Privatisasi BUMN Kembali Kontroversial

advertisement
Privatisasi BUMN Kembali Kontroversial
Minggu, 27 Pebruari 2011 06:26
Sejak kasus privatisasi Krakatau Steel (KS) melalui metode initial public offering (IPO) menuai
kritik, kini kebijakan privatisasi BUMN kembali dipersoalkan. Kasus IPO KS memang wajar
dipersoalkan. Harga saham IPO KS yang ditetapkan sebesar Rp850 per lembar saham,
ternyata jauh di bawah harga pasar yang mencapai Rp1.200-an per saham. Sehingga tidak
mengherankan bila banyak pihak menduga ada sesuatu yang tidak beres dibalik penentuan
harga IPO KS.
Namun, mendasarkan penilaian kelayakan harga saham IPO KS yang ditetapkan dibandingkan
dengan harga yang terbentuk di pasar pada selang beberapa hari saja, juga tidak dapat
menghasilkan kesimpulan yang valid. Sebab, pasar modal kita saat ini sedang
booming
, sehingga harga yang terbentuk pun belum tentu mencerminkan fundamentalnya. Maraknya
capital inflow
saat ini telah menyebabkan harga saham di pasar menjadi tidak rasional. Oleh karenanya, kita
perlu waktu untuk menentukan apakah harga IPO KS yang ditetapkan terlalu murah atau tidak.
Jikadi kemudian hari terdapat indikasiketidakwajaran, saya kira BPK RI bisa mengambil inisiatif
untuk melakukan audit khusus, tanpa harus menunggu ada permintaan institusi lain.
Bapepamjuga bisa mengambil inisiatif yang sama. Sebagai regulator, Bapepam memang harus
berdiri untuk kepentingan semua pihak yang terlibat di pasar modal. Namun, Bapepam tetaplah
organnya Menteri Keuangan yang sejatinya merupakan ultimate share holder BUMN. Nah, atas
nama Menteri Keuangan inilah, Bapepam bisa mengambil inisiatif melakukan penyelidikan jika
memang ada indikasi transaksi IPO KS merugikan negara akibat permainan pelaku pasar
modal.
***
Terlepas kontroversi IPO KS di atas, kebijakan privatisasi BUMN saat ini memang perlu
diformulasikan kembali. Metode privatisasi BUMN yang diambil pemerintah saat ini
masihterbatas. Misalnya, setelahstrategic sale dihindari karena ada nuansa asingisasinya,
seperti dalam kasus Semen Gresik (1998), JICT (1998), dan Indosat (2002), kini pilihannya
jatuh ke IPO. Seolah, IPO adalah metode privatisasi yang pasti aman dari stigma asingisasi.
Padahal, kalau kita lihat struktur kepemilikan saham BUMN yang diperdagangkan di bursa,
ternyata mayoritas pemiliknya adalah asing. Jadi, tetap saja privatisasi BUMN apapun
metodenya belum bisa lepas dari stigma asingisasi.
1/4
Privatisasi BUMN Kembali Kontroversial
Minggu, 27 Pebruari 2011 06:26
Setidaknya, terdapat dua hal dibalik terbentuknya situasi ini. Pertama, akibat struktur pasar
modal kita yang liberal. Desain pasar modal kita tidak memungkinkan bagi investor domestik,
khususnya investor ritel, bisa bertahan lama memegang portofolionya. Kekuatan dana asing
yang besar,menyebabkan investor lokal tidak bisa berbuat banyak untuk menahan lebih lama
saham yang dimilikinya. Terlebih lagi dalam setiap penjualan saham-saham BUMN kita, justru
investor asing mendapat alokasi saham yang besar.
Kondisi ini sebenarnya bisa dicegah jikapasar modal kita mempraktekkan sistem klasifikasi.
Praktek klasifikasi seperti ini telah diberlakukan di China yang membagi pasar modalnya dalam
beberapa klasifikasi. Misalnya, ada pasar yang diperuntukkan secara khusus bagi investor
domestik dan ada pasar bagi investor asing. Dengan klasifikasi seperti ini, dimungkinkan
saham-saham BUMN tertentu hanya dimiliki oleh investor domestik. Dari sini jelas bahwa jika
kita ingin membangun kebijakan privatisasi BUMN yang sehat, maka tidak hanya mendasarkan
pada kebijakan privatisasi BUMN itu sendiri, melainkan juga harus membenahi pasar modal
kita.
