Bab 4 Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO: Kasus

advertisement
TINJAUAN YURIDIS IMPLIKASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN TERHADAP
KETAHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS BERAS
TE SIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar MAGISTER HUKUM (M.H.)
Oleh :
MUMTAZ SORAYA NASUTION
NPM : 6502020789
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PASCASARJAN A
Jakarta, 2004
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS IMPLIKASI KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN TERHADAP
KETAHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS BERAS
TESIS MAGISTER
MUMTAZ SORAYA NASUTION
NPM . 6502020789
Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai bagian
Persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH)
pad~ Program Kekhususan Hukum Ekonomi Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta, 2004
Pembimbing,
Ketua Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
~1::~
-.
Prof. Hikmahanto Juwana,
, LL.M., Ph.D.
Prof. Erman Raj agukguk, SH, LLM, Ph.D.
UNIVERSITAS INDONESIA
Tesis ini diajukan oleh
Nama
NPM
Kekhususan
Judul
:
Mumtaz Soraya Nasution
6502020789
Hukum Ekonomi
"TINJAUAN
YURIDIS
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
PERDAGANGAN INTERNASIONAL DI BIDANG PERTANIAN
TERHADAP KET AHANAN PANGAN INDONESIA: KASUS
BERAS"
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan telah diterima sebagai
bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar :
MAGISTER HUKUM (MH)
pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
pada tangga123 Januari 2004
DEW AN PENGUJI :
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.
Ketua Sidang I Pembimbing I Penguji
Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, SH, M.H.
Penguj i
Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.H.
Penguji
ABSTRAK
Secara
teoritis
perdagangan
internasional,
ekspor
dan
impor,
dapat
menghasilkan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, terlebih dalam
era liberalisasi perdagangan dimana efisiensi dan persaingan yang sehat diharapkan
mampu meningkatkan kepuasan masyarakat dengan mengkonsumsi barang yang
lebih beragam secara efisien pada tingkat pendapatan tertentu. Demikian pula dari
sisi ekonomi aktivitas ekspor dan impor akan mampu memberikan kesempatan kerja
baru di bidang barang dan jasa yang selanjutnya dapat memacu perkembangan
ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi ini berlaku secara timbal balik baik bagi
negara importir maupun ekspotir.
Sejak dirasakan sulitnya penyelenggaraan perekonomian nasional yang selalu
bergantung
pada
meningkatkan
ekspor migas
sumber devisa.
dan
komoditi
Kebijakan
primer dalam
ekonomi
nasional
rangka
untuk
diarahkan
untuk
meningkatkan keragaman ekonomi nasional, mengarah pada sektor industri yang
berorientasi ekspor. Kita sadar bahwa proses kebijakan perdagangan, investasi, dan
ekonomi
disusun
menjadi
bagian
integral
pembangunan
nasional,
harus
mempertimbangkan dilema industrialisasi dan pembangunan pertanian di dalam
konstelasi global. Kesadaran masalah seperti ini perlu dijaga, agar para pemangku
kepentingan (stake holders), yaitu pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta tidak
terlena, sehigga tiba-tiba saja dikejutkan oleh permasalahan yang terlanjur berat dan
membahayakan bagi ketahanan pangan dan perekonomian nasional.
Sementara persoalan ketahanan pangan nasional semakin kompleks terutama
dalam masa transisi dan proses pemuliha:1 ekonomi dewasa ini, tidak semestinya
rakyat ditambah kecemasan dengan informasi atau opini yang dipolitisir. Apalagi
dikaitkan dengan perl<embangan General Agreement on Tariffs and Trade- GATT di
dalam Putaran Urugay sejak sembilan tahun yang lalu. Bagaimanapun dan dalam
kondisi apapun pemenuhan pangan yang mencukupi bagi setiap individu untuk dapat
hidup sehat dan produktif harus menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional.
K.\T.A. PENGANTAR
Puji syukur yang setinggi-tinggi penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
selesainya penulisan tesis yang berjudul ''Tinjauan Yuridis lmplikasi Kebijakan
Perdagangan lnternasional di Bidang Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan
Indonesia: Kasus Beras".
Sehubungan dengan tema penelitian tesis ini, pada kesempatan pertama
disampaikan terima kasih kepada Bapak DR. M. Husein Sawit, yang makalahnya
berjudul "Gioba/isasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan
Indonesia" (tahun 2001) masih relevan untuk dikaji lebih jauh. Penulis dengan ijin dan
dorongan beliau pula melakukan penelitian lebih mendalam dari segi tinjauan yuridis
mengenai implikasi kebijakan perdagangan lnternasional di bidang pertanian terhadap
ketahanan pangan Indonesia dewasa ini. Ternyata temuan penelitian lapangan saat
ini tahun 2003 dengan situasi di tahun 2001 yang tertuang pada makalah tersebut
atas kebijakan perdagangan intenasional di bidang pertanian, didapat suatu benang
merah bahwa kebijakan yang ditempuh pemerintah masih kurang berpihak kepada
kehidupan petani serta status negara agraris selama ini.
Atas terselesaikannya tesis ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang selama ini membantu memberikan
bimbingan, pengarahan, petunjuk dan menolong serta mendukung penulis dalam
proses penyelesaian penyusunan tesis ini, maupun selama penulis menuntut ilmu
pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Program Studi llmu Hukum- Fakultas
Hukum Universitas Indonesia:
II
1. Yang Terhormat, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., selaku dosen
pembimbing penulls. Beliau telah membimbing, memperbaiki, dan mengoreksi
dalam rangka penulisan tesis ini di tengah-tengah kesibukan dan jadwal
kerjanya yang sangat padat. Atas kesediaan beliau menjadi pembimbing
penulis dan memberikan masukan-masukan yang sangat berarti dalam rangka
penyelesaian tesis ini dan sekaligus sebagai penguji pada saat penulis
mempertahankan tesis ini dalam sidang di hadapan Dewan Penguji, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
2. Yang Terhormat, Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H., M.H., selaku dosen penguji.
3. Yang Terhormat, Dr. lnosentius Samsul, S.H., M.H., selaku dosen penguji.
4. Yang Tercinta, suami Tory Suryo Harninto dan anak Nadira Taufiqa, yang
selalu memberikan pengertian, dukungan serta kesabaran, dan cintanya
memotivasi penulis untuk menambah ilmu pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
5. Yang Tersayang, Kedua orang tua penulis, abang Doli dan abang Dion, yang
selalu memberikan dukungan dalam segala hal, dan juga atas doa-doanya,
sehingga penulisan tesis ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
6. Yang Terhormat, Bapak lr. Rizky Ferianto, MA atasan penulis, selaku Direktur
pada
Direktorat
Pertahanan
dan
Keamanan
Bappenas
yang
selalu
memberikan dukungan baik moril maupun materiil dan semangat dari awal
keinginan penulis untuk meneruskan pendidikan S2 sampai terselesaikannya
penulisan tesis ini sehingga berjalan dengan baik dan lancar. Tidak lupa terima
kasih kepada rekan-rekan penulis pada Direktorat Pertahanan dan Keamanan
111
Bappenas
atas
pengertian
dan
dukungan
selama
penulis
mengikuti
perkuliahan hingga selesainya tesis ini.
7. Yang Terhormat Bapak Dr. lr. Arif Haryana, M.Sc dan Asriani, S.Sos rekan
penulis pada Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas, yang telah banyak
membantu ide penulisan ini dan selalu menjadi ternan diskusi dalam rangka
penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh daripada sempurna,
sebagaimana pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu,
penulis menyadari bahwa penulis masih membutuhkan masukan-masukan dan
kritikan-kritikan yang membangun dari sidang pembaca sekalian.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan
pengetahuan kepada para pembaca maupun bagi penulis sendiri.
Jakarta, Januari 2004
Pen u I is,
Mumtaz Soraya Nasution
IV
Daftar lsi
AIJS . . f.I{AK .............................................................. .................................... i
KA TA PENGANTAR ............... ............................................................... ... ... ii
DAFT AR lSI .............................................................................................................................. 1
DAFT AR TABEL ....................................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 3
I. I.
1.2.
1.3.
1.4.
LA TAR BELAKANG ··················································································· ····················· 3
PERUMUSAN MASALAH ................................................................................... ............ II
TUJIJAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN ........................................................................ I2
KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL ......................................................................... 13
1.5.
1.6.
METODE PENELITIAN ··················································································· ··············· 34
SJSTEMATIKA PENULISAN ··················································································· ········ 35
BAB II PARADOKS DALAM LIBERALISASI PERDAGANGAN WTO ..................... 37
11.1.
11.2.
11.3.
Il.4.
Il.5.
SUBSTANSI WTO ADALAH NEO-LIBERALISME ........................................................... 37
KESENJANGAN YANG TERABAIKAN DALAM LIBERALISASI PERDAGANGAN ................ 43
AGENDA Dl BALIK PENGARUH MULTINATIONAL CORPORATIONS- MNCS ................... 48
DALAM WTO, NEGARA BERKEMBANG PELAKU ATAU PECUNDANG .......................... 55
LIBERALISASI MENELIKUNG KONSTITUSI INDONESIA ................................................. 64
BAB Ill MENGKA.JI LIBERALISASI DI BIDANG PERTANIAN WT0 ....................... 66
Ill.1. ASPEK PERJANJIAN DI BIDANG PERTANIAN WTO ....................................................... 66
JTT.2. PELUANG DAN TANTANGAN P ARTISIPASI NEGARA BERKEMBANG DALAM PERJANJIAN
Dl BIDANG PERTANIAN ................................................................................... ............. 76
111.3. IMPLEMENTASI PERJANJIAN DI BIDANG PERTANIAN WTO DI INDONESIA ................... 90
BAB IV KET AHANAN PANG AN INDONESIA DALAM KONTEKS WTO: KASUS
BERAS .................................................................................................................... 109
IV.l. KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN DAN PERBERASAN .............................................. 109
IV.2. UPA YA PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN .............................................. 123
IV.3. STRATEGI PENGENDALIAN IMPOR ............................................................................. 134
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN MENDATANG .......................... 146
v.1.
KESIMPULAN .................................................................................. ........................... 146
V.2. SARAN KEBIJAKAN MENDATANG .............................................................................. 147
DAFT AR PUSTAKA ............................................................................................................. 152
Daftar Tabel
Skema I-I Komponen GATT sebagai Sistem: Fungsi, Instrumen, dan Produk ........................ 25
Skema I-2 GATT sebagai Forum Negosiasi.. ............................................................................ 28
Skema I-3 Prosedur Penyelesaian Sengketa .............................................................................. 29
Tabel 11-1 Sejarah Sistem Perdagangan Dunia 1500- 1995 ...................................................... 41
Tabel 11-2 Nuansa De Javu antara Liberalisme Klasik dengan Neo-Liberalisme ..................... 43
Tabel III-I Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi Berdasarkan Angka-Angka ................. 72
Kotak I Special and Differential Treatment.. ............................................................................. 77
Tabel III-2 Penyesuaian Tarif Sejumlah Produk Pertanian AS ................................................. 80
Tabel IV-I Neraca Perdagangan Produk Pertanian Tahun 1997-2001 .................................... 112
Tabel IV -2 Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Komoditas Utama Tanaman Pangan ..... 113
Skema IV -1 Kerangka Sistem Ketahanan Pang an (Suryana, 2001) ........................................ 117
Tabel IV-3 Konsumsi Aneka Pangan dan Pola Konsumsi (glkaplhr) ..................................... 126
Tabel IV -4 Simulasi Program Aksi Komoditas (Jangka Pendek & Jangka Panjang ............... 131
Skema IV -2 Alur Domestic Support ........................................................................................ 144
Tabel V-1 Luas Area 0 anen, Rerata Hasil Panen dan Hasil Produksi Padi di Indonesia ........ 150
2
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia. Namun hingga saat menjelang
abad 21 dalam era globalisasi ini, ketika pengembangan teknologi oleh manusia
begitu canggih mampu menguasai bio-teknologi 1 demi kehidupan dan kesejahteraan
yang lebih baik. Akan tetapi mengapa kenyataan menurut Bank Dunia yang dikutip
IRRI pada laporan tahun 1999 masih terdapat 840 juta manusia menderita kelaparan,
8 milyar orang kekurangan gizi, dan 1,3 milyar orang hid up di garis kemiskinan 2 .
Masalah pangan telah lama menjadi perhatian (concern) para pengamat,
praktisi dan akademisi. Kebutuhan pangan yang senantiasa meningkat, baik jumlah
maupun mutu dan keragamannya, merupakan konsekuensi pertumbuhan penduduk.
Bahkan Malthus (1798) dalam bukunya "An Essay on The Principle of Population",
berkesimpulan bahwa pertumbuhan penduduk dunia mengikuti formula geometrik
atau deret ukur, sedangkan pertumbuhan (produksi) pangan mengikuti formula
aritmatik atau de ret hitung 3 . Artinya permasalahan pang an tidak sesederhana untuk
menjawab pertanyaan dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup.
1
Bisnis yang menguntungkan di masa depan berkaitan dengan "industri ilmu
pcngetahuan" yang mencakup farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetik. Bahan
dasar industri ilmu kehidupan adalah bahan hayati, dan industri ini menerapkan pengetahuan
hayati serta bioteknologi modem yang menghasilkan komoditi untuk diperdagangkan. Lebih
lanjut: Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Glohalisasi dan Monopoli Pengetahuan: Telaah
tentang TRIPS dan Keragaman llayati di !ndonesia,Cetakan Pertama,(Jakarta: INFID KONPHALINDO- IKG, 2002), hal.53-54.
2
IRRI Report 1998-1999, Rice and Hope, (IRRI, Manila, 1999).
3
Thomas Malthus, An Essay on The Principle of Population, (Middlesex: Pinguin
Book Ltd, I 798).
3
Meski kesimpulan Malthus tersebut dianggap terlalu statis dan pesimis, karena
tidak mempertimbangkan perkembangan teknologi, namun demikian sejumlah pakar
masih juga mengkhawatirkan tentang kecukupan pangan. Hal ini pada tahun 1970-an
diingatkan kembali oleh Lappe dan Collins (1977) dalam buku mereka berjudul "Food
first: beyond the Myth of Scarcity" meminta pemerintah agar menempatkan pangan
sebagai prioritas pertama. Menurut mereka tidak ada negara dapat mengefektifkan
pengerahan tenaga atau pikiran secara optimal tanpa dukungan kecukupan pangan.
Oleh karena itu setiap negara harus dapat memobilisasi sumberdaya untuk
memproduksi pangan agar dapat terpenuhi keperluan sendiri, hal ini tidak diartikan
setiap negara harus memproduksi semua jenis pangannya apalagi yang tidak sesuai
dengan sumberdaya alam dan iklim 4 .
Lebih lanjut Lappe dan Collins menegaskan bahwa setiap negara seharusnya
mengutamakan kemampuan untuk memproduksi pangan. Tidak ada suatu negara
yang mengalami kelangkaan absolut sumberdayanya untuk menghasilkan pangan.
Karena kelebihan pangan di suatu negara tidak dengan sendirinya akan mengalir ke
negara-negara berkembang yang banyak mengalami kelaparan, tetapi kaedah pasar
lah yang mengatur aliran produk pangan terutama jatuh ke negara-negara lain yang
punya devisa mampu membayar pada tingkat lebih tinggi walalupun di sana tidak ada
orang lapar.
Sejalan dengan pandangan Lappe dan Collins. Brown dalam tulisannya "Who
will Feed China?" mengungkapkan bahwa di Cina telah terjadi konversi lahan yang
berlebihan, pada tahun 2030 diperkirakan RRC akan membutuhkan 200 juta ton bijibijian per tahun bahan pangan penduduknya, padahal produksi dunia hanya mampu
4
F.M. Lappe and J. Collins, Food First: Beyond the Myth of Scarcity, (Boston-USA:
Institute for Food and Development and Development Policies, Houghton Miffin Company,
1977).
4
mensuplai tidak lebih setengahnya 5 . Situasi ini akan bertambah gawat lagi jika
permintaan bertambah dari negara-n6gara besar penduduknya seperti India dan
Indonesia.
Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 206 juta ·
pad a tahun 2000 dan terus tumbuh sekitar 1,49 persen per tahun (tambahan
penduduk yang jumlahnya kurang lebih sama dengan penduduk Singapura, sekitar 3
juta). Upaya pemenuhan pangan di Indonesia merupakan pekerjaan sangat serius.
Di lain pihak seperti di Cina dan negara-negara berkembang lain yang padat
penduduknya. Terjadi pula di Indonesia, masalah pertambahan penduduk mendorong
peningkatan konversi lahan pertanian menjadi pemanfaatan lahan untuk perumahan,
tapak industri, dan prasarana lainnya. Demikian juga dengan sumberdaya modal
dialihkan untuk memproduksi non-pangan misalnya elektronik, tekstil, sepatu, dan
lain-lain. Persoalannya adalah apabila negara-negara berpenduduk padat seperti
Cina, India, dan Indonesia tersebut harus bergantung pada pangan impor yang
berlebihan (imported food trap), maka dikhawatirkan pasar dunia tidak akan mampu
menyediakannya.
Masalah kepadatan penduduk diperburuk dengan kondisi di mana sekitar 70%
orang miskin berada di negara-negara berkembang di Asia termasuk Indonesia di
dalamnya. Permasalahan terus bertambah dengan semakin terbatasnya ketersediaan
pangan di dalam negeri akibat dari degradasi lahan, konversi lahan produktif,
serangan hama, dan penyakit serta kekeringan yang diakibatkan fenomena alam El
Nino semakin kerap menimpa kawasan Asia, di samping berkurangnya investasi
publik untuk meningkatkan pangan. Sehingga negara-negara berkembang tersebut
5
L.R. Brown, Who Will Feed China? The Wake-up Call for Small Planet, (The Worldwatch Environmental Alert Series).
5
sangat terbatas kemampuan impor pangan karena terbatasnya devisa, menimbulkan
risiko kekurangan pangan tetap tinggi 6 .
Ketergantungan yang berlebihan bagi pemenuhan kebutuhan pokok dari impor
dapat membahayakan, karena secara politis menjadi sangat rentan menganggu ·
stabilitas nasional, dan berpotensi menggoyahkan kemandirian sebagai bangsa.
Sejak dirasakan sulitnya penyelenggaraan perekonomian nasional yang selalu
bergantung
pada
meningkatkan
ekspor migas
sumber devisa.
dan
komoditi
Kebijakan
primer dalam
ekonomi
rangka
untuk
nasional diarahkan
untuk
meningkatkan keragaman ekonomi nasional, mengarah pada sektor industri yang
berorientasi ekspor7 .
Kita sadar bahwa proses kebijakan perdagangan, investasi, dan ekonomi
disusun menjadi bagian integral pembangunan nasional, harus mempertimbangkan
dilema industrialisasi dan pembangunan pertanian di dalam konstelasi global.
Kesadaran masalah seperti ini perlu dijaga, :1gar para pemangku kepentingan
(stake holders), yaitu pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta tidak terlena,
sehigga tiba-tiba saja dikejutkan oleh permasalahan yang terlanjur berat dan
6
M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia, (Disampaikan pada Lokakarya yang bertajuk "Ketahanan Pangan
Nasional" diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Consumers
International Regional Office for Asia Pacific (CIROAP) di Hotel Kemang, Jakarta 28 - 29
Agustus 200 I), hal. 2.
7
Pada tahun 1980-an, Indonesia mulai mengubah haluan strategi ekspornya. Semula,
pada tahun 1970-an Indonesia dapat menikmati penghasilan devisa dari sektor minyak bumi
dan gas alam sebagai sumber devisa utama. Kebijaksanaan dalam sektor nonmigas pada waktu
itu lebih dipusatkan kepada peningkatan produksi dan substitusi impor. Hal tersebut berubah
ketika harga minyak mengalami kemerosotan besar sejak tahun 1980. Untuk mempertahankan
tingkat ekspor dan laju pertumbuhan perekonomiannya maka kemerosotan hasil devisa dari
sektor migas perlu diimbangi dengan peningkatan sektor nonmigas. Ketergantungan terhadap
ekspor migas sebagai sektor andalan tunggal dalam ekspor temyata kurang menguntungkan
untuk jangka waktu yang panjang. H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan
Lembaga lnternasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI Press, 1996), hal. 5
6
membahayakan bagi ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Bagaimanapun
dan dalam kondisi apapun pemenuhan pangan yang mencukupi bagi setiap individu
untuk dapat hidup sehat dan produktif harus menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional.
Sementara persoalan ketahanan pangan nasional semakin kompleks terutama
dalam masa transisi dan proses pemulihan ekonomi dewasa ini, tidak semestinya
rakyat ditambah kecemasan dengan informasi atau opini yang dipolitisir. Apalagi
dikaitkan dengan perkembangan General Agreement on Tariffs and Trade - GATT di
dalam Putaran Urugay sejak sembilan tahun yang lalu.
Suatu perundingan mengenai perdagangan internasional berhasil diselesaikan
pada bulan April tahun 1994, GATT salah satu keputusannya, adalah membentuk
Organisasi Perdagangan Dunia atau lebih dikenal sebagai WTO (World Trade
Organization).
Dari hasil Putaran Uruguay, GATT-WTO antara lain berfungsi sebagai forum
yang memfasilitasi perundingan perdagangan internasional, memonitor kebijakan
perdagangan di setiap negara anggota, dan menangani perselisihan perdagangan
(trade dispute). WTO dengan peranan yang cukup luas tersebut - sampai 30
Nopember 2000 telah diratifikasi oleh 140 negara - kini menjadi satu-satunya
organisasi yang paling berpengaruh dalam sektor perdagangan dan ekonomi 8 .
Indonesia juga meratifikasi WTO melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization.
Dengan demikian pemerintah dan masyarakat Indonesia terikat pada seluruh
keputusan, aturan dan perjanjian yang terdapat dalam WTO tanpa terkecuali seperti
disyaratkan hasil Putaran Uruguay tersebut.
8
Ibid, hal. 58.
7
Kegiatan perdagangan dan investasi global yang semakin kompetitif demikian
ini hanya mungkin dilakukan oleh negara yang perekonomiannya bersifat terbuka.
Sebagai konsekuensinya, perekonomian nasional menjadi semakin terlibat terhadap
perkembangan yang terjadi pada perekonomian dunia, terutama terhadap gejolak
yang ditimbulkan
o~eh
perekonomian negara mitra dagangnya, dan kebijakan yang
berpengaruh terhadap hubungan ekonorni, perdagangan dan moneter antarnegara.
Sementara masyarakat mungkin memandang Putaran Uruguay hanya sebagai
permasalahan perdagangan bebas dalam era globalisasi. Padahal implikasi dari
berbagai kesepakatan perdagangan tadi sangatlah luas dan menyentuh seluruh
aspek kehidupan masyarakat Indonesia di masa mendatang. Oleh karena itu
penyebaran informasi mengenai proses dan hasil perundingan dalam Putaran
Uruguay serta kepentingan Indonesia di dalamnya sangat perlu untuk diketahui oleh
masyarakat.
Pada kesempatan ini, salah satu perundingan WTO yang perlu dicermati
adalah mengenai kesepakatan produk pertanian (agreement on agriculture - AoA).
Dengan alasan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan sektor pertanian
masih perlu dilindungi. Bagaimanapun pembukaan pasar pertanian juga harus melihat
kondisi ketahanan pangan masing-masing negara, tidak didekati dengan cara atau
aturan yang seragam.
Persetujuan Perjanjian di Bidang Pertanian harus melihat kondisi negara
masing-masing 9 . Di mana pertanian seperti Indonesia, perlu mendapat perlindungan
karena bisa mengatasi masalah kemiskinan. Pertanian juga dapat meningkatkan
9
Kesulitan yang dihadapi dalam proses unifikasi hukum adalah hambatan-hambatan
yang muncul, baik pada saat pembentukan maupun pada saat pelaksanaan konvensi, sebagai
akibat adanya keengganan politis dari negara-negara untuk meratifikasi dan atau melaksanakan
konvensi sesuai kesepakatan, karena alasan-alasan nasional.
8
kesejahteraan penduduk di pedesaan. Dalam hal demikian negara wajib memberikan
perlindungan bagi
s~ktor
pertanian.
Seperti halnya Indonesia, Jepang setuju perlunya perlindungan pertanian,
dalam negosiasi di WTO, Indonesia dan Jepang sepakat berusaha atau bereaksi hatihati terhadap negara-negara yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.
Pandangan demikian seperti diungkapkan oleh Soichi Nakagawa, Ketua Komisi Riset
Kebijakan Perdagangan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Partai Demokrat Liberal
Jepang yang mengemukakan, bahwa (Kompas, 26 Juni 2003):
"Kesepakatan perdagangan produk pertanian tidak harus mengambil titik ekstrem
yang diberlakukan sama untuk semua negara. Kami berpikir seperti negaranegara yang ingin meningkatkan produksi pangan di dalam negeri terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perdagangan ... "
"Sikap kami dalam perundingan setuju dengan berbagai reformasi peraturan
perdagangan yang sudah dibahas sangat lama. Akan tetapi, kami berpendapat
bahwa pembukaan pasar itu tidak bisa dilakukan tanpa memperhatikan masalahmasalah ketahanan pangan di masing-masing negara."
Dinamika perkembangan WTO yang diwarnai dengan kontroversi kepentingan
negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Bagi Indonesia, yang masih
dalam situasi kesulitan impor pangan - akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menambah beban devisa yang harus ditanggung oleh negara dan masyarakat.
Apabila liberalisasi perdagangan WTO dikaitkan pada produksi pertanian dalam
negeri, maka masalahnya menjadi serius karena mempengaruhi ketahanan nasional
secara keseluruhan.
Secara faktual, pasar pangan dunia yang oligopoli, di kuasai beberapa negara
produsen umumnya negara-negara maju, yang mempunyai kekuatan politik maupun
ekonomi. Selain memiliki keunggulan komparatif, produksi mereka pun disokong
subsidi karenanya harga barang strategis tersebut tidak lagi merefleksikan harga
pasar. Mereka dapat saja melakukan embargo pangan apabila perundingan berjalan
9
tidak sesuai dengan format kebijakan seperti yang dikehendaki oleh negara produsen
tersebut. lmplikasinya adalah pasar pangan mendatang semakin menjauhi pasar
persaingan, sehingga akan berdampak buruk terhadap ketahanan pangan nasional 10 .
Menilik hal diatas. WTO dengan isu-isu terbaru 11 dipastikan akan mempunyai
dampak besar bagi Indonesia yang merupakan negara sedang berkembang dengan
206 juta penduduk, yang sebagian besar penduduknya bekerja atau tergantung
dengan sektor pertanian. Sementara tidak banyak masyarakat bahkan pejabat
pemerintahan maupun pembuat keputusan yang memahami serta mengantisipasi
pemberlakuan ketentutan-ketentuan dalam WTO di negeri ini. Pengintegrasian hasil
perundingan internasional WTO ke dalam pembentukan hukum modern Indonesia
menarik untuk dicermati.
Mengingat Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi perubahan, baik
dalam dimensi penggunaan teknologi, struktur pemerintahan, dan kehidupan politik
maupun dalam cara-cara produksi yang kemudian lebih mengedepankan konsep
efisiensi, terjadi pergeseran dari konsep padat karya ke arah konsep padat modal
sebagai konsekuensi dari perkembangan agraris ke industrialisasi. Pertanyaannya
sampai seberapa jauh liberalisasi perdagangan sebagai aspirasi globalisasi tersebut
10
M. Husein Sawit, Op.cit, hal. 9.
11
lsu baru yang dimaksud adalah perJanJian di bidang jasa (GATS - General
Agreement on Trade in Services), perjanjian yang mengatur hak atas kekayaan intelektual yang
terkait perdagangan (TRIPs - Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights), dan
perjanjian investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs - Trade Related Investment
Measures) ... TRIPs akan menguntungkan perusahaan multinasional dan secara umum
rl?erugikan masyarakat; khususnya petani kecil dan masyarakat adat di negara-negara Selatan.
Selain itu, kalau dulu kapal meriam adalah teknologi yang memungkinkan tegaknya
penjajahan, maka sekarang teknologi manipulasi mahluk hidup atau rekayasa genetik yang
digunakan untuk invasi dan kolonisasi dengan dukungan hukum untuk hak atas kekayaan
intelektual (HaKI) ... TRIPs juga dikhawatirkan akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
termasuk kesehatan dan pertanian. Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op.cit., hal. 2.
10
dapat dimanfaatkan tanpa harus mengorbankan struktur hukum ketahanan pangan
sebagai bagian ketahanan nasional.
1.2 Perumusan Masalah
1.2.1 Alasan Pemilihan Judul
Tema atau judul penelitian: "Tinjauan Yuridis lmplikasi Kebijakan Perdagangan
lnternasional di Bidang Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus
Beras" dipilih berawal dari keingin-tahuan penulis atas membanjirnya buah-buahan
impor yang dijajakan di segenap penjuru Jakarta mulai pedagang buah di pinggir
jalan, di pasar-pasar tradisionil hingga di hypermarket. Dari beberapa jenis buah-buah
impor dan produk pertanian lain kita ketahui Thailand sebagai salah satu negara
eksportir produk pertanian telah memiliki pangsa pasar di pasar Indonesia, dan
berhasil memposisikan sebagai produsen buah-buah eksotis Asia, seperti: durian
Monthong, jambu Bangkok, pepaya Bangkok, beras Thailand dan lain-lain.
Mengapa Thailand bisa berhasil mengembangkan pasar ekspor agrobisnis ke
mancanegara, sedangkan Indonesia terkesan jauh tertinggal dalam persaingan
perdagangan internasional terutama produk pangan. Sementara ini kita berkeyakinan
mempunyai keunggulan komparatif (seperti iklim, sumberdaya keanekaragaman
hayati, luas negara maupun jumlah penduduk). Untuk itu secara khusus sesuai latar
belakang pendidikan hukum penulis, rasa keingin-tahuan tersebut mendorong penulis
untuk melakukan penelitian tentang kebijakan pemerintah dalam pembangunan, dan
perdagangan intenasional komoditi pangan ditinjau dari aspek yuridis.
Tinjauan yuridis dalam penelitian ini, adalah untuk mendalami dan mencermati
aspek-aspek sebagai berikut:
11
1. Pilihan kebijakan dan langkah-langkah strategis pemerintah Indonesia dalam
perdagangan internasional di bidang produk pertanian dalam konteks WTO,
terutama yang terkait dengan ketahanan pangan nasional.
2. Kajian apakah kebijakan dan langkah strategis di atas telah diimplementasikan
secara efektif dalam kerangka pembangunan nasional, juga dipertimbangkan
implikasi legal-sosial yang ditimbulkan.
1.2.2 Pokok Permasalahan
Ruang lingkup masalah pangan dan perdagangan pasti akan sangat kompleks
dan luas permasalahan yang akan dijumpai di lapangan. Agar penelitian dapat
berhasil efektif, maka penulis sengaja mengambil kasus komoditi beras sebagai
obyek penelitian, lebih jauh khusus lagi menyoroti pada aspek kebijakan perdagangan
beras dan harga beras di pasaran internasional dalam konteks Agreement on
Agriculture- World Trade Organization (AoA-WTO).
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dituangkan dalam tesis ini bertujuan untuk:
(1). Mengkaji ulang hasil perkembangan Putaran Uruguay - WTO dalam
bidang pertanian khususnya pangan;
(2). Mengkaji kebijakan Indonesia perdagangan internasional produk-produk
pertanian dalam konteks WTO
(3). Mengidentifikasi permasalahan implikasi dari Perjanjian WTO terhadap
ketahanan pangan. dan
(4). Menarik kesimpulan serta saran arah kebijakan pangan masa depan.
Ruang lingkup masalah tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
(I). Perkembangan konvensi internasional konteks WTO terutama berkaitan
dengan bidang pertanian; dan
(2). Permasalahan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia dalam
pembangunan ketahanan pangan.
12
Penyajian hasil penelitian ke dalarn tesis ini ditujukan bagi rekan-rekan
rnahasiswa, kolega kerja di BAPPENAS terutarna di Direktorat Pangan dan Pertanian,
ternan-ternan LSM, pernerintah dan khalayak umurn yang rnernpunyai rninat pada
pernbangunan sektor pangan dan rnasalah perdagangan internasional. Karenanya,
penyusunan tesis ini difokuskan untuk dapat rnernberikan kegunaan sebagai berikut:
(1). Mernberi penjelasan tentang persepsi atas irnpor pangan dalarn kaitan
liberalisasi perdagangan;
(2). Mernbantu rnernberikan pernecahan perrnasalahan dan penanganan
secara kornprehensif, baik secara teoritis rnaupun praktis;
(3). Menarnbah wawasan atau sebagai bahan pernikiran pengernbangan
studi hukurn di Indonesia, khususnya berkenaan dengan aspek yuridis
dalarn penyusunan kebijakan dan langkah strategis perdagangan
internasional kornoditas pangan dan pertanian.
1.4 Kerangka Teori dan Konseptual
1.4.1 Kerangka Teori
Peran Perdagangan lnternasional bagi Kebutuhan Pangan Dalam Negeri
Secara teoritis perdagangan internasional, ekspor dan irnpor, dapat
rnenghasilkan rnanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rnasyarakat, terlebih dalarn
era liberalisasi perdagangan dirnana efisiensi dan persaingan yang sehat diharapkan
rnarnpu rneningkatkan kepuasan rnasyarakat dengan rnengkonsurnsi barang yang
lebih beragarn secara efisien pada tingkat pendapatan tertentu 12 . Dernikian pula dari
12
Bandingkan: "As a matter of simple economic theory, the gains to domestic
consumers from foreign trade will almost always be greater than additional gains to domestic
purely domestic trade. This is so because higher domestic than foreign price will entail a
transfer of resources from domestic consumers to domestic producers (arguably creating
matching decrease and increase in welfare), but in addition some domestic consumers will
priced out the market by the higher domestic price and will be forced to allocate their resources
to less preferred consumption choice, entailing a dead-weight social loss. An alternative way in
which to conceive of the net domestic loss from foregone foreign exchange opportunities is to
ask what compensation domestic producers would need to offer domestic consumers to render
them indifferent to these forgone opportunities. Presumably only domestic price that matched
13
sisi e!<onomi aktivitas ekspor dan impor akan mampu memberikan kesempatan kerja
baru di bidang barang dan jasa yang selanjutnya dapat memacu perkembangan
ekonomi masyarakat. Manfaat ekonomi ini berlaku secara timbal balik baik bagi
negara importir maupun ekspotir 13 .
Globalisasi perdagangan yang melembaga di dalam WT0 14 oleh banyak pihak
baik pengamat, praktisi, bahkan akademisi diragukan keefektifitasnya terutama
menyangkut dikotomi antara liberalisasi dengan kepentingan nasional, seperti terjadi
pada masalah perdagangan internasional produk pangan. Sehingga pendapat dan
ungkapan yang berkembang dalam polemik di mass media dapat membuat cemas
masyarakat. Ungkapan yang sering dikemukakan itu antara lain: Indonesia sudah
berada pada krisis pangan, ketahanan pangan kita berada pada kondisi jebakan
impor (Imported food trap), sebagian besar kebutuhan pangan kita dipenuhi impor,
ataupun impor pangan kita sudah pada tahap mencemaskan.
Selanjutnya dalam konteks ekonomi global, apabila membicarakan isu
perdagangan internasional komoditi pangan, tidaklah lengkap jika hanya menekankan
satu sisi, yaitu impor saja, atau ekspor saja. Pemahaman neraca perdagangan
pangan menjadi substansial untuk dianalisa, karena potensi sumberdaya di suatu
foreign producers price would achieve this end." Michael J. Trebilcock & Robert Howse, "The
Evolution of International Trade Theory and Policy": The Regulation of International Trade,
(USA: Routledge, 1999), p. 4-5, dikumpulkan oleh: Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan
Internasional, Edisi revisi, (Jakarta: Universitas Indonesia, tanpa tahun), hal. 26-27.
13
Achmad Suryana, Benarkah Impor Pangan Kita Mencemaskan?,
Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2002), hal. 7-8.
(Jakarta,
14
Sorensen mengistilahkan perkembangan ini sebagai institutionalized cooperation,
sebagaimana diperlihatkan adanya GATT, IMF, dan berbagai perjanjian multilateral yang telah
mclcmbaga lainnya. Max Sorensen, "Institutionalized International Co-operation in
Economic, Social and Cultural Fields", Manual of Public International Law, (Hongkong: the
Macmillan Press, Ltd., [reprint], 1978), hal. 317-345.
14
wilayah atau negara memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas pangan yang
berbeda.
Perdagangan pangan global dapat memberikan kontribusi terhadap ketahanan
pangan suatu negara dengan cara seperti:
1. Mengisi kekurangan antara kebutuhan untuk konsumsi dengan kemampuan
produksi;
2. Dapat mengurangi gejolak (variability) suplai pangan di suatu negara;
3. Meningkatkan pertumbuhan ekonorr.i;
4. Penggunaan sumberdaya di dunia akan lebih efisien, karena pangan
dihasilkan di wilayah yang punya keunggulan komparatif; dan
5. Memungkinkan berproduksi secara global di wilayah yang lebih ekonomis
sesuai dengan sumberdayanya.
Meski banyak aspek yang menguntungkan dihasilkan dari perdagangan global
(free trade) untuk pangan dapat memunculkan sejumlah risiko, yaitu antara lain 15 :
1. Suplai pangan dalam negeri di suatu negara menjadi sering tidak akan
menentu;
2. Harga pangan di pasar dunia kurang stabil, tidak terkecuali beras, juga
gandum, jagung, dan sebagainya;
3. Merusak pola pertukaran barang di pasar dunia yaitu risiko defisit neraca
perdagangan antara harga rendah untuk barang-barang pertanian primer yang
diekspor dan harga tinggi pada pangan yang diimpor, misalnya pangan
olahan, pangan siap konsumsi atau prepared food jika kebijakan tidak tepat.
Pendekatan the Economic Analysis of Law
Kebijakan neraca perdagangan internasional yang komprehensif banyak
dilaksanakan oleh beberapa negara, khususnya negara-negara golongan pendapatan
15
K.Ohga, Food Security and Trade Liberalisation, (Makalah disampaikan pada the
NGO Forum of Food Importing Countries: on the Next WTO Agricultural Negotiation, Seoul,
26 Oktober 1999).
15
tinggi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan swasembada pangan dalam negeri, maka
harga produk dimungkinkan untuk naik ketingkat yang optimal, atau memberikan
insentif yang cukup pada pmdusen dalam negerinya. Akan tetapi biaya untuk
mempertahankan atau mencapai swasembada pangan dapat memberatkan semakin
tinggi, manakala timbul perbedaan harga yang besar antara harga pasar dalam negeri
dengan harga pasar dunia atau luar negeri. Dengan demikian harga pangan impor
akan lebih menguntungkan daripada produksi dalam negeri, risiko ini diantisipasi,
antara lain melalui diversifikasi pangan, serta kebijakan tarif atau bea masuk, juga
non-tarif.
Kebijakan diversifikasi atau penganekaragarnan pangan, diterapkan Indonesia
menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. Seperti ditegaskan Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskan sebagai usaha
mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam jumlah yang
cukup, mutu dan gizi yang layak, aman untuk dikonsumsi, merata serta terjangkau.
Usaha membangun ketahanan pangan pada umumnya dan keanekaragaman pangan
khususnya saat ini, sangat menarik dikaji secara khusus tentang keterlibatan
pendekatan teori efisiensi Ekonomi memaknai eksistensi dan peran Hukum. Dalam
hal ini, diversifikasi sebagai landasan untuk terciptanya suatu efisiensi dalam aturan
Ekonomi dan Hukum seperti tertuang ke dalam Undang-undang tersebut.
Seperti telah kita ketahui, bidang ekonomi yang merupakan pendorong utama
globalisasi terlihat dengan meningkatnya arus informasi, uang, dan barang melalui
perusahaan multinasional - tuntutan dari liberalisasi perdagangan era WTO. Namun
globalisasi tidak hanya berdimensi ekonomi saja, tetapi juga berdimensi lebih luas,
seperti dalam bidang politik dengan semakin menguatnya tuntutan demokratisasi,
transparansi, penegakan hak asasi manusia, dan lain-lain. Demikian pula di bidang
16
hukum, ditandai dengan meningkatnya kebutuhan adaptasi konvensi internasional ke
dalam hukum nasional.
Mencermati globalisasi ekonomi dalam konteks WTO, hal yang mendasar
untuk memahami penelitian ini, adalah keterkaitan Ekonomi dan Hukum 16 . Dalam hal
ini menjadi relevan untuk merangkum pembatasan kajian serta implikasi kebijakan
perdagangan internasional bidang pertanian terhadap ketahanan pangan Indonesia,
perlu dilakukan analisis Ekonomi terhadap Hukum (The Economic Analysis of Law):
apa dan sejauh manakah peran llmu Ekonomi terhadap Hukum, atau bagaimanakah
peran analisis Ekonomi terhadap Hukum dan sebaliknya 17 .
16
WTO yang kemudian kita ketahui, merupakan perkembangan GATT tahun 1949 itu,
memuat kesepakatan negara-negara anggota untuk secara bertahap menghapus hambatanhambatan tarif dan non-tarif yang dianggap mengganggu kelancaran perdagangan
internasional, dan terkait dengan peningkatan produktifitas pengelolaan sumber daya, untuk
peningkatan pendapatan termasuk lapangan kerja. Keyakinan ini mengacu paham laissez-faire
adanya economic interdependence yang melandasi international trade akan menguntungkan
masyarakat internasional karena menghasilkan alokasi sumber daya paling efisien. Untuk itu,
maka tiap negara setidaknya harus menemukan dan mengembangkan comparative advantagenya, selanjutnya keunggulan itu harus dibandingkan dengan kemampuan dan potensi
perekonomian negara lain yang memproduksi barang yang sama. Singkatnya masing-masing
negara (relatif) memiliki keunggulan komparatif terhadap negara lain, dan harus dimanfaatkan
dcngan scbaik-baiknya, schingga masing-masing industri di ncgara yang bersangkutan dapat
mengalokasikan sumber daya dengan cara efisien. Untuk mengurangi pemborosan maupun
kerugian dalam produksi - surplus di suatu negara, kekurangan di lain negara- maka dapat
dilaksanakan suatu pertukaran (perdagangan internasional) - keunggulan komparatif
mendorong pertukaran barang. Kenyataannya, keunggulan komparatif tidak selalu dapat
diandalkan sebagai modalitas persaingan dagang. Bagaimanapun efisiensi menjadi kata kunci
dalam perekonomian dan perdagangan. Untuk itu, kebijakan dewasa ini diarahkan pada
penciptaan competitive advantage atau keunggulan daya saing. Modalitas keunggulan melalui
efisiensi sebagai patokan dasar atau benchmark; nilai tambah sebagai output-nya; dan entry
barrier (modal, teknologi, akses pasar, informasi dan pengetahuan). /-.;ntry barrier dalam
konteks nasional merupakan political dependence. Aspek political dependence kolaborasi
liberal-kapitalistik antara pemerintah dan para pelaku usaha - terutama lobby Multinational
Corporations (MNCs). Sekaligus menjadi hidden agenda kebijakan perdagangan dan politik
internasional. Kebijakan luar negeri AS misalnya, sering diprasangkakan memuat kepentingan
MNCs, seperti pendudukan pasukan koalisi AS di Irak saat ini, yang sarat dengan kepentingan
penguasaan ladang minyak.
