negara yang tidak melakukan, maka kejadiannya adalah kelompok yang pertama akan memproduksi lebih dari yang sewajarnya 133 . Praktek perdagangan semacam ini, akan mengakibatkan selain pemborosan sumbe~daya keuangan, juga menghancurkan produktifitas, serta menyebabkan kerugian akibat penumpukan stock yang berlebihan, dan menimbulkan perang subsidi. Dampaknya tentu saja sangat merugikan negara-negara berkembang dan negara miskin yang tidak mempunyai kemampuan memberikan subsidi. Walaupun telah diketahui akan mendistorsi perdagangan serta dampak negatifnya. Pemerintah di berbagai negara biasanya memberikan subsidi kepada sektor pertanian dengan alasan sebagai berikut 134 : 132 A"l1 een Kwa, L oc,czt. 133 Direk1orat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri RI, Op.cit, hal. 24. 134 Ekonomi Keuangan dan Pembangungan Ibid. 87 • Memastikan bahwa produksi pangan dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri bagi negara yang bersangkutan. • Melindungi petani dari kerugian dalam berproduksi (cuaca, dan sebagainya) dan fluktuasi harga di pasar. • Menjaga kelangsungan kegiatan di sektor pertanian dan perekenomian masyarakat pedesaan. Pada setiap perundingan, beberapa negara memperdebatkan bahwa kebijakan subsidi tersebut merupakan suatu hal yang kontra produktif, sering kali mahal dan membebani sektor ekonomi lainnya, dan menjurus kepada perang subsidi. Komitmen. para menteri di Doha tahun 2001, difokuskan pada tiga persoalan utama, yaitu meningkatkan akses pasar (market access), mengurangi atau menghapus segala bentuk subsidi ekspor (export subsidies), dan mengurangi dukungan atau subsidi domestik (domestic support), yang dipercaya menyebabkan distorsi perdagangan. lni diperlukan untuk membentuk sistem perdagangan global yang adil dan berorientasi pasar. Deklarasi Doha dimaksudkan untuk menciptakan level playing field antara negara maju dan negara berkembang, agar tercipta perdagangan dunia yang adil dan fair. Sebab, subsidi negara maju yang demikian besar tidak saja menekan pasar di negara berkembang, juga menimbulkan krisis pertanian 135 . Sementara perdebatan itu terus berlangsung, yang lainnya tengah gencar untuk mencari formulasi bentuk lain yang dapat memenuhi ketiga tujuan di atas, dalam satu dan lain cara yang diperkirakan atau "dianggap" tidak menimbulkan distorsi. Misalnya negara Uni Eropa, mereka membayar direct income payment untuk petani yang mengelola areal rata-rata 20Ha/petani, ditentukan berdasarkan tingkat output dan sebagian berdasarkan areal yang disebut sebagai /and-set-aside-program, 135 Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.it 88 yaitu setiap petani memperoleh subsidi sebesar 15% dari areal tanam bila mernbatalkan berproduksi. Tujuan program ini ingin membatasi produksi sehingga harga pangan bisa meningkat. Di Swiss yang jumlah petaninya sekitar 5% dari total penduduk, juga melakukan direct income support bagi para petaninya sebesar 50% dari total pendapatannya, dan untuk petani terpencil bisa mencapai 80% 136 . Namun kebijakan ini telah diprotes di dalam negeri oleh para penganggur yang semakin sulit memperoleh pekerjaan dan para pembayar pajak. Akhirnya sulit untuk dilanjutkan oleh pemerintahannya. Efek dari pemberian subsidi antara lain direct income support bagi petani di negara-negara eksportir pangan khususnya AS, Kanada dan Uni Eropa (UE) adalah meledaknya produksi pangan. Bello melaporkan Uni Eropa akan kelebihan produksi gandum dari 27 juta ton di tahun 1997, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat menjadi 45 juta ton di tahun 2005 137 . Sebagian besar produksi pertanian AS di ekspor, seperti 50% produksi areal gandum, 57% areal padi, 24% areal jagung, 35% areal sayuran dan buah-buahan, dan 42% areal kapas. Surplus pangan tidak saja di AS, tetapi juga UE, Australia, dan Kanada. Surplus ini sebagian besar dilempar ke pasar dunia yang semakin terbuka akibat liberalisasi perdagangan. Dan mereka pun sangat lapar mencari pasar. Sehingga telah berakibat pada hampir semua harga pangan di pasar dunia merosot turun. Dalam periode 1995-1999, harga gula pasir merosot -16% per tahun, kemudian diikuti oleh gandum (-7%), beras kualitas 5% 136 M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 4. 137 W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture, Loc.cit. 89 broken (-6%), dan kualitas 25% broken (-7%), jagung dan kedelai masing-masing turun (-5%) 138 . Dampak yang tidak bisa dihindari adalah terjadinya surplus produk pertanian di negara-negara maju tersebut, yang mau tidak mau akan dilempar ke pasar dunia. Melimpahnya produk pertanian (excess supply) akan menekan harga pangan. Akhirnya produk pertanian negara-negara berkembang yang petaninya tidak disubsidi tidak mampu bersaing. Terjadilah impor produk secara besar-besaran, baik legal maupun ilegal. Lambatlaun, akibat ketidakseimbangan di level playing field itu petani dan sektor pertanian di negara berkembang akan merosot dan bangkrut. Liberalization of agricultural trade combined with a very weak financial and technical support from government has proven to be a deadly formula for Philippine agriculture. State support for agriculture has not even reached the ten per cent de minimis level of subsidization allowable under rules of the WTO's Agreement on Agriculture (AOA). Lack of government support is the main reason why the idea-- floated by pro-WTO advocates during the ratification debate-- that, spurred by the AOA, Filipino farmers would move into the production of high valued added crops like cut flowers had little basis. Such a shift has high capital requirements, which can only be provided by the state. 139 Padahal semangat Doha sebenarnya untuk mengurangi secara substansial subsidi negara-negara maju l<epada petaninya karena menciptakan ketidak-adilan. Mereka mampu mensubsidi petaninya, sedangkan negara berkembang tidak memiliki dana yang cukup. 3.3 lmplementasi Perjanjian di Bidang Pertanian WTO di Indonesia "Indonesia, sejak Perjanjian di Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) - WTO ditandatangani tahun 1995, bcrbagai protcksi dan subsidi untuk komoditas padi atau beras dikurangi, terutama subsidi input bagi pctani. Scmua non-tarif diubah mcnjadi tarifikasi". 138 M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan lnd(mcsia,Op.cit. hal. 5. 139 Walden 11cllo, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit. 90 3.3.1 Kebijakan dan Dampak bagi Pertanian Indonesia Hanya Indonesia, di antara negara berkembang yang berpenduduk besar serta negara agraris - tidak untuk Cina dan India - yang berubah menjadi net importer (periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan sel<itar USD 863 juta per tahun). Padahal periode ·1989-1991, Indonesia masih mengekspor pangan (net exporter) USD 418 juta per tahun 140 . Tidak seperti negara berkembang lain, ternyata Indonesia tergolong paling liberal dalam kebijakan perdagangan internasional komoditas pertaniannya. Selain membuka pasar secara radikal, Indonesia juga mengurangi subsidi petaninya. Hal ini terlihat dari fakta sebagai berikut. Sejak tahun 1997, setelah Indonesia meratifikasi WTO, sektor pertanian Indonesia telah masuk dalam liberalisasi perdagangan dunia. Bahkan satu dekade sebelumnya arah kebijakan ini sudah dimulai di tahun 1987, pemerintah mulai secara teratur mengurangi subsidi pestisida dan pupuk. Tahun 1988 pemerintah menghapus secara total subsidi pestisida. Subsidi pupuk kalium dihapus sejak 1992, dan pupuk TSP sejak tahun 1994. Pada tanggal 1 Desember 1998 tataniaga pupuk dibebaskan sesuai dengan mekanisme pasar. Walaupun di tahun 2002 pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk seuesar USD 35 juta tetapi masih menghadapi permasalahan berkaitan dengan mekanisme dan prosedur penarikan subsidi dari pemerintah ke pabrik pupuk yang belum dapat diterapkan. 141 Meski dalam berbagai pernyataan politik, para penyelenggara negara selalu menyatakan, untuk beberapa tahun ke depan keberadaan Indonesia sebagai negara agraris masih dipertahankan. Namun kenyataan empiris sebagaimana tercermin dari beragam konsep kebijakan dan implementasinya di lapangan yang telah diungkapkan 140 Khudori, WTO dan Petani Indonesia, Loc.cit. 141 Andi Irawan, Liberalisasi Pasar Bagi Petani Kita, Sinar Harapan, (11 September 2003 ), (http://www .si narharapan.co. id/bcrita/0309) 91 diatas, kian mengarah pada kerancuan dan inkonsistensi. Secara terminologis free trade, industri seharusnya dikembangkan sejalan dengan potensi keunggulan komparatif sumberdaya lokal, sementara dukungan sektor agrobisnis yang kuat pada gilirannya akan rnembuat transformasi struktural yang diikuti pergeseran arah pemanfaatan tenaga kerja yang full employment. Keseimbangan kemajuan antara agrobisnis, industri dan sektor-sektor lain mengarah penguatan ekonomi menuju kemandirian bangsa. Proteksi terhadap petani diperlukan selama masa transisi menuju liberalisasi perdagangan. Proteksi dilakukan dengan satu keinginan meningkatnya keunggulan daya saing produk pertanian primer. Dengan demikian petani akan mampu meningkatkan kesejahteraan dan mencerahkan kehidupan keluarganya. lndustri manufaktur berperan meningkatkan nilai tambah produk pertanian primer itu melalui value creation. Sangat disayangkan, skenario demikian tidak berjalan simultan. Tidak mengherankan bila kehidupan keluarga petani dipandang dari beberapa segi semakin terpinggirkan. Hal ini terjadi oleh ketidakjelasan visi dalam membangun agrobisnis yang kuat terdesentralisasi, dan berwatak kerakyatan misalnya, tercermin dari hampir tidak adanya kebijakan makroekonomi yang mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif. Petani begitu lemah saat berhadapan dengan perangkap kebijakan yang bersifat disinsentif dan kontra pemberdayaan. Salah satu contoh yang kini bergulir adalah ketidakjelasan formulasi impor beras. Karena itu bila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengamanan diikuti penegakan hukum, selamanya kehidupan petani padi tidak akan pernah terangkat. Pasar beras bakal terus dibanjiri beras impor sehingga panen raya mendatang akan lebih menekan rendahnya harga gabah petani. Berkaitan kebijakan mengenai gabah 92 (beras) dalam perdagangan bebas. Andi lrawan mencatat beberapa kebijakan berr'k utl42 : • Pertama. Pada era Presiden Habibie (1998) penerapan tarif impor nol persen sehingga membanjirnya beras impor. Di era Presiden Gus Our kebijakan tarif impor ini ditarik, pemerintah menetapkan tarif impor beras sebesar 30% akan tetapi disertai kebijakan yang cukup kontroversial ketika pemerintah merubah jalur impor beras dari jalur merah (beras impor ke Indonesia baik yang dilakukan oleh Bulog maupun swasta harus melalui custom valuation atau ·seleksi ketat dari volume dan kuantitas) berubah ke jalur hijau (tidak memerlukan seleksi ketat). Padahal Indonesia masih belum mampu mengurangi masuknya beras impor, dan keberadaan beras ilegal (selundupan). • Kedua. Peranan Bulog sebagai salah satu institusi pelaksana State Trading Entity sebagai lembaga penyangga cadangan pangan dan penstabil harga beras telah dilepaskan hak monopoli impornya di era Habibie, dan dicabut fasilitas pemberian BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) sebagai fasilitas untuk membeli sisa kelebihan produksi gabah dalam rangka melindungi petani dari anjloknya harga karena excess supply di pasar dalam . 143 negerr. • Ketiga. Perubahan kebijakan harga dasar (floor price) dan diganti dengan kebijakan harga pembelian (procurement price) melalui lnstruksi Presiden (lnpres) No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 31 Desember 142 . L OC.Clt.. 143 Penghapusan monopoli Bulog atas kegiatan impor sejumlah bahan pangan dan hakhak khusus sebagai STE dimulai pada 1998 melalui sejumlah keppres dan Surat Keputusan Menperindag. Keputusan terakhir soal pencabutan hak Bulog sebagai STE beras dilakukan melalui Keppres No.19/1998 tanggal 21 Januari 1998, diikuti SK Menperindag No.39/MPP/Kep/19/1998 tertanggal 22 September 1998. Berdasarkan dokumen tersebut Sekretariat WTO mencabut hak Bulog sebagai STE beras pada 16 November 1998. Bulog beralih status menjadi Perum (perusahaan umum) pada 13 · Januari 2003 menyusul ditandatanganinya PP Perum Pangan oleh Presiden RI. "WTO Setujui Notifikasi Bulog Sebagai STE," 93 2002. Kebijakan harga pembelian (procurement price) pemerintah secara konsepsional berbeda dengan kebijakan harga dasar (floor price). Konsep procurement price didasarkan pad a target kuantitas, yaitu membeli sejumlah tertentu pada harga yang sesuai table rafaksi. Pengaruh pembelian tersebut terhadap harga di pasar bukan menjadi perhatian penting, karena sifatnya pada target kuantum, maka tingkat harga di pasar adalah residual. Sebaliknya, pada floor price, target utamanya adalah mempengaruhi harga di pasar agar berada di atas harga dasar yang ditentukan. Kuantum pembelian tidak ditentukan besarnya - tergantung pada situasi harga dan suplai. Pembentukan harga di pasar menjadi perhatian utama sedangkan kuantitas pembelian menjadi bersifat residual. Pada pasar beras yang terbuka seperti kondisi pasar kita dewasa ini, maka kebijakan procurement price tidak menyentuh kepentingan petani karena: 144 • Jumlah yang dibeli akan terbatas sehingga pengaruhnya terhadap pembentukan harga minimal bagi para petani tidak dapat dijamin. • Dengan kuantum yang terbatas, sulit membagi kuantum tersebut kepada setiap petani yang jumlahnya jutaan di Indonesia. • Demikian juga dengan administrasinya apabila pembelian dilakukan melalui perdagangan dalam bentuk gabah, maka sulit memastikan bahwa gabah tersebut berasal dari petani. Indonesia, sejak Perjanjian di Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) - WTO ditandatangani tahun 1995, berbagai proteksi dan subsidi untuk komoditas padi atau beras dikurangi, terutama subsidi input bagi petani. Semua nontarif diubah menjadi tarifikasi. Khusus untuk beras, M. Husein Sawit 145 mencatat suatu ketentuan bahwa MAV (Minimum Access Volume) adalah 70 ribu ton dengan tarif 90% (tariff quota), setelah itu tingkat tarif dapat dinaikkan ke 180% (binding tariff) dan 144 L OC.Clt. . 145 M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 13. 94 diturunkan menjadi 160% pada tahun 2004. Telah disebutkan di atas, pada tahun 1998 liberalisasi perdagangan dilaksanakan, di era Presiden Gus Our, ada kebijakan beras impor dikenakan tarif 30%. Pada awal tahun 2000 dikenakan sebesar Rp 430/kg (equivalent to 30% ad-valorem). Ternyata secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa instrumen tarif tidak cukup efektif untuk membendung beras impor yang harganya murah di Luar Negeri. 146 Selanjutnya kebijakan liberalisasi pertanian di atas oleh Andi lrawan 147 diungkapkan dampak liberalisasi pasar bagi petani padi kita. Dengan mengambil hasil penelitian simulasi Faradesi yang menggunakan Farm household model, di mana petani ditempatkan sebagai entitas pelaku ekonomi yang komprehensif, yakni sebagai produsen, konsumen, dan sekaligus penyuplai tenaga kerja. Hasilnya menunjukkan dampak liberalisasi pasar akan merugikan petani padi kita. Penelitian simulasi Faradesi memberi gambaran sebagai berikut, penurunan harga gabah 30% (karena membanjirnya beras impor, sehingga menurunkan harga gabah dalam negeri cukup signifikan), tingginya harga input karena ditiadakannya subsidi input bagi petani (biaya produksi: upah buruh tani, harga pupuk, harga benih dan harga obat diasumsikan naik 30%). Hasil simulasi tersebut menunjukkan dampaknya: (i) terjadi penurunan produksi per luas lahan sebesar 6,95%; (ii) terjadi penurunan penggunaan pupuk dan benih masing-masing sebesar 10,92% dan13,25%; (iii) terjadinya penurunan investasi rumah tangga petani untuk usaha tani sebesar 1,09%. Artinya liberalisasi pasar menyebabkan kinerja produktifitas usaha tani memburuk. Termasuk tingkat kesejahteraan petani menurun, diindikasikan adanya kenaikan 0,32% untuk biaya kesehatan. 146 Ibid. 147 A n d'1 Irawan, L oc, crt. . 