1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak ditemukan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1981, Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berkembang sangat pesat dalam tiga dekade terakhir. Memasuki dekade keempat, wanita menjadi salah satu populasi yang tercepat menerima penularan penyakit ini. Angka kumulatif AIDS pada wanita di dunia dilaporkan meningkat secara dramatis, mulai dari 44.000 kasus pada tahun 1993 menjadi hampir 120.000 kasus pada akhir tahun 1999. Dalam rentang waktu 10 tahun terakhir, Human Immunodeficiency Virus (HIV)/AIDS menjadi masalah kesehatan pada ibu hamil di Bali. Data kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia periode 1 Januari 1987-31 Desember 2010 adalah 24131 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 4539 orang. Menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS, jumlah kasus terbanyak adalah pada heteroseksual (12717 kasus), pemakai narkoba suntik (9242 kasus), homoseksual (724 kasus), tranfusi darah (48 kasus), dan 628 kasus pada masa perinatal. Provinsi Bali menduduki peringkat kedua nasional, setelah Provinsi Papua, dalam prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, dengan angka prevalensi sebesar 85,95% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention, sekitar 80% wanita dengan AIDS berada pada periode usia produktif. Diperkirakan 7000 bayi lahir dari wanita yang menderita HIV dan 1.000 sampai dengan 2.000 di antaranya atau 2 sekitar 28% juga menderita HIV (Siegel dan Schrimshaw, 2001). Menurut data Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, periode tahun 2005-2007 terdapat 21 pasien hamil dengan HIV positif yang mengikuti program PMTCT (Preventing Mother to Child Transmission). Pada tahun 2007, tercatat sebanyak 26 orang anak terinfeksi HIV yang ditangani oleh RSUP Sanglah Denpasar (PMTCT RSUP Sanglah, 2008). Banyak program yang telah dikerjakan untuk mencegah perkembangan infeksi HIV/AIDS. Secara garis besar program-program pencegahan tersebut masuk ke dalam pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Saat ini upaya pencegahan hanya difokuskan pada kelompok-kelompok yang memiliki proporsi penularan yang lebih besar, yaitu: pada kelompok pelaku aktivitas seksual berisiko dan pemakai narkoba suntik (Mohaimin, 2009). Upaya pencegahan yang banyak dilakukan pada kedua kelompok ini adalah pada upaya pencegahan sekunder, yakni berupa deteksi dini dan pengobatan yang tepat (Mohaimin, 2009). Banyaknya program pencegahan yang dilaksanakan di Indonesia belum terbukti efektif dalam menurunkan kejadian infeksi HIV/AIDS. Upaya mencegah perkembangan infeksi HIV/AIDS di Indonesia sejalan dengan strategi Pemerintah Republik Indonesia yang tertuang dalam Milleneum Development Goals (MDGs). Di mana target yang ke enam adalah memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya. Upaya pencapaian target penurunan kejadian HIV/AIDS tertuang ke dalam tujuh strategi utama. Salah satu strategi tersebut adalah penguatan atau pengembangan sistem informasi dan surveilans (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011a). 3 Implementasi dari penguatan atau pengembangan sistem informasi dan surveilans adalah tersedianya data tentang karakteristik epidemiologi infeksi HIV/AIDS (Poundstone, et al., 2004). Terdapat beberapa karakteristik epidemiologi ibu hamil terinfeksi HIV yang juga meningkatkan risiko penularan. Status infeksi HIV suami merupakan salah satu karakteristik yang berperan. Pada penelitian yang dikerjakan di India, diketahui bahwa 92,09% wanita yang terinfeksi HIV mendapatkan infeksi dari suami (Arora, et al., 2008). Berikutnya adalah karakteristik umur. Pada kasus ibu hamil terinfeksi HIV memiliki kecenderungan diderita oleh ibu hamil umur muda (di bawah umur 35 tahun) (Sagay, et al., 2005). Tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu hamil juga merupakan karakteristik epidemiologi yang dapat meningkatkan risiko tertular HIV. Tingkat pendidikan rendah akan mempersulit memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak (Poundstone, et al., 2004). Untuk mencukupi kebutuhan yang beragam, akan timbul upaya memperoleh penghasilan lebih dengan berbagai cara. Penyalahgunaan narkoba dan berbagai bentuk prostitusi merupakan salah satu bentuknya (Poundstone, et al., 2004). Hal ini akan semakin mendekatkan wanita usia reproduksi pada risiko terinfeksi HIV. Lebih jauh lagi jika wanita tersebut hamil. Tentu saja risiko penularan akan meluas kepada bayi yang dikandung. Tampak bahwa karakteristik epidemiologi merupakan suatu data yang sangat penting di dalam mempelajari distribusi infeksi HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi tersebut (Budiarto dan Anggraeni, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, karakteristik epidemiologi juga merupakan modal utama dalam penyusunan berbagai upaya pencegahan infeksi HIV (Poundstone, et al., 2004). 4 Sehingga berdasarkan karakteristik epidemiologi ibu hamil terinfeksi HIV, akan dapat diketahui karakteristik yang meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Dengan menggunakan karakteristik epidemiologi tersebut akan dapat dikerjakan langkah-langkah pencegahan dini untuk mencegah perkembangan infeksi HIV lebih lanjut (Poundstone, et al., 2004). Berdasarkan paparan tersebut di atas, melalui penelitian ini akan dilakukan penilaian hubungan antara karakteristik epidemiologi ibu hamil dengan risiko ibu hamil tersebut terinfeksi HIV di Bali. Terdapat empat karakteristik ibu hamil yang akan dihubungkan dengan risiko terinfeksi HIV, yaitu: status infeksi suami, umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan pemikiran bagi petugas kesehatan dan para pemegang kebijakan dalam rangka mendukung upaya pencegahan penularan infeksi HIV pada wanita dan lebih khusus lagi dari ibu hamil kepada bayinya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV di Bali ? 2. Apakah terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali ? 3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali ? 4. Apakah terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan perilaku berisiko dengan infeksi HIV di Bali ? 5 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV di Bali. 2. Hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 3. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 4. Hubungan antara pekerjaan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau dasar dalam menyelenggarakan penelitian-penelitian lanjutan dalam rangka mendukung upaya pencegahan infeksi HIV/AIDS, utamanya penularan pada ibu hamil. 1.4.2 Manfaat bagi pelayanan Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan data ilmiah bagi pemegang kebijakan dan instansi terkait dalam menyusun programprogram pencegahan infeksi HIV/AIDS. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) 2.1.1 HIV sebagai etiologi AIDS Etiologi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah retrovirus Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang disebut sebagai Human Immunodeficiency Virus (HIV). Terdapat dua tipe HIV, yaitu: HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi HIV-1 (Leveno, et al., 2008). Faktor risiko penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi, melalui transfusi darah dimana darah tersebut belum terdeteksi virusnya, melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pengguna narkoba suntik/penasun, tindakan medis yang tidak steril, dan dari ibu ke bayi selama masa kehamilan atau selama persalinan, serta saat menyusui (Allworth, et al., 2004a). 