17
Para penemu bidang kajian ini: Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and
Economic, (Glenview Illionis London: Scott Foresman and Company, 1988; Pierre Lemieux,
Economic Imprealism: an Introduction to Economic Analysis of Law, (The Laisses Faire City
17
Roda pembangunan berjalan bagaikan hubungan roda-roda gigi ekonomi dan
hukum. Oleh karena itu hukum modern dilihat dalam konsep inti sebagai prasyarat
fungsional dari perekonomian berbasis industri. Asumsi sudut pandang ini, adalah
institusi pasar bagian penting dari pertumbuhan ekonomi, dan melihat hukum modern
sebagai bagian yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan dan .memelihara
pasar itu sendiri. Penekanan di sini adalah adanya aspek kemampu-meramalkan
(predictability) dimiliki oleh hukum modern sebagai tatanan aturan universal yang
seragam.
Oleh karenanya
aspek predictability dalam
hukum modern
dapat
dipergunakan untuk mendorong aktivitas perekonomian dan menjamin bahwa
kepentingan ekonomi akan terlindungi 18 .
Hukum dan Ekonomi dalam era globalisasi semakin terikat dalam suatu
wawasan yang sifatnya interdisipliner studi, bahkan kadang interdependence satu
dengan yang lain. Sebagai kerangka teori penelitian, hubungan Ekonomi dan Hukum
dipergunakan untuk menganalisis aturan-aturan Hukum menjadi landasan terciptanya
efisiensi, dan sebaliknya analisis Ekonomi terhadap Hukum adalah bagaimana
menciptakan efisiensi dalam aturan Hukum. Untuk memahami permasalahanpermasalahan dalam penelitian ini, dapat kita menemukan jawabannya dengan
memahami baik teori Efisiensi, dan teori lain yang menyertainya.
Time, September 3, 2001) Vol. 5, No. 36; Richard A. Postner, Economic Analysis of Law 51h
Ed., (USA: A Division of Aspen Publisher, inc A Wolters Kluwer Company); Howard DavidDavid Holdcoft, Jurisprudence Texts and Commentary, (Butterworths, 1991), p. 393.
18
David M. Trubek, "Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of LaH•
and Development", (The Yale Law Journal, Vol. 82 No.1, 1972), dikumpulkan oleh Erman
Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi I, (Jakarta: Fakultas Hukum UI
Program Pascasarjana), 2000, hal. 6- 7.
18
Efisiensi dal3m ilmu Ekonomi tidak hanya pengertian an sich 19 , melainkan
value dan utility mempunyai peranan penting terhadap Hukum. Pierre Limieux
menyatakan bahwa the Economic analysis of Law is concerned with the eficiency of
legal rules. Sedangkan yang dimaksudkan dengan efisiensi yang mendasar Law and
Economy adalah efficiency means a attaining the highest net value in terms of money,
as evaluated by the individual themselves, yang diilustrasikan sebagai efficiency is
concerned only with the size of the economic pie, not its redistribution. Sedangkan
legal rules should be concerned with efficiency if only because they are not effective
at redistribution 20 .
Teori efisiensi Ekonomi dapat membenarkan pelanggaran kontrak dan
perkecualian seperti diantisipasi dalam konsensus GATT- WTO. Perkecualian terjadi,
jikalau hal itu telah menjadi pemborosan sumber-sumber sejalan dengan pandangan
Muarar Siahaan dalam kajiannya tentang interrelated law and economics dengan
mengutip pendapat Allan Farnsworth, mengemukakan secara jelas 21 :
"Demi kebaikan masyarakat, sumber-sumber haruslah dialokasikan secara efisien
setiap waktu. Adalah merupakan kepentingan masyarakat bahwa setiap unit-unit
Ekonomi mengalokasikan ulang sumber-sumbernya jikalau hal ini akan mengarah
pada efisiensi yang lebih besar, walaupun satu pihak terikat oleh suatu kontrak
untuk mengalokasikan sumber-sumbernya dalam satu hal yang khusus, kebaikan
masyarakat menuntut bahwa dia memutuskan kontraknya dan mengalokasikan
ulang sumber-sumbernya jikalau hal ini membuatnya lebih baik, tanpa menjadikan
keadaan ekonomi perorangan lainnya lebih buruk. Karena alokasi ulang tidak akan
menjadikan pihak yang dirugikan menjadi lebih buruk sepanjang pengharapannya
terlindungi dan secara hipotesis membuat pihak pelanggar lebih baik, maka
19
Robert Cooter dan Thomas Ullen, Lac. cit.: memberikan pemahaman awal definisi
tentang economics. Dikatakan bahwa ilmu Ekonomi adalah alat yang tepat tentang perilaku
rasional (rational behavior) yang didefinisikan sebagai the pursuit of consistent ends by
ejjicien means. Ini berarti, Ilmu Ekonomi adalah alat yang tepat (a suitable tool) untuk
mempelajari perilaku seseorang yang memahami Hukum, administrasi atau institusi.
20 p·1erre L"Imieux,
.
0 p.czt.
.
21
Maruarar Siahaan, Damages in Breach pf Contrac Under 1980 Vienna on
International Sales, (Berkeley, 1991) dialihabahasakan dan diterbitkan atas kerjasama the Asia
Foundation dan Mahkamah Agung RI.
19
merupakan kepentingan masyarakat bahwa perjanjian tersebut dibatalkan dan
sumber-sumber jialokasikan ulang".
Dari segi yuridis GATT dapat dilihat sebagai serangkaian "aturan permainan" di
bidang perdagangan internasional yang tercantum dalan suatu dokumen utama, yakni
General Agreement on Tariffs and Trade sebagai suatu perjanjian internasional atau
International Treaty beserta annex yang merupakan penjelasan atas perjanjian
tersebut 22 . Dalam kata lain, GATT dapat dilihat secara keseluruhan sebagai suatu
sistem yuridis, dan suatu bagian dari studi mengenai hukum internasional (public
international law) maupun sebagai studi khusus mengenai international trade law23 .
Dalam perkembangannya, ada pula teks persetujuan lainnya dalam GATI
yang merupakan bagian integral dari sistem yuridis GATT walaupun teks lainnya yang
bersifat code hanya mengikat pihak peserta perjanjian khusus tersebut. Di samping itu
ada pula perjanjian khusus yang merupakan penyimpangan besar dari prinsip-prinsip
GATT tetapi diterima oleh GATT karena pertimbangan pragmatis, yakni antara lain
perjanjian di bidang pertanian.
Walaupun penguasaan GATT memerlukan suatu pengertian pula dari segi
yuridis, namun tentunya GATT tidak dapat dilihat hanya dari kaca mata yuridis.
Menggarisbawahi pertimbangan "pragmatis" tersebut, karenanya pendekatan Analisa
Ekonomi pada Hukum atau the Economic Analysis of Law sebagai pisau analisis
dalam penelitian ini dipandang sesuai topik tujuan tinjauan yuridis yang akan
dilaksanakan. The Economic Analysis of Law sebagai pisau analisis digunakan untuk
22
H.S. Kartadjoemena, Op.cit., hal. 105.
23
Khusus mengenai hukum internasional tentang treaties, lihat antara lain Clive Parry,
The Law of Treaties, Manual of Public International Law, ed. by Max Sorensen (Hongkong:
the MacMillan Press Ltd, [reprint], 1978), p. 175-245. Lihat juga J.L. Brierly, The Law of
Nations, (Oxford: Claredon Press, [reprint], 1972), p. 317-45.
20
membedah permasalahan yang terangkum dalam suatu kerangka konseptual berikut
ini.
1.4.2 Kerangka Konseptual
Globalisasi di Bidang Hukum
Sejalan dengan tema penelitian suatu tinjauan yuridis, kerangka konseptual
digunakan untuk menggambarkan hubungan antara konsep-konsep hukum dalam
fenomena globalisasi berikut di bawah.
Pertama, mengenai fenomena globalisasi, oleh Lodge dengan tepat dikatakan
"Globalization is the process where the world's people are becoming increasingly
interconeccted in all facets of their lives, cultural, economic, political, technological,
and environmental. A major impetus of globalization is the ever increasing flow or
information, money, and goods throug multinationel corporation"
Kedua, dalam era globalisasi ini, hukum nasional tidak hanya berisi atribut
karakteristik lokal saja seperti konstitusi, ideologi, alam maupun adat istiadat tetapi
mau tidak mau juga beradaptasi dengan berbagai perkembangan internasional, yang
tersurat dan tersirat dalam berbagai instrumen internasional, seperti: konvensi,
deklarasi, ataupun resolusi.
Ketiga, adaptasi terhadap kecenderungan global tersebut dilakukan dengan
melalui ratifikasi konvensi internasional dengan undang-undang maupun keputusan
presiden. Menurut Muladi dalam makalahnya yang berjudul "Menjamin Kepastian,
Ketertiban, Penegakan, dan Perlindungan Hukum dalam Era Globalisasi", hal ini tidak
bertentangan dengan tujuan nasional kita, karena ikut serta menciptakan ketertiban
dunia merupakan salah satu pilar tujuan nasional. Di samping itu secara doktriner di
ajarkan bahwa traktat internasional merupakan salah satu unsur hukum yang diakui,
24
George C. Lodge, Managing Globalization in the Age of Interdependence, (San
Diego, Pfeifer & Co, 1995), hal.18.
21
selain undang-undang, yurisprudensi, doktrin dan hukum kebiasaan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum internasional merupakan bagian dari
hukum nasional 25 .
Adaptasi (ratifikasi) konvensi internasional dalam konteks globalisasi ke dalam
hukum nasional ini amat penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Karena
dengan turut meratifikasi, maka Indonesia akan memperoleh perlindungan hukum
dalam hubungan antar bangsa. Seperti dimaksudkan keikutsertaan Indonesia dalam
WTO akan memungkinkan Indonesia melakukan penyelesaian masalah perdagangan
internasional melalui mekanisme Dispute Settlement Body, yang akan dibahas lebih
lanjut.
GATT sebagai Sistem Globalisasi Perdagangan
Apa yang sebenarnya diniatkan oleh GATT - WTO? Mengapa organisasi
perdagangan dunia ini hendak membentuk "satu dunia" 26 dengan negara-negara
anggota yang saling bergantung satu sama lain melalui perdagangan internasional?
Pertanyaan ini sebenarnya mewakili persoalan apa yang dimaksud dengan era pasar
bebas dan mengapa Indonesia "mau tidak mau" menerima pembukaan pasar dalam
negerinya dan harus bersiap sedia ikut bersaing dengan negara-negara lain, serta
mengadaptasi "aturan main" GATT ke dalam kebijakan dan aturan hukum nasional?
Saat pertama kali diterapkan pada 1 Januari 1948 perdagangan multilateral
diatur dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang menjadi
25
Zudan Arif Fak.rulloh, "Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial Indonesia
dalam Kancah Trends Globalisasi", dalam WC?jah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya
llmiah lvfenyambut 70 Tahun Prof DR. Satjipto Rahardjo, S.H., (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2000), hal. 51.
26
Di era 1990-an, globalisasi pemikiran tersebut menebar pengaruh ke berbagai
negara. Kita seperti tersentak menjumpai keseragaman pemikiran dan analisis dari ekonom
yang sedemikian kuat mempengamhi pemerirttahan, publik, akademisi, maupun media. Seakan
dunia yang sangat majemuk ini, tak ada pilihan lain, selain deregulasi, liberalisasi dan
privatisasi, dianggap panacea, "one fits all".
22
kesepakatan berlaku secara ad interim agreement atau bersifat sementara, yang
terdiri 38 pasal dan hanya mengatur perundingan perdagangan multilateral dengan
tujuan memfasilitasi perdagangan internasional 27 .
Kini, GATT yang telah beralih wujud menjadi WTO mempunyai aspek luas
yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang cukup efektif berjalan selama
40 tahun ini. Secara ringkas GATT-WTO mempunyai fungsi utama sebagai forum
bagi
para
anggotanya
untuk
melakukan
perundingan
perdagangan
serta
mengadministrasikan semua hasil perundingan dan peraturan-peraturan perdagangan
.Fungsi yang berjalan sebagai lembaga internasional terdiri dari 28 :
1. Perjanjian lnternasional. General Agreement on Tariff and Trade sebagai
perjanjian merupakan instrumen formal yang memberikan batasan maupun
ruang gerak GATT yang melembaga. Perjanjian tersebut mengikat untuk
semua negara peserta, merupakan dokumen legal yang mempunyai legal
intensity atau kadar yuridis yang cukup tinggi, dan menjadi pegangan untuk
bergerak sebagai lembaga internasional.
2. Forum Pengambilan Keputusan. GATT sebagai forum konsensus negaranegara anggotanya mengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan
bersama, di mana Contracting Parties berfungsi sebagai otoritas puncak
dalam pengambilan keputusan.
3. Forum
Penyelesaian
Sengketa. Adanya perjanjian formal
yang isinya
mengikat, maka GATT menyediakan forum penyelesaian sengketa yang
apabila terjadi pelanggaran hak dan kewajiban negara anggota.
4. Forum Negosiasi. GATT menyelenggarakan serangkaian perundingan formal
untuk
meningkatkan
perdagangan
dunia
melalui
upaya
mengurangi
hambatan-hambatan terhadap perdagangan dunia, baik berupa tarif maupun
27
Ministry of Industry and Trade of Republic of Indonesia, WTO dan Perdagangan
Dunia, The WTO-Related Information Sharing System, http://wto.dprin.go.id/application, 2
Desember 2003.
28
H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 78-79.
23
non-tarif. Perundingan yang meluas ini dikenal sebagai Putaran Perundingan
Perdagangan Multilateral (rounds of multilateral trade negotiations).
5. Forum Pemantauan Perkembangan Perdagangan Dunia. Sejalan tujuan
GATT adalah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, yakni kegiatan
perdagangan internasional. Karena itu GATT juga merupakan forum untuk
mengadakan review tentang perkembangan masalah di bidang perdagangan
dunia serta kebijaksanaan-kebijaksanaan makro-ekonomi maupun sektoral
negara-negara anggota yang mempunyai dampak terhadap perkembangan
dalam perdagangan internasional.
6. Organisasi dan Sekretariat lnternasional. Dalam perjalanan sejarahnya, GATT
telah
menjadi
suatu
organisasi
internasional,
dengan
memusatkan
kegiatannya pada penerapan aturan main yang telah disepakati, menyediakan
mekanisme
untuk
penyelesaian
sengketa,
dan
menyediakan
fasilitas
negosiasi, baik dalam perluasan akses ke pasar, ataupun penyempurnaan
dan pengembangan aturan permainan dirasakan perlu.
Dalam preambule GATT, dinyatakan bahwa negara yang menyetujui perjanjian
berniat berikut29 :
"Recognizing that their relation in the fields or trade and economic endeavor
should be conducted with view to raising standards of living, ensuring full
employment and large steadily growing volume of real income and effective
demand, developing the full use of resources of the world and expanding the
production and exchange of goods."
"... being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal
and mutually advantageous arrangements directed to the substansial reduction of
tariffs and other barries to trade and to ellimination of discriminatory treatment in
international commerce.
29
Ibid, hal. 117.
24
Skema 1-1 Komponen GATT sebagai Sistem: Fungsi, Instrumen, dan Produk30
Fungsi
Instrumen Pelaksanaan
Produk
GATT sebagai Perjanjian lnternasional: Bertindak sebagai
juridical body yang menangani
substansi perjanjian GATT sebagai sistem terdiri dari serangkaian aturan main yang tercantum dalam perjanjian GATT
Teks perjanjian berfungsi sebagai
pegangan formal operasi GATT.
Sekretariat GATT
melakukan
kegiatan teknis dalam menganalisis segi yuridis dari perjanjian,
keputusan dan kebijaksanaan
yang berlaku. Bila ada sengketa
mekanismen penyelesaian sengketa merupakan instrumen untuk
menyelesaikan sengketa mengenai aspek yuridis yang dihadapi.
Pengelolaan dan pengadministrasian aturan main yang
tercantum dalam perjanjian
GATT.
GATT sebagai Forum Peng- Mekanisme sidang Contracting
ambilan Keputusan: Bertindak Parties merupakan
instrumen
sebagai lembaga atas nama se- awal untuk pengambilan keputusmua anggota untuk menentukan an yang kemudian dikembangkan
keputusan dan kebijaksanaan rnelalui instrumen lainnya yang dibersama yang berlaku secara beri pelimpahan wewenang untuk
multilateral. Keputusan diambil memutuskan keputusan yang mesecara konsensus melalui me- merlukan kesepakatan politis ankanisme yang dikembangkan tara negara peserta perjanjian sesecara pragmatis sejak 1947.
cara kolektif. (Council of Representatives, Committee, working
groups dsb).
Keputusan dan kebijaksanaan bersama yang memerlukan kebijaksanaan dan kensensus politis.
GATT sebagai Forum Penyelesaian Sengketa: Bertindak
sebagai pengelola teknis mekanisme penyelesaian sengketa
yang dikembangkan berdasarkan perjanjian GATI.
Perjanjian GATT memungkinkan
adanya lembaga penyelesaian
sengketa yang telah mengembangkan prosedur yang semakin
lengkap untuk melakukan penyelesaian sengketa secara sistematis.
Keputusan yang dapat disetujui bersama antara pihak
yang bersengketa.
GATT sebagai Forum Nego- Sebagai sistem, GATT merupasiasi: Bertindak sebagai penye- kan mekanisme untuk mencapai
lenggara dan pengelola proses tujuan bersama melalui negosiperundingan yang sifatnya luas asi. Mekanisme yang paling utadan dikenal sebagai rounds of ma untuk mengadakan negosi-asi
multilateral trade negotiations secara luas adalah mekanis-me
(MTN).
rounds
of multilateral trade
negotiations yang berfungsi sebagai mekanisme utama negosiasi.
Perjanjian dan keputusan
penting untuk melakukan liberalisasi perdagangan dunia
dalam bentuk penurunan tarif, penghapusan hambatan
non-tariff, perubahan aturan
GATT yang memerlukan penyesuaian dan perubahan
dalam perjanjian GATT.
GATT sebagai Organisasi Internasional: Bertindak sebagai
pelaksana operasional dari perjanjian GATT dan keputusan
bersama dari GATT sebagai
lembaga internasional.
Penciptaan aparatur internasional yang dapat bertindak
secara institusional dan kontinu menunjang keputusan
bersama anggota GATT secara kolektif.
30
Dengan semakin banyaknya hal
yang harus dilakukan secara terpadu maka mekanisme GATT sebagai organisasi internasional
adalah adalah adanya sistem kelembagaan yang mulai dengan sidang-sidang Contracting Parties
telah mengembangkan GATT sebagai organisasi internasional.
Ibid., hal. 100-101.
25
Fungsi
Instrumen Pelaksanaan
Produl<
GATT sebagai Sekretariat Internasional: Bertindak sebagai
pelaksana teknis dan organisatoris semua kegiatan yang dikehendaki oleh negara anggota.
Kegiatan GATT yang semakin
berbentuk institusional memerlukan mekanisme permanen untuk
melakukan pelaksanaan kegiatan
secara terpadu dan permanen.
Sekretariat semakin berfungsi sebagai aparatur resmi langsung
menunjang
semua
kegiatan
GATT.
Penciptaan iklim operasional
yang mantap dan kontinu,
sistem penunjang yang dapat
bertindak secara teknis dan
manajerial, menunjang kebutuhan
negara
anggota
maupun anggota GATT secara kolektif.
Meskipun tujuan akhir GATT adalah untuk meningkatkan tingkat hidup atau
kesejahteraan penduduk dunia, berupa:
•
peningkatan tarat hidup;
•
menjamin terciptanya pekerjaan;
•
volume pertumbuhan terus menerus besar pada pendapatan riil dan
permintaan efektif;
•
pembangunan sepenuhnya sumber daya di dunia;
•
pengembangan produksi dan perdagangan
Namun tujuan dekatnya adalah untuk mengurangi sejauh mungkin hambatan
baik melalui tarif bea cukai, mengurangi hambatan-hambatan perdagangan lainnya
dan menghindari diskriminasi dalam perdagangan dunia.
Seperti telah disinggung di atas, bahwa bagi masyarakat Indonesia, berbagai
proses perundingan serta prinsip yang melatarbelakangi Putaran Uruguay yang
akhirnya melahirkan GATT-WTO belum banyak diketahui secara luas. Antara lain
tentang prinsip-prinsip dan aturan perdagangan antarbangsa pada dasarnya terdiri
dari lima prinsip pokok 31 :
1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favored Nation Treatment
- MFN) atau azas non diskriminansi: prinsip ini diatur dalam pasal I GATT
yang mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani GATT31
Ibid, hal. 109-114.
26
WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua anggota WTO. Suatu
negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda
kepada suatu negara dibanding lainnya.
2. Pengikatan Tarif (Tariff Binding): prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994,
suatu
ketentuan yang mengikat negara-negara anggota supaya tidak
meningkatkan bea masuk terhadap barang-barang impor setelah memasukan
di daftar bea masuk atau tarif masing-masing negara.
3. Perlakuan Nasional (National Treatment): prinsip ini diatur dalam pasal Ill
GATT 1994, yang melarang perbedaan perlakuan (non diskriminasi) antara
barang asing (impor) dan barang dalam negeri, yang berarti pada saat barang
impor telah masuk pasaran dalarn negeri suatu anggota, dan setelah melalui
daerah pabean serta membayar bea masuk (bila ada), maka barang impor
tersebut tidak boleh diperlakukan tidak adil daripada produk dalam negeri,
seperti: pungutan dalam negeri, undang-undang dan persyaratan lainnya yang
mempengaruhi penjualan dan distribusi.
4. Proteksi hanya Melalui Tarif: prinsip ini diatur dalam pasal XI, yang
mengizinkan proteksi terhadap industri atau hasil dalam negeri hanya dapat
diperlakukan melalui tarif atau bea masuk terhadap barang impor, dan tidak
boleh dengan cara pembatasan lainnya.
5. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam aturan GATT juga mengandung
konsensus untuk persaingan yang adil (fair competition). Karena ada
kecenderungan peningkatan pemberian subsidi terhadap produk ekspor serta
terjadinya dumping, senantiasa menimbulkan masalah dalam GATT. Untuk
menghadapi dumping dan subsidi ekspor, negara impor diberikan hak untuk
mengenakan anti dumping duties dan countervailing duties sebagai tindakan
balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor. Aturan ini dituangkan pada
teks dalam perjanjian GATT maupun pada Anti Dumping Code dan Subsidies
Code (pasal VI GATT 1994) 32 hasil Putaran Perundingan Tokyo (Tokyo
Round).
32
Guna memenuhi kewajiban sebagai anggota WTO, Indonesia telah melaksanakan
ketentuan yang terdaput dalam Pasal 18.5 Agreement on the Implementation of Article VI of the
GATT 1994 dan Pasal 32.6 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures yaitu
27
Skema 1-2 GATT sebagai Forum Negosiasi33
Forum Perundingan
I.
GATT menyelenggarakan Putaran Perundingan Perdagangan Multilateral secara berkala
2.
dengan tujuan untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui liberalisasi.
Sejak 1948 telah dilaksanakan 8 rangkaian Putaran Perundingan atau Trade Rounds of
Negotiations.
Forum Penyelesaian Sengketa
I.
2.
3.
Prosedur Perjanjian GATT sebagai sumber ketentuan mengenai sengketa.
Prosedur Tokyo Round bagi negara peserta Code.
Prosedur Safeguard untuk bidang Pe11anian bagi negara Peserta.
Perjanjian GATT
General Agreement of Tariffs and Trade sebagai sumber aturan permainan.
Perjanjian Tokyo Round sebagai tambahan bagi negara peserta Code dalam perjanjian
tersebut.
3. Hasil Uruguay Round.
4. Agreement on Agriculture untuk bidang Pertanian bagi negara peserta.
1.
2.
Prinsip Dasar GATT
I.
Non-diskriminasi.
2.
3.
National Treatment.
4.
5.
6.
7.
Tarif sebagai Instrument Tunggal
Persaingan Adil.
Larangan terhadap Restriksi Kuantitatif.
Waiver dan Langkah Darurat Membatasi lmpor.
Perkecualian non-diskriminasi untuk perjanjian regional.
menyampaikan notifikasi peraturan-peraturan mengenai Anti Dumping Duties dan
Countervailing Duties sebagaimana terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 34/1996 tanggal 4
Juni
1996, Keputusan Menteri Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
136/MPP/Kep/6/1996 tanggal 4 Juni 1996 mengenai Komite Anti Dumping Indonesia, dan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 172/MPP/Kep/7/1996 mengenai
Organisasi dan Prosedur Operasi dari Tim Operasional Anti Dumping. Notifikasi Indonesia
tersebut diatas disampaikan pada tanggal 22 Agustus 1996 dan terdapat dalam Dokumen WTO
dengan No. G/ADP/N/1/IDN/2 dan G/SCM/N/1/IDN/2 tanggal 23 September 1996.
"Indonesia telah menyampaikan Notifikasi Peraturan Nasional di bidang Anti Dumping dan
Suhsidi." http:l/w\vw.geocities.com/WallStreet/4081/hotsubsidi.htm, 12 Nopember 2003.
33
H.S. Kartadjoemena, Op.cit. hal. 95.
28
Dalam sistem GATT, walaupun telah ditanamkan prinsip-prinsip sebagai
fondasi keseluruhan struktur GATT - selain prinsip-prinsip utama - terdapat pula
perkecualian, yang diatur dalam pasal XX.
Skema 1-3 Prosedur Penyelesaian Sengketa34
Konsultasi
Negara anggota dapat meminta dibentuk Panel
bila dalam 60 hari tidak ada penyelesaian
r-------'
Dispute Settlement Body (DSB)
Membentuk Panel sel&mbatnya Sidang ke-2 DSB
Terms of Reference dan Komposisi Panel
dengan Pihak
DSB mengadopsi
Laporan Panel
.-------'
Panel menyerahkan Laporan
kepadaDSB
N aik banding ke
Appellate Review
DSB memantau implementasi keputusan Panel dan/atau
Appellate Body
Pihak Sengketa merundingkan Jenis Kompensasi
DSB memberi otorisasi
untuk Retalisasi
Persoalan yang mengemuka bagi GATT, pada masa kim dan untuk masa
depan adalah, perlu dijaga prinsip umum yang berlaku tetap menjadi dasar,
34
Ibid., hal. 157.
29
sedangkan perkecualian -
yang merupakan penyimpangan -
tetap menjadi
perkecualian dengan tidak dibiarkan menjadi praktek umum.
Apabila hal itu tidak terjaga maka sistem GATT yang berlaku akan semakin
dianggap tidak adil dan dengan demikian GATT dan organisasi penggantinya, WTO
akan mengalami kemerosotan efektifitasnya, lebih banyak dilanggar daripada hal
yang dipatuhi. Pandangan ini, oleh John H. Jackson dikatakan:
'Two problems that repose behind every international obligation, whether
customary or positive (treaty originating) are the twin ones of how to achieve a
reasonable degree of compliance and how to settle dispule about it. ,Js
GATT sebagai sistem yuridis, aspek penyelesaian sengketa juga merupakan
bagian penting di dalam forum WTO, yang sama penting adanya forum negosiasi.
Kedua kegiatan GATT terse but tetap bersumber pad a perjanjian GATT sebagai
instrumen dasar termasuk: (a) penjelasan mengenai isi perjanjian, dan (b) mekanisme
penerapan aturan permainan yang telah disepakati 36 .
Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO
Bagi Indonesia, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam
rangka
pembangunan
nasional
untuk
membentuk
manusia
Indonesia
yang
berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui ketersediaan pangan yang cukup, aman,
bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan
terjangkau oleh daya beli masyarakat (Peraturan Pemerintah Rl No. 68 tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan).
Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks
pembangunan nasional di negara-negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda
35
John H. Jackson, World Trade and the Law of GATT: A Legal Analysis of the
General Agreement on Tariffs and Trade, (Charlottesville: Va, The Michie Company Law
Publishers, 1969), p. 163.
36
H .S. Kartadjoemena, Op. cit.. hal. 106.
30
yaitu: (a) salah satu sasaran utama pembangunan, dan (b) salah satu instrumen
utama pem bangunan e konom1-37 .
Sebab itu pula, Indonesia sebagai negara berkembang yang memiliki
komitmen mengembangkan sistem ekonomi pasar dengan diberlakukannya Undangundang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The
World Trade Organization, sejauh apa kesiapannya dan bagaimana pemahaman
aparat pemerintahan, masyarakat dan pelaku usaha. Apalagi ini menyangkut perut
lebih dari 200 juta penduduk.
Dalam sistem ekonomi pasar yang "liberal kapitalistik" seperti ini, maka sangat
penting untuk menjaga "aturan permainan" demi kelangsungan persaingan yang
sehat, misalnya karena terjadinya monopoli ataupun monopsoni, serta mengurangi
sebanyak mungkin distorsi yang timbul, kalau tidak mekanisme pasar akan keropos,
dan ekonomi akan runtuh nasional maupun internasional. Pertanyaannya, siapa yang
harus menjaga persaingan?
Pada tingkat internasional, seperti telah disinggung, pengawasan persaingan
dan sengketa antar negara dilakukan melalui mekanisme penyelesaian sengketa
(Dispute Settlement Body) yang akan menjangkau level negara, dan secara tidak
langsung pelaku-pelaku usaha di dalam suatu negara termasuk yang berkaitan
dengan perdagangan pertanian global.
Pada tingkat pasar domestik atau nasional, peran itu ada pada negara. Dan hal
ini sellarusnya harmonis dengan kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan
sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk.
Akses
37
P. Simatupang, Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka
Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional. (Bahan
diskusi "Round Table" Kebijakan Pangan dan Gizi di \trasa Mendatang. Kantor Menpangan
dan Holtikultura, Jakarta, 23 Juni 1999.)
31
terhadap pangan dalam jumlah yang memadai merupakan hak azasi manusia yang
harus selalu dijamin uleh negara bersama masyarakat.
Penelitian ini, secara khusus akan meninjau salah satu perjanjian dalam GATT
khususnya di Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture), baik dari substansi,
implementasi, dan mekanisme dalam Forum WTO, serta implikasinya terhadap
kebijakan Indonesia, terutama berkaitan der.gan Ketahanan Pangan sebagai syarat
keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang kreatif dan produktif dan
sebagai determinan penting dalam mendukung lingkungan perekonomian yang stabil
dan kondusif bagi pembangunan nasional.
Sebelumnya perlu ditetapkan definisi tentang pangan, meliputi makanan dan
minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan, baik produk primer maupun olahan
(Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan). Pangan bukan berarti hanya
komoditas tanaman pangan, apalagi jika hanya terbatas pada beras saja. Komoditas
pangan juga berasal dari hasil tanaman hortikultura serta perkebunan, dan produk
peternakan serta perikanan; termasuk hasil industri pengolahan pangan. Dengan
demikian, pada saat membahas isu pangan, tidaklah tepat kalau terfokus hanya pada
komoditas sumber karbohidrat saja. Namun demikian, dapat dimengerti kalau
perhatian diberikan pada komoditas beras, karena beras merupakan bahan pangan
pokok strategis terutama salah satu produksi sektor pertanian.
GATT menetapkan produk pertanian seperti tertuang dalam Annex 1
Agreement on Agriculture, produk pertanian yang merujuk pada definisi sistem
harmonisasi tidak hanya produk pertanian dasar, seperti: gandum, susu, dan ternak
hidup; termasuk produk turunan seperti: roti, mentega, dan daging; serta diperluas
32
produk yang diproses lainnya seperti: coklat, saus, anggur, dan tembakau, katun,
wool, sutera, dan bahan kulit, tidak termasuk ikan maupun produk kehutanan. 38
Negosiasi
bidang
pertanian
walaupun
porsinya
hanya
10,5%
dalam
perdagangan dunia 39 , merupakan tema terpenting bagi negara berkembang. Sektor
pertanian, seperti di Indonesia negara yang sedang berkembang, perannya sangat
krusial sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja. Sementara bagi negara
maju, proteksi masih mempunyai bobot politik yang cukup besar40 .
Perjanjian GATT di bidang Pertanian, masih kontroversial, karena seperti telah
dikemukakan setiap aturan utama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban disertai
pula dengan perkecualian. Dengan demikian, liberalisasi produk pertanian dalam
sistem GAIT tertanam bib it kontroversi karen a terbuka kemungkinan timbulnya
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban di antara negara anggota.
Setiap kali ada ketidakseimbangan maka ada hal yang dianggap tidak adil.
Dalam suasana yang kontroversial pihak yang kuat selalu mempunyai peluang yang
lebih besar untuk menentukan penyelesaian sepihak daripada yang lemah. Sehingga
menimbulkan keadaan yang tidak jelas menempatkan pihak yang lemah dalam
keadaan kurang menguntungkan 41 . Ketidakadlian ini secara eksplisit menimbulkan
resistensi terhadap neo-liberalisme semangat GAn yang berlaku sa at ini.
38
World Trade Organization, Agriculture- explanation of agreement- introduction,
http://www.wto.org/english/tratop e/agric e/ag introOI intro e.htm, 15 Desember 2003.
39
World Trade Organization, Loc.cit.
°
4
Kamar Nainggolan, Pertanian Pasca Cancun, Peluang Negara Berkembang,
http://www.kompas.com, 25 September 2003.
41
Aturan permainan yang terlalu ketat, secara praktis berisiko akan terlalu banyak
negara yang akan melanggar, karena menghadapi kesulitan untuk mematuhinya. Sebaliknya,
jika aturan permainan terlalu longgar banyak perkecualian, prinsip-prinsipnya yang kabur,
akan timbul kctidak adilan diantara mereka yang mematuhi dan mereka yang menggunakan
perkecualian prinsip tersebut. Oleh karenanya, GATT diselenggarakan dengan pendekatan
33
1.5 Metode Penelitia n
Kerangka teori dan kerangka konseptual tersebut dikembangkan untuk kajian
analisis guna memberikan jawaban efektifitas bekerjanya seluruh struktur institusional
hukum. Penelitian tesis ini, juga menggunakan metode pendekatan sosiologis hukum
(sociology of law). Metode pendekatan aspek yuridis yang berkaitan dengan usaha
untuk mencapai tujuan kebutuhan kongkret sosial-ekonomi dalam masyarakat.
Metode sosiologis hukum (sociology of law) dipergunakan untuk mendalami
hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat sekaligus menjelaskan efektivitas
hukum hasil penelitian. Oleh karena itu, mencakup: asas-asas hukum terutama pada
kaedah-kaedah
yang
berlaku,
diperbandingkan
kepada
ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangannya, dan dikaji perkembangannya melalui pendekatan
yang telah disebutkan sebelumnya.
Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan
sekunder, dikumpulkan dari sumber-sumber di lapangan dan kepustakaan,. Sumber
data primer terwakili dari pernyataan resmi pejabat-pejabat pemerintah, seperti dari
Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta didapat
melalui ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, dan perundangan-undangan yang
berlaku serta berhubungan dengan tema penelitian. Data sekunder diperlukan untuk
dapat memberikan penjelasan lebih lanjut, melalui kajian pustaka, berupa tulisan atau
pendapat para pakar, yang berkaitan dengan tema dan tujuan penelitian.
pragmatis yang mengedepankan prinsip umum namun membolehkan adanya perkecualian,
didampingi prasyarat tertentu yang harus dipenuhi, dan dalam banyak hal harus mendapatkan
kesepakatan bersama atau consensus. Baca lebih lanjut: Oliver Long, Law and Its Limitations
in the GATT Multilateral Trade System, (Dordrecht: Martinus Nijhoff, 1987), hal. 8-11.
34
1.6 Sistematika Penulisan
Selanjutnya hasil penelitian dituangkan dalam tesis, yang terdiri lima bab ini,
merupakan penelitian perkembangan Perjanjian di bidang pertanian (Agreement on
Agriculture - AoA) - WTO di Indonesia, yang terkait dengan ketahanan pangan.
Pembahasan atas aspek-aspek yuridis dibatasi pada hal-hal yang pokok saja,
terutama
bagaimana
perkembangan
kebijakan
dalam
bentuk
peraturan
dan
perundang-undangan di bidang produk pertanian di Indonesia dalam konteks WTO.
Hal ini selain untuk menghindari melebarnya pembahasan, secara teknis pun
cakupan ketentuan operasionalnya yang tersebar luas di pelbagai sektor tidak
memungkinkan untuk di bahas satu persatu dalam tulisan ini. Maka tesis ini
dimaksudkan sebagai salah satu sumber informasi atau wacana mengenai implikasi
Perjanjian di bidang pertanian di dalam forum WTO yang saat ini pun masih banyak
menimbulkan perdebatan, yang harapannya dapat dikembangkan atau disusul oleh
penelitian lain yang lebih lanjut nantinya.
•
Bab I Pendahuluan: memaparkan aspek yang melatar-belakangi tema
penelitian; perumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat penelitian;
kerangka teori dan konseptual; metode dan sistematika penelitian.
•
Bab II Paradoks dalam Liberalisasi Perdagangan WTO mengemukakan
aspek yang selama ini terlupakan sebagai pertimbangan dalam rangka
keterlibatan Indonesia di WTO, padahal aspek ini merupakan substansi
permasalah yang melekat pada suatu kebijakan yang berkaitan dengan
perjanjian internasional, antara lain: sejarah pasang surut paham liberalisme
klasik hingga perkembangan neo-liberalisme; kesenjangan yang ditimbulkan
akibat liberalisasi perdagangan, hidden agenda dari negara-negara maju.
•
Bab Ill Mengkaji Perkembangan Perjanjian di Bidang Pertanian WTO:
membahas hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan liberalisasi
pertanian era WTO, mulai dari aspek perjanjian, peluang dan tantangan
negara-negara berkembang, dan implementasinya di Indonesia.
35
•
Bab IV Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO: membahas
tentang kebijakan ketahanan panngan dan perberasan; upaya ketahanan
pangan; dan strategi pengendalian impor.
•
Bab V
Kesimpulan dan Saran Kebijakan Mendatang: pada bab akhir ini
akan disampaikan suatu kesimpulan saran-saran mengenai kebijakan
mendatang.
36
Bab 2
Paradoks dalam Liberalisasi Perdagangan WTO
2.1 Substansi WTO adalah Neo-Liberalisme
"Premis free trade jangan dijadikan suatu novelties atau kegandrungan
baru terhadap zaman keemasan perdagangan bebas, periode laissez-faire 18141914 ... Berkaitan dengan ini pula, dalam perspektif saat ini memandang masa
depan, kita bangsa Indonesia yang pada masa laissez-faire yang lampau hanyalah
obyek eksploitasi liberalisme-kapitalistik tunduk di bawah pemerintahan
kolonial... Tetapi kali ini kita telah menjadi bangsa merdeka dan negara
berdaulat bersama berbagai bangsa merdeka lainnya, akankah juga dapat
menikmati basil dari liberalisasi pasar dunia?"
Sejak awal, mulai dari Konferensi Bretton Wood tahun 194442 semangat yang
terus menjiwai dan menjadi karakter dalam evolusi gagasan dan perundingan GATT
hingga mewujudnya WTO, adalah prinsip free trade atau liberal trading regime. Hal ini
kita ketahui dari substansi yang tidak pernah lepas dalam pembicaraan arah tujuan,
perkembangan selama ini, yakni untuk menerapkan sistem perdagangan terbuka,
transparan, dan akomodatif terhadap mekanisme pasar.
Layaknya suatu perjalanan - secara harfiah, free trade bukan tujuan GATT sehingga negara-negara yang tidak sepenuhnya menerima paham free trade dapat
turut serta menikmati perjalanan tanpa harus menyatakan bahwa eksplisit tujuan free
42
Pasca Perang Dunia II, dalam Konferensi Bretton Wood, dalam waktu relatif singkat
masyarakat internasional menyetujui didirikannya Dana Moneter Internasional atau
International Monetary Fund (IMF). Demikian pula dalam rangka rencana untuk rekonstruksi
bagi negara-negara yang mengalami kerusakan akibat Perang Dunia, telah didirikan
International Bank for Reconstruction and Development Bank (IBRD). Secara bersamaan pada
tahun 1944 juga didirikan Bank Dunia atau World Bank yang ditandatangani di Bretton Wood.
Hanya untuk masalah yang menyangkut perdagangan dunia, sejarah berjalan lain. ITO
(international Trade Organization) semula diharapkan dapat disetujui untuk diciptakan agar
menangani masalah perdagangan dunia, seperti halnya IMF menangani masalah moneter
internasional, IBRD dan World Bank menangani masalah pembiayaan pembangunan. Karena
pertimbangan politis, terutama Kongres Amerika Serikat tidak dapat menyetujui, maka
terdapat kekosongan institusional pada tingkat internasional dalam bidang perdaganngan.
Dengan demikian, GATT- yang semula merupakan suatu perjanjian interim - menjadi satusatunya instrumen di bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus yang luas untuk
menjadi landasan dalam pengaturan tatacara perdagangan internasional. H.S. Kartadjoemena,
OJJ.cit .. hal. 34.
37
trade harus tercapai 43 . Ataupun, free trade dapat dipersepsikan sebagai proses
perdagangan internasional bukan hasil. Maka, pragmatisme fr\3e trade melekat pada
GATT, karena sifat keluwesan diperlukan agar dapat menghindar dari benturan yang
menimbulkan perpecahan. Untuk itu, irnpikasinya perlu disikapi secara rasional, tidak
apriori, dengan mengedepankan kajian empiris komprehensif. Dan implementasi
dalam kebijakan nasional perlu disertai benchmarking dengan perkembangan yang
terjadi pada beberapa negara anggota maupun bukan anggota.
Premis free trade jangan dijadikan suatu novelties atau kegandrungan baru
terhadap zaman keemasan perdagangan bebas, periode laissez-faire 1814 - 1914.
Periode selama satu abad, masa di mana perdagangan dunia berjalan diatas paham
liberalisme klasik mencapai kemakmuran seperti yang diidamkan.
