STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: AHMAD SYADHALI NIM: 107044101992 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: AHMAD SYADHALI NIM: 107044101992 Di bawah Bimbingan Pembimbing DR. JM. Muslimin, M.A., Ph.D NIP: 150 292 489 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 19 Rajab 1432 H, 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama). Jakarta, 21 Juni 2011M Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195 003 061 976 031 001 2. Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA. NIP. 196 906 102 003 122 001 3. Pembimbing : Dr. JM. Muslimin, MA., Ph.D NIP. 150 292 489 4. Penguji I : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 195 505 051 982 031 021 5. Penguji II : Mu’min Rouf, MA. NIP. 197 004 161 997 031 004 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Neeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 20 Mei 2011 AHMAD SYADHALI NIM: 107044101992 بسم اهلل الر محن الر حيم KATA PENGANTAR Alhamdulilah, segala pujian serta syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangNya. Dengan limpahan kasih sayang-Nya, syukur Alhamdulillah penulis mendapatkan limpahan kekuatan, tebalnya keyakinan, dan tekad yang kuat sehingga penulis dapat menyeselesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat teriring salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah menebarkan cahaya islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam. Skripsi merupakan bentuk nyata dari sebuah perjuangan mahasiswa selama menuntut ilmu di bangku kuliah. Sama halnya dengan penulis, bentuk nyata yang dipersembahkan penulis kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syatif Hidayatullah Jakarta adalah karangan ilmiah yang disebut skripsi. Dalam proses penulisannya, berbagai hambatan, kesulitan, kebingungan, dan kebekuan berfikir pernah penulis alami. Akan tetapi, dengan kekuatan yang Allah berikan penulis pun berhasil menangkis semua hambatan tersebut. Keberhasilan yang penulis raih, tentunya tidak akan terlepas dari peran dan dukungan serta doa-doa dari para kerabat, sahabat, dan orang-orang yang penulis kasihi maupun yang mengasihi penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan v vi terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya: 1. Keluarga besar Bapak Zaini dan Ibu Umyati sebagai kedua orang tua Penulis, yang senantiasa selalu menjadi motivator, penyejuk jiwa, penenang hati, dan pendorong semangat serta yang selalu memberikan kekuatan batin. Dengan segenap jiwa raganya, tetesan keringat, linangan air mata, teriknya mentari, dinginnya hujan, tanpa lelah beliau berkorban demi keluarga hingga sekarang ini penulis bisa berada di tingkat Universitas. Perjuanganmu tiada tara, kasih sayangmu tak lekang oleh waktu. Semoga Allah selalu melindungi dan menjagamu wahai ayah dan ibu, 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa selalu memberikan pencerahan dan motivasi bagi mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum untuk meraih masa depan yang gemilang dan berani bersaing dalam kancah perkembangan industri 3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan studi Ahwal-Asysyakhshiyyah yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. JM. Muslimin, M.A, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang selalu membimbing, mengarahkan, mengajarkan, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan. Jasa-jasa vii beliau begitu besar dan tiada tara, hanya doa yang bisa penulis sampaikan. Semoga Beliau selalu diberikan kesehatan dan terus membimbing mahasiswa/I kea rah yang lebih baik. 5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tak kenal leleah mengajarkan penulis berbagai ilmu, pengalaman hidup, serta petuahpetuah kepada penulis. Besar harapan penulis semoga ilmu yang yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan orang banyak pada umumnya serta menjadi bekal amal kebaikan bagi Bapak dan Ibu; 6. Pimpinan dan segenaf Staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini 7. Bapak ketua Pengadilan Agama Depok beserta Staf yang telah membantu Penulis dalam kelancaran penulisan skripsi serta telah mengizinkan Penulis untuk melakukan wawancara dengan Salah satu Ketua Pengadilan Agama Depok. Tiada lain yang bisa penulis ungkapkan, hanya terima ksih dan doa yang bisa penulis sampaikan, semoga Pengadilan Agama Depok semakin jaya dan membanggakan. 8. Sahabat Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC) yang senantiasa selalu membantu dan memotivasi Penulis dalam penulisan skripsi ini. Tanpa dukungan dari mereka, mungkin Penulis belum dapat viii menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kawan…terima kasih sahabat…Jasamu akan selalu aku kenang sampai aku mati. 9. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), dan Peradilan Agama. B Angkatan 2007, yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil. Banyak sekali kenangan yang telah kita lalui bersama, kehadiranmu senantiasa membuat aku bahagia, Pengorbananmu buat aku selalu ingat, canda tawamu buat aku selalu merindukanmu. Terima kasih kawan…terima kasih. Kenangan kalian akan selalu aku kenang di seumur hidupku 10. Sahabat-sahabat sejatiku angkatan 2007 (Munawar, Faiz Alfian, Abdul Ghoni, Abdul Ghofur, Ade Qomaruzzaman, Ade Farid Farullah, Nanang Muhajirin El-Hady, M. Afif Firmansyah, Hamzah Nasrullah, Chowas Ahmad Sholeh) yang selalu setia menemani hari-hariku, kawan seperjuangan dari SMA sampai sekarang, teman curhat kala penulis gundah, sahabat yang bisa buat aku bahagia, sedih, dan tertawa. Thanks Sahabat. Aku selalu akan merindukan kalian. 11. Teman-teman Delima (Tajul Muttaqin, Desi Amalia, Astrian Widiyantri, Laila Wahdah, Mariah, dan Maryam Mahdalena) yang telah memberikan ruang kehangatan setiap kali penulis bersamamu, selalu memberikan mootivasi dan solusi kala Penulis Terjatuh, dan senantiasa selalu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. Thanks sahabat. 12. Sahabat band Dilema (Tajuddin, Riki Dian Saputra, Muhammad Mushlih, Fajrri, dan Yayah siti Khoiriyah) yang telah bersama-sama melewati getirnya ix perjuangan di blantika music Indonesia serta telah memberikan support bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Jaya terus sahabat dilemma, karyakaryamu akan selalu kami nantikan. Tetaplah maju di blantika music Indonesia Ciputat, 20 Mei 2011 18 Jumadil Tsani 1432 Ahmad Syadhali DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 8 D. Metode Penelitian.................................................................. 9 E. Review Studi Terdahulu ........................................................ 11 F. Sistematika Penulisan. .......................................................... 14 BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh ................... 16 B. Nasab Dalam Hukum Islam .................................................. 24 C. Hak dan Status Anak ............................................................. 29 D. Halangan Pernikahan ............................................................ 34 BAB III : DESKRIPSI KASUS A. Pihak Yang Berperkara ......................................................... 42 B. Duduk Perkara/Posita ............................................................ 42 C. Tuntutan/Petitum……………………………………………. 46 D. Pertimbangan Hukum............................................................ 47 E. Keputusan Majelis Hakim ..................................................... 50 x xi BAB IV : ANALISA KASUS TENTANG STATUS ANAK A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata ....................................... 51 1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 51 2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab ......... 54 3. Status Anak Menurut Hukum Perdata ............................ 61 B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan ........................................................ 68 C. Analisa Penulis ...................................................................... 71 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 82 B. Saran ...................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 88 LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah momen yang sangat penting dalam hidup seseorang, karena akan dikenang sepanjang hidupnya. Pernikahan menyatukan dua insan manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga akan menyatukan kedua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan, sehingga kedua keluarga besar tersebut bisa saling mengenal lebih dekat satu sama lain sekaligus dapat menjalin ikatan persaudaraan yang semula belum terikat menjadi lebih terikat. Perkawinan merupakan sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi masyarakat, bangsa dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilainilai kehormatan tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.1 Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial dan sebagai makhluk sosial manusia sudah tentu harus mengadakan interaksi antar sesamanya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka akan muncul berbagai peristiwa hukum yang merupakan akibat dari interaksi tersebut. Salah satunya ialah perkawinan yang merupakan sanatullah yang umum yang berlaku bagi semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada seseorang yang sudah mampu untuk segera melaksanakannya. 1 Ahmad Miladi, Fasakh Nikah dengan alasan Salah satu Riddah dan Akibat Hukumnya (studi di Pengadilan Agama Depok), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Hal. 1 1 2 Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT dan mengikuti sunah Rasul. Di samping mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup manusia juga melestarikan keturunan dan mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.2 Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki- laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, perkawinan juga sudah menjadi sunnah yang berlaku dan dilakukan oleh Rasul dimana Beliau dijadikan tokoh teladan yang wajib diikuti jejaknya.3 Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.4 Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan seperti yang termuat dalam pasal 1 dan 2 yang didefinisikan dalam pasal 1 yaitu: “perkawinan 2 Ahmad Azhar Baasyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2000), Cet. 9, h. 13 3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), Judul Asli Fiqhu Al- Sunnah, ( Bandung : Al Ma‟arif, 1990), Cet. VII, Jilid 6, h. 12 4 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h. 374 3 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam pasal 2 “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang terdapat dalam pasal 2 dinyatakan perkawinan dalam Islam adalah “ aqad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5 Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqon ghalidzon) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera (sakinah, mawaddah dan rahmah) dapat terwujud.6 Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita jelaskan bahwa hakikat perkawinan adalah persekutuan hidup seorang pria dan wanita sangat kuat, kekal dan tidak terputuskan. Kesatuan sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat yang essensial dari perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan itu bukanlah sesaat saja akan tetapi sekali untuk seumur hidup. 5 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 114 6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.1 Tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 206 4 Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selama-lamanya sampai mati dari salah seorang suami istri. Inilah yang sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal – hal yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga sehingga dengan di putusnya sebuah perkawinan akan menjadi jalan keluar yang baik bagi dirinya maupun pasangan hidupnya.7 Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir oleh beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain yang salah satunya adalah karena adanya sebab fasakh atau adanya pembatalan perkawinan demi hukum yang dilakukan di depan sidang pengadilan8. Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan (Fasakh) telah diatur oleh UUP dan KHI. Adanya pengaturan mengenai pembatalan perkawinan selain dimaksudkan untuk penyempurnaan pengaturan ketentuan perkawinan juga untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul kemudian hari. Seperti halnya perceraian, pembatalan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian. Konsekuensi-konsekuensi tersebut 7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana , 2007), 8 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta :Kencana, 2003). hal. 191 h. 190 5 berupa hak waris mewarisi, perwalian, pemberian nafkah, terutama kedudukan anak/kejelasan nasab (keturunan). Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua. Sewaktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu orang tua sudah meningal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas. Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti, yaitu sebagai penyambung keturunan, investasi masa depan, harapan untuk menjadi sandaran di usia lanjut, dan modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 penulis hanya menemukan secara umum keterangan tentang kedudukan (Status) anak. Status anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Kemudian jika seorang anak dilahirkan di luar perkawinan maka ia hanya mempunyai nasab kepada ibunya, itu artinya bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan disebut anak luar kawin. Dalam Hukum Islam ada ketentuan mengenai batasan kelahiran. Batasan kehamilan yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya. Seperti tercermin dalam surat Al-Ahqaf ayat 15, menjelaskan masa kehamilan dan masa menyusu digabungkan menjadi 30 bulan. Akan tetapi dalam ayat ini tidak dirinci secara jelas berapa bulan masa hamil dan berapa bulan masa menyusu. Oleh 6 karena itu, dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa menyusu, sisanya adalah 6 bulan sebagai masa minimal kehamilan. Melihat ketatnya standarisasi kedudukan anak yang dinasabkan kepada bapaknya yang sah, maka fuqaha menetapkan tiga dasar yang digunakan untuk menentukan apakah anak sah atau tidak, yaitu: 1).berdasarkan tempat tidur yang sah (al-firasy shahih) yaitu adanya tali perkawinan yang sah antara ayah dan ibu semenjak mulai mengandung; 2). Adanya Pengakuan; dan 3). Saksi Kemudian dihubungkan dengan pembatalan perkawinan karena perkawinan sedarah, notabenenya perkawinan itu dilarang oleh agama, tentu hal tersebut berakibat pula pada status anak yang dilahirkan. Apakah bisa disebut sebagai anak sah dari perkawinan sedarahnya atau anak luar kawin. Keberadaan seorang anak merupakan hasil buah cinta kasih orang tuanya sehingga keberadaannya harus dihargai, dihormati, dan diakui yaitu dengan cara pemenuhan hak-hak atasnya, salah satunya adalah kejelasan status nasab kepada orang tuanya. Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus status anak menjadi masalah urgen dalam kehidupan masyarakat. Di samping bersentuhan langsung dengan waris mewarisi terhadap harta orang tuanya, pemenuhan hak-hak atas dirinya setelah orang tuanya pisah, bahkan soal perwalian pada saat akan melangsungkan perkawinan jika anak tersebut perempuan. Oleh karena itu, perlu kiranya penulis melihat bagaimana hakekat sebenarnya status anak dalam Hukum Islam akibat pembatalan Perkawinan, dan 7 bagaimana pandangan Majelis Hakim menanggapi dan menyelesaikan masalah di atas. Dengan demikian, perlu rasanya penulis mengangkat sebuah judul skripsi yang berkaitan dengan masalah tersebut. Judul skripsi ini adalah ”Status Anak Akibat pembatalan perkawinan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) B. Batasan Dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada kasus Status Anak Akibat Batalnya perkawinan Karena Orang tuanya memiliki Hubungan Nasab seibu dengan menitikberatkan pada putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk 2. Rumusan Masalah Dalam rangka mencapai pemahaman yang komprehensif atas penelitian ini, di sini penulis merasa perlu untuk mengidentifikasinya supaya jelas apa yang perlu untuk dibahas. Melihat judul skripsi di atas, maka penulis perlu membuat rumusan masalah yaitu: sebagaimana yang tercantum dalam pasal 99 dan 100 KHI, dan pasal 42, 43, dan 44 UU Perkawinan dinyatakan bahwa status anak terbagi atas dua macam yaitu anak sah dan anak luar kawin. Hal ini jelas bahwa keduanya mempunyai kriteria masing-masing. Secara garis besar kriteria-kriteria tersebut ternyata dalam kehidupan masyarakat masih 8 ada ketidakjelasan tentang status anak yang dilahirkan dari pembatalan perkawinan sedarah. Untuk memudahkan agar bisa dipahami rumusan masalah itu, maka penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut: 1) Bagaimana pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk terkait dengan status anak yang akibat pembatalan Perkawinan karena orang tuanya sekandung/seibu? 2) Bagaimana Status anak akibat batalnya perkawinan karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu? 3) Bagaimana Perbandingan Status Anak Sah Menurut KHI, Hadits Nabi Tentang Nasab dan Hukum Perdata? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang terkandung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Untuk memenuhi tugas akhir menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syari‟ah dan Hukum b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk c. Untuk memperoleh kejelasan tentang kedudukan anak yang dilahirkan karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu 9 d. Untuk mengetahui perbandingan Status Hukum yang dijelaskan dalam KHI, Hadits Nabi khususnya tentang nasab, dan HukumPerdata. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut : a. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan Majelis Hakim terkait putusan tersebut. b. Memberikan gambaran dan kejelasan hukum tentang status anak yang dilahirkan karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu c. Memberikan pengetahuan secara jelas mengenai perbandingan status anak menurut KHI, Hadits Nabi, dan Hukum Perdata. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan social dengan cara mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.9 9 Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasinya, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet VI, h. 20 10 2. Sumber Data Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 sumber data, yaitu data primer dan data Sekunder. Data Primer merupakan sumber data yang digunakan sebagai data pokok dalam penyusunan skripsi ini. Data Primer skripsi ini diperoleh dari sebuah wawancara dengan hakim agama yang berada di Pengadilan Agama Depok serta data-data dari Pengadilan Agama Depok berupa putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Literaturliteratur yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, Kitab-kitab Fiqih, bukubuku ilmiah, peraturan perundang-undangan, Jurnal-jurnal, artikel-artikel, internet, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta sumbersumber lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai menggunakan : a. Wawancara, yaitu pertemuan antara dua orang atau lebih untuk bertukar informasi melalui Tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Selain itu, dalam proses ini penulis akan melakukan wawancara dengan hakim Agama yang memutus perkara 11 Fasakh di Pengadilan Agama Depok untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai judul skripsi ini b. Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan cara mengkaji beberapa buku dan literatur-literatur lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini terutama dengan mempelajari dokumentasi putusan dari Pengadilan Agama Depok yang dijadikan bahan dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Analisis data yang dipakai dalam skripsi ini bersifat deskriptif analisis. Deskriptif analisis yaitu menggambarkan data seteliti mungkin yang digunakan sebagai objek penelitian, kemudian menganalisis isi putusan untuk melihat seberapa jauh para hakim menerapkan peraturan perundang-undangan dalam memutus sebuah perkara. Adapun dalam teknik penulisannya penulis berpedoman kepada penulisan Skripsi yang diatur oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Review Studi Terdahulu Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswi sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Ternyata setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ditemukan pembahasan yang berbeda dengan judul skripsi yang akan 12 penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 3 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, dan satu artikel diantaranya sebagai berikut : 1. Judul : Hak Istri Pertama Terhadap Pembatalan perkawinan Kedua (Analisis Putusan di Pengadilan Agama Bogor No. 486/Pdt.G/2005/PA.BGR Penulis : Sadatul Abadiyah/SAS/AKI/FSH/S1/2009 Dalam skripsi yang ditulis oleh Sadatul Abadiyah berusaha mengungkap sebuah permasalahan yang berkenaan dengan hak-hak istri untuk menggugat pembatalan perkawinan terhadap suaminya sebab suami melangsungkan perkawinan kedua tanpa izin istri pertama. Oleh karena itu, di sini penulis melihat bahwa dalam skripsi ini berusaha untuk menjelaskan kepada kita pelaksanaan pengajuan pembatalan perkawinan oleh istri pertama atas suaminya. Sedangkan pada skripsi yang penulis tulis yakni berkenaan dengan kedudukan yang akan dikenai pada anak sewaktu kedua orang tuanya mengalami pembatalan perkawinan terlebih pembatalannya untuk selamanya seperti dalam skripsi ini kedua orang tuanya ternyata masih memiliki hubungan nasab seibu. 2. Judul : Fasakh Nikah Dengan Alasan Salah Satu Riddah dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok) Penulis : Ahmad Miladi/PA/FSH/2010 13 Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Miladi membahas faktor-faktor yang menjadi sebab fasakh nikah akibat riddahnya salah satu pihak dan menganalisis data putusan Pengadilan Agama Depok sekaligus juga membahas penyebab fasakhnya perkawinan akibat riddah. Adapun dalam skripsi yang akan penulis tulis yaitu berkenaan dengan fasakh nikah atau pembatalan perkawinan akibat keduanya memilki hubungan nasab seibu yang dijelaskan dalam KHI dan UUP keduanya harus dibatalkan demi hukum. Oleh karena itu, di sini penulis berusaha menjelaskan tentang gambaran umum nasab yang boleh dan tidak boleh melakukan perkawinan, lebih lanjut mengenai status anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang masih ada hubungan nasab sehingga bisa diambil kejelasan hukum bagi anak tersebut. 3. Judul Artikel : Pembatalan Perkawinan Terhadap Perkawinan Sedarah Sumber : index.phplawskripsi.com Dalam artikel yang penulis dapatkan dari internet membahas mengenai proses pembatalan perkawinan di depan sidang pengadilan terhadap perkawinan sedarah serta akibat hukum yang diakan dialami oleh suami istri, dan anak serta hubungan ketiganya setelah terjadi pembatalan perkawinan. Sedangkan skripsi yang akan penulis tulis, membahas secara spesifik terkait dengan status anak akibat pembatalan perkawinan karena adamya hubungan nasab. Memang pada dasarnya nasab seibu sama saja dengan sedarah, akan tetapi yang menjadi rujukan spesifik dalam penulisan skripsi ini adalah hanya 14 pada status kejelasan anak yang dilahirkannya setelah perkawinan dibatalkan demi hukum di depan sidang pengadilan. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut: Bab Pertama memuat Pendahuluan yaitu penjelasan yang erat sekali hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat dirincikan dengan bab-bab sebagai berikut yaitu mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat Penelitian, metode penelitian, review terdahulu, dan sistematika penulisan. Bab Kedua menyajikan kajian kepustakaan. Pertama dibahas mengenai landasan teori atau kerangka konseptual yang bersifat deskriptif, eksploratif, dan developmental. Kemudian landasan teoritis tersebut didasarkan pada teori-teori yang relevan. Dalam bab kedua, teori-teori yang mendukung pembahasan skripsi ini diantaranya adalah teori tentang pembatalan Perkawinan, teori nasab, Hak dan Status Anak, dan Halangan Pernikahan dalam hukum Islam yang dijelaskan secara umum tetapi mengarah kepada pembahasan dalam skripsi yang penulis tulis. 15 Bab Ketiga mencakup tentang deskripsi kasus yang akan dibahas dalam skripsi ini, yang termuat dalam salinan putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Dalam deskripsi kasus, ada beberapa hal yang penulis paparkan yaitu meliputi mengenalkan profil pihak-pihak yang berperkara, menggambarkan secara rinci duduk perkara, pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Majlis Hakim dan Keputusan yang ditetapkan oleh Majlis Hakim. Bab Keempat berisi tentang analisis penulis terhadap data penelitian yang telah didapatkan, kemudian dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian. Dalam kasus analisis kita juga menafsirkan dan menginterpretasikan temuan penelitian ke dalam bingkai pengetahuan yang telah mapan, memodifikasikan teori yang ada, atau menyusun teori baru. Dalam bab ini, penjelasan yang dibahas dalam penelitian skripsi ini meliputi status anak menurut KHI, Hadits Nabi tentang Nasab, dan Hukum Perdata, Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan, Pandangan Majlis Hakim mengenai status anak akibat pembatalan perkawinan, serta Analisa Perkara dari Penulis setelah melakukan wawancara maupun studi kepustakaan. Bab Kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisi kesimpulan yang ditarik pembuktian atau dari uraian yang telah ditulis terdahulu yang bertalian erat dengan pokok masalah. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh Pembatalan Perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Yang di maksud dengan fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.1 Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab, menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).2 Secara istilah fasakh ialah : . , “faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri.3 1 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003). Hal. 141-142 2 Ibnu Manzur, Lisan al-„arab Juz III, (Qatar: Dar al-Fikr, 1994), hal. 45 3 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta, 1985, hlm. 23. 16 17 Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak pengakad yaitu suami istri saja tetapi termasuk pihak ketiga. Sehingga ada kemungkinan fasakh itu terjadi karena kehendak suami, kehendak istri, dan kehendak orang lain yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh berkisar pada dua kelompok sebab yakni sebelum akad nikah dan setelah akad nikah.4 Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah Jilid 8, menjelaskan bahwa memfasakh aqad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat - syarat yang tidak terpenuhi pada aqad nikah atau karena hal - hal lain yang datang kemudian yang membatalkan kelangsungannya perkawinan.5 Menurut pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya AlAhwal Al- Syakhsiyyah menyebutkan “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.6 4 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995). Hal. 141 5 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, (Terj) Judul Asli Fiqhu al-Sunnah, (Bandung: Al Ma'arif, 1980) Cet. I ,hlm. 124 – 125 6 Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950), hlm. 324 18 Menurut Muhammad Yahya Harahap, secara teoritis dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai adanya ikut campur tangan pengadilan.7 Hal ini dapat diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan.8 Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.9 Pengertian kata “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, yakni tergantung pada sebab-sebab yang timbul kemudian. Sebagai contoh dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah, tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV tentang “Rukun dan Syarat Perkawinan” pasal 14 (c). kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam mengenai syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) “yang 7 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,(Medan: CV. Zahir Trading Co, 1975). Cet. 1. hal.74 8 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007) cet. Ke-38. Hal. 572 9 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002), hlm. 18 19 bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Ayat (2) berbunyi “wali nikah terdiri dari : (a.) wali nasab, (b.) wali hakim. Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut hukum Islam, syarat diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang perkawinan tersebut dapat dibatalkan.10 Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, Akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia. Pembatalan Perkawinan yang biasa kita kenal dengan istilah fasakh, tentunya memiliki beberapa faktor yang menyebabkan perkawinannya ini batal. Faktor-faktor penyebabnya tersebut antara lain sebagai berikut: 11 10 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman PelaksanaanPenyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Departemen Agama, 2006). Hal. 20-21. 11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 253 20 1. Syiqaq, yaitu adanya pertengkaran antara suami istri secara terus menerus. Ketentuan syiqaq ini terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 35, 2. Adanya cacat, yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani atau rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum perkawinan namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku setelah terjadi akad perkawinan baik ketahuan atau terjadinya setelah suami istri bergaul atau belum. 3. ketidakmampuan suami memberi nafkah 4. suami gaib (al-mafqud) 5. dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan Sedangkan menurut ulama empat mazhab, faktor-faktor penyebab perkawinan dapat difasakh adalah sebagai berikut :12 Menurut mazhab Hanafi, hal-hal yang mengakibatkan fasakh nikah adalah pisah karena suami atau istri murtad, perceraian karena perkawinannya fasid/rusak, dan karena keduanya tidak sekufu. Sedangkan fasakh menurut Syafi‟I dan Hanbali adalah adanya cacat, karena adanya kesulitan yang dialami suami, karena li‟an, salah seorang suami istri itu murtad, perkawinan itu rusak, dan tidak ada kesamaan status (kufu). Adapun fasakh berdasarkan mazhab Maliki adalah terjadinya li‟an, fasadnya perkawinan, salah seorang pasangan itu murtad. 12 A. Rahman I Doi, Syariah 1 Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) Hal. 309-310 21 Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan perkawinan, mereka harus melakukan akad nikah baru. Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak menghalangi bilangan thalaq.13 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) permasalahan pembatalan perkawinan dijelaskan secara rinci pada pasal 70 sampai 76. Dalam pasal 70 KHI dinyatakan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 14 1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekali pun salah satu dari keempatnya sedang dalam masa iddah 2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya 3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi 3 kali talak oleh dirinya. kecuali jika bekas istrinya sudah menikah lagi dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya 4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, sesusuan, sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan 13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan. Hal. 253 14 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), hal. 129-130 22 menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu : berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping, bersemenda yaitu mertua, anak tiri, dan ibu atau ayah tiri, berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, dan bibi atau paman susuan, istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya. Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila : a). seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, b). perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud, c). perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suuami lian, d). perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, e). perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, f). perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.15 Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan diatur dalam KHI pasal 73 yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas, kebawah baik dari pihak suami atau pun istri; suami istri; pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan 15 menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), hal. 130 23 sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Adapun menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan yaitu setelah keputusan pengadilan Agama yang mempunyai ketetapan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan ( KHI Pasal 74 ayat 2). Pembatalan perkawinan tentunya mempunyai akibat hukum yang ditimbulkan setelahnya. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28 ayat 2 dinyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a). anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, b). suami atau istri yang bertindak dengan beriktikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, dan c). orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a, dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan Iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. 16 Adapun dalam KHI akibatnya tersebut disebutkan dalam pasal 75 dan 76. Dalam pasal 75 disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam 16 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, ( Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-III, Hal. 113 24 pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. B. Nasab Dalam Hukum Islam Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang, anak angkat tersebut dinasabkan kepada Nabi. Kemudian Nabi pun mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi: . )4-5: (اآلدشاب “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anakanak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) 25 nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 4-5). Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa maja‟ala ad‟iya-akum abna-akum. Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz ud‟u-hum li abaihim.17 Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.18 Dalam keterangan hadist di atas dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseoran 17 KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h. 385 17 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 52 26 menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. 19 Secara etimologis istilah nasab berasal dari bahasa arab “an-nasab” yang berarti keturunan, kerabat, memberikan ciri dan menyebutkan keturunannya. Nasab juga dapat dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama fikih mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan kesatuan darah. Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, sesuai dengan firman Allah SWT : 20 54/25: ) Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan musaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu yang Maha Kuasa (QS. Al-Furqan / 25: 54).. 19 Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, Hal.5 Makalah diaksesdari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada tanggal 3 Januari 2011 19 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, jilid 4, hal. 1304 27 Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan nikmat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa ja‟alahu nasabaa. Dan nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.21 Sedangkan secara terminologis, term nasab ada beberapa definisi diantaranya sebagai berikut: 1. Keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu,nenek, dan seterusnya), dan ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman, bibi, dan seterusnya).22 2. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan.23 3. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah. 4. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth), juz.II, h.12-23 21 22 Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 154 23 M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi‟I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1994), h. 59 28 berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orangorang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.24 5. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar‟i.25 Para Ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya disebabkan karena kehamilan yang disebabkan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan tersebut dilakukan berdasarkan akad nikah maupun perzinaan.26 Adapun nasab dari seorang anak kepada bapaknya bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu : 1. melalui perkawinan yang sah; 2. melalui perkawinan yang fasid; 3. melalui hubungan senggama karena adanya syubhat an-nikah (nikah syubhat) yaitu berarti kemiripan, keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan.27. 24 Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . Hal. 7247 25 Ibid, hal. 7247 26 Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . hal. 7249 27 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulumuddin, (Semarang: Toha Putra,tth), jilid II, hal. 99 29 Adapun cara menetapkan nasab menurut Ulama Fikih sepakat bahwa nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui tiga cara yaitu :28 1. Melalui nikah shahih atau fasid. Para Ulama sepakat bahwa nikah yang sah dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak kepada bapaknya sekalipun pernikahan dari kelahiran anak itu tidak didaftarkan secara resmi pada instansi terkait 2. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak. 3. Melalui alat bukti. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani, alat bukti yang dibutuhkan adalah berupa pengakuan dua orang lelaki, atau satu orang lelaki dan dua orang wanita. Sedangkan menurut Ulama Mazhab Maliki, pengakuan itu dikemukakan dua orang lelaki saja. Adapun menurut mazhab Syafi‟I, Mazhab Hanbali, dan Imam Abu Yusuf adalah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh ahli waris yang mengaku. Dalam hubungan ini, para ulama sepakat bahwa kehadiran saksi untuk dapat membenarkan pengakuan tersebut, juga harus benar-benar mengetahui keadaan dan sejarah anak yang akan dinasabkan. C. Hak dan Status Anak Arti Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan insan (manusia) yang kedua. 28 29 Anak adalah kelompok manusia muda yang Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996), cet. ke-1, jilid 4, hal. 1306-1307 30 batas umurnya tidak selalu sama diberbagai Negara. Di Indonesia yang sering dipakai untuk menjadi batasan umur adalah anak usia 0-21 tahun. Dengan demikian, bayi, balita dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak. Pada umunya disepakati bahwa masa anak merupakan masa yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa. Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang disebut dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Dan dalam Konvensi hakhak anak, batasan umur anak adalah dibawah umur 18 tahun.30 Secara umum, periode pertumbuhan anak adalah dimulai sejak ia masih dalam kandungan atau disebut dengan pre-netral, yang artinya masa 29 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), cet V,h. 38 30 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2000), cet III, h. 5. 31 sebelum lahir sejak terjadi peristiwa konsepsi (pembuahan sel telur perempuan oleh sperma laki-laki) dan berakhir ketika sang bayi lahir ke dunia. Asal periode dalam kandungan dapat dijelaskan dengan empat tahapan perkembangan: 1. Tahap al-Nuthfah yaitu pertemuan antara setetes sperma dengan ovum perempuan sehingga terjadi pembuahan; 2. Tahap al-„Alaqah yaitu perkembangan janin selanjutnya oleh pertumbuhan pembuahan antara sperma dan ovum yang menjadi zat (sesuatu) yang melekat pada dinding rahim; 3. Tahap al-Mudhghah yaitu Perpindahan alaqah ke mudhgah terjadi disaat sesuatu yang melekat (al-mudhghah al-„alaqat) berubah menjadi darah beku yang bercampur, berikutnya tampaknya tulang lalu tulang itu diselubungi oleh daging. 4. Tahap Pemberian Nyawa (nafkh al-ruh), setelah melalui tiga tahap, pertumbuhan janin semakin sempurna dengan ditiupkannya ruh kedalamnya. Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan makhluk sosial. Jiwa anak itu lembut dan sangat mudah terpengaruh. Anakanak adalah miniatur manusia, yang belum memiliki kapabilitas untuk mencapai perubahan. Anak merupakan miniatur manusia yang kenyataannya memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar dibanding orang dewasa. 32 Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih sayang.31 Oleh karenanya anak memerlukan cinta dan kasih sayang. Dalam Islam hak-hak dimulai sejak anak masih dalam kandungan hingga mencapai kedewasaan secara fisik maupun psikis. Hak-hak tersebut antara lain: 1. Hak mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dalam kandunan maupun setelah lahir 2. Hak mengetahui nasab (keturunan) 3. Hak menerima yang baik 4. Hak mendapatkan ASI dari ibu atau pengantinya 5. Hak mendapatkan asuhan 6. Hak mendapatkan harta warisan 7. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran 8. Hak mendapatkan perlindungan hukum32 Adapun menurut Wahbah al-Zuhailiy, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab (keturunan), hak radla (menyusui), hak hadhanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri. 31 32 Ibrahim Amini, Anakmu, AmanatNya, (Jakarta: Al-Huda, 2006), cet I, h. 141 Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, (Malang: PSG Publishing dan Pilar Media, 2006), h. 63 33 Salah satu hak-hak anak yang disebutkan Hukum Islam adalah hak mengetahui nasab. Hak mengetahui nasab merupakan suatu hak yang sangat penting bagi kehidupan seorang anak. Karena dengan hak ini, seorang anak dapat mendapatkan hak-hak yang lainnya dari kedua orang tuanya terutama bapak. Seorang anak yang dinasabkan kepada bapaknya, secara otomatis dia mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan anak, ada sederatan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya. Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab terhadap anaknya. Jika digolongkan hak anak dapat diketagorikan dalam empat kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia. Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun 34 hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian atau pembatalan perkawinan tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri. Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak akan terputus sampai kapanpun, meskipun anak yang dihasilkannya dari perkawinan yang dilarang oleh agama, tetap saja ayah ibunya berkewajiban memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Lain halnya jika status anak yang dilahirkan adalah anak luar kawin atau anak zina, ia hanya mendapatkan pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu. D. Halangan Pernikahan Untuk memudahkan pencegahan terjadinya kekeliruan dalam sebuah perkawinan, yang mengakibatkan timbulnya kesyubhatan, maka di bawah ini adalah pemaparan hal-hal yang mengakibatkan perkawinan itu dilarang untuk dilakukan baik secara selamanya atau sementara antara seorang lelaki dan perempuan. Secara garis besar, larangan kawin antara sesama pria dengan seorang wanita menurut Syara‟ dibagi dua yaitu hubungan abadi dan halangan sementara. Diantara halangan-halangan abadi yang telah disepakati adalah 35 karena ada hubungan nasab (keturunan), karena pembesanan (karena pertalian kerabat semenda), dan karena sesusuan.33 Larangan kawin karena sebab adanya keturunan (nasab), menurut alQur‟an ada tujuh macam wanita yang termasuk golongan ini, ialah: a. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya menurut garis lurus ke atas, b. Anak perempuan, termasuk cucu dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah c. Saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak atau seibu d. Bibi (saudara perempuan bapak) sekandung, sebapak, dan seibu. e. Bibi (saudara perempuan ibu) sekandung, sebapak, dan seibu f. Anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara kandung, sebapak, seibu dan seterusnya ke bawah g. Anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak, atau pun seibu dan seterusnya ke bawah. Ketujuh macam wanita yang digolongkan di atas, termaktub dalam surat An-Nisa : 23. 33 Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) cet I, hal.103 36 23 diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa :23). Tidak diragukan lagi bahwa keharaman terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan yang disebutkan di atas memiliki hikmah yang sangat besar yaitu seorang ibu yang berhak atas anaknya berupa kebaikan, pelayanan, dan kesungguhan dalam memuliakannya dan begitu pun dengan seorang anak masih berhak mendapatkan cinta kasih orang tuanya, pemberian pendidikan, dan nafkah serta tidak akan terjadi pemutusan ikatan kekerabatan dan pertentangan. As-Sakaki berkata sesungguhnya menikahi mereka mengakibatkan pemutusan kekerabatan, karena pernikahan itu tidak lepas dari kelapangan yang terjalin antara suami istri secara tradisi dan karena sebab-sebab ini 37 menjadikan kekerasan hati diantara mereka. Suatu ketika hal tersebut membawa terputusnya hubungan kerabat, sehingga menikahi dengan mereka menjadi penyebab untuk memutus kerabat. Penyebab keharaman hukumnya juga haram.34 Ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa :”wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi karena hubungan kekeluargaan (nasab) adalah semua keluarga yang dekat dengan lelaki (haram untuk dinikahi), kecuali anak pamannya (baik dari pihak ayah atau ibu), dan anak bibinya (baik dari pihak ayah atau ibu).35 Keempat kelompok di atas, diperbolehkan untuk dinikahi oleh Rasulullah Saw, dan itu tidak dikhususkan untuk nabi saja, namun berlaku juga untuk semua orang-orang beriman.36 Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah SWT : 34 Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami, (Jakarta: Amzah, 2002), cet I, Hal. 122 35 Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri an-Nasab,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) cet 1, hal. 61 36 Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri an-Nasab, hal. 62 38 50:33 Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara lakilaki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (QS. Al-Ahzab/33:50) Adapun mengenai perkawinan yang diharamkan untuk selamanya karena sebab semenda (musaharah) terbagi atas empat macam yaitu:37 a. Istri bapak, istri kakek dan seterusnya ke atas, baik kakek dari jalur bapak maupun ibu, tidak ada bedanya apakah sudah dicampuri atau belum b. Istri anak dan istri cucu, baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun dari jalur anak perempuan c. Ibu istri (mertua) yaitu ibu kandung dan ibu susuannya, baik wanita yang dikawini itu sudah dicampuri atau belum, namun haram kawin dengan mertua. Rasulullah Saw bersabda :”Barangsiapa mengawini seorang wanita, baik sempat dicampurinya atau pun tidak, namun tidak halal baginya mengawini ibu wanita itu”.38 37 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hal.179-180 38 Hadits at-tirmidzi )قا ل اننثي صهي اهلل عهيو ًسهى ايًا رجم نكخ ايزاج فدخم تيا اًنى يدخم فال تذم نو اييا (رًاه انتزيذي 39 d. Anak perempuan dari istrimu (anak tirimu) kalau istrimu itu sudah kamu campuri sesudah akad nikah yang sah ataupun yang fasid, akan tetapi kalau istrimu belum kamu campuri maka boleh kawin dengan anak perempuan itu. Kemudian larangan kawin ketiga yang bersifat selamanya adalah karena adanya hubungan sesusuan. Dalam hubungan sesusuan seorang lakilaki atau perempuan yang mempunyai hubungan ini dilarang melakukan perkawinan, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw : 39 Diriwayatkan dariIbnu Abbas r.a. Dia telah berkata: Sesungguhnya Nabi Saw hendak dijodohkan dengan putrid Hamzah. Akan tetapi beliau bersabda:sesungguhnya dia tidak halal bagiku, dia adalah putrid saudara laki-laki sepersusuanku sendiri. Pengharaman disebabkan sepersusuan itu sama seperti pengharaman karena keturunan keluarga. (HR. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan hadits di atas, jelas bahwa ibu susuan dan saudara perempuan susuan menduduki hukum yang sama dengan ibu dan saudara perempuan yang senasab tentang keharaman kawin dengan mereka, maksudnya kita diharamkan kawin dengan nasab (keturunan) kita yang berjumlah 7 orang sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa ayat 23. Maka 39 Ahmad Mudjab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Mutafaq Alaih Bagian Munakahat dan Mu‟amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), cet I, hal 53 40 apabila kita sudah menyusu kepada perempuan lain, haram pula kita kawin dengan nasab ibu susu.40 Para Ulama sependapat bahwa keharaman susuan (radla) sama dengan keharaman nasab dalam urusan pernikahan. Apabila seorang wanita menyusukan seorang anak, haramlah atas anak tersebut dan atas anak-anaknya terhadap kerabatnya ibu susu itu, segala yang diharamkan atas anak itu dari jalan nasabnya.41 Akan tetapi, tidak diharamkan ibu susu terhadap ayah dari anak susunya dan terhadap saudara anak susunya. Juga tidak haram atas anak susu itu menikahi ibu saudara perempuannya (dari jalan susuan), jika ibu itu bukan ibu anak susu sendiri dan bukan pula istri dari ayahnya.42 Sedangkan halangan-halangan sementara antara lain sebagai berikut: a. Mengumpulkan dua orang wanita mahram b. Istri yang sudah ditalak tiga c. Kawin dengan budak d. Kawin lebih dari empat orang istri e. Kawin dengan istri orang lain f. Haram kawin dengan wanita yang masih dalam masa iddah 40 A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram-Ibnu Hajar al-Asqalani, (Bandung: Dipenogoro, 2006) cet XXVII, Hal 510 41 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) cet II, Hal. 237 42 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar Mazhab, hal 237 41 g. Kawin dengan wanita musyrik dan ahli kitab h. Dilarang kawin sedang dalam ihram43 Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa halangan perkawinan pun dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Baba VI pasal 39 sampai 44. 43 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hal. 188-197 BAB III DESKRIPSI KASUS A. Pihak Yang Berperkara Pihak-pihak yang berperkara dalam Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang Permohonan Cerai Thalak adalah sebagai berikut: KUSPRIYATNA BIN H. TOHIRI, Umur 32 tahun, agama Islam, Pendidikan SMA, Pekerjaan sebagai Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Kp. Serab Rt.01/Rw. 02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok selanjutnya disebut PEMOHON. Kemudian dari pihak TERMOHON yang mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Agama Depok atas Surat Permohonan Pemohon adalah NURAINI BINTI SUKADI HASAN, Umur 28 Tahun, agama Islam, Pendidikan SMA, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, dan bertempat tinggal di Jalan Kp. Serab Rt.01/ Rw. 02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok selanjutnya disebut TERMOHON.1 B. Duduk Perkara/Posita Berdasarkan Kutipan Akta Nikah nomor 109/63/III/2001 tanggal 26 Maret 2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Cakung, Jakarta 1 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk hal 1 42 43 Timur menyatakan bahwa antara Pemohon dan Termohon telah melangsungkan akad nikah. Pada awal kehidupan rumah tangga, antara Pemohon dengan Termohon hidup rukun, damai, dan harmonis hingga akhirnya Pemohon dan Termohon dikaruniai tiga orang anak yang bernama: 1. FAHREZY ALDI PERMANA, laki-laki, umur 9 Tahun 2. TODDY AFRIAN, Laki-laki, 6 Tahun 3. CANDRA DIJAYA, Laki-laki.2 Dengan keberadaannya seorang anak, artinya kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun, damai, dan harmonis. Karena pada dasarnya anak merupakan buah hasil cinta kasih yang selama ini dilakukan oleh Pemohon dan Termohon. Akan tetapi sejak bulan Oktober 2009 sampai Permohonan ini diajukan ke Pengadilan Agama Depok tanggal 4 Desember 2009, kehidupan rumah tangga Pemohon dan Termohon sering bertengkar terus-menerus, disebabkan Termohon sering berhutang tanpa sepengetahuan Pemohon dan setiap kali ada orang datang menagih hutang, Pemohon dan Termohon selalu ribut dan berujung pada pertengkaran. Pada bulan November 2009 merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, antara Pemohon dan Termohon merasa sudah tidak ada kecocokan lagi dan sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian. Melihat kondisi rumah tangga Pemohon dan 2 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Hal 1 44 Termohon yang sudah diambang perceraian, maka keluarga dari Pemohon maupun Termohon berupaya untuk mendamaikan Pemohon dan Termohon agar kembali rukun dalam mengarungi bahtera rumah tangga, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil dan pihak keluarga pun akhirnya menyerahkan permasalahan ini kepada Pemohon dan Termohon. Pada saat proses persidangan antara Pemohon dan Termohon selalu menghadap sendiri di persidangan tanpa ditemani oleh Kuasa Hukum. Dalam surat Permohonan Pemohon, Termohon dalam jawabannya secara lisan membenarkan seluruhnya apa yang ada dalam surat Permohonan Pemohon dan Termohon tidak keberatan bercerai dengan Pemohon. Dengan jawaban Termohon yang membenarkan seluruh Permohonan Pemohon, Pemohon pun akan memberikan uang setiap bulannya untuk anak Pemohon dan Termohon yang sekarang berada dalam asuhan Termohon sebesar Rp. 1000.000,- dan untuk Termohon Rp. 900.000,- untuk nafkah tiga bulan, dalam repliknya. Atas Replik dari Pemohon, Termohon pun kemudian memberikan duplik secara lisan yang pada pokoknya Termohon tetap pada jawabannya, yang menyatakan tidak keberatan untuk bercerai dengan Pemohon, dan menerima terhadap semua pemberian Pemohon kepada Termohon baik nafkah anak, maupun nafkah untuk Termohon.3 Akan tetapi meskipun Permohonan Pemohon diakui dan dibenarkan oleh Termohon dan tidak keberatan jika harus bercerai, tetap saja antara Pemohon dan Termohon masih wajib untuk meneguhkan dalil-dalil Permohonan Pemohon. 3 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 2-3 45 Untuk meneguhkan dalil-dalil Permohonan, Pemohon dianjurkan untuk mengajukan alat bukti dan juga keterangan saksi yang dapat menguatkan dalildalil Permohonan Pemohon. Alat bukti yang Pemohon ajukan untuk meneguhkan Permohonan Pemohon adalah berupa alat bukti tertulis yaitu Foto copy bermaterai Buku Akta Nikah Nomor 109/63/III/2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Cakung, Jakarta Timur tertanggal 26 Maret 2001. Adapun keterangan saksi yang Pemohon ajukan ke Pengadilan adalah sebagai berikut:4 Juhana bin H. Sumari, umur 51 tahun, agama Islam, Pekerjaan Karyawan Swasta, yang bertempat tinggal di Jalan Pasar Minggu Kp. Serab Rt.01/Rw.02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok. Dalam persaksiannya, saksi mengatakan bahwa hubungan antara saksi dengan Pemohon adalah Kakak Pemohon, saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, saksi pun mengetahui bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terjadi Pernikahan dan sudah di karuniai tiga orang anak. Mengenai permasalahan rumah tangga Pemohon dan Termohon, saksi mengatakan sama sekali tidak mengetahui bahwa keduanya sudah terjadi perselisihan dan percekcokan, setahu saksi rumah tangga Pemohon dan Termohon rukun-rukun saja. Bahkan saksi pun pernah menasehati keduanya untuk bermaia saja, tetapi upaya saksi tersebut tidak membuahkan hasil. 