EFEKTIVITAS PELATIHAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HUBUNGAN IBU-REMAJA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Oleh: Martiani T 100120021 PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016 EFEKTIVITAS PELATIHAN KETRAMPILAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HUBUNGAN IBU-REMAJA Martiani Magister Psikologi Profesi Universitas Muhammadiyah Surakarta [email protected] Abstract. The relationship between mothers and adolescents with less quality can be seen through adolescent’s attitude which tends to be non-open to speak of matters and it results conflicts between mothers and children. The goal of this research is to prove the effectiveness of communication skills training in improving the quality of the relationship between mothers and adolescents. The method that is used in the communication skills training is the lecturing method, roleplay, case study, and the imaging method. The quality between mothers and adolescents is measured using the quality scale of the relationship between mothers and children. The subject of this research has amount of 18 mothers which have Senior High School educational background and have children that are adolescents. The data is analyzed using Mann-Withney U Test and Wilcoxon T Test. The result of the research shows the quality of the experimental group that has been given the communication skills training has improved, while the control group has not. Therefore, it can be concluded that communication skills training is effective to improve the quality of the relationship between mothers and adolescents. The result of qualitative research shows the significant improvement of quality of the relationship between mothers and adolescents is on mothers who have female adolescents who are still in their early teenage years. The improvement of mothers’ skills in doing an open communication with adolescents makes the situation of communication become fun. In this case, adolescents feel comfortable to speak of problems with mothers and they also feel satisfied with the control which is done by mothers so that it can create the feeling of trusting each other, supporting each other, and appreciating each other between mothers and adolescents. Keywords: communication skills training, the relationship quality between mothers-adolescents, open communication, early adolescents. iv Abstrak. Hubungan ibu dan remaja yang kurang berkualitas ditandai oleh sikap remaja yang tertutup untuk membicarakan permasalahan dan berdampak pada timbulnya konflik antara ibu dan anak. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan efektivitas pelatihan ketrampilan komunikasi dalam meningkatkan kualitas hubungan antara ibu dan remaja. Metode yang digunakan dalam pelatihan ketrampilan komunikasi adalah metode ceramah, roleplay, studi kasus dan metode pencitraan. Kualitas hubungan antara ibu dan remaja diukur dengan menggunakan skala kualitas hubungan ibu-anak. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 18 orang ibu, yang berpendidikan SMA dan memiliki anak remaja. Data dianalisis dengan Mann-Withney U Test dan Wilcoxon T Test. Hasil penelitian menunjukkan kualitas hubungan pada kelompok eksperimen yang telah diberikan pelatihan ketrampilan komunikasi mengalami peningkatan sedangkan kelompok kontrol tidak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelatihan ketrampilan komunikasi efektif untuk meningkatkan kualitas hubungan ibu-remaja. Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja yang menonjol dialami oleh ibu yang memiliki remaja berjenis kelamin perempuan dan berada pada usia remaja awal. Peningkatan kemampuan ibu dalam melakukan komunikasi terbuka kepada remaja membuat suasana komunikasi menjadi menyenangkan. Hal ini berdampak pada remaja merasa nyaman menceritakan permasalahan kepada ibu dan merasa puas terhadap kontrol yang dilakukan oleh ibu sehingga tercipta perasaan saling percaya, saling mendukung, dan saling menghargai antara ibu dan remaja Kata kunci: pelatihan ketrampilan komunikasi, kualitas hubungan ibu-remaja, komunikasi terbuka, remaja awal. v Orangtua memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan anak. Nilai-nilai moral, agama dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam keluarga. Relasi yang baik antara orang tua dan remaja yang telah dibina sejak lahir akan menimbulkan ikatan relasi satu sama lain. Relasi atau hubungan orang tua dengan anak remaja pada keluarga normal ditandai dengan afeksi yang hangat antara orang tua terhadap anak remaja dan remaja terhadap orangtua (Dirgagunarsa & Sutantoputri, 2004). Selain ikatan afeksi, relasi remaja dengan orang tua juga dicirikan oleh komunikasi yang baik dan identifikasi yang kuat (Rice, 1999). Selanjutnya menurut Lestari (2013) komunikasi yang baik yang terjadi antara orangtua dan anak ditandai dengan orangtua yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan dalam