1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak ditemukan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1981, Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) berkembang sangat pesat dalam tiga dekade
terakhir. Memasuki dekade keempat, wanita menjadi salah satu populasi yang
tercepat menerima penularan penyakit ini. Angka kumulatif AIDS pada wanita di
dunia dilaporkan meningkat secara dramatis, mulai dari 44.000 kasus pada tahun
1993 menjadi hampir 120.000 kasus pada akhir tahun 1999. Dalam rentang waktu
10 tahun terakhir, Human Immunodeficiency Virus (HIV)/AIDS menjadi masalah
kesehatan pada ibu hamil di Bali.
Data kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia periode 1 Januari 1987-31
Desember 2010 adalah 24131 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 4539 orang.
Menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS, jumlah kasus terbanyak
adalah pada heteroseksual (12717 kasus), pemakai narkoba suntik (9242 kasus),
homoseksual (724 kasus), tranfusi darah (48 kasus), dan 628 kasus pada masa
perinatal. Provinsi Bali menduduki peringkat kedua nasional, setelah Provinsi
Papua, dalam prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, dengan angka
prevalensi sebesar 85,95% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Berdasarkan data Centers for Disease Control and Prevention, sekitar 80% wanita
dengan AIDS berada pada periode usia produktif. Diperkirakan 7000 bayi lahir
dari wanita yang menderita HIV dan 1.000 sampai dengan 2.000 di antaranya atau
2
sekitar 28% juga menderita HIV (Siegel dan Schrimshaw, 2001). Menurut data
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, periode tahun 2005-2007
terdapat 21 pasien hamil dengan HIV positif yang mengikuti program PMTCT
(Preventing Mother to Child Transmission). Pada tahun 2007, tercatat sebanyak
26 orang anak terinfeksi HIV yang ditangani oleh RSUP Sanglah Denpasar
(PMTCT RSUP Sanglah, 2008).
Banyak program yang telah dikerjakan untuk mencegah perkembangan infeksi
HIV/AIDS. Secara garis besar program-program pencegahan tersebut masuk ke
dalam pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Saat ini
upaya pencegahan hanya difokuskan pada kelompok-kelompok yang memiliki
proporsi penularan yang lebih besar, yaitu: pada kelompok pelaku aktivitas
seksual berisiko dan pemakai narkoba suntik (Mohaimin, 2009). Upaya
pencegahan yang banyak dilakukan pada kedua kelompok ini adalah pada upaya
pencegahan sekunder, yakni berupa deteksi dini dan pengobatan yang tepat
(Mohaimin, 2009). Banyaknya program pencegahan yang dilaksanakan di
Indonesia belum terbukti efektif dalam menurunkan kejadian infeksi HIV/AIDS.
Upaya mencegah perkembangan infeksi HIV/AIDS di Indonesia sejalan
dengan strategi Pemerintah Republik Indonesia yang tertuang dalam Milleneum
Development Goals (MDGs). Di mana target yang ke enam adalah memerangi
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya. Upaya pencapaian target
penurunan kejadian HIV/AIDS tertuang ke dalam tujuh strategi utama. Salah satu
strategi tersebut adalah penguatan atau pengembangan sistem informasi dan
surveilans (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011a).
3
Implementasi dari penguatan atau pengembangan sistem informasi dan
surveilans adalah tersedianya data tentang karakteristik epidemiologi infeksi
HIV/AIDS (Poundstone, et al., 2004). Terdapat beberapa karakteristik
epidemiologi ibu hamil terinfeksi HIV yang juga meningkatkan risiko penularan.
Status infeksi HIV suami merupakan salah satu karakteristik yang berperan. Pada
penelitian yang dikerjakan di India, diketahui bahwa 92,09% wanita yang
terinfeksi HIV mendapatkan infeksi dari suami (Arora, et al., 2008). Berikutnya
adalah karakteristik umur. Pada kasus ibu hamil terinfeksi HIV memiliki
kecenderungan diderita oleh ibu hamil umur muda (di bawah umur 35 tahun)
(Sagay, et al., 2005). Tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu hamil juga merupakan
karakteristik epidemiologi yang dapat meningkatkan risiko tertular HIV. Tingkat
pendidikan rendah akan mempersulit memperoleh pekerjaan dengan penghasilan
yang layak (Poundstone, et al., 2004). Untuk mencukupi kebutuhan yang
beragam, akan timbul upaya memperoleh penghasilan lebih dengan berbagai cara.
Penyalahgunaan narkoba dan berbagai bentuk prostitusi merupakan salah satu
bentuknya (Poundstone, et al., 2004). Hal ini akan semakin mendekatkan wanita
usia reproduksi pada risiko terinfeksi HIV. Lebih jauh lagi jika wanita tersebut
hamil. Tentu saja risiko penularan akan meluas kepada bayi yang dikandung.
Tampak bahwa karakteristik epidemiologi merupakan suatu data yang sangat
penting di dalam mempelajari distribusi infeksi HIV dan faktor-faktor yang
mempengaruhi distribusi tersebut (Budiarto dan Anggraeni, 2002). Sejalan dengan
hal tersebut, karakteristik epidemiologi juga merupakan modal utama dalam
penyusunan berbagai upaya pencegahan infeksi HIV (Poundstone, et al., 2004).
4
Sehingga berdasarkan karakteristik epidemiologi ibu hamil terinfeksi HIV, akan
dapat diketahui karakteristik yang meningkatkan risiko terkena infeksi HIV.
Dengan menggunakan karakteristik epidemiologi tersebut akan dapat dikerjakan
langkah-langkah pencegahan dini untuk mencegah perkembangan infeksi HIV
lebih lanjut (Poundstone, et al., 2004).
Berdasarkan paparan tersebut di atas, melalui penelitian ini akan dilakukan
penilaian hubungan antara karakteristik epidemiologi ibu hamil dengan risiko ibu
hamil tersebut terinfeksi HIV di Bali. Terdapat empat karakteristik ibu hamil yang
akan dihubungkan dengan risiko terinfeksi HIV, yaitu: status infeksi suami, umur,
tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Penelitian ini diharapkan menjadi masukan
atau tambahan pemikiran bagi petugas kesehatan dan para pemegang kebijakan
dalam rangka mendukung upaya pencegahan penularan infeksi HIV pada wanita
dan lebih khusus lagi dari ibu hamil kepada bayinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil
terinfeksi HIV di Bali ?
2. Apakah terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali ?
3. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi
HIV di Bali ?
4. Apakah terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan
perilaku berisiko dengan infeksi HIV di Bali ?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV di
Bali.
2. Hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali.
3. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali.
4. Hubungan antara pekerjaan ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau dasar dalam menyelenggarakan
penelitian-penelitian lanjutan dalam rangka mendukung upaya pencegahan infeksi
HIV/AIDS, utamanya penularan pada ibu hamil.
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dan tambahan data
ilmiah bagi pemegang kebijakan dan instansi terkait dalam menyusun programprogram pencegahan infeksi HIV/AIDS.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS)
2.1.1 HIV sebagai etiologi AIDS
Etiologi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah retrovirus Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang disebut sebagai Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Terdapat dua tipe HIV, yaitu: HIV-1 dan HIV-2. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh infeksi HIV-1 (Leveno, et al., 2008).
Faktor risiko penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah melalui
hubungan seksual yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi,
melalui transfusi darah dimana darah tersebut belum terdeteksi virusnya, melalui
penggunaan bersama jarum suntik pada pengguna narkoba suntik/penasun,
tindakan medis yang tidak steril, dan dari ibu ke bayi selama masa kehamilan atau
selama persalinan, serta saat menyusui (Allworth, et al., 2004a).
