Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : 2301-5970 RSI M AT M S UN VE TA I JURNAL KEDOKTERAN UNRAM ARA Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Volume 2 Nomor 3 September 2013 ISSN : 2301-5970 RSI M AT M S UN VE TA I JURNAL KEDOKTERAN UNRAM ARA Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Jurnal Kedokteran Unram Penasehat Prof. Mulyanto Editor dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes. dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D. dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med. Dewan Redaksi dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K) dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn. dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis. dr. Bambang Priyanto, SpBS dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes. dr. Seto Priyambodo, M.Sc. dr. Nurhidayati, M.Kes. dr. Pandu Ishak Nandana, SpU dr. Arif Zuhan, SpB dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro) dr. Fathul Djannah, SpPA dr. Marie Yuni Andari, SpM Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc. dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK dr. Akhada Maulana, SpU dr. Monalisa Nasrul, SpM dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt Mitra Bestari dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD) dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP) Sekretaris dr. Prima Belia Fathana Layout dan Percetakan Syarief Roesmayadi ISSN : 2301-5977 Jurnal Kedokteran Universitas Mataram Edisi 4, Volume 3, September 2013 DAFTAR ISI Tinjauan Pustaka : Kejang Demam Pada Anak Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte......................................................... 3 Penelitian : Hubungan Antara Durasi Pemberian Haart (Highly Active Anti Retroviral Therapy) Dengan Peningkatan Level Cd4 Pada Pasien Hiv Dewasa Eustachius Hagni Wardoyo, Teguh Sarry Hartono .................................................................... 12 Penelitian : Efektivitas Petidin 25 Mg Intravena Untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah................................................... 16 Penelitian : Gambaran Hasil Pemeriksaan Hematologi Pada Pasien TB Paru yang Menjalani Rawat Inap Di RSUP NTB Tahun 2011-2012 Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri ....................................... 27 Tinjauan Pustaka : Kajian Komprehensip Tentang Benda Asing Dalam Hidung Hamsu Kadriyan ........................................................................................................................ 38 Tinjauan Pustaka : The Risk Of Iron Deficiency Within Infants Who Are Exclusively Breast Fed For The First Six Months: Cases In Developed Countries Rifana Cholidah ............................................................………................................................. 45 Tinjauan Pustaka : Stress Hiperglikemia Erwin Kresnoadi .........................……….................................................................................... 51 Tinjauan Pustaka : The Relationship Between Child Obesity And Bone Health Rifana Cholidah .........................……….................................................................................... 61 Pedoman Penulisan Naskah Artikel......................................................................................... 69 2 KEJANG DEMAM PADA ANAK Wayan Sulaksmana SP, Sukardi, Abdul Razak Dalimunte Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-Unram/RSUP NTB Abstract: Febrile convultion is a neurological disorder that is often found in children. Fever is usually caused by an infection outside of the central nervous system such as : Upper respiratory tract infection,gastroenteritis, urinary tract infection, etc.Febrile siezures in general brief form : tonic, tonic-clonic,focal or partial. Febrile convultion should receive prompt and appropriate treatment because of delays and procedural errors would cause sequel and death. Appropriate education for parents about febrile convultion is unbelievably necessary to reduce anxiety. Keywords : seizure,fever,anticonvulsanst Pendahuluan Kejang Serangan kejang demam pada anak yang merupakan suatu manifestasi satu dengan yang lain tidak sama, klinik lepas muatan listrik berlebihan dari sel- tergantung dari nilai ambang kejang masing- sel neuron di otak yang terganggu fungsinya. masing.4,6 Setiap serangan kejang pada anak Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh harus mendapat penanganan yang cepat 1 dan tepat apalagi pada kasus kejang yang Pada sebagian besar kasus, gangguan berlangsung lama dan berulang. Karena fungsi sel neuron otak keterlambatan dan kesalahan prosedur akan kelainan anatomis, fisiologis, dan biokimia, sementara. petanda Kejang serius hanya bersifat dapat suatu merupakan penyakit mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan kematian.,3,5,6,8 yang mendasarinya.2 Makalah Kejang pada anak lebih sering terjadi ini bertujuan membahas beberapa aspek dan tatalaksana karena kenaikan suhu tubuh. Demam sering kejang demam pada anak. disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf Definisi pusat seperti : infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi saluran kemihdan Consensus Seizures(1980), lain-lain. Statement Kejang demam adalah bangkitan kejang Menurut of Febrile Kejang demam biasanya yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh(suhu rectal) Lebih dari 38oC, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.3,5,6 dapat terjadi pada usia antara 3 bulan dan 5 Kejang Demam Sederhana adalah tahun dan tidak pernah terbukti adanya kejang demam yang terjadi pada umur 3 antara 6 bulan sampai 4 tahun, lama kejang Pendapat lain mengatakan bahwa kejang kurang dari 15 menit, kejang bersifat umum, demam adalah suatu kejadian pada frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 6 bulan dan 5 tahun. Anak setahun, yang pernah kejang timbul sesudah kenaikan suhu. dalam 16 jam 6 mengalamin kejang tanpa demam dan bayi umur kurang dari 1 dalam kejang demam. Patofisiologi bulan tidak termasuk 3,4,8 Dasar 3 patofisiologi terjadinya kejang demam adalah belum berfungsinya dengan baru terjadi pada suhu diatas 40°C. 6 Terulangnya kejang demam lebih sering Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak terjadi pada anak dengan ambang kejang membutuhkan rendah.4,6,8 baik susunan saraf pusat(korteks serebri). glukosa energi yang yaitu senyawa dari proses didapat Kejang demam yang berlangsung singkat metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh umumnya membran meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan demam + mudah oleh ion Kalium (K ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na ) dan elektrolit lain kecuali Clorida (Cl ). yang menit“Status + - tidak berbahaya berlangsung epilepticus“ dan tidak lama >15 adalah suatu keadaan darurat dan perlu tindakan segera Akibatnya karena + konsentrasi ion K di dalam sel neuron tinggi bila berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan neuron dengan + dan konsentrasi ion Na rendah. Keadaan akibat kematian. sebaliknya terjadi di luar sel neuron.Untuk Bila kejang tidak teratasi (status menjaga keseimbangan potensial membran epileptikus) akan timbul keadaan sel diperlukan energi dan enzim Na-K-ATP jaringan otak dengan akibat permeabilitas ase yang terdapat Keseimbangan di potensial hipoksia permukaan sel. kapiler meninggi, terjadi edema otak dengan membran sel tekanan intrakranial yang meninggi. Akibat dipengaruhi oleh :1.Perubahan konsentrasi edema otak terjadi kerusakan sel dan ion di ruang ekstraseluler. 2. Rangsangan depressi yang datangnya mendadak baik rangsangan hipoksia. Kematian pernapasan yang menambah timbul kemudian oleh 7 mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari kolaps sirkulasi. Bila kejang dapat diatasi, sekitarnya. 3. Perubahan patofisiologi dari anak bisa kembali normal atau sembuh membran dengan gejala sisa. Hal ini diduga kuat karena penyakit atau faktor keturunan. sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.4 Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan Manifestasi Klinik metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat Terjadinya bangkitan kejang demam pada terjadi bayi dan anak kebanyakan bersamaan perubahan keseimbangan dari membran dan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di Kalium dan Natrium melalui membran sel, luar sistem saraf pusat, misalnya karena akibat lepasnya muatan listrik yang demikian tonsillitis, bronchitis atau otitis media akut. besar keseluruh sel maupun ke membran sel Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 tetangga dengan bantuan neurotransmitter jam pertama sewaktu demam, berlangsung terjadilah kejang. Pada anak degan ambang singkat, kejang yang rendah kenaikan suhu sampai berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal 38°C sudah terjadi kejang, namun pada anak atau akinetik. Umumnya kejang berhenti dengan ambang kejang yang tinggi, kejang sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat 4 dengan sifat bangkitan kejang anak tidak memberikan reaksi apapun, tetapi apakah Kejang Demam Sederhana setelah beberapa detik atau menit anak akan Kejang terbangun dan sadar kembali tanpa ada LivingStone membagi kriteria kejang kelainan neurologi. 3,5,8 Demam Kompleks. atau Dahulu Kejang dapat diikuti menjadi dua golongan, yaitu: Kejang Demam hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) Sederhana (simple febrile convulsion) dan yang berlangsung beberapa jam sampai Epilepsi beberapa hari. Kejang unilateral yang lama (epilepsy triggered of by fever). Klasifikasi ini dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. tidak lagi digunakan karena studi prospektif Bangkitan yang berlangsung lama lebih epidemiologi membuktikan 3 berkembang epilepsi sering terjadi pada kejang demam pertama. yang diprovokasi atau oleh Demam bahwa resiko berulangnya kejang tidak sebanyak diperkirakan.3 Bila menghadapi penderita dengan kejang demam, pertanyaannya yang sering timbul Gambar 1. Skematik patofisiologi pada Kejang Unit Kerja Koordinasi Nerologi (UKK) IDAI 15 menit 2006 membuat Klasifikasi Kejang Demam pada anak menjadi : b. Kejang 4,8 kejang 1. Kejang Demam Sederhana (Simple fokal umum atau parsial, didahului atau kejang parsial Febrile Seizure) c. a. Kejang berlangsung singkat kurang Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam (kejang multipel atau kejang dari 15 menit serial) b. Kejang bersifat umum, tonik dan atau Deferensial Diagnosa klonik c. Tidak berulang dalam 24 jam Menghadapi (frekuensi 1 kali dalam 24 jam) 2. Kejang fibrile Demam Kompleks seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus Complex dipertimbangkan apakah penyebabnya dari Seizure) luar atau dari dalam susunan saraf pusat. a. Kejang berlangsung lama lebih dari Kelainan di dalam otak biasanya karena 5 infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau dapat dikerjakan : Pemeriksaan abses otak darah perifer, elektrolit dan gula waspada dll. Oleh sebab itu untuk perlu menyingkirkan dahulu darah apakah ada kelainan organik di otak. Baru b. Pungsi sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks. lumbal untuk pemeriksaan 3 cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakan Penegakkan Diagnosis: 4,8 diagnosis meningitis, dianjurkan 1. Anamnesis : pada: Dari anamnesis ditanyakan : a. Tampilan 1) Bayi kurang dari 12 bulan kejang,umum atau sangat dianjurkan dilakukan fokal dan berapa lama durasi 2) Bayi usia antara 12 bulan-18 kejangnya bulan dianjurkan b. Riwayat demam dan penyakit 3) Bayi usia> 18 bulan tidak lain yang diderita oleh anak c. rutin. Riwayat penggunaan obat pada Prognosis anak d. Riwayat kejang sebelumnnya, masalah Dengan penanggulangan yang tepat dan nerologik, cepat, prognosisnya baik dan tidak keterlambatan tumbuh kembang menyebabkan atau berulangnya kejang berkisar antara 25 – penyebab lain seperti trauma kematian.Frekuensi 50%. Resiko untuk mendapatkan epilepsy e. Riwayat keluarga yang pernah rendah atau tidak mengalami kejang ditemukan 2,9% penderita kejang demam. dari semua 3 demam, epilepsy Penanggulangan 2. Pemeriksaan fisik dan nerologi Kesadaran, suhu rangsangan peningkatan tubuh, meningeal, tekanan tanda Anak yang mengalami Kejang Demam tanda Sederhana atau Kejang Demam Kompleks intrakranial, sebaiknya dirawat dirumah sakit dan dan tanda infeksi di luar Susunan dilakukan pemeriksaan penunjang untuk Saraf Pusat (SSP). Pada umumnya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih tidak lanjut.4 dijumpai nerologis adanya termasuk kelainan tidak ada Dalam penanggulangan kelumpuhan nervi kranialis. kejang demam pada anak, ada 4 faktor yang harus 3. Pemeriksaan penunjang dilakukan, yaitu: A. Memberantas a. Pemeriksaan laboratorium tidak kejang secepat 1,2,4,8 dilakukan secara rutin, namun mungkin untuk mengevaluasi Apabila penderita datang dalam keadaan infeksi penyebab demam atau kejang, segera keadaan lain. Pemeriksaan yang secara rektal sumber 6 diberikan dengan diazepam dosis : Berat badan < 10 kg = 5 mg Dosis phenobarbital : Berat badan > 10 kg = 10 mg loading dose secara intramuskuler : (lihatgambar2). Bila kejang sudah teratasi Neonatus dengan Anak usia 1 bulan – 1 tahun : 50 mg diazepam antikonvulsan dapat long diberikan acting Phenobarbital, terutama seperti : 30 mg Anak usia > 1 tahun bila ada faktor : 75 mg Dilanjutkan 4 jam kemudian dengan resiko: kejang lama, kejang fokal atau phenobarbital oral : 8 – 10 mg /kg bb/hari parsial, adanya kelainan neurologis yang dibagi 2 dosis selama 2 hari, selanjutnya nyata, 3 – 5 mg/kg bb/hari dibagi 2 dosis selama kejang multipel, dan riwayat epilepsi dalam keluarga. demam. Diazepam 510mg/rec max 2x Jarak 5 menit Prehospital 0-10 menit Monitoring Hospital/ED Airway Breathing Circulation Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/ IV (rate 2mg/menit,max dose 20 mg) 10-20 mnt atau Midazolam 0,2 mg/kg/IV bolus Vital sign EKG gula Darah Serum Elektrolit Na, K, Ca, Mg, Cl analisa gas darah Koreksi Kelainan Pulse Oksimetri atau Lorazepam 0,0050,1 mg/kg/IV (rate<2mg/menit ICU/ED Jika preparat (+) Note: Aditional 5-10mg/kg/IV ICU Midazolam 0,2mg/kg/IV bolus di lanjutkan drip per infus Phenobarbital 20mg/kg/IV (rate >5-10 menit, max 1gr) Phenitoin 20mg/ kg/IV 20 menit/ 50 ml NS Max 1000mg 20-30 mnt Blood Drug Level 30-60 menit Refrakter PentotalTiopental 24mg/kg/IV Propofol 3-5mg/ kg/infusion Gambar 2 Alogaritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus. ( PKB Ilmu Kesehatan Anak FK. Unud , Sanur 5-8 Juli 2012) 7 B. Pengobatan penunjang.5,6 Diazepam rectal setiap 8 jam (lihat Sebelum memberantas kejang jangan dosis rektal sesuai berat badan) lupa dengan pengobatan penunjang yaitu : Berikan penjelasan pada orang tua 1. Penderita sebaiknya dibebaskan dari tentang efek samping obat semua pakaian, posisi kepala miring diazepam yaitu : mengantuk, letargi, yaitu untuk menghindari aspirasi. iritabel dan ataksia. 2. Profilaksis jangka panjang.4,6,8 2. Penting sekali mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi Pemberian terjamim, menerus jika diperlukan dipasang intubasi trakheotomi. Penghisapan dilakukan secara dapat bahkan teratur, untuk suhu panjang menjamin terus ditujukan terdapatnya dosis terapeutik di dalam darah stabil dan juga cukup, guna mencegah berulangnya kejang di kemudian hari. Diberikan 3. Mengawasi secara ketat fungsi vital kesadaran, jangka profilaksis lendir diberikan oksigenasi yang memadai. seperti obat pada keadaan : tubuh, a. Adanya kelainan nerologis yang tekanan darah, pernafasan dan fungsi nyata sebelum atau sesudah kejang jantung. seperti : hemiparesis, paresis todd, 4. Cairan intravena sebaiknya diberikan dengan monitor palsi kelainan metabolik 15 menit, natrium dengan kadar tinggi tubuh c. Kejang masih tinggi( hiperpireksi ) diberikan antipiretik intravena es dan kompres fokal, kejang jam atau d. Anak usia < 12 bulan . e. Kejang demam kompleks berulang C. Pengobatan profilaksis 4,6,8 profilaksis lebih dari 4 kali dalam setahun. terhadap Obat yang diberikan berupa : berulangnya kejang demam dapat dibagi 1. Fenobarbital dalam dua yaitu: 1. Profilaksis bersifat berulang lebih dari 2 kali dalam 24 alkohol. Pengobatan mental, b. Bila kejang berlangsung lebih dari tekanan intracranial jangan diberikan suhu retardasi hidrosefalus/mikrosefali dll. dan elektrolit. Bila ada kenaikan 5. Bila serebral, Dosis 4-5 mg/kgBB/hari intermiten pada waktu Efek samping pemakaian jangka demam. panjang : hiperaktif, perubahan a. Antipiretik : siklus tidur, gangguan kognitif, dan parasetamol 10-15 mg/kgbb tiap 4 – gangguan fungsi luhur. 6 jam 2. Asam Valproat Ibuprofen 5 – 10 mg/kgbb tiap 6 – Dapat 8 jam terulangnya b. Obat antikonvulsan : menurunkan memuaskan kejang bahkan resiko dengan lebih baik Diazepam oral 0,3 mg/kgbb setiap 8 dibanding dengan fenobarbital. jam saat Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam demam atau 8 E. Edukasi Pada orang Tua. 4 3 dosis. Efek samping : mual, hepatotoxis Kejang selalu merupakan peristiwa yang dan pancreatitis. menakutkan bagi orang tua, karena saat Antikonvulsan pada profilaksis jangka kejang panjang beranggapan ini kurangnya diberikan selama 1 sekurang- sebagian besar bahwa orang anaknya tua akan tahun bebas meninggal. Kecemasan tersebut harus kejang. Penghentian pengobatan harus dikurangi dengan edukasi yang tepat bagi dilakukan orang dengan off,dalam waktu cara 3-6 tapering bulan guna Dan Mengobati seputarkejang demam, diantaranya : menghindari rebound fenomena. D. Mencari tua 1. meyakinkan bahwa kejang demam Faktor umumnya bukan merupakan Penyebab/Kausatif penyakit yang serius tetapi tidak juga Penyebab dari kejang demam baik kejang dianggap ringan (berprognosis baik ) demam sederhana demam 2. Memberikan cara penanganan kejang kompleks biasanya infeksi pada traktus 3. Memberikan informasi kemungkinan respiratorius /kejang bagian atas, otitis media kejang kembali( kejang berulang) akut, gastrointestinal, saluran kemih dll. 4. Terapi memang efektif mencegah Pemberian antibiotika yang tepat dan rekurensi adekuat samping akan sangat berguna untuk menurunkan demam yang pada gilirannya akan kejang. menurunkan resiko Secara akademis, terjadinya anak yang Kesimpulan dapat berhenti sendiri, sebagian lain tetap infeksi memerlukan pengobatan profilaksis jangka Selanjutnya panjang. Tatalaksana yang adekuat sangat apabila menghadapi anak dengan kejang penting untuk mencegah kejang lama(status yang epileptikus) dan kematian. intrakranial ini perlu Walaupun sebagian besar kejang demam untuk menyingkirkan Hal efek mengurangi kejadian epilepsy kali sebaiknya dilakukan pemeriksaan lumbal. memiliki 5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan datang dengan kejang demam pertama punksi tetapi kemungkinan (meningitis). berlangsung pemeriksaan : lama punksi diperlukan lumbal, darah berhasil diatasi, lengkap, glukosa, elektrolit, EEG, Brain pemeriksaan Scan, MRI, Pneumo Ensefalografi dan pemeriksaan arteriografi. 3,4,5 dilakukan klinis Setelah kejang anamnesis, neurologis, penunjang etiologi. Tentukan apakah untuk dan mecari kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks. Daftar Pustaka 1. Suarba IG : Manajemen terkini kejang dan status epileptikus. Dalam : Penangan kegawat daruratan Neonatologi dan Anak pada fasilitas terbatas, PKB IKA Fk Unud/RSUP Sanglah , sanur 2012. 2. Widodo DP : Penatalaksanaan Kejang dan Status Epileptikus pada Bayi dan Anak. Dalam : Paediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. PKB XLIX IKA Fk.UI, Jakarta 2006. 3. Mansjoer, Suprohaita, Wahyu IW, Wiwik S. Editor : Kejang Demam. Kapita 9 Selekta Kedokteran, ed 3;2. Penerbit Media Aesculapius Fk.UI, 2000;434-7. 4. Prasasti AS. Kejang Demam pada Anak. Diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//asprasasti.blogspot.com/2011/05/ kejang demam pada anak.html. 5. Ismael S . Kejang Demam. Dalam : Sudaryat,Suwendra IP editor. Simposium Kedaruratan pada Anak. IKA Fk. Unud, Denpasar 1983. 6. Anonim : Kejang Demam pada Anak . diakses 12 september 2012. Diunduh dari :http//medlinux.blogspot.com/2007/09/kej ang-demam-pada-anak.html. 7. Hendarto SK, Ismael S : Kejang Demam pada Anak. Dalam : Sulestea G,Steawati A, Mariana, Handoko T editor : Kumpulan Naskah KPPIK X. Fk.UI, Jakarta 1979. 