Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Alur Cerita Salah satu elemen penting dalam membentuk sebuah karya adalah plot cerita. Dalam analisis cerita, plot sering disebut dengan istilah alur. Pengertian plot atau alur secara umum sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita ( Siti sundari, et al. 1985:38 ). Luxemburg menyebut alur atau plot sebagai konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku ( Luxemburg, et al. 1984:149 ). Alur erat kaitannya dengan konflik antar tokoh-tokoh yang ada dalam cerita. Baik alur maupun konflik berkaitan erat dengan tokoh ( penokohan ). Keduanya merupakan unsur fundamental dari cerita rekaan. Nurgiyantoro ( 2002:113 ) dalam buku Teori Pengkajian Fiksi mengatakan: Alur merupakan struktur peristiwa–peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek artistik tertentu. Peristiwa-peristiwa cerita (alur) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh utama cerita. Dalam pengertiannya yang lebih khusus, Plot sebuah cerita tidaklah hanya sekedar rangkaian peristiwa yang termuat dalam topik-topik tertentu, melainkan mencakup beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa (Crane, 1963:63). Dalam 18 konteks ini, bangunan sebuah plot menjadi sesuatu yang amat kompleks. Plot tidak hanya dilihat dari jalannya suatu peristiwa. Lebih jauh lagi perlu dianalisis bagaimana urgensi peristiwa-peristiwa yang muncul tersebut mampu membangun satu tegangan atau konflik tokohnya. Dengan kata lain, analisis plot tidak hanya dilihat dari kedudukan satu topik di antara topik-topik yang lain, melainkan harus pula dikaitkan dengan elemen-elemen lain, seperti karakter pelaku, dan pemikiran pengarang yang tercermin dalam tokoh-tokohnya (Crane, 1963:63). Rangkaian peristiwa yang dikaitkan dengan perkembangan karakter, pemikiran para tokoh cerita dan penyajian susunan peristiwa yang dimunculkan pengarang inilah yang akan menentukan sejauh mana kekuatan sebuah karya cerita. Dalam kaitan ini, Propp menyebutkan bahwa keberadaan sebuah plot tidak mungkin hanya dilihat dari strukturnya saja, tetapi juga harus dilihat dari fungsinya. Menurut Propp yang dimaksud fungsi plot adalah aktivitas dramatik tokoh yang didasarkan atas sudut pandang dari sejumlah peristiwa yang membangun cerita secara keseluruhan (Propp,1958:20). Dalam rangkaian kejadian terdapat hubungan sebab-akibat yang bersifat logis artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu memang mungkin terjadi atau tidak dibuat-buat. Menurut Crane (1963), berdasarkan fungsi plot dalam membangun nilai estetik cerita, maka identifikasi dan penilaian terhadap keberadaan plot menjadi 19 sangat beragam. Keberagaman tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga prinsip utama analisis plot yang meliputi: 1) Plots of actions, yaitu analisis proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik yang muncul secara bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh utama, dan sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut. 2) Plots of character, yaitu proses perubahan perilaku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan. 3) Plots of thought, yaitu proses perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara langsung dihadapi. 2.1.1 Fungsi Tujuh Unsur Alur. Alur berfungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi pengarang untuk melanjutkan cerita berikutnya. Menurut Waluyo (2002:147) menjelaskan alur juga berkaitan dengan pembagian waktu dan irama cerita. Pada awal cerita, irama waktu cukup longgar. Waktu bercerita makin dipercepat pada bagian perumitan dan lebih cepat lagi pada 20 penggawatan agar secepatnya mencapai klimaks. Untuk menganalisis sebuah karya fiksi diperlukan eksploralisasi alur. Menurut Waluyo (2002:147-148) dalam buku Pengkajian Sastra Rekaan, alur cerita meliputi tujuh unsur alur yaitu: 1. Paparan (Exposition) artinya memaparkan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Tokoh merupakan pelaku utama cerita, tempat kejadian merupakan tempat dimana suatu peristiwa terjadi. Pada tempat kejadian pengarang memaparkan tempat-tempat yang dijadikan sebagai latar kejadian dan topik adalah judul yang dijadikan inspirasi oleh pengarang dalam membuat karyanya. 2. Rangsangan (Inciting Moment) adalah peristiwa mulai adanya masalah-masalah yang ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan. Pada tahap ini pengarang berusaha untuk menampilkan peristiwa yang menyulut sehingga menarik perhatian pembacanya. Jadi dapat dikatakan bahwa tahap ini merupakan tahap awal pemunculan masalah (konflik). 