teori vygotsky dan implikasinya dalam pendidikan agama islam

advertisement
TEORI VYGOTSKY DAN IMPLIKASINYA
DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA ANAK
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
STAIN Kudus dan STAIN Kediri
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract: Vygotsky was born in Orsha, Russia, 1896 and died in
Moskow, 1934 due to tuberculosis. He had suffered since the age
of 38. In his so short but very productive lifetime, he produced
a lot of psychology theories about intellectual development.
Vygotsky’s main work was in developmental psychology, and he
proposed a theory of the development of higher cognitive functions
in children that saw the emergence of the reasoning as emerging
through practical activity in a social environment. The theories
are, among others, concerned with the role of social interaction in
cognitive development, the dialectic of mind and language, concept
development, and the zone of proximal development. This article
discussess those theories namely, the role of socioculture, as well as
their implications in Islamic education for children.
Key words: sociocultural and Islamic education for children,
Vygotsky’s theory
A. Pengantar
Pendidikan merupakan tonggak kehidupan untuk mengembangkan
kemampuan serta mutu kehidupan dan martabat manusia. Dengan kata
lain, baik buruknya diri manusia tergantung dari pendidikan yang telah
dijalaninya. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, pendidikan menjadi suatu
hal yang penting sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UndangUndang dasar 1945 yang mencantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan (Amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 1). Dilanjutkan
dalam ayat 2 bahwa mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban bagi
setiap warga negara dan kewajiban pemerintah membiayainya. Serta lebih
62
jelas dalam ayat 3, pemerintah mngusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
Sementara menurut Indriana (2011) mengatakan bahwa, pendidikan
adalah aspek universal yang selalu dan harus ada dalam kehidupan manusia.
Tanpa pendidikan, ia tidak akan pernah berkembang dan berkebudayaan.
Disamping itu, kehidupannya juga akan menjadi statis tanpa ada kemajuan,
bahkan bisa jadi akan mengalami kemunduran dan kepunahan. Oleh karena
itu, menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa pendidikan adalah sesuatu
yang niscaya dalam kehidupannya.
Dalam perkembangannya anak didik sebagai individu sedang dalam
proses berkembang atau menjadi (become) yaitu berkembang ke arah
kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, anak
didik memerlukan bimbingan karena mereka masih memiliki pemahaman
atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam
menentukan arah kehidupannya. Di samping terdapat suatu keniscayaan
bahwa proses perkembangan individu tidak berlangsung secara mulus atau
steril dari masalah (Yusuf, 2000).
Pembinaan agama Islam khususnya pembinaan yang dilakukan
pada anak didik adalah untuk mengembangkan sikap, pengetahuan, daya
cipta dan keterampilan pada anak didik. Dalam konteks agama Islam
dapat dicapai dengan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh
perasaan, mendidik jiwa dan mengembangkan semangat menjalankan
agama (keberagamaan) pada anak didik. sehingga menjadi anak yang shaleh,
beriman, taat beribadah, berakhlak terpuji (Daradjat, 1995)
Selaras dengan tujuan pendidikan agama yaitu membimbing anak
didik agar menjadi anak didik yang muslim sejati, berakhlak mulia, beramal
shaleh, serta berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara. Di dalam
pembelajaran agama Islam terlebih dahulu ditanamkan dasar Ketuhanan
yang kokoh. Dengan demikian dalam menjalankan kewajiban ibadahnya
dapat berjalan dengan baik karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh
Allah tak lain hanya untuk beribadah, menyembah kepada-Nya.
Pendidikan Agama Islam sebagai suatu proses, belajar mengajar
merupakan proses yang berkesinambungan. Proses belajar mengajar tidak
terbatas pada penyampaian materi pelajaran di kelas tetapi yang lebih
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
63
penting adalah bagaimana agar materi pelajaran yang diterima anak didik di
kelas dapat diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan agama Islam pada anak sangat terkait dengan bagaimana
perkembangan kognitif anak. Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak
tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky
(1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting
tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky
mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920an dan 1930-an. Namun, karyanya baru dipublikasikan di dunia Barat
pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah, tulisan-tulisannya menjadi sangat
berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget. Walaupun setuju dengan
Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara bertahap dan dicirikan
dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju
dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan
membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
Dasar teori Vygtsky keterkaitannya dengan pendidikan adalah
pengamatan bahwa perkembangan dan pembelajaran terjadi di dalam
konteks sosial, yakni di dunia yang penuh dengan orang yang berinteraksi
dengan anak sejak anak itu lahir. Orang-orang inilah yang sangat berperan
dalam membantu anak belajar dengan menunjukkan benda-benda,
dengan berbicara sambil bermain, dengan membacakan ceritera, dengan
mengajukan pertanyaan dan sebagainya. Dengan kata lain, orang dewasa
menjadi perantara bagi anak dan dunia sekitarnya.
