tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Survei dan Pemetaan Tanah
Rossiter (2000) mendefinisikan survei tanah sebagai proses menentukan
pola tutupan tanah, menentukan karakteristik tanah dan menyajikannya dalam
bentuk yang dapat dipahami dan diinterpretasi oleh berbagai kalangan pengguna.
Sedangkan menurut Rayes (2007), survei tanah adalah penelitian tanah di
lapangan dan di laboratorium, yang dilakukan secara sistematis dengan metodemetode tertentu terhadap suatu daerah (areal) tertentu, yang ditunjang oleh
informasi dari sumber-sumber lain yang relevan.
Menurut Soil Suvey Division Staff (1993), survei tanah mendeskripsikan
karakteristik tanah-tanah di suatu daerah , mengklasifikasikannya menurut sistem
klasifikasi baku, membuat alur batas tanah pada peta dan membuat prediksi
tentang sifat tanah. Perbedaaan penggunaan tanah dan bagaimana tanggapan
pengelolaan mempegaruhi tanah itulah yang terutama perlu diperhatikan (dalam
merencanakan dan melakukan survei tanah). Informasi yang dikumpulkan dalam
survei tanah membantu pengembangan rencana penggunaan lahan dan sekaligus
mengevaluasi dan memprediksi pengaruh penggunaan lahan terhadap lingkungan.
Rayes (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga metode yang digunakan
dalam survei tanah, yakni metode Grid Kaku, Fisiografi (Interpretasi Foto
Udara/IFU), dan Grid Bebas.
1. Metode Grid Kaku, dilakukan dengan pengambilan contoh tanah yang secara
sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi
yang diharapkan. Jarak pengamatan teratur dengan pola persegi (rectangular
Universitas Sumatera Utara
grid) dengan interval titik pengamtan berjarak sama pada arah horizontal dan
vertikal.
2. Metode Fisiografi (IFU), dilakukan dengan interpretasi foto udara untuk
mendelienasi landform pada darah yang disurvei, diikuti dengan peninjauan
lapangan terhadap komposisi satuan peta hanya pada daerah pewakil, sehingga
tidak semua delineasi dikunjungi.
3. Metode Grid Bebas, merupakan perpaduan metode grid Kaku dan fisiografi
yang umumnya diterapkan pada survei tingkat semidetail hingga detail.
Pengamatan di lapangan dilakukan seperti Grid Kaku, tetapi jarak pengamatan
tidak perlu sama dalam dua arah tergantung pada fisiografi daerah survei. Jika
terjadi perubahan fisiografi yang menyolok dalam jarak dekat, perlu
pengamatan lebih rapat, sedangkan jika landform cenderung seragam maka
jarak
pengamatan
dapat
berjauhan.
Sehingga,
kerapatan
pengamatan
disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat
kerumitan pola tanah di lapangan
Peta tanah semidetail merupakan peta yang umumnya dibuat dengan skala
1 : 50.000 dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 ha, tergantung
dari kerumitan bentang lahan. Pengamatan lapangan bisasanya dilakukan dengan
sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Pada
jenis skala ini, luas tiap 1 cm2 pada peta adalah sekitar 25 ha di lapangan. Peta
semidetail memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih rinci dan dapat
menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta ini umum digunakan
untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, perencanaan mikro dan
Universitas Sumatera Utara
operasional
untuk
proyek-proyek
pertanian,
perkebunan,
transmigrasi,
perencanaan dan perluasan jaringan irigasi (Rayes, 2007).
Analisis Geostatistik
Geostatistika merupakan cabang ilmu statistik untuk menganalisis dan
memprediksi variabel (nilai) yang berkaitan dengan karakteristik ruang dan waktu
suatu fenomena. Geostatistika mengintegrasikan dimensi atau koordinat spasial
(dan kadang juga temporal) dengan data yang dianalisis, sehingga dapat
memprediksi fenomena yang sama pada lokasi yang tidak diambil sampel.
Geostatistika dapat digunakan dalam bidang ilmu tanah (soil science) untuk
memetakan tingkat polusi tanah oleh Nitrogen, Fosfor, dan Kalium, memodelkan
distribusi spasial variabel seperti konduktivitas hidrolik tanah, serta mempelajari
hubungan antara variabel tersebut dan hasil panen secara keseluruhan
(Indarto, 2013).