8. Anonim : Kejang Demam . Pedomam Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Bagian/SMF IKA. Fk. Unud/RSUP Sanglah Denpasar,2011. 10 HUBUNGAN ANTARA DURASI PEMBERIAN HAART (HIGHLY ACTIVE ANTI RETROVIRAL THERAPY) DENGAN PENINGKATAN LEVEL CD4 PADA PASIEN HIV DEWASA Eustachius Hagni Wardoyo1 dan Teguh Sarry Hartono 2 Abstrak Latar Belakang: Dinamika CD4 dikaitkan dengan durasi pemberian HAART memiliki keberagaman antar individu, antar seting waktu dan tempat. Dinamika CD4 paska HAART merupakan faktor penting baik dalam evaluasi klinis pasien HIV dan kepentingan epidemiologis. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan antara durasi pemberian HAART dengan peningkatan level CD4. Metodologi: Merupakan penelitian potong lintang dengan kriteria inklusi: 1. Usia pasien ≥18 tahun, pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, 3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah HAART, 4. Memiliki selisih CD4 terakhir dengan CD4 naïve positif, dan 5. Memiliki kepatuhan berobat. Durasi pemberian HAART (bulan) dikelompokkan dalam kelompok waktu: 1) <12, 2) 12 – 23, 3) 2436 dan 4) ≥ 36. Hasil: Sejumlah 68 pasien dievaluasi. Dari 68 pasien terdapat 18 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi kelompok durasi dari 18 pasien: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) dan 4) 5 (27,8%). Dengan multivariate analysis terdapat perbedaan antar kelompok durasi terapi yang bermakna terhadap peningkatan CD4 (p=0,033; ANOVA). Secara spesifik perbandingan antar kelompok diuji menggunakan LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2 tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,801) demikian juga kelompok 2 dan 3 (p=0,553) namun pada kelompok 3 dan 4 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.020). Kesimpulan: Hanya 26,5% pasien yang mengalami kenaikan level CD4. Kenaikan level CD4 dapat terlihat secara bermakna setelah 36 bulan terapi HAART. Kata kunci: HAART, CD4, antiretroviral therapy 1 Fakultas Kedokteran Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram 2 Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Soelianti Saroso, Jl. Sunter Permai Raya Jakarta Koresponden: [email protected] Abstract Background: Dynamics of CD4 after commencing highly active antiretroviral therapy (HAART) for certain periods of time differ between patients, time and place. The present study aims to investigate the relationship between duration of commencing HAART and the increasing of CD4. Methods: Using cross-sectional study with inclusion criteria as follow: man and women age ≥ 18 y.o., having CD4 naïve and CD4 post HAART, having positive difference between last CD4 and CD4 naïve and good adherence. HAART’s duration (months) was grouped into: 1) <12, 2) 12 – 23, 3) 24-36 and 4) ≥ 36. Results: Sixty eight patients were evaluated, only 18 patients met inclusion criteria. The duration groups are: 1) 4 (22,2%), 2) 3 (16,7%), 3) 6 (33,3%) and 4) 5 (27,8%) patients. Using multivariate analysis found there was significant difference between duration groups to increasing CD4 (p=0,033; ANOVA). Followed by LSD post hoc tested to group 1 and 2 no significant difference (p=0,801) also group 2 and 3 (p=0,553) but between group 3 and 4 found significant difference (p=0.020). Conclusion: Only 26,5% (18/68) patients with increasing CD4. Increasing CD4 was observed significant after 36 months commencing HAART. Keywords: HAART, CD4, antiretroviral therapy 1 Faculty of Medicine Mataram University, Pendidikan Street, 37, Mataram, Indonesia 2 Infection Disease Hospital Soelianti Saroso, Baru Sunter Permai Raya street Jakarta, Indonesia. Level CD4 menjadi bagian penting dalam paduan HAART yang sesuai 1,2,3 . Setelah manajemen HIV, mulai dari menentukan inisiasi HAART perlu dimonitor efek samping apakah pasien sudah memenuhi syarat obat dan kepatuhan minum obat setidaknya inisiasi highly active antiretroviral therapy dalam 2 minggu-2 bulan pertama, 6 bulan (HAART), setelah menilai status supresi imun inisiasi HAART perlu dilakukan 1,4 pasien, menentukan infeksi oportunistik yang pemeriksaan CD4 dan viral load telah atau sedang terjadi, dan menentukan dinamika level CD4 di Indonesia masih 12 . Studi terbatas dan respon imun pada seting lokal perlu diketahui, perbedaan seting CD4 (data numerik) dalam pengelompokan penelitian terutama terkait dengan variasi durasi pemberian HAART.Perbedaan antar heterogeneity kelompok virus, farmakogenetik, Penelitian latar dan ini tiap Data yang diolah adalah data peningkatan belakang konstitusi merupakan tubuh. durasi dilakukan analisis multivariate dan uji post hoc menggunakan penelitian software SPSS 16. pendahuluan yang mencari korelasi antara HASIL durasi HAART dan efek peningkatan level CD4. Sampai dengan bulan Juni 2011 terdapat 68 pasien yang memiliki kepatuhan berobat METODOLOGI diatas 95%.Dari 68 pasien terdapat 18 Penelitian ini mengambil tempat di klinik care, support and treatment (CST) pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak di 50 pasien tidak memenuhi kriteria inklusi Tomang Jakarta Barat yang berlangsung karena tidak memiliki data CD4 setelah bulan Juni 2011. Penelitian ini merupakan HAART dan peningkatan level CD4 tidak penelitian potong lintang dengan mengambil dapat dievaluasi. subyek penelitian yang memenuhi kriteria Karakteristik subyek penelitian inklusi sebagai berikut: 1. Usia pasien ≥18 Menurut jenis kelamin terdapat 3 tahun pria dan wanita, 2. Memiliki angka CD4 perempuan dan 15 laki-laki dengan median pre ART (CD4 naïve) dan CD4 setelah ART, usia 28 tahun (23-37). Sebanyak 9 pasien 3. Memiliki data CD4 naïve dan CD4 setelah memiliki HAART, 4.Memiliki selisih CD4 terakhir hubungan seks beresiko dan 9 pasien dengan CD4 naïve positif, dan 5.Memiliki lainnya memiliki resiko penularan baik dari kepatuhan riwayat hubungan seks beresiko maupun HAART berobat. dikelompokkan Durasi dalam pemberian kelompok resiko penularan dari riwayat penasun. waktu: 1) <12 bulan, 2) 12 – 23, 3) 24-36 dan Delapan belas pasien dikelompokkan 4) ≥ 36. berdasarkan Definisi operasional dijalani menjadi empat kelompok: 1) kurang Durasi pemberian HAART: selisih waktu durasi HAART yang telah dari 12 bulan sebanyak 4 (22,2%) orang, 2) antara inisiasi HAART dengan pemeriksaan antara 12-24 bulan sebanyak level CD4 yang terakhir. Peningkatan level orang, 3) antara 24-35 bulan sebanyak 6 CD4: selisih positif antara pemeriksaan level (33,3%) orang dan 4) lebih atau sama CD4 terakhir dengan CD4 naïve dengan 36 bulan sebanyak 5 (27,8%) orang Analisis statistik dengan peningkatan CD4 yang dapat dilihat pada tabel 1. 13 3 (16,7%) Tabel 1. Distribusi kelompok pasien berdasarkan durasi HAART Kelomp. Durasi HAART Jumlah pasien Median peningkatan CD4 (minmax) 1 <12 bulan 4 122,5 (46-240) 2 12-23 3 114 (13-187) 3 24-35 6 146,5 (1-418) 4 ≥36 5 361 (240-710) DISKUSI ketersediaan Respon imun CD4 paska HAART pada Indonesia. tempat Kriteria pemeriksaan laboratorium di yang beberapa studi menunjukkan hasil yang dipergunakan dalam monitoring antara lain bervariasi mulai dari peningkatan 190-423 darah sel/mmk dalam kurun waktu 4 tahun paska serum, profil lipid dan lain-lain sesuai kondisi lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin 5 klinis pasien dan kemampuan sumber daya 6 120 hari namun tidak mengaitkan dengan local. Pemeriksaan total lymphocyte count durasi pemberian HAART. tidak mampu menggantikan pemeriksaan HAART , peningkatan 50 sel/mmk setelah CD4 1,3,4. Dalam studi ini dibandingkan dengan studi Kaufmann dkk (2003) (2000) 7 5 dan Erb dkk Dalam kurun waktu diatas 36 bulan, menunjukkan persentase pasien terjadi median peningkatan level CD4 yang mengalami peningkatan level CD4 yang sebanyak 361 sel/mmk, sedikit melampaui lebih rendah (26,5% vs 39% dan 37,9%). perkiraan peningkatan level CD4 sebanyak Diduga factor usia pasien, respon imun yang 50-100 buruk dan adanya interupsi saat HAART merupakan menjadi penyebab kegagalan naiknya CD4 dalam 1,3,5,7,8 HAART level CD4 akan menurun antara 80- Monitoring laboratorium 110 menggunakan CD4 lebih dipilih terkait dengan biaya dan 14 sel/mmk pertahun. penanda manajemen sel/ μL, yang HIV. pertahun Level CD4 dipergunakan Tanpa 1,2,4,9 adanya (tabel1). Gambar 1. Distribusi nilai peningkatan CD4 pada kelompok durasi pemberian HAART Pada gambar 1 dan tabel 1, terlihat peningkatan level CD4 dibandingkan dengan median peningkatan CD4 yang telah terlihat CD4 pre-HAART (CD4 naïve) pada seting pada kelompok sel/mmk) durasi kemudian pertama (122,5 local akan memberikan manfaat baik itu mengalami sedikit dalam manajemen yang baru maupun yang telah penurunan (114). Pada kelompok tiga terjadi terdiagnosa peningkatan mengkonsumsi HAART dalam jangka waktu CD4 kembali, lebih tinggi HIV pasien dibanding kelompok pertama dan kedua tertentu. (246,5 sel/mmk). Peningkatan CD4 yang keluarganya diharapkan akan mendapatkan terjadi berbeda pembekalan awal pre-HAART (konseling) bermakna (p=0,033; ANOVA). Menggunakan yang lebih baik sehingga meningkatkan LSD post hoc test pada kelompok 1 dan 2 kepatuhan tidak konselor, klinisi dan manajer kasus adalah antar ada kelompok perbedaan durasi yang bermakna Manfaat minum bagi obat. dan Manfaat mengetahui (p>0,05) namun pada kelompok 3 dan 4 memberikan peningkatan CD4 dipopulasi terdapat bermakna yang dijangkaunya sehingga mempengaruhi (p=0.020). Sehingga durasi HAART selama perencanaan program, menambahkan materi lebih atau sama dengan 36 bulan baru terjadi edukasi, monitoring dan evaluasi efikasi peningkatan CD4 yang bermakna secara terapi dan lebih lanjut lagi dapat menjadikan statistik. pertimbangan Penelitian ini yang merupakan penelitian HAART bagi (p>0,05) demikian juga kelompok 2 dan 3 perbedaan durasi pasien kapan sampai dilakukannya uji resistensi HAART. pendahuluan dalam melakukan monitoring Keterbatasan penelitian ini harus ditindak dan evaluasi HAART. Jika diketahui berapa lanjuti dengan penelitian selanjutnya dengan lama waktu pemberian yang dibutuhkan sampai subyek HAART memberikan respon metodologi yang lebih baik dan memiliki 15 penelitian yang lebih banyak, interpretative operasional dilapangan untuk level CD4 dapat terlihat secara bermakna membantu manajemen HIV yang lebih baik. setelah 36 bulan terapi HAART. Ucapan terimakasih KESIMPULAN Hanya 18/68 Penulis (26,5%) pasien mengucapkan terimakasih yang kepada AIDS Research Center (ARC) Unika mengalami kenaikan level CD4. Peningkatan Atma Jaya dan Kios Informasi Kesehatan PPH Unika Atma Jaya Jakarta. DAFTAR PUSTAKA 1. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta 2. Sabin CA, AN Phillips. Should HIV therapy be started at a CD4 cell count above 350 cells/μl in asymptomatic HIV-1-infected patients? [Special commentary]. Curr Opinion in Infectious Diseases: 2009. 22 (2):191-197 3. WHO. 2010. Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescents: recommendations for a public health approach.– 2010 rev. Austria 4. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, Edisi kedua. Jakarta 5. Kaufmann GR, L Perrin, G Pantaleo, M Opravil, H Furrer, A Telenti et al for the Swiss HIV Cohort Study Group. CD4 TLymphocyte Recovery in Individuals with Advanced HIV-1 Infection Receiving Potent Antiretroviral Therapy for 4 Years. Arch Intern Med. 2003;163:2187-2195 6. Binquet C, G Chêne, H Jacqmin-Gadda, V Journot, M Savès, D Lacoste, et al. Modeling Changes in CD4-positive TLymphocyte Counts after the Start of Highly Active Antiretroviral Therapy and the Relation with Risk of Opportunistic Infections. Am J Epidemiol 2001;153:386–93 7. Erb P, M Battegay, W Zimmerli, M Rickenbach, M Egger, for the Swiss HIV Cohort Study. Effect of Antiretroviral Therapy on Viral Load, CD4 Cell Count, and Progression to Acquired Immunodeficiency Syndrome in a Community Human Immunodeficiency Virus–Infected Cohort Arch Intern Med. 2000;160:1134-1140 8. Wardoyo EH, Hartono TS, Yunita R. Highly active antiretroviral therapy (HAART) initiation to HIV patients with various CD4 levels. Poster Presentation in 6th National Symposium Indonesian Antimicrobial Resistance Watch, July, 2010. Jakarta 9. Kelly M. 2004. HIV Immunopathology. In: Hoy J and S Lewin (Editor) HIV Management in Australasia: a guide for clinical care. Australasian Society for HIV Medicine Inc. ASHM. 15 EFEKTIVITAS PETIDIN 25 MG INTRAVENA UNTUK MENCEGAH MENGGIGIL PASCA ANESTESI UMUM Erwin Kresnoadi, Hadian Rahman, Wahyu Sulistya Affarah Fakultas Kedokteran Universitas Mataram ABSTRACT Background : Post anesthesia complication scan be caused by various factors, shivering is quite frequently encountered complications during recovering time. Risks that may happen is increasing of metabolism and make post operative pain worst. This study proves petidine can be used as an alternative to prevent shivering after general anesthesia. Methods : This research includes phase II clinical trials, the sample selection by Quota Sampling of patients are being prepared for elective surgery with general anesthesia, aged 20-40 years, ASA I-II, all patients who meet the criteria for inclusion in the sample until the required number met, willing to volunteer. Randomization was done at the end of the operation. Patients were divided into two groups, Pand S.Severity of shivering were recorded and assessed. Results : Characteristics of patients five minutes before induction did not significant differences. Measurement of systolic blood pressure and heart rate immediately after extubation showed significant differences. Duration of shivering in saline group occurredin almost the same when compared with the treatment group, because after the shivering, the patient is given immediate intervention of meperidine of nd rd 25mg for the treatment of shivering occurred, especially given to people who experience shivering with2 , 3 , th or 4 degree. For patients shivered first degree was given meperidine administration intervention. Duration of shivering in the control group took place in almost the same time. Conclusion : Pethidine had a good effectiveness in preventing the occurrence of shivering after general anesthesia. Keywords: Pethidine, shivering after general anesthesia. LATAR BELAKANG MASALAH akan dapat berbahaya bagi pasien dengan Penyulit yang terjadi pasca anestesi dapat ditimbulkan oleh yaitu dengan penyakit paru obstruktif menahun tindakan pembedahan, tindakan anestesi yang berat, atau pasien dengan gangguan atau faktor penderita itu sendiri. Salah satu kerja pada jantung. Asidosis laktat dan penyulit yang cukup sering dijumpai selama asidosis respiratorik dapat pemulihan yaitu menggigil. Angka kejadian ventilasi dan dari menggigil selama pemulihan anestesi ini meningkat secara proporsional,karena itu antara menggigil harus segera dicegah atau diatasi. 5% berbagai hingga 65%. faktor kondisi fisik yang tidak optimal, pasien Menggigil menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi pasien, itu dapat dilakukan tidak untuk mencegah atau mengatasi menggigil pasca menimbulkan risiko. Risiko utama yang operasi antara lain dengan menjaga suhu terjadi tubuh pasien menggigil yang jantung bila juga pada selain Cara kerja terjadi menggigil ialah tetap normal selama tindakan pembedahan, 10,11 mencapai 400%) dan memperberat nyeri obatan. Penggunaan pasca operasi. Aktivitas otot yang meningkat merupakan cara yang sering dilakukan untuk akan meningkatkan konsumsi oksigen dan mengatasi kejadian menggigil pasca operasi. peningkatan produksi karbondioksida. Hal ini Penghangatan secara aktif terhadap pasien peningkatan proses metabolisme (dapat 16 atau memberikan obatobat-obatan yaitu suatu cara yang dapat digunakan, menjadi sukarelawan. Total sampel adalah meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena 48 orang dibagi menjadi 2 kelompok: menggigil pasca anestesi tidak selalu terjadi - Kelompok I (kontrol) = 24 orang pada pusat pengaturan suhu, oleh karena - Kelompok II (perlakuan) =24 orang. core temperature tidak selalu rendah pada Semua penderita dipuasakan 6 jam pasien yang mulai mengalami menggigil sebelum operasi, dan kebutuhan cairan selama selama puasa dipenuhi sebelum operasi masa pemulihan dari tindakan anestesi. dengan menggunakan Ringer Laktat. Pada Meperidin dianjurkan untuk mengatasi saat masuk ke kamar operasi, tekanan darah kejadian menggigil pasca anestesi. Efek anti sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), menggigil dari meperidine pada reseptor- tekanan arteri rerata (TAR), laju jantung (LJ) dari reseptor opioid. Meperidin dosis kecil (10 dan saturasi oksigen (SaO2) diukur 5 menit - 25 mg) sering digunakan sebagai terapi sebelum menggigil semua penderita akan diberikan premedikasi pasca anestesi pada orang dilakukan induksi anestesi.dan dewasa dan 0,2mg/kgBB – 0,5 mg/kgBB fentanil 1 g/kgBB untuk yang sebelum induksi. Induksi dilakukan dengan terhadap menggunakan propofol 2 mg/kgBB. Setelah pasien dibutuhkan anak-anak. untuk Dosis pencegahan bulu intra vena 2 menit menggigil 0,5 mg/kgBB dapat menurunkan refleks angka kejadian menggigil 32 % - 80%. atrakurium besilat 0,5 mg/kgBB, kemudian Meperidin mempunyai efek samping spesifik dilakukan intubasi endotrakheal. Rumatan yaitu sedasi, euforia, pruritus dan bias anestesi dengan menggunakan sevoflurane menyebabkan rasa mual dan muntah pasca 1 vol%, N2O 50% dan O2 50% serta operasi. Selain itu juga kejadian depresi ketolorak pernafasan cukup tinggi. diberikan dengan dosis 0,2 mg/kgBB. 30 Randomisasi METODE PENELITIAN Penelitian ini mg. hilang, diberikan Atrakurium intermiten dilakukan pada akhir operasi.Obat anestesi inhalasi dihentikan termasuk eksperimental murni uji klinis tahap II mata pada akhir operasi. Penderita dibagi menjadi yang dilakukan dua kelompok, yaitu kelompok P dan S. secara acak tersamar ganda, dengan tujuan Kelompok P mendapatkan Petidin 25 mg mengetahuiefektivitas petidin 25 mg intra intra vena dan kelompok S mendapatkan vena untuk mencegah menggigil pasca NaCl 0,9% intra vena yang diberikan setelah anestesi umum. Cara pemilihan sampel nafas spontan adekuat dan refleks laringeal dilakukan dengan cara Quota Sampling kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit terhadap semua penderita yang dipersiapkan setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 untuk General dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera Anestesi, usia 20 – 40 tahun, ASA I-II, setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, dimana semua penderita yang memenuhi TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus kriteria dimasukkan dalam sampel sampai setiap lima menit selama 30 menit. Pasca jumlah yang diperlukan terpenuhi, bersedia ekstubasi, operasi elektif dengan 17 penderita diberikan oksigen 6L/menit dengan menggunakan sungkup baku (mean SD). Uji statistik disini untuk muka. membandingkan 2 kelompok. Untuk data Data-data yang dicatat untuk perhitungan nominal meliputi variabel tingkat pendidikan, statistik yang termasuk tersebut meliputi data status ASA, jenis kelamin menggunakan uji demografi dasar, status fisik, tekanan darah, Mann Whitney. Untuk data numerik yang laju jantung, tekanan arteri rerata, saturasi meliputi variabel umur, tinggi badan, berat oksigen, suhu tubuh, skor menggigil, dan badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah durasi menggigil. Data yang diperoleh dicatat diastolik, dalam suatu lembar penelitian khusus yang jantung, laju nafas dengan menggunakan telah disediakan satu lembar untuk setiap independent penderita dan dipisahkan antara kelompok kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam kontrol dan perlakuan. Data diolah, dianalisis bentuk tabel dan grafik. dan dinyatakan dalam nilai rerata simpang 18 tekanan arteri t-test rata-rata, dengan laju derajat Kerangka Kerja Penelitian POPULASI Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi SAMPEL PENELITIAN TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 diukur 5 menit sebelum induksi Premedikasi : Fentanyl 1g/KgBB intra vena 2 menit pre induksi Induksi : Propofoll 2 mg/kgBB Refleks bulu mata hilang Atrakurium besilat 0,5 mg/kgBB INTUBASI ENDOTRAKEA Rumatan anestesi : Sevoflurane 1 vol%; O2 50% : N2O 50%, Atrakurium intermiten 0,2 mg/kgBB Ketolorak 30 mg Akhir operasi, nafas spontan adekuat, refleks laringeal (+) RANDOMISASI KELOMPOK ( P ) KELOMPOK ( S ) Petidin 25 Mg iv NaCl 0,9% iv Ekstubasi 5 menit kemudian Ukur TDD, TDS, TAR, LJ, SaO2 segera pasca ekstubasi dan tiap 5 menit selama 30 menit Menggigil : berat ringannya menggigil, durasi menggigil UJI STATISTIK 19 HASIL PENELITIAN kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit Telah dilakukan penelitian pada 48 orang setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 penderita laki-laki dan perempuan yang dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, (kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus 0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara setiap lima menit selama 30 menit. Pasca intravena dan kelompok P (perlakuan) 24 ekstubasi, penderita mendapatkan injeksi petidin 25 mg 6L/menit dengan menggunakan sungkup secara intra vena yang diberikan setelah muka.Berat ringannya menggigil dicatat, dan nafas spontan adekuat dan refleks laringeal dinilai pula lamanya menggigil. penderita diberikan oksigen Tabel 1.Karakteristik kedua kelompok perlakuan. Variabel Umur (tahun) Kelompok P Kelompok S ( n = 24 ) ( n = 24 ) 27,92 ± 9,03 28,83 ± 8,14 p 0,242* Jenis kelamin Perempuan 14 13 0,295** Laki-laki 10 11 Berat badan (kg) 58,08 ± 5,66 59,75 ± 4,63 0,473* Tinggi badan (cm) 152,13 ± 8,36 154,13 ± 6,76 0,782* ASA I 10 11 0,385** ASA II 14 13 Status fisik Sumber : data Primer * = uji statistik menggunakan t-test ** = uji statistik menggunakan Mann Whitney Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda Tabel 2.Jenis operasi dan lama operasi. Sumber : data Primer * = uji statistik menggunakan t-test ** = uji statistik menggunakan Mann Whitney Untuk karakteristik penderita dan distribusi antara kedua kelompok tidak berbeda. 