BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Sulawesi adalah salah satu dari 5 pulau besar di Indonesia yang terletak di bagian timur, yaitu pada koordinat 2o10’17” LU – 7o25’43” LS dan 121o 29’13” BT – 123o 9’25” BT. Secara geologi, sulawesi merupakan wilayah yang geologinya sangat komplek, karena merupakan perpaduan antara dua rangkaian orogen ( Busur Kepulauan Asia Timur dan Sistem Pegunungan Sunda ). Sehingga, hampir seluruhnya terdiri dari pegunungan, sehingga merupakan daerah paling berpegunungan di antara pulau- pulau besar di Indonesia (Sutardji, 2006 :100). Secara rinci fisiografi sulawesi adalah sebagai berikut: 1. Lengan Utara Sulawesi Pada lengan ini, fisiografinya terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan aspek geologinya. Ketiga bagian tersebut adalah : Seksi Minahara, merupakan ujung timur dari lengan utara sulawesi dengan arah timurlaut-baratdaya yang bersambung dengan penggungan Sangihe yang dibentuk oleh aktifitas vulkanis pegunungan soputan Seksi Gorontalo merupakan bagian tengah dari lengan utara sulawesi dengan arah timur ke bawah, namun aktivitas vulkanis sudah padam, yang lebar daratannya sekitar 35 – 110 km, tapi bagian baratnya menyempit 30 km ( antara Teluk Dondo di pantai utara dan Teluk Tihombo di pantai selatan ). Seksi ini dilintasi oleh sebuah depresi menengah yang memanjang yaitu sebuah jalur antara rangkaian pegunungan di pantai utara dan pegunungan di pantai selatan yang disebut Zone Limboto Jenjang sulawesi utara, merupakan Lengan Utara Sulawesi yang arahnya dari utara ke selatan dan terdapat depresi ( lanjutan zone Limboto di Gorontalo ) yang sebagian besar di tutup oleh vulkanik – vulkanik muda, sedangkan antara lengan utara dan lengan timur di pisahkan oleh Teluk Tomini yang lebarnya 100 km di bagian timur dan sampai 200 km di bagian barat sedangkan dasar teluknya semakin dangkal kearah barat ( kurang dari 2000 meter ) dan di bagian tengah 5 Teluk Tomini tersebut terdapat pegunungan di bawah permukaan air laut dengan bagian tinggi berupa kepulauan Togian ( Sutardji ; 2006 : 101 ) 2. Lengan Timur Lengan Timur Sulawesi arahnya timurlaut-baratdaya dan dapat di bedakan menjadi tiga bagian. Tiga bagian tersebut adalah: Bagian timur, berupa Semenanjung Bualeno yang dipisahkan dengan bagian tengah oleh tanah genting antara Teluk Poh dan Teluk Besama Bagian tengah, dibentuk oleh pegunungan Batui dengan pegunungan Batulumpu yang arahnya timurlaut-baratdaya. Bagian barat, merupakan pegunungan tinggi yang membujur antara garis Ujung Api sampai Teluk Kolokolo bagian timur dan garis Lemoro sampai Teluk Tomini di barat dan lebarnya sekitar 75-100 km ( Sutardji, 2006 : 101 ) 3. Lengan Tenggara Batas antara lengan tenggara dengan bagian tengah sulawesi adalah berupa tanah genting antara Teluk Usu dengan Teluk Tomori yang lebarnya 100 km. Sedangkan lengan tenggara Sulawesi dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu : Bagian utara, berupa masif-masif Peridotit dari pegunungan Verbeek yang di tengahnya terdapat dua graben yaitu danau Matana dan Danau Tomini yang letaknya berada antara Teluk Palopo ( Ujung utara Teluk Bone dengan Teluk Tolo Bagian Tengah, berupa Pegunungan Mekongga di sebelah barat dan sedimen peridorit di sebelah timur yang di batasi oleh Pegunuingan Tangeasinua, sedangkan antara kedua pegunungan tersebut terdapat basin yang dialiri sungai Konewha, sedangkan kearah tenggara jalur ini tenggelam dan membentuk teluk-teluk dan pulau-pulau kecil serta berkelanjutan sampai kepulauan Manui Bagian Selatan, merupakan suatu depresi yang membujur dari arah barat ke timur yang membentang antara Kendari dan Kolaka yang diisi dataran Aluvial yang berawa sedangkan di bagian selatannya berupa pegunungan dan bukit-bukit yang teratur dengan membujur dari arah barat ke timur 6 4. Lengan Selatan Bagian sulawesi selatan