2.1.2 Epidemiologi HIV/AIDS
Epidemi Human Immonodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome
(HIV/AIDS) saat ini telah memasuki dekade keempat. Fakta lainnya adalah
wanita menjadi salah satu populasi yang tercepat menerima penularan HIV/AIDS
ini. Angka kumulatif AIDS pada wanita di dunia dilaporkan meningkat secara
dramatis, mulai dari 44.000 kasus pada tahun 1993 menjadi hampir 120.000 kasus
pada akhir tahun 1999. Sekitar 80% wanita dengan AIDS berada pada periode
7
usia produktif. Diperkirakan 7.000 bayi lahir dari wanita yang menderita HIV dan
1.000 sampai dengan 2.000 diantaranya atau sekitar 28% juga menderita HIV
(Siegel dan Schrimshaw, 2001). Untuk data kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia,
jumlah kasus periode 1 Januari 1987-31 Desember 2010 adalah 24131 kasus,
dengan jumlah kematian sebesar 4539 orang. Dari total kasus AIDS yang
dilaporkan, perbandingan angka absolut antara laki-laki dan perempuan adalah
17626 berbanding 8520. Menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS,
jumlah kasus terbanyak adalah pada heteroseksual (12717 kasus), pemakai
narkoba suntik atau penasun (9242 kasus), homoseksual (724 kasus), pada masa
perinatal sebanyak 628 kasus. Provinsi Bali menduduki peringkat kedua nasional,
setelah Provinsi Papua, dalam prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk,
dengan angka prevalensi sebesar 85,95% (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013). Sedangkan untuk sebaran kasus HIV/AIDS di Kabupaten/Kota
se-Bali, terbanyak di Kota Denpasar dengan jumlah kasus 914, Buleleng 341
kasus, Badung 6 kasus, dan Gianyar 1 kasus (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011b).
Insiden AIDS di Indonesia juga cenderung meningkat. Bahkan sejak awal
tahun 2000 mengalami peningkatan berlipat dari dekade tahun 1990-an. Pada
tahun 1999, insiden AIDS di Indonesia sebesar 94 kasus. Tahun 2005 menjadi
2638 kasus atau meningkat hampir 28 kali. Tahun 2010 insiden AIDS yang
terdata sebesar 4158 kasus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011c).
8
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penularan HIV dan
memberikan kontribusi bagi peningkatan insiden HIV. Faktor-faktor tersebut
adalah (Poundstone, et al., 2004):
1.
Faktor individu: pada faktor individu beberapa hal yang tercakup adalah ras
atau etnik dan ketidakmampuan menghadapi tekanan atau persoalan yang
dijumpai. Faktor tersebut dapat meningkatkan risiko tertular HIV dan
berhubungan dengan perjalanan penyakit HIV.
2.
Faktor sosial: pada faktor sosial ini yang tercakup adalah tingkat pendidikan,
hubungan dengan lingkungan, kebiasaan penggunaan narkoba, kebiasaan
seksual yang berkembang di masyarakat, dan lingkungan fisik. Berdasarkan
faktor-faktor sosial ini akan dapat dipahami difusi dan perbedaan penyebaran
HIV di populasi.
3.
Faktor ekonomi meliputi pekerjaan, kemiskinan, dan penyalahgunaan
narkoba.
4.
Faktor kebijakan politik: kebijakan politik menjamin hak-hak publik dan
pribadi. Melalui berbagai kebijakan yang diterapkan dalam kehidupan
bernegara maka akan dapat mengontrol epidemi HIV/AIDS. Kebijakankebijakan tersebut tertuang dalam kebijakan makroekonomi, kebijakan
kesehatan, kebijakan sosial, dan kebijakan dalam mengurangi peredaran
narkoba.
5.
Faktor hukum: hukum dapat berperan melalui dua cara, yaitu: secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung hukum dapat mempengaruhi
9
berbagai determinan yang mempengaruhi kesehatan. Secara tidak langsung,
hukum berperan dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat.
6.
Faktor demografi: perubahan-perubahan pada keadaan demografi dapat
berpengaruh pada infeksi HIV. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah
umur, mobilitas dan migrasi penduduk, urbanisasi, dan struktur gender dalam
masyarakat. Setiap perubahan tersebut dapat mengadakan interaksi dengan
individu yang telah terinfeksi.
7.
Faktor peperangan: perang dapat meningkatkan risiko langsung dan tidak
langsung infeksi HIV. Pengaruh peperangan terlihat pada rusaknya
infrastruktur kesehatan yang ada, menimbulkan kemiskinan, serta instabilitas
sosial pada daerah konflik.
2.1.3 Patogenesis HIV/AIDS
Perjalanan alamiah infeksi HIV diawali 12-24 jam setelah terkena paparan.
Human Immonodeficiency Virus masuk ke sel yang terletak pada daerah mukosa
yang menjadi gerbang awal masuknya HIV. Empat puluh delapan jam setelah
paparan, HIV menyebar ke kelenjar limfe regional, terjadi replikasi cepat di dalam
sel imun, terutama sel Cluster Differentiation 4 (CD-4). Sel di dalam saluran
pencernaan, sistem saraf pusat, sel kulit juga akan terinfeksi. Antara 5-40 hari,
sistem imun host akan memberikan respon terhadap HIV yang masuk. Akan
dihasilkan antibodi penetralisir dan respon sel T sitotoksik, terutama sel T limfosit
CD-8. Banyak sel CD-4, tetapi tidak seluruhnya, diserang oleh sel CD-8. Hal ini
mengakibatkan penurunan jumlah sel CD-4. Sehingga secara laboratoris tercermin
10
dalam pemeriksaan darah tepi jumlah sel CD-4 dan CD-8 (Allworth, et al.,
2004b).
Gejala mirip flu pada infeksi primer HIV disebabkan oleh pelepasan sitokin
selama proses infeksi berlangsung dan respon imun yang terjadi dalam tubuh.
Sebagai akibat dari kerja sistem pertahanan tubuh, konsentrasi virus (viral load)
dalam darah akan menurun dan sel CD-4 yang baru akan dibentuk oleh sumsum
tulang melalui timus (Allworth, et al., 2004c).
2.1.4 Gejala klinis dan tanda HIV/AIDS
Pada anamnesis keadaan umum pasien dengan infeksi HIV dapat dijumpai
kehilangan berat badan lebih dari 10% berat badan dasar, demam terus menerus
atau intermiten yang lebih dari satu bulan, diare terus menerus atau intermiten
yang lebih dari satu bulan. Pada daerah kulit, pasien biasanya mengeluh kulit
kering. Pasien juga mengeluh batuk lebih dari satu bulan dengan disertai sesak
nafas, nyeri kepala hebat yang tidak jelas penyebabnya, mengalami kejang
demam, dan menurunnya fungsi kognitif (Surya, dkk., 2009a).
Terdapat empat fase perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu: fase primer
(hingga 10 minggu pasca inkubasi penyakit), fase awal penyakit (10 minggu
hingga 5 tahun), fase intermediate (5 tahun hingga 10 tahun), dan fase akhir (lebih
dari 10 tahun). Pada setiap fase tersebut akan dijumpai tanda dan gejala klinis
yang bervariasi. Fase primer dijumpai gejala seperti demam, mialgia, kemerahan
pada kulit, dan faringitis. Fase awal penyakit biasanya tanpa keluhan
(asimtomatik). Pada fase intermediate kembali dikeluhkan demam, penurunan
berat badan, keluhan pada kulit, infeksi minor, infeksi TB (tuberkulosis), dan pada
11
fase akhir akan dijumpai berbagai gejala infeksi oportunistik, seperti:
toksoplasmosis dan kriptosporiktiosis (Allworth, et al., 2004d).
2.1.5 Pemeriksaan fisik yang mengarah HIV/AIDS
Pemeriksaan keadaan umum pasien akan dijumpai kehilangan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Dapat juga tampak jejas suntikan dan infeksi
jaringan lunak yang sering terjadi pada pemakai narkoba suntik. Pemeriksaan kulit
biasanya didapatkan dermatitis seboroik berat pada muka dan kepala, sarkoma
kaposi, tanda-tanda herpes simpleks dan herpes zoster, atau jaringan parut bekas
herpes zoster di masa lalu (Surya, dkk., 2009b). Pada pemeriksaan kelenjar limfe
terdapat pembesaran kelenjar limfe leher dan pembesaran kelenjar limfe servikal
yang mudah digerakkan (Surya, dkk., 2009b).
Pada daerah cavum oris diperiksa adanya kandidosis oral, oral hairy
leukoplakia/OHL dan keilitis angularis. Masalah yang sering dijumpai pada
daerah thorax adalah Pneumocystis Pneumonia (PCP) dan TB. Pada daerah
abdomen diperiksa adanya hepatosplenomegali, teraba massa, atau nyeri lokal.
Pada daerah anogenital dilihat adanya herpes simpleks (Surya, dkk., 2009b).
