PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS

advertisement
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK
MELALUI MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
DENGAN TEKNIK SCAFFOLDING
(Studi Eksperimen di Kelas VII SMP Negeri 2 Tasikmalaya)
Novi Latifah Anggraeni
e-mail: [email protected]
Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi
Jl. Siliwangi No. 24 Kota Tasikmalaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mana yang lebih baik peningkatan
kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model
Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding dengan peserta didik yang
memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung, serta untuk
mengetahui self-efficacy (kepercayaan diri) peserta didik menggunakan model
pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding. Penelitian ini merupakan kuasi
eksperimen, dengan subyek populasi seluruh peserta didik kelas VII SMP Negeri 2
Tasikmalaya. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, sehingga
terpilih kelas VII-B sebagai kelas ekperimen dan VII-A sebagai kelas kontrol. Kelas
eksperimen diberikan pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding dan kelas kontrol
diberikan pembelajaran langsung. Sampel yang terlibat sebanyak 74 orang peserta didik.
Instrumen yang digunakan meliputi soal tes kemampuan berpikir kritis matematik dan
angket skala self-efficacy peserta didik menggunakan model PBL dengan teknik
scaffolding. Analisis data menggunakan uji Chi Square, kemudian dilanjutkan dengan
uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa
peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh pembelajaran
melalui model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta
didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran langsung, serta
peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi menggunakan model
pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding.
Kata kunci: Berpikir kritis, PBL dengan teknik scaffolding, Pembelajaran langsung,
self-efficacy (kepercayaan diri)
ABSTRACT
This research purposed to know which of better the reach critical thingking students to
get learning pass of Problem Based Learning (PBL) model with scaffolding thecnical
with students to get learning pass of direct intruction model, and also to know students
self-efficacy using Problem Based Learning (PBL) model with scaffolding thecnical.
This research is an experimental quasi, with population subject high school students in 7
grade classes SMP Negeri 2 Tasikmalaya. The sample is taken using purposive
sampling thecnic, so that chosen VII-B classes by experimental class and VII-A clasess
by control class. Experimental class is treated by using PBL model with scaffolding
technical learning and control class is treated by using direct intruction learning. The
sample consists of 74 students. The instruments are mathematical critical thingking
ability test and students self-efficacy scale using PBL model with scaffolding thecnical
learning. Analysis data employs uji Chi Square, then continued with uji Mann-Whitney.
Based on the data analysis it is concluded that the reach critical thingking students to get
learning pass of PBL model with scaffolding thecnical is better than students to get
learning pass of direct intruction model, and also students are have self-efficacy high
level using PBL model with scaffolding thecnical.
Keyword: Critical thingking, Problem Based Learning model with scaffolding
thecnical, Direct intruction model, self-efficacy
PENDAHULUAN
Pentingnya mengajarkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis harus
dipandang sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa disepelekan lagi. Rendahnya
kemampuan berpikir kritis ditunjukan pada beberapa hasil penelitian di Indonesia. Hal
ini terungkap dari hasil penelitian Mayadiana (Fachrurazi, 2011:77) “Kemampuan
berpikir kritis peserta didik calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26%
untuk peserta didik berlatar belakang IPA, 26,62% untuk peserta didik berlatar belakang
Non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan peserta didik”. Hal serupa juga terjadi pada
penelitian Maulana (Fachrurazi, 2011:77) “Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis
peserta didik program D2 PGSD kurang dari 50% skor maksimal”.
Tim Survey IMSTEP-JICA (Fachrurazi, 2011:77) di kota Bandung melaporkan
“Sejumlah kegiatan yang dianggap sulit oleh siswa untuk mempelajarinya dan oleh guru
untuk mengajarkannya antara lain, pembuktian pemecahan masalah yang memerlukan
penalaran matematis, menemukan, generalisasi atau konjektur, dan menemukan
hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan”. Kegiatan-kegiatan tersebut
memuat beberapa indikator kemampuan berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ratnaningsih, Nani (2007:28) “Berpikir kritis yang ada kaitannya dengan materi
pelajaran meliputi aspek mengidentifikasi dan menjastifikasi konsep, menggeneralisasi,
menganalisis algoritma, serta memecahkan masalah”. Berdasarkan hasil survey tersebut
dapat disimpulkan bahwa peserta didik mengalami kesulitan jika dihadapkan kepada
persoalan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis.
