kedokteran unram kedokteran unram

advertisement
Volume 2 Nomor 3 September 2013
ISSN : 2301-5970
RSI
M
AT
M
S
UN
VE
TA
I
JURNAL
KEDOKTERAN
UNRAM
ARA
Tinjauan Pustaka :
Kejang Demam Pada Anak
Penelitian :
Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti
Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien
Hiv Dewasa
Penelitian :
Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil
Pasca Anestesi Umum
Penelitian :
Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru
yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012
Tinjauan Pustaka :
Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung
Tinjauan Pustaka :
The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively
Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed
Countries
Tinjauan Pustaka :
Stress Hiperglikemia
Tinjauan Pustaka :
The Relationship Between Child Obesity And Bone Health
Volume 2 Nomor 3 September 2013
ISSN : 2301-5970
RSI
M
AT
M
S
UN
VE
TA
I
JURNAL
KEDOKTERAN
UNRAM
ARA
Tinjauan Pustaka :
Kejang Demam Pada Anak
Penelitian :
Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti
Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien
Hiv Dewasa
Penelitian :
Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil
Pasca Anestesi Umum
Penelitian :
Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru
yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012
Tinjauan Pustaka :
Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung
Tinjauan Pustaka :
The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively
Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed
Countries
Tinjauan Pustaka :
Stress Hiperglikemia
Tinjauan Pustaka :
The Relationship Between Child Obesity And Bone Health
Jurnal Kedokteran Unram
Penasehat
Prof. Mulyanto
Editor

dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.

dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.

dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.
Dewan Redaksi

dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)

dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.

dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK

dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD

dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.

dr. Bambang Priyanto, SpBS

dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.

dr. Seto Priyambodo, M.Sc.

dr. Nurhidayati, M.Kes.

dr. Pandu Ishak Nandana, SpU

dr. Arif Zuhan, SpB

dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)

dr. Fathul Djannah, SpPA

dr. Marie Yuni Andari, SpM

Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.

dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK

dr. Akhada Maulana, SpU

dr. Monalisa Nasrul, SpM

dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD

Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt
Mitra Bestari

dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)

dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)
Sekretaris
dr. Prima Belia Fathana
Layout dan Percetakan
Syarief Roesmayadi
ISSN : 2301-5977
Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Edisi 4, Volume 3, September 2013
DAFTAR ISI
Tinjauan Pustaka :
Kejang Demam Pada Anak
Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte.........................................................
3
Penelitian :
Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan
Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa
Eustachius Hagni Wardoyo, Teguh Sarry Hartono ....................................................................
12
Penelitian :
Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum
Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah...................................................
16
Penelitian :
Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap
Di RSUP NTB Tahun 2011-2012
Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri .......................................
27
Tinjauan Pustaka :
Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung
Hamsu Kadriyan ........................................................................................................................
38
Tinjauan Pustaka :
The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six
Months: Cases In Developed Countries
Rifana Cholidah ............................................................……….................................................
45
Tinjauan Pustaka :
Stress Hiperglikemia
Erwin Kresnoadi .........................………....................................................................................
51
Tinjauan Pustaka :
The Relationship Between Child Obesity And Bone Health
Rifana Cholidah .........................………....................................................................................
61
Pedoman Penulisan Naskah Artikel.........................................................................................
69
2
KEJANG DEMAM PADA ANAK
Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unram/RSUP NTB
Abstract:
Febrile convultion is a neurological disorder that is often found in children. Fever is usually caused by
an infection outside of the central nervous system such as : Upper respiratory tract infection,gastroenteritis,
urinary tract infection, etc.Febrile siezures in general brief form : tonic, tonic-clonic,focal or partial. Febrile
convultion should receive prompt and appropriate treatment because of delays and procedural errors would
cause sequel and death. Appropriate education for parents about febrile convultion is unbelievably necessary
to reduce anxiety.
Keywords : seizure,fever,anticonvulsanst
Pendahuluan
Kejang
Serangan kejang demam pada anak yang
merupakan
suatu manifestasi
satu
dengan
yang
lain
tidak
sama,
klinik lepas muatan listrik berlebihan dari sel-
tergantung dari nilai ambang kejang masing-
sel neuron di otak yang terganggu fungsinya.
masing.4,6 Setiap serangan kejang pada anak
Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh
harus mendapat penanganan yang cepat
1
dan tepat apalagi pada kasus kejang yang
Pada sebagian besar kasus, gangguan
berlangsung lama dan berulang. Karena
fungsi sel neuron otak
keterlambatan dan kesalahan prosedur akan
kelainan anatomis, fisiologis, dan biokimia,
sementara.
petanda
Kejang
serius
hanya bersifat
dapat
suatu
merupakan
penyakit
mengakibatkan gejala sisa pada anak atau
bahkan menyebabkan kematian.,3,5,6,8
yang
mendasarinya.2
Makalah
Kejang pada anak lebih sering terjadi
ini
bertujuan
membahas
beberapa aspek dan tatalaksana
karena kenaikan suhu tubuh. Demam sering
kejang
demam pada anak.
disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf
Definisi
pusat seperti : infeksi saluran pernapasan
atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi
saluran
kemihdan
Consensus
Seizures(1980),
lain-lain.
Statement
Kejang demam adalah bangkitan kejang
Menurut
of
Febrile
Kejang demam
biasanya
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu
rectal)
Lebih dari 38oC, yang disebabkan
oleh suatu proses ekstrakranial.3,5,6
dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5
Kejang
Demam
Sederhana
adalah
tahun dan tidak pernah terbukti adanya
kejang demam yang terjadi pada umur
3
antara 6 bulan sampai 4 tahun, lama kejang
Pendapat lain mengatakan bahwa kejang
kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum,
demam adalah suatu kejadian pada
frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.
bayi
atau anak, biasanya terjadi antara umur 6
bulan
dan 5 tahun. Anak
setahun,
yang pernah
kejang
timbul
sesudah kenaikan suhu.
dalam
16
jam
6
mengalamin kejang tanpa demam dan bayi
umur kurang dari 1
dalam kejang demam.
Patofisiologi
bulan tidak termasuk
3,4,8
Dasar
3
patofisiologi
terjadinya
kejang
demam adalah belum berfungsinya dengan
baru
terjadi
pada
suhu
diatas
40°C.
6
Terulangnya kejang demam lebih sering
Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak
terjadi pada anak dengan ambang kejang
membutuhkan
rendah.4,6,8
baik susunan saraf pusat(korteks serebri).
glukosa
energi
yang
yaitu
senyawa
dari
proses
didapat
Kejang demam yang berlangsung singkat
metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh
umumnya
membran
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang
dalam
keadaan
normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan
demam
+
mudah oleh ion Kalium (K ) dan sangat sulit
dilalui oleh ion Natrium (Na ) dan elektrolit
lain
kecuali
Clorida
(Cl ).
yang
menit“Status
+
-
tidak
berbahaya
berlangsung
epilepticus“
dan
tidak
lama
>15
adalah
suatu
keadaan darurat dan perlu tindakan segera
Akibatnya
karena
+
konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi
bila
berlangsung
lama
akan
menyebabkan kerusakan neuron dengan
+
dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan
akibat kematian.
sebaliknya terjadi di luar sel neuron.Untuk
Bila
kejang
tidak
teratasi
(status
menjaga keseimbangan potensial membran
epileptikus) akan timbul keadaan
sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP
jaringan otak dengan akibat permeabilitas
ase
yang
terdapat
Keseimbangan
di
potensial
hipoksia
permukaan
sel.
kapiler meninggi, terjadi edema otak dengan
membran
sel
tekanan intrakranial yang meninggi. Akibat
dipengaruhi oleh :1.Perubahan konsentrasi
edema otak
terjadi kerusakan sel dan
ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan
depressi
yang datangnya mendadak baik rangsangan
hipoksia. Kematian
pernapasan
yang
menambah
timbul kemudian
oleh
7
mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari
kolaps sirkulasi. Bila kejang dapat diatasi,
sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari
anak bisa kembali normal atau sembuh
membran
dengan gejala sisa. Hal ini diduga kuat
karena
penyakit
atau
faktor
keturunan.
sebagai faktor yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya epilepsi.4
Pada keadaan demam, kenaikan suhu
10C
akan
mengakibatkan
kenaikan
Manifestasi Klinik
metabolisme basal 10-15% dan peningkatan
kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada
kenaikan
suhu
tertentu
dapat
Terjadinya bangkitan kejang demam pada
terjadi
bayi
dan
anak
kebanyakan
bersamaan
perubahan keseimbangan dari membran dan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi
dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion
dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di
Kalium dan Natrium melalui membran sel,
luar sistem saraf pusat, misalnya karena
akibat lepasnya muatan listrik yang demikian
tonsillitis, bronchitis atau otitis media akut.
besar keseluruh sel maupun ke membran sel
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24
tetangga dengan bantuan neurotransmitter
jam pertama sewaktu demam, berlangsung
terjadilah kejang. Pada anak degan ambang
singkat,
kejang yang rendah kenaikan suhu sampai
berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal
38°C sudah terjadi kejang, namun pada anak
atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat
4
dengan
sifat
bangkitan
kejang
anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi
apakah Kejang Demam Sederhana
setelah beberapa detik atau menit anak akan
Kejang
terbangun dan sadar kembali tanpa ada
LivingStone membagi kriteria kejang
kelainan neurologi.
3,5,8
Demam
Kompleks.
atau
Dahulu
Kejang dapat diikuti
menjadi dua golongan, yaitu: Kejang Demam
hemiparesis sementara (hemiparesis Todd)
Sederhana (simple febrile convulsion) dan
yang berlangsung beberapa jam sampai
Epilepsi
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
(epilepsy triggered of by fever). Klasifikasi ini
dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
tidak lagi digunakan karena studi prospektif
Bangkitan yang berlangsung lama lebih
epidemiologi
membuktikan
3
berkembang
epilepsi
sering terjadi pada kejang demam pertama.
yang
diprovokasi
atau
oleh
Demam
bahwa
resiko
berulangnya
kejang tidak sebanyak diperkirakan.3
Bila menghadapi penderita dengan kejang
demam, pertanyaannya yang sering timbul
Gambar 1. Skematik patofisiologi pada Kejang
Unit Kerja Koordinasi Nerologi (UKK) IDAI
15 menit
2006 membuat Klasifikasi Kejang Demam
pada anak menjadi :
b. Kejang
4,8
kejang
1. Kejang Demam Sederhana
(Simple
fokal
umum
atau
parsial,
didahului
atau
kejang
parsial
Febrile Seizure)
c.
a. Kejang berlangsung singkat kurang
Berulang lebih dari 1 kali dalam 24
jam (kejang multipel atau kejang
dari 15 menit
serial)
b. Kejang bersifat umum, tonik dan atau
Deferensial Diagnosa
klonik
c.
Tidak
berulang
dalam
24
jam
Menghadapi
(frekuensi 1 kali dalam 24 jam)
2. Kejang
fibrile
Demam
Kompleks
seorang
anak
yang
menderita demam dengan kejang, harus
Complex
dipertimbangkan apakah penyebabnya dari
Seizure)
luar atau dari dalam susunan saraf pusat.
a. Kejang berlangsung lama lebih dari
Kelainan di dalam otak biasanya karena
5
infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau
dapat dikerjakan : Pemeriksaan
abses otak
darah perifer, elektrolit dan gula
waspada
dll.
Oleh sebab itu
untuk
perlu
menyingkirkan
dahulu
darah
apakah ada kelainan organik di otak. Baru
b. Pungsi
sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam
sederhana atau kejang demam kompleks.
lumbal
untuk
pemeriksaan
3
cairan
serebrospinal dilakukan untuk
menyingkirkan atau menegakan
Penegakkan Diagnosis:
4,8
diagnosis meningitis, dianjurkan
1. Anamnesis :
pada:
Dari anamnesis ditanyakan :
a. Tampilan
1) Bayi kurang dari 12 bulan
kejang,umum
atau
sangat dianjurkan dilakukan
fokal dan berapa lama durasi
2) Bayi usia antara 12 bulan-18
kejangnya
bulan dianjurkan
b. Riwayat demam dan penyakit
3) Bayi usia> 18 bulan tidak
lain yang diderita oleh anak
c.
rutin.
Riwayat penggunaan obat pada
Prognosis
anak
d. Riwayat kejang sebelumnnya,
masalah
Dengan penanggulangan yang tepat dan
nerologik,
cepat,
prognosisnya
baik
dan
tidak
keterlambatan tumbuh kembang
menyebabkan
atau
berulangnya kejang berkisar antara 25 –
penyebab
lain
seperti
trauma
kematian.Frekuensi
50%. Resiko untuk mendapatkan epilepsy
e. Riwayat keluarga yang pernah
rendah
atau tidak mengalami kejang
ditemukan
2,9%
penderita kejang demam.
dari
semua
3
demam, epilepsy
Penanggulangan
2. Pemeriksaan fisik dan nerologi
Kesadaran,
suhu
rangsangan
peningkatan
tubuh,
meningeal,
tekanan
tanda
Anak yang mengalami Kejang Demam
tanda
Sederhana atau Kejang Demam Kompleks
intrakranial,
sebaiknya dirawat dirumah sakit
dan
dan tanda infeksi di luar Susunan
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
Saraf Pusat (SSP). Pada umumnya
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
tidak
lanjut.4
dijumpai
nerologis
adanya
termasuk
kelainan
tidak
ada
Dalam penanggulangan
kelumpuhan nervi kranialis.
kejang demam
pada anak, ada 4 faktor yang harus
3. Pemeriksaan penunjang
dilakukan, yaitu:
A. Memberantas
a. Pemeriksaan laboratorium tidak
kejang
secepat
1,2,4,8
dilakukan secara rutin, namun
mungkin
untuk
mengevaluasi
Apabila penderita datang dalam keadaan
infeksi
penyebab demam atau
kejang,
segera
keadaan lain. Pemeriksaan yang
secara
rektal
sumber
6
diberikan
dengan
diazepam
dosis
:
Berat badan < 10 kg = 5 mg
Dosis phenobarbital :
Berat badan > 10 kg = 10 mg
loading dose secara intramuskuler :
(lihatgambar2). Bila kejang sudah teratasi
Neonatus
dengan
Anak usia 1 bulan – 1 tahun : 50 mg
diazepam
antikonvulsan
dapat
long
diberikan
acting
Phenobarbital, terutama
seperti
: 30 mg
Anak usia > 1 tahun
bila ada faktor
: 75 mg
Dilanjutkan 4 jam kemudian
dengan
resiko: kejang lama, kejang fokal atau
phenobarbital oral : 8 – 10 mg /kg bb/hari
parsial, adanya kelainan neurologis yang
dibagi 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya
nyata,
3 – 5 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis selama
kejang
multipel,
dan
riwayat
epilepsi dalam keluarga.
demam.
Diazepam 510mg/rec max 2x
Jarak 5 menit
Prehospital
0-10 menit
Monitoring
Hospital/ED
Airway
Breathing
Circulation
Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/
IV
(rate 2mg/menit,max dose
20 mg)
10-20
mnt
atau
Midazolam 0,2
mg/kg/IV bolus
Vital sign
EKG gula Darah
Serum Elektrolit Na,
K, Ca, Mg, Cl analisa
gas darah Koreksi
Kelainan Pulse
Oksimetri
atau
Lorazepam 0,0050,1 mg/kg/IV
(rate<2mg/menit
ICU/ED
Jika preparat
(+)
Note: Aditional
5-10mg/kg/IV
ICU
Midazolam 0,2mg/kg/IV
bolus di lanjutkan drip per
infus
Phenobarbital
20mg/kg/IV (rate
>5-10 menit,
max 1gr)
Phenitoin 20mg/
kg/IV 20 menit/
50 ml NS Max
1000mg
20-30 mnt
Blood
Drug Level
30-60 menit
Refrakter
PentotalTiopental 24mg/kg/IV
Propofol 3-5mg/
kg/infusion
Gambar 2
Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus.
( PKB Ilmu Kesehatan Anak FK. Unud , Sanur 5-8 Juli 2012)
7
B. Pengobatan penunjang.5,6
Diazepam rectal setiap 8 jam (lihat
Sebelum memberantas kejang jangan
dosis rektal sesuai berat badan)
lupa dengan pengobatan penunjang yaitu :
Berikan penjelasan pada orang tua
1. Penderita sebaiknya dibebaskan dari
tentang
efek
samping
obat
semua pakaian, posisi kepala miring
diazepam yaitu : mengantuk, letargi,
yaitu untuk menghindari aspirasi.
iritabel dan ataksia.
2. Profilaksis jangka panjang.4,6,8
2. Penting sekali mengusahakan jalan
nafas yang bebas agar oksigenasi
Pemberian
terjamim,
menerus
jika
diperlukan
dipasang
intubasi
trakheotomi.
Penghisapan
dilakukan
secara
dapat
bahkan
teratur,
untuk
suhu
panjang
menjamin
terus
ditujukan
terdapatnya
dosis
terapeutik di dalam darah stabil dan
juga
cukup, guna mencegah berulangnya
kejang di kemudian hari. Diberikan
3. Mengawasi secara ketat fungsi vital
kesadaran,
jangka
profilaksis
lendir
diberikan oksigenasi yang memadai.
seperti
obat
pada keadaan :
tubuh,
a. Adanya kelainan nerologis yang
tekanan darah, pernafasan dan fungsi
nyata sebelum atau sesudah kejang
jantung.
seperti : hemiparesis, paresis todd,
4. Cairan intravena sebaiknya diberikan
dengan monitor
palsi
kelainan metabolik
15 menit,
natrium dengan kadar tinggi
tubuh
c. Kejang
masih
tinggi(
hiperpireksi ) diberikan
antipiretik
intravena
es
dan
kompres
fokal,
kejang
jam
atau
d. Anak usia < 12 bulan .
e. Kejang demam kompleks berulang
C. Pengobatan profilaksis
4,6,8
profilaksis
lebih dari 4 kali dalam setahun.
terhadap
Obat yang diberikan berupa :
berulangnya kejang demam dapat dibagi
1. Fenobarbital
dalam dua yaitu:
1. Profilaksis
bersifat
berulang lebih dari 2 kali dalam 24
alkohol.
Pengobatan
mental,
b. Bila kejang berlangsung lebih dari
tekanan intracranial jangan diberikan
suhu
retardasi
hidrosefalus/mikrosefali dll.
dan elektrolit. Bila ada kenaikan
5. Bila
serebral,
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari
intermiten pada waktu
Efek samping pemakaian jangka
demam.
panjang : hiperaktif, perubahan
a. Antipiretik :
siklus tidur, gangguan kognitif, dan
parasetamol 10-15 mg/kgbb tiap 4 –
gangguan fungsi luhur.
6 jam
2. Asam Valproat
Ibuprofen 5 – 10 mg/kgbb tiap 6 –
Dapat
8 jam
terulangnya
b. Obat antikonvulsan :
menurunkan
memuaskan
kejang
bahkan
resiko
dengan
lebih
baik
Diazepam oral 0,3 mg/kgbb setiap 8
dibanding dengan fenobarbital.
jam saat
Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam
demam
atau
8
E. Edukasi Pada orang Tua. 4
3 dosis.
Efek samping : mual, hepatotoxis
Kejang selalu merupakan peristiwa yang
dan pancreatitis.
menakutkan bagi orang tua, karena saat
Antikonvulsan pada profilaksis jangka
kejang
panjang
beranggapan
ini
kurangnya
diberikan
selama
1
sekurang-
sebagian
besar
bahwa
orang
anaknya
tua
akan
tahun bebas
meninggal. Kecemasan tersebut harus
kejang. Penghentian pengobatan harus
dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi
dilakukan
orang
dengan
off,dalam
waktu
cara
3-6
tapering
bulan
guna
Dan
Mengobati
seputarkejang
demam,
diantaranya :
menghindari rebound fenomena.
D. Mencari
tua
1. meyakinkan bahwa kejang demam
Faktor
umumnya
bukan
merupakan
Penyebab/Kausatif
penyakit yang serius tetapi tidak juga
Penyebab dari kejang demam baik kejang
dianggap ringan (berprognosis baik )
demam
sederhana
demam
2. Memberikan cara penanganan kejang
kompleks biasanya infeksi pada traktus
3. Memberikan informasi kemungkinan
respiratorius
/kejang
bagian atas, otitis media
kejang kembali( kejang berulang)
akut, gastrointestinal, saluran kemih dll.
4. Terapi memang efektif mencegah
Pemberian antibiotika yang tepat dan
rekurensi
adekuat
samping
akan
sangat
berguna
untuk
menurunkan demam yang pada gilirannya
akan
kejang.
menurunkan
resiko
Secara akademis,
terjadinya
anak yang
Kesimpulan
dapat berhenti sendiri, sebagian lain tetap
infeksi
memerlukan pengobatan profilaksis jangka
Selanjutnya
panjang. Tatalaksana yang adekuat sangat
apabila menghadapi anak dengan kejang
penting untuk mencegah kejang lama(status
yang
epileptikus) dan kematian.
intrakranial
ini
perlu
Walaupun sebagian besar kejang demam
untuk
menyingkirkan
Hal
efek
mengurangi kejadian epilepsy
kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan
lumbal.
memiliki
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan
datang dengan kejang demam pertama
punksi
tetapi
kemungkinan
(meningitis).
berlangsung
pemeriksaan
:
lama
punksi
diperlukan
lumbal,
darah
berhasil
diatasi,
lengkap, glukosa, elektrolit, EEG, Brain
pemeriksaan
Scan, MRI, Pneumo Ensefalografi dan
pemeriksaan
arteriografi.
3,4,5
dilakukan
klinis
Setelah kejang
anamnesis,
neurologis,
penunjang
etiologi. Tentukan apakah
untuk
dan
mecari
kejang demam
sederhana atau kejang demam kompleks.
Daftar Pustaka
1. Suarba IG : Manajemen terkini kejang
dan status epileptikus. Dalam :
Penangan
kegawat
daruratan
Neonatologi dan Anak pada fasilitas
terbatas, PKB IKA Fk Unud/RSUP
Sanglah , sanur 2012.
2. Widodo DP : Penatalaksanaan Kejang
dan Status Epileptikus pada Bayi dan
Anak. Dalam : Paediatric Neurology and
Neuroemergency in Daily Practice. PKB
XLIX IKA Fk.UI, Jakarta 2006.
3. Mansjoer, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwik
S. Editor : Kejang Demam. Kapita
9
Selekta Kedokteran, ed 3;2. Penerbit
Media Aesculapius Fk.UI, 2000;434-7.
4. Prasasti AS. Kejang Demam pada Anak.
Diakses 12 september 2012. Diunduh
dari
:http//asprasasti.blogspot.com/2011/05/
kejang demam pada anak.html.
5. Ismael S . Kejang Demam. Dalam :
Sudaryat,Suwendra
IP
editor.
Simposium Kedaruratan pada Anak. IKA
Fk. Unud, Denpasar 1983.
6. Anonim : Kejang Demam pada Anak .
diakses 12 september 2012. Diunduh
dari
:http//medlinux.blogspot.com/2007/09/kej
ang-demam-pada-anak.html.
7. Hendarto SK, Ismael S : Kejang Demam
pada Anak. Dalam : Sulestea G,Steawati
A, Mariana, Handoko T editor : Kumpulan
Naskah KPPIK X. Fk.UI, Jakarta 1979.
8. Anonim : Kejang Demam . Pedomam
Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Bagian/SMF IKA. Fk. Unud/RSUP
Sanglah Denpasar,2011.
10
HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN HAART (HIGHLY ACTIVE ANTI RETROVIRAL
THERAPY) DENGAN PENINGKATAN LEVEL CD4 PADA PASIEN HIV DEWASA
Eustachius Hagni Wardoyo1 dan Teguh Sarry Hartono 2
Abstrak
Latar Belakang: Dinamika CD4 dikaitkan dengan durasi pemberian HAART memiliki keberagaman antar
individu, antar seting waktu dan tempat. Dinamika CD4 paska HAART merupakan faktor penting baik dalam
evaluasi klinis pasien HIV dan kepentingan epidemiologis. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara
durasi pemberian HAART dengan peningkatan level CD4.
Metodologi: Merupakan penelitian potong lintang dengan kriteria inklusi: 1. Usia pasien ≥18 tahun, pria dan
wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan
CD4 setelah HAART, 4. Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5. Memiliki kepatuhan
berobat. Durasi pemberian HAART (bulan) dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12, 2) 12 – 23, 3) 2436 dan 4) ≥ 36.
Hasil: Sejumlah 68 pasien dievaluasi. Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Distribusi kelompok durasi dari 18 pasien: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) dan 4) 5 (27,8%). Dengan
multivariate analysis terdapat perbedaan antar kelompok durasi terapi yang bermakna terhadap peningkatan
CD4 (p=0,033; ANOVA). Secara spesifik perbandingan antar kelompok diuji menggunakan LSD post hoc test
pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,801) demikian juga kelompok 2 dan 3
(p=0,553) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020).
Kesimpulan: Hanya 26,5% pasien yang mengalami kenaikan level CD4. Kenaikan level CD4 dapat terlihat
secara bermakna setelah 36 bulan terapi HAART.
Kata kunci: HAART, CD4, antiretroviral therapy
1
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram
2
Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Soelianti Saroso, Jl. Sunter Permai Raya Jakarta
Koresponden: [email protected]
Abstract
Background: Dynamics of CD4 after commencing highly active antiretroviral therapy (HAART) for certain
periods of time differ between patients, time and place. The present study aims to investigate the relationship
between duration of commencing HAART and the increasing of CD4.
Methods: Using cross-sectional study with inclusion criteria as follow: man and women age ≥ 18 y.o., having
CD4 naïve and CD4 post HAART, having positive difference between last CD4 and CD4 naïve and good
adherence. HAART’s duration (months) was grouped into: 1) <12, 2) 12 – 23, 3) 24-36 and 4) ≥ 36.
Results: Sixty eight patients were evaluated, only 18 patients met inclusion criteria. The duration groups are:
1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) and 4) 5 (27,8%) patients. Using multivariate analysis found there
was significant difference between duration groups to increasing CD4 (p=0,033; ANOVA). Followed by LSD
post hoc tested to group 1 and 2 no significant difference (p=0,801) also group 2 and 3 (p=0,553) but between
group 3 and 4 found significant difference (p=0.020).
Conclusion: Only 26,5% (18/68) patients with increasing CD4. Increasing CD4 was observed significant after
36 months commencing HAART.
Keywords: HAART, CD4, antiretroviral therapy
1
Faculty of Medicine Mataram University, Pendidikan Street, 37, Mataram, Indonesia
2
Infection Disease Hospital Soelianti Saroso, Baru Sunter Permai Raya street Jakarta, Indonesia.
Level CD4 menjadi bagian penting dalam
paduan HAART yang sesuai
1,2,3
. Setelah
manajemen HIV, mulai dari menentukan
inisiasi HAART perlu dimonitor efek samping
