ANALISIS FAKTOR-FAKTOR INDIVIDUAL YANG

advertisement
Y. Budi Susanto
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR INDIVIDUAL YANG BERPENGARUH
TERHADAP ORIENTASI PENGEMBANGAN PRODUK
Studi Empirik pada Sentra Industri Sepatu Cibaduyut
Y. Budi Susanto
Universitas Multimedia Nusantara
Abstract
Goal of this paper is to investigated the dimensions or factors from individual characteristic
leadership or the founder of the firm which in this context is strategic leadership competency
and entrepreneurial orientation. This research conducted base on interview and observation,
later on the 82 questionere are distributed through 82 shoes craftman in Cibaduyut.
Hipothesis are tested using Multiple Linear Regression. Finding of this paper is there are 4
factors that has significant influence on Product Development Orientation. These 4 factors
are Strategic Leadership, Comprehensiveness, Deftness, Adaption and Absorbtion.
Entreprenuer Orientation & Innovation has significant influence on Product Development
Orientation and the other factor are not significant.
Keyword : Strategic Competency Leadership, Entreprenuer Orientation, Market
Orientation, Product Development Orientation
I. Pendahuluan
Di Cibaduyut, saat ini terdapat
sekitar 800 pengusaha sepatu, yang
sebagian besar adalah pengrajin. Dilihat
dari keberhasilan berbisnis, belum banyak
pengrajin yang menikmati kinerja bisnis
yang baik. Daya tawar yang rendah
terhadap pedagang besar, membuat
pengrajin hanya memiliki marjin yang
tipis, yang pada akhirnya berdampak pada
kesejahteraan pengrajin beserta tenaga
kerjanya. Beberapa penyebab yang sering
dikeluhkan
para
pengrajin
adalah
kurangnya sumberdaya tenaga terampil,
tekanan harga oleh pedagang pengecer
besar, bahan baku yang langka dan
harganya cenderung naik terus, intervensi
pemerintah yang tidak tepat sasaran, dlsb.
Dilihat dari perspektif kultural,
penyebab lain adalah etos kerja yang
kurang tepat seperti terlihat dari
penggunaan uang pembayaran yang
digunakan untuk bersenang-senang. Sikap
tidak dapat menerima kehadiran pelaku
usaha etnis tertentu yang dikhawatirkan
dapat mematikan bisnis atau usaha para
pelaku usaha pribumi,
Sebagian
besar
pengrajin
merupakan pengikut pasar (market
follower). Namun masih ada beberapa
pengrajin yang bermental pelaku industri
yang baik. Mereka berusaha keras untuk
memiliki konsep dalam berproduksi,
memasarkan,
dan
berbisnis
pada
umumnya. Dalam berproduksi, mereka
mencoba fokus pada jenis produk tertentu
sesuai dengan aspirasinya, ada yang focus
pada sepatu boot, anak-anak, wanita, dan
lain sebagainya dengan desain dan bahan
yang mereka pilih. Dari segi pemasaran,
mereka tidak mau ditekan pedagang,
sehingga memilih menjual secara online,
maupun memenuhi pesanan merek-merek
ternama di tingkat nasional, seperti
Andrew, Playboy, Yongky Komaladi,
dlsb. Ada juga yang mengembangkan
merek sendiri seperti Nakerschoe,
D’Class, Hikers, Nurfion, dlsb.
Ketidak-mampuan
membangun
merek yang disikapi dengan mentalitas
membuat produk dengan merek ternama
seperti Wrangler, Versace, Caterpilar, dlsb
hanya memperburuk situasi.
Pemerintah berperan melalui UPT
Persepatuan, dengan program pelatihan,
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
2
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi
Pengembangan Produk
penyewaan alat-alat produksi dengan
harga murah, dan penyewaan aula untuk
berbagai acara terkait persepatuan.
Kehadiran pedagang yang berasal
dari luar Cibaduyut maupun dari luar
Jawa, turut memperburuk situasi dalam
bentuk makin kuatnya persaingan harga,
hingga mayotitas produk yang dijual
adalah produk murah. Secara makro, hal
ini membuat Cibaduyut lebih eksis sebagai
sentra perdagangan, bukan sentra industry.