3. Penggawatan (Rising Action) adalah penanjakkan konflik yang selanjutnya terus terjadi peningkatan konflik. Masalah yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa yang terjadi membuat cerita semakin lebih menarik. 21 4. Perumitan (Complication ) adalah konflik yang semakin sulit. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. 5. Klimaks (Climax) merupakan hal yang amat penting dalam struktur plot. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan terjadi jika ada konflik. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak (diselesaikan atau tidak), dalam banyak hal yang akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan dan tujuan pokok pengarang dalam membangun konflik sesuai dengan tuntutan dan koherensi cerita. Klimaks sangat menentukan bagaimana permasalahan (konflik) akan diselesaikan. Boleh dikatakan bahwa dalam klimaks nasib tokoh utama cerita akan ditentukan. 6. Peleraian (Falling Action) merupakan tahap akhir sebuah cerita. Pada tahapan ini akan menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, pada bagian ini berisi bagaimana akhir cerita atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Bagaimana bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan oleh hubungan antar tokoh dan konflik (termasuk klimaks) yang dimunculkan. 7. Penyelesaian (Denouement). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi 22 penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Penyelesaian sebuah cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: 1) Penyelesaian tertutup. Penyelesaian yang bersifat tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah selesai sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Pada penyelesaian tertutup, pembaca tidak mempunyai kesempatan untuk ikut menentukan penyelesaian cerita. Penyelesaian telah ditentukan secara pasti oleh pengarang dan sebagai pembaca tinggal menerima apa adanya. 2) Penyelesaian terbuka. Penyelesaian yang bersifat terbuka menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang sebenarnya masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan dan logika, cerita masih potensial untuk dilanjutkan, konflik belum sepenuhnya diselesaikan. Pada penyelesaian terbuka, di pihak lain memberi kesempatan kepada pembaca untuk ikut memikirkan, mengimajinasikan dan mengkreasikan bagaimana kira-kira penyelesaiannya. Pembaca bebas untuk untuk mengkreasikan penyelesaian cerita sesuai dengan harapannya. Pada prinsipnya alur cerita terdiri atas tiga bagian, yakni: 23 1. Alur awal yang terdiri atas Paparan (Exposition), Rangsangan (Inciting Moment ), dan Penggawatan (Rising Action). 2. Alur tengah yang terdiri atas Perumitan (Complication) dan Klimaks (Climax). 3. Alur akhir yang terdiri atas Peleraian (Falling Action) dan Penyelesaian (Denouement). 2.1.2 Pesan Moral Istilah moral atau moralitas berasal dari bahasa latin “mos” (tunggal), “moses” (jamak) dan kata sifat “moralis”. Bentuk jamak “moses” berarti kebiasaan, kelakuan atau kesusilaan (Satari, 2003:58). Pengertian moral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994) adalah Secara umum moral menyaran pada pengertian baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Moral, seperti halnya tema dari segi karya sastra merupakan unsur isi. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita, menurut Kenny (1966:89) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat 24 praktis, yang dapat diambil atau ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan. Sebuah karya sastra yang ditulis oleh pengarang antara lain menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan. Bahkan unsur amanat sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan (Nurgiyantoro, 2002:321). Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tersebut (Nurgiyantoro, 2002:322). 2.1.2.1 Jenis dan Wujud Pesan Moral. Jenis ajaran moral sendiri dapat mencakup masalah yang boleh dikatakan 25 bersifat tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan awal dan hubungan manusia dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, 2002:323). Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Hal itu tentu saja tidak lepas dari kaitannya dengan persoalan hubungan antar sesama dan dengan Tuhan. Pemisahan hanya memudahkan pembicaraan saja. Ia dapat berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa percaya sendiri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu (Nurgiyantoro, 2002:324). Masalah-masalah yang berupa hubungan antar manusia antara lain dapat berwujud persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan, hubungan suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami atau istri, anak dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2002:325). 