Belajar lewat instruksi dan perantara adalah ciri inteligensi manusia.
Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami
lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri.
Belajar melakukan sesuatu dan belajar berpikir terbantu dengan berinteraksi
dengan orang dewasa.
Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu
dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses
ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari
ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian
bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara nyaring
sambil melakukan sesuatu ke tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut
internalisasi.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
64
Internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan sebuah
transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara
kualitatif berbeda dengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi,
kegiatan interpersonal seperti bercakap-cakap atau berkegiatan bersama,
kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang dilakukan oleh
seorang individu.
Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun
kerangka berpikir untuk mengajar pendidikan agama Islam bagi anakanak. Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai pemikiran Vygotsky serta
implikasinya pada pendidikan agama Islam pada anak.
B. Biografi Singkat Vygotsky
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di
salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan
berketurunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu kota sekitar
400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada
studi-studi kesusastraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair
dan Filosof.
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare’s
Hamlet yang kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya
mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah kedokteran di Universitas
Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah
hukum sambil mengambil studi kesusastraan pada salah satu universitas
swasta. Dia menjadi tertarik pada psikologi pada umur 28 tahun.
Vygotsky mengajar kesusatraan di suatu sekolah Propinsi sebelum
memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya
membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah
mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian
psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di
Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei
Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini
dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat
tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut
idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
65
Vygotsky pun sering dihubungkan dengan psikolog Swiss bernama
Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget, seorang psikolog yang juga
mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang membangun pengetahuan
mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika
masih berusia tiga puluh tujuh tahun, pada tahun 1934 akibat menderita
penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh
pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya.
Kepeloporannya
dalam
meletakkan
dasar
tentang
psikologi
perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia
yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di seluruh dunia
hingga saat ini.
C. Pendekatan Sosiokultural Vygotsky dalam Pendidikan
Lev Vygotsky merupakan salah satu tokoh yang menyumbangkan
ide brilian mengenai cara-cara belajar individu khususnya anak-anak.
Vygotsky (1978) menekankan pentingnya konteks sosial untuk belajar
dan pengembangan. Ia beralasan bahwa seseorang dari lahir sampai mati
telah berhubungan secara sosial, secara budaya, dan menurut sejarah
mengorganisir praktek-praktek, dan bahwa tidak ada satupun dapat terpisah
dari konteks sosial.
Vygotsky berpendapat bahwa budaya dan lingkungan sosial seorang
anak adalah hal terpenting yang mempengaruhi pembentukan pengetahuan
mereka. Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa, kesenian dan permainan.
Ia juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses belajar, anak-anak
belajar melalui interaksi dan kerjasama dengan orang lain dan lingkungannya.
Vygotsky dalam Komalasari (2010:20) meyakini bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya.
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai dengan
teori sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan
dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan turunan dan
bersifat sekunder. Artinya pengetahuan dan perkembangan kognitif individu
berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa
individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky
juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi
pengetahuannya.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
66
Pentingnya pengaruh sosial (khususnya instruksi yang diberikan) pada
perkembangan kognitif anak-anak direfleksikan dalam Vygotsky konsep
zone of proximal development (ZPD). Yuliani (2005) mengartikan Zone of
Proximal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal sebagai
fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada
proses pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak
membutuhkan orang lain untuk membantu proses pematangannya. Dengan
demikian dapat pula dikatakan bahwa,
Vygotsky (1978), ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Zona
Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang belum
pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-fungsi tersebut
akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut
dapat diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang
dibandingkan dengan “buah” perkembangan.
Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar
konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan
terdekat mereka. ZPD merupakan level perkembangan yang dicapai ketika
anak-anak ikut serta dalam tingkah laku sosial. Hal ini dapat diartikan bahwa
perkembangan ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di mana
keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan oraang dewasa atau kolaborasi
antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang
difahaminya.