Sementara dari segi mikro, hal ini
membuat
pengrajin
menjadi
lebih
bermental produksi untuk memenuhi
kebutuhan pasar saja.
Namun di tengah suramnya kondisi
tersebut, masih ada secercah harapan. Hal
ini terlihat dari masih adanya beberapa
pengrajin yang memiliki misi dan visi
dalam menjalankan. Mereka menjalankan
usaha tidak sekedar didorong kepentingan
ekonomi untuk menyambung hidup,
melainkan
dengan
mengembangkan
produk dan brand yang dapat menjadi
pemenuhan kebutuhan eksistensi atau
identitas diri. Beberapa pengrajin berusaha
eksis dengan tetap memproduksi sepatu
kelas atas. Sepatu ini disebut sepatu
buatan tangan (hand-made), yang memiliki
nilai seni sebagai karya kerajinan (craft)
tinggi, dengan bahan seratus persen kulit,
dengan teknik Cementing, Blake Stitch,
maupun Goodyear Welt.
Mereka
diantaranya adalah Tegep Boots, Batant
Stride, Fortuna, Parker, Old Dog, dlsb.
Dilihat
dari
ketersediaan
sumberdaya, industry sepatu Cibaduyut
memiliki seperti bahan baku dan keahlian
membuat
sepatu.
Namun
ketidakmampuan manajemen bisnis, berakibat
belum diperoleh kinerja bisnis yang baik.
Pengamatan mununjukkan, sumberdaya
lain, dalam hal ini SDM, industry sepatu
Sementara itu menurut Vorhies dan
Morgan (2012), kinerja sebuah perusahaan
dipengaruhi oleh sebuah orientasi stratejik
yang disebut Orientasi Pasar. Melihat
kondisi di atas, terlihat para pelaku usaha
tidak memiliki orientasi pasar yang jelas.
Dari pengamatan menunjukkan pula
adanya
kelemahan
aspek-aspek
kewirausahaan, seperti kurangnya inovasi,
keberanian mengambil resiko,dan lain
sebagainya. Melihat situasi ini, perlu
dilakukan sebuah penelitian yang dapat
memberi
gambaran
factor-faktor
kewirausahaan
tersebut,yang
sering
disebut sebagai Orientasi Kewirausahaan,
mempengaruhi terbentuknya orientasi
Pasar yang baik di kalangan para
pengusaha di Cibaduyut.
Dengan
mengetahui hal ini,maka dapat dilakukan
usaha pembenahan yang lebih tepat
sasaran.
II. Tinjauan Literatur dan Hipotesis
Orientasi kewirausahaan
Selain menghadapi keterbatasan
sumberdaya, perusahaan kecil dan
menengah menghadapi persoalan pasar,
dalam berbagai dimensi persoalannya,
seperti perilaku konsumen, perkembangan
teknologi, regulasi pemerintah, dan lain
sebagainya, yang harus dengan cepat dan
tepat direspon dengan berbagai langkah
bisnis
umumnya,
dan
pemasaran
khususnya.
Untuk itu, UMKM
membutuhkan pimpinan seorang yang
dapat menjalankan proses kewirausahaan
dengan baik, atau memiliki sebuah
Orientasi
Kewirausahaan.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsep
Orientasi Kewirausahaan dapa dipandang
sebagai
uaya
penempatan
konsep
manajemen stratejik ke dalam domain
manajemen pemasaran.
Lumpkin
dan
Dess
(1996)
mencoba membedakan antara pengertian
kewirausahan (entrepreneurship) dengan
orientasi kewirausahaan (entrepreneurial
orientation).
Mereka
mendefinisikan
kewirausahan sebagai konten strategi,
berikut cara-cara tindakan yan dilakukan,
dalam mendirikan sebuah perusahaan baru
(new entry). Contohnya adalah memasuki
pasar lama dengan barang baru, dan lain
sebagainya.
Sedangkan
Orientasi
Kewirausahaan mereka definisikan sebagai
gaya pengambilan keputusan, proses, dan
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
metode dari seseorang, untuk dapat
berhasil mendirikan dan menjalankan
usaha baru tersebut. Definisi orientasi
kewirausahaan dijelaskan melalui tiga
dimensi inovatif, pengambilan risiko, dan
sifat proaktif (Miller, 1983). Lebih jauh
Lumpkin dan Dess (1996) menambahkan
dimensi otonomi dan agresivitas pada
definisi orientasi kewirausahaan tersebut.