Praktis liberal klasik, setiap negara secara khusus menempatkan produksi
yang memiliki keunggulan komparatif ke dalam kegiatan perdagangan ekspor,
dibandingkan dengan mitra dagangnya. Serta membebaskan dari campur tangan
pemerintahan dalam perdagangan, aturan permainannya diserahkan sepenuhnya
pada invisible hand mekanisme pasar. Oleh Ellsworth, perkembangan periode 18141914, digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
"From the vintage point of the mind-twentieth century, there can be no doubt that
the nineteenth, or more accurately the hundred years betweeen the Napoleonic
Wars and World War I (1814 - 1914) constituted a unique period in many
respects. From our focus of interest, it stands out as the century during which
deliberate governmental regulation of trade gave way to regulation by market
forces. Nations became free to specialize in production according to dictates of
relative costs, and did so. A large and constantly growing volume of international
trade linked the various regions of the world into a smoothly functioning, integrated
economy of global scope". 44
43
Ibid. hal. 117.
44
PT. Ellesworth, The International Economy, 3'd ed. (New York: the Macmilan
Company, 1964), p. 199.
38
Gambaran faktual menunjukkan bahwa perdagangan bebas pada abad ke-19 ini menjadi benchmark yang diidamkan 45 - telah menimbulkan laju pertumbuhan yang
pesat dibandingkan periode merkantilisme abad sebelumnya 46 , memberikan banyak
keuntungan dan kemakmuran yang terutama dinikmati oleh bangsa Eropa, tidak oleh
bangsa lain seperti di Asia dan Afrika. 47 Paradoks ini, oleh para ilmuwan Barat, tidak
pernah diungkap dalam sejarah ekonomi, yang notabene menjadi premis yang
diidamkan atau dicita-citakan terwujud kembali pada masa kini dan mendatang.
Gairah liberalisme klasik yang menggeser paham merkantilisme timbul dari
hasil terobosan pemikiran Adam Smith melalui karyanya The Wealth of Nations yang
45
Secara makro, angka dan bukti empiris menunjukkan bahwa sistem perdagangan
bebas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara yang terlibat dalam
kegiatan pada masa laissez-faire itu. Dan kini menjadi patokan pembanding yang diidamkan
terjadinya lagi di masa mendatang. namun ka!i ini dalam konteks global.
Abad pertengahan, paham merkantilisme mendominasi persepsi ekonomi dan politik
dalam kurun tahun 1500 hingga 1750, bercirikan menghendaki peningkatan kekuasaan
pemerintahan nation state di bawah kekuasaan raja bersifat absolut. Sehingga penguasaan
politis melalui militer di bawah raja, dikerahkan untuk penguasaan ekonomi maupun
perdagangan wilayah kolonialisasi yang lebih luas dengan tujuan untuk memperoleh sumber
daya. Paham merkantilisme ini dalam berbagai segi membawa kemakmuran bagi negaranegara kolonialis, karena persepsi dasarnya bersifat konfliktual, memandang statis terhadap
pertumbuhan ekonomi; regulasi kegiatan ekonomi yang berlebihan; kekuasaan yang
monopolitis cenderungan korup; maka dianggap tidak stabil, dan a-historis menghambat sistem
ekonomi dan perdagangan yang koheren dengan kehidupan asasi individu anggota masyarakat.
Di sinilah benih kegagalan merkantilisme berkembang, tidak mampu menghadapi tantangan
zaman gerakan masyarakat kelas menengah, pengusaha kapitalis, dan golongan lain.Lihat,
pada awal Abad ke-19, pada waktu perang Napoleon, Hindia Belanda pernah diduduki oleh
Inggris, di mana Sir Stamford Raffles pernah menjadi Lt. Gubemur Jenderal Inggris di Jawa.
Pada waktu itu, Raffles sebagai penganut paham liberal berupaya mempercepat proses
peralihan dari merkantilisme perdagangan dengan memantapkan praktek liberlisme dalam
kebijakan pemerintah kolonialis lnggris di Pulau Jawa. Lebih lanjut baca: C.E. Wurtzburg,
Raffles ofthe Eastern Isles, (Singapore: Oxford University Press, 1990), p. 184-400.
46
Keuntungan dan kesejahteraan sepanjang zaman keemasan periode liberal pada abad
kc-19 itu yang hanya dinikmati oleh bangsa Eropa, sedangkan terutama bagi bangsa Asia dan
Afrika perkembangan itu tidak banyak berarti kecuali pengalaman kolonialisasi dan imperialis,
dan dirampas sumber dayanya oleh nafsu kaum liberal-kapitalistik. Masa itu, bangsa dan
wilayah Asia-Afrika dieksploitasi dan dikuasai secara politik dan ekonomi sebagai jajahan
negara-negara Eropa.
47
39
diterbitkan pada tahun 177648 . Jika secara cermat kita pahami, pandangannya
terhadap perdagangan tidaklah seratus persen liberal, yakni:
"Setiap pengusaha sebaiknyalah berusaha sekeras-kerasnya, mengikuti naluri
alamiahnya, yaitu membuat keuntungan usaha yang sebesar-besarnya demi
kepentingan pribadinya (individualisme). Sesuatu kekuatan gaib (invisible hand
atau invisible brain), nantinya akan mengatur pasar tersebut sehingga tidak hanya
pengusaha secara pribadi mendapatkan keuntungan besar, tetapi juga konsumen
dan seluruh masyarakat akan mendapat keuntungan secara keseluruhan
(sosialisme)". 49 .
Pandangan Adam Smith itu, meski agak kontroversial jika tidak dibaca atau
dipikir dengan sabar dan teliti .. Namun, telah membuka pola pikir mengatasi hambatan
paham merkantilisme. Suatu peningkatan perdagangan terjadi. apabila suatu negara
mengkhususkan pada bidang yang memiliki keunggulan absolut, agar memberikan
keuntungan sebesar-besarnya dalam perdagangan. Suatu kekuatan gaib positif,
nantinya akan mengatur perdagangan tersebut sehingga tidak hanya pelaku usaha
akan mendapat keuntungan, masyarakat dan pemerintah secara keseluruhan tujuan
perdagangan. Kemudian oleh David Ricardo di tahun 1817, dipertajam konsepsinya,
bahwa dalam perdagangan internasional, dimungkinkan adanya pertukaran produkproduk yang memiliki keunggulan komparatif di antara masing-masing negara. 50
Melalui perjalanan sejarah yang panjang dan pasang surut paham liberalisme
(Lihat Tabel 11-1 ), pad a tahun 1980-an, liberalisme diredifinisikan kembali oleh
Friederich von Hayek ekonom dari Universitas Chicago AS, dan mahasiswanya Milton
48
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, (New
York: Modern Library, 1937).
49
Iskandar Alisjahbana, "Perlu Didukung Pembaruan Mata Kuliah Evolusi ", Harian
Kompas (28 Juni 2003): 34.
50
David Ricardo, Principles of Political Economy and Taxation dalam The Works if
David Ricardo, (London: John Murray, 1817).
40
Friedman 51 . Sejalan dengan itu di AS, pada masa kepresidenan Ronald Reagan, dan
lnggris di bawah Margaret Thatcher, mereka mengadopsi kebijakan politik dan
perdagangan internasional ke sistem neo-liberalisme, dan didistribusikan melalui
wahana institusional IMF, World Bank, termasuk WT0 52 .
Tabe12-1 Sejarah Sistem Perdagangan Dunia 1500- 1995 53
Peri ode
1500- 1750
Keterangan
D
Merkantilisme
D
D
D
D
1815-1914
Zaman Keemasan
Liberalisme Klasik
D
D
D
D
D
1918 - 1941
D
Fragmentasi
Perdagangan Dunia
D
Kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk mendukung pemerintahan
nation state yang kuat di bawah kekuasaan raja.
Regulasi dan retriksi yang ketat oleh pemerintah
Monopoli oleh pemerintah hampir disemua usaha
Pemupukan kekayaan untuk membiayai armada militer AL., guna
mendukung ekspansi koloni teritorial
Kolonialisasi dan imperialisme untuk menguasai sumber daya dan
teritori ekonomi.
Perdagangan diserahkan pada mekanismen pasar, dan bursa komoditi.
Deregulasi lalulintas modal, melalui perbankan, asuransi.
Pengembangan pelayaran, deregulasi imigrasi.
Menerapkan sistem pembayaran internasional gold standard sebagai
cadangan devisa.
Memusatkan perdagangan pada bidang yang memiliki keunggulan
komparatif lebih daripada mitra dagangnya.
Peningkatan proteksionisme, adanya kebangkitan nasionalisme Eropa
yang agresif dan konfrontatif serta ekspansi ke dua di wilayah Afrika
dan Asia, disertai regulasi yang ketat dalam urusan imigrasi.
Terjadi dua Perang Dunia dan depresi besar di AS pada tahun 1930~n.
D
D
1945 - 1989
D
Pasca Perang Dunia
D
D
Restriksi dan regulasi meningkat dalam lalulintas modal, dan devisa.
Saling relatiasi dalam mengatasi krisis ekonomi (beggar-thyneighbor policy).
Tajamnya persaingan antara Rusia dan AS, negara-negara Marxis dan
Non-Marxis, atau negara-negara Pakta Warsawa dan Nato ..
Kesenjangan dan perbedaan kepentingan antara negara-negara Utara
dan Selatan atau negara maju dan berkembang.
Terbentuknya sistem moneter dan pembayaran internasional yang
teratur dan bebas melalui IMF.
51
Khudori, Cancun dan Masa Depan
http://www.republika.eo.id/, 24 September 2003.
Neo-Liberalisme,
Harian
Republika
52
A.F. Elly Erawaty, Globalisasi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam
kumpulan karya ilmiah A.\pek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum
Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, tim editor Ida Susanti dan Bayu Setio,
(Bandung, Citra Aditya Bakti dan PH-Universitas Katolik Parahyangan, 2003), hal. 17-23.
53
H.S. Kartadjocmcna, Op.cil. hal. 11-12.
41
Keterangan
Periode
0
0
0
0
1990Pasca Perang Dingin
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Terbentuknya kerjasama pembiayaan pembangunan dan
perekonomian melalui IBRD dan Bank Dunia.
Crisis energy pada tahun 1970 akibat boikot minyak dari negaranegara Arab sebagai perlawanan terhadap Zionisme.
Pada tahun 1970-an era Presiden Nixon, AS melepaskan keterkaitan
nilai tukar dolar denr,an sistet'l cadangan emas.
Pada tahun 1980-an dikumandangkan paham neo-liberalisme di AS
oleh Presiden Ronald Reagan dan di Inggris oleh Margaret Thatcher,
gaungnya melalui IMF, dan Bank Dunia ..
Runtuhnya regim Marxis-Lenin di seluruh dunia, pecahnya Uni
Sovyet kurun tahun 1989-1991.
Terwujudnya GATT-WTO di tahun 1994.
Meningkatnya blok-blok perdagangan, a.l. UE, APEC, AFTA, dsb.
Fenomena krisis moneter akhir masa 90-an di beberapa negara,
seperti wilayah ASEAN, Mexico, Brasil, dsb.
Persaingan dagang dan ekonomi di antara negara-negara rnaju.
Kesenjangan antara negara-negara maju dan negara berkembang yang
semakin curam.
Fenomena tumbuhnya negara industri baru (new industrial contriesNICs). ternyata cenderung ersatz capitalism atau kapitalisme semu
yang menghasilkan buble economics pertumbuhan ekonomi melalui
yang deregulasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan yang
dipaksakan.
Menurunnya pangsa dan harga-harga prodt:k pertanian primer dalam
perdagangan dunia.
Aksi pengemboman yang meruntuhkan Gedung Kembar WTC, New
York pada 11 September 2001, simbol perlawanan terhadap liberalkapitalistik dan keadidayaan AS.
Oleh ekonom dan ilmuwan dunia yang merindukan terwujudnya kembali zaman
keemasan liberalisas1 perdagangan seperti periode /aissez-faire dikemukakan dengan
teori neo-liberal disertai penjelasan faktual yang meyakinkan. Memang dari berbagai
sumber yang ada, diperoleh gambaran secara makro, angka dan bukti empiris
liberalisasi perdagangan menunjukan mampu meningkatkan laju pertumbuhan
perdagangan dan ekonomi, serta memberikan kemakmuran dan peningkatan
kesejahteraan bagi negara-negara yang terlibat dalam kegiatan masa itu.
Berkaitan dengan ini pula, dalam perspektif saat ini memandang masa depan,
kita bangsa Indonesia yang pada masa laissez-faire yang lampau hanyalah obyek
eksploitasi liberalisme-kapitalistik tunduk di bawah pemerintahan kolonial selama lebih
dari tiga abad. Tetapi kali ini kita telah menjadi bangsa merdeka dan negara berdaulat
42
bersama berbagai bangsa merdeka lainnya, akankah juga dapat menikmati hasil dari
liberalisasi pasar dunia?
2.2 Kesenjangan yang Terabaikan dalam Liberalisasi
Perdagangan
"Bila kesenjangan tersebut mulai dianggap sebagai sesuatu yang tidak
adil maka timbul resistensi terhadap sistem liberal yang berlaku".
Pada dekade 1980-an, perekonomian dan perdagangan dunia, mengalami
keadaan yang bernuansa de javu seperti pada situasi sistem liberalisme klasik pada
A bad ke-19 itu 54 (Lihat Tabel 11-2):
Tabel2-2 Nuansa De Javu antara Liberalisme Klasik dengan Neo-Liberalisme
Periode Laissez-Faire
Revolusi Industri di Inggris, adanya penemuan mesin uap mendorong pertumbuhan industri manufaktur, dan penciptaan kapal uap yang
memungkinkan untuk transportasi jaringan
perdagangan dunia maupun kolonialisme
yang lebih luas.
Dalam bidang informasi di Jerman di temukan
mesin cetak gutenberg yang bermanfaat- untuk
penyebaran informasi media cetak sampai saat
Menguatnya institusi serta instrumen keuangan dan perbankan peranannya di dalam sistem
finansial dan moneter dunia. Pasar uang di
London, peran Bank of England untuk menjamin integrasi sistem perbankan dalam Gold
Standard.
Deregulasi diberbagai bidang ekonomi dan
keuangan yang diterapkan era merkantilisme
sebelumnya, atas desakan masyarakat kelas
menengah, saudagar, dan ekonom liberalkapitalistik.
Periode Neo-Liberalisme
Perkembangan teknologi sedemikian pesat
terjadi disegala bidang, melampaui periodeperiode sebelumya, antara lain dalam bidang
transportasi pesawat terbang, perkapalan, otomotif dan industri manufaktur lainnya. Revolusi teknologi ini memacu pertumbuhan ekonomi dan perdagangan.
Perkembangan komputer dan internet serta
teknologi mass-media (broadcasting) telah diantisipasi akan membawa perubahan keterhubungan seketika antara individu-individu di
seluruh dunia, dalam konteks poleksosbud.
Peran dan pengaruh yang luas institusi serta
instrumen keuangan dunia, seperti World
Bank, IBRD, dan IMF. Pasar Modal di New
York (diikuti dengan Inggris, Jepang, Singapura) dan Bank Sentral AS, terutama setelah
AS era kepresidenan Nixon melepaskan Gold
Standard menjadikan dolar AS sebagai mata
uang yang paling berpengaruh di dunia.
Deregulasi diberbagai bidang ekonomi dan
keuangan yang diterapkan era inward looking
atau nasionalisme agresif tahun 1940 - 1970an sebelumnya, atas pengaruh Multinational
Corporations (MNCs), ekonom dunia, IMF
dan World Bank.
54
Lihat misalnya, Jeffrey Sach and Andrew Warner, Economic Reform and the Process
oj'(;/ohal Integration, (l JNC'T AD, Trade and Development Report, 2002).
43
Periode Neo-Liberalisme
Kegiatan perdagangan dan perekonomian
mencakup ke seluruh dunia dalam konteks
globalisasi, mengingat hampir semua negara
maju, negara berkembang dan miskin terlibat.
Kebijakan globalisasi perdagangan dan perekonomian mencakup seluruh dunia dikembangkan dalam konstelasi Structural Adjustment and Stabilization Program - IMF .
Lebih jauh, sistem ekonomi neo-liberalisme ini memperoleh legitimasi yang
Periode Laissez-Faire
Kegiatan perdagangan dan perekonomian
mencakup ke seluruh dunia dalam konteks
internasionalisasi, negara-negara yang terlibat
terkonsentrasi di beberapa negara Barat .
Kebijakan internasionalisasi perdagangan dan
perekonomian mencakup seluruh dunia dikembangkan dalam konstelasi kolonialisasi.
lebih luas di dunia ini, dengan kegagalan sistem sosialisme-komunisme sejalan
pecahnya negara Uni Sovyet dan kekuasaannya di beberapa negara Eropa Timur di
kurun 1989-1991, sekaligus menandai berakhirnya era Perang Dingin. Kalahnya
sistem sosialisme-komunisme menjadikan sistem ekonomi neo-liberalisme-kapitalistik
muncul sebagai pemenang tunggal, dan sejElk itu berlaku sebagai globalisasi ekonomi
sampa1. k"1n1-55 .
Secara fakta, liberalisasi dalam kegiatan ekonomi domestik dan internasional
telah meningkatkan kesejahteraan negara peserta. Pemahaman iri kita terima dalam
rangka mendukung teori ekonomi neo-liberalisme, yang diajukan berdasarkan buktibukti indikator dan data ekonomi oleh para ekonom dunia 56 . Namun demikian ada
satu hal yang menjadi paradoks, yakni: apakah keuntungan dan kemakmuran yang
55
Baca an tara lain, Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man ( 1992);
juga Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order
(1996).
56
Para ekonom (neo-liberal) dunia sering kali mengemukakan, bahwa perdagangan
bebas seperti diaspirasikan oleh globalisasi dewasa ini, yang didukung peran serta perusahaan
multinasional sebagai pelaku utama dalam mobilisasi kapital-investasi memenuhi hukum
permintaan dan penawaran secara teoritis menguntungkan dan membawa kebaikan bagi setiap
umat manusia. Logikanya, perdagangan bebas yang berlandaskan teori komparatif akan
meningkatkan volume perdagangan dunia, dan di setiap negara yang terlibat, di mana adanya
multiplier effect meningkat sehingga pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi negara
yang bersangkutan naik, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan per individu penduduk
negara itu. Selanjutnya, perdagangan bebas akan menumbuhkan iklim kompetisi yang sehat di
antara para produsen dalam merebut pangsa pasar, sehingga akan mendorong mereka untuk
melakukan efisiensi ekonomi, spesialisasi produksi, peningkatan kualitas, dan pada gilirannya
konsumen akan diuntungkan karena mempunyai banyak pilihan dengan kualitas setara dan
harga bersaing.
44
ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan tersebut memang secara nyata tersebar
secara adil dan menjangkau kepada individu-individu masyarakat di antara negara-.
negara di dunia ini dan di dalam masing-masing negara?
Dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ternyata dalam kurun
waktu yang sama, sejak tahun 1980-an kesenjangan kekayaan antara negara industri
maju dengan negara berkembang dan negara yang terbelakang justru semakin
curam 57 . Demikian pula halnya, kesenjangan pendapatan per individu antara mereka
yang menguasai faktor-faktor produksi dengan mereka yang tergolong hanya kelas
pekerja di dalam masing-masing negara juga bertambah besar. Melebarnya jurang
pemisah antara yang kaya dan yang miskin di berbagai negara tersebut justru
semakin
tajam,
seiring
dengan
semakin
tergesa-gesanya
negara-negara
itu
menerapkan liberalisasi perdagangan.
Tidaklah mengherankan adanya kelemahan-kelemahan itu menimbulkan
reaksi, yang oleh para aktivis buruh, dan lingkungan hidup sert2 mereka yang kritis
terhadap liberalisasi perdagangan, keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan ini
merupakan dampak dari kebijakan perdagangan bebas yang salah atau yang terlalu
tergesa-gesa dipaksakan di semua negara sementara kondisi ekonomi, sosial, politik,
dan faktor-faktor otonom 58 lainnya tidaklah sama.
Bila kesenjangan tersebut mulai dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil
maka timbul resistensi terhadap sistem liberal yang berlaku. Faktor ini pulalah dalam
sejarah perdagangan dunia tercatat sebagai awal keretakan sistem liberal Abad ke-
57
John Cavu.nagh (et.al), Alternatives Task Force of International Forum on
Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World is Possible, (USA:
Berret-Koehler Publisher, 2002).
58
Faktor otonom seperti di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya terutama
berkaitan dengan produksi di bidang pertanian seperti: penguasaan teknologi, luas tanah
garapan, tingkat pendidikan petani yang rendah, tingkat pendapatan, dan sebagainya.
45
19. Di samping faktor kesenjangan ekonomi yang langsung berkaitan dengan pelaku
ekonomi, ada pula faktor otonom yang berkembang pada akhir Abad ke-19 dan awal
Abad ke-20, muncul kembali akhir-akhir ini dengan hanya karena Amerika Serikat yang suka tidak suka - saat ini diakui sebagai satu-satunya negara adidaya, telah
menimbulkan nasionalisme serta regionalisme agresif baru. Hal-hal tersebut tentunya
sangat mempengaruhi kepada gerak - yang implisit terasosiasi dengan kepentingan
AS 59 - agar sistem perdagangan bebas dapat berkembang. Secara berangsur, dalam
periode terakhir seperti terjadi dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-5 WTO di ·
Cancun, Mexico pada bulan September 2003, ditemui beberapa hambatan dan
semakin jauh dari kepastian yang diperlukan karena timbulnya konflik politik dan
kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Klaim para ekonom liberalis, bahwa perdagangan bebas adalah cara paling
tepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ternyata juga banyak di bantah oleh
beberapa ekonom dunia. Suatu pernyataan yang paradoksal diutarakan oleh Dani
Rodrik mengatakan bahwa tidak ada bukti absolut dan meyakinkan mengenai
liberalisasi perdagangan selalu berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi,
sehingga tidak terbukti pula bahwa liberalisasi perdagangan adalah baik untuk
pembangunan manusia 60 . Ada beberapa fakta yang dapat menjadi dasar argumentasi
pernyataan
menerapkan
ini.
Vietnam,
reformasi
misalnya,
ekonomi,
sejak
tetapi
tahun
tidak
1980-an
dengan
secara
bijaksana
mengadopsi
kebijakan
perdagangan bebas, dan Vietnam juga bukan anggota WTO, namun ternyata
59
Meskipun mengasosiasikan globalisasi paham neo-liberalisme dengan Amerika
Serikat memang tidak sepenuhnya salah, namun pandangan ini dapat menyesatkan mengingat
banyaknya faktor yang memicu globalisasi ekonomi-perdagangan dan Amerika Serikat
bukanlah satu-satunya negara yang harus bertanggungjawab atas liberalisasi global tersebut.
60
Bruce Ross-Larson (ed), Making Global Trade Work for People, (UK: UNDPEarthscan Publication, 2003).
46
mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. 61 Sebaliknya, Argentina dan Haiti keduaduanya anggota World Trade Organization (WTO) menerapkan perdagangan bebas
secara komprehensif sejak 1990-an ternyata mengalami nasib buruk: pertumbuhan
ekonominya stagnan, kemiskinan meningkat, indikator sosial merosot, hutang luar
negeri meningkat, yang semuanya mengakibatkan instabilitas politik yang berpuncak
pada kerusuhan sosial dan pergantian presiden berkali-kali di Argentina dalam kurun
waktu 2000-2003. 62
Dernikian juga halnya di negara-negara industri maju sebagai pelaku utama
WTO, liberalisasi perdagangan dan ekonomi melaju bukan tanpa tantangan keras.
Organisasi buruh di negara ini dan aktivis lingkungan hidup adalah dua kelompok dari
sekian banyak kelompok yang paling keras mengkritik globalisasi ekonomi karena
dianggap
sebagai
penyebab
banyaknya
perusahaan
industri
manufaktur
merelokasikan pabriknya dengan membuka pabril< di negara-negara berkembang,
atau merupakan bagian dari sistem pemasaran, perluasan skala ekonomi usahanya
dan sekaligus upaya peningkatan keunggulan komparatif melalui pengsubkontrakkan
produksinya ke berbagai perusahaan di negara-negara berkembang itu. lni dilakukan
dalam rangka rasionalisasi dengan pertimb3ngan upah buruh yang lebih rendah serta
menekan serendah mung kin biaya produksi dan risi'<o social enviromental cost secara
keseluruhan di bandingkan membuka pabrik di negerinya. Akibatnya lapangan kerja
untuk para pekerja negeri maju semakin berkurang, yang berarti meningkatnya
pengangguran dan menurunkan kualitas hidup.
Mengingkari tujuan WTO sendiri, muncul kenyataan paradoksallainnya. bahwa
liberalisasi perdagangan secara embedded hanya menguntungkan perusahaan-
61
Ibid.
62
Sarah Anderson, Ar~entina and the !MF, dalam John Cavangh (et.al), Op.cit.
47
perusahaan multinational corporations (MNCs) atau sering juga disebut transnational
corporations (TNCs) yang notabene mayoritas berbasis di negara-negara industri
maju (Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan beberapa dari Korea Selatan), oleh
karena liberalisasi perdagangan mereka memperoleh legalisasi setidaknya kepastian
hukum melalui berbagai perjanjian WTO, untuk lebih bebas beroperasi menguasai
pasar di negara-negara berkembang.
2.3 Agenda di Balik Pengaruh Multinational
Corporations- MNCs
"Tidak boleh diingl<ari bahwa kchadiran mereka melaui aliran Foreign
Direct Investments (FDI) atau Pcnanaman Modal Asing (PMA) juga mcmberikan
keuntungan bagi negara-negara manapun yang dituju ... Keuntungan ekonomi ini
sewajarnya tidak menyilaukan mata hati nurani para pembuat kebijakan politik
pembangunan nasional di Indonesia ... Toh, kalau ada gejolak politik, keamanan
dan ekonomi serta pcrubahan iklim investasi yang dianggap tidak kondusif dan
menguntungkan lagi, mereka tinggal cabut dari negara yang semrawut ini, bagi
mereka nothing to loss it's just a business".
Sebagai salah satu pelaku utama perdagangan bebas era globalisasi ini adalah
perusahaan multinatational corporations. Keberadaan mereka pada tahun 2000 saja
mencapai jumlah lebih dari 50.000, peningkatan luar biasa pesat dibandingkan tahun
1970 yang baru sekitar 7000 63 . Dan sebagian besar di antaranya berdomisili di
negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang,
dan Korea Selatan. Sebagaimana umumnya bisnis, jejaringan (network) dan koneksi
mereka baik melalui asosiasi, lobby politik serta akses ke pemerintahan-pemerintahan
demikian kuat. Hubungan sirnbiosis mutualisme antara MNCs dan pemerintahan
terutama jika terkait dalam suatu kebijakan perdagangan dan perekonomian tak dapat
disangkal demikian besar. Bagaimana tidak kekayaan multinational coorporation
sangatlah besar bahkan ada beberapa di antaranya melebihi Anggaran Pendapatan
63
UNCT AD, World Investment Report 2001, (200 1).
48
dan Belanja Negara (APBN) negara-negara terbelakang di dunia 64 . Untuk tidak
mengatakan sebagai pesaing utama negara - karena kemampuan ekonomi riilnya
yang sedemikian besar - mereka dianggap sebagai asset nasional bahkan sebagai
pilar perekonomian suatu negara, seperti dikenal kebijakan yang merujuk istilah
Japan Incorporated, Indonesia Incorporated dan lain sebagainya 65 . Beberapa contoh
multinational corporations, misalnya Coca Cola, Nokia, Microsoft Inc. Sony, Dupont,
Mosanto, British Petroleum, Samsung, Time-Warner Bros, ICI, Toyota, dan banyak
lagi sampai Me Donald.
Tidak boleh diingkari bahwa kehadiran mereka melaui aliran Foreign Direct
Investments (FDI) atau Penanaman Modal Asing (PMA) juga memberikan keuntungan
bagi negara-negara manapun yang dituju. Kehadiran multinational corporations akan
membuka
lapangan
l<erja
baru,
meningkatkan
pendapatan
negara dari sisi
perpajakan, apalagi bila produksi mereka diorientasikan untuk pasar ekspor tentu
menguntungkan
bagi
perekonomian
secara
umum dan
penambahan
devisa
khususnya. Keuntungan ekonomi ini sewajarnya tidak menyilaukan mata hati nurani
para pembuat kebijakan politik pembangunan nasional di Indonesia.
Selayaknya air selalu mengalir i<e tempat yang lebih rendah, demikian pula
para pelaku usaha apalagi reputasi MNCs tersebut tentu memberlakukan azas
oportunitas, mereka akan memprioritas ke negara-negara yang menurut mereka
mempunyai posisi tawar (bargaining position) lebih rendah dipandang dari persepsi
keuntungan yang akan diperoleh nantinya. Suatu regim otoriter, zaman Soeharto
contohnya, era pemerintahan otoriter yang penuh dengan perilaku serakah, korup,
64
A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 18-20.
65
.Japan Jncorporaled istilah dibcrikan oleh mass-media untuk menyebut gencarnya
kebijakan politik perdagagangan dan perekonomian yang diintergrasikan dengan kebijakan
luar negeri pemerintah Jepang dalam rangka strategi pemasaran dan pengembangan investasi
dan produksi, istilah ini kemudian diadopsi pemerintahan Indonesia.
49
dan kolutif sangat menguntungkan bagi kepentingan pengembangan bisnis MNCs ini.
Karena aparat birokrat dan ekonom era Orba yang hipoKrit kapital-liberalistik mudah
diajak kongkalikong yang penting UUD (ujung-ujungnya duit) dapat lestari mengisi
kantong mereka. Toh, kalau ada gejolak politik, keamanan dan ekonomi serta
perubahan iklim investasi yang dianggap tidak kondusif dan menguntungkan lagi,
mereka tinggal cabut dari negara yang semrawut ini, bagi mereka nothing to loss it's
just a business. Seperti dicontohkan hengkangnya PT Primarindo Asia Infrastructure
(Reebok), PT Doson Indonesia (Nike), PT Avon Indonesia maupun PT Sony
Indonesia di tahun 2002 memperlihatkan betapa modal dapat seenaknya keluar
masuk sebuah negara demi mencari keuntungan yang lebih tinggi dari negara yang
mampu memberi berbagai kemudahan yany maksimal, termasuk juga menghindar
dari adanya gerakan buruh yang kuat.
Relokasi telah lama dipakai oleh MNCs untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya dengan harga serendah-rendahnya. Relokasi adalah dasar dari globalisasi
korporasi dan digunakan untuk memperlemah kemampuan industri nasional dan
memperlemah kaum buruh. Dalam relokasi terdapat prinsip fleksibilitas tenaga kerja
(labour flexibility) yang semakin menempatkan buruh dalam posisi yang serba lemah
berhadapan dengan pengusaha, lewat kerja kontrak jangka pendek, kerja paruhwaktu, pekerja sub-kontrak maupun pekerja rumahan. Globalisasi semakin merusak
standar perburuhan dan hak-hak buruh, dan hanya menekankan pada liberalisasi
investasi dan pembukaan pasar sebebas-bebasnya. Tidak hanya itu, dalam masalah
persengketaan dagang mereka bisa berupaya melalui berbagai jalan, antara lain
Dispute Settlement Body WTO, Badan Arbitrase lnternasional, sampai cara jalur
tekanan politik oleh pemerintah negara asalnya. Dan bila demikian reputasi negara
kita buruk, karena indeks country risk-nya tinggi, investor jadi enggan datang.
50
Banyak faktor yang mempengaruhi aliran foreign direct investments (FDI) ke
suatu negara, antara lain:
•
Pasar yang tersedia, tujuan pasar dan sifat produk. Apakah produksi
sebagai substitusi produk impor bagi kebutuhan dalam negeri atau dibuat
untuk pasar ekspor. Indonesia dalam hal ini, oleh investor asing dianggap
sangat menguntungkan sebagai pasar dalam negeri dari segi 200 juta
penduduknya, sekaligus lokasi pendirian pabrik untuk produksi ekspor dari
segi dari segi sumber daya alam, manusia dan letak negara.
•
Situasi ekonomi,
politik,
keamanan
sosial negara bersangkutan.
Di
beberapa negara terutama negara berkembang, tingkat upah buruh
seringkali dianggap sebagai salah satu keunggulan komparatif. Indonesia,
misalnya oleh investor asing faktor keamanan dianggap lebih penting dalam
menarik investasi asing.
Penulis pada bagian ini, ingin menyinggung secara khusus masalah liberalisasi
perdagangan di biuang pertanian, terutama keterkaitan Agreement on Agriculture
dengan salah satu isu baru yakni Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs) -
WTO yang sangat kontroversial 66 , dan posisi multinational
corporation (MNCs) sebagai pihak yang paling diuntungkan di dalam keseluruhan
konteks perjanjian WTO.
Negara maju mendesakkan usulan TRIPs - yang merupakan hidden agenda
pesan sponsor dari pelaku-pelaku MNCs - dengan menegaskan tiga keuntungan bagi
66
Pada bulan Oktober 1992, 500 ribu petani di negara bagian Karnataka, India
memulai gerakan Satyagraha Benih dengan melakukan demonstrasi menentang pemberlakuan
hak paten atas benih tanaman pertanian. Dalam unjuk rasa besar-besaran itu- dalam rangka
memprotes dan menentang perjanjian yang berkaitan dengan TRJPS- para petani mengatakan
bahwa perlindungan paten atas benih tumbuhan yang diberikan kepada perusahaan besar
memberikan hak monopoli ini akan memaksa petani India dan di Dunia Ketiga umumnya
membayar lebih mahal untuk benih, Shiva dalam M. BaummaP, et. a!., The Life Industry:
Biodiversity, People and Profits, (London: World Wide Fund for Nature and Swiss Aid,
1996) ..
51
negara berkembang, apabila mereka menerapkan perlindungan Hak atas Kekayaan
lntelektual, yaitu: 67
( 1). Peningkatan jumlah penanaman modal asing langsung atau foreign
direct investments (FDI);
(2). Peningkatan alih atau transfer teknologi; dan
(3). Peningkatan kegiatan penelitian serta pengembangan atau research and
development (R&D) di tingkat lokal.
Tetapi, dalam perspektif negara berkembang, hal itu belum tentu terbukti.
Sebaliknya pemberlakuan TRIPs justru dapat menimbulkan dampak negatif, seperti
misalnya terhadap kesehatan dan terhadap inovasi komunal seperti sering dilakukan
oleh para petani tradisionil dan suku-suku pedalaman.
Dalam konteks perdagangan internasional saat ini, suatu multinational
corporations tidak lagi hanya dapat menjadi pemegang paten penemuan-penemuan
baru di bidang teknologi industri yang lazim secara harfiah, kini mereka juga di
mungkinkan menjadi pemegang paten atas proses rekayasa "makhluk hidup".
Kepemilikan Paten atau Hak atas Kekayaan lntelektual (HaKI) benih atau varietas
unggul yang "dikembangkan" oleh multinational corporations yang bergerak di bidang
agroindustri akan merugikan para petani tradisional di Indonesia dan negara
berkembang lainnya. Mereka harus membayar mahal harga benih yang dibutuhkan,
serta mengurangi cadangan devisa 68 -yang sangat diperlukan bagi keperluan impor
67
C.M. Correa, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the
TRIPs Agreement and Policy Option, (London: Zed Books and Penang, Third World Network,
2000), p. 28.
68
Ada indikasi penguatan perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) akan
meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti.
Misalnya, laporan UNDP menyatakan bahwa sebagian besar paten di dunia dimintakan dan
dipegang oleh perusahaan yang berada di Amerika Utara, Eropa Barat atau Jepang. Hanya tiga
persen paten dunia yang dimiliki oleh inventor di negara berkembang. Situasinya lebih tidak
adil dalam hal hak paten.atas produk bio-tekonologi. Dari 25 ribu hak paten atas produk bio52
pada saat kesulitan pangan - melalui pembayaran royalti ke negara maju di mana
MNCs tersebut berada. Hal ini selain mengurangi pendapatan dan keuntungan petani,
karena meningkatnya biaya produksi otomatis menjadikan harga jual mahal, dan
masyarakat belum tentu mampu membeli 69 . Sehingga secara aggregate harga produk
pertanian tidak kompetitif terhadap harga impor.
Adanya keterbatasan akses dan rendahnya daya beli para petani tradisionil
untuk mendapatkan benih unggul, mengakibatkan ;:>roduktivitas menurun dan mereka
akan frustrasi sehingga berpaling ke produksi tanaman lainnya, atau bahkan
urbanisasi mencari kerja ke sektor lain di kota.yang dianggap lebih menguntungkan.
Pola perilaku petani (farmer behavior) kontraproduktif stereotipe di berbagai negara
berkembang, yang pada gilirannya mengancam produksi yang dapat mengurangi
cadangan pangan, sementara 200 juta lebih penduduk di Indonesia membutuhkan
cadangan pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan ini membuat
negara menjadi sangat bergantung pada pasokan impor yang belum tentu dapat
dipenuhi bila devisa untuk impornya tidak ada, semua mengovergensikan pada
masalah ketahanan pangan.
Liberalisasi perdagangan dengan jaminan dan kepastian hukum pada Hak atas
Kekayaan lntelektual (HaKI) seperti disyaratkan dalam perjanjian Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang ditekankan oleh negara maju,
akan menafikan keberadaan hak kolektif atau komunal atas benih atau genetic
teknologi di dunia pada 1990-1995, sekitar 93% dimiliki oleh AS, Jepang dan Eropa Barat.
Dari sisanya 1, 7% dimiliki Eropa bagian lain, 1,2% Australia, 0,6% Kanada, 1,1% China,
0,5% Israel, 0,8% Korea Selatan, dan 0, 7% dimiliki oleh negara sedang berkembang Lebih
lanjut: Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op.cit., hal. 25-31.
69
A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 31.
53
commons 70 yang dimiliki oleh para petani tradisionil sejak berabad-abad yang lalu.
Kemudian dapat menimbulkan kesenjangan dalam memenuhi rasa keadilan bagi
petani. Jika dilihat dari perkembangan hukum modern sebagai bagian konsep inti dari
pembangunan ekonomi (modern law is viewed in the core conception as a functional
prerequisite of an industrial economy) harus pula dikritisi mengingat tentang konsep
"kepemilikan pribadi" (private property) adalah inti sistem kapitalisme. Achmad Ali,
menyatakan bahwa:
"Kita jangan pernah mengabaikan konteks politik yang mewarnai kehadiran negara
modern sekitar 2 abad silam, yang saya maksudkan adalah faktor atmosfir politik
liberalisme. Fokus pemikiran liberal adalah kemerdekaan individu. Maka logis jika
positivisme yang dalam sejarahnya lahir dalam atmosfir liberalisme, tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas bagi masyarakat.
Sistem hukum, dalam paradigma positivisme, tidak diadakan untuk memberikan
keadilan bagi masyarakat, melainkan sekedar melindungi kemerdekaan individu.
Kemerdekaan individu itu senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma
positivisme berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatannya,
sistem hukum yang lebih menonjolkan kemerdekaan individu daripada pencarian
kebenaran dan keadilan telah "memakan" banyak korban, baik di negara asalnya
di Barat maupun di negara-negara yang menganut positivisme belakangan." 71
Dalam
kenyataannya,
studi
yang
dilakukan
oleh
Universitas
PBB
memperlihatkan bahwa perlindungan HaKI tidak memiliki peranan yang cukup
signifikan dalam mempengaruhi pola aliran foreign direct investments (FDI) dan
transfer teknologi 72 . Bahwa HaKI bukanlah penentu mutlak FDI juga dilaporkan oleh
UNCTAD pada tahun 1994. Laporan tersebut menyebutkan 90 persen FDI ke negara70
Genetic commons dapat diartikan sebagai the vast building blocks of all life on earth
atau aneka ragam mikroorganisme hayati yang ada di muka bumi ini yang keberadaannya
karena kemurahan alam dan sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun yang lalu serta
amat berguna bagi kehidupan seluruh umat manusia di muka bumi. Biasanya genetic commons
ini tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi secara komunal oleh masyarakat tradisional
atau suku asli tertentu. Lihat Vandana Shiva, From Commons to Corporate Patents on Life,
dalam John Cavanagh, Op.cit,
71
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta:
Ghalia, 2002, hal. 40-41.
72
C. Oh, Ten Questions on TRIPs, Technology Transfer and Biodiversity, (Penang:
Third World Network, http://www.twnside.org.sg/, 2 Desember 2003.
54
negara Asia Pasific terkonsentrasi hanya di negara-negara tertentu seperti China,
Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Berdasarkan data yang ada, lemahnya
perlindungan HaKI tidak berarti hambatan bagi FDI pada tingkat global. Bahkan
sistem HaKI dapat menghambat perkembangan riset domestik73 .
Sebaliknya negara-negara di mana perlindungan HaKI tidak kuat seperti Swiss,
Jepang dan negara-negara Asia ternyata mampu mengejar ketertinggalannya dalam
bidang teknologi. Tiadanya perlindungan HaKI yang kuat memberi kesempatan bagi
negara dan masyarakat di atas untuk membuat produk-produk yang mirip dan sejenis,
yang kemudian memacu perkembangan investasi dan dana riset 74 .
2.4 Dalam WTO, Negara Berkembang Pelaku atau
Pecundang
"Satu orang mati setiap 4 detik karena kelaparan, 24 ribu orang mati
setiap hari karena kelaparan atau karena penyakit yang berkaitan dengan
l<chtparan. Satu dari lima orang ui ncgara-ncgara bcrl<.cmbang mcngalami
kekurangan pangan secara kronis, kebanyakan dari mereka, perempuan dan
anal<-anak Di WTO, pcmhicaraan dan pcmhicaraan lagi tcntang pcrdagangan
pcrtanian mungkin tidak akan mcmpcringan kcccnderungan ini, tetapi malah
mcmpcrbcratnya, cclakanya para pcmbuat kcbijakan dan pcmimpin dunia
.iustru semakin tidak scnsitif tcrhadap pendcritaan itu. Fokus mereka tetap
bertahan pada keuntungan dari perusahaan agribisnis dan pasar-pasar global
yang dapat mereka buka".
Di sini kita akan menelaah liberalisasi perdagangan produk pertanian yang
dianggap sangat penting oleh banyak negara, terutama negara-negara berkembang.
Bidang pertanian di negara berkembang merupakan bagian dari keseluruhan aktifitas
ekonomi dan terus memainkan peran utama dalam produksi pertanian dan
ketenagakerjaan, juga akan membuka peluang diversifikasi pa'lgan 75 .
73
Hira Jhamtani dan Lutfiyah Hanim, Op. cit
74
Ibid
75
Kaman Nainggolan, Pertanian Pasca Cancun, Peluang Negara Berkembang,
http://www.kompas.cum, 25 September 2003.