menggunakan persepektif orang lain dan berfikir tentang isu-isu moral, serta memberikan bantuan kepada anak ketika anak membutuhkannya. Idealnya sebuah keluarga memiliki iklim yang mendukung anak dalam tumbuh kembangnya yang optimal dan terjalin rasa kasih sayang, kepercayaan, keterbukaan dan saling mendukung karena hubungan dalam keluarga yang berkualitas akan mendukung pula perkembangan anak-anak menjadi pribadi yang positif. Ibu memiliki peran penting dalam mendidik remaja menjadi pribadi yang positif dan terhindar dari perilaku menyimpang. Ibu adalah sosok yang paling berperan dalam mendidik anak karena ibu adalah sosok yang memiliki ikatan emosional dan melakukan banyak interaksi dengan anak. Menurut Notosoedirjo dan Latipun (2002), ibu merupakan orang pertama yang mempunyai relasi dengan anaknya. Ibu lebih banyak melewatkan waktu untuk memperhatikan 1 anaknya secara fisik dan memberikan kesejahteraan secara afeksi (Berk, 2003). Shulman dan Sheiffge (1997) mengemukakan peran ibu dalam keluarga sebagai “ekspresif” dan ayah sebagai “instrumental”. Mereka mengatakan bahwa ibu menunjukkan karakteristik dalam memberikan empati dan kenyamanan emosional untuk anak-anaknya. Berdasarkan penelitian awal dengan metode wawancara dan Participatory Rural Apraissal (PRA) diperoleh data bahwa hubungan kedekatan ibu dengan anak belum terjalin dengan baik. Ibu seringkali masih belum mampu menjalankan perannya sebagai pendidik maupun sahabat bagi anaknya. Ibu merasa kesulitan untuk mendekati dan masuk pada dunia anak yang berada pada masa remaja. Ibu belum memahami kebutuhan remaja sehingga tidak tepat dalam memperlakukan remaja. Pola interaksi ibu dan remaja seringkali ditunjukkan dengan cara menginterogasi, menceramahi, dan bahkan memarahi anak. Hal ini membuat remaja enggan untuk membicarakan masalahnya dan memilih menceritakan permasalahannya kepada teman sebaya. Remaja dan ibu tak jarang mengalami konflik saat berkomunikasi karena perbedaan keinginan yang kurang bisa dikomunikasikan. Kondisi di atas menunjukkan bahwa hubungan antara orangtua dan anak kurang berkualitas, di mana antara ibu dan remaja tidak saling percaya, anak tidak merasa aman dan nyaman terhadap ibu, anak merasa tidak puas terhadap cara ibu dalam melakukan pengawasan (control) terhadap anak, bahkan interaksi orangtua dan anak diwarnai oleh konflik. Menurut Reidler dan Swenson (2012) ketidakcocokan antara orangtua dan anak bisa dikaitkan dengan kualitas hubungan 2 yang kurang antara orangtua dan anak. Hal itu dapat dilihat dari kurangnya komunikasi dan kedekatan antara orangtua dan anak karena komunikasi antara Ibu-remaja tidak terjadi secara efektif. Bentuk-bentuk intervensi untuk meningkatkan kualitas hubungan antara orangtua dan remaja dalam rangka mengatasi permasalahan remaja dilakukan melalui upaya program parenting maupun pelatihan komunikasi. Penelitian Blake, Simkin, Ledsky, Perkins, dan Caleberese (2001) menunjukkan bahwa pemberian intervensi pengasuhan tentang komunikasi orangtua dan remaja awal terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas komunikasi orangtua dan remaja yang ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas komunikasi mengenai seksualitas antara orangtua dan remaja, serta sikap seksual remaja yang positif. Sementara hasil penelitian Riesch, Henriques, Chanchong, dan Weena (2003) menunjukkan bahwa orangtua dan remaja yang mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi mempersepsikan bahwa mereka telah memiliki kedekatan, dan penyesuaian yang bertambah di dalam keluarga dibandingkan kelompok kontrol. Selanjutnya hasil penelitian Turnbul (2012) menunjukkan bahwa kedekatan hubungan di dalam keluarga akan membangun kedekatan dan kenyamanan untuk membicarakan masalah seksual secara terbuka. Dalam penelitian ini intervensi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hubungan Ibu dan remaja adalah pelatihan ketrampilan komunikasi. Pelatihan ketrampilan komunikasi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning) yang sesuai dengan materi yang akan diberikan, berupa ketrampilan mengevaluasi, 3 mengekspresikan, dan memodifikasi pola komunikasi antara orangtua dan anak. Experiential learning dapat didefinisikan sebagai pembangkit teori tindakan dari suatu pengalaman dan kemudian dimodifikasi secara terus-menerus untuk meningkatkan efektivitas ketrampilan (Johnson & Johnson, 1997). Experiential learning menggunakan cara yang memberikan sebuah pengalaman langsung kepada para peserta pelatihan dengan simulasi atau permainan yang secara langsung dirasakan oleh setiap peserta pelatihan. Tujuan experiential learning adalah untuk mempengaruhi peserta dalam tiga cara: (1) struktur kognitif peserta yang diubah, (2) sikap peserta yang dimodifikasi, dan (3) pengetahuan peserta tentang keterampilan perilaku diperluas. Ketiga unsur tersebut saling berhubungan dan mengubah secara keseluruhan, bukan sebagai kesatuan yang terpisah. (Johnson & Johnson, 2000). Adapun kerangka teori experiental learning dituangkan peneliti dalam sesi pelatihan ketrampilan komunikasi yang terdiri dari enam sesi utama dan dua sesi tambahan yang diadaptasi dari penelitian Riesch dkk, (2003) berdasarkan konsep model lingkaran sistem keluarga, teori perkembangan dan komunikasi. Pelatihan ini terdiri dari strategi mengembangkan kognisi, afeksi dan perilaku dari ibu untuk memahami dan berkomunikasi dengan remaja. Pelatihan ini membuat ibu terlibat langsung secara kognitif (pikiran), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik motorik). Melalui pendekatan ini, diharapkan ibu dapat secara aktif terlibat langsung dalam merekam suatu hal yang dipelajari untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi yang dimiliki. Isi materi pelatihan ini meliputi: peningkatan kepedulian pada perkembangan dan pertumbuhan anak dan remaja, 4 aplikasi prinsip-prinsip self esteem, pengembangan kemampuan pada penanganan permasalahan pribadi, pengiriman pesan, konfrontasi, mendengarkan aktif, resolusi konflik dan melupakan konflik di masa lalu (Riesch dkk, 2003). Berdasarkan paparan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas pelatihan komunikasi dalam meningkatkan kualitas hubungan antara Ibu dan remaja. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam memberdayakan orangtua sebagai pendidik dan sahabat bagi remaja. Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi pada umumnya terutama dalam psikologi keluarga.hipotesis yang diuji adalah pelatihan ketrampilan komunikasi efektif untuk meningkatkan kualitas hubungan ibu dan remaja. Kelompok yang mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi mengalami peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja, sedangkan kelompok subjek yang tidak mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi tidak mengalami peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja. Metode Variabel Penelitian. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu pelatihan ketrampilan komunikasi sebagai variabel bebas, dan kualitas hubungan ibu-remaja sebagai variabel tergantung. Kualitas hubungan ibu remaja adalah hubungan antara ibu dan remaja yang mengandung kedekatan secara emosional, saling percaya, saling tergantung dan memberikan perhatian sehingga menimbulkan keterbukaan dan kepuasan dalam berelasi yang diukur dengan menggunakan skala kualitas hubungan ibu dan anak 5 yang disusun oleh Lestari (2013) dengan mengacu pada dimensi kualitas hubungan orangtua dan anak dari Shek (2006). Dalam penelitian ini pelatihan ketrampilan komunikasi didefinisikan sebagai sekumpulan aktivitas yang didesain dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan Ibu dalam cara berkomunikasi secara efektif dengan remaja. Tahapan Pelatihan komunikasi disusun mengacu pada pelatihan komunikasi yang dilakukan oleh Riesch, dkk (2003) selama 8 sesi dengan durasi waktu 635 menit. Materi dalam pelatihan komunikasi mencakup: (1) memahami perkembangan dan pertumbuhan remaja (2) introspeksi diri tentang komunikasi yang telah terjadi; (3) ketrampilan asertif; (4) ketrampilan melakukan komunikasi terbuka; (5) ketrampilan mengatasi konflik; dan 6). Membangun hubungan kedekatan secara psikologis antara ibu dan remaja. Subjek Penelitian. Kriteria inklusi subjek penelitian adalah : 1. Ibu yang mempunyai anak perempuan dan atau laki-laki berusia 13 sampai 18 tahun. 2. Pendidikan SMA, hal ini untuk memudahkan dalam pengontrolan perbedaan dalam kemampuan menyerap dan memahami materi. 3. Ibu dan remaja memiliki skor skala kualitas hubungan yang rendah atau sedang. Proses perekrutan subjek dalam penelitian ini diawali dengan melakukan screening kepada kepada kriteria inklusi subjek di atas dengan memberikan skala kualitas hubungan ibu-remaja baik kepada ibu maupun kepada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki persepsi kualitas hubungan ibu- 6 remaja dalam katagori sedang atau rendah dan memiliki remaja yang memiliki persepsi kualitas hubungan ibu-remaja dalam katagori rendah atau sedang serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan membubuhkan tanda tangan pada informed consent. Dalam penelitian ini didapatkan subjek penelitian berjumlah 18 ibu, yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan pegawai pabrik dan berusia antara 32 hingga 45 tahun. Jumlah tersebut dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 9 orang untuk kelompok eksperimen, dan 9 orang untuk kelompok kontrol. Pembagian kelompok subjek dilakukan dengan cara mengurutkan nomor subjek menjadi dua bagian yang jumlahnya sama. Nomor urut 1 hingga 9 menjadi kelompok eksperimen, sedangkan nomor urut 10 hingga 18 selanjutnya menjadi kelompok kontrol. Penentuan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan secara random dengan alasan menyesuaikan kesediaan subjek untuk berpartisipasi mengikuti pelatihan. Penelitian ini merupakan suatu quasiexperimental