2.1.6 Pemeriksaan penunjang HIV/AIDS
Konseling pra tes merupakan prosedur yang harus dikerjakan pada seseorang yang
ingin mengetahui apakah mereka terinfeksi HIV atau tidak. Indikasi untuk
ditawarkannya tes HIV adalah adanya infeksi menular seksual (IMS), hamil, TB
aktif, dan gejala/tanda yang mengarah adanya infeksi HIV (Allworth, et al.,
2004e).
12
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan
Nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 3 tahapan
pemeriksaan dan selalu didahului dengan konseling pra tes. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) biasanya digunakan tes cepat dengan sensitifitas yang cukup tinggi.
Untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) digunakan tes kit dengan spesifitas
yang lebih tinggi. Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi sejak 2 minggu hingga
3 bulan setelah terinfeksi HIV (97%). Masa tersebut disebut masa jendela. Oleh
karenanya bila hasil tes HIV negatif yang dilakukan dalam masa 3 bulan setelah
kemungkinan terinfeksi, perlu dilakukan tes ulang, terlebih bila masih terus
terdapat perilaku yang berisiko (Surya, dkk., 2009c).
Gambar 2.1 Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV
Dewasa (Surya, dkk., 2009c)
13
Jumlah Cluster Differantiation-4 (CD-4) adalah cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Pemeriksaan
Cluster Differantiation-4 (CD-4) melengkapi pemeriksaan klinis yang mana dapat
memandu dalam menentukan kapan pasien memerlukan pengobatan profilaksis
terhadap infeksi oportunistik (IO) dan terapi antiretroviral (ARV) sebelum
penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. Cluster Differentiation-4 (CD-4) juga
digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV (Surya, dkk., 2009d).
2.1.7 Diagnosis HIV/AIDS
Kedatangan ODHA di sarana kesehatan perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
penggalian riwayat penyakit secara lengkap, pemeriksaan fisik lengkap,
pemeriksaan laboratorium rutin, hitung limfosit total, dan bila mungkin
pemeriksaan jumlah CD-4 (Surya, dkk., 2009c).
Berdasarkan kondisi klinis akan dapat ditetapkan stadium klinis dari pasien
dan dapat menjadi dasar untuk memulai terapi ARV atau terapi IO. Penyakit yang
termasuk dalam stadium 1, 2, dan 3, kecuali anemia sedang, dapat dikenali secara
klinis. Untuk penyakit yang termasuk dalam stadium 4, dianjurkan untuk
menegakkan diagnosis dengan kriteria yang pasti (Surya, dkk., 2009c).
Terdapat 4 stadium infeksi HIV, yaitu (Surya, dkk., 2009c):
1.
Stadium 1 (asimtomatik): tidak terdapat penurunan berat badan, tidak ada
gejala atau hanya limfadenopati generalisata persisten.
2.
Stadium 2 (sakit ringan): terdapat penurunan berat badan 5-10%, Infeksi
Saluran Nafas Atas (ISPA) berulang, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir,
dermatitis seboroik, infeksi jamur kuku.
14
3.
Stadium 3 (sakit sedang): terdapat penurunan berat badan lebih dari 10%,
diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan,
kandidosis oral atau vaginal, oral hairy leukoplakia, TB paru dalam 1 tahun
terakhir, pneumoni, piomiositis, TB limfadenopati, gingivitis/periodontitis
ulseratif nekrotikan akut, anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml),
trombositopeni kronis (< 50.000/ml).
4.
Stadium 4 (sakit berat): terdapat sindroma wasting HIV, pneumonia
pnemosistis, pneumoni bakterial yang berat, herpes simpleks ulseratif lebih
dari satu bulan, kandidosis esophageal, TB extraparu, sarkoma kaposi,
retinitis cytomegalovirus (CMV), abses otak, ensefalopati HIV, meningitis
kriptokokus, infeksi mikobakteria non-TB meluas.
2.1.8 Penatalaksanaan HIV/AIDS
Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara teratur, setidaknya
setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau jika timbul gejala
atau tanda klinis yang baru. Pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai terapi
antiretroviral (ARV) walaupun tidak tersedia tes CD-4. Saat yang tepat untuk
memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya infeksi
oportunistik (IO) yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila
terapi ARV dimulai pada saat nilai CD-4 kurang dari 200/mm3 dibandingkan bila
terapi dimulai jika nilai CD-4 di atas jumlah tersebut. Terapi ARV dianjurkan
pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan nilai CD-4 kurang
dari 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan nilai CD-4
kurang dari 350/mm3 (Surya, dkk., 2009d).
15
Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa dan remaja
berdasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan
tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi
ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai
pemandu keputusan memulai terapi (Surya, dkk., 2009e). Pada tabel 2.1 disajikan
prosedur memulai terapi pada ODHA dewasa:
Tabel 2.1
Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa
Stadium
Klinis
1
2
3
4
Bila Tersedia Pemeriksaan CD-4
Terapi antiretroviral dimulai bila
CD-4 <200
Jumlah CD-4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum
CD-4 <200/mm3
a. Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi
ARV pada semua ibu hamil dengan
CD-4 350
b. Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD-4 <350 dengan TB paru
atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa
memandang jumlah CD-4
Bila Tidak Tersedia
Pemeriksaan CD-4
Terapi
ARV
tidak
diberikan
Bila jumlah total limfosit
<1200
Terapi ARV dimulai tanpa
memandang jumlah
limfosit
total
(Surya, dkk., 2009e)
2.1.9 Prognosis HIV/AIDS
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada umumnya membawa suatu
prognosis yang baik pada kebanyakan pasien yang dirawat oleh dokter dan tenaga
kesehatan yang berpengalaman dalam pengobatan HIV. Konseling yang lengkap
diberikan kepada pasien tentang perjalanan penyakit HIV, pilihan terapi, masalah
pemeliharaan kesehatan, menginformasikan pasangan seksual tentang diagnosis
16
HIV pasien, dan berbagai kondisi yang dapat terjadi pada setiap tahap pada
perkembangan infeksi HIV (Carpenter, et al., 2010).
2.2 Kehamilan dengan Infeksi HIV/AIDS
2.2.1 Penularan infeksi HIV/AIDS pada wanita usia reproduksi
Penularan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari ibu ke bayi merupakan
akhir dari rantai penularan yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV
positif yang menularkan HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan
seksual tak aman. Selanjutnya pasangan perempuan itu menularkan HIV kepada
bayi yang dikandungnya. Sepanjang usia reproduksi aktifnya, perempuan tersebut
secara potensial masih memiliki risiko untuk menularkan HIV kepada bayi
berikutnya jika ia kembali hamil. Untuk menunjukkan peran penting laki-laki
dalam rantai penularan ini, beberapa pihak telah mengganti istilah berkesan
biologis “penularan HIV dari ibu ke bayi” menjadi istilah yang lebih sensitif
perilaku, yaitu “penularan HIV dari orang tua ke bayi” (Pratomo, dkk.,
2006a,2006b).
Penelitian kualitatif tentang penularan HIV/AIDS pada wanita usia reproduksi
di Afrika Selatan menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian infeksi
HIV/AIDS berkaitan dengan masalah gender, kekuatan yang dimiliki wanita itu
sendiri dalam rumah tangga, dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam rumah tangga
(Naidoo, 2008). Pada penelitian di Amritsar, India diketahui bahwa dari 215
wanita yang menderita HIV/AIDS, 92,09% mendapatkan infeksi dari suami
mereka. Sebagian kecil yang lain mendapatkan infeksi melalui tranfusi darah dan
melalui jarum suntik. Selanjutnya diperoleh data bahwa dari wanita yang
17
diketahui positif menderita HIV pada kurun waktu penelitian dikerjakan,
melahirkan 86 orang anak yang juga menderita infeksi HIV (Arora, et al., 2008).
2.2.2 Karakteristik epidemiologi kehamilan dengan infeksi HIV/AIDS
Karakteristik epidemiologi kehamilan dengan infeksi HIV/AIDS meliputi:
1.