merupakan daerah yang dibatasi oleh garis tenggarabaratlaut dari muara sungai Karama sampai Palopo. Batas lengan utara dari garis timurlaut-baratdaya dari palopo sampai Teluk Mandar. Namun secara geologis bagian barat Lengan Sulawesi Tengah termasuk Pegunungan Quarles yang lebih dekat hubungnnya dengan bagian selatan dengan lengan selatan ( Sutardji, 2006 : 103 ). Fisiografi lengan selatan berupa pegunungan seperti pegunungan yang ada di antara Majene yang membujur utara-selatan, antara Pegunungan Quarles dengan Pegunungan Latimojong dipisahkan oleh Lembah Sadang dan diantara Lembah Sadang dan Teluk Bone terdapat Pegunungan Latimojong yang membujur dari utara ke selatan dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl. Pada bagian utara dan selatan lengan ini dipisahkan oleh depresi dengan arah baratlaut-tenggara yang terdapat danau-danau seperti danau Tempe, danau Sidenreng, dan danau Buaya. Pada bagian selatannya lengan ini mempunyai ketinggian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bagian utara. Di daerah ini ada dua jalur pegunungan yaitu di bagian barat dengan ketinggian diatas 1000 mdpl dan bagian timur dengan ketinggian 800 mdpl yang dipisahkan oleh lembah Sungai Walaneia. Kedua jalur pegunungan tersebut di sebelah selatan Pegunungan Bontorilni, bersatu sebagai hulu sungai Walaneia yang mengalir ke utara tertutup oleh vulkan besar Lampobatang. Sedangkan di luar pantai Makasar terdapat dangkalan Spermonde dengan rangkaian karang, dan di luar pantai Watampone terdapat dangkalan dengan rangkaian karang laut dangkal dan sebelah baratnya menurun sampai palung Bone 2.2. Geologi Regional Sulawesi Pulau Sulawesi mempunyai bentuk yang khas menyerupai huruf “K”, mempunyai 4 lengan yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Lengan Tenggara, dan Lengan Selatan. Keempat lengan ini terbentuk dari proses-proses tektonik dan ciri geologi yang berbeda satu sama lain. Surono, dkk.,(1997) menjelaskan bahwa Lengan Selatan dan Lengan Utara merupakan Busur Volkanik Sulawesi (Sulawesi Volcanic Arc) yang berkaitan dengan palung subduksi/penunjaman, berumur Miosen hingga Pliosen Awal, berupa batuan volkanik yang terdiri dari piroklastika bersusunan 7 trakhitik, andesit dan dasitis berasal dari gunung-api Kuarter (G.Lompobatang, G.Barupu) dan Resen (G.Soputan, G.Lokon dan di Teluk Gorontalo G.Una-Una), batuan sedimen berumur Eosen hingga Miosen Awal yang terdiri dari batupasir, serpih dan karbonat. Bagian Timur Sulawesi sebagian besar terdiri dari komplek batuan basa dan ultrabasa yang mengalami deformasi yang kuat sehingga sebagian besar ditempati oleh jalur batuan ophiolit, batuan ini menerus ke Lengan Tenggara. Di Lengan Timur ini pula (terutama Kep. Banggai Sula) komplek batuan tersebut membentuk struktur kelopak menindih batuan sedimen berumur Mesozoik hingga resen dan menerus ke Lengan Tenggara termasuk daerah diantaranya. Gejala deformasi yang kuat ini disebabkan oleh bertumbuknya kepingan kerak-benua (Kepulauan Banggai-Sula) yang berasal dari tepi Utara Irian yang berinteraksi dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke Barat. Kepingan-kepingan kerak-benua tersebut bergeser ke Barat melalui sesar-sesar mendatar yang berarah Barat-Timur melalui jarak-jarak yang jauh. BUSUR VOLKANIK KUARTER MINAHASA-SANGIHE SABUK OFIOLIT KAPUR SULAWESI TIMUR SABUK METAMORF KAPUR-PALEOGEN SULAWESI TENGAH FRAGMEN PALEOZOIKUM MIKROKONTINEN BANDA BUSUR VOLKANIK TERSIER SULAWESI BARAT Gambar 2.1 Mandala Tektonik Sulawesi (Hamilton, 1979; Sukamto & Simanjuntak, 1983; Metcalfe, 1990; Audley-Charles, 1991) 8 Sulawesi Bagian Barat Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai Neogen untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan Kalimantan Tenggara dan Jawa-Tengah. Pada Kapur Akhir - Awal Tersier (Paleosen), Sulawesi Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari daratan Kalimantan, sebagai bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal dari benua raksasa Gondwana di Selatan yang bergerak ke Utara bersama India dan Mergui, yang kemudian bertumbukan dengan Jalur Subduksi LUH-ULO - MERATUS. Kepingan atau bongkah kerak-benua yang juga mendasari Selat Makassar ini kemudian diberi nama “Blok KANGEAN-PATERNOSTER”. Kapan berlangsungnya proses tumbukan ini, dapat ditentukan berdasarkan terhentinya kegiatan magmatis di sebelah Barat Pegunungan Meratus, yaitu dengan tidak dijumpainya batuan beku intrusip yang berumur antara 50-40 MA (Eosen). Terdapatnya bongkah kerak-benua disebelah Timur jalur subduksi Meratus ini, juga dapat dilihat dari data bor “Rubah1” yang dibuat oleh CONOCO pada tahun 1979, yang menembus batuan dasar berupa granit. Demikian pula bor Taka-Talu menembus batuan dasar yang ternyata diorit. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi bagian Barat dan Timur merupakan busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang merupakan bagian dari satu sistim interaksi konvergen dengan arah subduksi ke Barat. Dalam hal seperti ini, maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur magmatiknya seperti yang digambarkan oleh Katili, (1984). Mekanisma proses pemisahannya dari daratan Kalimantan, hingga kini masih merupakan masalah yang diperdebatkan diantara para pakar tektonik. Bukti-bukti dalam upaya untuk mengungkap masalah ini telah dikumpulkan baik melalui penelitian geofisik di Selat Makassar sendiri (geomagnit, gaya-berat dan seismik) maupun dari data pemboran-dalam. Pengumpulan data juga dilakukan di darat baik di bagian Kalimantan maupun Sulawesi. 9 Gambar 2.2. Sesar-sesar memanjang dari Kalimantan menerus ke Sulawesi Secara hipotetis terdapatnya sesar-sesar utama yang memotong Kalimantan dan menerus ke Sulawesi, dapat dianggap sebagai salah satu unsur tektonik penting melalui mana pemisahan itu dapat berlangsung. Dari perkembangan tektonik regional di Asia dan Asia Tenggara, pada awal Tersier . Hamilton (1979) umpamanya, memperkirakan bahwa paling tidak hingga Paleosen-Tengah, Sulawesi masih merupakan bagian dari daratan Kalimantan. Pada 50-45 MA (Eosen awal), India mulai menyentuh benua ASIA (Tapponnier, 1986). Sebagai akibat dari tumbukan itu bagian tepi Timur benua ASIA bergeser “keluar” kearah Timur dan Tenggara melalui sesar-sesar utama mendatar yang dimulai dari daratan ASIA hingga Kalimantan. Dorongan dari ASIA ini, dapat juga merupakan titik awal dari terjadinya proses regangan di bagian tepi Timur Kalimantan dan sekaligus mencoba memisahkan bagian Sulawesi Barat dari P.Kalimantan. Perioda itu mungkin dapat dianggap sebagai awal dari pembentukan Selat Makassar. Wilayah bagian Barat dari P.Sulawesi, secara garis besar dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua) bagian, bagian sebelah Utara (Sulawesi Utara) dan Selatan (Sulawesi Barat) . Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik dengan batuan dasar “kerak-samudra”, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan kesamaan dengan unsur-unsur “kerak-benua”, yang terdiri dari batuan sedimen berumur Kapur-Tersier yang terlipat kuat dan diterubos oleh batuan beku granodiorit dan diorit. (Sukamto, 1978). Kegiatan magmatisma yang disertai vulkanisma ini dimulai pada jaman Miosen Tengah yang menghasilkan lava basalt dan andesit kalk-alkalin maupun 10 batuan alkalin yang mengandung felspatoid. Kegiatan vulkanisma ini berlangsung terus hingga Kuarter. Kegiatan magmatik ini dikaitkan dengan berlangsungnya proses interaksi konvergen yang disertai dengan penyusupan lempeng (Pasifik) kearah Barat dibawah Sulawesi Barat. Batuan tertua yang tersingkap yang diperkirakan merupakan batuan dasar dari Sulawesi-Barat, terdiri dari batuan metamorfis sekis biru dan hijau, batuan beku basa dan ultrabasa