2.1.2.2 Bentuk Penyampaian Pesan moral. Menurut Nurgiyantoro (2002), secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk 26 penyampaian moral dibagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Bentuk Penyampaian Langsung. Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian atau penjelasan. Dilihat dari segi kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pembaca, teknik penyampaian langsung tersebut komunikatif. Artinya pembaca memang secara mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan. Pesan moral yang bersifat langsung biasanya terasa dipaksakan dan kurang koherensif dengan unsur-unsur yang lain dan dapat dipandang sebagai karya yang membodohkan pembaca. Hal ini tentu saja akan merendahkan nilai-nilai sastra yang bersangkutan. b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung. Bentuk penyampaian tidak langsung hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik tersebut baik yang tersirat dalam tingkah laku verbal, fisik maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut pesan moral disalurkan. Dilihat dari kebutuhan pengarang yang ingin menyampaikan pesan dan pandangannya, cara ini mungkin kurang komunikatif. 27 Kadar ketersembunyian unsur pesan yang ada dalam banyak hal dipakai untuk mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya sebagai seni. Dengan demikian, di satu pihak pengarang berusaha menyembunyikan pesan dalam teks dan kepaduannya dengan keseluruhan cerita, di pihak lain pembaca berusaha menemukannya lewat teks cerita (Nurgiyantoro, 2002:340). 2.2 Teori Penokohan. Tokoh cerita atau character, menurut Abrams (1981:20) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Karakter dapat berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti perwatakan. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya merupakan suatu kepaduan yang utuh. Mutu sebuah cerita ditentukan oleh kepandaian si pengarang dalam menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah seluruh cerita. Tiap tokoh harus mempunyai kepribadian sendiri, tergantung dari masa lalu, pendidikan, pengalaman hidup dan lain-lain. Seorang pengarang yang cekatan, hanya dalam satu adegan saja sanggup memberikan pada kita latar belakang kehidupan seseorang. Bukan dengan menceritakannya pada pembaca, tetapi dengan mendramatisirkannya yaitu lewat cara bicara, reaksinya terhadap peristiwa, cara 28 berpakaian dan tindakannya (Nurgiyantoro, 2002:166). Pengarang yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokohnya dengan sendirinya meyakinkan kebenaran cerita. Tetapi, pribadi dalam cerita tidak sama dengan pribadi orang-orang yang kita jumpai dalam kehidupan sebenarnya. Kepribadian dalam hidup sehari-hari begitu kompleks namun kepribadian dalam cerita hanya perlu menonjolkan beberapa sifat saja. Tokoh cerita harus kita gambarkan sesering mungkin, maka apa yang diucapkannya, apa yang diperbuatnya, apa yang dipikirkannya, dan apa yang dirasakannya harus betul-betul menunjang penggambaran watak yang khas (Nurgiyantoro, 2002:331). Penokohan dan pemplotan merupakan dua fakta cerita yang saling mempengaruhi dan menggantungkan satu dengan yang lain. Tokoh-tokoh cerita itulah yang berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai penderita kejadian. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan penulis, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002:172). Masalah kewajaran tokoh cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari. Seorang tokoh cerita dikatakan wajar, relevan, jika mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya 29 Realitas kehidupan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita. Namun, haruslah disadari bahwa hubungan itu tidaklah bersifat sederhana, melainkan bersifat kompleks. Unsur watak atau karakter menjadi begitu menonjol antara lain disebabkan oleh makin berkembangnya ilmu jiwa ( Jakob Sumardjo, 1986:63 ). 2.3 Teori Sosiologi Sastra Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang obyektf dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Meskipun sosiologi boleh dianggap bukan suatu ilmu yang bersifat normatif, ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat menimbulkan sikap normatif kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal dan kecerdasan kita (Damono, 1978:6). Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Satari (2003:58), mengemukakan bahwa perikehidupan manusia bersendi pada unsur-unsur yang menentukan sikap hidupnya dalam masalah yang dihadapi menurut watak atau karakter dan kepribadiannya. Masalah yang dihadapi manusia selalu menimbulkan konflik, namun pada prinsipnya manusia selalu 30 berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Jadi sosiologi sastra merupakan suatu pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda pengertiannya dengan sosio-satra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosiokultural terhadap satra. Sosiologi sastra dalam pengertian ini mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu (Damono, 1978:7). Beberapa penulis telah mencoba untuk membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1956:84) mengatakan bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai pendekatan ekstrinsik dimana sosiologi sastra memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Klasifikasi di atas tidak banyak berbeda dengan yang dibuat oleh Ian Watt (1964:300-313) dalam esainya yang berjudul “Literature and Society”. Beliau membicarakan tentang hubungan timbal balik antara konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra. Meskipun sastra dan sosiologi bukanlah dua bidang yang sama, beberapa ahli sosiologi sejak abad yang lalu telah mencoba menyinggung sastra, namun pada hakekatnya mereka masih menganggap sastra sekedar bahan untuk menyelidiki 31 struktur sosial. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan dan lain-lain (Damono, 1978:8). Wellek dan Warren (1956:82) mengatakan bahwa tidaklah jelas pengertiannya apabila dikatakan bahwa sastra mencerminkan atau mengekspresikan kehidupan. Memang para pengarang mengekspresikan pengalaman dan pahamnya yang menyeluruh tentang kehidupan, tetapi jelas keliru kalau dianggap mengekspresikan hidup selengkap-lengkapnya. Keberatan yang diajukan oleh Wellek dan Warren di atas jelas didasarkan pada anggapan dan kesimpulan bahwa pendekatan sosiologis terhadap sastra bersifat sempit. Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingewood (1972:15) mengetengahkan pandangan yang lebih positif. Ia tidak berpihak pada pandangan yang menanggap sastra sebagai sekedar bahan sampingan saja. Swingewood menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu. Pengarang besar tentu saja tidak sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas dengan memainkan tokoh-tokoh ciptaannya dalam situasi rekaan untuk mencari nasib mereka sendiri selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. 32 Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Oleh karena itu ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial. Dan karena sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan bahwa semakin sulit mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakatnya sebab masyarakat semakin rumit (Damono, 1978:13). Pandangan Plato tentang peran sastra dalam masyarakat didasarkan pada kegunaan praktis saja. Meskipun teori filsuf ini kemudian diruntuhkan oleh beberapa penulis sesudahnya, antara lain oleh Aristoteles yang hidup beberapa puluh tahun kemudian, Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya (Damono, 1978:16). Dalam perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologis terhadap sastra terbagi menjadi dua jalur utama. Yang pertama adalah pandangan yang dikenal sebagai positivisme, yang merupakan usaha untuk mencari hubungan antara sastra dan beberapa faktor seperti iklim, geografi dan ras. Pandangan ini menyatakan bahwa tak ada ukuran mutlak dalam penilaian sastra. Penilaian artistik sepenuhnya tergantung pada waktu, tempat dan fungsinya (Damono, 1978:18). Jalur kedua menolak sikap empiris ini. Dalam pandangan ini sastra bukanlah sekedar pencerminan masyarakatnya. Sosiologi sastra terutama berupa 33 penelaahan nilai-nilai yang harus dihayati oleh orang-orang dan masyarakat. Berbeda dengan positivisme yang berkecenderungan untuk melakukan deskripsi ilmiah, jalur pendekatan kedua ini memiliki gambaran kritik yang jelas sikapnya (Damono, 1978:18). 