Umur: risiko terinfeksi HIV meningkat pada wanita usia muda. Hal ini terkait
dengan vulnerabilitas biologi dan infeksi menular seksual yang telah terjadi
sebelumnya dan tidak diobati. Pada wanita usia muda tersebut memiliki
kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual dengan pria yang lebih
tua, di mana sebagian besar pria tersebut kemungkinan melakukan aktivitas
seksual yang berisiko sebelumnya (Sagay, et al., 2005). Pada penelitian yang
dikerjakan di Malawi, diketahui bahwa puncak insiden ibu hamil terinfeksi
HIV adalah pada usia 26-30 tahun (Kwiek, et al., 2008). Sedangkan Kipto, et
al. (2009) menyatakan bahwa puncak insiden ibu hamil dengan infeksi HIV
di Kenya adalah pada rentang usia 31-35 tahun.
2.
Tingkat pendidikan: tingkat pendidikan memiliki pengaruh pada difusi dan
perbedaan penyebaran HIV di populasi (Poundstone, et al., 2004). Diketahui
pada penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hampir sebagian besar
ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah dengan latar belakang pendidikan
sekolah menengah pertama (Kumar dan Bent, 2003). Begitu pula di Malawi,
di mana ibu hamil dengan infeksi HIV hanya menamatkan pendidikan hingga
pendidikan dasar saja (Kwiek, et al., 2008). Kondisi serupa juga terjadi di
Kenya, di mana ibu hamil terinfeksi HIV, berlatar belakang pendidikan dasar
(Kipto, et al., 2009).
18
3.
Pekerjaan: pekerjaan memiliki pengaruh pada perbedaan penyebaran HIV di
populasi. Poundstone, et al. (2004) menyatakan bahwa pendapatan
masyarakat merupakan prediktor terkuat dalam peningkatan kasus AIDS.
Diketahui pada penelitian yang dikerjakan di Barbados bahwa hampir
sebagian besar ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah tidak bekerja (Kumar dan
Bent, 2003). Hal yang sama juga terjadi di Malawi, di mana sebagian besar
ibu hamil terinfeksi HIV adalah tidak bekerja (Kwiek, et al., 2008). Pada
penelitian yang dikerjakan di daerah Timur Laut Italia, juga diketahui bahwa
ibu hamil terinfeksi HIV sebagian besar tidak bekerja (Menegon, et al.,
2000).
2.2.3 Skrining infeksi HIV/AIDS pada masa prenatal
Pada daerah dengan kejadian HIV atau AIDS sebesar 1 per 1000 orang per tahun
atau lebih besar atau pada wanita berisiko tinggi untuk tertular HIV selama
kehamilan, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ulangan pada trimester
ketiga (Cunningham, et al., 2010). Faktor risiko tinggi termasuk pengguna
narkoba suntik, prostitusi, pasangan seksual yang dicurigai terinfeksi HIV, atau
diagnosis penyakit menular seksual lainnya (Cunningham, et al., 2010).
Skrining dilakukan menggunakan tes Enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dengan sensitivitas > 99,5%. Sebuah tes positif dikonfirmasi dengan
Western blot atau immunofluorescence assay (IFA), yang keduanya memiliki
spesifisitas tinggi. Menurut Centers for Disease Control and Preventing, antibodi
dapat dideteksi pada kebanyakan pasien dalam waktu 1 bulan setelah infeksi.
Wanita dengan perawatan prenatal tidak teratur atau tidak memiliki rekam medis
19
yang lengkap tentang status HIV harus melakukan "rapid" tes HIV. Tes ini dapat
mendeteksi antibodi HIV dalam 60 menit atau kurang dan memiliki kepekaan dan
kekhususan sebanding dengan ELISA konvensional. Hasil tes “rapid” yang
negatif tidak perlu dikonfirmasi. Sedangkan hasil tes “rapid” yang positif harus
dikonfirmasi dengan Western blot atau tes IFA (Cunningham, et al., 2010).
2.2.4 Penularan maternal dan perinatal
Penularan virus HIV secara transplasental dapat terjadi lebih awal dan bahkan
virus telah diidentifikasi dalam spesimen dari aborsi elektif (Cunningham, et al.,
2010). Untuk sebagian besar kasus, penularan ibu ke bayi adalah penyebab paling
umum infeksi HIV pada anak-anak. Diperkirakan bahwa 20% penularan terjadi
sebelum 36 minggu, 50% pada hari-hari sebelum kelahiran, dan 30% intrapartum.
Besarnya penularan pada saat menyusui mungkin setinggi 30-40% (Cunningham,
et al., 2010). Penularan secara vertikal lebih umum dengan kelahiran prematur,
terutama dengan ketuban telah pecah dalam waktu yang lama. Penelitian lainnya
melaporkan bahwa penularan HIV saat lahir meningkat 15-25% pada wanita yang
ketubannya pecah selama lebih dari 4 jam (Cunningham, et al., 2010).
2.2.5 Keluaran maternal dan perinatal
Tampak terjadi peningkatan hasil yang buruk pada janin meskipun ibu tanpa
gejala seropositif (Cunningham, et al., 2010). Dalam review 634 perempuan yang
terinfeksi HIV, dilaporkan bahwa infeksi HIV pada janin dikaitkan dengan
proporsi sel CD-4 kurang dari 15%. Pada wanita lain tanpa gejala, tingkat
kelahiran prematur adalah 20% dan pertumbuhan janin terhambat sebesar 24%.
20
Keluaran kehamilan yang lebih buruk banyak terjadi di negara-negara
berkembang (Cunningham, et al., 2010).
2.2.6 Konseling prakonsepsi
Sebuah aspek penting dari konseling prakonsepsi adalah pemilihan alat
kontrasepsi efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Konseling
juga harus mencakup pendidikan untuk mengurangi perilaku seksual berisiko
tinggi guna mencegah penularan HIV dan mengurangi penularan penyakit
menular seksual lainnya (Cunningham, et al., 2010).
2.2.7 Tata laksana selama kehamilan dan persalinan
Ibu hamil memerlukan perhatian khusus dan melakukan konsultasi dengan dokter
yang khusus di bidang ini. Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar,
penilaian awal seorang wanita hamil yang terinfeksi HIV adalah sebagai berikut:
Antenatal care (ANC) dilakukan sesuai standar, disertai dengan konseling.
Pencegahan penularan perinatal dilakukan dengan pemberian obat AZT
(Zidovudine) dengan prosedur berikut: setiap penderita yang dicurigai terinfeksi
HIV harus diambil darahnya untuk pemeriksaan CD-4 dan viral load awal.
Pemberian obat AZT diberikan pada umur kehamilan setelah 14 minggu, dengan
dosis 2 kali 300 mg/hari, diteruskan selama hamil. Bila ditemukan pada
kehamilan lanjut, AZT akan efektif bila diberikan mulai umur kehamilan 34-36
minggu, selama 4 minggu dengan dosis 2 kali 300 mg/hari (Surya, dkk., 2004).
Prinsip penanganan ibu hamil dengan HIV pada saat inpartu yaitu:
penanganan medis dan penanganan obstetri. Penanganan medis dikerjakan dengan
pemberian obat anti retroviral, karena penularan ke bayi paling banyak terjadi
21
pada saat inpartu. Zidovudine (AZT) diberikan 300 mg per oral setiap 3 jam
sampai bayi lahir. Penanganan obstetri dikerjakan dengan memenuhi standar
kewaspadaan universal. Prinsipnya adalah memperlalukan setiap spesimen darah
dan cairan tubuh sebagai bahan infeksius (Surya, dkk., 2004).
22
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Etiologi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah retrovirus
Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang disebut sebagai Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Faktor risiko penularan HIV adalah seksual aktif, melalui hubungan
seksual yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi, melalui transfusi
darah dimana darah tersebut belum terdeteksi virusnya, melalui penggunaan
bersama jarum untuk menyuntik narkoba, tindakan kedokteran yang tidak steril,
serta wanita hamil juga dapat menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau selama persalinan dan juga pada saat menyusui. Provinsi Bali
sendiri menduduki peringkat kedua nasional, setelah Provinsi Papua, dalam
prevalensi kasus AIDS per 100.00 penduduk, dengan angka prevalensi sebesar
49,16%. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar sebagai rumah sakit
rujukan utama di Provinsi Bali periode tahun 2005-2007 merawat 21 pasien hamil
yang mengikuti program PMTCT. Jumlah ini diperkirakan akan semakin
bertambah sejalan dengan peningkatan insiden infeksi HIV secara global.