95 Adanya anggapan bahwa beras murah lebih menguntungkan untuk orang miskin - karena beras impor lebih murah, meski telah dikenakan tarif impor- ternyata anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, tidak selamanya tingginya harga beras otomatis menambah beban mereka. Jika simulasi Faradesi di atas skenario harga gabah naik, maka hasilnya sejalan dengan pendapat ekonom lainnya, misalnya lchsan 148 yang memberikan penjelasan sebagai berikut: • Beras adalah sebagai unsur penting penentu tingkat upah (wages good). Naiknya harga beras akan meningkatkan upah nominal buat buruh tidak terdidik (unskilled labour), sehingga akan berpengaruh positif terhadap penurunan jumlah orang miskin, dan perbaikan distribusi pendapatan 149 . • Bila dianalisa dengan pendekatan Farm Household, maka naiknya harga padi akan meningkatkan keuntungan usahatani padi dan meningkatkan pendapatan penuh sehingga mendorong peningkatan konsumsi barang lainnya. • Meningkatnya harga padi akan mendorong permintaan tenaga kerja di sub sektor tanaman padi melalui intensitas tanaman serta areal tanam, sehingga akan berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan akibat dari kenaikan pendapatan para buruh tani 150 . • Kenaikan harga beras akibat pengenaan tarif, sebagian pendapatan tarif akan dapat ditransfer melalui natura (beras) untuk kelompok miskin, seperti program "raskin" beras untuk orang miskin. • lndustri perberasan adalah industri kunci dalam pembangunan pedesaan, dan menarik perkembangan industri lainnya (pupuk, benih, obat-obatan) dan 14 x M. Ichsan, Kemiskinan dan 1-Iarga Beras.(Dbampaikan pada Diskusi Panel dengan tema: Alternatif Kebijakan Perberasan: Tinjauan Kritis Hasil Tim Kajian Kebijakan Perberasan Nasional, diselenggarakan oleh PSP-IPB dan LPEM-Ul c!i Bogor 17 Juli 2001). 149 S.R. Tabor, Food Security, Rural Development and Rice Policy: An Integrated Perspective, report for Bappenas (draft: 28 Juli 2001 ). 150 Jhid. 96 kegiatan tani lainnya di pedesaan (penggilingan, pengolahan gabah), secara keseluruhan mengurangi urbanisasi. Akibat maraknya beras impor, harga beras lokal yang sempat berada di kisaran Rp 2.800 per kilogram pun terancam mengalami penurunan signifikan mengarah Rp 2.100 per kilogram. Masalahnya harga beras impor sampai di gudang importir hanya sekitar Rp 2.100 per kilogram 151 . Kemungkinan bakal tertekannya harga beras lokal kian mendekati kenyataan karena Thailand dalam waktu dekat akan melepaskan 800.000 ton stock berasnya 152 . Tidak bisa dimengerti, petani kita yang dalam kondisi mencemaskan itu, pemerintah tidak segera mengambil sikap tegas perlu tidaknya impor beras dihentikan. Sejauh ini hanya sebatas pada pernyataan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi tentang tidak perlunya Indonesia mengimpor beras pada situasi sekarang, tetapi belum ada tindak lanjut ihwal proteksi untuk menghindari keterpurukan petani 153 . Memang harus diakui proteksi negara terhadap petani mengalami dilema tersendiri. Tidak jarang yang terjadi akibat proteksi adalah government failure di mana kebijakan proteksi yang diberikan ternyata tidak menguntungkan petani tapi dampaknya jelas merugikan konsumen, dan hanya menguntungkan segelintir pencari rente sebagaimana kita saksikan dalam sejumlah kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang pernah diterapkan selama ini. Dengan 151 Ading Suwandi, Ketidakjelasan Visi Ketahanan Pangan, Harian Kompas ( 18 Dcscmbcr 2003): 47. 152 Rencana Thailand tersebut di Indonesia menimbulkan kontroversi berkaitan dengan pernyataan Perum Bulog yang akan melakukan imbal dagang dengan menampung kelebihan stock Thailand. Guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sekitar 2,2 juta ton per bulan, sedangkan produksi nasional hanya sekitar 700.000-900.000 ton. Untuk mengatasi itu maka imbal dagang dengan Thailand akan dilakukan. Lac. cit. 153 . I ,OC.Cit. 97 demikian tantangannya menurut HS Dillon adalah, keliru bila pemerintah hanya berupaya memproteksi produk-produk pertanian dalam negeri. "Seharusnya yang diupayakan pemerintah bagaimana para petani dan buruh tani bisa bersaing dengan adil. Sekarang ini persaingannya tidak adil, karena petani dan buruh tani Indonesia sendiri tidak didukung oleh pemerintah, justru malah disuruh bersaing dengan agribisnis". 154 Untuk mengurangi penyelundupan beras yang kian marak, HS Dillon menolak menggunakan cara peningkatan bea masuk karena kualitas kelembagaan seperti sekarang hanya akan menambah insentif bagi penyelundup. Di Indonesia saat ini tidak ada kebijakan ekonomi pertanian yang utuh, masing-masing sektor mempunyai kebijakan sendiri bahkan tumpang tindih. Saat ini paling mendesak menciptakan seperangkat insentif agar petani dan buruh tani terangsang terus meningkatkan produktivitas dan efisiensi. 155 3.3.2 Kebijakan dalam Negosiasi di Bidang Pertanian WTO Kita telah membahas tentang kebijakBn Indonesia yang progresif meliberalisasi perdagangan di bidang pertanian, juga sudah merasakan dampak buruknya. Hal ini rupanya telah disadari oleh masyarakat Indonesia, yang terwakili pada saat rapat dengar pendapat Komisi Ill DPR-RI dengan Kepala Bulog di bulan Januari 2003. Komisi Ill DPR-RI dan Bulog sependapat bahwa beras merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitifitas yang tinggi, yang menyangkut stabilitas sosial di masyarakat. Untuk itu, Komisi Ill DPR-RI menyarankan kepada pemerintah agar kebijakan harga beras tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas seperti pada saat ini, dan pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap Kebijakan Perberasan 154 "Pasca-kegagalan Konsensus di Sidang WTO: Kesepakatan Perdagangan Multilateral Perlu Dibangun". http://www.sinarharapan.eo.id/ekonomi/industri/, 15 Desember 2003. 155 L OC.It . 98 Nasional, juga institusi (lembaga) yang menanganinya secara terpadu dan komprehensif di dalam koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. 156 Lebih lanjut dalam menyikapi strategi komoditas beras. Pada saat yang sama Komisi Ill DPR-RI meminta agar pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk dapat mewujudkan swasembada beras yang berorientasi kepada pembangunan pedesaan, karena peningkatan produksi padi dapat membawa ketahanan sosial yang cukup tinggi di dalam kerangka membangun ketahanan pangan nasional, yang harus tetap merupakan prioritas kebijakan nasional sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Sekarang, bagi pemerintah apa yang seharusnya menjadi fokus dalam negosiasi perjanjian di bidang pertanian mendatang? Sependapat dengan pandangan pakar seperti MH Sawit, HS Dillon, W Bello, dan para pakar yang tidak terperangkap. premis neo-liberalisme. Adalah saat ini paling mendesak menciptakan seperangkat insentif agar petani dan buruh tani terangsang terus meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Permasalahan dan jawaban, keduanya memiliki spektrum pertimbangan yang luas untuk suatu kebijakan komprehensif yang akan dibuat. Dari sudut perspektif yang jauh ke depan - tanpa mengabaikan sasaran jangka pendek peningkatan produksi padi guna swasembada beras - mencapai ketahanan pangan berbasis pada pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Diperlukan suatu kebijakan dengan substansinya adalah yang secara eksplisit tidak menentang globalisasi vis a vis dengan neo-liberalisme, melainkan yang ditentang adalah ketidak-adilan. Premis di General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), adalah untuk mencapai konsensus liberalisasi perdagangan 156 Januari Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kepala Bulog 22 Siaran Pers Bulog. http:/\n\w.bulo!Z.!Zo.idlpersl, 9 Desember 2003. ~00~. 99 internasional diantara negara-negara anggota dalam suatu perjanjian multilateral. Seperti dinyatakan oleh WTO: ''The WTO is the only international body dealing with the rules of trade between nations. At its heart are the WTO agreements, the legal ground-rules for international commerce and for trade policy. The agreements have three main objectives: to help trade flow as freely as possible, to achieve further liberalization gradually through negotiation, and to set up an impartial means of settling disputes.J 57 Hasil studi telah memperlihatkan bahwa dampak negatif sebagai konsekuensi Agreement on Agriculture (AoA) untuk Indonesia, Philippina dan negara berkembang lainnya adalah sangat ketidakseimbangan yang melembaga pada tingginya tingkat domestic support, subsidi, dan tarif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Akibatnya " seperti telah dibahas, kian mendorong kelebihan produksi dan anjlok harga di pasar dunia konsekuensi dari export dumping, meruntuhkan sektor pertanian di negaranegara berkembang. AoA tidak mampu mereformasi 158 perdagangan internasional komoditas pertanian, bahkan telah melembagakan dua kepentingan bertentangan, 157 WTO, (http://www. wto.org/wto/about/) 158 How much policy reform since the mid-1980s? • Progress in reforming policies and liberalising trade in agriculture has been limited. Some governments have granted special income support to farmers and diluted planned reforms when market pressures emerge. • Production and trade distortions remain significant, although there has been some shift away from commodity-specific market price support to direct payments to farmers. • There has been no convergence of levels of support across countries or commodities. • Despite changing consumer and public concerns, such as for food safety and the environment, ond the closer integration of agriculture into the agro-food chain and the rest of the domestic and international economy, there have been few innovations in the type of agricultural policy measures and institutions used, and there is often a lack of policy coherence between agricultural, trade, environmental and developmental policies. Scjak tahu 1987 OECD telah melakukan monitoring dan evaluasi pembangunan di bidang pertanian dan kebijakan yang terkait di antara negara-negara anggotanya lebih lanjut. OECD, "A Programme Responsive to Evolving Policy Issues". http://www.oecd.org/agr/ , 12 Desember 2003. 100 antara pertanian sosial bersubsidi di negara Utara, dan pertanian free trade nirsubsidi di negara Selatan - yang hendak selalu dipaksakan. lni sepertinya membawa AoA sebagai instrumen persaingan monopolistik antara Uni Eropa dan Amerika Serikat 159 . Amang dan Sawit menyebutnya sebagai pasar oligopoli. 160 Masuk ke forum negosiasi di WTO, bagi Indonesia sepertinya bergabung ke suatu badan yang tidak hanya acuh tak acuh terhadap pembangunan (pedesaan negara berkembang), tapi juga tidak transparan dan tidak demokratis dalam pengambilar. keputusan. Kendali efektif pada kekuatan pengaruh multinational corporations (MNCs) melalui proses yang disebut "konsensus," 161 yang kompradorkompradornya ada di Indonesia dan berbagai negara berkembang. Kekecewaan terhadap pembuatan keputusan yang tidak adil di WTO, melatarbelakangi gagalnya Konferensi WTO ke-V di Cancun, 10-14 September 2003 lalu. Oleh Bello, ketidak-adilan dan ketidak-transparan dalam forum pengambilan keputusan AoA yang ditengarai sebagai berikut: "The study finds that it was only through arbitrary procedures, non-transparent mechanisms such as the "Green Room," and intimidation that the big trading powers managed to get the developing countries to agree to the declaration issued by the Fourth Ministerial in Doha, Qatar, held in November 2001. That declaration launched a limited round of new negotiations for trade liberalization that most developing countries had been opposed to before the ministerial. The momentum from Doha failed to surmount deep-seated differences. Trade negotiations have ground to a halt less than three months before the Fifth Ministerial, which will be held in Cancun, Mexico. The big fear is that in order to 159 Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit. 160 Over produksi di negara-negara maju dengan pertumbuhan penduduk yang rendah, scbaliknya produksi di negara berkembang tidak mengejar kebutuhan swasembada dalam negerinya selain karena tinggi jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk, turunnya produktifitas akibat anjloknya harga gabah/beras dunia. Produsen pangan akan terkonsentrasi pada 4 negara kaya yaitu AS, Kanada, dan Selandia Baru. B. Amang, c~an M. Husein Sawit, "Perdagangan Global dan Implikasinya Pada Ketahanan Pangan Nasional". Agro-Ekonomika (Tahun-27, 1997): 2. 161 Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit 101 push through further global trade liberalization, the negotiators of the big trading powers will again resort to non-transparent methods as in Doha." Menghadapi hal itu, persoalan bagi Indonesia adalah selain kurangnya sosialisasi dan publikasi, juga data-data studi analisis serta informasi yang diperlukan pada kebijakan yang dibangun, misalnya: (1). Tentang apa yang akan disampaikan kepada WTO, jika pemerintah Indonesia ingin menerapkan kuota beras, dan rencana menghentikan impor beras yang disampaikan oleh Menperindag Rini MS Soewandi dalam beberapa kesempatan, serta rencana Bulog sebagai State Trading Entity (STE) yang akan melakukan imbal dagang dengan Thailand: 162 (2). Program-program pemerintah (government services programmes) yang akan diberikan atau lebih luas lagi adalah suatu domestic support terkait special and differential treatment yang akan diterapkan pada sektor pertanian Indonesia, dalam rangka mewujudkan swasembada beras yang berorientasi kepada ekonomi rakyat pembangunan pedesaan, dan ketahanan pangan; (3). Tindakan pemerintah yang akan diambil terhadap beberapa produk impor seperti proteksi dalam Infant Industry Protection, perubahan Tariffs Schedule, Negative Effect on Balance Payment dan Safeguard; (4). Posisi antisipasi bidang pertanian yang berkaitan hambatan non-tarif seperti Bio Terrorism Act (AS), Bio Security Act Australia dan White Papper on Food Safety dari Uni Eropa, serta Eco Labeling maupun isuisu penting lainnya dalam GATT seperti TRIPs, TRIMs dan GATS? 162 WTO menyetujui notifikasi pemerintah Indonesia soal status Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) khusus beras. "Dalam satu-dua hari ini kami akan dapat bukti tertulis soal approval WTO itu, sementara ini saya baru den gar dari direktorat lain," kata Chaeruddin. Chaeruddin menegaskan status STE tersebut tidak mengubah misi Perum Pangan sebagai lembaga pemerintah dengan tanggung-jawab mcmberi pelayanan publik dalam hal ketahanan pangan nasional. Kepala Biro Kerjasama Internasional dan Hubungan Antar Lembaga Bulog Husein Sawit membenarkan bahwa status STE khusus beras sudah dikembalikan kepada Bulog bersamaan dengan persetujuan WTO yang dikeluarkan bagi sejumlah lembaga sejenis di Kanada, Cina, dan beberapa negara lainnya. Sementara 500.000 ton beras Thailand dijadwalkan tiba di Indonesia pada Agustus-September 2003. "WTO Setujui Notifikasi Bulog 5-.'ehagai STF;," l,oc.cit. 102 Pada saat tesis ini disusun, Konferensi Tingkat Menteri ke-V di Cancun, Mexico, 10-14 September 2003 baru saja berlalu dengan mengalami kebuntuan dalam perundingannya. Draft Cancun, seperti diketahui semua pihak dianggap sangat mengecewakan sebagian besar anggota WTO, khususnya negara berkembang 163 . Oleh Alan Oxley dijelaskan, "At Cancun, Ministers failed to agree on something very simple: how the Doha Round of negotiations was to proceed. Developing countries, lead by African countries, were adamant that there should be no negotiations on how to provide for transparency in government procurement or how to streamline administration of controls on trade ("trade facilitation" in the jargon). The breakdown was a very serious because very little was at stake. "164 Bagi Indonesia, Menperindag Rini MS Soewandi memberi pernyataan bahwa, "Sikap negara maju seperti yang mereka tunjukkan dalam forum WTO memberikan tanda yang sangat jelas kepada kita bahwa kemiskinan di negara berkembang akan terus berlangsung 165 , karena negara maju terus menerapkan hambatan tarif dan non-tarif pada produk-produk pertanian negara berkembang. 163 Beberapa pandangan kritis terhadap draft KTM ke-V Cancun. Lihat: Martin Khor, Developing Countries Prepare for Agriculture Battle at Cancun Ministerial. (TWN Report from Cancun, 9 Sept 2003). http://wto.dprin.go.id/, 10 Nopember 2003.; Chakravathi Raghavan, No Easy Answer on How to Proceed After Cancun. Published in: South-North Development Monitor (SUNS) No. 5427 (26 September 2003). 164 Alan Oxley, The Consequences ofCancun- the WTO as Workhouse not Poorhouse. http://www.apec.org.au/docs/workhouse.asp, 3 Desember 2003. 