ZPD merupakan suatu kondisi ketika anak-anak menerima tugas yang
cukup sulit bagi mereka untuk memahaminya atau menguasainya sendiri
tetapi dapat dipelajari dengan tuntunan dan bantuan orang dewasa atau
teman sebaya yang terlatih. Oleh karena itu, batasan terbawah dari ZPD
adalah tingkat ketrampilan yang dapat dicapai oleh anak dengan belajar
sendiri, dan batasan tertinggi dari ZPD adalah tingkat ketrampilan yang dapat
dicapai anak dengan bantuan instruktur. Anak-anak yang berada dalam ZPD
merupakan anak-anak yang siap untuk memasuki proses kematangan dan
siap ditingkatkan hanya dengan bantuan orang-orang yang terampil.
Salah satu teknik untuk meningkatkan kemampuan anak-anak menuju
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
67
ZPD tertinggi adalah scaffolding. Scaffolding merupakan teknik yang dapat
membantu terjadinya peningkatan tingkat yang mendukung pembelajaran.
Scaffolding dapat diberikan dalam bentuk dialog. Menurut pandangan
Vygotsky (Santrock, 2006), anak-anak memiliki kekayaan pengetahuan
namun tidak sistematis, tidak terorganisasi, tidak logis dan bersifat spontan.
Melalui dialog antara anak-anak dengan orang-orang yang terampil dapat
membantu anak-anak mengatur pengetahuan mereka sehingga menjadi
lebih sistematis, terorganisasi, logis dan terencana.
Sebagai contoh, para siswa yang belajar di sekolah dikelilingi di
dalamnya satu konteks sosial yang boleh berisi berbagai artefak sejarah
dan peradaban kuno sebagai warisan, sebagai alat belajar, bahasa untuk
berkomunikasi, subjek studi, bangunan untuk tempat tinggal, pakaian
untuk dipakai, dan sebagainya. Nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masa
lalu meliputi produk-produk buatan tangan manusia yang telah diteruskan
dari generasi-generasi masa lampau. Seorang anak mengembangkan prosesproses mental lebih tinggi melalui interaksi dengan konteks sosial yang
berisi sosial, budaya, dan pengetahuan historis dari masa lampau. Ada
satu pandangan mengenai hubungan antara konteks sosial anak-anak dan
proses-proses psikologis mereka, dan dengan begitu, Vygotsky memandang
pengembangan kognitif sebagai ”perubahan bentuk aktivitas secara sosial
yang membagi berbagai aktivitas pada proses-proses internalisasi” (JohnSteiner& Mahn, 1996).
Vygotsky juga percaya bahwa internalisasi terjadi secara sosial dan
secara kultural di organisir melalui interaksi saling berhadapan atau faceto-face. Atas dasar inilah seorang anak mengetahui. Pengetahuan baru
kemudian diperkenalkan oleh orang yang lain yang lebih mampu. Orang
lain yang lebih mampu mengacu pada para guru, orang tua, teman, atau
seseorang yang mempunyai kemampuan teori lebih tinggi dibanding yang
dikerjakan oleh anak. orang lain yang lebih mampu saling berinteraksi,
anak kemudian mencoba melakukan internalisasi satu konsep baru melalui
menghubungkan dengan pengetahuan atau pengalaman masa lalunya.
Demikian, Vygotsky percaya bahwa memberdayakan seorang anak untuk
mengembangkan kemampuannya melalui bantuan orang yang lain yang lebih
mampu, berinteraksi sosial antara individu dengan individu lain memainkan
satu peran penting di dalam pengembangan kognitif (Tasaki, 2001).
Yuliani (2005) mengemukakan ada empat tahapan ZPD Vygotsky yang
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
68
terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:
Tahap 1: Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya
ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan
pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang
ditunjukkan orang dewasa
Tahap 2: Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri. Anak
mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya
sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan.
Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru
memasangkan kancing.
Tahap 3: Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.
Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa.
Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang
harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
Tahap 4: Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga
anak siap untuk berfikir abstrak. Terwujudnya perilaku yang otomatisasi,
anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan
pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia
dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat
ke sekolah.
Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan
dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan
bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang
lebih berkompeten terhadap hal tersebut.
Vygotsky (1978) berpendapat bahwa pendekatan sosiokultural pada
pengembangan kognitif juga menekankan pentingnya peran yang menengahi
faktor-faktor seperti bahasa dalam proses belajar dan pengembangan.