4 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 3 46 Akhirnya, saksi pun menyerahkan kembali kepada pemohon dan Termohon yang menjalani rumah tangga. Adapun saksi kedua yang Pemohon ajukan ke Pengadilan Agama Depok adalah bernama NURHUDAYA BIN IDUP, Umur 50 tahun, agama Islam, Pekerjaan Buruh, bertempat tinggal di Jalan Pasar Minggu Kp. Serab Rt.01/Rw.02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok. Pokok keterangan yang dituturkan oleh saksi adalah bahwa hubungan antara saksi dengan Pemohon adalah Paman Pemohon, saksi pun berkata ia sangat mengenali Pemohon dan Termohon, karena menurutnya Pemohon dan Termohon adalah Keponakan saksi. Di samping itu, dalam keterangannya juga dikatakan bahwa antara Pemohon dan Termohon sebenarnya masih saudara seibu lain ayah/ada hubungan nasab. Oleh karena itu, dalam keterangannya, saksi mohon kepada Majelis Hakim untuk diputuskan perkawinannya antara Pemohon dan Termohon.5 C. Tuntutan/Petitum Perkara Dari duduk Perkara yang dipaparkan di atas, maka tuntutan yang diajukan oleh Pemohon dalam Surat Permohonannya adalah : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya 2. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon 5 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 4 47 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.6 D. Pertimbangan Hukum Dalam perkara nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Pertimbangan Hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara ini adalah bahwa Majelis Hakim telah berupaya dan berusaha menasehati Pemohon agar berdamai dengan Termohon dan segala permasalahan keluarga hendaknya diselesaikan dengan jalan damai, hal ini sesuai dengan maksud dari pasal 82 ayat (1) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, jo pasal 31 ayat (1 dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun maksud yang baik tersebut tidak berhasil.7 Oleh karena itu, proses pemeriksaan perkara akhirnya dilanjutkan dengan pembacaan surat Permohonan, hingga pada saat pengajuan alat bukti dan keterangan saksi, Majelis Hakim memandang dalam pemeriksaan perkara ini telah memenuhi maksud pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi: “ gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan 6 7 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 2 Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 31 ayat 91 dan 2) berbunyi (1). Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak; (4). Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. (Lihat Buku karangan A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam rentang sejarah Bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Hal. 209-210). Dan (lihat buku karangan R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW dengan tambahan Undangundang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007) hal. 570). 48 pertengkaran itu setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu”,8 dan Pasal 76 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.9 Berdasar surat Permohonan Pemohon, keterangan Pemohon di Persidangan, Jawaban Termohon serta keterangan saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon di Persidangan, maka Majelis Hakim menemukan fakta-fakta yang disimpulkan sebagai berikut: 1. Antara Pemohon dan Termohon adalah suami istri, dan telah dikaruniai tiga orang anak, namun ternyata masih ada hubungan darah seibu yaitu lain ayah, Pemohon ayahnya H. Tohiri sedangkan Termohon, ayahnya Sukadi Hasan; 2. Karena Pemohon dan Termohon masih ada ikatan saudara seibu dan ada ikatan pernikahan, maka Pemohon dan Termohon memohon kepada Majelis Hakim untuk diputuskan perkawinannya; 8 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007) hal. 567-568. 9 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam rentang sejarah Bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Hal. 208 49 3. Dengan adanya saksi yang kedua (paman pemohon) menyatakan bahwa perkawinan Pemohon dengan Termohon harus diputuskan karena ada larangan yang dilanggar oleh Pemohon dan Termohon dalam menikah secara Islam.10 Melihat fakta-fakta yang disimpulkan di atas, Majelis Hakim berpendapat dalam pertimbangan hukumnya adalah melarang dan menolak kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon, disebabkan antara Pemohon dan Termohon masih ada hubungan darah yaitu seibu. Hal ini sesuai dengan pasal 39 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 39 ayat 1 huruf b yang berbunyi: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:karena pertalian nasab dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu”.11 Melihat perkara nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk masuk dalam bidang Perkawinan, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006, Undang-undang nomor 50 tahun 2009, maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini dobebankan kepada Pemohon 10 11 Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Hal 5-6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), hal. 121-122 50 E. Keputusan Majelis Hakim Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku dan Hukum Syara‟ yang berkaitan dengan perkara ini, maka Majelis Hakim memutuskan dan mengadili dalam Primernya Menolak Permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Depok. Adapun dalam Subsidairnya, Majelis Hakim memutuskan dan megadili: 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk memfasakh perkawinannya yang pernah dilakasnakan pada tanggal 26 Maret 2001, batal demi hukum untuk selama-lamanya; 2. Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon pelipr lara sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) dan cincin mas seberat 5 gram; 3. Menghukum Pemohon untuk member nafkah tiga orang anak yang bernama Fahrezy Aldi Permana, Toddy Afrian, dan Candra Dijaya yang berada dalam asuhan Termohon minimal sebesar Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) setiap bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa dan mandiri; serta 4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 241.000,(dua ratus empat puluh satu ribu rupiah).12 12 Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, hal 6-7 BAB IV ANALISA KASUS TENTANG STATUS ANAK A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata 1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai realisasi mazhab Indonesia. Fiqh ini sebagai hasil dari pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan muncul karena adanya pandangan bahwa ada pemaksaan adat istiadat yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah sebuah kesalahan.1 Oleh karenanya, Hukum Islam dinyatakan sebagai hukum yang hidup di masyarakat Islam Indonesia. Dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.2 1 Nourrouzzaman Shiddiqie, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet I, hal. 231 2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), Cet II, Hal. 137 51 52 Berdasarkan pasal tersebut bahwa anak yang sah memiliki dua sifat; pertama anak sah adalah anak berdasarkan pembuahan antara suami istri secara alami (hubungan suami istri) dan anak yang dilahirkan berdasarkan pembuahan suami istri di luar rahim dengan mediasi ilmu kedokteran. Dengan kata lain, bayi tabung.3 Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa itu adalah anak yang sah maka diperlukan bukti otentik sebagai asal-usul anak. Dalam hal ini, Pengadilan memiliki andil untuk menetapkan status anak tersebut setelah diverifikasi dan diteliti dengan berbagai bukti lainnya. Hal ini dijelaskan dalam pasal 103 KHI sebagai berikut: a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau bukti lainnya; b. Bila akta kelahiran atau bukti lainnya yang tersebut dalam ayat 1 tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti sah; c. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat 2, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan 3 Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), cet I, Hal. 119 53 Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.4 Rumusan anak sah bagian kedua merupakan pembaharuan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung. Ketentuan ini merupakan legitimasi kebolehan menggunakan teknologi kedokteran dalam hal konsepsi (pembuahan) janin (anak) dalam kandungan. Menurut ketentuan ini dapat diketahui bahwa: a. Pembuahan anak di luar rahim itu sah dan dibolehkan b. Pembuahan itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan oleh istri itu sendiri c. Tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim perempuan lain.5 Adapun rumusan anak sah dalam point a sama persis dengan rumusan dalam Undang-undang Perkawinan, yang dapat ditarik pengertian, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan dan sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian bila penjelasan di atas di hubungkan dengan akibat perkawinan yang batal demi hukum, Kompilasi Hukum Islam (KHI) berpendapat dalam pasal 75 yang berbunyi: 4 Dedi Supriadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, hal. 119-120 5 Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), cet II, Hal. 106 54 Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.6 Dari pasal 75 point b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebutkan di atas, jelas bahwa status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang batal masih disebut sebagai anak sah, sebab keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut bagi anak-anak yang dilahirkannya meskipun keputusan pembatalan perkawinan tersebut untuk selamanya dan tidak berkesempatan untuk rujuk kembali. 2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab Berketurunan merupakan tujuan pokok diantara tujuan pernikahan. Hal ini merupakan kecintaan laki-laki sebagai akar rumah tangga, begitu juga bagi perempuan. Karena setiap manusia ingin namanya tetap ada dan berlanjut pengaruhnya.7 Dalam Hukum Islam, berketurunan biasa disebut dengan istilah nasab. Secara bahasa Nasab berarti al-qarabah atau kedekatan dalam hubungan 6 7 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 131 Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami (Jakarta: Amzah, 2010) cet. I, Hal. 251 55 keluarga. Kedekatan tersebut baik hubungan darah atau karena adanya perkawinan. 8 54 Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan (nasab) dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (Q.S. Al-Furqan: 54). Nasab seperti yang disebutkan al-Farra‟, diartikan sebagai hubungan dimana terdapat larangan perkawinan diantaranya. Akar suatu nasab dalam pandangan Ulama Fikih adalah mulai dari bapak dan ibu sampai ke atas dan dari anak sampai ke bawahnya. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa pendapat yang menguraikan pengertian nasab secara istilah, seperti yang dicatat oleh Jumni Nelli, yaitu: a. Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan; b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah; 8 Sa‟d abu Jubab, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1993). Cet III, hal. 350. 56 c. Menurut Wahbah al-Zuhailiy nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah; d. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar‟i.9 Dalam perspektif Fikih proses penetapan nasab tidak pernah memberikan suatu definisi yang jelas tentang nasab yang sah, namun dari berbagai sumber terutama yang dinukilkan dari al-Quran dan Al-Sunnah, dapat diketahui bahwa Islam sangat memberikan batasan yang jelas tentang nasab tersebut.10 Dalam Syariat Islam diakui bahwa hanya nasab yang sah saja yang berhak dijadikan ukuran suatu hubungan darah dalam keluarga yaitu ketika melalui proses akad perkawinan yang sah pula. Dalam al-Quran disebutkan secara implisit tentang kesucian nasab dalam Islam, yaitu: 9 Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, h. 6, diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada 3 Januari 2011. 10 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), cet III, H. 277. 57 . 5 6 Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. Al-Mukminun: 5-6). Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa Allah melarang manusia untuk mendekati zina, perbuatan yang akhirnya juga akan melahirkan anak yang berstatus anak zina. Demikian ayat ini menyebutkan : 32:17 Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra‟/17: 32). Oleh karena itu, nasab menjadi suatu pondasi yang kuat dalam membangun keluarga yang kokoh, di dalamnya terikat sebuah ikatan darah yang kuat, kesatuan benih dan keturunan. Seorang anak menjadi bagian dari bapaknya dan seorang bapak menjadi bagian dari anaknya. Nasab menjadi sebuah jejaring yang menguatkan hubungan keluarga, dan menjadi nikmat mulia yang dikaruniakan Allah kepada manusia, karena jika tidak maka akan kacau hubungan darah dan akan hancur kemaslahatan yang ada di dalamnya. Demikian itu pula, tidak akan tercapai hubungan yang harmonis, kasih 58 sayang, dan rahmat di antara para individu di dalamnya. Maka dari itu, Allah sangat menjaga dan memelihara kelanggengan nasab manusia.11 12 Selain dari hadits di atas, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Sa‟ad ibn Abi Waqqas, dan Abi Bakrah. Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang menasabkan keturunannya kepada seorang yang bukan bapaknya, sedangkan ia mengetahui (bahwa ia bukan bapaknya yang sah), maka haram baginya surge di hari akhirat kelak. Dalam konteks inilah, meskipun dilakukan pula oleh Rasulullah dan banyak umat Islam, sistem pengangkatan anak tidak dapat memberikan nasab kepada sesorang.13 11 Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz 10. H. 1 12 Sulaiman ibn Asy‟ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar alFikr, tth), Juz I, h. 688, hadits no. 2262 13 Wahbah al-Zuhaility, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 10, h. 2. 