Geostatistika menyediakan perangkat untuk memperbaiki perancangan
pengambilan contoh dengan menggunakan tingkat autokorelasi spasial di wilayah
pengambilan sampel dan sangat bermanfaat untuk menggambarkan hubungan
antardata serta mengurangi kesalahan, penyimpangan, dan meningkatkan
ketelitian data (Myers, 1997, dalam Eltaib et al., 2002). Geostatistika telah banyak
digunakan untuk mengestimasi sejumlah karakteristik tanah yang penting, di
antaranya beberapa sifat kimia tanah (Aisyah et al. 2010), Kalium tanah sawah
(Masjkur, 2005), dan hara-hara mikro tanah sawah (Liu et al., 2004).
Di antara beberapa teknik dalam geostatistika, Kriging merupakan bentuk
prosedur interpolasi yang memberikan estimasi terbaik dengan bias kecil untuk
nilai-nilai yang beragam dalam ruang. Prosedur ini dapat digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengestimasi nilai-nilai pada wilayah yang tidak diambil sampel. Estimasi
menggunakan Kriging dikalkulasi sebagai nilai-nilai yang dibobotkan pada
konsentrasi sampel-sampel yang saling berdekatan. Oleh karena itu, apabila data
terlihat sangat kontinu pada ruang, titik-titik yang berjarak lebih dekat pada
wilayah yang terestimasi akan menerima pembobotan yang lebih tinggi daripada
yang berjarak lebih jauh (Cressie, 1990, dalam Liu et al., 2004).
Menurut Indarto (2013), Kriging adalah sekumpulan metode interpolasi
yang didasarkan pada model semivariogram untuk memprediksi nilai autokorelasi
spasial, error, dan arah korelasi spasial. Semivariogram merupakan suatu fungsi
yang menyatakan keragaman (variance) di antara sampel-sampel yang dipisahkan
oleh jarak yang berbeda-beda. Umumnya, semivariogram akan menunjukkan yang
kecil untuk perbedaan jarak yang relatif pendek. Semakin panjang perbedaan
jarak, maka keragaman akan semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa data
memiliki auokorelasi spasial (spatial auto-correlation).
Autokorelasi spasial mengindikasikan bahwa nilai atribut suatu variabel
pada daerah tertentu terkait atau saling berhubungan dengan nilai atribut apda
daerah
lain
yang
letaknya
berdekatan
atau
bertetangga.
Menurut
Johnston et al. (2001), semivariogram menggambarkan autokorelasi spasial pada
titik-titik sampel yang diukur. Apabila setiap pasangan lokasi diplotkan, maka
terdapat suatu model yang disesuaikan. Ada beberapa karakteristik yang umum
digunakan untuk menggambarkan model tersebut, yaitu range, sill, dan nugget
(Johnston et al., 2001), sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Model Semivariogram (Bohling, 2005)
Bohling (2005) mendefinisikan Sill sebagai nilai semivariance pada saat
variogram mulai mendatar, yang juga dapat mengacu pada amplitudo komponen
tertentu dari semivariogram. Pada gambar di atas, sill bisa mengacu baik pada
keseluruhan sill (1,0) maupun partial sill yakni selisih (0,8) antara sill dan nugget
(0,2). Dalam hal ini, makna dapat tergantung pada konteks. Sedangkan range
merupakan jarak di mana semivariogram mencapai nilai sill, atau jarak saat model
pertama kali mulai mendatar. Johnston et al. (2001) menyatakan bahwa letak titik
sampel yang dipisahkan pada jarak lebih dekat daripada range secara spasial
berautokorelasi, sementara jarak yang lebih jauh tidak ada autokorelasi.
Masih menurut Johnston et al. (2001), secara teoritis, pada jarak
pemisahan sama dengan nol (misal, lag = 0), nilai semivariogram seharusnya juga
nol. Namun, pada jarak pemisaan yang sangat kecil, perbedaan antar pengukuran
sering cenderung tidak sama dengan nol. Hal ini disebut dengan efek nugget. Efek
Universitas Sumatera Utara
nugget dapat dianggap sebagai error pengukuran atau sumber keragaman spasial
pada jarak yang lebih kecil dari interval (range). Error pengukuran terjadi karena
kesalahan inheren pada alat pengukuran. Fenomena alam dapat beragam secara
spasial melalui suatu rentang skala. Keragaman pada skala yang lebih kecil
daripada jarak pengambilan contoh dapat muncul sebagai nilai nugget.
Dalam analisis geostatistik, rasio nugget/sill menentukan tingkat
autokorelasi spasial pada masing-masing variabel tanah seperti yang dinyatakan
oleh Cambardella et al. (1994) bahwa variabel memiliki tingkat autokorelasi
spasial yang kuat jika nilai rasio > 25 %, moderat jika nilai rasio 25 %—75 %,
dan kuat jika nilai rasio > 75 %. Autokorelasi spasial yang kuat pada variabel
tanah mengacu pada faktor-faktor intrinsik seperti pembentukan tanah, tekstur,
dan mineralogi yang umumnya dipengaruhi oleh bahan induk tanah. Sedangkan
tingkat autokorelasi spasial yang lemah lebih mengacu pada faktor-faktor
ekstrinsik seperti pemupukan dan pengolahan tanah.