2.4 Teori Masyarakat Sosial Jepang Masyarakat Jepang dewasa ini dihadapkan pada masalah bagaimana membangun budaya baru yang dapat menghidupkan kembali orang-orang yang menderita karena penyakit sosial seperti ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain (Someya, 2006:177). Bila kita menggambarkan masyarakat Jepang setengah abad lalu, masyarakat lebih dikedepankan daripada individu dan individu itu melekat dalam masyarakat. Masyarakat mengutamakan kedamaiannya di atas kesejahteraan pribadi dan individu harus berusaha merealisasikan tujuan bersama dengan menjalin hubungan antar pribadi. Oleh karena itu, pribadi yang menyombongkan diri akan dikucilkan dari masyarakat (Someya, 2006:177). Masyarakat Jepang disebut sebagai masyarakat yang kurang rasa sosialnya. Orang-orang telah diberi otonomi dan masing-masing telah putus hubungan dengan yang lain. Pribadi yang tidak dapat berhubungan dengan yang lain akan menderita kesepian dan bahkan kekosongan, meskipun pada saat yang sama mereka menikmati 34 kebebasan. Orang-orang yang demikian ini semakin bertambah khususnya pada generasi muda (Someya, 2006:177). Masyarakat jepang telah kehilangan batasan-batasan masyarakat, yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan sebelum adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali menyebabkan perilaku yang tidak bermoral (Someya, 2006:171-172). Karena kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap yang lain. Kurangnya batasan masyarakat ini dapat diamati secara nyata di daerah urban dan semi urban. Masyarakat Jepang seharusnya menyusun suatu perkawinan kebudayaan yang disusun dari budaya kontekstual tradisional dengan budaya modern (Someya, 2006:181). 2.4.1 Pandangan Tentang Masyarakat Jepang Dewasa ini Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, tetapi di dalam proses kehidupan selanjutnya membutuhkan manusia lain di sekelilingnya serta melakukan interaksi dengan manusia lain yang pada akhirnya membentuk suatu kelompok yang disebut masyarakat. Seseorang didasarkan akan adanya hubungan peran tersebut karena 35 proses sosialisasi yang sudah berlangsung sejak masa kanak-kanak, yaitu suatu proses tempat seseorang belajar mengetahui apa yang dikehendaki (William J. Goode, 1985:1-2). Setiap negara memiliki sifat dasar masyarakat yang berbeda. Sifat dasar ini dikenal sebagai dasar karakteristik manusia. Ada pun dasar dari karakteristik masyarakat Jepang, hal ini sesuai dengan yang ditulis dalam Kodansha International (2000: 156) sebagai berikut: 社会の基本的な単位についての意識を、日本人は「家」に置いていま す. ここで「イエ」と言うのは「家族」の意味だけでなく、社会、学校な ど、運命をにするも意味します. Dasar dari unit sosial masyarakat Jepang dinamakan ie yang berarti rumah atau keluarga termasuk rasa solidaritas antar kelompok seperti keluarga, rekan kerja, sekolah dan komunitas keagamaan. Talcot Parsons, sosiolog dari Amerika sejak awal karirnya menjelaskan bahwa masyarakat yang terdiri dari banyak individu yang berbeda dapat hidup teratur disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya nilai-nilai budaya yang dibagi bersama, yang dilembagakan menjadi norma sosial. Veeger yang mengutip pendapat Parson menjelaskan bahwa tiap-tiap sistem sosial dicirikan oleh nilai-nilai yang telah dilembagakan dan hal itu merupakan keharusan fungsional dari sistem sosial itu ( F.J. Veeger, 1990: 208 ). Dalam sebuah masyarakat selalu terjadi interaksi sosial, yaitu aspek kelakuan yang terdapat dalam hubungan antar anggota masyarakat. Dalam tradisi 36 masyarakat Jepang interaksi sosial didasari oleh hubungan manusia yang bersifat budaya. Yaitu hubungan sosial yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang memperhitungkan untung rugi melainkan diikat oleh sifat Shinzoku teki atau ikatan kekerabatan semu dalam kehidupan kelompok. Hubungan semacam itu tidak hanya berdasarkan pertalian darah, tetapi lebih didasarkan pada kebersamaan dalam menanggung kehidupan sehari-hari, baik senang maupun susah secara bersama-sama ( Choshu, 1959: 57 ). 2.4.2 Pandangan Kaum Muda Jepang Sebelum Perang Sejak zaman Restorasi Meiji dan sepanjang zaman Showa, ciri khas sikap serta sistem nilai kaum muda Jepang ialah bahwa kehidupan sehari-hari mereka, yaitu menyangkut soal keluarga, sekolah dan tempat kerja diintregasikan dengan nilai dan tujuan negara. Dalam pola pemikiran seperti ini dapat disebut kurang lebih bersifat mutlak, cita-cita kehidupan yang mempengaruhi mereka dapat didefinisikan sebagai “kultus keberhasilan” (Hisao, 1980:18). Kultus keberhasilan memainkan peranan penting sebagai semangat yang mendorong Jepang ke arah modernisasi melalui dua jalan. Jalan yang pertama ialah mendorong kaum muda untuk bekerja keras. Jalan yang kedua ialah bahwa hal ini berakhir dalam timbulnya perasaan akan pentingnya keberhasilan itu sendiri pada kaum muda meskipun fakta menunjukkan bahwa sikap ini telah ditanamkan dengan 37 sengaja untuk membantu kebutuhan negara (Hisao, 1980:19). Sifat persaingan yang dicetuskan oleh kultus keberhasilan ini di antara kaum muda sejak zaman Meiji disebut dengan ambisi, meskipun pertentangan terbuka tidak secara terang-terangan disetujui. Dalam konteks kultus keberhasilan ini, secara teoritis kedudukan sosial diperoleh melalui persaingan atas dasar kemampuan pribadi (Hisao, 1980:18). Menurut Routledge dan Kegan Paul, dalam bentuknya yang paling ekstrim negara disamakan dengan keluarga. Kultus ini menghasilkan solidaritas dan persatuan yang tidak jauh dari militerisme. Cita-cita seperti ini merupakan penolakan mutlak terhadap individualisme dan liberalisme modern dari barat. Wujud dari ide ”negara di atas segala-galanya” yang menjelma dalam sikap umum atau nilai-nilai masyarakat merupakan inti pola pemikiran kaum muda sebelum perang. 