165 Mcnanggapi hal ini Bello menegaskan bahwa selama ini, "And what little promise it offered for the poor countries had been betrayed long before Cancun. Emblematic of this state of affairs was Washington's refusal to live up to the Doha Declaration's placing public health concerns over the patent rights of its pharmaceutical corporations up till the eve of the ministerial and its agreeing only after it got the developing countries to agree to a cumhersome procedure that would make cheap imports of life saving drugs for people suffering from HIV-AJDS and other dreaded diseases extremely difficult." Walden Bello, The Meaning of Cancun. (This article appeared in the "Perspective" Section of the Bangkok Post, Sept. 19, 2003.) http://www.ourworldisnotforsale.org/cancun/WTO/cancun!Report/05 .asp, 25 Nopember 2003. Oxley mengungkapan konsekuensinya, "The ultimate consequence or their action may he that th('y will he required to take responsihilityfor their own affairs. There is a distinct shiji against the paradigm which shaped international affairs over the last 40 years that governments have the sovereign right to ruin their own nations and it is the responsibility of rich countries to save the poor. "Alan Oxley, Loc.cit. 103 Sikap negara maju tersebut memaksa Indonesia dan negara agraris lainnya untuk menemukan pasar alternatif' 166 Kebuntuan perundingan di Cancun ini, memberikan momentum bagi Indonesia dan negara berkembang untuk mempersiapkan diri terhadap adanya kesepakatan perdagangan multilateral maupun regional lainnya yang lebih adil. Dalam hal ini, Indonesia harus bertindak lebih pro-aktif dengan kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif dan terencana, tidak seperti selama ini setiap kebijakan yang dikembangkan cenderung bersifat ad hoc. 3.3.3 Indonesia danTrade Policy Review Body WTO Saat ini, pasca-Cancun. Agenda sidang lanjutan tidak akan bisa dilanjutkan tanpa ada terobosan-terobosan dalam aspek rules. Pengalaman di masa lalu selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Suatu kebijakan perdagangan yang harus dinotifikasi misalnya, diperlukan adanya kajian yang mencukupi. Dalam hal ini Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KIPPI) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan lndustri Dalam Negeri Akibat Lonjakan lmpor, adalah lembaga yang pertama kali bertanggung jawab dalam masalah lonjakan barang impor yang dampaknya dapat diduga memberikan kerugian serius atau ancaman serius terhadap industri dalam negeri. Kebijakan perdagangan Rl hasil kajian KIPPI yang dikeluarkan pada periode 1998-2002, tercatat setidaknya ada enam kebijakan-kebijakan, antara lain: (I). tata niaga tekstil, (2). pelarangan impor paha ayam, (3). kebijakan impor otomotif, (4). masalah ketentuan pembukaan lahan pertambangan di hutan lindung, 166 "Perlu Pasar Baru Setelah Gagalnya Pertemuan Cancun." Siaran Pers. bttp://~\f\Y.VV.J.lpril1~).id/indfuubljkasi/siaran pcrs/, 16 Dcscmbcr 2003. 104 (5). pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection/PSI) untuk beberapa produk, dan (6). kebijakan impor minuman keras Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Perdagangan Dunia akan mengevaluasi dan meminta klarifikasi kebijakan perdagangan yang dikeluarkan di antara mereka, termasuk terhadap Indonesia. Dalam siaran persnya, Sekretariat WTO menyebutkan sejumlah anggota dalam Trade Policy Review Body meminta 12 isu perdagangan, yaitu (1) status kebijakan yang baru menyangkut rencana investasi asing; (2) persetujuan partisipasi liberalisasi; (3) perdagangan regional; (4) sejumlah kebijakan tarif; (5) lisensi impor; (6) formulasi standard (SNI); (7) legislasi paten; (8) tindakan terhadap pembajakan HaKI; (9) komitmen aturan jasa finansial; (1 0) produk transgenik; . . t panw1sa a. (11) deregulasi sektor telekomunikasi; dan (12) pengembangan 167 Sidang Trade Policy Review Mechanism (TPRM) dilaksanakan di Geneva, 2730 Juni 2003. Dalam sidang tersebut, isu-isu sensitif kemungkinan besar akan dipersoalkan negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Australia. Pada sidang Trade Policy Review Body setiap negara diminta memberikan penjelasan komprehensif mengenai keseluruhan kebijaksanaan ekonominya serta kebijaksanaan perdagangan yang mempunyai dampak terhadap sistem perdagangan dunia. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang pertama kali tampil dalam TPRB ketika forum tersebut mulai dibuka sebagai suatu kegiatan baru dalam 167 "WTO Minta Klarifikasi 12 Isu Perdagangan." Kompas, http://www.kompas.com/, 2 Desember 2003. 105 GATT. Forum ini berjalan sepanjang tahun dan setiap negara anggota mendapatkan giliran untuk diminta penjelasannya 168 . Delegasi Indonesia dipimpin Pos Hutabarat, Dirjen Kerjasama lndustri dan Perdagangan lnternasional (KIPI) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, telah bekerjasama dengan departemen dan instansi teknis lain, seperti Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Departemen Kehutanan, serta Sea dan Cukai. Dikatakan Pos Hutabarat, pihak Indonesia sendiri siap menjelaskan kebijakan-kebijakan tersebut kepada negaranegara WTO dengan didasarkan prinsip dan ketentuan \1\'TO serta pada kepentingan industri dan perdagangan Indonesia. Untuk menghadapi keberatan dari negara-negara WTO dan mempertahankan kebijakan perdagangan Rl yang disoroti, Indonesia memegang tiga prinsip. Ketiga prinsip adalah: (1) menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia golongan bawah (poverty alleviation atau pengentasan kemiskinan), keamanan pangan (food security), dan pengembangan ekonomi pedesaan (rural development). Jika persoalan dan argurnentasi Indonesia ditolak dalam sidang itu, isu yang dipersoalkan akan dibahas dalam penyelesaian sengketa (dispute settlement). Negosiasi dalam penyelesaian pertentangan argumen itu memakan waktu sekitar 18 bulan. Setelah itu, baru diputuskan suatu kebijakan melanggar WTO atau tidak (Kompas, 26 Juni 2003). Sedangkan sistem penyelesaian sengketa dalam beberapa aspek yang khas yang dapat dikemukakan. GATT mengandung Karakteristik tersebut Berkaitan dengan upaya pemantauan perkembangan dalam perdagangan dunia, maka dalam salah satu keputusan dari Putaran Uruguay, telah ditetapkan suatu mekanisme pengkajian perdagangan atau Trade Policy Review Mechanism (TPRM). Mekanisme pengkajian dilaksanakan melalui sidang tahunan, forum untuk membahas kebijaksanaan komprehensif dari setiap anggota GATT, yang kemudian telah menjadi bagian integral dari WTO, yakni Trade Policy Review Body (fPRB). H.S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 102. 168 106 berkembang secara pragmatis seperti halnya berbagai konsensus internasional lainnya. Perjanjian GATT tidak mencantumkan keharusan untuk menyerahkan sengketa kepada lntqrnational Court of Justice (ICI). Karena tidak adanya keharusan untuk menyerahkan kasus sengketa kepada ICI, maka GATT mempunyai banyak peluang untuk melakukan beberapa inovasi. Oleh Oliver Long, mengutip Malinverni, menekankan jikalau pemecahannya yang legalistik akan menimbulkan ketegangan yang tidak menguntungkan kepentingan jangka panjang sebagai suatu organisasi internasional., "If a legal solution is applied in an international organization, this does not necessarily safeguard the spirit of collaboration among its members. On the contrary, it can compromise it. Moreover, in international organization, a dispute is considered less a conflict of interest between states, to be satisfied by application of the law, than as an obstacle to its good functioning". 169 Selanjutnya, dikemukakan bahwa tujuan utama yang menjadi sasaran bagi negara anggota adalah untuk menjaga agar keseimbangan dalam konsesus dan keseimbangan dalam keuntungan dan kewajiban (fairness and eqauality) antar semua anggota tetap terjamin. "... the GA TT's aim, as perceived by contracting parties, is to preserve the balance of concessions and the balance of advantages and obligations between members countries, and not to resort to sanction whenerver a country is in breach of iths rules." 170 Prosedur yang dapat diambil apabila terjadi kerugian yang timbul berupa "penghapusan" (nullification) atau "kerusakan" (impariment) atas hak dan keuntungan yang telah diperoleh suatu negara me lui perjanjian GATT. Pasal XII Ayat (1) berbunyi: If any contracting party should consider that any benefit accruing to it directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attaintment of any objective of the Agreement is being impede as a result of: (a) the failure of 169 Olivier Long, Low and its Limitation in the GATT Multilateral Trade System.Op.cit. 170 Ibid. P. 65-66. P. 65. 107 another contracting party to carry out its obligation under this agreement, or (b) the application by another contracting party of any measure, whether or not is conflicts with the provisions if this Agreement, or (c) the existence of any other situation, the contracting party may, with a view of satisfactory adjustment of the matter, make written representations or proposals to the other contracting party or parties which it considers to ue concerned. Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or proposal made to it. Pada Pasal XXIII Ayat (2) diberikan langkah dan prosedur yang diperlukan sebaga dasar untuk menyelesaikan sengketa. If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties concerned within a reasonable time, or if the difficulty is of the type in paragraph 1 © of this Article, the matter may referred to the Contracting Parties. The Contracting parties shall promptly investigate the matter so referred to them and shall make appropriate recommendations to the contracting parties which they consider to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. Apabila masalah dalam sengketa dianggap oleh Contracting Parties sebagai sesuatu yang cukup serius maka pihak yang merasa dirugikan dapat diberi otorisasi untuk mengambil langkah retalisasi yang ditunjukan kepada pihak yang dituduh telah melanggar hak negara lain yang menuntut agar mencabut konsesi yang semula diberikan kepada negara yang dituntut. If the Contractiing Parties consider the circumtances are serious enough to justify such action, they may authorize a contracting party or parties to suspend the application to any other contracting party or parties of such concessions or other obligations under this Agreement as they determine to be appropriate. 108 Bab 4 Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO: Kasus Beras 4.1 Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perberasan 4.1.1 Persepsi Ketahanan Pangan dan Net Importer Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Disamping itu, ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional yang saat ini menurut bukti di lapangan dinilai sangat rapuh. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang merumuskan sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Persepsi definisi ketahanan pangan tersebut, mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan). 171 Dari persepsi tersebut, saat ini ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rumah tangga. Walaupun pada tingkat nasional hasilnya telah lebih baik, masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, 171 Hardinsyah dan Martianto, Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat. (Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001 ). 109 terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keanekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. 172 Masyarakat pada awalnya memahami pengertian ketahanan pangan terfokus pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberapa hal mungkin berkaitan. PBB mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. Kemudian pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar dap8t melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. 173 Bagi Indonesia, beras masih menjadi inti dari usaha memperkuat ketahanan pangan nasional tidak saja sekarang tetapi juga dalam 20-30 tahun mendatang. Memperjuangkan swasembada beras pada tingkat tertentu, walau bukan dalam artian autarki dengan menetapkan kebijakan nasional untuk menghindarkan ketergantungan kepada negara lain dan ketahanan pangan nasional adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Pentingnya beras dalam keperluan gizi masyarakat, peran beras dalam 172 Bayu Krisnamurthi, Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 Tahun dan Tantangan ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat (Artikel-Th.II-No.7-0ktober 2003) http://www.ckonomirakyat.org.id/edisi 19/artikel 4htm, 12 Nopember 2003. 173 Ketika terjadi krisis pangan dan kelaparan di beberapa negara Afrika dan Asia Selatan seperti Ethiopia, Bangladesh yang mengenaskan pada awal dekade 1970-an, sejak itu istilah ketahanan pangan (food security) mulai menjadi wacana dan terus menggugah kesadaran umat manusia. Satu tahun kemudian istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan oleh PBB pada tahun 1971, ditetapkan sebagai kebijakan pangan dunia, untuk membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Ali·ika dan Asia. Pada tahun 1<)94, Bank Dunia (World Bank), menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Dan ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986 World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar· dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. S. Maxwell, and T. Frenkenberger, Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. (New York: UNICEF and IFAD, 1997) 110 stabilitas harga pangan dan harga konsumen, serta banyaknya rumah tangga yang terlibat di dalamnya, menjadi alasan utama untuk swasembada dan menjadi prioritas tinggi buat pemerintah. Keterkaitan erat antara stabilitas sosial dan kecukupan beras serta dan terjangkaunya harga menjadikan beras sebagai komoditi politik di . 174 Indones1a. Perdagangan beras di pasar dunia masih sangat tipis (thin market) yaitu hanya 24 juta ton yang diperdagangkan, sekitar 6-7% dari total produksi dunia, bandingkan misalnya dengan gandum, jagung, kedelai masing-masing 19%, 14%, dan 29%. Ekspor beras dikuasi 6 negara eksportir utama: Thailand, Vietnam, Cina, AS, Pakistan dan India. Perdagangannya dikuasai antara 15-20 pengusaha besar. Pasar beras bersifat residual (residual market), negara-negara eksportir seperti Cina, India, Vietnam akan membatasi ekspor beras, manakala cadangan pangan dalam negerinya terancam. Sifat pasar residual berpengaruh pada ketidakpastian suplai dan harga beras di pasar dunia. Oleh karena itu, pasar beras dunia lebih bercirikan pasar oligopoli dari pada pasar persaingan. 175 Tabor mergungkapkan bahwa harga beras di pasar dunia sedikit sekali kaitannya dengan efisiensi dari penggunaan sumber daya global. Harga pasar beras dunia banyak terdistorsi - dengan berbagai bantuan dan proteksi untuk petani produsen - terutama di negara OECD. Semakin rendah harga komoditas primer, termasuk di dalamnya beras di pasar dunia, semakin tinggi support pemerintahnya 174 Lihat antara lain. Tim Perberasan Nasional, Formulasi Kebijakan Perberasan Nasional. Di bawah koordinasi Bappenas dan Menko Perekonomian. (Jakarta, Juli 2001).; Tabor, Loc.cit.; B. Amang dan M Husein Sawit, Loc.cit. 175 Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan lndonesia,Op.cit. hal. 12. 111 terhadap produsen. 176 Artinya, harga beras internasional tidak dapat dipakai sebagai tolok ukur efisiensi, karena telah terdistorsi oleh berbagai kebijakan. Perdagangan bebas merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha produkproduk pertanian Indonesia apabila tidak dapat meningkatkan daya saingnya. Membanjirnya komoditi pertanian dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah dapat menguntungkan konsumen tetapi dapat memberikan dampak yang negatif bagi industri pertanian di dalam negeri. Upaya perbaikan secara menyeluruh untuk semua aspek yang mendukung kegiatan usaha perlu dilakukan apabila tidak ingin menjadi negara net importir bagi produk-produk pertanian, yang sesungguhnya dapat diusahakan didalam negeri dan menjadi gantungan hidup jutaan masyarakat pedesaan. Tabcl 4-1 Neraca Pcrdagangan Produk Pertanian Tahun 1997-2001 (000 USD Produk I 1998 1997 Tahun Tanaman Pangan *: 157,186 110,575 Ekspor 1,888,011 lmpor 1,768,871 -1,658,296 -1,730,826 Defisit Perkebunan *: 4,079,889 Ekspor 5,180,116 1,522,337 1,247,042 lmpor 3,657,779 2,832,847 Surplus Peternakan* 66,947 112,260 Ekspor 453,866 837,860 lmpor -341,606 -770,913 Defisit Hortikultura* 80,196 139,438 Ekspor 124,473 273,430 lmpor -44,277 -133,992 Defisit Sumber: BPS d1olah. *= Data thn 2001 s/d Desember. ---:----'-. 