TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Taman Hutan Raya adalah

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli
dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Adapun kriteria penunjukan dan penetapan suatu daerah sebagai kawasan taman
hutan raya adalah :
1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada
kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya
sudah berubah.
2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam.
3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan
koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.
Kawasan taman hutan raya dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan
yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial
budaya (Gintera dan Pika, 2009).
Sesuai dengan fungsinya, taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk :
1. Penelitian dan pengembangan (kegiatan penelitian meliputi penelitian dasar
dan penelitian untuk menunjang pengelolaan kawasan tersebut).
2. Ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
3. Pendidikan
4. Kegiatan penunjang budidaya
5. Pariwisata alam dan rekreasi
(Gintera dan Pika, 2009).
Hutan tanaman selain sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan kayu
juga berfungsi sebagai pengatur tata air, ekowisata maupun sebagai penyerap
karbon dioksida dari atmosfer. Proses penyerapan CO2 udara oleh vegetasi terjadi
pada waktu fotosintesis. Hutan maupun vegetasi lainnya mengambil CO2 dari
atmosfer dan mengubahnya menjadi karbohidrat untuk pertumbuhannya. Jumlah
karbon yang diserap dan disimpan oleh tanaman diasumsikan sebanding dengan
jumlah karbon organik dalam tegakan (Basuki, et al; 2004).
Tanaman Ekaliptus
Eucalyptus sp di dunia perdagangan sering disebut flooded gum atau rose
gum. Taksonomi dari Eucalyptus sp adalah sebagai berikut :
Divisio
: Spermathophyta
Sub division : Angiospermae
Class
: Dicotlyedon
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Species
: Eucalyptus sp
Tanaman Ekaliptus pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,
tingginya 60-80 cm. Batang utamanya berbentuk lurus, dengan diameter hingga
Universitas Sumatera Utara
200 cm, permukaan pepagan licin, berserat, dan bercak luka yang mengelupas.
Daun muda dan daun dewasa sifatnya berbeda, daun dewasa pada umumnya
berseling, kadang-kadang berhadapan, tunggal, tulang tengah jalas, pertulangan
sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila diremas. Perbungan berbentuk
payung yang rapat da kadang-kadang berupa malai rata-rata di ujung ranting.
Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis. Biji berwarna coklat atau
hitam. Daerah penyebaran meliputi Australia, New Britian, Papua dan Tasmania.
Di Indonesia dapat ditemukan di Irian jaya, Sulewesi, dan Nusa Tenggara Timur.
Eucalyptus sp tumbuh pada ketinggian 600-1800 m dpl dengan curah hujan
tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 23°C dan maksimum 31°C di
dataran rendah, serta pada suhu minimum rata-rata 13°C dan maksimum 29 °C di
pegunungan (Sutasni, et al; 1998).
Tanaman Pinus
Taksonomi dari Pinus merkusii Jungh. et de Vriese sebagai berikut :
Divisio
: Spermathophyta
Sub division : Gyemnospermae
Class
: Dicotlyedon
Ordo
: Pinales
Family
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Species
: Pinus merkusii Jungh. et de Vriese
Universitas Sumatera Utara
Pinus merkusii Jungh. et de Vriese satu-satunya pinus yang sebaran
alaminya sampai di selatan khatulistiwa. Di Asia Tenggara menyebar di Burma,
Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera), dan Filipina
(P. Luzon dan Mindoro). Di Jawa dan Sulawesi Selatan (Indonesia) merupakan
hasil penanaman. Tumbuh pada ketinggian 30-1800 m dpl, pada berbagai tipe
tanah dan iklim. Deskripsi botani Pinus pada umumnya pohon besar, batang lurus,
silindris. Tegakan masak dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm.
Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda
berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu,
sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan,
panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan
dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili dengan panjang 2-4
cm (Hidayat dan Hansen, 2001).
Biomassa dalam Komunitas Hutan
Biomassa atau fitomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi
oleh organisme per satuan area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam
ukuran berat seperti berat kering dalam gram atau dalam kalori. Oleh karena
kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, Champman (1986) menyatakan
biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gram per
m2 atau kg per ha, sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi
biomassa dalam kurun waktu tertentu sehingga unit satuannya juga menyatakan
per satuan waktu, misalnya kg per ha per tahun (Kusmana dan Onrizal, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Hutan merupakan memiliki volume biomassa tumbuhan besar per satuan
luas sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang
sangat subur. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas biomassa
yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis.