55
Semua "aturan permainan neo-liberalisme" perdagangan dan perekonomian
yang tertuang dalam perjanjian GATT-WTO merupakan satu undertaking, artinya
semua negara anggota setuju menandatangani perjanjian-perjanjian GATT-WTO
sebagai satu kesatuan paket bukan terpisah sendiri-sendiri. 76 Karenanya bagi negara
peserta tidak dapat memilih perjanjian tertentu saja atau yang mana saja yang akan
diikuti secara parsial. Hal ini bagi negara berkembang - entah disadari atau tidak bagai memilih buah simalakama. Suatu keuntungan- waktu yang akan membuktikan
- bahwa perjanjian di bidang tekstil dan pertanian - dua bidang yang sangat penting
bagi negara berkembang - yang dahulu sebenarnya "terpisah" dari paket GATT, kini
menjadi satu bagian dalam WTO, sehingga semua negara anggota termasuk negara
maju menjadi terikat pada perjanjian itu. Sebaliknya suatu kerugian bagi negara
berkembang yang umumnya belum siap, namun dipaksakan untuk segera siap
menjadi terikat juga pada perjanjian-perjanjian yang memuat isu-isu baru yang
kontroversial (karena implikasi sebenarnya sangat luas selain ekonomi-perdagangan
mencakup pengetahuan, teknologi, sosial, adat-budaya, dan keanekaragaman hayati)
karena
lebih
banyak menguntungkan
negara maju dan membebani
negara
berkembang, misalnya perjanjian tentang Agreements on Trade in Services (GATS),
Trade Related Aspects of Investment Measures (TRIMs) dan Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Seorang diplomat dari Kenya, Thomas Ogada, mengatakan bahwa negara
berkembang diundang mengikuti Putaran Uruguay hanya untuk ikut bersama-sama
mencincang Dunia Ketiga. Hal ini karena kekuatan tawar menawar antara negara
maju dan negara berkembang pada serangkaian putaran perundingan GATT, hingga
Putaran Urugay tidak seimbang. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa pada akhirnya,
76
A.F. Elly Erawaty, Op.cit.,. hal. 13.
56
negara berkembang menerima usulan negara maju untuk mengkaitkan perdagangan
internasional dengan perlindungan HaKI dalam bentuk TRIPs, setelah sebelumnya
menolak 77 .
Satu orang mati setiap 4 detik karena kelaparan, 24 ribu orang mati setiap hari
karena kelaparan atau karena penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. Satu dari
lima orang di negara-negara berkembang mengalami kekurangan pangan secara
kronis, kebanyakan dari mereka, perempuan dan anak-anak 78 ..
Di WTO, pembicaraan dan pembicaraan lagi tentang perdagangan pertanian
mungkin tidak akan memperingan kecenderungan ini, tetapi malah memperberatnya,
celakanya para pembuat kebijakan dan pemimpin dunia justru semakin tidak sensitif
terhadap penderitaan itu. Fokus mereka tetap bertahan pada keuntungan dari
perusahaan agribisnis dan pasar-pasar global yang dapat mereka buka.
Banyak penelitian pun telah menyimpulkan bahwa peraturan perdagangan
yang timpang telah memperparah kelaparan dan kemiskinan di pedesaan. Selain
mempertahankan tuntutan keadilan dan hak untuk mempertahankan diri mereka dari
impor pangan bersubsidi yang dikirim ke negara mereka, perunding dari negaranegara berkembang juga berjuang pertarungan dari meja perundingan yang diduduki
Am erika Serikat, Uni Eropa dan anggota-anggota kelompok Cairns. 79
77
Martin Khor, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia
Ketiga,(Jakarta: Gramedia dan KONPHALINDO, 1994). Hal. 13
78
Aileen Kwa, Negosiasi Pertanian WTO Dirancang Untuk Memperparah Kelaparan
Di Dunia, http://www.focusweb.org/ publications/bahasa-indon esia/, 12 [Jesember 2003.
79
Dalam perundingan di Cancun baru-baru ini, posisi-posisi negara WTO terpolarisasi
antara Amcrika dan Kelompok Cairns (Australia, Sclandia Baru, Canada, Argentina, Brazil,
Costa Rica, Malaysia, Thailand, Chili dan lain-lain) di satu pihak melawan Uni Eropa dan
negara-negara berkembang di lain pihak. Lebih lanjut: Ibid..
57
Hingga satu dekade sejak Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) didirikan,
janji liberalisasi perdagangan dunia masih jauh dari harapan. Realisasi sangat
berbeda dengan retorika, dan wacana yang ada didalamnya pun masih banyak
diperdebatkan. Sama halnya terhadap liberalisasi perdagangan produk pertanian.
Sejak 1 Januari 1995 suatu Agreement on Agriculture (AoA) diberlakukan, untuk
menciptakan perdagangan hasil pertanian yang fair, predictable dengan cara
penghapusan
subsidi,
serta
membuka
akses
pasar dengan
memperhatikan
kepentingan pembangunan negara-negara miskin dan berkembang yang sampai saat
ini masih bergantung pada impor pangan (net importir/ 0 . Ternyata pelaksanaannya
masih berlangsung beberapa perbedaan konsensus yang mendasar, terutama
menyangkut perbedaan kepentingan antara negara-negara Utara dan Selatan.
Bagi negara-negara berkembang tuntutan suatu perlakuan khusus dan
berbeda (Special and Differential Treatment - S&D) merupakan bag ian integral dari
seluruh aspek perundingan WTO. Pertama karena adanya kekhawatiran suatu negara
yang bergantung pada impor pangan akan menghadapi goncangan. Hal lain yang
ditakutkan dalam pembukaan pangan secara global adalah akan meningkatkan
kompetisi suplai pangan antara konsumen kaya di negara-negara maju lawan ·
konsumen di negara-negara berkembang.
Sistem perdagangan pertanian memainkan peranan sangat penting dalam
ketahanan pangan dunia, sebagai contoh masalah kekurangan pangan yang bersifat
sementara ataupun kegagalan panen karena gangguan musim dan lainnya, akan
80
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Rl, WTO dan Sistem Perdagangan
Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djk;pi/wto.htm, 15 Desember 2003.
58
dapat dipenuhi dari perdagangan dunia. Dalam hal ini, impor pangan menjadi vital
terhadap ketahanan pangan, ada dua hal yang penting untuk dikaji 81 :
(I). Kapasicas untuk mempertahankan impor pad a tingkat yang dikehendaki;
dan
(2). Kepercayaan bahwa negara tersebut akan tetap akses terhadap impor,
sebagai suatu ketentuan minimum access opportunitl 2.
Risiko ketergantungan pangan internasional terhadap ketahanan pangan
muncul manakala impor tidak tersedia atau menjadi mahal pada saat diperlukan,
misalnya dihambat oleh embargo. Sejarah mengungkapkan negara eksportir sering
melakukan embargo ekspornya demi kepentingan dalam negerinya ataupun sebagai
alat penekan politik, misalnya 83 :
•
AS pernah melakukan embargo kedelai tahun 1973 dan 1975 sehingga
harga kedelai melonjak.
•
Negara-negara Eropa membatasi ekspor serialia (kuantitatif kontrol atau
pajak) tahun 1995-1996, gun a melindungi konsumen dalam negeri mereka.
•
Pangan dipakai sebagai senjata politik, dan senjata strategis untuk
berbagai
alasan
seperti
HAM,
lingkungan
hidup,
sehingga
akan
memunculkan ketidakpastian suplai dari impor.
•
Embargo internasional akan lebih efektif lagi manakala di dalamnya
dimasukan pangan.
81
Ibid.
82
Kewajiban kepada suatu negara untuk memberikan minimum access opportunity,
yakni kewajiban untuk membuka kesempatan bagi negara-negara mitranya dapat mengekspor
ke negara bersangkutan. Bagi Indonesia, dalam rangka mencapai swasembada beras dan
membangun ketahanan pangan, maka kewajiban memberikan kesempatan minimum access
yang sebesar 70.000 ton per tahun merupakan beban. Dan pada giliran Bulog sebagai State
Trading Entity (STE) harus memenuhi kewajiban yang bersifat notifikasi, serta dalam kegiatan
operasional untuk mengimpor harus mengikuti ketentuan non-diskriminasi. H.S.
Kartadjoemena, Op.cit. hal. 243.
83
M. Husein Sawit, Op.cit, hal. 10-1 I.
59
Sementara itu, meski volume ekspor bidang pertanian meningkat secara
substansial pada satu dekade terakhir ini, angka pertumbuhan ini jauh tertinggal
dibanding produk manufaktur, al hasil bidang pertanian semakin mengecil porsinya
dalam komoditi perdagangan dunia. Pada tahun 1998, bidang pertanian tercatat
hanya 10,5% dari total komoditas perdagangan dunia - jika perdagangan jasa
dimasukan ke dalam perhitungan, porsi bidang pertanian turun menjadi 8,5%.
Bagaimanapun,
kepentingan
perdagangan
dunia
di
bidang
pertanian
tetap
dikedepankan bersama sektor-sektor lainya, seperti produk-produk: pertambangan,
otomotif, kimia, tekstil, dan garmen atau besi dan baja.
Di antara produk pertanian yang diperdagangkan, produk pangan mencapai
80% dari keseluruhan. Sisanya adalah bahan mentah dalam kategori produk
pertanian. Sejak tahun 1988, perdagangan produk pertanian yang telah diproses dan
bernilai tinggi telah dikembangkan dengan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan
dengan produk primer seperti gandum, beras, dan sebagainya 84 .
Persaingan perdagangan produk pertanian dunia yang semakin kompetitif dan
bergeser dari jenis produk primer ke produk pangan yang diproses dan bernilai tinggi.
Dan produksi pangan kini semakin terkonsentrasi di sejumlah negara maju, seperti
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Uni Eropa. Sehingga menjadi
sangat strategis bagi negara-negara maju menguasai pasar, baik dari kepentingan
ekonomi maupun politik 85 . Di sub-sektor pangan itulah, negara berkembang semakin
dimarjinalkan menjadi sangat bergantung pada impor pangan. Kenyataan sejak tahun
1990-an, petani dari negara berkembang mengalami pukulan akibat membanjirnya
84
World Trade Organization, Loc. cit.
85
M. Husein Sawit, Kegagalan Perundingan Pertanian WTO di Cancun: Peluang atau
Ancaman buat Ekonomi Rakyat?, http://www.ekonomirakyat.org/edisi 20/artikel 4html, 12
Nopember 2003.
60
produk dari negara maju, yang disebabkan kalah bersaing harga terhadap harga yang
lebih murah dari produk pertanian negara maju itu.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, import pangan ke negara-negara
berkembang semakin menggelembung, sedangkan ekspor dari negara-negara
berkembang tidak bertambah. Pada tahun 1995-1997, jumlah ekspor negara-negara
berkembang ke pasar dunia hanya 26 persen dari total perdagangan pada tahun
1995-1997, kira-kira jumlahnya sama dengan tahun 1980. Sementara jumlah impor
negara-negara berkembang yang hanya 28 persen pada tahun 1970-an melonjak
sampai 37 persen pada tahun 1997. Peningkatan import bahkan nyata dialami oleh
negara terbelakang atau Least Developed Countries (LDCs) dan negara-negara
berkembang tergantung pada pangan impor atau Net Food lmportir Developing
Countries (NFIOCs). Antara awal tahun 1980-an dan 1997, impor pangan untuk
negara-negara LOCs meningkat 50 persen (dari 3,9 milyar dollar menjadi 6 milyar
dollar), dan 40 persen bagi 19 NFIOCs, dari 9.3 milyar dollar menjadi 13 milyar
dollar86 .
Oefisit pangan di negara-negara berkembang meningkat. Negara-negara
berkembang bukan saja semakin tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka, tetapi neraca impor pangan mereka yang semakin meroket juga
menjadi
beban
utama.
Khusus
Indonesia,
salah
satu
negara
berkembang,
pertumbuhan sektor pertanian kita turun 2,3% pertahun, sub-sektor pangan merosot
0,5% per tahun. Padahal sektor ini memegang peran sekitar 60% GOP pertanian atau
8% GOP sub-sektor pangan tahun 1994. Indonesia bergeser dari negara net food
exporter terdesak menjadi net food importer. Pada periode1998-2000, Indonesia·
86
Aileen Kwa, Loc.cit.
61
mengimpor pangan (net importer) sekitar USD 863 juta/tahun, padahal periode 198991 mengekspor pangan (net exporter) sekitar USD 418 juta/tahun 87 .
Hampir semua produktivitas komoditi pangan menurun, paling tidak stagnan,
seperti yang terjadi pada beras, jagung, kedelai, gula, seiring dengan penurunan
harga komoditas pangan di pasar internasional. Tingkat Ketergantungan lmpor (TKI)
untuk semua komoditas pangan penting meledak hampir dua kali setelah 1998,
gandum di urutan ke 6 terbesar dari 10 komoditas impor terbesar Indonesia, lainnya
berupa barang modal, bahan kimia, dan sebagainya 88 .
Bukti-bukti empiris yang
terjadi pada sektor pertanian setelah Perjanjian di bidang pertanian- WTO umumnya
dan
structural adjustment
khususnya
ditawarkan
oleh
IMF
tersebut
cukup
mencemaskan.
Hal ini terjadi selain karena Indonesia membuka pasar secara radikal, juga
rnengurangi bantuan atau subsidi petaninya. Sedangkan peningkatan impor pangan
sendiri terus dirangsang oleh 89 :
•
Pertama, J<ebutuhan dalam negeri yang amat besar;
•
Kedua, harga di pasar internasional yang rendah;
•
Ketiga, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi;
•
Keempat, adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir; dan
•
Kelima, kapasitas impor pangan sangat bergantung pada harga pangan
dunia, kuota impor atau "dibolehkan atau tidak" impor, dan nilai tukar serta
ketersediaan devisa ..
Kondisi yang sama dialami oleh sebagian besar negara berkembang lainnya.
87
M . H us em
. Sa wit,
. L oc, czt. ..
88
Ibid.
89
Siswono Yudho Husodo, Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu
Kebutuhan Bagi lndonesia,http://www.ekonomirakyat.org/edisi 18/mtikel 3htm,17 Desember
2003.
62
Negara-negara berkembang semakin hari tergantung pada impor pangan
terutama bahan-bahan pokok. padi-padian menyumbang paling tidak setengah
pemasukan kalori penduduk di negara berkembang, sementara produk padi-padian
semakin bergerak ke arah negara-negara Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) 90 dan beberapa negara berkembang, seperti Brazil dan
Argentina. Persoalannya diperburuk dengan kenyataan bahwa padi-padian dan
bahan-bahan pokok kunci seperti gandum, kedelai, jagung, paai dan juga produkproduk sehari-hari paling banyak disubsidi oleh pemerintah negara-negara OECD dan
kemudian dijual ke negara-negara berkembang. Komoditas tersebut juga dikuasai
oleh perusahaan-perusahaan agrobisnis yang berasal dari negara-negara Utara, baik
di negara-negara maju atau berkembang. Beberapa perusahaan-perusahaan raksasa
yang sama yang menguasai perdagangan padi-padian di Amerika Serikat yang juga
beroperasi di Brazil, Mexico dan Argentina.
Meningkatnya kebutuhan pangan negara-negara berkembang pada pasar
internasional dan meningkatnya kesenjangan pasar dunia sangat mengkhawatirkan.
Hanya 2 persen jumlah penduduk yang menjadi produsen pertanian di Amerika
Serikat, dan 5 persen di Uni Eropa, sementara 75-80 persen di Cina, 77 persen di
Kenya, 67 persen di India, dan 82 persen di Senegal bergantung pada pertanian
untuk penghidupan dan menjadi sumber hidup mereka 91 .
FAO menyimpulkan bahwa meningkatnya perdagangan tidak akan cukup
mengurangi kemiskinan. Karena orang miskin dan pangan tidak terjamin di negara90
OECD atau Organization for Economic Cooperation and Development dahulu
dikenal sebagai Organization for European Economic Cooperation (OEEC) suatu perjanjian
pada tahun 1978 antar pemerintahan-pemerintahan anggota untuk mendukung kerjasama di
bidang kredit ekspor dan operasi bank exim, yang terdiri negara-negara Eropa, AS, Jepang, dan
Selandia Baru, Jerry M. Rosenberg, Dictionary of International Trade, (New York, John Wiley
& Sons, Inc., 1994), p.215.
91
Aiken K wa, /,oc.cit.
63
negara berkembang, akses ekonomi akan terjamin hanya bila mereka memproduksi
pangan sendiri atau memiliki alat ekonomi untuk membeli, yang dalam keadaan
ekonomi mereka saat ini harus berasal dari peningkatan produksi pertanian dan
2.5 Liberalisasi Menelikung Konstitusi Indonesia
" ... diungkapkan bahwa tanpa sepengetahuan publik, maka konstitusi pun
kini mulai mengalami proses liberalisasi. Amandemen ke-empat atas UUD 1945
ikut serta merubah pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam hal dihapuskannya
penjelasan atas pasal 33. Ini mempunyai implikasi luar biasa, karena tidak lagi
mencantumkan dasar-dasar keberadaan atau raison d'etre dari pasal tersebut
yang bersifat ekonomi kerakyatan (populisme), sehingga akan bisa
disalahartikan dalam penerapannya".
Dalam suatu konferensi pers di bulan Januari 2003, yang digelar IGJ (Institute
for Global Justice) tentang "Giobalisasi Mengarah ke Rekolonisasi" 93 , diungkapkan
bahwa tanpa sepengetahuan publik, maka konstitusi pun kini mulai mengalami proses
liberalisasi. Amandemen ke-empat atas UUD 1945 ikut serta merubah pasal 33 UUD
1945, yaitu dalam hal dihapuskannya penjelasan atas pasal 33. lni mempunyai
implikasi luar biasa, karena tidak lagi mencantumkan dasar-dasar keberadaan atau
raison d'etre dari pasal tersebut yang bersifat ekonomi kerakyatan (populisme),
sehingga akan bisa disalahartikan dalam penerapannya. Demikian pula upaya
liberalisasi RUU, dengan membuat berbagai RUU baru di bidang ekonomi yang kental
hasrat liberalismenya. RUU lnvestasi coba ditetapkan atas desakan ADB dan IMF;
dan untungnya kini terkatung-katung karena kesulitannya dalam berhadapan dengan
otonomi daerah. Demikian pula RUU sumberdaya air yang sangat terkait dengan
92
L OC,Clt.
.
93
IGJ (Institute of Global Justice) adalah lembaga independen yang memfokuskan
pada isu-isu perdagangan bebas dan globalisasi, khususnya WTO (World Trade Organization),
yang saat ini akan sangat menentukan arah masa depan bangsa dan rakyat Indonesia.IGJ,
Globalisasi Mengarah ke Rekolonisasi, (http://www.globaljust.org.id/) 30 Januari 2003.
64
upaya privatisasi air; maupun RUU Privatisasi. Berbagai RUU ekonomi yang akan
disiapkan semuanya patut dicurigai bermuara pada liberalisme ekonomi. lni tidak lain
adalah praktek Neo-liberalisme yang sekarang menjadi mainstream perekonomian
Indonesia, meskipun bertentangan dengan kepentingan nasional.
Semenjak penandatangan
Lol · antara
IMF dengan pemerintah
(1998),
Indonesia telah merombak kebijakan perdagangannya (khususnya pangan) dengan
cukup drastis yaitu berupa penurunan tariff bea masuk beberapa produk pangan
hingga 0% dan berkurangnya fungsi Bulog sebagai State Trading Entity (STE),
dengan mengesampingkan kemitraan Indonesia dalam WTO. Hal ini menimbulkan
dampak yang cukup serius mengingat inefisiensi dan inefektivitas masih melekat pada
produk pertanian Indonesia, khususnya tanaman pangan, yang melemahkan daya
saing produk pangan Indonesia serta petani semakin tidak terlindungi.
Harus diakui, gugatan terhadap masa depan WTO memang kian mengemuka
sebagai manifestasi gugatan masa depan neo-liberalisme. Dalam konteks yang lebih
besar, karena WTO merupakan satu dari tiga (IMF, Bank Dunia, dan VI/TO) organ
penting neo-liberalisme, masa depan neo-liberalisme pun digugat. Saat ini, ditingkat
dunia isu globalisasi ekonomi yang dimotori neo-liberalisme memang menjadi isu
besar, bahkan sangat besar.
65
Bab3
Mengkaji Liberalisasi di Bidang Pertanian WTO
3.1 Aspek Perjanjian di bidang Pertanian WTO
3.1.1 Beberapa Ketentuan dan Komitmen Baru
"Ketentuan-ketentuan GATT berkaitan dengan liberalisasi perdagangan
produk pertanian bertujuan untuk membeQ.tuk sistcm perdagangan global di
bidang pcrtanian yang lcbih terbuka dan adil bagi anggota, serta penurunan
kcmiskinan. Karena itu negara bcrkcmbang memperoleh keleluasaan dengan
perpanjangan waktu lebih lama untuk penurunan subsidi mereka, serta
diberikan perkecualian dengan adanya pelaksanaan perjanjian yang bersifat
khusus dan berbeda".
Pertanian menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan karena
selama ini disadari sering terjadi distorsi perdagangan atas produk-produk pertanian,
berupa pengenaan kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi
ekspor. Untuk negara-negara berkembang, juga Indonesia, peranan pertanian yang
memiliki sifat multifunctionality tinggi, antara lain:
(1). ketahanan pangan atau food security;
(2). pengentasan kemiskinan atau poverty alleviation; dan
(3). pembangunan ekonomi pedesaan atau rural development.
Ketentuan-ketentuan GATT berkaitan dengan liberalisasi perdagangan produk
pertanian bertujuan untuk membentuk sistem perdagangan global di bidang pertanian
yang lebih terbuka dan adil bagi anggota, serta penurunan kemiskinan. Karena itu
negara berkembang memperoleh keleluasaan dengan perpanjangan waktu lebih lama
untuk penurunan subsidi mereka, serta diberikan perkecualian dengan adanya
pelaksanaan perjanjian yang bersifat khusus dan berbeda. Pada saat perundingan
Tokyo Round (1973 - 1979), negara-negara yang turut serta dalam perundingan itu
66
juga menandatangani dua perjanjian khusus di bidang pertanian yang diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1980, tersebut adalah 94 :
(a). Arrangement Regarding Bovine Meat? 5 .
(b). International Dairy Arrangement? 6 .
Ketentuan-ketentuan dalam GATT untuk pertanian tersebut pada awalnya juga
mengandung banyak kekurangan. Terbukti, Perjanjian Perdagangan Daging Olahan
dan Produk Susu Sapi Olahan tidak dapat berjalan dengan baik, karena sedikit
negara yang mau menjadi anggota, dan pada akhirnya perjanjian-perjanjian itu
dihapuskan pada akhir tahun
1997. Negara-negara yang telah menyepakati
perjanjian-perjanjian tersebut akhirnya bersepakat bahwa pengaturan perdagangan
mengenai kedua hal ini dapat dimasukkan dalam Perjanjian di Bidang Pertanian
khususnya untuk hal Sanitary and Phytosanitary. Sehingga Perjanjian di Bidang
Pertanian Uruguay Round - meski hasilnya tidak segera dapat dirasakan dalam
jangka pendek, bahkan masih harus menghadapi penyesuaian-penyesuaian teknis
yang berkepanjangan - substansi hasil aturan permainan di bidang pertanian secara
bertahap disesuaikan dengan GATT, antara lain 97 :
94
H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 127-128.
95
Arrangement Regarding Bovine Meat: Perjanjian ini bertujuan untuk memperluas,
liberalisasi dan stabilitas dalam perdagangan daging sapi, daging sapi muda (veal), dan ternak
hidup, serta menerapkan perbaikan dalam kerjasama internasional di bidang ini. Berdasarkan
perjanjian ini dibentuk pula International Meat Council dalam GATT, yang berperan dalam
pengawasan pelaksanaan perjanjian serta melakukan evaluasi mengenai permintaan dan
penawaran dalam pasar bidang ini.
96
International Dairy Arrangement: Perjanjian ini bertujuan juga untuk mengadakan
stabilitas, liberalisasi dan mengembangkan pasar dan membangun kerjasama perdagangan di
bidang hasil ternak di luar daging, yaitu dairy product, termasuk susu, susu bubuk, keju, dan
Iemak susu seperti mentega. Penerapan perjanjian ini dilaksanakan dan dievaluasi dengan
dibentuknya International Dairy Product.
97
H. S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 224.
67
•
Program
utama
dalam
perjanjian
menyangkut
penghapusan
atau
pengurangan distorsi yang ada. Perjanjian menentukan agar proteksi
dalam bentuk non-tarif dikonversikan pada tarif sesuai dengan ekuivalen
proteksi non-tarif yang berlaku sebelum konversi. Tarif dasar yang
digunakan untuk menghitung potongan tarif adalah tingkat tarif yang diikat
(bound tariff) per 1 Januari 1995, sedangkan untuk tarif yang belum diikat
yang digunakan adalah tingkat tarfi aktual yang dikena:<an pada September
1986 ketika Urugay Round mulai dirundingkan.
•
Perjanjian juga membatasi jumlah subsidi intern yang diperbolehkan
dengan kewajiban untuk menurunkan secara bertahap.
•
Praktek pemberian subsidi ekspor juga dikenakan disiplin sehingga ada
batas maksimal yang boleh diberikan sebagai subsidi ekspor. Ketentuan ini
ditujukan untuk membatasi subsidi yang diberikan oleh Masyarakat Eropa
dan Amerika Serikat.
•
Menempatkan pertimbangan di luar masalah perdagangan, antara lain
tentang ketahanan pangan, dan perlindungan lingkungan; juga perlakuan
khusus dan berbeda untuk negara-negara berkembang (Special and
Differential treatment for developing countries - S&D) Agreement on
Agriculture mencakup komitment tarif, kuota tarif, dukungan domestik,
subsidi ekspor, Application of Sanitary and Phytosanitary Measures, dan
(Ministerial) Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effect
of Reform Programme on Least Developed and Net Food Importing
. .98 .
Coun tnes
Secara singkat peraturan dan komitmen baru diterapkan di atas untuk hal-hal
sebagai berikut:
•
Akses pasar -
bermacam
restriksi pasar yang dapat mengganggu
mekanisme impor.
•
Dukungan domestik - subsidi dan program lainnya termasuk di dalamnya
jaminan harga produk pertanian dan pendapatan petani.
'JX
Departement Perindustrian dan Perdagangan Rl, Loc. cit
68
•
Subsidi ekspor dan metode lain yang digunakan untuk membuat ekspor
seakan-akan kompetitif.
Pada prinsipnya, semua perjanjian WTO dan kesepakatan aturan perdagangan
barang diterapkan di bidang pertanian, termasuk GATT 1994 dan aturan teknis
seperti:
•
Pemeriksaan bea cukai (customs valuation) 99 ,
•
Prosedur lisensi impor (Import Licensing Procedure/ 00 ,
•
lnspeksi pra-pengapalan (preshipment inspection) 101 ,
•
Hambatan teknis perdagangan (technical barrier to trade) 102 ,
99
Custom Valuation: perjanjian mengatur pemberian hak kerada pengelola bea dan
cukai untuk meminta informasi lebih lanjut jika ditemukan alasan untuk mencurigai akurasi
dari nilai barang impor yang telah di-declare. Pemeriksaan atas barang impor tersebut harus
didasarkan pada harga yang dibayarkan (paid or payable) pada waktu terjadinya transaksi
(transaction value). Atas dasar ini pihak bea-cukai dapat mencurigai dan menolak harga yang
diajukan atau tercantum dalam dokumen yang diserahkan oleh importir.
100
Import Licensing Procedure: perjanjian ini mengakui bahwa impor dapat
merupakan hal yang diperlukan dan penerapan sistem lisensi diakui kegunaannya, namun
demikian, diakui pula bahwa sistem lisensi dapat menghambat perdagangan internasional.
Karenanya diatur sistem lisensi impor tidak dibuat sebagai sistem untuk membatasi impor,
dengan komitmen diterapkan secara sederhana dan mengadministrasikan secara netral dan adil.
101
Pre-shipment Inspection: beberapa negara melaksanakan pemeriksaan pra-
pengapalan di negara asal ekspor dengan menunjuk jasa perusahaan swasta untuk memeriksa
barang-barang secara teliti dan rinci (seperti: harga, jumlah, dan kualitas barang) sebelum
dikapalkan, tujuannya adalah untuk mengamankan kepentingan negara di bidang keuangan
seperti pelarian modal, penipuan (commercial fraud, over and under invoicing) dan
penghindaran bea masuk serta untuk mengatasi kepabeanan karena kekurangmampuan aparat
bea cukai. Agar pra1ctek PSI tidak menimbulkan proteksi maka negara anggota mewajibkan
PSI dilakukan dengan menghormati prinsip non diskriminasi, transparan, memberikan
perlindungan atas kerahasiaan bisnis, menghambat yang tidak perlu, menggunakan tatacara
verifikasi yang standard.
102
Technical Barrier to Trade: adalah kebijakan suatu negara yang bersifat teknis
yang dapat menghambat perdagangan internasional di mana penerapannya dilakukan
sedcmikian rupa sehingga menimbulkan suatu hambatan perdagangan. Perjanjian ini mengikat
negara anggota yang menandatangani untuk menjarnin agar bila suatu pemerintah atau instansi
lain menentukan peraturan teknis atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum,
kesehatan, perlindungan terhadap konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk kepentingan
lain, maka peraturan, standar dan testing serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan
hambatan yang tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.
69
Government procurement103 .
•
Perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture) juga terkait dengan
aturan permainan yang disempurnakan sehingga dapat mencegah penggunaan
aturan sebagai alat proteksi terselubung, seperti 104 :
1. Anti dumping dan subsidi, ketentuan yang mengatur bahwa jika suatu negara
memberikan subsidi atau masih memberikan bantuan pendapatan dan harga
(income and price support) baik secara langsung atau tidak langsung dengan
tujuan untuk meningkatkan ekspor atau mengurangi impor harus dinotifikasi
dahulu ke GATT-WT0 105 .
2. Emergency safeguard measures atau langkah darurat untuk membatasi impor
apabila ada peningkatan impor yang menimbulkan kegoncangan pada industri
dalam
negeri -
walaupun
impor dilakukan
secara wajar dan tanpa
pelanggaran aturan GATT; dan
3. Ketentuan dan prosedur untuk mengambil langkah darurat apabila suatu
negara menghadapi masalah neraca pembayaran (restriction to safeguard the
balance payment).
4.
Ketentuan dalam Perjanjian di bidang pertanian juga memperbolehkan
pemerintah negara-negara anggota untuk membantu ekonomi pedesaan
mereka (rural development), dengan catatan tetap mengutamakan kebijakan
yang mengakibatkan distorsi sekecil mungkin terhadap perdagangan.
103
Government Procurement: perjanjian ini dibuat agar undang-undang, peraturan,
prosedur dan praktek mengenai pembelian negara menjadi lebih transparan, dan lebih
menjamin agar sistem pembelian tersebut tidak memproteksi produsen domestik dan
mendiskriminasi produk impor.
104
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Loc. cit
105
Dcpartcmcnt Pcrindustrian dan Pcrdagangan RI, Loc.cil
70
Oleh HS. Dillon (1995) 106 dan Bello (1999) 107 diberikan ikhtisar mengenai
substansi perjanjian di bidang pertanian dalam Uruguay Round di atas, seperti
berikut:
(1 ). Domestic support dikuantifisir menjadi AMS (Aggregate Measure of
Support) yang harus dikurangi sebesar 20% selama 6 tahun di mulai
tahun 1995. Suatu negara dibolehkan mensubsidi petaninya tetapi harus
seperti dalam Green Bo/ 08;
(2). Subsidi ekspor harus dikurangi sebesar 21% (dalam volume) dan 36%
(dalam total nilai) selama periode 6 tahun;
(3). Kuota impor diubah menjad1 tarif (tarifikasi atau tariff rate quotas- TRQs)
dan tarif ini harus dikurangi 36% dalam periode 6 tahun, dengan batas
minimum 15%;
(4). Negara perlu menetapkan MAV (Minimum Acces Volume) terhadap
impor pertanian, awalnya hanya 3% dari tingkat konsumsi 1986-88,
kemudian ditingkatkan 5% dalam tahun 2000.
(5). Negara berkembang mendapat special and differential treatment, yaitu
pemotongan 1/3 masing-masing untuk tarif, domestic support, subsidi
ekspor atau tingkatnya lebih rendah dari yang diberlakukan untuk negara
maju. Rentang waktu yang diberikan juga lebih lama yaitu selama 10
tahun, sedangkan negara-negara maju selama 6 tahun.
106
H.S. Dillon, Implikasi Persetujuan Putaran Uruguay - GATT dan Komitmen
Indonesia di Bidang Pertanian, (Makalah disampaikan pada Temu Dialog Kebijakan Satu
Tahun Ratifikasi WTO, Inventarisasi Posisi dan Permasalahan yang Dihadapi Indonesia serta
Persiapan Selanjutnya, LPEM FE-UI dan Bappenas, Jakarta, 1995).
107
W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on
Agriculture, Consumer International, Food Security: the New Millenium, International
Conference on Food Security, (Penang: Phoenix Printers Sdn. Bhd, 1999).
108
Antara lain yang diperbolehkan yaitu direct income payment, R&D, lingkungan
hidup, pengendalian hama dan penyakit, pendidikan dan latihan, penyuluhan, pemasaran dan
promosi, jasa-jasa prasarana, stock pangan untuk food security, direct income payment untuk
petani, decouple income support untuk sektor pertanian, asuransi dll. M.H. Sawit, Globalisasi
dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia, Loc.cit.
71
Tabel3-1 Sasaran Pemotongan Subsidi dan Proteksi Berdasarkan Angka-Angka
Pengurangan dalam subsidi dan proteksi pertanian yang disetujui dalam Putaran Uruguay,
I1anya ang1ka-ang1ka untu k pemotongan su bs1.d.1e kspor yang muncu I da Iam perJanJian
Sasaran
Negara Maju
6 thn: 1995 - 2000
Negara Berkembang
10 thn: 1995 - 2004
Domestic Support
Jumlah potongan AMS untuk
sektor pertanian pada periode
-20%
-13%
-36%
-21%
-24%
-14%
-36%
-24%
-15%
-10%
1996-1998
Ekspor
• Nilai subsidi
• Volume produk yang
disubsidi
Ta.-if
•
•
Potongan rata-rata untuk
produk pertanian
Potongan minimum per
produk
Catatan: Negara berkembang paling terbelakang tidah harus membuat komitmen untuk
menurunkan tarif dan subsidi. Tarif dasar yang digunakan untuk menghitung potongan tarif
adalah tingkat tarifyang diikat (bound tariff) per I .Januari 1995, sedangkan untuk tarif
yang belum diikat yang digunakan adalah tingkat tarif aktual yang dikenakan pada
September 1986 ketika Uruguay Round mulai dirundingkan.
3.1.2 Ketentuan untuk Produk Hewan Ternak dan Tanaman Pangan
Dalam Perjanjian WTO terdapat ketentuan terpisah tentang keamanan pangan
dan standar kesehatan hewan ternak dan tanaman pangan (Agreement on Sanitary
and Phytosanitary). Perjanjian ini ditujukan untuk memberikan jaminan kepada
konsumen mendapatkan produk yang aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta dapat
ditambahkan halal atau diperbolehkan agama-agama tertentu, seperti Islam, Yahudi.
Ketentuan ini mengijinkan negara-negara anggota untuk mempunyai standar masingmasing, sepanjang serta tidak digunakan untuk melindungi produsen dalam negeri,
dengan tetap mengacu kepada standar ilmiah atau internasional 109 yang dapat
109
Stan~ar Internasional mengenai kesehatan hewan dan tanaman pangan (dalam
annex Sanitary and Phytosanitary Agreement) mengacu pada:
•
FAOIWHO Codex Alimentarius Commission (untuk pangan).
•
The flltemational qjjice <?fEpizootics (untuk kcschatan hcwan ternak).
72
dijadikan panduan, konsisten dan non-diskriminatif. Karenanya, standar ketentuan di
masing-masing negara tersebut maupun perubahan-perubahannya dilaporkan kepada
Sekretariat WTO, dan negara-negara lain. Sampai saat ini perjanjian ini belum dapat
berjalan seperti yang diharapkan, karena banyak negara pelaku utama pengekspor
daging dan produk susu sapi olahan ikut menolak terlibat dalam perjanjian ini.
3.1.3 Tentang Negara-Negara Berkembang
Di dalam WTO, 2/3 dari jumlah negara-negara anggotanya atau 144 anggota
adalah negara-negara berkembang. Bukan suatu kebetulan pula, bahwa negaranegara berkembang pun mewakili 65% jumlah populasi petani dunia 110 . Tidaklah
mengherankan Perjanjian di bidang Pertanian WTO menjadi sangat fundamental bagi
negara berkembang. Karena selain jumlah anggota negara yang besar, jumlah
penduduknya di masing-masing negara pun besar yang sebagian besar kehidupan
rakyatnya tergantung pada sektor pertanian. Menanggapi kepentingan negara-negara
berkembang termasuk pula negara berkembang paling terbelakang WTO berupaya
melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
(1 ). Persetujuan-persetujuan WTO memuat ketentuan-ketentuan perlakuan
khusus dan berbeda atau Special and Differential Treatment (S&D) pada
negara berkembang.
(2). Komite Perdagangan dan Pembangunan (Committee on Trade and
Development- CTD), menangani atau membahas kepentingan negara
berkembang di dalam WTO.
•
The FAO 's Secretariat of the International Plant Protection Convention untuk
kesehatan tanaman.
•
Organisasi-organisasi internasional atau perjanjian-pt.Ljanjian
keanggotaannya terbuka untuk semua anggota WTO.
lain
yang
110
Martin Khor, Developing Countries Prepare for Agriculture Battle an Cancun
Ministerial,(TWN Report from Cancun, 9 September 2003, http://www.wto.dprin.go.id/, 5
Desember 2003.
73
(3). Sekretariat WTO menyediakan bantuan teknis melalui berbagai pelatihan
bagi negara-negara berkembang. Juga disediakannya penasihat hukum
khusus (legal advisor) untuk membantu negara berkembang dalam
penyelesaian sengketa di WTO dan memberikan konsultasi hukum yang
ditawarkan oleh Divisi Kerjasama Teknik WTO.
Komite Perdagangan dan Pembangunan WTO (CTD) memiliki mandat yang
luas, diantaranya:
•
Membahas mengenai bagaimana pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang
menguntungkan negara-negara berkembang.
•
Menciptakan pedoman kerjasama teknik WTO untuk negara berkembang.
•
Meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam sistem perdagangan,
dan
•
Membantu posisi perundingan negara-negara LOGs
Negara-negara anggota juga harus menginformasikan kepada WTO melalui
Committtee Trade and Development CTD mengenai program-program khusus yang
melibatkan konsesi perdagangan untuk produk-produk dari negara berkembang dan
mengenai pengaturan regional di antara negara berkembang. CTD telah menangani
.f.k
no t 1
1 as1. mengena1:. Ill
•
Generalized System of Preference (GSP), program di mana negara maju
mengurangi hambatan perdagangan melalui perlakuan khusus bagi produkproduk dari negara berkembang,
•
Pengaturan perlakuan khusus di antara negara-negara berkembang seperti
MERCOSUR (The Southern Common Market In Latin Amerika), COMESA
(Common Market for Eastern and Southern Africa), dan AFTA (ASEAN Free
Trade Area).
111 Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan Departemen
Luar Negeri RJ, Sekilas WT.Loc.cit
74
3.1.4 Tentang Negara Berkembang Paling Terbelakang dan Negara
Tergantung pada lmpor Pangan
Ketentuan dalam Perjanjian berkenaan dengan masih terdapat beberapa
negara-negara berkembang paling terbelakang atau Least Developed Countries
(LOGs). Menu rut PBB 112 terdapat 48 negara yang tergolong LOGs yang tergantung
pada impor pangan murah (Net Food lmpoter) dengan memperoleh bantuan subsidi
dari negara-negara maju. Bantuan subsidi tersebut dalam rangka membantu
ketahanan pangan, bersifat sementara agar negara yang bersangkutan tidak
mengalami kesulitan menghadapi harga uarang impor yang
~inggi.
Karenanya, negara
berkembang paling terbelakang tidak harus membuat komitmen untuk menurunkan
tarif dan subsidi.
Selanjutnya, dalam rangka bantuan ketahanan pangan dan pembangunan
pertanian, diatur melalui suatu ketentuan Konferensi Tingkat Menteri atau (Ministerial)'
Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effect of Reform
Programme on Least Developed and Net Food Importing Countries. Di dalam
ketentuan itu memberikan kemungkinan untuk mendapatkan bantuan pembiayaan
dari IMF dan Bank Dunia melalui program Structural and Adjustment Programs
(SAP). 113 Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-1 di Singapura pada tahun 1996,
anggota-anggota menyepakati Rencana Aksi untuk Negara Berkembang Paling
Terbelakang (Plan of Action for Least Developed Countries), merupakan upaya
khusus untuk membantu negara-negara miskin, termasuk untuk meningkatkan
112
Constanza Valdes and Edwin Young, Developing Countries' Issues in the WTO
Related to Agriculture. http://www.ers.usda.gov/epubs/pdf/wrs984/wrs984i.pdt: 12 Desember
2003.
113
Lebih lanjut tentang isu-isu liberalisasi perdagangan dan implikasinya pada
ketahanan pangan di negara-negara miskin baca: Michael Trueblood and Shahla Shapouri,
"Implications of Trade Liberalization on Food Security of Low-income Countries". United
State Department of Agriculture: Agriculture Information Bulletin No. 765-5 (April 2001 ).
75
kemampuan partisipasi mereka di WTO dan multilateral lainnya 114 . Negara-negara
maju berjanji untuk meningkatkan akses pasar untuk keperluan impor dari negaranegara LDCs dan adanya kemungkinan untuk menghilangkan bea masuk bagi LDCs.
Dan, jika negara-negara LDCs terlibat dalam suatu sengketa perdagangan, mereka
dapat meminta bantuan Direktur Jenderal WTO atau Ketua Badan Penyelesaian
Sengketa untuk membantu mereka dalam proses penyelesaian sengketa melalui
konsiliasi (consiliation), mediator, dan cara lainnya atau jasa baik (good offices).