1999 2000 2001 91,187 2,426,336 -2,335,149 59,059 1,735,697 -1,676,638 56,363 1,404,472 -1,348,109 4,092,808 1,427,774 2,665,035 3,887,185 1,257,265 2,629,920 3,444,387 1,550,976 1,893,411 118,187 468,199 -350,012 204,021 752,798 -548,777 243,651 728,604 -484,953 355,930 147,435 208,495 295,539 243,012 52,527 171,150 253,170 -81,720 Secara umum perdagangan produk pertanian selama 5 tahun terakhir selalu dalam posisi defisit, jumlah impor produk pertanian lebih besar dibandingkan dengan jumlah ekspornya. Hanya neraca perdagangan komoditi perkebunan yang mengalami 176 . . Tabor, Loc.c1t. 112 surplus. Untuk memperkecil defisit neraca perdagangan komoditas defisit neraca perdagangan komoditas pertanian tersebut diatas, perlu dirumuskan suatu kebijakan operasional yang dituangkan dalam suatu strategi pengendalian impor (Lihat Tabel41). Tabel 4-2 Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Komoditas Utama Tanaman Pangan TAHUN PRODUKSI PADI (BERAS) 1997 28,696,963.44 1998 2815991765.30 ~999 2915501301.11 2000 301160,472.91 2001 2913261128.55 JAGUNG 1997 717151063.72 1998 819461491.63 1999 810971855.64 2000 815171511.49 2001 812291369.28 KEDELAI 1997 11244,462.34 1998 1 196 1730.37 1999 112671846.61 2000 9331904.86 2001 7561781.08 Sumber : BPS diolah = Angka ramalan Ill BPS I KONSUMSI IMPOR(TON) EKSPOR (TON) 2213031449.53 2216041546.10 2113171185.87 21 13541152.82 2116721329.70 3481073.93 218941957.42 417481059.64 113541901.04 6421168.01 63.88 11980.82 21699.99 11189.36 31925.97 7481182.81 7581283.28 7681520.10 7691852.82 7811323.63 110981352.17 3131462.96 6181059.97 112641575.03 110351296.97 181956.95 6241942.19 901645.85 281065.87 90,473.86 118961463.37 119221065.63 212111036.44 212141870.68 212471872.25 6161375.01 3431123.?3 11301 754.62 112771684.99 111361419.44 5.88 0.28 4.62 520.85 1 18a.o5 I I lmpor pangan Indonesia meningkat pesat setelah liberalisasi pasar beras dilakukan 1998. Indonesia kini menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, terbesar kedua setelah Rusia untuk gula pasir. Separoh kebutuhan kedelai dan jagung berasal dari impor. lmpor gandum 1997-2001 telah mencapai hampir 4 juta ton. Indonesia menjadi satu-satunya negara berkembang berpenduduk banyak yang juga ketergantungan terlalu besar pada pangan impor. Meningkatnya pengeluaran devisa - yang amat terbatas - untuk pangan dengan volatility pada nilai tukar tinggi. Berpengaruh buru!~ terhadap stabilitas harga pangan dalam negeri dan stabi!itas 113 ekonomi makro, pada gilirannya mengurangi kemampuan untuk impor barang modal yang amat diperlukan dalam pembangunan (Lihat Tabel4- 2). 177 Efek liberalisasi perdagangan produk pertanian akan berbeda antara negara pengimpor lawan pengekspor, meski semua negara punya keinginan agar tercapai stabilitas harga. Liberalisasi dapat mempengaruhi stabilisasi harga pangan dalam empat hal yaitu: 178 1. Produksi akan berpindah dari wilayah yang tinggi subsidi ke wilayah rendah subsidinya. Jika pergeseran ini berpusat pada suatu wilayah, maka bila terjadi perubahan iklim (banjir, kekeringan, hama penyakit dan sebagainya) di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga pangan secara global; 2. Tarifikasi berpengaruh terhadap stabilisasi harga yaitu menjadi lebih responsif terhadap perubahan pasar dunia. Perilaku perubahan harga diperlukan guna menyerap ekses suplai maupun permintaan; 3. Bila non-tariff barrier digantikan oleh tarif, juga akan membuat impor pangan menjadi responsif terhadap perubahan harga pangan dunia; 4. Perbaikan informasi dalam memonitor pangan global. Apabila liberalisasi perdagangan menimbulkan harga pangan tidak stabil, terutama karena konjungtur pada masing-masing negara berbeda. Berkurangnya stok beras dunia maka intervensi ke pasar khususnya negara eksportir akan berkurang, karena otomatis harga naik adalah menguntungkan mereka. Dengan keterbatasan stok ini, maka dunia akan kurang mampu menahan (buff9r) penyesuaian terhadap 177 Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 15. I?X Michael Trueblood and Shah Ia Shapouri, Luc. cit 114 perubahan konsumsi dan perubahan produksi. Meskipun stok dapat menggantikannya, tetapi stabilisasi harga akan tetap terpengaruh. 179 Suatu negara yang bergantung pada impor pangan akan menghadapi sejumlah goncangan (shock). Hal lain yang ditakutkan dari pembukaan pasar secara global adalah meningkatnya kompetisi suplai pangan antara konsumen kaya di negaranegara maju lawan konsumen miskin di negara-negara berkembang. Di negaranegara maju, negara memberikan subsidi untuk pertaniannya. Di negara-negara berkembang, negara mengenakan pajak terhadap pertaniannya. Karenanya efek bersih dari reformasi ini pada pasar dunia menjadi tidak jelas. 180 4.1.2 Ruang Lingkup, Visi, dan Misi Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin stabilitas harga pangan strategis. Dan pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup, aman dan beragam. PembangJnan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis 179 . Ohga, 0 p.c1t. 180 Ibid. 115 yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis, dalampendekatan koordinasi. Achmad Suryana 181 mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga sub sistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan. Ketahanan pangan dilaksanakan oleh banyak pelaku (stakeholder) seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen yang dibina oleh berbagai institusi sektoral, sub sektoral serta dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan . ketahanan pangan adalah terpenuhinya hak azasi manusia akan pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan dalam Kerangka Sistem Ketahanan Pangan sebagai berikut (Skema 4-1). Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap, ketiga sub sistem dalam sistem ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara sinergis, melalui kerjasama antar komponen-komponennya yang digerakkan oleh masyarakat dan pemerintah. Dalam komunitas masyarakat yang dinamis ini, sistem tersebut dituntut untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus berkembang. Dalam kondisi demikian upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks. Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan, rr.ulai dari sub sistem penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan 181 A. Suryana, Critical Review on Food Security in Indonesia. (Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001). 116 dan fasilitasi pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi, impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang menjamin keterjangkauan masyarakat atas p3ngan; hingga sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya keseimbangan gizi masyarakat; merupakan bidang kerja berbagai sektor. Sektor pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan ketahanan pangan dalam situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerjasama dengan sektorsektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta perhubungan. Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan. Skema 4-1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana, 2001) Penunjang Prasarana, sarana dan kelembagaan • Produksi • Pasca pancn • l'cngolahan • Penyimpanan • Distribusi/ Pemasaran • Ketersediaan: Jumlah & keragaman cukup, tingkat nasional, wi!ayah dan rumah tangga, dari waktu kc waktu Mencakup: • Produksi • Pasca Panen • Pengolahan • Cadangan • llmpor/ekspor t Distribusi : Terjangkau seluruh wilayah, fisik dan ekonomi dari waktu ke waktu • Menjamin aksesbilitas antar wilayah, antar golong-an pcndapatan • Stabilitas harga pangan strategis Konsumsi: Setiap warga mekonsumsi jumlah dan gizi cukup untuk tubuh, hidup sehat dan kegiatan produktif, mencakuo aspek : • Daya beli • Keragaman • Mutu gizi • Keamanan • Pengetahuan t Output: • Pemenuhan hak azazi atas pangan: • Pemantapan ketahanan pangan • Pengembangan SDM berkualitas • Peningkatan ketahanan ekonomi • Peningkatan ketahanan nasional t Kebijakan dan Fasilitas • Fasilitas pemerintah bagi kerukupan pangan, harga yang wajar, terjangkau masyarakat • Pcngaturan. pcngawasan mcnuju iklim usaha yangjujur, bcrtanggungjawab. pangan yang aman dan bergizi cukup • Fasilitasi bagi pemberdayaan dan kemandirian masyarakat. Sistem Perdagangan Domestik dan Global 117 Usaha membangun ketahanan pangan pada umumnya dan keanekaragaman pangan khususnya saat ini diaktualisasikan kembali antara lain melalui UndangUndang Nomor 25 Tahun 2000 tentan Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang menetapkan Program Peningkatan Pangan. Berdasarkan Undang-undang Propenas itu, maka: • Visi program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura dan kebun serta produk-produk olahannya; (2) mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, ketersediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan yang lebih beragam; (3) mengembangkan usaha bisnis pangan yang kompetitif dan menghindarkan monopoli usaha bisnis pangan; dan (4) menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat. • Misi yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran program ini adalah: (1) meningkatnya produksi dan ketersediaan beras secara berkelanjutan serta meningkatnya produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan sumber karbohidrat non beras dan pangan sumber protein; (2) meningkatnya keanekaragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat dan menurunnya konsumsi per kapita; (3) meningkatnya skor mutu Pola Pangan Harapan dan berkurangnya jumlah keluarga rawan pangan dan gizi; (4) meningkatnya pemanfaatan teknologi produksi pertanian dan pengolahan bahan pangan; (5) terselenggaranya undang-undang dan berkembangnya kapasitas kelembagaan pangan yang partisipatif; (6) meningkatnya produktivitas dan kualitas pangan yang dipasarkan; (7) menurunnya volume impor bahan pangan dan meningkatnya bahan pangan substitusi impor; (8) berkembangnya industri dan bisnis pangan; (9) meningkatnya partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan; dan (1 0) terciptanya sistem usaha perikanan yang sa ling mendukung antarperikanan tangkap dan budidaya dalam upaya mendukung ketahanan pangan. 118 4.1.3 Permasalahan Pelaksanaan Kebijakan Ketahanan Pangan Kondisi tidak tahan pangan (food insecurity) secara sederhana berarti kondisi pang an yang tidak terpenuhi untuk hid up sehat, aktif dan produktif. .Dalam wujud nyata di masyarakat tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak memadai, harga-harga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang dan pada tingkat yang parah berupa kelaparan dan kematian. 182 Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karenc:t pendapatan rendah atau kebijakan harga-harga pangan), apalagi kalau sampai terjadi kelaparan 183 dan gizi buruk dapat dikategorikan/merupakan indikasi pelanggaran HAM 184 dan dampak akhirnya adalah lost generation. Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Tanpa menutup mata akan berbagai sukses yang telah dilakukan di bidang ketahanan pangan, sampai saat ini kenyataan di lapangan masih kerap terjadi kesenjangan dalam pembangunan ketahanan pangan di Tanah Air. Kesenjangan tersebut dapat kita cermati dari fakta-fakta berikut. Sekitar 40% rumahtangga tergolong tidak cukup pang an 185 dan sekitar 18% rumah tangga tergolong miskin (BPS, 1999). Sekitar 2,4 juta anak balita menderita gizi buruk, 5 juta balita menderita gizi kurang, 7,5 juta wanita usia 15-45 tahun menderita gizi kurang. Sekitar 55 persen 182 M.Robinson, The Human Right to Food and Nutrition. SCN-News. July (18). 1999. 183 Konsumsi energi yang dianjurkan adalah 2500 Kkal/oranglhari. Widya Karya Pangan dan Gizi, 2000. 184 Berdasarkan Declaration of Human Right 1998, yang disepakati pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia. G.H.Brundtland,. Nutrition, Health and Human Right. SCN-News. July (18), 1999. 185 Hardinsyah. Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan. Dalam Pertanian dan Pangan Rudi Wibowo (ed). (Jakarta., Sinar Harapan. 2000. 119 ibu hamil dan 30 persen anak sekolah menderita anemia karena kurang gizi (SUSENAS, 1998) dan sekitar 305.000 bayi dan anak balita meninggal setiap tahun. 186 Menurut WHO (1998) sekitar 50 persen penyebab utama kematian bayi dan anak adalah karena kurang gizi. Fakta tersebut juga memberikan indikasi bahwa pelanggaran HAM dalam hal pangan ini cukup meluas di Tanah Air. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara cepat maka dapat mengakibatkan lost generation 187 . Kesenjangan berakibat kondisi rawan pangan tersebut muncul karena adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pembangunan pangan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi (termasuk pertanian) dan kesejahteraan sosial (termasuk pemberdayaan masyarakat). Beberapa titik lemah dimaksud adalah: (1 ). Ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi. Perhatian pad a kepentingan non-pertanian khususnya industri (pangan dan pertanian menjadi residual) jauh lebih besar dan melecehkan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk serta kesejahteraan petani sering kali terabaikan. Sehingga potensi produksi pangan dan pertanian belum dikelola secara optimal dan impor pangan cenderung meningkat. (2). Dengan pembangunan ekonomi dianggap urusan pangan akan beres. Sebagian besar policy makers baik di tingkat nasional maupun daerah beranggapan bahwa dengan mengejar pertumbuhan ekonomi masalahmasalah pemenuhan kebutuhan pangan dengan sendirinya teratasi sehingga kebijakan pangan tidak bisa berjalan dengan baik. 186 SDK (Survei Demografi dan Kesehatan.) Biro Pusat Statistik. Jakarta. Kantor Menteri Negara Kependudukan I Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Jakarta. Departemen Kesehatan Jakarta dan Macro International Inc. Calverton, Maryland USA. 1997. 187 Amelia Nani Siregar (et.al), Ketahanan Pangan dan Upaya Pencapaiannya. (Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana I S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor, Maret 2003 ). Hal. 6. 120 (3). Pembangunan pertanian bias perkotaan. Selama ini pembangunan pertanian cenderung lebih bias perkotaan (menguntungkan penduduk kota dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota) dan nyaris mengabaikan tujuan gizi dan kesejahteraan petani. (4). Lemahnya sinergi agribisnis dan ketahanan pangan. Pada awalnya kebijakan di bidang agribisnis tampak saling konflik dengan kebijakan ketahanan pangan. Sebagai contoh, peningkatan ekspor produk perikanan peningkatan devisa dan ekonomi pelaku agribisnis skala besar di bidang ini, akan tetapi di sisi lain meningkatkan harga produk perikanan untuk konsumsi dalam negeri. Berbagai studi menunjukkan kondisi ekonomi dan status gizi keluarga nelayan leLih parah dibanding kelompok lainnya. Akhir-akhir ini kedua kebijakan ini tampak mulai sejalan namun pada progam atau implementasi masih belum sejalan dengan hakekat dan tujuan ketahanan pangan. (5). Lemahnya sistem informasi ketahanan pangan. lnformasi ketahanan pangan mencakup dimensi yang luas seperti produksi, ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah. lnformasi ini berguna bagi pemerintah sebagai basis perencanaan, perkiraan dan evaluasi serta intervensi program pangan. Sistem informasi ketahanan pangan secara menyeluruh mustahil dibangun sendiri oleh masyarakat. 188 Seharusnya pemerintah yang menguasai teknologi informasi sejak dulu mengembangkan sistem informasi ketahanan pangan nasional secara berkala. (6). Bias pembangunan pada beras. Pembangunan pertanian masa lalu amat bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan teknologi bagi pangan lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal. Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi konsumsi pangan digalakkan untuk Hardinsyah, (et.al). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. (Bogor: Kcrjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan. 1998) .. 