Kondisi pendidikan matematika yang telah dipaparkan di atas diprediksi dapat
berakibat pada rendahnya prestasi belajar peserta didik, perlu segera mengubah
paradigma dari bagaimana guru mengajar kepada bagaimana peserta didik belajar.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menyikapi hal tersebut salah satunya adalah dengan
memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik adalah model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding.
Menurut Anita, et.al. (2013) “Keyakinan dalam menyelesaikan masalah
memerlukan keyakinan diri atau self-efficacy yang tinggi untuk mencapai kemandirian
belajar”. Hal ini didukung oleh hasil studi Darr dan Fisher (Ratnaningsih, Nani,
2007:12) yang melaporkan “Kemampuan belajar mandiri berkorelasi tinggi dengan
keberhasilan belajar siswa”. Lebih jauh, Lunenburg (Anita, et.al. 2013) melaporkan
“Self-efficacy mempengaruhi keinginan untuk belajar dan menentukan tujuan yang ingin
dicapai oleh seseorang”. Berdasarkan uraian tersebut, self-efficacy (kepercayaan diri)
menentukan berhasilnya pengimplementasian pembelajaran PBL dengan teknik
scaffolding dan turut menentukan pencapaian hasil belajar peeserta didik, hal ini cukup
beralasan karena pembelajaran yang menciptakan situasi pemecahan masalah sangat
diperlukan kepercayaan diri peserta didik dalam belajar.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: mengetahui mana yang lebih
baik peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh
pembelajaran melalui model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding
dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran
langsung; dan mengetahui self-efficacy (keyakinan diri) peserta didik menggunakan
model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik scaffolding.
Konsep-konsep yang digunakan pada penelitian ini meliputi: PBL dengan teknik
scaffolding, pembelajaran langsung, kemampuan berpikir kritis, dan self-efficacy
(kepercayaan diri).
1. PBL dengan Teknik Scaffolding
PBL dipandang sebagai model pembelajaran yang menggunakan masalah
sebagai inti pembelajarannya. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang
telah dimilikinya, peserta didik dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya
dengan konsep-konsep matematika. Selain itu, model PBL dapat melatih dan
meningkatkan kemampuan berpikir matematik peserta didik. Hal ini sejalan dengan
pendapat Boud dan Feletti (Rusman, 2012:247) mengemukakan “Pembelajaran
berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan”.
Selanjutnya, Margetson (Rusman, 2012:247) mengemukakan
PBL membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar
sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar
aktif. PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi,
kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding
pendekatan yang lain.
Piaget dan Vygotsky (Permana, Yanto, 2007:119) menyatakan “Pada
dasarnya PBL menganut pandangan konstruktivisme, dimana siswa belajar secara
aktif dalam membangun pengetahuannya melalui proses asimilasi dan akomodasi,
dan interaksi dengan lingkungannya. Ketika diskusi macet, Vigotsky menganjurkan
dilaksanakannya
“scaffolding”,
sebagaimana
dikemukakan
Permana,
Yanto
(2007:119) “Scaffolding yaitu bantuan guru dalam bentuk pertanyaan untuk
membantu siswa atau mengarahkan siswa pada jawaban yang dituju”. Lebih jauh
Cahyo, Agus N. (2013:127) mengemukakan “Teknik scaffolding dalam belajar
adalah membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan
keterampilan dan secara perlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya
siswa dapat belajar mandiri dan menemukan pemecahan bagi tugas-tugasnya”.
Terdapat paling sedikit empat teori belajar yang melandasi model PBL dengan
teknik scaffolding. Keempat teori belajar itu adalah teori belajar dari Jean Piaget,
teori belajar John Dewey, teori belajar Vygotsky dan teori belajar dari Jerome
Bruner.