apakah pasien sudah memenuhi syarat
obat dan kepatuhan minum obat setidaknya
inisiasi highly active antiretroviral therapy
dalam 2 minggu-2 bulan pertama, 6 bulan
(HAART),
setelah
menilai
status
supresi
imun
inisiasi
HAART
perlu
dilakukan
1,4
pasien, menentukan infeksi oportunistik yang
pemeriksaan CD4 dan viral load
telah atau sedang terjadi, dan menentukan
dinamika level CD4 di Indonesia masih
12
.
Studi
terbatas dan respon imun pada seting lokal
perlu
diketahui,
perbedaan
seting
CD4 (data numerik) dalam pengelompokan
penelitian terutama terkait dengan variasi
durasi pemberian HAART.Perbedaan antar
heterogeneity
kelompok
virus,
farmakogenetik,
Penelitian
latar
dan
ini
tiap
Data yang diolah adalah data peningkatan
belakang
konstitusi
merupakan
tubuh.
durasi
dilakukan
analisis
multivariate dan uji post hoc menggunakan
penelitian
software SPSS 16.
pendahuluan yang mencari korelasi antara
HASIL
durasi HAART dan efek peningkatan level
CD4.
Sampai dengan bulan Juni 2011 terdapat
68 pasien yang memiliki kepatuhan berobat
METODOLOGI
diatas 95%.Dari 68 pasien terdapat 18
Penelitian ini mengambil tempat di klinik
care,
support
and
treatment
(CST)
pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak
di
50 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi
Tomang Jakarta Barat yang berlangsung
karena tidak memiliki data CD4 setelah
bulan Juni 2011. Penelitian ini merupakan
HAART dan peningkatan level CD4 tidak
penelitian potong lintang dengan mengambil
dapat dievaluasi.
subyek penelitian yang memenuhi kriteria
Karakteristik subyek penelitian
inklusi sebagai berikut: 1. Usia pasien ≥18
Menurut
jenis
kelamin
terdapat
3
tahun pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4
perempuan dan 15 laki-laki dengan median
pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART,
usia 28 tahun (23-37). Sebanyak 9 pasien
3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah
memiliki
HAART, 4.Memiliki selisih CD4 terakhir
hubungan seks beresiko dan 9 pasien
dengan CD4 naïve positif, dan 5.Memiliki
lainnya memiliki resiko penularan baik dari
kepatuhan
riwayat hubungan seks beresiko maupun
HAART
berobat.
dikelompokkan
Durasi
dalam
pemberian
kelompok
resiko
penularan
dari
riwayat
penasun.
waktu: 1) <12 bulan, 2) 12 – 23, 3) 24-36 dan
Delapan
belas pasien
dikelompokkan
4) ≥ 36.
berdasarkan
Definisi operasional
dijalani menjadi empat kelompok: 1) kurang
Durasi pemberian HAART: selisih waktu
durasi
HAART
yang
telah
dari 12 bulan sebanyak 4 (22,2%) orang, 2)
antara inisiasi HAART dengan pemeriksaan
antara 12-24 bulan sebanyak
level CD4 yang terakhir. Peningkatan level
orang, 3) antara 24-35 bulan sebanyak 6
CD4: selisih positif antara pemeriksaan level
(33,3%) orang dan 4) lebih atau sama
CD4 terakhir dengan CD4 naïve
dengan 36 bulan sebanyak 5 (27,8%) orang
Analisis statistik
dengan peningkatan CD4 yang dapat dilihat
pada tabel 1.
13
3 (16,7%)
Tabel 1. Distribusi kelompok pasien berdasarkan durasi HAART
Kelomp.
Durasi HAART
Jumlah pasien
Median peningkatan CD4 (minmax)
1
<12 bulan
4
122,5 (46-240)
2
12-23
3
114 (13-187)
3
24-35
6
146,5 (1-418)
4
≥36
5
361 (240-710)
DISKUSI
ketersediaan
Respon imun CD4 paska HAART pada
Indonesia.
tempat
Kriteria
pemeriksaan
laboratorium
di
yang
beberapa studi menunjukkan hasil yang
dipergunakan dalam monitoring antara lain
bervariasi mulai dari peningkatan 190-423
darah
sel/mmk dalam kurun waktu 4 tahun paska
serum, profil lipid dan lain-lain sesuai kondisi
lengkap,
SGOT/SGPT,
kreatinin
5
klinis pasien dan kemampuan sumber daya
6
120 hari namun tidak mengaitkan dengan
local. Pemeriksaan total lymphocyte count
durasi pemberian HAART.
tidak mampu menggantikan pemeriksaan
HAART , peningkatan 50 sel/mmk setelah
CD4 1,3,4.
Dalam studi ini dibandingkan dengan
studi Kaufmann dkk (2003)
(2000)
7
5
dan Erb dkk
Dalam kurun waktu diatas 36 bulan,
menunjukkan persentase pasien
terjadi
median
peningkatan
level
CD4
yang mengalami peningkatan level CD4 yang
sebanyak 361 sel/mmk, sedikit melampaui
lebih rendah (26,5% vs 39% dan 37,9%).
perkiraan peningkatan level CD4 sebanyak
Diduga factor usia pasien, respon imun yang
50-100
buruk dan adanya interupsi saat HAART
merupakan
menjadi penyebab kegagalan naiknya CD4
dalam
1,3,5,7,8
HAART level CD4 akan menurun antara 80-
Monitoring
laboratorium
110
menggunakan
CD4 lebih dipilih terkait dengan biaya dan
14
sel/mmk
pertahun.
penanda
manajemen
sel/
μL,
yang
HIV.
pertahun
Level
CD4
dipergunakan
Tanpa
1,2,4,9
adanya
(tabel1).
Gambar 1. Distribusi nilai peningkatan CD4 pada kelompok durasi pemberian HAART
Pada gambar 1 dan tabel 1, terlihat
peningkatan level CD4 dibandingkan dengan
median peningkatan CD4 yang telah terlihat
CD4 pre-HAART (CD4 naïve) pada seting
pada
kelompok
sel/mmk)
durasi
kemudian
pertama
(122,5
local akan memberikan manfaat baik itu
mengalami
sedikit
dalam
manajemen
yang
baru
maupun
yang
telah
penurunan (114). Pada kelompok tiga terjadi
terdiagnosa
peningkatan
mengkonsumsi HAART dalam jangka waktu
CD4
kembali,
lebih
tinggi
HIV
pasien
dibanding kelompok pertama dan kedua
tertentu.
(246,5 sel/mmk). Peningkatan CD4 yang
keluarganya diharapkan akan mendapatkan
terjadi
berbeda
pembekalan awal pre-HAART (konseling)
bermakna (p=0,033; ANOVA). Menggunakan
yang lebih baik sehingga meningkatkan
LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2
kepatuhan
tidak
konselor, klinisi dan manajer kasus adalah
antar
ada
kelompok
perbedaan
durasi
yang
bermakna
Manfaat
minum
bagi
obat.
dan
Manfaat
mengetahui
(p>0,05) namun pada kelompok 3 dan 4
memberikan peningkatan CD4 dipopulasi
terdapat
bermakna
yang dijangkaunya sehingga mempengaruhi
(p=0.020). Sehingga durasi HAART selama
perencanaan program, menambahkan materi
lebih atau sama dengan 36 bulan baru terjadi
edukasi, monitoring dan evaluasi efikasi
peningkatan CD4 yang bermakna secara
terapi dan lebih lanjut lagi dapat menjadikan
statistik.
pertimbangan
Penelitian
ini
yang
merupakan
penelitian
HAART
bagi
(p>0,05) demikian juga kelompok 2 dan 3
perbedaan
durasi
pasien
kapan
sampai
dilakukannya
uji
resistensi HAART.
pendahuluan dalam melakukan monitoring
Keterbatasan penelitian ini harus ditindak
dan evaluasi HAART. Jika diketahui berapa
lanjuti dengan penelitian selanjutnya dengan
lama
waktu
pemberian
yang
dibutuhkan
sampai
subyek
HAART
memberikan
respon
metodologi yang lebih baik dan memiliki
15
penelitian
yang
lebih
banyak,
interpretative operasional dilapangan untuk
level CD4 dapat terlihat secara bermakna
membantu manajemen HIV yang lebih baik.
setelah 36 bulan terapi HAART.
Ucapan terimakasih
KESIMPULAN
Hanya
18/68
Penulis
(26,5%)
pasien
mengucapkan
terimakasih
yang
kepada AIDS Research Center (ARC) Unika
mengalami kenaikan level CD4. Peningkatan
Atma Jaya dan Kios Informasi Kesehatan
PPH Unika Atma Jaya Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes
RI.
2011.
Pedoman
Nasional Tatalaksana Klinis dan
Terapi Antiretroviral Pada Orang
Dewasa. Jakarta
2. Sabin CA, AN Phillips. Should HIV
therapy be started at a CD4 cell count
above 350 cells/μl in asymptomatic
HIV-1-infected
patients?
[Special
commentary]. Curr Opinion in Infectious
Diseases: 2009. 22 (2):191-197
3. WHO. 2010. Antiretroviral therapy for
HIV
infection
in
adults
and
adolescents: recommendations for a
public health approach.– 2010 rev.
Austria
4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional
Terapi Antiretroviral, Edisi kedua.
Jakarta
5. Kaufmann GR, L Perrin, G Pantaleo, M
Opravil, H Furrer, A Telenti et al for the
Swiss HIV Cohort Study Group. CD4 TLymphocyte Recovery in Individuals
with
Advanced
HIV-1
Infection
Receiving
Potent
Antiretroviral
Therapy for 4 Years. Arch Intern Med.
2003;163:2187-2195
6. Binquet C, G Chêne, H Jacqmin-Gadda,
V Journot, M Savès, D Lacoste, et al.
Modeling Changes in CD4-positive TLymphocyte Counts after the Start of
Highly Active Antiretroviral Therapy
and the Relation with Risk of
Opportunistic
Infections.
Am
J
Epidemiol 2001;153:386–93
7. Erb P, M Battegay, W Zimmerli, M
Rickenbach, M Egger, for the Swiss HIV
Cohort Study. Effect of Antiretroviral
Therapy on Viral Load, CD4 Cell
Count, and Progression to Acquired
Immunodeficiency Syndrome in a
Community Human Immunodeficiency
Virus–Infected Cohort Arch Intern Med.
2000;160:1134-1140
8. Wardoyo EH, Hartono TS, Yunita R.
Highly active antiretroviral therapy
(HAART) initiation to HIV patients with
various CD4 levels. Poster Presentation
in 6th National Symposium Indonesian
Antimicrobial Resistance Watch, July,
2010. Jakarta
9. Kelly M. 2004. HIV Immunopathology.
In: Hoy J and S Lewin (Editor) HIV
Management in Australasia: a guide for
clinical care. Australasian Society for HIV
Medicine Inc. ASHM.
15
EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA
ANESTESI UMUM
Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
ABSTRACT
Background : Post anesthesia complication scan be caused by various factors, shivering is quite frequently
encountered complications during recovering time. Risks that may happen is increasing of metabolism and
make post operative pain worst. This study proves petidine can be used as an alternative to prevent shivering
after general anesthesia.
Methods : This research includes phase II clinical trials, the sample selection by Quota Sampling of patients
are being prepared for elective surgery with general anesthesia, aged 20-40 years, ASA I-II, all patients who
meet the criteria for inclusion in the sample until the required number met, willing to volunteer. Randomization
was done at the end of the operation. Patients were divided into two groups, Pand S.Severity of shivering
were recorded and assessed.
Results : Characteristics of patients five minutes before induction did not significant differences.
Measurement of systolic blood pressure and heart rate immediately after extubation showed significant
differences. Duration of shivering in saline group occurredin almost the same when compared with the
treatment group, because after the shivering, the patient is given immediate intervention of meperidine of
nd
rd
25mg for the treatment of shivering occurred, especially given to people who experience shivering with2 , 3 ,
th
or 4 degree. For patients shivered first degree was given meperidine administration intervention. Duration of
shivering in the control group took place in almost the same time.
Conclusion : Pethidine had a good effectiveness in preventing the occurrence of shivering after general
anesthesia.
Keywords: Pethidine, shivering after general anesthesia.
LATAR BELAKANG MASALAH
akan dapat berbahaya bagi pasien dengan
Penyulit yang terjadi pasca anestesi dapat
ditimbulkan
oleh
yaitu
dengan penyakit paru obstruktif menahun
tindakan pembedahan, tindakan anestesi
yang berat, atau pasien dengan gangguan
atau faktor penderita itu sendiri. Salah satu
kerja pada jantung. Asidosis laktat dan
penyulit yang cukup sering dijumpai selama
asidosis
respiratorik
dapat
pemulihan yaitu menggigil. Angka kejadian
ventilasi
dan
dari
menggigil selama pemulihan anestesi ini
meningkat secara proporsional,karena itu
antara
menggigil harus segera dicegah atau diatasi.
5%
berbagai
hingga
65%.
faktor
kondisi fisik yang tidak optimal, pasien
Menggigil
menimbulkan keadaan yang tidak nyaman
bagi
pasien,
itu
dapat
dilakukan
tidak
untuk
mencegah atau mengatasi menggigil pasca
menimbulkan risiko. Risiko utama yang
operasi antara lain dengan menjaga suhu
terjadi
tubuh
pasien
menggigil
yang
jantung
bila
juga
pada
selain
Cara
kerja
terjadi
menggigil
ialah
tetap
normal
selama
tindakan
pembedahan,
10,11
mencapai 400%) dan memperberat nyeri
obatan.
Penggunaan
pasca operasi. Aktivitas otot yang meningkat
merupakan cara yang sering dilakukan untuk
akan meningkatkan konsumsi oksigen dan
mengatasi kejadian menggigil pasca operasi.
peningkatan produksi karbondioksida. Hal ini
Penghangatan secara aktif terhadap pasien
peningkatan
proses
metabolisme
(dapat
16
atau memberikan obatobat-obatan
yaitu suatu cara yang dapat digunakan,
menjadi sukarelawan. Total sampel adalah
meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena
48 orang dibagi menjadi 2 kelompok:
menggigil pasca anestesi tidak selalu terjadi
-
Kelompok I (kontrol) = 24 orang
pada pusat pengaturan suhu, oleh karena
-
Kelompok II (perlakuan) =24 orang.
core temperature tidak selalu rendah pada
Semua
penderita
dipuasakan
6
jam
pasien yang mulai mengalami menggigil
sebelum operasi, dan kebutuhan cairan
selama
selama puasa dipenuhi sebelum operasi
masa
pemulihan
dari
tindakan
anestesi.
dengan menggunakan Ringer Laktat. Pada
Meperidin dianjurkan untuk mengatasi
saat masuk ke kamar operasi, tekanan darah
kejadian menggigil pasca anestesi. Efek anti
sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD),
menggigil dari meperidine pada
reseptor-
tekanan arteri rerata (TAR), laju jantung (LJ)
dari reseptor opioid. Meperidin dosis kecil (10
dan saturasi oksigen (SaO2) diukur 5 menit
- 25 mg) sering digunakan sebagai terapi
sebelum
menggigil
semua penderita akan diberikan premedikasi
pasca
anestesi
pada
orang
dilakukan
induksi
anestesi.dan
dewasa dan 0,2mg/kgBB – 0,5 mg/kgBB
fentanil 1 g/kgBB
untuk
yang
sebelum induksi. Induksi dilakukan dengan
terhadap
menggunakan propofol 2 mg/kgBB. Setelah
pasien
dibutuhkan
anak-anak.
untuk
Dosis
pencegahan
bulu
intra vena 2 menit
menggigil 0,5 mg/kgBB dapat menurunkan
refleks
angka kejadian menggigil 32 % - 80%.
atrakurium besilat 0,5 mg/kgBB, kemudian
Meperidin mempunyai efek samping spesifik
dilakukan intubasi endotrakheal. Rumatan
yaitu sedasi, euforia, pruritus dan bias
anestesi dengan menggunakan sevoflurane
menyebabkan rasa mual dan muntah pasca
1 vol%, N2O 50% dan O2 50% serta
operasi. Selain itu juga kejadian depresi
ketolorak
pernafasan cukup tinggi.
diberikan dengan dosis 0,2 mg/kgBB.
30
Randomisasi
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
mg.
hilang,
diberikan
Atrakurium intermiten
dilakukan
pada
akhir
operasi.Obat anestesi inhalasi dihentikan
termasuk eksperimental
murni uji klinis tahap II
mata
pada akhir operasi. Penderita dibagi menjadi
yang dilakukan
dua kelompok, yaitu kelompok P dan S.
secara acak tersamar ganda, dengan tujuan
Kelompok P mendapatkan Petidin 25 mg
mengetahuiefektivitas petidin 25 mg intra
intra vena dan kelompok S mendapatkan
vena untuk mencegah
menggigil pasca
NaCl 0,9% intra vena yang diberikan setelah
anestesi umum. Cara pemilihan sampel
nafas spontan adekuat dan refleks laringeal
dilakukan dengan cara Quota Sampling
kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit
terhadap semua penderita yang dipersiapkan
setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2
untuk
General
dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera
Anestesi, usia 20 – 40 tahun, ASA I-II,
setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD,
dimana semua penderita yang memenuhi
TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus
kriteria dimasukkan dalam sampel sampai
setiap lima menit selama 30 menit. Pasca
jumlah yang diperlukan terpenuhi, bersedia
ekstubasi,
operasi
elektif
dengan
17
penderita
diberikan
oksigen
6L/menit dengan menggunakan sungkup
baku (mean  SD). Uji statistik disini untuk
muka.
membandingkan 2 kelompok. Untuk data
Data-data yang dicatat untuk perhitungan
nominal meliputi variabel tingkat pendidikan,
statistik yang termasuk tersebut meliputi data
status ASA, jenis kelamin menggunakan uji
demografi dasar, status fisik, tekanan darah,
Mann Whitney. Untuk data numerik yang
laju jantung, tekanan arteri rerata, saturasi
meliputi variabel umur, tinggi badan, berat
oksigen, suhu tubuh, skor menggigil, dan
badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah
durasi menggigil. Data yang diperoleh dicatat
diastolik,
dalam suatu lembar penelitian khusus yang
jantung, laju nafas dengan menggunakan
telah disediakan satu lembar untuk setiap
independent
penderita dan dipisahkan antara kelompok
kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam
kontrol dan perlakuan. Data diolah, dianalisis
bentuk tabel dan grafik.
dan dinyatakan dalam nilai rerata  simpang
18
tekanan
arteri
t-test
rata-rata,
dengan
laju
derajat
Kerangka Kerja Penelitian
POPULASI
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
SAMPEL PENELITIAN
TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 diukur 5 menit sebelum induksi
Premedikasi : Fentanyl 1g/KgBB intra vena 2 menit pre induksi
Induksi : Propofoll 2 mg/kgBB
Refleks bulu mata hilang
Atrakurium besilat 0,5 mg/kgBB
INTUBASI ENDOTRAKEA
Rumatan anestesi :
Sevoflurane 1 vol%; O2 50% : N2O 50%, Atrakurium intermiten 0,2 mg/kgBB
Ketolorak 30 mg
Akhir operasi, nafas spontan adekuat, refleks laringeal (+)
RANDOMISASI
KELOMPOK ( P )
KELOMPOK ( S )
Petidin 25 Mg iv
NaCl 0,9% iv
Ekstubasi 5 menit kemudian
Ukur TDD, TDS, TAR, LJ, SaO2 segera pasca ekstubasi dan tiap 5 menit selama 30 menit
Menggigil : berat ringannya menggigil, durasi menggigil
UJI STATISTIK
19
HASIL PENELITIAN
kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit
Telah dilakukan penelitian pada 48 orang
setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2
penderita laki-laki dan perempuan yang
dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S
setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD,
(kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl
TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus
0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara
setiap lima menit selama 30 menit. Pasca
intravena dan kelompok P (perlakuan) 24
ekstubasi,
penderita mendapatkan injeksi petidin 25 mg
6L/menit dengan menggunakan sungkup
secara intra vena yang diberikan setelah
muka.Berat ringannya menggigil dicatat, dan
nafas spontan adekuat dan refleks laringeal
dinilai pula lamanya menggigil.
penderita
diberikan
oksigen
Tabel 1.Karakteristik kedua kelompok perlakuan.
Variabel
Umur (tahun)
Kelompok P
Kelompok S
( n = 24 )
( n = 24 )
27,92 ± 9,03
28,83 ± 8,14
p
0,242*
Jenis kelamin
Perempuan
14
13
0,295**
Laki-laki
10
11
Berat badan (kg)
58,08 ± 5,66
59,75 ± 4,63
0,473*
Tinggi badan (cm)
152,13 ± 8,36
154,13 ± 6,76
0,782*
ASA I
10
11
0,385**
ASA II
14
13
Status fisik
Sumber : data Primer
* = uji statistik menggunakan t-test
** = uji statistik menggunakan Mann Whitney
Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda
Tabel 2.Jenis operasi dan lama operasi.
Sumber : data Primer
* = uji statistik menggunakan t-test
** = uji statistik menggunakan Mann Whitney
Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda.
20
Tabel 3. Data karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi.
Variabel
Kelompok P
Kelompok S
p
( n = 24 )
( n = 24 )
TD Diastolik
73,13 ± 9,42
74,73 ± 9,23
0,569
TD Sistolik
122,92 ± 11,12
122,03 ± 9,90
0,457
TAR
79,38 ± 11,55
78,64 ± 8,41
0,387
Laju jantung
73,92 ± 6,89
75,48 ± 1,53
0,129
Saturasi O2
98,58 ± 1,21
98,09 ± 1,27
0,642
Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata.
Sumber : data Primer
uji statistik menggunakan t-test
Untuk karakteristik klinis penderita lima
menit
sebelum
induksi
antara
sebelum induksi
kedua
perlakuan
kelompok tidak berbeda.
Atas
dasar
hasil
pada
dengan
kedua
hasil
kelompok
menunjukkan
perbedaan tidak bermakna, maka kedua
uji
statistik
yang
kelompok dapat dikatakan homogen dan
dilakukan pada data dasar subyek penelitian
semuanya
layak
untuk
diperbandingkan.
dan karakteristik klinis penderita lima menit
Tabel 4.Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO2 kedua kelompok perlakuan.
Variabel
Kelompok P
Kelompok S
p*
75,13 ± 9,42
75,42 ± 4,64
72,29 ± 6,42
71,25 ± 4,48
71,04 ± 4,66
70,42 ± 4,40
73,13 ± 8,18
75,00 ± 8,08
73,33 ± 8,93
76,88 ± 5,48
71,88 ± 5,28
70,83 ± 4,58
72,50 ± 4,66
72,71 ± 4,42
75,21 ± 5,61
73,13± 4,85
0,936
0,455
0,838
0,818
0,429
0,200
0,362
0,371
122,92±11,12
124,58±8,33
127,71±11,03
127,08±12,85
125,21±11,56
124,79±9,61
123,54±9,15
125,00±9,78
123,33±10,90
132,92 ± 6,06
126,25 ± 9,58
123,75 ± 8,50
123,75 ± 9,00
123,54 ± 9,03
124,79 ± 9,03
126,04 ± 8,60
0,896
0,001
0,615
0,269
0,629
0,650
0,651
0,710
Waktu
TD Diastolik
5‟ pra induksi
0‟ pasca ekstubasi
5‟ pasca ekstubasi
10‟ pasca ekstubasi
15‟ pasca ekstubasi
20‟ pasca ekstubasi
25‟ pasca ekstubasi
30‟ pasca ekstubasi
TD Sistolik
5‟ pra induksi
0‟ pasca ekstubasi
5‟ pasca ekstubasi
10‟ pasca ekstubasi
15‟ pasca ekstubasi
20‟ pasca ekstubasi
25‟ pasca ekstubasi
30‟ pasca ekstubasi
21
Tabel 4. Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO2 kedua kelompok perlakuan(lanjutan)
Variabel
Kelompok P
Kelompok S
p*
79,38 ± 11,55
83,96 ± 11,79
83,96 ± 9,67
85,21 ± 12,81
84,79 ± 12,20
80,42 ± 6,90
79,38 ± 8,12
84,17 ± 11,77
76,46 ± 9,15
88,13 ± 4,62
86,04 ± 11,89
86,04 ± 11,70
85,63 ± 10,14
78,33 ± 6,37
78,54 ± 6,51
81,25 ± 5,76
0,303
0,109
0,460
0,791
0,781
0,288
0,718
0,253
73,92 ± 6,89
78,21 ± 5,39
80,67 ± 7,19
79,63 ± 7,28
80,96 ± 7,99
80,25 ± 7,74
79,71 ± 7,11
79,08 ± 8,02
76,58 ± 6,45
88,25 ± 11,45
78,42 ± 8,54
81,71 ± 10,17
81,38 ± 8,38
77,63 ± 9,72
80,04 ± 11,13
79,33 ± 9,38
0,322
0,002
0,416
0,458
0,869
0,331
0,904
0,927
98,58 ± 1,21
98,46 ± 0,98
98,33 ± 1,01
98,58 ± 1,21
98,58 ± 1,21
98,21 ± 0,83
98,67 ± 1,05
98,58 ± 1,21
98,79 ± 1,02
98,58 ± 1,06
98,13 ± 0,95
98,67 ± 1,05
98,21 ± 0,83
98,58 ± 1,21
98,21 ± 0,83
98,21 ± 0,83
0,513
0,678
0,473
0,783
0,217
0,217
0,133
0,217
Waktu
TAR
5‟ pra induksi
0‟ pasca ekstubasi
5‟ pasca ekstubasi
10‟ pasca ekstubasi
15‟ pasca ekstubasi
20‟ pasca ekstubasi
25‟ pasca ekstubasi
30‟ pasca ekstubasi
Laju jantung
5‟ pra induksi
0‟ pasca ekstubasi
5‟ pasca ekstubasi
10‟ pasca ekstubasi
15‟ pasca ekstubasi
20‟ pasca ekstubasi
25‟ pasca ekstubasi
30‟ pasca ekstubasi
Saturasi O2
5‟ pra induksi
0‟ pasca ekstubasi
5‟ pasca ekstubasi
10‟ pasca ekstubasi
15‟ pasca ekstubasi
20‟ pasca ekstubasi
25‟ pasca ekstubasi
30‟ pasca ekstubasi
Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata.
Sumber : data Primer
uji statistik menggunakan t-test
Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa
tekanan arteri rerata dan laju jantung pada
pada terdapat perbedaan bermakna tekanan
saat setelah ekstubasi antara kelompok
darah
petidin dengan kelompok salin (p < 0,05).
diastolik,
tekanan
darah
sistolik,
Tabel 5. Perbedaan suhu tubuh ketiga kelompok perlakuan
Suhu tubuh
Kelompok P
Kelompok S
( n = 24 )
( n = 24 )
Segera setelah intubasi
36,88 ± 0,89
36,73 ± 0,84
0,471
Akhir operasi
35,56 ± 0,44
34,70 ± 0,80
0,568
15 menit pasca ekstubasi
36,17 ± 0,42
35,08 ± 0,41
0,408
22
p
Dari Tabel 5 diatas tidak didapatkan
kelompok salin pada akhir operasi dan 15
perbedaan suhu tubuh yang bermakna pada
kelompok
ketamin
dibandingkan
menit
pasca
ekstubasi
(p
>
0,05).
dengan
Tabel 6.Kejadian, derajat dan durasi menggigil ketiga kelompok perlakuan.
Variabel
Kejadian menggigil
Derajat menggigil
0
1
2
3
4
Durasi menggigil
Kelompok P
( n = 24 )
Kelompok S
( n = 24 )
p
2
13
0,007
19
4
1
91,00 ± 10,15
11
3
6
2
2
95,00 ± 3,69
0,026
Dari Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa
(p
<
0,05).
0,296
Untuk
durasi
menggigil
kejadian menggigil dan derajat menggigil
menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna
pada kelompok petidinn dan kelompok salin
untuk kedua kelompok perlakuan (p > 0,05).
menunjukkan hasil berbeda yang bermakna
