ahmad syadhali-fsh

advertisement
STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD SYADHALI
NIM: 107044101992
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD SYADHALI
NIM: 107044101992
Di bawah Bimbingan
Pembimbing
DR. JM. Muslimin, M.A., Ph.D
NIP: 150 292 489
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL ASYSYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul STATUS ANAK AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Depok Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk) telah diajukan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 19 Rajab 1432 H, 21 Juni 2011M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan
Agama).
Jakarta, 21 Juni 2011M
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM
NIP. 195 505 051 982 031 021
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
NIP. 195 003 061 976 031 001
2. Sekretaris
: Hj. Rosdiana, MA.
NIP. 196 906 102 003 122 001
3. Pembimbing
: Dr. JM. Muslimin, MA., Ph.D
NIP. 150 292 489
4. Penguji I
: Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 195 505 051 982 031 021
5. Penguji II
: Mu’min Rouf, MA.
NIP. 197 004 161 997 031 004
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Neeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Mei 2011
AHMAD SYADHALI
NIM: 107044101992
‫بسم اهلل الر محن الر حيم‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala pujian serta syukur yang tak terhingga penulis panjatkan
kehadirat Allah Swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayangNya.
Dengan
limpahan
kasih
sayang-Nya,
syukur
Alhamdulillah
penulis
mendapatkan limpahan kekuatan, tebalnya keyakinan, dan tekad yang kuat sehingga
penulis dapat menyeselesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Shalawat teriring salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya yang telah menebarkan cahaya islam keseluruh penjuru dunia
sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam.
Skripsi merupakan bentuk nyata dari sebuah perjuangan mahasiswa selama
menuntut ilmu di bangku kuliah. Sama halnya dengan penulis, bentuk nyata yang
dipersembahkan penulis kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syatif Hidayatullah
Jakarta adalah karangan ilmiah yang disebut skripsi. Dalam proses penulisannya,
berbagai hambatan, kesulitan, kebingungan, dan kebekuan berfikir pernah penulis
alami. Akan tetapi, dengan kekuatan yang Allah berikan penulis pun berhasil
menangkis semua hambatan tersebut.
Keberhasilan yang penulis raih, tentunya tidak akan terlepas dari peran dan
dukungan serta doa-doa dari para kerabat, sahabat, dan orang-orang yang penulis
kasihi maupun yang mengasihi penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
v
vi
terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis
dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Keluarga besar Bapak Zaini dan Ibu Umyati sebagai kedua orang tua Penulis,
yang senantiasa selalu menjadi motivator, penyejuk jiwa, penenang hati, dan
pendorong semangat serta yang selalu memberikan kekuatan batin. Dengan
segenap jiwa raganya, tetesan keringat, linangan air mata, teriknya mentari,
dinginnya hujan, tanpa lelah beliau berkorban demi keluarga hingga sekarang
ini penulis bisa berada di tingkat Universitas. Perjuanganmu tiada tara, kasih
sayangmu tak lekang oleh waktu. Semoga Allah selalu melindungi dan
menjagamu wahai ayah dan ibu,
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang
senantiasa selalu memberikan pencerahan dan motivasi bagi mahasiswa/I
Fakultas Syariah dan Hukum untuk meraih masa depan yang gemilang dan
berani bersaing dalam kancah perkembangan industri
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH dan Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan studi Ahwal-Asysyakhshiyyah yang
dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan
S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. JM. Muslimin, M.A, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing yang selalu
membimbing, mengarahkan, mengajarkan, dan memotivasi penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan. Jasa-jasa
vii
beliau begitu besar dan tiada tara, hanya doa yang bisa penulis sampaikan.
Semoga Beliau selalu diberikan kesehatan dan terus membimbing
mahasiswa/I kea rah yang lebih baik.
5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tak kenal
leleah mengajarkan penulis berbagai ilmu, pengalaman hidup, serta petuahpetuah kepada penulis. Besar harapan penulis semoga ilmu yang yang penulis
dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan orang
banyak pada umumnya serta menjadi bekal amal kebaikan bagi Bapak dan
Ibu;
6. Pimpinan dan segenaf Staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu
dalam kelancaran penulisan skripsi ini
7. Bapak ketua Pengadilan Agama Depok beserta Staf yang telah membantu
Penulis dalam kelancaran penulisan skripsi serta telah mengizinkan Penulis
untuk melakukan wawancara dengan Salah satu Ketua Pengadilan Agama
Depok. Tiada lain yang bisa penulis ungkapkan, hanya terima ksih dan doa
yang bisa penulis sampaikan, semoga Pengadilan Agama Depok semakin jaya
dan membanggakan.
8. Sahabat Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (FORSILA BPC) yang
senantiasa selalu membantu dan memotivasi Penulis dalam penulisan skripsi
ini. Tanpa dukungan dari mereka, mungkin Penulis belum dapat
viii
menyelesaikan
skripsi
ini.
Terima
kasih
kawan…terima
kasih
sahabat…Jasamu akan selalu aku kenang sampai aku mati.
9. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), dan Peradilan Agama.
B Angkatan 2007, yang telah banyak memberikan bantuan baik moril maupun
materil. Banyak sekali kenangan yang telah kita lalui bersama, kehadiranmu
senantiasa membuat aku bahagia, Pengorbananmu buat aku selalu ingat, canda
tawamu buat aku selalu merindukanmu. Terima kasih kawan…terima kasih.
Kenangan kalian akan selalu aku kenang di seumur hidupku
10. Sahabat-sahabat sejatiku angkatan 2007 (Munawar, Faiz Alfian, Abdul
Ghoni, Abdul Ghofur, Ade Qomaruzzaman, Ade Farid Farullah, Nanang
Muhajirin El-Hady, M. Afif Firmansyah, Hamzah Nasrullah, Chowas
Ahmad Sholeh) yang selalu setia menemani hari-hariku, kawan seperjuangan
dari SMA sampai sekarang, teman curhat kala penulis gundah, sahabat yang
bisa buat aku bahagia, sedih, dan tertawa. Thanks Sahabat. Aku selalu akan
merindukan kalian.
11. Teman-teman Delima (Tajul Muttaqin, Desi Amalia, Astrian Widiyantri, Laila
Wahdah, Mariah, dan Maryam Mahdalena) yang telah memberikan ruang
kehangatan setiap kali penulis bersamamu, selalu memberikan mootivasi dan
solusi kala Penulis Terjatuh, dan senantiasa selalu memberikan masukan
dalam penulisan skripsi ini. Thanks sahabat.
12. Sahabat band Dilema (Tajuddin, Riki Dian Saputra, Muhammad Mushlih,
Fajrri, dan Yayah siti Khoiriyah) yang telah bersama-sama melewati getirnya
ix
perjuangan di blantika music Indonesia serta telah memberikan support bagi
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Jaya terus sahabat dilemma, karyakaryamu akan selalu kami nantikan. Tetaplah maju di blantika music
Indonesia
Ciputat, 20
Mei
2011
18 Jumadil Tsani 1432
Ahmad Syadhali
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................
8
D. Metode Penelitian..................................................................
9
E. Review Studi Terdahulu ........................................................ 11
F. Sistematika Penulisan. .......................................................... 14
BAB II
: TINJAUAN TEORITIS
A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh ................... 16
B. Nasab Dalam Hukum Islam .................................................. 24
C. Hak dan Status Anak ............................................................. 29
D. Halangan Pernikahan ............................................................ 34
BAB III :
DESKRIPSI KASUS
A. Pihak Yang Berperkara ......................................................... 42
B. Duduk Perkara/Posita ............................................................ 42
C. Tuntutan/Petitum……………………………………………. 46
D. Pertimbangan Hukum............................................................ 47
E. Keputusan Majelis Hakim ..................................................... 50
x
xi
BAB IV :
ANALISA KASUS TENTANG STATUS ANAK
A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut
Hukum Islam dan Hukum Perdata ....................................... 51
1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 51
2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab ......... 54
3. Status Anak Menurut Hukum Perdata ............................ 61
B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat
Pembatalan Perkawinan ........................................................ 68
C. Analisa Penulis ...................................................................... 71
BAB V :
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 82
B. Saran ...................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 88
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah momen yang sangat penting dalam hidup seseorang,
karena akan dikenang sepanjang hidupnya. Pernikahan menyatukan dua insan
manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga akan menyatukan kedua keluarga
besar dalam jalinan persaudaraan, sehingga kedua keluarga besar tersebut bisa
saling mengenal lebih dekat satu sama lain sekaligus dapat menjalin ikatan
persaudaraan yang semula belum terikat menjadi lebih terikat.
Perkawinan merupakan sendi keluarga, sedangkan keluarga adalah sendi
masyarakat, bangsa dan umat manusia. Hanya bangsa yang tidak mengenal nilainilai kehormatan tidak mengutamakan tata aturan perkawinan.1
Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial dan sebagai makhluk
sosial manusia sudah tentu harus mengadakan interaksi antar sesamanya. Dengan
adanya interaksi tersebut, maka akan muncul berbagai peristiwa hukum yang
merupakan akibat dari interaksi tersebut. Salah satunya ialah perkawinan yang
merupakan sanatullah yang umum yang berlaku bagi semua makhluk Tuhan, baik
manusia, hewan, maupun tumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu perintah
agama kepada seseorang yang sudah mampu untuk segera melaksanakannya.
1
Ahmad Miladi, Fasakh Nikah dengan alasan Salah satu Riddah dan Akibat Hukumnya
(studi di Pengadilan Agama Depok), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Hal. 1
1
2
Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai nilai-nilai keagamaan
sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT dan mengikuti sunah Rasul. Di samping
mempunyai nilai-nilai kemanusiaan untuk memenuhi naluri hidup manusia juga
melestarikan keturunan dan mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan
rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat.2
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki- laki dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, perkawinan
juga sudah menjadi sunnah yang berlaku dan dilakukan oleh Rasul dimana Beliau
dijadikan tokoh teladan yang wajib diikuti jejaknya.3
Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan
satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi
jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.4
Dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan seperti yang
termuat dalam pasal 1 dan 2 yang didefinisikan dalam pasal 1 yaitu: “perkawinan
2
Ahmad Azhar Baasyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2000), Cet.
9, h. 13
3
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), Judul Asli Fiqhu Al- Sunnah, ( Bandung : Al Ma‟arif, 1990), Cet. VII, Jilid 6, h. 12
4
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), h. 374
3
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam pasal 2 “perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti yang terdapat
dalam pasal 2 dinyatakan perkawinan dalam Islam adalah “ aqad yang sangat kuat
atau miitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.5
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqon ghalidzon) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah
perkawinan. Untuk itu, perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa
abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya
keluarga sejahtera (sakinah, mawaddah dan rahmah) dapat terwujud.6
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita jelaskan bahwa hakikat
perkawinan adalah persekutuan hidup seorang pria dan wanita sangat kuat, kekal
dan tidak terputuskan. Kesatuan sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat
yang essensial dari perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan itu bukanlah sesaat
saja akan tetapi sekali untuk seumur hidup.
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), h. 114
6
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU no.1 Tahun 1974 Sampai KHI, (Jakarta :
Kencana, 2004), h. 206
4
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selama-lamanya
sampai mati dari salah seorang suami istri. Inilah yang sebenarnya yang
dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal – hal yang
menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap
dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan
putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah
tangga sehingga dengan di putusnya sebuah perkawinan akan menjadi jalan keluar
yang baik bagi dirinya maupun pasangan hidupnya.7
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir oleh beberapa hal, yaitu karena
terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena
perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain yang salah
satunya adalah karena adanya sebab fasakh atau adanya pembatalan perkawinan
demi hukum yang dilakukan di depan sidang pengadilan8.
Dalam hal terjadinya pembatalan perkawinan (Fasakh) telah diatur oleh UUP
dan KHI. Adanya pengaturan mengenai pembatalan perkawinan selain
dimaksudkan untuk penyempurnaan pengaturan ketentuan perkawinan juga untuk
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang timbul kemudian hari. Seperti
halnya perceraian, pembatalan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang
tidak jauh berbeda dengan masalah perceraian. Konsekuensi-konsekuensi tersebut
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana , 2007),
8
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta :Kencana, 2003). hal. 191
h. 190
5
berupa hak waris mewarisi, perwalian, pemberian nafkah, terutama kedudukan
anak/kejelasan nasab (keturunan).
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua. Sewaktu orang tua
masih hidup, anak sebagai penenang, dan sewaktu orang tua sudah meningal,
anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda
kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas. Keberadaan anak dalam
keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti, yaitu sebagai penyambung
keturunan, investasi masa depan, harapan untuk menjadi sandaran di usia lanjut,
dan modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status
sosial orang tua.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang nomor 1 tahun
1974 penulis hanya menemukan secara umum keterangan tentang kedudukan
(Status) anak. Status anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut. Kemudian jika seorang anak dilahirkan di luar
perkawinan maka ia hanya mempunyai nasab kepada ibunya, itu artinya bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan disebut anak luar kawin.
Dalam Hukum Islam ada ketentuan mengenai batasan kelahiran. Batasan
kehamilan yaitu batasan minimal kelahiran anak dari perkawinan ibunya. Seperti
tercermin dalam surat Al-Ahqaf ayat 15, menjelaskan masa kehamilan dan masa
menyusu digabungkan menjadi 30 bulan. Akan tetapi dalam ayat ini tidak dirinci
secara jelas berapa bulan masa hamil dan berapa bulan masa menyusu. Oleh
6
karena itu, dapat disimpulkan bahwa 30 bulan setelah dikurangi 24 bulan masa
menyusu, sisanya adalah 6 bulan sebagai masa minimal kehamilan.
Melihat ketatnya standarisasi kedudukan anak yang dinasabkan kepada
bapaknya yang sah, maka fuqaha menetapkan tiga dasar yang digunakan untuk
menentukan apakah anak sah atau tidak, yaitu: 1).berdasarkan tempat tidur yang
sah (al-firasy shahih) yaitu adanya tali perkawinan yang sah antara ayah dan ibu
semenjak mulai mengandung; 2). Adanya Pengakuan; dan 3). Saksi
Kemudian dihubungkan dengan pembatalan perkawinan karena perkawinan
sedarah, notabenenya perkawinan itu dilarang oleh agama, tentu hal tersebut
berakibat pula pada status anak yang dilahirkan. Apakah bisa disebut sebagai anak
sah dari perkawinan sedarahnya atau anak luar kawin.
Keberadaan seorang anak merupakan hasil buah cinta kasih orang tuanya
sehingga keberadaannya harus dihargai, dihormati, dan diakui yaitu dengan cara
pemenuhan hak-hak atasnya, salah satunya adalah kejelasan status nasab kepada
orang tuanya.
Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus status anak menjadi
masalah urgen dalam kehidupan masyarakat. Di samping bersentuhan langsung
dengan waris mewarisi terhadap harta orang tuanya, pemenuhan hak-hak atas
dirinya setelah orang tuanya pisah, bahkan soal perwalian pada saat akan
melangsungkan perkawinan jika anak tersebut perempuan.
Oleh karena itu, perlu kiranya penulis melihat bagaimana hakekat
sebenarnya status anak dalam Hukum Islam akibat pembatalan Perkawinan, dan
7
bagaimana pandangan Majelis Hakim menanggapi dan menyelesaikan masalah di
atas. Dengan demikian, perlu rasanya penulis mengangkat sebuah judul skripsi
yang berkaitan dengan masalah tersebut. Judul skripsi ini adalah ”Status Anak
Akibat pembatalan perkawinan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Depok
Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk)
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis
terfokus pada kasus Status Anak Akibat Batalnya perkawinan Karena Orang
tuanya memiliki Hubungan Nasab seibu dengan menitikberatkan pada putusan
Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk
2. Rumusan Masalah
Dalam rangka mencapai pemahaman yang komprehensif atas penelitian
ini, di sini penulis merasa perlu untuk mengidentifikasinya supaya jelas apa
yang perlu untuk dibahas. Melihat judul skripsi di atas, maka penulis perlu
membuat rumusan masalah yaitu: sebagaimana yang tercantum dalam pasal
99 dan 100 KHI, dan pasal 42, 43, dan 44 UU Perkawinan dinyatakan bahwa
status anak terbagi atas dua macam yaitu anak sah dan anak luar kawin. Hal
ini jelas bahwa keduanya mempunyai kriteria masing-masing. Secara garis
besar kriteria-kriteria tersebut ternyata dalam kehidupan masyarakat masih
8
ada ketidakjelasan tentang status anak yang dilahirkan dari pembatalan
perkawinan sedarah.
Untuk memudahkan agar bisa dipahami rumusan masalah itu, maka
penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan penelitian yaitu
sebagai berikut:
1) Bagaimana pertimbangan hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam
putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk terkait dengan status anak yang
akibat pembatalan Perkawinan karena orang tuanya sekandung/seibu?
2) Bagaimana Status anak akibat batalnya perkawinan karena orang tuanya
memiliki hubungan nasab seibu?
3) Bagaimana Perbandingan Status Anak Sah Menurut KHI, Hadits Nabi
Tentang Nasab dan Hukum Perdata?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang terkandung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk memenuhi tugas akhir menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syari‟ah
dan Hukum
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis
Hakim dalam putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk
c. Untuk memperoleh kejelasan tentang kedudukan anak yang dilahirkan
karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu
9
d. Untuk mengetahui perbandingan Status Hukum yang dijelaskan dalam
KHI, Hadits Nabi khususnya tentang nasab, dan HukumPerdata.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini di antaranya
adalah sebagai berikut :
a. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan
Majelis Hakim terkait putusan tersebut.
b. Memberikan gambaran dan kejelasan hukum tentang status anak yang
dilahirkan karena orang tuanya memiliki hubungan nasab seibu
c. Memberikan pengetahuan secara jelas mengenai perbandingan status anak
menurut KHI, Hadits Nabi, dan Hukum Perdata.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian yang dimaksudkan untuk
mengeksplorasi dan mengklarifikasi suatu fenomena atau kenyataan social
dengan cara mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan
masalah dan unit yang diteliti.9
9
Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasinya,
(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet VI, h. 20
10
2. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 sumber data,
yaitu data primer dan data Sekunder.
Data Primer merupakan sumber data yang digunakan sebagai data
pokok dalam penyusunan skripsi ini. Data Primer skripsi ini diperoleh dari
sebuah wawancara dengan hakim agama yang berada di Pengadilan Agama
Depok serta data-data dari Pengadilan Agama Depok berupa putusan nomor
1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk.
Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Literaturliteratur yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadits, Kitab-kitab Fiqih, bukubuku ilmiah, peraturan perundang-undangan, Jurnal-jurnal, artikel-artikel,
internet, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta sumbersumber lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai
menggunakan :
a. Wawancara, yaitu pertemuan antara dua orang atau lebih untuk bertukar
informasi melalui Tanya jawab sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Selain itu, dalam proses ini penulis akan
melakukan wawancara dengan hakim Agama yang memutus perkara
11
Fasakh di Pengadilan Agama Depok untuk mendapatkan informasi yang
akurat mengenai judul skripsi ini
b. Studi Kepustakaan, yaitu studi yang dilakukan dengan cara mengkaji
beberapa buku dan literatur-literatur lainnya yang ada relevansinya dengan
judul skripsi ini terutama dengan mempelajari dokumentasi putusan dari
Pengadilan Agama Depok yang dijadikan bahan dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yang dipakai dalam skripsi ini bersifat deskriptif analisis.
Deskriptif analisis yaitu menggambarkan data seteliti mungkin yang
digunakan sebagai objek penelitian, kemudian menganalisis isi putusan untuk
melihat seberapa jauh para hakim menerapkan peraturan perundang-undangan
dalam memutus sebuah perkara.
Adapun dalam teknik penulisannya penulis berpedoman kepada
penulisan Skripsi yang diatur oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswi sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis. Ternyata setelah penulis membaca beberapa skripsi
tersebut ditemukan pembahasan yang berbeda dengan judul skripsi yang akan
12
penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul
kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 3 buah
skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, dan satu artikel diantaranya sebagai
berikut :
1. Judul : Hak Istri Pertama Terhadap Pembatalan perkawinan Kedua
(Analisis
Putusan
di
Pengadilan
Agama
Bogor
No.
486/Pdt.G/2005/PA.BGR
Penulis
: Sadatul Abadiyah/SAS/AKI/FSH/S1/2009
Dalam skripsi yang ditulis oleh Sadatul Abadiyah berusaha
mengungkap sebuah permasalahan yang berkenaan dengan hak-hak istri untuk
menggugat pembatalan perkawinan terhadap suaminya sebab suami
melangsungkan perkawinan kedua tanpa izin istri pertama. Oleh karena itu, di
sini penulis melihat bahwa dalam skripsi ini berusaha untuk menjelaskan
kepada kita pelaksanaan pengajuan pembatalan perkawinan oleh istri pertama
atas suaminya. Sedangkan pada skripsi yang penulis tulis yakni berkenaan
dengan kedudukan yang akan dikenai pada anak sewaktu kedua orang tuanya
mengalami pembatalan perkawinan terlebih pembatalannya untuk selamanya
seperti dalam skripsi ini kedua orang tuanya ternyata masih memiliki
hubungan nasab seibu.
2. Judul : Fasakh Nikah Dengan Alasan Salah Satu Riddah dan Akibat
Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok)
Penulis
: Ahmad Miladi/PA/FSH/2010
13
Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Miladi membahas faktor-faktor yang
menjadi sebab fasakh nikah akibat riddahnya salah satu pihak dan
menganalisis data putusan Pengadilan Agama Depok sekaligus juga
membahas penyebab fasakhnya perkawinan akibat riddah. Adapun dalam
skripsi yang akan penulis tulis yaitu berkenaan dengan fasakh nikah atau
pembatalan perkawinan akibat keduanya memilki hubungan nasab seibu yang
dijelaskan dalam KHI dan UUP keduanya harus dibatalkan demi hukum. Oleh
karena itu, di sini penulis berusaha menjelaskan tentang gambaran umum
nasab yang boleh dan tidak boleh melakukan perkawinan, lebih lanjut
mengenai status anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang masih
ada hubungan nasab sehingga bisa diambil kejelasan hukum bagi anak
tersebut.
3. Judul Artikel : Pembatalan Perkawinan Terhadap Perkawinan Sedarah
Sumber
: index.phplawskripsi.com
Dalam artikel yang penulis dapatkan dari internet membahas
mengenai proses pembatalan perkawinan di depan sidang pengadilan terhadap
perkawinan sedarah serta akibat hukum yang diakan dialami oleh suami istri,
dan anak serta hubungan ketiganya setelah terjadi pembatalan perkawinan.
Sedangkan skripsi yang akan penulis tulis, membahas secara spesifik terkait
dengan status anak akibat pembatalan perkawinan karena adamya hubungan
nasab. Memang pada dasarnya nasab seibu sama saja dengan sedarah, akan
tetapi yang menjadi rujukan spesifik dalam penulisan skripsi ini adalah hanya
14
pada status kejelasan anak yang dilahirkannya setelah perkawinan dibatalkan
demi hukum di depan sidang pengadilan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
Bab Pertama memuat Pendahuluan yaitu penjelasan yang erat sekali
hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. Penjelasan-penjelasan tersebut
dapat dirincikan dengan bab-bab sebagai berikut yaitu mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat Penelitian,
metode penelitian, review terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua menyajikan kajian kepustakaan. Pertama dibahas mengenai
landasan teori atau kerangka konseptual yang bersifat deskriptif, eksploratif, dan
developmental. Kemudian landasan teoritis tersebut didasarkan pada teori-teori
yang relevan. Dalam bab kedua, teori-teori yang mendukung pembahasan skripsi
ini diantaranya adalah teori tentang pembatalan Perkawinan, teori nasab, Hak dan
Status Anak, dan Halangan Pernikahan dalam hukum Islam yang dijelaskan
secara umum tetapi mengarah kepada pembahasan dalam skripsi yang penulis
tulis.
15
Bab Ketiga mencakup tentang deskripsi kasus yang akan dibahas dalam
skripsi ini, yang termuat dalam salinan putusan Pengadilan Agama Depok Nomor
1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Dalam deskripsi kasus, ada beberapa hal yang penulis
paparkan yaitu meliputi mengenalkan profil pihak-pihak yang berperkara,
menggambarkan secara rinci duduk perkara, pertimbangan hukum yang dilakukan
oleh Majlis Hakim dan Keputusan yang ditetapkan oleh Majlis Hakim.
Bab Keempat berisi tentang analisis penulis terhadap data penelitian yang
telah didapatkan, kemudian dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian.
Dalam kasus analisis kita juga menafsirkan dan menginterpretasikan temuan
penelitian ke dalam bingkai pengetahuan yang telah mapan, memodifikasikan
teori yang ada, atau menyusun teori baru. Dalam bab ini, penjelasan yang dibahas
dalam penelitian skripsi ini meliputi status anak menurut KHI, Hadits Nabi
tentang Nasab, dan Hukum Perdata, Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan,
Pandangan Majlis Hakim mengenai status anak akibat pembatalan perkawinan,
serta Analisa Perkara dari Penulis setelah melakukan wawancara maupun studi
kepustakaan.
Bab Kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam
penulisan skripsi yang berisi kesimpulan yang ditarik pembuktian atau dari uraian
yang telah ditulis terdahulu yang bertalian erat dengan pokok masalah.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Perbedaan Pembatalan Perkawinan dan Fasakh
Pembatalan Perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya perkawinan karena
tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya, atau sebab lain yang
dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya
perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Yang di maksud dengan fasakh
nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan
istri. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan
membatalkan kelangsungan perkawinan.1
Secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Manzur dalam Lisan a-Arab,
menyatakan bahwa fasakh berarti batal (naqada) atau bubar (faraqa).2 Secara
istilah fasakh ialah :
.
,
“faskhul aqdi adalah membatalkan aqad, dan melepaskan tali ikatan perkawinan
suami istri.3
1
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003). Hal. 141-142
2
Ibnu Manzur, Lisan al-„arab Juz III, (Qatar: Dar al-Fikr, 1994), hal. 45
3
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Jakarta,
1985, hlm. 23.
16
17
Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan
ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak
pengakad yaitu suami istri saja tetapi termasuk pihak ketiga. Sehingga ada
kemungkinan fasakh itu terjadi karena kehendak suami, kehendak istri, dan
kehendak orang lain yang berhak. Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab
untuk memfasakh berkisar pada dua kelompok sebab yakni sebelum akad nikah
dan setelah akad nikah.4
Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah Jilid 8, menjelaskan bahwa
memfasakh aqad nikah berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian
antara suami istri. Fasakh bisa terjadi karena syarat - syarat yang tidak terpenuhi
pada aqad nikah atau karena hal - hal lain yang datang kemudian yang
membatalkan kelangsungannya perkawinan.5
Menurut pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnya AlAhwal Al- Syakhsiyyah menyebutkan “fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang
diketahui atau terjadi belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi
langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu
yang mengiringi aqad, yang menjadikan aqad tersebut tidak sah.6
4
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995).
Hal. 141
5
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, (Terj) Judul Asli Fiqhu al-Sunnah, (Bandung: Al Ma'arif, 1980) Cet. I ,hlm. 124 – 125
6
Abu Zahroh, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950), hlm. 324
18
Menurut Muhammad Yahya Harahap, secara teoritis dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip bahwa tidak
ada suatu perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum sampai
adanya ikut campur tangan pengadilan.7 Hal ini dapat diketahui dalam pasal 37
Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975, dimana dikatakan bahwa batalnya
suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh pengadilan.8
Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang istilah fasakh,
melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU Perkawinan No 1
Tahun 1974, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.9
Pengertian kata “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak
batal, yakni tergantung pada sebab-sebab yang timbul kemudian. Sebagai contoh
dalam agama Islam salah satu rukun perkawinan adalah adanya wali nikah,
tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam bab IV tentang “Rukun dan Syarat
Perkawinan” pasal 14 (c). kemudian dilanjutkan penjelasannya pada pasal 20
Kompilasi Hukum Islam mengenai syarat wali nikah, yaitu pada ayat (1) “yang
7
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,(Medan: CV. Zahir Trading Co,
1975). Cet. 1. hal.74
8
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2007) cet. Ke-38. Hal. 572
9
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Departemen
Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI, (Jakarta: Direktorat Urusan
Agama Islam, 2002), hlm. 18
19
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil dan baligh.” Ayat (2) berbunyi “wali nikah terdiri dari :
(a.) wali nasab, (b.) wali hakim. Jika dalam suatu pernikahan yang dilaksanakan
menurut hukum Islam, syarat diatas tidak terpenuhi, maka pada masa mendatang
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.10
Sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU
Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama
sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga
tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan,
Akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan yang penulis baca pada BAB XI pasal 70
KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah
batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru
terjadi setelah setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama
Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia.
Pembatalan Perkawinan yang biasa kita kenal dengan istilah fasakh,
tentunya memiliki beberapa faktor yang menyebabkan perkawinannya ini batal.
Faktor-faktor penyebabnya tersebut antara lain sebagai berikut: 11
10
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman
PelaksanaanPenyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Departemen Agama, 2006). Hal. 20-21.
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat,
dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006). Hal. 253
20
1. Syiqaq, yaitu adanya pertengkaran antara suami istri secara terus menerus.
Ketentuan syiqaq ini terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 35,
2. Adanya cacat, yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat
jasmani atau rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi akad perkawinan baik ketahuan atau terjadinya setelah suami
istri bergaul atau belum.
3. ketidakmampuan suami memberi nafkah
4. suami gaib (al-mafqud)
5. dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan
Sedangkan menurut ulama empat mazhab, faktor-faktor penyebab
perkawinan dapat difasakh adalah sebagai berikut :12
Menurut mazhab Hanafi, hal-hal yang mengakibatkan fasakh nikah adalah
pisah karena suami atau istri murtad, perceraian karena perkawinannya
fasid/rusak, dan karena keduanya tidak sekufu. Sedangkan fasakh menurut Syafi‟I
dan Hanbali adalah adanya cacat, karena adanya kesulitan yang dialami suami,
karena li‟an, salah seorang suami istri itu murtad, perkawinan itu rusak, dan tidak
ada kesamaan status (kufu). Adapun fasakh berdasarkan mazhab Maliki adalah
terjadinya li‟an, fasadnya perkawinan, salah seorang pasangan itu murtad.
12
A. Rahman I Doi, Syariah 1 Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1996) Hal. 309-310
21
Apabila terjadi pembatalan perkawinan, baik dalam bentuk pelanggaran
terhadap
hukum
perkawinan,
atau
terdapatnya
halangan
yang
tidak
diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan istrinya selama istri itu menjalani
masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan
perkawinan, mereka harus melakukan akad nikah baru. Akibat lainnya ialah
pembatalan perkawinan tersebut tidak menghalangi bilangan thalaq.13
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) permasalahan pembatalan
perkawinan dijelaskan secara rinci pada pasal 70 sampai 76. Dalam pasal 70 KHI
dinyatakan bahwa perkawinan batal (batal demi hukum) apabila: 14
1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri sekali pun salah satu dari
keempatnya sedang dalam masa iddah
2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya
3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi 3
kali talak oleh
dirinya. kecuali jika bekas istrinya sudah menikah lagi dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya
4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda, sesusuan, sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat,
dan Undang-undang Perkawinan. Hal. 253
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), hal. 129-130
22
menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu : berhubungan
darah dalam garis lurus kebawah atau keatas, berhubungan darah dalam garis
lurus keturunan menyamping, bersemenda yaitu mertua, anak tiri, dan ibu atau
ayah tiri, berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, dan bibi
atau paman susuan, istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan
apabila : a). seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama, b).
perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
yang mafqud, c). perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari
suuami lian, d). perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan,
sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, e).
perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak, f). perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.15
Berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan
diatur dalam KHI pasal 73 yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas,
kebawah baik dari pihak suami atau pun istri; suami istri; pejabat yang berwenang
mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang; para pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan
15
menurut
hukum
Islam
dan
peraturan
perundang-undangan
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), hal. 130
23
sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Adapun menyangkut saat mulai berlakunya
pembatalan perkawinan yaitu setelah keputusan pengadilan Agama yang
mempunyai ketetapan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan ( KHI Pasal 74 ayat 2).
Pembatalan perkawinan tentunya mempunyai akibat hukum yang
ditimbulkan setelahnya. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 28
ayat 2 dinyatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap: a). anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, b). suami atau
istri yang bertindak dengan beriktikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila
pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dahulu,
dan c). orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a, dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan Iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. 16
Adapun dalam KHI akibatnya tersebut disebutkan dalam pasal 75 dan 76.
Dalam pasal 75 disebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri
murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, pihak ketiga
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam
16
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, ( Jakarta:
Kencana, 2006), cet ke-III, Hal. 113
24
pasal 76 KHI disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan
memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
B. Nasab Dalam Hukum Islam
Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal
ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat
seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang,
anak angkat tersebut dinasabkan kepada Nabi. Kemudian Nabi pun
mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5
yang berbunyi:
  