Unsur Hara Fosfor (P)
Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara
makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen
dan kalium. Akan tetapi, fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life).
Unsur hara P dalam tanah dapat digolongkan menjadi P organik dan P anorganik.
Menurut Nyakpa et al. (1988), bentuk P pada tanah masam yaitu H2PO4- lebih
dominan dijumpai dan terus ke bentuk HPO42- dan PO42- sedangkan P yang dapat
diserap tanaman dalam bentuk orthophospat yaitu H2PO4- dan HPO42- pada
umumnya dapat tersedia bagi tanaman.
Universitas Sumatera Utara
Ketersediaan fosfor tanah untuk tanaman terutama sangat dipengaruhi oleh
sifat dan ciri tanahnya sendiri. Pada Ultisol, tidak tersedia dan tidak larutnya P
disebabkan fiksasi oleh mineral-mineral liat dan ion-ion Al, Fe yang membentuk
senyawa kompleks yang tidak larut. Ada beberapa faktor yang turut
mempengaruhi ketersediaan P tanah yaitu tipe liat, pH tanah, waktu reaksi,
temperatur, dan bahan organik tanah (Nyakpa et al., 1988).
Hanya sebagian kecil dari P total dalam tanah berada pada larutan tanah
pada satu waktu, biasanya kurang dari 4 pon per acre. Rentang konsentrasi dalam
larutan tanah mulai kurang dari 0,1 hingga sekitar 5 ppm. Kebanyakan tanaman
merespon terhadap penambahan P saat tingkat larutan tanah kurang dari 0,1 – 0,2
ppm. Tingkat larutan P pasti secara konstan berubah, lebih sering dua kali sehari
selama masa penyerapan puncak saat musim tanam. proses-proses kesetimbangan
(pertukaran dan pelarutan) sebagaimana penurunan bahan organik dan jumlah
penambahan pupuk untuk pergerakan P dari cadangan melimpah tanah ke bentuk
terlarut (Hodges, 2011).
Tanaman-tanaman yang cepat tumbuh dapat mengangkut hara P sebanyak
1 kg/ha/hari (2,3 kg P2O5/ha/hari). Total jumlah P yang diangkut tanaman dari
lahan bervariasi sesuai tanaman. Besar pengangkutan hara fosfat dari lahan pada
tanaman yang dipanen kebanyakan berada pada 10—30 kg P/ha per panen
(23—69 kg P2O5/ha). Tanaman padi yang menghasilkan panen 2—8 ton/ha
mengangkut sekitar 4—16 kg P/ha (9—37 kg P2O5/ha) per panen jika jerami
tetap berada di lahan, atau 6—22 kg P/ha (14—50 kg P2O5/ha) per panen jika
jerami juga diangkut. Untuk gandum (panen 8 ton/ha) dan kentang (panen 40
ton/ha), sebanyak 28 kg P/ha (64 kg P2O5/ha) per panen terangkut jika sisa
Universitas Sumatera Utara
tanaman tetap tinggal di lahan, dan akan lebih banyak jika sisa tanaman juga
terangkut. Dalam jangka panjang, aplikasi P harus sama dengan jumah yang
terangkut pada panen tanaman. Pada tanah-tanah dengan kapasitas pengikatan
yang tinggi (seperti yang terdapat pada tanah-tanah tropis), aplikasi P hingga
200 kg P/ha (460 kg P2O5/ha) atau lebih sebagai aplikasi pada satu waktu, diikuti
dengan laju tahunan yang normal, bisa jadi dibutuhkan untuk mempertahankan
kandungan P di dalam larutan tanah di atas batas kritis (Lægreid et.al., 1999).
Tidak seperti nitrogen, pengelolaan P memerlukan strategi jangka panjang.
Hal ini disebabkan terutama karena sifat P yang tidak mobil, sehingga P tidak
mudah tersedia bagi tanaman dan tidak mudah hilang dari tanah. Dengan
demikian cara pengelolaan hara P menjadi lebih kompleks dan perlu
mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Perubahan ketersediaan hara P alami di tanah. Hal ini terkait dengan penentuan
takaran pupuk P yang perlu ditambahkan untuk mencapai keseimbangan hara
dalam tanah.
2. Pengaruh penimbunan hara P di tanah sebagai akibat dari pemberian pupuk P
secara intensif dan terus-menerus.