Pada kenyataannya menurut Weaver dan Clement (1980) kecuali produktifitas
vegetasi yang sangat tinggi, tanah di daerah tropis tidaklah terlalu subur kecuali
lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik. Jumlah
total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis per unit area per unit waktu
disebut produktifitas primer kotor, namun demikian tidak semua energi yang
dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi sebagian
dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktifitas primer bersih dengan
demikian
adalah
hasil
fotosintesis
dikurangi
dengan
respirasi
(Soemarwoto, 1994).
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di
kebun campuran (agroforestry) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan
karbon (rosot karbon = karbon sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman
semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan
berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan
karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan
CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun
pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang
melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya
menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka
jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan
meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan
pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jumlah karbon tersimpan
dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga
sebagai cadangan karbon (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90%
biomassa yang
terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan
(serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis
berupa selulosa, lignin, gula, bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol
dan senyawa lainnya. Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium, dan
berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa
inilah merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara
binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO2 yang diikat dan O2 yang
dilepas (Arief, 1994).
Fotosintesis adalah proses produksi karbohidrat yang berasal dari bahan
anorganik melalui transformasi energi matahari menjadi energi kimia. Fotosintesis
sering dikatakan sebagai proses kimia satu-satunya yang sangat penting
berdasarkan beberapa alasan, makanan manusia dan dan seluruh binatang
(heterotrof) tergantung langsung atau tidak langsung pada tumbuhan (autorof),
stabilitas konsentrasi oksigen dan karbondioksida atmosfir tergantung dari proses
fotosintesis di lautan dan di daratan. Fotosintesis adalah proses sangat kompleks
yang terdiri dari serangkaian reaksi yang menghasilkan bahan organik dari zat-zat
anorganik. Karbondioksida diambil dari udara dan oksigen yang bervolume sama
dikembalikan, proses tersebut dapat dilukiskan sebagai penyerapan energi cahaya
Universitas Sumatera Utara
oleh kloroplas, pembelahan (fotolisis) air menjadi ion hydrogen untuk mereduksi
karbondioksida menjadi gula. Pada umumnya peristwa fotosintesis dinyatakan
dengan persamaan reaksi kimia sebagai berikut: 6CO2 + 6 H2O → C6H12O6 + 6O2
(Daniel, et al; 1995).
Thohir (1991) dalam Zebua (2008) menyatakan Biomassa tumbuhan
bertambah karena tumbuhan ini mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan
mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Proses
fotosintesis ini diawali dengan pengambilan karbondioksida dari udara dan air
dari tanah oleh tumbuh-tumbuhan berklofil hijau. Dengan bantuan klorofil a dan b
dan dibawah pengaruh sinar matahari sebagai energi, tumbuh-tumbuhan mampu
mengubah karbondioksida dan air menjadi gula, air dan oksigen atau zat asam.
Energi cahaya matahari yang tertangkap dalam proses fotosintesis itu akhirnya
diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam zat-zat organik seperti gula,
tepung, lemak dan sebagainya disimpanan dalam akar, batang, buah, cabang dan
daun. Energi matahari yang diubah menjadi energi kimia oleh tumbuh-tumbuhan
hijau ini digunakan untuk membentuk bahan-bahan organik, yang semakin lama
semakin tinggi kadar energinya, bahan-bahan tersebut lazim disebut dengan nama
biomassa.
Jumlah CO2 di udara tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 µmol
mol-1 selama ribuan tahun belakangan ini dan cukup stabil antara 200 dan 300
µmol mol-1 selama 150 ribu tahun sebelum itu. CO2 meningkat sekitar 1,4 µmol
mol-1 per tahun selama 15 tahun terakhir, tetapi pada tahun 1988 peningkatannya
lebih dari 2 µmol mol-1 sebuah lompatan terbesar dan lebih dari 0,5 % dari
kandungan CO2 saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 adalah
Universitas Sumatera Utara
pembakaran bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan, khususnya pembakaran
hutan tropika, juga ikut berperan. Ekosistem hutan hujan tropika menambah CO2
ke atmosfir (melalui respirasi dan pembusukan) sebanyak yang mereka ambil,
tetapi bila hutan itu ditebang dan dibakar, karbon yang tersimpan di biomassanya
dan sebagaian besar atau semua simpanan karbon di tanah berpindah dari biosfer
ke atmosfer (Salisbury dan Ross, 1995).