          
 
      
     
     .       
            
           
)4-5:‫ (اآلدشاب‬
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anakanak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan
(yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
25
nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka
sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun
lagi maha penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 4-5).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi
anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa maja‟ala ad‟iya-akum abna-akum.
Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah
kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz ud‟u-hum
li abaihim.17
Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “barang siapa
menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu
bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.18
Dalam keterangan hadist di atas dijelaskan bahwa seseorang tidak boleh
menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, apabila ia tahu siapa
ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak
boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseoran
17
KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt),
h. 385
17
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 52
26
menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa
itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. 19
Secara etimologis istilah nasab berasal dari bahasa arab “an-nasab” yang
berarti keturunan, kerabat, memberikan ciri dan menyebutkan keturunannya.
Nasab juga dapat dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan
hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.
Ulama fikih mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu fondasi yang
kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar
pribadi berdasarkan kesatuan darah. Nasab merupakan nikmat yang paling
besar yang diturunkan Allah SWT kepada hamba-Nya, sesuai dengan firman
Allah SWT : 20
      
       
54/25:
)
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan musaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal
dari perkawinan) dan adalah Tuhanmu yang Maha Kuasa (QS. Al-Furqan / 25:
54)..
19
Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional,
Hal.5
Makalah
diaksesdari
www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada tanggal 3 Januari 2011
19
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996),
cet. ke-1, jilid 4, hal. 1304
27
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan nikmat yang
berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa ja‟alahu nasabaa. Dan nasab
juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah.21
Sedangkan secara terminologis, term nasab ada beberapa definisi
diantaranya sebagai berikut:
1. Keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena
hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu,nenek, dan seterusnya), dan ke
bawah (anak, cucu, dan seterusnya), maupun ke samping (saudara, paman,
bibi, dan seterusnya).22
2. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta
warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan.23
3. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu
fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang
bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah.
4. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu
sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
tth), juz.II, h.12-23
21
22
Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008). Hal. 154
23
M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi‟I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka
Firdaus,1994), h. 59
28
berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah
bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya,
dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orangorang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.24
5. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil
percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut
keturunan-keturunan syar‟i.25
Para Ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya disebabkan
karena kehamilan yang disebabkan karena adanya hubungan seksual yang
dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan tersebut dilakukan
berdasarkan akad nikah maupun perzinaan.26 Adapun nasab dari seorang anak
kepada bapaknya bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :
1. melalui perkawinan yang sah;
2. melalui perkawinan yang fasid;
3. melalui hubungan senggama karena adanya syubhat an-nikah (nikah
syubhat)
yaitu
berarti
kemiripan,
keserupaan,
persamaan,
dan
ketidakjelasan.27.
24
Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
cet. Ke-2 . Hal. 7247
25
Ibid, hal. 7247
26
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
cet. Ke-2 . hal. 7249
27
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulumuddin, (Semarang:
Toha Putra,tth), jilid II, hal. 99
29
Adapun cara menetapkan nasab menurut Ulama Fikih sepakat bahwa
nasab seorang anak dapat ditetapkan melalui tiga cara yaitu :28
1. Melalui nikah shahih atau fasid. Para Ulama sepakat bahwa nikah yang sah
dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seorang anak
kepada bapaknya sekalipun pernikahan dari kelahiran anak itu tidak
didaftarkan secara resmi pada instansi terkait
2. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak.
3. Melalui alat bukti. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad bin
Hasan al-Syaibani, alat bukti yang dibutuhkan adalah berupa pengakuan dua
orang lelaki, atau satu orang
lelaki dan dua orang wanita. Sedangkan
menurut Ulama Mazhab Maliki, pengakuan itu dikemukakan dua orang
lelaki saja. Adapun menurut mazhab Syafi‟I, Mazhab Hanbali, dan Imam
Abu Yusuf adalah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh ahli waris
yang mengaku. Dalam hubungan ini, para ulama sepakat bahwa kehadiran
saksi untuk dapat membenarkan pengakuan tersebut, juga harus benar-benar
mengetahui keadaan dan sejarah anak yang akan dinasabkan.
C. Hak dan Status Anak
Arti Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan
insan (manusia) yang kedua.
28
29
Anak adalah kelompok manusia muda yang
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve, 1996),
cet. ke-1, jilid 4, hal. 1306-1307
30
batas umurnya tidak selalu sama diberbagai Negara. Di Indonesia yang sering
dipakai untuk menjadi batasan umur adalah anak usia 0-21 tahun. Dengan
demikian, bayi, balita dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak. Pada
umunya disepakati bahwa masa anak merupakan masa yang dilalui setiap orang
untuk menjadi dewasa.
Dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Undang-undang
nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang disebut dengan anak
adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang
mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Dan dalam Konvensi hakhak anak, batasan umur anak adalah dibawah umur 18 tahun.30
Secara umum, periode pertumbuhan anak adalah dimulai sejak ia
masih dalam kandungan atau disebut dengan pre-netral, yang artinya masa
29
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), cet V,h. 38
30
Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2000), cet
III, h. 5.
31
sebelum lahir sejak terjadi peristiwa konsepsi (pembuahan sel telur perempuan
oleh sperma laki-laki) dan berakhir ketika sang bayi lahir ke dunia.
Asal periode dalam kandungan dapat dijelaskan dengan empat tahapan
perkembangan:
1. Tahap al-Nuthfah yaitu pertemuan antara setetes sperma dengan ovum
perempuan sehingga terjadi pembuahan;
2. Tahap al-„Alaqah yaitu perkembangan janin selanjutnya oleh pertumbuhan
pembuahan antara sperma dan ovum yang menjadi zat (sesuatu) yang
melekat pada dinding rahim;
3. Tahap al-Mudhghah yaitu Perpindahan alaqah ke mudhgah terjadi disaat
sesuatu yang melekat (al-mudhghah al-„alaqat) berubah menjadi darah beku
yang bercampur, berikutnya tampaknya tulang lalu tulang itu diselubungi
oleh daging.
4. Tahap Pemberian Nyawa (nafkh al-ruh), setelah melalui tiga tahap,
pertumbuhan janin semakin sempurna dengan ditiupkannya ruh kedalamnya.
Anak adalah sosok manusia kecil, dan secara fitrah merupakan
makhluk sosial. Jiwa anak itu lembut dan sangat mudah terpengaruh. Anakanak adalah miniatur manusia, yang belum memiliki kapabilitas untuk
mencapai perubahan. Anak merupakan miniatur manusia yang kenyataannya
memerlukan cinta dan kasih sayang yang lebih besar dibanding orang dewasa.
32
Sebagaimana anak memerlukan makanan, ia juga memerlukan cinta dan kasih
sayang.31
Oleh karenanya anak memerlukan cinta dan kasih sayang. Dalam
Islam hak-hak dimulai sejak anak masih dalam kandungan hingga mencapai
kedewasaan secara fisik maupun psikis. Hak-hak tersebut antara lain:
1. Hak mendapatkan penjagaan dan pemeliharaan dalam kandunan maupun
setelah lahir
2. Hak mengetahui nasab (keturunan)
3. Hak menerima yang baik
4. Hak mendapatkan ASI dari ibu atau pengantinya
5. Hak mendapatkan asuhan
6. Hak mendapatkan harta warisan
7. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran
8. Hak mendapatkan perlindungan hukum32
Adapun menurut Wahbah al-Zuhailiy, ada lima macam hak anak
terhadap orang tuanya, yaitu hak nasab (keturunan), hak radla (menyusui), hak
hadhanah (pemeliharaan), hak walayah (wali), dan hak nafkah (alimentasi).
Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini, orang tua akan mampu mengantarkan
anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.
31
32
Ibrahim Amini, Anakmu, AmanatNya, (Jakarta: Al-Huda, 2006), cet I, h. 141
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula untuk
Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, (Malang: PSG Publishing
dan Pilar Media, 2006), h. 63
33
Salah satu hak-hak anak yang disebutkan Hukum Islam adalah hak
mengetahui nasab. Hak mengetahui nasab merupakan suatu hak yang sangat
penting bagi kehidupan seorang anak. Karena dengan hak ini, seorang anak
dapat mendapatkan hak-hak yang lainnya dari kedua orang tuanya terutama
bapak.
Seorang anak yang dinasabkan kepada bapaknya, secara otomatis dia
mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa
hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis
nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan
ibunya. Dengan hubungan anak, ada sederatan hak-hak anak yang harus
ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap
anaknya.
Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
anak memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab
terhadap anaknya. Jika digolongkan hak anak dapat diketagorikan dalam empat
kelompok besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang,
hak untuk mendapat perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Sebaliknya
anak keturunan sudah semestinya berbuat baik dan berkhidmat kepada orang
tuanya secara tulus, orang tualah yang menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia.
Di antara kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi
nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan jaminan nafkah terhadap
anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun
34
hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian atau
pembatalan perkawinan tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk
tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri
sendiri.
Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak
akan terputus sampai kapanpun, meskipun anak yang dihasilkannya dari
perkawinan yang dilarang oleh agama, tetap saja ayah ibunya berkewajiban
memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan
pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Lain halnya jika status anak yang
dilahirkan adalah anak luar kawin atau anak zina, ia hanya mendapatkan
pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan
nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu.
D. Halangan Pernikahan
Untuk memudahkan pencegahan terjadinya kekeliruan dalam sebuah
perkawinan, yang mengakibatkan timbulnya kesyubhatan, maka di bawah ini
adalah pemaparan hal-hal yang mengakibatkan perkawinan itu dilarang untuk
dilakukan baik secara selamanya atau sementara antara seorang lelaki dan
perempuan.
Secara garis besar, larangan kawin antara sesama pria dengan seorang
wanita menurut Syara‟ dibagi dua yaitu hubungan abadi dan halangan
sementara. Diantara halangan-halangan abadi yang telah disepakati adalah
35
karena ada hubungan nasab (keturunan), karena pembesanan (karena pertalian
kerabat semenda), dan karena sesusuan.33
Larangan kawin karena sebab adanya keturunan (nasab), menurut alQur‟an ada tujuh macam wanita yang termasuk golongan ini, ialah:
a. Ibu, termasuk nenek dan seterusnya menurut garis lurus ke atas,
b. Anak perempuan, termasuk cucu dan seterusnya menurut garis lurus ke
bawah
c. Saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak atau seibu
d. Bibi (saudara perempuan bapak) sekandung, sebapak, dan seibu.
e. Bibi (saudara perempuan ibu) sekandung, sebapak, dan seibu
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara kandung, sebapak,
seibu dan seterusnya ke bawah
g. Anak perempuan dari saudara perempuan kandung, sebapak, atau pun
seibu dan seterusnya ke bawah.
Ketujuh macam wanita yang digolongkan di atas, termaktub dalam
surat An-Nisa : 23.
        