research dengan menggunakan model non randomized control group pretest-post test design. Quasi-experimental merupakan salah satu bentuk penelitian eksperimen yang dapat dilakukan tanpa randomisasi, namun masih menggunakan kelompok kontrol (Latipun, 2002). Alat Pengumpul Data. Dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa: (1) skala kualitas hubungan ibu-anak Skala yang digunakan adalah skala kualitas hubungan ibu-anak yang disusun oleh Lestari (2013) berdasarkan aspek yang diungkapkan Shek (2006) yakni kepercayan ibu kepada anak, kepercayaan anak kepada ibu, keterbukaan anak kepada ibu dan kepuasan anak terhadap kontrol ibu. Skala kualitas hubungan orangtua anak (versi 7 anak) memiliki reliabilitas koefisien α Cronbach 0, 819, dan kualitas hubungan ibu-anak (versi orangtua) memiliki tingkat reliabilitas koefisien α Cronbach 0,701. (2) Observasi, sebagai metode pendukung pengumpulan data dengan tujuan untuk mengamati hasil kemampuan partisipan pada saat berlangsungnya intervensi setiap sesi untuk memperkaya analisis kualitatif tiap individu .(3) Wawancara, ditujukan untuk memperoleh data tentang kualitas hubungan ibu-remaja sebelum dan setelah diberikan intervensi. Wawancara dilakukan kepada ibu dan remaja secara terpisah. Metode analisis Data. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis Mann-Whitney U Test dan Wilcoxon T Test yang merupakan pengukuran non parametrik. Mann-Whitney U Test digunakan untuk menguji pengaruh pelatihan ketrampilan terhadap peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja pada kelompok eksperimen dan kontrol, sedangkan Wilcoxon T Test digunakan untuk menguji peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Analisis data kualitatif dilakukan untuk memperoleh data tentang dinamika peningkatan kualitas hubungan orangtua anak yang diperoleh dengan wawancara mendalam kepada ibu dan remaja sebelum dan setelah diberikan intervensi. Selain itu dilakukan analisis terhadap hasil observasi, lembar evaluasi hasil dan lembar evaluasi proses yang diisi oleh peserta pelatihan. Hasil 1. Hasil analisis kuantitatif 8 Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U (U Test) diperoleh nilai Z hitung -3,616 dan probabilitas (p) 0,000 (uji dua sisi) atau 0,000 (uji satu sisi). Sesuai kaidah hipotesis yang berlaku maka skor probabilitas (p) 0,000 lebih kecil dari = 0,05 dan terbukti signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan peningkatan kualitas hubungan pada kelompok eksperimen yang telah diberi pelatihan ketrampilan komunikasi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari uji Wilcoxon T diperoleh Z hitung sebesar -2,666 dan probabilitas (p) signifikansi 0,008 (uji dua sisi). Oleh karena probabilitas (p) lebih kecil dari = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kualitas hubungan ibu-remaja yang signifikan pada kelompok eksperimen antara sebelum dan sesudah diberi pelatihan ketrampilan komunikasi. 2. Analisis Kualitatif Analisis kualitatif dilakukan pada kelompok eksperimen dengan mencermati hasil skala kualitas hubungan, wawancara pra dan pasca perlakuan, sharing, observasi, tugas rumah, lembar kerja, serta lembar evaluasi yang diisi oleh subjek selama proses pelatihan. Berdasarkan hasil analisis kualitatif pada subjek yang mengalami peningkatan kualitas hubungan paling signifikan dapat disimpulkan bahwa anak subjek adalah berjenis kelamin perempuan yang berada pada usia remaja awal. Ibu merasa lebih mudah mengarahkan anak karena anak masih berada banyak di rumah dan mengidentifikasi kepada orangtua. Ibu juga merasa lebih mudah dan nyaman mendekati anak karena kegiatan anak banyak 9 dilakukan dengan ibu dan ibu merasa sama-sama sebagai perempuan sehingga lebih mudah beradaptasi. Pola peningkatan kualitas hubungan ibu dan remaja pada ibu diawali dengan kesadaran ibu mengenai kekurangan dan kesalahan dirinya dalam mendekati anak, harus memperbaiki sikap dan menyelesaikan permasalahan diri sendiri terlebih dahulu setelah itu ibu lebih menerima perilaku anak sebagai remaja yang sedang berkembang dan tidak tepat menuntut terlalu banyak dari anak. Setelah ibu menerima segala perubahan anak, selanjutnya ibu mempercayai kemampuan anak dalam hal bertanggung jawab dan kemampuan menyelesaikan tugas. Ibu juga lebih mempercayai perilaku anak di luar rumah dan memiliki keyakinan bahwa anak tidak akan melakukan perbuatan negatif yang dapat mempermalukan keluarga. Dari hasil observasi diketahui ketiga subjek adalah ibu yang paling aktif selama proses pelatihan, baik dalam bertanya, memaparkan masalah maupun keaktifan mengerjakan tugas. Pola peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja menurut versi remaja diawali dari penilaian anak yang merasakan perubahan pada ibu yaitu ibu sudah membuka diri dan aktif mendekati anak, berbicara tidak mendominasi, tidak menuduh dan tidak banyak menuntut kepada anak. Anak juga merasakan Ibu lebih banyak mengajak bicara dan banyak