Dengan demikian, variabel Orientasi
Kewirausahaan dapat diwakili oleh
dimensi-dimensi sebagai berikut:
1. Inovatif.
Inovatif adalah sifat
kepribadian wirausahawan yang cenderung
terlibat dan mendukung berbagai berbagai
proses pencarian ide baru, eksperimen, dan
proses
kreatif
lain
yang
dapat
menghasilkan produk maupun proses baru.
Menurut Lumpkin dan Dess (1997),
Orientasi
Kewirausahaan
adalah
kecenderungan untuk terlibat dalam dan
mendukung ide-ide baru, kebaruan,
eksperimen, dan proses-proses kreatif yang
mungkin menghasilkan produk baru, jasa,
atau proses teknologis.
2. Pengambilan risiko.
Pengambilan
risiko merupakan sifat wirausahawan yang
berkomitmen untuk menanggung segala
risiko atas kinerja organisasi bisnis yang
dibangunnya sebagai hasil inisiatifnya
untuk menangkap peluang yang telah
diidentifikasinya. Ia merisikokan dirinya
sendiri, bekerja untuk diri sendiri, dan
tidak bekerja untuk orang lain. Risiko
tersebut muncul dari ketidakpastian atas
hasil yang diperoleh, dari berbagai sumber
daya yang telah disediakannya (Baird dan
Thomas, 1985). Cantillon (1734), yang
merupakan orang pertama yang secara
resmi
menggunakan
istilah
“kewirausahaan”, mengemukakan bahwa
faktor utama yang memisahkan dan
membedakan para wirausahawan dari para
karyawan atau tenaga profesional yang
dibayar adalah soal ketaktentuan dan risiko
dari bekerja sendiri sebagai wirausahawan.
Miller dan Friesen (1978: 923)
3
mengadopsi konsep ini ketika mereka
mendefinisikan
pengambilan
risiko
sebagai “tingkat di mana para manajer
bersedia membuat komitmen yang besar
dan berisiko terkait sumber daya yang
mereka miliki, yaitu sumber daya yang
mempunyai peluang kegagalan tingkat
tinggi.”
Venkatraman
(1989a)
menggunakan pendekatan yang serupa,
dengan bertanya kepada para manajer
sampai tingkat mana mereka mengikuti
lorong coba-dan-benar atau cenderung
hanya mendukung proyek-proyek di mana
mereka mengharapkan keuntungan yang
nyata dan pasti.
3. Proaktif. Proaktif adalah lawan dari
reaktif. Wirausahawan harus memiliki
sifat yang berani untuk bertindak terlebih
dahulu, tidak menunggu orang lain
bertindak baru memberikan reaksi (reaktif)
di dalam mencari peluang-peluang baru
untuk diimplementasikan dalam organisasi
bisnis sehari-hari. Kamus Webster Edisi
Kesembilan untuk Perguruan Tinggi
(1991: 937) mendefinisikan proaktif
sebagai
“bertindak
mengantisipasi
persoalan-persoalan, kebutuhan, atau
perubahan yang mungkin terjadi di masa
depan.” Venkatraman (1989a: 949)
mengemukakan
bahwa
proaktivitas
mengacu pada proses-proses yang
diarahkan untuk mengantisipasi dan
bertindak karena dorongan kebutuhan di
masa depan dengan mencari peluangpeluang baru yang mungkin, atau mungkin
tidak, terkait dengan garis operasional
sekarang ini, memperkenalkan produkproduk atau merek baru sebelum adanya
kompetisi, menghapus secara strategis
operasi-operasi yang sedang dalam tahap
matang ataupun menurun dari siklus
kehidupan.” Lebih jauh menurut Dess
Lumpkin (1997), proaktivitas mengacu
pada bagaimana sebuah perusahaan
berhubungan dengan peluang-peluang
pasar dalam proses usaha baru. Lawan
konseptual dari proaktivitas adalah
pasivitas (lebih dari sekadar reaktif), yaitu
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
4
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi
Pengembangan Produk
ketidakacuhan atau ketidakmampuan
untuk merebut peluang atau keuntungan di
arena pasar.