2. Pembelajaran Langsung
Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang berpusat
pada guru. Pada pembelajaran langsung, keterlibatan peserta didik dalam proses
pembelajarannya sangat minim hal ini disebabkan karena guru terfokus pada
penyampaian materi yang ingin dicapai. Keterlibatan peserta didik bisa
diapresiasikan dengan cara memperhatikan, medengarkan dan resitasi. Sebagaimana
dikemukakan Suprijono, Agus (2012:46)
Pembelajaran langsung atau direct istruction dikenal dengan sebutan active
teaching. Pembelajaran langsung juga dinamakan whole-class teaching.
Penyebutan itu mengacu pada gaya mengajar di mana guru terlibat aktif
dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan mengajarkannya
secara langsung kepada seluruh kelas.
Fokus utama pada pembelajaran ini adalah latihan-latihan yang diberikan guru
kepada peserta didik untuk mengetahui sejauh mana pemahaman peserta didik
mengenai pengajaran yang disampaikan. Senada dengan itu Majid, Abdul (2013:73)
berpendapat ”Dalam hal ini, guru menyampaikan isi/ materi akademik dalam format
yang terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji keterampilan siswa
melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru”.
Teori belajar yang mendukung pembelajaran langsung meliputi: teori belajar
Edward Lee Thorndike, teori belajar David Ausubel, dan teori belajar Albert
Bandura.
3. Kemampuan Berpikir Kritis
Ennis (Sumarmo, Utari, 2013:245) mendefinisikan “Berpikir kritis sebagai
berpikir reflektif yang beralasan dan difokuskan pada penetapan apa yang dipercayai
atau yang dilakukan”.
Klasifikasi berpikir kritis mengenai aspek yang berkaitan dengan materi
pelajaran menurut Ennis (Ratnaningsih, Nani 2007:25) meliputi: “Konsep,
generalisasi, keterampilan dan algoritma, serta pemecahan masalah”.
4. Self-Efficacy (Kepercayaan Diri)
Bandura
keyakinan
(Somakim,
manusia,
2010:50)
kemampuan
mendefinisikan
mereka
untuk
“Self-efficacy
sebagai
melatih sejumlah ukuran
pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya”.
Manusia yang percaya dapat melakukan sesuatu, memiliki potensi untuk mengubah
kejadian-kejadian di lingkungannya.
Persepsi self-efficacy yang dapat dibentuk dengan menginterpretasi informasi
dari empat faktor menurut Bandura (Somakim, 2010:52) yaitu “Pengalaman otentik
(authentic mastery experiences), pengalaman orang lain (vicarious experience),
pendekatan sosial atau verbal, dan aspek psikologis”.
Penelitian yang relevan untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilaporkan
oleh Yulianingsih, Rini (2013) yang dilaksanakan di SMA Negeri 15 Bandung pada
kelas X dengan judul “Penerapan Model Problem Based Learning Dengan Teknik
Scaffolding Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Siswa SMA (Studi Eksperimen Terhadap Siswa Kelas X SMAN 15 Bandung)”.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah peningkatan kemampuan pemecaham
masalah matematik peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model
PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang memperoleh
pembelajaran melalui model pembelajaran langsung.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi
eksperimen. Subyek populasi pada penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VII
SMP Negeri 2 Tasikmalaya. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive
sampling, sehingga terpilih kelas VII-B sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-A
sebagai kelas kontrol. Kelas eksperimen mendapat perlakuan pembelajaran matematika
dengan model PBL dengan teknik scaffolding dan kelas kontrol dengan perlakuan
pembelajaran langsung. Subyek sampel yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 74
orang peserta didik. Disain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
disain kelompok kontrol non-ekivalen (Ruseffendi, E.T., 2010:53).
Dalam pengumpulan data, teknik penelitian yang digunakan peneliti adalah
memberikan pretes dan postes kemampuan berpikir kritis dalam bentuk uraian, dan
angket skala self-efficacy (empat pilihan) untuk mengukur penggunaan model PBL
dengan teknik scaffolding yang telah diterapkan.
Menurut Meltzer, David E (2002:1260) gain ternormalisasi dihitung dengan
rumus:
g=
postes − pretes
skormax − pretes
Klasifikasikan indeks gain ternormalisasi adalah: a) Jika g ≥ 0,7 maka N-gain yang
dihasilkan termasuk kategori tinggi; b) jika 0,3 ≤ g < 0,7 maka N-gain yang dihasilkan
termasuk kategori sedang; c) jika g < 0,3, maka N-gain yang dihasilkan termasuk
kategori rendah.