Tabel 7.Efek samping pemberian obat pada ketiga kelompok perlakuan.
Efek Samping
Kelompok M
(n = 24)
Kelompok S
(n =24)
Pruritus
0
0
Mual
Depresi nafas dan sedasi
5
2
0
0
Dari
Tabel
7
diatas terlihat
bahwa
kelompok
terdapat perbedaan yang bermakna pada
efek
samping
obat
yang
timbul
p
0,006
0,002
Petidin
dibandingkan
pada
kelompok salin (p < 0,05).
pada
PEMBAHASAN
penderita mendapatkan petidin 25 mg secara
Telah dilakukan penelitian pada 48 orang
intra vena yang diberikan setelah nafas
penderita laki-laki dan perempuan yang
spontan
dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S
kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit
(kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl
setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2
0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara
dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera
intravena dan kelompok P (perlakuan) 24
setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD,
23
adekuat
dan
refleks
laringeal
TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus
salin.Pada penelitian ini, durasi menggigil
setiap lima menit selama 30 menit. Pasca
pada kelompok salin terjadi dalam waktu
ekstubasi,
oksigen
hampir sama jika dibandingkan dengan
6L/menit dengan menggunakan sungkup
kelompok petidin. Hal ini dikarenakan setelah
muka.Berat ringannya menggigil dicatat, dan
terjadi menggigil, pada penderita langsung
dinilai pula lamanya menggigil.
diberikan
penderita
diberikan
Dari data karakteristik penderita yang
intervensi
berupa
pemberian
meperidin dosis 25 mg untuk terapi menggigil
meliputi umur, jenis kelamin, berat badan,
yang
tinggi badan, jenis operasi, lama operasi dan
penderita yang mengalami menggigil dengan
status fisik penderita serta karakteristik klinis
derajat
penderita lima menit sebelum induksi tidak
menggigil derajat 1 tidak diberikan intervensi
didapatkan perbedaan yang bermakna dari
pemberian meperidin. Oleh sebab itu durasi
kedua
menggigil
kelompok
perlakuan.
Dengan
terjadi,
2,
terutama
3
atau
pada
4.
diberikan
Untuk
pada
penderita
kelompok
kontrol
demikian dapat dikatakan homogen dan
berlangsung dalam waktu hampir sama. Hal
layak untuk diperbandingkan.
ini menunjukkan bahwa pemberian petidin
Hasil pengukuran tekanan darah sistolik
cukup efektif dalam mengurangi kejadian
dan laju jantung segera setelah ekstubasi
menggigil pasca anestesi umum, selain
menunjukkan perbedaan bermakna antara
untuk mengurangi terjadinya nyeri pasca
kelompok
pembedahan.
petidin
dengan
kelompok
24
20
16
12
8
4
0
MEPERIDIN
Derajat 0
Derajat 1
Derajat 2
SALIN
Derajat 3
Derajat 4
Grafik 1. Perbandingan kejadian dan derajat menggigil dari kedua kelompok perlakukan
Pada penelitian ini menunjukkan efek
samping obat yang timbul akibat pemberian
24
meperidin
lebih
tinggi
pemberian
salin.Tidak
dibandingkan
ditemukan
efek
samping
pruritus
perlakuan.Pada
di
kedua
kelompok
kelompok
kejadian depresi nafas.Hal ini menunjukkan
meperidin,
berbeda
kelompok
terdapat 5 pasien mengalami kejadian mual
dan
2
orang
pasien
yang
bermakna
jika
salin
dibandingkan
(Grafik
2).
mengalami
8
6
4
2
0
MEPERIDIN
Pruritus
Mual
SALIN
Depresi nafas
Grafik 2. Efek samping obat pada kedua kelompok perlakuan
KESIMPULAN
2. Petidin mempunyai efek samping obat
1. Petidin mempunyai efektifitas yang baik
yaitu depresi nafas, mual yang lebih
dalam mencegah terjadinya menggigil
tinggi jika dibandingkan salin.
pasca anestesi umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Larson CP. Post anesthesia care. In :
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ,
Larson CP. Clinical Anesthesiology.
4thed. New York : Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing
Edition, 2006 : 169 – 72.
2. Tsai YC, Chu KS. Anesthetic shivering in
parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288
– 92.
3. Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M,
Fritz HG. Treatment of postanesthetic
shivering. Anesth Analg 2001 ; 95:257 –
60.
4. Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner
SW, Schmidt CC, Reich DGP. Preventing
postanesthetic shivering. Anesth Analg
2000 ; 90:954 – 7.
5. Bigatella L. The post anesthesia care
unit. In : Davidson JK, Eckhart WT,
6.
7.
8.
9.
10.
25
Perese DA, eds. Cinical anesthesia
procedures of the massachusetts general
hospital, 4th ed. Boston : Little Broun and
Co, 1993 : 527 – 43.
Horn EP. Physostigmin prevents post
anesthetic shivering as does meperidine
or clonidine. Anesthesiology, 1998 ; 88 :
108 – 13.
Wang JJ, Ho ST, Lu SC, Liu YC. Treating
postanesthetic shivering. Anesth Analg
1999 ; 88:686 – 9.
Behringer EC. Postanesthesia care. In :
Longnecker DE., Murphy FL (eds).
Introduction to anesthesia. Philadelphia :
W.B. Saunders Company, 1997 : 438-9.
De Witte J., Sessler. D. Perioperative
shivering: Physiology and Pharmacology.
American Society of Anesthesiologists
2002; 96 : 467 – 84.
Rosa G, Pinto G, Orsi P. Control of post
anesthetic
shivering.
Acta
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Anaesthesiologica Scandinavia 1995 ;
39 (1):90–5.
Chan AMH, Ng KFJ, Tong EWN, Jan
GSK. Control of shivering under general
anesthesia. Can J Anesth 1999; 46: 253
– 8.
Mathews
S.,
Varghese
PK,.
Postanesthetic shivering. Anaesthesia
2000 ; 57 : 387 – 95.
Bhatnagar S., Kannan TR., Panigrahi M.
Pethidine for Post operative shivering.
Anaesthesia and Intensive Care 2002 ;
32 : 294 – 305.
Thaib MR, Harjanto E, George YWH.
Comparative study of the effectiveness of
pethidine for prevention of post
anesthtetic
shivering
in
general
anesthesia. Asean Otorhinolaryngology
Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3
:108 – 15.
Mathews S., Al Mulia A., Varghese PK,
Radim K, Mumtaz S. Pethidine for
Postanesthetic shivering. Anaesthesia
2002;65 : 578 – 83.
Kramer TH. Opioids in anesthesia
practice. In : Longnecker DE., Murphy FL
(eds).
Introduction
to
anesthesia.
Philadelphia : W.B. Saunders Company,
1997 : 100.
Stoelting RK. Opioid agonist and
antagonist.
In
:
Stoelting
RK.
Pharmacology
and
physiology
in
anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia :
JB Lippincott Company 1999 : 82 – 4.
Kranke.
P,
Eberhart.
H.L.
Pharmacological
treatment
of
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26
perioperative shivering. Anesth. Analg.
2002; 94: 453 – 60.
Candido KD, Collins VJ. Antagonist to
narcortics. In : Collins VJ (ed).
Physiologic and pharmacologic bases of
anesthesia. Baltimore : William & Wilkins,
1996 : 582 –3.
Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic
receptor antagonists. In : Stoelting RK.
Pharmacology
and
physiology
in
anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia :
JB Lippincott Company 1999 : 294 – 305.
Akinci. B, Basgul. E, Aypar. U.
Pharmacological
modulation
of
shivering.Br. J. Anaesth. 1997: 613 – 7.
Miller.R.D. Anesthesia. 6th edition.
Philadelphia: Churchill Livingstone, 2005.
240 – 4
Harun SR, Putra ST, Wiharta AS, Chair I.
Uji klinis. Dalam : Sastroasmoro S,
Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi
penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung
Seto, 2002 : 144 – 64.
Madiyono B, Moeslicjan S, Sastroasmoro
S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan
besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S,
Ismael S, penyunting. Dasar-dasar
metodologi penelitian klinis. Jakarta :
Sagung Seto, 2002 : 260 - 9.
Sastroasmoro S. Pemilihan subyek
penelitian. Dalam : Sastroasmoro S,
Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi
penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung
Seto, 2002 : 67 – 77.
HEMATOLOGIC EXAMINATION IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT ADDMITTED IN
GENERAL HOSPITAL WEST NUSA TENGGARA BARAT PROVINCE IN 2011- 2012
Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri
Faculty of Medicine, Mataram University
ABSTRACT
Backgrounds : Indonesia has position in the third rank over the world after India and Cina for Tb cases.
Tuberculosis has many changes in hematological examination, which can affect both in plasma component
and cell component. This hematological changes could be an valuable direction to diagnose, detection
complication and giving specific therapy.
Aim: to get description about result of hematological examination in pulmonary tuberculosis who admitted in
General Hospital West Nusa Tenggara Barat Province in 2011 – 2012
Methods : This study was descriptive retrospective study with cross sectional approach. This study conduct in
January until march 2013. The data collected from hematological laboratory examination in patient’s medical
record
Result : There were 61 sampel collected in this study. Anemia found in 78.2 % patient with micrositic
hipocromi anemia as a dominant (81,48%). Leucosytosis found in 49,2 % patient with differentiation count
monocytosis 54,1 % and limfopenia 13,1%. Normal platelet count found in 72,1 % and thrombocytosis found
in 24,6 % patients.
Conclusion : Microcytic anemia was the most anemia in this study (81,48%). Leukocytosis found in 49,2 %
patient and thrombocytosis found in 24,6 %.
Key words: Hematology examination, Pulmonary Tb, Micrositic hipocromic anemia
ABSTRAK
Latar Belakang: Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Tuberculosis dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pemeriksaan hematologi, perubahan ini
melibatkan komponen plasma dan komponen sel. Perubahan hematologi ini dapat menjadi petunjuk yang
berharga untuk mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya komplikasi dan petunjuk untuk memberikan terapi
spesifik
Tujuan :untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan hematologi pada pasien tuberculosis paru yang
menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun 2011 sampai dengan 2012.
Metode :merupakan penellitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian
dilakukan selama periode januari sampai dengan maret 2013 dengan mengambil sampel hasil pemeriksaan
hematologi pasien Tb paru yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil :Didapatkan 61 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan hasil 78.2 % penderita Tb
paru mengalami anemia dan berdasarkan morfologinya anemia yang terbanyak diderita ialah Mikrositik
hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil penelitian juga didapatkan leukositosis sebanyak 49,2 %, monositosis
sebanyak 54,1 % dan pasien yang mengalami limfopenia sebanyak 13.1%. Pada penghitungan trombosit
didapatkan kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan trombositosis pada 24.6 % pasien
Kesimpulan :anemia mikrositik hipokrom merupakan jenis anemia yang terbanyak dijumpai (81,48%),
leukositosis didapatkan pada49,2 % pasien serta trombositosis didapatkan pada 24,6 % pasien
Kata Kunci :Pemeriksaan Hematologi, Tb Paru, Anemia Mikrositik Hipokromik
LATAR BELAKANG
Tuberculosis (TB) merupakan penyakit
Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan
infeksi yang masih menyebabkan angka
jumlah
kesakitan serta kematian yang tinggi di
Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
dunia. Menurut data dari WHO tahun 2004
mortalitas sebesar 39 orang per 100.000
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis
penduduk.
pada tahun 002 dimna 2,9 juta ialah kasus
urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
Basil Tahan Asam (BTA) positif. Diperkirakan
setelah
angka kematian akibat TB ialah 8000 setiap
terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
hari dan 2 sampai denga 3 juta kematian
140.000kematian akibat TB. Di Indonesia
setiap tahunnya
1,2,3,4
.
terbesar
TB
Indonesia
India
dan
terdapat
masih
di
Asia
menempati
China.Setiap
tahun
Tuberculosis adalah pembunuh nomer satu
27
diantara penyakit menular dan merupakan
menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun
penyebab
2011 sampai dengan tahun 2012.
kematian
nomer
tiga
setelah
penyakit jantung dan penyakit pernafasan
akut pada seluruh kalangan usia1,2,3,4.
Tuberkulosis
disebabkan
adalah
oleh
TINJAUAN PUSTAKA
penyakit
infeksi
DEFINISI
yang
Mycobacterium
Tuberculosis adalah penyakit menular
tuberculosis complex yang merupakan basil
yang
berbentuk
tuberculosis complex.Sebagian besar kuman
batang
melengkung,
berkapsul.
lurus
tidak
atau
berspora
Bakteri
ini
sedikit
dan
memiliki
tidak
TB
struktur
disebabkan
menyerang
oleh
paru,
menyerang
Mycobacterium
tetpi
dapat
organ
juga
tubuh
dinding sel yang kompleks sehingga bersifat
lainnya.Mycobacterium
tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai
tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai
akan
upaya
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat
penghilangan zat warna tersebut dengan
warna tersebut dengan larutan asam alcohol.
tetap
tahan
larutan asam alcohol
terhadap
1,2,3,4
.
Sifat
Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan
berdasarkan
gejala
fisik/jasmani,
radiologis
klinik,
pemeriksaan
dan
karena
Mycobacterium
dinding
sel
yang
pemeriksaan
kompleks yang terutama tersusun atas asam
bakteriologik,
mikolat1,2,5.
pemeriksaan
penunjang
EPIDEMIOLOGI
dilakukan pada pasien TB ialah pemeriksaan
rutin.
terjadi
tuberculosismemiliki
lainnya.Pemeriksaan tambahan yang sering
hematologi
ini
tuberculosisbersifat
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk
Tuberculosis
dapat
dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
menyebabkan
berbagai perubahan
pada
tuberculosis.Pada tahun 1995, diperkirakan
pemeriksaan
hematologi,perubahan
ini
ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta
melibatkan
komponen
komponen
sel.Perubahan
plasma
dan
akibat
TB
diseluruh
dunia.
ini
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98 %
dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk
kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya
Negara-negara berkembang,.Sekitar 75 %
komplikasi dan petunjuk untuk memberikan
pasien TB adalah kelompok usia yang paling
terapi spesifik, serta dapat mengingatkkan
produktif secara ekonomin ( 15 – 30 tahun).
klinisi
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa
terhadap
hematologi
kematian
toksisitas
obat
serta
komplikasi dari pengobatan TB5,6.
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai
TUJUAN
berakibat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran
hasil
hematologipada
pasien
paru
pada
4
bulan.
kehilangan
Hal
tersebut
pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20 -30
%1,2,3,4.
pemeriksaan
Tb
dengan
yang
28
Di Indonesia, TB merupakan masalah
TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004,
kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di
setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan
Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di
kematian 101.000 orang.Insidensi kasus TB
dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
BTA
pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien
positif
penduduk
sekitar
110
per
100.000
1,2,3,4
.
(Sumber : PDPI, 2002).
MANIFESTASI KLINIS
DIAGNOSIS
Gejala klinis tuberculosis dapat dibagi
Diagnosis tuberculosis paru ditegakkan
menjadi dua golongan yaitu gejala local dan
berdasarkan gejala klinis, hasil pemeriksaan
gejala sistemik, bila organ yang terkena
fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis
adalah paru maka gejala local ialah gejala
dan pemeriksaan penunjang lain.
respiratorik (gejala local sesuai dengan
a. Gejala klinis :
organ yang terlibat).Gejala respiratorik ini
Gejala
klinis
meliputi
gejala
local
sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala
respiratorik dan gejala sistemik.Gejala local
sampai gejala yang cukup berat tergantung
terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu,
dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
berdahak, sesak nafas, nyeri dada serta
pada saat medical check up. Bila bronkus
batuk darah. Untuk gejala sistemik meliputi
belum terlibat dalam proses penyakit, maka
demam, keringat malam, malaise, penurunan
pasien mungkin tidak memiliki gejala batuk.
berat badan1,2,3.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
b. Pemeriksaan fisik :
bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk
local
dapat membantu untuk membedakan TB
respiartorik berupa batuk lebih dari 3 minggu,
dengan penyakit paru lain. Tanda fisik
berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak
tergantung
nafas. Sedangkan gejala sistemik berupa
luasnya
demam, keringat malam, malaise, nafsu
ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan
makan
struktur
menurun
mmbuang
menurun,
dahak.Gejala
Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak
berat
serta
badan
1,2,3
.
pada
kelainan
sekitar,
lokasi
struktur
suara
kelainan
serta
paru.
Dapat
nafas
bronkial,
amforik, ronki basah. Pada efusi pleura
29
didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan
hemoptysis berulang dan didapatkan hanya
dan suara nafas menurun sampai tidak
satu specimen BTA. Pemeriksaan radiologi
terdengar.
yang menjadi standar ialah foto thorax PA,
Bila
terdapat
limfadenitis
tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar
pemeriksaan
limfe, sering di daerah leher, kadang disertai
dilakukan atas indikasi yaitu foto lateral, olik
adanya scofuloderma
1,2,3
.
dan
c. Pemeriksaan Laboratorium :
Pemeriksaan
thoraks,
bakteriologis
berperan
dalam
CT
radiologi
scan.
lain
Pada
tuberculosis
yang
dapat
pemeriksaan
dapat
foto
memberikan
gambaran bermacam-macam (multiform)1,2,3.
sangat
meneggakkan
Gambaran
diagnosis.Specimen dapat berupa dahak,
Radiologis
yang
dicurigai
sebagailesi TBAktif :
cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan
1. Bayangan
berawan/
nodular
di
lambung, bronchovascular lavage, urin dan
segmen apical dan posterior lobus
jaringan biopsy.Pemeriksaan daha dilakukan
atas paru dan segmen superior lobus
sebanyak
bawah.
3
kali
(sewaktu/pagi/sewaktu).Bahan
pemeriksaan/specimen
2. Kaviti, terutama
yang
berbentuk
lebih dari satu,
dikelilingi bayangan opak berawan
cairan dikumpulkan atau ditampung dalam
atau nodular
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6
3. Bayangan bercak millier.
mm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
4. Effusi pleura1,2,3.
mudah pecah atau bocor.Apabila tersedia
5. Gambaran Radiologis yang dicurigai
fasilitas, specimen dapat dibuat sediaan
TB inaktif:
pada apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum
dikirim
ke
6. Fibrotik
laboratorium.
Pemeriksaan
dapat
dilakukan
mikroskopis
dan
biakan.Pemeriksaan
terutama
pada
segmen
apical dan atau posterior lobus atas
secara
dan atau segmen superior lobus
bawah.
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan
7. Kalsifikasi
Zielhl
8. Penebalan pleura atau Schawrte1,2,3.
Nielhsen
atau
Kinyoun
Gabbet,
interprestasi pembacaan didasarkan atas
e. Pemeriksaan Khusus :
skala IUALTD atau bronkhorst.Diagnosis TB
Salah satu masalah dalam mendiagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan
pasti tuberculosis adalah lamanya waktu
asam pada pemeriksaan hapusan sputum
yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
secara
pemeriksaan
tuberculosis secara konvensional. Dalam
dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3
perkembangan kini ada beberapa tekhnik
mikroskopis.
Hasl
specimen dahak ditemukan BTA (+)
1,2,3
.
yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
d. Foto Thoraks :
kuman
Pada kasus dimana pada pemeriksaan
sputum SPS positif,
diperlukan
lagi.
Pada
secara
lebih
cepat.Pemeriksaan tersebut antara lain :
foto thoraks tidak
beberapa
tuberculosis
1. Pemeriksaan Bactec
kasus
2. Polymerase chain reaction (PCR)
dengan hapusan positif perlu dilakuakan foto
3. Pemeriksaan serologi :
thoraks bila : curiga adanya komplikasi,
30
a. Enzym
linked
Immunosorbent
d. Anemia hemolysis autoimun
assay (ELISA)
b. Uji
e. Anemia
Immunochromatographic
karena
tuberculosis (ICT Tuberculosis)
c.
f.
d. Uji peroksidase anti peroksidase
lain
yang
digunakan
untuk
metabolisme
Fibrosis sumsum tulang
g. Aplasia sumsum tulang
dapat
h. hipersplenisme
membantu
1.2 Meningkat (polisitemi), disebabkan
menegakkan diagnosis tuberculosis
karena :
ialah :
a. Tuberculosis ginjal menyebabkan
a. Analisis Cairan Pleura
b. Pemeriksaan
peningkatan eritropoentin
Histopatologi
2. Kelainan Granulosit
Jaringan
c.
gangguan
sekunder
B6
Mycodot
4. Pemeriksaan
sideroblastik
2.1 Menurun disebabkan karena :
Pemeriksaan Laju endap darah
d. Uji Tuberkulin
a.
1,2,3
.
Defisiensi
karena
folat
sekunder
anoreksi
atau
peningkatan kebutuhan folat
PERUBAHAN HEMATOLOGI PASIEN TB
b.
Fibrosis sumsum tulang
Darah adalah salah satu cairan tubuh
c.
Aplasia sumsum tulang
yang beredar dalam system pembuluh darah
d.
Infiltrasi
yang tertutup yang tersusun atas plasma dan
amyloid
sumsum tulang
sel. Volume darah umumnya 6 – 8 % dari
e.
Infeksi kronik
berat badan, dipengaruhioleh factor umur,
f.
hipersplenisme
status kesehatan, makanan, ukuran tubuh,
laktasi, derajat aktivitas dan lingkungan
2.2 Meningkat disebabkan karena :
5,6,7,8
.
a. Respon inflamasi
Tuberkulosis dapat menimbulkan kelainan
hematologi,
maupun
baik
sel-sel
komponen
3.
3.1 Menurun disebabkan karena :
plasma.Kelainan-
a. Mekanisme immunologis
kompleks.Bermacam-macam
yang
Kelainan Trombosit
hematopesis
kelainan tersebut sangat bervariasi dan
hematologi
dapat
b. Koagulasi
kelainan
terjadi
intravaskuler
diseminata
pada
c.
Fibrosis sumsum tulang
tuberculosis adalah :
d. Aplasia sumsum tulang
1.
e. hipersplenisme
Kelainan Eritrosit
1.1 Menurun
(anemi),
disebabkan
3.2 Meningkat disebabkan karena :
karena:
a. Reaksi fase akut
a. Anemi penyakit kronis
4. Kelainan Limfosit
b. Defisiensi asam folat sekunder
karena
anoreksia
4.1 Menurun disebabkan karena :
atau
a. Infeksi tuberkulosis
peningkatan pemakaian folat
c.
pada
4.2 Meningkat disebabkan karena :
a. Respon inflamasi.5,6,7,8
Defisiensi vitamin B12 sekunder
karena keterlibatan ileum
31
3. Pasien TB paru yang memiliki hasil
METODOLOGI PENELITIAN
pemeriksaan hematologi rutin :
Desain Penelitian :
a.
Kadar Hemoglobin (HB)
Penelitian ini merupakan suatu studi
b.
Jumlah Leukosit Total
observasional dengan rancangan deskriptif
c.
Jumlah Platelet
retrospektif. Pengambilan data dilakukan
d.
Kadar Hematocrit
hanya satu kali sehingga menggunakan
e.
Jumlah Eritrosit
pendekatan cross sectional.
f.
MCV
Tempat dan Waktu Penelitian
g.
MCH
h.
MCHC
dengan rentang waktu penelitian 3 bulan
i.
Jumlah Limfosit
yaitu antara periode bulan januari sampai
j.
Jumlah Monosit
dengan maret2013.
k.
Jumlah Granulosit
Penelitian dilakukan di RSUP Mataram
Populasi :
Kriteria Eksklusi
Populasi
penelitian
ini
dibatasi
oleh
Kriteria Eksklusi pada penelitian ini ialah :
tempat dan waktu (populasi terjangkau) yaitu
semua
pasien
tuberculosis
paru
1.
yang
januari
2011
sampai
yang
mengalami
TB
ekstrapulmoner
menjalani rawat inap di RSUP mataram
periode
Pasien
2.
dengan
Pasien TB anak (Usia dibawah 13
Tahun)
desember 2012.
3.
TB pada wanita hamil
Sampel Penelitian :
4.
TB pada pasien HIV/AIDS
5.
Tidak memiliki hasil pemeriksaan
Sampel pada penelitian ini ialah hasil
pemeriksaan
hematologi
rutin
pasien
hematologi rutin
tuberculosis paru yang menjalani rawat inap
Cara
di RSUP Mataram periode januari 2011
Pengolahan Data :
sampai
dengan
desember
2012
yang
Pengumpulan
sampel
dan
Data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan
diperoleh dari rekam medis pasien.
hematologi rutin pasien TB yang diperoleh
Kriteria Inklusi
dari
Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah :
dikumpulkan diolah secara deskriptif dengan
1. Pasien
menggunakan
TB
menderita
sputum
Paru
TB
BTA
yang
melalui
SPS
terdiagnosis
pemeriksaan
dan
bila
rekam
medis
pasien.
tabel
Data
yang
frekuensi
dan
persentase.
Definisi Operasional
hasil
pemeriksaan sputum BTA SPS negative
1. Kadar
Normal
Hemoglobin
ialah
13
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
sampai dengan 18 gr/dl bagi pria dan 12 –
Rontgen Thoraks positif menunjukkan
16 gr/dl bagi wanita. Untuk keperluan
gambaran TB aktif
penelitian
lapangan
maka
WHO
2. Pasien TB paru yang menjalani rawat
menetapkan nilai batas atau cut off point
inap di RSUP Mataram selama bulan
anemia adalah kurang dari 13 g/dl untuk
januari
laki-laki dewasa, kurang dari 12 g/dl untuk
2011
sampai
dengan
bulan
desember 2012.
32
wanita dewasa tidak hamil dan kurang
dari 11 g/dl untuk wanita hamil
6. Kadar normal limfosit ialah 800 sampai
5,9,10
dengan 4000 sel/mm3. Bila kurang dari
.
2. Kadar normal MCV adalah 80 sampai
800
sel/mm3
disebut
dengan
dengan 100 fl, bila kurang dari 80 fl
limfositopenia dan bila lebih dari 4000
menunjukkan mikrositik dan bila lebih dari
sel/mm3 disebut dengan limfositosis5,9.
100 fl menunjukkan makrositik5,9.
7. Kadar normal monosit ialah 100 sampai
3. Kadar normal MCH ialah 28 sampai 34
dengan 800 sel/mm3. Bila kurang dari 100
Pg, bila kurang dari 28 menunjukkan
sel/mm3 disebut dengan monositopenia
hipokromik dan bila lebih dari 34 pg
dan bila lebih dari 800 sel/mm3 disebut
menunjukkan hiperkromik 5,9.
dengan monositosis 5,9.
4. Kadar normal MCHC adalah 32 sampai
dengan 36 %
8. Kadar normal trombosit
5,9
ialah 150.000
3
.
sampai dengan 450.000 sel/mm . Bila
3200
kurang dari 150.000 sel/mm3 disebut
sampai dengan 10.000 sel/mm3. Bila
dengan trombositopenia dan bila lebih
5. Kadar
normal
leukosit
adalah
3
kurang dari 3200 sel/mm disebut dengan
dari 450.000 sel/mm3 disebut dengan
leukopenia dan bila lebih dari 10.000
trombositosis
3
sel/mm disebut dengan leukositosis
5,9
.
5,9
.
HASIL PENELITIAN
Didapatkan 61 sampel yang memenuhi
Periode 2011 sampai dengan 2012. Dari
kriteria inklusi dari 105 penderita TB paru
sampel tersebut didapatkan hasil sebagai
yang menjalani rawat iniap di RSUP NTP
berikut :
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hemoglobin
KETERANGAN
RATA-RATA
(MEAN)
NILAI TERTINGGI
NILAI TERENDAH
Hemoglobin (Hb)
10.93 gr/dl
18.80 gr/dl
3.50 gr/dl
MCV
80.57 fl
94.50 fl
62.30 fl
MCH
25.29 pg
31.40 pg
14.20 pg
MCHC
31.19 %
37.80 %
22.70 %
33
Tabel 2. Jenis Anemia
KETERANGAN
JUMLAH SAMPEL
PERSENTASE
(ORANG)
(%)
STATUS ANEMIA :
Tidak Anemia
13
21.3
Anemia
48
78.7
Total Sampel
61
100 %
Normositik Normokromik
8
19.52
Mikrositik Hipokromik
33
81.48
Makrositik Hipokromik
0
0
Total Sampel
41
100
JENIS ANEMIA :
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Leukosit
KETERANGAN
JUMLAH SAMPEL
PERSENTASE
(%)
HITUNG JUMLAH LEUKOSIT :
Leukosit Normal
30
49,2
Leukopenia
1
0
Leukositosis
30
49.2
3
Rerata (mean)
11492 sel/mm
Jumlah leukosit Tertinggi
51400 sel/mm3
Jumlah Leukosit Terendah
1080 sel/mm3
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Hitung Jenis Limfosit
Limfosit Normal
48
78.7
Limfositosis
5
8.2
Limfopenia
8
13.1
3
Rerata (Mean)
2489 sel/mm
Nilai Terendah
330 sel/mm3
Nilai Tertinggi
21400 sel/mm3
Hitung Jenis Monosit
Monosit Normal
26
42.6
Monositosis
33
54.1
Monositopenia
2
3.3
3
Rerata
1276 sel/mm
3
Nilai Terendah
38 sel/mm
Nilai Tertinggi
9400 sel/mm3
34
TABEL. 4. Hasil Pemeriksaan Trombosit
KETERANGAN
JUMLAH
PERSENTASE
SAMPEL (orang)
(%)
Trombosit Normal
44
72.1 %
Trombositopenia
2
3.3
Trombositosis
15
24.6
Total Sampel
61
HITUNG JUMLAH TROMBOSIT
100
3
Rerata (mean)
373706 sel/mm
Kadar Trombosit Tertinggi
910000 sel/mm3
Kadar Trombosit Terendah
49700 sel/mm3
PEMBAHASAN
Penyakit
Gambaran
merupakan gambaran yang dijumpai bagi
hasil
anemia defisiensi besi, thalassemia mayor,
pemeriksaan hematologi. Pada penelitian ini
anemia akibat penyakit kronik dan anemia
perubahana aspek hematologi yang diteliti
sideroblastik.Namun
dibatasi pada kadar hemoglobin (Hb) dan
hipokromik ini paling umum dijumpai pada
jenis anemia yang
ditimbulkan, leukosit
anemia defisiensi besi.Pada penderita Tb
termasuk didalamnya hitung jenis leukosit
terjadi gangguan metabolisme besi yang
serta trombosit.
disebabkan karena adanya pengikatan zat
yang
(TB)
hipokromik
memiliki
pengaruh
tuberculosis
mikrositik
besar
pada
Prevalensi anemia pada penelitian ini
gambaran
mikrositik
besi oleh laktoferin yang dihasilkan oleh
cukup yaitu 78,7 % hal serupa juga dijumpai
granulosit
pada penelitian-penelitian lainnya. Hal yang
kemudian terjadi sekuestrasi zat besi di
berbeda
Limpa.
dari
beberapa
penelitian
sebelumnya ialah jenis anemia terbanyak
Hasil
akibat
inflamasi
pemeriksaan
sehingga
leukosit
yang
yang dijumpai yaitu mikrositik hipokromik
didapatkan pada penelitian ini sama dengan
(81,48%)
yang didapatkan pada penelitian sebelumnya
diikuti
anemia
normositik
normokromik (19,52%). Pada penelitian yang
yaitu
dilakukan oleh Oehadian (2003), Rahman
penelitian ini didapatkan penderita TB yang
(2010) dan Krishnamurti didapatkan bahwa
mengalami
jenis anemia terbanyak yang dijumpai pada
Terjadinya leuositosis terutama disebabkan
pasien tuberculosis ialah anemia karena
oleh
penyakit kronis dengan gambaran normositik
(neutrofillia). Neutrofillia ini pada umumnya
normokromik hal ini disebabkan karena
berhubungan dengan reeaksi immunologis
deprsei
menurunnya
dengan mediator sel limfosit T, dimana
sensitifitas terhadap eritropoetin, depresi
kejadian ini dapat terjadi akibat penyebaran
produksi
masa
local akut dari infeksi TB pada meningitis TB
hidup eritrosit serta gangguan metabolism
atau dapat terjadi karena pecahnya focus
besi .
perkejuan pada bronkus atau rongga pleura.
eritropoesis
eritropetin,
dan
pemendekan
35
dapat
terjadi
leukositosis.
leukositosis
peningkatan
ialah
jumlah
Pada
49.2%.
neutrofil
Pada
penelitian
didapatkan
respon dari terjadinya perdarahan akut,
monositosis sebanyak 54.1%.dari penelitian
dimana pada pasien Tb perdarahan yang
terdahulu
Tb
sering terjadi ialah Hemoptysis.Penambahan
dari
jumlah trombosit pada peredaran darah pada
monositosis.Monosit memiliki peranan dalam
pasien hemoptysis merupakan suatu respon
respon
untuk menghentikan perdarahan.
telah
merupakan
ini
diketahui
penyebab
imun
utama
terhadap
tuberculosis.Sebagian
Mycobacterium
bahwa
Mycobacterium
dari
fosfolipid
tuberculosis
mengalami
KESIMPULAN
degradasi dalam monosit dan makrofag yang
Pada penelitian didapatkan 78.2 % (48
menyebabkan transformasi sel-sel tersebut
sampel)
penderita
menjadi sel epiteloid.Monosit merupakan sel
anemia,
dan
berdasarkan
utama dalam pembentukan tuberkel.Aktivitas
anemia
yang
terbanyak
pembentukan tuberkel ini dapat tergambar
Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil
dengan adanya monositosis dalam darah.
penelitian
juga
Tb
paru
mengalami
morfologinya
diderita
didapatkan
ialah
leukositosis
Trombositosis dijumpai sebanyak 25.6 %
sebanyak 49,2 % dengan hitung jenis
pada penelitian ini. Trombositosis merupakan
leukosit didapatkan peningkatan monosit
respon
terhadap inflamasidimana respon
(monositosis) sebanyak 54,1 % dan jumlah
inflamasi ini menyebabkan produksi platelet
limfosit normal sebanyak 78.7 % dan yang
stimulating
mengalami
factor
menstimulasi
yang
berperan
pengeluaran
tombosit
dalam
limfopenia
sebanyak
13.1%.
dari
Pada penghitungan trombosit didapatkan
sumsum tulang menuju peredaran darah.
kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan
Selain itu trombositosis dapat merupakan
trombositosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam :
Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Gramik FK UNAIR; 2010.
2. Anonim.
Tuberkulosis
“Pedoman
Diagnosis
&
Penatalaksanaan
Di
Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Dikutip tanggal 5 Januari
2013.
Diunduh
dari
:
http://www.klikpdpi.com/konsesus/tb/tb.p
df
3. Tuberkulosis dan Permasalahannya.
Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C,
Surya A, editor. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta :
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia; 2006.
4. Epidemiologi TB di Indonesia. Dalam :
Dyah Erti Mustikawati, Asik Surya, editor.
Strategi Nasional Pengendalian TB Di
Indonesia 2010 – 2014. Jakarta :
Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia
Direktorat
Jendral
5.
6.
7.
8.
36
pada
24.6
%
pasien
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011.
Oehadian
A.
Aspek
Hematologi
Tuberkulosis. 2003. Pustaka UNPAD.
Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh
dari
:http://pustaka.unpad.ac.id/archives/3302
3/.
Sahju, P. Rahman. “Hematology Profile
in Pulmonary Tuberculosis”. 2010.
Dikutip tanggal 5 Jaunari 2013. Diunduh
dari :
http://hdl.handle.net/123456789/5632
Sinha,
K.N.P,
Krishnamurti,
J.C.
Chatterji. “Disseminated Tuberculosis
and
Abnormal
Haemopoeitic
Responses”. India Jurnal of Tuberculosis.
Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh
dari
: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201977/J
uly%201977.pdf#page=7
Muhammad Obaid Al – muhammadi,
Hayder Gali Al-Shammery.” Studying
Some Haemotological Changes in
Patients with Pulmonary Tuberculosis in
Babylon Governorate”.2011. Dikutip
tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari :
www.iasj.net/iasj
9. Anonim. Pedoman Interprestasi Data
Klinik. Departemen Kesehatan Repubik
Indonesia. Dikutip tanggal 5 januari 2013.
Diunduh
dari
:
www.perpustakaan.depkes.go.id
10. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru.
Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke4.
Jakarta
:
Pusat
Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia; 2006.
37
Tinjauan Pustaka
KAJIAN KOMPREHENSIP TENTANG BENDA ASING DALAM HIDUNG
Hamsu Kadriyan
Bagian THT FK Unram/RSUP NTB
Abstrak
Latar belakang.Benda asing dalam hidung merupakan kasus yang dapat ditangani oleh dokter
umum sampai tuntas berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia. Angka kejadiannya cukup
sering dan terutama mengenai anak usia 2-5 tahun.
Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran komprehensip tentang benda asing di
dalam hidung sehingga dapat menjadi rujukan dalam penatalaksanaan kasus-kasus benda asing
di dalam hidung.
Benda asing dihidung dapat berupa benda eksogen maupun benda endogen.Benda eksogen
dapat berupa benda organik seperti kacang-kacangan, bunga, lintah dan lain-lain, sedangkan
benda anorganik seperti batu, manik-manik, potongan mainan dan lain-lain. Benda asing endogen
dapat berupa sekret kental, krusta, cairan amnion dan lain lain. Dalam penegakan diagnosis perlu
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan jenis dan lokasi benda
asing, kalau perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan dengan endoskopi atau pemeriksaan
radiologis untuk memastikannya.Penatalaksanaan benda asing dalam hidung sangat tergantung
pada jenis benda asingnya, ketersediaan peralatan dan keterampilan serta kenyamanan dokter
untuk mengurangi resiko komplikasi.
Simpulan.Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik
dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus benda asing merupakan kasus sederhana tetapi
diperlukan keterampilan untuk mengeluarkannya dengan resiko komplikasi yang minimal.
Kata kunci : Benda asing, kavum nasi, dokter
Astract
Background.Foriegn bodies in nasal cavity is a freuquent case, especially in children (2-5 years).
According to standard competency of Indonesian docter‟s, a general practicioners should
managing this cases completely.
Aims of this review is to give comprehensive review about foreign bodies in nasal cavity, so it can
be used as a refference.
Foreign bodies in nasal cavity can be originated form endogen material as well as exogen material.
Exogen material consist of organic material such as nuts, flower, leech, etc, on the other hand,
anorganic material such as stone, pearl, part of toys, etc. Endogen material such as viscous
mucous, crust, amnion liquid, etc. To diagnosed this case, it‟s necessary to take a history and
perform the accurate phisical examination to determine the type and the location of foriegn bodies.
In some cases, additional examination such as endoscopic and x-ray investigation are needed. In
managing foriegn bodies in nasal cavities, it defend on type of foreign bodies, the equipment, skill
and amenity of physician to minimized the complication.
Conclusion.Foreigne bodies in nasal cavity is a simple but a skillfull cases, so physician should
take care to this cases to minimized the complication.
Key words : Foreign bodies, nasal cavity, physician
Pendahuluan
Benda asing jalan nafas merupakan
dokter yang melakukan tindakan tersebut.
masalah klinis yang memiliki tantangan
Berdasarkan
tersendiri, meskipun beberapa tahun terakhir
Indonesia tahun 2006, kasus benda asing di
terjadi kemajuan dalam teknik anestesi dan
hidung merupakan kompetensi dokter umum
instrumentasi.Ekstraksi benda asing jalan
sampai level 4 (dokter mampu melakukan
nafas, khususnya dalam hidung bukanlah
penegakan diagnosis dan mampu melakukan
prosedur
penatalaksanan sampai tuntas).1
yang
mudah
sehingga
tetap
memerlukan keterampilan serta pengalaman
38
standar
kompetensi
dokter
Angka
kejadian
benda
asing
Benda asing dalam hidung
dalam
hidung cukup sering ditemukan di poliklinik
Keberadaan benda asing dalam hidung
2
paling sering ditemukan pada anak-anak
menemukan benda asing dalam hidung
(usia 2-5 tahun). Benda asing umumnya
merupakan kasus terbanyak kedua dengan
ditemukan pada bagian anterior vestibulum
persentase 24,9% setelah benda asing di
atau pada meatus inferior di sepanjang dasar
telinga sebesar 68,6% dari total 1037 kasus
hidung (gambar 1).4,5
atau praktek swasta. Endican S dkk (2006)
benda asing di saluran nafas. Das pada
Benda asing dalam suatu organ adalah
tahun 1984 menemukan 0,3 % kasus benda
benda yang berasalah dari luar tubuh atau
asing
dari
di
hidung
dibandingkan
seluruh
dalam
tubuh
sendiri,
yang
dalam
kunjungan di salah satu rumah sakit di India.
keadaan normal tidak ada dalam organ
Kasus paling banyak ditemukan pada usia 2-
tersebut.Benda asing yang berasal dari luar
5 tahun.
3
tubuh
Benda asing yang masuk ke dalam
hidung
cukup
bervariasi,
baik
disebut
benda
asing
eksogen,
sedangkan yang berasal dari dalam tubuh
disebut benda asing endogen.4,6
endogen
maupun eksogen, dapat berupa benda hidup
Benda
asing
eksogen
dapat
berupa
maupun benda mati.Masing-masing memiliki
benda padat, cair atau gas.Benda asing
ciri khas dan tindakan yang dilakukan juga
padat dapat dibagi lagi menjadi benda padat
sangat tergantung dari jenis benda asing
organik dan anorganik.Benda padat organik
tersebut. Setiap benda asing yang masuk ke
yang
dalam hidung tidak boleh dibiarkan menetap
kacangan, bunga, lintah dan lain-lain.Benda
karena dapat menimbulkan nekrosis atau
padat anorganik yang sering ditemukan
infeksi
kemungkinan
anatara lain paku, jarum, peniti, batu, manik-
terjadinya aspirasi ke dalam saluran nafas
manik, potongan busa, baterai dan lain-lain.
sekunder
bagian bawah.
serta
4
sering
ditemukan
seperti
kacang-
Benda asing cair biasanya bersifat iritatif
seperti zat kimia.4,6
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan
pembahasan tentang hal tersebut secara
Benda
asing
endogen
yang
sering
lebih mendetail untuk mengurangi risiko
ditemukan antara lain sekret kental, darah
buruk akibat bendas asing.
atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan
amnion
dan
cairan amnion
mekonium.
Mekonium dan
dapat masuk ke dalam
saluran nafas bayi saat proses persalinan.
39
4,6
Gambar 1. Lokasi tersering benda asing dalam hidung
5
(Sumber : Fischer, JI (2011). Dalam Medscape Reference)
Gambaran Klinis
dokter dengan keluhan rinorea unilateral
Benda asing terutama ditemukan pada
dengan atau tanpa adanya obstruksi nasi
anak-anak sehingga hal ini menyebabkan
unilateral.Rinorea
benda asing sulit terdiagnosis sejak awal,
mukopurulen tergantung pada adanya infeksi
bahkan bisa menetap di dalam hidung
sekunder atau tidak.Kadang-kadang sekret
sampai bertahun-tahun.Orang tua biasanya
bercampur darah bila terjadi luka akibat
membawa
benda asing tersebut. Gejala lainnya dapat
anaknya
ke
dokter
dengan
dapat
bersifat
mukoid,
berupa epistaksi, sakit kepala dan epifora.4
keluhan pilek berbau pada salah satu sisi
hidung. Tanda ini merupakan gejala khas
Pada kasus benda asing dengan bahan
pada benda asing dalam hidung pada
iritan seperti baterai, seringkali menyebabkan
anak.
4,6
nekrosis pada jaringan sekitar hidung. Loh
Pada tahap awal, benda asing dalam
hidung
tidak
menunjukkan
gejala
dkk (2003) menemukan beberapa kasus
yang
baterai di dalam hidung, gejalanya dapat
spesifik.Anak mungkin sering memasukkan
berupa krusta, nekrosis luas pada jaringan
jari ke dalam hidungnya tapi hal ini tidak
hidung dan perforasi septum nasi.
disadari sebagai sebuah gejala oleh orang
7
Untuk benda asing organik, keluahan
tua pasien.Umumnya pasien datang ke
pasien
40
biasanya
hidung
tersumbat
dan
rinorea bilateral. Benda asing organik lebih
Terdapat berbagai teknik pengeluaran benda
sering
dan
asing dalam hidung.Metode yang dipilih
menimbulkan juga gejala sistemik seperti
tergantung pada jenis benda asingnya, alat-
demam.
mengenai
orang
dewasa
4
alat yang tersedia serta kenyamanan dokter
dengan metode yang digunakan. Beberapa
Diagnosis
langkah harus dilakukan agar benda asing
Diagnosis benda asing di dalam hidung
dapat
dikeluarkan
dengan
menimbulkan
4,6
dilakukan secara cermat melalui beberapa
komplikasi yang minimal.
tahapan,
a. Perencanaan (pre treatment)
antara
pemeriksaan
lain
fisik,
anamnesis,
pemeriksaan
status
Perencanaan
yang
baik
dapat
lokalis. Bila perlu dilakukan pemeriksaan
mengurangi tindakan yang dilakukan secara
penunjang
berulang, karena tindakan secara berulang
seperti
pemeriksaan
endoskopi dan radiologis.
dengan
6
lebih
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan
berisiko
menimbulkan
komplikasi
dibandingkan tindakan yang dilakukan sekali
seperti pada gejala klinis di atas. Pada
saja.Berdasarkan
pemeriksaan fisik umumnya akan ditemukan
dilakukan perencanaan agar pengeluaran
normal kecuali pada benda asing hidup
benda
seperti
kesempatan
lintah
atau
cacing
yang
dapat
menimbulkan kondisi umum pasien yang
agak menurun.
dapat
tersebut
dilakukan
pertama.Alat-alat
perlu
pada
yang
dibutuhkan perlu diletakkan di meja dokter
6
Pemeriksaan
asing
hal
yang mudah terjangkau, sebaiknya perlu
status
lokalils
sangat
juga menyiapkan alat pernafasan darurat
menentukan untuk memastikan benda asing
untuk
di dalam hidung.Untuk pasien anak-anak
aspirasi benda asing ke saluran nafas
diperlukan
bawah.
fiksasi
yang
baik
untuk
menjaga
kemungkinan
memudahkan visualisasi kavum nasi.Bila
Obat-obat
masih
topikal dapat memfasilitasi baik pemeriksaan
ragu-ragu
pemeriksaan
dapat
dilakukan
endoskopi
untuk
maupun
vasokonstriktor
terjadinya
pengeluaran
(dekongestan)
benda
asing.
memvisualisasi dengan lebih baik. Kesulitan
Vasokonstriktor topikal dan anestesi topikal
muncul
dapat diberikan secara bersamaan, misalnya
bila
ditemukan
udem,
jaringan
granulasi, krusta atau sekret yang telah
menyelimuti benda asing tersebut.
Pemeriksaan
radiologis
lidokain 1% ditambah fenilefrin 0,5%.
6,8
Pada
pasien
anak-anak,
fiksasi
pasien
biasanya
sangat penting untuk dilakukan, hal ini
digunakan untuk benda asing yang bersifat
bertujuan untuk mengurangi gerakan yang
logam.
untuk
tiba-tiba yang dapat menimbulkan risiko
adanya
perdarahan.Pasien diposisikan duduk tegak
Rontgen
menentukan
juga
dilakukan
kemungkinan
komplikasi ke sinus.
8
dengan kepala sedikit mendongak agar
dasar rongga hidung bisa terlihat dengan
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
jelas. Bila pada pasien yang gelisah dan sulit
benda
asing
dalam
untuk difiksasi sebaiknya dilakukan bius total.
hidung adalah dengan mengeluarkannya.
b. Instrumentasi langsung
41
Pengeluaran
forsep
secara
(aligator
mekanis dengan
atau
bayonet)
dalam
dapat
penelitiannya
menemukan
keberhasilan dengan
teknik ini
angka
sebesar
dilakukan untuk mengeluarkan benda asing
64,3% dari 30 pasien yang ikut dalam
yang permukaannya dapat digenggam dan
penelitian tersebut.9
terletak
d. Alat penghisap (suction pump)
di
bagian
anterior
rongga
hidung.Untuk benda asing yang bulat dan
Benda asing yang lembut dan susah
licin dapat digunakan alat pengait bulat yang
digenggam dengan forsep dapat diekstraksi
tidak tajam untuk mengurangi taruma pada
dengan
jaringan
dapat
Ujung kanul penghisap harus diletakkan
dimodifikasi dari berbagai bahan bila tidak
dengan hati-hati pada permukaan benda
tersedia
asing lalu ditarik perlahan-lahan. Bila ditarik
hidung.alat
pengait
dalam bentuk
dimasukkan
ini
jadi.Alat
menelusuri
pengait
permukaan
penggunaan
kanula
penghisap.
atas
terlalu cepat biasanya benda asing akan
benda asing sampai melewati bagian paling
mudah terlepas. Pada benda asing yang
belakang benda asing, lalu alat pengait
diameternya lebih besar dari nares anterior
tersebut dibelokkan ke arah dasar hidung
juga
sambil menggerakkannnya secara perlahan
penghisap.
ke bagian anterior sampai benda asingnya
e. Kateter balon
keluar.
c.
sulit
keluar
dengan
alat
Kateter yang biasa digunakan di bidang
Tekanan udara positif
urologi seperti foley kateter dapat digunakan
Pada orang dewasa atau pasien yang
lebih
sering
kooperatif,
pada
yang dilakukan diawali dengan melumasi
pengeluaran benda asing dapat dilakukan
kateter dengan jelly, lalu masukkan ke dalam
dengan menutup rongga hidung yang tidak
hidung samapi melewati tepi posterior benda
ada benda asingnya, lalu dengan mulut
asing,
tertutup
nafas
supinasi.Setelah itu, balon dikembangkan
dengan kencang.Hal ini dapat membantu
dengan udara atau 3-5 ml air dan ditarik
pengeluaran benda asing.
secara perlahan-lahan bersamaan dengan
Pada pasien yang lebih muda atau anak-
keluarnya benda asing dari dalam hidung.
anak yang tidak kooperatif, metode “parent
f.
pasien
usaha
awal
untuk mengeluarkan benda asing.Prosedur
menghembuskan
kiss” dapat diterapkan. Anak di pegang pada
posisi
senyaman
berhadapan
dengan
mungkin
orang
di
posisikan
tidur
Lem perekat
Metode ini ideal untuk benda asing yang
sehingga
tua,
pasien
bulat, lembut dan sulit dipegang dengan
lalu
forsep.Permukaan benda asing harus kering
meletakkan mulut anak persis di depan mulut
untuk
penolong.
udara
perekat.Tindakan ini lebih sering berhasil
dengan kencang sambil menutup hidung
pada benda asing ditelinga dibandingkan
yang tidak berisi benda asing sehingga akan
benda asing di hidung.Tekniknya adalah
terjadi tekanan positif yang kembali ke
dengan
daerah hidung. Hal ini juga dapat membantu
cyanoacrilic pada sebuah aplikator kayu atau
pengeluaran benda asing terutama seperti
plastik kemudian ditekankan pada asing
Penolong
meniupkan
sekret yang mengental. Purohit dkk (2008)
42
memudahkan
menempelnya
menempelkan
lem
lem
perekat
selama
60
detik
kemudian
dikeluarkan
masuk ke dalam hidung.Benda asing dengan
secara perlahan-lahan.
kandungan zat kimia seperti baterai berisiko
g. Magnet
menimbulkan komplikasi lebih berat.Loh dkk