3. Pemeliharaan tingkat kesuburan dan status hara P tanah pada level optimal,
sehinggamampumencukupi kebutuhan dan tidakmenimbulkan kahat hara lain
seperti Zn dan N pada tanaman padi.
(Abdulrachman dan Sembiring, 2006)
Universitas Sumatera Utara
Unsur Hara Seng (Zn)
Unsur hara mikro esensial adalah unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman
pada kadar < 50 mg/kg bahan (kriteria lain < 0,1 %). Semua unsur hara, termasuk
hara mikro, akan mempunyai efek yang sama-sama merugikan pertumbuhan
apabila kurang atau tidak tersedia bagi tanaman (defisiensi), tetapi mempunyai
pola efek yang tidak sama apabila tersedia berlebihan. Kelebihan unsur hara
mikro akan langsung bersifat toksik bagi tanaman, tetapi sebelum meracuni
tanaman, terdapat area luxury consumption (konsumsi berlebihan) yang tidak
berefek negatif tetapi tidak efektif karena peningkatan serapan hara tidak diikuti
dengan perbaikan tanaman. Timbulnya permasalahan hara mikro umumnya dipicu
oleh kebiasaan petani yang lebih memprioritaskan pemupukan hara-hara makro,
yang memacu penyerapan hara-hara mikro akibat membaiknya pertumbuhan dan
produksi tanaman (Hanafiah, 2005).
Praktik
pertanian
intensif
dengan
aplikasi
pemupukan
dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Hal ini juga dapat menambah kebutuhan
hara-hara mikro ke tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat disediakan
tanah. Pada beberapa tahun terakhir, defisiensi dari satu atau lebih hara mikro
telah terjadi dengan meningkatnya frekuensi pemupukan. Defisiensi hara mikro
dapat menghambat perkembangan dan hasil tanaman, serta menyebabkan
inefisiensi
penyediaan
hara
mikro
pada
pemupukan
dan
pengapuran
(Lægreid et.al., 1999).
Mousavi (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya defisiensi Zn, antara lain : 1) Keasaman tanah yang
tinggi akibat pencucian yang intensif; 2) Kadar hara P yang terlalu tinggi dalam
Universitas Sumatera Utara
tanah; dan 3) Terhalangnya penyerapan Zn karena adanya kation-kation logam
seperti Cu2+ dan Fe2+. Rehm and Schmitt (1997) menyatakan bahwa aplikasi
pupuk fosfat berlebihan telah menyebabkan defisiensi hara Zn dan penurunan
produksi pada tanaman jagung. Sedangkan menurut Hanafiah (2005), serapan P
yang tinggi pada tanaman dapat menghambat metabolisme dan penyerapan Zn
oleh akar. Sementara itu Sofyan et al. (2004) menyatakan bahwa pemberian
pupuk hara makro terus-menerus seperti Urea, Amonium Sulfat, TSP/SP-36 dan
KCl pada lahan sawah intensifikasi dapat mengakibatkan terkurasnya unsur hara
mikro di antaranya Zn. Kahat Zn dapat terjadi karena terbentuknya persenyawaan
Zn-P, ZnCO3, Zn(OH)2, atau karena drainase buruk pada lahan sawah yang dapat
membentuk senyawa ZnS yang tidak larut.
Reduksi akan mengakibatkan ketersediaan Zn dan Cu dalam larutan tanah
menurun. Penurunan kadar Zn dalam larutan tanah dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain (1) terbentuknya endapat Zn(OH)2 sebagai akibat
meningkatnya pH setelah penggenangan; (2) terbentuknya endapan ZnCO3 karena
adanya akumulasi CO2 hasil dekomposisi bahan organik; dan (3) terjadinya
endapan ZnS karena adanya H2S sebagai akibat reduksi berlebihan atau adanya
endapan Zn3(PO4)2 karena adanya fosfat berlebihan. Oleh sebab itu kekahatan Zn
pada tanah sawah tidak dapat diukur melalui kelarutan Zn namun perlu
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya (Yoshida, 1981).
Bentuk unsur hara mikro ini yang diserap tanaman adalah bentuk kation
Zn2+ sebagai hasil pelapukan bahan-bahan mineralnya. Kation dalam larutan hara
berada dalam kesetimbangan dengan kationdd pada situs pertukaran koloid tanah.
Kation ini membentuk senyawa khelat dengan senyawa organik, sehingga
Universitas Sumatera Utara
ketersediaannya menurun dengan meningkatnya kadar bahan organik tanah.
Defisiensi Zn juga dijumpai pada tanah organik. Pada tanah berkapur, defisiensi
terjadi akibat tingginya pH sehingga terjadi presipitasi Zn oleh ion-ion hidroksil.