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan uji normalitas dengan uji
chi square. Karena data yang diperoleh tidak berdistribusi normal, maka peneliti
melakukan uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Teknik analisis data untuk
mengetahui self-efficacy (kepercayaan diri) peserta didik digunakan teknik analisis
deskriptif dengan kriteria ideal yaitu mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (SDi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Untuk menguji kesetaraan sampel penelitian pada skor pretes, maka dilakukan
uji statistik meliputi: uji normalitas, uji homogenitas dan uji perbedaan dua rata-rata.
Uji normalitas distribusi data skor pretes menggunakan uji Chi Square. Uji
normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data pretes untuk kelas eksperimen
ataupun kelas kontrol merupakan data yang diperoleh dari populasi yang berdistribusi
normal atau tidak. Hasil perhitungan uji normalitas pretes disajikan berikut ini.
Kelas
Tabel 1
Uji Normalitas Pretes
Chi Square
Eksperimen
Kontrol
6,39
1,79
H0
7,81
7,81
Terima
Terima
Berdasarkan Tabel 1 hasil uji normalitas pretes dengan menggunakan uji Chi
Square diperoleh nilai
untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-
masing sebesar 6,39 dan 1,79. Hal ini menunjukkan nilai
eksperimen dan kelas kontrol kurang dari nilai
pada kelas
artinya data pretes berasal dari
populasi yang berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians pretes peserta didik pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji-F. Uji ini dimaksudkan untuk melihat
ada tidaknya perbedaan variansi dari kedua kelas distribusi.
Tabel 2
Uji Homogenitas Pretes
Uji-F
H0
1,03
df1
37
Terima
df2
35
1,75
Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai F
kurang dari F
, ini berarti hipotesis
nol diterima. Dengan demikian, varians dari kedua kelas homogen atau memiliki
varians yang sama.
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, dinyatakan bahwa data pretes
pada kedua kelas sampel penelitian berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan
variansnya homogen, maka dilanjutkan dengan uji perbedaan dua rata-rata
menggunakan uji-t. Uji ini dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya perbedaan rerata
pretes antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Uji Perbedaan Dua Rata-Rata
Uji-t
H0
0,295
Terima
df
72
1,668
Berdasarkan hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3, nilai
dari nilai
kurang
, ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data pretes pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol. Kenyataan ini memberikan konsekuensi bahwa penelitian ini diawali
dengan kedua kelas sampel penelitian yang kemampuannya relatif sama baik.
Selanjutnya, untuk menguji asumsi ada tidaknya peningkatan kemampuan
berpikir kritis menggunakan skor gain ternomalisasi maka dilakukan perhitungan uji
statistik meliputi: uji normalitas, selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney karena
sampel penelitian berdistribusi tidak normal.
Uji normalitas distribusi data indeks gain menggunakan uji Chi Square. Uji
normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data indeks gain untuk kelas eksperimen
ataupun kelas kontrol merupakan data yang diperoleh dari populasi yang berdistribusi
normal atau tidak.
Hasil perhitungan uji normalitas pretes disajikan pada Tabel 4.
Kelas
Tabel 4
Uji Normalitas Indeks Gain
Chi Square
Eksperimen
Kontrol
15,25
10,72
9,49
9,49
H0
Tolak
Tolak
Berdasarkan Tabel 4 hasil uji normalitas indeks gain dengan menggunakan uji
Chi Square diperoleh nilai
untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol masing-
masing sebesar 15,25 dan 10,72 maka hipotesis nol ditolak. Hal ini menunjukkan nilai
pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol lebih dari nilai
artinya
data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal.
Berdasarkan hasil uji normalitas data indeks gain bahwa data pada sampel
penelitian berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka dilanjutkan
dengan uji statistik non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney. Uji ini
dimaksudkan untuk melihat ada tidaknya peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematik peserta didik dari kedua kelas sampel penelitian.