4. Otonomi.
Seorang wirausahawan
adalah seorang yang mandiri, otonom.
Dengan keberaniannya mengambil risiko,
otonomi menjadi sebuah keharusan
melekat
yang
harus
ada
pada
wirausahawan.
Peluang yang telah
diidentifikasinya
diwujudkan
dalam
bentuk organisasi bisnis beserta tindakan
operasionalnya,
secara
mandiri,
independen (Sapienza dan Crijns, 2003).
Menurut Lumpkin dan Dess (1997),
otonomi mengimplikasikan tindakan yang
bebas dari seorang individu atau sebuah
tim dalam melahirkan sebuah gagasan atau
suatu visi dan menjalankannya sampai
terwujud secara penuh.
5. Agresif. Agresif merupakan sifat
wirausahawan untuk berani mengeluarkan
produk baru atau memodifikasi produk
lama, dan bersaing dengan produk lain
yang sudah mapan, guna memenangkan
persaingan di pasar (Lumpkin dan Dess,
1996). Sementara proaktivitas melibatkan
pengambilan inisiatif dalam sebuah upaya
untuk membentuk lingkungan untuk
keuntungan
seseorang,
responsivitas
melibatkan kemampuan adaptif terhadap
tantangan-tantangan dari para kompetitor
atau pesaing. Keagresifan kompetitif
mengacu pada dorongan khas sebuah
perusahaan untuk menantang para
pesaingnya secara langsung dan secara
intensif untuk mencapai posisi baru atau
memperbaiki posisi, yaitu, untuk mencapai
hasil jauh lebih unggul daripada para
lawannya di arena pasar.
Orientasi Pasar
Untuk
mendapatkan
kinerja
pemasaran yang baik setiap perusahaan
perlu memiliki strategi pemasaran yang
tepat.
Makna pemasaran mengalami
evolusi, sejalan dengan perkembangan
teknologi dan peradaban manusia. Kotler
(2010) membagi-bagi perkembangan
makna pemasaran dalam periode-periode
yang dinamai dengan Marketing 1.0,
Marketing 2.0, dan Marketing 3.0.
Marketing 1.0 adalah makna pemasaran
pada era awal terjadinya keberlimpahan
barang akibat revolusi industri, di mana
pemasaran dimaknai sebagai productoriented marketing, dan
didefinisikan
sebagai proses membawa barang ke pasar.
Sedangkan Marketing 2.0 disebut sebagai
customer-oriented marketing, di mana
pemasaran didefinisikan sebagai proses
pemenuhan
kebutuhan
konsumen.
Sedangkan Marketing 3.0 disebut sebagai
value-oriented marketing, di mana
pemasaran didefinisikan sebagai proses
pertukaran nilai bagi semua pihak terkait.
Menurut Kotler, 2010, salah satu
komponen strategi pemasaran adalah
orientasi manajemen pemasaran. Terdapat
lima alternatif konsep atau orientasi:
orientasi produk, orientasi produksi,
orientasi penjualan, orientasi pemasaran,
dan orientasi pemasaran sosial.
Melihat
pengertian
berbagai
orientasi di atas, dan sejalan dengan
definisi dan makna strategis pemasaran
sebagai fungsi strategis perusahaan untuk
menciptakan
dan
meng-optimalkan
pertukaran nilai (value exchange), maka
dapat disimpulkan bahwa Orientasi
Pemasaran merupakan konsep atau
orientasi strategis yang paling tepat untuk
digunakan saat ini.
Namun, sesuai dengan Vorhies et
al (2005), guna menekankan makna
substansialnya istilah orientasi pemasaran
untuk seterusnya akan diganti dengan
orientasi pasar. Mengapa Orientasi Pasar
(Market Orientation), bukan Orientasi
Pemasaran
(Marketing
Orientation)?
Istilah orientasi pasar lebih bermakna
menyeluruh pada fungsi strategis institusi
perusahaan.
Sementara,
orientasi
pemasaran bisa mereduksi makna hanya
menjadi tanggung jawab satu bagian
manajemen fungsional saja.