Sedangkan pada tanah berpasir yang masam, defisiensi terjadi akibat intensifnya
pencucian. Pada kasus lain, defisiensi Zn juga terjadi akibat pemupukan fosfat
takaran tinggi yang menyebabkan Zn diikat oleh senyawa fosfat terlarut
(Hanafiah, 2005).
Kondisi Lingkungan Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah,
baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.
Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, melainkan istilah umum
seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya.
Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Padi
sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat
tanah
sawah
sangat
beragam
sesuai
dengan
sifat
tanah
asalnya
(Hardjowigeno et al., 2004).
Tanah tergenang mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan dengan
tanah yang tidak tergenang. Oksigen pada lapisan olah tanah yang tergenang
dalam jangka panjang relatif terbatas. Kondisi tersebut dapat berpengaruh
terhadap perpindahan hara melalui proses difusi maupun aliran massa. Hal ini erat
hubungannya dengan perubahan kimia maupun elektrokimia yang terjadi dalam
suasana kurang oksigen. Serangkaian perubahan yang terjadi dalam suasana
oksigen terbatas akibat adanya penggantian ruang pori tanah menyebabkan gas
Universitas Sumatera Utara
CO2,
asam
organik,
gas
methana,
dan
molekul
hidrogen
meningkat
(Yoshida, 1981).
Tanah sawah di dataran rendah, didominasi (55%) oleh subordo Aquept
dan Aquent (Aluvial dan Tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah
“uplands” didominasi (17%) oleh subordo Udept (Latosol dan Regosol). Tanahtanah sawah yang termasuk ke dalam subordo Aquept dan Aquent, umumnya
berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air,
khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk
Udept,
umumnya
berasal
dari
tanah
kering
yang
disawahkan
(Hardjowigeno et al., 2004).
Akibat genangan tanah sawah terbagi atas dua lapisan. Lapisan pertama
terbentuk dari tanah lumpur setebal beberapa milimeter yang berbatasan langsung
dengan air yang menggenanginya disebut lapisan oksidatif. Lapisan ini masih
mengandung oksigen yang berasal dari udara yang menembus lapisan air dan
berasal dari asimilasi ganggang-ganggang dalam air. Dalam lapisan oksidatif
tersebut hidup jasad renik aerob. Selain itu, terdapat pula hasil-hasil oksidasi
seperti nitrat, sulfat, dan ferri. Oksigen tidak dapat menembus lebih dalam lagi
sehingga lapisan tanah lumpur di bawah lapisan oksidatif ini miskin oksigen dan
disebut lapisan reduktif. Lapisaan reduktif berrwarna lebih kelam, yang terkait
dengan warna hasil-hasil reduksi. Potensial oksidasi-reduksi (Eh) di lapisan ini
rendah dan jasad renik yang mampu hidup adalah jasad renik yang bersifat
anaerob (Abdulrachman et al., 2009).
Yoshida (1981) menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses yang
mengkonsumsi elektron (sehingga terjadi penurunan Eh) dan menghasilkan ion
Universitas Sumatera Utara
OH- (sehingga pH meningkat) dan terbentuk besi ferro. Kecepatan reduksi dan
macam serta jumlah hasil reduksi ditentukan oleh: (a) macam dan kandungan
bahan organik; (b) macam dan konsentrasi zat anorganik penerima elektron;
(c) pH; dan (d) lamanya penggenangan. Menurut Sanchez (1993), kuatnya proses
reduksi bergantung pada jumlah bahan organik yang mudah melapuk. Makin
tinggi kandungan bahan organik tanahnya makin besar kekuatan reduksinya. Pada
umumnya, kadar zat yang tereduksi mencapai puncak pada 2—4 minggu setelah
penggenangan kemudian berangsur-angsur menurun sampai suatu tingkat
keseimbangan.
Menurut Ponnamperuma (1985), besarnya nilai Eh berpengaruh terhadap
ketersediaan unsur-unsur hara, yang mana Eh rendah meningkatkan ketersediaan
P, K, Fe, Mn, dan Si tetapi mengurangi ketersediaan S dan Zn.
Sulaeman et al. (1997) telah mempelajari pengaruh perubahan potensial redoks
terhadap sifat erapan P tanah dan kelarutan untuk tanah sawah bukaan baru
Petroferic Hapludox di Dorowati Lampung dan dilaporkan bahwa : (1) besi sudah
mulai tereduksi pada Eh 400 mV dan memberikan kadar besi terlarut hingga 59
ppm pada Eh – 300 mV dan (2) kebutuhan pupuk P untuk mencapai 0,02 ppm P
terlarut pada Eh sekitar 0 mV (nilai Eh yang umum berlaku pada masa
pertumbuhan padi sawah) sebesar 95 dan 268 mg P/kg tanah masing-masing
untuk tanah lapisan atas dan bawah.