20 Tabel 3. Data karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi. Variabel Kelompok P Kelompok S p ( n = 24 ) ( n = 24 ) TD Diastolik 73,13 ± 9,42 74,73 ± 9,23 0,569 TD Sistolik 122,92 ± 11,12 122,03 ± 9,90 0,457 TAR 79,38 ± 11,55 78,64 ± 8,41 0,387 Laju jantung 73,92 ± 6,89 75,48 ± 1,53 0,129 Saturasi O2 98,58 ± 1,21 98,09 ± 1,27 0,642 Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata. Sumber : data Primer uji statistik menggunakan t-test Untuk karakteristik klinis penderita lima menit sebelum induksi antara sebelum induksi kedua perlakuan kelompok tidak berbeda. Atas dasar hasil pada dengan kedua hasil kelompok menunjukkan perbedaan tidak bermakna, maka kedua uji statistik yang kelompok dapat dikatakan homogen dan dilakukan pada data dasar subyek penelitian semuanya layak untuk diperbandingkan. dan karakteristik klinis penderita lima menit Tabel 4.Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO2 kedua kelompok perlakuan. Variabel Kelompok P Kelompok S p* 75,13 ± 9,42 75,42 ± 4,64 72,29 ± 6,42 71,25 ± 4,48 71,04 ± 4,66 70,42 ± 4,40 73,13 ± 8,18 75,00 ± 8,08 73,33 ± 8,93 76,88 ± 5,48 71,88 ± 5,28 70,83 ± 4,58 72,50 ± 4,66 72,71 ± 4,42 75,21 ± 5,61 73,13± 4,85 0,936 0,455 0,838 0,818 0,429 0,200 0,362 0,371 122,92±11,12 124,58±8,33 127,71±11,03 127,08±12,85 125,21±11,56 124,79±9,61 123,54±9,15 125,00±9,78 123,33±10,90 132,92 ± 6,06 126,25 ± 9,58 123,75 ± 8,50 123,75 ± 9,00 123,54 ± 9,03 124,79 ± 9,03 126,04 ± 8,60 0,896 0,001 0,615 0,269 0,629 0,650 0,651 0,710 Waktu TD Diastolik 5‟ pra induksi 0‟ pasca ekstubasi 5‟ pasca ekstubasi 10‟ pasca ekstubasi 15‟ pasca ekstubasi 20‟ pasca ekstubasi 25‟ pasca ekstubasi 30‟ pasca ekstubasi TD Sistolik 5‟ pra induksi 0‟ pasca ekstubasi 5‟ pasca ekstubasi 10‟ pasca ekstubasi 15‟ pasca ekstubasi 20‟ pasca ekstubasi 25‟ pasca ekstubasi 30‟ pasca ekstubasi 21 Tabel 4. Perbandingan TDS, TDD, TAR, LJ dan SaO2 kedua kelompok perlakuan(lanjutan) Variabel Kelompok P Kelompok S p* 79,38 ± 11,55 83,96 ± 11,79 83,96 ± 9,67 85,21 ± 12,81 84,79 ± 12,20 80,42 ± 6,90 79,38 ± 8,12 84,17 ± 11,77 76,46 ± 9,15 88,13 ± 4,62 86,04 ± 11,89 86,04 ± 11,70 85,63 ± 10,14 78,33 ± 6,37 78,54 ± 6,51 81,25 ± 5,76 0,303 0,109 0,460 0,791 0,781 0,288 0,718 0,253 73,92 ± 6,89 78,21 ± 5,39 80,67 ± 7,19 79,63 ± 7,28 80,96 ± 7,99 80,25 ± 7,74 79,71 ± 7,11 79,08 ± 8,02 76,58 ± 6,45 88,25 ± 11,45 78,42 ± 8,54 81,71 ± 10,17 81,38 ± 8,38 77,63 ± 9,72 80,04 ± 11,13 79,33 ± 9,38 0,322 0,002 0,416 0,458 0,869 0,331 0,904 0,927 98,58 ± 1,21 98,46 ± 0,98 98,33 ± 1,01 98,58 ± 1,21 98,58 ± 1,21 98,21 ± 0,83 98,67 ± 1,05 98,58 ± 1,21 98,79 ± 1,02 98,58 ± 1,06 98,13 ± 0,95 98,67 ± 1,05 98,21 ± 0,83 98,58 ± 1,21 98,21 ± 0,83 98,21 ± 0,83 0,513 0,678 0,473 0,783 0,217 0,217 0,133 0,217 Waktu TAR 5‟ pra induksi 0‟ pasca ekstubasi 5‟ pasca ekstubasi 10‟ pasca ekstubasi 15‟ pasca ekstubasi 20‟ pasca ekstubasi 25‟ pasca ekstubasi 30‟ pasca ekstubasi Laju jantung 5‟ pra induksi 0‟ pasca ekstubasi 5‟ pasca ekstubasi 10‟ pasca ekstubasi 15‟ pasca ekstubasi 20‟ pasca ekstubasi 25‟ pasca ekstubasi 30‟ pasca ekstubasi Saturasi O2 5‟ pra induksi 0‟ pasca ekstubasi 5‟ pasca ekstubasi 10‟ pasca ekstubasi 15‟ pasca ekstubasi 20‟ pasca ekstubasi 25‟ pasca ekstubasi 30‟ pasca ekstubasi Keterangan : TAR = tekanan arteri rerata. Sumber : data Primer uji statistik menggunakan t-test Dari Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa tekanan arteri rerata dan laju jantung pada pada terdapat perbedaan bermakna tekanan saat setelah ekstubasi antara kelompok darah petidin dengan kelompok salin (p < 0,05). diastolik, tekanan darah sistolik, Tabel 5. Perbedaan suhu tubuh ketiga kelompok perlakuan Suhu tubuh Kelompok P Kelompok S ( n = 24 ) ( n = 24 ) Segera setelah intubasi 36,88 ± 0,89 36,73 ± 0,84 0,471 Akhir operasi 35,56 ± 0,44 34,70 ± 0,80 0,568 15 menit pasca ekstubasi 36,17 ± 0,42 35,08 ± 0,41 0,408 22 p Dari Tabel 5 diatas tidak didapatkan kelompok salin pada akhir operasi dan 15 perbedaan suhu tubuh yang bermakna pada kelompok ketamin dibandingkan menit pasca ekstubasi (p > 0,05). dengan Tabel 6.Kejadian, derajat dan durasi menggigil ketiga kelompok perlakuan. Variabel Kejadian menggigil Derajat menggigil 0 1 2 3 4 Durasi menggigil Kelompok P ( n = 24 ) Kelompok S ( n = 24 ) p 2 13 0,007 19 4 1 91,00 ± 10,15 11 3 6 2 2 95,00 ± 3,69 0,026 Dari Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa (p < 0,05). 0,296 Untuk durasi menggigil kejadian menggigil dan derajat menggigil menunjukkan hasil berbeda tidak bermakna pada kelompok petidinn dan kelompok salin untuk kedua kelompok perlakuan (p > 0,05). menunjukkan hasil berbeda yang bermakna Tabel 7.Efek samping pemberian obat pada ketiga kelompok perlakuan. Efek Samping Kelompok M (n = 24) Kelompok S (n =24) Pruritus 0 0 Mual Depresi nafas dan sedasi 5 2 0 0 Dari Tabel 7 diatas terlihat bahwa kelompok terdapat perbedaan yang bermakna pada efek samping obat yang timbul p 0,006 0,002 Petidin dibandingkan pada kelompok salin (p < 0,05). pada PEMBAHASAN penderita mendapatkan petidin 25 mg secara Telah dilakukan penelitian pada 48 orang intra vena yang diberikan setelah nafas penderita laki-laki dan perempuan yang spontan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok S kembali ada. Ekstubasi dilakukan 5 menit (kontrol) 24 penderita mendapat injeksi NaCl setelah perlakuan. TDS, TDD, TAR, LJ, SaO2 0,9% sebanyak 2,5 cc yang diberikan secara dan suhu tubuh diukur dan dicatat segera intravena dan kelompok P (perlakuan) 24 setelah dilakukan ekstubasi. TDS, TDD, 23 adekuat dan refleks laringeal TAR, LJ dan SaO2 diukur terus menerus salin.Pada penelitian ini, durasi menggigil setiap lima menit selama 30 menit. Pasca pada kelompok salin terjadi dalam waktu ekstubasi, oksigen hampir sama jika dibandingkan dengan 6L/menit dengan menggunakan sungkup kelompok petidin. Hal ini dikarenakan setelah muka.Berat ringannya menggigil dicatat, dan terjadi menggigil, pada penderita langsung dinilai pula lamanya menggigil. diberikan penderita diberikan Dari data karakteristik penderita yang intervensi berupa pemberian meperidin dosis 25 mg untuk terapi menggigil meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, yang tinggi badan, jenis operasi, lama operasi dan penderita yang mengalami menggigil dengan status fisik penderita serta karakteristik klinis derajat penderita lima menit sebelum induksi tidak menggigil derajat 1 tidak diberikan intervensi didapatkan perbedaan yang bermakna dari pemberian meperidin. Oleh sebab itu durasi kedua menggigil kelompok perlakuan. Dengan terjadi, 2, terutama 3 atau pada 4. diberikan Untuk pada penderita kelompok kontrol demikian dapat dikatakan homogen dan berlangsung dalam waktu hampir sama. Hal layak untuk diperbandingkan. ini menunjukkan bahwa pemberian petidin Hasil pengukuran tekanan darah sistolik cukup efektif dalam mengurangi kejadian dan laju jantung segera setelah ekstubasi menggigil pasca anestesi umum, selain menunjukkan perbedaan bermakna antara untuk mengurangi terjadinya nyeri pasca kelompok pembedahan. petidin dengan kelompok 24 20 16 12 8 4 0 MEPERIDIN Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 SALIN Derajat 3 Derajat 4 Grafik 1. Perbandingan kejadian dan derajat menggigil dari kedua kelompok perlakukan Pada penelitian ini menunjukkan efek samping obat yang timbul akibat pemberian 24 meperidin lebih tinggi pemberian salin.Tidak dibandingkan ditemukan efek samping pruritus perlakuan.Pada di kedua kelompok kelompok kejadian depresi nafas.Hal ini menunjukkan meperidin, berbeda kelompok terdapat 5 pasien mengalami kejadian mual dan 2 orang pasien yang bermakna jika salin dibandingkan (Grafik 2). mengalami 8 6 4 2 0 MEPERIDIN Pruritus Mual SALIN Depresi nafas Grafik 2. Efek samping obat pada kedua kelompok perlakuan KESIMPULAN 2. Petidin mempunyai efek samping obat 1. Petidin mempunyai efektifitas yang baik yaitu depresi nafas, mual yang lebih dalam mencegah terjadinya menggigil tinggi jika dibandingkan salin. pasca anestesi umum. DAFTAR PUSTAKA 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Post anesthesia care. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology. 4thed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Edition, 2006 : 169 – 72. 2. Tsai YC, Chu KS. Anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288 – 92. 3. Schawarzkopt KR, Hoft H, Hartman M, Fritz HG. Treatment of postanesthetic shivering. Anesth Analg 2001 ; 95:257 – 60. 4. Piper Sn, Maleck WH, Bolt J, Suttner SW, Schmidt CC, Reich DGP. Preventing postanesthetic shivering. Anesth Analg 2000 ; 90:954 – 7. 5. Bigatella L. The post anesthesia care unit. In : Davidson JK, Eckhart WT, 6. 7. 8. 9. 10. 25 Perese DA, eds. Cinical anesthesia procedures of the massachusetts general hospital, 4th ed. Boston : Little Broun and Co, 1993 : 527 – 43. Horn EP. Physostigmin prevents post anesthetic shivering as does meperidine or clonidine. Anesthesiology, 1998 ; 88 : 108 – 13. Wang JJ, Ho ST, Lu SC, Liu YC. Treating postanesthetic shivering. Anesth Analg 1999 ; 88:686 – 9. Behringer EC. Postanesthesia care. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : 438-9. De Witte J., Sessler. D. Perioperative shivering: Physiology and Pharmacology. American Society of Anesthesiologists 2002; 96 : 467 – 84. Rosa G, Pinto G, Orsi P. Control of post anesthetic shivering. Acta 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Anaesthesiologica Scandinavia 1995 ; 39 (1):90–5. Chan AMH, Ng KFJ, Tong EWN, Jan GSK. Control of shivering under general anesthesia. Can J Anesth 1999; 46: 253 – 8. Mathews S., Varghese PK,. Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2000 ; 57 : 387 – 95. Bhatnagar S., Kannan TR., Panigrahi M. Pethidine for Post operative shivering. Anaesthesia and Intensive Care 2002 ; 32 : 294 – 305. Thaib MR, Harjanto E, George YWH. Comparative study of the effectiveness of pethidine for prevention of post anesthtetic shivering in general anesthesia. Asean Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Journal 1999 ; 3 :108 – 15. Mathews S., Al Mulia A., Varghese PK, Radim K, Mumtaz S. Pethidine for Postanesthetic shivering. Anaesthesia 2002;65 : 578 – 83. Kramer TH. Opioids in anesthesia practice. In : Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to anesthesia. Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1997 : 100. Stoelting RK. Opioid agonist and antagonist. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : 82 – 4. Kranke. P, Eberhart. H.L. Pharmacological treatment of 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26 perioperative shivering. Anesth. Analg. 2002; 94: 453 – 60. Candido KD, Collins VJ. Antagonist to narcortics. In : Collins VJ (ed). Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore : William & Wilkins, 1996 : 582 –3. Stoelting RK. Alpha and beta adrenergic receptor antagonists. In : Stoelting RK. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 3rd ed. Philadelphia : JB Lippincott Company 1999 : 294 – 305. Akinci. B, Basgul. E, Aypar. U. Pharmacological modulation of shivering.Br. J. Anaesth. 1997: 613 – 7. Miller.R.D. Anesthesia. 6th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2005. 240 – 4 Harun SR, Putra ST, Wiharta AS, Chair I. Uji klinis. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 144 – 64. Madiyono B, Moeslicjan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 260 - 9. Sastroasmoro S. Pemilihan subyek penelitian. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, eds. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 2. Jakarta : Sagung Seto, 2002 : 67 – 77. HEMATOLOGIC EXAMINATION IN PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENT ADDMITTED IN GENERAL HOSPITAL WEST NUSA TENGGARA BARAT PROVINCE IN 2011- 2012 Prima Belia Fathana, Gede Wira Buanayuda, Novia Andansari Putri Faculty of Medicine, Mataram University ABSTRACT Backgrounds : Indonesia has position in the third rank over the world after India and Cina for Tb cases. Tuberculosis has many changes in hematological examination, which can affect both in plasma component and cell component. This hematological changes could be an valuable direction to diagnose, detection complication and giving specific therapy. Aim: to get description about result of hematological examination in pulmonary tuberculosis who admitted in General Hospital West Nusa Tenggara Barat Province in 2011 – 2012 Methods : This study was descriptive retrospective study with cross sectional approach. This study conduct in January until march 2013. The data collected from hematological laboratory examination in patient’s medical record Result : There were 61 sampel collected in this study. Anemia found in 78.2 % patient with micrositic hipocromi anemia as a dominant (81,48%). Leucosytosis found in 49,2 % patient with differentiation count monocytosis 54,1 % and limfopenia 13,1%. Normal platelet count found in 72,1 % and thrombocytosis found in 24,6 % patients. Conclusion : Microcytic anemia was the most anemia in this study (81,48%). Leukocytosis found in 49,2 % patient and thrombocytosis found in 24,6 %. Key words: Hematology examination, Pulmonary Tb, Micrositic hipocromic anemia ABSTRAK Latar Belakang: Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Tuberculosis dapat menyebabkan berbagai perubahan pada pemeriksaan hematologi, perubahan ini melibatkan komponen plasma dan komponen sel. Perubahan hematologi ini dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya komplikasi dan petunjuk untuk memberikan terapi spesifik Tujuan :untuk mengetahui gambaran hasil pemeriksaan hematologi pada pasien tuberculosis paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun 2011 sampai dengan 2012. Metode :merupakan penellitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan selama periode januari sampai dengan maret 2013 dengan mengambil sampel hasil pemeriksaan hematologi pasien Tb paru yang diperoleh dari rekam medis. Hasil :Didapatkan 61 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan hasil 78.2 % penderita Tb paru mengalami anemia dan berdasarkan morfologinya anemia yang terbanyak diderita ialah Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil penelitian juga didapatkan leukositosis sebanyak 49,2 %, monositosis sebanyak 54,1 % dan pasien yang mengalami limfopenia sebanyak 13.1%. Pada penghitungan trombosit didapatkan kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan trombositosis pada 24.6 % pasien Kesimpulan :anemia mikrositik hipokrom merupakan jenis anemia yang terbanyak dijumpai (81,48%), leukositosis didapatkan pada49,2 % pasien serta trombositosis didapatkan pada 24,6 % pasien Kata Kunci :Pemeriksaan Hematologi, Tb Paru, Anemia Mikrositik Hipokromik LATAR BELAKANG Tuberculosis (TB) merupakan penyakit Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan infeksi yang masih menyebabkan angka jumlah kesakitan serta kematian yang tinggi di Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka dunia. Menurut data dari WHO tahun 2004 mortalitas sebesar 39 orang per 100.000 terdapat 8,8 juta kasus baru tuberculosis penduduk. pada tahun 002 dimna 2,9 juta ialah kasus urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB Basil Tahan Asam (BTA) positif. Diperkirakan setelah angka kematian akibat TB ialah 8000 setiap terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar hari dan 2 sampai denga 3 juta kematian 140.000kematian akibat TB. Di Indonesia setiap tahunnya 1,2,3,4 . terbesar TB Indonesia India dan terdapat masih di Asia menempati China.Setiap tahun Tuberculosis adalah pembunuh nomer satu 27 diantara penyakit menular dan merupakan menjalani rawat inap di RSUP NTB tahun penyebab 2011 sampai dengan tahun 2012. kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia1,2,3,4. Tuberkulosis disebabkan adalah oleh TINJAUAN PUSTAKA penyakit infeksi DEFINISI yang Mycobacterium Tuberculosis adalah penyakit menular tuberculosis complex yang merupakan basil yang berbentuk tuberculosis complex.Sebagian besar kuman batang melengkung, berkapsul. lurus tidak atau berspora Bakteri ini sedikit dan memiliki tidak TB struktur disebabkan menyerang oleh paru, menyerang Mycobacterium tetpi dapat organ juga tubuh dinding sel yang kompleks sehingga bersifat lainnya.Mycobacterium tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan upaya tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat penghilangan zat warna tersebut dengan warna tersebut dengan larutan asam alcohol. tetap tahan larutan asam alcohol terhadap 1,2,3,4 . Sifat Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala fisik/jasmani, radiologis klinik, pemeriksaan dan karena Mycobacterium dinding sel yang pemeriksaan kompleks yang terutama tersusun atas asam bakteriologik, mikolat1,2,5. pemeriksaan penunjang EPIDEMIOLOGI dilakukan pada pasien TB ialah pemeriksaan rutin. terjadi tuberculosismemiliki lainnya.Pemeriksaan tambahan yang sering hematologi ini tuberculosisbersifat Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk Tuberculosis dapat dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium menyebabkan berbagai perubahan pada tuberculosis.Pada tahun 1995, diperkirakan pemeriksaan hematologi,perubahan ini ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta melibatkan komponen komponen sel.Perubahan plasma dan akibat TB diseluruh dunia. ini Diperkirakan 95% kasus TB dan 98 % dapat menjadi petunjuk yang berharga untuk kematian akibat TB di dunia, terjadi pada mendiagnosis, petunjuk terhadap adanya Negara-negara berkembang,.Sekitar 75 % komplikasi dan petunjuk untuk memberikan pasien TB adalah kelompok usia yang paling terapi spesifik, serta dapat mengingatkkan produktif secara ekonomin ( 15 – 30 tahun). klinisi Diperkirakan seorang pasien TB dewasa terhadap hematologi kematian toksisitas obat serta komplikasi dari pengobatan TB5,6. akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai TUJUAN berakibat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran hasil hematologipada pasien paru pada 4 bulan. kehilangan Hal tersebut pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 -30 %1,2,3,4. pemeriksaan Tb dengan yang 28 Di Indonesia, TB merupakan masalah TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di kematian 101.000 orang.Insidensi kasus TB dunia setelah India dan Cina dengan jumlah BTA pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien positif penduduk sekitar 110 per 100.000 1,2,3,4 . (Sumber : PDPI, 2002). MANIFESTASI KLINIS DIAGNOSIS Gejala klinis tuberculosis dapat dibagi Diagnosis tuberculosis paru ditegakkan menjadi dua golongan yaitu gejala local dan berdasarkan gejala klinis, hasil pemeriksaan gejala sistemik, bila organ yang terkena fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis adalah paru maka gejala local ialah gejala dan pemeriksaan penunjang lain. respiratorik (gejala local sesuai dengan a. Gejala klinis : organ yang terlibat).Gejala respiratorik ini Gejala klinis meliputi gejala local sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala respiratorik dan gejala sistemik.Gejala local sampai gejala yang cukup berat tergantung terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu, dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis berdahak, sesak nafas, nyeri dada serta pada saat medical check up. Bila bronkus batuk darah. Untuk gejala sistemik meliputi belum terlibat dalam proses penyakit, maka demam, keringat malam, malaise, penurunan pasien mungkin tidak memiliki gejala batuk. berat badan1,2,3. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi b. Pemeriksaan fisik : bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk local dapat membantu untuk membedakan TB respiartorik berupa batuk lebih dari 3 minggu, dengan penyakit paru lain. Tanda fisik berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak tergantung nafas. Sedangkan gejala sistemik berupa luasnya demam, keringat malam, malaise, nafsu ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan makan struktur menurun mmbuang menurun, dahak.Gejala Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak berat serta badan 1,2,3 . pada kelainan sekitar, lokasi struktur suara kelainan serta paru. Dapat nafas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura 29 didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan hemoptysis berulang dan didapatkan hanya dan suara nafas menurun sampai tidak satu specimen BTA. Pemeriksaan radiologi terdengar. yang menjadi standar ialah foto thorax PA, Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar pemeriksaan limfe, sering di daerah leher, kadang disertai dilakukan atas indikasi yaitu foto lateral, olik adanya scofuloderma 1,2,3 . dan c. Pemeriksaan Laboratorium : Pemeriksaan thoraks, bakteriologis berperan dalam CT radiologi scan. lain Pada tuberculosis yang dapat pemeriksaan dapat foto memberikan gambaran bermacam-macam (multiform)1,2,3. sangat meneggakkan Gambaran diagnosis.Specimen dapat berupa dahak, Radiologis yang dicurigai sebagailesi TBAktif : cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan 1. Bayangan berawan/ nodular di lambung, bronchovascular lavage, urin dan segmen apical dan posterior lobus jaringan biopsy.Pemeriksaan daha dilakukan atas paru dan segmen superior lobus sebanyak bawah. 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu).Bahan pemeriksaan/specimen 2. Kaviti, terutama yang berbentuk lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan cairan dikumpulkan atau ditampung dalam atau nodular pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 3. Bayangan bercak millier. mm atau lebih dengan tutup berulir, tidak 4. Effusi pleura1,2,3. mudah pecah atau bocor.Apabila tersedia 5. Gambaran Radiologis yang dicurigai fasilitas, specimen dapat dibuat sediaan TB inaktif: pada apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke 6. Fibrotik laboratorium. Pemeriksaan dapat dilakukan mikroskopis dan biakan.Pemeriksaan terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas secara dan atau segmen superior lobus bawah. mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan 7. Kalsifikasi Zielhl 8. Penebalan pleura atau Schawrte1,2,3. Nielhsen atau Kinyoun Gabbet, interprestasi pembacaan didasarkan atas e. Pemeriksaan Khusus : skala IUALTD atau bronkhorst.Diagnosis TB Salah satu masalah dalam mendiagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan pasti tuberculosis adalah lamanya waktu asam pada pemeriksaan hapusan sputum yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman secara pemeriksaan tuberculosis secara konvensional. Dalam dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 perkembangan kini ada beberapa tekhnik mikroskopis. Hasl specimen dahak ditemukan BTA (+) 1,2,3 . yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi d. Foto Thoraks : kuman Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, diperlukan lagi. Pada secara lebih cepat.Pemeriksaan tersebut antara lain : foto thoraks tidak beberapa tuberculosis 1. Pemeriksaan Bactec kasus 2. Polymerase chain reaction (PCR) dengan hapusan positif perlu dilakuakan foto 3. Pemeriksaan serologi : thoraks bila : curiga adanya komplikasi, 30 a. Enzym linked Immunosorbent d. Anemia hemolysis autoimun assay (ELISA) b. Uji e. Anemia Immunochromatographic karena tuberculosis (ICT Tuberculosis) c. f. d. Uji peroksidase anti peroksidase lain yang digunakan untuk metabolisme Fibrosis sumsum tulang g. Aplasia sumsum tulang dapat h. hipersplenisme membantu 1.2 Meningkat (polisitemi), disebabkan menegakkan diagnosis tuberculosis karena : ialah : a. Tuberculosis ginjal menyebabkan a. Analisis Cairan Pleura b. Pemeriksaan peningkatan eritropoentin Histopatologi 2. Kelainan Granulosit Jaringan c. gangguan sekunder B6 Mycodot 4. Pemeriksaan sideroblastik 2.1 Menurun disebabkan karena : Pemeriksaan Laju endap darah d. Uji Tuberkulin a. 1,2,3 . Defisiensi karena folat sekunder anoreksi atau peningkatan kebutuhan folat PERUBAHAN HEMATOLOGI PASIEN TB b. Fibrosis sumsum tulang Darah adalah salah satu cairan tubuh c. Aplasia sumsum tulang yang beredar dalam system pembuluh darah d. Infiltrasi yang tertutup yang tersusun atas plasma dan amyloid sumsum tulang sel. Volume darah umumnya 6 – 8 % dari e. Infeksi kronik berat badan, dipengaruhioleh factor umur, f. hipersplenisme status kesehatan, makanan, ukuran tubuh, laktasi, derajat aktivitas dan lingkungan 2.2 Meningkat disebabkan karena : 5,6,7,8 . a. Respon inflamasi Tuberkulosis dapat menimbulkan kelainan hematologi, maupun baik sel-sel komponen 3. 3.1 Menurun disebabkan karena : plasma.Kelainan- a. Mekanisme immunologis kompleks.Bermacam-macam yang Kelainan Trombosit hematopesis kelainan tersebut sangat bervariasi dan hematologi dapat b. Koagulasi kelainan terjadi intravaskuler diseminata pada c. Fibrosis sumsum tulang tuberculosis adalah : d. Aplasia sumsum tulang 1. e. hipersplenisme Kelainan Eritrosit 1.1 Menurun (anemi), disebabkan 3.2 Meningkat disebabkan karena : karena: a. Reaksi fase akut a. Anemi penyakit kronis 4. Kelainan Limfosit b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia 4.1 Menurun disebabkan karena : atau a. Infeksi tuberkulosis peningkatan pemakaian folat c. pada 4.2 Meningkat disebabkan karena : a. Respon inflamasi.5,6,7,8 Defisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum 31 3. Pasien TB paru yang memiliki hasil METODOLOGI PENELITIAN pemeriksaan hematologi rutin : Desain Penelitian : a. Kadar Hemoglobin (HB) Penelitian ini merupakan suatu studi b. Jumlah Leukosit Total observasional dengan rancangan deskriptif c. Jumlah Platelet retrospektif. Pengambilan data dilakukan d. Kadar Hematocrit hanya satu kali sehingga menggunakan e. Jumlah Eritrosit pendekatan cross sectional. f. MCV Tempat dan Waktu Penelitian g. MCH h. MCHC dengan rentang waktu penelitian 3 bulan i. Jumlah Limfosit yaitu antara periode bulan januari sampai j. Jumlah Monosit dengan maret2013. k. Jumlah Granulosit Penelitian dilakukan di RSUP Mataram Populasi : Kriteria Eksklusi Populasi penelitian ini dibatasi oleh Kriteria Eksklusi pada penelitian ini ialah : tempat dan waktu (populasi terjangkau) yaitu semua pasien tuberculosis paru 1. yang januari 2011 sampai yang mengalami TB ekstrapulmoner menjalani rawat inap di RSUP mataram periode Pasien 2. dengan Pasien TB anak (Usia dibawah 13 Tahun) desember 2012. 3. TB pada wanita hamil Sampel Penelitian : 4. TB pada pasien HIV/AIDS 5. Tidak memiliki hasil pemeriksaan Sampel pada penelitian ini ialah hasil pemeriksaan hematologi rutin pasien hematologi rutin tuberculosis paru yang menjalani rawat inap Cara di RSUP Mataram periode januari 2011 Pengolahan Data : sampai dengan desember 2012 yang Pengumpulan sampel dan Data dikumpulkan dari hasil pemeriksaan diperoleh dari rekam medis pasien. hematologi rutin pasien TB yang diperoleh Kriteria Inklusi dari Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah : dikumpulkan diolah secara deskriptif dengan 1. Pasien menggunakan TB menderita sputum Paru TB BTA yang melalui SPS terdiagnosis pemeriksaan dan bila rekam medis pasien. tabel Data yang frekuensi dan persentase. Definisi Operasional hasil pemeriksaan sputum BTA SPS negative 1. Kadar Normal Hemoglobin ialah 13 dapat ditegakkan melalui pemeriksaan sampai dengan 18 gr/dl bagi pria dan 12 – Rontgen Thoraks positif menunjukkan 16 gr/dl bagi wanita. Untuk keperluan gambaran TB aktif penelitian lapangan maka WHO 2. Pasien TB paru yang menjalani rawat menetapkan nilai batas atau cut off point inap di RSUP Mataram selama bulan anemia adalah kurang dari 13 g/dl untuk januari laki-laki dewasa, kurang dari 12 g/dl untuk 2011 sampai dengan bulan desember 2012. 32 wanita dewasa tidak hamil dan kurang dari 11 g/dl untuk wanita hamil 6. Kadar normal limfosit ialah 800 sampai 5,9,10 dengan 4000 sel/mm3. Bila kurang dari . 2. Kadar normal MCV adalah 80 sampai 800 sel/mm3 disebut dengan dengan 100 fl, bila kurang dari 80 fl limfositopenia dan bila lebih dari 4000 menunjukkan mikrositik dan bila lebih dari sel/mm3 disebut dengan limfositosis5,9. 100 fl menunjukkan makrositik5,9. 7. Kadar normal monosit ialah 100 sampai 3. Kadar normal MCH ialah 28 sampai 34 dengan 800 sel/mm3. Bila kurang dari 100 Pg, bila kurang dari 28 menunjukkan sel/mm3 disebut dengan monositopenia hipokromik dan bila lebih dari 34 pg dan bila lebih dari 800 sel/mm3 disebut menunjukkan hiperkromik 5,9. dengan monositosis 5,9. 4. Kadar normal MCHC adalah 32 sampai dengan 36 % 8. Kadar normal trombosit 5,9 ialah 150.000 3 . sampai dengan 450.000 sel/mm . Bila 3200 kurang dari 150.000 sel/mm3 disebut sampai dengan 10.000 sel/mm3. Bila dengan trombositopenia dan bila lebih 5. Kadar normal leukosit adalah 3 kurang dari 3200 sel/mm disebut dengan dari 450.000 sel/mm3 disebut dengan leukopenia dan bila lebih dari 10.000 trombositosis 3 sel/mm disebut dengan leukositosis 5,9 . 5,9 . HASIL PENELITIAN Didapatkan 61 sampel yang memenuhi Periode 2011 sampai dengan 2012. Dari kriteria inklusi dari 105 penderita TB paru sampel tersebut didapatkan hasil sebagai yang menjalani rawat iniap di RSUP NTP berikut : Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hemoglobin KETERANGAN RATA-RATA (MEAN) NILAI TERTINGGI NILAI TERENDAH Hemoglobin (Hb) 10.93 gr/dl 18.80 gr/dl 3.50 gr/dl MCV 80.57 fl 94.50 fl 62.30 fl MCH 25.29 pg 31.40 pg 14.20 pg MCHC 31.19 % 37.80 % 22.70 % 33 Tabel 2. Jenis Anemia KETERANGAN JUMLAH SAMPEL PERSENTASE (ORANG) (%) STATUS ANEMIA : Tidak Anemia 13 21.3 Anemia 48 78.7 Total Sampel 61 100 % Normositik Normokromik 8 19.52 Mikrositik Hipokromik 33 81.48 Makrositik Hipokromik 0 0 Total Sampel 41 100 JENIS ANEMIA : Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Leukosit KETERANGAN JUMLAH SAMPEL PERSENTASE (%) HITUNG JUMLAH LEUKOSIT : Leukosit Normal 30 49,2 Leukopenia 1 0 Leukositosis 30 49.2 3 Rerata (mean) 11492 sel/mm Jumlah leukosit Tertinggi 51400 sel/mm3 Jumlah Leukosit Terendah 1080 sel/mm3 HITUNG JENIS LEUKOSIT Hitung Jenis Limfosit Limfosit Normal 48 78.7 Limfositosis 5 8.2 Limfopenia 8 13.1 3 Rerata (Mean) 2489 sel/mm Nilai Terendah 330 sel/mm3 Nilai Tertinggi 21400 sel/mm3 Hitung Jenis Monosit Monosit Normal 26 42.6 Monositosis 33 54.1 Monositopenia 2 3.3 3 Rerata 1276 sel/mm 3 Nilai Terendah 38 sel/mm Nilai Tertinggi 9400 sel/mm3 34 TABEL. 4. Hasil Pemeriksaan Trombosit KETERANGAN JUMLAH PERSENTASE SAMPEL (orang) (%) Trombosit Normal 44 72.1 % Trombositopenia 2 3.3 Trombositosis 15 24.6 Total Sampel 61 HITUNG JUMLAH TROMBOSIT 100 3 Rerata (mean) 373706 sel/mm Kadar Trombosit Tertinggi 910000 sel/mm3 Kadar Trombosit Terendah 49700 sel/mm3 PEMBAHASAN Penyakit Gambaran merupakan gambaran yang dijumpai bagi hasil anemia defisiensi besi, thalassemia mayor, pemeriksaan hematologi. Pada penelitian ini anemia akibat penyakit kronik dan anemia perubahana aspek hematologi yang diteliti sideroblastik.Namun dibatasi pada kadar hemoglobin (Hb) dan hipokromik ini paling umum dijumpai pada jenis anemia yang ditimbulkan, leukosit anemia defisiensi besi.Pada penderita Tb termasuk didalamnya hitung jenis leukosit terjadi gangguan metabolisme besi yang serta trombosit. disebabkan karena adanya pengikatan zat yang (TB) hipokromik memiliki pengaruh tuberculosis mikrositik besar pada Prevalensi anemia pada penelitian ini gambaran mikrositik besi oleh laktoferin yang dihasilkan oleh cukup yaitu 78,7 % hal serupa juga dijumpai granulosit pada penelitian-penelitian lainnya. Hal yang kemudian terjadi sekuestrasi zat besi di berbeda Limpa. dari beberapa penelitian sebelumnya ialah jenis anemia terbanyak Hasil akibat inflamasi pemeriksaan sehingga leukosit yang yang dijumpai yaitu mikrositik hipokromik didapatkan pada penelitian ini sama dengan (81,48%) yang didapatkan pada penelitian sebelumnya diikuti anemia normositik normokromik (19,52%). Pada penelitian yang yaitu dilakukan oleh Oehadian (2003), Rahman penelitian ini didapatkan penderita TB yang (2010) dan Krishnamurti didapatkan bahwa mengalami jenis anemia terbanyak yang dijumpai pada Terjadinya leuositosis terutama disebabkan pasien tuberculosis ialah anemia karena oleh penyakit kronis dengan gambaran normositik (neutrofillia). Neutrofillia ini pada umumnya normokromik hal ini disebabkan karena berhubungan dengan reeaksi immunologis deprsei menurunnya dengan mediator sel limfosit T, dimana sensitifitas terhadap eritropoetin, depresi kejadian ini dapat terjadi akibat penyebaran produksi masa local akut dari infeksi TB pada meningitis TB hidup eritrosit serta gangguan metabolism atau dapat terjadi karena pecahnya focus besi . perkejuan pada bronkus atau rongga pleura. eritropoesis eritropetin, dan pemendekan 35 dapat terjadi leukositosis. leukositosis peningkatan ialah jumlah Pada 49.2%. neutrofil Pada penelitian didapatkan respon dari terjadinya perdarahan akut, monositosis sebanyak 54.1%.dari penelitian dimana pada pasien Tb perdarahan yang terdahulu Tb sering terjadi ialah Hemoptysis.Penambahan dari jumlah trombosit pada peredaran darah pada monositosis.Monosit memiliki peranan dalam pasien hemoptysis merupakan suatu respon respon untuk menghentikan perdarahan. telah merupakan ini diketahui penyebab imun utama terhadap tuberculosis.Sebagian Mycobacterium bahwa Mycobacterium dari fosfolipid tuberculosis mengalami KESIMPULAN degradasi dalam monosit dan makrofag yang Pada penelitian didapatkan 78.2 % (48 menyebabkan transformasi sel-sel tersebut sampel) penderita menjadi sel epiteloid.Monosit merupakan sel anemia, dan berdasarkan utama dalam pembentukan tuberkel.Aktivitas anemia yang terbanyak pembentukan tuberkel ini dapat tergambar Mikrositik hipokromik ( 81,48 %). Pada hasil dengan adanya monositosis dalam darah. penelitian juga Tb paru mengalami morfologinya diderita didapatkan ialah leukositosis Trombositosis dijumpai sebanyak 25.6 % sebanyak 49,2 % dengan hitung jenis pada penelitian ini. Trombositosis merupakan leukosit didapatkan peningkatan monosit respon terhadap inflamasidimana respon (monositosis) sebanyak 54,1 % dan jumlah inflamasi ini menyebabkan produksi platelet limfosit normal sebanyak 78.7 % dan yang stimulating mengalami factor menstimulasi yang berperan pengeluaran tombosit dalam limfopenia sebanyak 13.1%. dari Pada penghitungan trombosit didapatkan sumsum tulang menuju peredaran darah. kadar trombosit normal sebanyak 72.1% dan Selain itu trombositosis dapat merupakan trombositosis DAFTAR PUSTAKA 1. Hasan H. Tuberkulosis Paru. Dalam : Alsagaff H, Wibisono M. J, dan Winariani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Gramik FK UNAIR; 2010. 2. Anonim. Tuberkulosis “Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia”. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : http://www.klikpdpi.com/konsesus/tb/tb.p df 3. Tuberkulosis dan Permasalahannya. Dalam : Aditama T. Y, Kamso S, Basri C, Surya A, editor. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006. 4. Epidemiologi TB di Indonesia. Dalam : Dyah Erti Mustikawati, Asik Surya, editor. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010 – 2014. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral 5. 6. 7. 8. 36 pada 24.6 % pasien Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Oehadian A. Aspek Hematologi Tuberkulosis. 2003. Pustaka UNPAD. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari :http://pustaka.unpad.ac.id/archives/3302 3/. Sahju, P. Rahman. “Hematology Profile in Pulmonary Tuberculosis”. 2010. Dikutip tanggal 5 Jaunari 2013. Diunduh dari : http://hdl.handle.net/123456789/5632 Sinha, K.N.P, Krishnamurti, J.C. Chatterji. “Disseminated Tuberculosis and Abnormal Haemopoeitic Responses”. India Jurnal of Tuberculosis. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201977/J uly%201977.pdf#page=7 Muhammad Obaid Al – muhammadi, Hayder Gali Al-Shammery.” Studying Some Haemotological Changes in Patients with Pulmonary Tuberculosis in Babylon Governorate”.2011. Dikutip tanggal 5 Januari 2013. Diunduh dari : www.iasj.net/iasj 9. Anonim. Pedoman Interprestasi Data Klinik. Departemen Kesehatan Repubik Indonesia. Dikutip tanggal 5 januari 2013. Diunduh dari : www.perpustakaan.depkes.go.id 10. Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata B. K, dan Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 37 Tinjauan Pustaka KAJIAN KOMPREHENSIP TENTANG BENDA ASING DALAM HIDUNG Hamsu Kadriyan Bagian THT FK Unram/RSUP NTB Abstrak Latar belakang.Benda asing dalam hidung merupakan kasus yang dapat ditangani oleh dokter umum sampai tuntas berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia. Angka kejadiannya cukup sering dan terutama mengenai anak usia 2-5 tahun. Tujuan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran komprehensip tentang benda asing di dalam hidung sehingga dapat menjadi rujukan dalam penatalaksanaan kasus-kasus benda asing di dalam hidung. Benda asing dihidung dapat berupa benda eksogen maupun benda endogen.Benda eksogen dapat berupa benda organik seperti kacang-kacangan, bunga, lintah dan lain-lain, sedangkan benda anorganik seperti batu, manik-manik, potongan mainan dan lain-lain. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, krusta, cairan amnion dan lain lain. Dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat untuk menentukan jenis dan lokasi benda asing, kalau perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan dengan endoskopi atau pemeriksaan radiologis untuk memastikannya.Penatalaksanaan benda asing dalam hidung sangat tergantung pada jenis benda asingnya, ketersediaan peralatan dan keterampilan serta kenyamanan dokter untuk mengurangi resiko komplikasi. Simpulan.Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus benda asing merupakan kasus sederhana tetapi diperlukan keterampilan untuk mengeluarkannya dengan resiko komplikasi yang minimal. Kata kunci : Benda asing, kavum nasi, dokter Astract Background.Foriegn bodies in nasal cavity is a freuquent case, especially in children (2-5 years). According to standard competency of Indonesian docter‟s, a general practicioners should managing this cases completely. Aims of this review is to give comprehensive review about foreign bodies in nasal cavity, so it can be used as a refference. Foreign bodies in nasal cavity can be originated form endogen material as well as exogen material. Exogen material consist of organic material such as nuts, flower, leech, etc, on the other hand, anorganic material such as stone, pearl, part of toys, etc. Endogen material such as viscous mucous, crust, amnion liquid, etc. To diagnosed this case, it‟s necessary to take a history and perform the accurate phisical examination to determine the type and the location of foriegn bodies. In some cases, additional examination such as endoscopic and x-ray investigation are needed. In managing foriegn bodies in nasal cavities, it defend on type of foreign bodies, the equipment, skill and amenity of physician to minimized the complication. Conclusion.Foreigne bodies in nasal cavity is a simple but a skillfull cases, so physician should take care to this cases to minimized the complication. Key words : Foreign bodies, nasal cavity, physician Pendahuluan Benda asing jalan nafas merupakan dokter yang melakukan tindakan tersebut. masalah klinis yang memiliki tantangan Berdasarkan tersendiri, meskipun beberapa tahun terakhir Indonesia tahun 2006, kasus benda asing di terjadi kemajuan dalam teknik anestesi dan hidung merupakan kompetensi dokter umum instrumentasi.Ekstraksi benda asing jalan sampai level 4 (dokter mampu melakukan nafas, khususnya dalam hidung bukanlah penegakan diagnosis dan mampu melakukan prosedur penatalaksanan sampai tuntas).1 yang mudah sehingga tetap memerlukan keterampilan serta pengalaman 38 standar kompetensi dokter Angka kejadian benda asing Benda asing dalam hidung dalam hidung cukup sering ditemukan di poliklinik Keberadaan benda asing dalam hidung 2 paling sering ditemukan pada anak-anak menemukan benda asing dalam hidung (usia 2-5 tahun). Benda asing umumnya merupakan kasus terbanyak kedua dengan ditemukan pada bagian anterior vestibulum persentase 24,9% setelah benda asing di atau pada meatus inferior di sepanjang dasar telinga sebesar 68,6% dari total 1037 kasus hidung (gambar 1).4,5 atau praktek swasta. Endican S dkk (2006) benda asing di saluran nafas. Das pada Benda asing dalam suatu organ adalah tahun 1984 menemukan 0,3 % kasus benda benda yang berasalah dari luar tubuh atau asing dari di hidung dibandingkan seluruh dalam tubuh sendiri, yang dalam kunjungan di salah satu rumah sakit di India. keadaan normal tidak ada dalam organ Kasus paling banyak ditemukan pada usia 2- tersebut.Benda asing yang berasal dari luar 5 tahun. 3 tubuh Benda asing yang masuk ke dalam hidung cukup bervariasi, baik disebut benda asing eksogen, sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing endogen.4,6 endogen maupun eksogen, dapat berupa benda hidup Benda asing eksogen dapat berupa maupun benda mati.Masing-masing memiliki benda padat, cair atau gas.Benda asing ciri khas dan tindakan yang dilakukan juga padat dapat dibagi lagi menjadi benda padat sangat tergantung dari jenis benda asing organik dan anorganik.Benda padat organik tersebut. Setiap benda asing yang masuk ke yang dalam hidung tidak boleh dibiarkan menetap kacangan, bunga, lintah dan lain-lain.Benda karena dapat menimbulkan nekrosis atau padat anorganik yang sering ditemukan infeksi kemungkinan anatara lain paku, jarum, peniti, batu, manik- terjadinya aspirasi ke dalam saluran nafas manik, potongan busa, baterai dan lain-lain. sekunder bagian bawah. serta 4 sering ditemukan seperti kacang- Benda asing cair biasanya bersifat iritatif seperti zat kimia.4,6 Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pembahasan tentang hal tersebut secara Benda asing endogen yang sering lebih mendetail untuk mengurangi risiko ditemukan antara lain sekret kental, darah buruk akibat bendas asing. atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan amnion dan cairan amnion mekonium. Mekonium dan dapat masuk ke dalam saluran nafas bayi saat proses persalinan. 39 4,6 Gambar 1. Lokasi tersering benda asing dalam hidung 5 (Sumber : Fischer, JI (2011). Dalam Medscape Reference) Gambaran Klinis dokter dengan keluhan rinorea unilateral Benda asing terutama ditemukan pada dengan atau tanpa adanya obstruksi nasi anak-anak sehingga hal ini menyebabkan unilateral.Rinorea benda asing sulit terdiagnosis sejak awal, mukopurulen tergantung pada adanya infeksi bahkan bisa menetap di dalam hidung sekunder atau tidak.Kadang-kadang sekret sampai bertahun-tahun.Orang tua biasanya bercampur darah bila terjadi luka akibat membawa benda asing tersebut. Gejala lainnya dapat anaknya ke dokter dengan dapat bersifat mukoid, berupa epistaksi, sakit kepala dan epifora.4 keluhan pilek berbau pada salah satu sisi hidung. Tanda ini merupakan gejala khas Pada kasus benda asing dengan bahan pada benda asing dalam hidung pada iritan seperti baterai, seringkali menyebabkan anak. 4,6 nekrosis pada jaringan sekitar hidung. Loh Pada tahap awal, benda asing dalam hidung tidak menunjukkan gejala dkk (2003) menemukan beberapa kasus yang baterai di dalam hidung, gejalanya dapat spesifik.Anak mungkin sering memasukkan berupa krusta, nekrosis luas pada jaringan jari ke dalam hidungnya tapi hal ini tidak hidung dan perforasi septum nasi. disadari sebagai sebuah gejala oleh orang 7 Untuk benda asing organik, keluahan tua pasien.Umumnya pasien datang ke pasien 40 biasanya hidung tersumbat dan rinorea bilateral. Benda asing organik lebih Terdapat berbagai teknik pengeluaran benda sering dan asing dalam hidung.Metode yang dipilih menimbulkan juga gejala sistemik seperti tergantung pada jenis benda asingnya, alat- demam. mengenai orang dewasa 4 alat yang tersedia serta kenyamanan dokter dengan metode yang digunakan. Beberapa Diagnosis langkah harus dilakukan agar benda asing Diagnosis benda asing di dalam hidung dapat dikeluarkan dengan menimbulkan 4,6 dilakukan secara cermat melalui beberapa komplikasi yang minimal. tahapan, a. Perencanaan (pre treatment) antara pemeriksaan lain fisik, anamnesis, pemeriksaan status Perencanaan yang baik dapat lokalis. Bila perlu dilakukan pemeriksaan mengurangi tindakan yang dilakukan secara penunjang berulang, karena tindakan secara berulang seperti pemeriksaan endoskopi dan radiologis. dengan 6 lebih Pada anamnesis akan ditemukan keluhan berisiko menimbulkan komplikasi dibandingkan tindakan yang dilakukan sekali seperti pada gejala klinis di atas. Pada saja.Berdasarkan pemeriksaan fisik umumnya akan ditemukan dilakukan perencanaan agar pengeluaran normal kecuali pada benda asing hidup benda seperti kesempatan lintah atau cacing yang dapat menimbulkan kondisi umum pasien yang agak menurun. dapat tersebut dilakukan pertama.Alat-alat perlu pada yang dibutuhkan perlu diletakkan di meja dokter 6 Pemeriksaan asing hal yang mudah terjangkau, sebaiknya perlu status lokalils sangat juga menyiapkan alat pernafasan darurat menentukan untuk memastikan benda asing untuk di dalam hidung.Untuk pasien anak-anak aspirasi benda asing ke saluran nafas diperlukan bawah. fiksasi yang baik untuk menjaga kemungkinan memudahkan visualisasi kavum nasi.Bila Obat-obat masih topikal dapat memfasilitasi baik pemeriksaan ragu-ragu pemeriksaan dapat dilakukan endoskopi untuk maupun vasokonstriktor terjadinya pengeluaran (dekongestan) benda asing. memvisualisasi dengan lebih baik. Kesulitan Vasokonstriktor topikal dan anestesi topikal muncul dapat diberikan secara bersamaan, misalnya bila ditemukan udem, jaringan granulasi, krusta atau sekret yang telah menyelimuti benda asing tersebut. Pemeriksaan radiologis lidokain 1% ditambah fenilefrin 0,5%. 6,8 Pada pasien anak-anak, fiksasi pasien biasanya sangat penting untuk dilakukan, hal ini digunakan untuk benda asing yang bersifat bertujuan untuk mengurangi gerakan yang logam. untuk tiba-tiba yang dapat menimbulkan risiko adanya perdarahan.Pasien diposisikan duduk tegak Rontgen menentukan juga dilakukan kemungkinan komplikasi ke sinus. 8 dengan kepala sedikit mendongak agar dasar rongga hidung bisa terlihat dengan Penatalaksanaan Penatalaksanaan jelas. Bila pada pasien yang gelisah dan sulit benda asing dalam untuk difiksasi sebaiknya dilakukan bius total. hidung adalah dengan mengeluarkannya. b. Instrumentasi langsung 41 Pengeluaran forsep secara (aligator mekanis dengan atau bayonet) dalam dapat penelitiannya menemukan keberhasilan dengan teknik ini angka sebesar dilakukan untuk mengeluarkan benda asing 64,3% dari 30 pasien yang ikut dalam yang permukaannya dapat digenggam dan penelitian tersebut.9 terletak d. Alat penghisap (suction pump) di bagian anterior rongga hidung.Untuk benda asing yang bulat dan Benda asing yang lembut dan susah licin dapat digunakan alat pengait bulat yang digenggam dengan forsep dapat diekstraksi tidak tajam untuk mengurangi taruma pada dengan jaringan dapat Ujung kanul penghisap harus diletakkan dimodifikasi dari berbagai bahan bila tidak dengan hati-hati pada permukaan benda tersedia asing lalu ditarik perlahan-lahan. Bila ditarik hidung.alat pengait dalam bentuk dimasukkan ini jadi.Alat menelusuri pengait permukaan penggunaan kanula penghisap. atas terlalu cepat biasanya benda asing akan benda asing sampai melewati bagian paling mudah terlepas. Pada benda asing yang belakang benda asing, lalu alat pengait diameternya lebih besar dari nares anterior tersebut dibelokkan ke arah dasar hidung juga sambil menggerakkannnya secara perlahan penghisap. ke bagian anterior sampai benda asingnya e. Kateter balon keluar. c. sulit keluar dengan alat Kateter yang biasa digunakan di bidang Tekanan udara positif urologi seperti foley kateter dapat digunakan Pada orang dewasa atau pasien yang lebih sering kooperatif, pada yang dilakukan diawali dengan melumasi pengeluaran benda asing dapat dilakukan kateter dengan jelly, lalu masukkan ke dalam dengan menutup rongga hidung yang tidak hidung samapi melewati tepi posterior benda ada benda asingnya, lalu dengan mulut asing, tertutup nafas supinasi.Setelah itu, balon dikembangkan dengan kencang.Hal ini dapat membantu dengan udara atau 3-5 ml air dan ditarik pengeluaran benda asing. secara perlahan-lahan bersamaan dengan Pada pasien yang lebih muda atau anak- keluarnya benda asing dari dalam hidung. anak yang tidak kooperatif, metode “parent f. pasien usaha awal untuk mengeluarkan benda asing.Prosedur menghembuskan kiss” dapat diterapkan. Anak di pegang pada posisi senyaman berhadapan dengan mungkin orang di posisikan tidur Lem perekat Metode ini ideal untuk benda asing yang sehingga tua, pasien bulat, lembut dan sulit dipegang dengan lalu forsep.Permukaan benda asing harus kering meletakkan mulut anak persis di depan mulut untuk penolong. udara perekat.Tindakan ini lebih sering berhasil dengan kencang sambil menutup hidung pada benda asing ditelinga dibandingkan yang tidak berisi benda asing sehingga akan benda asing di hidung.Tekniknya adalah terjadi tekanan positif yang kembali ke dengan daerah hidung. Hal ini juga dapat membantu cyanoacrilic pada sebuah aplikator kayu atau pengeluaran benda asing terutama seperti plastik kemudian ditekankan pada asing Penolong meniupkan sekret yang mengental. Purohit dkk (2008) 42 memudahkan menempelnya menempelkan lem lem perekat selama 60 detik kemudian dikeluarkan masuk ke dalam hidung.Benda asing dengan secara perlahan-lahan. kandungan zat kimia seperti baterai berisiko g. Magnet menimbulkan komplikasi lebih berat.Loh dkk Tindakan ini dapat dilakukan untuk (2003) menemukan berbagai komplikasi mengeluarkan benda asing berbentuk logam akibat benda asing baterai di dalam hidung seperti baterai kecil atau mainan anak-anak seperti perforasi septum, timbulnya jaringan yang berasal dari logam. Tindakan ini granulasi dilakukan dengan meletakkan magnet yang Benda asing yang tertinggal dalam waktu kuat di nares anterior sehingga benda asing lama berpotensi menimbulkan sinusitis pada akan bergerak ke luar dan menempel di penderitanya. Hal ini seperti dilaporkan oleh magnet tersebut. Kelesidis pada tahun 2010.8 h. Posterior displacment pada hidung dan epistaksis. 7 Komplikasi akibat tindakan pengambilan Pada kasus-kasus tertentu benda asing benda asing di hidung yang sering dilaporkan dapat terfiksasi di daerah posterior kavum antara lain perdarahan hidung, laserasi nasi.Pada keadaan demikian, pilihan untuk konka dan septum atau terjadi perforasi pada mengeluarkan benda asing ke arah orofaring hidung.6 dapat digunakan, tetapi teknik ini sebaiknya Simpulan dilakukan dengan anestesia umum untuk mencegah terjadinya aspirasi. Kasus-kasus benda asing pada hidung perlu mendapatkan perhatian dari dokter baik Komplikasi dokter umum maupun dokter spesialis.Kasus Komplikasi yang terjadi akibat adanya benda asing merupakan kasus sederhana benda asing di kavum nasi dapat dibagi tetapi menjadi mengeluarkannya dengan resiko komplikasi komplikasi akibat benda asing langsung dan dapat juga disebabkan oleh diperlukan keterampilan untuk yang minimal. tindakan ekstraksinya.Komplikasi langsung sangat tergantung dari jenis material yang Referensi 1. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2006. 2. Endican S, Garap JP, Dubey SP. Ear nose and throat foreigne bodies in Melanesian children: An analysis of 1037 cases. Internat J Ped Otorhinolaryngol 2006;70 (9): 1539-1545 3. Das, SK. Aetiological study of foreigne bodies in ear and nose (a clinical studies). J Laryngol Otol 1984;98(10):989-991 4. Kalan A, Tariq M. Foreign bodies in the nasal cavities: a comprehensive review of aetiology, diagnotic pointers, and therapeutic measures. Postgrad Med J 2000;76:484-487 5. Fischer JI, Dronen SC. Nasal foreign Bodies. Medscape Reference. Update 2011. 6. Davies PH, Benger JR. Foreign bodies in the nose and ear: review of technique for removal in the emergency departemetn. J Accid Emerg Med 2000;17:91-94. 7. Loh WS, Leong JL, Tan HK. Hazardous foreign bodies: complications and management of button batteries in nose. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003;112:379383. 8. Kelesidis T, Osman S, Dinerman H. An unusual foreign body as cause of chronic sinusitis; a case report. J Med Case Reports 2010, 4:157. 9. Purohit N, Ray S, Wilson T, Chawla OP. The „parent‟s kiss‟; an effective way to 43 remove paediatric nasal foriegn bodies. Ann R Coll Surg Engl. 2008 July; 90(5): 420–422. 44 A REVIEW: THE RISK OF IRON DEFICIENCY WITHIN INFANTS WHO ARE EXCLUSIVELY BREAST FED FOR THE FIRST SIX MONTHS: CASES IN DEVELOPED COUNTRIES Rifana Cholidah Faculty of Medicine, Mataram University Abstract This review aims to discuss about the risk of iron deficiency within infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth, especially in developed countries. It is well documented that iron deficiency is one of the most common nutritional disease among babies and young children. This commonly occurs during an increased need of iron supply particularly in the first period of life. The WHO and many health authorities recommend to exclusively breast fed babies for the first six months of their life for the best achievement on growth, health and development, and no adverse outcome on growth have been reported for breastfeeding babies exclusively for six months. However, a lower level of iron has been identified in some developing country settings.There have been few studies specifically to examine the relationship between infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth and the prevalence of iron deficiency in developed countries. Based on the evidence, there are several factors may affect iron stores depletion of babies and toddlers such as dietary intake, socioeconomic, low iron concentration of weaning foods, cow‟s milk consumption and prolonged duration of breastfeeding. Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants who are exclusively breast fed for the first six months after birth. It seems that only infants with unusual low iron stores at birth are at risk of deficiency if breast fed exclusively for six months. Introduction The WHO has recommended for mothers Iron deficiency (ID) is the most common to exclusively breastfeed infants for the first nutritional disorder among infants and young six months of their life for the best optimum children in both developed and developing growth, development and health. Further, the country, particularly in the period of rapid latest WHO systemic review‟s findings advise growth during the first year of life, due to a to breastfeed infants exclusively for six high demand for iron supply for the synthesis months with only breast milk, without other of blood, muscle, and other tissues. In complementary foods or liquids. This has addition, common numerous benefits compared to the 3-4 contributor to many cases in anaemia, months exclusive breastfeeding followed by although some other factors may result in mixed anaemia. Oti-Boateng et al (1998) shows that outcomes on growth have been reported for an estimated more than 25% infants and breastfeeding babies exclusively for six young in month. However, a lower level of iron has developing countries and around 3% infants been identified in some developing country in settings 16. Iron deficiency is children industrialised aged a 6-24 months countries deficiency anaemia (IDA) have iron breast feeding. No detrimental 1,2,4,10,11 . Recommendations about breast feeding Many health authorities suggest to exclusively breastfeed infants for 4-6 months, 45 a consideration to prevent the progress of identified iron deficiency anaemia in healthy full-term as iron deficiency anaemia 4 infants . deficiency and iron 14 . A similar finding was demonstrated by Duncan et al (1985) who conducted a study Prevalence of iron deficiency in breast fed in Arizona, USA, examining iron status on babies infants who were exclusively breast-fed from In some western countries, researchers birth up to the first six months of life. From identified that prolonged breastfed infants this study, among thirty three healthy full- and infants who have early introduction or term babies who were exclusively breast fed, high consumption of cow‟s milk have a higher without any supplemental formula, solid risk of iron deficiency among babies and foods, young children in countries such as Australia, developed iron deficiency anaemia though Canada and the United Kingdom. Grant et al two of 33 infants (7%) indicated iron stores (2007) notes that iron deficiency have been depletion by the indicator of low serum ferritin identified to be prevalent in New Zealand levels. This data demonstrated that babies young children and it varies with ethnicity, exclusively breast fed for the first six months 4 however, not with social deprivation . vitamins, and minerals, none of life are not at increased risk of the iron Vendt (2008) carried out a study to deficiency anaemia or iron depletion during that time 5. investigate the prevalence of iron deficiency and iron deficiency anaemia in infants aged Another study about iron deficiency in 9-12 months in Estonia. In the first study of exclusively breast-fed infants was carried out three series of research experiments, there by Siimes et al (1984) in Helsinki, Finland. were Thirty-six 171 babies involved in this young children who were epidemiological study, thirty six infants (21%) exclusively breast fed, were studied for nine were exclusively breast-fed until six months. months. The author used the control group of Researcher used the iron deficiency criteria thirty-two babies who were fully weaned with infants who had serum ferritin <12 µg/L earlier to 3 ½ months. The exclusively breast and mean corpuscular volume (MCV) < 74fL, fed babies received no iron supplementation, and iron deficiency anaemia criteria with while serum ferritin <12 µg/L, MCV < 74fL and supplementation in formula and wheat cereal haemoglobin (Hb) <105 g/L. The author 12 the control group received iron . found that infants who were exclusively The data showed that most of infants breast-fed up to six months had lower mean breast fed exclusively were able to preserve of haemoglobin (113 g/L) and serum ferritin their iron stores at similar levels to that of (19 µg/L) compared to those exclusively control infants receiving iron supplements. breast-fed until three months who had Hb Also, breast fed infants had a higher mean 117 g/L and serum ferritin 28 µg/L. In spite of concentration of haemoglobin compared to having lower concentration of haemoglobin control babies at age four and six months. and serum ferritin, none of the infants None of the exclusively breast fed infants exclusively breast-fed up to 6 months were 46 had anaemia or iron deficiency prior to age six months clamped, and gestational age as 12 . babies have a lower iron stores preterm 1,4 . In the study of iron status and iron intake Bioavailable iron is present in breast milk, in Adelaide, Australia by Oti-Boateng et al and the healthy, term infants with normal (1998) involving 234 babies and toddlers birth weight have sufficient iron stores to aged 6 to 24 months, thirty four per cent of maintain their growth requirement during the babies were exclusively breast fed until six first six months of life, and after this age the months. Some of the findings, iron sufficiency needs of total body iron is higher 1,2,4 . (IS) was more frequent in infants who were The WHO (2001) identifies that based on breast-fed for ≤ 4 months compared to the evidence from the study in Honduras babies breast-fed more than 4 months, also which indicated the poorer iron status in Asian infants had a higher iron sufficiency infants exclusively breast fed for 6 months (72%) than Caucasian babies (69%), but this than difference of iron sufficiency between these breastfeeding to 6 months, due to the two evidence come from the populations in which different ethnic groups was not significant statistically 11. 