mendengarkan anak sehingga anak merasa dihargai dan diterima oleh ibu. Hal ini membuat remaja mulai merasa nyaman berbicara dan menceritakan permasalahan maupun kejadian sehari-hari dengan ibu. Komunikasi dua arah yang dibangun oleh ibu dalam menetapkan aturanaturan membuat remaja merasakan bahwa aturan yang dibuat oleh ibu lebih fair 10 dan masuk akal untuk diterima, sehingga remaja menyadari bahwa peraturan maupun larangan yang ditetapkan ibu bertujuan untuk kebaikan remaja sendiri. Hal ini meminimalkan konflik yang terjadi antara ibu dan remaja Peningkatan kemampuan dan ketrampilan komunikasi diawali dari meningkatnya pemahaman subjek terhadap perkembangan remaja dan permasalahannya sehingga subjek lebih memaklumi perubahan-perubahan yang terjadi pada anaknya diikuti dengan kemampuan subjek mengidentifikasi kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam komunikasi dengan remaja selama ini. Selanjutnya kemampuan dalam asertifitas dan menyampaikan pendapat juga meningkat, hal ini membuat subjek merasakan kepuasan afeksi tersendiri karena dapat mengungkapkan keinginan dan harapan kepada remaja dengan cara yang benar. Metode praktik mendekati remaja baik yang dilakukan di rumah maupun pada setting pelatihan mampu meningkatkan ketrampilan subjek dalam melakukan pendekatan dan menjadi sabahat bagi remaja. Dampaknya anak merasa nyaman untuk menceritakan permasalahan kepada ibu. Metode relaksasi mampu membuat ibu dan remaja kembali memiliki kedekatan afeksi setelah sempat menjauh karena adanya stimulasi teks relaksasi yang menuntun ibu dan anak untuk saling memaafkan dan mendapatkan insight baru mengenai penting berharganya hubungan antara ibu dan anak. Diskusi Kualitas hubungan ibu-remaja mengalami peningkatan setelah diberikan pelatihan ketrampilan komunikasi kepada ibu. Pelatihan ketrampilan komunikasi 11 terbukti efektif karena dilakukan dengan menggunakan pendekatan pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning) yang sesuai dengan materi yang telah diberikan, berupa ketrampilan mengevaluasi, mengekspresikan, dan memodifikasi pola komunikasi antara ibu dan remaja. Experiential learning menggunakan cara yang memberikan sebuah pengalaman langsung kepada ibu dengan simulasi atau permainan yang secara langsung dirasakan oleh setiap ibu. Pelatihan ketrampilan komunikasi membuat ibu terlibat langsung secara kognitif (pikiran), afektif (emosi), dan psikomotorik (gerakan fisik motorik). Melalui pendekatan ini, ibu dapat secara aktif terlibat langsung dalam merekam hal-hal yang dipelajari untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan pendapat Silberman dan Auerbach (2013) bahwa Experiential learning sangat cocok untuk tujuan pelatihan afektif dan behavioral karena membantu peserta menyadari perasaan dan reaksi mereka terhadap isu tertentu dan ide baru, juga memungkinkan para peserta untuk berlatih dan mengasah ketrampilan dan prosedur baru karena tujuan dari experiential learning adalah untuk mempengaruhi peserta melalui tiga cara: (1) struktur kognitif peserta yang diubah, (2) sikap peserta yang dimodifikasi, dan (3) pengetahuan peserta tentang ketrampilan perilaku diperluas. Ketiga unsur tersebut saling berhubungan dan mengubah secara keseluruhan, bukan sebagai kesatuan yang terpisah. Sesi-sesi pelatihan yang disusun untuk meningkatkan pemahaman, kemampuan, dan ketrampilan ibu dalam melakukan komunikasi yang efektif kepada remaja. Dengan meningkatnya ketrampilan komunikasi ibu, ibu dapat memahami kondisi remaja, selanjutnya mendekati remaja dan menjadi teman bagi 12 remaja sehingga remaja juga merasa nyaman dan terbuka tehadap ibu sehingga terjalin hubungan yang lebih berkualitas antara ibu dan remaja. Kedekatan hubungan terjadi karena komunikasi yang efektif dan terbuka antara orangtua dan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Supratiknya (2008) bahwa keefektifan dalam hubungan ditentukan oleh kemampuan individu untuk mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan, menciptakan kesan yang diinginkan, atau mempengaruhi orang lain sesuai kehendak individu. Individu dapat mengungkapkan keefektifan dalam hubungan antar pribadi dengan cara berlatih mengungkapkan maksud dan keinginan , menerima umpan balik tentang tingkah laku, dan memodifikasikan tingkah laku sampai orang lain mempersepsikannya sebagaimana yang individu maksudkan sampai akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tingkah laku individu dalam diri orang lain itu seperti yang dimaksudkan oleh individu tersebut (Supratiknya, 2008). Selanjutnya Riesch, Henriques, dan Chanchong (2003), menyatakan bahwa komunikasi yang terbuka di dalam keluarga akan membangun perkembangan positif pada remaja, dan berkorelasi dengan prestasi di sekolah dan kemampuan memecahkan masalah. Sebaliknya kenakalan remaja, kehamilan remaja, penyalahgunaan alkohol dan obat, depresi, dan bunuh diri dikaitkan dengan remaja yang memiliki komunikasi