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penularan HIV dan
memberikan kontribusi bagi peningkatan insiden infeksi HIV. Faktor-faktor
tersebut adalah: faktor individu, beberapa hal yang tercakup adalah ras atau etnik
dan ketidakmampuan menghadapi tekanan atau persoalan yang dijumpai. Faktor
lainnya yang turut berperan adalah faktor kebijakan politik. Faktor hukum juga
23
berperan melalui dua cara, yaitu: secara langsung dan tidak langsung. Terakhir
adalah faktor peperangan, di mana pengaruh peperangan terlihat pada rusaknya
infrastruktur kesehatan yang ada, menimbulkan kemiskinan, serta instabilitas
sosial pada daerah konflik.
Rantai penularan HIV kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif
yang menularkan HIV kepada istri atau pasangan perempuannya melalui
hubungan seksual berisiko. Selanjutnya istri atau pasangan perempuannya dapat
menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya secara transplasental. Sehingga
penting untuk dikatahui status infeksi suami.
Karakteristik epidemiologi ibu hamil dengan infeksi HIV yang berkaitan
dengan peningkatan risiko penularan HIV dari suami kepada istri adalah umur,
tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Pada usia yang lebih muda, memiliki
vulnerabilitas biologi tinggi untuk terinfeksi HIV. Tingkat pendidikan ibu hamil
juga memiliki peranan pada infeksi HIV. Hal ini erat kaitannya dengan
pengetahuan kesehatan dan kesempatan untuk mencari pekerjaan. Namun
ketidakmampuan memperoleh pekerjaan dengan pemasukan yang cukup, akan
memunculkan pekerjaan yang dekat dengan faktor risiko penularan HIV.
24
3.2 Konsep Penelitian
Secara skematis konsep penelitian diperlihatkan pada gambar 3.1
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil
terinfeksi HIV di Bali.
2. Terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di Bali.
3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan infeksi HIV di
Bali.
4. Terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan perilaku
berisiko dengan infeksi HIV di Bali.
25
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Adapun rancangan pada penelitian ini adalah kasus kontrol tidak berpasangan.
Secara sistematik penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
26
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, Klinik PMTCT (Preventing
Mother to Child Transmission) RSUP Sanglah Denpasar dan klinik VCT
(Voluntary Counseling and Testing) RSUP Sanglah Denpasar. Waktu penelitian
dilaksanakan mulai Agustus 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi.
4.3 Populasi Penelitian
Adapun populasi target penelitian adalah ibu hamil di Provinsi Bali. Populasi
terjangkau penelitian adalah ibu hamil yang melakukan antenatal care di RSUP
Sanglah Denpasar.
4.4 Sampel Penelitian
Sebagai kasus dalam penelitian ini adalah ibu hamil dengan infeksi HIV positif
yang mengikuti program PMTCT di RSUP Sanglah Denpasar. Sedangkan sebagai
kontrol adalah ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang datang melakukan
antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar.
27
4.4.1 Kriteria inklusi
Adapun kriteria inklusi penelitian adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis HIV telah ditegakkan dengan pasti melalui pemeriksaan rapid test
di RSUP Sanglah. Rapid test yang digunakan adalah merk Bioline SDHIV-1/2
3.0 dengan sensitivitas 100% dan spesifitas 99,8%.
b. Data rekam medis yang lengkap, meliputi: umur, tingkat pendidikan,
pekerjaan, status HIV suami, suku bangsa, jumlah pernikahan, paritas, faktor
risiko penularan, riwayat pemakaian narkoba suntik, cara persalinan terakhir,
kadar CD4, lamanya telah didiagnosis HIV/AIDS, usia kehamilan ketika
didiagnosis HIV/AIDS, riwayat pengobatan, stadium klinis ketika didiagnosis,
status serologi HIV bayi, kondisi saat ini, kontrasepsi yang digunakan, dan
cara pembiayaan pengobatan.
4.4.2 Kriteria eksklusi
Adapun kriteria eksklusi penelitian adalah sebagai berikut:
a. Data rekam medis ibu hamil yang terinfeksi HIV yang tidak disertai dengan
data rekam medis suami yang telah melakukan voluntary counseling and
testing (VCT).
b. Tidak memiliki suami.
4.4.3 Perhitungan besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Lameshow, 1997):
=
(
)
28
Keterangan:
n
= besar sampel
Zα
= 1,96 (α = 0,05)
Zβ
= 0,84 (β = 0,2)
P2
= 0,027 (proporsi infeksi HIV pada kelompok kontrol)
Q2
= 0,973 (1-P2)
P1-P2 = 0,3 (selisih proporsi infeksi HIV/AIDS minimal yang dianggap
bermakna)
P1
= P2 + 0,3 = 0,027+0,3 = 0,327
Q1
= 1-P1 = 1 – 0,327 = 0,673
P
= (P1+P2)/2 = (0,227 + 0,027)/2 = 0,177
Q
= 1-P = 1-0,177 = 0,823
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh
sampel penelitian sebesar 23 sampel untuk masing-masing kelompok. Dengan
faktor koreksi 10%, maka besar sampel untuk masing-masing kelompok adalah 25
sampel.
4.4.4 Cara pengambilan sampel
Kasus ibu hamil dengan infeksi HIV/AIDS di klinik PMTCT RSUP Sanglah
Denpasar yang menjalani perawatan, baik yang telah melahirkan maupun sedang
menjalani antenatal care serta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kemudian dipilih dengan cara consecutive sampling sebanyak 25 sampel.
Sedangkan kontrol sebanyak 25 sampel juga dipilih dengan cara consecutive
29
sampling, yakni ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang menjalani antenatal
care di Poliklinik Kebidanan RSUP Sanglah.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi variabel
Identifikasi variabel adalah sebagai berikut:
4.5.1.1 Variabel bebas
: umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status infeksi
HIV suami.
4.5.1.2 Variabel tergantung
: ibu hamil dengan infeksi HIV.
4.5.2 Definisi operasional variabel
Adapun definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Ibu hamil terinfeksi HIV adalah ibu hamil dengan status HIV positif yang
mengikuti program PMTCT RSUP Sanglah, dan telah melakukan
pemeriksaan pada klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dengan menggunakan
rapid test merk Bioline SDHIV-1/2 3.0 dengan sensitivitas 100% dan
spesifitas 99,8%. Sedangkan ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV adalah ibu
hamil dengan status HIV negatif yang mengikuti program PMTCT RSUP
Sanglah, dan telah melakukan pemeriksaan pada klinik VCT RSUP Sanglah
Denpasar.
2.
Umur muda adalah umur dibawah 31 tahun dan umur tua adalah umur ≥ 31
tahun (Menegon, et al., 2000; Sagay, et al., 2005; Kwiek, et al., 2008). Umur
ibu hamil yang dimaksud adalah usia dalam tahun yang diperoleh dari rekam
medis pasien. Berdasarkan ketentuan yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik Indonesia, struktur umur yang digunakan adalah dilihat dalam umur
30
satu tahunan atau yang disebut juga umur tunggal (single age) (Badan Pusat
Statistik, 2011a).
3.
Tingkat pendidikan rendah adalah lama pendidikan kurang dari 10 tahun.
Dalam hal ini tidak/belum pernah sekolah, tidak/belum tamat SD, SD, SLTP
masuk ke dalam kelompok ini. Sedangkan tingkat pendidikan dengan lama
pendidikan ≥ 10 tahun, yaitu: SLTA, SMK, Diploma I/II, Akademi/DIII, dan
Perguruan Tinggi digolongkan sebagai tingkat pendidikan tinggi (Kumar dan
Bent, 2003; Kwiek, et al., 2008; Kipto, et al., 2009). Tingkat pendidikan ini
adalah jenjang pendidikan yang pernah ditempuh hingga menamatkan
pendidikannya pada jenjang tersebut berdasarkan ijazah, diperoleh dari rekam
medis pasien (Badan Pusat Statistik, 2011b).
4.
Pekerjaan berisiko adalah pekerjaan yang berkaitan dengan faktor risiko
penularan, antara lain: orang yang bekerja di tempat hiburan, sopir jarak
jauh, nelayan, anak buah kapal, PSK, petugas kesehatan, dan tenaga kerja
yang bekerja di luar negeri. Sedangkan jenis pekerjaan yang bukan termasuk
pekerjaan tersebut digolongkan sebagai pekerjaan yang tidak berisiko
(Allworth, et al., 2004f; Komisi Penanggulangan AIDS, 2007). Pekerjaan ibu
hamil adalah profesi yang ditekuni sebagai mata pencaharian, diperoleh dari
rekam medis pasien (Badan Pusat Statistik, 2011b).