yang berasosiasi dengan batugamping merah dan rijang (endapan laut dalam), yang mengalami deformasi kuat dan membentuk komplek me’lange, yang mempunyai ciri-ciri dan umur yang sama dengan yang terdapat di Luh-Ulo Jawa Tengah. Selat Makassar Wilayah ini mempunyai peranan penting dalam proses pemisahan Sulawesi Barat dari daratan Kalimantan. Pola batimetri pada kedua tepi Timur Kalimantan dan Barat Sulawesi, secara menakjubkan memperlihatkan kesamaan bentuk apabila keduanya didekatkan. Fenomena ini memperkuat dukungan bahwa kedua wilayah tersebut pernah menyatu ( Gb.2.3). Data gaya berat di Selat Makassar menunjukkan angka yang relatip tinggi yang berarti adanya bahan kerak-samudra atau kerak-transisi. Data aeromagnetik memperlihatkan pola-pola yang dapat ditafsirkan paling tidak adanya 4 atau 3 kelompok yang masing-masing mencerminkan jenis kerak yang mendasari Selat Makassar (Untung, dkk.). Kelompok paling Utara, sebagai dasar daripada laut Sulawesi, adalah kerak samudra. Kelurusan pada pola kemagnitan memeperlihatkan suatu cekungan yang membuka (pemekaran), yang menunjam dan menyusup melalui palung “Sulawesi Utara” ke Selatan kebawah Sulawesi Utara. Kelompok kedua yang berada disebelah selatannya, dan dipisahkan dari kelompok yang berada di Selatannya ( Ke 3 ), oleh “Sesar Bontang”, mencerminkan endapan sedimen yang sangat tebal. Batuan dasar yang melandasi batuan sedimen, dari sifat-sifat anomali kemagnitannya ditafsirkan sebagai kemungkinan berasal dari unsur kerak-benua. Secara umum kelompok kedua ini dapat ditafsirkan sebagai bagian dari Selat Makassar yang menurun dan diisi oleh endapan yang tebal. Disis lain kelompok yang ketiga yang berada diantara 2 sesar utama “Bontang” di Utara dan sesar “Paternoster”di Selatannya, terdiri dari anomali yang besar dengan gelombang yang panjang, 11 mencerminkan adanya bahan asal kerak samudra. Disamping itu pola batimetrinya juga menunjukkan bagian yang paling dalam dari Selat Makassar. Gambar 2.3. Pemekaran Lantai Samudera di Selat Makassar Sulawesi Timur Tangan Timur dan Tenggara Sulawesi ini sebagian besar terdiri dari batuan ultrabasa yang umumnya adalah masif peridotit dengan beberapa gabro dan basalt. Batuan ultrabasa ini bersentuhan dibeberapa lokasi dengan batuan sedimen, mengalami deformasi kuat dan membentuk komplek melange. Di lengan Timur batuan ultrabasanya terdiri dari harzburgit, dunit , serpentinit dan pyroxinit (Atmadja, 1974). Batuan sedimen yang menyertainya terdiri dari batugamping batyal, rijang radilaria dan serpih berumur Kapur hingga Paleosen. Batuannya mengalami deformasi kataklastik dan termelonitisasikan. Batuan ultrabasanya didaerah mengandung mineral “nikkel” dan ditambang. Hingga kini dianggap sebagai singkapan batuan ultrabasa dan endapan cebakan nikkel terbesar didunia. Di lengan Timur Laut, batuan ofiolit mengalami pensesaran melalui sesarsesar naik yang panjang-panjang dengan pergeseran yang cukup jauh sehingga menyerupai kelopak. Gejala deformasi ini diakibatkan oleh tibanya fragmen kerakbenua dari bagian Utara Australia-Irian yang berinteraksi melalui sesar mendatar (strike-slip) dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke Barat. Tumbukan dengan kepingan-kepingan tersebut (Banggai-Sula) menyebabkan gejala pelenturan yang kuat 12 disertai dengan rotasi dari Sulawesi Utara sehingga pulau ini mempunyai bentuk seperti huruf “K” (gambar 2.4). Gambar 2.4 . Tektonik Sulawesi (disederhanakan dari Silver et al, 1983, Sukamto & Simandjuntak, 1983 dan Parkinson, 1996, 1997, 1998) 2.3. Geologi Regional Daerah Penelitian Daerah penelitian termasuk Bagian Timur Sulawesi yang sebagian besar terdiri dari komplek batuan basa dan ultrabasa yang mengalami deformasi yang kuat sehingga sebagian besar ditempati oleh jalur batuan ophiolit. Menurut Rusmana, dkk.,(1993) dalam peta geologi regional lembar