Tindakan
ini
dapat
dilakukan
untuk
(2003)
menemukan
berbagai
komplikasi
mengeluarkan benda asing berbentuk logam
akibat benda asing baterai di dalam hidung
seperti baterai kecil atau mainan anak-anak
seperti perforasi septum, timbulnya jaringan
yang berasal dari logam. Tindakan ini
granulasi
dilakukan dengan meletakkan magnet yang
Benda asing yang tertinggal dalam waktu
kuat di nares anterior sehingga benda asing
lama berpotensi menimbulkan sinusitis pada
akan bergerak ke luar dan menempel di
penderitanya. Hal ini seperti dilaporkan oleh
magnet tersebut.
Kelesidis pada tahun 2010.8
h. Posterior displacment
pada
hidung
dan
epistaksis. 7
Komplikasi akibat tindakan pengambilan
Pada kasus-kasus tertentu benda asing
benda asing di hidung yang sering dilaporkan
dapat terfiksasi di daerah posterior kavum
antara lain perdarahan hidung, laserasi
nasi.Pada keadaan demikian, pilihan untuk
konka dan septum atau terjadi perforasi pada
mengeluarkan benda asing ke arah orofaring
hidung.6
dapat digunakan, tetapi teknik ini sebaiknya
Simpulan
dilakukan dengan anestesia umum untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
Kasus-kasus benda asing pada hidung
perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik
Komplikasi
dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus
Komplikasi yang terjadi akibat adanya
benda asing merupakan kasus sederhana
benda asing di kavum nasi dapat dibagi
tetapi
menjadi
mengeluarkannya dengan resiko komplikasi
komplikasi
akibat
benda
asing
langsung dan dapat juga disebabkan oleh
diperlukan
keterampilan
untuk
yang minimal.
tindakan ekstraksinya.Komplikasi langsung
sangat tergantung dari jenis material yang
Referensi
1. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar
Kompetensi Dokter Indonesia. 2006.
2. Endican S, Garap JP, Dubey SP. Ear
nose and throat foreigne bodies in
Melanesian children: An analysis of 1037
cases. Internat J Ped Otorhinolaryngol
2006;70 (9): 1539-1545
3. Das, SK. Aetiological study of foreigne
bodies in ear and nose (a clinical
studies).
J
Laryngol
Otol
1984;98(10):989-991
4. Kalan A, Tariq M. Foreign bodies in the
nasal cavities: a comprehensive review
of aetiology, diagnotic pointers, and
therapeutic measures. Postgrad Med J
2000;76:484-487
5. Fischer JI, Dronen SC. Nasal foreign
Bodies. Medscape Reference. Update
2011.
6. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in
the nose and ear: review of technique for
removal in the emergency departemetn.
J Accid Emerg Med 2000;17:91-94.
7. Loh WS, Leong JL, Tan HK. Hazardous
foreign bodies: complications and
management of button batteries in nose.
Ann Otol Rhinol Laryngol 2003;112:379383.
8. Kelesidis T, Osman S, Dinerman H. An
unusual foreign body as cause of chronic
sinusitis; a case report. J Med Case
Reports 2010, 4:157.
9. Purohit N, Ray S, Wilson T, Chawla OP.
The „parent‟s kiss‟; an effective way to
43
remove paediatric nasal foriegn bodies.
Ann R Coll Surg Engl. 2008 July; 90(5):
420–422.
44
A REVIEW:
THE RISK OF IRON DEFICIENCY WITHIN INFANTS WHO ARE EXCLUSIVELY BREAST FED
FOR THE FIRST SIX MONTHS: CASES IN DEVELOPED COUNTRIES
Rifana Cholidah
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract
This review aims to discuss about the risk of iron deficiency within infants who are exclusively
breast fed for the first six months after birth, especially in developed countries. It is well
documented that iron deficiency is one of the most common nutritional disease among babies and
young children. This commonly occurs during an increased need of iron supply particularly in the
first period of life. The WHO and many health authorities recommend to exclusively breast fed
babies for the first six months of their life for the best achievement on growth, health and
development, and no adverse outcome on growth have been reported for breastfeeding babies
exclusively for six months. However, a lower level of iron has been identified in some developing
country settings.There have been few studies specifically to examine the relationship between
infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth and the prevalence of iron
deficiency in developed countries. Based on the evidence, there are several factors may affect iron
stores depletion of babies and toddlers such as dietary intake, socioeconomic, low iron
concentration of weaning foods, cow‟s milk consumption and prolonged duration of breastfeeding.
Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron deficiency and
iron deficiency anaemia in infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth.
It seems that only infants with unusual low iron stores at birth are at risk of deficiency if breast fed
exclusively for six months.
Introduction
The WHO has recommended for mothers
Iron deficiency (ID) is the most common
to exclusively breastfeed infants for the first
nutritional disorder among infants and young
six months of their life for the best optimum
children in both developed and developing
growth, development and health. Further, the
country, particularly in the period of rapid
latest WHO systemic review‟s findings advise
growth during the first year of life, due to a
to breastfeed infants exclusively for six
high demand for iron supply for the synthesis
months with only breast milk, without other
of blood, muscle, and other tissues. In
complementary foods or liquids. This has
addition,
common
numerous benefits compared to the 3-4
contributor to many cases in anaemia,
months exclusive breastfeeding followed by
although some other factors may result in
mixed
anaemia. Oti-Boateng et al (1998) shows that
outcomes on growth have been reported for
an estimated more than 25% infants and
breastfeeding babies exclusively for six
young
in
month. However, a lower level of iron has
developing countries and around 3% infants
been identified in some developing country
in
settings 16.
Iron
deficiency is
children
industrialised
aged
a
6-24
months
countries
deficiency anaemia (IDA)
have
iron
breast
feeding.
No
detrimental
1,2,4,10,11
.
Recommendations about breast feeding
Many
health
authorities
suggest
to
exclusively breastfeed infants for 4-6 months,
45
a consideration to prevent the progress of
identified
iron deficiency anaemia in healthy full-term
as
iron
deficiency anaemia
4
infants .
deficiency
and
iron
14
.
A similar finding was demonstrated by
Duncan et al (1985) who conducted a study
Prevalence of iron deficiency in breast fed
in Arizona, USA, examining iron status on
babies
infants who were exclusively breast-fed from
In some western countries, researchers
birth up to the first six months of life. From
identified that prolonged breastfed infants
this study, among thirty three healthy full-
and infants who have early introduction or
term babies who were exclusively breast fed,
high consumption of cow‟s milk have a higher
without any supplemental formula, solid
risk of iron deficiency among babies and
foods,
young children in countries such as Australia,
developed iron deficiency anaemia though
Canada and the United Kingdom. Grant et al
two of 33 infants (7%) indicated iron stores
(2007) notes that iron deficiency have been
depletion by the indicator of low serum ferritin
identified to be prevalent in New Zealand
levels. This data demonstrated that babies
young children and it varies with ethnicity,
exclusively breast fed for the first six months
4
however, not with social deprivation .
vitamins,
and
minerals,
none
of life are not at increased risk of the iron
Vendt (2008) carried out a study to
deficiency anaemia or iron depletion during
that time 5.
investigate the prevalence of iron deficiency
and iron deficiency anaemia in infants aged
Another study about iron deficiency in
9-12 months in Estonia. In the first study of
exclusively breast-fed infants was carried out
three series of research experiments, there
by Siimes et al (1984) in Helsinki, Finland.
were
Thirty-six
171
babies
involved
in
this
young
children
who
were
epidemiological study, thirty six infants (21%)
exclusively breast fed, were studied for nine
were exclusively breast-fed until six months.
months. The author used the control group of
Researcher used the iron deficiency criteria
thirty-two babies who were fully weaned
with infants who had serum ferritin <12 µg/L
earlier to 3 ½ months. The exclusively breast
and mean corpuscular volume (MCV) < 74fL,
fed babies received no iron supplementation,
and iron deficiency anaemia criteria with
while
serum ferritin <12 µg/L, MCV < 74fL and
supplementation in formula and wheat cereal
haemoglobin (Hb) <105 g/L. The author
12
the
control
group
received
iron
.
found that infants who were exclusively
The data showed that most of infants
breast-fed up to six months had lower mean
breast fed exclusively were able to preserve
of haemoglobin (113 g/L) and serum ferritin
their iron stores at similar levels to that of
(19 µg/L) compared to those exclusively
control infants receiving iron supplements.
breast-fed until three months who had Hb
Also, breast fed infants had a higher mean
117 g/L and serum ferritin 28 µg/L. In spite of
concentration of haemoglobin compared to
having lower concentration of haemoglobin
control babies at age four and six months.
and serum ferritin, none of the infants
None of the exclusively breast fed infants
exclusively breast-fed up to 6 months were
46
had anaemia or iron deficiency prior to age
six months
clamped, and gestational age as
12
.
babies have a lower iron stores
preterm
1,4
.
In the study of iron status and iron intake
Bioavailable iron is present in breast milk,
in Adelaide, Australia by Oti-Boateng et al
and the healthy, term infants with normal
(1998) involving 234 babies and toddlers
birth weight have sufficient iron stores to
aged 6 to 24 months, thirty four per cent of
maintain their growth requirement during the
babies were exclusively breast fed until six
first six months of life, and after this age the
months. Some of the findings, iron sufficiency
needs of total body iron is higher
1,2,4
.
(IS) was more frequent in infants who were
The WHO (2001) identifies that based on
breast-fed for ≤ 4 months compared to
the evidence from the study in Honduras
babies breast-fed more than 4 months, also
which indicated the poorer iron status in
Asian infants had a higher iron sufficiency
infants exclusively breast fed for 6 months
(72%) than Caucasian babies (69%), but this
than
difference of iron sufficiency between these
breastfeeding to 6 months, due to the
two
evidence come from the populations in which
different
ethnic
groups
was
not
significant statistically 11.
4
months
followed
Factors associated with iron deficiency in
.
cow‟s milk consumption, age and duration of
Grant et al (2003) points out that several
as
15
Oti-Boateng et al (1998) identified that
breast fed babies
such
partial
maternal iron status and infant endogenous
stores are not optimal
factors
by
socio-
iron stores depletion. This finding is in line
economic and demographic factor have been
with evidence in the United Kingdom which
associated with iron deficiency in young
was demonstrated by Mills (1990). However,
urban children living in developed countries.
authors have not described in more detail
Further, the relationship between these
whether
aspects and iron deficiency differs between
exclusively up to six months were in the risk
countries and between several population
of iron deficiency or had significant iron
groups in the same country. Some published
depletion. Both studies indicated that several
studies
Kingdom and
factors may affect iron deficiency and iron
Australia highlight the relationship of iron
status among infants and toddlers including
deficiency and the consumption of cow‟s
ethnic group, age of the infants, duration of
milk, lower intake of red meat and the use of
breast feeding and the consumption of cow‟s
weaning foods low in iron among infants in
milk 9,11.
from the
dietary
United
intake,
breastfeeding showed a significant effect on
those countries 7,9,10.
babies
who
are
breast
fed
Iron status of babies and young children
in developed countries remain a concern.
Several factors may affect the iron stores
However, iron deficiency anaemia, which has
of newborn, including maternal iron status
long-term impact on delayed psychomotor
before and during pregnancy, the amount of
and cognitive function, was relatively rare
11
.
blood transferred from placenta to foetus
A study was carried out by Innis et al
after giving birth before the umbilical cord is
(1997) in Vancouver, Canada. The authors
47
examined the prevalence of iron deficiency
challenge. However, the case of severe iron
anaemia and depleted iron stores among 434
deficiency is rare 13.
of
healthy
babies
aged
in
In the study by Grant et al (2007) in
Vancouver in relation with their feeding
Auckland, New Zealand, 324 infants aged 6
practice and family background. Researcher
to 23 months were observed. Researchers
collected the information of infant feeding
examined the prevalence of iron deficiency in
practices
dietary
young
by
identified factors which associated with iron
using
questionnaire
9
months
qualitatively
which
assessed
a
8
nutritionist .
children
deficiency.
in
Auckland,
Participants
were
and
also
mainly
The data shows that iron deficiency
breastfed (87%). Around 78% babies started
anaemia was more common among babies
solid foods before age 6 months, with 68
who were breast fed for more than 3 months
babies (20%) began in the first 3 months. In
8
than those breast fed < 3 months .
The
anaemia
prevalence
among
of
healthy,
iron
other word, it was only around 20% infants in
deficiency
this study who were exclusively breast fed up
to six months after birth 6.
nine-month-old
babies in this study was around 15 %.
Interestingly,
the
prevalence
of
The prevalence of iron deficiency in this
iron
study was 14%. The author found that
deficiency anaemia was higher in babies
receiving breast milk after age 6 months was
from middle class family as well as in
associated with a greater risk of iron
Caucasian than Oriental or Asian babies.
deficiency than children who have stopped
Also, the infants identified at a higher risk
breastfeeding at a younger age. However,
when those infants were breast fed at the
authors have not clearly assessed the
time of study as it has been known that
prevalence of iron deficiency anaemia among
infants accept a sufficient iron from breast
exclusively breast fed babies for the first six
milk for the first four to six months after birth
months after birth. It was identified that he
and this study was carried while the babies
major risk factors for iron deficiency were
8
nutritional. Milk feeding was the greatest
aged nine months old .
determinant with all three main variations;
breast, infant formula and cow‟s milk being
Breastfed infants over 6 month are in
related with the risk of iron deficiency 6.
higher risk of iron deficiency unless adequate
additional sources of dietary iron are given 8.
Conclusion
Soh et al (2004) carried out the study in
South Island, New Zealand. The author
In conclusion, there have been few
found that the presence of suboptimal iron
studies
status was around 29% among young New
relationship
Zealand children and babies. Infants and
exclusively breast fed for the first six months
children with marginal iron status are at
after birth and the prevalence of iron
increased risk of developing severe iron
deficiency in developed countries.
deficiency if exposed to a physiological
specifically
between
to
investigate
infants
who
the
are
Most studies that have been carried out
have concluded that there is little risk of iron
48
deficiency and iron deficiency anaemia in
benefit to babies with low iron stores. For
infants who are exclusively breast fed for first
example, Dewey et al (2002) suggests that
six months of life. It seems that only infants
routine iron supplementation of breast fed
with unusually low iron stores at birth are at
babies may bring benefits to infants with low
risk of deficiency if breast fed exclusively for
haemoglobin concentration, but may cause
six months.
the risks for infants with normal haemoglobin
3
There are some circumstances which
.
increase the risk of low iron stores and these
The finding that there is low risk of iron
are: maternal iron status before and during
deficiency in this group of infants is in line
pregnancy, prematurity and loss of excessive
with
blood in cutting the cord at birth. For this
recommendations to breast feed exclusively
reason some researchers have suggested
for the first six months of life.
World
Health
Organisation
that iron supplementation at birth may be of
Reference List:
1. Aggett, P. J., Agostoni, C., Axelsson, I.,
Bresson, J. L., Goulet, O., Hernell, O.,
Micheli, J. L. Iron metabolism and
requirements in early childhood: do we
know enough?: a commentary by the
ESPGHAN Committee on Nutrition.
Journal of pediatric gastroenterology and
nutrition. 2002; 34(4), 337.
2. Beristain-Manterola,
R.,
PasquettiCeccatelli,
A.,
Meléndez-Mier,
G.,
Sánchez-Escobar, O. A., & CuevasCovarrubias, S. A. Evaluation of iron
status in healthy six-month-old infants in
Mexican population: Evidence of a high
prevalence of iron deficiency. e-SPEN,
the European e-Journal of Clinical
Nutrition and Metabolism. 2010; 5(1), e37e39.
3. Dewey, K. G., Domellöf, M., Cohen, R. J.,
Landa Rivera, L., Hernell, O., &
Lönnerdal, B. Iron supplementation
affects growth and morbidity of breast-fed
infants: results of a randomized trial in
Sweden and Honduras. The Journal of
nutrition. 2002; 132(11), 3249.
4. Domellöf, M., Lönnerdal, B., Abrams, S.
A., & Hernell, O. Iron absorption in breastfed infants: effects of age, iron status, iron
supplements, and complementary foods.
The American journal of clinical nutrition.
2002; 76(1), 198.
5. Duncan, B., Schifman, R. B., Corrigan Jr,
J. J., & Schaefer, C. Iron and the
exclusively breast-fed infant from birth to
six months. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
1985; 4(3), 421-425.
6. Grant, C. C., Wall, C. R., Brunt, D.,
Crengle, S., & Scragg, R. Population
prevalence and risk factors for iron
deficiency in Auckland, New Zealand.
Journal of paediatrics and child health.
2007; 43(7 8), 532-538.
7. Grant, C., Wall, C., Wilson, C., & Taua, N.
Risk factors for iron deficiency in a
hospitalized
urban
New
Zealand
population. Journal of paediatrics and
child health. 2003; 39(2), 100-106.
8. Innis, S., Nelson, C., Wadsworth, L.,
MacLaren, I., & Lwanga, D. Incidence of
iron-deficiency anaemia and depleted iron
stores among nine-month-old infants in
Vancouver, Canada. Canadian journal of
public health. Revue canadienne de santé
publique. 1997; 88(2), 80.
9. Mills, A. Surveillance for anaemia: risk
factors in patterns of milk intake. Archives
of disease in childhood; 1990; 65(4), 428.
10. Mira, M., Alperstein, G., Karr, M.,
Ranmuthugala, G., Causer, J., Niec, A.,
& Lilburne, A. M. Haem iron intake in 1236 month old children depleted in iron:
case-control
study.
BMJ.
1996;
312(7035), 881.
11. Oti-Boateng, P., Seshadri, R., Petrick, S.,
Gibson, R., & Simmer, K. Iron status and
dietary iron intake of 6–24 month old
children in Adelaide. Journal of
paediatrics and child health. 1998; 34(3),
250-253.
12. Siimes, M. A., Salmenpera, L., &
Perheentupa, J. Exclusive breast-feeding
for 9 months: risk of iron deficiency. The
Journal of pediatric. 1984; 104(2), 196199.
49
13. Soh, P., Ferguson, E., McKenzie, J.,
Homs, M., & Gibson, R. Iron deficiency
and risk factors for lower iron stores in 6–
24-month-old New Zealanders. European
journal of clinical nutrition. 2004; 58(1),
71-79.
14. Vendt, N. Iron Deficiency and Iron
Deficiency Anaemia in Infants Aged 9 to
12 Months in Estonia. Tartu University
Press; 2008.
15. World Health Organisation. Report of the
expert consultation on the optimal
duration of exclusive breastfeeding:
World Health Organization Geneva;
2001.
16. World Health Organisation. Exclusive
breastfeeding for six months best for
babies everywhere; 2011 [Updated May
17,
2011].
Available
from
http://www.who.int/mediacentre/news/stat
ements/2011/breastfeeding_20110115/e
n/
50
STRESS HIPERGLIKEMIA
Erwin Kresnoadi
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Abstract
Stress hyperglycemia is hyperglycemia that a rise when a person suffering from illness in which the individual
previously shown to be suffering from diabetes. There is a combination of several factors that affect the on set
of stress hyperglycemia in critically ill patients.
Keywords: stress shyperglycemia, critically ill patients.
Abstrak
Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat seseorang menderita sakit dimana individu
tersebut terbukti tidak menderita diabetes sebelumnya. Terdapat kombinasi beberapa faktor yang berdampak
timbulnya stress hiperglikemia pada pasien kritis.
Kata kunci : stress hiperglikemia, diabetes, pasien kritis.
Pendahuluan
Secara
dengan kata lain penderita yang baru
tradisional
hiperglikemia
terdiagnosis menderita diabetes.
didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200
3. Hospital-
mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes
relatedhiperglikemia:Hiperglikemia yang
Association dalam Standards of Medical
timbul selama penderita dirawat di rumah
Care
mendefinisikan
sakit dan kembali normal setelah pasien
hiperglikemia pada pasien yang dirawat
pulang. Inilah yang dikenal sebagai
adalah jika kadar glukosa
stress hiperglikemia.
in
Diabetes
darah >140
10 1
mg/dl .
Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada
Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia
pasien yang diketahui tidak
yang timbul pada saat seseorang menderita
diabetes,
sakit dimana pada individu tersebut terbukti
pemeriksaan A1c. Peningkatan kadar A1c
1
>6,5 persen mengindikasikan bahwa pasien
tidak menderita
diabetes sebelumnya.
review teknisnyamembagi penderita dengan
1. Penderita
yang
memiliki
dilengkapi
dengan
sudah menderita diabetes sebelumya.3
American Diabetes Association (ADA) dalam
hiperglikemia menjadi tiga kelompok:
harus
menderita
Hipoglikemia
2
didefinisikan
jika
kadar
glukosa darah < 70mg/dl. Ini merupakan
riwayat
definisi standar pada pasien rawat jalan di
diabetes: Penderita sudah terdiagnosis
mana nilai tersebut merupakan batas initial
menderita diabetes dan mendapat terapi
dilepaskannya
dari dokter.
regulator. Hipoglikemia berat pada pasien
2. Penderita yang tidak diketahui menderita
saat
penderita
dirawat
kontra
yang dirawat didefinisikan jika kadar glukosa
darah < 40 mg/dl10.
diabetes: Hiperglikemia yang terdeteksi
pada
hormon-hormon
dan
dikonfirmasi sebagai diabetes setelah
dilakukan pemeriksaan tertentu. Atau
51
Gambar 1.Penyebab multifaktor stress hiperglikemia
Beberapa faktor penyebab hiperglikemia
hormone,
kortisol
dan
sitokin
(gbr.2).
dapat berasal dari pasien, penyakit dan
Penyakit yang diderita pasien juga dapat
terapinya.Hiperglikemia
juga
mempengaruhi tingkat produksi sitokin dan
sehingga
gangguan hormonal. Munculnya mekanisme
membutuhkan penambahan terapi di mana
feedforward dan feedback yang kompleks
terapi tertentu juga dapat menyebabkan