Vygotsky percaya bahwa interaksi-interaksi antara seorang anak dan konteks
sosialnya dimediasi oleh bahasa.
Menurut Vygotsky(1978), bahasa mempunyai dua fungsi penting: (a)
bahasa adalah alat untuk komunikasi antar personal, dan (b) bahasa adalah
satu alat untuk mengorganisir pemikiran. Dengan begitu, pengembangan
awal bahasa adalah satu alat untuk memberitahukan orang lain siapa
yang akan menyediakan seorang anak dengan artefak peradaban kuno
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
69
mengenai budaya, termasuk bahasa yang telah diteruskan dari generasigenerasi sebelumnya. Bahasa menjadi satu alat untuk mengorganisir dan
pengintegrasian pikiran dan perilaku. Bahasa bertindak sebagai satu alat
psikologis yang tangguh dalam proses internalisasi. Fungsi bahasa ini
dicerminkan di dalam pembicaraan diri anak-anak bila mulai mengerjakan
tugas-tugas pemecahan masalah.
Vygotsky (1978) menemukan bahwa anak-anak menggunakan suara
egosentris ketika sering mempunyai aktivitas yang sulit. Ketika anak
berbicara sendiri, anak-anak memerlukan bantuan sendiri untuk memenuhi
tugas sulit tanpa bimbingan dari orang lain yang lebih mampu. Ini adalah
bertentangan dengan penjelasan Piaget mengenai suara egosentris anakanak (Tasaki, 2001). Piaget melihat bahwa bersuara atau berbicara sendiri
sebagai suatu indikasi anak seperti tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukan kegiatan sosial secara sungguh-sungguh. Suara egosentris akan
menghilang lenyap ketika anak pindah dari fase pra-operational. Vygotsky,
pada kesempatan yang lain percaya bahwa suara egosentris mencerminkan
penampilan dari bimbingan diri. Itu tidak akan menghilang lenyap akan
tetapi menjadi terinternalisasi.
Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005) menyimpulkan beberapa
hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu: (a)
dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan
yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang, (b) pembelajaran perlu dikaitkan
dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan
aktualnya, (c) pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi
untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya, (d) anak diberikan kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan
masalah, (e) proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal
tetapi lebih merupakan ko-konstruksi.
Dalam teori belajar sosiokultural ini, pengetahuan yang dimiliki
seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya.
Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang
tersebut. Karena pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan
sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
70
Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultural yang banyak digunakan
dalam pendidikan menurut Guruvalah adalah: (a) pengetahuan dibangun
oleh siswa secara aktif, (b) tekanan proses belajar mengajar terletak pada
Siswa, (c) mengajar adalah membantu siswa belajar, (d) tekanan dalam
proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar, (e) kurikulum
menekankan pada partisipasi siswa dan (f) guru adalah fasilitator.
Sementara Ormrod (2004) menegaskan bahwa belajar melalui
pendekatan sosiokultural mempunyai beberapa prinsip utama di antaranya
yaitu: (a) seseorang dapat belajar melalui pengamatan terhadap perilaku
orang lain, khususnya pengamatan terhadap hasil perilaku orang tersebut.
Seseorang belajar dari perilaku orang lain dengan cara modelling, (b) belajar
dapat muncul tanpa ada perubahan dalam perilaku. Pembelajar dapat belajar
sendiri dengan atau tanpa perubahan perilaku, (c) konsekuensi berperan
penting dalam pembelajar. Seseorang dapat belajar dari kesalahan dan
kesuksesan yang pernah mereka alami dan (d) kognisi berperan penting
dalam pembelajaran. Kognisi berkaitan erat dengan proses atensi dan retensi
sehingga belajar dapat dipicu secara optimal dengan memperhatikan aspek
kogntif.
Berdasarkan penjelasan dapat disimpulkan bahwa belajar pada masa
anak menurut Vygotsky, dipengaruhi oleh bentuk model lewat simbol yang
ada pada lingkungan sekitar. Vygotsky, menunjukkan bagaimana kognisi anak
berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Vygotsky mempunyai tiga
hal utama di dalam teori nya: (1) pentingnya peran budaya, (2) peran bahasa
dan, (3) konsep zone of proximal development.
D. Implikasi Teori Vygotsky dalam Pendidikan Agama Islam
pada Anak
Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu dalam membangun
kerangka berpikir untuk mengajar pendidikan agama Islam bagi anak-anak.
