BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rasa Percaya Diri Rasa percaya diri yang baru dan sehat dikembangkan dari dalam kepribadian individu itu sendiri. Rasa percaya diri bukan dengan mengkompensasi kelemahan kepada kelebihan, namun bagaimana individu tersebut mampu menerima dirinya apa adanya, mampu mengerti seperti apa dirinya dan pada akhirnya akan percaya bahwa dirinya mampu melakukan berbagai hal dengan baik (Lauster, 1956). Rasa percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa dengan akal budi mereka akan mampu melaksanakan apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan (Davies, 2004). Rasa percaya diri merupakan keberanian menghadapi tantangan karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan. Rasa percaya diri penting untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, seperti halnya ketika bergabung dengan suatu masyarakat yang didalamnya terlibat di dalam suatu aktivitas atau kegiatan, rasa percaya diri meningkatkan keefektifan dalam aktivitas atau kegiatan (Hakim, 2005). Rasa percaya diri merupakan sikap mental individu dalam menilai diri maupun objek sekitar sehingga individu tersebut memiliki keyakinan akan kemampuan diri dalam melakukan sesuatu sesuai kemampuan (Ghufron, 2011). Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keberanian untuk menghadapi tantangan karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan, suatu layanan terhadap diri sendiri sehingga individu mampu menangani segala situasi dengan tenang, dan kepercayaan bahwa dengan akal budi akan mampu melaksanakan apa yang diinginkan, rencanakan dan harapkan. 2.1.1 Ciri-ciri Individu yang Memiliki Rasa Percaya Diri Ciri-ciri individu yang memiliki rasa percaya diri (Hakim, 2005), yaitu: a. Bersikap tenang dalam mengerjakan sesuatu b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai c. Mampu menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu d. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang menunjang penampilan f. Memiliki kecerdasan yang cukup g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup h. Memiliki keahlian dan ketrampilan lain yang menunjang kehidupan i. Memiliki kemampuan bersosialisasi j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mental dan ketahanan di berbagai situasi l. Bersikap positif dalam menghadapi masalah Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri anak yang memiliki rasa percaya diri yaitu, yakin pada diri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, merasa dirinya berharga, tidak menyombongkan diri, memiliki keberanian untuk bertindak, mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai, menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu, kemampuan bersosialisasi, dan bersikap positif dalam menghadapi masalah. 2.1.2 Aspek-Aspek Rasa Percaya Diri Menurut Lauster (Ghufron, 2011) anak yang memiliki rasa percaya diri positif adalah: a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif anak tentang dirinya bahwa anak mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya. b. Optimis yaitu sikap positif anak yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya. c. Obyektif yaitu anak yang percaya diri memandang permasalahan atau sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri. d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan anak untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya. e. Rasional yaitu analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan. Menurut Kumara (dalam Isaningrum, 2007) individu yang memiliki rasa percaya diri merasa yakin akan kemampuan dirinya, sehingga bisa menyelesaikan masalahnya karena tahu apa yang dibutuhkan dalam hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang didasari keyakinan akan kemampuannya. Individu tersebut bertanggung jawab akan keputusannya yang telah diambil serta mampu menatap fakta dan realita secara obyektif yang didasari keterampilan. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri yaitu diantaranya memiliki rasa keyakinan akan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab serta memiliki pemikiran rasional. 2.1.3 Indikator dari kepercayaan diri Kepercayaan diri secara bahasa menurut Vandenbos (2006) adalah percaya pada kapasitas kemampuan diri dan terlihat sebagai kepribadian yang positif. Pendapat itu menunjukkan bahwa orang yang percaya diri memiliki keyakinan untuk sukses. Kepercayaan diri menurut Elly Risman yaitu seseorang di katakan percaya diri apabila ia merasa nyaman tentang dirinya sendiri dan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri. Sementara itu, (Hervita, 2005) menyatakan bahwa kepercayaan diri ialah suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak cemas dalam bertindak, merasa bebas, tidak malu dan tertahan sekaligus mampu bertanggung jawab atas yang diperbuat. Dari Lauster dan Guilford (1956) yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan diri yaitu : 1. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan tehadap kekuatan, kemampuan, dan ketrampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya. 2. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri. 3. Individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang, tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi. 2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Ghufron, 2011): a. Faktor internal, meliputi: 1. Konsep diri Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi (2000), konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Individu yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya individu yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif. 2. Harga diri Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Individu yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi individu yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan. 3.Kondisi fisik Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya diri. Anthony (2002), mengatakan penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. 4. Pengalaman Pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada dasarnya individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian. b. Faktor eksternal meliputi: 1. Pendidikan Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan. 2. Pekerjaan Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri. 3. Lingkungan Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pengalaman hidup. Menurut Kevorkian (2010) bahwa membesarkan anak yang percaya pada dirinya sendiri berarti membesarkan seorang pemenang. Percaya diri adalah sebuah sikap diri sikap yang merasa pantas, nyaman dengan diri sendiri dari penilaian orang lain, serta memiliki keyakinan yang kuat. Maka sifat tidak percaya diri datang apabila pribadi tersebut tidak merasa pantas, nyaman dan tenang dengan dirinya. Orang yang tidak percaya diri akan merasa dirinya salah dan memiliki perasaan khawatir Risman (dalam Syaifullah, 2010). Sedangkan menurut Syaifullah (2010) percaya diri merupakan sikap positif yang dimiliki seorang individu yang membiasakan dan memupukkan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, lingkungan serta situasi yang dihadapinya untuk meraih apa yang diinginkan. Pribadi seseorang yang memiliki sikap percaya diri diantaranya memiliki ciriciri : a. Percaya dengan kemampuan diri sendiri. b. Mengutamakan usaha sendiri tidak tergantung dengan orang lain. c. Tidak mudah mengalami rasa putus asa. Pribadi yang percaya diri akan selalu antusias dalam melakaukan suatu tindakan memiliki tekad, tekun dan pantang menyerah. d. Berani menyampaikan pendapat. Berpendapat merupakan suatu hak yang dimiliki oleh setiap orang, tetapi tidak semua orang memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat, rasa takut dan khawatir untuk berbicara merupakan salah satu ciri-ciri sikap tidak percaya dengan kemampuannya. Seorang yang memiliki sikap percaya diri diantaranya adalah barani untuk menyampaikan pendapat yang dimlikinya didepan orang banyak. e. Mudah berkomunikasi dan membantu orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, akan selalu bersosialisai dan berinteraksi. Interaksi merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan oleh manusia, manusia dilahirkan dan hidup tidak dapat dipisahkan satu sama lain, seseorang membutuhkan seseorang lainnya, karena tanpa adanya kerjasama dan bantuan orang lain seorang individu tidak bisa menopang hidupnya untuk memenuhi kebutuhan. f. Tanggung jawab dengan tugas-tugasnya Pribadi yang percaya diri akan selalu memiliki tanggung jawab pada dirinya sendiri, yaitu selalu mengerjakan apa yang menjadi tugas dalam menjalankan suatu tindakan, dikerjakan dengan tekun dan rajin. g. Memiliki cita-cita untuk meraih prestasi. Sifat percaya diri hanya dimiliki oleh orang yang bersemangat berjuang dan memiliki kemauan keras, berusaha dan merealisasikan memimpi-mimpinya untuk menjadi kenyataaan. Pribadi yang percaya diri dari uraian diatas akan dijadaikan sebagai kisi-kisi dalam membuat angket sikap percaya diri. Sosok pribadi yang percaya diri cenderung bisa melawan tantangan hidup yang melintang dalam bentuk apa pun dengan berbuat sesuatu yang bijak dan professional. Hakim (2002), Menjelaskan bahwa rasa percaya diri siswa di sekolah bisa di bangun melalui berbagai macam bentuk kegiatan sebagai berikut : 1. Memupuk keberanian untuk bertanya 2. Peran guru/pendidik yang bertanya pada siswa 3. Melatih berdiskusi dan berdebat 4. Mengerjakan soal di depan kelas 5. Bersaing dalam mencapai prestasi belajar 6. Aktif dalam kegiatan pertandingan olah raga 7. Belajar berpidato 8. Mengikuti kegiatan ekstrakulikuler 9. Penerapan disiplin yang konsisten 10. Memperluas pergaulan yang sehat. Fase-fase perkembangan Menurut (Desmita,2009) a. Perioode I, umur 0-7 tahun, yaitu periode penangkapan dan pengenalan dunia luar dengan pancaindra. b. Periode II, umur 7-12 tahun, yaitu periode abstrak dimana anak mulai menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruk dan mulai timbul insan kamil, c. Periode III, umur 12-18 tahun, yaitu periode penemuan diri dan kepekaan sosial, d. Periode IV umur 18 ke atas, yaitu periode pendidikan perguruan tinggi. Dari individu yang satu dengan yang lain memiliki rasa percaya diri yang berbeda-beda, tergantung dari fase perkembangannya. Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk Sekolah Dasar adalah 6 atau 7 tahun, ini menunjukkan bahwa fase perkembangan anak pada periode II, pada usia ini anak akan senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok dan senang melakukan sesuatu secara langsung. Menurut Havighurts (Desmita,2009) tugas perkembangan anak usia sekolah meliputi 1) menguasai ketrampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktifitas fisik, 2) membina biduo sehat, 3) belajar bergaul dan bekerja kelompok, 4) belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat, 5) mencapai kemandirian pribadi. Dengan adanya tugas perkembangan pada diri siswa, maka sikap untuk menumbuhkan rasa percaya diri sangatlah penting, percaya diri pada seorang anak akan muncul jika anak telah mengalami pengalaman pribadi dalam melakukan tindakan yang memberi keberhasilan. Selain itu guru juga harus senantiasa menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, misalnya dalam pembelajaran siswa selalu dilibatkan langsung dalam kegiatan belajar mengajar, agar siswa dapat merasakan langsung dan dapat memberikan pengalaman bagi dirinya. Sikap percaya diri seorang anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor perkembangan anak saja, tetapi ada faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adanya sikap percaya diri pada anak diantaranya adalah : a. Faktor lingkungan keluarga Keadaan keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama dan utama dalam kehidupan setiap manusia, lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan awal rasa percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. b. Pendidikan formal Sekolah bisa dikatan sebagai lingkungan kedua bagi anak, dimana sekolah merupakan lingkungan yang paling berperan bagi anak setelah lingkungan keluarga di rumah. Sekolah memberikan ruang pada anak untuk mengekpresikan rasa percaya dirinya terhadap teman-teman sebayanya. c. Pendidikan non formal Salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian yang penuh rasa percaya diri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum dan dirinya memiliki prestasi. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan non formal misalnya: mengikuti kursus bahasa asing, jurnalistik, bermain alat musik, seni vokal, keterampilan memasuki dunia kerja, pendidikan keagamaan dan lain sebagainya. Sebagai penunjang timbulanya rasa percaya diri pada diri individu yang bersangkutan. Siswa sekolah dasar berada pada pendidikan formal, dimana tugas gurulah yang akan menumbuhkan sikap percaya diri siswa. Selain adanya faktor eksternal, sikap percaya diri juga dipengaruhi oleh siswa itu sendiri baik kondisi jiwanya maupun kondisi fisiknya. Rasa cemas, rasa ketidakmampuan, ketidakberdayaan serta ketidaksanggupan untuk menghadapi suatu tantangan inilah yang menjadi penyebab adanya sikap percaya diri itu lemah. Sikap percaya diri dapat dipupuk dengan adanya suatu keberhasilan dan prestasi belajar. Dari uraian diatas dapat simpulkan bahwa sikap percaya diri adalah keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri. Sikap percaya diri akan menghasilkan berbagai perasaan dalam melakukan suatu tindakan. Sikap percaya diri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dirinya yang meliputi konsisi jiwa dan fisiknya, serta faktor dari luar yaitu lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. 2. Prestasi belajar Pendidikan anak sekarang bukan lagi kemewahan yang hanya ditunjuk untuk segelintir orang, tetapi merupakan kebutuhan untuk semua orang. Anak harus dididik lebih tinggi dan mempelajari keahlian yang lebih maju, yang akan membawa mereka untuk mencapai prestasi belajar dan prestasi belajar itu adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dilambangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru. Prestasi belajar merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi belajar hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa. 2.1.5. Pengertian Remaja Fase remaja adalah masa transisi atau peralihan dari akhir masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah lakunya merupakan peralihan dari anak-anak menjadi orang dewasa (Damaiyanti, 2008). Menurut Dorland (2011), “remaja atau adolescence adalah periode di antara pubertas dan selesainya pertumbuhan fisik, secara kasar mulai dari usia 11 sampai 19 tahun”. Menurut Sigmun Freud (1856-1939), dalam Sunaryo (2004) mengatakan bahwa fase remaja yang berlangsung dari usia 12-13 tahun hingga 20 tahun. Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri seseorang dalam rentang masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Pada masa ini, pola pikir dan tingkah laku remaja sangat berbeda pada saat masih kanak-kanak. Hubungan dengan kelompok (teman sebaya) lebih erat dibandingkan hubungan dengan orang tua. 2.1.6. Remaja Awal Menurut Sarwono (2006) Remaja Awal (Early Adolescence) Seorang remaja pada tahap ini berusia 10-12 tahun masih terheran–heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis, ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebihlebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit dimengerti orang dewasa. 