5.
Status infeksi HIV suami adalah status suami apakah terinfeksi HIV atau
tidak berdasarkan pemeriksaan yang telah dikerjakan di klinik VCT suatu
rumah sakit, yang diperoleh berdasarkan rekam medis atau bukti tertulis hasil
31
pemeriksaan. Status infeksi HIV suami ini digolongkan menjadi status infeksi
HIV positif dan status infeksi HIV negatif.
4.6 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan
4.6.1 Instrumen penelitian
Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer,
kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya.
4.6.2 Metode pemeriksaan
1. Identifikasi status infeksi HIV ibu hamil dilakukan dengan melihat rekam
medis pada klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar.
2. Indentifikasi karakteristik epidemiologi dikerjakan dengan menggunakan
pemeriksaan data sekunder pada rekam medis pasien.
4.7 Prosedur Penelitian
Ibu hamil yang menjalani pemeriksaan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar
maupun yang dirawat inap di RSUP Sanglah Denpasar. Dari ibu hamil ini, ada
yang dirujuk untuk melakukan skrining HIV oleh klinik PMTCT RSUP Sanglah
Denpasar. Pasien yang dirujuk ke klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar akan
mendapatkan konseling pra tes. Jika pasien setuju dilanjutkan dengan
pemeriksaan berikutnya di klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar. Berdasarkan
hasil skrining ini, ibu hamil yang positif terinfeksi HIV akan mengikuti program
PMTCT. Dari ibu hamil yang mengikuti program PMTCT dipilih dengan cara
consecutive sampling sebanyak 25 sampel. Sebelumnya ibu hamil terinfeksi HIV
ini juga harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian. Sampel
ibu hamil ini diidentifikasi menurut umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan
32
status infeksi suami. Khusus untuk status infeksi suami yang positif, akan
dikonfirmasi ke klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar untuk mengecek
kebenarannya. Keempat karakteristik epidemiologi ini dianalisis untuk mencari
hubungan dengan infeksi HIV yang terjadi pada ibu hamil tersebut.
Ibu hamil yang datang melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar
dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Ibu hamil ini juga harus memenuhi
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kemudian dipilih dengan cara consecutive
sampling sebanyak 25 sampel. Sampel ibu hamil ini diidentifikasi menurut umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status infeksi suami. Khusus untuk status
infeksi suami yang positif, akan dikonfirmasi ke klinik VCT RSUP Sanglah
Denpasar untuk mengecek kebenarannya. Keempat karakteristik epidemiologi ini
dianalisis untuk mencari hubungan dengan ibu hamil yang tidak terinfeksi HIV
tersebut.
Secara sistematis alur penelitian ditunjukkan pada gambar 4.2.
33
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.8 Pengumpulan dan Analisis Data
4.8.1 Pengumpulan data
Data hasil penelitian yang diperoleh dari Bagian Obstetri dan Ginekologi FK
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, klinik PMTCT RSUP Sanglah
Denpasar, dan klinik VCT RSUP Sanglah Denpasar dikumpulkan dan
dimasukkan ke dalam formulir penelitian (terlampir).
4.8.2 Analisis data
Data pada formulir kehamilan dengan infeksi HIV diolah dengan menggunakan
Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 17,0 for windows. Kemudian
dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan tabel
dan narasi.
b. Uji Shapiro Wilk untuk mengetahui normalitas data.
34
c. Analisis komparatif kategorik tidak berpasangan dengan menggunakan Uji
Chi-Square untuk data dengan distribusi normal. Jika distribusi data tidak
normal digunakan Uji Fischer.
35
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan rancangan kasus-kontrol yang melibatkan 50 orang wanita
hamil sebagai sampel, dengan kelompok kasus adalah ibu hamil dengan infeksi
HIV positif yang mengikuti program PMTCT di RSUP Sanglah Denpasar dan
kelompok kontrol adalah ibu hamil dengan infeksi HIV negatif yang datang
melakukan antenatal care di RSUP Sanglah Denpasar.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik subjek meliputi umur dan paritas disaji pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Kasus dan
Kelompok Kontrol
Variabel
Kelompok
Kasus
(n = 25)
Kontrol
(n = 25)
P
Umur (tahun)
26,84±4,17
24,48±5,12
0,080
Paritas
1,44±0,96
1,36±0,91
0,763
Tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa dengan uji t-independent pada kedua
variabel didapatkan nilai p > 0,05. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan
rerata umur dan paritas antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
36
5.2 Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Untuk mengetahui hubungan status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV
dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Kelompok
Kasus
Kontrol
Status HIV
HIV (+)
19
5
Suami
HIV (-)
6
20
RO
12,67
IK 95%
p
3,31-48,50 0,001
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status HIV suami
dengan ibu hamil terinfeksi HIV. Selanjutnya diketahui bahwa status HIV suami
dapat meningkatkan risiko terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali (R0
= 12,67, IK 95% = 3,31-48,50, p = 0,001).
5.3 Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Untuk mengetahui hubungan umur dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai uji
Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Kelompok
Umur
Kasus
Kontrol
Muda
18
22
Tua
7
3
RO
IK 95%
p
0,35
0,08-1,55
0,157
37
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan ibu
hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,35, IK 95% = 0,08-1,55, p = 0,157).
5.4 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan ibu hamil
terinfeksi HIV dipakai uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Kelompok
Tingkat
pendidikan
Kasus
Kontrol
Rendah
11
12
Tinggi
14
13
RO
IK 95%
P
0,85
0,28-2,59
0,777
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,85, IK 95% = 0,28-2,59, p = 0,777).
5.5 Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan ibu hamil terinfeksi HIV dipakai
uji Chi-Square yang disaji pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Kelompok
Pekerjaan
Kasus
Kontrol
Berisiko
2
1
Tidak berisiko
23
24
RO
IK 95%
p
2,09
0,18 – 24,62
1,00
38
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan
ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 2,09, IK 95% = 0,18-24,62, p = 1,00).
39
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel, yang terdiri dari 25 orang sebagai
kasus dan 25 orang lainnya sebagai kontrol.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan rerata umur ibu kelompok kasus adalah
26,84±4,17 dan rerata kelompok kontrol adalah 24,48±5,12, dengan nilai p=0,080.
Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan umur antara kelompok kasus dengan
kelompok kontrol.
Rerata paritas untuk kelompok kasus adalah 1,44±0,96 dan untuk kelompok
kontrol adalah 1,36±0,91, dengan nilai p=0,763. Hal ini berarti tidak terdapat
perbedaan umur antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
6.2 Hubungan antara Status HIV Suami dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Berdasarkan hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
status HIV suami dengan ibu hamil terinfeksi HIV. Selanjutnya diketahui bahwa
status HIV suami dapat meningkatkan risiko terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV
sebesar 12 kali (R0 = 12,67, IK 95% = 3,31-48,50, p = 0,001).
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Arora (2008) bahwa
92,09% wanita mendapatkan infeksi HIV dari suami. Hal ini terjadi karena
masalah gender di rumah tangga, kekuatan yang dimiliki wanita tersebut, dan
ketidaksetaraan yang terjadi di rumah tangga (Naidoo, 2008). Secara lebih rinci
yang dimasudkan dengan pernyataan tersebut adalah walaupun para istri telah
40
mengetahui bahwa suami mereka telah mengidap HIV, mereka tidak bisa menolak
untuk melakukan hubungan seksual dengan suaminya (Naidoo, 2008).
Marum, et al. (2003) dalam tulisannya menyebutkan bahwa pajanan yang
lebih sering dari suami terinfeksi HIV kepada istri yang berstatus HIV negatif
yang ditularkan melalui hubungan seksual akan meningkatkan risiko istri
terinfeksi HIV (Marum, et al., 2003).