Dalam jangka pendek, CO2 ditambah ke atmosfer oleh respirasi tumbuhan,
mikroorganisme, dan hewan, oleh pembakaran bahan bakar fosil, serta oleh
pembukaan lahan. Dalam kurun waktu geologi CO2 ditambahkan ke atmosfir
melalui semburan gunung api dan semburan mata air mineral. Dalam jangka
pendek, fotosintesis merupakan salah satu mekanisme penting pengambilan CO2
dari atmosfer. Mekanisme lainnya adalah pelarutan CO2 di samudra dan laut,
dengan karbonat padat dan terlarut dalam keadaan setimbang dengan CO2,
perubahan
pada
yang
satu
akan
mempengaruhi
yang
lainnya
(Salisbury dan Ross, 1995).
Salisbury dan Ross (1995) mengatakan bahwa laju fotosintesis berbagai
spesies tumbuhan yang tumbuh pada berbagai daerah yang berbeda seperti gurun
kering, puncak gunung dan hutan hujan tropika, sangat berbeda. Kapasitas
fotosintesis daun diartikan sebagai laju fotosintesis per satuan luas daun pada
keadaan cahaya jenuh, konsentrsi CO2 dan O2 normal, suhu optimum dan
kelembaban nisbi tinggi, beragam dengan kelipatan hampir dua besaran.
Perbedaan ini sebagian disebabkan oleh adanya keragaman cahaya, suhu, dan
ketersedian air.
Universitas Sumatera Utara
Konsentrasi CO2 atmosfir bumi di atas tajuk hutan diperkirakan 0,03 %
volume 300 ppm. Di dalam hutan, konsentrasi CO2 biasanya lebih tinggi.
Ketersedian CO2 biasaanya dapat menjadi faktor pembatas fotosintesis. Hal ini
merupakan kasus yang sangat mungkin dalam tajuk pohon hutan yang rapat atau
tajuk tanaman pertanian selama siang hari bila fotosintesis aktif mengambil CO2
dari udara dan pencampuran armosfir sangat sedikit karena stagnasi udara.
Dengan menurunya konsentrasi CO2 sekitar daun, level minimal yang dicapai
yang disebut konsentrasi kompensasi CO2 yang di bawahnya tidak terdapat lagi
hasil positif fotosintesis neto (Daniel, et al; 1995).
Konsep piramida biomassa diterapkan dalam usaha mengatasi masalah
ukuran. Dalam penyusunan piramida itu dipakai bobot (biasanya bobot kering)
jasadnya dan bukan jumlahnya. Biomassa dinyatakan dalam gram per meter
persegi (g/m2) atau dalam ton per hektar (ha) bahan yang biasanya dikeringakan
sampai 70°C untuk mencegah kehilangan nitrogen (catatan : 1 ton sama dengan
106g, 1 ha setara dengan 104 m2, 1 ton/ha sama dengan 892 lb/acre)
(Ewusie, 1990).
Golley (1983) menyatakan bahwa meskipun tumbuh pada lahan yang
kurang subur, namun pohon-pohon di daerah tropis memiliki biomassa yang besar
dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pohon-pohon subtropis
yang tumbuh pada lahan yang lebih subur. Hal ini terjadi karena adanya
mekanisme konservasi hara dari pohon-pohon tropis. Selain faktor-faktor tersebut,
variasi biomassa juga terjadi karena perbedaan faktor iklim, misalnya curah hujan
dan suhu. Secara umum, curah hujan di daerah tropis pada umumnya lebih tinggi
dibandingkan daerah-daerah sub-tropis, dan demikian juga halnya dengan faktor
Universitas Sumatera Utara
cahaya matahari, dimanan penyinaran matahari di tropis lebih lama dibandingkan
di daerah subtropis.
Metoda estimasi stok karbon yang telah dikembangkan pada saat ini
didasarkan pada pengukuran-pengukuran di lapangan pada tingkat plot. Stok
karbon diestimasi dari biomassanya dengan
mengikuti aturan 40% biomassa
adalah karbon. Adapun metoda estimasi biomassa salah satunya adalah metoda
alometrik. Estimasi dilakukan dengan cara mengukur diameter batang pohon
setinggi dada (Diameter at Breast Height, DBH), yang terdapat pada plot
penelitian. Kemudian DBH digunakan sebagai variabel bebas dari persamaan
alometrik yang menghubungkan biomassa sebagai variabel tak bebas dan DBH
sebagai variabel bebas. Metoda ini telah banyak diaplikasikan untuk estimasi stok
karbon pada berbagai tipe vegetasi di Indonesia (Ulumudin, et al; 2005).
