EFEKTIVITAS PELATIHAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI UNTUK

advertisement
EFEKTIVITAS PELATIHAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI UNTUK
MENINGKATKAN KUALITAS HUBUNGAN IBU-REMAJA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Oleh:
Martiani
T 100120021
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
EFEKTIVITAS PELATIHAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI UNTUK
MENINGKATKAN KUALITAS HUBUNGAN IBU-REMAJA
Martiani
Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected]
Abstract. The relationship between mothers and adolescents with less quality can
be seen through adolescent’s attitude which tends to be non-open to speak of
matters and it results conflicts between mothers and children. The goal of this
research is to prove the effectiveness of communication skills training in
improving the quality of the relationship between mothers and adolescents. The
method that is used in the communication skills training is the lecturing method,
roleplay, case study, and the imaging method. The quality between mothers and
adolescents is measured using the quality scale of the relationship between
mothers and children. The subject of this research has amount of 18 mothers
which have Senior High School educational background and have children that
are adolescents. The data is analyzed using Mann-Withney U Test and Wilcoxon T
Test. The result of the research shows the quality of the experimental group that
has been given the communication skills training has improved, while the control
group has not. Therefore, it can be concluded that communication skills training is
effective to improve the quality of the relationship between mothers and
adolescents. The result of qualitative research shows the significant improvement
of quality of the relationship between mothers and adolescents is on mothers who
have female adolescents who are still in their early teenage years. The
improvement of mothers’ skills in doing an open communication with adolescents
makes the situation of communication become fun. In this case, adolescents feel
comfortable to speak of problems with mothers and they also feel satisfied with
the control which is done by mothers so that it can create the feeling of trusting
each other, supporting each other, and appreciating each other between mothers
and adolescents.
Keywords: communication skills training, the relationship quality between
mothers-adolescents, open communication, early adolescents.
iv
Abstrak. Hubungan ibu dan remaja yang kurang berkualitas ditandai oleh sikap
remaja yang tertutup untuk membicarakan permasalahan dan berdampak pada
timbulnya konflik antara ibu dan anak. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan
efektivitas pelatihan ketrampilan komunikasi dalam meningkatkan kualitas
hubungan antara ibu dan remaja. Metode yang digunakan dalam pelatihan
ketrampilan komunikasi adalah metode ceramah, roleplay, studi kasus dan metode
pencitraan. Kualitas hubungan antara ibu dan remaja diukur dengan menggunakan
skala kualitas hubungan ibu-anak. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 18 orang
ibu, yang berpendidikan SMA dan memiliki anak remaja. Data dianalisis dengan
Mann-Withney U Test dan Wilcoxon T Test. Hasil penelitian menunjukkan
kualitas hubungan pada kelompok eksperimen yang telah diberikan pelatihan
ketrampilan komunikasi mengalami peningkatan sedangkan kelompok kontrol
tidak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan ketrampilan
komunikasi efektif untuk meningkatkan kualitas hubungan ibu-remaja. Hasil
analisis kualitatif menunjukkan bahwa peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja
yang menonjol dialami oleh ibu yang memiliki remaja berjenis kelamin
perempuan dan berada pada usia remaja awal. Peningkatan kemampuan ibu dalam
melakukan komunikasi terbuka kepada remaja membuat suasana komunikasi
menjadi menyenangkan. Hal ini berdampak pada remaja merasa nyaman
menceritakan permasalahan kepada ibu dan merasa puas terhadap kontrol yang
dilakukan oleh ibu sehingga tercipta perasaan saling percaya, saling mendukung,
dan saling menghargai antara ibu dan remaja
Kata kunci: pelatihan ketrampilan komunikasi, kualitas hubungan ibu-remaja,
komunikasi terbuka, remaja awal.
v
Orangtua memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan anak.
Nilai-nilai moral, agama dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui
interaksi di dalam keluarga. Relasi yang baik antara orang tua dan remaja yang
telah dibina sejak lahir akan menimbulkan ikatan relasi satu sama lain. Relasi atau
hubungan orang tua dengan anak remaja pada keluarga normal ditandai dengan
afeksi yang hangat antara orang tua terhadap anak remaja dan remaja terhadap
orangtua (Dirgagunarsa & Sutantoputri, 2004). Selain ikatan afeksi, relasi remaja
dengan orang tua juga dicirikan oleh komunikasi yang baik dan identifikasi yang
kuat (Rice, 1999). Selanjutnya menurut Lestari (2013) komunikasi yang baik yang
terjadi antara orangtua dan anak ditandai dengan orangtua yang memberikan
kesempatan
kepada
anak
untuk
mengembangkan
kemampuan
dalam
menggunakan persepektif orang lain dan berfikir tentang isu-isu moral, serta
memberikan bantuan kepada anak ketika anak membutuhkannya.
Idealnya sebuah keluarga memiliki iklim yang mendukung anak dalam
tumbuh kembangnya yang optimal dan terjalin rasa kasih sayang, kepercayaan,
keterbukaan dan
saling mendukung karena hubungan dalam keluarga yang
berkualitas akan mendukung pula perkembangan anak-anak menjadi pribadi yang
positif. Ibu memiliki peran penting dalam mendidik remaja menjadi pribadi yang
positif dan terhindar dari perilaku menyimpang. Ibu adalah sosok yang paling
berperan dalam mendidik anak karena ibu adalah sosok yang memiliki ikatan
emosional dan melakukan banyak interaksi dengan anak. Menurut Notosoedirjo
dan Latipun (2002), ibu merupakan orang
pertama yang mempunyai relasi
dengan anaknya. Ibu lebih banyak melewatkan waktu untuk memperhatikan
1
anaknya secara fisik dan memberikan kesejahteraan secara afeksi (Berk, 2003).