Menurut Pratomo, penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai
penularan yang kemungkinan berawal dari seorang laki-laki HIV positif yang
menularkan HIV kepada pasangan perempuannya melalui hubungan seksual tak
aman. Sehingga untuk menunjukkan peran penting laki-laki dalam rantai
penularan ini, beberapa pihak telah mengganti istilah berkesan biologis
“penularan HIV dari ibu ke bayi” menjadi istilah yang lebih sensitif perilaku,
yaitu “penularan HIV dari orang tua ke bayi” (Pratomo, dkk., 2006c, 2006d).
Adanya temuan suami dengan status infeksi HIV negatif, tetapi dengan status
infeksi HIV istri positif, dapat disebabkan oleh hubungan seksual berisiko yang
dilakukan oleh istri dengan pria lain yang bukan suaminya. Hal ini sesuai dengan
temuan oleh Marum, et al. (2003) yang menyatakan bahwa hubungan seksual
berisiko yang dilakukan oleh seorang perempuan dengan pria yang bukan
suaminya, akan memberikan peningkatan risiko terinfeksi HIV pada suaminya
(Marum, et al., 2003). Selain itu, kondisi ini dapat juga disebabkan oleh faktor
risiko transmisi lainnya, seperti penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba
suntik, pernah menerima tranfusi darah yang tidak diketahui apakah darah tersebut
41
bebas virus HIV atau tidak, serta penggunaan alat tato yang tidak steril dan
digunakan secara massal (Karim and Humphries, 2012).
Menurut Dunkle, et al. (2003), hubungan seksual yang dilakukan multipartner
(lebih dari tiga kali dengan pasangan yang berbeda dalam satu minggu) akan
meningkatkan risiko terinfeksi HIV. Tampak bahwa pengaruh status infeksi HIV
suami memberikan risiko yang tinggi bagi istri untuk terinfeksi HIV (jika istri
hanya melakukan hubungan seksual dengan suamninya). Begitu pula hal yang
sebaliknya terjadi, di mana istri melakukan hubungan seksual multipartner dan
suami tidak melakukan hubungan seksual multipartner, risiko suami terinfeksi
HIV menjadi meningkat (Dunkle, et al., 2003).
Hubungan antara penggunaan kondom dan infeksi HIV ternyata tidak
seragam antara pria dan wanita (Marum, et al., 2003). Pada penelitian yang
dikerjakan oleh Marum di Kenya didapatkan bahwa penggunaan kondom oleh
pria yang melakukan hubungan seksual dengan wanita pekerja seksual, ternyata
menurunkan risiko terinfeksi HIV. Namun kondisi ini tidak terjadi pada wanita
pekerja seksual yang menggunakan kondom khusus wanita (Marum, et al., 2003).
Berdasarkan
penelitian-penelitian
yang
dikerjakan
di
negara-negara
berkembang, diperoleh data bahwa faktor risiko transmisi heteroseksual ternyata
merupakan faktor risiko terkuat untuk transmisi HIV kepada ibu hamil. Hal yang
merupakan prediktor terkuat adalah status infeksi HIV pasangan seksual ataupun
suami. Kondisi ini dikaitkan dengan anatomis genetalia eksterna wanita yang
lebih mudah untuk mengalami mikrolesi yang menjadi pintu masuk virus. Selain
itu, faktor gender dan kekuatan yang dimiliki wanita dalam rumah tangga juga
42
memberikan peran bagi mudahnya ibu hamil terinfeksi HIV (Dunkle, et al., 2003;
Marum, et al., 2003; Karim and Humphries, 2012).
6.3 Hubungan antara Umur dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Berdasarkan uji Chi-Square yang dikerjakan, menunjukkan tidak ada hubungan
antara umur dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,35, IK 95% = 0,08-1,55, p =
0,157).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sesuai dengan hasil penelitian
oleh Kipto, et al. (2009) yang menyatakan bahwa puncak insiden ibu hamil adalah
pada rentang usia 31-35 tahun. Pada penelitian lain yang dikerjakan oleh Arora, et
al. (2008) juga didapatkan sebaran umur yang menderita infeksi HIV yang
terdeteksi pertama kali adalah pada rentang umur 30-39 tahun. Penelitian yang
dikerjakan oleh Marum, et al. (2003) di Kenya juga mendapatkan hasil bahwa
puncak insiden HIV pada ibu hamil di negara tersebut adalah pada rentang umur
30-39 tahun. Hal ini disebabkan perjalanan alamiah infeksi HIV yang mengambil
rentang waktu 5-10 tahun dari awal inkubasi hingga memberikan gejala klinis
(Marum, et al., 2003).
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara umur ibu hamil
dengan infeksi HIV di Bali. Secara lebih rinci yang dimaksudkan adalah infeksi
HIV pada ibu hamil di Bali terjadi pada usia di bawah 31 tahun. Hal ini berkaitan
dengan vulnerabilitas biologi dan infeksi menular seksual yang telah terjadi
sebelumnya dan tidak diobati. Juga pada wanita usia muda tersebut memiliki
kecenderungan melakukan hubungan seksual pada usia lebih muda dan
43
melakukan hubungan seksual dengan pria yang lebih tua, di mana sebagian besar
pria tersebut kemungkinan melakukan aktivitas seksual berisiko sebelumnya.
Kontradiktif antara hasil penelitian dengan hipotesis penelitian, dapat
disebabkan oleh perjalanan infeksi HIV. Awalnya 12-24 jam setelah terkena
paparan, HIV masuk ke sel yang terletak pada daerah mukosa yang menjadi
gerbang awal masuknya HIV. Empat puluh delapan jam setelah paparan, HIV
menyebar ke kelenjar limfe regional, terjadi replikasi cepat di dalam sel imun,
terutama sel Cluster Differentiation 4 (CD-4). Sel di dalam saluran pencernaan,
sistem saraf pusat, sel kulit juga akan terinfeksi. Antara 5-40 hari, sistem imun
host akan memberikan respon terhadap HIV yang masuk. Akan dihasilkan
antibodi penetralisir dan respon sel T sitotoksik, terutama sel T limfosit CD-8.
Banyak sel CD-4, tetapi tidak seluruhnya, diserang oleh sel CD-8. Hal ini
mengakibatkan penurunan jumlah sel CD-4. Sehingga secara laboratoris tercermin
dalam pemeriksaan darah tepi jumlah sel CD-4 dan CD-8 (Allworth, et al.,
2004d).
Terdapat empat fase perjalanan alamiah infeksi HIV, yaitu: fase primer
(hingga 10 minggu pasca inkubasi penyakit), fase awal penyakit (10 minggu
hingga 5 tahun), fase intermediate (5 tahun hingga 10 tahun), dan fase akhir (lebih
dari 10 tahun). Oleh karenanya, melihat fase perjalanan alamiah tersebut, ibu
hamil terinfeksi HIV datang pada fase intermediate. Di mana jika hubungan
seksual berisiko dilakukan pada usia 20 awal atau usia belasan akhir, maka ibu
hamil tersebut baru memeriksakan diri 10 tahun kemudian. Diperiksakannya diri
mereka disebabkan mulai munculnya gejala klinis pada fase intermediate ini,
44
seperti: demam, penurunan berat badan, keluhan pada kulit, infeksi minor, dan
infeksi TB (tuberkulosis). Karena pada fase awal penyakit biasanya asimtomatis
(Allworth, et al., 2004c). Sehingga pada saat dilakukan skrining infeksi HIV, akan
didapatkan ibu hamil dengan infeksi HIV pada rentang usia 30-40 tahun. Awal
masuknya HIV ke dalam tubuh sesungguhnya telah dimulai 5-10 tahun
sebelumnya.
6.4 Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Berdasarkan uji Chi-Square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pendidikan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 0,85, IK 95% = 0,282,59, p = 0,777).
Hipotesis penelitian adalah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu
hamil dengan infeksi HIV di Bali. Di mana ibu hamil dengan tingkat pendidikan
rendah (tamat SLTP ke bawah) yang lebih banyak terinfeksi HIV. Hal ini oleh
Poundstone, et al. disebutkan memiliki pengaruh pada sedikitnya lapangan
pekerjaan yang dapat diakses oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang
rendah. Namun di sisi lain kebutuhan hidup yang semakin banyak dan ledakan
populasi yang menyebabkan kebutuhan keuangan yang semakin tinggi pula.