Hasil perhitungan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5
Uji Mann-Whitney Gain
Mann-Whitney
H0
-2,40
Tolak
-1,96
Berdasarkan Tabel 5 hasil uji Mann-Whitney indeks gain diperoleh nilai
kurang dari nilai
, ini berarti hipotesis nol ditolak. Dengan demikian disimpulkan
bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik yang
memperoleh pembelajaran melalui model PBL dengan teknik scaffolding lebih baik dari
pada peserta didik yang memperoleh pembelajaran melalui model pembelajaran
langsung.
Untuk analisis angket skala self-efficacy, perhitungan mengenai kategorisasi
angket skala self-efficacy disajikan berikut ini.
Tabel 6
Kategorisasi Skala Self-Efficacy
No.
Kategori
Rentang
1. Sangat Tinggi
> 77,5
2. Tinggi
60 − 77,5
3. Cukup
42,5 − 60
4. Rendah
< 42,5
Sesuai dengan kategorisasi skala self-efficacy pada Tabel 6 di atas, maka skor
lebih dari 77,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self –efficacy yang sangat tinggi,
skor antara 60 sampai 77,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self–efficacy yang
tinggi, skor antara 42,5 sampai 60 berarti peserta didik memiliki tingkat self–efficacy
yang cukup, dan skor kurang dari 42,5 berarti peserta didik memiliki tingkat self–
efficacy yang rendah.
Pembahasan
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir
kritis matematik peserta didik yang menggunakan model pembelajaran PBL dengan
teknik scaffolding lebih baik dari pada peserta didik yang menggunakan model
pembelajaran langsung. Hal ini terlihat dari rata-rata gain ternormalisasi pada kelas
eksperimen sebesar 0,69; lebih besar dari kelas kontrol sebesar 0,59. Untuk lebih
jelasnya disajikan pada Gambar 1.
0,7
0,65
0,6
Kelas Eksperimen
0,55
Kelas Kontrol
0,5
Indeks Gain Ternormalisasi
Gambar 1
Diagram Rata-rata Indeks N-gain Kemampuan Berpikir Kritis
Semua itu memberikan gambaran bahwa pembelajaran yang diterapkan cukup
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik, meskipun hasilnya belum
optimal. Pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding lebih baik terhadap peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematik dibandingkan dengan pembelajaran langsung. Hal
ini disebabkan pembelajaran PBL menyajikan masalah kehidupan sehari-hari
(kompleks) yang lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengevaluasi suatu situasi atau masalah dengan mengidentifikasi hal-hal yang
diperlukan, melengkapi informasi soal, melakukan investigasi, eksplorasi, memecahkan
masalah, refleksi, yang semuanya itu melatih peserta didik dalam berpikir kritis.
Sebagaimana diungkapkan oleh Margetson (Rusman, 2012:247)
PBL membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar
sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif.
PBL memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja
kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding dengan
pendekatan yang lain.
Selain itu, PBL dengan bantuan teknik scaffolding lebih memaksimalkan peserta
didik dalam pelaksanaan pembelajaraannya. Model PBL dengan ciri khasnya
pembelajaran diawali dengan memberikan masalah-masalah kehidupan nyata sangat
memerlukan teknik scaffolding pada pembelajarannya, hal ini dikarenakan peserta didik
dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut menggunakan pengetahuan awal yang
dimilikinya. Dengan adanya teknik scaffolding diharapkan peserta didik yang
mengalami kesulitan dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara mandiri.
Hal ini sesuai dengan teori belajar Vygotsky (Budiningsih, C. A., 2012:101)
Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkatan,
yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial disebut
ZPD (Zone of Proximal Development). Tingkat perkembangan aktual tampak
dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental.
Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang
lebih kompeten. Ini disebut sebgai kemampuan intermental.