Selain ketersediaan hara, produktivitas tanaman padi ditentukan kesuburan
tanah, kondisi iklim (curah hujan dan radiasi surya), varietas tanaman, serta
pengendalian hama penyakit tanaman. Dalam kondisi lingkungan biotik dan
abiotik yang optimal, tanaman padi dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan potensi hasil atau hasil maksimum untuk varietas tertentu. Namun
demikian kondisi ideal seperti ini tidak mudah terpenuhi karena banyaknya faktor
penghambat pertumbuhan tanaman padi sawah (Setyorini et al., 2004).
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan peningkatan mutu
intensifikasi yakni menerapkan rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien
dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat mesin pertanian dengan
tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan
mencakup penyiapan lahan secara tepat waktu, pemanfaatan air secara optimal,
penggunaan
bibit
unggul,
perbaikan
budidaya,
pemupukan
berimbang,
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penekanan kehilangan
hasil (Wahyunto, 2009).
Status Hara Tanah dan Rekomendasi Pemupukan
Status hara tanah dapat dibuat apabila telah disusun kriteria klasifikasi
berdasarkan hasil-hasil penelitian uji tanah, mulai dari penjajagan hara, studi
korelasi, kalibrasi, sampai penyusunan rekomendasi. Hasil penelitian uji tanah
yang telah dilaksanakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat (Puslitbangtanak) menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak HCl 25 %
untuk penetapan P dan K potensial mempunyai korelasi yang baik dengan hasil
tanaman padi sawah (Nursyamsi, 1994 dalam Sofyan et al., 2004).
Berdasarkan penelitian-penelitian kalibrasi di berbagai tempat diperoleh
bahwa klasifikasi P untuk padi sawah dengan pengekstrak HCl 25 % adalah
rendah (< 20 mg/100g), sedang (20—40 mg/100 g), dan tinggi (> 40 mg/100 g)
(Moersidi, et al., 1990). Sedangkan klasifikasi hara K dengan pengekstrak yang
sama untuk padi sawah yaitu rendah (< 10 mg K2O/100 g), sedang (10—20
Universitas Sumatera Utara
K2O/100 g), dan tinggi (> 20 mg K2O/100) (Adiningsih et al., 1989 dalam Sofyan
et al., 2004).
Penelitian status hara tanah sawah dapat digunakan sebagai acuan efisiensi
penggunaan pupuk. Hasil penelitian Jauhari dan Juanda (2006) untuk mengetahui
status hara di lahan sawah seluas 1.980,062 ha di Kecamatan Maos Kabupaten
Cilacap menunjukkan bahwa terdapat 61,97 % berstatus hara P tinggi, 36,20 %
berstatus P sedang, dan 1,82 % berstatus hara P rendah. Dari informasi tersebut,
kebutuhan pupuk SP-36 di Kecamatan Maos berdasarkan anjuran 118,880 ton
SP-36 per musim pupuk SP-36 dapat dihemat sebesar 194,873 ton/musim atau
bila harga pupuk SP-36 Rp 1.900/kg pengeluaran dapat dihemat Rp 370.259.631
per musim.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Zubair dan Ahmad (2011)
di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa takaran
pupuk P menurut anjuran Dinas Pertanian setempat adalah 150 kg SP-36/musim,
sehingga lahan sawah yang diidentifikasi seluas 1.976,91 ha diperlukan pupuk
SP-36 sebanyak 296.536,5 kg/musim. Bila penggunaan pupuk P didasarkan pada
peta status hara P tanah, maka kebutuhan pupuk SP- 36 di daerah tersebut hanya
206.238,17 kg. Hal ini berarti di Kabupaten Bone Bolango dalam satu musim
dapat dihemat penggunaan pupuk SP-36 sebanyak 90.298.33 kg. Jika harga pupuk
SP-36 Rp 2.700,-/kg maka jumlah dana yang dapat dihemat mencapai
Rp 243.805.491 ha/musim.