3.2 Peluang dan Tantangan Po:~rtisipasi Negara
Berkemban g dalam Perjanjian di bidang Pertanian
"Our agricultural sectors that are strategic to food and livelihood security
and rural employment have already been destabilized as our development program
initiatives are frustrated by the gross unfairness of the international trading
environment. Even as I speak, our small producers are being slaughtered in our
own markets, even the more resilient and efficient are in distress. "
3.2.1 Persoalan yang Menghadang Negara Berkembang
Sejak terbentuknya WTO, memperhatikan perubahan kebijakan politik Utara
dan Selatan, terutama mengenai persoalan yang berkaitan dengan perkembangan
dalam perundingan Perjanjian di Bidang Pertanian yang dapat dikonstantir pada
setiap penyelenggaraan Konferensi Tingkat Menteri WTO yang sampai saat ini telah
lima kali diselenggarakan 115 . Pada beberapa persoalan, pengelompokan perbedaan
kepentingan itu jelas muncul, seperti telah disinggung sebelumnya adalah keterkaitan
114
B anyak d'1 antara negara-negara m1s
. k"m yang sangat bergantung pada 1mpor
.
pangan
(fiJod net importer) menerima perlakuan preferential dalam berbagai perjanjian perdagangan
multilateral sepcrti pe1janjian Lome Agreement and Caribbean Basin Initiative yang kini
dikenal ACP dengan dukungan Uni Eropa.
115
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) merupakan forum pengambilan kebijakan
tertinggi dalam WTO, yang diadakan setiap dua tahunan. Untuk pertama kali diselenggarakan
di Singapura tahun 1996, KTM ke-11 WTO tahun 1998 di Jenewa, KTM ke-111 WTO tahun
1999 di Seatle, KTM WTO ke-V Doha, Qatar pada 9-14 Nopember 2001, dan KTM ke-5
WTO pada 10-14 September 2003 yang baru lalu, di Cancun, Mexico.
76
dengan TRIPs, TRIMs, dan GATS atau lebih spe5ifik mengenai masalah tekstil dan
pakaian jadi dan masalah produk pertanian.
Kotak I Special and Differential Treatment
Special and Differential Treatment in
the Uruguay Round Agreement on Agriculture
Developing countries' reduction commitments are generally two-thirds those for developed
countries and implementation periods are longer: 10 versus 6 years. Least-developed countries are
not required to undertake across the board reduction commitments, but tariffs and domestic
support are bound at base levels. Other exempt policies include certain input and investment
subsidies to agriculture, as well as stocks held for food security purposes.
Market Access
In allocating tariff-rate quotas (TRQs), special consideration can be given to the particular
•
needs of developing country exporters.
Exemptions in reduction commitments for market access are provided for certain products
•
deemed of importance to food security.
Developed cot..ntries agreed to provide better terms of access for agricultural products
•
important to developing countries.
The terms include greater liberalization of trade in tropical agricultural products to help
•
developing countries shift production out of illicit crops.
Domestic Support
Least developed countries are granted additional exemptions, including delayed applications
•
of the provisions and more time for notification on domestic support (only every 2 years).
For the non-commodity specific AMS provisions, the de minimis exclusion is 10 percent of
•
the total value of agricultural output for DCs (versus 5 per cent for other countries).
Domestic support to encourage diversification from growing illicit narcotic crops is
•
exempted from inclusion in the DCs' calculation of AMS.
DCs are permitted additional green box flexibility for programs to store foodstuffs and sell at
•
subsidized prices to the
rural and urban poor and to provide general investment subsidies to agriculture.
•
Export Support
DCs are permitted to provide subsidies to reduce export marketing costs, and to provide
•
internal and international transportation subsidies for agricultural exports.
Differential treatment is provided for agricultural export credits.
•
Economic Research Service/USDA Agriculture in the WTO/WRS-98-44/December 1998
Seperti kita telah ketahui dalam negosiasi Perjanjian di Bidang Pertanian,
terutama yang berdampak langsung pada neraca perdagangan produk pertanian
(kenaikan harga impor dan penerimaan ekspor) menjadi perhatian utama negara
77
berkembang adalah berkaitan persoalan akses pasar, domestic support, export
subsidies dalam suatu perlakuan khusus dan berbeda atau special and differential
treatment (S&D) (Lihat Kotak 1). Sementara ini diantara negara-negara berkembang
sendiri sering tidak memiliki kepentingan yang menjadi prioritas bersama dan tidak
selalu memiliki posisi yang sama. Dengan sendirinya upaya dalam memperjuangkan
suatu frame work kepentingan bersama antar negara berkembang - yang sebenarnya
mayoritas di dalam keanggotaan WTO - tidak pernah tuntas karena selalu terpecah
belah 116 • Seperti pad a 1 Juli 2003, saat pertemuan di "the World Trade Organization
(WTO) Committee on Agriculture", di Geneva, delegasi Philipina menyatakan, karena
negara kami hanya demi ingin membuktikan ketaatannya kepada "the Agreement on
Agriculture",
"Our agricultural sectors that are strategic to food and livelihood security and rural
employment have already been destabilized as our development program
initiatives are frustrated by the gross unfairness of the international trading
environment. Even as I speak, our small producers are being slaughtered in our
own markets, even the more resilient and efficient are in distress. "117
Pernyataan delegasi Philipina tersebut sebenarnya persoalan utama yang
merupakan masalah bersama negara berkembang, kenyataannya sampai dengan
116
Bandingkan: It is difficult to distinguish a separate Developing Countries (DCs)
position on many issues since individual country interests are diverse. As DCs identify their
negotiating positions for the next round, they will be looking for coalitions of countries with
common trade interests. The individual interests of DCs in the negotiations will vary
depending on whether a country is a net food and raw material exporter, a net food and raw
material importer, or a country that is concerned primarily with food self-sufficiency. The
interests will also depend on whether a country is a producer of primary agricultural
commodities or processed foods. Many DCs will stress how agricultural trade liberalization
has different economic effects on developed countries compared to DCs, and they will try to
ensure that new multilateral rules will reinforce the DCs' development policies. The form that
any continuation of special and differential treatment takes will be important to the success of
any new agreement. However, the types of concessions granted to DCs could slow the
economic development and transition to free market economies in these countries . Constanza
Valdes and Edwin Young, Op.cit.
117
Walden Bello, Multilateral punishment: the Philippines in WTO,
http://www.inq7.net/opi/2003/jul/09/opi wbcllo-l.htm, 4 Nopember 2003.
'95-'03,
78
KTM ke IV di Doha tahun 2001, di mana negara-negara maju masih tetap dapat
memaksakan kehendaknya. Hal itu, bagi Bello bukan suatu yang mengejutkan,
"This was not surprising since the government's public stance is not to make a big
deal of the ongoing trade negotiations in Geneva, where the developing countries
are getting a raw deal. In the run-up to the fifth WTO Ministerial, which will be held
in Cancun, Mexico, Sept. 9-14, the administration of President Gloria MacapagaiArroyo probably feels that the last thing it needs is public perception that it is not
doing enough to defend the country's economic interests in the controversial
multilateral institution. But the problem will not go away: like other developing
countries, the Philippine economy - in particular, its agricultural sector -- is being
battered by the consequences of its joir.ing the WTO. In the next few weeks, this
column will carry installments of a comprehensive assessment of the impact of the
Philippines' membership in the World Trade Organization." 118
Selama ini negara berkembang banyak dikelabui oleh trik dagang yang
dilakukan dalam pelaksanaan Perjanjian Pertanian Putaran Uruguay oleh negaranegara maju yang keluar dari komitmen liberalisasi. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa tingkat dukungan domestik (domestic support) sejak tahun 1995 telah
meningkat secara signifikan dan tarifikasi diberlakukan sehingga di negara-negara
maju beberapa tarif lebih banyak dinaikkan daripada diturunkan sehingga dampaknya
bagi negara miskin petani kecil semakin tersingkir dari pe:1ghidupan mereka, orang
lapar dan kaum miskin di pedesaan harus membayar harga yang paling mahal 119 .
Hampir satu dekade sejak berjalannya Perjanjian tersebut, tampaknya hanya
sedikit diperoleh kemajuan dalam pengurangan proteksi dan subsidi untuk pertanian
di negara-negara maju. Di mana keadaannya yang oleh Bello 120 dapat dijelaskan
secara ringkas sebagai berikut:
•
Pertama, tingkat penetapan Aggregate Measures of Support (AMS), subsidi
ekspor, dan tarif yang diikat (binding) berdasarkan periode 1986-88 menjadi
118
Ibid
119
A'l
.
1 een K wa, L oc,czt
120
W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture
Loc.cit.
79
terlalu tinggi dibandingkan tingkat penetapan GATT tahun 1995, sehingga
pengurangan subsidi dan tarif menjadi relatif lebih kecil. Uni Eropa dan AS
telah melanggar impor kuota yang seharusnya menjadi tarifikasi, AS
menambah pajak 350%, di atas minimum akses impor untuk produk
tembakau. AS antara tahun 1992-96 menetapkan rata-rata tarif untuk
pertanian meningkat seperti pada Tabel 111-2 berikut.
Tabel 3-2 Penyesuaian Tarif Sejumlah Produk Pertanian AS
Jenis Produk
Produksi Pertanian dan Peternakan
Produk Pangan
Tembakau
•
Tarif Awal (%)
5,7
6,6
14,6
TarifBerubah (%)
8,5
10
104,4
Kedua, kebijakan Uni Eropa yang tegas adalah mengalihkan subsidi-subsidi
ekspor mereka dan, meningkatnya dukungan-dukungan yang membatasi
produksi (yang biasanya dikenal sebagai Blue box Payment) ke dalam
pembayaran langsung (Green Box) yang sekarang ini disahkan oleh WTO.
Di Uni Eropa sebagian besar subsidi petaninya seperti direct income
payment masih tetap dipertahankan karena masuk dalam Green Box 121 ,
sebaliknya negara-negara Selatan lebih banyak memberikan subsidi harga
input dan output yang diminta untuk dikurang atau dihapus. Uni Eropa
umumnya membantu direct income payment untuk menahan kelebihan
produksi pangannya, atau untuk tujuan ekspornya, sedangkan negaranegara berkembang mensubsidi petaninya agar meningkatkan produksi
untuk memenuhi konsumsi penduduknya yang relatif miskin.
•
Ketiga, peraturan untuk pengurangan tarif rata-rata sebesar 36% adalah
amat longgar, sehingga banyak negara memenuhinya dengan kombinasi
minimum pemotongan tarif.
121
Pergeseran dari subsidi ekspor dalam WTO pada saat ini diterima dengan baik.
Tetapi negara-negara berkembang sebaiknya mengawasi subsidi-subsidi ini yang muncul
kembali dalam bentuk lain. Pengalaman telah menunjukkan Uni Eropa mengurangi biaya
ekspor untuk padi-padian sebanyak 60 persen antara tahun 1992 dan 1999, dari 2200 juta Euro
menjadi 883 juta Euro. Tetapi para produsen padi-padian memperoleh pembayaran langsung
sampai sebesar 2102 juta Euro selama periode yang sama. Secara keseluruhan subsidi itu
sebenarnya meningkat 36 persen. Aileen Kwa, Loc,cit
80
Suatu kesenjangan dalam subsidi demikian besar antara negara-negara kaya
dengan negara-negara berkembang, dari segi jumlah maupun dasar tujuan dalam
pengenaan subsidi. Negara-negara kaya begitu besar mensubsidi para petaninya
untuk
menjaga
kelangsungan
pertaniannya.
Sedangkan
negara
berkembang
mengenakan pajak terhadap sektor pertanian (subsidi negatif) yang dialokasikan
untuk sektor ekonomi lainnya. 122 Pada saat yang sama, negara-negara Selatan tetap
diminta untuk terus menyesuaikan dengan regim perdagangan neo-liberalisme ini,
meski dalam situasi ketidakmampuan membantu petaninya, serta buruknya kondisi
infrastruktur yang mendukung pertaniannya (terutama dalam pengolahan dan
distribusi produk) dan tingginya biaya produksi, harga jualnya pun mahal jadinya. Alihalih kemakmuran untuk para petani negara berkembang, tekanan beban hidup yang
didapat karena produksinya kalah bersaing dengan harga impor. Keprihatinan bagi
negara-negara berkembang yang sangat terbatas kemampuannya dalam domestic
support ini telah lama disuarakan oleh banyak kalangan,
Prior to the Uruguay Round, the agricultural sectors in Developing Countries (DCs)
received very little government support (and in many cases agriculture was taxed
rather than subsidized) due, in part, to exchange-rate overvaluation, budgetary
constraints, and the lack of administrative infrastructure to provide the subsidies. In
addition, many DCs, principally in Latin America, implemented structural
adjustment programs (SAPs) in conjunction with the World Bank and IMF loans.
The SAPs involved substantial trade liberalization accompanied by fiscal and
monetary austerity and devaluation measures. As a result, many DCs had very low
or zero aggregate measures of support (AMS) in the 1986-88 base period. Of the
approximately 60 percent of WTO member who reported base AMSs of zero, all.
are DCs 123 .
122
Pada tahun 1998, negara-negara OECD telah membantu produk pertaniannya
mencapai USD 278 miliar (lihat informal paper AIE/70, 24 September 1999: Agreement in
Agriculture WTO). Di lain pihak Bello mendapatkan bahwa 18 negara-negara berkembang
mengambil pajak dari sektor pertanian mencapai 30% dari nilai produksinya. W.Bello, Stakes
are Higher than Ever in 1999 Review ofAgreement on Agriculture, Loc.cit.
123
Constanza Valdes and Edwin Young, Op.cit
81
3.2.2 Antara Harapan dan Kenyataan dalam Perdagangan Pangan
Dunia
Oisebutkan oleh Martin dan Winters 124 bahwa secara substansial hasil dari
Uruguay Round diharapkan akan meningkatkan GOP secara global, dan mendorong
dunia akan ekspor dari negara-negara berkembang. Jika akses pasar dibuka melalui
penurunan tarifikasi sesuai rencana, maka diperkirakan akan meningkatkan GOP
dunia
dari
USO
120
miliar
menjadi
USO
315
miliar
saat
perjanjian
itu
diimplementasikan sepenuhnya. Harapannya negara berkembang akan menikmati
hasil sekitar USO 55 miliar sampai USO 90 miliar pembelanjaan dari sebagian
kenaikan tersebut ketika mencapai USD 200 miliar. Proyeksi itu memunculkan
pertanyaan kritis bagaimana dengan pencapaian dewasa ini?
Jika kita menelaah dari sudut pandang produksi pangan dan pertanian yang
menyebar di berbagai negara. Sebagian besar negara-negara berusaha memenuhi ·
swasembada kebutuhan pangannya, sisanya baru mengimpor. Walau ada sejumlah
negara seperti Singapura, Monaco dan Hongkong yang kebutuhan pangannya
bergantung pada impor (net importer) sepenuhnya, negara kelompok ini jumlahnya
sangat sedikit dibandingkan negara-negara pengekspor pangan.
Selama regim perdagangan bebas WTO berlangsung ini, terlihat pergeseran
pola produksi pangan. Studi yang dilakukan FAO seperti yang disampaikan
Alexandratos 125 menunjukkan bahwa suplai pang an bergeser dari negara-negara
berkembang ke negara maju. lmpor pangan oleh negara-negara berkembang
cenderung terus meningkat, sebaliknya volume ekspor pangan negara-negara maju
akan semakin pesat sejalan dengan terbukanya pasar pangan yang selama ini
124
Lihat Martin, Will, and L. Alan Winters (eds.). The Uruguay Round and the
Developing Economies, (World Bank Discussion Papers, no. 307, Washington, DC, 1995).
125 N. Alexandratos, World Agriculture: Toward 2010, An
FAO Study, (Chichester:
FAO & John Willey & Sons, 1995).
82
terproteksi dengan berbagai cara, baik tariff barrier maupun non-tariff barrier.
Perkembangan perdagangan internasional produk pangan utama telah mendorong
neraca perdagangan pangan dan peternakan di negara-negara berkembang paling
terbelakang (least developed countries- LOGs) menjadi defisit. Negara LDCs akan
menjadi negara net importer yang volumenya sernakin mencemaskan (Lihat hal. 62).
Hal ini dikarenakan alasan sebagai berikut:
•
Pertama: negara berkembang importir pang an aka1, mengimpor pang an
yang relatif tinggi elastisitas pendapatannya, seperti: daging, susu, gandum,
dan sebagainya. Tetapi negara berkembang akan mengekspor produk yang
rendah elastisitas pendapatannya dan sebagian di antaranya adalah
elastisitas harganya rendah. Dengan adanya peningkatan persaingan antara
negara-negara berkembang dalam merebut pasar ekspor di negara-negara
maju maka akan menurunkan tingkat penerimaan negara berkembang dari
ekspor tersebut.
•
Kedua: sedangkan keberadaan kebijakan intervensi melalui international
commodity agreements (ICA) selama ini terbukti gagal untuk mencegah
penurunan harga komoditas pangan. Bursa Komoditas Berjangka (Future
Market) hanya sedikit menolong dalam fluktuasi harga, di mana para pelaku
lebih giat dalam spekulasi jangka pendek, dan memang tidak sebagai
instrumen untuk menstabilkan harga dalam jangka panjang.
•
Ketiga: konsumsi dalam negeri pada negara berkembang untuk sejumlah
komoditas ekspor seperti tembakau, kulit, karet, dan kapas cenderung
meningkat, yang untuk dipakai sendiri seiring peningkatan kebutuhan agroindustri.
•
Keempat: meski defisit perdagangan komoditas pertanian kemungkinan
dapat ditutup dari net surplus hasil manufaktur yang berasal dari pertanian
seperti kapas, kulit tersebut dalam bentuk ekspor tekstil, pakaian dan produk
kulit. Namun permintaannya sangat volatile terhadap kondisi pasar (selera,
musim, persaingan) dan masih bergantung pada kebijakan Generalized
83
System of Preference (GSP) pemerintahan di negara-negara maju, yang
selama ini sebagai tujuan pasar utama.
•
Kelima: negara-negara berkembang masih terus menghadapi hambatan
untuk mengekspor pangan, komorJitas pertanian, dan barang produksi agroindustrinya ke negara-negara maju, karena terbenturnya hambatan sanitasi,
eco-labeling, dan lain-lain. Termasuk Bio Terrorism Act yang diberlakukan
AS 12 Juli 2002, Bio Security Act Australia dan White Papper on Food
Safety dari Uni Eropa yang berlaku bertahap sejak Januari 2003, yang
semuanya merupakan non-tariffs barrier perdagangan 126 .
Alih-alih liberalisasi perdagangan komoditas pertanian di negara berkembang
diharapkan dapat meningkatkan produktifitas sektor pertanian, agribisnis dan agroindustri yang pada gilirannya diharapkan memberikan kemakmuran bagi masyarakat
dan para petaninya, kenyataannya - seperti di Philipina - diungkapkan oleh Walden
Bello 127,
The impact of the WTO has been most damaging in the area of agriculture. In one
key sector after another -- rice, com, poultry, vegetables -- the entry of foreign
commodities facilitated by the WTO has resulted in the displacement of significant
local production and large numbers of producers. At the same time, membership in
the WTO has not protected the Philippines from WTO-illegal restrictions on
Philippine exports of products like tuna, prawns, and bananas imposed by trading
powers such as the United States, European Union, and Australia.
3.2.3 Distorsi Pada Pasar Dunia Dan Dampaknya Bagi Negara
Berkembang.
Khudori mengungkapkan egoisme negara maju. 128 Bahwa negara-negara maju
umumnya sangat bersikukuh ketika bicara akses pasar melalui reduksi tarif. Namun
demikian, keprihatinan telah disuarakan mengenai adanya tarif yang dianggap masih
terlalu tinggi atas produk-produk tertentu (tariff peak) di pasar negara-negara maju,
126
Khudori, WTO dan Petani Indonesia, http://www.republika.eo.id/, 16 Desember
127
Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.it
1/1
. I ,oc.ctl.
.
...... HIC..Ion,
2003.
1211
84
dan dikhawatirkan akan mengganggu dari negara berkembang. 129 Sebaliknya negara
maju lebih banyak melakukan hambatan non-tarif untuk menutup pasarnya. Mereka
pun tidak adil ketika bicara subsidi, ketika mereka meminta negara berkembang tidak
mensubsidi industrinya, nyatanya mereka terus mengucurkan subsidi miliaran dolar
bagi petaninya. Tiap tahun negara maju mengeluarkan satu miliar dolar AS per hari
untuk memberikan subsidi bagi pertanian mereka. lni tidak mengherankan karena
tahun 2002, 30 negara industri yang tergabung dalam OECD menghabiskan 311
rniliar dolar untuk mensubsidi pertanian yang berarti lebih besar dari GOP semua
negara Afrika Sub-Sahara. Sementara, menurut Bank Dunia, negara-negara Eropa
yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) memberikan 913 dolar per sapi kepada para
peternak
sapi.
Demikian
pula
AS,
pada
bulan
Mei
2002
Presiden
Bush
menandatangani Farm Bi/1130 menyangkut subsidi 180 miliar dolar dalam tempo 10
129
Tariff Peak (Tarif Tertinggi) yang beberapa diantaranya mempengaruhi ekspor dari
negara berkembang. Meski, sebagian besar tarif saat ini sudah dianggap cukup rendah,
khususnya di negara-negara maju. Tetapi untuk beberapa produk tertentu yang dinilai sebagai
produk sensitif dalam rangka melindungi produsen dalam negerinya tarifnya tetap
dipertahankan tinggi, ini dimaksud sebagai tariff Peak. Tariff Escalation (Eskalasi Tarif),
adalah ketika suatu negara ingin melindungi industri manufaktur dalam negeri, maka negara
tersebut dapat menetapkan kebijakan tarifyang rendah untuk impor bahan baku industri (untuk
memotong biaya produksi), dan sebaliknya menetapkan tarif (bea masuk) yang tinggi untuk
produk jadi demi melindungi produksi industri manufaktur tersebut. Dampaknya akan
menyulitkan negara eksportir bahan baku, dan pengekspor barang jadi mitra dagang saingan.
Dircktorat Jcnderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangungan Departemen Luar
Negeri RI, Sekilas WTO., Ketua Tim: Dian Triansyah Djani, (Jakarta: Departemen Luar Negeri
RI, 2002), hal. 62.
130
US Farm Bill itu berencana memberikan dukungan terutama pada 8 jenis padipadian, yang penting untuk kehidupan negara-negara berkembang seperti kapas, gandum,
jagung, padi, kedelai, bailey, oats dan sorghum (cantel). Sebagian besar subsidi ini akan
diberikan dalam bentuk pembayaran langsung. Saat ini Amerika Serikat juga mel em par produk
pertanian di pasar-pasar Dunia Ketiga dengan harga lebih rendah, mengekspor jagungnya 20
persen dibawah ongkos produksi, dan gandum 46 persen di bawah biaya produksi. Harga kapas
di Amerika juga sudah dipotong 66 persen sejak tahun 1995 sampai 50 persen per setengah
kilogram supaya bisa menjual dengan harga yang lebih rendah daripada produsen di negara
Dunia Ketiga, sementara para produsen Amerika Serikat menerima subsidi sebesar 75 persen.
Disahkannya Farm Bill Pertanian akan memperburuk kondisi tersebut. Aileen Kwa, Loc,cit
85
tahun atau setara Rp 160 triliun/tahun. Bandingkan dengan anggaran Departemen
Pertanian yang cuma Rp2,3 triliun tahun 2003.
Menurut
perjanjian
WTO
ini
dianggap
sebagai
distorsi
subsidi
non
perdagangan karena terpisah dari produksi. Perjanjian tentang Pertanian saat ini
(AOA) memungkinkan subsidi-subsidi ini (program Green Box) diberikan tanpa batas.
Seringkali dikatakan bahwa pemberian subsidi akan mendistorsi non perdagangan
dan itu tidak benar, karena su,bsidi jelas akan meningkatkan pendapatan dan
mengurangi kerugian bagi para produsen, dengan demikian lebih menggalakkan
produksi. Harga-harga yang rendah ini secara artifisial menjadikan bahan-bahan
pokok ini kompetitif di pasar dunia. Sementara para petani di Negara-negara Utara
memperoleh kompensasi karena harga-harga yang rendah ini, sebaliknya para petani
dari Dunia Ketiga sedang disapu bersih.
Jika pembayaran langsung ini benar-benar penyimpangan non perdagangan
dan terpisah dari produksi, tingkat produksi semestinya menyusut, total intervensi
harga Uni Eropa lima puluh persen lebih rendah. Tetapi tingkat kenaikan pembayaran
langsung mengakibatkan kenaikan 25 persen produksi sereal di Uni Eropa. Karena
itu, bukan hanya subsidi yang meningkat, tetapi mekanisme "dumping" ekspor jadi
semakin kurang transparan, sehingga semakin mempersulit para pembuat kebijakan
di negara-negara berkembang untuk menangkal praktek-praktek semacam itu.
Negara-negara yang mempunyai hubungan dagang dengan Uni Eropa sangat rentan,
misalnya lebih dari 70 negara ACP 131 dimana Uni Eropa saat ini sedang
merundingkan perjanjian dagang secara timbal balik. Produk-produk Uni Eropa yang
131
ACP (states): Pada bulan Juli 1989, negara-negara dari Afrika, kepulauan
Caribbean, dan Pasific bersama-sama negara-negara Uni Eropa menandatangani the European
Community's Lome Convention,perjanjian direncanakan untuk memberikan kompensasi bagi
66 negara ACP atas kerugian yang ditimbulkan karena fluktuasi harga komoditas di pasar
dunia. Jerry M. Rosenberg.Op.cit. p.4.
86
dihargai secara kompetitif akan membanjiri pasar-pasar di negara-negara itu dan
negara-negara ACP akan menjadi tempat pembuangan produk-produk Uni Eropa 132 .
Masalah distorsi banyak disorot dalam negosiasi perdagangan di bidang
pertanian. lntinya perdagangan mengalami distorsi ketika harga lebih rendah atau
lebih tinggi dari harga normal. Dan bila jumlah produksi, dibeli dan dijual menjadi lebih
tinggi dari normal atau tingkat yang umumnya terdapat pada pasar kompetitif. Seperti
diungkapkan di atas, hambatan impor dan subsidi domestik dapat menaikkan harga
panenan di pasar domestik. Harga yang lebih tinggi dapat mendorong terjadi produksi
yang berkelebihan (over production). Jika hasil surplus ini .dijual ke luar negeri, di
mana harga di luar negeri lebih rendah, maka untuk bersaing, harga harus diberikan
subsidi ekspor. Ketika beberapa negara melakukan hal tersebut dan ada beberapa
negara yang tidak melakukan, maka kejadiannya adalah kelompok yang pertama
akan memproduksi lebih dari yang sewajarnya 133 .
Praktek perdagangan semacam ini, akan mengakibatkan selain pemborosan
sumbe~daya
keuangan, juga menghancurkan produktifitas, serta menyebabkan
kerugian akibat penumpukan stock yang berlebihan, dan menimbulkan perang
subsidi. Dampaknya tentu saja sangat merugikan negara-negara berkembang dan
negara miskin yang tidak mempunyai kemampuan memberikan subsidi. Walaupun
telah diketahui akan mendistorsi perdagangan serta dampak negatifnya. Pemerintah
di berbagai negara biasanya memberikan subsidi kepada sektor pertanian dengan
alasan sebagai berikut 134 :
132
A"l1 een Kwa, L oc,czt.
133
Direk1orat Jenderal Multilateral
Departemen Luar Negeri RI, Op.cit, hal. 24.
134
Ekonomi
Keuangan
dan
Pembangungan
Ibid.
87
•
Memastikan bahwa produksi pangan dapat mencukupi kebutuhan dalam
negeri bagi negara yang bersangkutan.
•
Melindungi petani dari kerugian dalam berproduksi (cuaca, dan sebagainya)
dan fluktuasi harga di pasar.
•
Menjaga kelangsungan kegiatan di sektor pertanian dan perekenomian
masyarakat pedesaan.
Pada setiap perundingan, beberapa negara memperdebatkan bahwa kebijakan
subsidi tersebut merupakan suatu hal yang kontra produktif, sering kali mahal dan
membebani sektor ekonomi lainnya, dan menjurus kepada perang subsidi. Komitmen.
para menteri di Doha tahun 2001, difokuskan pada tiga persoalan utama, yaitu
meningkatkan akses pasar (market access), mengurangi atau menghapus segala
bentuk subsidi ekspor (export subsidies), dan mengurangi dukungan atau subsidi
domestik (domestic support), yang dipercaya menyebabkan distorsi perdagangan. lni
diperlukan untuk membentuk sistem perdagangan global yang adil dan berorientasi
pasar.
Deklarasi Doha dimaksudkan untuk menciptakan level playing field antara
negara maju dan negara berkembang, agar tercipta perdagangan dunia yang adil dan
fair. Sebab, subsidi negara maju yang demikian besar tidak saja menekan pasar di
negara berkembang, juga menimbulkan krisis pertanian 135 .
Sementara perdebatan itu terus berlangsung, yang lainnya tengah gencar
untuk mencari formulasi bentuk lain yang dapat memenuhi ketiga tujuan di atas,
dalam satu dan lain cara yang diperkirakan atau "dianggap" tidak menimbulkan
distorsi. Misalnya negara Uni Eropa, mereka membayar direct income payment untuk
petani yang mengelola areal rata-rata 20Ha/petani, ditentukan berdasarkan tingkat
output dan sebagian berdasarkan areal yang disebut sebagai /and-set-aside-program,
135
Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.it
88
yaitu setiap petani memperoleh subsidi sebesar 15% dari areal tanam bila
mernbatalkan berproduksi. Tujuan program ini ingin membatasi produksi sehingga
harga pangan bisa meningkat. Di Swiss yang jumlah petaninya sekitar 5% dari total
penduduk, juga melakukan direct income support bagi para petaninya sebesar 50%
dari total pendapatannya, dan untuk petani terpencil bisa mencapai 80% 136 . Namun
kebijakan ini telah diprotes di dalam negeri oleh para penganggur yang semakin sulit
memperoleh pekerjaan dan para pembayar pajak. Akhirnya sulit untuk dilanjutkan
oleh pemerintahannya.
Efek dari pemberian subsidi antara lain direct income support bagi petani di
negara-negara eksportir pangan khususnya AS, Kanada dan Uni Eropa (UE) adalah
meledaknya produksi pangan. Bello melaporkan Uni Eropa akan kelebihan produksi
gandum dari 27 juta ton di tahun 1997, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat
menjadi 45 juta ton di tahun 2005 137 . Sebagian besar produksi pertanian AS di
ekspor, seperti 50% produksi areal gandum, 57% areal padi, 24% areal jagung, 35%
areal sayuran dan buah-buahan, dan 42% areal kapas. Surplus pangan tidak saja di
AS, tetapi juga UE, Australia, dan Kanada. Surplus ini sebagian besar dilempar ke
pasar dunia yang semakin terbuka akibat liberalisasi perdagangan. Dan mereka pun
sangat lapar mencari pasar. Sehingga telah berakibat pada hampir semua harga
pangan di pasar dunia merosot turun. Dalam periode 1995-1999, harga gula pasir
merosot -16% per tahun, kemudian diikuti oleh gandum (-7%), beras kualitas 5%
136
M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 4.
137
W. Bello, Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on
Agriculture, Loc.cit.
89
broken (-6%), dan kualitas 25% broken (-7%), jagung dan kedelai masing-masing
turun (-5%) 138 .
Dampak yang tidak bisa dihindari adalah terjadinya surplus produk pertanian di
negara-negara maju tersebut, yang mau tidak mau akan dilempar ke pasar dunia.
Melimpahnya produk pertanian (excess supply) akan menekan harga pangan.
Akhirnya produk pertanian negara-negara berkembang yang petaninya tidak disubsidi
tidak mampu bersaing. Terjadilah impor produk secara besar-besaran, baik legal
maupun ilegal. Lambatlaun, akibat ketidakseimbangan di level playing field itu petani
dan sektor pertanian di negara berkembang akan merosot dan bangkrut.
Liberalization of agricultural trade combined with a very weak financial and
technical support from government has proven to be a deadly formula for
Philippine agriculture. State support for agriculture has not even reached the ten
per cent de minimis level of subsidization allowable under rules of the WTO's
Agreement on Agriculture (AOA). Lack of government support is the main reason
why the idea-- floated by pro-WTO advocates during the ratification debate-- that,
spurred by the AOA, Filipino farmers would move into the production of high
valued added crops like cut flowers had little basis. Such a shift has high capital
requirements, which can only be provided by the state. 139
Padahal semangat Doha sebenarnya untuk mengurangi secara substansial
subsidi negara-negara maju l<epada petaninya karena menciptakan ketidak-adilan.
Mereka mampu mensubsidi petaninya, sedangkan negara berkembang tidak memiliki
dana yang cukup.
3.3 lmplementasi Perjanjian di Bidang Pertanian WTO di
Indonesia
"Indonesia, sejak Perjanjian di Bidang Pertanian atau Agreement on
Agriculture (AoA) - WTO ditandatangani tahun 1995, bcrbagai protcksi dan
subsidi untuk komoditas padi atau beras dikurangi, terutama subsidi input bagi
pctani. Scmua non-tarif diubah mcnjadi tarifikasi".
138
M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan lnd(mcsia,Op.cit. hal. 5.
139
Walden 11cllo, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit.
90
3.3.1 Kebijakan dan Dampak bagi Pertanian Indonesia
Hanya Indonesia, di antara negara berkembang yang berpenduduk besar serta
negara agraris - tidak untuk Cina dan India - yang berubah menjadi net importer
(periode 1998-2000, Indonesia mengimpor pangan sel<itar USD 863 juta per tahun).
Padahal periode ·1989-1991, Indonesia masih mengekspor pangan (net exporter)
USD 418 juta per tahun 140 .
Tidak seperti negara berkembang lain, ternyata Indonesia tergolong paling
liberal dalam kebijakan perdagangan internasional komoditas pertaniannya. Selain
membuka pasar secara radikal, Indonesia juga mengurangi subsidi petaninya. Hal ini
terlihat dari fakta sebagai berikut. Sejak tahun 1997, setelah Indonesia meratifikasi
WTO, sektor pertanian Indonesia telah masuk dalam liberalisasi perdagangan dunia.
Bahkan satu dekade sebelumnya arah kebijakan ini sudah dimulai di tahun 1987,
pemerintah mulai secara teratur mengurangi subsidi pestisida dan pupuk. Tahun 1988
pemerintah menghapus secara total subsidi pestisida. Subsidi pupuk kalium dihapus
sejak 1992, dan pupuk TSP sejak tahun 1994. Pada tanggal 1 Desember 1998
tataniaga pupuk dibebaskan sesuai dengan mekanisme pasar. Walaupun di tahun
2002 pemerintah kembali memberikan subsidi pupuk seuesar USD 35 juta tetapi
masih menghadapi permasalahan berkaitan dengan mekanisme dan prosedur
penarikan subsidi dari pemerintah ke pabrik pupuk yang belum dapat diterapkan. 141
Meski dalam berbagai pernyataan politik, para penyelenggara negara selalu
menyatakan, untuk beberapa tahun ke depan keberadaan Indonesia sebagai negara
agraris masih dipertahankan. Namun kenyataan empiris sebagaimana tercermin dari
beragam konsep kebijakan dan implementasinya di lapangan yang telah diungkapkan
140
Khudori, WTO dan Petani Indonesia, Loc.cit.
141
Andi Irawan, Liberalisasi Pasar Bagi Petani Kita, Sinar Harapan, (11 September
2003 ), (http://www .si narharapan.co. id/bcrita/0309)
91
diatas, kian mengarah pada kerancuan dan inkonsistensi. Secara terminologis free
trade,
industri seharusnya dikembangkan sejalan dengan potensi keunggulan
komparatif sumberdaya lokal, sementara dukungan sektor agrobisnis yang kuat pada
gilirannya akan rnembuat transformasi struktural yang diikuti pergeseran arah
pemanfaatan tenaga kerja yang full employment.
Keseimbangan kemajuan antara agrobisnis, industri dan sektor-sektor lain
mengarah penguatan ekonomi menuju kemandirian bangsa. Proteksi terhadap petani
diperlukan selama masa transisi menuju liberalisasi perdagangan. Proteksi dilakukan
dengan satu keinginan meningkatnya keunggulan daya saing produk pertanian
primer. Dengan demikian petani akan mampu meningkatkan kesejahteraan dan
mencerahkan kehidupan keluarganya. lndustri manufaktur berperan meningkatkan
nilai tambah produk pertanian primer itu melalui value creation.
Sangat disayangkan,
skenario demikian tidak berjalan simultan. Tidak
mengherankan bila kehidupan keluarga petani dipandang dari beberapa segi semakin
terpinggirkan. Hal ini terjadi oleh ketidakjelasan visi dalam membangun agrobisnis
yang kuat terdesentralisasi, dan berwatak kerakyatan misalnya, tercermin dari hampir
tidak adanya kebijakan makroekonomi yang mampu menciptakan iklim usaha yang
kondusif.
Petani begitu lemah saat berhadapan dengan perangkap kebijakan yang
bersifat disinsentif dan kontra pemberdayaan.
Salah satu contoh yang kini bergulir adalah ketidakjelasan formulasi impor
beras. Karena itu bila tidak segera dilakukan langkah-langkah pengamanan diikuti
penegakan hukum, selamanya kehidupan petani padi tidak akan pernah terangkat.
Pasar beras bakal terus dibanjiri beras impor sehingga panen raya mendatang akan
lebih menekan rendahnya harga gabah petani. Berkaitan kebijakan mengenai gabah
92
(beras) dalam perdagangan bebas. Andi lrawan mencatat beberapa kebijakan
berr'k utl42 :
•
Pertama. Pada era Presiden Habibie (1998) penerapan tarif impor nol
persen sehingga membanjirnya beras impor. Di era Presiden Gus Our
kebijakan tarif impor ini ditarik, pemerintah menetapkan tarif impor beras
sebesar 30% akan tetapi disertai kebijakan yang cukup kontroversial ketika
pemerintah merubah jalur impor beras dari jalur merah (beras impor ke
Indonesia baik yang dilakukan oleh Bulog maupun swasta harus melalui
custom valuation atau ·seleksi ketat dari volume dan kuantitas) berubah ke
jalur hijau (tidak memerlukan seleksi ketat). Padahal Indonesia masih belum
mampu mengurangi masuknya beras impor, dan keberadaan beras ilegal
(selundupan).
•
Kedua. Peranan Bulog sebagai salah satu institusi pelaksana State Trading
Entity sebagai lembaga penyangga cadangan pangan dan penstabil harga
beras telah dilepaskan hak monopoli impornya di era Habibie, dan dicabut
fasilitas pemberian BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) sebagai
fasilitas untuk membeli sisa kelebihan produksi gabah dalam rangka
melindungi petani dari anjloknya harga karena excess supply di pasar dalam
. 143
negerr.
•
Ketiga. Perubahan kebijakan harga dasar (floor price) dan diganti dengan
kebijakan harga pembelian (procurement price) melalui lnstruksi Presiden
(lnpres) No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan yang
ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 31 Desember
142
.
L OC.Clt..
143
Penghapusan monopoli Bulog atas kegiatan impor sejumlah bahan pangan dan hakhak khusus sebagai STE dimulai pada 1998 melalui sejumlah keppres dan Surat Keputusan
Menperindag. Keputusan terakhir soal pencabutan hak Bulog sebagai STE beras dilakukan
melalui Keppres No.19/1998 tanggal 21 Januari 1998, diikuti SK Menperindag
No.39/MPP/Kep/19/1998 tertanggal 22 September 1998. Berdasarkan dokumen tersebut
Sekretariat WTO mencabut hak Bulog sebagai STE beras pada 16 November 1998. Bulog
beralih status menjadi Perum (perusahaan umum) pada 13 · Januari 2003 menyusul
ditandatanganinya PP Perum Pangan oleh Presiden RI. "WTO Setujui Notifikasi Bulog Sebagai
STE,"
93
2002. Kebijakan harga pembelian (procurement price) pemerintah secara
konsepsional berbeda dengan kebijakan harga dasar (floor price). Konsep
procurement price didasarkan pad a target kuantitas, yaitu membeli sejumlah
tertentu pada harga yang sesuai table rafaksi. Pengaruh pembelian tersebut
terhadap harga di pasar bukan menjadi perhatian penting, karena sifatnya
pada target kuantum, maka tingkat harga di pasar adalah residual.
Sebaliknya, pada floor price, target utamanya adalah mempengaruhi harga
di pasar agar berada di atas harga dasar yang ditentukan. Kuantum
pembelian tidak ditentukan besarnya - tergantung pada situasi harga dan
suplai. Pembentukan harga di pasar menjadi perhatian utama sedangkan
kuantitas pembelian menjadi bersifat residual.
Pada pasar beras yang terbuka seperti kondisi pasar kita dewasa ini, maka
kebijakan procurement price tidak menyentuh kepentingan petani karena: 144
•
Jumlah
yang
dibeli
akan terbatas
sehingga
pengaruhnya terhadap
pembentukan harga minimal bagi para petani tidak dapat dijamin.
•
Dengan kuantum yang terbatas, sulit membagi kuantum tersebut kepada
setiap petani yang jumlahnya jutaan di Indonesia.
•
Demikian juga dengan administrasinya apabila pembelian dilakukan melalui
perdagangan dalam bentuk gabah, maka sulit memastikan bahwa gabah
tersebut berasal dari petani.
Indonesia, sejak Perjanjian di Bidang Pertanian atau Agreement on Agriculture
(AoA) -
WTO ditandatangani tahun 1995, berbagai proteksi dan subsidi untuk
komoditas padi atau beras dikurangi, terutama subsidi input bagi petani. Semua nontarif diubah menjadi tarifikasi. Khusus untuk beras, M. Husein Sawit 145 mencatat suatu
ketentuan bahwa MAV (Minimum Access Volume) adalah 70 ribu ton dengan tarif
90% (tariff quota), setelah itu tingkat tarif dapat dinaikkan ke 180% (binding tariff) dan
144
L OC.Clt.
.
145
M. Husein Sawit, Globalisasi dan AoA- WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 13.
94
diturunkan menjadi 160% pada tahun 2004. Telah disebutkan di atas, pada tahun
1998 liberalisasi perdagangan dilaksanakan, di era Presiden Gus Our, ada kebijakan
beras impor dikenakan tarif 30%. Pada awal tahun 2000 dikenakan sebesar Rp
430/kg (equivalent to 30% ad-valorem). Ternyata secara tidak langsung dapat
disimpulkan bahwa instrumen tarif tidak cukup efektif untuk membendung beras impor
yang harganya murah di Luar Negeri. 146
Selanjutnya kebijakan liberalisasi pertanian di atas oleh Andi lrawan 147
diungkapkan dampak liberalisasi pasar bagi petani padi kita. Dengan mengambil hasil
penelitian simulasi Faradesi yang menggunakan Farm household model, di mana
petani ditempatkan sebagai entitas pelaku ekonomi yang komprehensif, yakni sebagai
produsen, konsumen, dan sekaligus penyuplai tenaga kerja. Hasilnya menunjukkan
dampak liberalisasi pasar akan merugikan petani padi kita. Penelitian simulasi
Faradesi memberi gambaran sebagai berikut, penurunan harga gabah 30% (karena
membanjirnya beras impor, sehingga menurunkan harga gabah dalam negeri cukup
signifikan), tingginya harga input karena ditiadakannya subsidi input bagi petani (biaya
produksi: upah buruh tani, harga pupuk, harga benih dan harga obat diasumsikan naik
30%). Hasil simulasi tersebut menunjukkan dampaknya: (i) terjadi penurunan produksi
per luas lahan sebesar 6,95%; (ii) terjadi penurunan penggunaan pupuk dan benih
masing-masing sebesar 10,92% dan13,25%; (iii) terjadinya penurunan investasi
rumah tangga petani untuk usaha tani sebesar 1,09%. Artinya liberalisasi pasar
menyebabkan
kinerja
produktifitas
usaha
tani
memburuk.