Shulman dan Sheiffge (1997) mengemukakan peran ibu dalam keluarga sebagai
“ekspresif” dan ayah sebagai “instrumental”. Mereka mengatakan bahwa ibu
menunjukkan karakteristik dalam memberikan empati dan kenyamanan emosional
untuk anak-anaknya.
Berdasarkan penelitian awal dengan metode wawancara dan Participatory
Rural Apraissal (PRA) diperoleh data bahwa hubungan kedekatan ibu dengan
anak belum terjalin dengan baik. Ibu seringkali masih belum mampu menjalankan
perannya sebagai pendidik maupun sahabat bagi anaknya. Ibu merasa kesulitan
untuk mendekati dan masuk pada dunia anak yang berada pada masa remaja. Ibu
belum memahami kebutuhan remaja sehingga tidak tepat dalam memperlakukan
remaja. Pola interaksi ibu dan remaja seringkali ditunjukkan dengan cara
menginterogasi, menceramahi, dan bahkan memarahi anak. Hal ini membuat
remaja enggan untuk membicarakan masalahnya dan memilih menceritakan
permasalahannya kepada teman sebaya. Remaja dan ibu tak jarang mengalami
konflik saat berkomunikasi karena perbedaan keinginan yang kurang bisa
dikomunikasikan.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa hubungan antara orangtua dan anak
kurang berkualitas, di mana antara ibu dan remaja tidak saling percaya, anak tidak
merasa aman dan nyaman terhadap ibu, anak merasa tidak puas terhadap cara ibu
dalam melakukan pengawasan (control) terhadap anak, bahkan interaksi orangtua
dan anak diwarnai oleh konflik. Menurut Reidler dan Swenson (2012)
ketidakcocokan antara orangtua dan anak bisa dikaitkan dengan kualitas hubungan
2
yang kurang antara orangtua dan anak. Hal itu dapat dilihat dari kurangnya
komunikasi dan kedekatan antara orangtua dan anak karena komunikasi antara
Ibu-remaja tidak terjadi secara efektif.
Bentuk-bentuk intervensi untuk meningkatkan kualitas hubungan antara
orangtua dan remaja dalam rangka mengatasi permasalahan remaja dilakukan
melalui upaya program parenting maupun pelatihan komunikasi. Penelitian Blake,
Simkin, Ledsky, Perkins, dan Caleberese (2001) menunjukkan bahwa pemberian
intervensi pengasuhan tentang komunikasi orangtua dan remaja awal terbukti
efektif untuk memperbaiki kualitas komunikasi orangtua dan remaja yang
ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas komunikasi mengenai seksualitas
antara orangtua dan remaja, serta sikap seksual remaja yang positif. Sementara
hasil penelitian Riesch, Henriques, Chanchong, dan Weena (2003) menunjukkan
bahwa orangtua dan remaja yang mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi
mempersepsikan bahwa mereka telah memiliki kedekatan, dan penyesuaian yang
bertambah di dalam keluarga dibandingkan kelompok kontrol. Selanjutnya hasil
penelitian Turnbul (2012) menunjukkan bahwa kedekatan hubungan di dalam
keluarga akan membangun kedekatan dan kenyamanan untuk membicarakan
masalah seksual secara terbuka.
Dalam penelitian ini intervensi yang digunakan untuk meningkatkan
kualitas hubungan Ibu dan remaja adalah pelatihan ketrampilan komunikasi.
Pelatihan ketrampilan
komunikasi ini dilakukan dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning) yang sesuai
dengan materi yang akan diberikan, berupa ketrampilan mengevaluasi,
3
mengekspresikan, dan memodifikasi pola komunikasi antara orangtua dan anak.
Experiential learning dapat didefinisikan sebagai pembangkit teori tindakan dari
suatu pengalaman dan kemudian dimodifikasi secara terus-menerus untuk
meningkatkan efektivitas ketrampilan (Johnson & Johnson, 1997).
Experiential learning menggunakan cara yang memberikan sebuah
pengalaman langsung kepada para peserta pelatihan dengan simulasi atau
permainan yang secara langsung dirasakan oleh setiap peserta pelatihan. Tujuan
experiential learning adalah untuk mempengaruhi peserta dalam tiga cara: (1)
struktur kognitif peserta yang diubah, (2) sikap peserta yang dimodifikasi, dan (3)
pengetahuan peserta tentang keterampilan perilaku diperluas. Ketiga unsur
tersebut saling berhubungan dan mengubah secara keseluruhan, bukan sebagai
kesatuan yang terpisah. (Johnson & Johnson, 2000).