Penetapan takaran pemupukan berimbang, memerlukan data hasil analisis
tanah, terutama analisis kadar P dan K tanah. Yang menjadi permasalahan di
lapangan adalah: (1) Biaya analisis tanah relatif mahal bagi petani dan (2) Belum
Universitas Sumatera Utara
banyak tersedia laboratorium tanah di sekitar wilayah pertanian. Peta status hara
merupakan
penyederhanaan
(simplifikasi)
dalam
pemanfaatan
hasil-hasil
penelitian uji tanah. Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi
tentang sebaran dan luasan hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat
diketahui berapa luas tanah-tanah yang mempunyai status hara tanah yang rendah,
sedang, dan tinggi dan di mana lokasinya. Peta status hara tanah skala 1 : 250.000
dapat digunakan sebagai dasar dalam alokasi pupuk tingkat provinsi, sedangkan
peta status hara tanah skala 1 : 50.000 dapat digunakan sebagai dasar menyusun
rekomendasi pemupukan (Setyorini et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai dengan dengan posisi geografis adalah 3° 28' 12"—3° 36' 36" Lintang
Utara dan 98° 55' 48"— 99° 6' 36" Bujur Timur, dengan ketinggian tempat
sekitar 0—65 meter dpl dengan topografi cenderung datar. Analisis Tanah di
Laboratorium Research and Development Asian Agri Kebun Bahilang Tebing
Tinggi. Penelitian dilakukan pada April hingga September 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah contoh tanah sawah dari Kecamatan
Perbaungan yang diambil berdasarkan koordinat, sedangkan alat-alat yang
digunakan adalah peta lokasi titik sampel, perangkat Global Positioning System
(GPS) dari aplikasi Android GPS Test. V.1.3.0 , bor tanah tipe Belgi, pH meter,
formulir kuesioner, perangkat lunak ArcGIS 10 dari ESRI dan SPSS 16, kamera
digital, serta peralatan dan bahan kimia laboratorium untuk analisis tanah.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif dengan menggunakan Metode Survei.
Data lapangan yang diambil berupa sampel tanah sawah yang diambil dari 44 titik
lokasi disertai koordinat di wilayah Kecamatan Perbaungan dari kedalaman
0—20 cm pada masa awal tanam dengan metode survei semidetail (1 : 60.000).
Luas wilayah penelitian adalah 4.770 ha. Lokasi penyebaran titik pengambilan
sampel disajikan pada gambar 2 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Peta Penyebaran Titik Sampel Tanah
Universitas Sumatera Utara
Beberapa variabel yang diukur adalah P-potensial, P-tersedia, dan
Zn-tersedia, menggunakan metode ekstraksi berturut-turut HCl 25 %, Bray II, dan
HCl 25 %, Data hasil pengukuran kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif
(menggunakan SPSS 16) dan geostatistik (ArcGIS 10), serta analisis korelasi pada
taraf 5 %.
Kuesioner digunakan untuk mengetahui dosis aplikasi P yang digunakan
petani dan produksi yang dihasilkan. Jumlah responden ditentukan berdasarkan
rumus yang disederhanakan oleh Yamane (1967) dalam Israel (1992) berikut :
n=
N
1 + N(e)2
Dengan :
n
=
Jumlah Sampel
N
=
Jumlah Populasi
e
=
Standard error
Sehingga, dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 % dan presisi (e)
10 %, dari populasi sebesar 4.703 petani, maka :
n=
N
1 + N(e)2
n=
4.702
1 + 4.702(0,1)2
n=
4.702
48,02
n=
98 sampel
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini, jumlah responden dibulatkan menjadi 100 yang tersebar
secara acak proporsional pada 12 desa. Sebaran responden tiap desa disajikan
pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Jumlah Responden per Desa
No
Desa
Jumlah petani
Jumlah responden
(Jumlah petani desa/4.702) x 100
1
Lubuk Bayas
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Lubuk Rotan
Tanah Merah
Kesatuan
Lidah Tanah
Lubuk Dendang
Suka Beras
Cinta Air
Pematang Sijoman
Sukajadi
Lubuk Cemara
Kuta Galuh
Jumlah
224
598
450
511
1.073
74
98
382
331
529
325
107
5
12
9
10
22
3
3
8
7
10
7
4
4.702
100
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan awal
Pada tahap ini dilakukan konsultasi dengan komisi dosen pembimbing dan
Pengurusan izin dengan pihak berwenang terkait lokasi penelitian.
Penyediaan Peta
Penyediaan peta administrasi daerah, peta tata guna lahan, peta satuan
tanah, peta lokasi penelitian serta peta kerja lapangan yang telah disertai titik-titik
pengambilan sampel dengan sistem Grid Bebas pada skala 1 : 60.000 dan interval
antartitik sekitar 1.000 m.
Universitas Sumatera Utara
Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian dengan sistem Grid Bebas.
Pemboran dilakukan pada kedalaman 0—20 cm. Pengambilan contoh dilakukan
secara komposit pada tiap grid kemudian dicatat koordinat lokasi dengan bantuan
GPS. Saat pengambilan contoh, lahan sudah ditanami padi berumur sekitar 3
minggu.
