TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Klasifikasi Ilmiah Rafflesia Rafflesia merupakan salah satu bunga yang indah yang pernah dikenal dalam dunia botani. Diameternya mencapai 150 cm. Spesies Rafflesia arnoldi R.Br ditemukan pertama kali pada saat ekspedisi pengumpulan tumbuhan sumatera tahun 1818 oleh Joseph Arnold. Ketika bunga ini pertama dikenalkan dalam kekerabatan botani pada tahun 1820, banyak ilmuwan yang terkejut dan beberapa diantaranya menolak mempercayai bahwa Rafflesia adalah suatu tumbuhan. Herbarium dan deskripsi mengenai Rafflesia ditulis oleh naturalis kebangsaan Inggris yaitu Joseph Arnold yang bergabung dalam perkumpulan botani yang diketuai oleh Sir Thomas Rafless lalu dikirimkan ke Sir Joseph Banks. Herbarium ini kemudian disampaikan kepada Robert Brown seorang ahli botani ternama pada saat itu, dia membutuhkan waktu 18 bulan untuk memastikan bahwa tumbuhan ini merupakan suatu hal yang baru dalam dunia botani dan belum pernah di deskripsikan sebelumnya (Salleh,1991). Rafflesiaceae terdiri dari 8 marga yang ber-anggotakan sekitar 50 spesies, umumnya terdapat di daerah tropik indo-malaysia, antara lain Rafflesia, Rhizanthes, dan Sapria (Kuijt dalam Zuhud dkk, 1998). Menurut klasifikasi dunia tumbuhan, Rafflesia dapat dikelompokkan kedalam: Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Anak kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Aristolochiales Universitas Sumatera Utara Suku : Rafflesiaceae Marga : Rafflesia Jenis : Rafflesia arnoldi R. Br., R. bornensis Becc., R. ciliata Kds., R. gadutensis Meijer., R. hasseltii Suringar., R. keithii Meijer., R. kerri Meijer., R. manilana Tesch., R. micropylora Meijer., R. patma Blume., R. pricei Meijer., R. rochussenii T. Binn., R. schadenbergiana Goepp., R. tengku Adl., R. tuan mudae Becc., R. witkampi Kds., R. zollingeriana Kds. Morfologi Rafllesia Rafflesia merupakan tumbuhan unik yang hidup di ekosistem hutan hujan tropika kawasan flora Malesiana. Karakteristik Rafflesia sebagai spesies tumbuhan langka yang harus mendapat prioritas untuk pelestarian antara lain karena: (a) populasi di alam kecil (langka) dan merupakan spesies endemik, (b) spesies dengan sifat-sifat biologinya masih banyak yang misteri, (c) memiliki daur hidup tahunan dan tergantung pada spesies inang dan (d) peka terhadap adanya gangguan habitat (Priatna,1989). Spesies tumbuhan dari famili Rafflesiaceae ini adalah tumbuhan holoparasit, yaitu tumbuhan yang sepenuhnya bergantung pada tumbuhan lain untuk kebutuhan makanannya. Kelompok tumbuhan ini tidak mempunyai butirbutir khlorofil, tetapi mempunyai akar isap (haustorium) yang berfungsi sebagai penyerap nutrisi yang dibutuhkannya (Meijer dalam Zuhud dkk,1998). Pertumbuhan Rafflesia dimulai dengan pembentukan kecambah yang terdapat dalam kulit akar tumbuhan inang dan berkembang menjadi benangbenang. Proses selanjutnya terjadi pembengkakan serta terbentuknya knop pada Universitas Sumatera Utara permukaan akar tumbuhan inang. Knop ini membesar terus sampai knop tersebut robek yang berarti bunga mekar. Knop yang berbentuk seperti kol muncul dari akar tumbuhan inangnya, pada saat mekar sebagai bunga raksasa Rafflesia mempunyai warna coklat, merah dan putih. Tubuh vegetatif Rafflesia berupa talus (thallus), terdiri atas jaringan benang-benang yang menyusup ke dalam tumbuhan inangnya (biasanya diakar tumbuhan inangnya). Ukuran bunga berbeda menurut spesiesnya, yaitu berkisar antara diameter 20 cm – 150 cm (Backer dalam Zuhud dkk, 1998). Keanekaragaman Spesies Rafflesia Sampai sekarang telah berhasil di identifikasi 17 spesies Rafflesia di dunia dimana 12 spesies diantaranya terdapat di hutan Indonesia. Semuanya berhabitat dalam ekosistem hutan hujan tropika Asia Tenggara, sebelah barat dari garis Wallace yaitu pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Thailand,Luzon dan Mindanao. Penyebaran biji Rafflesia di duga dapat dilakukan oleh aliran air, angin, serangga tanah dan mamalia hutan yang berkuku dan diduga binatang berkuku memiliki peran sebagai penyebar biji efektif, karena kukunya dapat membawa banyak biji Rafflesia yang berukuran sangat kecil (Zuhud dkk, 1998). Tumbuhan inang Rafflesia sp Liana merupakan spesies tumbuhan merambat. Tumbuhan ini memiliki batang yang tidak beraturan dan lemah, sehingga mampu mendukung tajuknya. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1982), adanya liana di hutan merupakan Universitas Sumatera Utara salah satu ciri khas hutan hujan tropis, terutama spesies liana berkayu. Liana berkayu merupakan bagian vegetasi yang membentuk lapisan tajuk hutan dimana tajuk liana mengisi lubang-lubang tajuk hutan diantara beberapa pohon dalam tegakan hutan agar dapat memperoleh sinar matahari sebanyak-banyaknya, sehingga liana akan memperapat dan mempertebal lapisan tajuk pada stratum atas. Tetrastigma adalah tumbuhan inang dari Rafflesia. Tumbuhan ini tergolong kepada tumbuhan liana sehingga tipe vegetasi tempat kehidupannya adalah vegetasi yang memiliki pohon–pohon untuk tempat membelit. Liana (Tetrastigma sp) secara alami tumbuh di kawasan habitat Rafflesia di daerah hutan hujan tropik. Tetrastigma tumbuh menggantung pada pohon besar yang mencapai ketinggian lebih dari 10 m. Tetrastigma mempunyai ciri jaringan kayu berpori banyak dan besar, berkadar air tinggi, kulit akar dan batang tebal dengan kayu relative lunak. Selain itu, permukaan batangnya tidak rata atau beralur-alur serta mudah pecah dan retak. Tetrastigma termasuk kedalam tumbuhan berbiji dari famili vitaceae . Tetrastigma juga termasuk dalam tumbuhan berumah dua (dioeceus) dimana putik dan benang sari terdapat pada individu yang berbeda (Backer 1963 dalam Priatna 1989). Pada umumnya Tetrastigma yang banyak ditumbuhi oleh Rafflesia berada pada akar berdiameter 1,5cm – 3,4 cm (72,64%). Dalam kehidupan Tetrastigma ini membutuhkan adanya pohon penyokong untuk merambat kepuncak tajuk dengan tujuan mendapatkan cahaya matahari secara langsung, karena tumbuhan ini bersifat intoleran. Pohon penyokong yang banyak digunakan yaitu Ketapang (Terminalia catappa L), Kopo (Eugenia cymosa Lamk), huru Universitas Sumatera Utara (Actinodaphne procera Nees), Kiara Kebo (Ficus altissima Blume), dll dengan diameter yang umumnya >40 cm (Suwartini, dkk, 2008). Kondisi Vegetasi Kelimpahan jenis ditentukan berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaan suatu jenis terhadap jenisjenis lain ditentukan berdasarkan Indeks nilai penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan (Soerianegara dan Indrawan,1988). Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesises yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relatif. Dari nilai relatif ini akan diperoleh sebuah nilai yang merupakan INP. Nilai ini digunakan sebagai dasar pemberian nama suatu vegetasi yang diamati. Secara bersama-sama kelimpahan dan frekuensi adalah sangat penting dalam menentukan struktur komunitas (Michael, 1995). Kerapatan merupakan jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekwensi dinyatakan dalam besaran persentase. Basal area merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal diduga dengan mengukur diameter batang (Kusuma, 1997). Universitas Sumatera Utara Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks yang tinggi nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar (Soegianto, 1994). Kekayaan spesies dan kesamaannya dalam suatu nilai tunggal digambarkan dengan Indeks diversitas. Indeks diversitas mungkin hasil dari kombinasi kekayaan dan kesamaan spesies. Ada nilai indeks diversitas yang sama didapat dari komunitas dengan kekayaan yang rendah dan tinggi kesamaan kalau suatu komunitas yang sama didapat dari komunitas dengan kekayaan tinggi dan kesamaan rendah . (Ludwiq and Reynolds, 1988). Keanekaragaman jenis merupakan suatu parameter penting dalam membandingkan dua komunitas, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik atau mengetahui tahap suksesi dan stabilitas komunitas. Pada komunitas klimaks jika keanekaragaman jenis meningkat maka rantai pangan meningkat, sehingga komunitas stabil. Salah satu indeks yang digunakan untuk menetukan keanekaragaman jenis adalah Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Menurut Indriyanto (2006) suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman tinggi adalah jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies. Menurut Barbour at al dalam Suwena (2004), kriteria nilai indeks keanekaragaman jenis berdasarkan Shanon-Wiener sebagai berikut: jika Universitas Sumatera Utara H'<1 dikategorikan sangat rendah, H'>1–2 kategori rendah, H'>2–3 kategori sedang (medium), H'>3–4 kategori tinggi, dan jika H'>4 kategori sangat tinggi. Suatu daerah yang didominasi oleh hanya jenis-jenis tertentu saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah. Keanekaragaman jenis terdiri dari 2 komponen; Jumlah jenis dalam komunitas yang sering disebut kekayaan jenis dan kesamaan jenis. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (yaitu jumlah individu, biomass, penutup tanah, dan sebagainya) tersebar antara banyak spesies itu (Ludwiq and Reynolds, 1988). Indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi jenis dua komunitas adalah koefisien kesamaan komunitas (Indeks of Similarity). Nilai IS (Indeks Kesamaan) berada antara 0 dan 1, dimana nilai yang mendekati 1 (100%) menunjukkan keadaan di dalam dua komunitas yang dibandingkan sama dan sebaliknya jika nilai IS mendekati 0 (0%) apabila komunitas mempunyai komposisi spesies yang berbeda (Odum, 1993). Jika semua spesies dalam suatu sampel kelimpahannya sama, itu menunjukkan bahwa indeks kesamaan maksimum dan akan menurun menuju nol sebagai kelimpahan relatif suatu spesies yang tidak sama. Kondisi abiotik Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya misalnya suhu, kelembaban, angin dan curah hujan, serta menentukan kondisi iklim setempat dan iklim mikro (Indriyanto, 2006). Universitas Sumatera Utara Fluktuasi suhu udara (dan suhu tanah) berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lakitan, 1994). Tjasyono (2004), suhu udara mempengaruhi proses pertumbuhan tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai batas suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk setiap tingkat pertumbuhannya. Tanaman tropis memerlukan suhu tinggi sepanjang tahun. Batas atas suhu yang mematikan aktivitas sel-sel tanaman berkisar dari 120oF sampai 140oF (48,89oC – 60oC) tetapi nilai ini beragam sesuai degan jenis tanaman dan tingkat pertumbuhannya. Suhu tinggi tidak mengkhawatirkan dibandingkan dengan suhu rendah dalam menahan pertumbuhan tanaman asalkan persediaan air memadai dan tanaman dapat menyesuaikan terhadah daerah iklim. Kelembaban udara merupakan fungsi dari banyaknya dan lamanya curah hujan, terdapatnya air tergenang, dan suhu merupakan faktor lingkungan yang penting yang dapat menentukan ada atau tidaknya beberapa jenis tumbuhan pada habitat tertentu. Kelembaban nisbi rata-rata dalam hutan hujan tropika pada pagi hari dapat berubah-ubah dari 95-75 persen, dan dapat menurun dari 85-75 persen tetapi dapat anjlok sampai 55 persen atau sering lebih rendah lagi. Kelembaban udara cenderung berkurang dari arah pantai ke arah pedalaman, keadaan ini Universitas Sumatera Utara terlihat sebagai salah satu faktor penting yang menyebabkan kelandaian iklim. Sedangkan pada daerah pegunungan kelembaban meningkat sampai pada ketinggian tertentu yang kelembabannya mencapai kejenuhan (Ewusi, 1990). Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Samosir yang terkenal dengan Danau Tobanya dan Pulau Samosir yang indah, terletak di Provinsi Sumatera Utara. Terdapat sembilan kecamatan yang berada di Kabupaten Samosir yakni Kecamatan Harian, Sitio-tio, Sianjur Mula-mula, Naiggolan, Onan Ronggu, Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, dan Kecamatan Simansido. Jumlah penduduknya sebanyak 130.078 jiwa yang tersebar di 9 kecamatan dan 111 desa dengan 6 kelurahan. Luas Kabupaten Samosir adalah 206.905 ha dengan luas daratan sekitar 144,425 ha dan selebihnya adalah Danau Toba (PT.TPL Tbk, 2008). Lokasi penelitian berada pada kawasan IUPHHK PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Tele, Desa Hutagalung, Kecamatan Harian Boho, Kabupaten Toba Samosir. Secara geografis areal penelitian terletak pada 20 15’ 00” LU – 20 50’ 00” LU dan 980 20’ 00” BT – 980 50’ 00” BT. Areal kerja IUPHHK PT Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Tele menurut Schmidt Fergussion memiliki iklim tipe A atau sangat basah dengan curah hujan rata-rata 150 mm. Curah hujan bulan tertinggi terjadi pada bulan Maret dan terendah terjadi pada bulan Februari. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 1.300–1900 mdpl, dengan topografi datar sampai curam dengan Jenis tanah yaitu jenis tropohemists, dystropepts, hydrandepts, dan dystrandepts, dengan jenis batuan berupa tapanuli, sihapas, alluvium muda, dan toba (PT.TPL Tbk, 2008). Universitas Sumatera Utara