Sehingga bermunculan prostitusi terselubung maupun yang dilegalkan oleh suatu
daerah tertentu. Dampaknya adalah akan semakin mempermudah transmisi infeksi
HIV.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Marum, et al. (2003)
yang mendapatkan data bahwa infeksi HIV pada ibu hamil lebih banyak pada
wanita yang telah menamatkan pendidikan menengah (Marum, et al., 2003). Hal
45
ini berkaitan dengan sedikitnya pilihan pekerjaan yang ada. Salah satu faktor yang
berperan adalah banyaknya tenaga kerja asing yang bekerja di Kenya, sehingga
penduduk asli terhimpit oleh kebutuhan hidup yang beragam namun di sisi lain
hanya tersedia sedikit lapangan perkerjaan yang dapat mereka masuki dengan
kualifikasi pendidikan sekolah menengah (Marum, et al., 2003).
Ketidaksesuaian antara hipotesis dengan hasil penelitian disebabkan oleh
sistem pendidikan dasar 9 tahun yang sudah mulai berjalan di Indonesia,
khususnya di Bali. Di samping itu, pada beberapa kabupaten diterapkan kebijakan
pendidikan gratis hingga level sekolah menengah atas atau sekolah menengah
kejuruan (Suyanto, 2012). Masalah muncul ketika para siswa tamat, dihadapkan
pada lapangan kerja yang sedikit dengan jumlah pencari kerja yang banyak,
sehingga muaranya tetap pada pilihan pekerjaan yang cepat mendatangkan uang,
seperti misalnya prostitusi (Marum, et al., 2003).
Karim dan Humphries (2012) dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara pendidikan tinggi dan pengetahuan infeksi HIV
yang telah ada dengan penurunan risiko untuk terinfeksi HIV pada ibu hamil.
Justru pada penelitian yang dikerjakan oleh Karim, et al., didapatkan bahwa
infeksi menular seksual, termasuk infeksi HIV di dalamnya, lebih banyak
didapatkan pada kelompok dengan status pendidikan sekolah menengah ke atas.
Anomali ini diduga berkaitan dengan tingkat kemapanan ekonomi yang semakin
membaik, akan berdampak pada makin berkembangnya penyedia jasa prostitusi
untuk kelompok laki-laki dewasa dengan tingkat ekonomi yang baik. Selanjutnya
apabila laki-laki tersebut memiliki istri dan melakukan hubungan suami istri,
46
maka akan meningkatkan risiko terinfeksi HIV pada istri mereka (Karim and
Humphries, 2012).
Fenomena infeksi HIV pada wanita dengan tingkat pendidikan tinggi dan juga
tingkat ekonomi yang baik juga disebutkan oleh Dunkle, et al. (2003). Hal ini
berkaitan dengan penundaan usia pernikahan yang disebabkan konsentrasi wanita
tersebut pada bidang pekerjaannya. Namun di sisi lain, wanita tersebut dalam
memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai perempuan dewasa, cenderung
melakukan hubungan seksual tanpa komitmen dengan imbalan uang ataupun
hanya atas dasar suka sama suka. Hubungan seksual multipartner ini akan
berdampak pada peningkatan risiko terinfeksi HIV. Ketika wanita ini memutuskan
untuk berumah tangga dan menjadi hamil, maka risiko mereka mengalami kondisi
hamil dengan infeksi HIV juga akan semakin meningkat. Begitu pula dengan
risiko penularan kepada suami mereka juga akan meningkat (Dunkle, et al., 2003).
6.5 Hubungan antara Pekerjaan dengan Ibu Hamil Terinfeksi HIV
Berdasarkan uji Chi-Square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
pekerjaan dengan ibu hamil terinfeksi HIV (R0 = 2,09, IK 95% = 0,18-24,62, p =
1,00).
Menurut Poundstone, et al., pendapatan masyarakat merupakan prediktor
terkuat dalam peningkatan kasus AIDS. Sejalan dengan ledakan populasi dan
harapan akan pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat, namun di sisi lain
lapangan kerja yang terbatas menyebabkan terdapat kelompok-kelompok
masyarakat yang masuk kepada dunia prostitusi.
47
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pekerjaan ibu hamil yang berkaitan dengan perilaku berisiko dengan infeksi HIV
di Bali, berbeda dengan hipotesis penelitian yang menyebutkan terdapatnya
hubungan. Hal ini disebabkan oleh besarnya faktor risiko status infeksi suami yag
juga dicari dalam penelitian ini. Dengan tingginya faktor risiko yang berasal dari
suami memberikan penjelasan bahwa walaupun pekerjaan ibu hamil tersebut tidak
berkaitan dengan perilaku berisiko, ibu hamil tersebut memiliki risiko yang besar
untuk terinfeksi HIV yang didapat dari suami mereka. Hal ini berkaitan dengan
masalah gender, kekuatan yang dimiliki wanita itu sendiri dalam rumah tangga,
dan ketidaksetaraan yang terjadi dalam rumah tangga (Naidoo, 2008).
Menurut Duflo, et al. (2012) marginalisasi ekonomi dan ketidaksetaraan
gender menjadi faktor utama yang mencetuskan munculnya infeksi HIV pada ibu
hamil. Maksudnya adalah bahwa kebijakan politik di suatu negara yang
memberikan peluang sangat kecil bagi seorang wanita untuk meniti karir yang
lebih baik, menyebabkan terbatasnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh
wanita tersebut. Hal ini semakin diperkuat oleh ketidaksetaraan gender yang
berlangsung dalam praktek hidup sehari-hari. Sehingga wanita tersebut hanya
menjadi ibu rumah tangga atau memiliki pekerjaan selingan dan hanya tinggal di
rumah untuk mengurus rumah tangga. Berbeda halnya dengan para suami yang
memiliki akses keuangan yang jauh lebih baik serta mobilitas yang tinggi di luar
rumah. Hal ini menyebabkan para suami ini sangat berisiko untuk melakukan
hubungan seksual multipartner dengan alasan mencari hiburan. Dengan demikian
akan tampak ibu hamil dengan pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan risiko
48
penularan infeksi HIV, justru memiliki risiko besar terinfeksi HIV yang diduga
berasal dari suami mereka (Duflo, et al., 2012).
Dunkle, et al. (2003) juga menyatakan bahwa wanita dengan pekerjaan yang
mapan cenderung memiliki risiko terinfeksi HIV. Pada wanita-wanita dengan
posisi pekerjaan yang baik, seringkali kekurangan waktu untuk membina rumah
tangga. Namun sebagai perempuan dewasa, mereka tidak dapat lepas dari
aktivitas seksual. Aktivitas seksual yang mereka kerjakan ada yang didasarkan
pada imbalan uang atau barang. Dan ada juga yang didasarkan hubungan sesaat
tanpa ikatan. Muaranya adalah terkondisikan suatu kebiasaan hubungan seksual
multipartner, yang tanpa disadari meningkatkan risiko terinfeksi HIV. Masalah
semakin kompleks pada suatu titik ketika wanita tersebut memutuskan untuk
menikah resmi dan hamil. Dengan mengacu pada patogenesis infeksi HIV, maka
risiko wanita tersebut terinfeksi HIV yang memberikan manifestasi klinis saat
hamil sangatlah besar (Dunkle, et al., 2003).
6.6 Kelemahan Penelitian
Kelemahan penelitian ini adalah: kasus dan kontrol dipilih oleh peneliti, sulit
untuk memastikan bahwa kedua kelompok sebanding dalam pelbagai faktor
eksternal dan sumber bias lainnya.
49
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
1.
Terdapat hubungan antara status infeksi HIV suami dengan ibu hamil
terinfeksi HIV di Bali. Status HIV suami dapat meningkatkan risiko
terjadinya ibu hamil terinfeksi HIV sebesar 12 kali.
2.
Tidak terdapat hubungan antara umur ibu hamil dengan infeksi HIV di
Bali.
3.
Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu hamil dengan
infeksi HIV di Bali.
4.
Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan ibu hamil dengan infeksi
HIV di Bali.
7.2
Saran
1. Dilakukan kontrol eksternal yang lebih baik antara kasus dan kontrol.
Sehingga didapatkan bias yang seminimal mungkin.
2. Penelitian serupa di masa yang akan datang dikerjakan secara langsung
dengan memeriksa ibu hamil yang melakukan antenatal care, untuk
kemudian dibagi menjadi kelompok kasus dan kontrol. Data-data
pajanan yang dicari diupayakan divalidasi langsung kepada responden.
Download