Termasuk
tingkat
kesejahteraan petani menurun, diindikasikan adanya kenaikan 0,32% untuk biaya
kesehatan.
146
Ibid.
147
A n d'1 Irawan, L oc, crt.
.
95
Adanya anggapan bahwa beras murah lebih menguntungkan untuk orang
miskin - karena beras impor lebih murah, meski telah dikenakan tarif impor- ternyata
anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, tidak selamanya tingginya harga
beras otomatis menambah beban mereka. Jika simulasi Faradesi di atas skenario
harga gabah naik, maka hasilnya sejalan dengan pendapat ekonom lainnya, misalnya
lchsan 148 yang memberikan penjelasan sebagai berikut:
•
Beras adalah sebagai unsur penting penentu tingkat upah (wages good).
Naiknya harga beras akan meningkatkan upah nominal buat buruh tidak
terdidik (unskilled labour), sehingga akan berpengaruh positif terhadap
penurunan jumlah orang miskin, dan perbaikan distribusi pendapatan 149 .
•
Bila dianalisa dengan pendekatan Farm Household, maka naiknya harga
padi akan meningkatkan keuntungan usahatani padi dan meningkatkan
pendapatan penuh sehingga mendorong peningkatan konsumsi barang
lainnya.
•
Meningkatnya harga padi akan mendorong permintaan tenaga kerja di sub
sektor tanaman padi melalui intensitas tanaman serta areal tanam, sehingga
akan berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan akibat dari
kenaikan pendapatan para buruh tani 150 .
•
Kenaikan harga beras akibat pengenaan tarif, sebagian pendapatan tarif
akan dapat ditransfer melalui natura (beras) untuk kelompok miskin, seperti
program "raskin" beras untuk orang miskin.
•
lndustri perberasan adalah industri kunci dalam pembangunan pedesaan,
dan menarik perkembangan industri lainnya (pupuk, benih, obat-obatan) dan
14 x
M. Ichsan, Kemiskinan dan 1-Iarga Beras.(Dbampaikan pada Diskusi Panel dengan
tema: Alternatif Kebijakan Perberasan: Tinjauan Kritis Hasil Tim Kajian Kebijakan Perberasan
Nasional, diselenggarakan oleh PSP-IPB dan LPEM-Ul c!i Bogor 17 Juli 2001).
149
S.R. Tabor, Food Security, Rural Development and Rice Policy: An Integrated
Perspective, report for Bappenas (draft: 28 Juli 2001 ).
150 Jhid.
96
kegiatan tani lainnya di pedesaan (penggilingan, pengolahan gabah), secara
keseluruhan mengurangi urbanisasi.
Akibat maraknya beras impor, harga beras lokal yang sempat berada di kisaran
Rp 2.800 per kilogram pun terancam mengalami penurunan signifikan mengarah Rp
2.100 per kilogram. Masalahnya harga beras impor sampai di gudang importir hanya
sekitar Rp 2.100 per kilogram 151 . Kemungkinan bakal tertekannya harga beras lokal
kian mendekati kenyataan karena Thailand dalam waktu dekat akan melepaskan
800.000 ton stock berasnya 152 .
Tidak bisa dimengerti, petani kita yang dalam kondisi mencemaskan itu,
pemerintah tidak segera mengambil sikap tegas perlu tidaknya impor beras
dihentikan. Sejauh ini hanya sebatas pada pernyataan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Rini MS Soewandi tentang tidak perlunya Indonesia mengimpor beras
pada situasi sekarang, tetapi belum ada tindak lanjut ihwal proteksi untuk menghindari
keterpurukan petani 153 . Memang harus diakui proteksi negara terhadap petani
mengalami dilema tersendiri. Tidak jarang yang terjadi akibat proteksi adalah
government failure di mana kebijakan proteksi yang diberikan ternyata tidak
menguntungkan petani tapi dampaknya jelas merugikan konsumen, dan hanya
menguntungkan segelintir pencari rente sebagaimana kita saksikan dalam sejumlah
kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang pernah diterapkan selama ini. Dengan
151
Ading Suwandi, Ketidakjelasan Visi Ketahanan Pangan, Harian Kompas ( 18
Dcscmbcr 2003): 47.
152
Rencana Thailand tersebut di Indonesia menimbulkan kontroversi berkaitan dengan
pernyataan Perum Bulog yang akan melakukan imbal dagang dengan menampung kelebihan
stock Thailand. Guna memenuhi kebutuhan dalam negeri yang sekitar 2,2 juta ton per bulan,
sedangkan produksi nasional hanya sekitar 700.000-900.000 ton. Untuk mengatasi itu maka
imbal dagang dengan Thailand akan dilakukan. Lac. cit.
153
.
I ,OC.Cit.
97
demikian tantangannya menurut HS Dillon adalah, keliru bila pemerintah hanya
berupaya memproteksi produk-produk pertanian dalam negeri.
"Seharusnya yang diupayakan pemerintah bagaimana para petani dan buruh tani
bisa bersaing dengan adil. Sekarang ini persaingannya tidak adil, karena petani
dan buruh tani Indonesia sendiri tidak didukung oleh pemerintah, justru malah
disuruh bersaing dengan agribisnis". 154
Untuk mengurangi penyelundupan beras yang kian marak, HS Dillon menolak
menggunakan cara peningkatan bea masuk karena kualitas kelembagaan seperti
sekarang hanya akan menambah insentif bagi penyelundup. Di Indonesia saat ini
tidak ada kebijakan ekonomi pertanian yang utuh, masing-masing sektor mempunyai
kebijakan sendiri bahkan tumpang tindih. Saat ini paling mendesak menciptakan
seperangkat insentif agar petani dan buruh tani terangsang terus meningkatkan
produktivitas dan efisiensi. 155
3.3.2 Kebijakan dalam Negosiasi di Bidang Pertanian WTO
Kita telah membahas tentang kebijakBn Indonesia yang progresif meliberalisasi
perdagangan di bidang pertanian, juga sudah merasakan dampak buruknya. Hal ini
rupanya telah disadari oleh masyarakat Indonesia, yang terwakili pada saat rapat
dengar pendapat Komisi Ill DPR-RI dengan Kepala Bulog di bulan Januari 2003.
Komisi Ill DPR-RI dan Bulog sependapat bahwa beras merupakan komoditas
strategis yang memiliki sensitifitas yang tinggi, yang menyangkut stabilitas sosial di
masyarakat. Untuk itu, Komisi Ill DPR-RI menyarankan kepada pemerintah agar
kebijakan harga beras tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas seperti pada
saat ini, dan pemerintah perlu melakukan perubahan terhadap Kebijakan Perberasan
154
"Pasca-kegagalan Konsensus di Sidang WTO: Kesepakatan Perdagangan
Multilateral Perlu Dibangun". http://www.sinarharapan.eo.id/ekonomi/industri/, 15 Desember
2003.
155
L OC.It
.
98
Nasional, juga
institusi (lembaga) yang
menanganinya secara terpadu
dan
komprehensif di dalam koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian. 156
Lebih lanjut dalam menyikapi strategi komoditas beras. Pada saat yang sama
Komisi Ill DPR-RI meminta agar pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk dapat
mewujudkan swasembada beras yang berorientasi kepada pembangunan pedesaan,
karena peningkatan produksi padi dapat membawa ketahanan sosial yang cukup
tinggi di dalam kerangka membangun ketahanan pangan nasional, yang harus tetap
merupakan prioritas kebijakan nasional sebagai unsur perekat persatuan dan
kesatuan bangsa.
Sekarang, bagi pemerintah apa yang seharusnya menjadi fokus dalam
negosiasi perjanjian di bidang pertanian mendatang? Sependapat dengan pandangan
pakar seperti MH Sawit, HS Dillon, W Bello, dan para pakar yang tidak terperangkap.
premis neo-liberalisme. Adalah saat ini paling mendesak menciptakan seperangkat
insentif agar petani dan buruh tani terangsang terus meningkatkan produktivitas dan
efisiensi. Permasalahan dan jawaban, keduanya memiliki spektrum pertimbangan
yang luas untuk suatu kebijakan komprehensif yang akan dibuat. Dari sudut perspektif
yang jauh ke depan - tanpa mengabaikan sasaran jangka pendek peningkatan
produksi padi guna swasembada beras - mencapai ketahanan pangan berbasis pada
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Diperlukan suatu kebijakan dengan
substansinya adalah yang secara eksplisit tidak menentang globalisasi vis a vis
dengan neo-liberalisme, melainkan yang ditentang adalah ketidak-adilan.
Premis di General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan World Trade
Organization (WTO), adalah untuk mencapai konsensus liberalisasi perdagangan
156
Januari
Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kepala Bulog 22
Siaran Pers Bulog. http:/\n\w.bulo!Z.!Zo.idlpersl, 9 Desember 2003.
~00~.
99
internasional diantara negara-negara anggota dalam suatu perjanjian multilateral.
Seperti dinyatakan oleh WTO:
''The WTO is the only international body dealing with the rules of trade between
nations. At its heart are the WTO agreements, the legal ground-rules for
international commerce and for trade policy. The agreements have three main
objectives: to help trade flow as freely as possible, to achieve further liberalization
gradually through negotiation, and to set up an impartial means of settling
disputes.J 57
Hasil studi telah memperlihatkan bahwa dampak negatif sebagai konsekuensi
Agreement on Agriculture (AoA) untuk Indonesia, Philippina dan negara berkembang
lainnya adalah sangat ketidakseimbangan yang melembaga pada tingginya tingkat
domestic support, subsidi, dan tarif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa. Akibatnya
"
seperti telah dibahas, kian mendorong kelebihan produksi dan anjlok harga di pasar
dunia konsekuensi dari export dumping, meruntuhkan sektor pertanian di negaranegara berkembang. AoA tidak mampu mereformasi 158 perdagangan internasional
komoditas pertanian, bahkan telah melembagakan dua kepentingan bertentangan,
157
WTO, (http://www. wto.org/wto/about/)
158
How much policy reform since the mid-1980s?
• Progress in reforming policies and liberalising trade in agriculture has been
limited. Some governments have granted special income support to farmers and
diluted planned reforms when market pressures emerge.
• Production and trade distortions remain significant, although there has been
some shift away from commodity-specific market price support to direct
payments to farmers.
• There has been no convergence of levels of support across countries or
commodities.
• Despite changing consumer and public concerns, such as for food safety and
the environment, ond the closer integration of agriculture into the agro-food
chain and the rest of the domestic and international economy, there have been
few innovations in the type of agricultural policy measures and institutions
used, and there is often a lack of policy coherence between agricultural, trade,
environmental and developmental policies.
Scjak tahu 1987 OECD telah melakukan monitoring dan evaluasi pembangunan di
bidang pertanian dan kebijakan yang terkait di antara negara-negara anggotanya lebih lanjut.
OECD, "A Programme Responsive to Evolving Policy Issues". http://www.oecd.org/agr/ , 12
Desember 2003.
100
antara pertanian sosial bersubsidi di negara Utara, dan pertanian free trade nirsubsidi
di negara Selatan - yang hendak selalu dipaksakan. lni sepertinya membawa AoA
sebagai instrumen persaingan monopolistik antara Uni Eropa dan Amerika Serikat 159 .
Amang dan Sawit menyebutnya sebagai pasar oligopoli. 160
Masuk ke forum negosiasi di WTO, bagi Indonesia sepertinya bergabung ke
suatu badan yang tidak hanya acuh tak acuh terhadap pembangunan (pedesaan
negara berkembang), tapi juga tidak transparan dan tidak demokratis dalam
pengambilar. keputusan. Kendali efektif pada kekuatan pengaruh multinational
corporations (MNCs) melalui proses yang disebut "konsensus," 161 yang kompradorkompradornya ada di Indonesia dan berbagai negara berkembang. Kekecewaan
terhadap pembuatan keputusan yang tidak adil di WTO, melatarbelakangi gagalnya
Konferensi WTO ke-V di Cancun, 10-14 September 2003 lalu.
Oleh Bello, ketidak-adilan dan ketidak-transparan dalam forum pengambilan
keputusan AoA yang ditengarai sebagai berikut:
"The study finds that it was only through arbitrary procedures, non-transparent
mechanisms such as the "Green Room," and intimidation that the big trading
powers managed to get the developing countries to agree to the declaration issued
by the Fourth Ministerial in Doha, Qatar, held in November 2001. That declaration
launched a limited round of new negotiations for trade liberalization that most
developing countries had been opposed to before the ministerial.
The momentum from Doha failed to surmount deep-seated differences. Trade
negotiations have ground to a halt less than three months before the Fifth
Ministerial, which will be held in Cancun, Mexico. The big fear is that in order to
159
Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit.
160
Over produksi di negara-negara maju dengan pertumbuhan penduduk yang rendah,
scbaliknya produksi di negara berkembang tidak mengejar kebutuhan swasembada dalam
negerinya selain karena tinggi jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk, turunnya
produktifitas akibat anjloknya harga gabah/beras dunia. Produsen pangan akan terkonsentrasi
pada 4 negara kaya yaitu AS, Kanada, dan Selandia Baru. B. Amang, c~an M. Husein Sawit,
"Perdagangan Global dan Implikasinya Pada Ketahanan Pangan Nasional". Agro-Ekonomika
(Tahun-27, 1997): 2.
161
Walden Bello, Multilateral Punishment: the Philippines in WTO,Loc.cit
101
push through further global trade liberalization, the negotiators of the big trading
powers will again resort to non-transparent methods as in Doha."
Menghadapi hal itu, persoalan bagi Indonesia adalah selain kurangnya
sosialisasi dan publikasi, juga data-data studi analisis serta informasi yang diperlukan
pada kebijakan yang dibangun, misalnya:
(1). Tentang apa yang akan disampaikan kepada WTO, jika pemerintah
Indonesia ingin menerapkan kuota beras, dan rencana menghentikan
impor beras yang disampaikan oleh Menperindag Rini MS Soewandi
dalam beberapa kesempatan, serta rencana Bulog sebagai State Trading
Entity (STE) yang akan melakukan imbal dagang dengan Thailand: 162
(2). Program-program pemerintah (government services programmes) yang
akan diberikan atau lebih luas lagi adalah suatu domestic support terkait
special and differential treatment yang akan diterapkan pada sektor
pertanian Indonesia, dalam rangka mewujudkan swasembada beras
yang berorientasi kepada ekonomi rakyat pembangunan pedesaan, dan
ketahanan pangan;
(3). Tindakan pemerintah yang akan diambil terhadap beberapa produk
impor seperti proteksi dalam Infant Industry Protection, perubahan Tariffs
Schedule, Negative Effect on Balance Payment dan Safeguard;
(4). Posisi antisipasi bidang pertanian yang berkaitan hambatan non-tarif
seperti Bio Terrorism Act (AS), Bio Security Act Australia dan White
Papper on Food Safety dari Uni Eropa, serta Eco Labeling maupun isuisu penting lainnya dalam GATT seperti TRIPs, TRIMs dan GATS?
162
WTO menyetujui notifikasi pemerintah Indonesia soal status Bulog sebagai State
Trading Enterprise (STE) khusus beras. "Dalam satu-dua hari ini kami akan dapat bukti tertulis
soal approval WTO itu, sementara ini saya baru den gar dari direktorat lain," kata Chaeruddin.
Chaeruddin menegaskan status STE tersebut tidak mengubah misi Perum Pangan sebagai
lembaga pemerintah dengan tanggung-jawab mcmberi pelayanan publik dalam hal ketahanan
pangan nasional. Kepala Biro Kerjasama Internasional dan Hubungan Antar Lembaga Bulog
Husein Sawit membenarkan bahwa status STE khusus beras sudah dikembalikan kepada Bulog
bersamaan dengan persetujuan WTO yang dikeluarkan bagi sejumlah lembaga sejenis di
Kanada, Cina, dan beberapa negara lainnya. Sementara 500.000 ton beras Thailand
dijadwalkan tiba di Indonesia pada Agustus-September 2003. "WTO Setujui Notifikasi Bulog
5-.'ehagai STF;," l,oc.cit.
102
Pada saat tesis ini disusun, Konferensi Tingkat Menteri ke-V di Cancun,
Mexico, 10-14 September 2003 baru saja berlalu dengan mengalami kebuntuan
dalam perundingannya. Draft Cancun, seperti diketahui semua pihak dianggap sangat
mengecewakan sebagian besar anggota WTO, khususnya negara berkembang 163 .
Oleh Alan Oxley dijelaskan,
"At Cancun, Ministers failed to agree on something very simple: how the Doha
Round of negotiations was to proceed. Developing countries, lead by African
countries, were adamant that there should be no negotiations on how to provide
for transparency in government procurement or how to streamline administration of
controls on trade ("trade facilitation" in the jargon). The breakdown was a very
serious because very little was at stake. "164
Bagi Indonesia, Menperindag Rini MS Soewandi memberi pernyataan bahwa,
"Sikap negara maju seperti yang mereka tunjukkan dalam forum WTO
memberikan tanda yang sangat jelas kepada kita bahwa kemiskinan di negara
berkembang akan terus berlangsung 165 , karena negara maju terus menerapkan
hambatan tarif dan non-tarif pada produk-produk pertanian negara berkembang.
163
Beberapa pandangan kritis terhadap draft KTM ke-V Cancun. Lihat: Martin Khor,
Developing Countries Prepare for Agriculture Battle at Cancun Ministerial. (TWN Report
from Cancun, 9 Sept 2003). http://wto.dprin.go.id/, 10 Nopember 2003.; Chakravathi
Raghavan, No Easy Answer on How to Proceed After Cancun. Published in: South-North
Development Monitor (SUNS) No. 5427 (26 September 2003).
164
Alan Oxley, The Consequences ofCancun- the WTO as Workhouse not Poorhouse.
http://www.apec.org.au/docs/workhouse.asp, 3 Desember 2003.
165
Mcnanggapi hal ini Bello menegaskan bahwa selama ini, "And what little promise it
offered for the poor countries had been betrayed long before Cancun. Emblematic of this state
of affairs was Washington's refusal to live up to the Doha Declaration's placing public health
concerns over the patent rights of its pharmaceutical corporations up till the eve of the
ministerial and its agreeing only after it got the developing countries to agree to a
cumhersome procedure that would make cheap imports of life saving drugs for people
suffering from HIV-AJDS and other dreaded diseases extremely difficult." Walden Bello, The
Meaning of Cancun. (This article appeared in the "Perspective" Section of the Bangkok Post,
Sept. 19, 2003.) http://www.ourworldisnotforsale.org/cancun/WTO/cancun!Report/05 .asp, 25
Nopember 2003. Oxley mengungkapan konsekuensinya, "The ultimate consequence or their
action may he that th('y will he required to take responsihilityfor their own affairs. There is a
distinct shiji against the paradigm which shaped international affairs over the last 40 years
that governments have the sovereign right to ruin their own nations and it is the responsibility
of rich countries to save the poor. "Alan Oxley, Loc.cit.
103
Sikap negara maju tersebut memaksa Indonesia dan negara agraris lainnya untuk
menemukan pasar alternatif' 166
Kebuntuan perundingan di Cancun ini, memberikan momentum bagi Indonesia
dan negara berkembang untuk mempersiapkan diri terhadap adanya kesepakatan
perdagangan multilateral maupun regional lainnya yang lebih adil. Dalam hal ini,
Indonesia harus bertindak lebih pro-aktif dengan kebijakan-kebijakan yang lebih
komprehensif dan terencana, tidak seperti selama ini setiap kebijakan yang
dikembangkan cenderung bersifat ad hoc.
3.3.3 Indonesia danTrade Policy Review Body WTO
Saat ini, pasca-Cancun. Agenda sidang lanjutan tidak akan bisa dilanjutkan
tanpa ada terobosan-terobosan dalam aspek rules. Pengalaman di masa lalu
selayaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Suatu kebijakan perdagangan
yang harus dinotifikasi misalnya, diperlukan adanya kajian yang mencukupi. Dalam
hal ini Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KIPPI) yang dibentuk melalui
Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan lndustri
Dalam Negeri Akibat Lonjakan lmpor, adalah lembaga yang pertama kali bertanggung
jawab dalam masalah lonjakan barang impor yang dampaknya dapat diduga
memberikan kerugian serius atau ancaman serius terhadap industri dalam negeri.
Kebijakan perdagangan Rl hasil kajian KIPPI yang dikeluarkan pada periode
1998-2002, tercatat setidaknya ada enam kebijakan-kebijakan, antara lain:
(I). tata niaga tekstil,
(2). pelarangan impor paha ayam,
(3). kebijakan impor otomotif,
(4). masalah ketentuan pembukaan lahan pertambangan di hutan lindung,
166
"Perlu Pasar Baru Setelah Gagalnya Pertemuan Cancun." Siaran Pers.
bttp://~\f\Y.VV.J.lpril1~).id/indfuubljkasi/siaran pcrs/, 16 Dcscmbcr 2003.
104
(5). pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection/PSI) untuk
beberapa produk, dan
(6). kebijakan impor minuman keras
Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Perdagangan Dunia akan
mengevaluasi dan meminta klarifikasi kebijakan perdagangan yang dikeluarkan di
antara mereka, termasuk terhadap Indonesia. Dalam siaran persnya, Sekretariat
WTO menyebutkan sejumlah anggota dalam Trade Policy Review Body meminta 12
isu perdagangan, yaitu (1) status kebijakan yang baru menyangkut rencana investasi
asing; (2) persetujuan partisipasi liberalisasi; (3) perdagangan regional; (4) sejumlah
kebijakan tarif; (5) lisensi impor; (6) formulasi standard (SNI); (7) legislasi paten; (8)
tindakan terhadap pembajakan HaKI; (9) komitmen aturan jasa finansial; (1 0) produk
transgenik;
. . t
panw1sa a.
(11)
deregulasi
sektor
telekomunikasi;
dan
(12)
pengembangan
167
Sidang Trade Policy Review Mechanism (TPRM) dilaksanakan di Geneva, 2730 Juni 2003. Dalam sidang tersebut, isu-isu sensitif kemungkinan besar akan
dipersoalkan negara-negara maju, seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Australia.
Pada sidang
Trade Policy Review Body setiap negara diminta memberikan
penjelasan komprehensif mengenai keseluruhan kebijaksanaan ekonominya serta
kebijaksanaan perdagangan yang mempunyai dampak terhadap sistem perdagangan
dunia. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang pertama kali tampil
dalam TPRB ketika forum tersebut mulai dibuka sebagai suatu kegiatan baru dalam
167
"WTO Minta Klarifikasi 12 Isu Perdagangan." Kompas, http://www.kompas.com/,
2 Desember 2003.
105
GATT. Forum ini berjalan sepanjang tahun dan setiap negara anggota mendapatkan
giliran untuk diminta penjelasannya 168 .
Delegasi Indonesia dipimpin Pos Hutabarat, Dirjen Kerjasama lndustri dan
Perdagangan lnternasional (KIPI) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, telah
bekerjasama dengan departemen dan instansi teknis lain, seperti Departemen
Pertanian,
Departemen
Keuangan,
Badan
Koordinasi
Penanaman
Modal,
Departemen Kehutanan, serta Sea dan Cukai. Dikatakan Pos Hutabarat, pihak
Indonesia sendiri siap menjelaskan kebijakan-kebijakan tersebut kepada negaranegara WTO dengan didasarkan prinsip dan ketentuan \1\'TO serta pada kepentingan
industri dan perdagangan Indonesia.
Untuk menghadapi keberatan dari negara-negara WTO dan mempertahankan
kebijakan perdagangan Rl yang disoroti, Indonesia memegang tiga prinsip. Ketiga
prinsip adalah: (1) menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia golongan bawah
(poverty alleviation atau pengentasan kemiskinan), keamanan pangan (food security),
dan pengembangan ekonomi pedesaan (rural development). Jika persoalan dan
argurnentasi Indonesia ditolak dalam sidang itu, isu yang dipersoalkan akan dibahas
dalam penyelesaian sengketa (dispute settlement). Negosiasi dalam penyelesaian
pertentangan argumen itu memakan waktu sekitar 18 bulan. Setelah itu, baru
diputuskan suatu kebijakan melanggar WTO atau tidak (Kompas, 26 Juni 2003).
Sedangkan
sistem
penyelesaian
sengketa
dalam
beberapa aspek yang khas yang dapat dikemukakan.
GATT
mengandung
Karakteristik tersebut
Berkaitan dengan upaya pemantauan perkembangan dalam perdagangan dunia,
maka dalam salah satu keputusan dari Putaran Uruguay, telah ditetapkan suatu mekanisme
pengkajian perdagangan atau Trade Policy Review Mechanism (TPRM). Mekanisme
pengkajian dilaksanakan melalui sidang tahunan, forum untuk membahas kebijaksanaan
komprehensif dari setiap anggota GATT, yang kemudian telah menjadi bagian integral dari
WTO, yakni Trade Policy Review Body (fPRB). H.S. Kartadjoemena, Op.cit, hal. 102.
168
106
berkembang secara pragmatis seperti halnya berbagai konsensus internasional
lainnya. Perjanjian GATT tidak mencantumkan keharusan untuk menyerahkan
sengketa kepada lntqrnational Court of Justice (ICI). Karena tidak adanya keharusan
untuk menyerahkan kasus sengketa kepada ICI, maka GATT mempunyai banyak
peluang untuk melakukan beberapa inovasi. Oleh Oliver Long, mengutip Malinverni,
menekankan jikalau pemecahannya yang legalistik akan menimbulkan ketegangan
yang tidak menguntungkan kepentingan jangka panjang sebagai suatu organisasi
internasional.,
"If a legal solution is applied in an international organization, this does not
necessarily safeguard the spirit of collaboration among its members. On the
contrary, it can compromise it. Moreover, in international organization, a dispute is
considered less a conflict of interest between states, to be satisfied by application
of the law, than as an obstacle to its good functioning". 169
Selanjutnya, dikemukakan bahwa tujuan utama yang menjadi sasaran bagi
negara anggota adalah untuk menjaga agar keseimbangan dalam konsesus dan
keseimbangan dalam keuntungan dan kewajiban (fairness and eqauality) antar semua
anggota tetap terjamin.
"... the GA TT's aim, as perceived by contracting parties, is to preserve the balance
of concessions and the balance of advantages and obligations between members
countries, and not to resort to sanction whenerver a country is in breach of iths
rules." 170
Prosedur yang dapat diambil apabila terjadi kerugian yang timbul berupa
"penghapusan" (nullification) atau "kerusakan" (impariment) atas hak dan keuntungan
yang telah diperoleh suatu negara me lui perjanjian GATT. Pasal XII Ayat (1) berbunyi:
If any contracting party should consider that any benefit accruing to it directly or
indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attaintment
of any objective of the Agreement is being impede as a result of: (a) the failure of
169
Olivier Long, Low and its Limitation in the GATT Multilateral Trade System.Op.cit.
170
Ibid. P. 65-66.
P. 65.
107
another contracting party to carry out its obligation under this agreement, or (b) the
application by another contracting party of any measure, whether or not is conflicts
with the provisions if this Agreement, or (c) the existence of any other situation, the
contracting party may, with a view of satisfactory adjustment of the matter, make
written representations or proposals to the other contracting party or parties which
it considers to ue concerned. Any contracting party thus approached shall give
sympathetic consideration to the representations or proposal made to it.
Pada Pasal XXIII Ayat (2) diberikan langkah dan prosedur yang diperlukan
sebaga dasar untuk menyelesaikan sengketa.
If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties concerned
within a reasonable time, or if the difficulty is of the type in paragraph 1 © of this
Article, the matter may referred to the Contracting Parties. The Contracting parties
shall promptly investigate the matter so referred to them and shall make
appropriate recommendations to the contracting parties which they consider to be
concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate.
Apabila masalah dalam sengketa dianggap oleh Contracting Parties sebagai
sesuatu yang cukup serius maka pihak yang merasa dirugikan dapat diberi otorisasi
untuk mengambil langkah retalisasi yang ditunjukan kepada pihak yang dituduh telah
melanggar hak negara lain yang menuntut agar mencabut konsesi yang semula
diberikan kepada negara yang dituntut.
If the Contractiing Parties consider the circumtances are serious enough to justify
such action, they may authorize a contracting party or parties to suspend the
application to any other contracting party or parties of such concessions or other
obligations under this Agreement as they determine to be appropriate.
108
Bab 4
Ketahanan Pangan Indonesia dalam Konteks WTO:
Kasus Beras
4.1 Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perberasan
4.1.1 Persepsi Ketahanan Pangan dan Net Importer
Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Pangan
adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya
hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Disamping
itu, ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional yang saat ini menurut
bukti di lapangan dinilai sangat rapuh. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia
telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang
merumuskan sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah
tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi,
merata serta terjangkau oleh setiap individu.
Persepsi definisi ketahanan pangan tersebut, mencakup dimensi fisik pangan
(ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi
individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai budaya dan religi (pola pangan yang
sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif serta halal), dimensi keamanan pangan
(kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia secara berkesinambungan). 171
Dari
persepsi tersebut, saat ini ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rumah
tangga. Walaupun pada tingkat nasional hasilnya telah lebih baik, masih banyak
rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup,
171
Hardinsyah dan Martianto, Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis
Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat. (Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan
Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001 ).
109
terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keanekaragaman pangan
menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. 172
Masyarakat pada awalnya memahami pengertian ketahanan pangan terfokus
pada kondisi pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda
dengan konsep ketahanan pangan, meskipun dalam beberapa hal mungkin berkaitan.
PBB mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama
pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan dapat
mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. Kemudian pada tahun 1986 World Bank
mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh
penduduk agar dap8t melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat.
173
Bagi Indonesia, beras masih menjadi inti dari usaha memperkuat ketahanan
pangan nasional tidak saja sekarang tetapi juga dalam 20-30 tahun mendatang.
Memperjuangkan swasembada beras pada tingkat tertentu, walau bukan dalam artian
autarki dengan menetapkan kebijakan nasional untuk menghindarkan ketergantungan
kepada negara lain dan ketahanan pangan nasional adalah dua hal yang sulit
dipisahkan. Pentingnya beras dalam keperluan gizi masyarakat, peran beras dalam
172
Bayu Krisnamurthi, Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 Tahun dan
Tantangan ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat (Artikel-Th.II-No.7-0ktober 2003)
http://www.ckonomirakyat.org.id/edisi 19/artikel 4htm, 12 Nopember 2003.
173
Ketika terjadi krisis pangan dan kelaparan di beberapa negara Afrika dan Asia
Selatan seperti Ethiopia, Bangladesh yang mengenaskan pada awal dekade 1970-an, sejak itu
istilah ketahanan pangan (food security) mulai menjadi wacana dan terus menggugah
kesadaran umat manusia. Satu tahun kemudian istilah ketahanan pangan pertama kali
digunakan oleh PBB pada tahun 1971, ditetapkan sebagai kebijakan pangan dunia, untuk
membangun komitmen internasional dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama
di kawasan Ali·ika dan Asia. Pada tahun 1<)94, Bank Dunia (World Bank), menyatakan bahwa
ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga mempunyai kemampuan
untuk membeli pangan. Dan ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga
mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986 World Bank
mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup pangan oleh penduduk agar·
dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat. S. Maxwell, and T. Frenkenberger,
Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. (New York: UNICEF and
IFAD, 1997)
110
stabilitas harga pangan dan harga konsumen, serta banyaknya rumah tangga yang
terlibat di dalamnya, menjadi alasan utama untuk swasembada dan menjadi prioritas
tinggi buat pemerintah. Keterkaitan erat antara stabilitas sosial dan kecukupan beras
serta dan terjangkaunya harga menjadikan beras sebagai komoditi politik di
. 174
Indones1a.
Perdagangan beras di pasar dunia masih sangat tipis (thin market) yaitu hanya
24 juta ton yang diperdagangkan, sekitar 6-7% dari total produksi dunia, bandingkan
misalnya dengan gandum, jagung, kedelai masing-masing 19%, 14%, dan 29%.
Ekspor beras dikuasi 6 negara eksportir utama: Thailand, Vietnam, Cina, AS, Pakistan
dan India. Perdagangannya dikuasai antara 15-20 pengusaha besar. Pasar beras
bersifat residual (residual market), negara-negara eksportir seperti Cina, India,
Vietnam akan membatasi ekspor beras, manakala cadangan pangan dalam negerinya
terancam. Sifat pasar residual berpengaruh pada ketidakpastian suplai dan harga
beras di pasar dunia. Oleh karena itu, pasar beras dunia lebih bercirikan pasar
oligopoli dari pada pasar persaingan. 175
Tabor mergungkapkan bahwa harga beras di pasar dunia sedikit sekali
kaitannya dengan efisiensi dari penggunaan sumber daya global. Harga pasar beras
dunia banyak terdistorsi - dengan berbagai bantuan dan proteksi untuk petani
produsen - terutama di negara OECD. Semakin rendah harga komoditas primer,
termasuk di dalamnya beras di pasar dunia, semakin tinggi support pemerintahnya
174 Lihat antara lain. Tim Perberasan Nasional, Formulasi Kebijakan Perberasan
Nasional. Di bawah koordinasi Bappenas dan Menko Perekonomian. (Jakarta, Juli 2001).;
Tabor, Loc.cit.; B. Amang dan M Husein Sawit, Loc.cit.
175 Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan lndonesia,Op.cit. hal. 12.
111
terhadap produsen. 176 Artinya, harga beras internasional tidak dapat dipakai sebagai
tolok ukur efisiensi, karena telah terdistorsi oleh berbagai kebijakan.
Perdagangan bebas merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha produkproduk pertanian Indonesia apabila tidak dapat meningkatkan daya saingnya.
Membanjirnya komoditi pertanian dari negara lain dengan harga yang relatif lebih
murah dapat menguntungkan konsumen tetapi dapat memberikan dampak yang
negatif bagi industri pertanian di dalam negeri. Upaya perbaikan secara menyeluruh
untuk semua aspek yang mendukung kegiatan usaha perlu dilakukan apabila tidak
ingin menjadi negara net importir bagi produk-produk pertanian, yang sesungguhnya
dapat diusahakan didalam negeri dan menjadi gantungan hidup jutaan masyarakat
pedesaan.
Tabcl 4-1 Neraca Pcrdagangan Produk Pertanian Tahun 1997-2001
(000 USD
Produk I
1998
1997
Tahun
Tanaman Pangan *:
157,186
110,575
Ekspor
1,888,011
lmpor
1,768,871
-1,658,296 -1,730,826
Defisit
Perkebunan *:
4,079,889
Ekspor
5,180,116
1,522,337 1,247,042
lmpor
3,657,779 2,832,847
Surplus
Peternakan*
66,947
112,260
Ekspor
453,866
837,860
lmpor
-341,606
-770,913
Defisit
Hortikultura*
80,196
139,438
Ekspor
124,473
273,430
lmpor
-44,277
-133,992
Defisit
Sumber: BPS d1olah.
*= Data thn 2001 s/d Desember.
---:----'-.
1999
2000
2001
91,187
2,426,336
-2,335,149
59,059
1,735,697
-1,676,638
56,363
1,404,472
-1,348,109
4,092,808
1,427,774
2,665,035
3,887,185
1,257,265
2,629,920
3,444,387
1,550,976
1,893,411
118,187
468,199
-350,012
204,021
752,798
-548,777
243,651
728,604
-484,953
355,930
147,435
208,495
295,539
243,012
52,527
171,150
253,170
-81,720
Secara umum perdagangan produk pertanian selama 5 tahun terakhir selalu
dalam posisi defisit, jumlah impor produk pertanian lebih besar dibandingkan dengan
jumlah ekspornya. Hanya neraca perdagangan komoditi perkebunan yang mengalami
176
. .
Tabor, Loc.c1t.
112
surplus. Untuk memperkecil defisit neraca perdagangan komoditas defisit neraca
perdagangan komoditas pertanian tersebut diatas, perlu dirumuskan suatu kebijakan
operasional yang dituangkan dalam suatu strategi pengendalian impor (Lihat Tabel41).
Tabel 4-2 Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Komoditas Utama Tanaman Pangan
TAHUN
PRODUKSI
PADI (BERAS)
1997
28,696,963.44
1998
2815991765.30
~999
2915501301.11
2000
301160,472.91
2001
2913261128.55
JAGUNG
1997
717151063.72
1998
819461491.63
1999
810971855.64
2000
815171511.49
2001
812291369.28
KEDELAI
1997
11244,462.34
1998
1 196 1730.37
1999
112671846.61
2000
9331904.86
2001
7561781.08
Sumber : BPS diolah
= Angka ramalan Ill BPS
I
KONSUMSI
IMPOR(TON)
EKSPOR (TON)
2213031449.53
2216041546.10
2113171185.87
21 13541152.82
2116721329.70
3481073.93
218941957.42
417481059.64
113541901.04
6421168.01
63.88
11980.82
21699.99
11189.36
31925.97
7481182.81
7581283.28
7681520.10
7691852.82
7811323.63
110981352.17
3131462.96
6181059.97
112641575.03
110351296.97
181956.95
6241942.19
901645.85
281065.87
90,473.86
118961463.37
119221065.63
212111036.44
212141870.68
212471872.25
6161375.01
3431123.?3
11301 754.62
112771684.99
111361419.44
5.88
0.28
4.62
520.85
1 18a.o5
I
I
lmpor pangan Indonesia meningkat pesat setelah liberalisasi pasar beras
dilakukan 1998. Indonesia kini menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, terbesar
kedua setelah Rusia untuk gula pasir. Separoh kebutuhan kedelai dan jagung berasal
dari impor. lmpor gandum 1997-2001 telah mencapai hampir 4 juta ton. Indonesia
menjadi
satu-satunya
negara
berkembang
berpenduduk
banyak
yang
juga
ketergantungan terlalu besar pada pangan impor. Meningkatnya pengeluaran devisa
- yang amat terbatas - untuk pangan dengan volatility pada nilai tukar tinggi.
Berpengaruh buru!~ terhadap stabilitas harga pangan dalam negeri dan stabi!itas
113
ekonomi makro, pada gilirannya mengurangi kemampuan untuk impor barang modal
yang amat diperlukan dalam pembangunan (Lihat Tabel4- 2). 177
Efek liberalisasi perdagangan produk pertanian akan berbeda antara negara
pengimpor lawan pengekspor, meski semua negara punya keinginan agar tercapai
stabilitas harga. Liberalisasi dapat mempengaruhi stabilisasi harga pangan dalam
empat hal yaitu: 178
1. Produksi akan berpindah dari wilayah yang tinggi subsidi ke wilayah rendah
subsidinya. Jika pergeseran ini berpusat pada suatu wilayah, maka bila terjadi
perubahan iklim (banjir, kekeringan, hama penyakit dan sebagainya) di suatu
wilayah akan berpengaruh terhadap ketidakstabilan harga pangan secara
global;
2. Tarifikasi berpengaruh terhadap stabilisasi harga yaitu menjadi lebih responsif
terhadap perubahan pasar dunia. Perilaku perubahan harga diperlukan guna
menyerap ekses suplai maupun permintaan;
3. Bila non-tariff barrier digantikan oleh tarif, juga akan membuat impor pangan
menjadi responsif terhadap perubahan harga pangan dunia;
4. Perbaikan informasi dalam memonitor pangan global.
Apabila liberalisasi perdagangan menimbulkan harga pangan tidak stabil,
terutama karena konjungtur pada masing-masing negara berbeda. Berkurangnya stok
beras dunia maka intervensi ke pasar khususnya negara eksportir akan berkurang,
karena otomatis harga naik adalah menguntungkan mereka. Dengan keterbatasan
stok ini, maka dunia akan kurang mampu menahan (buff9r) penyesuaian terhadap
177
Husein Sawit, Globalisasi dan AoA - WTO: Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Pangan Indonesia,Op.cit. hal. 15.
I?X
Michael Trueblood and Shah Ia Shapouri, Luc. cit
114
perubahan
konsumsi
dan
perubahan
produksi.
Meskipun
stok
dapat
menggantikannya, tetapi stabilisasi harga akan tetap terpengaruh. 179
Suatu negara yang bergantung pada impor pangan akan menghadapi sejumlah
goncangan (shock). Hal lain yang ditakutkan dari pembukaan pasar secara global
adalah meningkatnya kompetisi suplai pangan antara konsumen kaya di negaranegara maju lawan konsumen miskin di negara-negara berkembang. Di negaranegara maju, negara memberikan subsidi untuk pertaniannya. Di negara-negara
berkembang, negara mengenakan pajak terhadap pertaniannya. Karenanya efek
bersih dari reformasi ini pada pasar dunia menjadi tidak jelas. 180
4.1.2 Ruang Lingkup, Visi, dan Misi
Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari
tiga sub sistem yang saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem
distribusi dan sub sistem konsumsi. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan
harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem tersebut.
Pembangunan sub
sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan keseimbangan
penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan
sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan menjamin
stabilitas harga pangan strategis. Dan pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan
untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi
yang cukup, aman dan beragam. PembangJnan ketiga sub sistem tersebut
dilaksanakan secara simultan dan harmonis dengan menggunakan pendekatan
pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, pendekatan sistem usaha agribisnis
179
.
Ohga, 0 p.c1t.
180
Ibid.
115
yang
berdaya
saing,
berkelanjutan,
berkerakyatan
dan
desentralistis,
dalampendekatan koordinasi.
Achmad Suryana 181 mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ketiga
sub sistem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa
sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan
sebagainya. Disamping itu perlu juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti
kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan pangan.
Ketahanan pangan
dilaksanakan oleh banyak pelaku (stakeholder) seperti produsen, pengolah, pemasar
dan konsumen yang dibina oleh berbagai institusi sektoral, sub sektoral serta
dipengaruhi interaksi antar wilayah. Output yang diharapkan dari pembangunan .
ketahanan
pangan
adalah
terpenuhinya
hak
azasi
manusia
akan
pangan,
meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, meningkatnya ketahanan ekonomi dan
ketahanan nasional. Sistem ketahanan pangan yang kompleks tersebut digambarkan
dalam Kerangka Sistem Ketahanan Pangan sebagai berikut (Skema 4-1).