LasusuaKendari membagi dalam empat satuan morfologi yaitu, pegunungan, perbukitan, karst dan dataran rendah (gambar 2.5) 13 Gambar 2.5 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000 ((Rusmana dkk., 1993) Daerah penelitian termasuk ke dalam satuan perbukitan dan satuan dataran rendah. Satuan perbukitan dicirikan memiliki ketinggian 75m sampai 750m di atas muka laut. Umumnya tersusun atas batu gamping dan konglomerat oleh Molassa Sulawesi. Satuan ini umumnya membentuk perbukitan bergelombang yang di tumbuhi semak dan alang-alang. Sungai di aliran ini berpola aliran meranting. Satuan Dataran rendah terdapat di daerah pantai dan sepanjang aliran sungai besar dan muaranya. Memiliki ketinggian berkisar dari beberapa meter sampai 75m di atas muka laut. 2.4. Stratigrafi Regional Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi pra-tersier di Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua Lajur Geologi; yaitu Lajur Tinondo dan Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua, dan lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit, (Rusmana, dkk., 1993). Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo (Gambar 2.6) 14 Gambar 2.6 Pembagian Lajur Geologi Lembar Kendari (Rusmana dkk., 1993) Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas adalah Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon; terdiri dari sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika grafit, batusabak dan geneis. Pualam Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan. Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit (Tr Ga), yang menerobos Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (Tr Jm) yang berumur Trias Tengah sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan malihan Paleozoikum. Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang setempat bersisipan dengan serpih hitam dan batu gamping yang mengandung Holabia sp.,dan Daonella sp., serta batusabak pada bagian bawah. Pada Zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala (Trjt), terdiri dari batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir. Hubungan dengan Formasi Meluku adalah menjemari. Pada Kala Eosen hingga Miosen Tengah (?), pada lajur ini terjadi pengendapan Formasi Salodik (Terms); yang terdiri dari Kalkarenit dan setempat batugamping oolit. Batuan yang terdapat d Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari peridotit, harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini tertindik takselaras (?) 15 oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal membentuk Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir bersisipan lanau. Formasi ini menindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik di Lajur Tinondo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral (Ql) dan formasi Alangga(Qpa) yang terdiri dari batupasir dan konglomerat. Batuan termuda adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dariendapan sungai, rawa, dan pantai. Gambar 2.7. Stratigrafi regional daerah penelitian (Rusmana, dkk., 1993) 2.5. Struktur Geologi dan Kerangka Tektonik Secara regional Lengan Timur Sulawesi, dimana daerah penelitian berada, adalah daerah dengan pola tektonik kompresi berarah relatif Barat-Baratlaut – TimurTenggara (WNW-ESE). Sistem kompresi utama berkaitan dengan pergerakan lempeng mikro-kontinen Banggai-Sula ke arah barat dan bertemu dengan bagian Sulawesi. Sistem kompresi yang menerus sejak zaman Miosen Tengah-Akhir (Rangin dkk., 1990) menjepit lempeng samudera yang berada di antara Banggai-Sula dengan Sulawesi, melipatnya, mematahkannya, dan mendorongnya naik (obduksi) ke atas masa batuan di sisi timurnya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa batuan lempeng samudera 16 (berkomposisi ofiolitik) yang umumnya berada di bagian bawah tertutupi batuan lain, bisa tersingkap di permukaann, di hampir