2.4.3 Pandangan Kaum Muda Jepang Setelah Perang Banyak perbedaan yang terlihat antara pandangan hidup serta pola tingkah laku kaum muda Jepang sebelum dan sesudah perang. Pandangan hidup serta tingkah laku kaum muda Jepang setelah perang dalam beberapa hal masih merupakan masalah yang sangat rumit sehubungan dengan integrasi kaum muda dalam masyarakat. Mereka mengatakan bahwa tujuan hidup adalah untuk hidup sesuai dengan selera pribadi atau hidup sehari-hari yang bebas dari kegelisahan nampaknya 38 sangat bertentangan dengan intensitas yang mengasingkan mereka satu dengan yang lain dan menyebabkan mereka berusaha mengesampingkan teman (Hisao, 1980:27). Kecenderungan egosentris, merupakan ciri khas kaum muda Jepang dewasa ini. Hal ini memperlihatkan bahwa ada perbedaan dengan ciri-ciri kaum muda Jepang sebelum perang yang sangat memperhatikan masyarakat dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa meskipun ciri ini kadangkala terwujud dalam usaha-usaha positif untuk menentukan kehidupan sendiri melalui kritik dan pertentangan terhadap nilai-nilai atau pola pemikiran yang sudah mapan, kadang-kadang ini juga berakar dalam sifat egoisme yang disatukan dengan tingkah laku yang kurang lebih bersifat manja atau mementingkan diri sendiri (Hisao, 1980:27). Kecenderungan umum ke arah egosentrisme dan sifat mementingkan diri sendiri di antara kaum muda modern, dapat dianggap sebagai gejala yang disebabkan oleh kehidupan yang serba kecukupan. Beberapa fakta memperlihatkan masalah yang terjadi dalam tingkah laku kaum muda disebabkan oleh perubahan keadaan masyarakat yang terjadi karena pertumbuhan pesat dalam perekonomian (Hisao, 1980:27). Sebagian besar kaum muda Jepang saat ini menyetujui bahwa makna kehidupan adalah untuk mengenal kebahagiaan dalam mencintai dan dicintai dan 39 bahwa hubungan antar manusia yang terbaik adalah hubungan dimana orang-orang berusaha untuk saling mengerti serta menghargai. Ciri yang menyolok dari kaum muda Jepang yang sangat terlihat dalam kehidupan yakni sikap tidak peduli terhadap sesama, hal ini dapat dilihat dari kecenderungan untuk menutup diri bila berhadapan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat (Hisao, 1980:31). Di Jepang, sikap yang tidak memperhatikan kepentingan orang luar adalah sikap yang dianggap wajar. Nakane (1997) dalam Japanese Society mengatakan sebagai berikut ini: They have not developed techniques for dealing with person “outside” because their lives are so tightly concentrated into their own groups. Selanjutnya dengan cara menekankan kesadaran akan kita terhadap “mereka”, yaitu orang-orang luar, akan memperkokoh perasaan sebagai anggota dari kelompok yang sama. Selain itu sikap otoriter yang menuntut kepatuhan otomatis kepada perintah orang tua yang didukung oleh moralitas sistem keluarga tradisional, tidak lagi dianggap sebagai nilai yang tinggi. Namun tidak terdapat moralitas baru yang dibentuk untuk mengganti yang lama. Faktor lain yang juga mempengaruhi hal di atas yakni orang tua telah kehilangan kepercayaan karena berhadapan dengan nilai-nilai yang berubah dan beragam sehingga menjadi longgar untuk diterapkan (Hisao, 1980:34). Hal diatas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hans brinckmann (2006) dalam Japanese Society at the start of the 21 century, yakni 40 sebagai berikut: After a prolonged period of painful adjustment following the abrupt end to decades of high growth, the economy seems to have found a sustainable course. But Japanese society has change. Old value are eroding, unemployment has risen sharply, the birth rate is the lowest in the world and millions of young people feel alienated. Setelah mengalami akhir yang tiba-tiba dari pertumbuhan ekonomi yang pesat selama beberapa dekade terakhir disertai dengan periode penyesuaian yang sulit dalam jangka waktu yang lama, perekonomian sepertinya telah menemukan arah yang pasti. Tetapi