PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING (Studi Eksperimen di Kelas VII SMP Negeri 2 Tasikmalaya) Novi Latifah Anggraeni e-mail: [email protected] Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Jl. Siliwangi No. 24 Kota Tasikmalaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mana yang lebih baik peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung, serta untuk mengetahui self-efficacy (kepercayaan diri) peserta didik menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen, dengan subyek populasi seluruh peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Tasikmalaya. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, sehingga terpilih kelas VII-B sebagai kelas ekperimen dan VII-A sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen diberikan pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding dan kelas kontrol diberikan pembelajaran langsung. Sampel yang terlibat sebanyak 74 orang peserta didik. Instrumen yang digunakan meliputi soal tes kemampuan berpikir kritis matematik dan angket skala self-efficacy peserta didik menggunakan model PBL dengan teknik scaffolding. Analisis data menggunakan uji Chi Square, kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung, serta peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding. Kata kunci: Berpikir kritis, PBL dengan teknik scaffolding, Pembelajaran langsung, self-efficacy (kepercayaan diri) ABSTRACT This research purposed to know which of better the reach critical thingking students to get learning pass of Problem Based Learning (PBL) model with scaffolding thecnical with students to get learning pass of direct intruction model, and also to know students self-efficacy using Problem Based Learning (PBL) model with scaffolding thecnical. This research is an experimental quasi, with population subject high school students in 7 grade classes SMP Negeri 2 Tasikmalaya. The sample is taken using purposive sampling thecnic, so that chosen VII-B classes by experimental class and VII-A clasess by control class. Experimental class is treated by using PBL model with scaffolding technical learning and control class is treated by using direct intruction learning. The sample consists of 74 students. The instruments are mathematical critical thingking ability test and students self-efficacy scale using PBL model with scaffolding thecnical learning. Analysis data employs uji Chi Square, then continued with uji Mann-Whitney. Based on the data analysis it is concluded that the reach critical thingking students to get learning pass of PBL model with scaffolding thecnical is better than students to get learning pass of direct intruction model, and also students are have self-efficacy high level using PBL model with scaffolding thecnical. Keyword: Critical thingking, Problem Based Learning model with scaffolding thecnical, Direct intruction model, self-efficacy PENDAHULUAN Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis harus dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa disepelekan lagi. Rendahnya kemampuan berpikir kritis ditunjukan pada beberapa hasil penelitian di Indonesia. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Mayadiana (Fachrurazi, 2011:77) “Kemampuan berpikir kritis peserta didik calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk peserta didik berlatar belakang IPA, 26,62% untuk peserta didik berlatar belakang Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan peserta didik”. Hal serupa juga terjadi pada penelitian Maulana (Fachrurazi, 2011:77) “Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis peserta didik program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal”. Tim Survey IMSTEP-JICA (Fachrurazi, 2011:77) di kota Bandung melaporkan “Sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru untuk mengajarkannya antara lain, pembuktian pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematis, menemukan, generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan”. Kegiatan-kegiatan tersebut memuat beberapa indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratnaningsih, Nani (2007:28) “Berpikir kritis yang ada kaitannya dengan materi pelajaran meliputi aspek mengidentifikasi dan menjastifikasi konsep, menggeneralisasi, menganalisis algoritma, serta memecahkan masalah”. Berdasarkan hasil survey tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan jika dihadapkan kepada persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis. Kondisi pendidikan matematika yang telah dipaparkan di atas diprediksi dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar peserta didik, perlu segera mengubah paradigma dari bagaimana guru mengajar kepada bagaimana peserta didik belajar. Upaya yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal tersebut salah satunya adalah dengan memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding. Menurut Anita, et.al. (2013) “Keyakinan dalam menyelesaikan masalah memerlukan keyakinan diri atau self-efficacy yang tinggi untuk mencapai kemandirian belajar”. Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (Ratnaningsih, Nani, 2007:12) yang melaporkan “Kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan keberhasilan belajar siswa”. Lebih jauh, Lunenburg (Anita, et.al. 2013) melaporkan “Self-efficacy mempengaruhi keinginan untuk belajar dan menentukan tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang”. Berdasarkan uraian tersebut, self-efficacy (kepercayaan diri) menentukan berhasilnya pengimplementasian pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding dan turut menentukan pencapaian hasil belajar peeserta didik, hal ini cukup beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah sangat diperlukan kepercayaan diri peserta didik dalam belajar. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: mengetahui mana yang lebih baik peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung; dan mengetahui self-efficacy (keyakinan diri) peserta didik menggunakan model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding. Konsep-konsep yang digunakan pada penelitian ini meliputi: PBL dengan teknik scaffolding, pembelajaran langsung, kemampuan berpikir kritis, dan self-efficacy (kepercayaan diri). 1. PBL dengan Teknik Scaffolding PBL dipandang sebagai model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai inti pembelajarannya. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya, peserta didik dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika. Selain itu, model PBL dapat melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir matematik peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat Boud dan Feletti (Rusman, 2012:247) mengemukakan “Pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan”. Selanjutnya, Margetson (Rusman, 2012:247) mengemukakan PBL membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain. Piaget dan Vygotsky (Permana, Yanto, 2007:119) menyatakan “Pada dasarnya PBL menganut pandangan konstruktivisme, dimana siswa belajar secara aktif dalam membangun pengetahuannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, dan interaksi dengan lingkungannya. Ketika diskusi macet, Vigotsky menganjurkan dilaksanakannya “scaffolding”, sebagaimana dikemukakan Permana, Yanto (2007:119) “Scaffolding yaitu bantuan guru dalam bentuk pertanyaan untuk membantu siswa atau mengarahkan siswa pada jawaban yang dituju”. Lebih jauh Cahyo, Agus N. (2013:127) mengemukakan “Teknik scaffolding dalam belajar adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan dan secara perlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar mandiri dan menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya”. Terdapat paling sedikit empat teori belajar yang melandasi model PBL dengan teknik scaffolding. Keempat teori belajar itu adalah teori belajar dari Jean Piaget, teori belajar John Dewey, teori belajar Vygotsky dan teori belajar dari Jerome Bruner. 2. Pembelajaran Langsung Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang berpusat pada guru. Pada pembelajaran langsung, keterlibatan peserta didik dalam proses pembelajarannya sangat minim hal ini disebabkan karena guru terfokus pada penyampaian materi yang ingin dicapai. Keterlibatan peserta didik bisa diapresiasikan dengan cara memperhatikan, medengarkan dan resitasi. Sebagaimana dikemukakan Suprijono, Agus (2012:46) Pembelajaran langsung atau direct istruction dikenal dengan sebutan active teaching. Pembelajaran langsung juga dinamakan whole-class teaching. Penyebutan itu mengacu pada gaya mengajar di mana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan mengajarkannya secara langsung kepada seluruh kelas. Fokus utama pada pembelajaran ini adalah latihan-latihan yang diberikan guru kepada peserta didik untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik mengenai pengajaran yang disampaikan. Senada dengan itu Majid, Abdul (2013:73) berpendapat ”Dalam hal ini, guru menyampaikan isi/ materi akademik dalam format yang terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru”. Teori belajar yang mendukung pembelajaran langsung meliputi: teori belajar Edward Lee Thorndike, teori belajar David Ausubel, dan teori belajar Albert Bandura. 3. Kemampuan Berpikir Kritis Ennis (Sumarmo, Utari, 2013:245) mendefinisikan “Berpikir kritis sebagai berpikir reflektif yang beralasan dan difokuskan pada penetapan apa yang dipercayai atau yang dilakukan”. Klasifikasi berpikir kritis mengenai aspek yang berkaitan dengan materi pelajaran menurut Ennis (Ratnaningsih, Nani 2007:25) meliputi: “Konsep, generalisasi, keterampilan dan algoritma, serta pemecahan masalah”. 4. Self-Efficacy (Kepercayaan Diri) Bandura keyakinan (Somakim, manusia, 2010:50) kemampuan mendefinisikan mereka untuk “Self-efficacy sebagai melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya”. Manusia yang percaya dapat melakukan sesuatu, memiliki potensi untuk mengubah kejadian-kejadian di lingkungannya. Persepsi self-efficacy yang dapat dibentuk dengan menginterpretasi informasi dari empat faktor menurut Bandura (Somakim, 2010:52) yaitu “Pengalaman otentik (authentic mastery experiences), pengalaman orang lain (vicarious experience), pendekatan sosial atau verbal, dan aspek psikologis”. Penelitian yang relevan untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilaporkan oleh Yulianingsih, Rini (2013) yang dilaksanakan di SMA Negeri 15 Bandung pada kelas X dengan judul “Penerapan Model Problem Based Learning Dengan Teknik Scaffolding Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMA (Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas X SMAN 15 Bandung)”. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah peningkatan kemampuan pemecaham masalah matematik peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Subyek populasi pada penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Tasikmalaya. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, sehingga terpilih kelas VII-B sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-A sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen mendapat perlakuan pembelajaran matematika dengan model PBL dengan teknik scaffolding dan kelas kontrol dengan perlakuan pembelajaran langsung. Subyek sampel yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 74 orang peserta didik. Disain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain kelompok kontrol non-ekivalen (Ruseffendi, E.T., 2010:53). Dalam pengumpulan data, teknik penelitian yang digunakan peneliti adalah memberikan pretes dan postes kemampuan berpikir kritis dalam bentuk uraian, dan angket skala self-efficacy (empat pilihan) untuk mengukur penggunaan model PBL dengan teknik scaffolding yang telah diterapkan. Menurut Meltzer, David E (2002:1260) gain ternormalisasi dihitung dengan rumus: g= postes − pretes skormax − pretes Klasifikasikan indeks gain ternormalisasi adalah: a) Jika g ≥ 0,7 maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori tinggi; b) jika 0,3 ≤ g < 0,7 maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori sedang; c) jika g < 0,3, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori rendah. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas dengan uji chi square. Karena data yang diperoleh tidak berdistribusi normal, maka peneliti melakukan uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Teknik analisis data untuk mengetahui self-efficacy (kepercayaan diri) peserta didik digunakan teknik analisis deskriptif dengan kriteria ideal yaitu mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (SDi). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Untuk menguji kesetaraan sampel penelitian pada skor pretes, maka dilakukan uji statistik meliputi: uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata. Uji normalitas distribusi data skor pretes menggunakan uji Chi Square. Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data pretes untuk kelas eksperimen ataupun kelas kontrol merupakan data yang diperoleh dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Hasil perhitungan uji normalitas pretes disajikan berikut ini. Kelas Tabel 1 Uji Normalitas Pretes Chi Square Eksperimen Kontrol 6,39 1,79 H0 7,81 7,81 Terima Terima Berdasarkan Tabel 1 hasil uji normalitas pretes dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol masing- masing sebesar 6,39 dan 1,79. Hal ini menunjukkan nilai eksperimen dan kelas kontrol kurang dari nilai pada kelas artinya data pretes berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians pretes peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji-F. Uji ini dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan variansi dari kedua kelas distribusi. Tabel 2 Uji Homogenitas Pretes Uji-F H0 1,03 df1 37 Terima df2 35 1,75 Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai F kurang dari F , ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, varians dari kedua kelas homogen atau memiliki varians yang sama. Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, dinyatakan bahwa data pretes pada kedua kelas sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan variansnya homogen, maka dilanjutkan dengan uji perbedaan dua rata-rata menggunakan uji-t. Uji ini dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan rerata pretes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Uji-t H0 0,295 Terima df 72 1,668 Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3, nilai dari nilai kurang , ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kenyataan ini memberikan konsekuensi bahwa penelitian ini diawali dengan kedua kelas sampel penelitian yang kemampuannya relatif sama baik. Selanjutnya, untuk menguji asumsi ada tidaknya peningkatan kemampuan berpikir kritis menggunakan skor gain ternomalisasi maka dilakukan perhitungan uji statistik meliputi: uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney karena sampel penelitian berdistribusi tidak normal. Uji normalitas distribusi data indeks gain menggunakan uji Chi Square. Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data indeks gain untuk kelas eksperimen ataupun kelas kontrol merupakan data yang diperoleh dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Hasil perhitungan uji normalitas pretes disajikan pada Tabel 4. Kelas Tabel 4 Uji Normalitas Indeks Gain Chi Square Eksperimen Kontrol 15,25 10,72 9,49 9,49 H0 Tolak Tolak Berdasarkan Tabel 4 hasil uji normalitas indeks gain dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol masing- masing sebesar 15,25 dan 10,72 maka hipotesis nol ditolak. Hal ini menunjukkan nilai pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol lebih dari nilai artinya data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas data indeks gain bahwa data pada sampel penelitian berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney. Uji ini dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik dari kedua kelas sampel penelitian. Hasil perhitungan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Uji Mann-Whitney Gain Mann-Whitney H0 -2,40 Tolak -1,96 Berdasarkan Tabel 5 hasil uji Mann-Whitney indeks gain diperoleh nilai kurang dari nilai , ini berarti hipotesis nol ditolak. Dengan demikian disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung. Untuk analisis angket skala self-efficacy, perhitungan mengenai kategorisasi angket skala self-efficacy disajikan berikut ini. Tabel 6 Kategorisasi Skala Self-Efficacy No. Kategori Rentang 1. Sangat Tinggi > 77,5 2. Tinggi 60 − 77,5 3. Cukup 42,5 − 60 4. Rendah < 42,5 Sesuai dengan kategorisasi skala self-efficacy pada Tabel 6 di atas, maka skor lebih dari 77,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self –efficacy yang sangat tinggi, skor antara 60 sampai 77,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self–efficacy yang tinggi, skor antara 42,5 sampai 60 berarti peserta didik memiliki tingkat self–efficacy yang cukup, dan skor kurang dari 42,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self– efficacy yang rendah. Pembahasan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik yang menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang menggunakan model pembelajaran langsung. Hal ini terlihat dari rata-rata gain ternormalisasi pada kelas eksperimen sebesar 0,69; lebih besar dari kelas kontrol sebesar 0,59. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Gambar 1. 