Untuk mewujudkan suatu kondisi ketahanan pangan nasional yang mantap,
ketiga sub sistem dalam sistem ketahanan pangan diharapkan dapat berfungsi secara
sinergis, melalui kerjasama antar komponen-komponennya yang digerakkan oleh
masyarakat dan pemerintah. Dalam komunitas masyarakat yang dinamis ini, sistem
tersebut dituntut untuk terus berevolusi mengikuti aspirasi masyarakat yang terus
berkembang. Dalam kondisi demikian upaya pemantapan dan peningkatan ketahanan
pangan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang kompleks.
Berbagai substansi yang menjadi komponen ketahanan pangan, rr.ulai dari sub sistem
penunjang yang meliputi prasarana, sarana dan kelembagaan, kebijakan, pelayanan
181
A. Suryana, Critical Review on Food Security in Indonesia. (Makalah pada Seminar
Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001).
116
dan fasilitasi pemerintah; sub sistem ketersediaan pangan yang meliputi produksi,
impor dan cadangan pangan; sub sistem distribusi yang menjamin keterjangkauan
masyarakat atas p3ngan; hingga sub sistem konsumsi yang mendorong tercapainya
keseimbangan gizi masyarakat; merupakan bidang kerja berbagai sektor. Sektor
pertanian diharapkan berperan sentral dalam memantapkan ketahanan pangan dalam
situasi dan kondisi perdagangan domestik dan global, bekerjasama dengan sektorsektor mitranya, khususnya industri dan perdagangan, prasarana fisik, serta
perhubungan. Dengan memahami hal tersebut, program peningkatan ketahanan
pangan ini harus memperhatikan seluruh komponen dalam sistem ketahanan pangan.
Skema 4-1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana, 2001)
Penunjang
Prasarana,
sarana dan
kelembagaan
• Produksi
• Pasca pancn
• l'cngolahan
• Penyimpanan
• Distribusi/
Pemasaran
•
Ketersediaan:
Jumlah & keragaman cukup, tingkat
nasional, wi!ayah dan rumah tangga,
dari waktu kc
waktu
Mencakup:
• Produksi
• Pasca Panen
• Pengolahan
• Cadangan
• llmpor/ekspor
t
Distribusi :
Terjangkau seluruh
wilayah, fisik dan
ekonomi dari waktu
ke waktu
• Menjamin aksesbilitas antar wilayah, antar
golong-an
pcndapatan
• Stabilitas harga
pangan strategis
Konsumsi:
Setiap warga mekonsumsi jumlah
dan gizi cukup
untuk tubuh, hidup sehat dan kegiatan produktif,
mencakuo aspek :
• Daya beli
• Keragaman
• Mutu gizi
• Keamanan
• Pengetahuan
t
Output:
• Pemenuhan hak
azazi atas pangan:
• Pemantapan ketahanan pangan
• Pengembangan
SDM berkualitas
• Peningkatan ketahanan ekonomi
• Peningkatan ketahanan nasional
t
Kebijakan dan Fasilitas
• Fasilitas pemerintah bagi kerukupan pangan, harga yang wajar,
terjangkau masyarakat
• Pcngaturan. pcngawasan mcnuju iklim usaha yangjujur, bcrtanggungjawab. pangan yang aman dan bergizi cukup
• Fasilitasi bagi pemberdayaan dan kemandirian masyarakat.
Sistem Perdagangan Domestik dan Global
117
Usaha membangun ketahanan pangan pada umumnya dan keanekaragaman
pangan khususnya saat ini diaktualisasikan kembali antara lain melalui UndangUndang Nomor 25 Tahun 2000 tentan Program Pembangunan Nasional (Propenas)
yang menetapkan Program Peningkatan Pangan. Berdasarkan Undang-undang
Propenas itu, maka:
•
Visi program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan keanekaragaman
produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pangan ternak,
ikan, tanaman
pangan,
hortikultura dan kebun serta produk-produk
olahannya; (2) mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin
peningkatan produksi, ketersediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan
yang lebih beragam; (3) mengembangkan usaha bisnis pangan yang
kompetitif dan menghindarkan monopoli usaha bisnis pangan; dan (4)
menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat.
•
Misi yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran program ini adalah:
(1) meningkatnya produksi dan ketersediaan beras secara berkelanjutan
serta meningkatnya produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan sumber
karbohidrat non beras dan pangan sumber protein; (2) meningkatnya
keanekaragaman
dan
kualitas
konsumsi
pangan
masyarakat
dan
menurunnya konsumsi per kapita; (3) meningkatnya skor mutu Pola Pangan
Harapan dan berkurangnya jumlah keluarga rawan pangan dan gizi; (4)
meningkatnya pemanfaatan teknologi produksi pertanian dan pengolahan
bahan pangan; (5) terselenggaranya undang-undang dan berkembangnya
kapasitas
kelembagaan
pangan
yang
partisipatif;
(6)
meningkatnya
produktivitas dan kualitas pangan yang dipasarkan; (7) menurunnya volume
impor bahan pangan dan meningkatnya bahan pangan substitusi impor; (8)
berkembangnya industri dan bisnis pangan; (9) meningkatnya partisipasi
masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan; dan
(1 0)
terciptanya
sistem
usaha
perikanan
yang
sa ling
mendukung
antarperikanan tangkap dan budidaya dalam upaya mendukung ketahanan
pangan.
118
4.1.3 Permasalahan Pelaksanaan Kebijakan Ketahanan Pangan
Kondisi tidak tahan pangan (food insecurity) secara sederhana berarti kondisi
pang an yang tidak terpenuhi untuk hid up sehat, aktif dan produktif. .Dalam wujud
nyata di masyarakat tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak
memadai, harga-harga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang dan pada tingkat
yang parah berupa kelaparan dan kematian. 182 Kondisi pangan yang sulit diperoleh
penduduk dan rendahnya daya beli masyarakat (baik karenc:t pendapatan rendah atau
kebijakan harga-harga pangan), apalagi kalau sampai terjadi kelaparan 183 dan gizi
buruk dapat dikategorikan/merupakan indikasi pelanggaran HAM 184 dan dampak
akhirnya adalah lost generation. Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus
bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangannya.
Tanpa menutup mata akan berbagai sukses yang telah dilakukan di bidang
ketahanan pangan, sampai saat ini kenyataan di lapangan masih kerap terjadi
kesenjangan dalam pembangunan ketahanan pangan di Tanah Air.
Kesenjangan
tersebut dapat kita cermati dari fakta-fakta berikut. Sekitar 40% rumahtangga
tergolong tidak cukup pang an 185 dan sekitar 18% rumah tangga tergolong miskin
(BPS, 1999). Sekitar 2,4 juta anak balita menderita gizi buruk, 5 juta balita menderita
gizi kurang, 7,5 juta wanita usia 15-45 tahun menderita gizi kurang. Sekitar 55 persen
182
M.Robinson, The Human Right to Food and Nutrition.
SCN-News. July (18).
1999.
183
Konsumsi energi yang dianjurkan adalah 2500 Kkal/oranglhari. Widya Karya
Pangan dan Gizi, 2000.
184
Berdasarkan Declaration of Human Right 1998, yang disepakati pemerintah
Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia.
G.H.Brundtland,. Nutrition, Health and Human Right. SCN-News. July (18), 1999.
185
Hardinsyah. Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju
Ketahanan Pangan. Dalam Pertanian dan Pangan Rudi Wibowo (ed). (Jakarta., Sinar Harapan.
2000.
119
ibu hamil dan 30 persen anak sekolah menderita anemia karena kurang gizi
(SUSENAS, 1998) dan sekitar 305.000 bayi dan anak balita meninggal setiap
tahun. 186 Menurut WHO (1998) sekitar 50 persen penyebab utama kematian bayi dan
anak adalah karena kurang gizi. Fakta tersebut juga memberikan indikasi bahwa
pelanggaran HAM dalam hal pangan ini cukup meluas di Tanah Air. Apabila keadaan
ini tidak ditangani secara cepat maka dapat mengakibatkan lost generation 187 .
Kesenjangan berakibat kondisi rawan pangan tersebut muncul karena adanya
beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pembangunan
pangan di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi
(termasuk
pertanian)
dan
kesejahteraan
sosial
(termasuk
pemberdayaan
masyarakat). Beberapa titik lemah dimaksud adalah:
(1 ). Ketimpangan kebijakan makro dan mikro ekonomi. Perhatian pad a
kepentingan non-pertanian khususnya industri (pangan dan pertanian
menjadi residual) jauh
lebih
besar dan melecehkan pemenuhan
kebutuhan pangan penduduk serta kesejahteraan petani sering kali
terabaikan. Sehingga potensi produksi pangan dan pertanian belum
dikelola secara optimal dan impor pangan cenderung meningkat.
(2). Dengan pembangunan ekonomi dianggap urusan pangan akan beres.
Sebagian besar policy makers baik di tingkat nasional maupun daerah
beranggapan bahwa dengan mengejar pertumbuhan ekonomi masalahmasalah pemenuhan kebutuhan pangan dengan sendirinya teratasi
sehingga kebijakan pangan tidak bisa berjalan dengan baik.
186
SDK (Survei Demografi dan Kesehatan.) Biro Pusat Statistik. Jakarta. Kantor
Menteri Negara Kependudukan I Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Jakarta.
Departemen Kesehatan Jakarta dan Macro International Inc. Calverton, Maryland USA. 1997.
187
Amelia Nani Siregar (et.al), Ketahanan Pangan dan Upaya Pencapaiannya.
(Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana I S3 Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Maret 2003 ). Hal. 6.
120
(3). Pembangunan pertanian bias perkotaan. Selama ini pembangunan
pertanian cenderung lebih bias perkotaan (menguntungkan penduduk
kota dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota) dan
nyaris mengabaikan tujuan gizi dan kesejahteraan petani.
(4). Lemahnya sinergi agribisnis dan ketahanan pangan. Pada awalnya
kebijakan di bidang agribisnis tampak saling konflik dengan kebijakan
ketahanan
pangan.
Sebagai
contoh,
peningkatan
ekspor produk
perikanan peningkatan devisa dan ekonomi pelaku agribisnis skala besar
di bidang ini, akan tetapi di sisi lain meningkatkan harga produk
perikanan untuk konsumsi dalam negeri. Berbagai studi menunjukkan
kondisi ekonomi dan status gizi keluarga nelayan leLih parah dibanding
kelompok lainnya. Akhir-akhir ini kedua kebijakan ini tampak mulai
sejalan namun pada progam atau implementasi masih belum sejalan
dengan hakekat dan tujuan ketahanan pangan.
(5). Lemahnya sistem informasi ketahanan pangan. lnformasi ketahanan
pangan mencakup dimensi yang luas seperti produksi, ketersediaan,
konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah.
lnformasi ini berguna bagi pemerintah sebagai basis perencanaan,
perkiraan dan evaluasi serta intervensi program pangan.
Sistem
informasi ketahanan pangan secara menyeluruh mustahil dibangun
sendiri oleh masyarakat. 188 Seharusnya pemerintah yang menguasai
teknologi
informasi sejak dulu
mengembangkan sistem
informasi
ketahanan pangan nasional secara berkala.
(6). Bias pembangunan pada beras. Pembangunan pertanian masa lalu amat
bias pada padi dan beras.
Sebagian besar upaya inovasi dan
pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada
padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan teknologi bagi
pangan lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal. Akibatnya
ketika
kebijakan
diversifikasi
konsumsi
pangan
digalakkan
untuk
Hardinsyah, (et.al). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan.
(Bogor: Kcrjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro
Perencanaan Deptan. 1998) ..
188
121
mengurangi
ketergantungan
pada
beras,
kemampuan
untuk
menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai
sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor.
(7). Degradasi nilai kepedulian sosial. Peran pemerintah yang sentralistik dan
cenderung mengambil peran masyarakat di masa Jalu serta tumbuhnya
kehidupan
ekonomi yang
cenderung
kapitalis telah
menimbulkan
degradasi nilai-nilai peduli sesama di masyarakat. Perilaku saling
membantu, tolong-menolong dan yang mampu memberi bantuan kepada
yang tidak mampu (informal social safety nets) semakin pudar di
masyarakat. Hanya dengan ikatan religi dan budaya yang kuat nilai-nilai
ini masih bertahan di masyarakat. Hancurnya nilai-nilai · kepedulian
pangan pada kelompok masyarakat tertentu merupakan salah satu
penyebab merebaknya masalah gizi buruk pada masa lalu. Di samping
itu, adanya kelembagaan yang mengatur pengadaan beras secara
nasional juga menjadi salah satu penyebab melemahnya sistem
cadangan pangan masyarakat yang telah ratusan tahun dikembangkan
masyarakat (lumbung dsb) terutama masyarakat pedesaan.
(8). Lemahnya kelompok pendukung kebijakan. Kebijakan lahir antara lain
karena desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan
berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami
tentang
makna dan tujuan
kebijakan tersebut disertai kelompok
pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal (Partai dan Ormas)
maupun
non-formal
di
masyarakat.
Lemahnya
peran
kelompok
pendukung kebijakan ketahanan pangan untuk mengingatkan 'penguasa'
menyebabkan
kebijakan
diresidualkan
bahkan
disimpangkan
implementasinya.
Selanjutnya, Suryana mengemukakan bahwa kebijakan yang akan dilakukan
dalam peningkatan ketahanan pangan adalah: IRCJ
I R9 ;\ .
s, uryana, I-rJc. ell..
122
1. Membangun sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh melalui
penciptaan
iklim
yang
kondusif
bagi
berfungsinya
sub-sub
sistem
ketersediaan, distribusi dan konsumsi secara sine1·gis.
2. Membangun kerjasama kelembagaan untuk meningkatkan ketahanan pangan
di pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
3. Meningkatkan kemampuan membangun ketersediaan dan cadangan pangan
dalam jumlah, mutu dan keragaman yang cukup diseluruh wilayah.
4. Meningkatkan kemampuan membangun sistem di$tribusi pangan untuk
menunjang penyebaran dan tingkat harga pangan yang terjangkau oleh daya
beli masyarakat.
5. Meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk-produk pangan olahan
sesuai potensi sumberdaya lokal, sehingga mendorong penurunan konsumsi
beras per kapita.
6. Meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan
ketahanan pangan yang berkelanjutan dan bertumpu pada sumber daya
kelembagaan dan budaya lokal.
7. Meningkatkan kewaspadaan pangan masyarakat agar dapat mengenali dan
mengantisipasi secara dini masalah kerawanan pangan di daerah.
4.2 UPAYA PENCAPAIAN KETAHANAN PANGAN
4.2.1 Pembangunan Agribisnis
Agribisnis merupakan rangkaian kegiatan atau bisnis berbasis pertanian yang
saling berkaitan dalam suatu sistem produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran dan
berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya. Keterkaitan dan akselerasi antar subsistem amat vital dalam membangun agribisnis yang tangguh. Kegiatan agribisnis
dapat menghasilkan produk pangan dan/atau produk non-pangan. Bahkan hampir
semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi berasal dari kegiatan agribisnis
baik yang berbasis di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi Indonesia, sebagian
besar produk pangan yang dikonsumsi penduduk berasal dari agribisnis dalam negeri.
123
Oleh karena itu ketahanan pangan yang tangguh tidak mungkin terwujud tanpa
agribisnis yang tangguh.
Pentingnya peran agribisnis dalam membangun ketahanan pangan dapat
dilihat dari berbagai aspek atau dimensi yang terkandung dalam pengertian
ketahanan pangan yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, yaitu dimensi fisik
(ketersediaan pangan), dimensi ekonomi (pendapatan dan daya beli), dimensi gizi
dan kesehatan serta dimensi waktu.
l<egiatan agribisnis menghasilkan produk pangan dan juga non-pangan.
Kemampuan pelaku agribisnis dalam negeri dalam menyediakan pangan untuk
pemenuhan kebutuhan domestik dan ekspor tidak saja akan menjamin ketahanan
pangan nasional serta mendukung terbentuknya ketahanan pangan rumahtangga dan
individu melalui penyediaan pangan yang cukup untuk setiap anggota masyarakat,
tetapi juga lebih jauh diharapkan mampu menjadi penghasil devisa serta menekan
impor/menghemat devisa (kedua hal ini diharapkan mampu memperbaiki neraca
pembayaran yang semakin buruk).
Disamping sebagai penyedia utama pangan, agribisnis di Indonesia juga
sangat berperan dalam menyediakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha serta
peningkatan nilai tambah yang semuanya bermuara pada peningkatan pendapatan
atau daya beli penduduk baik untuk pangan maupun non-pangan.
Upaya
peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agro-industri yang merupakan salah satu
sub sistem agribisnis selain meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting
dalam penyediaan pangan bermutu dan beragam (unsur penting dalam dimensi gizi
dan kesehatan) serta tersedia sepanjang waktu sehingga mampu mengatasi
kelangkaan pangan pada saat produksi rendah dan membantu menstabilkan harga
pada saat hasil produksi tinggi. Seperti diketahui, agro-industri dapat berperan dalam
124
peningkatan nilai tambah (nilai tambah ekonomi dan gizi) melalui empat kategori agroindustri190 dari yang paling sederhana (pembersihan dan pengelompokan hasil atau
grading); pemisahan (ginning) penyosohan, pemotongan dan pencampuran hingga ke
pengolahan (pemasakan, pengalengan, pengeringan, dsb) dan upaya merubah
kandungan kimia (termasuk pengkayaan kandungan gizi).
Pertanyaan yang cukup penting untuk dilontarkan adalah bidang agribisnis
pangan apa yang perlu dikembangkan agar pembangunan agribisnis mempunyai
sinergi yang kuat dengan pembangunan ketahanan pangan, khususnya dalam
penyediaan pangan yang cukup, beragam dan bermutu?
Tabel IV-3, tentang
konsumsi aneka pangan berikut ini sedikit banyak dapat memberikan ilustrasi tentang
komoditas apa yang perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan agribisnis.
Aneka umbi, misalnya mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan baik
sebagai substitusi
beras
(meski
konsumsi beras cenderung
menurun tetapi
kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60%, sedangkan umbi-umbian
sebagai pangan potensial sumber energi menyumbang hanya
dan
buah
sebagai
sumber
vitamin
dan
mineral
masih
~ekitar
3%). Sayuran
harus
ditingkatkan
konsumsinya. Dari konteks gizi dan kesehatan, konsumsi ideal kedua komoditas ini
adalah sekitar 250 gr/hr, sehingga masih ada peluang untuk meningkatkan konsumsi
dalam negeri sekitar 25%. Produk pangan hewani baru terpenuhi sepertiganya.
Bidang lain yang cukup potensial dikembangkan adalah agribisnis pangan olahan
(mulai industri rumah tangga hingga industri yang padat modal) 191 .
190 A.M.Saefuddin, Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan
Pertanian. (Makalah disampaikan pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian
sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23 - 24 Juli 1999).
191 Hardinsyah dan Martianto, Loc.cit.
125
Tabel 4-3 Konsumsi Aneka Pangan dan Pola Konsumsi (g/kap/hr)
Kelompok Pangan
(1) Beras
(2) Jagung
(3) Umbi-umbian.
(4) Ikan
(5) Daging
(6) Telur
(7) Susu
(8) Tahu dan Tempe
(9) Sayur
(10) Buah-buahan
(11) Minyak goreng
(12) Gula
Jumlah
Persentase pengeluaran
untuk makanan dan minuman jadi, bumbu dan
konsumsi lainnya
Sumber: SUSENAS 1987,
1987
320,0
24,8
65,7
34,2
7,1
8,9
3,0
24,9
123,4
74,3
18,9
24,0
729,2
12,0
1990
323,3
19,8
61,9
39,2
7,3
8,6
3,6
24,8
124,0
81,4
21,5
25,8
741,2
13,5
1996
305,4
7,4
61,4
42,0
11,7
13,9
5,5
32,3
121,5
68,6
27,8
27,9
725,4
14,2
1999
284,4
10,1
35,0
35,7
6,1
9,1
2,5
35,3
105,9
51,1
23,9
25,3
624,4
15,5
1990, 1996 dan 1999
Bagi para pengusaha agribisnis mampu melakukan manajemen pemasarannya
dengan baik, berwawasan pemasaran bermasyarakat yang mampu menentukan
kebutuhan, keinginan serta kepentingan pasar sasaran dan memenuhinya dengan
lebih efektif dan lebih efisien dengan cara mempertahankan atau meningkatkan
kesejahteraan konsumen dan masyarakat.
Guna pengembangan pasar para pelaku agribisnis harus melakukan langkahlangkah strategis sebapai berikut:
(1). Menentukan segmen pasar yang jelas (market segmentation)
(2). Menentukan pasar sasaran untuk setiap komoditas/produk (targeting)
(3). Memposisikan produk dengan strategi pemasaran (positioning)
(4). Mengidentifikasi pesaing
(5). Menentukan strategi pemasaran
(4P: Pricing,
Promotion,
Place,
Packaging) yang jitu
126
(6). Mengembangkan organisasi dan kelembagaan pemasaran yang kuat
(koperasi)
(7). Mengembangkan komoditas prospektif
(8). Mengembangkan sumberdaya manusia
(9). Menjamin kelancaran suplai produk dan mempertahankan pelanggan
(I 0). Menjamin mutu produk
4.2.2 Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan perwujudan pengembangan kapasitas
masyarakat yang bernuasa pada pemberdayaan sumber daya manusia agar dapat
memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat.
Realitanya mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan
diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dari luar sistem sosial
masyarakat yang diperdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering
ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini terjadi
sebagai akibat lemahnya posisi pihak yang diberdaya, karena ketidakmampuan
memberdayakan diri sendiri. Tetapi kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor
internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering disebabkan oleh supra infra
struktur yang
kurang
memihak kepada
mereka.
Karena
itu sangat penting
dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai
. pem b erd aya 192 .
m1't ra kerJa
Hardinsyah
dan
Martianto 193
mengemukakan
bahwa
pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu proses mengajak atau membawa masyarakat agar
192
A.S.H.Vitalaya, Pemberdayaan Mw.yarakat tani untuk Ketahanan Pangan dan
Pemulihan Ekonomi.(Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret
2001 ).
193 Hard'msyaI1 dan M arttanto,
.
Loc. c1t.
.
127
mampu melakukan sesuatu. Paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks
kemasyarakatan adalah mengembangkan kapasitas masyarakat yang dilakukan
melalui pemihakan kepada yang tertinggal. Dari sisi sasaran pemberdayaan
masyarakat bisa mencakup para keluarga petani, buruh, pedagang kecil atau
kelompok lain yang selama ini dikenal sebagai kelompok tertinggal yang perlu
dikembangkan kapasitasnya, atau bahkan pemerintah itu sendiri. Pemberdayaan
pemerintah
daerah
melalui
otonomi
daerah
juga
relevan
disebut
sebagai
pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian dalam konteks ketahanan pangan,
sasaran (dalam hal ini termasuk pemerintah daerah) agar mampu mewujudkan
ketahan pangan masing-masing keluarga dan masyarakat secara luas.
Fakta menunjukkan bahwa sebesar 60.7 persen dari 210 juta penduduk tinggal
di daerah pedesaan. Dua per tiga penduduk tinggal di pulau Jawa, Bali dan Madura
yang luas keseluruhannya hanya mencakup 7 persen dari total wilayah republik ini.
Data ini mengindikasikan bahwa mau tidak mau dan suka atau tidak suka maka
program pemberdayaan masyarakat desa harus merupakan prioritas pembangunan
bangsa dalam rangka pemulihan ekonomi bangsa. Akan tetapi, sampai saat ini upaya
dan keberpihakan pemerintah dalam membangkitkan perekonomian Indonesia, sejak
dilanda krisis, 1997 - 2000, belum juga menunjukkan kondisi membaik terutama
dalam konteks kebijakan yang konsisten memihak pada tumbuh kembangnya
perekonomian rakyat (kecil). Situasi ini sangat berbeda dengan kondisi di beberapa
negara tetangga yang sebenarnya telah lebih awal mengalami krisis ekonomi,
misalnya Thailand, Malaysia dan Korea. Perekonomian di Thailand kini telah bangkit
dan begitu juga Malaysia (walau tanpa bantuan IMF sekalipun) dan bahkan Korea
128
Selatan telah memiliki pertumbuhan yang dapat dikategorikan telah benar-benar
bang k 1.tl94 •
Sektor pertanian di Indonesia melibatkan lebih dari 50 persen tenaga kerja dan
60 juta keluarga petani. Secara politis pemberdayaan sektor pertanian dengan
demikian dapat dijadikan acuan untuk lebih mengukuhkan posisi sektor pertanian
sebagai leading sector. Secara empiris juga telah terbukti bahwa di mana pun di dunia
ini tidak ada sektor pertanian yang maju atau tumbuhkembang tanpa intervensi
Pemerintah (langsung atau tidak langsung). Jawaban sederhana terhadap fenomena
ini adalah karena sektor pertanian secara ekonomi selalu terbukti memiliki peran
strategis yang ditampilkan dengan besaran peran keterkaitan antar-sektor dan secara
politis merupakan bemper penyejuk sosial. Sebagai contoh, pencapaian Swasembada
beras pada tahun 1984 telah menjadikan Indonesia mempunyai posisi yang baik di
mata dunia selain mempertahankan ketahanan pangan nasional. Akan tetapi, prestasi
ini tidak pernah diikuti dengan tumbuhnya ketahanan keluarga petani (kesejahteraan
masyarakat tani). Petani tetap saja bertahan hidup hanya sebatas hari ini dan besok,
dan tidak ada masa depan, kesejahteraan mereka selalu dinomor duakan.
Fakta juga menunjukkan bahwa pada saat krisis ekonomi terjadi justru hanya
sektor pertanian yang mampu bertahan tumbuh (walaupun kecil pertumbuhannya)
dibanding bisnis besar konglomerasi yang justru terpuruk tak mampu bangkit. Hal ini
terutama berpulang pada bahan baku pertanian yang bersumber dari sumberdaya
lokal dibanding bisnis besar konglomerasi yang berbahan baku impor. Berarti,
pendayagunaan bahan baku pertanian yang sistematis diikuti pemberdayaan
terhadap masyarakat tani dapat diharapkan dan seharusnya memacu kebangkitan
sektor pertanian, dan sekaligus pemulihan ekonomi nasional.
194
.
.
Y1talaya, Loc.cll
129
Lebih lanjut Vitalaya 195 mengemukakan bahwa untuk mencapai ketahanan
pangan masyarakat tani dilakukan dengan mensinergiskan semua unsur yang terkait
dengan pembangunan pertanian. Untuk itu diperlukan jurus-jurus pemberdayaan yang
disebut "enam jurus pemberdayaan masyarakat tani" yaitu:
(1 ). Revitalisasi kelembagaan penyuluhan pertanian
(2). Sistem distribusi saprodi dan produk pertanian
(3). Pengembangan lembaga keuangan alternatif
(4). Pemberdayaan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
(5). Ketahanan keluarga tani, Komoditas unggulan dan agroindustri
Jurus pemberdayaan Vitalaya diintegrasikan ke dalam program aksi dalam
rangka mengendalikan impor yang bersifat umum adalah sebagai berikut:
(1). Meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas pertanian melalui
intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi dengan dukungan sarana dan
prasarana
(2). Memperbaiki penanganan pasca panen
(3). Mengembangkan industri pengolahan
(4). Mengenakan tariff bea masuk sesuai binding rate
(5). Meningkatkan pengamanan pasar dalam negeri
(6). Melaksanakan pemetaan distribusi produk pertanian di dalam negeri
(7). Meningkatkan intensitas pemantauan harga di pasar induk dan pasar
tradisional eceran
(8). Meningkatkan pelayanan pemasaran dengan mengembangkan jaringan
terminal agribisnis dan sub terminal agribisnis
(9). Meningkatkan pengawasan komoditas pertanian impor di pelabuhan
195
v·rtaIaya, L oc. czt..
130
Program aksi khusus dari masing-masing komoditas prioritas adalah sebagai
berikut:
(1). Tanaman pangan meliputi: beras, kedelai dan jagung pipilan
(2). Perkebunan meliputi: gula, kapas dan cengkeh
(3). Peternakan meliputi: kulit, daging ayam dan susu.
(4). Hortikultura meliputi: buah-buahan (durian, semangka, pisang), sayuran
(kubis), dan tanaman hias (anggrek, mawar dan bunga potong)
Tabel4-4 Simulasi Program Aksi Komoditas (Jangka Pendek & Jangka Panjang
Komoditas
Beras
Jangka Pendek
Jangka Panjang
1. Meningkatkan tarif impor
dari Rp 430/kg menjadi Rp
750/kg.
1. Meningkatkan ekspor beras kualitas
tinggi.
2. Meningkatkan pengawasan
impor di pelabuhan
bekerjasama dengan Tim
Penanggulangan
Pemberantasan
Penyelundupan (TP4).
2. Memfungsikan kembali
kelembagaan buffer stock ..
3. Pengawasan beras yang
beredar di pasar untuk
mengetahui apakah sesuai
dengan label.
Kedelai
1. Pengenaan tariff bea masuk
dengan ceiling binding 27
% (saat ini diterapkan 0%)
dengan memperhatikan
dampak terhadap produk
tahu, tempe dan produk
olahan lainnya.
Pelabelan produk rekayasa genetik.
2. Pengaturan tataniaga impor
melalui importir produsen
3. Pengawasan kedelai yang
bcrcdar di pasar dalam
negeri, melalui label dan
BDKT.
131
Komoditas
Jangka Pendek
Jangka Panjang
I. Mengoptimalkan penanganan pra dan pasca panen dengan
penyediaan sarana dryer dan silo
Jagung
2. Pengenaan tarifbea masuk dengan ceiling binding 40% (saat ini
diterapkan 0%) dengan memperhatikan dampak terhadap produk
unggas.
3. Mengadakan pengawasan mutu jagung yang beredar di pasar dalam
negeri dari aspek keamanan pangan bekerjasama dengan Badan
POM.
1. Peningkatan produksi
melalui perubahan tanaman
ratoon menjadi plank cane
2. Penggunaan varietas unggul
yang mempunyai rendemen
tinggi
3. Perluasan areal di luar pulau
Jawa
Gula
Mengembangkan pengolahan hasil:
meningkatkan produktivitas industri
pengolahan yang ada dengan berbagai
upaya teknis, menarik investor dalam
rangka pengembangan dan pembangunan pabrik gula di dalam dan di luar
Pulau Jawa serta pengembangan industri
hilir berbasis tebu.
4. Penerapan tarif bea masuk
gula impor secara berkala,
saat ini tarif yang diterapkan
Rp 550/kg untuk raw sugar
dan Rp 700/kg untuk white
sugar.
5. Menerapkan tataniaga
1mpor raw sugar yang
dilaksanakan oleh IP.
6. Melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan impor
terutama yang ilegal dan
pengawasan di pasar guna
mengetahui kesesuaian
denganlabel.
7. Penetapan SNI raw sugar
1. Meningkatkan produksi dan
produktivitas kapas.
Kapas
Cengkeh
2. Mcningkatkan produksi
lebih diutamakan kepada
pemenuhan kebutuhan
ginery (pabrik pemintalan).
Pengembangan produksi dan ginery
untuk memenuhi bahan baku industri
tekstil.
Peningkatan produksi dalam negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan
pabrik rokok.
-----------
132
Komoditas
Kulit
Daging
Ayam
Jangka Pcndek
Jangka Panjang
I. Meningkatkan populasi
ternak potong dan
meningkatkan penggunaan
teknologi pengolahan bahan
baku kulit di RPH.
2. Pcngenaan pungutan ekspor
(PE) kulit mentah sebesar
30% dan kulit setengah jadi
20% yang perlu segera
direalisasikan.
I. Pengenaan tariff bea masuk
daging ayam potongan
sebesar 80% dengan
memperhatikan persyaratan
SPS dan halal.
2. Meningkatkan efisiensi
perunggasan nasional
dengan pemanfaatan
sumberdayalokaldan
mengendalikan penyakit
ND.
I. Pengembangan sentra
agribisnis peternakan sapi
perah mulai dari
pembibitan, pengolahan
sampai dengan pemasaran.
Susu
2. Pengenaan tariff bea masuk
produk susu olahan sebesar
10%.
3. Pengawasan susu yang
beredar di pasar.
I. Percepatan ekspor tanaman
hias yang telah dicanangkan
oleh Presiden RI bulan Mei
2001.
Hortikultura
2. Upaya pcninjauan kembali
penerapan impor tariff
komoditi hortikultura yang
berada j auh di bawah
binding rate sebesar 40 - 50
%, sedangkan yang
diterapkan saat ini hanya 5 10%.
I. Upaya memperbaiki sistem
karantina dalam impor komoditi
hortikultura.
2. Mengubah image peranan karantina
terhadap komoditi hortikultura
impor, yang sementara ini masih
mengasumsikan peranan bea cukai
lebih dominan dalam pemasukan
komoditi impor hortikultura.
133
4.3 Strategi Pengendalian lmpor
4.3.1
Mengurangi Kelemahan Internal
Sebagaimana kita ketahui, meningkatnya impor komoditas pertanian antara
lain disebabkan lebih rendahnya harga komoditas tersebut di pasar internasional
dibanding
harga
domestik,
dan
kondisi
ini
diperburuk
lagi
dengan
tidak
dimanfaatkannya batas pagu maksimum bea masuk (ceiling binding rate) sesuai
komitmen Indonesia dalam WTO. Kesenjangan harga ini juga dimungkinkan sebagai
akibat terjadinya penyelundupan baik secara fisik maupun secara administratif atau
lebih dikenal dengan "under invoicing" yang saat ini disinyalir marak kembali. Hal ini
mengakibatkan hilangnya sebagian pendapatan negara dari bea masuk dan pajak
impor lainnya. Disamping itu dengan tidak diketahuinya secara pasti total impor
komoditas pangan utama (khususnya beras) akan berdampak pada rawannya system
ketahanan pangan nasional. Hal ini akan menyebabkan upaya-upaya pemerintah
dalam mewujudkan system ketahanan pangan nasional akan menjadi tidak efektif.
Jika praktek penyelundupan tersebut tidak segera dicegah akan menimbulkan
dampak negatif lain seperti persaingan yang tidak sehat antara importir yang benar
dan jujur dengan importir yang melakukan kegiatan impor secara ilegal. Produk dalam
negeri akan bersaing secara tidak sehat dengan produk impor yang disinyalir
bermuatan dumping dan subsidi ekspor, yang pada akhirnya akan menghambat
pertumbuhan industri didalam negeri, dan mengurangi daya serap kerja. Hal ini terjadi
antara lain disebabkan belum terwujudnya tertib impor, baik tertib pelakunya maupun
tertib pelaksanaan impornya. Penyelundupan tersebut disinyalir banyak terjadi di
wilayah atau pelabuhan yang infrastruktur serta administrasinya masih lemah yaitu
umumnya pelabuhan diluar pulau Jawa.
134
Disamping itu pemerintah juga telah merancang instrumen guna memonitor
pelaku impor dan pelaksanaan impornya melalui pemberlakuan Nomor Pengenal
lmportir Khusus (NPIK) yang telah ditetapkan oleh Memperindag melalui Keputusan
Menteri No.141/MPP/Kep/lll/2002 tanggal 6 Maret 2002, yang untuk sementara
diberlakukan terhadap delapan produk impor termasuk produk pangan utama yaitu
jagung, beras dan kedelai.
Otonomi daerah telah memberi peluang bagi daerah untuk secara mandiri
merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengendalikan segenap proses
pemenuhan pangan diwilayahnya, termasuk melalui pengendalian impor. Tuntutan
yang timbul adalah bagaimana seluruh stake holder yang ada mampu bekerjasama
dalam suatu mekanisme kerja yang tepat dan koordinatif guna menerapkan
pengendalian impor produk pangan baik legal maupun ilegal dalam proses
pemenuhan pangan diwilayahnya dalam kaitannya mewujudkan ketahanan pangan
nasional.
Dengan telah diberlakukannya aturan WTO mengenai perdagangan komoditi
pertanian
dalam
Agreement
on
Agriculture,
maka
hambatan
pelaksanaan
perdagangan dunia dapat dikatakan hampir tidak ada. Meski Agreement on
Agriculture (AoA) adalah untuk mendorong agar kebijaksanaan pertanian lebih
berorientasi pasar dan semakin kurang tergantung pada penggunaan subsidi yang
tidak terkendali dan pada proteksi dalam menghadapi impor. Tiap-tiap negara
anggota harus dapat memanfaatkan aturan-aturan yang ada dalam AoA tersebut
untuk melaksanakan pengendalian impor. Banyak negara-negara maju menerapkan
persyaratan-persyaratan yang dirasakan sangat memberatkan negara berkembang,
seperti Agreement on Technical Barrier to Trade dan persyaratan mutu lainnya
melalui Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dengan demikian nampaknya kesiapan
135
negara berkembang dalam menghadapi perdagangan bebas mengalami kelambatan
dalam mengantisipasi pasar.
Beberapa kelemahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan
impor produk pertanian adalah :
1. Tidak tersedianya data akurat seberapa besar kebutuhan impor suatu komoditi
setelah dipenuhi produk dalam negeri.
2. Banyak importir ilegal yang membuat angka komoditi tertentu melonjak.
3. Indonesia belum sepenuhnya menerapkan instrumen hambatan impor yang
dilegalkan WTO.
4. Harga produksi produk pertanian dalam negeri belum mampu bersaing karena
inefisiensi biaya produksi lokal.
5. Belum ditetapkan pengawasan mutu produk pertanian dalam negeri /importir
secara optimal.
6. Belum dimanfaatkan tarif bea masuk yang tidak melebihi ceiling binding rate
WTO.
Ada dua prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi bagi
pengendalian impor berdasarkan WTO yaitu ketentuan perdagangan bebas yang
menyatakan:
•
Negara-negara
anggota
tidak
boleh
melakukan
diskriminasi.
Bila
memberikan perlakuan khusus terhadap suatu negara maka perlakuan yang
sama harus juga diberikan kepada seluruh negara anggota WTO lainnya
(Most Favoured Nation). Kecuali bila negara-negara dari suatu wilayah
membentuk suatu kesepakatan perdagangan bebas yang tidak berlaku bagi
produk-produk dari negara-negara di luar kelompok tersebut.
•
Produk-produk impor setelah memasuki wilayah suatu negara harus
diperlakukan sama dengan produk-produk domestik.
Dalam usaha mengendalikan impor maka perlu suatu strategi kebijakan yang
berorientasi internal (lebih kearah memperkokoh posisi produk-produk pertanian di
136
dalam negeri sehingga dapat bersaing dengan produk impor) dan eksternal
(menerapkan berbagai peraturan perdagangan bebas yang tidak merugikan) yaitu:
(1). Meningkatkan produksi hasil pertanian dan hasil industri pengolahan
dengan memperhatikan mutu produksi. Sehingga dapat bersaing dengan
produk impor, sehingga dapat meningkatkan kecintaan produk dalam
negeri
(2). Meningkatl<an daya saing komoditi dan efisiensi biaya produksi sehingga
harga jual produk domestik dapat bersaing dengan produk impor yang
masuk Indonesia. Disini diperlukan pemikiran yang holistik tentang
pengembangan pertanian yang lebih berbasis lokal.
(3). Mengembangkan hasil pertanian yang lebih diarahkan ke pasar dalam
negeri melalui pengembangan jaringan pasar, pengembangan jaringan
kerja distribusi pemasaran yang dapat menguntungkan bagi pelaku
agribisnis,
pengembangan
produk
dan
diversifikasi
produk
serta
peningkatan permintaan konsumen melalui promosi.
(4). Menciptakan iklim makro yang kondusif terhadap pengembangan
pemasaran diantaranya melalui kebijaksanaan fiskal dan moneter (tariff
bea masuk, pengurangan pajak-pajak/pungutan perdagangan, kredit
dengan
bunga
terjangkau),
menghapus
hambatan-hambatan
perdagangan melalui deregulasi, atau kebijaksanaan yang memihak para
pelaku agribisnis dan usahatani pedesaan.
(5). Memperbaiki sistem informasi supply-demand produk pertanian dalam
negeri dalam rangka mengatur keseimbangan produksi dan konsumsi
dalam negeri
serta volume impor untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri, terutama komoditi yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam
negeri.
(6). Mengingat kesepakatan internasional dilakukan oleh pemerintah pusat,
maka seyogyanya antara pusat dan daerah terjadi komunikasi dan
koordinasi yang efektif sehingga kebijakan yang diambil tidak akan
bersifat counter-productive terhadap sektor lainnya.
137
(7). Meningkatkan akses para pelaku agribisnis terhadap pasar, informasi,
permodalan, dan teknologi melalui peningkatan pelatihan-pelatihan untuk
meningkatkan kualitas SDM, mengembangkan sistem informasi pasar,
menumbuhkembangkan
lembaga-lembaga
perkreditan
di
wilayah-
wilayah pengembangan agribisnis dan meningkatkan bimbingan dan
penyuluhan bagi para pelaku agribisnis terutama bagi para petani dan
peternak.
(8). Membangun, mengembangkan dan memfungsikan sarana prasarana
seperti Sub Terminal Agribisnis di sentra-sentra produksi dan Terminal
Agribisnis di daerah-daerah konsumen.
(9). Mendorong tumbuhberkembangnya pemasaran kerelasian yang dapat
membangun hubungan yang saling menguntungkan diantara para pelaku
agribisnisnya.
(1 0). Menegakkan pengawasan terhadap impor komoditi pertanian yang
illegal.
4.3.2 Menghadapi Tantangan Eksternal
Menerapkan berbagai instrumen pembatasan impor secara rasional dan tidak
diskriminatif, seperti dijelaskan di bawah.
Tarif
Memilah struktur tarif impor dan meningkatkan tarif bea masuk dibawah tingkat
binding rate WT0. 196 Dalam AoA ditetapkan bahwa tarif impor harus diturunkan
196
Sementara ini menurut Bungaran SaraGih, Indonesia tidak memberikan subsidi serta
tarif impor yang berlakupun sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain terutama
negara-negara maju Eropa dan Amerika memasang tarif impor yang sangat tinggi dan
memberikan subsidi kredit ekspor untuk produk pangan dan pertaniannya, bahkan ada yang
mcmberikan subsidi kepada pctaninya. Dan negara-negara pengekspor gula juga memberikan
tari r impor yang tinggi supaya harga gula impor lebih mahal daripada harga gula produksi
dalam negeri, dalam rangka memberikan insentif kepada petani mereka. Dicontohkan
Thailand, India, dan Jepang sebagai negara eksportir beras memberlakukan tarif sangat tinggilebih tinggi daripada tarif impor Indonesia terhadap impor beras ke negara mereka. Praktik ini
menurut Saragih, adalah sebuah bentuk dumping. Akibatnya, petani Indonesia kewalahan
bersaing dalarn menghadapi produk impor pertanian dan pangan (Kompas, Selasa 11 Juni
2002).