Alometrik adalah suatu alat yang kuat untuk menaksir berat/beban pohon
dari variabel yang mandiri seperti tinggi dan garis tengah batang yang dapat
dihitung pada setiap tegakan. Kekurangan dalam menggunakan hubungan
alometrik adalah membutuhkan banyak tenaga untuk mengukur sejumlah pohon
dalam menetapkan hubungan alometrik. Kebutuhan untuk identifikasi suatu
hubungan umum alometrik dapat digunakan berbagai jenis pohon dan di dalam
suatu penempatan lebar/luas geografis dari hutan (Komiyama, et al; 2005).
Menurut Brown (1992) estimasi terbaru dari Food and Agriculture
Organization of the United Nation (FAO) tentang sumber daya hutan dunia telah
memberikan gambaran penting tentang jumlah absorbsi CO2 selama periode
1981-1990. Selama periode tersebut total ekosistem hutan dunia mengandung 830
milyar ton CO2, 40% pada vegetasinya dan 60% di dalam tanah. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa rata-rata setiap tahun dalam periode 1981-1990 hutan dalam
wilayah temperate dan boreal mengabsobsi 700 juta ton karbon atmosfer, tetapi
selama ada perubahan dalam hutan tropis net emisi mencapai sebanyak 1.6 milyar
ton CO2. Jumlah tahunan penyimpanan atau emisi CO2 jika dibandingkan dengan
jumlah produksi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil mencapai 5.5
milyar ton. Akan tetapi, analisis yang lebih menyeluruh dari proses siklus CO2 di
daerah tropis akan menunjukkan total nilai tidak lebih dari 500 juta ton. Sebagai
akibatnya, sangat memungkinkan bahwa hutan dunia dan alterasinya juga
memberi konstribusi yang besar terhadap akumulasi CO2 atmosfer (Yusuf, 2008).
Syafii, (2003) dalam Zebua (2008) menyatakan biomassa yang dihasilkan
oleh tanaman dipermukaan bumi diperkirakan sekitar 100-125 miliar ton/tahun
dan di lautan sekitar 44-45 miliar ton per tahun dengan kandungan energi sekitar
200 kali konsumsi energi dunia. Diantara biomassa yang dihasilkan di permukaan
bumi, persentase terbesar adalah biomassa dalam bentuk kayu/biomassa hutan,
yaitu sekitar 90 miliar ton per tahun. Jika dilihat dari data potensi hutan dan pola
pertumbuhannya, biomassa yang dihasilkan dari hutan tanaman relatif cukup
tinggi, yaitu 25-30 m3/ha/tahun, dengan mutu yang seragam.
Hubungan DBH dan H pada tegakan Eucalyptus grandis mengikuti fungsi
hiperbolik dengan korelasi yang sangat erat, yakni 96,83 dan dengan nilai
simpangan yang kecil, yakni hanya sebesar 0.01. Dengan demikian, tinggi pohon
dapat diduga dengan baik dengan menggunakan diameter pohon. Mengingat
kostanta pangkat dari DBH>1 yang berarti jenis Eucalyptus grandis merupakan
jenis pohon yang intoleran dimana peningkatan diameter pohon diikuti dengan
peningkatan secara progersif tinggi pohon. Hasil ini seperti yang dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
Kusmana (1997) bahwa jenis intoleran membutuhkan cahaya matahari yang
cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan optimum (Onrizal, et al; 2009).
Brown, et al; (1952) dalam Zebua (2008) menyatakan bahwa berat jenis
kayu bervariasi diantara berbagai jenis pohon dan diantara pohon dari satu jenis
yang sama. Variasi ini juga terdapat pada posisi yang berada dari satu pohon.
Adanya variasi jenis kayu tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam jumlah zat
penyusun dinding sel dan kandungan zat ekstraktif per unit volume dan berat jenis
di dalam suatu spesies telah ditemukan bervariasi dengan sejumlah faktor yang
meliputi letaknya dalam pohon, letak dalam kisaran spesies, kondisi tempat
tumbuh dan sumber-sumber genetik.
Universitas Sumatera Utara
Download