2.1.2 Epidemiologi HIV/AIDS Epidemi Human Immonodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) saat ini telah memasuki dekade keempat. Fakta lainnya adalah wanita menjadi salah satu populasi yang tercepat menerima penularan HIV/AIDS ini. Angka kumulatif AIDS pada wanita di dunia dilaporkan meningkat secara dramatis, mulai dari 44.000 kasus pada tahun 1993 menjadi hampir 120.000 kasus pada akhir tahun 1999. Sekitar 80% wanita dengan AIDS berada pada periode 7 usia produktif. Diperkirakan 7.000 bayi lahir dari wanita yang menderita HIV dan 1.000 sampai dengan 2.000 diantaranya atau sekitar 28% juga menderita HIV (Siegel dan Schrimshaw, 2001). Untuk data kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia, jumlah kasus periode 1 Januari 1987-31 Desember 2010 adalah 24131 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 4539 orang. Dari total kasus AIDS yang dilaporkan, perbandingan angka absolut antara laki-laki dan perempuan adalah 17626 berbanding 8520. Menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS, jumlah kasus terbanyak adalah pada heteroseksual (12717 kasus), pemakai narkoba suntik atau penasun (9242 kasus), homoseksual (724 kasus), pada masa perinatal sebanyak 628 kasus. Provinsi Bali menduduki peringkat kedua nasional, setelah Provinsi Papua, dalam prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, dengan angka prevalensi sebesar 85,95% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sedangkan untuk sebaran kasus HIV/AIDS di Kabupaten/Kota se-Bali, terbanyak di Kota Denpasar dengan jumlah kasus 914, Buleleng 341 kasus, Badung 6 kasus, dan Gianyar 1 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011b). Insiden AIDS di Indonesia juga cenderung meningkat. Bahkan sejak awal tahun 2000 mengalami peningkatan berlipat dari dekade tahun 1990-an. Pada tahun 1999, insiden AIDS di Indonesia sebesar 94 kasus. Tahun 2005 menjadi 2638 kasus atau meningkat hampir 28 kali. Tahun 2010 insiden AIDS yang terdata sebesar 4158 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011c). 8 Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penularan HIV dan memberikan kontribusi bagi peningkatan insiden HIV. Faktor-faktor tersebut adalah (Poundstone, et al., 2004): 1. Faktor individu: pada faktor individu beberapa hal yang tercakup adalah ras atau etnik dan ketidakmampuan menghadapi tekanan atau persoalan yang dijumpai. Faktor tersebut dapat meningkatkan risiko tertular HIV dan berhubungan dengan perjalanan penyakit HIV. 2. Faktor sosial: pada faktor sosial ini yang tercakup adalah tingkat pendidikan, hubungan dengan lingkungan, kebiasaan penggunaan narkoba, kebiasaan seksual yang berkembang di masyarakat, dan lingkungan fisik. Berdasarkan faktor-faktor sosial ini akan dapat dipahami difusi dan perbedaan penyebaran HIV di populasi. 3. Faktor ekonomi meliputi pekerjaan, kemiskinan, dan penyalahgunaan narkoba. 4. Faktor kebijakan politik: kebijakan politik menjamin hak-hak publik dan pribadi. Melalui berbagai kebijakan yang diterapkan dalam kehidupan bernegara maka akan dapat mengontrol epidemi HIV/AIDS. Kebijakankebijakan tersebut tertuang dalam kebijakan makroekonomi, kebijakan kesehatan, kebijakan sosial, dan kebijakan dalam mengurangi peredaran narkoba. 5. Faktor hukum: hukum dapat berperan melalui dua cara, yaitu: secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung hukum dapat mempengaruhi 9 berbagai determinan yang mempengaruhi kesehatan. Secara tidak langsung, hukum berperan dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat. 6. Faktor demografi: perubahan-perubahan pada keadaan demografi dapat berpengaruh pada infeksi HIV. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah umur, mobilitas dan migrasi penduduk, urbanisasi, dan struktur gender dalam masyarakat. Setiap perubahan tersebut dapat mengadakan interaksi dengan individu yang telah terinfeksi. 7. Faktor peperangan: perang dapat meningkatkan risiko langsung dan tidak langsung infeksi HIV. Pengaruh peperangan terlihat pada rusaknya infrastruktur kesehatan yang ada, menimbulkan kemiskinan, serta instabilitas sosial pada daerah konflik. 2.1.3 Patogenesis HIV/AIDS Perjalanan alamiah infeksi HIV diawali 12-24 jam setelah terkena paparan. Human Immonodeficiency Virus masuk ke sel yang terletak pada daerah mukosa yang menjadi gerbang awal masuknya HIV. Empat puluh delapan jam setelah paparan, HIV menyebar ke kelenjar limfe regional, terjadi replikasi cepat di dalam sel imun, terutama sel Cluster Differentiation 4 (CD-4). Sel di dalam saluran pencernaan, sistem saraf pusat, sel kulit juga akan terinfeksi. Antara 5-40 hari, sistem imun host akan memberikan respon terhadap HIV yang masuk. Akan dihasilkan antibodi penetralisir dan respon sel T sitotoksik, terutama sel T limfosit CD-8. Banyak sel CD-4, tetapi tidak seluruhnya, diserang oleh sel CD-8. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah sel CD-4. Sehingga secara laboratoris tercermin 10 dalam pemeriksaan darah tepi jumlah sel CD-4 dan CD-8 (Allworth, et al., 2004b). Gejala mirip flu pada infeksi primer HIV disebabkan oleh pelepasan sitokin selama proses infeksi berlangsung dan respon imun yang terjadi dalam tubuh. Sebagai akibat dari kerja sistem pertahanan tubuh, konsentrasi virus (viral load) dalam darah akan menurun dan sel CD-4 yang baru akan dibentuk oleh sumsum tulang melalui timus (Allworth, et al., 2004c). 2.1.4 Gejala klinis dan tanda HIV/AIDS Pada anamnesis keadaan umum pasien dengan infeksi HIV dapat dijumpai kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan dasar, demam terus menerus atau intermiten yang lebih dari satu bulan, diare terus menerus atau intermiten yang lebih dari satu bulan. Pada daerah kulit, pasien biasanya mengeluh kulit kering. Pasien juga mengeluh batuk lebih dari satu bulan dengan disertai sesak nafas, nyeri kepala hebat yang tidak jelas penyebabnya, mengalami kejang demam, dan menurunnya fungsi kognitif (Surya, dkk., 2009a). Terdapat empat fase perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu: fase primer (hingga 10 minggu pasca inkubasi penyakit), fase awal penyakit (10 minggu hingga 5 tahun), fase intermediate (5 tahun hingga 10 tahun), dan fase akhir (lebih dari 10 tahun). Pada setiap fase tersebut akan dijumpai tanda dan gejala klinis yang bervariasi. Fase primer dijumpai gejala seperti demam, mialgia, kemerahan pada kulit, dan faringitis. Fase awal penyakit biasanya tanpa keluhan (asimtomatik). Pada fase intermediate kembali dikeluhkan demam, penurunan berat badan, keluhan pada kulit, infeksi minor, infeksi TB (tuberkulosis), dan pada 11 fase akhir akan dijumpai berbagai gejala infeksi oportunistik, seperti: toksoplasmosis dan kriptosporiktiosis (Allworth, et al., 2004d). 2.1.5 Pemeriksaan fisik yang mengarah HIV/AIDS Pemeriksaan keadaan umum pasien akan dijumpai kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Dapat juga tampak jejas suntikan dan infeksi jaringan lunak yang sering terjadi pada pemakai narkoba suntik. Pemeriksaan kulit biasanya didapatkan dermatitis seboroik berat pada muka dan kepala, sarkoma kaposi, tanda-tanda herpes simpleks dan herpes zoster, atau jaringan parut bekas herpes zoster di masa lalu (Surya, dkk., 2009b). Pada pemeriksaan kelenjar limfe terdapat pembesaran kelenjar limfe leher dan pembesaran kelenjar limfe servikal yang mudah digerakkan (Surya, dkk., 2009b). Pada daerah cavum oris diperiksa adanya kandidosis oral, oral hairy leukoplakia/OHL dan keilitis angularis. Masalah yang sering dijumpai pada daerah thorax adalah Pneumocystis Pneumonia (PCP) dan TB. Pada daerah abdomen diperiksa adanya hepatosplenomegali, teraba massa, atau nyeri lokal. Pada daerah anogenital dilihat adanya herpes simpleks (Surya, dkk., 2009b). 