masyarakat Jepang telah berubah, nilai-nilai leluhur telang hilang, jumlah pengangguran telah meningkat tajam, angka kelahiran terendah di dunia dan jutaan kaum muda merasa tersisih. Satu lagi faktor yang berhubungan dengan ini ialah bertambahnya jumlah kaum muda yang keluar dari rumah orang tua untuk mencari tempat menginap yang lebih dekat dengan sekolah atau tempat kerja. Dengan demikian mereka lepas dari pengawasan orang tua (Hisao,1980:35). Seperti diungkapkan oleh Profesor Jiro Matsubara, bahwa kaum muda Jepang dalam golongan usia tertentu selalu diharapkan akan menunjukkan keberhasilan dalam proses pendidikan dari sekolah dasar ke sekolah menengah dan sekolah menengah ke universitas sampai mendapatkan pekerjaan yang baik. Kaum muda sendiri menganggap kebutuhan untuk memusatkan perhatian mereka kepada hal-hal untuk kemajuan seperti di atas merupakan suatu paksaan. Tekanan dalam ujian masuk sekolah dan perusahaan begitu ketat sehingga kaum muda Jepang selalu merasa terikat oleh kondisi-kondisi yang ditentukan lebih dulu 41 yang tidak memberikan kemungkinan untuk berkembang secara bebas. Kecenderungan ini mungkin mengandung unsur-unsur yang mirip dengan ciri umum kaum muda sebelum perang, tetapi tidak terdapat nilai-nilai menyeluruh yang menghubungkan mereka dengan keluarga dan negara secara langsung (Hisao, 1980:35). Kaum muda Jepang pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan untuk bertindak kurang lebih sesuai dengan pandangan yang mereka kembangkan sendiri daripada yang berhubungan dengan masyarakat atau bangsa (Hisao, 1980:35). 2.5 Teori Psikologi Remaja Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani yaitu Psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa. Psikologi remaja merupakan ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah remaja serta tingkah laku remaja (Gunarsa, 1985:223). Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik. Meningginya emosi disebabkan remaja berada di bawah tekanan sosial dan kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu. Sehingga mereka mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru (Fatimah, 42 2006:105). Pada masa remaja terlihat juga perubahan dalam cara berpikir yang menunjukkan bertambahnya minat terhadap peristiwa tidak langsung dan hal-hal yang tidak konkrit (Gunarsa, 1985:212). Hal ini disebabkan remaja memiliki karakter yang khas, seperti dijelaskan di bawah ini. 2.5.1 Ciri-ciri ( Karakter) Remaja. Memasuki usia remaja ada beberapa ciri yang harus diketahui, diantaranya ialah pertumbuhan fisik, perkembangan seksual, cara berpikir kausalitas, emosi yang meluap-luap, mulai tertarik kepada lawan jenis dan terikat dalam kelompok (Zulkifli, 1986:87-90). Menurut Gunarsa (1985:220) dalam Psikologi perkembangan anak dan remaja terdapat beberapa karakter remaja seperti penjelasan berikut ini: 1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan sebagai akibat dari perkembangan fisik, menyebabkan timbulnya perasaan rendah diri. 2. Ketidak seimbangan secara keseluruhan terutama keadaan emosi yang labil. Berubahnya emosionalitas, berubahnya suasana hati yang tidak dapat diramalkan menyebabkan remaja sering tidak mengerti dirinya sendiri. 3. Perombakan pandangan dan petunjuk hidup yang telah diperoleh pada masa sebelumnya, menimbulkan perasaan kosong di dalam diri remaja. 43 4. Sikap menentang dan menantang orang tua maupun orang dewasa lainnya merupakan ciri yang mewujudkan pendewasaan diri. 5. Kegelisahan, keadaan tidak tenang menguasai diri remaja. Banyak hal yang diinginkan tapi tidak sanggup memenuhi semuanya. 6. Eksperimentasi, atau keinginan besar yang mendorong remaja mencoba dan melakukan segala kegiatan dan perbuatan orang dewasa. 7. Eksplorasi, keinginan untuk menjelajahi alam sekitar sering disalurkan. Namun eksplorasi yang tidak dipersiapkan secara masak akan menimbulkan malapetaka. 8. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal sebab pertentangan-pertentangan dengan orang tua. 9. Banyaknya fantasi dan khayalan. 10. Kecenderungan membentuk kelompok. Kebersamaan dan kegiatan berkelompok memberikan dukungan moril pada sesama remaja. Dengan bekal tentang ciri-ciri remaja, diharapkan remaja lebih mengerti dirinya sendiri dan dimengerti orang lain sehingga dapat menjalani persiapan masa dewasa dengan lancar (Gunarsa, 1985:221). Menurut Haruyama (1995) dalam Nounai kaikaku menjelaskan sebagai berikut: 子供は遊びの中で体を鍛え、仲間との交流で人間社会を学び、そう やって大人になる準備をします. 44 Anak-anak dalam kelompok bermain dididik untuk dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, dengan cara seperti ini mereka mempersiapkan langkah menuju pendewasaan. 