4 months followed Factors associated with iron deficiency in . cow‟s milk consumption, age and duration of Grant et al (2003) points out that several as 15 Oti-Boateng et al (1998) identified that breast fed babies such partial maternal iron status and infant endogenous stores are not optimal factors by socio- iron stores depletion. This finding is in line economic and demographic factor have been with evidence in the United Kingdom which associated with iron deficiency in young was demonstrated by Mills (1990). However, urban children living in developed countries. authors have not described in more detail Further, the relationship between these whether aspects and iron deficiency differs between exclusively up to six months were in the risk countries and between several population of iron deficiency or had significant iron groups in the same country. Some published depletion. Both studies indicated that several studies Kingdom and factors may affect iron deficiency and iron Australia highlight the relationship of iron status among infants and toddlers including deficiency and the consumption of cow‟s ethnic group, age of the infants, duration of milk, lower intake of red meat and the use of breast feeding and the consumption of cow‟s weaning foods low in iron among infants in milk 9,11. from the dietary United intake, breastfeeding showed a significant effect on those countries 7,9,10. babies who are breast fed Iron status of babies and young children in developed countries remain a concern. Several factors may affect the iron stores However, iron deficiency anaemia, which has of newborn, including maternal iron status long-term impact on delayed psychomotor before and during pregnancy, the amount of and cognitive function, was relatively rare 11 . blood transferred from placenta to foetus A study was carried out by Innis et al after giving birth before the umbilical cord is (1997) in Vancouver, Canada. The authors 47 examined the prevalence of iron deficiency challenge. However, the case of severe iron anaemia and depleted iron stores among 434 deficiency is rare 13. of healthy babies aged in In the study by Grant et al (2007) in Vancouver in relation with their feeding Auckland, New Zealand, 324 infants aged 6 practice and family background. Researcher to 23 months were observed. Researchers collected the information of infant feeding examined the prevalence of iron deficiency in practices dietary young by identified factors which associated with iron using questionnaire 9 months qualitatively which assessed a 8 nutritionist . children deficiency. in Auckland, Participants were and also mainly The data shows that iron deficiency breastfed (87%). Around 78% babies started anaemia was more common among babies solid foods before age 6 months, with 68 who were breast fed for more than 3 months babies (20%) began in the first 3 months. In 8 than those breast fed < 3 months . The anaemia prevalence among of healthy, iron other word, it was only around 20% infants in deficiency this study who were exclusively breast fed up to six months after birth 6. nine-month-old babies in this study was around 15 %. Interestingly, the prevalence of The prevalence of iron deficiency in this iron study was 14%. The author found that deficiency anaemia was higher in babies receiving breast milk after age 6 months was from middle class family as well as in associated with a greater risk of iron Caucasian than Oriental or Asian babies. deficiency than children who have stopped Also, the infants identified at a higher risk breastfeeding at a younger age. However, when those infants were breast fed at the authors have not clearly assessed the time of study as it has been known that prevalence of iron deficiency anaemia among infants accept a sufficient iron from breast exclusively breast fed babies for the first six milk for the first four to six months after birth months after birth. It was identified that he and this study was carried while the babies major risk factors for iron deficiency were 8 nutritional. Milk feeding was the greatest aged nine months old . determinant with all three main variations; breast, infant formula and cow‟s milk being Breastfed infants over 6 month are in related with the risk of iron deficiency 6. higher risk of iron deficiency unless adequate additional sources of dietary iron are given 8. Conclusion Soh et al (2004) carried out the study in South Island, New Zealand. The author In conclusion, there have been few found that the presence of suboptimal iron studies status was around 29% among young New relationship Zealand children and babies. Infants and exclusively breast fed for the first six months children with marginal iron status are at after birth and the prevalence of iron increased risk of developing severe iron deficiency in developed countries. deficiency if exposed to a physiological specifically between to investigate infants who the are Most studies that have been carried out have concluded that there is little risk of iron 48 deficiency and iron deficiency anaemia in benefit to babies with low iron stores. For infants who are exclusively breast fed for first example, Dewey et al (2002) suggests that six months of life. It seems that only infants routine iron supplementation of breast fed with unusually low iron stores at birth are at babies may bring benefits to infants with low risk of deficiency if breast fed exclusively for haemoglobin concentration, but may cause six months. the risks for infants with normal haemoglobin 3 There are some circumstances which . increase the risk of low iron stores and these The finding that there is low risk of iron are: maternal iron status before and during deficiency in this group of infants is in line pregnancy, prematurity and loss of excessive with blood in cutting the cord at birth. For this recommendations to breast feed exclusively reason some researchers have suggested for the first six months of life. World Health Organisation that iron supplementation at birth may be of Reference List: 1. Aggett, P. J., Agostoni, C., Axelsson, I., Bresson, J. L., Goulet, O., Hernell, O., Micheli, J. L. Iron metabolism and requirements in early childhood: do we know enough?: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2002; 34(4), 337. 2. Beristain-Manterola, R., PasquettiCeccatelli, A., Meléndez-Mier, G., Sánchez-Escobar, O. A., & CuevasCovarrubias, S. A. Evaluation of iron status in healthy six-month-old infants in Mexican population: Evidence of a high prevalence of iron deficiency. e-SPEN, the European e-Journal of Clinical Nutrition and Metabolism. 2010; 5(1), e37e39. 3. Dewey, K. G., Domellöf, M., Cohen, R. J., Landa Rivera, L., Hernell, O., & Lönnerdal, B. Iron supplementation affects growth and morbidity of breast-fed infants: results of a randomized trial in Sweden and Honduras. The Journal of nutrition. 2002; 132(11), 3249. 4. Domellöf, M., Lönnerdal, B., Abrams, S. A., & Hernell, O. Iron absorption in breastfed infants: effects of age, iron status, iron supplements, and complementary foods. The American journal of clinical nutrition. 2002; 76(1), 198. 5. Duncan, B., Schifman, R. B., Corrigan Jr, J. J., & Schaefer, C. Iron and the exclusively breast-fed infant from birth to six months. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1985; 4(3), 421-425. 6. Grant, C. C., Wall, C. R., Brunt, D., Crengle, S., & Scragg, R. Population prevalence and risk factors for iron deficiency in Auckland, New Zealand. Journal of paediatrics and child health. 2007; 43(7 8), 532-538. 7. Grant, C., Wall, C., Wilson, C., & Taua, N. Risk factors for iron deficiency in a hospitalized urban New Zealand population. Journal of paediatrics and child health. 2003; 39(2), 100-106. 8. Innis, S., Nelson, C., Wadsworth, L., MacLaren, I., & Lwanga, D. Incidence of iron-deficiency anaemia and depleted iron stores among nine-month-old infants in Vancouver, Canada. Canadian journal of public health. Revue canadienne de santé publique. 1997; 88(2), 80. 9. Mills, A. Surveillance for anaemia: risk factors in patterns of milk intake. Archives of disease in childhood; 1990; 65(4), 428. 10. Mira, M., Alperstein, G., Karr, M., Ranmuthugala, G., Causer, J., Niec, A., & Lilburne, A. M. Haem iron intake in 1236 month old children depleted in iron: case-control study. BMJ. 1996; 312(7035), 881. 11. Oti-Boateng, P., Seshadri, R., Petrick, S., Gibson, R., & Simmer, K. Iron status and dietary iron intake of 6–24 month old children in Adelaide. Journal of paediatrics and child health. 1998; 34(3), 250-253. 12. Siimes, M. A., Salmenpera, L., & Perheentupa, J. Exclusive breast-feeding for 9 months: risk of iron deficiency. The Journal of pediatric. 1984; 104(2), 196199. 49 13. Soh, P., Ferguson, E., McKenzie, J., Homs, M., & Gibson, R. Iron deficiency and risk factors for lower iron stores in 6– 24-month-old New Zealanders. European journal of clinical nutrition. 2004; 58(1), 71-79. 14. Vendt, N. Iron Deficiency and Iron Deficiency Anaemia in Infants Aged 9 to 12 Months in Estonia. Tartu University Press; 2008. 15. World Health Organisation. Report of the expert consultation on the optimal duration of exclusive breastfeeding: World Health Organization Geneva; 2001. 16. World Health Organisation. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere; 2011 [Updated May 17, 2011]. Available from http://www.who.int/mediacentre/news/stat ements/2011/breastfeeding_20110115/e n/ 50 STRESS HIPERGLIKEMIA Erwin Kresnoadi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Abstract Stress hyperglycemia is hyperglycemia that a rise when a person suffering from illness in which the individual previously shown to be suffering from diabetes. There is a combination of several factors that affect the on set of stress hyperglycemia in critically ill patients. Keywords: stress shyperglycemia, critically ill patients. Abstrak Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia yang timbul pada saat seseorang menderita sakit dimana individu tersebut terbukti tidak menderita diabetes sebelumnya. Terdapat kombinasi beberapa faktor yang berdampak timbulnya stress hiperglikemia pada pasien kritis. Kata kunci : stress hiperglikemia, diabetes, pasien kritis. Pendahuluan Secara dengan kata lain penderita yang baru tradisional hiperglikemia terdiagnosis menderita diabetes. didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200 3. Hospital- mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes relatedhiperglikemia:Hiperglikemia yang Association dalam Standards of Medical timbul selama penderita dirawat di rumah Care mendefinisikan sakit dan kembali normal setelah pasien hiperglikemia pada pasien yang dirawat pulang. Inilah yang dikenal sebagai adalah jika kadar glukosa stress hiperglikemia. in Diabetes darah >140 10 1 mg/dl . Kondisi hiperglikemia yang terjadi pada Stress hiperglikemia adalah hiperglikemia pasien yang diketahui tidak yang timbul pada saat seseorang menderita diabetes, sakit dimana pada individu tersebut terbukti pemeriksaan A1c. Peningkatan kadar A1c 1 >6,5 persen mengindikasikan bahwa pasien tidak menderita diabetes sebelumnya. review teknisnyamembagi penderita dengan 1. Penderita yang memiliki dilengkapi dengan sudah menderita diabetes sebelumya.3 American Diabetes Association (ADA) dalam hiperglikemia menjadi tiga kelompok: harus menderita Hipoglikemia 2 didefinisikan jika kadar glukosa darah < 70mg/dl. Ini merupakan riwayat definisi standar pada pasien rawat jalan di diabetes: Penderita sudah terdiagnosis mana nilai tersebut merupakan batas initial menderita diabetes dan mendapat terapi dilepaskannya dari dokter. regulator. Hipoglikemia berat pada pasien 2. Penderita yang tidak diketahui menderita saat penderita dirawat kontra yang dirawat didefinisikan jika kadar glukosa darah < 40 mg/dl10. diabetes: Hiperglikemia yang terdeteksi pada hormon-hormon dan dikonfirmasi sebagai diabetes setelah dilakukan pemeriksaan tertentu. Atau 51 Gambar 1.Penyebab multifaktor stress hiperglikemia Beberapa faktor penyebab hiperglikemia hormone, kortisol dan sitokin (gbr.2). dapat berasal dari pasien, penyakit dan Penyakit yang diderita pasien juga dapat terapinya.Hiperglikemia juga mempengaruhi tingkat produksi sitokin dan sehingga gangguan hormonal. Munculnya mekanisme membutuhkan penambahan terapi di mana feedforward dan feedback yang kompleks terapi tertentu juga dapat menyebabkan antara beberapa hormon dan sitokin tersebut hiperglikemia.Hal ini menciptakan sebuah pada akhirnya akan menimbulkan produksi siklus di mana hiperglikemia menyebabkan glukosa hati yang berlebihan dan resistensi hiperglikemia lebih lanjut. HPA =hipotalamus- insulin. pituitary-adrena axis. berlebihan dapat memperberat sebaliknya penyakit Produksi glukosa terutama glukoneogenesis, Patofisiologi Stress Hiperglikemia peranan di melalui tampaknya terpenting hati dalam yang proses memegang menimbulkan Terdapat kombinasi beberapa faktor yang stress hiperglikemia. Sekresi glukagon yang berdampak timbulnya stress hiperglikemia berlebihan adalah mediator utama timbulnya pada glukoneogenesis,meskipun pasien kritis (gbr.1). Penyebab epinefrin dan hiperglikemia pada diabetes tipe 2 adalah kortisol juga ikut berperan. Tumor nekrosis kombinasi faktor-α dari resistensi insulin dan gangguan pada sekresi sel β pankreas. oleh kompleks dari interaksi yang beberapa juga glukoneogenesis Sedangkan timbulnya stress hiperglikemia disebabkan (TNF-α) produksi glukagon. sangat hormon kontraregulasi seperti katekolamin, growth 52 dengan 1 dapat memicu merangsang Gambar 2. Metabolisme glukosa pada stress hiperglikemia Stress hiperglikemia ditandai dengan insulin terjadi melalui dua jalur peningkatan ambilan glukosa di seluruh utama.Berkurangnya ambilan glukosa yang tubuh,terutama disebabkan transport glukosa diperantarai oleh insulin sebagai akibat dari yang tidak diperantarai insulin via GLUT-1 ke adanya gangguan sinyal pada post-receptor jaringan tubuh.Turunnya ambilan glukosa insulin yang transporter diperantarai insulin (resistensi dan menurunnya peran (GLUT)-4.Sebagai tambahan, insulin),terutama akibat gangguan sinyal post penyimpanan reseptor terganggu kemungkinan disebabkan oleh insulin penurunan yang transport menghasilkan non-oksidatif juga yang adanya penurunan sintesis glikogen pada diperantarai GLUT-4 pada jaringan sensitif otot rangka. Sekresi hormon kortisol dan insulin epinefrin seperti glukosa glukosa glukosa hati,otot dan lemak. yang berlebihan menurunkan Produksi umum diperantarai oleh insulin. Beberapa sitokin meningkat,terutama akibat glukoneogenesis seperti TNFα dan interleukin 1 menghambat di hati. Akhirnya,glukosa dapat dioksidasi di sinyal post-reseptor insulin. Keparahan dari dalam sel tetapi metabolisme glukosa non- penyakit oksidatif (terutama penyimpanan glikogen) kadar sitokin dan resistensi Insulin secara terganggu. proporsional. secara berkaitan Lebih glukosa akan Penyimpanan glikogen otot juga berkurang. glukosa ambilan juga dengan jauh yang peningkatan lagi, kondisi hiperglikemia akan memperberat respons Timbulnya resistensi insulin pada saat inflamasi, stress oksidatif dan sitokin yang sakit ditandai dengan kegagalan dalam secara potensial akan menciptakan suatu menghambat produksi glukosa di hati secara siklus sentral.Sedangkan hiperglikemia di perifer, resistensi 53 yang „mematikan‟ akan di mana menimbulkan hiperglikemia lebih lanjut. hiperglikemia berkaitan Resolusi dengan normalnya respons inflamasi. Resistensi insulin dari kontraregulator serta gangguan fibrinolisis. kembali Meskipun terjadi penurunan ambilan glukosa 1 lebih yang diperantarai insulin, tetap terdapat lanjut akan peningkatan ambilan glukosa di seluruh mendorong timbulnya kondisi katabolik di tubuh,ini disebabkan oleh mana mulai berperannya proses lipolisis. yang Meningkatnya kadar asam lemak bebas adalah transporter glukosa yang terlibat dalam sirkulasi pada dalam memperberat resistensi gilirannya insulin akan melalui diperantarai oleh ambilan diperantarai peran GLUT-1 sitokin. glukosa oleh GLUT-1 yang insulin.Jadi tidak meskipun gangguan sinyal insulin pada end-organ dan metabolisme glukosa non-oksidatif terganggu sintesis dapat (sintesis glikogen), meningkatkan kondisi inflamasi sama halnya oksidatif tetap dengan terapeutik tertentu seperti pemberian infus glikogen. Lipotoksisitas pengaruh glukotoksisitas. metabolisme glukosa berlangsung.Intervensi Glukotoksisitas, lipotoksisitas dan inflamasi katekolamin, dapat dianggap sebagai komponen kunci enteral yang berperan dengan timbulnya syndrome menimbulkan resistensi insulin global pada penyakit akut. penelitian Ketiga pasien sakit kritis yang menderita diabetes komponen menimbulkan tersebut disfungsi juga endotel dapat melalui dengan kortikosteroid, maupun parenteral hiperglikemia. yang yang dan Belum membandingkan mengalami nutrisi dapat ada antara stress proses sebab akibat yang rumit terkait hiperglikemia. Oleh karena itu, masih belum dengan resistensi insulin. Hiperinsulinemia jelas apakah perbedaan dalam patofisiologi memberikan dapat menjelaskan perbedaan pada hasil konsekwensi tambahan akhir.1 terhadap hiperglikemia yang terjadi, meliputi peningkatan inflamasi dan respons hormon 54 Gambar 3. Mekanisme timbunya efek berbahaya dari hiperglikemia Mekanisme bahaya berkaitan dengan komplikasi akut atau kronis tersendiri dari hiperglikemia (gbr.3). Timbulnya diperantarai oleh stress reaksi hiperglikemia.NFκβ= nuclear factor κβ, ERK= inflamasi dan gangguan hormonal yang lebih extracellular signal regulated kinase, MAPK= hebat daripada hiperglikemia kronis pada microtubule associated protein kinase. PKC= diabetes. Terdapat beberapa fakta yang protein menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemia kinase C, AGE= advanced glycosylation endproducts. kronis telah membentuk kondisi seluler yang bersifat protektif terhadap kerusakan yang Hiperglikemia dan Dampaknya terhadap dipicu oleh hiperglikemia akut saat sakit Fungsi Organ kritis.Mekanisme yang mungkin berpengaruh Timbulnya komplikasi kronis yang khas adalah kecenderungan penurunan peran pada penderita diabetes memerlukan waktu transporter glukosa pada kondisi kronis beberapa tahun, akan tetapi penjelasan daripada hiperglikemia mengenai timbulnya komplikasi terkait stress GLUT- 3 adalah glukosa transporter yang hiperglikemia memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel memerlukan pertimbangan 55 akut.GLUT-1 dan tanpa tergantung pada insulin. Beberapa Alexiewicz dkk.mendemonstrasikan faktor yang meningkatkan peran transporter timbulnya tersebut terjadi saat sakit kritis, hal ini secara kalsium sitosol sel polimorphonuklir (PMN) potensial akan memudahkan glukosa masuk lekosit pada penderita diabetes tipe 2. ke dalam sel tanpa dibatasi oleh respons Peningkatan protektif yang normal. Oleh karena itu, dengan penurunan kandungan ATP dan sebagian besar jaringan tubuh dapat terkena gangguan dampak