Penanganan Contoh Tanah
Contoh tanah diambil secara komposit sebanyak 2 kg lalu dimasukkan
dalam kantong plastik kemudian diberi label dan nomor. Tanah dibiarkan tetap
berada dalam kondisi lembab seperti keadaan di lapangan, kemudian diantar ke
laboratorium untuk dianalisis.
Analisis Kimia Tanah
Analisis tanah di Laboratorium dilakukan untuk mengekstraksi dan
menetapkan kadar dari masing-masing variabel tanah sesuai dengan metode
ekstraksi sebagai berikut.
- Analisis P-potensial (mg/kg) metode ekstraksi HCl 25 %
- Analisis P-tersedia tanah (ppm) dengan Bray II
- Analisis Zn-tersedia (ppm) dengan metode HCl 25 %
- Nilai pH tanah dengan metode elektrometri menggunakan H2O (1 : 2,5)
Pengambilan Data Kuesioner
Kuesioner disebarkan kepada petani responden melalui wawancara sesuai
jumlah yang telah ditentukan pada tiap desa. Kriteria petani yang ditetapkan
menjadi responden adalah seluruh petani yang berperan dalam pengelolaan lahan
Universitas Sumatera Utara
sawah, terutama pemberian pupuk, baik pada lahan yang dimiliki sendiri maupun
mengelola lahan orang lain yang masih tercakup pada wilayah penelitian.
Pengolahan Data
1. Analisis Statistik Deskriptif
Data pengukuran sampel tanah untuk setiap variabel dan data kuesioner
diolah menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Product and Service
Solution) versi 16 untuk memperoleh besaran nilai minimum, nilai maksimum,
rata-rata, simpangan baku, ragam, dan koefisien keragaman (KK).
2. Uji Normalitas Sebaran Data
Uji Normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan dari sebaran data
pada masing-masing variabel. Metode pengujian yang digunakan adalah uji
Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengujian hipotesis menurut Gibbons and
Chakraborti (2003) adalah sebagai berikut.
H0 diterima, jika Dn < Dn, α (Data berdistribusi normal)
H0 ditolak, jika Dn > Dn, α (Data tidak berdistribusi normal)
Nilai Dn diperoleh dari pengolahan data menggunakan SPSS, sedangkan Dn,
α
merupakan nilai kritis Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah contoh tanah (n) = 44
yang diperoleh melalui pendekatan :
Dn, α = 1,36/√n
Dn, α = 1,36/√44
(44 sampel, α = 0,05)
Dn, α = 0,205
Kriteria pengujian juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai
Kolmogorov-Smirnov Z dan nilai sigifikansi. Jika Kolmogorov-Smirnov Z < 1,96
Universitas Sumatera Utara
untuk dua arah dan signifikansi > α (α = 0,05), maka dapat dikatakan data
berdistribusi normal.
3. Analisis Korelasi
Analisis korelasi Product Moment Pearson dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara P-potensial dan P-tersedia, P-potensial dan Zn-tersedia, serta
P-tersedia dan Zn-tersedia. Hipotesis yang digunakan adalah :
H0
: rxy
=
0
(korelasi nol, tidak ada korelasi)
H1
: rxy
=
0
(korelasi tidak sama dengan nol)
Statistik uji yang digunakan menurut (Rosari, 2006) dengan rumus :
t=
rxy √n-2
√(1—r2xy)
Kriteria penolakan H0 menggunakan statistik t (tabel t-student) pada taraf
nyata 5 % sebagai berikut :
Tolak H0 jika : t > tα/2, v maka H1 diterima
4. Analisis Geostatistik
Pendugaan
keragaman
spasial
variabel
tanah
dilakukan
dengan
menggunakan model semivariogram, yang menurut Goovaerts (1999) dalam
Liu et al. (2004) didefinisikan sebagai berikut :
Semivarians r(h), dihitung sebagai kuadrat dari setengah rata-rata selisih antara
dua pasangan data, di mana N(h) adalah total bilangan pasangan data yang
dipisahkan oleh jarak h, Z merepresentasikan nilai terukur dari variabel tanah,
Universitas Sumatera Utara
serta x adalah posisi dari sampel tanah. Luaran analisis geostatistik diperoleh
menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.
Pembuatan Peta Sebaran Spasial Status Hara
Peta status hara dihasilkan melalui interpolasi Kriging berdasarkan
pembobotan data dari model semivariogram, sehingga diperoleh luasan dari datadata titik yang kemudian dikelompokkan berdasarkan kriteria dari Badan Litbang
Pertanian (2008) untuk P-potensial, P-tersedia, dan Zn-tersedia.
Universitas Sumatera Utara
Download