Kedua, stigma asingisasi bisa dikurangi manakala pemerintah melibatkan stakeholders BUMN
secara maksimal dalam kepemilikan saham BUMN yang dijual. Dalam privatisasi KS misalnya,
pemerintah bisa mengajak para
customer
KS untuk memiliki sahamnya. Dan dengan langkah ini, sesungguhnya privatisasi bisa menjadi
alat kontrol yang efektif agar BUMN tetap menjaga komitmennya pada konsumen. Sebab,
dengan memiliki saham, konsumen dapat hadir dalam setiap pertemuan yang melibatkan
investor sehingga konsumen bisa bertanya langsung terhadap hal-hal yang terkait
kepentingannya.
Privatisasi BUMN juga sering dianggap sebagai transaksi yang merugikan, karena nilai yang
diperolehnyasering tidak mencerminkan nilai yang wajar. Dalam kasus penetapan harga IPO
KS, sejatinya itu adalah kasus yang spesifik.Dikatakan spesifik karena di saat pasar modal
booming
dan kinerja KS cukup bagus, harga saham IPO-nya ditetapkan ternyata di bawah ekspektasi.
Namun, dalam beberapa kasus, saham BUMN terpaksa dilego dalam kondisi pasar yang
sedang jatuh, sehingga nilainyapun akhirnya di bawah ekspektasi. Melego saham BUMN dalam
kondisi pasar sedang jatuh ini tidak bisa dihindari karena kebutuhan pendanaan bagi BUMN
dan pemerintah.
2/4
Privatisasi BUMN Kembali Kontroversial
Minggu, 27 Pebruari 2011 06:26
Perlu diketahui, kebijakan privatisasi BUMN kita juga tergantung kepada keputusan politik DPR.
Desain seperti inilah yang sering menimbulkan ketidakselarasan waktu antara keputusan politik
DPR dibuat dengan waktu pelaksanaan privatisasi. Akibatnya, ketika persetujuan DPR telah
didapat tidak jarang dijumpai momentum pasar bagi penjualan saham BUMN telah hilang.
Sementara itu, karena mandat politik dan kebutuhan pendanaan bagi BUMN dan pemerintah
harus dipenuhi, maka saham BUMN pun dilego dengan harga yang tidak maksimal.
Dari analisis di atas, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dibenahi dari kebijakanprivatisasi
BUMN ini. Pertama, bagaimana menghilangkan stigma asingisasi dalam privatisasi BUMN.
Perlu ditekankan disini bahwa tanggung jawab ini tidak hanya berada di Menteri BUMN,
melainkan juga Bapepam. Kuncinya, sudah saatnya pasar modal kita memiliki mekanisme yang
memungkinkan investor lokal memegang saham-saham kita dalam jangka panjang. Saya kira,
model pasar modal sepertiditerapkan di China dapat dikembangkan pada pasar modal kita.
Kedua, hendaknya lebih banyak melibatkan stakeholder BUMN untuk memiliki saham BUMN
yang diprivatisasikan, khususnya konsumen. Tujuannya adalah agar kepemilikan saham
menyebar kepada investor ritel lokal.
Ketiga, perlu terobosan untuk mengatasi problem time lack keputusan politik. Dalam konteks
ini, saya kira metode privatisisasi di Jerman dapat dijadikan model. Di Jerman, privatisasi
BUMN dilakukan dengan dua langkah.
Pertama
, setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, pemerintah menjual saham BUMN-nya kepada
Kreditanstalt für Wiederaufbau
(KfW), suatu
holding company
yang dimiliki Pemerintah Jerman.
Kedua
, KfWlantas mengelola BUMN yang dibelinya agar terjadi
value added
dan dijual ke publik ketika harganya sudah tinggi. Dengan skema ini, pemerintah Jerman
sangat diuntungkan. Sebab, sebagian besar
value added
yang dihasilkan dari proses privatisasi BUMN kembali ke pemerintah. Dan dengan model ini,
setiap penjualan saham BUMN dapat dilakukan pada momentum pasar yang baik.
Kesimpulannya, banyak cara yang dapat ditempuh agar privatisasi BUMN tidak selalu
menimbulkan kontroversi. Namun, langkah-langkah yang saya usulkan diatas, jelas
3/4
Privatisasi BUMN Kembali Kontroversial
Minggu, 27 Pebruari 2011 06:26
membutuhkan upaya bersama di berbagai bidang dan tentunya membutuhkan keterlibatan
banyak pihak. Ini mengingat, persoalan ini jelas tidak bisa diwujudkan oleh satu institusi saja.***
Dimuat oleh Republika, Senin, 22 November 2010
4/4
Download