Penciptaan nilai bagi pelanggan
bukanlah tanggung jawab fungsional
pemasaran saja, melainkan sebuah orkestra
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
simfoni di mana semua bagian harus
berkontribusi secara terencana dan terpadu
di bawah kordinasi seorang konduktor,
sehingga diperoleh efek sinergis.
Dari penelitian terdahulu, terdapat
dua perspektif Orientasi Pasar. Perspektif
pertama adalah perspektif kultural (Narver
dan Slater 1990, Deshpande, Farley, dan
Webster 1993), yang mendefinisikan
Orientasi Pasar sebagai norma dan nilainilai individual yang berpusat pada pasar.
Orientasi Pasar pada perspektif ini
selanjutnya disebut Orientasi Pasar
Individual (Individual Market Orientation,
IMO) oleh Lam, Kraus, dan Ahearne
(2010). Perspektif kedua adalah perspektif
perilaku (behavioral) (Kohli dan Jaworski,
1990, 1993), yang mendefinisikan
Orienasi
Pasar
sebagai
aktivitas
organisasional
yang
bertujuan
mengembangkan
pemasaran
yang
perhatiannya berfokus atau berpusat pada
pasar.
Dari perspektif kultural, menurut
Lam, Kraus, dan Ahearne (2010),
Orientasi Pasar terdiri dari tiga dimensi
sebagai berikut:
1. Orientasi Pelanggan (Customer
Orientation)
Orientasi pelanggan adalah pemahaman
yang mencukupi atas siapa pembeli yang
menjadi sasaran utama, untuk dapat
diciptakan nilai bagi mereka secara
berkelanjutan (Levitt, 1980), melalui
produk
yang
nilainya
bertambah
(augmented). Seorang dengan orientasi
pelanggan harus memahami rantai nilai
keseluruhan tidak hanya saat ini saja,
tetapi secara jangka panjang, sesuai
dengan dinamika pasar maupun internal
perusahaan (Day dan Wensley, 1988).
2. Orientasi Pesaing (Competitor
Orientation)
Orientasi pesaing berarti seorang produsen
memahami kekuatan dan kelemahan
jangka pendek dan strategi dan kapabilitas
jangka panjang, dari pesaing kuat saat ini
dan pesaing potensial ke depan (Aaker
1988; Day dan Wensley, 1988; Porter
5
1980, 1985). Sejalan dengan analisis
pelanggan, analisis pesaing saat ini dan
potensi pesaing masa depan harus
mencakup kapabilitas teknologi terkait.
3. Orientasi
Produk
(Product
Orientation)
Yang dimaksud dengan Orientasi Produk
adalah sifat dan keterampilan yang terkait
dengan produk dan proses produksi.
Seseorang dikatakan memiliki orentasi
produk manakala ia sangat respek dan
menyukai sebuah produk dan memiliki
keterampilan yang terkait dengan roses
produksi produk tersebut. Oleh Narver dan
Slater (1990) dimensi ini diganti dengan
Koordinasi Fungsional, yakni kemampuan
mengkoordinir semua sumber daya
perusahaan dalam menciptakan produk
yang memberi nilai superior bagi
pelanggan.
Terkait dengan hubungan antara
orientasi pasar (OP) dengan keunggulan
kompetitif berkelanjutan (sustainable
competitive advantage), V. Kumar, Eli
Jones, Rajkumar Venkatesan, dan Robert
P. Leone (2011), dalam risetnya mencoba
mengkaji apakah OP memang dapat
menjadi sumber keunggulan kompetitif,
atau hanya biaya kompetisi?
Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa
OP memiliki efek positif pada kinerja
bisnis, baik jangka panjang maupun jangka
pendek.
Keunggulan
kompetitif
berkesinambungan kinerja bisnis hasil OP
lebih besar pada perusahaan yang lebih
awal menerapkannya.
Perusahaanperusahaan
ini
juga
menunjukkan
memperoleh penjualan dan laba yang lebih
besar, dibandingkan perusahaan yang lebih
lambat menerapkannya.