138
secara bertahap yaitu rata-rata 24% dalam 10 tahun dari tingkat tahun 1986-1988
sebagai base period level bagi negara berkembang. Selain itu, tindakan tergolong
non-tariff border measures yang berakibat menekan impor atau meningkatkan harga
produk-produk
impor harus diganti dengan
tariffs yang
memberikan tingkat
perlindungan yang sama. Tarif yang dihnsilkan dari proses tarification ini juga
diturunkan rata-rata 24% dalam 10 tahun untuk negara-negara berkembang.
Penurunan minimum yang diperkenankan untuk individual tariff adalah 15%. Disini
dapat dilihat bahwa aturan perdagangan dunia telah memperkecil peran tarif dalam
rangka mengendalikan impor.
Sanitary and Phytosanitary
Menerapkan sistem SPS dengan lebih ketat karena berkaitan dengan
kesehatan manusia, hewan dan tanaman seperti menetapkan kandungan salmonella
sesuai SNI atau menentukan penyakit-penyakit hewan yang dilarang masuk. SPS
Agreement menetapkan, bahwa tindakan-tindakan yang sejalan dengan tingkat
standar yang diakui oleh Badan-badan lnternasional seperti Codex Allimentarius dan
The International Centre for Epizootics
dapat diterima WTO. Selain itu sebagai
bagian dari upaya untuk mencapai Greater Harmonization of Standard, negaranegara anggota dianjurkan untuk saling mengakui standar masing-masing bila hasil
yang dicapai sama walaupun menggunakan cara yang berbeda. Kesepakatan ini tidak
melarang suatu negara anggota menggunakan standar lebih tinggi asalkan bisa
dibuktikan bahwa tindakan ini benar-benar perlu 197 . Bila timbul sengketa dengan
197
Berdasarkan ketentuan dari WTO yang telah disepakati bersama, bahwa semua
peraturan yang akan diberlakukan oleh suatu negara yang berhubungan dengan ketentuan SPS
dan mempunyai pengaruh yang berarti terhadap perdagangan internasional perlu
dinotifikasikan/diberitahu kan kepada WTO.Dalam rangka implementasi perjanjian SPS di
Indonesia telah ditetapkan Sekretariat Jenderal - DEPTAN c.q. Pusat Standardisasi dan
Akreditasi sebagai Central Goverment Aut/1(lri~y (Notification Body) dan Badan Karantina
139
pihak ketiga, maka tindakan-tindakan yang diambil harus bisa dibenarkan secara
ilmiah (on the basis of sound science). Dan berdasarkan hasil penilaian yang sesuai
terhadap risiko terkait (an appropriate assessment of risk involved). Negara-negara.
anggota harus menunjukkan bahwa tindakan-tindakan yang mereka ambil tidak
menimbulkan restriksi tambahan terhadap perdagangan melebihi dari keperluan untuk
mencapai tujuan.
Dalam bidang pertanian, kebijakan ekpor-impor benih harus disikapi dengan
hati-hati agar tidak merugikan agribisnis di masa depan terutama dalam mencegah
masuknya organisme penyakit tanaman (OPT) berbahaya ke Indonesia. Beberapa
jenis OPT telah masuk ke Indonesia melalui benih impor, seperti lalat Lyriomiza,
Nematoda Sista Kuning pada kentang dan lain-lain. Oleh sebab itu ke depan,
pemberian izin impor benih harus lebih hati-hati dengan mempertimbangkan analisis
risiko (Pest Risk Analysis) atas OPT dari masing-rnasing negara asal. Kebijakan ini
dilakukan dengan melalui telaah Information Recuired for Seed Introduction
(Importation to Indonesia); Phytosanitary Information Sheet, preshi.'Jment maupun preclearance.
Tidak bisa diabaikan bahwa benih hortikultura sebagai hasil teknologi modern
sudah
merupakan
komoditas
perdagangan
internasional.
Untuk
mendorong
berkembangnya industri benih dalam negeri, maka secara bertahap diterapkan
ketentuan bahwa impor benih hanya boleh dilakukan oleh produsen benih. Bagi jenis
tanama yang benihnya sudah dapat diproduksi di Indonesia impor benih hanya
diperkenankan bagi "parent stock" . Sebaliknya guna melindungi sumberdaya hayati
perlu diperketat pengawasan terhadap kegiatan riset yang mengarah pada biopiracy
Pcrtanian scbagai Enquiry Point untuk perJanJian SPS. "Sekilas Tentang Sanitary and
Phytosanitary (SPS) "http://www.agrimutu.com/sps/sekilas sps.htm. 5 Desember 2003.
140
atau penjarahan sumberdaya hayati yang bermanfaat dalam industri bio-teknologi
kaitannya dengan TRIPs.
Non-tariff Barriers
Menerapkan berbagai peraturan yang mengatur persyaratan teknis dan
standar/mutu, prosedur perijinan impor, pemeriksaan produk impor di pelabuhan
untuk mengamankan penerimaan bea masuk, pemeriksaan produk impor di negara
pengekspor sebelum dikapalkan, persyaratan asal barang dan kebijaksanaan
penanaman modal. Pengaturan ini diperlukan agar penerapan persyaratan dimaksud
berhasil mencapai sasaran tanpa menjadi hambatan tambahan yang tidak perlu
dalam perdagangan, sehingga prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan internasional
yang bebas dan terbuka dapat dipenuhi. Salah satu dari perjanjian dalam
perdagangan yang berlaku internasional adalah Agreement on Technical Barriers to
Trade atau dikenal sebagai TBT Agreement.
Dengan demikian pemahaman dan
pengertian terhadap isi dari perjanjian tersebut mutlak diperlukan agar Indonesia
dapat terus memiliki peran dalam perdagangan internasional 198
198 Kenyataan bahwa
TBT Agreement versi WTO (World Trade Organization)
merupakan modifikasi dari model/system yang dinegosiasikan di Tokyo Round 1973 - 1979.
Sebagai upaya untuk mencegah terlalu beragamnya standar yang digunakan, perja~1jian TBT
mendorong penggunaan standar-standar internasional bagi negara anggotanya. Dalam
Perj&njian TBT, perbedaan antara technical regulation dan standard merupakan hal pokok
yang harus dipahami. Technical Regulation (TR) menurut TBT Agreement merupakan
ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi (mandatory), sedangkan istilah standard diterapkan
untuk ketentuan yang bersifat sukarela (voluntary).
Karenanya kesesuaian antara peraturan teknis di Indonesia dengan standar Internasional
merupakan upaya yang harus didorong untuk dapat mengimplementasikan TBT Agreement.
Namun demikian terdapat kendala dalam pelaksanaannya, dimana hanya sedikit pegawai
pcmcrintah/akadcmisi dan pihak swasta di Indonesia yang memahami TBT Agreement dan
konsep Good Regulatory Practice (GRP). Namun setiap negara anggota mempunyai hak untuk
mengadopsi standar yang dianggap sesuai. 'TBT Agreement' secara umum mengatur agar
penyusunan peraturan-peraturan/regulasi teknis, standar pengujian dan sertifikasi, dan
ketentuan-ketentuan lainn:ya tidak akan menimbulkan hambatan teknis perdagangan.
Pcraturanlrcgulasi tcknis dalam hal ini adalah pcraturan/regulasi teknis yang berdampak pada
praktek perdagangan internasional yang terkait dengan 'MSTQ' (Measurement Standard
resting {}uality). Scbagai contoh adalah pcnetapan peraturan/regulasi teknis oleh Depperindag
141
Pengaturan importir
Menetapkan importir produsen atau menerapkan pola approved importir
(misalnya yang telah diakreditasi kehalalannya oleh pihak MUI untuk ternak) karena
hal ini dapat dibenarkan sesuai pasal XX/GATT/1994. Menetapkan Licensed tmportir
(importir terbatas) atau menetapkan NPIK (Nomor Pengenal lmportir Khusus) untuk
produk-produk strategis seperti beras, jagung dan kedelai, hal ini dinilai tidak
bertentangan dengan aturan WTO dan importir dapat dipantau setiap bulan.
Safeguard
Melalui Keputusan
Presiden Nomor 84 tahun 2002 tentang Tindakan
Pengamanan lndustri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan lmpor dengan menerapkan
instrumen safeguard yang didahului oleh suatu kajian dengan data-data yang akurat.
Seberapa besar impor tersebut dapat mendistorsi pasar sehingga memberikan
dampak yang negatif bagi pertumbuhan industri peternakan. Artikel XIX dari GATT
yang mewajibkan pemberlakuan SNI (Standar Nasional Indonesia) secara wajib untuk
peralatan-peralatan elektronik yang diperdagangkan di Indonesia. Hal ini berimplikasi bahwa
produk-produk elektronik yang dipasarkan Ji Indonesia, baik produksi lokal maupun diimpor
ke Indonesia, harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam SNI tersebut.
'TBT Agreement' mengatur pula ketentuan bahwa 60 hari sebelum ditandatangani,
peraturan/regulasi teknis tersebut harus dinotifikasikan kepada WTO untuk memberi
kesempatan kepada negara anggota WTO lainnya untuk memberi tanggapan atas hal-hal yang
diatur dalam regulasi/peraturan teknis tersebut. Untuk keperluan tersebut, Badan Standardisasi
Nasional (BSN) berperan sebagai notification body untuk penyampaian notifikasi dan
Dalam
penerimaan tanggapan atas notifikasi peraturan/regulasi teknis di Indonesia.
implemcntasi kegiatannya, BSN mengadakan koordinasi dan kerjasama langsung dengan
Dcparlcmcn/lnstansi tcknis tcrkait, dimana di sctiap Dcpartemenllnstansi teknis terdapat
organisasi yang berperan sebagai entry point dengan BSN. Untuk lingkup Departemen
Kehutanan, organisasi yang memiliki peranan tersebut adalah Pusat Standardisasi dan
Lingkungan.
Menyadari akan permasalahan tersebut, diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan
pemahaman terhadap Perjanjian dan Notifikasi TBT. Langkah awal yang dapat dilakukan
adalah dcngan penyelenggaraan mini-workshop tentang General Understanding on the TBT
Agreement yang difasilitasi oleh BSN dan JICA - Jepang melalui program kerjasama 'The
Capacity Building on the Implementation of the WTO Agreements in Indonesia' .
.Telaah mengenani Technical Barrier to Trade (IBT) telah dilaksanakan sebagai salah
satu bentuk kerjasama dan koordinasi antara PUSTANLING dengan Badan Standardisasi
Nasional (BSN), pada hari Selasa, 19 Maret 2002 bertempat di Ruang Rapat PUSTANLING.
"Mini-Workshop on TBT Agreement." http://mofrinet.cbn.nct.id/infonnasi/setjen/PUSSTAN/
INFO V02/IV V02.htm, 12 Dcsember 2003.
142
memperbolehkan negara anggota mengambil tindakan darurat safeguard untuk
melindungi suatu industri domestik tertentu dari peningkatan impor dengan tajam dan
tidak terduga yang dilakukan secara fair (sudden surges of fairly traded imports)
sehingga
menimbulkan
atau
mengancam
untuk menimbulkan
serious injury.
Kesepakatan ini juga memberikan keringanan-keringanan tertentu kepada negaranegara berkembang. Tindakan darurat safeguards tidak boleh dilakukan terhadap
produk impor yang berasal dari suatu negara berkembang bila pangsa pasar negara
tersebut tidak melebihi 3%, atau yang berasal dari beberapa negara berkembang
yang masing-masing memiliki pangsa pasar kurang dari 3% dan secara kolektif
kurang
dari
9%.
Negara-negara
berkembang
juga
diberikan
hak
untuk
memperpanjang masa berlaku suatu tindakan darurat safeguard hingga dua tahun
melebihi normal maksimum. Juga diperkenankan memberlakukan kembali tindakan
safeguard terhadap suatu produk yang telah pernah dikenakan tindakan serupa
sebelumnya setelah melewati masa separuh waktu dari masa berlaku tindakan
pertama, dan dilakukan setelah melalui persyaratan non-application period paling
kurang
dua
tahun.
Namun
perlu
diingat
bahwa
negara
pengekspor
bisa
mengusahakan untuk memperoleh kompensasi melalui konsultasi. Bila kesepakatan
tidak tercapai maka negara pengekspor dapat melakukan retaliasi dengan mengambil
tindakan yang serupa setelah 3 tahun tindakan safeguard tersebut diberlakukan.
Domestic Support
Mempelajari strategi perdagangan luar negeri pemasok utama produk pangan
dunia khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa contohnya kebijaksanaan domestic
support yang berdampak pada persaingan perdagangan unfair dengan produk
pangan lokal.
143
Keluhan utama akibat kebijakan pemberian subsidi domestik 199 adalah bahwa
kebijakan tersebut dapat mendorong produksi yang berlebihan, mengurangi jumlah
impor karena produk domestik lebih murah, dan menjurus pada subsidi ekspor serta
praktek anti dumping.
Skema 4-2 Alur Domestic Support
Green Box
(Annex2)
Excemptions
Developing
Countries
(Article 6)
Excemptions
De minimis
Excemptions
Blue Box
Excemptions
Product
Specific
AMS
(above de
minimis)
Specifics
Product
Specifics
Persetujuan
bidang
pertanian
membedakan
Equivalent
Measure of
Support
Non
Product
Specific
AMS
(above de
minimis)
antara
program-program
pendukung yang merangsang produksi secara langsung dan yang dianggap tidak .
mempunyai pengaruh secara langsung. Kebijakan domestik yang mempunyai
pengaruh langsung terhadap sektor produksi dan perdagangan harus dihilangkan.
Para anggota WTO telah mengkalkulasikan seberapa besar dukungan yang dimaksud
199
Kajian tentang domestic support 1ebih lanjut: Daniel A. Sumner, Domestic Support
and the WTO Negotiations. Revised (CA. USA: the Department of Agricultural and
Economics - University of California, April 9, 2000). Tim Josling, Domestic Farm Policies
and the WTO Negotiations on Domestic Support. (Paper presented to the Conference on
"Agricultural Policy Reform and the WTO: Where are we heading?" held at Capri (Italy), June
2.\-2(). 200.\.)
144
yang dapat mereka berikan dengan menggunaka metode perhitungan yang disebut
total Aggregate Measurement of Support (AMS) untuk sektor pertanian setiap
tahunnya dengan penggunakan periode 1986-1988 sebagai tahun dasar perhitungan.
Negara maju sepakat untuk mengurangi angka-angka ini hingga 20% selama 6 tahun
dimulai tahun 1995. Sedangkan negara-negara berkembang diharuskan untuk
menurunkan angka-angka tersebut sebanyak 13% untuk 10 tahun. Negara miskin
tidak diharuskan untuk membuat pengurangan dalam bentuk apapun.
Dukungan domestik oleh pemerintah di sektor pertanian yang penting diketahui
adalah yang disebut "Green Box" yang merupakan tindakan yang diijinkan mengingat
dampaknya minimal terhadap perdagangan. Contoh tindakan yang dikategorikan
dalam Green Box adalah jasa yang diberikan pemerintah (government services) yang
menyangkut riset, penanggulangan hama, pembangunan infrastruktur dan ketahanan
pangan. Di dalamnya juga termasuk tindakan pembayaran langsung kepada petani
yang tidak menimbulkan rangsangan terhadap produksi eperti dukungan pendapatan
secara
langsung
(direct
income
support),
bantuan
kepada
petani
untuk
merekstruturisasi sektor pertanian dan bantuan langsung di bawah program regional
dan untuk perlindungan lingkungan hidup.
Pemerintah juga diperbolehkan melakukan tindakan pembayaran langsung
kepada petani untuk membatasi jumlah produksi. Tindakan semacam ini termasuk
dalam kategori "Blue Box". Kemudian ada beberapa bentuk bantuan pemerintah
tertentu yang dikategorikan Blue Box seperti bantuan yang bertujuan untuk
mendorong
sektor pertanian dan
pembangunan
pedesaan
di
negara-negara
berkembang, dan bantuan-bantuan lain dalam skala kecil ketika dibandingkan dengan
nilai keseluruhan dari suatu jumlah produk yang dibantu oleh pemerintah (5% atau
kurang untuk kasus negara maju dan 10% atau kurang untuk negara berkembang).
145
Bab 5
Kesimpulan dan Saran Kebijakan Mendatang
5.1 Kesimpulan
Perdagangan bebas merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha produkproduk pertanian Indonesia apabila tidak dapat meningkatkEln daya saingnya.
Membanjirnya komoditi pertanian dari negara lain dengan harga yang relatif lebih
murah dapat menguntungkan konsumen tetapi dapat memberikan dampak yang
negatif bagi industri pertanian di dalam negeri. Upaya perbaikan secara menyeluruh
untuk semua aspek yang mendukung kegiatan usaha perlu dilakukan apabila tidak
ingin menjadi negara net importir bagi produk-produk pertanian, yang sesungguhnya
dapat diusahakan didalam negeri dan menjadi gantungan hidup jutaan masyarakat
pedesaan.
Kebijakan pengadaan pangan yang selama ini diterapkan adalah bertujuan
untuk menjamin kccukupan pasokan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pengadaan pangan tersebut dapat dipenuhi melalui produksi domestik dan impor
produk pangan dari negara lain. Ketergantungan pangan terhadap impor akan
menciptakan kerentanan ketahanan pangan nasional berkaitan dengan risiko dan
ketidakpastian penyediaan pangan dunia dan situasi pasar pangan internasional.
Salah satu hal pokok yang memerlukan penanganan dengan seksama dalam
kaitannya dengan pelaksanaan impor adalah: membatasi masuknya impor secara
berlebihan
yang dapat berdampak negatif pada pembangunan pertanian dan
industrinya di dalam negeri dan tidak melanggar aturan intemasional yang telah
disepakati.
Indonesia merupakan peluang pasar bagi negara lain mengingat jumlah
penduduk yang besar, apabila tidak dapat dibatasi maka produk impor dapat merusak
146
perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dalam dekade terakhir impor produk
pertanian secara umum cenderung meningkat. Kebangkitan ekonomi dan industri
pertanian dari keterpurukan akibat krisis akan terhambat upaya penanganan
permintaan dan permasalahan penyediaan produksi pangan yang sangat bergantung
pada impor (imported food trap).
5.2 Saran Kebijakan Mendatang
Pembahasan Perjanjian di Bidang Pertanian WTO meski saat ini mengalami
kebuntuan saat Konferensi Tingkat Menteri ke-V di Cancun baru lalu. Namun bukan
berarti mengarah kepada pecahnya WTO seperti yang dialami ketika ITO. Penting
bagi Indonesia untuk lebih pro-aktif dan terencana melalui koordinasi yang melibatkan
para pakar multidisiplin yang memiliki kompentensi, reputasi dan integritas tinggi serta .
melibatkan swasta dan masyarakat akademisi lintas sektoral membentuk forum
interdependent economic and law analysis approach terhadap kebijakan perdagangan
internasional.
Semangat yang menjiwai para negosiator AoA WTO haruslah dilandasi
semangat kemandirian bangsa dan kedaulatan Indonesia, diharapkan memiliki visi
membangun ekonomi kerakyatan namun berwacana global. 200 Dengan demikian
-----------200
Dari segi negosiasi saja jelas ini tantangan yang luar biasa bagi pemerintah.
Bagaimana menggunakan tenaga yang terbatas dalam arti jumlah maupun tingkat keahliannya
untuk menghadapi masalah yang sangat banyak dan kompleks dan nampaknya semua perlu
dan prioritas ini? Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini harus ahli yang mengenali
bidangnya seperti seorang peneliti menguasai masalah yang diteliti. Dan ini harus
dikombinasikan den5an kemampuan berdiplomasi dalam negosiasi dan akhirnya keahlian
mcrumuskan pcrmasalahan ckonomi, pcrdagangan, investasi, dan lain-lain topik kesepakatan,
di dalam bahasa kesepakatan yang pada dasarnya merupakan dokumen hukum (legal
document). Kombinnasi kehlian seorang peneliti dengan deplomat dan ahli hukum. Mereka
yang menangani permasalahan ini harus mengkombinansikan aspek-aspek ini dalam diri
sendiri atau ket:iasama yang rapidan serasi dari berbagai ahli. J. Soedrajat Djiwandono, "Tidak
1/anya AV/11. 2003 ". http://www.pacilic.net.id/pakar/sj/030l27.html, 10 Nopember 2003.
1:t7
kesejahteraan masyarakat pedesaan khususnya petani hanya mungkin ditingkatkan
melalui kemampuan menstabilkan produksi, meningkatkan produksi pangan dalam
negeri, yaitu dengan cara memberi perhatian banyak pada usaha untuk meningkatkan
produksi dalam negeri yang stabil, efisien serta mampu mempertahanJ<an stok dalam
jumlah yang wajar guna mengantisipasi peristiwa yang di luar perhitungan seperti
kerusuhan, bencana alam, perang, dan embargo.
Masalah infrastruktur perdagangan pangan, Husein Sawit dan Husen telah
mengidentifikasikan
hampir sebagian
besar industri pangan dan
infrastruktur
pemasarannya seperti jalan aspal, jumlah truk, kapal, produksi listrik, pelabuhan
strategis hanya tersedia di pulau Jawa. Sungguhpun petani luar Jawa mampu
memproduksi pangan secara efisien, akan tetapi karena infrastrukturnya lemah, maka
mereka tidak mampu bersaing dengan petani Jawa, di mana konsumen terbesar di
sana. Sehingga harga produksi petani luar Jawa menjadi mahal, di lain piha petani
Jawa sendiri juga tertekan menghadapi persaingan dengan pangan impor yang jauh
lebih efisien dari biaya produksi dan pemasarannya. lmplikasinya adalah free trade
akan memukul lebih parah para petani luar Jawa di bandingkan dengan petani di
Jawa. Oleh karena itu, perbaikan dan penyebaran infrastruktur pemasaran dan
distribusi khususnya di !uar Jawa menjadi syarat mutlak untuk membawa pangan
dalarn negeri tetap mampu bersaing.
Sebaiknya, Indonesia perlu melakukan studi yang
komprehen~if
untuk melihat
dampak liberalisasi perdagangan terutama pada sub-sektor pangan sesuai dengan
pesan Artikel 20 (AoA WTO), pada butir a disebutkan: the experience to that date
from implementing to reduction commitments. Sebaiknya Indonesia jangan terburuburu melanjutkan negosiasi AoA, sebelum mengetahui dampak buruk yang terkait
dengan kemiskinan, ketahanan pangan, rural income and employment seperti telah
148
dibahas sepanjang tulisan ini. Tentunya secara proporsional dan rasional kita harus
melihat sisi positifnya. Apa yang dituangkan dalam tesis ini adalah merangkum
kenyataan dewasa ini yang terekam diberbagai literatur dan makalah. Secara empiris
setidaknya memberikan gambaran nyata.
Keputusan
politik
kebutuhan
mencukupi
sudah
pangan
seharusnya
jangka
menjadi
panjang.
prioritas
langkah
lntensifikasi;
dalam
ekstensifikasi,
diversifikasi, aplikasi teknologi dan penggunaan benih unggul secara konsisten dan
terpadu hakikatnya akan sangat membantu mengatasi kelangkaan pangan masa
depan tanpa harus bergantung secara terus menerus kepada impor pangan.
Faktor
lain
yang
perlu
dipertimbangan
secara
arif
besarnya
adalah
pertumbuhan penduduk dan konversi areal penen semakin menyusut. Hal ini terlihat
dari pesatnya
pembangunan
prasarana,
mengkonversi areal produktif secara
industri dan pemukiman
nyata.
Keberlanjutan
yang telah
ketahanan
pangan
nasional, khususnya beras seharusnya dapat terus bertahan dan "tanpa impor" akan
terus eksis, sekalipun faktor penyusutan lahan terus berlangsung dan tingkat
konsumsi serta pertumbuhan penduduk terus meningkat.
Kebijakan impor beras dengan dasar krisis pangan adalah sangat tidak
beralasan apabila dikaitkan dengan populasi penduduk Indonesia yang berjumlah +/220.000.000 orang dengan tingkat konsumsi rerata penduduk per kapita sebesar 150
kg/kapita/tahun atau setara dengan 0,15 ton/kapita/tahun, dengan total konsumsi
beras yang dibutuhkan oleh penduduk Indonesia adalah 33.000.000 trm/tahun. Di lain
pihak tingkat produksi total gabah kering menjadi beras untuk tingkat nasional adalah
+/- 35.976.483 ton/tahun. Asumsi ini ditinjau berdasarkan data lapangan yang bersifat
empiris,
seperti
masih
tingginya
daya
dukung
lingkungan
serta
masih
memungkinkannya peralihan sistem usahatani konvensional kepada sistem pertanian
149
berbasiskan mekanisasi dan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan
sebagai faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi padi selain benih unggul. 201
Tabel 5-1 Luas Area Panen, Rerata Hasil Panen dan Hasil Produksi Padi di Indonesia
Area Panen
Hasil Panen
Prod Nasional
ha
kw/ha
11,963,204
42.52
1999
11,793,475
2000
44.01
11,499,997
43.88
2001
44.56
2002#) 11,530,672
2003+) 11,464,411
44.83
Sumber: Data BPS, 2003
ton
50,866,387
51,898,852
50,460,782
51,379,103
51,399,631
Tahun
Naik I (Turun)
%
3.31
2.03
-2.77
1.82
0.04
Di lain pihak, sektor distribusi dan pemasaran perlu mendapat perhatian yang
serius dalam menentukan harga saing dengan produk pangan impor. Peran sektor ini
sangat mempengaruhi harga jual di tingkat konsumen, jadi tidak mendasar pesatnya
impor pangan hanya karena rendahnya tingkat produktivitas panen. Secara lebih
terperinci sesungguhnya produktivitas lahan pertanian tanaman pangan sangat
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang mengharuskan dan menyama-ratakan
input luar, seperti pupuk kimia (urea, ZA, KCI, SPfTSP, Pestisida, dll) ke dalam sistem
produksi tanaman pangan dari ujung Sumatera hingga Papua. Pemaksaan input
sebagai budaya bercocok tanam ke dalam sistem produksi ini jelas sangat
mengganggu produktivitas lahan dan kesejahteraan petani, di lain pihak sangat
menguntungkan lembaga pemerintah dan pedagang "transnasional" yang sang at jelas
berkaitan dengan kekuasaan.
Pendekatan Economic Analysis of Law, menjadi penting karena inti dari setiap
program pemerintah seharusnya tidak berbasis pada ketentuan baku, misalnya
pendekatan ilmu ekonomi sebagai alat dalam kebijakan dapat lebih menyelaraskan
201
Anom Wibisono, Politik Pangan "Opini" untuk Rakyat. <http://www.lingkar
y<~yas:ml24.org.id./artikclt•,
I Nopcmhcr 2003.
150
pada keunggukan komparatif potensi lokal daya dukung sumber daya alam Indonesia
yang sangat beragam. ldentifikasi potensi lahan dan budaya masyarakat lokal
sebagai contoh, seharusnya menjadi inti dari kebijakan politik pangan di sektor
produksi dan penerapan bea masuk impor komoditas pokok atau komoditas
pertanian, seperti beras, gula, kedelai, daging, dan lain-lain harus lebih proporsional
dengan menarik garis pada serapan tenaga kerja produktif yang ada di dalam sektor
produksi tersebut. Sistem bea masuk yang tinggi selalu diterapkan oleh negara yang
populasinya tinggi serta sebagian besar masyarakatnya terlibat dalam sektor produksi
tersebut (hulu hingga hilir).
151
Daftar Pustaka
1. Buku
Ali, Achmad, Keterpuruk an Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Jakarta:
Ghalia, 2002.
Alexandratos, N., World Agriculture: To·ward 2010, An FAO Study. Chichester: FAO &
John Willey & Sons, 1995.
Bello, W., Stakes are Higher than Ever in 1999 Review of Agreement on Agriculture.
Consumer International, Food Security: the New Millenium, Internationa l
Conference on Food Security, Penang: Phoenix Printers Sdn. Bhd, 1999.
Baumman, M., et. al., The Life Industry: Biodiversih;, People and Profits. London: World
Wide Fund for Nature and Swiss Aid, 1996.
Brierly, J.L., Tlze Law of Nations. Oxford: Claredon Press, [reprint], 1972.
Cavanagh, John. (et.al), Alternatives Task Force of Internationa l Forum on
Globalization, Alternatives to Economic Globalization: A Better World is
Possible. USA: Berret-Koehler Publisher, 2002.
Clive Parry, The Law of Treaties, Manual of Public International Lmu, ed. by Max
Sorensen. Hongkong: the MacMillan Press Ltd, [reprint], 1978), p. 175-245.
Correa, C.M. Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries the
TRIPs Agreement and Policy Option. London· Zed Books and Penang, Third
World Network, 2000
Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangun gan Departemen
Luar Negeri Rl, Sekilas WTO. Ketua Tim Ed.: Dian Triansyah Djani. Jakarta:
Departemen Luar Negeri Rl, 2002.
Ellesworth, PT., The International Economy,
1964.
3rd
ed. New York: the Macmilan Company,
Elly Erawaty, A.F., Globalisasi dan Perdaganga n Bebas: Suatu Pengantar, dalam
kumpulan karya ilmiah Aspek Hukum dari Perdaganga n '!3ebas, Ivienelaah
Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanak an Perdaganga n Bebas. Tim
editor Ida Susanti dan Bayu Setio. Bandung: Citra Aditya Bakti dan PHUniversitas Katolik Parahyanga n, 2003.
Hardinsyah , (et.al). Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan.
Bogor: Kerjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB,
UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan. 1998.
IRRI, Rice and Hope, IRRI Report 1998-1999, Manila, 1999.
152
Jhamtani, Hira dan Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan: Telaah
Tentang TRIPs dan Keragaman Hayati di Indonesia Jakarta: INFIDKONPHALINDO-IGJ, 2002.
Kartadjoemena, H. S., GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga Internasional di
Bidang Perdagangan. Jakarta: UI Press, 1996.
Khor, Martin, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia
Ketiga. Jakarta: Gramedia dan KONPHALINDO, 1994.
Lappe, F.M and J. Collins, Food First: Beyond the Myth of Scarcih;. Boston: Institute for
Food and Development Policies, Houghton Miffin Companya, 1977.
Lodge, George C., Managing Globalization in the Age of Interdependence. San Diego:
Pfeifer & Co, 1995.
Long, Olivier., Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System. Dordrecht:
Martinus Nijhoff, 1987.
Malthus,T., An Essay on the Principle of Population. Middlesex: Pinguin Book Ltd, 1798.
Maxwell, S. and T. Frenkenberger., Household Food Security:
Measurements. New York: UNICEF and IFAD, 1997.
Concepts, Indicators,
Ricardo, David., Principles of Political Economy and Taxation dalam The Works if
David Ricardo. London: John Murray, 1817.
Richard A. Postner, Economic Analysis of Lazu Sth Ed., USA: A Division of Aspen
Publisher Inc. A Wolters Kluwer Company.
Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economic. Glenview Illionis London: Scott
Foresman and Company, 1988.
Rosenberg, Jerry M., Dictionary of International Trade. New York: John Wiley & Sons,
Inc., 1994.
Ross-Larson, Bruce., (ed), Making Global Trade Work for People. UK: UNDP-Earthscan
Publication, 2003.
Sach, Jeffrey. and Andrew Warner, Economic Reform and the Process of Global Integration.
(UNCT AD, Trade and Development Report, 2002).
Smith, Adam., An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations. New
York: Modern Library, 1937.
Suryana, Achmad., Benarkah Impor Pangan Kita Mencemaskan? Jakarta: Sekretariat
Dewan Ketahanan Pangan, 2002.
Siahaan, Maruarar., Damages in Breach pf Contrac Under 1980 Vienna on International
Sales, (Berkelye, 1991) dialihabahasakan dan diterbitkan atas kerjasama the Asia
Foundation dan Mahkamah Agung RI.
Sorensen, Max, Institutionalized International Co-operation in Economic, Social and
Cultural Fields, Manual of Public International Law. (Hongkong: the
Macmillan Press, Ltd., [reprint], 1978), hal. 317-345.
15:1
Sumner, Daniel A., Domestic Support and the WTO Negotiations. Revised. CA. USA: the
Department of Agricultural and Economics- University of California, April 9,
2000.
Tabor, S.R., Food Security, Rural Development and Rice Policy: An Integrated
Perspective, report for Bappenas (draft: 28 Juli 2001).
Trebilcock, Michael J. & Robert Howse, "The Evolution of International Trade Theory
and Policy": The Regulation of International Trade. USA: Routledge, 1999.
Dikumpulkan oleh: Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional,
Edisi revisi, Jakarta: Universitas Indonesia, tanpa tahun.
Trubek, David M., "Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and
Development", (The Yale Law Journal, Vol. 82 No.1, 1972). Dikumpulkan oleh
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 1. Jakarta:
Fakultas Hukum UI Program Pascasarjana, 2000.
UNCTAD, World Investment Report 2001, (2001).
Wurtz burg, C.E. , Raffles of the Eastern Isles, (Singapore, Oxford University Press, 1990)
2. Makalah
Dillon, H.S., Implikasi Persetujuan Putaran Uruguay - GATT dan Komitmen Indonesia di
Bidang Pertanian. Makalah disarL'lpaikan pada Temu Dialog Kebijakan Satu
Tahun Ratifikasi WTO, Inventarisasi Posisi dan Permasalahan yang Dihadapi
Indonesia serta Persiapan Selanjuh1ya, LPEM FE-UI dan Bappenas, Jakarta,
1995).
Hardinsyah dan Martianto, Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis
dan Pemberdayaan Masyarakat. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan
Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
Ichsan, M., Kemiskinan dan Harga Beras. Makalah disampaikan pada Diskusi Panel
dengan tema: Alternati£ Kebijakan Perberasan: Tinjauan Kritis Basil Tim Kajian
Kebijakan Perberasan Nasional, diselenggarakan oleh PSP-IPB dan LPEM-UI di
Bogor 17 Juli 2001.
Josling, Tim., Domestic Farm Policies and the WTO Negotiations on Domestic Support.
Paper presented to the Conference on "Agricultural Policy Reform and the
WTO: Where are we heading?" held at Capri (Italy), June 23-26,2003.
Martin, Will, and L. Alan Winters (eds.). The Uruguay Round and the Developing
Economics. Washington, DC: World Bank Discussion Papers, no. 307, 1995.
Ohga, K., Food Security and Trade Liberalisation. Makalah disampaikan pada the
NGO Forum of Food Importing Countries: on the Next WTO Agricultural
Negotiation, Seoul, 26 Oktober 1999.
Saefuddin, A.M., Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian.
Makalah disampaik.an pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan
Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23- 24 Juli 1999.
154
Smvit, M. Huscin, Globnlisnsi dnn AoA - WTO: Pengnruhnya Terhadap Ketahannn Pnngnn
Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya yang bertajuk "Ketahanan
Pangan Nasional" diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) dan Consumers International Regional Office for Asia Pacific (CIROAP)
di Hotel Kemang, Jakarta 28 - 29 Agustus 2001
Siregar, Amelia Nani (et.al), Ketahanan Pangan dan Upaya Pencapaiannya. Makalah
Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana / 53 Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Maret 2003.
Simatupang, P., Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Rangka
Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian
Nasional. Bahan diskusi "Round Table" Kebijakan Pangan dan Gizi di Masa
Mendatang. Kantor Menpangan dan Holtikultura, 23 Juni 1999, Jakarta.
Suryana, A., Critical Revie·w on Food Security in Indonesia.
N asional Ketananan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
Makalah pada Seminar
Vitalaya, A. S.H.,Pemberdayann Masyarnkattani untuk Ketahanan Pangan dan Pemulilznn
Ekonomi.. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29
Maret 2001.
3. Internet
"A Programme Responsive to Evolving Policy Issues". http://www.oecd.org/agr/ , 12
Des ember 2003.
Departemen PerinduslTian dan Perdagangan RI, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.htm, 15 Desember 2003.
Djiwandono, J. Soedrajat, "Tidak Hanya AFTA 2003". http://www.pacific.net.id/
pakar/sj/030127.html, 10 Nopember 2003.
Husodo, Siswono Yudho., Membangun Kemandirian di Bidang Pangan: Suatu Kebutuhnn
Bagi Indonesia,
http://www.ekonomirakyat.org/edisi 18/artikel 3htm,17
Desember 2003.
TGJ, Clobnlisnsi Mengnrnh ke Rekolonisasi, (http://www.globaljust.org.id/) 30 Januari
2003.
Hardinsyah. Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketalzmwn
Pangan. Dalam Pertanian dan Pangan. Rudi Wibowo (ed). Sinar Harapan.
Jakarta. 2000. (http://www.sinarharapan.co.id/)
Irawan, Andi., Liberalisasi Pasar Bagi Petani Kita, (Sinar Harapan, 11 September
2003), (http://www .sinarharapan.co.id /be rita/ 0309)
"Indonesia telah menyampaikan Notifikasi Peraturan Nasional di bidang Anti Dumping dan
Subsidi."
http://www.geocities.com/WallStreet/4081/hotsubsidi.htm, 12
Nopember 2003.
Perlmrinn Pnscn Cmrcun, Pelunng
http://www.kompas.com, 25 September 2003.
N<.1inggobn,
l<;:mwn.,
Negnrn
Berkembnng,
155
Khor, Martin., Developing Countries Prepare for Agriculture Battle an Cancun Ministerial,
(TWN Report from Cancun, 9 September 2003, http://www.wto.dprin.go.id/,
5 Desember 2003.
---------, Developing Countries Prepare for Agriculture
Ministerial,(TWN
Report
from
Cancun,
9
http://www.wto.dprin.go.id/, 5 Desember 2003
Battle an Cancun
September
2003,
Khudori, WTO dan Petani Indonesia, http://www.republika.eo.id/, 16 Desember 2003.
---------, Cancun dan Masa Depan Neo-Liberalisme. Harian Republika (24 September
2003). http:/ I www.republika.eo.id/,
Krinamurthi, Bayu., Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 Tahun dan Tantangan ke
Depan.
Jurnal
Ekonomi
Rakyat
(Artikel-Th.II-No.7-0ktober
2003)
http://www.ekonomirakyat.org.id/edisi 19/artikel 4hhn, 12 Nopember 2003.
Kwa, Aileen, Negosiasi Pertanian WTO Dirancang Untuk Memperparah Kelaparan Di
Dunia,
http:// www.focusweb.org/publications/bahasa-indo nesia/,
12
Desember 2003.
OECD,
"A
Programme
Responsive
to
Evolving
http://www.oecd.org/agr/, 12 Desember 2003.
Policy
Issues".
Oh, C., Ten Questions on TRIPs, Technologtj Transfer and Biodiversity, (Penang, Third
World Network, http://www.twnside.org.sg/), 2 Desember 2003.
Oxley, Alan., The Consequences of Cancun - the WTO as Workhouse not Poorhouse.
http://www.apec.org.au/docs/workhouse.am 3 Desember 2003.
"Pasca-kegagalan Konsensus di Sidang WTO: Kesepakatan Perdagangan Multilateral
Perlu Dibangun". http:/ I www.sinarharapan.eo.id/ ekonomi/ industri/, 15
Desember 2003.
"Perlu
Pasar Baru Setelah Gagalnya Pertemuan Cancun." Siaran Pers.
http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/siara n pers/, 16 Desember 2003.
Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kepala Bulog 22
Januari 2002. Siaran Pers Bulog. http://www.bulog.go.id/pers/, 9 Desember
2003.
Sawit, M. Husein, Kegagalan Perundingan Pertanian WTO di Cancun: Peluang atau
Ancamnn bunt Ekonomi Rakynt?,(http:/ I www.ekonomirakyat.org/ edisi 20, 12
N opember 2003.
"WTO Minta Klnrifiknsi 12 lsu Perdngangmz." Kompas, http://www.kompas.com/, 2
Desember 2003.
"WTO Setujui Notifikasi Bulog Sebagai STE,", 12 Nopember 2003.
Valdes, Constanza and Edwin Young, Developing Countries' Issues in the WTO Related
to Agriculture. http://www.ers.usda.gov /epubs/pdf/wrs984/wrs984i.pdf, 12.
Desember 2003.
Walden Bello, Multilateral punishment: the Philippines in WTO, 1 95- 103,
!1ttp://www.inq'7.net/opi/2003/jul/09/opi wbello-1.htm, 4 Nopember 2003.
156
---------,Tire Meaning of Cmzcun. (This article appeared in the 11 Perspective 11 Section of
the Bangkok Post, Sept. 19, 2003.) http://www.ourworldisnotforsale.org/
cancun/, 25 Nopember 2003.
Wibisono, Anom., Politik Pangan 11 0pini 11 untuk Rakyat.
yayasan324.org.id/artikel, 1 Nopember 2003.
http://www.lingkar
4. Artikel
Alisjahbana, Iskandar, "Perlu Didukung Pembaruan Mata Kuliah Evolusi". Harian
Kompas, (28 Juni 2003): 34.
Amang, B. dan M. Husein Sawit, "Perdagangan Global dan Implikasinya Pada
Ketahanan Pangan Nasional". Agro-Ekonomika (Tahun-27, 1997): 2.
Brundtland, G.H., "Nutrition, Health and Human Right". SCN-News. July (18), 1999.
Howard David - David Holdcoft, Jurisprudence Texts and Commentary. Butterworths:
1991.
L.R. Brown, "Who Will Feed China? The Wake-up Call for Small Planet". The World-
watch Environmental Alert Series.
Pierre Lemieux, "Economic Imprealism: an Introduction to Economic Analysis of Law". The
Laisses Faire City Time, September 3, 2001 Vol. 5, No. 36.
Raghavan. Chakravathi, No Easy Answer on How to Proceed After Cancun .. Published in:
South-North Development Monitor (SUNS) No. 5427 (26 September 2003).
Robinson, M., "The Human Right to Food and Nutrition". SCN-News. (July 18. 1999).
Suwandi, Ading, "Ketidakjelasan Visi Ketahamm Pangan". Harian Kompas (18
Desember 2003): 47.
Tim Perberasan Nasional, Formulasi Kebijalcan Perberasan Nasional. Di bawah
koordinasi Bappenas dan Menko Perekonomian. (Jakarta, Juli 2001).
Trueblood, Michael and Shahla Shapouri, "Implications of Trade Liberalization on Food
SecurihJ of Low-income Countries". United State Departement of Agriculture:
Agriculture Information Bulletin No. 765-5 (April2001).
157
Download