semua bagian lengan Timur Sulawesi. Sistem kompresi ini memberikan pola struktur anjakan, geser, dan lipatan yang kompleks. Secara umum sesar anjakan mempunyai arah anjakan ke timur atau ke barat dengan pola penyebaran utara-selatan. Sesar geser baik sesar utama maupun sesar sekunder cenderung melampar pada arah timur-barat, umumnya berupa sesar geser mendatar. Sistem kompresi ini, melipat-menggeser-mematahkan pula batuan-batuan yang terbentuk lebih muda dari Miosen Tengah, bahkan sampai pada batuan berumur Pleistosen (Simanjuntak dkk., 1977). Sesar dan kelurusan yang dijumpai di lembar Lasusua-Kendari umumnya berarah baratlaut-tenggara searah dengan Sesar Lasolo (Rusmana, dkk., 1993). Sesar Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri yang diduga masih aktif hingga sampai saat ini; hal ini dibuktikan dengan adanya mataair panas di batugamping terumbu yang berumur Holosen pada jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu. Sesar Lasolo ini diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang giat kembalinya pada kala Oligosen ( Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar Lasolo berarah baratlaut-tenggara dan membagi Lembar Kendari menjadi dua bagian, sebelah timurlaut sesar di sebut Lajur Hialu dan sebelah baratdaya d sebut lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1993). Ditafsirkan bahwa sebelum Oligosen Lajur Hialu dan lajur Tinondo bersentuhan secara pasif, kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu “transform fault” dan menjadi sesar lasolo sejak Oligosen, yaitu pada saan mulai giatnya kembali Sesar Sorong. Lipatan pada batuan tersier berupa lipatan dengan kemiringan lapisan berkisar 15-30°. Kekar terdapat pada semua jenis batuan umumnya terdapat pada batugamping dan batuan beku. Gejala pengangkatan terdapat di pantai timur dan tenggara Lembar yang ditunjukan oleh undak-undak pantai dan sungai, dan pertumbuhan koral. Tektonostratigrafi yang terjadi pada daerah ini adalah sebagai berikut: Pada zaman sebelum Permo-Karbon, yaitu terbentuknya batuan sedimen dan batugamping yang terendapkan dalam lingkungan laut neritik bagian dalam. Pada tahap berikutnya batuan tersebut mengalami pengangkatan dan pemalihan pada Permo-Karbon(?), menjadi batuan Malihan Mekongan dan Pualam Paleozoikum. 17 Pada Permo-Trias batuan Granitan menerobos Batuan Malihan ini Pada Trias Tengah-Trias Akhir Formasi Meluhu dan Tokala terendapkan secara takselaras di atas Batuan Malihan, di lingkungan laut dangkal sampai neritik dalam. Pada Trias Akhir-Jura (?) pada bagian baratlaut lembar Lasusua-Kendari batugamping Formasi Tokala terendapkan di laut dangkal. Kelompok batuan ini yang bercirikan benua ini, dalam perkembangan selanjutnya d sebut sebagai Lajur Tinondo. Pada kala Eosen-Miosen Tengah (?) terbentuk pengendapan batugamping formasi Salodik. Di bagian lain yaitu kelompok di lingkungan laut dalam, diatas batuan ofiolit yang diduga berumur Kapur, terendapkan tak selaras Formasi matano yang berumur kapur Akhir. Kelompok batuan ini selanjutnya di sebut Lajur Hialu yang sebagian besar merupakan bagian dari ofiolit Sulawesi Timur. Sejak awal jura, anjungan Banggai-sula beserta penggalan benua lainnya di bagian timur Indonesia memisahkan diri dari pinggiran utara benua Australia melalui sesar transform dan kemudian bergerak ke arah barat. Pada kala Miosen Tengah lajur Hialu terdorong oleh benua kecil BanggaiSula, yang bergerak ke arah barat. Akibat dorongan tersebut, menyebabkan tersesarkannya lajur Hialu ke atas lajur Tinondo, Pada kala Miosen Akhir sampai pliosen pengangkatan kembali berlangsung, kemudian disusul terjadinya cekungan pada kala Pliosen dan terbentuk Formasi Arlangga, pada lingkungan laut dangkal sampai darat. Batuan termuda yang terbentuk di daerah ini ialah aluvium dan terumbu koral, yang hingga kini masih terus berlangsung. 18