188 121 mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor. (7). Degradasi nilai kepedulian sosial. Peran pemerintah yang sentralistik dan cenderung mengambil peran masyarakat di masa Jalu serta tumbuhnya kehidupan ekonomi yang cenderung kapitalis telah menimbulkan degradasi nilai-nilai peduli sesama di masyarakat. Perilaku saling membantu, tolong-menolong dan yang mampu memberi bantuan kepada yang tidak mampu (informal social safety nets) semakin pudar di masyarakat. Hanya dengan ikatan religi dan budaya yang kuat nilai-nilai ini masih bertahan di masyarakat. Hancurnya nilai-nilai · kepedulian pangan pada kelompok masyarakat tertentu merupakan salah satu penyebab merebaknya masalah gizi buruk pada masa lalu. Di samping itu, adanya kelembagaan yang mengatur pengadaan beras secara nasional juga menjadi salah satu penyebab melemahnya sistem cadangan pangan masyarakat yang telah ratusan tahun dikembangkan masyarakat (lumbung dsb) terutama masyarakat pedesaan. (8). Lemahnya kelompok pendukung kebijakan. Kebijakan lahir antara lain karena desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal (Partai dan Ormas) maupun non-formal di masyarakat. Lemahnya peran kelompok pendukung kebijakan ketahanan pangan untuk mengingatkan 'penguasa' menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya. Selanjutnya, Suryana mengemukakan bahwa kebijakan yang akan dilakukan dalam peningkatan ketahanan pangan adalah: IRCJ I R9 ;\ . s, uryana, I-rJc. ell.. 122 1. Membangun sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub-sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi secara sine1·gis. 2. Membangun kerjasama kelembagaan untuk meningkatkan ketahanan pangan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota. 3. Meningkatkan kemampuan membangun ketersediaan dan cadangan pangan dalam jumlah, mutu dan keragaman yang cukup diseluruh wilayah. 4. Meningkatkan kemampuan membangun sistem di$tribusi pangan untuk menunjang penyebaran dan tingkat harga pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. 5. Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk-produk pangan olahan sesuai potensi sumberdaya lokal, sehingga mendorong penurunan konsumsi beras per kapita. 6. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan bertumpu pada sumber daya kelembagaan dan budaya lokal. 7. Meningkatkan kewaspadaan pangan masyarakat agar dapat mengenali dan mengantisipasi secara dini masalah kerawanan pangan di daerah. 4.2 UPAYA PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN 4.2.1 Pembangunan Agribisnis Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan atau bisnis berbasis pertanian yang saling berkaitan dalam suatu sistem produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya. Keterkaitan dan akselerasi antar subsistem amat vital dalam membangun agribisnis yang tangguh. Kegiatan agribisnis dapat menghasilkan produk pangan dan/atau produk non-pangan. Bahkan hampir semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi berasal dari kegiatan agribisnis baik yang berbasis di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi Indonesia, sebagian besar produk pangan yang dikonsumsi penduduk berasal dari agribisnis dalam negeri. 123 Oleh karena itu ketahanan pangan yang tangguh tidak mungkin terwujud tanpa agribisnis yang tangguh. Pentingnya peran agribisnis dalam membangun ketahanan pangan dapat dilihat dari berbagai aspek atau dimensi yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, yaitu dimensi fisik (ketersediaan pangan), dimensi ekonomi (pendapatan dan daya beli), dimensi gizi dan kesehatan serta dimensi waktu. l<egiatan agribisnis menghasilkan produk pangan dan juga non-pangan. Kemampuan pelaku agribisnis dalam negeri dalam menyediakan pangan untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan ekspor tidak saja akan menjamin ketahanan pangan nasional serta mendukung terbentuknya ketahanan pangan rumahtangga dan individu melalui penyediaan pangan yang cukup untuk setiap anggota masyarakat, tetapi juga lebih jauh diharapkan mampu menjadi penghasil devisa serta menekan impor/menghemat devisa (kedua hal ini diharapkan mampu memperbaiki neraca pembayaran yang semakin buruk). Disamping sebagai penyedia utama pangan, agribisnis di Indonesia juga sangat berperan dalam menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha serta peningkatan nilai tambah yang semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan atau daya beli penduduk baik untuk pangan maupun non-pangan. Upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agro-industri yang merupakan salah satu sub sistem agribisnis selain meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting dalam penyediaan pangan bermutu dan beragam (unsur penting dalam dimensi gizi dan kesehatan) serta tersedia sepanjang waktu sehingga mampu mengatasi kelangkaan pangan pada saat produksi rendah dan membantu menstabilkan harga pada saat hasil produksi tinggi. Seperti diketahui, agro-industri dapat berperan dalam 124 peningkatan nilai tambah (nilai tambah ekonomi dan gizi) melalui empat kategori agroindustri190 dari yang paling sederhana (pembersihan dan pengelompokan hasil atau grading); pemisahan (ginning) penyosohan, pemotongan dan pencampuran hingga ke pengolahan (pemasakan, pengalengan, pengeringan, dsb) dan upaya merubah kandungan kimia (termasuk pengkayaan kandungan gizi). Pertanyaan yang cukup penting untuk dilontarkan adalah bidang agribisnis pangan apa yang perlu dikembangkan agar pembangunan agribisnis mempunyai sinergi yang kuat dengan pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam penyediaan pangan yang cukup, beragam dan bermutu? Tabel IV-3, tentang konsumsi aneka pangan berikut ini sedikit banyak dapat memberikan ilustrasi tentang komoditas apa yang perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan agribisnis. Aneka umbi, misalnya mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan baik sebagai substitusi beras (meski konsumsi beras cenderung menurun tetapi kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60%, sedangkan umbi-umbian sebagai pangan potensial sumber energi menyumbang hanya dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral masih ~ekitar 3%). Sayuran harus ditingkatkan konsumsinya. Dari konteks gizi dan kesehatan, konsumsi ideal kedua komoditas ini adalah sekitar 250 gr/hr, sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri sekitar 25%. Produk pangan hewani baru terpenuhi sepertiganya. Bidang lain yang cukup potensial dikembangkan adalah agribisnis pangan olahan (mulai industri rumah tangga hingga industri yang padat modal) 191 . 190 A.M.Saefuddin, Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian. (Makalah disampaikan pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23 - 24 Juli 1999). 191 Hardinsyah dan Martianto, Loc.cit. 125 Tabel 4-3 Konsumsi Aneka Pangan dan Pola Konsumsi (g/kap/hr) Kelompok Pangan (1) Beras (2) Jagung (3) Umbi-umbian. (4) Ikan (5) Daging (6) Telur (7) Susu (8) Tahu dan Tempe (9) Sayur (10) Buah-buahan (11) Minyak goreng (12) Gula Jumlah Persentase pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi, bumbu dan konsumsi lainnya Sumber: SUSENAS 1987, 1987 320,0 24,8 65,7 34,2 7,1 8,9 3,0 24,9 123,4 74,3 18,9 24,0 729,2 12,0 1990 323,3 19,8 61,9 39,2 7,3 8,6 3,6 24,8 124,0 81,4 21,5 25,8 741,2 13,5 1996 305,4 7,4 61,4 42,0 11,7 13,9 5,5 32,3 121,5 68,6 27,8 27,9 725,4 14,2 1999 284,4 10,1 35,0 35,7 6,1 9,1 2,5 35,3 105,9 51,1 23,9 25,3 624,4 15,5 1990, 1996 dan 1999 Bagi para pengusaha agribisnis mampu melakukan manajemen pemasarannya dengan baik, berwawasan pemasaran bermasyarakat yang mampu menentukan kebutuhan, keinginan serta kepentingan pasar sasaran dan memenuhinya dengan lebih efektif dan lebih efisien dengan cara mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat. Guna pengembangan pasar para pelaku agribisnis harus melakukan langkahlangkah strategis sebapai berikut: (1). Menentukan segmen pasar yang jelas (market segmentation) (2). Menentukan pasar sasaran untuk setiap komoditas/produk (targeting) (3). Memposisikan produk dengan strategi pemasaran (positioning) (4). Mengidentifikasi pesaing (5). Menentukan strategi pemasaran (4P: Pricing, Promotion, Place, Packaging) yang jitu 126 (6). Mengembangkan organisasi dan kelembagaan pemasaran yang kuat (koperasi) (7). Mengembangkan komoditas prospektif (8). Mengembangkan sumberdaya manusia (9). Menjamin kelancaran suplai produk dan mempertahankan pelanggan (I 0). Menjamin mutu produk 4.2.2 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuasa pada pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. Realitanya mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dari luar sistem sosial masyarakat yang diperdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya posisi pihak yang diberdaya, karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri. Tetapi kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering disebabkan oleh supra infra struktur yang kurang memihak kepada mereka. Karena itu sangat penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai . pem b erd aya 192 . m1't ra kerJa Hardinsyah dan Martianto 193 mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses mengajak atau membawa masyarakat agar 192 A.S.H.Vitalaya, Pemberdayaan Mw.yarakat tani untuk Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi.(Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001 ). 193 Hard'msyaI1 dan M arttanto, . Loc. c1t. . 127 mampu melakukan sesuatu. Paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks kemasyarakatan adalah mengembangkan kapasitas masyarakat yang dilakukan melalui pemihakan kepada yang tertinggal. Dari sisi sasaran pemberdayaan masyarakat bisa mencakup para keluarga petani, buruh, pedagang kecil atau kelompok lain yang selama ini dikenal sebagai kelompok tertinggal yang perlu dikembangkan kapasitasnya, atau bahkan pemerintah itu sendiri. Pemberdayaan pemerintah daerah melalui otonomi daerah juga relevan disebut sebagai pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian dalam konteks ketahanan pangan, sasaran (dalam hal ini termasuk pemerintah daerah) agar mampu mewujudkan ketahan pangan masing-masing keluarga dan masyarakat secara luas. Fakta menunjukkan bahwa sebesar 60.7 persen dari 210 juta penduduk tinggal di daerah pedesaan. Dua per tiga penduduk tinggal di pulau Jawa, Bali dan Madura yang luas keseluruhannya hanya mencakup 7 persen dari total wilayah republik ini. Data ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau dan suka atau tidak suka maka program pemberdayaan masyarakat desa harus merupakan prioritas pembangunan bangsa dalam rangka pemulihan ekonomi bangsa. Akan tetapi, sampai saat ini upaya dan keberpihakan pemerintah dalam membangkitkan perekonomian Indonesia, sejak dilanda krisis, 1997 - 2000, belum juga menunjukkan kondisi membaik terutama dalam konteks kebijakan yang konsisten memihak pada tumbuh kembangnya perekonomian rakyat (kecil). Situasi ini sangat berbeda dengan kondisi di beberapa negara tetangga yang sebenarnya telah lebih awal mengalami krisis ekonomi, misalnya Thailand, Malaysia dan Korea. Perekonomian di Thailand kini telah bangkit dan begitu juga Malaysia (walau tanpa bantuan IMF sekalipun) dan bahkan Korea 128 Selatan telah memiliki pertumbuhan yang dapat dikategorikan telah benar-benar bang k 1.tl94 • Sektor pertanian di Indonesia melibatkan lebih dari 50 persen tenaga kerja dan 60 juta keluarga petani. Secara politis pemberdayaan sektor pertanian dengan demikian dapat dijadikan acuan untuk lebih mengukuhkan posisi sektor pertanian sebagai leading sector. Secara empiris juga telah terbukti bahwa di mana pun di dunia ini tidak ada sektor pertanian yang maju atau tumbuhkembang tanpa intervensi Pemerintah (langsung atau tidak langsung). Jawaban sederhana terhadap fenomena ini adalah karena sektor pertanian secara ekonomi selalu terbukti memiliki peran strategis yang ditampilkan dengan besaran peran keterkaitan antar-sektor dan secara politis merupakan bemper penyejuk sosial. Sebagai contoh, pencapaian Swasembada beras pada tahun 1984 telah menjadikan Indonesia mempunyai posisi yang baik di mata dunia selain mempertahankan ketahanan pangan nasional. Akan tetapi, prestasi ini tidak pernah diikuti dengan tumbuhnya ketahanan keluarga petani (kesejahteraan masyarakat tani). Petani tetap saja bertahan hidup hanya sebatas hari ini dan besok, dan tidak ada masa depan, kesejahteraan mereka selalu dinomor duakan. Fakta juga menunjukkan bahwa pada saat krisis ekonomi terjadi justru hanya sektor pertanian yang mampu bertahan tumbuh (walaupun kecil pertumbuhannya) dibanding bisnis besar konglomerasi yang justru terpuruk tak mampu bangkit. Hal ini terutama berpulang pada bahan baku pertanian yang bersumber dari sumberdaya lokal dibanding bisnis besar konglomerasi yang berbahan baku impor. Berarti, pendayagunaan bahan baku pertanian yang sistematis diikuti pemberdayaan terhadap masyarakat tani dapat diharapkan dan seharusnya memacu kebangkitan sektor pertanian, dan sekaligus pemulihan ekonomi nasional. 194 . . Y1talaya, Loc.cll 129 Lebih lanjut Vitalaya 195 mengemukakan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan masyarakat tani dilakukan dengan mensinergiskan semua unsur yang terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk itu diperlukan jurus-jurus pemberdayaan yang disebut "enam jurus pemberdayaan masyarakat tani" yaitu: (1 ). Revitalisasi kelembagaan penyuluhan pertanian (2). Sistem distribusi saprodi dan produk pertanian (3). Pengembangan lembaga keuangan alternatif (4). Pemberdayaan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat (5). Ketahanan keluarga tani, Komoditas unggulan dan agroindustri Jurus pemberdayaan Vitalaya diintegrasikan ke dalam program aksi dalam rangka mengendalikan impor yang bersifat umum adalah sebagai berikut: (1). Meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian melalui intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dengan dukungan sarana dan prasarana (2). Memperbaiki penanganan pasca panen (3). Mengembangkan industri pengolahan (4). Mengenakan tariff bea masuk sesuai binding rate (5). Meningkatkan pengamanan pasar dalam negeri (6). Melaksanakan pemetaan distribusi produk pertanian di dalam negeri (7). Meningkatkan intensitas pemantauan harga di pasar induk dan pasar tradisional eceran (8). Meningkatkan pelayanan pemasaran dengan mengembangkan jaringan terminal agribisnis dan sub terminal agribisnis (9). Meningkatkan pengawasan komoditas pertanian impor di pelabuhan 195 v·rtaIaya, L oc. czt.. 130 Program aksi khusus dari masing-masing komoditas prioritas adalah sebagai berikut: (1). Tanaman pangan meliputi: beras, kedelai dan jagung pipilan (2). Perkebunan meliputi: gula, kapas dan cengkeh (3). Peternakan meliputi: kulit, daging ayam dan susu. (4). Hortikultura meliputi: buah-buahan (durian, semangka, pisang), sayuran (kubis), dan tanaman hias (anggrek, mawar dan bunga potong) Tabel4-4 Simulasi Program Aksi Komoditas (Jangka Pendek & Jangka Panjang Komoditas Beras Jangka Pendek Jangka Panjang 1. Meningkatkan tarif impor dari Rp 430/kg menjadi Rp 750/kg. 1. Meningkatkan ekspor beras kualitas tinggi. 2. Meningkatkan pengawasan impor di pelabuhan bekerjasama dengan Tim Penanggulangan Pemberantasan Penyelundupan (TP4). 2. Memfungsikan kembali kelembagaan buffer stock .. 3. Pengawasan beras yang beredar di pasar untuk mengetahui apakah sesuai dengan label. Kedelai 1. Pengenaan tariff bea masuk dengan ceiling binding 27 % (saat ini diterapkan 0%) dengan memperhatikan dampak terhadap produk tahu, tempe dan produk olahan lainnya. Pelabelan produk rekayasa genetik. 2. Pengaturan tataniaga impor melalui importir produsen 3. Pengawasan kedelai yang bcrcdar di pasar dalam negeri, melalui label dan BDKT. 131 Komoditas Jangka Pendek Jangka Panjang I. Mengoptimalkan penanganan pra dan pasca panen dengan penyediaan sarana dryer dan silo Jagung 2. Pengenaan tarifbea masuk dengan ceiling binding 40% (saat ini diterapkan 0%) dengan memperhatikan dampak terhadap produk unggas. 3. Mengadakan pengawasan mutu jagung yang beredar di pasar dalam negeri dari aspek keamanan pangan bekerjasama dengan Badan POM. 1. Peningkatan produksi melalui perubahan tanaman ratoon menjadi plank cane 2. Penggunaan varietas unggul yang mempunyai rendemen tinggi 3. Perluasan areal di luar pulau Jawa Gula Mengembangkan pengolahan hasil: meningkatkan produktivitas industri pengolahan yang ada dengan berbagai upaya teknis, menarik investor dalam rangka pengembangan dan pembangunan pabrik gula di dalam dan di luar Pulau Jawa serta pengembangan industri hilir berbasis tebu. 4. Penerapan tarif bea masuk gula impor secara berkala, saat ini tarif yang diterapkan Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 700/kg untuk white sugar. 