yang merugikan akibat toksisitas langsung antara kalsium sitosol PMN dengan glukosa yang timbul saat sakit kritis.Perihal kadar glukosa puasa, sedangkan kedua bagaimana faktor tersebut berbanding terbalik dengan kronis pasien dapat menurunkan dengan hiperglikemia mengkompensasi peran transporter peningkatan kalsium level basal sitosol fagositosis. fagositosis. berkaitan Terdapat korelasi dengan aktivitas glukosa glukosa dengan terapi glyburid menghasilkan oksidatif kandungan ATP dan fungsi fagositosis. transporter GLUT-1 pada peran sel endotelial Pada individu sitosol, kadar penurunan penurunan kalsium Penurunan masih belum diketahui. Beragam stressor mencegah dari normal peningkatan yang terpapar vaskular.1 Dampak hiperglikemia terhadap dengan peningkatan glukosa menunjukkan beberapa penurunan fungsi organ tubuh diuraikan sebagai berikut : pasien limfosit secara cepat. Pada dengan diabetes, hiperglikemia berkaitan dengan penurunan jumlah sel T, 1. Hiperglikemia dan fungsi immun 2 termasuk CD-4 dan CD-8. Kondisi abnormal Hubungan antara kondisi hiperglikemia tersebut dapat diatasi dengan menurunkan dengan timbulnya infeksi telah cukup lama kadar diketahui.Dari segi terdapat banyak penelitian yang meneliti utama sudah yang mekanisme, masalah diidentifikasi adalah glukosa. pengaruh Kesimpulannya, hiperglikemia sudah terhadap sistem disfungsi dari fagosit. Beberapa penelitian immun yang melibatkan individu yang sehat, melaporkan pada penderita diabetes, dan penelitian pada yang meliputi binatang.Semua penelitian tersebut secara timbulnya gangguan fungsi netrofil dan monosit kemampuan kemotaksis, pembunuhan fagositosis, bakteri. dkk.mengemukakan konsisten Baghdade menyebabkan kondisi imunosupresan. Upaya penurunan kadar puasa diturunkan dari 293 ± 20 menjadi 198 glukosa dengan berbagai metode terbukti ± 29 mg/dl maka akan terjadi peningkatan dapat fungsi granulosit. Beberapa peneliti juga terganggu. peningkatan hiperglikemia hasil fungsi kadar hiperglikemia bahwa glukosa mendapatkan jika memperlihatkan yang serupa leukosit jika dikoreksi. Pada memperbaiki fungsi immun yang yaitu 2. Hiperglikemia kondisi Kardiovaskular pengujian secara in vitro untuk menetapkan ambang dan Sistem 4 Hiperglikemia akut menimbulkan sejumlah hiperglikemia hanya didapatkan perkiraan pengaruh kasar yaitu pada rerata kadar glukosa >200 Hiperglikemia mg/dl akan menimbulkan disfungsi lekosit. prakondisi iskemia yaitu suatu mekanisme 56 pada sistem kardiovaskular. menimbulkan gangguan proteksi terhadap ancaman iskemia.Pada pengaruh organ yang mengalami iskemia, area yang penumbra, yaitu area yang mengelilingi mengalami infark dapat menjadi lebih luas pusat iskemia.Selama perkembangan dari pada kondisi hiperglikemia.Beberapa peneliti stroke yang terjadi, area penumbra dapat juga memperlihatkan timbulnya penurunan turut mengalami infark atau justru kembali aliran darah pada kolateral arteri koroner pulih pada kondisi hiperglikemia sedang-berat. Mekanisme utama yang menghubungkan Hiperglikemia akut dapat memicu kematian antara hiperglikemia dan bertambah luasnya sel miokardium melalui proses apoptosis, daerah otak yang mengalami kerusakan memperbesar saat akibat iskemia adalah peningkatan asidosis reperfusi iskemia. Konsekwensi vaskular lain jaringan dan kadar laktat akibat peningkatan pada relevan kadar glukosa. Laktat berhubungan dengan terhadap outcome dari pasien rawat meliputi kerusakan pada neurons, astrosit dan sel perubahan endotel. Parson dkk. memperlihatkan bahwa kerusakan hiperglikemia pada yang darah, abnormalitas perubahan peningkatan platelet, elektrofisiologi. dkk.melaporkan tekanan darah peningkatan akut tekanan katekolamin, sel adanya jaringan yang area sehat. rasio laktat terhadap kolin berguna untuk Marfella memprediksi outcome klinis dan luas area peningkatan endotelin menjadi adalah dan infark sistolik dan diastolik dan kadar hiperglikemia pada stroke akut. Peneliti lain menemukan bahwa terdapat korelasi positif pada antara peningkatan kadar glukosa dengan hiperglikemia akut penderita diabetes tipe 2. produksi laktat. Melalui mekanisme inilah Peneliti lain menemukan bahwa paparan hiperglikemia menjadi penyebab jaringan hiperglikemia yang mengalami hipoperfusi berkembang (270 mg/dl) selama 2 jam pada subyek yang sehat mengakibatkan menjadi infark. peningkatan tekanan darah sistolik-diastolik, Beberapa peningkatan laju nadi ,peningkatan kadar memperlihatkan katekolamin, dan pemanjangan interval QT. hiperglikemia dengan beragam konsekwensi Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan akut lainnya yang kemungkinan menjadi peningkatan viskositas, tekanan darah, dan perantara timbulnya outcome yang tidak kadar peptida natriuretik. menguntungkan.Sebagai hiperglikemia 3. Hiperglikemia dan otak Kondisi hiperglikemia 4 akut akumulasi berkaitan penelitian adanya pada hewan kaitan antara contoh, menyebabkan glutamat timbulnya ekstraselluler neokorteks.Peningkatan glutamat pada terjadi dengan bertambah banyaknya sel syaraf sebagai akibat adanya kerusakan sel syaraf. yang mengalami kerusakan pada otak yang Hiperglikemia mengalami iskemia. Dari hasil penelitian fragmentasi DNA, gangguan terhadap sawar pada hewan didapatkan petunjuk bahwa darah otak, dan repolarisasi yang lebih cepat iskemia yang bersifat pada irreversibel atau area juga berkaitan penumbra iskemia pada end arteri tidak terpengaruh mengalami oleh hiperglikemia. Porsi utama otak yang protein rentan superoksida pada jaringan otak. mengalami kerusakan akibat 57 hipoperfusi jaringan prekursor dengan yang berat,peningkatan β-amyloid dan kadar Terdapat banyak faktor yang telah aggregasi platelet yang disebutkan sebelumnya berperan sebagai pengikisan matriks mata Hiperglikemia akut rantai yang menghubungkanantara dipicu ekstra yang oleh selluler. terjadi selama hiperglikemia dan outcome pada kasus minimal 4 jam akan meningkatkan aktivasi kardiovaskular platelet pada diabetes tpe 2. Hiperglikemia ternyata berkontribusi terhadap juga turut outcome kasus juga menyebabkan peningkatan antigen cerebrovaskular akut.Secara spesifik, pada faktor von willebrand, aktivitas faktor von model otak yang iskemia kemudian terpapar willebrand, dan 11-dehydro-thromboxane B2 oleh radikal di urin (suatu ukuran terhadap produksi bebas hidroksil berkorelasi positif dengan tromboksan A2).Perubahan ini tidak terjadi timbulnya kerusakan jaringan.Begitu juga pada kondisi euglikemia. hiperglikemia, antioksidan peningkatan memiliki efek Hiperreaktivitas platelet yang dipicu oleh neuroprotektif.Kadar glukosa yang meningkat hiperglikemia terutama terbukti pada kondisi berkaitan stress dengan hambatan terhadap high-shear, dapat menjelaskan pembentukan nitrit oksida, peningkatan IL-6 peningkatan kejadian trombosis yang sering mRNA, penurunan aliran darah otak dan ditemukan kerusakan pada endotelial vaskular. dirawat. 4. Hiperglikemia dan trombosis4 5. Hiperglikemia dan Inflamasi4 Telah banyak terdapat penelitian yang mengidentifikasi bahwa berhubungan dengan hemostasis contoh, pada pasien diabetes yang Hubungan antara hiperglikemia akut dan hiperglikemia modifikasi vaskular kemungkinan melibatkan abnormalitas pada perubahan derajat inflamasi. Kultur dari sel trombosis.Sebagai mono nuklir darah perifer yang diinkubasi terutama hiperglikemia secara cepat pada media berkadar glukosa tinggi (594 menurunkan aktivitas fibrinolitik plasma dan mg/dl) selama 6 jam akan menghasilkan aktivator dan peningkatan kadar IL-6 dan TNF-α. TNF-α aktivitas juga berperan dalam produksi IL-6.Upaya penghambat aktivator plasminogen (PAI)-1 untuk menghambat aktivitas TNF-α dengan pada tikus.Pada pasien diabetes tipe 2 menggunakan menunjukkan adanya hiperreaktivitas dari monoclonalakan menghambat efek stimulasi platelet glukosa terhadap produksi IL-6. Beberapa plasminogen sebaliknya yang peningkatan jaringan meningkatkan ditandai dengan biosintesis adanya tromboksan. penelitian in antibodi vitro anti lainnya TNF menunjukkan Biosntesis tromboksan akan menurun jika bahwa glukosa dapat memicu peningkatan kadar IL-6,TNF-α,dan beberapa faktor lainnya yang glukosa diturunkan. Hiperglikemia memicu peningkatan kadar IL-6 yang berhubungan dengan peningkatan kadar menjadi penyebab inflamasi akut. Pada manusia, peningkatan kadar fibrinogen plasma dan fibrinogen mRNA. glukosa dalam batas moderat hingga 270 Pada penderita dengan diabetes terjadi mg/dl selama lima jam berkaitan dengan peningkatan peningkatan IL-6,IL-18 dan TNF-α. Adanya aktivitas platelet yang ditunjukkan dengan timbulnya adhesi dan peningkatan 58 berbagai faktor inflamasi berhubungan dengan timbulnya efek yang kadar yang sering terdapat pada pasien yang merusak vaskular. Sebagai contoh, TNF-α di dapat memperluas area yang mengalami menimbulkan nekrosis setelah ligasi arteri koroner cabang Hiperglikemia left anterior descending pada kelinci. Pada mengganggu fungsi sel endotel dengan manusia, peningkatan kadar TNF-α yang menimbulkan inaktivasi nitrit oksida secara terjadi pada kasus infark miokard akut kimiawi.Mekanisme lainnya adalah menjadi berkorelasi penyebab dengan beratnya disfungsi jantung yang timbul. TNF-α juga berperan rumah sakit (142-300 mg/dl) disfungsi dapat endotel. secara langsung dapat langsung produksi spesies oksigen reaktif (ROS). pada kasus cedera ginjal iskemik dan gagal jantung kongestif.IL-18 dalam menyebabkan diduga 7. Hiperglikemia dan Stress oksidatif 4 berperan kondisi plak Stress oksidatif muncul jika pembentukan atherosklerotik menjadi tidak stabil yang ROS melebihi kemampuan tubuh untuk sewaktu-waktu dapat menimbulkan sindroma memetabolismenya. iskemik akut. mengidentifikasi mekanisme menyatukan 6. Hiperglikemia endotel dan disfungsi sel hiperglikemia 4 Upaya dasar beragam akut untuk yang pengaruh adalah kemampuan hiperglikemia memproduksi stress oksidatif. Hubungan antara hiperglikemia dan Eksperimen untuk menimbulkan outcome kardiovaskular yang buruk adalah hiperglikemia akut pada kadar yang sering akibat pengaruh hiperglikemia pada vaskular didapatkan pada pasien yg dirawat memicu endotel. Sel endotel vaskular selain berfungsi pembentukan sebagai barrier antara darah dan jaringan terpapar hiperglikemia secara in vitroakan juga fungsi merubah produksi nitrit oksida menjadi anion hemostasis. Pada kondisi sehat, endotel superoksida.Peningkatan pembentukan ROS vaskular menyebabkan berperan penting berfungsi dalam mempertahankan ROS. Sel aktivasi endotel faktor yang transkripsi, pembuluh darah tetap relaks, anti trombosis, faktor pertumbuhan dan mediator sekunder. antioksidan, dan anti adhesive.Pada kondisi Melalui cedera jaringan secara langsung sakit, atau terjadi disregulasi, disfungsi, aktivasi mediator sekunder ini, insuffisiensi dan kegagalan pada endotel hiperglikemia akan memicu stress oksidatif vaskuler.Disfungsi dan dengan sel endotel dikaitkan peningkatan adhesi seluler, penelitian, abnormalitas yang terjadi dapat peningkatan diperbaiki dengan pemberian antioksidan gangguan angiogenesis, permeabilitas sel, inflamasi dan kerusakan jaringan. Pada semua atau mengembalikan menjadi euglikemia. trombosis.Biasanya fungsi endotelial dinilai Ringkasan dengan mengukur vasodilatasi dependentendotelial, paling sering diamati pada arteri Secara tradisional hiperglikemia brakialis. Penelitian in vivo pada manusia didefinisikan jika kadar glukosa darah ≥ 200 dengan ini mg/dl. Sejak tahun 2010, American Diabetes memastikan bahwa hiperglikemia akut pada Association dalam Standards of Medical memanfaatkan parameter 59 Care in mendefinisikan kerusakan sel pada saat reperfusi iskemia. hiperglikemia pada pasien yang dirawat Hiperglikemia akut juga berkaitan dengan adalah jika kadar glukosa peningkatan viskositas, tekanan darah, dan 10 mg/dl . Diabetes Stress darah >140 adalah kadar peptida natriuretik. Hiperglikemia dapat saat secara langsung mengganggu fungsi sel seseorang menderita sakit dimana pada endotel dengan menimbulkan inaktivasi nitrit individu tersebut terbukti tidak menderita oksida diabetes sebelumnya. Hiperglikemia akut muncul jika pembentukan ROS melebihi dapat memicu kematian sel miokardium kemampuan melalui memetabolismenya. hiperglikemia hiperglikemia yang proses timbul apoptosis, pada memperbesar Daftar Pustaka 1. Dungan KM, Braithwaite SS, Preiser JC. Stress hyperglycaemia. Lancet 2009; 373:1798-807. 2. Clement S, Braithwaite SS, Magee MF,et al. Management of diabetes and hyperglycemia in hospitals. Diabetes Care 2004; 27:553-91. 3. Egi M, Bellomo R, Stachowski E,et al. Blood glucose concentration and outcome of critical illness: the impact of diabetes.Crit Care Med 2008;36:2249-55. 4. Shepherd PR, Kahn BB. Glucose transporters and insulin actionimplications for insulin resistance and diabetes mellitus. N Engl J Med 1999; 341: 248-57. 60 secara kimiawi. Stress tubuh oksidatif untuk THE RELATIONSHIP BETWEEN CHILD OBESITY AND BONE HEALTH Rifana Cholidah Faculty of Medicine, Mataram University Abstract Since early childhood obesity has increased dramatically in the recent year, many researchers observe the relationship of excess fat mass during childhood and many health consequences including with bone health. This review aims to examine the relationship between childhood obesity and bone health. The results are conflicting. Several results show that fat mass have a strong positive relationship with increase bone mass and bone area, while other studies found obesity may increase the risk of fracture and may be detrimental on bone health. By these findings, further studies should be conducted to examine the effect of childhood obesity and bone health, also to evaluate the mechanisms how excess fat mass may increase or reduce bone growth. Introduction mass might result a negative effect on bone Obesity has become an epidemic in many mass in young population. Adipose tissue countries over the recent decade. World has a high aromatase activity, and high Health Organization notes that over one amount of fat will contribute to increased billion adults throughout the world are serum steroid levels which might suppress overweight, of whom around 300 million are periosteal obese. increased leptin concentration secondary to Also, suggested the several published increased studies prevalence of elevated bone fat growth. mass has Moreover, the antiosteogenic obesity among children and adolescent function by decreasing bone mass via 1,14,18,19,22,23 stimulation of sympathetic activity. Thus, . Overweight and obese children have a hormones, growth factors, or inflammatory larger body mass and require stronger and agents produced in adipose tissue may affect denser bones to carry their weight than their the suppression of bone growth 3,13 . normal-weight peers. However, the effect of On the other hand, higher fat mass might childhood obesity on bone health, particularly stimulate increases in bone size. Fat mass bone mineral accrual during growth periods may promote skeletal growth through direct 7,12 . and indirect actions, a direct action on Several recent studies report a positive increasing lean body mass in obese children relationship between total body fat mass and and indirect action on timing of pubertal bone mass and bone area in young children. events 2,6. is poorly understood While other studies suggest that childhood Obese children may have puberty earlier obesity during growth does not increase than their leaner counterparts due to higher bone mass and bone area to balance the estradiol and leptin levels. Puberty has a vital excess weight. Furthermore, a study reported role in bone development since bone mass that higher body weight increased the risk of approximately new fractures among young girls 2,5,6,7,12 . doubles by the end of adolescence. The main factors of pubertal Regarding this concern, several possible gain in bone mass are the sex steroids, mechanisms are described that body fat growth hormones, insulin like growth factors 61 and vitamin D. Therefore, it remains unclear on bone mass. whether obesity in childhood has positive or authors did not consider some confounding negative effects on bone mass and mineral factors that may influence skeletal mass and accrual. This review aims to determine the area such as nutritional diet and physical effect of childhood obesity on bone health 20 . Also, it seems that the activity levels of the participants. In 2003, Ellis et al carried out a study Studies which have noted a positive examining the relationship of bone mineral relationship between total fat mass and content and proportion of body fatness in 865 bone mass and/or bone area children. The study shows that obese Leonard et al (2004) have investigated the children with the percentage of fat >30%, had effect of childhood obesity on bone mass and higher BMC compared with children with dimensions in males and females relative to normal adiposity (percentage of fat <25%) height, maturation and body composition. with matching criteria of age, gender, and This study involved 132 non-obese subjects ethnicity. However, when the result was (body mass index (BMI) < 85 th percentile) adjusted for height, these differences were 95th less significant. Authors suggest that obese percentile). After 3-year follow up period, children do not have lower whole-body BMC researchers found that the obese participants when compared with leaner children, even had greater lean body mass relative to height when adjusted for height, age, gender, and compared with non-obese subjects. Thus, ethnicity4. obesity was significantly associated with A and 103 obese subjects (BMI ≥ similar study was conducted by larger whole–body bone area and bone Goulding et al. (2008) investigating the mineral content (BMC) for age and for height relationship of childhood obesity and bone after adjustment for maturation and lean mass among 194 preschool New Zealand mass 12 . children. The finding showed a strong One of the strengths of this cohort study, positive association between fat mass and researchers used multivariate regression total-body-less-head (TBLH) area and TBLH models to evaluate lean mass adjusted for bone mineral content (BMC) in both sexes sex, race, Tanner stage, and height between after adjustment for socioeconomic status the obese and non-obese control subjects. (SES), ethnic group, lean mass and height. Regarding these factors, findings suggest no This result is consistent with British birth sex interactions were observed and the cohort study conducted in older children 2. adjusted models indicate that obesity, Tanner stage, Afro American race From the findings, regarding increased were weight, the range of fat mass is greater than independently and significantly related to greater lean body mass for height the 12 . range of lean mass. The results demonstrated that TBLH bone area raised by 12.8 cm2 in boys and 9.4 cm2 in girls for However, the authors have not described the rationale for the sample size in this study, every whether this sample size was adequate independently of height and lean mass. enough to find the effect of childhood obesity Some limitations of the study included no 62 kilograms increase in fat mass detailed information about the amount of The authors suggested some possible energy intake and energy expenditure, and mechanisms no report of weight-bearing physical activity, evidence indicates a positive relationship 6 hormone levels, bone and muscle strength . for their findings. Some between leptin and changes of bone area in However, there are several strengths of pre-pubertal girls. Moreover, fat mass in pre- this study, such as the recruitment from a pubertal period is related to serum IGF-1 and birth cohort study, specific age range of the esterogen which are known to influence bone samples, comprehensive assessments of growth 2. body composition, and bone measurement without head area. All these factors support Studies which have noted a negative researcher to focus in analysing the skeleton relationship between total fat mass and 6 bone mass and/or bone area most responsive in affecting bone size . Clark et al (2006) carried out a study In 2000, Goulding et al. conducted a study examining the