Perusahaanperusahaan yang mengadopsi OP juga
menyadari manfaat tambahan dalam
bentuk peningkatan penjualan dan laba,
karena adanya carryover effect. OP secara
nyata juga berkontribusi besar dalam
peningkatan laba, karena OP berfokus
pada upaya mempertahankan pelanggan
daripada mendapatkan pelanggan baru.
Turbulensi lingkungan dan intensitas
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
6
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi
Pengembangan Produk
kompetensi menjadi variabel penengah
(moderating variable) untuk pengaruh OP
terhadap kinerja bisnis, di mana dampak
moderasinya pada dekade 1990-an lebih
besar daripada dekade 2000-an.
Sementara menurut Kirca et al
(2010), salah satu antesedens yang
berpengaruh terhadap Orientasi pasar
adalah faktor individual pemimpin. Ini
H1
sangat signifikan untuk perusahaan yang
tergolong usaha mikro, kecil, dan
menengah
(UMKM),
seperti
para
pengrajin Cibaduyut. Beberapa faktor
individual yang mungkin berpengaruh
adalah
Kompetensi
Kepemimpinan
Stratejik dan Orientasi Kewirausahaan.
Oleh karena.itu, maka pada penelitian ini
diajukan model penelitian sebagai berikut:
H5
H2
H6
H3
H7
H4
H8
Gambar 2.1. Model Penelitian
Adapun hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut: Faktor-faktor kemampuan
atau kompetensi kepemimpinan stratejik,
berturut-turut berpengaruh signifikan
terhadap Orientasi Pengembangan Produk
(H1, H2, H3, H4). Demikian juga,faktorfaktor Orientasi kewirausahaan berturutturut berpengaruh secara signifikan
terhadap Orientasi pengembangan produk
(H5, H6,H7,H8).
III. Metode penelitian
Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yakni
penelitian awal yang bersifat eksploratori,
dan dilakukan dengan cara pengamatan
lapangan dan wawancara mendalam (indepth interview).
Penelitian awal ini
bertujuan merumuskan fenomena dan
masalah pemasaran yang ada, serta
mencari konsep-konsep pemasaran yang
terkait, yang diduga berperan dalam
terbentuknya kinerja perusahaan seperti
yang ada saat ini. Wawancara dilakukan
terhadap pelaku usaha, instansi pemerintah
terkait, konsumen, dan akademisi.
Selanjutnya setelah fenomena dan
masalah
dirumuskan,dilakukan
studi
literature untuk mencari informasi tentang
konsep-konsep yang terkait, model
structural hubungan antar konsep tersebut,
dan model pengukuran yang sahih. Pada
prinsipnya, penelitian awal ini bersifat
kualitatif. Dari penelitian awal kualitatif
tersebut, dapat dirumuskan hipotesis
model dan hubungan antar konsep, yang
selanjutnya akan dilakukan penelitian
utama yang bersifat kuantitatif.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
7
Penelitian utama bersifat kuantitatif
dan deskriptif.
Penelitian kuantitatif
dilakukan melalui pengukuran berbagai
konsep penelitian yang selanjutnya disebut
variable penelitian. Untuk ini, dibuat dan
disebarkan kuesioner yang harus diisi oleh
para pengrajin.
Di sini dilakukan
pengukuran terhadap variable penelitian
dengan skala interval. Karena variable
No
Konstruk/Konsep/
Variabel
Definisi
1
Kompetensi
Kepemimpinan
Stratejik
2
3
penelitian bersifat abstrak, maka pada
setiap variable perlu dibuat indicatorindikator yang lebih bersifat empiric,
sehingga pengukuran dapat dilakukan
dengan hasil yang lebih akurat. Proses
tersebut disebut operasionalisasi variable.
Table
berikut
menunjukkan
operasionalisasi variable penelitian.
Dimensi
Indikator
Kemampuan
memahami
lingkungan
bisnis,
merumuskan strategi, dan
meng-implementasi-kan
strategi
bisnis,
untuk
mencapai tujuan organisasi
sesuai dengan misi dan visi
organisasi (Hitt and Ireland,
2010)
1.
2.
3.
4.
Comprehensive
Deftness
Absorbtive
Adaptive
@ 5 items
Orientasi
Kewirausahaan
Gaya
pengambilan
keputusan, proses, dan
metode yang menunjukkan
kewirausahaan perusahaan
(Lumpkin & Dess, 1996)
1.