  
       
         
33
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) cet I, hal.103
36
          
         
23
         
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS. An-Nisa :23).
Tidak diragukan lagi bahwa keharaman terhadap sejumlah besar
perempuan-perempuan yang disebutkan di atas memiliki hikmah yang sangat
besar yaitu seorang ibu yang berhak atas anaknya berupa kebaikan, pelayanan,
dan kesungguhan dalam memuliakannya dan begitu pun dengan seorang anak
masih berhak mendapatkan cinta kasih orang tuanya, pemberian pendidikan,
dan nafkah serta tidak akan terjadi pemutusan ikatan kekerabatan dan
pertentangan.
As-Sakaki berkata sesungguhnya menikahi mereka mengakibatkan
pemutusan kekerabatan, karena pernikahan itu tidak lepas dari kelapangan
yang terjalin antara suami istri secara tradisi dan karena sebab-sebab ini
37
menjadikan kekerasan hati diantara mereka. Suatu ketika hal tersebut
membawa terputusnya hubungan kerabat, sehingga menikahi dengan mereka
menjadi penyebab untuk memutus kerabat. Penyebab keharaman hukumnya
juga haram.34
Ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa :”wanita-wanita yang
tidak boleh dinikahi karena hubungan kekeluargaan (nasab) adalah semua
keluarga yang dekat dengan lelaki (haram untuk dinikahi), kecuali anak
pamannya (baik dari pihak ayah atau ibu), dan anak bibinya (baik dari pihak
ayah atau ibu).35
Keempat kelompok di atas, diperbolehkan untuk dinikahi oleh
Rasulullah Saw, dan itu tidak dikhususkan untuk nabi saja, namun berlaku
juga untuk semua orang-orang beriman.36 Sebagaimana dijelaskan dalam
Firman Allah SWT :
          
             
            
34
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah
Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami, (Jakarta: Amzah, 2002), cet I, Hal. 122
35
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri an-Nasab,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) cet 1, hal. 61
36
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri an-Nasab, hal. 62
38










50:33
Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara lakilaki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi
mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mukmin. (QS. Al-Ahzab/33:50)
Adapun mengenai perkawinan yang diharamkan untuk selamanya
karena sebab semenda (musaharah) terbagi atas empat macam yaitu:37
a. Istri bapak, istri kakek dan seterusnya ke atas, baik kakek dari jalur bapak
maupun ibu, tidak ada bedanya apakah sudah dicampuri atau belum
b. Istri anak dan istri cucu, baik cucu dari jalur anak laki-laki maupun dari
jalur anak perempuan
c. Ibu istri (mertua) yaitu ibu kandung dan ibu susuannya, baik wanita yang
dikawini itu sudah dicampuri atau belum, namun haram kawin dengan
mertua. Rasulullah Saw bersabda :”Barangsiapa mengawini seorang
wanita, baik sempat dicampurinya atau pun tidak, namun tidak halal
baginya mengawini ibu wanita itu”.38
37
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hal.179-180
38
Hadits at-tirmidzi
)‫قا ل اننثي صهي اهلل عهيو ًسهى ايًا رجم نكخ ايزاج فدخم تيا اًنى يدخم فال تذم نو اييا (رًاه انتزيذي‬
39
d. Anak perempuan dari istrimu (anak tirimu) kalau istrimu itu sudah kamu
campuri sesudah akad nikah yang sah ataupun yang fasid, akan tetapi kalau
istrimu belum kamu campuri maka boleh kawin dengan anak perempuan
itu.
Kemudian larangan kawin ketiga yang bersifat selamanya adalah
karena adanya hubungan sesusuan. Dalam hubungan sesusuan seorang lakilaki atau perempuan yang mempunyai hubungan ini dilarang melakukan
perkawinan, sebagaimana Hadits Nabi Muhammad Saw :
39
Diriwayatkan dariIbnu Abbas r.a. Dia telah berkata: Sesungguhnya Nabi Saw
hendak dijodohkan dengan putrid Hamzah. Akan tetapi beliau
bersabda:sesungguhnya dia tidak halal bagiku, dia adalah putrid saudara
laki-laki sepersusuanku sendiri. Pengharaman disebabkan sepersusuan itu
sama seperti pengharaman karena keturunan keluarga. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, jelas bahwa ibu susuan dan saudara
perempuan susuan menduduki hukum yang sama dengan ibu dan saudara
perempuan yang senasab tentang keharaman kawin dengan mereka,
maksudnya kita diharamkan kawin dengan nasab (keturunan) kita yang
berjumlah 7 orang sebagaimana tersebut dalam surat an-Nisa ayat 23. Maka
39
Ahmad Mudjab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Mutafaq Alaih
Bagian Munakahat dan Mu‟amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), cet I, hal 53
40
apabila kita sudah menyusu kepada perempuan lain, haram pula kita kawin
dengan nasab ibu susu.40
Para Ulama sependapat bahwa keharaman susuan (radla) sama dengan
keharaman nasab dalam urusan pernikahan. Apabila seorang wanita
menyusukan seorang anak, haramlah atas anak tersebut dan atas anak-anaknya
terhadap kerabatnya ibu susu itu, segala yang diharamkan atas anak itu dari
jalan nasabnya.41
Akan tetapi, tidak diharamkan ibu susu terhadap ayah dari anak
susunya dan terhadap saudara anak susunya. Juga tidak haram atas anak susu
itu menikahi ibu saudara perempuannya (dari jalan susuan), jika ibu itu bukan
ibu anak susu sendiri dan bukan pula istri dari ayahnya.42
Sedangkan halangan-halangan sementara antara lain sebagai berikut:
a. Mengumpulkan dua orang wanita mahram
b. Istri yang sudah ditalak tiga
c. Kawin dengan budak
d. Kawin lebih dari empat orang istri
e. Kawin dengan istri orang lain
f. Haram kawin dengan wanita yang masih dalam masa iddah
40
A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram-Ibnu Hajar al-Asqalani, (Bandung:
Dipenogoro, 2006) cet XXVII, Hal 510
41
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar
Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) cet II, Hal. 237
42
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun Antar
Mazhab, hal 237
41
g. Kawin dengan wanita musyrik dan ahli kitab
h. Dilarang kawin sedang dalam ihram43
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa halangan perkawinan pun
dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Baba VI pasal 39 sampai 44.
43
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hal. 188-197
BAB III
DESKRIPSI KASUS
A. Pihak Yang Berperkara
Pihak-pihak
yang
berperkara
dalam
Putusan
Nomor
1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang Permohonan Cerai Thalak adalah sebagai
berikut:
KUSPRIYATNA BIN H. TOHIRI, Umur 32 tahun, agama Islam,
Pendidikan SMA, Pekerjaan sebagai Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Kp.
Serab Rt.01/Rw. 02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok
selanjutnya disebut PEMOHON.
Kemudian dari pihak TERMOHON yang mendapatkan surat panggilan
dari Pengadilan Agama Depok atas Surat Permohonan Pemohon adalah
NURAINI BINTI SUKADI HASAN, Umur 28 Tahun, agama Islam, Pendidikan
SMA, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, dan bertempat tinggal di Jalan Kp. Serab
Rt.01/ Rw. 02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok
selanjutnya disebut TERMOHON.1
B. Duduk Perkara/Posita
Berdasarkan Kutipan Akta Nikah nomor 109/63/III/2001 tanggal 26 Maret
2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Cakung, Jakarta
1
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk hal 1
42
43
Timur menyatakan bahwa antara Pemohon dan Termohon telah melangsungkan
akad nikah. Pada awal kehidupan rumah tangga, antara Pemohon dengan
Termohon hidup rukun, damai, dan harmonis hingga akhirnya Pemohon dan
Termohon dikaruniai tiga orang anak yang bernama:
1. FAHREZY ALDI PERMANA, laki-laki, umur 9 Tahun
2. TODDY AFRIAN, Laki-laki, 6 Tahun
3. CANDRA DIJAYA, Laki-laki.2
Dengan keberadaannya seorang anak, artinya kehidupan rumah tangga
Pemohon dan Termohon rukun, damai, dan harmonis. Karena pada dasarnya anak
merupakan buah hasil cinta kasih yang selama ini dilakukan oleh Pemohon dan
Termohon.
Akan tetapi sejak bulan Oktober 2009 sampai Permohonan ini diajukan ke
Pengadilan Agama Depok tanggal 4 Desember 2009, kehidupan rumah tangga
Pemohon dan Termohon sering bertengkar terus-menerus, disebabkan Termohon
sering berhutang tanpa sepengetahuan Pemohon dan setiap kali ada orang datang
menagih hutang, Pemohon dan Termohon selalu ribut dan berujung pada
pertengkaran.
Pada bulan November 2009 merupakan puncak perselisihan dan
pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, antara Pemohon dan
Termohon merasa sudah tidak ada kecocokan lagi dan sepakat untuk mengakhiri
perkawinan dengan perceraian. Melihat kondisi rumah tangga Pemohon dan
2
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Hal 1
44
Termohon yang sudah diambang perceraian, maka keluarga dari Pemohon
maupun Termohon berupaya untuk mendamaikan Pemohon dan Termohon agar
kembali rukun dalam mengarungi bahtera rumah tangga, namun upaya tersebut
tidak membuahkan hasil dan pihak keluarga pun akhirnya menyerahkan
permasalahan ini kepada Pemohon dan Termohon.
Pada saat proses persidangan antara Pemohon dan Termohon selalu
menghadap sendiri di persidangan tanpa ditemani oleh Kuasa Hukum. Dalam
surat Permohonan Pemohon, Termohon dalam jawabannya secara lisan
membenarkan seluruhnya apa yang ada dalam surat Permohonan Pemohon dan
Termohon tidak keberatan bercerai dengan Pemohon. Dengan jawaban Termohon
yang membenarkan seluruh Permohonan Pemohon, Pemohon pun akan
memberikan uang setiap bulannya untuk anak Pemohon dan Termohon yang
sekarang berada dalam asuhan Termohon sebesar Rp. 1000.000,- dan untuk
Termohon Rp. 900.000,- untuk nafkah tiga bulan, dalam repliknya. Atas Replik
dari Pemohon, Termohon pun kemudian memberikan duplik secara lisan yang
pada pokoknya Termohon tetap pada jawabannya, yang menyatakan tidak
keberatan untuk bercerai dengan Pemohon, dan menerima terhadap semua
pemberian Pemohon kepada Termohon baik nafkah anak, maupun nafkah untuk
Termohon.3
Akan tetapi meskipun Permohonan Pemohon diakui dan dibenarkan oleh
Termohon dan tidak keberatan jika harus bercerai, tetap saja antara Pemohon dan
Termohon masih wajib untuk meneguhkan dalil-dalil Permohonan Pemohon.
3
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 2-3
45
Untuk meneguhkan dalil-dalil Permohonan, Pemohon dianjurkan untuk
mengajukan alat bukti dan juga keterangan saksi yang dapat menguatkan dalildalil Permohonan Pemohon.
Alat bukti yang Pemohon ajukan untuk meneguhkan Permohonan
Pemohon adalah berupa alat bukti tertulis yaitu Foto copy bermaterai Buku Akta
Nikah Nomor 109/63/III/2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) Cakung, Jakarta Timur tertanggal 26 Maret 2001.
Adapun keterangan saksi yang Pemohon ajukan ke Pengadilan adalah
sebagai berikut:4
Juhana bin H. Sumari, umur 51 tahun, agama Islam, Pekerjaan Karyawan
Swasta, yang bertempat tinggal di Jalan Pasar Minggu Kp. Serab Rt.01/Rw.02
Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok. Dalam persaksiannya,
saksi mengatakan bahwa hubungan antara saksi dengan Pemohon adalah Kakak
Pemohon, saksi kenal dengan Pemohon dan Termohon, saksi pun mengetahui
bahwa antara Pemohon dan Termohon telah terjadi Pernikahan dan sudah di
karuniai tiga orang anak. Mengenai permasalahan rumah tangga Pemohon dan
Termohon, saksi mengatakan sama sekali tidak mengetahui bahwa keduanya
sudah terjadi perselisihan dan percekcokan, setahu saksi rumah tangga Pemohon
dan Termohon rukun-rukun saja. Bahkan saksi pun pernah menasehati keduanya
untuk bermaia saja, tetapi upaya saksi tersebut tidak membuahkan hasil.
4
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 3
46
Akhirnya, saksi pun menyerahkan kembali kepada pemohon dan Termohon yang
menjalani rumah tangga.
Adapun saksi kedua yang Pemohon ajukan ke Pengadilan Agama Depok
adalah bernama NURHUDAYA BIN IDUP, Umur 50 tahun, agama Islam,
Pekerjaan Buruh, bertempat tinggal di Jalan Pasar Minggu Kp. Serab
Rt.01/Rw.02 Kelurahan Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok.
Pokok keterangan yang dituturkan oleh saksi adalah bahwa hubungan
antara saksi dengan Pemohon adalah Paman Pemohon, saksi pun berkata ia sangat
mengenali Pemohon dan Termohon, karena menurutnya Pemohon dan Termohon
adalah Keponakan saksi. Di samping itu, dalam keterangannya juga dikatakan
bahwa antara Pemohon dan Termohon sebenarnya masih saudara seibu lain
ayah/ada hubungan nasab. Oleh karena itu, dalam keterangannya, saksi mohon
kepada Majelis Hakim untuk diputuskan perkawinannya antara Pemohon dan
Termohon.5
C. Tuntutan/Petitum Perkara
Dari duduk Perkara yang dipaparkan di atas, maka tuntutan yang diajukan
oleh Pemohon dalam Surat Permohonannya adalah :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
2. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak
terhadap Termohon
5
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 4
47
3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum.6
D. Pertimbangan Hukum
Dalam perkara nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Pertimbangan Hukum
yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam memutus perkara ini adalah bahwa
Majelis Hakim telah berupaya dan berusaha menasehati Pemohon agar berdamai
dengan Termohon dan segala permasalahan keluarga hendaknya diselesaikan
dengan jalan damai, hal ini sesuai dengan maksud dari pasal 82 ayat (1) dan ayat
(4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, jo pasal 31 ayat (1 dan 2) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, namun maksud yang baik tersebut tidak
berhasil.7
Oleh karena itu, proses pemeriksaan perkara akhirnya dilanjutkan dengan
pembacaan surat Permohonan, hingga pada saat pengajuan alat bukti dan
keterangan saksi, Majelis Hakim memandang dalam pemeriksaan perkara ini
telah memenuhi maksud pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 yang berbunyi: “ gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diterima apabila
telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan
6
7
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Hal. 2
Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 31 ayat 91 dan
2) berbunyi (1). Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak; (4). Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. (Lihat Buku karangan A. Basiq Djalil, Peradilan
Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam
rentang sejarah Bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan
Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Hal. 209-210). Dan (lihat buku karangan R. Subekti,
dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW dengan tambahan Undangundang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007)
hal. 570).
48
pertengkaran itu setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang
dekat dengan suami istri itu”,8 dan Pasal 76 ayat (1) Undang-undang nomor 7
tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Apabila gugatan
perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan
perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”.9
Berdasar surat Permohonan Pemohon, keterangan Pemohon di
Persidangan, Jawaban Termohon serta keterangan saksi-saksi dari Pemohon dan
Termohon di Persidangan, maka Majelis Hakim menemukan fakta-fakta yang
disimpulkan sebagai berikut:
1. Antara Pemohon dan Termohon adalah suami istri, dan telah dikaruniai tiga
orang anak, namun ternyata masih ada hubungan darah seibu yaitu lain ayah,
Pemohon ayahnya H. Tohiri sedangkan Termohon, ayahnya Sukadi Hasan;
2. Karena Pemohon dan Termohon masih ada ikatan saudara seibu dan ada
ikatan pernikahan, maka Pemohon dan Termohon memohon kepada Majelis
Hakim untuk diputuskan perkawinannya;
8
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata BW dengan
tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 2007) hal. 567-568.
9
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam,
Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam rentang sejarah Bersama pasang surut Lembaga Peradilan
Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) Hal. 208
49
3. Dengan adanya saksi yang kedua (paman pemohon) menyatakan bahwa
perkawinan Pemohon dengan Termohon harus diputuskan karena ada
larangan yang dilanggar oleh Pemohon dan Termohon dalam menikah secara
Islam.10
Melihat fakta-fakta yang disimpulkan di atas, Majelis Hakim berpendapat
dalam pertimbangan hukumnya adalah melarang dan menolak kepada Pemohon
untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon, disebabkan antara
Pemohon dan Termohon masih ada hubungan darah yaitu seibu. Hal ini sesuai
dengan pasal 39 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 39 ayat 1 huruf b yang
berbunyi:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan:karena pertalian nasab dengan seorang wanita keturunan
ayah dan ibu”.11
Melihat perkara nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk masuk dalam bidang
Perkawinan, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006, Undang-undang
nomor 50 tahun 2009, maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini
dobebankan kepada Pemohon
10
11
Salinan Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Hal 5-6
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,
1995), hal. 121-122
50
E. Keputusan Majelis Hakim
Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku dan Hukum Syara‟ yang berkaitan dengan perkara ini,
maka Majelis Hakim memutuskan dan mengadili dalam Primernya Menolak
Permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar Thalak terhadap Termohon di
depan sidang Pengadilan Agama Depok.
Adapun dalam Subsidairnya, Majelis Hakim memutuskan dan megadili:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk memfasakh perkawinannya yang
pernah dilakasnakan pada tanggal 26 Maret 2001, batal demi hukum untuk
selama-lamanya;
2. Menghukum Pemohon untuk memberikan kepada Termohon pelipr lara
sebesar Rp. 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah) dan cincin mas seberat 5
gram;
3. Menghukum Pemohon untuk member nafkah tiga orang anak yang bernama
Fahrezy Aldi Permana, Toddy Afrian, dan Candra Dijaya yang berada dalam
asuhan Termohon minimal sebesar Rp. 1000.000,- (satu juta rupiah) setiap
bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak tersebut dewasa
dan mandiri; serta
4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 241.000,(dua ratus empat puluh satu ribu rupiah).12
12
Putusan Nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, hal 6-7
BAB IV
ANALISA KASUS TENTANG STATUS ANAK
A. Status Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan
Hukum Perdata
1. Status Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagai realisasi mazhab Indonesia. Fiqh ini sebagai hasil
dari pembaharuan Hukum Islam di Indonesia dan muncul karena adanya
pandangan bahwa ada pemaksaan adat istiadat yang tidak cocok dengan
kepribadian bangsa Indonesia adalah sebuah kesalahan.1 Oleh karenanya,
Hukum Islam dinyatakan sebagai hukum yang hidup di masyarakat Islam
Indonesia.
Dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa
anak yang sah adalah :
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.2
1
Nourrouzzaman Shiddiqie, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), cet I, hal. 231
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), Cet II, Hal. 137
51
52
Berdasarkan pasal tersebut bahwa anak yang sah memiliki dua sifat;
pertama anak sah adalah anak berdasarkan pembuahan antara suami istri
secara alami (hubungan suami istri) dan anak yang dilahirkan berdasarkan
pembuahan suami istri di luar rahim dengan mediasi ilmu kedokteran. Dengan
kata lain, bayi tabung.3
Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa itu adalah anak yang sah
maka diperlukan bukti otentik sebagai asal-usul anak. Dalam hal ini,
Pengadilan memiliki andil untuk menetapkan status anak tersebut setelah
diverifikasi dan diteliti dengan berbagai bukti lainnya. Hal ini dijelaskan
dalam pasal 103 KHI sebagai berikut:
a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau
bukti lainnya;
b. Bila akta kelahiran atau bukti lainnya yang tersebut dalam ayat 1 tidak
ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal
usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti sah;
c. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam ayat 2, maka
instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
3
Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), cet I, Hal. 119
53
Agama
tersebut
mengeluarkan
akta
kelahiran
bagi
anak
yang
bersangkutan.4
Rumusan anak sah bagian kedua merupakan pembaharuan hukum
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung. Ketentuan ini
merupakan legitimasi kebolehan menggunakan teknologi kedokteran dalam
hal konsepsi (pembuahan) janin (anak) dalam kandungan. Menurut ketentuan
ini dapat diketahui bahwa:
a. Pembuahan anak di luar rahim itu sah dan dibolehkan
b. Pembuahan itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan dilahirkan
oleh istri itu sendiri
c. Tidak dibenarkan menggunakan atau menyewa rahim perempuan lain.5
Adapun rumusan anak sah dalam point a sama persis dengan rumusan
dalam Undang-undang Perkawinan, yang dapat ditarik pengertian, bahwa
anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan dan sebagai akibat
perkawinan yang sah.
Kemudian bila penjelasan di atas di hubungkan dengan akibat
perkawinan yang batal demi hukum, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berpendapat dalam pasal 75 yang berbunyi:
4
Dedi Supriadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, hal.
119-120
5
Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UI Press, 1999), cet II, Hal. 106
54
Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad;
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.6
Dari pasal 75 point b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebutkan
di atas, jelas bahwa status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang
batal masih disebut sebagai anak sah, sebab keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut bagi anak-anak yang dilahirkannya meskipun
keputusan pembatalan perkawinan tersebut untuk selamanya dan tidak
berkesempatan untuk rujuk kembali.
2. Status Anak Menurut Hadits Nabi Tentang Nasab
Berketurunan merupakan tujuan pokok diantara tujuan pernikahan. Hal
ini merupakan kecintaan laki-laki sebagai akar rumah tangga, begitu juga bagi
perempuan. Karena setiap manusia ingin namanya tetap ada dan berlanjut
pengaruhnya.7
Dalam Hukum Islam, berketurunan biasa disebut dengan istilah nasab.
Secara bahasa Nasab berarti al-qarabah atau kedekatan dalam hubungan
6
7
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 131
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah
Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami (Jakarta: Amzah, 2010) cet. I, Hal. 251
55
keluarga. Kedekatan tersebut baik hubungan darah atau karena adanya
perkawinan. 8
      