tertutup, berkonflik dan komunikasi satu arah dengan keluarganya. Pada saat proses pelatihan, peningkatan kemampuan dan ketrampilan komunikasi ibu lebih terlihat pada sesi ceramah, roleplay, studi kasus dan relaksasi. Kondisi ibu awalnya kurang memahami perkembangan dan perubahan remaja sehingga ibu tidak menyadari perubahan yang dialami remajanya bahkan 13 menilai bahwa perubahan tingkah laku remajanya yang kurang sesuai dengan harapan orangtua dan menjadi pemicu munculnya konflik antara ibu dan remaja. Pada sesi ceramah diberikan pemahaman kepada ibu tentang perkembangan remaja, perubahan remaja dan permasalahannya sehingga pada sesi ini pemahaman subjek mengenai perkembangan dan pertumbuhan remaja bertambah. Setelah ibu memahami perkembangan remaja maka ibu dapat bersikap secara lebih tepat dalam menghadapi remaja dengan bersikap lebih memaklumi dan berempati kepada remaja. Selain itu ibu menjadi lebih peka dan peduli terhadap perubahan remaja serta menganggap pemahaman dan ketrampilan orangtua dalam menghadapi remaja adalah hal yang sangat penting. Menurut Silberman dan Auerbach (2013) sesi ceramah dilakukan untuk memberikan pemahaman dan menyadarkan kesenjangan antara keadaan sekarang dan keadaan yang diharapkan, sehingga apabila peserta telah menyadari dan memahami permasalahan yang ada akan termotivasi untuk melakukan perubahan. Peningkatan ketrampilan komunikasi pada ibu juga terlihat pada sesi roleplay di mana sebelum diberikan pelatihan ibu belum mampu mengirim dan menerima pesan efektif kepada remaja, dan bahkan komunikasi yang terjadi menimbulkan konflik di antara ibu dan remaja. Kemampuan ibu sebagai pendengar aktif juga meningkat dimana ibu telah mampu menyusun kata-kata yang lebih sesuai, memilih waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan dan memberikan umpan balik terhadap remaja. Ketika sesi roleplay, ibu diajarkan cara melakukan komunikasi yang terbuka dengan remaja, melatih kepekaan dan empati kepada remaja dan ibu didorong aktif mempraktekkan dan mengalami situasi 14 simulatif ketika berhadapan dengan remaja. Hal ini berefek ibu mampu mengungkapkan keinginan dan harapan ibu kepada remaja dengan menggunakan kata-kata yang tepat dan tidak melukai harga diri remaja. Menurut Kartika (2011) bermain peran bertujuan untuk memberikan pengalaman dalam berlatih keterampilan dan membahas serta mengidentifikasi perilaku yang efektif dan tidak efektif. Kegiatan role play dapat mengarahkan peserta untuk mengubah perilaku atau sikap, dan memungkinkan peserta mendapatkan pengalaman emosional yang tidak terduga ketika bermain peran. Bermain peran dapat mensimulasikan situasi kehidupan nyata memungkinkan bagi peserta untuk mencoba cara-cara baru menangani situasi. Ketrampilan ibu dalam mengelola konflik juga meningkat dengan diberikannya sesi diskusi kasus. Pada sesi ini sebagian besar ibu mampu mempraktekkan cara mendekati remaja dan berempati kepada remaja, serta berekspresi yang tepat berdasarkan setting kasus yang telah disusun. Studi kasus dapat digunakan secara efektif dalam membantu peserta untuk menerapkan pembelajaran pada situasi kehidupan sebenarnya. Studi kasus memberikan situasi masalah kepada peserta dan menanyakan apa yang akan dilakukan peserta terhadap situasi masalah tersebut, karena dengan metode ini, peserta diminta untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan merekomendasi pemecahan masalahnya (Silberman & Auerbach, 2013). Kesadaran (insight) baru seluruh ibu sangat terlihat ketika sesi mutiara hikmah dengan menggunakan teknik pencitraan mental. Terbentuknya kesadaran baru dan kemampuan ibu dalam menjalin komunikasi terbuka dan kedekatan 15 dengan remaja muningkat setelah ibu mengalami pencitraan mental mengenai keberhargaan anak dan interospeksi masing-masing ibu terhadap kesalahan komunikasi yang selama ini terjadi. Bahkan ketika sesi pencitraan mental seluruh ibu merasakan emosinya tersentuh sehingga seluruh ibu menangis dan saling memafkan antara ibu dan anak. Menurut Silberman dan Auerbach (2013) metode pencitraan mental dapat membantu peserta pelatihan menyimpan informasi kognitif, pencitraan mengandung nilai istimewa sebagai jalan untuk membantu mereka berlatih secara mental dalam mempraktikkan ketrampilan dan memfokuskan perasaan dan peristiwa. Pada sesi diskusi kelompok dan sharing kurang terlihat peningkatan kemampuan ibu dalam mengidentifikasi masalah maupun menentukan solusi atas permasalahan dan hanya didominasi oleh sebagian kecil subjek yang aktif menyampaian pemasalahannya. Menurut Kartika (2011) diskusi kelompok dirancang agar dapat terlihat subjek yang aktif dalam menyampaikan pendapatnya, mengutarakan masalahnya serta memberi masukan terhadap setting permasalahan yang ada, begitu juga terlihat peserta yang kurang aktif bahkan dalam menyampaikan pendapatnya. Peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja dialami oleh ibu yang aktif selama pelatihan dan memiliki anak