2.1.6 Pemeriksaan penunjang HIV/AIDS Konseling pra tes merupakan prosedur yang harus dikerjakan pada seseorang yang ingin mengetahui apakah mereka terinfeksi HIV atau tidak. Indikasi untuk ditawarkannya tes HIV adalah adanya infeksi menular seksual (IMS), hamil, TB aktif, dan gejala/tanda yang mengarah adanya infeksi HIV (Allworth, et al., 2004e). 12 Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan Nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 3 tahapan pemeriksaan dan selalu didahului dengan konseling pra tes. Untuk pemeriksaan pertama (A1) biasanya digunakan tes cepat dengan sensitifitas yang cukup tinggi. Untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) digunakan tes kit dengan spesifitas yang lebih tinggi. Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV (97%). Masa tersebut disebut masa jendela. Oleh karenanya bila hasil tes HIV negatif yang dilakukan dalam masa 3 bulan setelah kemungkinan terinfeksi, perlu dilakukan tes ulang, terlebih bila masih terus terdapat perilaku yang berisiko (Surya, dkk., 2009c). Gambar 2.1 Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa (Surya, dkk., 2009c) 13 Jumlah Cluster Differantiation-4 (CD-4) adalah cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Pemeriksaan Cluster Differantiation-4 (CD-4) melengkapi pemeriksaan klinis yang mana dapat memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis terhadap infeksi oportunistik (IO) dan terapi antiretroviral (ARV) sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. Cluster Differentiation-4 (CD-4) juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV (Surya, dkk., 2009d). 2.1.7 Diagnosis HIV/AIDS Kedatangan ODHA di sarana kesehatan perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: penggalian riwayat penyakit secara lengkap, pemeriksaan fisik lengkap, pemeriksaan laboratorium rutin, hitung limfosit total, dan bila mungkin pemeriksaan jumlah CD-4 (Surya, dkk., 2009c). Berdasarkan kondisi klinis akan dapat ditetapkan stadium klinis dari pasien dan dapat menjadi dasar untuk memulai terapi ARV atau terapi IO. Penyakit yang termasuk dalam stadium 1, 2, dan 3, kecuali anemia sedang, dapat dikenali secara klinis. Untuk penyakit yang termasuk dalam stadium 4, dianjurkan untuk menegakkan diagnosis dengan kriteria yang pasti (Surya, dkk., 2009c). Terdapat 4 stadium infeksi HIV, yaitu (Surya, dkk., 2009c): 1. Stadium 1 (asimtomatik): tidak terdapat penurunan berat badan, tidak ada gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten. 2. Stadium 2 (sakit ringan): terdapat penurunan berat badan 5-10%, Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA) berulang, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, dermatitis seboroik, infeksi jamur kuku. 14 3. Stadium 3 (sakit sedang): terdapat penurunan berat badan lebih dari 10%, diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan, kandidosis oral atau vaginal, oral hairy leukoplakia, TB paru dalam 1 tahun terakhir, pneumoni, piomiositis, TB limfadenopati, gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut, anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis (< 50.000/ml). 4. Stadium 4 (sakit berat): terdapat sindroma wasting HIV, pneumonia pnemosistis, pneumoni bakterial yang berat, herpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulan, kandidosis esophageal, TB extraparu, sarkoma kaposi, retinitis cytomegalovirus (CMV), abses otak, ensefalopati HIV, meningitis kriptokokus, infeksi mikobakteria non-TB meluas. 2.1.8 Penatalaksanaan HIV/AIDS Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara teratur, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau jika timbul gejala atau tanda klinis yang baru. Pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi antiretroviral (ARV) walaupun tidak tersedia tes CD-4. Saat yang tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya infeksi oportunistik (IO) yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat nilai CD-4 kurang dari 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai jika nilai CD-4 di atas jumlah tersebut. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan nilai CD-4 kurang dari 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan nilai CD-4 kurang dari 350/mm3 (Surya, dkk., 2009d). 15 Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa dan remaja berdasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi (Surya, dkk., 2009e). Pada tabel 2.1 disajikan prosedur memulai terapi pada ODHA dewasa: Tabel 2.1 Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa Stadium Klinis 1 2 3 4 Bila Tersedia Pemeriksaan CD-4 Terapi antiretroviral dimulai bila CD-4 <200 Jumlah CD-4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi sebelum CD-4 <200/mm3 a. Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD-4 350 b. Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD-4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD-4 Bila Tidak Tersedia Pemeriksaan CD-4 Terapi ARV tidak diberikan Bila jumlah total limfosit <1200 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total (Surya, dkk., 2009e) 2.1.9 Prognosis HIV/AIDS Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada umumnya membawa suatu prognosis yang baik pada kebanyakan pasien yang dirawat oleh dokter dan tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam pengobatan HIV. Konseling yang lengkap diberikan kepada pasien tentang perjalanan penyakit HIV, pilihan terapi, masalah pemeliharaan kesehatan, menginformasikan pasangan seksual tentang diagnosis 16 HIV pasien, dan berbagai kondisi yang dapat terjadi pada setiap tahap pada perkembangan infeksi HIV (Carpenter, et al., 2010). 2.2 Kehamilan dengan Infeksi HIV/AIDS 2.2.1 Penularan infeksi HIV/AIDS pada wanita usia reproduksi Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan seksual tak aman. Selanjutnya pasangan perempuan itu menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut secara potensial masih memiliki risiko untuk menularkan HIV kepada bayi berikutnya jika ia kembali hamil. Untuk menunjukkan peran penting laki-laki dalam rantai penularan ini, beberapa pihak telah mengganti istilah berkesan biologis “penularan HIV dari ibu ke bayi” menjadi istilah yang lebih sensitif perilaku, yaitu “penularan HIV dari orang tua ke bayi” (Pratomo, dkk., 2006a,2006b). Penelitian kualitatif tentang penularan HIV/AIDS pada wanita usia reproduksi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian infeksi HIV/AIDS berkaitan dengan masalah gender, kekuatan yang dimiliki wanita itu sendiri dalam rumah tangga, dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam rumah tangga (Naidoo, 2008). Pada penelitian di Amritsar, India diketahui bahwa dari 215 wanita yang menderita HIV/AIDS, 92,09% mendapatkan infeksi dari suami mereka. Sebagian kecil yang lain mendapatkan infeksi melalui tranfusi darah dan melalui jarum suntik. Selanjutnya diperoleh data bahwa dari wanita yang 17 diketahui positif menderita HIV pada kurun waktu penelitian dikerjakan, melahirkan 86 orang anak yang juga menderita infeksi HIV (Arora, et al., 2008). 