relationship between obesity to determine the relationship between total and bone mass area in children aged 9.9 bone mass or total bone area to total body years and the increase of bone mass and weight in obese and overweight children area over the following 2 years. The result compared indicated association Researchers involved fracture-free children between total body fat mass and TBLH bone in this study. They found that overweight and mass and area after adjustment for height obese children had smaller bone mass and a strong positive 2 and/or lean mass . with normal-weight children. bone area for their body weight compared The same authors also found a similar with normal weight children during growth spurt 5. positive relationship between total body fat mass and the increase of bone mass and They assume that the gap between higher area over the subsequent 2 years in boys body weight and bone development during and Tanner stage 1 girls. Conversely, there growth may result in significant burden for were negative the bones and joints of children with excess association between total fat mass and bone body weight. This condition may cause mass and size in Tanner stage 2 and stage 3 lasting joint damage resulting osteoarthritis in no association and a 2 girls respectively . adulthood. Thus, obesity in young children is Based on these findings, this study a determined risk factor for adult provides strong evidence that adipose tissue osteoarthritis. In line with this finding, the promotes bone development in pre-pubertal earlier study by Mccormick et al (1991) also children. reported However, the relationship is a reduced spinal density in diminished by puberty. Since only minimal increased body weight in obese participants effect was observed by additional adjustment 5,17 . for height, these findings suggest that fat Evidence of adaptive increases in BMC mass acts to stimulate bone size on radial relative to both lean mass and fat mass was 2 rather than longitudinal bone growth . observed in obese children indicating skeletal compensation 63 to increase bone mass. However, the obtained BMC values However, there are some limitations of significantly lower than predicted BMC values this study. Researchers did not gather the 5 relative to weight in overweight groups . information related to family history, There are several limitations of this study. frequency of falling, or changing patterns in Since the subjects of this study were nutrition and physical activity of participants. volunteers, thus may not be a representative Thus, researchers cannot show whether risk- sample of existing New Zealand young taking behaviour differs in girls had new population. Furthermore, investigators did not fractures. They also realised that sample size assess physical activity levels and hormone may not have been big enough to determine concentration of participants that definitely the ability of aBMD values as the predictor of influence skeletal growth and mineral accrual new fractures with a wide intra- and inter- 5 subject . In contrast, growing period. several Conversely, using a high proportion of girls cross-sectional survey having a history of fracture brings a benefit of involved a wide range of participants of both this study to identify the significant predictors genders of new fractures in young population 5. This and age, study in has strengths. this variations assessed precise measurements of body composition using DXA and used well-accepted Goulding et al (2002) carried out a study BMI evaluating whether overweight and obese classification of overweight and obesity. children in Researchers analysed the predictions by compensatory increases in bone mineral using regression measurement that provided content (BMC) particularly in vertebral and moderate estimations of expected bone lumbar spine area to adjust their excess body mineral content of particular adiposity groups weight. The results indicated that overweight 5 and obese children in both sexes do not . In the same year, Goulding et al (2000) both sexes have adequate increase their spinal BMC to completely compensate their excessive weight 7. examined some predictors of childhood fractures. They conducted a cohort study During growth periods, heavy loading on involving both young girls who had broken a the spine is harmful. Although the spine of forearm and fracture results the growing skeleton may be more adaptable showed participants previous than those of adults, increased mechanical fractures and low total areal bone mineral load on backs of obese children could density (aBMD), or previous fractures and contribute injury in the intervertebral joints as high body weight, or previous fractures and well as within the bone. Thus, low back pain low spinal bone mineral apparent density is related to obesity. A study reported that (BMAD) have significantly higher fracture low back pain and spinal damage commonly risks compared to girls with single risk factor. occur at growth period, particularly when In accordance with the findings, researchers there are disconnections between body suggest that increasing bone mineral density weight and bone mineral content 7,11. that free. The with and decreasing body weight will have the Moreover, based on a meta-analysis 5 possibility to reduce fractures . evaluated 64 the relationship between overweight/obesity and low back pain, studies have different research obesity was associated with the increased methodologies including the setting of the prevalence of low back pain. They found that studies, study design, sample size, the length overweight subjects had a higher prevalence of the study and study population. All these of low back pain than normal-weight people differences may affect outcomes. but a lower prevalence compared with obese subjects. These that carried out in combined cross-sectional and overweight and obesity increase the risk of prospective cohort studies, one in case low back pain findings suggest In terms of study design, one study was 21 . control study and two in cross sectional studies. Three in cohort studies. Thus, Discussion and possible reasons for regarding the hierarchy of evidence, cohort differing study findings studies are stronger than case-control and There are several possible reasons that cross sectional studies 2,4,6,,7,8,12,16 . may influence study findings. The reviewed Table.1. Summary of study regarding the hierarchy of evidence Reserchers Goulding et al., 2008 Type of study Cohort studies Results Strong positive relation between obesity and bone mass among New Zealand children* Leonard et al., 2004 Cohort studies Obesity is significantly associated with higher whole-body bone area and BMC* Goulding et al., 2000 Cohort studies Obesity increases the risk of fractures Clark et al., 2006 In combined between cross sectional and cohort study Strong positive association between total fat mass and TBLH bone mass* Ellis et al., 2003 Case control Obese children with fat >30% had higher BMC compared with children with normal adiposity (fat <25%)* Goulding et al, 2002 Cross-sectional study Low back pain is related to obesity as they do not increase the spinal BMC Goulding et al, 2000 Cross-sectional study Overweight and obese children had smaller bone mass and bone area *: Studies show positive relation between childhood obesity and bone health From table 1 we can see that most studies showed a negative relationship. It studies in cohort found a positive association seems that studies indicated fat mass have a between increase fat mass during childhood strong positive relationship on bone mass and bone health, while all the cross sectional have stronger research design. 65 The studies also have different setting for increases. study, some in a clinical setting and some in population Thus, bone size relative to obesity, rather than each factor alone, may 2,5,6,12 . be an important determinant of fracture risk in young population 5,12. It seems that most of the reviewed studies have different study duration. Greenhalgh Moreover, most of these reviewed studies (1997) notes that a cohort study should did not assess some confounding factors provide a sufficient follow up period to see such as nutritional intake and physical the outcomes of the exposures. The effects activity levels of participants that undoubtedly of obesity in bone mass may not be seen in influence bone growth and mineral accrual. the studies which have insufficient time Physical activity is an important cofactor to 9 duration . achieve maximal peak bone mass during Although all of reviewed studies are growth period. In any study design, those carried out among children, they were factors should be identified and included in conducted in the different study population the assessment. Margetts et al. (2002) notes which may have some different factors such that observational studies, particularly case- as age, ethnicity, and socioeconomic status control studies are more subject to bias. which may also influence body weight and Thus, researchers should minimize or avoid bone development. Moreover, most of the biases by measuring the effect of these studies have different sample sizes. An biases on the outcomes before the study can adequate sample size is important in finding be properly interpreted 15,16,24. a statistically significant effect in a study Conclusion (IFIC, 2001). In one study, researcher notes that one of the limitations of their study is that Based on this review, studies of the effect sample size may not be big enough to of childhood obesity on bone mass and determine the ability of aBMD values to mineral accrual during growth period yielded predict new fractures with a wide intra- and inconsistent outcomes. Some studies have inter-subject variation in growing period 5 found a positive relationship between total fat The different outcomes related to bone mass and bone mass and/or bone area while strength, Clark et al. (2006) found that fat others suggest that fat mass may decrease mass may act to stimulate radial bone growth bone growth and increase the risk of fracture resulting in a larger long-bone cross sectional in children 4,5,6,7,12. area which is predicted to increase bone The different findings might be due to strength. In contrast, a previous study several possible factor such as different showed an research methodologies including the setting increased risk of fracture among young of the studies, study design, sample size, population. The possible reasons of this study duration and study population. difference is although fat mass commonly these acts to improve periosteal skeletal growth, outcomes. In term of study design, one study there is a subset of children with flawed was carried out in combined cross-sectional responses in whom the risk of fracture and prospective cohort studies, one study that obesity is related to 66 differences may affect All different used case control design, two in cross showed a strong positive association sectional, and three in cohort studies. between childhood obesity and bone health. Thus, regarding the hierarchy of evidence, Further research is required to determine the cohort studies are stronger than case-control mechanisms by which excess fat mass may and cross sectional studies. Most studies increase or reduce bone growth 16 . with higher hierarchial study design have References 9. Greenhalgh, T. (1997). How to read a paper: getting your bearing (deciding what the paper is about). British Medical Journal, 315, 243-246. 10. International Food Information Council Foundation, IFIC. How to understand and interpret food and health-related scientific studies. IFIC review. 2001; 9(1), 1-11. 11. Karlsson, L., Lundin, O., Ekström, L., Hansson, T., & Swärd, L. Injuries in adolescent spine exposed to compressive loads: an experimental cadaveric study. Journal of Spinal Disorders & Techniques. 1998; 11(6), 501. 12. Leonard, M. B., Shults, J., Wilson, B. A., Tershakovec, A. M., & Zemel, B. S. Obesity during childhood and adolescence augments bone mass and bone dimensions. The American journal of clinical nutrition.2004; 80(2), 514. 13. Lorentzon, M., Swanson, C., Andersson, N., Mellström, D., & Ohlsson, C. Free testosterone is a positive, whereas free estradiol is a negative, predictor of cortical bone size in young Swedish men: the GOOD study. Journal of Bone and Mineral Research. 2005; 20(8), 13341341. 14. Ludwig, D. S., Peterson, K. E., & Gortmaker, S. L. (2001). Relation between consumption of sugarsweetened drinks and childhood obesity: a prospective, observational analysis. The Lancet, 357(9255), 505-508. 15. Margetts B. M., Nelson, M. Overview of the principles of nutritional epidemiology. In: Margetts BM, Nelson M, eds. Design concepts in nutritional epidemiology. Oxford: Oxford University Press. 1997; 336. 16. Margetts, B., Vorster, H., & Venter, C. Evidence-based nutrition-review of nutritional epidemiological studies. South African Journal of Clinical Nutrition. 2002; 15(2), 68-73. 17. Mccormick, D. P., Ponder, S. W., Fawcett, H. D., & Palmer, J. L. (1991). Spinal bone mineral density in 335 1. Berkey, C. S., Rockett, H. R. H., Field, A. E., Gillman, M. W., & Colditz, G. A. Sugar-Added Beverages and Adolescent Weight Change&ast; &ast. Obesity. 2004; 12(5), 778-788. 2. Clark, E., Ness, A., & Tobias, J. Adipose tissue stimulates bone growth in prepubertal children. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2006; 91(7), 2534. 3. Elefteriou, F., Ahn, J. D., Takeda, S., Starbuck, M., Yang, X., Liu, X., . . . Noda, M. Leptin regulation of bone resorption by the sympathetic nervous system and CART. Nature. 2005; 434(7032), 514520. 4. Ellis, K., Shypailo, R., Wong, W., & Abrams, S. Bone mineral mass in overweight and obese children: diminished or enhanced? Acta diabetologica. 2003; 40, 274-277. 5. Goulding, A., Jones, I., Taylor, R., Manning, P., & Williams, S. More broken bones: a 4‐year double cohort study of young girls with and without distal forearm fractures. Journal of Bone and Mineral Research. 2000; 15(10), 20112018. 6. Goulding, A., Taylor, R. W., Grant, A. M., Murdoch, L., Williams, S. M., & Taylor, B. J. (2008). Relationship of total body fat mass to bone area in New Zealand fiveyear-olds. Calcified tissue international. 2008; 82(4), 293-299. 7. Goulding, A., Taylor, R., Jones, I., Manning, P., & Williams, S. Spinal overload: a concern for obese children and adolescents? Osteoporosis International. 2002; 13(10), 835-840. 8. Goulding, A., Taylor, R., Jones, I., McAuley, K., Manning, P., & Williams, S. Overweight and obese children have low bone mass and area for their weight. International journal of obesity and related metabolic disorders: journal of the International Association for the Study of Obesity. 2000; 24(5), 627. 67 18. 19. 20. 21. normal and obese children and adolescents: evidence for ethnic and sex differences. Journal of Bone and Mineral Research.1991; 6(5), 507-513. Morrill, A. C., & Chinn, C. D. The obesity epidemic in the United States. Journal of Public Health Policy. 2005; 25, 3(4), 353366. Ogden, C., & Carroll, M. Prevalence of obesity among children and adolescents: United States, trends 1963–1965 through 2007–2008. 2010. Retrieved from http://www. cdc. gov/nchs/data/hestat/obesity_child_07_0 8/obesity_child_07_08. pdf. Saggese, G., Baroncelli, G. I., & Bertelloni, S. Puberty and bone development. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism. 2002; 16(1), 53-64. Shiri, R., Karppinen, J., Leino-Arjas, P., Solovieva, S., & Viikari-Juntura, E. The association between obesity and low back pain: a meta-analysis. American journal of epidemiology. 2010; 171(2), 135. 22. Troiano, R. P., & Flegal, K. M. Overweight children and adolescents: description, epidemiology, and demographics. Pediatrics, 101(Supplement). 1998; 497. 23. World Health Organization. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health Fact Sheets. 2003. Retrieved June 19, 2011, fromhttp://www.who.int/dietphysicalactivit y/media/en/gsfs obesity.pdf 24. Janz, K. Physical activity and bone development during childhood and adolescence: implications for the prevention of osteoporosis. Minerva pediatrica. 2002; 54(2), 93-104. 68 PETUNJUK PENULISAN NASKAH Tulisan didasarkan pada hasil penelitian empirik (antara lain dengan menggunakan strategi penelitian ilmiah termasuk survei, studi kasus, percobaan/eksperimen, analisis arsip, dan pendekatan sejarah), atau hasil kajian teoretis yang ditujukan untuk memajukan teori yang ada atau mengadaptasi teori pada suatu keadaan setempat, dan/ atau hasil penelaahan teori dengan tujuan mengulas dan menyintesis teori-teori yang ada. TEMA TULISAN Naskah berkaitan dengan perkembangan terkini dan “best practices” bidang ilmu pendidikan untuk dokter, dokter spesialis dan profesi kesehatan yang lain, serta pendidikan profesi berkelanjutan. Tema yang dapat ditulis antara lain: · Inovasi pembelajaran · Pengembangan kurikulum dan modul · Proses belajar mengajar · Manajemen pendidikan tinggi · Skills laboratory/ laboratorium keterampilan medik · Pendidikan klinik termasuk rumah sakit pendidikan · Media ajar · Evaluasi belajar mengajar · Evaluasi program pendidikan · Etika dan profesionalisme Tema-tema lain yang terkait dengan bidang ilmu pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan lain yang belum tercantum diatas tetap dapat diterima. PANDUAN PENULISAN a. Jenis naskah : penelitian, studi kasus, tinjauan pustaka, resensi, dan korespondensi. b. Hasil penelitian merupakan hasil penelitian yang bersangkutan dan disetujui semua yang namanya tercantum sebagai penulis. c. Naskah yang dikirim belum pernah dan tidak sedang dalam proses untuk publikasi di jurnal lainnya. d. Menyertakan surat pernyataan BUKAN PLAGIAT dan bertanggung jawab apabila ada tuntutan plagiarisme dari ilmuwan lain. e. Menyertakan ethical clearance dari komisi etik yang bersangkutan, terutama untuk penelitian yang melibatkan manusia dan hewan sebagai sasaran dan tujuan penelitian. f. Menyertakan surat persetujuan pasien atau keluarga; atau sekurang kurangnya surat pernyataan dari penulis tentang persetujuan pasien atau keluarga 69 g. Naskah publikasi dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris yang mengikuti aturan kaidah penulisan ilmiah. h. Naskah abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia masing-masing tidak lebih dari 250 kata dengan susunan sebagai berikut : latar belakang, tujuan, metode (penelitian), hasil (penelitian), simpulan, kata kunci. i. Panjang naskah berkisar antara 2500-5000 kata atau maksimal 15 halaman A4. j. Naskah berupa ketikan komputer, menggunakan perangkat lunak pengolah kata yang umum (MS Word) dan diserahkan dalam bentuk elektronik (melalui e-mail atau disket) maupun print out (rangkap 2). Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada ukuran kertas A4 tidak bolak-balik, 1 kolom, menggunakan huruf Arial ukuran 12 pts. Naskah diketik rata kiri, antar paragraf ditandai dengan jarak satu (1) spasi. Sub-judul ditulis tanpa penomeran, rata kiri, menggunakan huruf kapital dan ditebalkan. k. Judul naskah tidak melebihi 20 kata yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. l. Nama pengarang tidak disertai gelar, disertai dengan asal instansi dan alamat korespondensi, yang meliputi alamat surat, email dan nomer telepon. Pengarang lebih dari satu diurutkan berdasarkan besaran kontribusi dan salah satunya menjadi koresponden. m. Tabel dan gambar harus diberi judul dan keterangan yang cukup, sehingga tidak tergantung pada teks. Judul tabel diletakkan diatas tabel. Judul gambar diletakkan di bawah gambar. Tabel dan gambar diletakkan pada badan tulisan sesuai dengan kepentingannya. n. Penulisan pustaka menggunakan sistem nomor (Vancouver style) sesuai dengan urutan penampilan Naskah Dikirimkan dalam bentuk soft copy dan hard copy ke : Sekertariat Jurnal Kedokteran Unram Dengan alamat : Fakultas Kedokteran Univesitas Mataram Jl. Pendidikan No. 37 Telpon (0370) 640874.Fax (0370) 641717 Mataram - NTB, Kode Pos : 83125 Korespondensi dapat melalui email : [email protected] 70