5. Menerapkan tataniaga 1mpor raw sugar yang dilaksanakan oleh IP. 6. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan impor terutama yang ilegal dan pengawasan di pasar guna mengetahui kesesuaian denganlabel. 7. Penetapan SNI raw sugar 1. Meningkatkan produksi dan produktivitas kapas. Kapas Cengkeh 2. Mcningkatkan produksi lebih diutamakan kepada pemenuhan kebutuhan ginery (pabrik pemintalan). Pengembangan produksi dan ginery untuk memenuhi bahan baku industri tekstil. Peningkatan produksi dalam negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan pabrik rokok. ----------- 132 Komoditas Kulit Daging Ayam Jangka Pcndek Jangka Panjang I. Meningkatkan populasi ternak potong dan meningkatkan penggunaan teknologi pengolahan bahan baku kulit di RPH. 2. Pcngenaan pungutan ekspor (PE) kulit mentah sebesar 30% dan kulit setengah jadi 20% yang perlu segera direalisasikan. I. Pengenaan tariff bea masuk daging ayam potongan sebesar 80% dengan memperhatikan persyaratan SPS dan halal. 2. Meningkatkan efisiensi perunggasan nasional dengan pemanfaatan sumberdayalokaldan mengendalikan penyakit ND. I. Pengembangan sentra agribisnis peternakan sapi perah mulai dari pembibitan, pengolahan sampai dengan pemasaran. Susu 2. Pengenaan tariff bea masuk produk susu olahan sebesar 10%. 3. Pengawasan susu yang beredar di pasar. I. Percepatan ekspor tanaman hias yang telah dicanangkan oleh Presiden RI bulan Mei 2001. Hortikultura 2. Upaya pcninjauan kembali penerapan impor tariff komoditi hortikultura yang berada j auh di bawah binding rate sebesar 40 - 50 %, sedangkan yang diterapkan saat ini hanya 5 10%. I. Upaya memperbaiki sistem karantina dalam impor komoditi hortikultura. 2. Mengubah image peranan karantina terhadap komoditi hortikultura impor, yang sementara ini masih mengasumsikan peranan bea cukai lebih dominan dalam pemasukan komoditi impor hortikultura. 133 4.3 Strategi Pengendalian lmpor 4.3.1 Mengurangi Kelemahan Internal Sebagaimana kita ketahui, meningkatnya impor komoditas pertanian antara lain disebabkan lebih rendahnya harga komoditas tersebut di pasar internasional dibanding harga domestik, dan kondisi ini diperburuk lagi dengan tidak dimanfaatkannya batas pagu maksimum bea masuk (ceiling binding rate) sesuai komitmen Indonesia dalam WTO. Kesenjangan harga ini juga dimungkinkan sebagai akibat terjadinya penyelundupan baik secara fisik maupun secara administratif atau lebih dikenal dengan "under invoicing" yang saat ini disinyalir marak kembali. Hal ini mengakibatkan hilangnya sebagian pendapatan negara dari bea masuk dan pajak impor lainnya. Disamping itu dengan tidak diketahuinya secara pasti total impor komoditas pangan utama (khususnya beras) akan berdampak pada rawannya system ketahanan pangan nasional. Hal ini akan menyebabkan upaya-upaya pemerintah dalam mewujudkan system ketahanan pangan nasional akan menjadi tidak efektif. Jika praktek penyelundupan tersebut tidak segera dicegah akan menimbulkan dampak negatif lain seperti persaingan yang tidak sehat antara importir yang benar dan jujur dengan importir yang melakukan kegiatan impor secara ilegal. Produk dalam negeri akan bersaing secara tidak sehat dengan produk impor yang disinyalir bermuatan dumping dan subsidi ekspor, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan industri didalam negeri, dan mengurangi daya serap kerja. Hal ini terjadi antara lain disebabkan belum terwujudnya tertib impor, baik tertib pelakunya maupun tertib pelaksanaan impornya. Penyelundupan tersebut disinyalir banyak terjadi di wilayah atau pelabuhan yang infrastruktur serta administrasinya masih lemah yaitu umumnya pelabuhan diluar pulau Jawa. 134 Disamping itu pemerintah juga telah merancang instrumen guna memonitor pelaku impor dan pelaksanaan impornya melalui pemberlakuan Nomor Pengenal lmportir Khusus (NPIK) yang telah ditetapkan oleh Memperindag melalui Keputusan Menteri No.141/MPP/Kep/lll/2002 tanggal 6 Maret 2002, yang untuk sementara diberlakukan terhadap delapan produk impor termasuk produk pangan utama yaitu jagung, beras dan kedelai. Otonomi daerah telah memberi peluang bagi daerah untuk secara mandiri merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengendalikan segenap proses pemenuhan pangan diwilayahnya, termasuk melalui pengendalian impor. Tuntutan yang timbul adalah bagaimana seluruh stake holder yang ada mampu bekerjasama dalam suatu mekanisme kerja yang tepat dan koordinatif guna menerapkan pengendalian impor produk pangan baik legal maupun ilegal dalam proses pemenuhan pangan diwilayahnya dalam kaitannya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dengan telah diberlakukannya aturan WTO mengenai perdagangan komoditi pertanian dalam Agreement on Agriculture, maka hambatan pelaksanaan perdagangan dunia dapat dikatakan hampir tidak ada. Meski Agreement on Agriculture (AoA) adalah untuk mendorong agar kebijaksanaan pertanian lebih berorientasi pasar dan semakin kurang tergantung pada penggunaan subsidi yang tidak terkendali dan pada proteksi dalam menghadapi impor. Tiap-tiap negara anggota harus dapat memanfaatkan aturan-aturan yang ada dalam AoA tersebut untuk melaksanakan pengendalian impor. Banyak negara-negara maju menerapkan persyaratan-persyaratan yang dirasakan sangat memberatkan negara berkembang, seperti Agreement on Technical Barrier to Trade dan persyaratan mutu lainnya melalui Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dengan demikian nampaknya kesiapan 135 negara berkembang dalam menghadapi perdagangan bebas mengalami kelambatan dalam mengantisipasi pasar. Beberapa kelemahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan impor produk pertanian adalah : 1. Tidak tersedianya data akurat seberapa besar kebutuhan impor suatu komoditi setelah dipenuhi produk dalam negeri. 2. Banyak importir ilegal yang membuat angka komoditi tertentu melonjak. 3. Indonesia belum sepenuhnya menerapkan instrumen hambatan impor yang dilegalkan WTO. 4. Harga produksi produk pertanian dalam negeri belum mampu bersaing karena inefisiensi biaya produksi lokal. 5. Belum ditetapkan pengawasan mutu produk pertanian dalam negeri /importir secara optimal. 6. Belum dimanfaatkan tarif bea masuk yang tidak melebihi ceiling binding rate WTO. Ada dua prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi bagi pengendalian impor berdasarkan WTO yaitu ketentuan perdagangan bebas yang menyatakan: • Negara-negara anggota tidak boleh melakukan diskriminasi. Bila memberikan perlakuan khusus terhadap suatu negara maka perlakuan yang sama harus juga diberikan kepada seluruh negara anggota WTO lainnya (Most Favoured Nation). Kecuali bila negara-negara dari suatu wilayah membentuk suatu kesepakatan perdagangan bebas yang tidak berlaku bagi produk-produk dari negara-negara di luar kelompok tersebut. • Produk-produk impor setelah memasuki wilayah suatu negara harus diperlakukan sama dengan produk-produk domestik. Dalam usaha mengendalikan impor maka perlu suatu strategi kebijakan yang berorientasi internal (lebih kearah memperkokoh posisi produk-produk pertanian di 136 dalam negeri sehingga dapat bersaing dengan produk impor) dan eksternal (menerapkan berbagai peraturan perdagangan bebas yang tidak merugikan) yaitu: (1). Meningkatkan produksi hasil pertanian dan hasil industri pengolahan dengan memperhatikan mutu produksi. Sehingga dapat bersaing dengan produk impor, sehingga dapat meningkatkan kecintaan produk dalam negeri (2). Meningkatl<an daya saing komoditi dan efisiensi biaya produksi sehingga harga jual produk domestik dapat bersaing dengan produk impor yang masuk Indonesia. Disini diperlukan pemikiran yang holistik tentang pengembangan pertanian yang lebih berbasis lokal. (3). Mengembangkan hasil pertanian yang lebih diarahkan ke pasar dalam negeri melalui pengembangan jaringan pasar, pengembangan jaringan kerja distribusi pemasaran yang dapat menguntungkan bagi pelaku agribisnis, pengembangan produk dan diversifikasi produk serta peningkatan permintaan konsumen melalui promosi. (4). Menciptakan iklim makro yang kondusif terhadap pengembangan pemasaran diantaranya melalui kebijaksanaan fiskal dan moneter (tariff bea masuk, pengurangan pajak-pajak/pungutan perdagangan, kredit dengan bunga terjangkau), menghapus hambatan-hambatan perdagangan melalui deregulasi, atau kebijaksanaan yang memihak para pelaku agribisnis dan usahatani pedesaan. (5). Memperbaiki sistem informasi supply-demand produk pertanian dalam negeri dalam rangka mengatur keseimbangan produksi dan konsumsi dalam negeri serta volume impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama komoditi yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. (6). Mengingat kesepakatan internasional dilakukan oleh pemerintah pusat, maka seyogyanya antara pusat dan daerah terjadi komunikasi dan koordinasi yang efektif sehingga kebijakan yang diambil tidak akan bersifat counter-productive terhadap sektor lainnya. 137 (7). Meningkatkan akses para pelaku agribisnis terhadap pasar, informasi, permodalan, dan teknologi melalui peningkatan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDM, mengembangkan sistem informasi pasar, menumbuhkembangkan lembaga-lembaga perkreditan di wilayah- wilayah pengembangan agribisnis dan meningkatkan bimbingan dan penyuluhan bagi para pelaku agribisnis terutama bagi para petani dan peternak. (8). Membangun, mengembangkan dan memfungsikan sarana prasarana seperti Sub Terminal Agribisnis di sentra-sentra produksi dan Terminal Agribisnis di daerah-daerah konsumen. (9). Mendorong tumbuhberkembangnya pemasaran kerelasian yang dapat membangun hubungan yang saling menguntungkan diantara para pelaku agribisnisnya. (1 0). Menegakkan pengawasan terhadap impor komoditi pertanian yang illegal. 4.3.2 Menghadapi Tantangan Eksternal Menerapkan berbagai instrumen pembatasan impor secara rasional dan tidak diskriminatif, seperti dijelaskan di bawah. Tarif Memilah struktur tarif impor dan meningkatkan tarif bea masuk dibawah tingkat binding rate WT0. 196 Dalam AoA ditetapkan bahwa tarif impor harus diturunkan 196 Sementara ini menurut Bungaran SaraGih, Indonesia tidak memberikan subsidi serta tarif impor yang berlakupun sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain terutama negara-negara maju Eropa dan Amerika memasang tarif impor yang sangat tinggi dan memberikan subsidi kredit ekspor untuk produk pangan dan pertaniannya, bahkan ada yang mcmberikan subsidi kepada pctaninya. Dan negara-negara pengekspor gula juga memberikan tari r impor yang tinggi supaya harga gula impor lebih mahal daripada harga gula produksi dalam negeri, dalam rangka memberikan insentif kepada petani mereka. Dicontohkan Thailand, India, dan Jepang sebagai negara eksportir beras memberlakukan tarif sangat tinggilebih tinggi daripada tarif impor Indonesia terhadap impor beras ke negara mereka. Praktik ini menurut Saragih, adalah sebuah bentuk dumping. Akibatnya, petani Indonesia kewalahan bersaing dalarn menghadapi produk impor pertanian dan pangan (Kompas, Selasa 11 Juni 2002). 138 secara bertahap yaitu rata-rata 24% dalam 10 tahun dari tingkat tahun 1986-1988 sebagai base period level bagi negara berkembang. Selain itu, tindakan tergolong non-tariff border measures yang berakibat menekan impor atau meningkatkan harga produk-produk impor harus diganti dengan tariffs yang memberikan tingkat perlindungan yang sama. Tarif yang dihnsilkan dari proses tarification ini juga diturunkan rata-rata 24% dalam 10 tahun untuk negara-negara berkembang. Penurunan minimum yang diperkenankan untuk individual tariff adalah 15%. Disini dapat dilihat bahwa aturan perdagangan dunia telah memperkecil peran tarif dalam rangka mengendalikan impor. Sanitary and Phytosanitary Menerapkan sistem SPS dengan lebih ketat karena berkaitan dengan kesehatan manusia, hewan dan tanaman seperti menetapkan kandungan salmonella sesuai SNI atau menentukan penyakit-penyakit hewan yang dilarang masuk. SPS Agreement menetapkan, bahwa tindakan-tindakan yang sejalan dengan tingkat standar yang diakui oleh Badan-badan lnternasional seperti Codex Allimentarius dan The International Centre for Epizootics dapat diterima WTO. Selain itu sebagai bagian dari upaya untuk mencapai Greater Harmonization of Standard, negaranegara anggota dianjurkan untuk saling mengakui standar masing-masing bila hasil yang dicapai sama walaupun menggunakan cara yang berbeda. Kesepakatan ini tidak melarang suatu negara anggota menggunakan standar lebih tinggi asalkan bisa dibuktikan bahwa tindakan ini benar-benar perlu 197 . Bila timbul sengketa dengan 197 Berdasarkan ketentuan dari WTO yang telah disepakati bersama, bahwa semua peraturan yang akan diberlakukan oleh suatu negara yang berhubungan dengan ketentuan SPS dan mempunyai pengaruh yang berarti terhadap perdagangan internasional perlu dinotifikasikan/diberitahu kan kepada WTO.Dalam rangka implementasi perjanjian SPS di Indonesia telah ditetapkan Sekretariat Jenderal - DEPTAN c.q. Pusat Standardisasi dan Akreditasi sebagai Central Goverment Aut/1(lri~y (Notification Body) dan Badan Karantina 139 pihak ketiga, maka tindakan-tindakan yang diambil harus bisa dibenarkan secara ilmiah (on the basis of sound science). Dan berdasarkan hasil penilaian yang sesuai terhadap risiko terkait (an appropriate assessment of risk involved). Negara-negara. anggota harus menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang mereka ambil tidak menimbulkan restriksi tambahan terhadap perdagangan melebihi dari keperluan untuk mencapai tujuan. Dalam bidang pertanian, kebijakan ekpor-impor benih harus disikapi dengan hati-hati agar tidak merugikan agribisnis di masa depan terutama dalam mencegah masuknya organisme penyakit tanaman (OPT) berbahaya ke Indonesia. Beberapa jenis OPT telah masuk ke Indonesia melalui benih impor, seperti lalat Lyriomiza, Nematoda Sista Kuning pada kentang dan lain-lain. Oleh sebab itu ke depan, pemberian izin impor benih harus lebih hati-hati dengan mempertimbangkan analisis risiko (Pest Risk Analysis) atas OPT dari masing-rnasing negara asal. Kebijakan ini dilakukan dengan melalui telaah Information Recuired for Seed Introduction (Importation to Indonesia); Phytosanitary Information Sheet, preshi.'Jment maupun preclearance. Tidak bisa diabaikan bahwa benih hortikultura sebagai hasil teknologi modern sudah merupakan komoditas perdagangan internasional. Untuk mendorong berkembangnya industri benih dalam negeri, maka secara bertahap diterapkan ketentuan bahwa impor benih hanya boleh dilakukan oleh produsen benih. Bagi jenis tanama yang benihnya sudah dapat diproduksi di Indonesia impor benih hanya diperkenankan bagi "parent stock" . Sebaliknya guna melindungi sumberdaya hayati perlu diperketat pengawasan terhadap kegiatan riset yang mengarah pada biopiracy Pcrtanian scbagai Enquiry Point untuk perJanJian SPS. "Sekilas Tentang Sanitary and Phytosanitary (SPS) "http://www.agrimutu.com/sps/sekilas sps.htm. 5 Desember 2003. 140 atau penjarahan sumberdaya hayati yang bermanfaat dalam industri bio-teknologi kaitannya dengan TRIPs. Non-tariff Barriers Menerapkan berbagai peraturan yang mengatur persyaratan teknis dan standar/mutu, prosedur perijinan impor, pemeriksaan produk impor di pelabuhan untuk mengamankan penerimaan bea masuk, pemeriksaan produk impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan, persyaratan asal barang dan kebijaksanaan penanaman modal. Pengaturan ini diperlukan agar penerapan persyaratan dimaksud berhasil mencapai sasaran tanpa menjadi hambatan tambahan yang tidak perlu dalam perdagangan, sehingga prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan internasional yang bebas dan terbuka dapat dipenuhi. Salah satu dari perjanjian dalam perdagangan yang berlaku internasional adalah Agreement on Technical Barriers to Trade atau dikenal sebagai TBT Agreement. Dengan demikian pemahaman dan pengertian terhadap isi dari perjanjian tersebut mutlak diperlukan agar Indonesia dapat terus memiliki peran dalam perdagangan internasional 198 198 Kenyataan bahwa TBT Agreement versi WTO (World Trade Organization) merupakan modifikasi dari model/system yang dinegosiasikan di Tokyo Round 1973 - 1979. Sebagai upaya untuk mencegah terlalu beragamnya standar yang digunakan, perja~1jian TBT mendorong penggunaan standar-standar internasional bagi negara anggotanya. Dalam Perj&njian TBT, perbedaan antara technical regulation dan standard merupakan hal pokok yang harus dipahami. Technical Regulation (TR) menurut TBT Agreement merupakan ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi (mandatory), sedangkan istilah standard diterapkan untuk ketentuan yang bersifat sukarela (voluntary). Karenanya kesesuaian antara peraturan teknis di Indonesia dengan standar Internasional merupakan upaya yang harus didorong untuk dapat mengimplementasikan TBT Agreement. Namun demikian terdapat kendala dalam pelaksanaannya, dimana hanya sedikit pegawai pcmcrintah/akadcmisi dan pihak swasta di Indonesia yang memahami TBT Agreement dan konsep Good Regulatory Practice (GRP). Namun setiap negara anggota mempunyai hak untuk mengadopsi standar yang dianggap sesuai. 