Adapun kerangka teori experiental learning dituangkan peneliti dalam sesi
pelatihan ketrampilan komunikasi yang terdiri dari enam sesi utama dan dua sesi
tambahan yang diadaptasi dari penelitian Riesch dkk, (2003) berdasarkan konsep
model lingkaran sistem keluarga, teori perkembangan dan komunikasi. Pelatihan
ini terdiri dari strategi mengembangkan kognisi, afeksi dan perilaku dari ibu untuk
memahami dan berkomunikasi dengan remaja. Pelatihan ini membuat ibu terlibat
langsung secara kognitif (pikiran), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan
fisik motorik). Melalui pendekatan ini, diharapkan ibu dapat secara aktif terlibat
langsung dalam merekam suatu hal yang dipelajari untuk meningkatkan
ketrampilan komunikasi yang dimiliki. Isi materi pelatihan ini meliputi:
peningkatan kepedulian pada perkembangan dan pertumbuhan anak dan remaja,
4
aplikasi prinsip-prinsip self esteem, pengembangan kemampuan pada penanganan
permasalahan pribadi, pengiriman pesan, konfrontasi, mendengarkan aktif,
resolusi konflik dan melupakan konflik di masa lalu (Riesch dkk, 2003).
Berdasarkan paparan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menguji
efektivitas pelatihan komunikasi dalam meningkatkan kualitas hubungan antara
Ibu dan remaja. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh dasar untuk penelitian
lebih lanjut dalam memberdayakan orangtua sebagai pendidik dan sahabat bagi
remaja. Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu psikologi pada umumnya terutama dalam psikologi keluarga.hipotesis yang
diuji adalah pelatihan ketrampilan komunikasi efektif untuk meningkatkan
kualitas hubungan ibu dan remaja. Kelompok
yang mendapatkan pelatihan
ketrampilan komunikasi mengalami peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja,
sedangkan kelompok subjek yang tidak mendapatkan pelatihan ketrampilan
komunikasi tidak mengalami peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja.
Metode
Variabel Penelitian. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu
pelatihan ketrampilan komunikasi sebagai variabel bebas, dan kualitas hubungan
ibu-remaja sebagai variabel tergantung.
Kualitas hubungan ibu remaja adalah hubungan antara ibu dan remaja yang
mengandung kedekatan secara emosional, saling percaya, saling tergantung dan
memberikan perhatian sehingga menimbulkan keterbukaan dan kepuasan dalam
berelasi yang diukur dengan menggunakan skala kualitas hubungan ibu dan anak
5
yang disusun oleh Lestari (2013) dengan
mengacu pada dimensi kualitas
hubungan orangtua dan anak dari Shek (2006).
Dalam penelitian ini pelatihan ketrampilan komunikasi didefinisikan
sebagai sekumpulan aktivitas yang didesain dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan Ibu dalam cara berkomunikasi secara efektif dengan remaja. Tahapan
Pelatihan komunikasi disusun mengacu pada pelatihan komunikasi yang
dilakukan oleh Riesch, dkk (2003) selama 8 sesi dengan durasi waktu 635 menit.
Materi dalam pelatihan komunikasi mencakup: (1) memahami perkembangan dan
pertumbuhan remaja (2) introspeksi diri tentang komunikasi yang telah terjadi; (3)
ketrampilan asertif; (4) ketrampilan melakukan komunikasi terbuka; (5)
ketrampilan mengatasi konflik; dan 6). Membangun hubungan kedekatan secara
psikologis antara ibu dan remaja.
Subjek Penelitian. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah :
1. Ibu yang mempunyai anak perempuan dan atau laki-laki berusia 13 sampai 18
tahun.
2. Pendidikan SMA, hal ini untuk memudahkan dalam pengontrolan perbedaan
dalam kemampuan menyerap dan memahami materi.
3. Ibu dan remaja memiliki skor skala kualitas hubungan yang rendah atau
sedang.
Proses perekrutan subjek dalam penelitian ini diawali dengan melakukan
screening kepada kepada kriteria inklusi subjek di atas dengan memberikan skala
kualitas hubungan ibu-remaja baik kepada ibu maupun kepada remaja. Subjek
dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki persepsi kualitas hubungan ibu-
6
remaja dalam katagori sedang atau rendah dan memiliki remaja yang memiliki
persepsi kualitas hubungan ibu-remaja dalam katagori rendah atau sedang serta
bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan membubuhkan tanda tangan pada
informed consent. Dalam penelitian ini didapatkan subjek penelitian berjumlah 18
ibu, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan pegawai pabrik dan berusia
antara 32 hingga 45 tahun. Jumlah tersebut dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 9
orang untuk kelompok eksperimen, dan
9 orang untuk kelompok kontrol.
Pembagian kelompok subjek dilakukan dengan cara mengurutkan nomor subjek
menjadi dua bagian yang jumlahnya sama. Nomor urut 1 hingga 9 menjadi
kelompok eksperimen, sedangkan nomor urut 10 hingga 18 selanjutnya menjadi
kelompok kontrol. Penentuan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak
dilakukan secara random dengan alasan menyesuaikan kesediaan subjek untuk
berpartisipasi mengikuti pelatihan. Penelitian ini merupakan suatu quasiexperimental research dengan menggunakan model non randomized control
group pretest-post test design. Quasi-experimental merupakan salah satu bentuk
penelitian eksperimen yang dapat dilakukan tanpa randomisasi, namun masih
menggunakan kelompok kontrol (Latipun, 2002).