0,7 0,65 0,6 Kelas Eksperimen 0,55 Kelas Kontrol 0,5 Indeks Gain Ternormalisasi Gambar 1 Diagram Rata-rata Indeks N-gain Kemampuan Berpikir Kritis Semua itu memberikan gambaran bahwa pembelajaran yang diterapkan cukup dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik, meskipun hasilnya belum optimal. Pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding lebih baik terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Hal ini disebabkan pembelajaran PBL menyajikan masalah kehidupan sehari-hari (kompleks) yang lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengevaluasi suatu situasi atau masalah dengan mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan, melengkapi informasi soal, melakukan investigasi, eksplorasi, memecahkan masalah, refleksi, yang semuanya itu melatih peserta didik dalam berpikir kritis. Sebagaimana diungkapkan oleh Margetson (Rusman, 2012:247) PBL membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding dengan pendekatan yang lain. Selain itu, PBL dengan bantuan teknik scaffolding lebih memaksimalkan peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaraannya. Model PBL dengan ciri khasnya pembelajaran diawali dengan memberikan masalah-masalah kehidupan nyata sangat memerlukan teknik scaffolding pada pembelajarannya, hal ini dikarenakan peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut menggunakan pengetahuan awal yang dimilikinya. Dengan adanya teknik scaffolding diharapkan peserta didik yang mengalami kesulitan dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara mandiri. Hal ini sesuai dengan teori belajar Vygotsky (Budiningsih, C. A., 2012:101) Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkatan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut ZPD (Zone of Proximal Development). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut sebgai kemampuan intermental. Hal ini nampak jelas bahwa model PBL dengan teknik scaffolding dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik, karena pada awal pembelajarannya peserta didik dihadapkan pada masalah kehidupan nyata yang menuntut penyelesaainnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki peserta didik secara mandiri sehingga dalam melakukan pemecahannya peserta didik dituntut berpikir kritis, reflektif dan aktif. Kemudian memberikan bantuan teknik scaffolding, ketika peserta didik mulai mengalami kesulitan dalam pengerjaannya dengan cara memberi pertanyaan-pertanyaan yang memancing pemikiran peserta didik kemudian membantu tahap demi tahap penyelesaiaan dan menguranginya untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyelesaikan pemecahan masalah tersebut setelah peserta didik mampu menyelesaikannya secara mandiri. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis skor peserta didik terhadap angket skala self-efficacy diperoleh peserta didik memiliki self-efficacy sangat tinggi sebanyak 4 orang (10,5% dari 38 orang), peserta didik memiliki self-efficacy tinggi sebanyak 23 orang (60,5%), dan peserta didik memiliki self-efficacy cukup sebanyak 11 orang (29%). Rata-rata keseluruhan skor peserta didik terhadap angket skala self-efficacy sebesar 66,58 (70,08%), ini berarti peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik Scaffolding lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung. 2. Peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding. Saran Berdasarkan simpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi sekolah, dianjurkan agar menambah fasilitas-fasilitas dan media pembelajaran yang diperlukan untuk kelancaran proses belajar mengajar. 2. Bagi guru, pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding, hendaknya terus dikembangkan di lapangan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam pembelajaran matematika sehari-hari. Hal ini dikarenakan pembelajaran tersebut dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik; melibatkan aktivitas peserta didik secara optimal; memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan masalah; menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif, serta memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencari informasi terkait materi yang sedang dipelajari. 3. Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana peningkatan pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding terhadap kemampuan daya matematika (penalaran, komunikasi, koneksi, pemecahan masalah, dan representasi). Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran tersebut sarat dengan pemecahan masalah, di mana pada saat memecahkan masalah peserta didik melakukan penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi. DAFTAR PUSTAKA Anita, et.al. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) terhadap Self-eficacy Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. [online]. Tersedia: http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/jurnal_ipa/article/download/800/585. [16 Januari 2014]. Fachrurazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Jurnal UPI. [online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf. [8 Januari 2014]. Majid, Abdul. (2013). Strategi Pembelajaran. PT. Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. Meltzer, David E. (2002). The Relatinship Between Mathematics Preparation And Conceptual Learning Gains In Physics; A Possible Hidden Variabel In Diagnostic Pretes Score. [online]. Tersedia: http://www.physicseducation.net. [19 Desember 2013]. N. Cahyo, Agus. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual dan Terpopuler. Yogyakarta: Diva Press. Permana, Yanto. (2007). “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”Jurnal Penelitian Pendidikan. [online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/Vol._I_No._2Juli_2007/6_Yanto_Permana_Layout2rev.pdf. [1 April 2014] Ratnaningsih, Nani. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan. Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Self-Efficacy Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan.. Sumarmo, Utari. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya. Bandung: tidak diterbitkan. Suprijono, Agus. (2012). Cooperative Learning Teori Dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.