remaja berjenis kelamin perempuan dibandingkan ibu yang memiliki anak remaja laki-laki. Hal itu disebabkan ibu yang memiliki remaja perempuan merasa lebih nyaman untuk mempraktekkan ketrampilan komunikasi dengan anak remaja yang memiliki jenis kelamin sama dengan dirinya karena merasa saling memahami dan merasa lebih terlibat dengan 16 permasalahan remaja perempuannya dibandingkan ibu yang memiliki remaja lakilaki. Keterlibatan ibu lebih mendetail kepada hal-hal kecil, misalnya dalam hal pemilihan baju, masalah kewanitaan dan berbicara dari hati ke hati. Sementara itu, ibu yang memiliki remaja laki-laki merasa kurang nyaman untuk mendekati remajanya dikarenakan ibu menilai seharusnya yang menjadi figur contoh buat anak laki-aki adalah ayah karena sesama laki-laki akan lebih memahami permasalahannya. Misalnya ibu yang memiliki remaja laki-laki lebih canggung menanyakan masalah mimpi basah kepada anak laki-laki dibandingkan ibu menanyakan masalah menstruasi kepada remaja perempuan. Hal ini sejalan penelitian Hosley dan Montemayor (1997) yang menemukan dalam penelitiannya bahwa orangtua mempunyai kecenderungan untuk lebih dekat dengan atau mempunyai relasi yang lebih dalam dengan remaja yang mempunyai jenis kelamin yang sama dengan dirinya. Dalam hal ini ayah memiliki kecenderungan lebih dekat atau memiliki relasi yang lebih dalam dengan remaja laki-laki daripada dengan remaja perempuan, dan sebaliknya ibu memiliki kecenderungan relasi yang lebih dekat dengan remaja perempuan. Selain itu peningkatan peningkatan kualitas hubungan ibu-remaja juga dialami oleh ibu yang memiliki anak berusia remaja awal yaitu berusia 13 hingga 15 tahun dibandingkan ibu yang memiliki remaja berusia di atas 15 tahun. Ibu yang memiliki anak remaja berusia di atas 15 tahun cenderung lebih mudah mengalami konflik dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak perempuan dan berusia di bawah 15 tahun. Hal ini disebabkan karena remaja yang berusia di atas 15 tahun telah banyak berinteraksi dengan kelompok teman sebaya sehingga 17 perilaku dan sikap anak lebih banyak mengindentifikasi kelompok sebaya dibandingkan orangtua. Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari (2012) bahwa seiring waktu relasi anak dengan orangtua mengalami penurunan dan relasi anak dengan teman sebaya mengalami peningkatan. Sosialisasi dengan teman sebaya dapat menimbulkan konflik dengan sumber-sumber sosialisasi lain (Arnett, 1999). Hasil analisis kuantitatif dalam penelitian ini menunjukkan ada pengaruh pelatihan ketrampilan komunikasi terhadap peningkatan kualitas hubungan ibu dan remaja. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Blake, Simkin, Ledsky, Perkins, dan Caleberese (2001) bahwa pemberian intervensi pengasuhan tentang komunikasi orangtua dan remaja awal terbukti efektif memperbaiki kualitas komunikasi orangtua dan remaja dengan indikator meningkatnya intensitas komunikasi mengenai seksualitas antara orangtua dan remaja, serta menunjukkan hasil positif mengenai sikap seksual remaja. Selanjutnya hasil penelitian Turnbul (2012) menunjukkan bahwa kedekatan hubungan di dalam keluarga dapat membangun kedekatan dan kenyamanan untuk membicarakan masalah secara terbuka. Pelatihan ketrampilan komunikasi ini dapat dikatakan membantu ibu dalam memperbaiki hubungan atau komunikasi antara ibu dan remaja didasarkan pada data wawancara, tugas rumah, worksheet serta lembar evaluasi. Ibu menyatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh dari pelatihan berusaha sebisa mungkin diterapkan dalam melakukan komunikasi dengan anak. Ibu yang sebelum pelatihan tidak mengetahui dampak dari perkataan yang kurang baik kepada anak, setelah mengikuti pelatihan lebih berhati-hati dalam melakukan 18 pembicaraan dengan anak. Ibu juga berusaha menerapkan teknik-teknik mendekati remaja sehingga remaja yang juga telah mendapatkan pemahaman mengenai komunikasi terbuka juga menyambut baik perubahan positif yang dilakukan oleh ibu. Hal itu membuat remaja dan ibu merasa nyaman untuk saling mendekat dan membina hubungan yang lebih positif dan dekat. Penelitian ini mendukung penelitian Riesch, Henriques, dan Chanchong (2003) bahwa orangtua dan remaja yang mendapatkan pelatihan ketrampilan komunikasi (kelompok eksperimen) mempersepsikan bahwa mereka telah memiliki kedekatan, dan penyesuaian yang bertambah di dalam keluarga dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi Ibu/orangtua Ibu diharapkan agar terus mempraktekkan dan mengasah pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh dari pelatihan supaya kualitas hubungan antara ibu dan anak dapat terjalin dengan akrab dan dekat untuk jangka waktu seterusnya. Ibu diharapkan dapat menghargai hak-hak anak dan berusaha menjalin kedekatan yang lebih intensif agar anak merasa nyaman untuk menceritakan segala permasalahannya. 