2.5.2 Perkembangan Kepribadian Remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana remaja biasanya mengalami perubahan fisik, kognitif dan sosial. Pada masa ini emosi remaja menjadi labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat (Iriani, 2004:1). Menurut Haruyama (1995) dalam Nounai kaikaku menjelaskan pengertian hormon sebagai berikut: ホルモンとはこのように情報伝達物質であるわけですが、要するに人 間が物を考えたり、行動したり、感じたりするのはホルモンなしには 起こらないと言うことです. Hormon dikatakan sebagai informasi yang melakukan pengiriman jasmani (materi) dimana manusia dapat berpikir, melakukan pergerakan, merasakan suatu hal. Tanpa adanya hormon kita tidak dapat melakukan hal-hal tersebut. Secara umum orang mengatakan bahwa gejala-gejala perubahan fisik merupakan tanda-tanda pubertas. Pada masa ini terlihat perubahan-perubahan jasmaniah yang berkaitan dengan kematangan jenis kelamin. Terlihat pula perkembangan psikososial yang berhubungan dengan berfungsinya seseorang dalam lingkungan sosial (Gunarsa, 1985:201-202). Menurut Gunarsa (1985), berikut ini akan dikemukakan beberapa tugas perkembangan bagi remaja yaitu menerima keadaan fisiknya, memperoleh kebebasan 45 emosional, mampu bergaul, menemukan model untuk identifikasi, mengetahui dan menerima kemampuan sendiri serta memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma. Secara psikologis dalam kehidupan remaja di Jepang, perilaku seks bebas merupakan salah satu hal yang wajar dilakukan. Mereka beranggapan bahwa kesenangan merupakan hal yang dipentingkan atau diutamakan selama tidak merugikan orang lain (Suyatno, 2006:1). 2.5.2 Konsep Diri Remaja. Menurut membedakannya Gunarsa dengan (1985), tentang kepribadian. istilah Kepribadian konsep diri terbentuk kita harus berdasarkan penglihatan orang lain terhadap diri sendiri. Sebaliknya konsep diri merupakan sesuatu yang ada dalam diri sendiri dengan kata lain merupakan pandangan dari dalam. Konsep diri dibagi menjadi dua tahapan.Yang pertama adalah konsep diri primer, dimana konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan keluarga. Yang kedua adalah konsep diri sekunder dimana konsep ini banyak ditentukan oleh bagaimana konsep diri primernya (Gunarsa, 1985:239). Ketika seseorang memasuki jenjang keremajaannya, maka ia mengalami 46 begitu banyak perubahan dalam dirinya. Sikap-sikap atau tingkah laku yang ditampilkan mengalami perubahan akibat sikap orang lain terhadap dirinya. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa konsep diri pada seorang remaja cenderung untuk tidak konsisten (Gunarsa, 1985:239). Analisis Profesor Sukemune dari Hiroshima menjelaskan bahwa gejala kecemasan pada anak meningkat dan bersifat akumulatif sejalan dengan jangka waktu ketidakhadiran orang tua bersama dengan mereka. Sampai pada batas tertentu seiring dengan berlangsungnya proses pematangan ke kedewasaan, anak-anak kemudian terbiasa tanpa kehadiran orang tua. Mereka seolah-olah mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut (Satiadarma, 2001:60). Tekanan ekonomi, perlombaan menunjukkan prestasi kerja, rasa tanggung jawab kerja pada masyarakat Jepang dikenal cukup tinggi. Tidak jarang orang tua kurang memperhatikan proses perkembangan anak-anak mereka. Mereka merasa kehidupan masyarakat yang sudah cukup mapan tidak membawa dampak negatif pada anak-anak mereka. Permasalahan yang sering muncul di dalam perkembangan anak-anak dan remaja di Jepang adalah larutnya nilai-nilai kehidupan tradisional masyarakat Jepang ke dalam kondisi yang mengkhawatirkan (Satiadarma, 2001:60-61). Minami Hiroshi, pertama-tama membagi konsep diri orang Jepang menjadi 47 dua bagian. Yang pertama adalah diri sebagai subjek atau Shutaiteki jiga (主体的自 我), disingkat dengan Shuga. Yang kedua adalah diri sebagai objek atau Kyakuga (客 我). Shuga mengandung pengertian diri sendiri yang menentukan dan diri itu pula yang melihat atau menilai dirinya sendiri. Sedangkan Kyakuga mengandung pengertian diri yang dikenai pekerjaan dan diri yang dilihat atau dinilai, yang berarti adalah diri secara pasif(Sutanto, 2003:85). Kyakuga dibagi dalam dua bentuk pula, yaitu diri sebagai objek yang dilihat dari diri itu sendiri atau Naiteki Kyakuga (内的客我), dan diri sebagai objek yang dilihat dari orang lain atau Gaiteki Kyakuga (外的客我) (Sutanto, 2003:85). Minami mengatakan bahwa struktur kedirian orang Jepang dicirikan dengan kuatnya Gaiteki Kyakuga, yaitu kesadaran yang terlalu berlebihan akan pandangan orang lain dalam menilai diri sendiri (Sutanto, 2003:85). 48