59 Perkawinan yang sah akan melahirkan anak yang sah pula, jika pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat berlangsungnya perkawinan yang sah. Lain halnya anak zina yang diartikan oleh para ahli Fikih sebagai anak yang lahir dari hubungan (badan) antara laki-laki dan perempuan tanpa dengan status perkawinan yang sah.14 Dalam suatu hadits disebutkan : 15 Dalam konteks hadits ini, menurut al-Syaukani dalam nail al-Authar, bahwa penentuan keturunan (nasab) seseorang hanya dihubungkan kepada bapak, setelah adanya kepastian antara kedua suami istri telah melakukan hubungan badan, serta dengan akad pernikahan yang sah. Menurut Ibnu Qayyim, seperti dikutip al-Syaukani, kata “firasy” dalam hadits ini menjadi dasar pembuktian nasab dalam Islam. 16 14 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h 279 15 نصا دة انفزاش: ًفي نفظ نهثخا ري. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, subbab Anna Al-Walad li al-firasy. Dalam Shahih Muslim Hadits ini disebutkan: ددثنا فتيثح تن سعيد دد ثنا نيث ح ًدد ثنا يذًد تن ريخ اخثزنا انهيث عن اتي شيا ب عن عزًج عن عا ئشح اختصى سعد تن اتي ًقا ص ً عثد سيعح في غالو فقا ل سعد ىذايا رسٌ ل اهلل اتن اخي عتثح تن اتي ًقا ص عيد:انيا قا نت اني عنو اتنو انظزاني شثيو ًقا ل عثد تن سيعح ىذا اخي يا رسٌ ل اهلل ًند عهي فزا ش اتي ين ًنيدتو فنظز رسٌ ل اهلل صهي اهلل عهيو ًسهى اني شثيو فزاي شثيا تعتثح فقا ل ىٌ نك يا عثد انٌند نهفزاش ًنهعاىز انذجز Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-arabi, tth), Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II, hal. 1079. Hadits nomor 1457. Lihat Pula, Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, dkk, Juz III, h. 462, hadits nomor 1156. 16 Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa alAkhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari [email protected]. 60 Menurut Wahbah al-Zuhailiy, hadits ini menunjukkan bahwa nasab hanya diambil dari bapak dan ibu yang menjalin hubungan perkawinan yang sah. Firasy diartikan sebagai perempuan yang telah diketahui oleh khayalak umum, bahwa ia adalah isteri (dari lelaki) yang sah.17 Dari penjelasan di atas, bila dibandingkan dengan uraian dalam Shahih Muslim,18 dapat diambil benang merah, bahwa dalam Islam pengakuan atas anak oleh orang tua (termasuk pula dengan nasabnya yang sah) hanya bisa dilakukan ketika perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan telah terikat hubungan yang sah sebagai suami istri. Dengan kata lain, anak sah hanya boleh diakui dengan akad pernikahan yang sah pula. Oleh karena itu, jelaslah bahwa anak-anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah tetap berkedudukan sebagai anak sah, meskipun suatu saat terjadi pembatalan perkawinan. Sebab kata Firasy dalam hadits di atas dapat dipahami yaitu mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain pemilik alas tidur tersebut setelah adanya perkawinan yang sah adalah laki-laki yang menjadi suaminya. Selain itu dalam pandangan ulama Fikih dikenal juga istilah anak syubhat. Menurut Jawad al-Mughniyyah, mengutip dari berbagai pandangan Ulama, anak syubhat yaitu anak yang dilahirkan dari percampuran (persetubuhan) syubhat, hal ini terjadi manakala seorang laki-laki mencampuri 17 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz 10, h. 3 18 Lihat, Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim. Penjelasan hadits nomor 1457, jilid II, h. 1079 61 seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram untuk dicampuri, baik karena haram untuk selamanya atau bersifat sementara. Syubhat terbagi dua yaitu syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan.19 a. Syubhat dalam Akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang wanita seperti biasa, tapi ternyata akadnya tersebut fasid. b. Syubhat dalam tindakan, yaitu manakala seorang laki-laki mencampuri seorang wanita tanpa adanya akad antara keduanya, baik sah maupun fasid, semata-mata karena tidak sadar melakukannya bahwa wanita tersebut tidak halal dicampurinya. Nasab hasil persetubuhan syubhat ini dianggap sah oleh para ulama, sehingga seorang anak dapat ditetapkan pada bapaknya. Kalaupun seorang lelaki tersebut tidak mengakuinya, maka tidak akan menafikan adanya nasab (secara hakiki), bahkan lelaki tersebut dipaksa untuk mengakui. 3. Status Anak Menurut Hukum Perdata Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan lain sebagainya.20 Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan 19 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB, dkk. (Jakarta: Lentera, 2001) cet VII, H. 389 20 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992). Hal. 83 62 negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang mental dan spiritualnya secara maksimal.21 Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit. Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundangundangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya, Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut kekuasaan orang tuanya, Dalam Inpres RI No 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan 21 21 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 52 Darwin Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, 2003). Hal. 80 63 bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan.22 Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dianggap dewasa, Menurut penelitian Supomo tentang Hukum Perdata adat di Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi : a. Dapat bekerja sendiri b. Cakap untuk melakukan apa yang di syaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab. c. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri Dalam K.U.H.Perdata dan juga dalam UUP berlaku prinsip bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.23 Hal ini menjelaskan bahwa keturunan yang sah yang di maksud di atas adalah anak sah termasuk dari anak dan seterusnya ke bawah. Pasal 250 K.U.H.Perdata mengemukakan bahwa “ Tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Dari pasal di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 22 Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki (Ayah) Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang), (Semarang: Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005). Hal 32 23 Prinsip yang sama berlaku juga dalam hukum di Amerika Serikat, “Legitimacy is defined primariliy by reference to the marital status of the child‟s parents‟. 64 Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak perkawinan itu ada sampai perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan dilangsungkan secara sah sampai perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. 24 Kemudian pada kata”ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata verwekt yang bisa juga diberikan arti “dibenihkan”. Kata suami dalam rangkaian kata-kata memperoleh si suami sebagai ayahnya, mempunyai arti suami dari perempuan yang melahirkan anak tersebut.25 Dari penjelasan di atas, terdapat dua ukuran yang dipakai oleh pembuat Undang-undang untuk menetapkan siapa ayah seorang anak, jika anak tersebut lahir dalam suatu keluarga, yang orang tuanya menikah secara sah. Selanjutnya, dari bunyi ketentuan pasal 250 tersebut di atas, orang menyimpulkan bahwa “anak yang lahir sepanjang perkawinan bapak-ibunya, dan anak yang dibenihkan di dalam perkawinan bapak-ibunya adalah anak sah dari kedua orang tuanya artinya ukuran pertama ayah dari seorang anak tersebut adalah bapak/ayah yang membuahi perempuan yang melahirkan anak tersebut di dalam perkawinan. 24 25 Pasal 199 KUHPer dan pasal 38 UUP. J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), cet II, hal. 19. 65 Sedangkan ukuran kedua siapa ayah dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan orang tua mereka adalah berangkat dari anggapan bahwa yang membuahi sesuai dengan umumnya terjadi yaitu suami si perempuan yang melahirkan itu adalah ayahnya. Akan tetapi jika kenyataannya berbeda, maka ayah dari seorang anak tersebut adalah suami si perempuan yang melahirkan anak tersebut meskipun suami tersebut tidak pernah membuahi si perempuan tersebut.26 Sehubungan dengan penjelasan di atas, perlu dicermati juga bunyi anak kalimat terakhir pasal 199 sub 4 K.U.H.Perdata berkata tentang “karena perceraian sesuai dengan ketentuan dalam bagian ketiga bab ini” adalah agar kita memperhatikan ketentuan pasal 221 K.U.H.Perdata yang berbunyi “Perkawinan bubar karena perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register catatan sipil”. Dalam pasal 221 K.U.H.Perdata di atas dapat dipahami bahwa perkawinan dapat dikatakan bubar atau putus disebabkan karena adanya keputusan perceraian dari pengadilan dan juga harus didaftarkan keputusan perceraian itu di kantor catatan sipil. Kemudian lain halnya dengan bunyi pasal 38 UUP mengatakan bahwa perkawinan dapat diputus karena : kematian, perceraian, dan atas keputusan peradilan. Jadi, menurut UUP, pencatatan dalam register di kantor pencatat nikah bukan merupakan syarat 26 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal 24. 66 putusnya perkawinan. Dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dengan tegas menyebutkan “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan” Oleh karena itu, apabila pemutusan perceraian itu hanya ada keputusan perceraian dari pengadilan saja, tanpa adanya pendaftaran di kantor Catatan Sipil dalam jangka waktu enam bulan, konsekuensinya adalah semua anak yang dilahirkan dalam masa enam bulan (6 bulan) sejak keputusan perceraian (yang tidak didaftarkan) lahir di dalam/sepanjang perkawinan orang tuanya maka anak tersebut dikatakan sebagai anak sah.27 Sebagaimana yang telah diketahui bahwa anak-anak yang tumbuh atau dilahirkan sepanjang perkawinan ayah dan ibunya disebut anak sah. Oleh karena itu, manakala anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak terikat dalam suatu perkawinan disebut anak-anak tidak sah atau anak-anak luar kawin (onwettige, onechte, natuurlijke kinderen). Anak-anak yang tidak sah atau anak luar kawin dibedakan menjadi dua golongan yaitu: a. Anak-anak luar kawin yang bukan anak zina (overspelig) atau anak sumbang (bloed schennis) maksudnya adalah anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah 27 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, hal. 19-20 67 b. Anak-anak luar kawin hasil zina (overspelige kinderen), artinya anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah.28 Pengertian anak luar kawin dalam undang-undang digunakan dua arti yaitu: Pertama, dalam arti luas, adalah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan termasuk didalamnya anak-anak zina dan anak sumbang; Kedua, dalam arti sempit ialah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang bukan anak zina dan anak sumbang. Sejak tahun 1947, B.W. Belanda telah mengalami perubahan dan dewasa ini telah dimasukkan kedalam pasal 221 ayat 1 B.W.N. yang berbunyi :”Anak-anak tidak sah mempunyai kedudukan sebagai anak alami ibunya. Ia memperoleh kedudukan sebagai anak sah setelah diakui ayahnya”. B.W. di Indonesia mengatur tentang pengesahan anak luar kawin dalam bagian II, sedangkan pengakuan anak diatur dalam bagian III bab XII. Undang-undang mengenal dua jenis pengakuan anak, yaitu : a. Pengakuan dengan sukarela Pengakuan adalah suatu pernyataan kehendak yang dilakukan oleh seseorang menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang bahwa ia adalah ayah (ibu) dari seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Dengan pengakuan tersebut, maka timbul hubungan perdata antara anak dengan ayah (ibu) yang telah mengakuinya (pasal 280 B.W.). 28 R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en femilie-recht), (Surabaya: Airlangga University Press, 1991), Hal 164-165 68 b. Pengakuan dengan paksaan Pengakuan dengan paksaan yang di maksud di sini, adalah keputusan Pengadilan yang menetapkan perihal ibu atau ayah seorang anak luar kawin.29 Oleh karena itu, anak-anak luar kawin yang tidak diakui oleh bapaknya, akan tetapi setelah adanya pengakuan maka ia dinasabkan kepada ayah yang mengakuinya. Akan tetapi, lain halnya dengan seorang anak luar kawin yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, meskipun sudah mendapatkan pengakuan dari ayah yang mengawini ibunya, tetap saja nasabya di hubungkan kepada ibunya. Dengan demikian, anak tersebut tidak berhak mendapat hak atas ayah suami ibunya. B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan berlawanan jenis dalam satu ikatan keluarga. Secara sederhana, pernikahan dapat pula dipahami sebagai jalan legal untuk memenuhi hajat biologis, persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, berdasarkan ajaran Islam.30 29 R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en femilie-recht), hal. 181 30 M. Cholil Nafis, dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), cet I, hal. 3 69 Sebuah pernikahan yang sah tentunya akan menghasilkan anak yang sah, jika proses pembuahan dan lahirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan yang sah. Kehadiran seorang anak berpengaruh terhadap keharmonisan sebuah keluarga. Anak merupakan salah satu anugerah yang Allah berikan kepada pasangan suami istri. Oleh karenanya seorang anak mempunyai hak-hak atas orang tuanya, seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tua, mendapat biaya pendidikan dan pengasuhan, mendapatkan harta dari orang tuanya bahkan ketentuan dan kepastian nasab. Jika dihubungkan dengan status anak yang dilahirkan atas pernikahan yang yang dilarang untuk selamanya, menurut Majelis Hakim yang menangani putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk berpendapat: Ketika disuguhkan sebuah pertanyaan atas kasus putusan tersebut di atas, terlebih dahulu Ketua Majelis Bapak Drs. Azid Izuddin, M.H. menceritakan secara detail perihal kasus yang ia putus. Menurutnya, pada saat ia menangani kasus ini memang pada awalnya pernikahan antara Pemohon dan Termohon sudah fasid, sebab keduanya pun menyadari bahwa mereka masih saudara seibu, ketika proses pengajuan bukti dan saksi dalam persidangan. Akan tetapi karena telah terjadi pembuahan di luar perkawinan yang dilakukan oleh kakak kandungnya, sehingga mengakibatkan kehamilan maka keduanya pun kemudian dinikahkan secara sah oleh walinya. Padahal