antara beberapa hormon dan sitokin tersebut
hiperglikemia.Hal ini menciptakan sebuah
pada akhirnya akan menimbulkan produksi
siklus di mana hiperglikemia menyebabkan
glukosa hati yang berlebihan dan resistensi
hiperglikemia lebih lanjut. HPA =hipotalamus-
insulin.
pituitary-adrena axis.
berlebihan
dapat
memperberat
sebaliknya
penyakit
Produksi
glukosa
terutama
glukoneogenesis,
Patofisiologi Stress Hiperglikemia
peranan
di
melalui
tampaknya
terpenting
hati
dalam
yang
proses
memegang
menimbulkan
Terdapat kombinasi beberapa faktor yang
stress hiperglikemia. Sekresi glukagon yang
berdampak timbulnya stress hiperglikemia
berlebihan adalah mediator utama timbulnya
pada
glukoneogenesis,meskipun
pasien
kritis
(gbr.1).
Penyebab
epinefrin
dan
hiperglikemia pada diabetes tipe 2 adalah
kortisol juga ikut berperan. Tumor nekrosis
kombinasi
faktor-α
dari
resistensi
insulin
dan
gangguan pada sekresi sel β pankreas.
oleh
kompleks
dari
interaksi
yang
beberapa
juga
glukoneogenesis
Sedangkan timbulnya stress hiperglikemia
disebabkan
(TNF-α)
produksi glukagon.
sangat
hormon
kontraregulasi seperti katekolamin, growth
52
dengan
1
dapat
memicu
merangsang
Gambar 2. Metabolisme glukosa pada stress hiperglikemia
Stress
hiperglikemia
ditandai
dengan
insulin
terjadi
melalui
dua
jalur
peningkatan ambilan glukosa di seluruh
utama.Berkurangnya ambilan glukosa yang
tubuh,terutama disebabkan transport glukosa
diperantarai oleh insulin sebagai akibat dari
yang tidak diperantarai insulin via GLUT-1 ke
adanya gangguan sinyal pada post-receptor
jaringan tubuh.Turunnya ambilan glukosa
insulin
yang
transporter
diperantarai
insulin
(resistensi
dan
menurunnya
peran
(GLUT)-4.Sebagai
tambahan,
insulin),terutama akibat gangguan sinyal post
penyimpanan
reseptor
terganggu kemungkinan disebabkan oleh
insulin
penurunan
yang
transport
menghasilkan
non-oksidatif
juga
yang
adanya penurunan sintesis glikogen pada
diperantarai GLUT-4 pada jaringan sensitif
otot rangka. Sekresi hormon kortisol dan
insulin
epinefrin
seperti
glukosa
glukosa
glukosa
hati,otot
dan
lemak.
yang
berlebihan
menurunkan
Produksi
umum
diperantarai oleh insulin. Beberapa sitokin
meningkat,terutama akibat glukoneogenesis
seperti TNFα dan interleukin 1 menghambat
di hati. Akhirnya,glukosa dapat dioksidasi di
sinyal post-reseptor insulin. Keparahan dari
dalam sel tetapi metabolisme glukosa non-
penyakit
oksidatif (terutama penyimpanan glikogen)
kadar sitokin dan resistensi Insulin secara
terganggu.
proporsional.
secara
berkaitan
Lebih
glukosa
akan
Penyimpanan glikogen otot juga berkurang.
glukosa
ambilan
juga
dengan
jauh
yang
peningkatan
lagi,
kondisi
hiperglikemia akan memperberat respons
Timbulnya resistensi insulin pada saat
inflamasi, stress oksidatif dan sitokin yang
sakit ditandai dengan kegagalan dalam
secara potensial akan menciptakan suatu
menghambat produksi glukosa di hati secara
siklus
sentral.Sedangkan
hiperglikemia
di
perifer,
resistensi
53
yang
„mematikan‟
akan
di
mana
menimbulkan
hiperglikemia
lebih lanjut.
hiperglikemia
berkaitan
Resolusi
dengan
normalnya respons inflamasi.
Resistensi
insulin
dari
kontraregulator serta gangguan fibrinolisis.
kembali
Meskipun terjadi penurunan ambilan glukosa
1
lebih
yang diperantarai insulin, tetap terdapat
lanjut
akan
peningkatan ambilan glukosa di seluruh
mendorong timbulnya kondisi katabolik di
tubuh,ini disebabkan oleh
mana mulai berperannya proses lipolisis.
yang
Meningkatnya kadar asam lemak bebas
adalah transporter glukosa yang terlibat
dalam sirkulasi pada
dalam
memperberat
resistensi
gilirannya
insulin
akan
melalui
diperantarai
oleh
ambilan
diperantarai
peran GLUT-1
sitokin.
glukosa
oleh
GLUT-1
yang
insulin.Jadi
tidak
meskipun
gangguan sinyal insulin pada end-organ dan
metabolisme glukosa non-oksidatif terganggu
sintesis
dapat
(sintesis
glikogen),
meningkatkan kondisi inflamasi sama halnya
oksidatif
tetap
dengan
terapeutik tertentu seperti pemberian infus
glikogen.
Lipotoksisitas
pengaruh
glukotoksisitas.
metabolisme
glukosa
berlangsung.Intervensi
Glukotoksisitas, lipotoksisitas dan inflamasi
katekolamin,
dapat dianggap sebagai komponen kunci
enteral
yang berperan dengan timbulnya syndrome
menimbulkan
resistensi insulin global pada penyakit akut.
penelitian
Ketiga
pasien sakit kritis yang menderita diabetes
komponen
menimbulkan
tersebut
disfungsi
juga
endotel
dapat
melalui
dengan
kortikosteroid,
maupun
parenteral
hiperglikemia.
yang
yang
dan
Belum
membandingkan
mengalami
nutrisi
dapat
ada
antara
stress
proses sebab akibat yang rumit terkait
hiperglikemia. Oleh karena itu, masih belum
dengan resistensi insulin. Hiperinsulinemia
jelas apakah perbedaan dalam patofisiologi
memberikan
dapat menjelaskan perbedaan pada hasil
konsekwensi
tambahan
akhir.1
terhadap hiperglikemia yang terjadi, meliputi
peningkatan inflamasi dan respons hormon
54
Gambar 3. Mekanisme timbunya efek berbahaya dari hiperglikemia
Mekanisme bahaya berkaitan dengan
komplikasi
akut
atau
kronis
tersendiri
dari
hiperglikemia
(gbr.3).
Timbulnya
diperantarai
oleh
stress
reaksi
hiperglikemia.NFκβ= nuclear factor κβ, ERK=
inflamasi dan gangguan hormonal yang lebih
extracellular signal regulated kinase, MAPK=
hebat daripada hiperglikemia kronis pada
microtubule associated protein kinase. PKC=
diabetes. Terdapat beberapa fakta yang
protein
menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemia
kinase
C,
AGE=
advanced
glycosylation endproducts.
kronis telah membentuk kondisi seluler yang
bersifat protektif terhadap kerusakan yang
Hiperglikemia dan Dampaknya terhadap
dipicu oleh hiperglikemia akut saat sakit
Fungsi Organ
kritis.Mekanisme yang mungkin berpengaruh
Timbulnya komplikasi kronis yang khas
adalah kecenderungan penurunan peran
pada penderita diabetes memerlukan waktu
transporter glukosa pada kondisi kronis
beberapa tahun, akan tetapi penjelasan
daripada hiperglikemia
mengenai timbulnya komplikasi terkait stress
GLUT- 3 adalah glukosa transporter yang
hiperglikemia
memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel
memerlukan
pertimbangan
55
akut.GLUT-1
dan
tanpa tergantung pada insulin. Beberapa
Alexiewicz
dkk.mendemonstrasikan
faktor yang meningkatkan peran transporter
timbulnya
tersebut terjadi saat sakit kritis, hal ini secara
kalsium sitosol sel polimorphonuklir (PMN)
potensial akan memudahkan glukosa masuk
lekosit pada penderita diabetes tipe 2.
ke dalam sel tanpa dibatasi oleh respons
Peningkatan
protektif yang normal. Oleh karena itu,
dengan penurunan kandungan ATP dan
sebagian besar jaringan tubuh dapat terkena
gangguan
dampak yang merugikan akibat toksisitas
langsung antara kalsium sitosol PMN dengan
glukosa yang timbul saat sakit kritis.Perihal
kadar glukosa puasa, sedangkan kedua
bagaimana
faktor tersebut berbanding terbalik dengan
kronis
pasien
dapat
menurunkan
dengan
hiperglikemia
mengkompensasi
peran
transporter
peningkatan
kalsium
level
basal
sitosol
fagositosis.
fagositosis.
berkaitan
Terdapat
korelasi
dengan
aktivitas
glukosa
glukosa dengan terapi glyburid menghasilkan
oksidatif
kandungan ATP dan fungsi fagositosis.
transporter
GLUT-1 pada
peran
sel endotelial
Pada
individu
sitosol,
kadar
penurunan
penurunan
kalsium
Penurunan
masih belum diketahui. Beragam stressor
mencegah
dari
normal
peningkatan
yang
terpapar
vaskular.1 Dampak hiperglikemia terhadap
dengan peningkatan glukosa menunjukkan
beberapa
penurunan
fungsi
organ
tubuh
diuraikan
sebagai berikut :
pasien
limfosit secara cepat. Pada
dengan
diabetes,
hiperglikemia
berkaitan dengan penurunan jumlah sel T,
1. Hiperglikemia dan fungsi immun
2
termasuk CD-4 dan CD-8. Kondisi abnormal
Hubungan antara kondisi hiperglikemia
tersebut dapat diatasi dengan menurunkan
dengan timbulnya infeksi telah cukup lama
kadar
diketahui.Dari
segi
terdapat banyak penelitian yang meneliti
utama
sudah
yang
mekanisme,
masalah
diidentifikasi
adalah
glukosa.
pengaruh
Kesimpulannya,
hiperglikemia
sudah
terhadap
sistem
disfungsi dari fagosit. Beberapa penelitian
immun yang melibatkan individu yang sehat,
melaporkan
pada
penderita diabetes, dan penelitian pada
yang meliputi
binatang.Semua penelitian tersebut secara
timbulnya
gangguan
fungsi netrofil dan monosit
kemampuan
kemotaksis,
pembunuhan
fagositosis,
bakteri.
dkk.mengemukakan
konsisten
Baghdade
menyebabkan
kondisi
imunosupresan. Upaya penurunan kadar
puasa diturunkan dari 293 ± 20 menjadi 198
glukosa dengan berbagai metode terbukti
± 29 mg/dl maka akan terjadi peningkatan
dapat
fungsi granulosit. Beberapa peneliti juga
terganggu.
peningkatan
hiperglikemia
hasil
fungsi
kadar
hiperglikemia
bahwa
glukosa
mendapatkan
jika
memperlihatkan
yang
serupa
leukosit
jika
dikoreksi.
Pada
memperbaiki
fungsi
immun
yang
yaitu
2. Hiperglikemia
kondisi
Kardiovaskular
pengujian
secara in vitro untuk menetapkan ambang
dan
Sistem
4
Hiperglikemia akut menimbulkan sejumlah
hiperglikemia hanya didapatkan perkiraan
pengaruh
kasar yaitu pada rerata kadar glukosa >200
Hiperglikemia
mg/dl akan menimbulkan disfungsi lekosit.
prakondisi iskemia yaitu suatu mekanisme
56
pada
sistem
kardiovaskular.
menimbulkan
gangguan
proteksi terhadap ancaman iskemia.Pada
pengaruh
organ yang mengalami iskemia, area yang
penumbra, yaitu area yang mengelilingi
mengalami infark dapat menjadi lebih luas
pusat iskemia.Selama perkembangan dari
pada kondisi hiperglikemia.Beberapa peneliti
stroke yang terjadi, area penumbra dapat
juga memperlihatkan timbulnya penurunan
turut mengalami infark atau justru kembali
aliran darah pada kolateral arteri koroner
pulih
pada kondisi hiperglikemia sedang-berat.
Mekanisme utama yang menghubungkan
Hiperglikemia akut dapat memicu kematian
antara hiperglikemia dan bertambah luasnya
sel miokardium melalui proses apoptosis,
daerah otak yang mengalami kerusakan
memperbesar
saat
akibat iskemia adalah peningkatan asidosis
reperfusi iskemia. Konsekwensi vaskular lain
jaringan dan kadar laktat akibat peningkatan
pada
relevan
kadar glukosa. Laktat berhubungan dengan
terhadap outcome dari pasien rawat meliputi
kerusakan pada neurons, astrosit dan sel
perubahan
endotel. Parson dkk. memperlihatkan bahwa
kerusakan
hiperglikemia
pada
yang
darah,
abnormalitas
perubahan
peningkatan
platelet,
elektrofisiologi.
dkk.melaporkan
tekanan darah
peningkatan
akut
tekanan
katekolamin,
sel
adanya
jaringan
yang
area
sehat.
rasio laktat terhadap kolin berguna untuk
Marfella
memprediksi outcome klinis dan luas area
peningkatan
endotelin
menjadi
adalah
dan
infark
sistolik dan diastolik dan
kadar
hiperglikemia
pada
stroke
akut.
Peneliti
lain
menemukan bahwa terdapat korelasi positif
pada
antara peningkatan kadar glukosa dengan
hiperglikemia akut penderita diabetes tipe 2.
produksi laktat. Melalui mekanisme inilah
Peneliti lain menemukan bahwa paparan
hiperglikemia menjadi penyebab jaringan
hiperglikemia
yang mengalami hipoperfusi berkembang
(270 mg/dl) selama 2 jam
pada subyek yang sehat mengakibatkan
menjadi infark.
peningkatan tekanan darah sistolik-diastolik,
Beberapa
peningkatan laju nadi ,peningkatan kadar
memperlihatkan
katekolamin, dan pemanjangan interval QT.
hiperglikemia dengan beragam konsekwensi
Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan
akut lainnya yang kemungkinan menjadi
peningkatan viskositas, tekanan darah, dan
perantara timbulnya outcome yang tidak
kadar peptida natriuretik.
menguntungkan.Sebagai
hiperglikemia
3. Hiperglikemia dan otak
Kondisi
hiperglikemia
4
akut
akumulasi
berkaitan
penelitian
adanya
pada
hewan
kaitan
antara
contoh,
menyebabkan
glutamat
timbulnya
ekstraselluler
neokorteks.Peningkatan
glutamat
pada
terjadi
dengan bertambah banyaknya sel syaraf
sebagai akibat adanya kerusakan sel syaraf.
yang mengalami kerusakan pada otak yang
Hiperglikemia
mengalami iskemia. Dari hasil penelitian
fragmentasi DNA, gangguan terhadap sawar
pada hewan didapatkan petunjuk bahwa
darah otak, dan repolarisasi yang lebih cepat
iskemia yang bersifat
pada
irreversibel atau
area
juga
berkaitan
penumbra
iskemia pada end arteri tidak terpengaruh
mengalami
oleh hiperglikemia. Porsi utama otak yang
protein
rentan
superoksida pada jaringan otak.
mengalami
kerusakan
akibat
57
hipoperfusi
jaringan
prekursor
dengan
yang
berat,peningkatan
β-amyloid
dan
kadar
Terdapat
banyak
faktor
yang
telah
aggregasi
platelet
yang
disebutkan sebelumnya berperan sebagai
pengikisan
matriks
mata
Hiperglikemia
akut
rantai
yang
menghubungkanantara
dipicu
ekstra
yang
oleh
selluler.
terjadi
selama
hiperglikemia dan outcome pada kasus
minimal 4 jam akan meningkatkan aktivasi
kardiovaskular
platelet pada diabetes tpe 2. Hiperglikemia
ternyata
berkontribusi
terhadap
juga
turut
outcome
kasus
juga
menyebabkan
peningkatan
antigen
cerebrovaskular akut.Secara spesifik, pada
faktor von willebrand, aktivitas faktor von
model otak yang iskemia kemudian terpapar
willebrand, dan 11-dehydro-thromboxane B2
oleh
radikal
di urin (suatu ukuran terhadap produksi
bebas hidroksil berkorelasi positif dengan
tromboksan A2).Perubahan ini tidak terjadi
timbulnya kerusakan jaringan.Begitu juga
pada kondisi euglikemia.
hiperglikemia,
antioksidan
peningkatan
memiliki
efek
Hiperreaktivitas platelet yang dipicu oleh
neuroprotektif.Kadar glukosa yang meningkat
hiperglikemia terutama terbukti pada kondisi
berkaitan
stress
dengan
hambatan
terhadap
high-shear,
dapat
menjelaskan
pembentukan nitrit oksida, peningkatan IL-6
peningkatan kejadian trombosis yang sering
mRNA, penurunan aliran darah otak dan
ditemukan
kerusakan pada endotelial vaskular.
dirawat.
4. Hiperglikemia dan trombosis4
5. Hiperglikemia dan Inflamasi4
Telah banyak terdapat penelitian yang
mengidentifikasi
bahwa
berhubungan dengan
hemostasis
contoh,
pada
pasien
diabetes
yang
Hubungan antara hiperglikemia akut dan
hiperglikemia
modifikasi vaskular kemungkinan melibatkan
abnormalitas pada
perubahan derajat inflamasi. Kultur dari sel
trombosis.Sebagai
mono nuklir darah perifer yang diinkubasi
terutama
hiperglikemia
secara
cepat
pada media berkadar glukosa tinggi (594
menurunkan aktivitas fibrinolitik plasma dan
mg/dl) selama 6 jam akan menghasilkan
aktivator
dan
peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α. TNF-α
aktivitas
juga berperan dalam produksi IL-6.Upaya
penghambat aktivator plasminogen (PAI)-1
untuk menghambat aktivitas TNF-α dengan
pada tikus.Pada pasien diabetes tipe 2
menggunakan
menunjukkan adanya hiperreaktivitas dari
monoclonalakan menghambat efek stimulasi
platelet
glukosa terhadap produksi IL-6. Beberapa
plasminogen
sebaliknya
yang
peningkatan
jaringan
meningkatkan
ditandai
dengan
biosintesis
adanya
tromboksan.
penelitian
in
antibodi
vitro
anti
lainnya
TNF
menunjukkan
Biosntesis tromboksan akan menurun jika
bahwa glukosa dapat memicu peningkatan
kadar
IL-6,TNF-α,dan beberapa faktor lainnya yang
glukosa
diturunkan.
Hiperglikemia
memicu peningkatan
kadar IL-6 yang
berhubungan dengan
peningkatan kadar
menjadi penyebab inflamasi akut.
Pada
manusia,
peningkatan
kadar
fibrinogen plasma dan fibrinogen mRNA.
glukosa dalam batas moderat hingga 270
Pada penderita dengan diabetes terjadi
mg/dl selama lima jam berkaitan dengan
peningkatan
peningkatan IL-6,IL-18 dan TNF-α. Adanya
aktivitas
platelet
yang
ditunjukkan dengan timbulnya adhesi dan
peningkatan
58
berbagai
faktor
inflamasi
berhubungan dengan timbulnya efek yang
kadar yang sering terdapat pada pasien yang
merusak vaskular. Sebagai contoh, TNF-α
di
dapat memperluas area yang mengalami
menimbulkan
nekrosis setelah ligasi arteri koroner cabang
Hiperglikemia
left anterior descending pada kelinci. Pada
mengganggu fungsi sel endotel dengan
manusia, peningkatan kadar TNF-α yang
menimbulkan inaktivasi nitrit oksida secara
terjadi pada kasus infark miokard akut
kimiawi.Mekanisme lainnya adalah menjadi
berkorelasi
penyebab
dengan
beratnya
disfungsi
jantung yang timbul. TNF-α juga berperan
rumah
sakit
(142-300
mg/dl)
disfungsi
dapat
endotel.
secara
langsung
dapat
langsung
produksi
spesies
oksigen reaktif (ROS).
pada kasus cedera ginjal iskemik dan gagal
jantung
kongestif.IL-18
dalam
menyebabkan
diduga
7. Hiperglikemia dan Stress oksidatif 4
berperan
kondisi
plak
Stress oksidatif muncul jika pembentukan
atherosklerotik menjadi tidak stabil yang
ROS melebihi kemampuan tubuh untuk
sewaktu-waktu dapat menimbulkan sindroma
memetabolismenya.
iskemik akut.
mengidentifikasi
mekanisme
menyatukan
6. Hiperglikemia
endotel
dan
disfungsi
sel
hiperglikemia
4
Upaya
dasar
beragam
akut
untuk
yang
pengaruh
adalah
kemampuan
hiperglikemia memproduksi stress oksidatif.
Hubungan
antara
hiperglikemia
dan
Eksperimen
untuk
menimbulkan
outcome kardiovaskular yang buruk adalah
hiperglikemia akut pada kadar yang sering
akibat pengaruh hiperglikemia pada vaskular
didapatkan pada pasien yg dirawat memicu
endotel. Sel endotel vaskular selain berfungsi
pembentukan
sebagai barrier antara darah dan jaringan
terpapar hiperglikemia secara in vitroakan
juga
fungsi
merubah produksi nitrit oksida menjadi anion
hemostasis. Pada kondisi sehat, endotel
superoksida.Peningkatan pembentukan ROS
vaskular
menyebabkan
berperan
penting
berfungsi
dalam
mempertahankan
ROS.
Sel
aktivasi
endotel
faktor
yang
transkripsi,
pembuluh darah tetap relaks, anti trombosis,
faktor pertumbuhan dan mediator sekunder.
antioksidan, dan anti adhesive.Pada kondisi
Melalui cedera jaringan secara langsung
sakit,
atau
terjadi
disregulasi,
disfungsi,
aktivasi
mediator
sekunder
ini,
insuffisiensi dan kegagalan pada endotel
hiperglikemia akan memicu stress oksidatif
vaskuler.Disfungsi
dan
dengan
sel
endotel
dikaitkan
peningkatan
adhesi
seluler,
penelitian, abnormalitas yang terjadi dapat
peningkatan
diperbaiki dengan pemberian antioksidan
gangguan
angiogenesis,
permeabilitas
sel,
inflamasi
dan
kerusakan
jaringan.
Pada
semua
atau mengembalikan menjadi euglikemia.
trombosis.Biasanya fungsi endotelial dinilai
Ringkasan
dengan mengukur vasodilatasi dependentendotelial, paling sering diamati pada arteri
Secara
tradisional
hiperglikemia
brakialis. Penelitian in vivo pada manusia
didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200
dengan
ini
mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes
memastikan bahwa hiperglikemia akut pada
Association dalam Standards of Medical
memanfaatkan
parameter
59
Care
in
mendefinisikan
kerusakan sel pada saat reperfusi iskemia.
hiperglikemia pada pasien yang dirawat
Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan
adalah jika kadar glukosa
peningkatan viskositas, tekanan darah, dan
10
mg/dl .
Diabetes
Stress
darah >140
adalah
kadar peptida natriuretik. Hiperglikemia dapat
saat
secara langsung mengganggu fungsi sel
seseorang menderita sakit dimana pada
endotel dengan menimbulkan inaktivasi nitrit
individu tersebut terbukti tidak menderita
oksida
diabetes sebelumnya. Hiperglikemia akut
muncul jika pembentukan ROS melebihi
dapat memicu kematian sel miokardium
kemampuan
melalui
memetabolismenya.
hiperglikemia
hiperglikemia
yang
proses
timbul
apoptosis,
pada
memperbesar
Daftar Pustaka
1. Dungan KM, Braithwaite SS, Preiser JC.
Stress hyperglycaemia. Lancet 2009;
373:1798-807.
2. Clement S, Braithwaite SS, Magee MF,et
al. Management of diabetes and
hyperglycemia in hospitals. Diabetes Care
2004; 27:553-91.
3. Egi M, Bellomo R, Stachowski E,et al.
Blood glucose concentration and outcome
of critical illness: the impact of
diabetes.Crit Care Med 2008;36:2249-55.
4. Shepherd PR, Kahn BB. Glucose
transporters
and
insulin
actionimplications for insulin resistance and
diabetes mellitus. N Engl J Med 1999;
341: 248-57.
60
secara
kimiawi.
Stress
tubuh
oksidatif
untuk
THE RELATIONSHIP BETWEEN CHILD OBESITY AND BONE HEALTH
Rifana Cholidah
Faculty of Medicine, Mataram University
Abstract
Since early childhood obesity has increased dramatically in the recent year, many researchers observe the
relationship of excess fat mass during childhood and many health consequences including with bone health.
This review aims to examine the relationship between childhood obesity and bone health. The results are
conflicting. Several results show that fat mass have a strong positive relationship with increase bone mass
and bone area, while other studies found obesity may increase the risk of fracture and may be detrimental on
bone health. By these findings, further studies should be conducted to examine the effect of childhood obesity
and bone health, also to evaluate the mechanisms how excess fat mass may increase or reduce bone growth.
Introduction
mass might result a negative effect on bone
Obesity has become an epidemic in many
mass in young population. Adipose tissue
countries over the recent decade. World
has a high aromatase activity, and high
Health Organization notes that over one
amount of fat will contribute to increased
billion adults throughout the world are
serum steroid levels which might suppress
overweight, of whom around 300 million are
periosteal
obese.
increased leptin concentration secondary to
Also,
suggested
the
several
published
increased
studies
prevalence
of
elevated
bone
fat
growth.
mass
has
Moreover,
the
antiosteogenic
obesity among children and adolescent
function by decreasing bone mass via
1,14,18,19,22,23
stimulation of sympathetic activity. Thus,
.
Overweight and obese children have a
hormones, growth factors, or inflammatory
larger body mass and require stronger and
agents produced in adipose tissue may affect
denser bones to carry their weight than their
the suppression of bone growth
3,13
.
normal-weight peers. However, the effect of
On the other hand, higher fat mass might
childhood obesity on bone health, particularly
stimulate increases in bone size. Fat mass
bone mineral accrual during growth periods
may promote skeletal growth through direct
7,12
.
and indirect actions, a direct action on
Several recent studies report a positive
increasing lean body mass in obese children
relationship between total body fat mass and
and indirect action on timing of pubertal
bone mass and bone area in young children.
events 2,6.
is poorly understood
While other studies suggest that childhood
Obese children may have puberty earlier
obesity during growth does not increase
than their leaner counterparts due to higher
bone mass and bone area to balance the
estradiol and leptin levels. Puberty has a vital
excess weight. Furthermore, a study reported
role in bone development since bone mass
that higher body weight increased the risk of
approximately
new fractures among young girls
2,5,6,7,12
.
doubles
by
the
end
of
adolescence. The main factors of pubertal
Regarding this concern, several possible
gain in bone mass are the sex steroids,
mechanisms are described that body fat
growth hormones, insulin like growth factors
61
and vitamin D. Therefore, it remains unclear
on bone mass.
whether obesity in childhood has positive or
authors did not consider some confounding
negative effects on bone mass and mineral
factors that may influence skeletal mass and
accrual. This review aims to determine the
area such as nutritional diet and physical
effect of childhood obesity on bone health
20
.
Also, it seems that the
activity levels of the participants.
In 2003, Ellis et al carried out a study
Studies which have noted a positive
examining the relationship of bone mineral
relationship between total fat mass and
