I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman yang menghasilkan beras sebagai bahan makanan pokok di Indonesia. Padi juga merupakan salah satu tanaman pangan yang paling banyak di budidayakan oleh petani. Produksi padi harus selalu ditingkatkan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Salah satu kendala penting yang harus diatasi dalam upaya peningkatan produksi padi adalah adanya serangan hama. Hama bersifat dinamis, perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme lain, dsb) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem, dll). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama sudah ada sebelum tanam atau datang (emigrasi) dari tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan penyakit. Hal penting yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim, et al., 2003). Pada musim hujan, hama yang biasa merusak tanaman padi adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu. Dalam keadaan tertentu, hama berkembang di luar kebiasaan. Misalnya, pada musim kemarau yang basah, wereng coklat pada varietas rentan juga menjadi masalah. Sedangkan pada musim kemarau, hama yang merusak tanaman padi terutama adalah tikus, penggerek batang dan walang sangit (Hendarsih, et al., 1999). Berbagai jenis hama yang dilaporkan menyerang padi pada setiap stadia pertumbuhan dan perkembangan padi. Sebelum tanam atau periode bera, pada singgang (tunggul jerami padi) adakalanya terdapat larva penggerek batang. Tikus bisa juga terdapat pada tanaman lain atau pada tanggul irigasi. Pada lahan yang cukup basah, keong mas juga dapat ditemukan. Semua hama ini dapat berkembang 1 pada musim tanam berikutnya. Sementara itu, di pesemaian dapat ditemukan tikus, penggerek batang, wereng hijau, keong mas, dan hama lainnya. Pada stadia vegetatif padi ditemuai hama keong mas, ganjur, tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, dan lembing batu. Sedangkan pada stadia generatif, ditemukan tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, walang sangit, dan lembing batu. Pengendalian hama yang umum dilakukan petani adalah penggunaan pestisida kimia yang dapat merusak lingkungan jika digunakan secara terus-menerus. Dampak negatif dari penggunaan pestisida diantaranya adalah meningkatnya daya tahan hama terhadap pestisida, membengkaknya biaya perawatan akibat tingginya harga pestisida dan penggunaan yang salah dapat mengakibatkan racun bagi lingkungan, manusia serta ternak. Dampak negatif ini akan terus terjadi jika petani tidak hati-hati dan tepat dalam memilih jenis dan cara penggunaannya. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama yang tidak berdasarkan pada pandangan ekologis dapat menimbulkan pengaruh sampingan atau dampak negatif yang tidak diinginkan. Dampak tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap hama sasaran, tetapi juga berpengaruh terhadap ekosistem setempat. Dampak negatif tersebut adalah (1) timbulnya resistensi hama, (2) peledakan hama kedua, (3) pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran (musuh alami, pollinator, burung, dan ikan), (4) residu dalam makanan, (5) pengaruh langsung terhadap pengguna, dan (6) polusi pada air tanah. Kecenderungan untuk menggunakan insektisida didasarkan atas alasan-alasan bahwa insektisida dapat menurunkan populasi hama dengan cepat serta dapat digunakan setiap saat dan dimana saja. Cara ini berhasil mengatasi eksplotasi hama, tetapi keberhasilan tersebut tidak berlangsung lama, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, populasi hama semakin meningkat dan sulit dikendalikan. Pengalaman menggunakan insektisida dalam program intensifikasi padi, palawija, sayuran dan tanaman perkebunan menunjukkan bahwa insektisida dapat menurunkan populasi hama bila formulasi, waktu dan metode aplikasinya tepat. Namun sebaliknya juga dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, yaitu timbulnya resistensi hama terhadap insektisida, resurjensi, residu insektisida, ledakan hama sekunder, kecelakaan bagi pengguna dan terbunuhnya mahluk bukan sasaran, antara lain 2 serangga penyerbuk dan musuh alami. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dianjurkan untuk melaksanakan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) . Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak penggunaan pestisida dapat dilakukan dengan cara menggunakan pestisida alami atau pestisida yang berasal dari tumbuhan. Pestisida alami tidak mencemari lingkungan karena bersifat mudah terurai sehingga relatif aman bagi ternak peliharaan dan manusia. Keunggulan pestisida alami adalah murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani, relatif aman terhadap lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada tanaman, kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain, dan menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Salah satu pestisida alami adalah asap cair, yaitu asap cair tempurung kelapa. Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil kondensasi asap tempurung kelapa melalui proses pirolisis pada suhu sekitar 400 0C. Asap cair mengandung berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan ester (Guillen et al., 1995). Berbagai komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba serta memberikan efek warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Karseno & Darmadji, 2002). Salah satu dampak negatif yang timbul dari penggunakan pestisida maupun insektisida kimia adalah pengaruh negatif terhadap organisme bukan sasaran (musuh alami, pollinator, burung, dan ikan). Maka dari itu, penggunaan insektisida alami sebagai alternatif pengendalian hama pada tanaman padi harus dipastikan mampu menekan populasi hama sasaran dan tidak memberikan pengaruh negatif terhadap keberadaan hama bukan sasaran di lapangan seperti musuh alami, pollinator, burung, dan ikan. Pemanfaatan ACTK sebagai insektisida alami untuk mengendalikan hama pada padi sawah merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan cukup menarik untuk dikembangkan, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan insektisida ini terhadap binatang bukan sasaran. Dengan digunakannya asap cair sebagai bahan yang benar-benar efektif untuk mengendalikan hama pada padi sawah tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap hama bukan sasaran maka diharapkan dapat mengurangi dampak-dampak negatif akibat penggunaan pestisida kimia. 2. Tujuan Penelitian 3 Mengkaji dampak negatif dari penggunaan asap cair tempurung kelapa untuk mengendalikan hama padi sawah terhadap musuh alami hama padi sawah. 3. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian berguna untuk memastikan ACTK sebagai bahan insektisida aman terhadap musuh alami hama dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem. 4