      

54
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan (nasab) dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa. (Q.S. Al-Furqan: 54).
Nasab seperti yang disebutkan al-Farra‟, diartikan sebagai hubungan
dimana terdapat larangan perkawinan diantaranya. Akar suatu nasab dalam
pandangan Ulama Fikih adalah mulai dari bapak dan ibu sampai ke atas dan
dari anak sampai ke bawahnya. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa
pendapat yang menguraikan pengertian nasab secara istilah, seperti yang
dicatat oleh Jumni Nelli, yaitu:
a. Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima
harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan;
b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai
salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah
satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga
yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah;
8
Sa‟d abu Jubab, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1993). Cet III, hal. 350.
56
c. Menurut Wahbah al-Zuhailiy nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran
yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan
kesatuan darah. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan
seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang
yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah;
d. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil
percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut
keturunan-keturunan syar‟i.9
Dalam perspektif Fikih proses penetapan nasab tidak pernah
memberikan suatu definisi yang jelas tentang nasab yang sah, namun dari
berbagai sumber terutama yang dinukilkan dari al-Quran dan Al-Sunnah,
dapat diketahui bahwa Islam sangat memberikan batasan yang jelas tentang
nasab tersebut.10
Dalam Syariat Islam diakui bahwa hanya nasab yang sah saja yang
berhak dijadikan ukuran suatu hubungan darah dalam keluarga yaitu ketika
melalui proses akad perkawinan yang sah pula. Dalam al-Quran disebutkan
secara implisit tentang kesucian nasab dalam Islam, yaitu:
9
Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional, h. 6, diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada
3 Januari 2011.
10
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Prenada Media, 2006), cet III, H. 277.
57
        .    
5 6
 
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya; kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki,; Maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela. (Q.S. Al-Mukminun: 5-6).
Dalam ayat lain juga disebutkan bahwa Allah melarang manusia untuk
mendekati zina, perbuatan yang akhirnya juga akan melahirkan anak yang
berstatus anak zina. Demikian ayat ini menyebutkan :
32:17
        