Di antaranya adalah tentang peran lingkungan social dan Zona Perkembangan
Proksimal (ZPD) yang sangat penting bagi pedidikan agama Islam pada anak.
Menurut Slavin (2000), Vygotsky sangat menekankan pentingnya
peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan
sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Sementara Vygotsky (dalam Ormrod,
1995) menyatakan bahwa, children’s cognitive development is promoted
and enchanced through their interaction with more advanced and capable
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
71
individuals. Menurut Vygotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan
intelektual siswa. Bahwa budaya dan lingkungan sosial seorang anak adalah
hal terpenting yang mempengaruhi pembentukan pengetahuan mereka.
Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa, kesenian dan permainan. Vygotsky
juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses belajar, anak-anak
belajar melalui interaksi dan kerjasama dengan orang lain dan lingkungannya.
Sementara ZPD adalah sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang
belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Karena fungsifungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk
membantu proses pematangannya.
Lingkungan social anak mencakup semua jalur pendidikan, baik
pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Khusus untuk
jalur pendidikan luar sekolah, seperti pendidikan keluarga adalah sangat
penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama bagi
setiap manusia. Proses sosialisasi akan dimulai dari keluarga, di mana anak
mulai mengembangkan diri. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 10 Ayat
4 dinyatakan bahwa “Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur
pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan ketrampilan”.
Perlu pula ditegaskan bahwa pemerintah mengakui kemandirian keluarga
untuk melaksanakan upaya pendidikan dalam lingkungannya sendiri.
Meskipun pendidikan formal telah mengambil sebagian tugas keluarga
dalam mendidik anak, tetapi pengaruh keluarga tetap penting sebab keluarga
merupakan lembaga sosial pertama yang dikenal oleh anak. Dalam keluarga
dapat ditanamkan nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan
anak selanjutnya. Perubahan fungsi keluarga, pola hubungan orang tua dan
anak di dalam keluarga, tingkat keberagamaan keluarga, kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan oleh keluarga, komposisi keanggotaan dalam keluarga, dan
perbedaan kelas sosial keluarga diperkirakan tetap berpengaruh terhadap
perkembangan anak.
Keluarga adalah inti masyarakat. Di sini anak mulai mengenal
kehidupan dan pendidikannya. Keadaan anak sebelum lahir ditentukan oleh
faktor keturunan, baik jasmani maupun rokhani. Setelah lahir pengaruh
luar akan akan menghambat atau menyuburkan benih-benih bakatnya.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
72
Banyak dasar perilaku tertanam sejak dalam keluarga, juga sikap hidup dan
kebiasaan. Faktor luar dari orang tuanya seperti ekonomi, adat-istiadat,
keadaan orang tuanya, kesempatan dan cara memuaskan dirinya, banyak
berpengaruh. Bagaimanapun pengaruh luar keluarga berkesan pada anak,
sayangnya setiap kali ia kembali keluarganya, dan sebagian besar waktunya
ada di situ; sehingga dasar kehidupan keluargalah yang meninggalkan
dasar yang paling dalam bagi pendidikannya. Kemajuan dan perkembangan
pribadi lebih menguntungkan pada anak yang hidup dalam keluarga yang
baik, religius dan lingkungan yang baik serta religius pula.
Sementara sekolah mempunyai tugas dalam masyarakat sebagai
pemelihara kebutuhan masyarakat, dan mewariskannya kepada generasi
penerusnya. Segala warisan budaya diberikan oleh sekolah kepada subyeksubyeknya. Tugas lain dari sekolah adalah menumbuhkan dan meneguhkan
pendidikan agama agar masyarakat menjadi baik dan menjadi masyarakat
yang berbudaya Islami.
Selanjutnya, di samping sekolah dan keluarga, proses pendidikan
juga sangat dipengaruhi oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat,
seperti kelompok keagamaan seperti Taman pendidikan al-Qur‘an, kelompok
bermain dan lain-lain. Terdapat satu kelompok khusus yang datangnya
bukan dari orang dewasa, tetapi dari anak-anak lain yang hampir seusia,
yang disebut kelompok sebaya. Kelompok sebaya ini juga merupakan agen
sosialisasi yang mempunyai pengaruh kuat searah dengan bertambahnya
usia anak. Kelompok sebaya terdiri dari sejumlah individu yang rata-rata
usianya hampir sama yang mempunyai kepentingan tertentu yang bersifat
sangat sementara.