2. Bagi anak/remaja Remaja diharapkan mendukung setiap perubahan positif yang ditunjukkan oleh ibu dan menerima segala kekurangan dan kelebihan ibu. Dukungan pada ibu dapat berupa sikap terbuka untuk menceritakan segala permasalahan. 19 3. Bagi Praktisi di bidang pendidikan (guru, konselor sekolah) Para pendidik atau konselor dapat mengadopsi beberapa metode dalam melakukan komunikasi yang efektif kepada remaja sehingga praktisi pendidikan lebih mudah dalam mendekati remaja dan lebih mudah dalam memberikan pendidikan moral kepada siswa remaja. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan memberikan pelatihan ketrampilan komunikasi kepada ayah, karena ibu mengalami hambatan berkomunikasi dengan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Selain itu diharapkan dapat memperhatikan atau mempertimbangkan jeda waktu antara pretest, post test dan follow up untuk mengontrol faktor pembelajaran yang terjadi pada subjek. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelatihan ketrampilan komunikasi efektif untuk meningkatkan kualitas hubungan antara ibu dan remaja. Terbukti ibu yang mengikuti pelatihan ketrampilan komunikasi memiliki kualitas hubungan ibu-remaja yang lebih baik daripada ibu yang tidak mengikuti pelatihan ketrampilan komunikasi. Ibu yang mengalami peningkatan kualitas hubungan signifikan adalah ibu yang aware terhadap hubungannya dengan remaja kurang harmonis sehingga memiliki keinginan untuk memperbaiki hubungan tersebut dengan bersikap antusias dan lebih aktif dalam mengikuti pelatihan. Selain itu jenis kelamin anak 20 yang sama dengan ibu membuat ibu merasa lebih mudah memantau dan merasa nyaman dalam berinteraksi dengan anak. Komunikasi terbuka yang terjalin antara ibu dan remaja membuat remaja merasa dihargai dan diterima oleh ibu, hal ini membuat remaja merasa nyaman menceritakan permasalahan kepada ibu dan menerima aturan yang ditetapkan oleh ibu adalah sesuatu yang masuk akal dan untuk kebaikan dirinya. Metode dan materi pelatihan yang disusun sesuai konteks permasalahan subjek dirasakan efektif dan tepat sasaran dalam mengatasi permasalahan yang terjadi antara orangtua dan remaja. Adapun metode yang efektif dalam pelatihan ketrampilan komunikasi adalah metode ceramah, roleplay, diskusi kasus dan metode pencitraan mental dibandingkan dengan metode diskusi kelompok, penayangan video, worksheet, dan tugas rumah. 21 Kepustakaan Arnett, J.J. (1995). Adolescent storm and stress, reconsidered. American Psychologist, 54(5), 317-326. Berk, L. E. (2003). Child development 6th ed. Boston: MA Allyn & Bacon. Blake, S.M., Simkin, L., Ledsky, R., Perkins, C. & Calabrese, J.M. (2001). Effect of parent-child communications intervention on young adolescents risk of early onset of sexual intercourse. Family Planning Perspectives 33(2), 5261. Dirgagunarsa, S., & Sutantoputri, N. W. (2004). Hubungan orang tua dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Hetherington, E. M., & Parke, R. D. (2003). Child psychology: a contemporary viewpoint 5th ed. New York: McGraw-Hill. Hosley, C. A., & Montemayor, R. (1997). Fathers and adolescents. In Michael E.Lamb (Ed). The role of the father in child development (3rd ed). Canada: John /wiley & Son. Kartika, I. F. (2011). Mengelola pelatihan partisipatif. Bandung: Alfabeta. Latipun. (2002). Psikologi eksperimen. Malang: UMM Press. Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga, penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga. Kencana Prenada Media Grup: Jakarta Lestari, S. (2013). Konsep dan transmisi nilai-nilai jujur, rukun dan hormat. Disertasi. Program Doktor Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Notosoedirjo, M. & Latipun. (2002). Kesehatan mental: konsep dan penerapan. Universitas Muhammadiyah Malang. Reidler, E.B., & Swenson, L.P., (2012). Discrepancies between youth and mothers perception of their mother-child relationship quality and self disclosure: Implication for youth and mother-reported Youth Adjustment. Journal Youth Adolescense, 41, 1151-1167. 22 Rice, F. P. (1999). The adolescent: development, relationships, and culture 9th ed. Needham Heights. Riesch, S.K., Henriques, J., & Chanchong, W. (2003). Effect communication skills training on parents and young adolescents from extreme family Types. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 16(4), 162-175. Shek, D.T.L. (2006). perceived parents-child relational qualities and parental behavioral and psychological control in chinese adolescents in hongkong. Journal Adolescence Fall,41 (163), 563-580. Shulman, S., & Seiffge, I. (1997). Fathers and adolescents: developmental and clinical perspectives. London: Routledge. Silberman, M., & Auerbach, C. (2013). Active training: pedoman praktis tentang teknik, desain, contoh kasus dan kiat (penerjemah Khozim M). Bandung: Nusa Media. Supratiknya. 2008. Komunikasi antarmanusia. Jakarta: Erlangga. Turnbull, T. (2012). Communicating about sexual matters within the family: facilitator and barries. Education and Health Journal, 30(2), 40-47. 23