Hal ini nampak jelas bahwa model PBL dengan teknik scaffolding dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik peserta didik, karena pada awal
pembelajarannya peserta didik dihadapkan pada masalah kehidupan nyata yang
menuntut penyelesaainnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki peserta didik secara
mandiri sehingga dalam melakukan pemecahannya peserta didik dituntut berpikir kritis,
reflektif dan aktif. Kemudian memberikan bantuan teknik scaffolding, ketika peserta
didik mulai mengalami kesulitan dalam pengerjaannya dengan cara memberi
pertanyaan-pertanyaan yang memancing pemikiran peserta didik kemudian membantu
tahap demi tahap penyelesaiaan dan menguranginya untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk menyelesaikan pemecahan masalah tersebut setelah peserta
didik mampu menyelesaikannya secara mandiri.
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis skor peserta didik terhadap angket
skala self-efficacy diperoleh peserta didik memiliki self-efficacy sangat tinggi sebanyak
4 orang (10,5% dari 38 orang), peserta didik memiliki self-efficacy tinggi sebanyak 23
orang (60,5%), dan peserta didik memiliki self-efficacy cukup sebanyak 11 orang
(29%). Rata-rata keseluruhan skor peserta didik terhadap angket skala self-efficacy
sebesar 66,58 (70,08%), ini berarti peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang
tinggi menggunakan model pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:
1.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang memperoleh
pembelajaran melalui model Problem Based Learning (PBL) dengan teknik
Scaffolding lebih baik daripada peserta didik yang memperoleh pembelajaran
melalui model pembelajaran langsung.
2.
Peserta didik memiliki tingkat self-efficacy yang tinggi menggunakan model
pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding.
Saran
Berdasarkan simpulan dari penelitian ini, selanjutnya dikemukakan saran-saran
sebagai berikut:
1.
Bagi sekolah, dianjurkan agar menambah fasilitas-fasilitas dan media pembelajaran
yang diperlukan untuk kelancaran proses belajar mengajar.
2.
Bagi guru, pembelajaran PBL dengan teknik scaffolding, hendaknya terus
dikembangkan di lapangan dan dijadikan sebagai alternatif pilihan guru dalam
pembelajaran matematika sehari-hari. Hal ini dikarenakan pembelajaran tersebut
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematik; melibatkan aktivitas
peserta didik secara optimal; memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan
masalah; menciptakan suasana pembelajaran yang lebih kondusif,
serta
memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencari informasi terkait materi
yang sedang dipelajari.
3.
Bagi peneliti selanjutnya, perlu diteliti bagaimana peningkatan pembelajaran PBL
dengan teknik scaffolding terhadap kemampuan daya matematika (penalaran,
komunikasi, koneksi, pemecahan masalah, dan representasi). Hal ini dimungkinkan
karena pembelajaran tersebut sarat dengan pemecahan masalah, di mana pada saat
memecahkan masalah peserta didik melakukan penalaran, komunikasi, koneksi,
dan representasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, et.al. (2013). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI)
terhadap Self-eficacy Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha.
[online]. Tersedia: http://pasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/jurnal_ipa/article/download/800/585. [16 Januari 2014].
Fachrurazi. (2011). Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar.
Jurnal UPI. [online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf. [8
Januari 2014].
Majid, Abdul. (2013). Strategi Pembelajaran. PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Bandung.
Meltzer, David E. (2002). The Relatinship Between Mathematics Preparation And
Conceptual Learning Gains In Physics; A Possible Hidden Variabel In
Diagnostic Pretes Score. [online]. Tersedia: http://www.physicseducation.net.
[19 Desember 2013].
N. Cahyo, Agus. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar Teraktual
dan Terpopuler. Yogyakarta: Diva Press.
Permana, Yanto. (2007). “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi
Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”Jurnal
Penelitian
Pendidikan.
[online].
Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/JURNAL/EDUCATIONIST/Vol._I_No._2Juli_2007/6_Yanto_Permana_Layout2rev.pdf. [1 April 2014]
Ratnaningsih, Nani. (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik serta Kemandirian Belajar
Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan.
Ruseffendi, E.T. (2010). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non-Eksakta
Lainnya. Bandung: Tarsito.
Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Self-Efficacy
Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama Dengan Penggunaan
Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi UPI: Tidak Diterbitkan..
Sumarmo, Utari. (2013). Berpikir dan Disposisi Matematik serta Pembelajarannya.
Bandung: tidak diterbitkan.
Suprijono, Agus. (2012). Cooperative Learning Teori Dan Aplikasi Paikem.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Download