walinya pun selalu berpesan bahwa setelah akad nikah dilakukan, keduanya di suruh untuk secepatnya membatalkan perkawinan, karena pada hakekatnya pernikahan tersebut dilarang. Selang 70 beberapa waktu dari perkawinan keduanya, akhirnya tepatnya pada tahun 2009 setelah bapaknya meninggal dunia Pemohon pun mengajukan permohonan cerai thalak. Dalam putusan subsidairnya dikatakan bahwa antara Pemohon dengan Termohon batal demi hukum untuk selamanya sebab perkawinannya dinyatakan fasid/rusak. Dari pemaparan kasus di atas, menurut Ketua Majelis bahwa pada dasarnya pernikahan kedua insan tersebut sudah fasid/rusak meskipun belum dijatuhi putusan dari Pengadilan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan anak yang dilahirkan dari keduanya, menurut Ketua Majelis anak tersebut masih dikatakan sebagai anak sah, sebagaimana tercantum dalam pasal 75 Kompilasi Hukum Islam (KHI) point b: Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.31 Dalam penjelasan lain pun diungkapkan bahwa seorang anak yang dilahirkan selama 180 hari atau 6 bulan masih disebut sebagai anak sah jika dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa meskipun perkawinannya itu batal demi hukum, tetap saja anak yang dilahirkan dari hubungan suami istrinya tersebut di sebut anak sah, jika masa kehamilan sampai kelahirannya mencapai 180 hari atau 6 bulan. Lamanya waktu tersebut telah disebutkan dalam Fikih dan Hukum Perdata.32 31 Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Jakarta, 29 April 2011 32 Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Jakarta, 29 April 2011 71 C. Analisa Penulis Kajian mengenai kedudukan anak merupakan hal yang sangat mendasar bagi kehidupan umat manusia. Agama Islam dengan Al-Quran sebagai sumber utama ajarannya yang universal diyakini telah mengkaji segala aspek kehidupan, termasuk persoalan status anak. Dari sini kita bisa dapat mengetahui tentang kedudukan seorang anak. Kedudukan anak dalam Islam sangat tinggi dan mulia. Al-Qur‟an memposisikan sebagai perhiasan dunia, anak juga sebagai hiburan. Oleh karena itu dalam puisi arab kuno disebutkan: Anak-anak adalah Belahan jiwa kita yang berjalan di atas persada Bila angin kencang menerpa.33 Pernyataan ini merupakan ungkapan kasih sayang orang tua yang sangat menaruh kasih sayang kepada anaknya, kerana secara alamiah, anak-anak memang selalu belajar kepada hal-hal yang mengandung kasih sayang, lemah lembut dan belas kasihan. Pembahasan kali ini adalah tentang kedudukan anak akibat pembatalan perkawinan karena orang tuanya masih mempunyai hubungan sedarah, seibu. Secara garis besar, anak terbagi atas beberapa macam yaitu anak sah (anak kandung), anak zina, anak angkat, Anak Susuan, Anak Pungut, dan Anak Tiri. 33 Dewan Ulama al-Azhar (Mesir), Ajaran Islam tentang Perawatan Anak, Terjemahan Alwiyah Abdurrahman (Bandung: ttp, 1987).cet II, Hal 15. 72 Dalam literatur Hukum Islam yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan anak terbagi atas dua macam, yaitu anak sah dan anak luar perkawinan. Di bawah ini adalah macam-macam anak secara umum, yaitu: 1. Anak Sah (Anak Kandung) Anak Kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan oleh seorang ibu dan suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang memenuhi syarat. Perkawinan yang sah adalah jalan satu-satunya dalam tanggung jawab terhadap keturunan, baik ditinjau dari segi nafkah yang wajib, bimbingan, pendidikan maupun warisan.34 Anak kandung (anak sah) menjadi tumpuan harapan generasi penerus yang akan menyusun masyarakat selanjutnya. Generasi penerus sewajarnya merupakan generasi yang bertanggung jawab penuh dalam membentuk masa depan yang sehat dan kuat. Generasi penerus berarti manusia yang hidup dengan cita-cita yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan bangsa. Anak sah sangat erat hubungannya dengan ibu bapaknya sebab tidak dapat dipisahkan kuku dari daging dan darah tidak mungkin menjadi air serta air susu tidak mungkin menjadi tuba. Dilihat dari kedudukannya, anak sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, 34 Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991) cet. II, Hal. 33 73 pengawasan dalam ibadah dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai ia dewasa. Dalam perspektif Undang-undang nomor 1 tahun 1974, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 41 UUP).35 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Sedangkan anak luar nikah adalah anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (KHI Pasal 99 dan 100).36 Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa hubungan nasab/keperdataan anak terhadap orang tuanya bisa hanya bernasab pada ibunya dan keluarga ibunya untuk anak yang tidak sah, dan mempunyai hubungan nasab dengan ibu bapaknya (anak sah). 2. Anak Zina Anak Zina adalah Anak yang timbul di luar dari perkawinan. Zina berarti bergaul antara wanita dan pria tidak menurut ajaran Islam. Menurut 35 Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) cet V, Hal 81 36 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995). Cet II, hal 137 74 Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional mengatakan „Zina adalah perbuatan bersetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bergendak, dan sebagainya).37 Seorang anak yang dilahirkan dari hasil perzinaan sebenarnya tidak bersalah, tidak berdosa, dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu yakni kedua orang tuanya. Meskipun demikian, memang pada dasarnya status anak zina dalam Hukum Islam tidak dapat disandarkan kepada ayah dan Ibunya. Akan tetapi setelah anak ini lahir kedunia dan menjadi manusia biasa, maka ia pun memiliki hak hidup yang sama dengan mnusia biasa yang lain, hanya saja ia sudah kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai bapak yang sah. 38 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Anak Zina lebih akrab dikenal dengan anak luar kawin. Oleh karena itu, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan demikian, tanggung jawab atas semua keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya, begitu pun dengan masalah waris mewarisi. 37 W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005 ) cet, III, hal. 1280 38 Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Knadung, Anak Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991) cet II, Hal. 80 75 Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa akibat hukum bagi anak zina adalah sebagai berikut: a. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya, tapi hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya, sehingga bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis anak tersebut tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi bukan secara hukum; b. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab adalah salah satu penyebab kewarisan; c. Bapak tidak berhak menjadi wali bagi anak luar kawin, jika kebetulan anaknya perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.39 3. Anak Angkat Menurut Hukum Islam, status anak angkat adalah sama dengan orang lain dan tidak mempunyai hubungan nasab atau silsilah dengan orang yang mengangkatnya (mengadopsi). Nasab tetap dihubungkan dengan orang tua kandungnya.40 Oleh karena itu, sungguh pun Zaid bin Haritsah dijadikan anak angkat oleh Nabi Muhammad Saw dia tetap dipanggil dengan sebutan Zaid bin Haritsah dan tidak boleh disebut Zaid bin Muhammad karena dapat 39 40 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 195 M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, (Jakarta: PT. AlMawardi Prima, 2003) cet. I, Hal. 217 76 mengacaukan hubungan mahram, waris dan perwalian nikah. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 : . 4 33 5 Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu…………..(QS. ALAhzab/33:4-5). Oleh karena anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua angkatnya, maka anak angkat boleh dinikahi oleh ayah, ibuatau saudara angkat. Demikian juga bekas suami atau bekas istri anak angkat boleh dinikahi oleh orang tua angkat. Sehubungan anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua angkatnya, maka berlaku hukum sebagai berikut: a. Orang tua angkat beserta keluarganya tidak berhak menjadi wali pernikahan anak angkat perempuan; 77 b. Anak angkat laki-laki tidak berhak menjadi wali pernikahan saudara angkat perempuan; c. Orang tua angkat beserta keluarganya tidak boleh khalwat (berdua-duaan) dengan anak angkat yang berlainan jenis dan telah baligh; d. Menurut Imam Syafi‟I, persentuhan kulit anak angkat dengan orang tua angkat beserta keluarganya yang berlainan jenis membatalkan wudlu.41 Dari penjelasan ketiga macam anak di atas, jika dihubungkan dengan perkawinan yang batal demi hukum karena terjadi kefasidan dalam perkawinannya adalah: Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat syahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah, menikahi saudara kandungnya sendiri, dan sebagainya. Menurut Kesepakatan Ulama Fiqh, penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi Ulama Fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam perkawinan fasid tersebut: a. Suami punya kemampuan menjadikan istrinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan istrinya tidak hamil; b. Hubungan senggama bisa dilakukan; 41 M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, hal. 220 78 c. Anak dilahirkan dalam masa waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan sengama (menurut ulama hanafiyah). Apabila anak tersebut lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut jika wanita tersebut sudah menikahi dengan laki-laki yang lain.42 Dalam literatur yang lain yaitu Kompilasi Hukum Islam dan hasil wawancara dengan Drs. Azid Izuddin, M.H. selaku Hakim Ketua di Pengadilan Agama Depok yang menangani kasus putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk menyatakan bahwa kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan fasid atau setelah terjadinya pembatalan perkawinan baik untuk selamanya atau pun sementara, tetap saja kedudukan anaknya masih dikatakan sebagai anak sah, sebab dalam KHI Pasal 75 (b) diungkapkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Kemudian dalam selanjutnya yaitu pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Di samping itu dalam Hukum Perdata pun diungkapkan bahwa apabila kelahiran anak sudah mencapai umur 180 hari/ enam bulan dari perkawinannya maka anak tersebut disebut anak sah. Dihubungkan dengan putusan nomor 42 Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, h. 10, diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada 3 Januari 2011 79 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang status anaknya, maka sudah jelas bahwa kelahiran anak pertamanya lebih dari 6 bulan/180 hari, sehingga anak itu disebut sebagai anak sah. Meskipun hukum perkawinan kedua orang tuanya dilarang dan dinyatakan fasid/rusak. Kedudukan anak tentunya bersentuhan dengan hak-hak anak terhadap orang tuanya. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa, Hak asasi manusia. Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi Hak anak dapat dikelompokkan menjadi: 1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights) 2) Hak terhadap perlindungan (protection rights) yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran. 3) Hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak 4) Hak untuk berpartisipasi43 Ikatan kekeluargaan dapatlah timbul berbagai hubungan. Apabila perkawinan melahirkan seorang anak, maka kedudukan seorang anak dengan 43 Absori, “Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implmentasinya di Indonesia Pada Era Otonomi Daerah” artikel diakses pada 30 Mei 2011 dari http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=hak+anak&oq=hak+anak&aq=f&aqi=g10&aql=&gs _sm=e&gs_upl=338236l344746l0l10l10l1l1l1l0l809l3569l0.1.1.1.2.2.1&fp=141010c178f24899&bi w=1024&bih=507. 80 orang tuanya menimbulkan persoalan sehingga dirasakan adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara mereka. Aturan-aturan hukum antara keduanya bersentuhan erat dengan konsep hak dan kewajiban antara orang tua kepada anaknya atau sebaliknya. Kewajiban orang tua terhadapa anaknya, essensinya adalah demi pertumbuhan anak agar menjadi anak yang baik, yaitu dengan memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tidur, kebutuhan keamanan dan perlindungan, kebutuhan untuk dicintai orang tua, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan untuk menyatakan diri baik. Dalam pasal 9 Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orang tua yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik, jasmani, maupun sosial. Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, dijelaskan bahwa tugas antara masyarakat, keluarga, dan pemerintah adalah bertanggung jawab di dalam kegiatan perlindungan anak, di samping seorang anak merupakan amanah dari Allah SWT, juga anak merupakan penerus keturunan dari sebuah keluarga dan anak merupakan generasi penerus bangsa. Sebagai generasi penerus bangsa dan penerus keturunan keluarga, hendaknya kelahiran seorang anak dihasilkan atas perkawinan yang sah. 81 Perkawinan yang sah akan menghasilkan keturunan yang sah (anak sah), dan keturunan yang sah akan menghasilkan generasi yang baik. Seorang anak sah yaitu seorang yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, secara langsung ia dinasabkan kepada bapaknya. Ia pun kemudian mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi harta ayah dan ibunya. Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak akan terputus sampai kapanpun, meskipun anak yang dihasilkannya dari perkawinan yang dilarang oleh agama, tetap saja ayah ibunya berkewajiban memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Bahkan kedudukan (status) anak tersebut tidak berubah, tetap menjadi anak sah. Lain halnya jika status anak yang dilahirkan adalah anak luar kawin atau anak zina, ia hanya mendapatkan pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah mengkaji dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Untuk penulis ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hal tersebut : 1. Dalam sebuah putusan tentunya tidak akan lepas dari pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus sebuah perkara/kasus. Dalam kasus putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Penulis sadar bahwa putusan tersebut pada hakekatnya tidak mengandung masalah, akan tetapi yang dipertanyakan oleh Penulis adalah status anak akibat pembatalan perkawinan dalam putusan tersebut. Setelah penulis melakukan wawancara dengan Hakim Ketua yang memutus nomor perkara tersebut, akhirnya penulis mengetahui bahwa pertimbangan Hukum yang dipakai oleh Ketua Majelis adalah berdasarkan fakta-fakta yang ada dikorelasikan dengan pasal-pasal dalam KHI dan fiqh. Dalam KHI, Majelis Hakim menilai bahwa pada dasarnya perkawinan tersbut dari awalnya sudah rusak/fasid, meskipun belum ada pengesahan dari pengadilan. Oleh karena itu, ketika di tanya terkait dengan status anaknya, Majelis Hakim berkomentar menurut pasal 75 b KHI yakni anak tersebut tetap menjadi anak sah sebab keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku atas status anak. Di samping itu, Hakim Ketua pun menambahkan bahwa pada 82 83 pasal 99 dan 100 KHI, jelas sekali bahwa anak tersebut dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun perkawinannya dilarang. Maksudnya adalah meskipun kedua orang tuanya dilarang melakukan perkawinan karena masih saudara sekandung, tetap saja anak tersebut disebut sebagai anak sah. Alasannya adalah karena pada awalnya perkawinan tersebut berstatus perkawinan fasid/rusak. 2. Perkawinan merupakan sunnatullah yang dapat menyatukan dua insane yang berbeda menjadi satu dalam ikatan yang suci dan sacral. Karena sifatnya yang begitu suci dan agung, sebagai manusia kita harus memenuhi segala syarat dan rukunnya jika ingin melakukan proses pernikahan. Apabila dalam pelaksanaannya di temukan kecacatan dalam perkawinannya atau terjadi kecacatan, itu berarti perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan atas usulan dari pihak suami/istri, kerabat keduanya, atau pihak-pihak yang berkepentingan yang mengetahui kecacatan dalam perkawinan tersebut. Oleh karena itu, pembatalan perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan/fasakh yaitu terjadinya syiqaq, adanya cacat, ketidakmampuan suami member nafkah, suami ghaib, dan dilanggarnya perjanjian perkawinan. Adapun factor-faktor yang menyebabkan perkawinan itu dapat dibatalkan, 84 menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suami melakukan perkawinan kelima setelah mempunyai empat istri, menikahi istri yang telah di li‟an, menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak tiga, perkawinan yan dilakukan oleh sesame saudara kandung, semenda, dan sesusuan. Dari faktor-faktor di atas, jelas dapat membatalkan perkawinan baik untuk sementara atau pun selamanya. Meskipun demikian, tentunya hal tersebut berakibat pada status/kedudukan anak yang dilahirkan olehnya sebelum perkawinan tersebut dibatalkan. Anak merupakan anegerah terindah yang Allah titipkan kepada setiap pasangan suami istri, karena anak merupakan harta yang begitu besar dalam hidup berkeluarga, tentunya anak mempunyai hak atas kedua orang tuanya termasuk status dirinya sebagai anak. Akan tetapi jika perkawinan orang tuanya batal demi hukum karena ternyata masih saudara sekandung seibu, maka status anak pun bisa saja berubah. Berubahnya status anak pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap hubungan antara dirinya dengan kedua orang tuanya, maksudnya anak tersebut pada hakekatnya tetap menjadi anak dari orang tua yang melahirkannya. Oleh karena itu, sebelum kita menafsirkan bahwa anak tersebut bukan lagi anak sah, lebih baik jika kita melihat dari beberapa segi yaitu: Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 75 b, jelas dikatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan orang tuanya tidak berlaku surut kepada anak yang dilahirkannya. Hal tersebut berarti, meskipun anak tersebut hasil perkawinan sekandung, maka tetap saja anak tersebut 85 masih di sebut sebagai anak sah, sedangkan yang batal hanyalah ikatan perkawinannya saja. Sedangkan menurut Hukum Perdata, dalam menyebutkan pengertian anak sah dan anak luar kawin/anak zina menyatakan bahwa status anak dapat dikatakan sebagai anak sah atau tidak jika dilihat dari segi usia kehamilan sampai melahirkan, apakah sudah mencapai 180 hari/6 bulan. Jika anak tersbut lahir atau tumbuh sepanjang perkawinan maka suami dari ibunya adalah bapaknya (anak tersebut adalah anak sah), dan apabila seorang anak dilahirkan belum lahir sebelum hari ke 180 hari, maka suami bisa melakukan pengingkaran atas status anak tersebut. Hal tersebut berarti, dalam Hukum Perdata di ungkapkan bahwa apabila seorang anak dilahirkan dan tumbuh sepanjang perkawinan dan dilahirkan setelah melewati 180 hari, maka jelas anak tersebut di sebut sebagai anak sah. Hal ini tertuang dalam pasal 250 dan 251 BW. Penjelsan ini sama juga diungkapkan dalam ilmu Fiqh. 3. Perbandingan hukum status anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hadits Nabi tentang Nasab, dan Hukum Perdata adalah: Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak sah adalah anak yang dilahirkan atau akibat perkawinan yang sah, dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh tersebut. Sedangkan anak luar kawin yaitu anak yang lahir di luar perkawinan, yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (tercantum dalam pasal 99 dan 100 KHI). 86 Sedangkan Menurut Hadits Nabi tentang Nasab, anak sah adalah anak yang nasabnya disandarkan kepada bapaknya dari hasil perkawinan yang sah dan jika proses pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat masih berlangsungnya perkawinan yang sah. Di samping itu, menurut Ibn Qayyim al Jauziyyah yang menafsirkan lafadz “firasy” dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan secara Jamaah kecuali Abu Daud menyatakan bahwa firasy menjadi dasar pokok penetapan nasab dari seorang anak, Maksudnya firasy di atas, dapat kita pahami bahwa seorang anak sah adalah anak yang dilahirkan dari mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain, alas tidur di sini adalah setelah adanya perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menjadi suaminya. Adapun dalam Hukum Perdata, anak sah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah dan setelah melewati 180 hari dari kehamilan sampai anak tersebut dilahirkan. B. Saran-Saran Setelah ada beberapa kesimpulan diatas, Penulis juga ingin memberikan beberapa saran-saran yang penulis berikan kepada semua pihak terkait dalam permasalahan ini : Kepada semua kaum adam dan Hawa, apabila ingin melakukan prosesi pernikahan, sebaiknya diteliti dan selidiki dulu siapa calonnya. Karena dengan seperti itu, dapat mencegah dan mengurangi kekhidmatan berumah tangga atau 87 mencegah terjadinya kesalahan, kepalsuan, atau kecacatan baik ketika sebelum akad maupun setelah akad. Dengan kita melakukan penyelidikan secara seksama, proses pernikahan pun akad berlangsung dengan khidmat, bahkan nantinya akan berakibat baik kepada istri maupun anak-anaknya. Kemudian Kepada setiap pasangan suami istri, hendaknya selalu memperhatikan dan menyayangi anak-anaknya, sebab anak adalah anugerah yang Allah berikan kepadamu. Dengan hadirnya seorang anak, rona rumah tangga akan semakin harmonis. Di samping itu, sebaiknya orang tua memberikan hak-hak atas anaknya termasuk status sebenarnya anak tersebut. Sepahit apa pun kenyataannya, mereka mempunyai hak untuk mengetahuinya. Kepada Pemerintah atau pejabat Negara yang mengurus pernikahan, diharapkan dalam persyaratan administratif atau pun lainnya agar lebih teliti, seksama, dan telaten supaya dikemudian hari tidak terjadi kesalahan, ada syaratsyarat atau rukun-rukun yang belum terpenuhi, atau ada sebab lain yang mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah atau batal. Dapatkanlah sosok keturunan yang sah yakni keturunan yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian, anak tersebut berhak mendapatkan hak-haknya secara penuh dari bapaknya bahkan nasabnya pun disandarkan kepada bapaknya. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran al-Karim Al-Quran dan Terjemahannya A.Hassan, Tarjamah Bulughul Maram-Ibnu Dipenogoro, 2006, cet XXVII Hajar al-Asqalani, Bandung: Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. cet V Abdul Rahman I Doi, Syariah 1 Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1995, Cet II Absori, “Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implmentasinya di Indonesia Pada Era Otonomi Daerah” artikel diakses pada 30 Mei 2011 dari http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=hak+anak&oq=hak+anak&aq= f&aqi=g10&aql=&gs_sm=e&gs_upl=338236l344746l0l10l10l1l1l1l0l809l3569 l0.1.1.1.2.2.1&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=507 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulumuddin, Semarang: Toha Putra,tth, jilid II abu Jubab, Sa’d, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, Damaskus: Dar al-Fikr, 1993. Cet III Ahmad Mudjab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Mutafaq Alaih Bagian Munakahat dan Mu‟amalat, Jakarta: Kencana, 2004, cet I 88 89 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tth juz.II, Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, cet. Ke-2 Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tth, juz 10 Amini, Ibrahim, Anakmu, AmanatNya, Jakarta: Al-Huda, 2006, cet I Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2004 as-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami , Jakarta: Amzah, 2010, cet. I Azhar Baasyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 2000, Cet. 9 Azis Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996, cet. ke-1, jilid 4 Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 Darwin Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Bangsa Pres, 2003 Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009, cet I 90 Dewan Ulama al-Azhar (Mesir), Ajaran Islam tentang Perawatan Anak, Terjemahan Alwiyah Abdurrahman, Bandung: ttp, 1987.cet II Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta: 1985 Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta: Departemen Agama, 2006 Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum 9Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam rentang sejarah Bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006 Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Knadung, Anak Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991, cet II Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta :Kencana, 2003 Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992 Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor s1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan: CV. Zahir Trading Co, 1975. Cet. 1 91 Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, cet II Ibnu Manzur, Lisan al-„arab Juz III, Qatar: Dar al-Fikr, 1994 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, cet II Kamil, Ahmad, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, tth Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995 M. Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 M. Cholil Nafis, dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah Terapan Fikih Sosial Kiai Sahal, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010, cet I M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, Jakarta: PT. AlMawardi Prima, 2003. cet. I Miladi, Ahmad, Fasakh Nikah dengan alasan Salah satu Riddah dan Akibat Hukumnya (studi di Pengadilan Agama Depok), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Malang: PSG Publishing dan Pilar Media, 2006 Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB, dkk. Jakarta: Lentera, 2001, cet VII 92 Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa alAkhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari [email protected] Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, dkk, Juz III Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-arabi, tth, Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II Muslim, Imam, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tth Nelli, Jumni, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional, Makalah diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada tanggal 3 Januari 2011 Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki (Ayah) Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang), Semarang: Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005 R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en femilie-recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007 cet. Ke-38 Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007 Sanapiah, Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003, cet VI 93 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Judul Asli Fiqhu Al-Sunnah, Bandung: Al Ma'arif, 1980, Cet. I Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), Judul Asli Fiqhu Al- Sunnah, Bandung : Al Ma’arif, 1990, Cet. VII, Jilid 6 Shiddiqie, Nourrouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet I Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UI Press, 1999, cet II Sulaiman ibn Asy’ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar alFikr, tth, Juz I Sunggono, Bambang, metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, cet VI Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000, cet III Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat, dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006. Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2002 Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri an-Nasab, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, cet 1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, cet V Zahroh, Abu, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950