Kelompok sebaya bukanlah merupakan lembaga yang bersifat tetap
sebagaimana keluarga. Pada beberapa kelompok sebaya, bahkan tidak jelas
siapa sebenarnya yang menjadi anggota dan siapa yang bukan anggota. Anakanak selalu pindah dari suatu kelompok ke kelompok sebaya lainnya sejalan
dengan bertambahnya usia anak yang bersangkutan. Banyak anak menjadi
anggota lebih dari satu kelompok dalam waktu yang bersamaan. Pada suatu
saat seorang anak menjadi anggota kelompok sebaya di kampungnya dan
di sekolah misalnya pada saat anak mengikuti kegiatan Taman Pendidikan
Al-Qur’an dan sebagainya. Di dalam masing-masing kelompok seorang anak
mempunyai status tertentu dan dituntut dari kelompok sebaya dan adanya
kecenderungan setiap anggota kelompok untuk memenuhi ekspektasi itu,
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
73
maka dirasakan pengaruh kelompok sebaya menjadi semakin penting.
Sebagai lembaga sosial, kelompok sebaya tidak mempunyai struktur yang
jelas dan tidak mempunyai tujuan yang bersifat permanen. Tetapi kelompok
sebaya dapat menciptakan solidaritas yang sangat kuat di antara anggota
kelompoknya. Terdapat beberapa hal yang dapat disumbangkan oleh
kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain bahwa kelompok
sebaya memberikan model mengenai pendidikan agama yang dimiliki,
memberikan identitas, serta memberikan dukungan (support). Di samping
itu, kelompok sebaya memberikan jalan pada anak untuk lebih independen
dan menumbuhkan sikap kerja sama dan membuka horison anak lebih luas.
Paparan tersebut menyoroti terutama pengaruh lingkungan sosial
budaya terhadap keberhasilan Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi anak
yang mulai dari keluarga, sekolah serta kelompok sebaya, dan sebagainya.
Sementara teori ZPD (DPT) Vygotsky sifatnya sangat khas untuk setiap
individu. Kekhasan ini timbul karena variasi jarak antara taraf kemampuan
aktual dan taraf kemampuan potensial. Hal ini semakin menegaskan perlunya
perhatian guru PAI terhadap para siswa secara individual. Di lain pihak,
ZPD (DPT) juga memperlihatkan peranan teman sebaya yang lebih mampu
bagi proses belajar anak. Segi ini memberikan dukungan bagi keberhasilan
pembelajaran PAI secara kolaboratif. Dengan demikian, kelas dengan siswa
yang bervariasi kemampuan PAInya masih perlu dipertahankan, tetapi
seiring dengan itu perhatian individual tetap diperlukan.
Menurut teori Vygotsky (1978), scaffolding adalah bantuan atau
support kepada seseorang anak dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih
kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugastugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat
perkembangan kognitif yang aktual dari anak yang bersangkutan. Dengan
demikian, Pendidikan agama Islam pada anak juga dipengaruhi oleh orangorang dewasa sekitar anak dalam membimbing dan mendidik anak. Pada
lingkungan pendidikan non formal keluarga merupakan tempat pertama
menyemai materi dan kegiatan agama Islam. Sementara pada pendidikan
formal, guru menempati posisi penting karena mereka adalah figure teladan
yang akan dicontoh oleh anak-anak. Oleh sebab itu, guru adalah mendidik,
mengajar dan melatih, menyampaikan ilmu pengetahuan, memahamkan
dan menjadikan peserta didiknya untuk lebih pandai serta berakhlak. Untuk
itu yang terpenting bagi seorang guru adalah hendaknya memegang teguh
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
74
komitmen ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri
handayani.
Ing ngarsa sung tulada, beraksentuasi pada makna bahwa guru harus
di depan menjadi panutan, dapat digugu dan ditiru atas semua perkataan dan
perbuatannya. Ing madya mangun karsa, yaitu mampu menjadi mediator
untuk menjadikan siswanya berkarya dan berkehendak atas kemampuan
masing-masing. Tut wuri handayani, dengan maksud guru harus mampu
mendorong dari belakang terhadap anak didiknya untuk senantiasa berbuat
yang lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri, bangsa dan negara.