'TBT Agreement' secara umum mengatur agar penyusunan peraturan-peraturan/regulasi teknis, standar pengujian dan sertifikasi, dan ketentuan-ketentuan lainn:ya tidak akan menimbulkan hambatan teknis perdagangan. Pcraturanlrcgulasi tcknis dalam hal ini adalah pcraturan/regulasi teknis yang berdampak pada praktek perdagangan internasional yang terkait dengan 'MSTQ' (Measurement Standard resting {}uality). Scbagai contoh adalah pcnetapan peraturan/regulasi teknis oleh Depperindag 141 Pengaturan importir Menetapkan importir produsen atau menerapkan pola approved importir (misalnya yang telah diakreditasi kehalalannya oleh pihak MUI untuk ternak) karena hal ini dapat dibenarkan sesuai pasal XX/GATT/1994. Menetapkan Licensed tmportir (importir terbatas) atau menetapkan NPIK (Nomor Pengenal lmportir Khusus) untuk produk-produk strategis seperti beras, jagung dan kedelai, hal ini dinilai tidak bertentangan dengan aturan WTO dan importir dapat dipantau setiap bulan. Safeguard Melalui Keputusan Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan lndustri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan lmpor dengan menerapkan instrumen safeguard yang didahului oleh suatu kajian dengan data-data yang akurat. Seberapa besar impor tersebut dapat mendistorsi pasar sehingga memberikan dampak yang negatif bagi pertumbuhan industri peternakan. Artikel XIX dari GATT yang mewajibkan pemberlakuan SNI (Standar Nasional Indonesia) secara wajib untuk peralatan-peralatan elektronik yang diperdagangkan di Indonesia. Hal ini berimplikasi bahwa produk-produk elektronik yang dipasarkan Ji Indonesia, baik produksi lokal maupun diimpor ke Indonesia, harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam SNI tersebut. 'TBT Agreement' mengatur pula ketentuan bahwa 60 hari sebelum ditandatangani, peraturan/regulasi teknis tersebut harus dinotifikasikan kepada WTO untuk memberi kesempatan kepada negara anggota WTO lainnya untuk memberi tanggapan atas hal-hal yang diatur dalam regulasi/peraturan teknis tersebut. Untuk keperluan tersebut, Badan Standardisasi Nasional (BSN) berperan sebagai notification body untuk penyampaian notifikasi dan Dalam penerimaan tanggapan atas notifikasi peraturan/regulasi teknis di Indonesia. implemcntasi kegiatannya, BSN mengadakan koordinasi dan kerjasama langsung dengan Dcparlcmcn/lnstansi tcknis tcrkait, dimana di sctiap Dcpartemenllnstansi teknis terdapat organisasi yang berperan sebagai entry point dengan BSN. Untuk lingkup Departemen Kehutanan, organisasi yang memiliki peranan tersebut adalah Pusat Standardisasi dan Lingkungan. Menyadari akan permasalahan tersebut, diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman terhadap Perjanjian dan Notifikasi TBT. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah dcngan penyelenggaraan mini-workshop tentang General Understanding on the TBT Agreement yang difasilitasi oleh BSN dan JICA - Jepang melalui program kerjasama 'The Capacity Building on the Implementation of the WTO Agreements in Indonesia' . .Telaah mengenani Technical Barrier to Trade (IBT) telah dilaksanakan sebagai salah satu bentuk kerjasama dan koordinasi antara PUSTANLING dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN), pada hari Selasa, 19 Maret 2002 bertempat di Ruang Rapat PUSTANLING. "Mini-Workshop on TBT Agreement." http://mofrinet.cbn.nct.id/infonnasi/setjen/PUSSTAN/ INFO V02/IV V02.htm, 12 Dcsember 2003. 142 memperbolehkan negara anggota mengambil tindakan darurat safeguard untuk melindungi suatu industri domestik tertentu dari peningkatan impor dengan tajam dan tidak terduga yang dilakukan secara fair (sudden surges of fairly traded imports) sehingga menimbulkan atau mengancam untuk menimbulkan serious injury. Kesepakatan ini juga memberikan keringanan-keringanan tertentu kepada negaranegara berkembang. Tindakan darurat safeguards tidak boleh dilakukan terhadap produk impor yang berasal dari suatu negara berkembang bila pangsa pasar negara tersebut tidak melebihi 3%, atau yang berasal dari beberapa negara berkembang yang masing-masing memiliki pangsa pasar kurang dari 3% dan secara kolektif kurang dari 9%. Negara-negara berkembang juga diberikan hak untuk memperpanjang masa berlaku suatu tindakan darurat safeguard hingga dua tahun melebihi normal maksimum. Juga diperkenankan memberlakukan kembali tindakan safeguard terhadap suatu produk yang telah pernah dikenakan tindakan serupa sebelumnya setelah melewati masa separuh waktu dari masa berlaku tindakan pertama, dan dilakukan setelah melalui persyaratan non-application period paling kurang dua tahun. Namun perlu diingat bahwa negara pengekspor bisa mengusahakan untuk memperoleh kompensasi melalui konsultasi. Bila kesepakatan tidak tercapai maka negara pengekspor dapat melakukan retaliasi dengan mengambil tindakan yang serupa setelah 3 tahun tindakan safeguard tersebut diberlakukan. Domestic Support Mempelajari strategi perdagangan luar negeri pemasok utama produk pangan dunia khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa contohnya kebijaksanaan domestic support yang berdampak pada persaingan perdagangan unfair dengan produk pangan lokal. 143 Keluhan utama akibat kebijakan pemberian subsidi domestik 199 adalah bahwa kebijakan tersebut dapat mendorong produksi yang berlebihan, mengurangi jumlah impor karena produk domestik lebih murah, dan menjurus pada subsidi ekspor serta praktek anti dumping. Skema 4-2 Alur Domestic Support Green Box (Annex2) Excemptions Developing Countries (Article 6) Excemptions De minimis Excemptions Blue Box Excemptions Product Specific AMS (above de minimis) Specifics Product Specifics Persetujuan bidang pertanian membedakan Equivalent Measure of Support Non Product Specific AMS (above de minimis) antara program-program pendukung yang merangsang produksi secara langsung dan yang dianggap tidak . mempunyai pengaruh secara langsung. Kebijakan domestik yang mempunyai pengaruh langsung terhadap sektor produksi dan perdagangan harus dihilangkan. Para anggota WTO telah mengkalkulasikan seberapa besar dukungan yang dimaksud 199 Kajian tentang domestic support 1ebih lanjut: Daniel A. Sumner, Domestic Support and the WTO Negotiations. Revised (CA. USA: the Department of Agricultural and Economics - University of California, April 9, 2000). Tim Josling, Domestic Farm Policies and the WTO Negotiations on Domestic Support. (Paper presented to the Conference on "Agricultural Policy Reform and the WTO: Where are we heading?" held at Capri (Italy), June 2.\-2(). 200.\.) 144 yang dapat mereka berikan dengan menggunaka metode perhitungan yang disebut total Aggregate Measurement of Support (AMS) untuk sektor pertanian setiap tahunnya dengan penggunakan periode 1986-1988 sebagai tahun dasar perhitungan. Negara maju sepakat untuk mengurangi angka-angka ini hingga 20% selama 6 tahun dimulai tahun 1995. Sedangkan negara-negara berkembang diharuskan untuk menurunkan angka-angka tersebut sebanyak 13% untuk 10 tahun. Negara miskin tidak diharuskan untuk membuat pengurangan dalam bentuk apapun. Dukungan domestik oleh pemerintah di sektor pertanian yang penting diketahui adalah yang disebut "Green Box" yang merupakan tindakan yang diijinkan mengingat dampaknya minimal terhadap perdagangan. Contoh tindakan yang dikategorikan dalam Green Box adalah jasa yang diberikan pemerintah (government services) yang menyangkut riset, penanggulangan hama, pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Di dalamnya juga termasuk tindakan pembayaran langsung kepada petani yang tidak menimbulkan rangsangan terhadap produksi eperti dukungan pendapatan secara langsung (direct income support), bantuan kepada petani untuk merekstruturisasi sektor pertanian dan bantuan langsung di bawah program regional dan untuk perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah juga diperbolehkan melakukan tindakan pembayaran langsung kepada petani untuk membatasi jumlah produksi. Tindakan semacam ini termasuk dalam kategori "Blue Box". Kemudian ada beberapa bentuk bantuan pemerintah tertentu yang dikategorikan Blue Box seperti bantuan yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian dan pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang, dan bantuan-bantuan lain dalam skala kecil ketika dibandingkan dengan nilai keseluruhan dari suatu jumlah produk yang dibantu oleh pemerintah (5% atau kurang untuk kasus negara maju dan 10% atau kurang untuk negara berkembang). 145 Bab 5 Kesimpulan dan Saran Kebijakan Mendatang 5.1 Kesimpulan Perdagangan bebas merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha produkproduk pertanian Indonesia apabila tidak dapat meningkatkEln daya saingnya. Membanjirnya komoditi pertanian dari negara lain dengan harga yang relatif lebih murah dapat menguntungkan konsumen tetapi dapat memberikan dampak yang negatif bagi industri pertanian di dalam negeri. Upaya perbaikan secara menyeluruh untuk semua aspek yang mendukung kegiatan usaha perlu dilakukan apabila tidak ingin menjadi negara net importir bagi produk-produk pertanian, yang sesungguhnya dapat diusahakan didalam negeri dan menjadi gantungan hidup jutaan masyarakat pedesaan. Kebijakan pengadaan pangan yang selama ini diterapkan adalah bertujuan untuk menjamin kccukupan pasokan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pengadaan pangan tersebut dapat dipenuhi melalui produksi domestik dan impor produk pangan dari negara lain. Ketergantungan pangan terhadap impor akan menciptakan kerentanan ketahanan pangan nasional berkaitan dengan risiko dan ketidakpastian penyediaan pangan dunia dan situasi pasar pangan internasional. Salah satu hal pokok yang memerlukan penanganan dengan seksama dalam kaitannya dengan pelaksanaan impor adalah: membatasi masuknya impor secara berlebihan yang dapat berdampak negatif pada pembangunan pertanian dan industrinya di dalam negeri dan tidak melanggar aturan intemasional yang telah disepakati. Indonesia merupakan peluang pasar bagi negara lain mengingat jumlah penduduk yang besar, apabila tidak dapat dibatasi maka produk impor dapat merusak 146 perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dalam dekade terakhir impor produk pertanian secara umum cenderung meningkat. Kebangkitan ekonomi dan industri pertanian dari keterpurukan akibat krisis akan terhambat upaya penanganan permintaan dan permasalahan penyediaan produksi pangan yang sangat bergantung pada impor (imported food trap). 5.2 Saran Kebijakan Mendatang Pembahasan Perjanjian di Bidang Pertanian WTO meski saat ini mengalami kebuntuan saat Konferensi Tingkat Menteri ke-V di Cancun baru lalu. Namun bukan berarti mengarah kepada pecahnya WTO seperti yang dialami ketika ITO. Penting bagi Indonesia untuk lebih pro-aktif dan terencana melalui koordinasi yang melibatkan para pakar multidisiplin yang memiliki kompentensi, reputasi dan integritas tinggi serta . melibatkan swasta dan masyarakat akademisi lintas sektoral membentuk forum interdependent economic and law analysis approach terhadap kebijakan perdagangan internasional. Semangat yang menjiwai para negosiator AoA WTO haruslah dilandasi semangat kemandirian bangsa dan kedaulatan Indonesia, diharapkan memiliki visi membangun ekonomi kerakyatan namun berwacana global. 200 Dengan demikian -----------200 Dari segi negosiasi saja jelas ini tantangan yang luar biasa bagi pemerintah. Bagaimana menggunakan tenaga yang terbatas dalam arti jumlah maupun tingkat keahliannya untuk menghadapi masalah yang sangat banyak dan kompleks dan nampaknya semua perlu dan prioritas ini? Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini harus ahli yang mengenali bidangnya seperti seorang peneliti menguasai masalah yang diteliti. Dan ini harus dikombinasikan den5an kemampuan berdiplomasi dalam negosiasi dan akhirnya keahlian mcrumuskan pcrmasalahan ckonomi, pcrdagangan, investasi, dan lain-lain topik kesepakatan, di dalam bahasa kesepakatan yang pada dasarnya merupakan dokumen hukum (legal document). Kombinnasi kehlian seorang peneliti dengan deplomat dan ahli hukum. Mereka yang menangani permasalahan ini harus mengkombinansikan aspek-aspek ini dalam diri sendiri atau ket:iasama yang rapidan serasi dari berbagai ahli. J. Soedrajat Djiwandono, "Tidak 1/anya AV/11. 2003 ". http://www.pacilic.net.id/pakar/sj/030l27.html, 10 Nopember 2003. 1:t7 kesejahteraan masyarakat pedesaan khususnya petani hanya mungkin ditingkatkan melalui kemampuan menstabilkan produksi, meningkatkan produksi pangan dalam negeri, yaitu dengan cara memberi perhatian banyak pada usaha untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang stabil, efisien serta mampu mempertahanJ<an stok dalam jumlah yang wajar guna mengantisipasi peristiwa yang di luar perhitungan seperti kerusuhan, bencana alam, perang, dan embargo. Masalah infrastruktur perdagangan pangan, Husein Sawit dan Husen telah mengidentifikasikan hampir sebagian besar industri pangan dan infrastruktur pemasarannya seperti jalan aspal, jumlah truk, kapal, produksi listrik, pelabuhan strategis hanya tersedia di pulau Jawa. Sungguhpun petani luar Jawa mampu memproduksi pangan secara efisien, akan tetapi karena infrastrukturnya lemah, maka mereka tidak mampu bersaing dengan petani Jawa, di mana konsumen terbesar di sana. Sehingga harga produksi petani luar Jawa menjadi mahal, di lain piha petani Jawa sendiri juga tertekan menghadapi persaingan dengan pangan impor yang jauh lebih efisien dari biaya produksi dan pemasarannya. lmplikasinya adalah free trade akan memukul lebih parah para petani luar Jawa di bandingkan dengan petani di Jawa. Oleh karena itu, perbaikan dan penyebaran infrastruktur pemasaran dan distribusi khususnya di !uar Jawa menjadi syarat mutlak untuk membawa pangan dalarn negeri tetap mampu bersaing. Sebaiknya, Indonesia perlu melakukan studi yang komprehen~if untuk melihat dampak liberalisasi perdagangan terutama pada sub-sektor pangan sesuai dengan pesan Artikel 20 (AoA WTO), pada butir a disebutkan: the experience to that date from implementing to reduction commitments. Sebaiknya Indonesia jangan terburuburu melanjutkan negosiasi AoA, sebelum mengetahui dampak buruk yang terkait dengan kemiskinan, ketahanan pangan, rural income and employment seperti telah 148 dibahas sepanjang tulisan ini. Tentunya secara proporsional dan rasional kita harus melihat sisi positifnya. Apa yang dituangkan dalam tesis ini adalah merangkum kenyataan dewasa ini yang terekam diberbagai literatur dan makalah. Secara empiris setidaknya memberikan gambaran nyata. Keputusan politik kebutuhan mencukupi sudah pangan seharusnya jangka menjadi panjang. prioritas langkah lntensifikasi; dalam ekstensifikasi, diversifikasi, aplikasi teknologi dan penggunaan benih unggul secara konsisten dan terpadu hakikatnya akan sangat membantu mengatasi kelangkaan pangan masa depan tanpa harus bergantung secara terus menerus kepada impor pangan. Faktor lain yang perlu dipertimbangan secara arif besarnya adalah pertumbuhan penduduk dan konversi areal penen semakin menyusut. Hal ini terlihat dari pesatnya pembangunan prasarana, mengkonversi areal produktif secara industri dan pemukiman nyata. Keberlanjutan yang telah ketahanan pangan nasional, khususnya beras seharusnya dapat terus bertahan dan "tanpa impor" akan terus eksis, sekalipun faktor penyusutan lahan terus berlangsung dan tingkat konsumsi serta pertumbuhan penduduk terus meningkat. Kebijakan impor beras dengan dasar krisis pangan adalah sangat tidak beralasan apabila dikaitkan dengan populasi penduduk Indonesia yang berjumlah +/220.000.000 orang dengan tingkat konsumsi rerata penduduk per kapita sebesar 150 kg/kapita/tahun atau setara dengan 0,15 ton/kapita/tahun, dengan total konsumsi beras yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia adalah 33.000.000 trm/tahun. Di lain pihak tingkat produksi total gabah kering menjadi beras untuk tingkat nasional adalah +/- 35.976.483 ton/tahun. Asumsi ini ditinjau berdasarkan data lapangan yang bersifat empiris, seperti masih tingginya daya dukung lingkungan serta masih memungkinkannya peralihan sistem usahatani konvensional kepada sistem pertanian 149 berbasiskan mekanisasi dan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi padi selain benih unggul. 