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra‟/17: 32).
Oleh karena itu, nasab menjadi suatu pondasi yang kuat dalam
membangun keluarga yang kokoh, di dalamnya terikat sebuah ikatan darah
yang kuat, kesatuan benih dan keturunan. Seorang anak menjadi bagian dari
bapaknya dan seorang bapak menjadi bagian dari anaknya. Nasab menjadi
sebuah jejaring yang menguatkan hubungan keluarga, dan menjadi nikmat
mulia yang dikaruniakan Allah kepada manusia, karena jika tidak maka akan
kacau hubungan darah dan akan hancur kemaslahatan yang ada di dalamnya.
Demikian itu pula, tidak akan tercapai hubungan yang harmonis, kasih
58
sayang, dan rahmat di antara para individu di dalamnya. Maka dari itu, Allah
sangat menjaga dan memelihara kelanggengan nasab manusia.11
12
Selain dari hadits di atas, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Sa‟ad ibn Abi
Waqqas, dan Abi Bakrah. Rasulullah menyebutkan bahwa barang siapa yang
menasabkan keturunannya kepada seorang yang bukan bapaknya, sedangkan
ia mengetahui (bahwa ia bukan bapaknya yang sah), maka haram baginya
surge di hari akhirat kelak. Dalam konteks inilah, meskipun dilakukan pula
oleh Rasulullah dan banyak umat Islam, sistem pengangkatan anak tidak dapat
memberikan nasab kepada sesorang.13
11
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth),
juz 10. H. 1
12
Sulaiman ibn Asy‟ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar alFikr, tth), Juz I, h. 688, hadits no. 2262
13
Wahbah al-Zuhaility, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 10, h. 2.
59
Perkawinan yang sah akan melahirkan anak yang sah pula, jika
pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat berlangsungnya perkawinan
yang sah. Lain halnya anak zina yang diartikan oleh para ahli Fikih sebagai
anak yang lahir dari hubungan (badan) antara laki-laki dan perempuan tanpa
dengan status perkawinan yang sah.14 Dalam suatu hadits disebutkan :
15
Dalam konteks hadits ini, menurut al-Syaukani dalam nail al-Authar,
bahwa penentuan keturunan (nasab) seseorang hanya dihubungkan kepada
bapak, setelah adanya kepastian antara kedua suami istri telah melakukan
hubungan badan, serta dengan akad pernikahan yang sah. Menurut Ibnu
Qayyim, seperti dikutip al-Syaukani, kata “firasy” dalam hadits ini menjadi
dasar pembuktian nasab dalam Islam. 16
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h
279
15
‫نصا دة انفزاش‬:‫ ًفي نفظ نهثخا ري‬. Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail
al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar, subbab Anna Al-Walad li al-firasy. Dalam Shahih Muslim
Hadits ini disebutkan:
‫ددثنا فتيثح تن سعيد دد ثنا نيث ح ًدد ثنا يذًد تن ريخ اخثزنا انهيث عن اتي شيا ب عن عزًج عن عا ئشح‬
‫ اختصى سعد تن اتي ًقا ص ً عثد سيعح في غالو فقا ل سعد ىذايا رسٌ ل اهلل اتن اخي عتثح تن اتي ًقا ص عيد‬:‫انيا قا نت‬
‫اني عنو اتنو انظزاني شثيو ًقا ل عثد تن سيعح ىذا اخي يا رسٌ ل اهلل ًند عهي فزا ش اتي ين ًنيدتو فنظز رسٌ ل اهلل‬
‫صهي اهلل عهيو ًسهى اني شثيو فزاي شثيا تعتثح فقا ل ىٌ نك يا عثد انٌند نهفزاش ًنهعاىز انذجز‬
Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
al-Ihya al-Turats al-arabi, tth), Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II, hal. 1079. Hadits nomor
1457. Lihat Pula, Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi,
(Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth), Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, dkk, Juz III, h.
462, hadits nomor 1156.
16
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa alAkhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari [email protected].
60
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, hadits ini menunjukkan bahwa nasab
hanya diambil dari bapak dan ibu yang menjalin hubungan perkawinan yang
sah. Firasy diartikan sebagai perempuan yang telah diketahui oleh khayalak
umum, bahwa ia adalah isteri (dari lelaki) yang sah.17
Dari penjelasan di atas, bila dibandingkan dengan uraian dalam Shahih
Muslim,18 dapat diambil benang merah, bahwa dalam Islam pengakuan atas
anak oleh orang tua (termasuk pula dengan nasabnya yang sah) hanya bisa
dilakukan ketika perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan
telah terikat hubungan yang sah sebagai suami istri. Dengan kata lain, anak
sah hanya boleh diakui dengan akad pernikahan yang sah pula. Oleh karena
itu, jelaslah bahwa anak-anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan
yang sah tetap berkedudukan sebagai anak sah, meskipun suatu saat terjadi
pembatalan perkawinan. Sebab kata Firasy dalam hadits di atas dapat
dipahami yaitu mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain pemilik
alas tidur tersebut setelah adanya perkawinan yang sah adalah laki-laki yang
menjadi suaminya.
Selain itu dalam pandangan ulama Fikih dikenal juga istilah anak
syubhat. Menurut Jawad al-Mughniyyah, mengutip dari berbagai pandangan
Ulama, anak syubhat yaitu anak yang dilahirkan dari percampuran
(persetubuhan) syubhat, hal ini terjadi manakala seorang laki-laki mencampuri
17
Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz
10, h. 3
18
Lihat, Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim.
Penjelasan hadits nomor 1457, jilid II, h. 1079
61
seorang wanita lantaran tidak tahu bahwa wanita tersebut haram untuk
dicampuri, baik karena haram untuk selamanya atau bersifat sementara.
Syubhat terbagi dua yaitu syubhat dalam akad, dan syubhat dalam tindakan.19
a. Syubhat dalam Akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan
akad nikah dengan seorang wanita seperti biasa, tapi ternyata akadnya
tersebut fasid.
b. Syubhat dalam tindakan, yaitu manakala seorang laki-laki mencampuri
seorang wanita tanpa adanya akad antara keduanya, baik sah maupun
fasid, semata-mata karena tidak sadar melakukannya bahwa wanita
tersebut tidak halal dicampurinya.
Nasab hasil persetubuhan syubhat ini dianggap sah oleh para ulama,
sehingga seorang anak dapat ditetapkan pada bapaknya. Kalaupun seorang
lelaki tersebut tidak mengakuinya, maka tidak akan menafikan adanya nasab
(secara hakiki), bahkan lelaki tersebut dipaksa untuk mengakui.
3. Status Anak Menurut Hukum Perdata
Anak mengandung banyak arti apalagi bila kata anak diikuti dengan
kata lain misalnya anak turunan, anak kecil, anak sungai, anak negeri, dan lain
sebagainya.20 Anak adalah putra putri kehidupan, masa depan bangsa dan
19
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB, dkk.
(Jakarta: Lentera, 2001) cet VII, H. 389
20
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992). Hal. 83
62
negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan agar dapat berkembang
mental dan spiritualnya secara maksimal.21
Pengertian anak dalam hukum perdata tidak diatur secara eksplisit.
Pengertian anak selalu dihubungkan dengan kedewasaan sedangkan
kedewasaan tidak ada keseragaman dalam berbagai peraturan perundangundangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) anak belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak
lebih dahulu kawin, UU No 1 tahun 1974 tidak lugas mengatur mengenai
kapan seorang digolongkan sebagai anak, Secara tersirat dalam Pasal 6 ayat 2
yang menyatakan bahwa syarat perkawinan bagi seorang yang belum berumur
21 tahun harus mendapat ijin orang tuanya, Pasal 7 ayat 1 UU No 1 tahun
1974 menyatakan bahwa minimal usia anak dapat kawin pria 19 tahun dan
wanita 16 tahun. Di sisi lain, Pasal 47 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum melakukan pernikahan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak mencabut
kekuasaan orang tuanya, Dalam Inpres RI No 1 tahun 1991 tentang kompilasi
hukum islam batas usia dewasa diatur dalam Pasal 98 ayat 1 dinyatakan
21
21
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 52
Darwin Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta:
Pustaka Bangsa Pres, 2003). Hal. 80
63
bahwa dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik
maupun mental ataupun belum pernah melakukan perkawinan.22
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang
dianggap dewasa, Menurut penelitian Supomo tentang Hukum Perdata adat di
Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi :
a. Dapat bekerja sendiri
b. Cakap untuk melakukan apa yang di syaratkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bertanggung jawab.
c. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri
Dalam K.U.H.Perdata dan juga dalam UUP berlaku prinsip bahwa
keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah.23 Hal ini
menjelaskan bahwa keturunan yang sah yang di maksud di atas adalah anak
sah termasuk dari anak dan seterusnya ke bawah.
Pasal 250 K.U.H.Perdata mengemukakan bahwa “ Tiap anak yang
dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya. Dari pasal di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu:
22
Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki (Ayah) Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah
Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang), (Semarang: Tesis
Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005). Hal 32
23
Prinsip yang sama berlaku juga dalam hukum di Amerika Serikat, “Legitimacy is
defined primariliy by reference to the marital status of the child‟s parents‟.
64
Kata “sepanjang perkawinan”, artinya sejak perkawinan itu ada sampai
perkawinan itu putus. Perkawinan ada, sejak perkawinan dilangsungkan
secara sah sampai perkawinan itu putus karena perceraian, baik cerai mati
maupun cerai hidup. 24
Kemudian pada kata”ditumbuhkan” merupakan terjemahan dari kata
verwekt yang bisa juga diberikan arti “dibenihkan”. Kata suami dalam
rangkaian kata-kata memperoleh si suami sebagai ayahnya, mempunyai arti
suami dari perempuan yang melahirkan anak tersebut.25
Dari penjelasan di atas, terdapat dua ukuran yang dipakai oleh
pembuat Undang-undang untuk menetapkan siapa ayah seorang anak, jika
anak tersebut lahir dalam suatu keluarga, yang orang tuanya menikah secara
sah.
Selanjutnya, dari bunyi ketentuan pasal 250 tersebut di atas, orang
menyimpulkan bahwa “anak yang lahir sepanjang perkawinan bapak-ibunya,
dan anak yang dibenihkan di dalam perkawinan bapak-ibunya adalah anak sah
dari kedua orang tuanya artinya ukuran pertama ayah dari seorang anak
tersebut adalah bapak/ayah yang membuahi perempuan yang melahirkan anak
tersebut di dalam perkawinan.
24
25
Pasal 199 KUHPer dan pasal 38 UUP.
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi
Revisi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), cet II, hal. 19.
65
Sedangkan ukuran kedua siapa ayah dari anak yang dilahirkan dalam
perkawinan orang tua mereka adalah berangkat dari anggapan bahwa yang
membuahi sesuai dengan umumnya terjadi yaitu suami si perempuan yang
melahirkan itu adalah ayahnya. Akan tetapi jika kenyataannya berbeda, maka
ayah dari seorang anak tersebut adalah suami si perempuan yang melahirkan
anak tersebut meskipun suami tersebut tidak pernah membuahi si perempuan
tersebut.26
Sehubungan dengan penjelasan di atas, perlu dicermati juga bunyi
anak kalimat terakhir pasal 199 sub 4 K.U.H.Perdata berkata tentang “karena
perceraian sesuai dengan ketentuan dalam bagian ketiga bab ini” adalah agar
kita memperhatikan ketentuan pasal 221 K.U.H.Perdata yang berbunyi
“Perkawinan bubar karena perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam
register catatan sipil”.
Dalam pasal 221 K.U.H.Perdata di atas dapat dipahami bahwa
perkawinan dapat dikatakan bubar atau putus disebabkan karena adanya
keputusan perceraian dari pengadilan dan juga harus didaftarkan keputusan
perceraian itu di kantor catatan sipil. Kemudian lain halnya dengan bunyi
pasal 38 UUP mengatakan bahwa perkawinan dapat diputus karena :
kematian, perceraian, dan atas keputusan peradilan. Jadi, menurut UUP,
pencatatan dalam register di kantor pencatat nikah bukan merupakan syarat
26
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi
Revisi, hal 24.
66
putusnya perkawinan. Dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 dengan tegas menyebutkan “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan”
Oleh karena itu, apabila pemutusan perceraian itu hanya ada keputusan
perceraian dari pengadilan saja, tanpa adanya pendaftaran di kantor Catatan
Sipil dalam jangka waktu enam bulan, konsekuensinya adalah semua anak
yang dilahirkan dalam masa enam bulan (6 bulan) sejak keputusan perceraian
(yang tidak didaftarkan) lahir di dalam/sepanjang perkawinan orang tuanya
maka anak tersebut dikatakan sebagai anak sah.27
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa anak-anak yang tumbuh atau
dilahirkan sepanjang perkawinan ayah dan ibunya disebut anak sah. Oleh
karena itu, manakala anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak
terikat dalam suatu perkawinan disebut anak-anak tidak sah atau anak-anak
luar kawin (onwettige, onechte, natuurlijke kinderen).