Implikasi teori Vygotaky pada pendidikan agama Islam pada anak
yang lain adalah perlu disediakannya waktu yang memadai untuk muatan
materi pendidikan agama Islam; yakni menuntut pemantapan pengetahuan
hingga terbentuk watak dan kepribadian. Materi yang diajarkan di sekolah
diharuskan sesuai permasalahan riil di masyarakat. Materi suatu pelajaran
berada di langit yang sulit untuk diterapkan di muka bumi. Seharusnya,
semua mata pelajaran tidak mengabaikan permasalahan riil yang terjadi
di masyarakat, bahkan murid -murid harus senantiasa dilatih untuk
memecahkan permasalahan riil di masyarakat sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Namun demikian materi pendidikan agama Islam juga harus
sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Pembelajaran agama Islama haruslah yang memungkinkan anak
memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
akademisnya dalam berbagai lingkungan, baik lingkungan sekolah maupun
lingkungan luar sekolah untuk memecahkan persoalan-persoalan yang
terjadi di masyarakat atau persoalan riil yang disimulasikan di dalam kelas.
Pembelajaran terjadi ketika anak mampu memerankan dirinya sebagai
anggota masyarakat --baik sebagai warga negara, warga masyarakat, pekerja,
maupun mahasiswa-- untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat sesuai dengan peranan dan tanggung jawab mereka.
Selain itu, guru perlu mengupayakan supaya anak berusaha agar bisa
mengembangkan diri masing-masing secara maksimal, yaitu mengembangkan
kemampuan berpikir dan bekerja secara independen (sesuai dengan teori
Piaget), di lain pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya tiap-tiap anak juga
aktif berinteraksi dengan anak-anak lain dan orang-orang lain di lingkungan
masing-masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan,
perkembangan kognitif tiap-tiap anak akan bisa terjadi secara optimal.
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
75
E. Kesimpulan
Teori belajar Vygotsky merupakan salah satu teori belajar sosial yang
menarik apalagi bila di aplikasikan pada pendidikan agama pada anak. Teori
ini juga sangat sesuai kareana menekankan pentingnya peranan lingkungan
kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipetipe manusia. Proses interaksi sangat penting, karena selama proses interaksi
ini terjadi pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship), yaitu proses di
mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian
melalui interaksinya dengan orang-orang di sekitar yang telah mempunyai
religiusitas yang baik.
Isi kurikulum dan metodologi PAI yang digunakan mengajar
harus didasarkan pada kondisi sosial, budaya, emosi dan pengembangan
intelektual anak, membentuk kelompok belajar yang saling tergantung di
mana anak saling belajar dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok
kecil, menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri,
mempertimbangkan keragaman anak. Bahwa proses belajar tidak dapat
dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas
berjalan seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna
sebagai hasil dari pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks
sosial.
Selain itu, implikasi teori Vigotsky terhadap pendidikan Agama Islam
menuntut guru dalam pembelajaran di kelas untuk memadukan berbagai
strategi pembelajaran kontekstual sehingga pengajaran akan efektif bagi
siswa dengan berbagai inteligensi dan merencanakan pembelajaran sesuai
dengan kewajaran perkembangan mental anak.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
76
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Z. (1995). Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, PT.
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, Cet. II.
Indriana, D. (2011). Mengenal Ragam Gaya Pembelajaran Efektif, Diva
Press, Jogjakarta.
John-Steiner, V., & Mahn, H. (1996). Sosiocultural approaches to learning
and development: A Vygotskian framework. Educational Psychologist,
31, 191-206
Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi.
Bandung: Refika Aditama.
Ormrod, J.E. (2004). Human Learning (4th Edition). Ohio : Pearson.
Rogoff, B. (1993). Children’s guided participation and participatory
appropriation in sociocultural activity. In R. H. Wozniak & K.W.
Fischer (Eds.), Development in context: Acting and thinking in specific
environments (pp. 121-154). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.
Santrock, J.W. (2006). Educational Psychology (3th Edition). New York :
McGraw-Hill.
Slavin, R.E., (2000), Educational Psychology: Theory and Practice, Edisi 6,
Boston: Allyn and Bacon.
Tasaki, K. (2001). Culture And Epistemology: An Investigation of Different
Patterns in Epistemological Beliefs Across Culture. Unpublished
doctoral dissertation. University of Hawaii.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher
psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Yuliani N. S., dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta :
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Yusuf, S., LN. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja,
Rosdakarya, Bandung.
M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S
Teori Vygotsky dan Implikasinya terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak
Download