2.2.2 Karakteristik epidemiologi kehamilan dengan infeksi HIV/AIDS Karakteristik epidemiologi kehamilan dengan infeksi HIV/AIDS meliputi: 1. Umur: risiko terinfeksi HIV meningkat pada wanita usia muda. Hal ini terkait dengan vulnerabilitas biologi dan infeksi menular seksual yang telah terjadi sebelumnya dan tidak diobati. Pada wanita usia muda tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual dengan pria yang lebih tua, di mana sebagian besar pria tersebut kemungkinan melakukan aktivitas seksual yang berisiko sebelumnya (Sagay, et al., 2005). Pada penelitian yang dikerjakan di Malawi, diketahui bahwa puncak insiden ibu hamil terinfeksi HIV adalah pada usia 26-30 tahun (Kwiek, et al., 2008). Sedangkan Kipto, et al. (2009) menyatakan bahwa puncak insiden ibu hamil dengan infeksi HIV di Kenya adalah pada rentang usia 31-35 tahun. 2. Tingkat pendidikan: tingkat pendidikan memiliki pengaruh pada difusi dan perbedaan penyebaran HIV di populasi (Poundstone, et al., 2004). Diketahui pada penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hampir sebagian besar ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah pertama (Kumar dan Bent, 2003). Begitu pula di Malawi, di mana ibu hamil dengan infeksi HIV hanya menamatkan pendidikan hingga pendidikan dasar saja (Kwiek, et al., 2008). Kondisi serupa juga terjadi di Kenya, di mana ibu hamil terinfeksi HIV, berlatar belakang pendidikan dasar (Kipto, et al., 2009). 18 3. Pekerjaan: pekerjaan memiliki pengaruh pada perbedaan penyebaran HIV di populasi. Poundstone, et al. (2004) menyatakan bahwa pendapatan masyarakat merupakan prediktor terkuat dalam peningkatan kasus AIDS. Diketahui pada penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hampir sebagian besar ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah tidak bekerja (Kumar dan Bent, 2003). Hal yang sama juga terjadi di Malawi, di mana sebagian besar ibu hamil terinfeksi HIV adalah tidak bekerja (Kwiek, et al., 2008). Pada penelitian yang dikerjakan di daerah Timur Laut Italia, juga diketahui bahwa ibu hamil terinfeksi HIV sebagian besar tidak bekerja (Menegon, et al., 2000). 2.2.3 Skrining infeksi HIV/AIDS pada masa prenatal Pada daerah dengan kejadian HIV atau AIDS sebesar 1 per 1000 orang per tahun atau lebih besar atau pada wanita berisiko tinggi untuk tertular HIV selama kehamilan, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada trimester ketiga (Cunningham, et al., 2010). Faktor risiko tinggi termasuk pengguna narkoba suntik, prostitusi, pasangan seksual yang dicurigai terinfeksi HIV, atau diagnosis penyakit menular seksual lainnya (Cunningham, et al., 2010). Skrining dilakukan menggunakan tes Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan sensitivitas > 99,5%. Sebuah tes positif dikonfirmasi dengan Western blot atau immunofluorescence assay (IFA), yang keduanya memiliki spesifisitas tinggi. Menurut Centers for Disease Control and Preventing, antibodi dapat dideteksi pada kebanyakan pasien dalam waktu 1 bulan setelah infeksi. Wanita dengan perawatan prenatal tidak teratur atau tidak memiliki rekam medis 19 yang lengkap tentang status HIV harus melakukan "rapid" tes HIV. Tes ini dapat mendeteksi antibodi HIV dalam 60 menit atau kurang dan memiliki kepekaan dan kekhususan sebanding dengan ELISA konvensional. Hasil tes “rapid” yang negatif tidak perlu dikonfirmasi. Sedangkan hasil tes “rapid” yang positif harus dikonfirmasi dengan Western blot atau tes IFA (Cunningham, et al., 2010). 2.2.4 Penularan maternal dan perinatal Penularan virus HIV secara transplasental dapat terjadi lebih awal dan bahkan virus telah diidentifikasi dalam spesimen dari aborsi elektif (Cunningham, et al., 2010). Untuk sebagian besar kasus, penularan ibu ke bayi adalah penyebab paling umum infeksi HIV pada anak-anak. Diperkirakan bahwa 20% penularan terjadi sebelum 36 minggu, 50% pada hari-hari sebelum kelahiran, dan 30% intrapartum. Besarnya penularan pada saat menyusui mungkin setinggi 30-40% (Cunningham, et al., 2010). Penularan secara vertikal lebih umum dengan kelahiran prematur, terutama dengan ketuban telah pecah dalam waktu yang lama. Penelitian lainnya melaporkan bahwa penularan HIV saat lahir meningkat 15-25% pada wanita yang ketubannya pecah selama lebih dari 4 jam (Cunningham, et al., 2010). 2.2.5 Keluaran maternal dan perinatal Tampak terjadi peningkatan hasil yang buruk pada janin meskipun ibu tanpa gejala seropositif (Cunningham, et al., 2010). Dalam review 634 perempuan yang terinfeksi HIV, dilaporkan bahwa infeksi HIV pada janin dikaitkan dengan proporsi sel CD-4 kurang dari 15%. Pada wanita lain tanpa gejala, tingkat kelahiran prematur adalah 20% dan pertumbuhan janin terhambat sebesar 24%. 20 Keluaran kehamilan yang lebih buruk banyak terjadi di negara-negara berkembang (Cunningham, et al., 2010). 2.2.6 Konseling prakonsepsi Sebuah aspek penting dari konseling prakonsepsi adalah pemilihan alat kontrasepsi efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Konseling juga harus mencakup pendidikan untuk mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi guna mencegah penularan HIV dan mengurangi penularan penyakit menular seksual lainnya (Cunningham, et al., 2010). 2.2.7 Tata laksana selama kehamilan dan persalinan Ibu hamil memerlukan perhatian khusus dan melakukan konsultasi dengan dokter yang khusus di bidang ini. Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, penilaian awal seorang wanita hamil yang terinfeksi HIV adalah sebagai berikut: Antenatal care (ANC) dilakukan sesuai standar, disertai dengan konseling. Pencegahan penularan perinatal dilakukan dengan pemberian obat AZT (Zidovudine) dengan prosedur berikut: setiap penderita yang dicurigai terinfeksi HIV harus diambil darahnya untuk pemeriksaan CD-4 dan viral load awal. Pemberian obat AZT diberikan pada umur kehamilan setelah 14 minggu, dengan dosis 2 kali 300 mg/hari, diteruskan selama hamil. Bila ditemukan pada kehamilan lanjut, AZT akan efektif bila diberikan mulai umur kehamilan 34-36 minggu, selama 4 minggu dengan dosis 2 kali 300 mg/hari (Surya, dkk., 2004). Prinsip penanganan ibu hamil dengan HIV pada saat inpartu yaitu: penanganan medis dan penanganan obstetri. Penanganan medis dikerjakan dengan pemberian obat anti retroviral, karena penularan ke bayi paling banyak terjadi 21 pada saat inpartu. Zidovudine (AZT) diberikan 300 mg per oral setiap 3 jam sampai bayi lahir. Penanganan obstetri dikerjakan dengan memenuhi standar kewaspadaan universal. Prinsipnya adalah memperlalukan setiap spesimen darah dan cairan tubuh sebagai bahan infeksius (Surya, dkk., 2004). 22 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Etiologi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah retrovirus Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang disebut sebagai Human Immunodeficiency Virus (HIV). Faktor risiko penularan HIV adalah seksual aktif, melalui hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi, melalui transfusi darah dimana darah tersebut belum terdeteksi virusnya, melalui penggunaan bersama jarum untuk menyuntik narkoba, tindakan kedokteran yang tidak steril, serta wanita hamil juga dapat menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau selama persalinan dan juga pada saat menyusui. Provinsi Bali sendiri menduduki peringkat kedua nasional, setelah Provinsi Papua, dalam prevalensi kasus AIDS per 100.00 penduduk, dengan angka prevalensi sebesar 49,16%. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar sebagai rumah sakit rujukan utama di Provinsi Bali periode tahun 2005-2007 merawat 21 pasien hamil yang mengikuti program PMTCT. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah sejalan dengan peningkatan insiden infeksi HIV secara global. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penularan HIV dan memberikan kontribusi bagi peningkatan insiden infeksi HIV. Faktor-faktor tersebut adalah: faktor individu, beberapa hal yang tercakup adalah ras atau etnik dan ketidakmampuan menghadapi tekanan atau persoalan yang dijumpai. Faktor lainnya yang turut berperan adalah faktor kebijakan politik. Faktor hukum juga 23 berperan melalui dua cara, yaitu: secara langsung dan tidak langsung. Terakhir adalah faktor peperangan, di mana pengaruh peperangan terlihat pada rusaknya infrastruktur kesehatan yang ada, menimbulkan kemiskinan, serta instabilitas sosial pada daerah konflik. Rantai penularan HIV kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan HIV kepada istri atau pasangan perempuannya melalui hubungan seksual berisiko. Selanjutnya istri atau pasangan perempuannya dapat menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya secara transplasental. Sehingga penting untuk dikatahui status infeksi suami. Karakteristik epidemiologi ibu hamil dengan infeksi HIV yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan HIV dari suami kepada istri adalah umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Pada usia yang lebih muda, memiliki vulnerabilitas biologi tinggi untuk terinfeksi HIV. Tingkat pendidikan ibu hamil juga memiliki peranan pada infeksi HIV. Hal ini erat kaitannya dengan pengetahuan kesehatan dan kesempatan untuk mencari pekerjaan. Namun ketidakmampuan memperoleh pekerjaan dengan pemasukan yang cukup, akan memunculkan pekerjaan yang dekat dengan faktor risiko penularan HIV. 24 3.2 Konsep Penelitian Secara skematis konsep penelitian diperlihatkan pada gambar 3.1 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV di Bali. 2. Terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 4. Terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan perilaku berisiko dengan infeksi HIV di Bali. 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Adapun rancangan pada penelitian ini adalah kasus kontrol tidak berpasangan. Secara sistematik penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: 26 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Klinik PMTCT (Preventing Mother to Child Transmission) RSUP Sanglah Denpasar dan klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing) RSUP Sanglah Denpasar. Waktu penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi. 4.3 Populasi Penelitian Adapun populasi target penelitian adalah ibu hamil di Provinsi Bali. Populasi terjangkau penelitian adalah ibu hamil yang melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar. 4.4 Sampel Penelitian Sebagai kasus dalam penelitian ini adalah ibu hamil dengan infeksi HIV positif yang mengikuti program PMTCT di RSUP Sanglah Denpasar. Sedangkan sebagai kontrol adalah ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang datang melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar. 27 4.4.1 Kriteria inklusi Adapun kriteria inklusi penelitian adalah sebagai berikut: a. Diagnosis HIV telah ditegakkan dengan pasti melalui pemeriksaan rapid test di RSUP Sanglah. Rapid test yang digunakan adalah merk Bioline SDHIV-1/2 3.0 dengan sensitivitas 100% dan spesifitas 99,8%. b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status HIV suami, suku bangsa, jumlah pernikahan, paritas, faktor risiko penularan, riwayat pemakaian narkoba suntik, cara persalinan terakhir, kadar CD4, lamanya telah didiagnosis HIV/AIDS, usia kehamilan ketika didiagnosis HIV/AIDS, riwayat pengobatan, stadium klinis ketika didiagnosis, status serologi HIV bayi, kondisi saat ini, kontrasepsi yang digunakan, dan cara pembiayaan pengobatan. 4.4.2 Kriteria eksklusi Adapun kriteria eksklusi penelitian adalah sebagai berikut: a. Data rekam medis ibu hamil yang terinfeksi HIV yang tidak disertai dengan data rekam medis suami yang telah melakukan voluntary counseling and testing (VCT). b. Tidak memiliki suami. 4.4.3 Perhitungan besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Lameshow, 1997): = ( ) 28 Keterangan: n = besar sampel Zα = 1,96 (α = 0,05) Zβ = 0,84 (β = 0,2) P2 = 0,027 (proporsi infeksi HIV pada kelompok kontrol) Q2 = 0,973 (1-P2) P1-P2 = 0,3 (selisih proporsi infeksi HIV/AIDS minimal yang dianggap bermakna) P1 = P2 + 0,3 = 0,027+0,3 = 0,327 Q1 = 1-P1 = 1 – 0,327 = 0,673 P = (P1+P2)/2 = (0,227 + 0,027)/2 = 0,177 Q = 1-P = 1-0,177 = 0,823 Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh sampel penelitian sebesar 23 sampel untuk masing-masing kelompok. Dengan faktor koreksi 10%, maka besar sampel untuk masing-masing kelompok adalah 25 sampel. 4.4.4 Cara pengambilan sampel Kasus ibu hamil dengan infeksi HIV/AIDS di klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar yang menjalani perawatan, baik yang telah melahirkan maupun sedang menjalani antenatal care serta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dipilih dengan cara consecutive sampling sebanyak 25 sampel. Sedangkan kontrol sebanyak 25 sampel juga dipilih dengan cara consecutive 29 sampling, yakni ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang menjalani antenatal care di Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel Identifikasi variabel adalah sebagai berikut: 4.5.1.1 Variabel bebas : umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status infeksi HIV suami. 4.5.1.2 Variabel tergantung : ibu hamil dengan infeksi HIV. 4.5.2 Definisi operasional variabel Adapun definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut: 1. Ibu hamil terinfeksi HIV adalah ibu hamil dengan status HIV positif yang mengikuti program PMTCT RSUP Sanglah, dan telah melakukan pemeriksaan pada klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dengan menggunakan rapid test merk Bioline SDHIV-1/2 3.0 dengan sensitivitas 100% dan spesifitas 99,8%. Sedangkan ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV adalah ibu hamil dengan status HIV negatif yang mengikuti program PMTCT RSUP Sanglah, dan telah melakukan pemeriksaan pada klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar. 2. Umur muda adalah umur dibawah 31 tahun dan umur tua adalah umur ≥ 31 tahun (Menegon, et al., 2000; Sagay, et al., 2005; Kwiek, et al., 2008). Umur ibu hamil yang dimaksud adalah usia dalam tahun yang diperoleh dari rekam medis pasien. Berdasarkan ketentuan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia, struktur umur yang digunakan adalah dilihat dalam umur 30 satu tahunan atau yang disebut juga umur tunggal (single age) (Badan Pusat Statistik, 2011a). 3. Tingkat pendidikan rendah adalah lama pendidikan kurang dari 10 tahun. Dalam hal ini tidak/belum pernah sekolah, tidak/belum tamat SD, SD, SLTP masuk ke dalam kelompok ini. Sedangkan tingkat pendidikan dengan lama pendidikan ≥ 10 tahun, yaitu: SLTA, SMK, Diploma I/II, Akademi/DIII, dan Perguruan Tinggi digolongkan sebagai tingkat pendidikan tinggi (Kumar dan Bent, 2003; Kwiek, et al., 2008; Kipto, et al., 2009). Tingkat pendidikan ini adalah jenjang pendidikan yang pernah ditempuh hingga menamatkan pendidikannya pada jenjang tersebut berdasarkan ijazah, diperoleh dari rekam medis pasien (Badan Pusat Statistik, 2011b). 