Alat Pengumpul Data. Dalam penelitian ini menggunakan alat
pengumpul data berupa: (1) skala kualitas hubungan ibu-anak Skala yang
digunakan adalah skala kualitas hubungan ibu-anak yang disusun oleh Lestari
(2013) berdasarkan aspek yang diungkapkan Shek (2006) yakni kepercayan ibu
kepada anak, kepercayaan anak kepada ibu, keterbukaan anak kepada ibu dan
kepuasan anak terhadap kontrol ibu. Skala kualitas hubungan orangtua anak (versi
7
anak) memiliki reliabilitas koefisien α Cronbach 0, 819, dan kualitas hubungan
ibu-anak (versi orangtua) memiliki tingkat reliabilitas koefisien α Cronbach 0,701.
(2) Observasi, sebagai metode pendukung pengumpulan data dengan tujuan untuk
mengamati hasil kemampuan partisipan pada saat berlangsungnya intervensi
setiap sesi untuk memperkaya analisis kualitatif tiap individu .(3) Wawancara,
ditujukan untuk memperoleh data tentang kualitas hubungan ibu-remaja sebelum
dan setelah diberikan intervensi. Wawancara dilakukan kepada ibu dan remaja
secara terpisah.
Metode analisis Data. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik
analisis Mann-Whitney U Test dan Wilcoxon T Test yang merupakan pengukuran
non parametrik. Mann-Whitney U Test digunakan untuk menguji pengaruh
pelatihan ketrampilan terhadap peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja pada
kelompok eksperimen dan kontrol, sedangkan Wilcoxon T Test digunakan untuk
menguji peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja pada kelompok eksperimen
sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Analisis
data kualitatif dilakukan
untuk memperoleh data tentang dinamika peningkatan kualitas hubungan orangtua
anak yang diperoleh dengan wawancara mendalam kepada ibu dan remaja
sebelum dan setelah diberikan intervensi. Selain itu dilakukan analisis terhadap
hasil observasi, lembar evaluasi hasil dan lembar evaluasi proses yang diisi oleh
peserta pelatihan.
Hasil
1. Hasil analisis kuantitatif
8
Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U (U Test) diperoleh nilai Z
hitung -3,616 dan probabilitas (p) 0,000 (uji dua sisi) atau 0,000 (uji satu sisi).
Sesuai kaidah hipotesis yang berlaku maka skor probabilitas (p) 0,000 lebih
kecil dari
= 0,05 dan terbukti signifikan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan peningkatan kualitas hubungan pada
kelompok eksperimen yang telah diberi pelatihan ketrampilan komunikasi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari uji Wilcoxon T diperoleh Z
hitung sebesar -2,666 dan probabilitas (p) signifikansi 0,008 (uji dua sisi). Oleh
karena probabilitas (p) lebih kecil dari
= 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan kualitas hubungan ibu-remaja yang signifikan pada
kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah diberi pelatihan ketrampilan
komunikasi.
2. Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan pada kelompok eksperimen dengan
mencermati hasil skala kualitas hubungan, wawancara pra dan pasca perlakuan,
sharing, observasi, tugas rumah, lembar kerja, serta lembar evaluasi yang diisi
oleh subjek selama proses pelatihan. Berdasarkan hasil analisis kualitatif pada
subjek yang mengalami peningkatan kualitas hubungan paling signifikan dapat
disimpulkan bahwa anak subjek adalah berjenis kelamin perempuan yang berada
pada usia remaja awal. Ibu merasa lebih mudah mengarahkan anak karena anak
masih berada banyak di rumah dan mengidentifikasi kepada orangtua. Ibu juga
merasa lebih mudah dan nyaman mendekati anak karena kegiatan anak banyak
9
dilakukan dengan ibu dan ibu merasa sama-sama sebagai perempuan sehingga
lebih mudah beradaptasi.
Pola peningkatan kualitas hubungan ibu dan remaja pada ibu diawali
dengan kesadaran ibu mengenai kekurangan dan kesalahan dirinya dalam
mendekati anak, harus memperbaiki sikap dan menyelesaikan permasalahan diri
sendiri terlebih dahulu setelah itu ibu lebih menerima perilaku anak sebagai
remaja yang sedang berkembang dan tidak tepat menuntut terlalu banyak dari
anak. Setelah ibu menerima segala perubahan anak, selanjutnya ibu mempercayai
kemampuan anak dalam hal bertanggung jawab dan kemampuan menyelesaikan
tugas. Ibu juga lebih mempercayai perilaku anak di luar rumah dan memiliki
keyakinan bahwa anak tidak akan melakukan perbuatan negatif yang dapat
mempermalukan keluarga. Dari hasil observasi diketahui ketiga subjek adalah ibu
yang paling aktif selama proses pelatihan, baik dalam bertanya, memaparkan
masalah maupun keaktifan mengerjakan tugas.
Pola peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja menurut versi remaja
diawali dari penilaian anak yang merasakan perubahan pada ibu yaitu ibu sudah
membuka diri dan aktif mendekati anak, berbicara tidak mendominasi, tidak
menuduh dan tidak banyak menuntut kepada anak. Anak juga merasakan Ibu lebih
banyak mengajak bicara dan banyak mendengarkan anak sehingga anak merasa
dihargai dan diterima oleh ibu. Hal ini membuat remaja mulai merasa nyaman
berbicara dan menceritakan permasalahan maupun kejadian sehari-hari dengan
ibu. Komunikasi dua arah yang dibangun oleh ibu dalam menetapkan aturanaturan membuat remaja merasakan bahwa aturan yang dibuat oleh ibu lebih fair
10
dan masuk akal untuk diterima, sehingga remaja menyadari bahwa peraturan
maupun larangan yang ditetapkan ibu bertujuan untuk kebaikan remaja sendiri.