2.
3.
4.
Inovatif
Resiko
Proaktif
Agresif
@ 5 items
Orientasi Pasar
Budaya organisasi yang
memberikan norma-norma
kuat untuk belajar dari
pelanggan dan pesaing
(Modifikasi Narver and
Slater 1993, dan Lam,
Kraus, Ahearne, 2010)
1. Pelanggan
2. Pesaing
3. Produk
@ 5 items
IV. Hasil dan pembahasan
Profil Responden
Dari responden yang berjumlah 82 orang pengrajin, berikut inii adalah statistic yang
menggambarkan deskripsi demografis dari para pengrajin sepatu di Cibaduyut.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
8
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi
Pengembangan Produk
SEX
Valid FEMALE
MALE
Total
Frequency Percent
5
6.1
77
93.9
82
100.0
Valid
Cumulative
Percent
Percent
6.1
6.1
93.9
100.0
100.0
Dilihat dari jenis kelamin, terlihat bahwa jumlah pengrajin laki-laki yang menjadi responden
adalah 77 orang (93.9%), sedang jumlah pengrajin yang menjadi responden adalah 5 orang
(6.1%). Halini menunjukkan mayoritas pengrajin sepatu di Cibaduyut masih didominasi lakilaki.
AGE
Valid >50
31-40
41-50
Total
Frequency Percent
46
56.1
6
7.3
30
36.6
82
100.0
Valid
Cumulative
Percent
Percent
56.1
56.1
7.3
63.4
36.6
100.0
100.0
Dilihat dari jenis umur, mayoritas pengrajin berumur di atas 50 tahun (46%).
menunjukkan kurangnya kaderisasi pelaku usaha di Cibaduyut.
EDU
Valid AKA
AKAD
S1
S2
SMA
Total
Frequency Percent
2
2.4
1
1.2
6
7.3
1
1.2
72
87.8
82
100.0
Hal ini
Valid
Cumulative
Percent
Percent
2.4
2.4
1.2
3.7
7.3
11.0
1.2
12.2
87.8
100.0
100.0
Dilihat dari latarbelakang pendidikan, terlihat bahwa sebagian besar pengrajin sepatu
Cibaduyut, yaknj sejumlah 72 orang (87.8%) adalah SMA. Ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan mereka harus ditingkatkan.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
9
Dilihat dari segi lama menjadi pengusaha, terlihat bahwa sebagian besar pengrajin sepatu
Cibaduyut, yakni sejumlah 45 orang (54.9%) telah berbisnis selama 11-20 tahun. Hal ini
menunjukkan mereka sudah cukup lama berbisnis.
CAP
Valid 100%
MAJOR
MINOR
Total
Frequency Percent
53
64.6
28
34.1
1
1.2
82
100.0
Dilihat dari komposisi modal yang
dikeluarkan, terlihat bawa sebagian besar
pengrajin sepatu Cibaduyut, yakni
sejumlah 53 orang (64.6%) berbisnis
dengan 100% modal sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka belum
banyak
melibatkan
bank
dalam
permodalan.
Valid
Cumulative
Percent
Percent
64.6
64.6
34.1
98.8
1.2
100.0
100.0
Uji Hipothesis
Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui
apakah hubungan antar konsep pemasaran
yang dirumuskan dalambipotesis, diterima
atau tidak berdasarkan hasilmpengolahan
data kuesioner dari para responden. Dari
pengolahan regresi linier berganda dengan
menggunakan SPSS diperoleh luaran
sebagai berikut:
Dari luaran SPSS di atas dapat dilihat bahwa model penelitian di sinimemiliki persamaan
regresi linier berganda sebagai berikut:
Y = 0.074 – 0.557 COMP + 0.266DEFT + 0.354ABSO + 0.441ADAP + 0.510INOV – 0.082
RESI – 0.079PROA + 0.098 AGRE
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
10
Analisis Faktor-Faktor Individual yang Berpengaruh Terhadap Orientasi
Pengembangan Produk
Dilihat dari nilai t dan signifikansi,
terlihat bahwa semua faktor-faktor
Kompetensi Kepemimpinan Stratejik
secara signifikan berpengaruh terhadap
orientasi
pengembangan
produk.