content and proportion of body fatness in 865
bone mass and/or bone area
children.
The
study shows
that
obese
Leonard et al (2004) have investigated the
children with the percentage of fat >30%, had
effect of childhood obesity on bone mass and
higher BMC compared with children with
dimensions in males and females relative to
normal adiposity (percentage of fat <25%)
height, maturation and body composition.
with matching criteria of age, gender, and
This study involved 132 non-obese subjects
ethnicity. However, when the result was
(body mass index (BMI) < 85
th
percentile)
adjusted for height, these differences were
95th
less significant. Authors suggest that obese
percentile). After 3-year follow up period,
children do not have lower whole-body BMC
researchers found that the obese participants
when compared with leaner children, even
had greater lean body mass relative to height
when adjusted for height, age, gender, and
compared with non-obese subjects. Thus,
ethnicity4.
obesity was significantly associated with
A
and
103
obese
subjects
(BMI
≥
similar
study was
conducted
by
larger whole–body bone area and bone
Goulding et al. (2008) investigating the
mineral content (BMC) for age and for height
relationship of childhood obesity and bone
after adjustment for maturation and lean
mass among 194 preschool New Zealand
mass
12
.
children.
The finding showed a strong
One of the strengths of this cohort study,
positive association between fat mass and
researchers used multivariate regression
total-body-less-head (TBLH) area and TBLH
models to evaluate lean mass adjusted for
bone mineral content (BMC) in both sexes
sex, race, Tanner stage, and height between
after adjustment for socioeconomic status
the obese and non-obese control subjects.
(SES), ethnic group, lean mass and height.
Regarding these factors, findings suggest no
This result is consistent with British birth
sex interactions were observed and the
cohort study conducted in older children 2.
adjusted models indicate that obesity, Tanner
stage,
Afro
American
race
From the findings, regarding increased
were
weight, the range of fat mass is greater than
independently and significantly related to
greater lean body mass for height
the
12
.
range
of
lean
mass.
The
results
demonstrated that TBLH bone area raised by
12.8 cm2 in boys and 9.4 cm2 in girls for
However, the authors have not described
the rationale for the sample size in this study,
every
whether this sample size was adequate
independently of height and lean mass.
enough to find the effect of childhood obesity
Some limitations of the study included no
62
kilograms
increase
in
fat
mass
detailed information about the amount of
The authors suggested some possible
energy intake and energy expenditure, and
mechanisms
no report of weight-bearing physical activity,
evidence indicates a positive relationship
6
hormone levels, bone and muscle strength .
for
their
findings.
Some
between leptin and changes of bone area in
However, there are several strengths of
pre-pubertal girls. Moreover, fat mass in pre-
this study, such as the recruitment from a
pubertal period is related to serum IGF-1 and
birth cohort study, specific age range of the
esterogen which are known to influence bone
samples, comprehensive assessments of
growth 2.
body composition, and bone measurement
without head area. All these factors support
Studies which have noted a negative
researcher to focus in analysing the skeleton
relationship between total fat mass and
6
bone mass and/or bone area
most responsive in affecting bone size .
Clark et al (2006) carried out a study
In 2000, Goulding et al. conducted a study
examining the relationship between obesity
to determine the relationship between total
and bone mass area in children aged 9.9
bone mass or total bone area to total body
years and the increase of bone mass and
weight in obese and overweight children
area over the following 2 years. The result
compared
indicated
association
Researchers involved fracture-free children
between total body fat mass and TBLH bone
in this study. They found that overweight and
mass and area after adjustment for height
obese children had smaller bone mass and
a
strong
positive
2
and/or lean mass .
with
normal-weight
children.
bone area for their body weight compared
The same authors also found a similar
with normal weight children during growth
spurt 5.
positive relationship between total body fat
mass and the increase of bone mass and
They assume that the gap between higher
area over the subsequent 2 years in boys
body weight and bone development during
and Tanner stage 1 girls. Conversely, there
growth may result in significant burden for
were
negative
the bones and joints of children with excess
association between total fat mass and bone
body weight. This condition may cause
mass and size in Tanner stage 2 and stage 3
lasting joint damage resulting osteoarthritis in
no
association
and
a
2
girls respectively .
adulthood. Thus, obesity in young children is
Based on these findings, this study
a
determined
risk
factor
for
adult
provides strong evidence that adipose tissue
osteoarthritis. In line with this finding, the
promotes bone development in pre-pubertal
earlier study by Mccormick et al (1991) also
children.
reported
However,
the
relationship
is
a
reduced
spinal
density
in
diminished by puberty. Since only minimal
increased body weight in obese participants
effect was observed by additional adjustment
5,17
.
for height, these findings suggest that fat
Evidence of adaptive increases in BMC
mass acts to stimulate bone size on radial
relative to both lean mass and fat mass was
2
rather than longitudinal bone growth .
observed in obese children indicating skeletal
compensation
63
to
increase
bone
mass.
However,
the
obtained
BMC
values
However, there are some limitations of
significantly lower than predicted BMC values
this study. Researchers did not gather the
5
relative to weight in overweight groups .
information
related
to
family
history,
There are several limitations of this study.
frequency of falling, or changing patterns in
Since the subjects of this study were
nutrition and physical activity of participants.
volunteers, thus may not be a representative
Thus, researchers cannot show whether risk-
sample of existing New Zealand young
taking behaviour differs in girls had new
population. Furthermore, investigators did not
fractures. They also realised that sample size
assess physical activity levels and hormone
may not have been big enough to determine
concentration of participants that definitely
the ability of aBMD values as the predictor of
influence skeletal growth and mineral accrual
new fractures with a wide intra- and inter-
5
subject
.
In
contrast,
growing
period.
several
Conversely, using a high proportion of girls
cross-sectional
survey
having a history of fracture brings a benefit of
involved a wide range of participants of both
this study to identify the significant predictors
genders
of new fractures in young population 5.
This
and
age,
study
in
has
strengths.
this
variations
assessed
precise
measurements of body composition using
DXA
and
used
well-accepted
Goulding et al (2002) carried out a study
BMI
evaluating whether overweight and obese
classification of overweight and obesity.
children in
Researchers analysed the predictions by
compensatory increases in bone mineral
using regression measurement that provided
content (BMC) particularly in vertebral and
moderate estimations of expected bone
lumbar spine area to adjust their excess body
mineral content of particular adiposity groups
weight. The results indicated that overweight
5
and obese children in both sexes do not
.
In the same year, Goulding et al (2000)
both
sexes have
adequate
increase their spinal BMC to completely
compensate their excessive weight 7.
examined some predictors of childhood
fractures. They conducted a cohort study
During growth periods, heavy loading on
involving both young girls who had broken a
the spine is harmful. Although the spine of
forearm and
fracture
results
the growing skeleton may be more adaptable
showed
participants
previous
than those of adults, increased mechanical
fractures and low total areal bone mineral
load on backs of obese children could
density (aBMD),
or previous fractures and
contribute injury in the intervertebral joints as
high body weight, or previous fractures and
well as within the bone. Thus, low back pain
low spinal bone mineral apparent density
is related to obesity. A study reported that
(BMAD) have significantly higher fracture
low back pain and spinal damage commonly
risks compared to girls with single risk factor.
occur at growth period, particularly when
In accordance with the findings, researchers
there are disconnections between body
suggest that increasing bone mineral density
weight and bone mineral content 7,11.
that
free.
The
with
and decreasing body weight will have the
Moreover, based on a meta-analysis
5
possibility to reduce fractures .
evaluated
64
the
relationship
between
overweight/obesity
and
low
back
pain,
studies
have
different
research
obesity was associated with the increased
methodologies including the setting of the
prevalence of low back pain. They found that
studies, study design, sample size, the length
overweight subjects had a higher prevalence
of the study and study population. All these
of low back pain than normal-weight people
differences may affect outcomes.
but a lower prevalence compared with obese
subjects.
These
that
carried out in combined cross-sectional and
overweight and obesity increase the risk of
prospective cohort studies, one in case
low back pain
findings
suggest
In terms of study design, one study was
21
.
control study and two in cross sectional
studies. Three in cohort studies. Thus,
Discussion and possible reasons for
regarding the hierarchy of evidence, cohort
differing study findings
studies are stronger than case-control and
There are several possible reasons that
cross
sectional
studies
2,4,6,,7,8,12,16
.
may influence study findings. The reviewed
Table.1. Summary of study regarding the hierarchy of evidence
Reserchers
Goulding et al., 2008
Type of study
Cohort studies
Results
Strong positive relation between obesity
and bone mass among New Zealand
children*
Leonard et al., 2004
Cohort studies
Obesity is significantly associated with
higher whole-body bone area and BMC*
Goulding et al., 2000
Cohort studies
Obesity increases the risk of fractures
Clark et al., 2006
In combined between
cross
sectional
and
cohort study
Strong positive association between total
fat mass and TBLH bone mass*
Ellis et al., 2003
Case control
Obese children with fat >30% had higher
BMC compared with children with normal
adiposity (fat <25%)*
Goulding et al, 2002
Cross-sectional study
Low back pain is related to obesity as
they do not increase the spinal BMC
Goulding et al, 2000
Cross-sectional study
Overweight and obese children had
smaller bone mass and bone area
*: Studies show positive relation between childhood obesity and bone health
From table 1 we can see that most
studies showed a negative relationship. It
studies in cohort found a positive association
seems that studies indicated fat mass have a
between increase fat mass during childhood
strong positive relationship on bone mass
and bone health, while all the cross sectional
have stronger research design.
65
The studies also have different setting for
increases.
study, some in a clinical setting and some in
population
Thus,
bone
size
relative
to
obesity, rather than each factor alone, may
2,5,6,12
.
be an important determinant of fracture risk
in young population 5,12.
It seems that most of the reviewed studies
have different study duration. Greenhalgh
Moreover, most of these reviewed studies
(1997) notes that a cohort study should
did not assess some confounding factors
provide a sufficient follow up period to see
such as nutritional intake and physical
the outcomes of the exposures. The effects
activity levels of participants that undoubtedly
of obesity in bone mass may not be seen in
influence bone growth and mineral accrual.
the studies which have insufficient time
Physical activity is an important cofactor to
9
duration .
achieve maximal peak bone mass during
Although all of reviewed studies are
growth period. In any study design, those
carried out among children, they were
factors should be identified and included in
conducted in the different study population
the assessment. Margetts et al. (2002) notes
which may have some different factors such
that observational studies, particularly case-
as age, ethnicity, and socioeconomic status
control studies are more subject to bias.
which may also influence body weight and
Thus, researchers should minimize or avoid
bone development. Moreover, most of the
biases by measuring the effect of these
studies have different sample sizes. An
biases on the outcomes before the study can
adequate sample size is important in finding
be properly interpreted 15,16,24.
a statistically significant effect in a study
Conclusion
(IFIC, 2001). In one study, researcher notes
that one of the limitations of their study is that
Based on this review, studies of the effect
sample size may not be big enough to
of childhood obesity on bone mass and
determine the ability of aBMD values to
mineral accrual during growth period yielded
predict new fractures with a wide intra- and
inconsistent outcomes. Some studies have
inter-subject variation in growing period
5
found a positive relationship between total fat
The different outcomes related to bone
mass and bone mass and/or bone area while
strength, Clark et al. (2006) found that fat
others suggest that fat mass may decrease
mass may act to stimulate radial bone growth
bone growth and increase the risk of fracture
resulting in a larger long-bone cross sectional
in children 4,5,6,7,12.
area which is predicted to increase bone
The different findings might be due to
strength. In contrast, a previous study
several possible factor such as different
showed
an
research methodologies including the setting
increased risk of fracture among young
of the studies, study design, sample size,
population. The possible reasons of this
study duration and study population.
difference is although fat mass commonly
these
acts to improve periosteal skeletal growth,
outcomes. In term of study design, one study
there is a subset of children with flawed
was carried out in combined cross-sectional
responses in whom the risk of fracture
and prospective cohort studies, one study
that
obesity
is
related
to
66
differences
may
affect
All
different
used case control design, two in cross
showed
a
strong
positive
association
sectional, and three in cohort studies.
between childhood obesity and bone health.
Thus, regarding the hierarchy of evidence,
Further research is required to determine the
cohort studies are stronger than case-control
mechanisms by which excess fat mass may
and cross sectional studies. Most studies
increase or reduce bone growth
16
.
with higher hierarchial study design have
References
9. Greenhalgh, T. (1997). How to read a
paper: getting your bearing (deciding
what the paper is about). British Medical
Journal, 315, 243-246.
10. International Food Information Council
Foundation, IFIC. How to understand and
interpret food and health-related scientific
studies. IFIC review. 2001; 9(1), 1-11.
11. Karlsson, L., Lundin, O., Ekström, L.,
Hansson, T., & Swärd, L. Injuries in
adolescent
spine
exposed
to
compressive loads: an experimental
cadaveric study. Journal of Spinal
Disorders & Techniques. 1998; 11(6),
501.
12. Leonard, M. B., Shults, J., Wilson, B. A.,
Tershakovec, A. M., & Zemel, B. S.
Obesity during childhood and
adolescence augments bone mass and
bone dimensions. The American journal
of clinical nutrition.2004; 80(2), 514.
13. Lorentzon, M., Swanson, C., Andersson,
N., Mellström, D., & Ohlsson, C. Free
testosterone is a positive, whereas free
estradiol is a negative, predictor of
cortical bone size in young Swedish men:
the GOOD study. Journal of Bone and
Mineral Research. 2005; 20(8), 13341341.
14. Ludwig, D. S., Peterson, K. E., &
Gortmaker, S. L. (2001). Relation
between
consumption
of
sugarsweetened drinks and childhood obesity:
a prospective, observational analysis.
The Lancet, 357(9255), 505-508.
15. Margetts B. M., Nelson, M. Overview of
the principles of nutritional epidemiology.
In: Margetts BM, Nelson M, eds. Design
concepts in nutritional epidemiology.
Oxford: Oxford University Press. 1997; 336.
16. Margetts, B., Vorster, H., & Venter, C.
Evidence-based
nutrition-review
of
nutritional epidemiological studies. South
African Journal of Clinical Nutrition. 2002;
15(2), 68-73.
17. Mccormick, D. P., Ponder, S. W.,
Fawcett, H. D., & Palmer, J. L. (1991).
Spinal bone mineral density in 335
1. Berkey, C. S., Rockett, H. R. H., Field, A.
E., Gillman, M. W., & Colditz, G. A.
Sugar-Added Beverages and Adolescent
Weight Change* &ast. Obesity.
2004; 12(5), 778-788.
2. Clark, E., Ness, A., & Tobias, J. Adipose
tissue stimulates bone growth in
prepubertal children. Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism. 2006;
91(7), 2534.
3. Elefteriou, F., Ahn, J. D., Takeda, S.,
Starbuck, M., Yang, X., Liu, X., . . . Noda,
M. Leptin regulation of bone resorption
by the sympathetic nervous system and
CART. Nature. 2005; 434(7032), 514520.
4. Ellis, K., Shypailo, R., Wong, W., &
Abrams, S. Bone mineral mass in
overweight
and
obese
children:
diminished
or
enhanced?
Acta
diabetologica. 2003; 40, 274-277.
5. Goulding, A., Jones, I., Taylor, R.,
Manning, P., & Williams, S. More broken
bones: a 4‐year double cohort study of
young girls with and without distal
forearm fractures. Journal of Bone and
Mineral Research. 2000; 15(10), 20112018.
6. Goulding, A., Taylor, R. W., Grant, A. M.,
Murdoch, L., Williams, S. M., & Taylor, B.
J. (2008). Relationship of total body fat
mass to bone area in New Zealand fiveyear-olds. Calcified tissue international.
2008; 82(4), 293-299.
7. Goulding, A., Taylor, R., Jones, I.,
Manning, P., & Williams, S. Spinal
overload: a concern for obese children
and
adolescents?
Osteoporosis
International. 2002; 13(10), 835-840.
8. Goulding, A., Taylor, R., Jones, I.,
McAuley, K., Manning, P., & Williams, S.
Overweight and obese children have low
bone mass and area for their weight.
International journal of obesity and
related metabolic disorders: journal of the
International Association for the Study of
Obesity. 2000; 24(5), 627.
67
18.
19.
20.
21.
normal and obese children and
adolescents: evidence for ethnic and sex
differences. Journal of Bone and Mineral
Research.1991; 6(5), 507-513.
Morrill, A. C., & Chinn, C. D. The obesity
epidemic in the United States. Journal of
Public Health Policy. 2005; 25, 3(4), 353366.
Ogden, C., & Carroll, M. Prevalence of
obesity among children and adolescents:
United States, trends 1963–1965 through
2007–2008. 2010. Retrieved from
http://www. cdc.
gov/nchs/data/hestat/obesity_child_07_0
8/obesity_child_07_08. pdf.
Saggese, G., Baroncelli, G. I., &
Bertelloni, S. Puberty and bone
development. Best Practice & Research
Clinical Endocrinology & Metabolism.
2002; 16(1), 53-64.
Shiri, R., Karppinen, J., Leino-Arjas, P.,
Solovieva, S., & Viikari-Juntura, E. The
association between obesity and low
back pain: a meta-analysis. American
journal of epidemiology. 2010; 171(2),
135.
22. Troiano, R. P., & Flegal, K. M.
Overweight children and adolescents:
description, epidemiology, and
demographics. Pediatrics,
101(Supplement). 1998; 497.
23. World Health Organization.
Global Strategy on Diet, Physical Activity
and Health Fact Sheets. 2003. Retrieved
June
19,
2011,
fromhttp://www.who.int/dietphysicalactivit
y/media/en/gsfs obesity.pdf
24. Janz, K. Physical activity and bone
development during childhood and
adolescence:
implications
for
the
prevention of osteoporosis. Minerva
pediatrica. 2002; 54(2), 93-104.
68
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi
penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan
pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada
atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan
tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada.
TEMA TULISAN
Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk
dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan.
Tema yang dapat ditulis antara lain:
· Inovasi pembelajaran
· Pengembangan kurikulum dan modul
· Proses belajar mengajar
· Manajemen pendidikan tinggi
· Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik
· Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan
· Media ajar
· Evaluasi belajar mengajar
· Evaluasi program pendidikan
· Etika dan profesionalisme
Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain
yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima.
PANDUAN PENULISAN
a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi.
b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang namanya
tercantum sebagai penulis.
c.
Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal
lainnya.
d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada tuntutan
plagiarisme dari ilmuwan lain.
e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk penelitian yang
melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian.
f.
Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat pernyataan
dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga
69
g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang mengikuti
aturan kaidah penulisan ilmiah.
h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata dengan
susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil (penelitian), simpulan,
kata kunci.
i.
Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4.
j.
Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang umum (MS
Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket) maupun print out
(rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4 tidak bolak-balik, 1 kolom,
menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri, antar paragraf ditandai dengan
jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran, rata kiri, menggunakan huruf kapital dan
ditebalkan.
k.
Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
l.
Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat korespondensi,
yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari satu diurutkan
berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden.
m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak tergantung pada
teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di bawah gambar. Tabel dan
gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan kepentingannya.
n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan
penampilan
Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke :
Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram
Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram
Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874.Fax (0370) 641717 Mataram - NTB,
Kode Pos : 83125
Korespondensi dapat melalui email : [email protected]
70
Download