Hal ini meminimalkan konflik yang terjadi antara ibu dan remaja
Peningkatan kemampuan dan ketrampilan komunikasi diawali dari
meningkatnya
pemahaman
subjek
terhadap
perkembangan
remaja
dan
permasalahannya sehingga subjek lebih memaklumi perubahan-perubahan yang
terjadi pada anaknya diikuti dengan kemampuan subjek mengidentifikasi
kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam komunikasi dengan remaja selama ini.
Selanjutnya kemampuan dalam asertifitas
dan menyampaikan pendapat juga
meningkat, hal ini membuat subjek merasakan kepuasan afeksi tersendiri karena
dapat mengungkapkan keinginan dan harapan kepada remaja dengan cara yang
benar. Metode praktik mendekati remaja baik yang dilakukan di rumah maupun
pada setting pelatihan mampu meningkatkan ketrampilan subjek dalam
melakukan pendekatan dan menjadi sabahat bagi remaja. Dampaknya anak
merasa nyaman untuk menceritakan permasalahan kepada ibu. Metode relaksasi
mampu membuat ibu dan remaja kembali memiliki kedekatan afeksi setelah
sempat menjauh karena adanya stimulasi teks relaksasi yang menuntun ibu dan
anak untuk saling memaafkan dan mendapatkan insight baru mengenai penting
berharganya hubungan antara ibu dan anak.
Diskusi
Kualitas hubungan ibu-remaja mengalami peningkatan setelah diberikan
pelatihan ketrampilan komunikasi kepada ibu. Pelatihan ketrampilan komunikasi
11
terbukti efektif karena dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran
melalui pengalaman (experiential learning) yang sesuai dengan materi yang telah
diberikan, berupa ketrampilan mengevaluasi, mengekspresikan, dan memodifikasi
pola komunikasi antara ibu dan remaja. Experiential learning menggunakan cara
yang memberikan sebuah pengalaman langsung kepada ibu dengan simulasi atau
permainan yang secara langsung dirasakan oleh setiap ibu. Pelatihan ketrampilan
komunikasi membuat ibu terlibat langsung secara kognitif (pikiran), afektif
(emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik motorik). Melalui pendekatan ini, ibu
dapat secara aktif terlibat langsung dalam merekam hal-hal yang dipelajari untuk
meningkatkan ketrampilan komunikasi yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan
pendapat Silberman dan Auerbach (2013) bahwa Experiential learning sangat
cocok untuk tujuan pelatihan afektif dan behavioral karena membantu peserta
menyadari perasaan dan reaksi mereka terhadap isu tertentu dan ide baru, juga
memungkinkan para peserta untuk berlatih dan mengasah ketrampilan dan
prosedur baru karena
tujuan dari
experiential
learning
adalah
untuk
mempengaruhi peserta melalui tiga cara: (1) struktur kognitif peserta yang diubah,
(2) sikap peserta yang dimodifikasi, dan (3) pengetahuan peserta tentang
ketrampilan perilaku diperluas. Ketiga unsur tersebut saling berhubungan dan
mengubah secara keseluruhan, bukan sebagai kesatuan yang terpisah.
Sesi-sesi pelatihan yang disusun untuk meningkatkan pemahaman,
kemampuan, dan ketrampilan ibu dalam melakukan komunikasi yang efektif
kepada remaja. Dengan meningkatnya ketrampilan komunikasi ibu, ibu dapat
memahami kondisi remaja, selanjutnya mendekati remaja dan menjadi teman bagi
12
remaja sehingga remaja juga merasa nyaman dan terbuka tehadap ibu sehingga
terjalin
hubungan yang lebih berkualitas antara ibu dan remaja. Kedekatan
hubungan terjadi karena komunikasi yang efektif dan terbuka antara orangtua
dan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Supratiknya (2008) bahwa keefektifan
dalam hubungan ditentukan oleh kemampuan individu untuk mengkomunikasikan
secara jelas apa yang ingin disampaikan, menciptakan kesan yang diinginkan, atau
mempengaruhi
orang
lain
sesuai
kehendak
individu.
Individu
dapat
mengungkapkan keefektifan dalam hubungan antar pribadi dengan cara berlatih
mengungkapkan maksud dan keinginan , menerima umpan balik tentang tingkah
laku, dan memodifikasikan tingkah laku sampai orang lain mempersepsikannya
sebagaimana yang individu maksudkan sampai akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh tingkah laku individu dalam diri orang lain itu seperti yang dimaksudkan
oleh individu tersebut (Supratiknya, 2008). Selanjutnya Riesch, Henriques, dan
Chanchong (2003),
menyatakan bahwa komunikasi yang terbuka di dalam
keluarga akan membangun perkembangan positif pada remaja, dan berkorelasi
dengan prestasi di sekolah dan kemampuan memecahkan masalah. Sebaliknya
kenakalan remaja, kehamilan remaja, penyalahgunaan alkohol dan obat, depresi,
dan bunuh diri dikaitkan dengan remaja yang memiliki komunikasi tertutup,
berkonflik dan komunikasi satu arah dengan keluarganya.