Anak-anak yang tidak sah atau anak luar kawin dibedakan menjadi dua
golongan yaitu:
a. Anak-anak luar kawin yang bukan anak zina (overspelig) atau anak
sumbang (bloed schennis) maksudnya adalah anak yang dibuahi tidak
dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah
27
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi
Revisi, hal. 19-20
67
b. Anak-anak luar kawin hasil zina (overspelige kinderen), artinya anak yang
dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah.28
Pengertian anak luar kawin dalam undang-undang digunakan dua arti
yaitu: Pertama, dalam arti luas, adalah anak-anak yang dilahirkan di luar
perkawinan termasuk didalamnya anak-anak zina dan anak sumbang; Kedua,
dalam arti sempit ialah anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang
bukan anak zina dan anak sumbang.
Sejak tahun 1947, B.W. Belanda telah mengalami perubahan dan
dewasa ini telah dimasukkan kedalam pasal 221 ayat 1 B.W.N. yang berbunyi
:”Anak-anak tidak sah mempunyai kedudukan sebagai anak alami ibunya. Ia
memperoleh kedudukan sebagai anak sah setelah diakui ayahnya”. B.W. di
Indonesia mengatur tentang pengesahan anak luar kawin dalam bagian II,
sedangkan pengakuan anak diatur dalam bagian III bab XII.
Undang-undang mengenal dua jenis pengakuan anak, yaitu :
a. Pengakuan dengan sukarela
Pengakuan adalah suatu pernyataan kehendak yang dilakukan oleh
seseorang menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang bahwa
ia adalah ayah (ibu) dari seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Dengan pengakuan tersebut, maka timbul hubungan perdata antara anak
dengan ayah (ibu) yang telah mengakuinya (pasal 280 B.W.).
28
R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en femilie-recht), (Surabaya: Airlangga University Press, 1991), Hal 164-165
68
b. Pengakuan dengan paksaan
Pengakuan dengan paksaan yang di maksud di sini, adalah
keputusan Pengadilan yang menetapkan perihal ibu atau ayah seorang
anak luar kawin.29
Oleh karena itu, anak-anak luar kawin yang tidak diakui oleh
bapaknya, akan tetapi setelah adanya pengakuan maka ia dinasabkan kepada
ayah yang mengakuinya. Akan tetapi, lain halnya dengan seorang anak luar
kawin yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, meskipun
sudah mendapatkan pengakuan dari ayah yang mengawini ibunya, tetap saja
nasabya di hubungkan kepada ibunya. Dengan demikian, anak tersebut tidak
berhak mendapat hak atas ayah suami ibunya.
B. Pandangan Majelis Hakim Tentang Status Anak Akibat Pembatalan
Perkawinan
Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan
berlawanan jenis dalam satu ikatan keluarga. Secara sederhana, pernikahan dapat
pula dipahami sebagai jalan legal untuk memenuhi hajat biologis, persetubuhan
antara laki-laki dan perempuan, berdasarkan ajaran Islam.30
29
R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en femilie-recht), hal. 181
30
M. Cholil Nafis, dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah Terapan Fikih Sosial Kiai
Sahal, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010), cet I, hal. 3
69
Sebuah pernikahan yang sah tentunya akan menghasilkan anak yang sah,
jika proses pembuahan dan lahirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan yang
sah. Kehadiran seorang anak berpengaruh terhadap keharmonisan sebuah
keluarga. Anak merupakan salah satu anugerah yang Allah berikan kepada
pasangan suami istri. Oleh karenanya seorang anak mempunyai hak-hak atas
orang tuanya, seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tua, mendapat biaya
pendidikan dan pengasuhan, mendapatkan harta dari orang tuanya bahkan
ketentuan dan kepastian nasab.
Jika dihubungkan dengan status anak yang dilahirkan atas pernikahan
yang yang dilarang untuk selamanya, menurut Majelis Hakim yang menangani
putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk berpendapat:
Ketika disuguhkan sebuah pertanyaan atas kasus putusan tersebut di atas,
terlebih dahulu Ketua Majelis Bapak Drs. Azid Izuddin, M.H. menceritakan
secara detail perihal kasus yang ia putus. Menurutnya, pada saat ia menangani
kasus ini memang pada awalnya pernikahan antara Pemohon dan Termohon
sudah fasid, sebab keduanya pun menyadari bahwa mereka masih saudara seibu,
ketika proses pengajuan bukti dan saksi dalam persidangan. Akan tetapi karena
telah terjadi pembuahan di luar perkawinan yang dilakukan oleh kakak
kandungnya, sehingga mengakibatkan kehamilan maka keduanya pun kemudian
dinikahkan secara sah oleh walinya. Padahal walinya pun selalu berpesan bahwa
setelah akad nikah dilakukan, keduanya di suruh untuk secepatnya membatalkan
perkawinan, karena pada hakekatnya pernikahan tersebut dilarang. Selang
70
beberapa waktu dari perkawinan keduanya, akhirnya tepatnya pada tahun 2009
setelah bapaknya meninggal dunia Pemohon pun mengajukan permohonan cerai
thalak. Dalam putusan subsidairnya dikatakan bahwa antara Pemohon dengan
Termohon batal demi hukum untuk selamanya sebab perkawinannya dinyatakan
fasid/rusak.
Dari pemaparan kasus di atas, menurut Ketua Majelis bahwa pada
dasarnya pernikahan kedua insan tersebut sudah fasid/rusak meskipun belum
dijatuhi putusan dari Pengadilan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan anak yang
dilahirkan dari keduanya, menurut Ketua Majelis anak tersebut masih dikatakan
sebagai anak sah, sebagaimana tercantum dalam pasal 75 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) point b: Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut
terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.31
Dalam penjelasan lain pun diungkapkan bahwa seorang anak yang
dilahirkan selama 180 hari atau 6 bulan masih disebut sebagai anak sah jika
dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dari penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa meskipun perkawinannya itu batal demi hukum, tetap saja anak yang
dilahirkan dari hubungan suami istrinya tersebut di sebut anak sah, jika masa
kehamilan sampai kelahirannya mencapai 180 hari atau 6 bulan. Lamanya waktu
tersebut telah disebutkan dalam Fikih dan Hukum Perdata.32
31
Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Jakarta, 29 April 2011
32
Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Jakarta, 29 April 2011
71
C. Analisa Penulis
Kajian mengenai kedudukan anak merupakan hal yang sangat mendasar
bagi kehidupan umat manusia. Agama Islam dengan Al-Quran sebagai sumber
utama ajarannya yang universal diyakini telah mengkaji segala aspek kehidupan,
termasuk persoalan status anak. Dari sini kita bisa dapat mengetahui tentang
kedudukan seorang anak.
Kedudukan anak dalam Islam sangat tinggi dan mulia. Al-Qur‟an
memposisikan sebagai perhiasan dunia, anak juga sebagai hiburan. Oleh karena
itu dalam puisi arab kuno disebutkan:
Anak-anak adalah
Belahan jiwa kita yang berjalan di atas persada
Bila angin kencang menerpa.33
Pernyataan ini merupakan ungkapan kasih sayang orang tua yang sangat
menaruh kasih sayang kepada anaknya, kerana secara alamiah, anak-anak
memang selalu belajar kepada hal-hal yang mengandung kasih sayang, lemah
lembut dan belas kasihan. Pembahasan kali ini adalah tentang kedudukan anak
akibat pembatalan perkawinan karena orang tuanya masih mempunyai hubungan
sedarah, seibu.
Secara garis besar, anak terbagi atas beberapa macam yaitu anak sah (anak
kandung), anak zina, anak angkat, Anak Susuan, Anak Pungut, dan Anak Tiri.
33
Dewan Ulama al-Azhar (Mesir), Ajaran Islam tentang Perawatan Anak, Terjemahan
Alwiyah Abdurrahman (Bandung: ttp, 1987).cet II, Hal 15.
72
Dalam literatur Hukum Islam yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam,
kedudukan anak terbagi atas dua macam, yaitu anak sah dan anak luar
perkawinan.
Di bawah ini adalah macam-macam anak secara umum, yaitu:
1. Anak Sah (Anak Kandung)
Anak Kandung berarti anak sendiri yakni anak yang dilahirkan oleh
seorang ibu dan suaminya yang sah berdasarkan perkawinan yang memenuhi
syarat. Perkawinan yang sah adalah jalan satu-satunya dalam tanggung jawab
terhadap keturunan, baik ditinjau dari segi nafkah yang wajib, bimbingan,
pendidikan maupun warisan.34
Anak kandung (anak sah) menjadi tumpuan harapan generasi penerus
yang akan menyusun masyarakat selanjutnya. Generasi penerus sewajarnya
merupakan generasi yang bertanggung jawab penuh dalam membentuk masa
depan yang sehat dan kuat. Generasi penerus berarti manusia yang hidup
dengan cita-cita yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan
bangsa. Anak sah sangat erat hubungannya dengan ibu bapaknya sebab tidak
dapat dipisahkan kuku dari daging dan darah tidak mungkin menjadi air serta
air susu tidak mungkin menjadi tuba.
Dilihat dari kedudukannya, anak sah mempunyai kedudukan tertentu
terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan,
34
Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak
Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991) cet. II, Hal. 33
73
pengawasan dalam ibadah dan budi pekerti anak dalam kehidupan sampai ia
dewasa.
Dalam perspektif Undang-undang nomor 1 tahun 1974, anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
(Pasal 41 UUP).35
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, Anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, dan hasil
pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut. Sedangkan anak luar nikah adalah anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (KHI
Pasal 99 dan 100).36
Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa hubungan nasab/keperdataan
anak terhadap orang tuanya bisa hanya bernasab pada ibunya dan keluarga
ibunya untuk anak yang tidak sah, dan mempunyai hubungan nasab dengan
ibu bapaknya (anak sah).
2. Anak Zina
Anak Zina adalah Anak yang timbul di luar dari perkawinan. Zina
berarti bergaul antara wanita dan pria tidak menurut ajaran Islam. Menurut
35
Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) cet V, Hal 81
36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995). Cet II, hal 137
74
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional mengatakan „Zina adalah perbuatan
bersetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bergendak, dan
sebagainya).37
Seorang anak yang dilahirkan dari hasil perzinaan sebenarnya tidak
bersalah, tidak berdosa, dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang
berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu yakni kedua
orang tuanya. Meskipun demikian, memang pada dasarnya status anak zina
dalam Hukum Islam tidak dapat disandarkan kepada ayah dan Ibunya. Akan
tetapi setelah anak ini lahir kedunia dan menjadi manusia biasa, maka ia pun
memiliki hak hidup yang sama dengan mnusia biasa yang lain, hanya saja ia
sudah kehilangan hak lainnya seperti hak warisan, sebab ia tidak mempunyai
bapak yang sah. 38
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Anak Zina lebih akrab dikenal
dengan anak luar kawin. Oleh karena itu, anak luar kawin adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan demikian, tanggung jawab atas
semua keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan
keluarga ibunya, begitu pun dengan masalah waris mewarisi.
37
W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005 ) cet, III, hal. 1280
38
Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Knadung, Anak
Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991) cet II, Hal. 80
75
Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa akibat hukum bagi
anak zina adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya, tapi hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya, sehingga bapaknya tidak wajib
memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis anak tersebut
tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi
bukan secara hukum;
b. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab
adalah salah satu penyebab kewarisan;
c. Bapak tidak berhak menjadi wali bagi anak luar kawin, jika kebetulan
anaknya perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak
berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.39
3. Anak Angkat
Menurut Hukum Islam, status anak angkat adalah sama dengan orang
lain dan tidak mempunyai hubungan nasab atau silsilah dengan orang yang
mengangkatnya (mengadopsi). Nasab tetap dihubungkan dengan orang tua
kandungnya.40 Oleh karena itu, sungguh pun Zaid bin Haritsah dijadikan anak
angkat oleh Nabi Muhammad Saw dia tetap dipanggil dengan sebutan Zaid
bin Haritsah dan tidak boleh disebut Zaid bin Muhammad karena dapat
39
40
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal. 195
M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, (Jakarta: PT. AlMawardi Prima, 2003) cet. I, Hal. 217
76
mengacaukan hubungan mahram, waris dan perwalian nikah. Sebagaimana
difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 :
  