201 Tabel 5-1 Luas Area Panen, Rerata Hasil Panen dan Hasil Produksi Padi di Indonesia Area Panen Hasil Panen Prod Nasional ha kw/ha 11,963,204 42.52 1999 11,793,475 2000 44.01 11,499,997 43.88 2001 44.56 2002#) 11,530,672 2003+) 11,464,411 44.83 Sumber: Data BPS, 2003 ton 50,866,387 51,898,852 50,460,782 51,379,103 51,399,631 Tahun Naik I (Turun) % 3.31 2.03 -2.77 1.82 0.04 Di lain pihak, sektor distribusi dan pemasaran perlu mendapat perhatian yang serius dalam menentukan harga saing dengan produk pangan impor. Peran sektor ini sangat mempengaruhi harga jual di tingkat konsumen, jadi tidak mendasar pesatnya impor pangan hanya karena rendahnya tingkat produktivitas panen. Secara lebih terperinci sesungguhnya produktivitas lahan pertanian tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang mengharuskan dan menyama-ratakan input luar, seperti pupuk kimia (urea, ZA, KCI, SPfTSP, Pestisida, dll) ke dalam sistem produksi tanaman pangan dari ujung Sumatera hingga Papua. Pemaksaan input sebagai budaya bercocok tanam ke dalam sistem produksi ini jelas sangat mengganggu produktivitas lahan dan kesejahteraan petani, di lain pihak sangat menguntungkan lembaga pemerintah dan pedagang "transnasional" yang sang at jelas berkaitan dengan kekuasaan. Pendekatan Economic Analysis of Law, menjadi penting karena inti dari setiap program pemerintah seharusnya tidak berbasis pada ketentuan baku, misalnya pendekatan ilmu ekonomi sebagai alat dalam kebijakan dapat lebih menyelaraskan 201 Anom Wibisono, Politik Pangan "Opini" untuk Rakyat. <http://www.lingkar y<~yas:ml24.org.id./artikclt•, I Nopcmhcr 2003. 150 pada keunggukan komparatif potensi lokal daya dukung sumber daya alam Indonesia yang sangat beragam. ldentifikasi potensi lahan dan budaya masyarakat lokal sebagai contoh, seharusnya menjadi inti dari kebijakan politik pangan di sektor produksi dan penerapan bea masuk impor komoditas pokok atau komoditas pertanian, seperti beras, gula, kedelai, daging, dan lain-lain harus lebih proporsional dengan menarik garis pada serapan tenaga kerja produktif yang ada di dalam sektor produksi tersebut. Sistem bea masuk yang tinggi selalu diterapkan oleh negara yang populasinya tinggi serta sebagian besar masyarakatnya terlibat dalam sektor produksi tersebut (hulu hingga hilir). 151 Daftar Pustaka 1. Buku Ali, Achmad, Keterpuruk an Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta: Ghalia, 2002. Alexandratos, N., World Agriculture: To·ward 2010, An FAO Study. Chichester: FAO & John Willey & Sons, 1995. Bello, W., Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture. Consumer International, Food Security: the New Millenium, Internationa l Conference on Food Security, Penang: Phoenix Printers Sdn. Bhd, 1999. Baumman, M., et. al., The Life Industry: Biodiversih;, People and Profits. London: World Wide Fund for Nature and Swiss Aid, 1996. Brierly, J.L., Tlze Law of Nations. Oxford: Claredon Press, [reprint], 1972. Cavanagh, John. (et.al), Alternatives Task Force of Internationa l Forum on Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World is Possible. USA: Berret-Koehler Publisher, 2002. Clive Parry, The Law of Treaties, Manual of Public International Lmu, ed. by Max Sorensen. Hongkong: the MacMillan Press Ltd, [reprint], 1978), p. 175-245. Correa, C.M. Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the TRIPs Agreement and Policy Option. London· Zed Books and Penang, Third World Network, 2000 Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangun gan Departemen Luar Negeri Rl, Sekilas WTO. Ketua Tim Ed.: Dian Triansyah Djani. Jakarta: Departemen Luar Negeri Rl, 2002. Ellesworth, PT., The International Economy, 1964. 3rd ed. New York: the Macmilan Company, Elly Erawaty, A.F., Globalisasi dan Perdaganga n Bebas: Suatu Pengantar, dalam kumpulan karya ilmiah Aspek Hukum dari Perdaganga n '!3ebas, Ivienelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanak an Perdaganga n Bebas. Tim editor Ida Susanti dan Bayu Setio. Bandung: Citra Aditya Bakti dan PHUniversitas Katolik Parahyanga n, 2003. Hardinsyah , (et.al). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan. Bogor: Kerjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan. 1998. IRRI, Rice and Hope, IRRI Report 1998-1999, Manila, 1999. 152 Jhamtani, Hira dan Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan: Telaah Tentang TRIPs dan Keragaman Hayati di Indonesia Jakarta: INFIDKONPHALINDO-IGJ, 2002. Kartadjoemena, H. S., GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI Press, 1996. Khor, Martin, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia dan KONPHALINDO, 1994. Lappe, F.M and J. Collins, Food First: Beyond the Myth of Scarcih;. Boston: Institute for Food and Development Policies, Houghton Miffin Companya, 1977. Lodge, George C., Managing Globalization in the Age of Interdependence. San Diego: Pfeifer & Co, 1995. Long, Olivier., Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System. Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1987. Malthus,T., An Essay on the Principle of Population. Middlesex: Pinguin Book Ltd, 1798. Maxwell, S. and T. Frenkenberger., Household Food Security: Measurements. New York: UNICEF and IFAD, 1997. Concepts, Indicators, Ricardo, David., Principles of Political Economy and Taxation dalam The Works if David Ricardo. London: John Murray, 1817. Richard A. Postner, Economic Analysis of Lazu Sth Ed., USA: A Division of Aspen Publisher Inc. A Wolters Kluwer Company. Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economic. Glenview Illionis London: Scott Foresman and Company, 1988. Rosenberg, Jerry M., Dictionary of International Trade. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1994. Ross-Larson, Bruce., (ed), Making Global Trade Work for People. UK: UNDP-Earthscan Publication, 2003. Sach, Jeffrey. and Andrew Warner, Economic Reform and the Process of Global Integration. (UNCT AD, Trade and Development Report, 2002). Smith, Adam., An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations. New York: Modern Library, 1937. Suryana, Achmad., Benarkah Impor Pangan Kita Mencemaskan? Jakarta: Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2002. Siahaan, Maruarar., Damages in Breach pf Contrac Under 1980 Vienna on International Sales, (Berkelye, 1991) dialihabahasakan dan diterbitkan atas kerjasama the Asia Foundation dan Mahkamah Agung RI. Sorensen, Max, Institutionalized International Co-operation in Economic, Social and Cultural Fields, Manual of Public International Law. (Hongkong: the Macmillan Press, Ltd., [reprint], 1978), hal. 317-345. 15:1 Sumner, Daniel A., Domestic Support and the WTO Negotiations. Revised. CA. USA: the Department of Agricultural and Economics- University of California, April 9, 2000. Tabor, S.R., Food Security, Rural Development and Rice Policy: An Integrated Perspective, report for Bappenas (draft: 28 Juli 2001). Trebilcock, Michael J. & Robert Howse, "The Evolution of International Trade Theory and Policy": The Regulation of International Trade. USA: Routledge, 1999. Dikumpulkan oleh: Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Edisi revisi, Jakarta: Universitas Indonesia, tanpa tahun. Trubek, David M., "Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development", (The Yale Law Journal, Vol. 82 No.1, 1972). Dikumpulkan oleh Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 1. Jakarta: Fakultas Hukum UI Program Pascasarjana, 2000. UNCTAD, World Investment Report 2001, (2001). Wurtz burg, C.E. , Raffles of the Eastern Isles, (Singapore, Oxford University Press, 1990) 2. Makalah Dillon, H.S., Implikasi Persetujuan Putaran Uruguay - GATT dan Komitmen Indonesia di Bidang Pertanian. Makalah disarL'lpaikan pada Temu Dialog Kebijakan Satu Tahun Ratifikasi WTO, Inventarisasi Posisi dan Permasalahan yang Dihadapi Indonesia serta Persiapan Selanjuh1ya, LPEM FE-UI dan Bappenas, Jakarta, 1995). Hardinsyah dan Martianto, Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001. Ichsan, M., Kemiskinan dan Harga Beras. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema: Alternati£ Kebijakan Perberasan: Tinjauan Kritis Basil Tim Kajian Kebijakan Perberasan Nasional, diselenggarakan oleh PSP-IPB dan LPEM-UI di Bogor 17 Juli 2001. Josling, Tim., Domestic Farm Policies and the WTO Negotiations on Domestic Support. Paper presented to the Conference on "Agricultural Policy Reform and the WTO: Where are we heading?" held at Capri (Italy), June 23-26,2003. Martin, Will, and L. Alan Winters (eds.). The Uruguay Round and the Developing Economics. Washington, DC: World Bank Discussion Papers, no. 307, 1995. Ohga, K., Food Security and Trade Liberalisation. Makalah disampaikan pada the NGO Forum of Food Importing Countries: on the Next WTO Agricultural Negotiation, Seoul, 26 Oktober 1999. Saefuddin, A.M., Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian. Makalah disampaik.an pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23- 24 Juli 1999. 154 Smvit, M. Huscin, Globnlisnsi dnn AoA - WTO: Pengnruhnya Terhadap Ketahannn Pnngnn Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya yang bertajuk "Ketahanan Pangan Nasional" diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Consumers International Regional Office for Asia Pacific (CIROAP) di Hotel Kemang, Jakarta 28 - 29 Agustus 2001 Siregar, Amelia Nani (et.al), Ketahanan Pangan dan Upaya Pencapaiannya. Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana / 53 Institut Pertanian Bogor, Bogor, Maret 2003. Simatupang, P., Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional. Bahan diskusi "Round Table" Kebijakan Pangan dan Gizi di Masa Mendatang. Kantor Menpangan dan Holtikultura, 23 Juni 1999, Jakarta. Suryana, A., Critical Revie·w on Food Security in Indonesia. N asional Ketananan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001. Makalah pada Seminar Vitalaya, A. S.H.,Pemberdayann Masyarnkattani untuk Ketahanan Pangan dan Pemulilznn Ekonomi.. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001. 3. Internet "A Programme Responsive to Evolving Policy Issues". http://www.oecd.org/agr/ , 12 Des ember 2003. Departemen PerinduslTian dan Perdagangan RI, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, 15 Desember 2003. Djiwandono, J. Soedrajat, "Tidak Hanya AFTA 2003". http://www.pacific.net.id/ pakar/sj/030127.html, 10 Nopember 2003. Husodo, Siswono Yudho., Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhnn Bagi Indonesia, http://www.ekonomirakyat.org/edisi 18/artikel 3htm,17 Desember 2003. TGJ, Clobnlisnsi Mengnrnh ke Rekolonisasi, (http://www.globaljust.org.id/) 30 Januari 2003. Hardinsyah. Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketalzmwn Pangan. Dalam Pertanian dan Pangan. Rudi Wibowo (ed). Sinar Harapan. Jakarta. 2000. (http://www.sinarharapan.co.id/) Irawan, Andi., Liberalisasi Pasar Bagi Petani Kita, (Sinar Harapan, 11 September 2003), (http://www .sinarharapan.co.id /be rita/ 0309) "Indonesia telah menyampaikan Notifikasi Peraturan Nasional di bidang Anti Dumping dan Subsidi." http://www.geocities.com/WallStreet/4081/hotsubsidi.htm, 12 Nopember 2003. Perlmrinn Pnscn Cmrcun, Pelunng http://www.kompas.com, 25 September 2003. N<.1inggobn, l<;:mwn., Negnrn Berkembnng, 155 Khor, Martin., Developing Countries Prepare for Agriculture Battle an Cancun Ministerial, (TWN Report from Cancun, 9 September 2003, http://www.wto.dprin.go.id/, 5 Desember 2003. ---------, Developing Countries Prepare for Agriculture Ministerial,(TWN Report from Cancun, 9 http://www.wto.dprin.go.id/, 5 Desember 2003 Battle an Cancun September 2003, Khudori, WTO dan Petani Indonesia, http://www.republika.eo.id/, 16 Desember 2003. ---------, Cancun dan Masa Depan Neo-Liberalisme. Harian Republika (24 September 2003). http:/ I www.republika.eo.id/, Krinamurthi, Bayu., Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 Tahun dan Tantangan ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat (Artikel-Th.II-No.7-0ktober 2003) http://www.ekonomirakyat.org.id/edisi 19/artikel 4hhn, 12 Nopember 2003. Kwa, Aileen, Negosiasi Pertanian WTO Dirancang Untuk Memperparah Kelaparan Di Dunia, http:// www.focusweb.org/publications/bahasa-indo nesia/, 12 Desember 2003. OECD, "A Programme Responsive to Evolving http://www.oecd.org/agr/, 12 Desember 2003. Policy Issues". Oh, C., Ten Questions on TRIPs, Technologtj Transfer and Biodiversity, (Penang, Third World Network, http://www.twnside.org.sg/), 2 Desember 2003. Oxley, Alan., The Consequences of Cancun - the WTO as Workhouse not Poorhouse. http://www.apec.org.au/docs/workhouse.am 3 Desember 2003. "Pasca-kegagalan Konsensus di Sidang WTO: Kesepakatan Perdagangan Multilateral Perlu Dibangun". http:/ I www.sinarharapan.eo.id/ ekonomi/ industri/, 15 Desember 2003. "Perlu Pasar Baru Setelah Gagalnya Pertemuan Cancun." Siaran Pers. http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/siara n pers/, 16 Desember 2003. Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kepala Bulog 22 Januari 2002. Siaran Pers Bulog. http://www.bulog.go.id/pers/, 9 Desember 2003. Sawit, M. Husein, Kegagalan Perundingan Pertanian WTO di Cancun: Peluang atau Ancamnn bunt Ekonomi Rakynt?,(http:/ I www.ekonomirakyat.org/ edisi 20, 12 N opember 2003. "WTO Minta Klnrifiknsi 12 lsu Perdngangmz." Kompas, http://www.kompas.com/, 2 Desember 2003. "WTO Setujui Notifikasi Bulog Sebagai STE,", 12 Nopember 2003. Valdes, Constanza and Edwin Young, Developing Countries' Issues in the WTO Related to Agriculture. http://www.ers.usda.gov /epubs/pdf/wrs984/wrs984i.pdf, 12. Desember 2003. Walden Bello, Multilateral punishment: the Philippines in WTO, 1 95- 103, !1ttp://www.inq'7.net/opi/2003/jul/09/opi wbello-1.htm, 4 Nopember 2003. 156 ---------,Tire Meaning of Cmzcun. (This article appeared in the 11 Perspective 11 Section of the Bangkok Post, Sept. 19, 2003.) http://www.ourworldisnotforsale.org/ cancun/, 25 Nopember 2003. Wibisono, Anom., Politik Pangan 11 0pini 11 untuk Rakyat. yayasan324.org.id/artikel, 1 Nopember 2003. http://www.lingkar 4. Artikel Alisjahbana, Iskandar, "Perlu Didukung Pembaruan Mata Kuliah Evolusi". Harian Kompas, (28 Juni 2003): 34. Amang, B. dan M. Husein Sawit, "Perdagangan Global dan Implikasinya Pada Ketahanan Pangan Nasional". Agro-Ekonomika (Tahun-27, 1997): 2. Brundtland, G.H., "Nutrition, Health and Human Right". SCN-News. July (18), 1999. Howard David - David Holdcoft, Jurisprudence Texts and Commentary. Butterworths: 1991. L.R. Brown, "Who Will Feed China? The Wake-up Call for Small Planet". The World- watch Environmental Alert Series. Pierre Lemieux, "Economic Imprealism: an Introduction to Economic Analysis of Law". The Laisses Faire City Time, September 3, 2001 Vol. 5, No. 36. Raghavan. Chakravathi, No Easy Answer on How to Proceed After Cancun .. Published in: South-North Development Monitor (SUNS) No. 5427 (26 September 2003). Robinson, M., "The Human Right to Food and Nutrition". SCN-News. (July 18. 1999). Suwandi, Ading, "Ketidakjelasan Visi Ketahamm Pangan". Harian Kompas (18 Desember 2003): 47. Tim Perberasan Nasional, Formulasi Kebijalcan Perberasan Nasional. Di bawah koordinasi Bappenas dan Menko Perekonomian. (Jakarta, Juli 2001). Trueblood, Michael and Shahla Shapouri, "Implications of Trade Liberalization on Food SecurihJ of Low-income Countries". United State Departement of Agriculture: Agriculture Information Bulletin No. 765-5 (April2001). 157