Pada saat proses pelatihan, peningkatan kemampuan dan ketrampilan
komunikasi ibu lebih terlihat pada sesi ceramah, roleplay, studi kasus dan
relaksasi. Kondisi ibu awalnya kurang memahami perkembangan dan perubahan
remaja sehingga ibu tidak menyadari perubahan yang dialami remajanya bahkan
13
menilai bahwa perubahan tingkah laku remajanya yang kurang sesuai dengan
harapan orangtua dan menjadi pemicu munculnya konflik antara ibu dan remaja.
Pada sesi ceramah diberikan pemahaman kepada ibu tentang perkembangan
remaja, perubahan remaja dan permasalahannya sehingga pada sesi ini
pemahaman subjek mengenai perkembangan dan pertumbuhan remaja bertambah.
Setelah ibu memahami perkembangan remaja maka ibu dapat bersikap secara
lebih tepat dalam menghadapi remaja dengan bersikap lebih memaklumi dan
berempati kepada remaja. Selain itu ibu menjadi lebih peka dan peduli terhadap
perubahan remaja serta menganggap pemahaman dan ketrampilan orangtua dalam
menghadapi remaja adalah hal yang sangat penting. Menurut Silberman dan
Auerbach (2013) sesi ceramah dilakukan untuk memberikan pemahaman dan
menyadarkan kesenjangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan,
sehingga apabila peserta telah menyadari dan memahami permasalahan yang ada
akan termotivasi untuk melakukan perubahan.
Peningkatan ketrampilan komunikasi pada ibu
juga terlihat pada sesi
roleplay di mana sebelum diberikan pelatihan ibu belum mampu mengirim dan
menerima pesan efektif kepada remaja, dan bahkan komunikasi yang terjadi
menimbulkan konflik di antara ibu dan remaja. Kemampuan ibu sebagai
pendengar aktif juga meningkat dimana ibu telah mampu menyusun kata-kata
yang lebih sesuai, memilih waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan dan
memberikan umpan balik terhadap remaja. Ketika sesi roleplay, ibu diajarkan cara
melakukan komunikasi yang terbuka dengan remaja, melatih kepekaan dan empati
kepada remaja dan ibu didorong aktif mempraktekkan dan mengalami situasi
14
simulatif ketika berhadapan dengan remaja.
Hal ini berefek ibu mampu
mengungkapkan keinginan dan harapan ibu kepada remaja dengan menggunakan
kata-kata yang tepat dan tidak melukai harga diri remaja. Menurut Kartika (2011)
bermain peran bertujuan untuk memberikan pengalaman dalam berlatih
keterampilan dan membahas serta mengidentifikasi perilaku yang efektif dan tidak
efektif. Kegiatan role play dapat mengarahkan peserta untuk mengubah perilaku
atau sikap, dan memungkinkan peserta mendapatkan pengalaman emosional yang
tidak terduga ketika bermain peran. Bermain peran dapat mensimulasikan situasi
kehidupan nyata memungkinkan bagi peserta untuk mencoba cara-cara baru
menangani situasi.
Ketrampilan ibu dalam mengelola konflik juga meningkat dengan
diberikannya sesi diskusi kasus. Pada sesi ini sebagian besar ibu mampu
mempraktekkan cara mendekati remaja dan berempati kepada remaja, serta
berekspresi yang tepat berdasarkan setting kasus yang telah disusun. Studi kasus
dapat digunakan secara efektif dalam membantu peserta untuk menerapkan
pembelajaran pada situasi kehidupan sebenarnya. Studi kasus memberikan situasi
masalah kepada peserta dan menanyakan apa yang akan dilakukan peserta
terhadap situasi masalah tersebut, karena dengan metode ini, peserta diminta
untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan
masalahnya (Silberman & Auerbach, 2013).
Kesadaran (insight) baru seluruh ibu sangat terlihat ketika sesi mutiara
hikmah dengan menggunakan teknik pencitraan mental. Terbentuknya kesadaran
baru dan kemampuan ibu dalam menjalin komunikasi terbuka dan kedekatan
15
dengan remaja muningkat setelah ibu mengalami pencitraan mental mengenai
keberhargaan anak dan interospeksi masing-masing ibu terhadap kesalahan
komunikasi yang selama ini terjadi. Bahkan ketika sesi pencitraan mental seluruh
ibu merasakan emosinya tersentuh sehingga seluruh ibu menangis dan saling
memafkan antara ibu dan anak. Menurut Silberman dan Auerbach (2013) metode
pencitraan mental dapat membantu peserta pelatihan menyimpan informasi
kognitif, pencitraan mengandung nilai istimewa sebagai jalan untuk membantu
mereka berlatih secara mental dalam mempraktikkan ketrampilan dan
memfokuskan perasaan dan peristiwa.
Pada sesi diskusi kelompok dan sharing kurang terlihat peningkatan
kemampuan ibu dalam mengidentifikasi masalah maupun menentukan solusi atas
permasalahan dan hanya didominasi oleh sebagian kecil subjek yang aktif
menyampaian pemasalahannya. Menurut Kartika (2011) diskusi kelompok
dirancang agar dapat terlihat subjek yang aktif dalam menyampaikan
pendapatnya, mengutarakan masalahnya serta memberi masukan terhadap setting
permasalahan yang ada, begitu juga terlihat peserta yang kurang aktif bahkan
dalam menyampaikan pendapatnya.
Peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja dialami oleh ibu yang aktif
selama pelatihan dan memiliki anak remaja berjenis kelamin perempuan
dibandingkan ibu yang memiliki anak remaja laki-laki. Hal itu disebabkan ibu
yang memiliki remaja perempuan merasa lebih nyaman untuk mempraktekkan
ketrampilan komunikasi dengan anak remaja yang memiliki jenis kelamin sama
dengan dirinya karena merasa saling memahami dan merasa lebih terlibat dengan
16
permasalahan remaja perempuannya dibandingkan ibu yang memiliki remaja lakilaki. Keterlibatan ibu lebih mendetail kepada hal-hal kecil, misalnya dalam hal
pemilihan baju, masalah kewanitaan dan berbicara dari hati ke hati. Sementara
itu, ibu yang memiliki remaja laki-laki merasa kurang nyaman untuk mendekati
remajanya dikarenakan ibu menilai seharusnya yang menjadi figur contoh buat
anak laki-aki adalah ayah karena sesama laki-laki akan lebih memahami
permasalahannya. Misalnya ibu yang memiliki remaja laki-laki lebih canggung
menanyakan masalah mimpi basah kepada anak laki-laki dibandingkan ibu
menanyakan masalah menstruasi kepada remaja perempuan. Hal ini sejalan
penelitian Hosley dan Montemayor (1997) yang menemukan dalam penelitiannya
bahwa orangtua mempunyai kecenderungan untuk lebih dekat dengan atau
mempunyai relasi yang lebih dalam dengan remaja yang mempunyai jenis
kelamin yang sama dengan dirinya. Dalam hal ini ayah memiliki kecenderungan
lebih dekat atau memiliki relasi yang lebih dalam dengan remaja laki-laki
daripada dengan remaja perempuan, dan sebaliknya ibu memiliki kecenderungan
relasi yang lebih dekat dengan remaja perempuan.
Selain itu peningkatan peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja juga
dialami oleh ibu yang memiliki anak berusia remaja awal yaitu berusia 13 hingga
15 tahun dibandingkan ibu yang memiliki remaja berusia di atas 15 tahun. Ibu
yang memiliki anak remaja berusia di atas 15 tahun cenderung lebih mudah
mengalami konflik dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak perempuan dan
berusia di bawah 15 tahun. Hal ini disebabkan karena remaja yang berusia di atas
15 tahun telah banyak berinteraksi dengan kelompok teman sebaya sehingga
17
perilaku dan sikap anak lebih banyak mengindentifikasi kelompok sebaya
dibandingkan orangtua. Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari (2012) bahwa
seiring waktu relasi anak dengan orangtua mengalami penurunan dan relasi anak
dengan teman sebaya mengalami peningkatan. Sosialisasi dengan teman sebaya
dapat menimbulkan konflik dengan sumber-sumber sosialisasi lain (Arnett, 1999).
Hasil analisis kuantitatif dalam penelitian ini menunjukkan ada pengaruh
pelatihan ketrampilan komunikasi terhadap peningkatan kualitas hubungan ibu
dan remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Blake, Simkin,
Ledsky, Perkins, dan Caleberese (2001) bahwa pemberian intervensi pengasuhan
tentang komunikasi orangtua dan remaja awal terbukti efektif memperbaiki
kualitas komunikasi orangtua dan remaja dengan indikator meningkatnya
intensitas komunikasi mengenai seksualitas antara orangtua dan remaja, serta
menunjukkan hasil positif mengenai sikap seksual remaja. Selanjutnya hasil
penelitian Turnbul (2012) menunjukkan bahwa kedekatan hubungan di dalam
keluarga dapat membangun kedekatan dan kenyamanan untuk membicarakan
masalah secara terbuka.
Pelatihan ketrampilan komunikasi ini dapat dikatakan membantu ibu
dalam memperbaiki hubungan atau komunikasi antara ibu dan remaja didasarkan
pada data wawancara, tugas rumah, worksheet serta lembar evaluasi. Ibu
menyatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari pelatihan
berusaha sebisa mungkin diterapkan dalam melakukan komunikasi dengan anak.
Ibu yang sebelum pelatihan tidak mengetahui dampak dari perkataan yang kurang
baik kepada anak, setelah mengikuti pelatihan lebih berhati-hati dalam melakukan
18
pembicaraan dengan anak. Ibu juga berusaha menerapkan teknik-teknik
mendekati remaja sehingga remaja yang juga telah mendapatkan pemahaman
mengenai komunikasi terbuka juga menyambut baik perubahan positif yang
dilakukan oleh ibu. Hal itu membuat remaja dan ibu merasa nyaman untuk saling
mendekat dan membina hubungan yang lebih positif dan dekat. Penelitian ini
mendukung penelitian Riesch, Henriques, dan Chanchong (2003) bahwa orangtua
dan remaja yang mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi (kelompok
eksperimen) mempersepsikan bahwa mereka telah memiliki kedekatan, dan
penyesuaian yang bertambah di dalam keluarga dibandingkan kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Ibu/orangtua
Ibu diharapkan agar terus mempraktekkan dan mengasah pengetahuan atau
ketrampilan yang diperoleh dari pelatihan supaya kualitas hubungan antara ibu
dan anak dapat terjalin dengan akrab dan dekat untuk jangka waktu seterusnya.
Ibu diharapkan dapat menghargai hak-hak anak dan berusaha menjalin
kedekatan yang lebih intensif agar anak merasa nyaman untuk menceritakan
segala permasalahannya.
2. Bagi anak/remaja
Remaja
diharapkan
mendukung
setiap
perubahan
positif
yang
ditunjukkan oleh ibu dan menerima segala kekurangan dan kelebihan ibu.