(Hipothesis 1-4 diterima, ditunjukkan dari
nilai t > 1.96, atau nilai signifikansi <
0.05). Sedangkan factor-faktor Orientasi
Kewirausahaan yang secara signifikan
berpengaruh
terhadap
orientasi pengembangan produk hanya
faktor Inovatif (Hipothesis 5 diterima,
ditunjukkan dari nilai t > 1.96, atau nilai
signifikansi < 0.05), dimana tiga factor
yang lain tidak berpengaruh terhadap
produk
(Hipothesis
6-8
ditolak,
ditunjukkan dari nilai t < 1.96, atau nilai
signifikansi > 0.05)
Dari table Model Summary di atas
terlihat bahwa nilai Koefisien Determinasi
(R2) adalah sebesar 0.667.
Artinya
variable-variabel dalam penelitian ini
menggambarkan
kekuatan
pengaruh
terhadap orientasi pengembangan produk
baru
adalah
sebesar 66.6%, di mana ini berarti 33,3
persen dipengaruhi oleh variable lain.
V. Kesimpulan dan saran
Dari hasil regresi dapat disimpulkan
bahwa
faktor-faktor
Kompetensi
Kepemimpinan Stratejik lebih berpengaruh
terhadap Orientasi Pengembangan Produk
baru, dibandingkan dengan Orientasi
kewirausahaan. Oleh karena itu sebagai
implikasi manajerial, lebih disarankan
upaya perbaikan agar lebih fokus pada
upaya pengembangan berbagai indicator
dari
faktor-faktor
Kompetensi
Kepeminpinan Stratejik, bukan pada
indicator-indikator
dari
faktor-faktor
Orientasi Kewirausahaan.
Sedangkan jika dilihat pengaruh
signifikan dari faktor-faktornya, faktor
adaptasi merupakan faktor kompetensi
kepemimpinan yang paling signifikan
berpengaruh, dan keinovatifan merupakan
faktor
kewirausahaan
yang
paling
berpengaruh. Untu itu, pembinaan perlu
dilakukan untuk mengembangkan dua
faktor tersebut, agar diperoleh peningkatan
kinerja bisnis para pngrajin sepatudi
Cibaduyut.
VI. Referensi
Hitt, M.A, and Ireland, R.D. (2002). The
Essence of Strategic Leadership:
Managing Human and Social
Capital. The journal of Leadership
and Organization Studies, 9(1), 314.
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Y. Budi Susanto
Kotler,
Philip
(2002),
Marketing
Management, 11th ed. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Lam, Son K., Kraus, Florian, and Ahearne,
Michael (2010), The Diffusion of
market Orientation Throughout the
Organization: A Social Learning
Theory Perspective, Journal of
Marketing, Vol. 7 (September 2010),
61-79
Lumpkin G.T. and Dess G.G. ((1996),
Clarifying
the
Enterpreneurial
Orientation Construct and Linking it
to Performance, Academy of
Management Review, Vol 21, No. 1,
135-172
Narver, John C. and Stanley F. Slater
(1990), “The Effect of a Market
Orientation
on
Business
Profitability,” Journal of Marketing,
54 (October), 20–35.
——— and ——— (1998), “Additional
Thoughts on the Measurement of
11
Market Orientation: A Comment on
Deshpandé and Farley,” Journal of
Market-Focused Management, 2 (3),
233–36.
———, ———, and Brian Tietje (1998),
“Creating a Market Orientation,”
Journal
of
Market-Focused
Management, 2 (3), 241–56.
Narver, John C., Robert L. Jacobson, and
Stanley F. Slater (1999), “Market
Orientation
and
Business
Performance: An Analysis of Panel
Data,” in Developing a Market
Orientation, Rohit Deshpandé, ed.
Thousand
Oaks,
CA:
Sage
Publications, 195–216.
Vorhies, Douglas W., and Morgan,Neil A.
(2005), Benchmarking Marketing
Capabilities
for
Sustainable
Competitive Advantage, Journal of
Marketing, Vol 69 (January 2005),
80-94
Ultima Management Vol 5. No.1. Juni 2013
Download