4. Pekerjaan berisiko adalah pekerjaan yang berkaitan dengan faktor risiko penularan, antara lain: orang yang bekerja di tempat hiburan, sopir jarak jauh, nelayan, anak buah kapal, PSK, petugas kesehatan, dan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Sedangkan jenis pekerjaan yang bukan termasuk pekerjaan tersebut digolongkan sebagai pekerjaan yang tidak berisiko (Allworth, et al., 2004f; Komisi Penanggulangan AIDS, 2007). Pekerjaan ibu hamil adalah profesi yang ditekuni sebagai mata pencaharian, diperoleh dari rekam medis pasien (Badan Pusat Statistik, 2011b). 5. Status infeksi HIV suami adalah status suami apakah terinfeksi HIV atau tidak berdasarkan pemeriksaan yang telah dikerjakan di klinik VCT suatu rumah sakit, yang diperoleh berdasarkan rekam medis atau bukti tertulis hasil 31 pemeriksaan. Status infeksi HIV suami ini digolongkan menjadi status infeksi HIV positif dan status infeksi HIV negatif. 4.6 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan 4.6.1 Instrumen penelitian Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer, kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya. 4.6.2 Metode pemeriksaan 1. Identifikasi status infeksi HIV ibu hamil dilakukan dengan melihat rekam medis pada klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar. 2. Indentifikasi karakteristik epidemiologi dikerjakan dengan menggunakan pemeriksaan data sekunder pada rekam medis pasien. 4.7 Prosedur Penelitian Ibu hamil yang menjalani pemeriksaan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar maupun yang dirawat inap di RSUP Sanglah Denpasar. Dari ibu hamil ini, ada yang dirujuk untuk melakukan skrining HIV oleh klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar. Pasien yang dirujuk ke klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar akan mendapatkan konseling pra tes. Jika pasien setuju dilanjutkan dengan pemeriksaan berikutnya di klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar. Berdasarkan hasil skrining ini, ibu hamil yang positif terinfeksi HIV akan mengikuti program PMTCT. Dari ibu hamil yang mengikuti program PMTCT dipilih dengan cara consecutive sampling sebanyak 25 sampel. Sebelumnya ibu hamil terinfeksi HIV ini juga harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian. Sampel ibu hamil ini diidentifikasi menurut umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan 32 status infeksi suami. Khusus untuk status infeksi suami yang positif, akan dikonfirmasi ke klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar untuk mengecek kebenarannya. Keempat karakteristik epidemiologi ini dianalisis untuk mencari hubungan dengan infeksi HIV yang terjadi pada ibu hamil tersebut. Ibu hamil yang datang melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Ibu hamil ini juga harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kemudian dipilih dengan cara consecutive sampling sebanyak 25 sampel. Sampel ibu hamil ini diidentifikasi menurut umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status infeksi suami. Khusus untuk status infeksi suami yang positif, akan dikonfirmasi ke klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar untuk mengecek kebenarannya. Keempat karakteristik epidemiologi ini dianalisis untuk mencari hubungan dengan ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV tersebut. Secara sistematis alur penelitian ditunjukkan pada gambar 4.2. 33 Gambar 4.2 Alur Penelitian 4.8 Pengumpulan dan Analisis Data 4.8.1 Pengumpulan data Data hasil penelitian yang diperoleh dari Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar, dan klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir). 4.8.2 Analisis data Data pada formulir kehamilan dengan infeksi HIV diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 17,0 for windows. Kemudian dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain adalah sebagai berikut: a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan tabel dan narasi. b. Uji Shapiro Wilk untuk mengetahui normalitas data. 34 c. Analisis komparatif kategorik tidak berpasangan dengan menggunakan Uji Chi-Square untuk data dengan distribusi normal. Jika distribusi data tidak normal digunakan Uji Fischer. 35 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian dengan rancangan kasus-kontrol yang melibatkan 50 orang wanita hamil sebagai sampel, dengan kelompok kasus adalah ibu hamil dengan infeksi HIV positif yang mengikuti program PMTCT di RSUP Sanglah Denpasar dan kelompok kontrol adalah ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang datang melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar. 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik subjek meliputi umur dan paritas disaji pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol Variabel Kelompok Kasus (n = 25) Kontrol (n = 25) P Umur (tahun) 26,84±4,17 24,48±5,12 0,080 Paritas 1,44±0,96 1,36±0,91 0,763 Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa dengan uji t-independent pada kedua variabel didapatkan nilai p > 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan rerata umur dan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. 36 5.2 Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Untuk mengetahui hubungan status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Kelompok Kasus Kontrol Status HIV HIV (+) 19 5 Suami HIV (-) 6 20 RO 12,67 IK 95% p 3,31-48,50 0,001 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV. Selanjutnya diketahui bahwa status HIV suami dapat meningkatkan risiko terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali (R0 = 12,67, IK 95% = 3,31-48,50, p = 0,001). 5.3 Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Untuk mengetahui hubungan umur dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Kelompok Umur Kasus Kontrol Muda 18 22 Tua 7 3 RO IK 95% p 0,35 0,08-1,55 0,157 37 Tabel 5.3 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,35, IK 95% = 0,08-1,55, p = 0,157). 5.4 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Kelompok Tingkat pendidikan Kasus Kontrol Rendah 11 12 Tinggi 14 13 RO IK 95% P 0,85 0,28-2,59 0,777 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,85, IK 95% = 0,28-2,59, p = 0,777). 5.5 Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Kelompok Pekerjaan Kasus Kontrol Berisiko 2 1 Tidak berisiko 23 24 RO IK 95% p 2,09 0,18 – 24,62 1,00 38 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 2,09, IK 95% = 0,18-24,62, p = 1,00). 39 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel, yang terdiri dari 25 orang sebagai kasus dan 25 orang lainnya sebagai kontrol. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan rerata umur ibu kelompok kasus adalah 26,84±4,17 dan rerata kelompok kontrol adalah 24,48±5,12, dengan nilai p=0,080. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan umur antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Rerata paritas untuk kelompok kasus adalah 1,44±0,96 dan untuk kelompok kontrol adalah 1,36±0,91, dengan nilai p=0,763. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan umur antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. 6.2 Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Berdasarkan hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV. Selanjutnya diketahui bahwa status HIV suami dapat meningkatkan risiko terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali (R0 = 12,67, IK 95% = 3,31-48,50, p = 0,001). Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Arora (2008) bahwa 92,09% wanita mendapatkan infeksi HIV dari suami. Hal ini terjadi karena masalah gender di rumah tangga, kekuatan yang dimiliki wanita tersebut, dan ketidaksetaraan yang terjadi di rumah tangga (Naidoo, 2008). Secara lebih rinci yang dimasudkan dengan pernyataan tersebut adalah walaupun para istri telah 40 mengetahui bahwa suami mereka telah mengidap HIV, mereka tidak bisa menolak untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya (Naidoo, 2008). Marum, et al. (2003) dalam tulisannya menyebutkan bahwa pajanan yang lebih sering dari suami terinfeksi HIV kepada istri yang berstatus HIV negatif yang ditularkan melalui hubungan seksual akan meningkatkan risiko istri terinfeksi HIV (Marum, et al., 2003). Menurut Pratomo, penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif yang menularkan HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan seksual tak aman. Sehingga untuk menunjukkan peran penting laki-laki dalam rantai penularan ini, beberapa pihak telah mengganti istilah berkesan biologis “penularan HIV dari ibu ke bayi” menjadi istilah yang lebih sensitif perilaku, yaitu “penularan HIV dari orang tua ke bayi” (Pratomo, dkk., 2006c, 2006d). Adanya temuan suami dengan status infeksi HIV negatif, tetapi dengan status infeksi HIV istri positif, dapat disebabkan oleh hubungan seksual berisiko yang dilakukan oleh istri dengan pria lain yang bukan suaminya. Hal ini sesuai dengan temuan oleh Marum, et al. (2003) yang menyatakan bahwa hubungan seksual berisiko yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan pria yang bukan suaminya, akan memberikan peningkatan risiko terinfeksi HIV pada suaminya (Marum, et al., 2003). Selain itu, kondisi ini dapat juga disebabkan oleh faktor risiko transmisi lainnya, seperti penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba suntik, pernah menerima tranfusi darah yang tidak diketahui apakah darah tersebut 41 bebas virus HIV atau tidak, serta penggunaan alat tato yang tidak steril dan digunakan secara massal (Karim and Humphries, 2012). Menurut Dunkle, et al. (2003), hubungan seksual yang dilakukan multipartner (lebih dari tiga kali dengan pasangan yang berbeda dalam satu minggu) akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV. Tampak bahwa pengaruh status infeksi HIV suami memberikan risiko yang tinggi bagi istri untuk terinfeksi HIV (jika istri hanya melakukan hubungan seksual dengan suamninya). Begitu pula hal yang sebaliknya terjadi, di mana istri melakukan hubungan seksual multipartner dan suami tidak melakukan hubungan seksual multipartner, risiko suami terinfeksi HIV menjadi meningkat (Dunkle, et al., 2003). Hubungan antara penggunaan kondom dan infeksi HIV ternyata tidak seragam antara pria dan wanita (Marum, et al., 2003). Pada penelitian yang dikerjakan oleh Marum di Kenya didapatkan bahwa penggunaan kondom oleh pria yang melakukan hubungan seksual dengan wanita pekerja seksual, ternyata menurunkan risiko terinfeksi HIV. Namun kondisi ini tidak terjadi pada wanita pekerja seksual yang menggunakan kondom khusus wanita (Marum, et al., 2003). Berdasarkan penelitian-penelitian yang dikerjakan di negara-negara berkembang, diperoleh data bahwa faktor risiko transmisi heteroseksual ternyata merupakan faktor risiko terkuat untuk transmisi HIV kepada ibu hamil. Hal yang merupakan prediktor terkuat adalah status infeksi HIV pasangan seksual ataupun suami. Kondisi ini dikaitkan dengan anatomis genetalia eksterna wanita yang lebih mudah untuk mengalami mikrolesi yang menjadi pintu masuk virus. Selain itu, faktor gender dan kekuatan yang dimiliki wanita dalam rumah tangga juga 42 memberikan peran bagi mudahnya ibu hamil terinfeksi HIV (Dunkle, et al., 2003; Marum, et al., 2003; Karim and Humphries, 2012). 6.3 Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Berdasarkan uji Chi-Square yang dikerjakan, menunjukkan tidak ada hubungan antara umur dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,35, IK 95% = 0,08-1,55, p = 0,157). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sesuai dengan hasil penelitian oleh Kipto, et al. (2009) yang menyatakan bahwa puncak insiden ibu hamil adalah pada rentang usia 31-35 tahun. Pada penelitian lain yang dikerjakan oleh Arora, et al. (2008) juga didapatkan sebaran umur yang menderita infeksi HIV yang terdeteksi pertama kali adalah pada rentang umur 30-39 tahun. Penelitian yang dikerjakan oleh Marum, et al. (2003) di Kenya juga mendapatkan hasil bahwa puncak insiden HIV pada ibu hamil di negara tersebut adalah pada rentang umur 30-39 tahun. Hal ini disebabkan perjalanan alamiah infeksi HIV yang mengambil rentang waktu 5-10 tahun dari awal inkubasi hingga memberikan gejala klinis (Marum, et al., 2003). Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. Secara lebih rinci yang dimaksudkan adalah infeksi HIV pada ibu hamil di Bali terjadi pada usia di bawah 31 tahun. Hal ini berkaitan dengan vulnerabilitas biologi dan infeksi menular seksual yang telah terjadi sebelumnya dan tidak diobati. Juga pada wanita usia muda tersebut memiliki kecenderungan melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda dan 43 melakukan hubungan seksual dengan pria yang lebih tua, di mana sebagian besar pria tersebut kemungkinan melakukan aktivitas seksual berisiko sebelumnya. Kontradiktif antara hasil penelitian dengan hipotesis penelitian, dapat disebabkan oleh perjalanan infeksi HIV. Awalnya 12-24 jam setelah terkena paparan, HIV masuk ke sel yang terletak pada daerah mukosa yang menjadi gerbang awal masuknya HIV. Empat puluh delapan jam setelah paparan, HIV menyebar ke kelenjar limfe regional, terjadi replikasi cepat di dalam sel imun, terutama sel Cluster Differentiation 4 (CD-4). Sel di dalam saluran pencernaan, sistem saraf pusat, sel kulit juga akan terinfeksi. Antara 5-40 hari, sistem imun host akan memberikan respon terhadap HIV yang masuk. Akan dihasilkan antibodi penetralisir dan respon sel T sitotoksik, terutama sel T limfosit CD-8. Banyak sel CD-4, tetapi tidak seluruhnya, diserang oleh sel CD-8. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah sel CD-4. Sehingga secara laboratoris tercermin dalam pemeriksaan darah tepi jumlah sel CD-4 dan CD-8 (Allworth, et al., 2004d). Terdapat empat fase perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu: fase primer (hingga 10 minggu pasca inkubasi penyakit), fase awal penyakit (10 minggu hingga 5 tahun), fase intermediate (5 tahun hingga 10 tahun), dan fase akhir (lebih dari 10 tahun). Oleh karenanya, melihat fase perjalanan alamiah tersebut, ibu hamil terinfeksi HIV datang pada fase intermediate. Di mana jika hubungan seksual berisiko dilakukan pada usia 20 awal atau usia belasan akhir, maka ibu hamil tersebut baru memeriksakan diri 10 tahun kemudian. Diperiksakannya diri mereka disebabkan mulai munculnya gejala klinis pada fase intermediate ini, 44 seperti: demam, penurunan berat badan, keluhan pada kulit, infeksi minor, dan infeksi TB (tuberkulosis). Karena pada fase awal penyakit biasanya asimtomatis (Allworth, et al., 2004c). Sehingga pada saat dilakukan skrining infeksi HIV, akan didapatkan ibu hamil dengan infeksi HIV pada rentang usia 30-40 tahun. Awal masuknya HIV ke dalam tubuh sesungguhnya telah dimulai 5-10 tahun sebelumnya. 6.4 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Berdasarkan uji Chi-Square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,85, IK 95% = 0,282,59, p = 0,777). Hipotesis penelitian adalah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. Di mana ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah (tamat SLTP ke bawah) yang lebih banyak terinfeksi HIV. Hal ini oleh Poundstone, et al. disebutkan memiliki pengaruh pada sedikitnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang rendah. Namun di sisi lain kebutuhan hidup yang semakin banyak dan ledakan populasi yang menyebabkan kebutuhan keuangan yang semakin tinggi pula. Sehingga bermunculan prostitusi terselubung maupun yang dilegalkan oleh suatu daerah tertentu. Dampaknya adalah akan semakin mempermudah transmisi infeksi HIV. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Marum, et al. (2003) yang mendapatkan data bahwa infeksi HIV pada ibu hamil lebih banyak pada wanita yang telah menamatkan pendidikan menengah (Marum, et al., 2003). Hal 45 ini berkaitan dengan sedikitnya pilihan pekerjaan yang ada. Salah satu faktor yang berperan adalah banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di Kenya, sehingga penduduk asli terhimpit oleh kebutuhan hidup yang beragam namun di sisi lain hanya tersedia sedikit lapangan perkerjaan yang dapat mereka masuki dengan kualifikasi pendidikan sekolah menengah (Marum, et al., 2003). Ketidaksesuaian antara hipotesis dengan hasil penelitian disebabkan oleh sistem pendidikan dasar 9 tahun yang sudah mulai berjalan di Indonesia, khususnya di Bali. Di samping itu, pada beberapa kabupaten diterapkan kebijakan pendidikan gratis hingga level sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (Suyanto, 2012). Masalah muncul ketika para siswa tamat, dihadapkan pada lapangan kerja yang sedikit dengan jumlah pencari kerja yang banyak, sehingga muaranya tetap pada pilihan pekerjaan yang cepat mendatangkan uang, seperti misalnya prostitusi (Marum, et al., 2003). Karim dan Humphries (2012) dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan tinggi dan pengetahuan infeksi HIV yang telah ada dengan penurunan risiko untuk terinfeksi HIV pada ibu hamil. Justru pada penelitian yang dikerjakan oleh Karim, et al., didapatkan bahwa infeksi menular seksual, termasuk infeksi HIV di dalamnya, lebih banyak didapatkan pada kelompok dengan status pendidikan sekolah menengah ke atas. Anomali ini diduga berkaitan dengan tingkat kemapanan ekonomi yang semakin membaik, akan berdampak pada makin berkembangnya penyedia jasa prostitusi untuk kelompok laki-laki dewasa dengan tingkat ekonomi yang baik. Selanjutnya apabila laki-laki tersebut memiliki istri dan melakukan hubungan suami istri, 46 maka akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV pada istri mereka (Karim and Humphries, 2012). Fenomena infeksi HIV pada wanita dengan tingkat pendidikan tinggi dan juga tingkat ekonomi yang baik juga disebutkan oleh Dunkle, et al. (2003). Hal ini berkaitan dengan penundaan usia pernikahan yang disebabkan konsentrasi wanita tersebut pada bidang pekerjaannya. Namun di sisi lain, wanita tersebut dalam memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai perempuan dewasa, cenderung melakukan hubungan seksual tanpa komitmen dengan imbalan uang ataupun hanya atas dasar suka sama suka. Hubungan seksual multipartner ini akan berdampak pada peningkatan risiko terinfeksi HIV. Ketika wanita ini memutuskan untuk berumah tangga dan menjadi hamil, maka risiko mereka mengalami kondisi hamil dengan infeksi HIV juga akan semakin meningkat. Begitu pula dengan risiko penularan kepada suami mereka juga akan meningkat (Dunkle, et al., 2003). 6.5 Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV Berdasarkan uji Chi-Square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 2,09, IK 95% = 0,18-24,62, p = 1,00). Menurut Poundstone, et al., pendapatan masyarakat merupakan prediktor terkuat dalam peningkatan kasus AIDS. Sejalan dengan ledakan populasi dan harapan akan pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat, namun di sisi lain lapangan kerja yang terbatas menyebabkan terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang masuk kepada dunia prostitusi. 47 Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan perilaku berisiko dengan infeksi HIV di Bali, berbeda dengan hipotesis penelitian yang menyebutkan terdapatnya hubungan. Hal ini disebabkan oleh besarnya faktor risiko status infeksi suami yag juga dicari dalam penelitian ini. Dengan tingginya faktor risiko yang berasal dari suami memberikan penjelasan bahwa walaupun pekerjaan ibu hamil tersebut tidak berkaitan dengan perilaku berisiko, ibu hamil tersebut memiliki risiko yang besar untuk terinfeksi HIV yang didapat dari suami mereka. Hal ini berkaitan dengan masalah gender, kekuatan yang dimiliki wanita itu sendiri dalam rumah tangga, dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam rumah tangga (Naidoo, 2008). Menurut Duflo, et al. (2012) marginalisasi ekonomi dan ketidaksetaraan gender menjadi faktor utama yang mencetuskan munculnya infeksi HIV pada ibu hamil. Maksudnya adalah bahwa kebijakan politik di suatu negara yang memberikan peluang sangat kecil bagi seorang wanita untuk meniti karir yang lebih baik, menyebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh wanita tersebut. Hal ini semakin diperkuat oleh ketidaksetaraan gender yang berlangsung dalam praktek hidup sehari-hari. Sehingga wanita tersebut hanya menjadi ibu rumah tangga atau memiliki pekerjaan selingan dan hanya tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga. Berbeda halnya dengan para suami yang memiliki akses keuangan yang jauh lebih baik serta mobilitas yang tinggi di luar rumah. Hal ini menyebabkan para suami ini sangat berisiko untuk melakukan hubungan seksual multipartner dengan alasan mencari hiburan. Dengan demikian akan tampak ibu hamil dengan pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan risiko 48 penularan infeksi HIV, justru memiliki risiko besar terinfeksi HIV yang diduga berasal dari suami mereka (Duflo, et al., 2012). Dunkle, et al. (2003) juga menyatakan bahwa wanita dengan pekerjaan yang mapan cenderung memiliki risiko terinfeksi HIV. Pada wanita-wanita dengan posisi pekerjaan yang baik, seringkali kekurangan waktu untuk membina rumah tangga. Namun sebagai perempuan dewasa, mereka tidak dapat lepas dari aktivitas seksual. Aktivitas seksual yang mereka kerjakan ada yang didasarkan pada imbalan uang atau barang. Dan ada juga yang didasarkan hubungan sesaat tanpa ikatan. Muaranya adalah terkondisikan suatu kebiasaan hubungan seksual multipartner, yang tanpa disadari meningkatkan risiko terinfeksi HIV. Masalah semakin kompleks pada suatu titik ketika wanita tersebut memutuskan untuk menikah resmi dan hamil. Dengan mengacu pada patogenesis infeksi HIV, maka risiko wanita tersebut terinfeksi HIV yang memberikan manifestasi klinis saat hamil sangatlah besar (Dunkle, et al., 2003). 6.6 Kelemahan Penelitian Kelemahan penelitian ini adalah: kasus dan kontrol dipilih oleh peneliti, sulit untuk memastikan bahwa kedua kelompok sebanding dalam pelbagai faktor eksternal dan sumber bias lainnya. 49 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan 1. Terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV di Bali. Status HIV suami dapat meningkatkan risiko terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali. 2. Tidak terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 3. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 4. Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali. 7.2 Saran 1. Dilakukan kontrol eksternal yang lebih baik antara kasus dan kontrol. Sehingga didapatkan bias yang seminimal mungkin. 2. Penelitian serupa di masa yang akan datang dikerjakan secara langsung dengan memeriksa ibu hamil yang melakukan antenatal care, untuk kemudian dibagi menjadi kelompok kasus dan kontrol. Data-data pajanan yang dicari diupayakan divalidasi langsung kepada responden.