2.1.7 Ciri Perkembangan Remaja • Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. • Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanakkanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. • Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat, dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan. • Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. • Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut. • Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita. • Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab 2.1.8. Tahap Perkembangan Remaja Tahap perkembangan remaja dimulai dari fase praremaja sampai dengan fase remaja akhir berdasarkan pendapat Sullivan (1892-1949). Pada fase-fase ini terdapat beragam ciri khas pada masing-masing fase. 1. Fase Praremaja Periode transisi antara masa kanak-kanak dan adolesens sering sikenal sebagai praremaja oleh profesional dalam ilmu perilaku (Potter&Perry, 2005). Menurut Hall seorang sarjana psikologi Amerika Serikat, masa muda (youth or preadolescence) adalah masa perkembangan manusia yang terjadi pada umur 8-12 tahun. Fase praremaja ini ditandai dengan kebutuhan menjalin hubungan dengan teman sejenis, kebutuhan akan sahabat yang dapat dipercaya, bekerja sama dalam melaksanakan tugas, dan memecahkan masalah kehidupan, dan kebutuhan dalam membangun hubungan dengan teman sebaya yang memiliki persamaan, kerja sama, tindakan timbal balik, sehingga tidak kesepian (Sunaryo, 2004). Tugas perkembangan terpenting dalam fase praremaja yaitu,belajar melakukan hubungan dengan teman sebaya dengan cara berkompetisi, berkompromi dan kerjasama. 2. Fase Remaja Awal (early adolescence) Fase remaja awal merupakan fase yang lanjutan dari praremaja. pada fase ini ketertarikan pada lawan jenis mulai nampak. Sehingga, remaja mencari suatu pola untuk memuaskan dorongan genitalnya. Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa masa remaja awal adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Sunaryo (2004) berpendapat bahwa, hal terpenting pada fase ini, antara lain: 1) Tantangan utama adalah mengembangkan aktivitas heteroseksual. 2) Terjadi perubahan fisiologis 3) Terdapat pemisahan antara hubungan erotik yang sasarannya adalah lawan jenis dan keintiman dengan jenis kelamin yang sama 4) Jika erotik dan keintiman tidak dipisahkan, maka akan terjadi hubungan homoseksual 5) Timbul banyak konflik akibat kebutuhan kepuasan seksual, keamanan dan keakraban. 6) Tugas perkembangan yang penting adalah belajar mandiri dan melakukan hubungan dengan jenis kelamin yang berbeda. 3. Fase Remaja Akhir Fase remaja akhir merupakan fase dengan ciri khas aktivitas seksual yang sudah terpolakan. Hal ini didapatkan melalui pendidikan hingga terbentuk pola hubungan antarpribadi yang sungguh-sungguh matang. Fase ini merupakan inisiasi ke arah hak, kewajiban, kepuasan, tanggung jawab kehidupan sebagai masyarakat dan warga negara. 2.2. Teori Proses dan Tahapan Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak. Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. 2.3. Teori Sinematografi Cinematography terdiri dari dua suku kata Cinema dan graphy yang berasal dari bahasaYunani: Kinema, yang berarti gerakan dan graphoo yang berarti menulis. Jadi Cinematography bisa diartikan menulis dengan gambar yang bergerak. Di dalam kamus istilah TELETALK yang disusun oleh Peter Jarvis terbitan BBC TelevisionTraining, Cinematography diartikan sebagai The craft of making picture (pengrajin gambar). Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannya pun mirip. Perbedaannya fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik rangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase atau montage. Dalam Sinematografi kita mempelajari bagaimana membuat gambar bergerak, seperti apakah gambar2 itu, bagaimana merangkai potongan2 gambar yang bergerak menjadi rangkaiaan gambar yang mampu menyampaikan maksud tertentu atau menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan suatu ide tertentu. Maka secara konkrit bahasa yang digunakan dalam sinematografi adalah suatu rangkaian beruntun dari gambar bergerak yang dalam pembuatannya memperhatikan ketajaman gambar, corak penggambarannya, memperhatikan seberapa lama gambar itu ditampilkan, iramanya dan sebagainya yang kesemuanya merupakan alat komunikasi non verbal Dalam buku teori-teori komunikasi yang ditulis oleh B Aubrey Fisher,dikutip definisi komunikasi yang baik dari Fotheringham bahwa komunikasi dapat dipandang baik atau efektif apabila ide, tema, informasi dsb yang disampaikan dapat dipandang “sama” atau mempunyai kesamaan bagi orang-orang yang terlibat dalam perilaku komunikasi. Berkaitan dengan sinematografi, hal seperti yang disampaikan diatas perlu diperhatikan karena menyampaikan sesuatu, ide, gagasan, informasi, tema dengan menggunakan gambar tentu tidaklah semudah penyampaian dengan menggunakan tulisan.