          
 
      
     
      .       
4 33
         
5
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu…………..(QS. ALAhzab/33:4-5).
Oleh karena anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan
keluarga orang tua angkatnya, maka anak angkat boleh dinikahi oleh ayah,
ibuatau saudara angkat. Demikian juga bekas suami atau bekas istri anak angkat
boleh dinikahi oleh orang tua angkat.
Sehubungan anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan
keluarga orang tua angkatnya, maka berlaku hukum sebagai berikut:
a. Orang tua angkat beserta keluarganya tidak berhak menjadi wali pernikahan
anak angkat perempuan;
77
b. Anak angkat laki-laki tidak berhak menjadi wali pernikahan saudara angkat
perempuan;
c. Orang tua angkat beserta keluarganya tidak boleh khalwat (berdua-duaan)
dengan anak angkat yang berlainan jenis dan telah baligh;
d. Menurut Imam Syafi‟I, persentuhan kulit anak angkat dengan orang tua
angkat beserta keluarganya yang berlainan jenis membatalkan wudlu.41
Dari penjelasan ketiga macam anak di atas, jika dihubungkan dengan
perkawinan yang batal demi hukum karena terjadi kefasidan dalam
perkawinannya adalah:
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan
cacat syarat syahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah,
menikahi saudara kandungnya sendiri, dan sebagainya. Menurut Kesepakatan
Ulama Fiqh, penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama
dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi Ulama
Fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam perkawinan
fasid tersebut:
a. Suami punya kemampuan menjadikan istrinya hamil, yaitu seorang yang
baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan istrinya
tidak hamil;
b. Hubungan senggama bisa dilakukan;
41
M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, hal. 220
78
c. Anak dilahirkan dalam masa waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya
akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan sengama (menurut
ulama hanafiyah). Apabila anak tersebut lahir sebelum waktu enam bulan
setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak tersebut
tidak dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut jika wanita tersebut
sudah menikahi dengan laki-laki yang lain.42
Dalam literatur yang lain yaitu Kompilasi Hukum Islam dan hasil
wawancara dengan Drs. Azid Izuddin, M.H. selaku Hakim Ketua di Pengadilan
Agama Depok yang menangani kasus putusan nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk
menyatakan bahwa kedudukan anak yang dilahirkan dalam perkawinan fasid
atau setelah terjadinya pembatalan perkawinan baik untuk selamanya atau pun
sementara, tetap saja kedudukan anaknya masih dikatakan sebagai anak sah,
sebab dalam KHI Pasal 75 (b) diungkapkan bahwa keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Kemudian dalam selanjutnya yaitu pasal 76 KHI
disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan
hukum antara anak dengan orang tuanya.
Di samping itu dalam Hukum Perdata pun diungkapkan bahwa apabila
kelahiran anak sudah mencapai umur 180 hari/ enam bulan dari perkawinannya
maka anak tersebut disebut anak sah. Dihubungkan dengan putusan nomor
42
Jumni Nelli, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan
Nasional, h. 10, diakses dari www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf,
pada 3 Januari 2011
79
1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk tentang status anaknya, maka sudah jelas bahwa
kelahiran anak pertamanya lebih dari 6 bulan/180 hari, sehingga anak itu
disebut sebagai anak sah. Meskipun hukum perkawinan kedua orang tuanya
dilarang dan dinyatakan fasid/rusak.
Kedudukan anak tentunya bersentuhan dengan hak-hak anak terhadap
orang tuanya. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang
dimiliki oleh orang dewasa, Hak asasi manusia. Ketentuan hukum mengenai
hak-hak anak dalam konvensi Hak anak dapat dikelompokkan menjadi:
1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
2) Hak terhadap perlindungan (protection rights) yaitu perlindungan anak dari
diskriminasi, tindak kekerasan, dan keterlantaran.
3) Hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi segala
bentuk pendidikan (formal maupun nonformal) dan hak untuk mencapai
standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral,
dan sosial anak
4) Hak untuk berpartisipasi43
Ikatan kekeluargaan dapatlah timbul berbagai hubungan. Apabila
perkawinan melahirkan seorang anak, maka kedudukan seorang anak dengan
43
Absori, “Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implmentasinya di Indonesia
Pada Era Otonomi Daerah” artikel diakses pada 30 Mei 2011 dari
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=hak+anak&oq=hak+anak&aq=f&aqi=g10&aql=&gs
_sm=e&gs_upl=338236l344746l0l10l10l1l1l1l0l809l3569l0.1.1.1.2.2.1&fp=141010c178f24899&bi
w=1024&bih=507.
80
orang tuanya menimbulkan persoalan sehingga dirasakan adanya aturan-aturan
hukum yang mengatur tentang hubungan antara mereka. Aturan-aturan hukum
antara keduanya bersentuhan erat dengan konsep hak dan kewajiban antara
orang tua kepada anaknya atau sebaliknya.
Kewajiban orang tua terhadapa anaknya, essensinya adalah demi
pertumbuhan anak agar menjadi anak yang baik, yaitu dengan memenuhi
kebutuhan jasmani seperti makan, minum, tidur, kebutuhan keamanan dan
perlindungan, kebutuhan untuk dicintai orang tua, kebutuhan harga diri, dan
kebutuhan untuk menyatakan diri baik.
Dalam pasal 9 Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak menyebutkan bahwa orang tua yang pertama-tama
bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara fisik,
jasmani, maupun sosial.
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
anak, dijelaskan bahwa tugas antara masyarakat, keluarga, dan pemerintah
adalah bertanggung jawab di dalam kegiatan perlindungan anak, di samping
seorang anak merupakan amanah dari Allah SWT, juga anak merupakan
penerus keturunan dari sebuah keluarga dan anak merupakan generasi penerus
bangsa.
Sebagai generasi penerus bangsa dan penerus keturunan keluarga,
hendaknya kelahiran seorang anak dihasilkan atas perkawinan yang sah.
81
Perkawinan yang sah akan menghasilkan keturunan yang sah (anak sah), dan
keturunan yang sah akan menghasilkan generasi yang baik.
Seorang anak sah yaitu seorang yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah, secara langsung ia dinasabkan kepada bapaknya. Ia pun
kemudian mendapatkan semua hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan
peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga
melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi
harta ayah dan ibunya.
Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak
akan terputus sampai kapanpun, meskipun anak yang dihasilkannya dari
perkawinan yang dilarang oleh agama, tetap saja ayah ibunya berkewajiban
memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan
pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa. Bahkan kedudukan (status) anak
tersebut tidak berubah, tetap menjadi anak sah. Lain halnya jika status anak
yang dilahirkan adalah anak luar kawin atau anak zina, ia hanya mendapatkan
pemenuhan hak dari pihak ibunya dan keluarga ibunya sebab hubungan
nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Depok
nomor 1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk. Untuk penulis ada beberapa kesimpulan yang
dapat ditarik dari hal tersebut :
1. Dalam sebuah putusan tentunya tidak akan lepas dari pertimbangan Majelis
Hakim dalam memutus sebuah perkara/kasus. Dalam kasus putusan nomor
1723/Pdt.G/2009/PA.Dpk, Penulis sadar bahwa putusan tersebut pada
hakekatnya tidak mengandung masalah, akan tetapi yang dipertanyakan oleh
Penulis adalah status anak akibat pembatalan perkawinan dalam putusan
tersebut. Setelah penulis melakukan wawancara dengan Hakim Ketua yang
memutus nomor perkara tersebut, akhirnya penulis mengetahui bahwa
pertimbangan Hukum yang dipakai oleh Ketua Majelis adalah berdasarkan
fakta-fakta yang ada dikorelasikan dengan pasal-pasal dalam KHI dan fiqh.
Dalam KHI, Majelis Hakim menilai bahwa pada dasarnya perkawinan tersbut
dari awalnya sudah rusak/fasid, meskipun belum ada pengesahan dari
pengadilan. Oleh karena itu, ketika di tanya terkait dengan status anaknya,
Majelis Hakim berkomentar menurut pasal 75 b KHI yakni anak tersebut tetap
menjadi anak sah sebab keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku atas
status anak. Di samping itu, Hakim Ketua pun menambahkan bahwa pada
82
83
pasal 99 dan 100 KHI, jelas sekali bahwa anak tersebut dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah, meskipun perkawinannya dilarang. Maksudnya
adalah meskipun kedua orang tuanya dilarang melakukan perkawinan karena
masih saudara sekandung, tetap saja anak tersebut disebut sebagai anak sah.
Alasannya adalah karena pada awalnya perkawinan tersebut berstatus
perkawinan fasid/rusak.
2. Perkawinan merupakan sunnatullah yang dapat menyatukan dua insane yang
berbeda menjadi satu dalam ikatan yang suci dan sacral. Karena sifatnya yang
begitu suci dan agung, sebagai manusia kita harus memenuhi segala syarat dan
rukunnya
jika
ingin
melakukan
proses
pernikahan.
Apabila
dalam
pelaksanaannya di temukan kecacatan dalam perkawinannya atau terjadi
kecacatan, itu berarti perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan
atas usulan dari pihak suami/istri, kerabat keduanya, atau pihak-pihak yang
berkepentingan yang mengetahui kecacatan dalam perkawinan tersebut.
Oleh karena itu, pembatalan perkawinan adalah rusak atau tidak sahnya
perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya,
atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Batalnya
perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga dikenal dengan fasakh. Ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan
perkawinan
tersebut
dapat
dibatalkan/fasakh yaitu terjadinya syiqaq, adanya cacat, ketidakmampuan
suami member nafkah, suami ghaib, dan dilanggarnya perjanjian perkawinan.
Adapun factor-faktor yang menyebabkan perkawinan itu dapat dibatalkan,
84
menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suami melakukan perkawinan
kelima setelah mempunyai empat istri, menikahi istri yang telah di li‟an,
menikahi bekas istri yang telah dijatuhi talak tiga, perkawinan yan dilakukan
oleh sesame saudara kandung, semenda, dan sesusuan.
Dari faktor-faktor di atas, jelas dapat membatalkan perkawinan baik
untuk sementara atau pun selamanya. Meskipun demikian, tentunya hal
tersebut berakibat pada status/kedudukan anak yang dilahirkan olehnya
sebelum perkawinan tersebut dibatalkan. Anak merupakan anegerah terindah
yang Allah titipkan kepada setiap pasangan suami istri, karena anak
merupakan harta yang begitu besar dalam hidup berkeluarga, tentunya anak
mempunyai hak atas kedua orang tuanya termasuk status dirinya sebagai anak.
Akan tetapi jika perkawinan orang tuanya batal demi hukum karena ternyata
masih saudara sekandung seibu, maka status anak pun bisa saja berubah.
Berubahnya status anak pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap
hubungan antara dirinya dengan kedua orang tuanya, maksudnya anak tersebut
pada hakekatnya tetap menjadi anak dari orang tua yang melahirkannya. Oleh
karena itu, sebelum kita menafsirkan bahwa anak tersebut bukan lagi anak sah,
lebih baik jika kita melihat dari beberapa segi yaitu:
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 75 b, jelas
dikatakan bahwa keputusan pembatalan perkawinan orang tuanya tidak
berlaku surut kepada anak yang dilahirkannya. Hal tersebut berarti, meskipun
anak tersebut hasil perkawinan sekandung, maka tetap saja anak tersebut
85
masih di sebut sebagai anak sah, sedangkan yang batal hanyalah ikatan
perkawinannya saja.
Sedangkan menurut Hukum Perdata, dalam menyebutkan pengertian
anak sah dan anak luar kawin/anak zina menyatakan bahwa status anak dapat
dikatakan sebagai anak sah atau tidak jika dilihat dari segi usia kehamilan
sampai melahirkan, apakah sudah mencapai 180 hari/6 bulan. Jika anak tersbut
lahir atau tumbuh sepanjang perkawinan maka suami dari ibunya adalah
bapaknya (anak tersebut adalah anak sah), dan apabila seorang anak dilahirkan
belum lahir sebelum hari ke 180 hari, maka suami bisa melakukan
pengingkaran atas status anak tersebut. Hal tersebut berarti, dalam Hukum
Perdata di ungkapkan bahwa apabila seorang anak dilahirkan dan tumbuh
sepanjang perkawinan dan dilahirkan setelah melewati 180 hari, maka jelas
anak tersebut di sebut sebagai anak sah. Hal ini tertuang dalam pasal 250 dan
251 BW. Penjelsan ini sama juga diungkapkan dalam ilmu Fiqh.
3. Perbandingan hukum status anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Hadits Nabi tentang Nasab, dan Hukum Perdata adalah:
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak sah adalah anak yang
dilahirkan atau akibat perkawinan yang sah, dan hasil pembuahan suami istri
yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh tersebut. Sedangkan anak luar
kawin yaitu anak yang lahir di luar perkawinan, yang hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (tercantum dalam pasal
99 dan 100 KHI).
86
Sedangkan Menurut Hadits Nabi tentang Nasab, anak sah adalah anak
yang nasabnya disandarkan kepada bapaknya dari hasil perkawinan yang sah
dan jika proses pembuahan dan kelahirannya dilakukan pada saat masih
berlangsungnya perkawinan yang sah. Di samping itu, menurut Ibn Qayyim al
Jauziyyah yang menafsirkan lafadz “firasy” dalam Hadits Nabi yang
diriwayatkan secara Jamaah kecuali Abu Daud menyatakan bahwa firasy
menjadi dasar pokok penetapan nasab dari seorang anak, Maksudnya firasy di
atas, dapat kita pahami bahwa seorang anak sah adalah anak yang dilahirkan
dari mereka yang mempunyai alas tidur. Dengan kata lain, alas tidur di sini
adalah setelah adanya perkawinan yang sah dengan laki-laki yang menjadi
suaminya.
Adapun dalam Hukum Perdata, anak sah adalah anak yang dibuahi dan
dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah dan setelah melewati 180 hari dari
kehamilan sampai anak tersebut dilahirkan.
B. Saran-Saran
Setelah ada beberapa kesimpulan diatas, Penulis juga ingin memberikan
beberapa saran-saran yang penulis berikan kepada semua pihak terkait dalam
permasalahan ini :
Kepada semua kaum adam dan Hawa, apabila ingin melakukan prosesi
pernikahan, sebaiknya diteliti dan selidiki dulu siapa calonnya. Karena dengan
seperti itu, dapat mencegah dan mengurangi kekhidmatan berumah tangga atau
87
mencegah terjadinya kesalahan, kepalsuan, atau kecacatan baik ketika sebelum
akad maupun setelah akad. Dengan kita melakukan penyelidikan secara seksama,
proses pernikahan pun akad berlangsung dengan khidmat, bahkan nantinya akan
berakibat baik kepada istri maupun anak-anaknya.
Kemudian Kepada setiap pasangan suami istri, hendaknya selalu
memperhatikan dan menyayangi anak-anaknya, sebab anak adalah anugerah yang
Allah berikan kepadamu. Dengan hadirnya seorang anak, rona rumah tangga akan
semakin harmonis. Di samping itu, sebaiknya orang tua memberikan hak-hak atas
anaknya termasuk status sebenarnya anak tersebut. Sepahit apa pun kenyataannya,
mereka mempunyai hak untuk mengetahuinya.
Kepada Pemerintah atau pejabat Negara yang mengurus pernikahan,
diharapkan dalam persyaratan administratif atau pun lainnya agar lebih teliti,
seksama, dan telaten supaya dikemudian hari tidak terjadi kesalahan, ada syaratsyarat atau rukun-rukun yang belum terpenuhi, atau ada sebab lain yang
mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah atau batal.
Dapatkanlah sosok keturunan yang sah yakni keturunan yang dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dengan demikian, anak tersebut berhak
mendapatkan hak-haknya secara penuh dari bapaknya bahkan nasabnya pun
disandarkan kepada bapaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Al-Quran dan Terjemahannya
A.Hassan, Tarjamah Bulughul Maram-Ibnu
Dipenogoro, 2006, cet XXVII
Hajar
al-Asqalani,
Bandung:
Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. cet V
Abdul Rahman I Doi, Syariah 1 Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1995, Cet II
Absori, “Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implmentasinya di Indonesia Pada
Era
Otonomi
Daerah”
artikel
diakses
pada
30
Mei
2011
dari
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=hak+anak&oq=hak+anak&aq=
f&aqi=g10&aql=&gs_sm=e&gs_upl=338236l344746l0l10l10l1l1l1l0l809l3569
l0.1.1.1.2.2.1&fp=141010c178f24899&biw=1024&bih=507
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulumuddin, Semarang:
Toha Putra,tth, jilid II
abu Jubab, Sa’d, Qamus al-Fiqh: Lughatan wa Istilahan, Damaskus: Dar al-Fikr,
1993. Cet III
Ahmad Mudjab Mahalli, dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Mutafaq Alaih
Bagian Munakahat dan Mu‟amalat, Jakarta: Kencana, 2004, cet I
88
89
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
tth juz.II,
Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997,
cet. Ke-2
Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tth,
juz 10
Amini, Ibrahim, Anakmu, AmanatNya, Jakarta: Al-Huda, 2006, cet I
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai
KHI, Jakarta: Kencana, 2004
as-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,Penerjemah
Nurkhozin, Nidzomul Usroh fi al-Islami , Jakarta: Amzah, 2010, cet. I
Azhar Baasyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UII Press, 2000,
Cet. 9
Azis Dahlan, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: IchtiarBaru van Hoeve,
1996, cet. ke-1, jilid 4
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Darwin Prints dalam Iman Jauhari (1), Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Bangsa Pres, 2003
Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009, cet I
90
Dewan Ulama al-Azhar (Mesir), Ajaran Islam tentang Perawatan Anak, Terjemahan
Alwiyah Abdurrahman, Bandung: ttp, 1987.cet II
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI,
(Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam, 2002
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam Tentang NTCR II, Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama, Jakarta: 1985
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Departemen Agama RI, Pedoman
Pelaksanaan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta: Departemen Agama, 2006
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum 9Hk.
Islam, Hk. Barat, dan Hk. Adat) dalam rentang sejarah Bersama pasang surut
Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh,
(Jakarta: Kencana, 2006
Fuad Mohd, Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam (Anak Knadung, Anak
Tiri, Anak Angkat, dan Anak Zina), Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991, cet
II
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat. Jakarta :Kencana, 2003
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992
Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor
s1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan: CV.
Zahir Trading Co, 1975. Cet. 1
91
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjaun
Antar Mazhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, cet II
Ibnu Manzur, Lisan al-„arab Juz III, Qatar: Dar al-Fikr, 1994
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-undang Edisi
Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005, cet II
Kamil, Ahmad, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008
KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, tth
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
M. Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1994
M. Cholil Nafis, dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah Terapan Fikih Sosial Kiai
Sahal, Jakarta: Mitra Abadi Press, 2010, cet I
M. Hamdan Rasyid, Fiqh Indonesia: Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, Jakarta: PT. AlMawardi Prima, 2003. cet. I
Miladi, Ahmad, Fasakh Nikah dengan alasan Salah satu Riddah dan Akibat
Hukumnya (studi di Pengadilan Agama Depok), Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak di Korbankan? Panduan Pemula untuk
Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Malang:
PSG Publishing dan Pilar Media, 2006
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhhab, penerjemah Masykur AB,
dkk. Jakarta: Lentera, 2001, cet VII
92
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa alAkhbar, subbab Anna al-walad li al-firasy. Kitab elektronik diakses dari
[email protected]
Muhammad ibn Isa al-Turmizi al-Salami, al-Jami al-shahih Sunan al-Turmizi,
Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Islami, tth, Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir,
dkk, Juz III
Muslim al-Hujjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut:
Dar al-Ihya al-Turats al-arabi, tth, Tahqiq Muhammad Fuad Baqiy, Jilid II
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, tth
Nelli, Jumni, Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Perkawinan
Nasional,
Makalah
diakses
dari
www.uinsuka.info/syariah/attachments/145_jumni%20Nelli.pdf, pada tanggal 3
Januari 2011
Nizam, Kewajiban Orang Tua Laki-laki (Ayah) Atas Biaya Nafkah Anak Sah Setelah
Terjadinya Perceraian (Kajian Putusan Pengadilan Agama Semarang),
Semarang: Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Dipenogoro, 2005
R. Soetojo Prawirohamidjojo, dan Marthaena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en femilie-recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991
R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata :BW dengan
Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007 cet. Ke-38
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007
Sanapiah, Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasinya,
Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003, cet VI
93
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Judul Asli Fiqhu Al-Sunnah, Bandung: Al Ma'arif, 1980, Cet. I
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), Judul Asli Fiqhu Al- Sunnah, Bandung : Al Ma’arif, 1990, Cet. VII, Jilid 6
Shiddiqie,
Nourrouzzaman,
Fiqh
Indonesia:
Penggagas
dan
Gagasannya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet I
Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UI Press, 1999, cet II
Sulaiman ibn Asy’ab Abu Daud al-Sijistani al-Azdi, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar alFikr, tth, Juz I
Sunggono, Bambang, metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, cet VI
Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan, 2000, cet III
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat,
dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.
Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa Tentang Nikah, Penerjemah Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri an-Nasab, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, cet 1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1976, cet V
Zahroh, Abu, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Beirut: Darul Fikr Al-Arabi, 1950
Download