Dukungan pada ibu dapat berupa sikap terbuka untuk menceritakan segala
permasalahan.
19
3. Bagi Praktisi di bidang pendidikan (guru, konselor sekolah)
Para pendidik atau konselor dapat mengadopsi beberapa metode dalam
melakukan komunikasi yang efektif kepada remaja sehingga praktisi
pendidikan lebih mudah dalam mendekati remaja dan lebih mudah dalam
memberikan pendidikan moral kepada siswa remaja.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan
memberikan pelatihan ketrampilan komunikasi
kepada ayah, karena ibu
mengalami hambatan berkomunikasi dengan anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan. Selain itu diharapkan dapat memperhatikan atau
mempertimbangkan jeda waktu antara pretest, post test dan follow up untuk
mengontrol faktor pembelajaran yang terjadi pada subjek.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelatihan ketrampilan
komunikasi efektif untuk meningkatkan kualitas hubungan antara ibu dan remaja.
Terbukti ibu yang mengikuti pelatihan ketrampilan komunikasi memiliki kualitas
hubungan ibu-remaja yang lebih baik daripada ibu yang tidak mengikuti pelatihan
ketrampilan komunikasi.
Ibu yang mengalami peningkatan kualitas hubungan signifikan adalah ibu
yang aware terhadap hubungannya dengan remaja kurang harmonis sehingga
memiliki keinginan untuk memperbaiki hubungan tersebut dengan bersikap
antusias dan lebih aktif dalam mengikuti pelatihan. Selain itu jenis kelamin anak
20
yang sama dengan ibu membuat ibu merasa lebih mudah memantau dan merasa
nyaman dalam berinteraksi dengan anak. Komunikasi terbuka yang terjalin antara
ibu dan remaja membuat remaja merasa dihargai dan diterima oleh ibu, hal ini
membuat remaja merasa nyaman menceritakan permasalahan kepada ibu dan
menerima aturan yang ditetapkan oleh ibu adalah sesuatu yang masuk akal dan
untuk kebaikan dirinya.
Metode dan materi pelatihan yang disusun sesuai konteks permasalahan
subjek dirasakan efektif dan tepat sasaran dalam mengatasi permasalahan yang
terjadi antara orangtua dan remaja. Adapun metode yang efektif dalam pelatihan
ketrampilan komunikasi adalah metode ceramah, roleplay, diskusi kasus dan
metode pencitraan mental dibandingkan dengan metode diskusi kelompok,
penayangan video, worksheet, dan tugas rumah.
21
Kepustakaan
Arnett, J.J. (1995). Adolescent storm and stress, reconsidered. American
Psychologist, 54(5), 317-326.
Berk, L. E. (2003). Child development 6th ed. Boston: MA Allyn & Bacon.
Blake, S.M., Simkin, L., Ledsky, R., Perkins, C. & Calabrese, J.M. (2001). Effect
of parent-child communications intervention on young adolescents risk of
early onset of sexual intercourse. Family Planning Perspectives 33(2), 5261.
Dirgagunarsa, S., & Sutantoputri, N. W. (2004). Hubungan orang tua dan remaja.
Jakarta: Gunung Mulia.
Hetherington, E. M., & Parke, R. D. (2003). Child psychology: a contemporary
viewpoint 5th ed. New York: McGraw-Hill.
Hosley, C. A., & Montemayor, R. (1997). Fathers and adolescents. In Michael
E.Lamb (Ed). The role of the father in child development (3rd ed). Canada:
John /wiley & Son.
Kartika, I. F. (2011). Mengelola pelatihan partisipatif. Bandung: Alfabeta.
Latipun. (2002). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press.
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga, penanaman nilai dan penanganan konflik
dalam keluarga. Kencana Prenada Media Grup: Jakarta
Lestari, S. (2013). Konsep dan transmisi nilai-nilai jujur, rukun dan hormat.
Disertasi. Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
Notosoedirjo, M. & Latipun. (2002). Kesehatan mental: konsep dan penerapan.
Universitas Muhammadiyah Malang.
Reidler, E.B., & Swenson, L.P., (2012). Discrepancies between youth and
mothers perception of their mother-child relationship quality and self
disclosure: Implication for youth and mother-reported Youth Adjustment.
Journal Youth Adolescense, 41, 1151-1167.
22
Rice, F. P. (1999). The adolescent: development, relationships, and culture 9th ed.
Needham Heights.
Riesch, S.K., Henriques, J., & Chanchong, W. (2003). Effect communication
skills training on parents and young adolescents from extreme family Types.
Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 16(4), 162-175.
Shek, D.T.L. (2006). perceived parents-child relational qualities and parental
behavioral and psychological control in chinese adolescents in hongkong.
Journal Adolescence Fall,41 (163), 563-580.
Shulman, S., & Seiffge, I. (1997). Fathers and adolescents: developmental and
clinical perspectives. London: Routledge.
Silberman, M., & Auerbach, C. (2013). Active training: pedoman praktis tentang
teknik, desain, contoh kasus dan kiat (penerjemah Khozim M). Bandung:
Nusa Media.
Supratiknya. 2008. Komunikasi antarmanusia. Jakarta: Erlangga.
Turnbull, T. (2012). Communicating about sexual matters within the family:
facilitator and barries. Education and Health Journal, 30(2), 40-47.
23
Download