analisis semiotik film 3 doa 3 cinta program studi

advertisement
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
M. Fikri Ghazali
NIM: 206051003915
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
M. Fikri Ghazali
NIM : 206051003915
Pembimbing
Drs. Suhaimi, M.Si
NIP : 19670906 199403 1 002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Analisis Semiotik Film 3 Doa 3 Cinta”.Telah diujikan
dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidatullah Jakarta, pada tanggal 22 September 2010. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata
1 (S.1) Pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Jakarta 22 September 2010
Sidang Munaqosah
Ketua
Sekretaris
Drs. H. Mahmud Djalal, MA
NIP. 19520422 198103 1 002
Dra. Hj. Musfirah Nurlaily , MA
NIP.1971041222000032001
Penguji I
Penguji II
Drs. H. Mahmud Djalal, MA
NIP. 19520422 198103 1 002
Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum
NIP. 19610422 199003 2 001
Pembimbing,
Drs. Suhaimi, M.Si
NIP.19760906 199403 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat
atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2010
M. Fikri Ghazali
ABSTRAK
Nama
NIM
Jurusan
Skripsi
: M. Fikri Ghazali.
: 206051003915
: Komunikasi Penyiaran Islam
: Analisis semiotik terhadap film 3 DOA 3 CINTA.
Film merupakan media komunikasi visual yang lahir dari sebuah proses
panjang. Kehadiran film memberikan nuansa baru hiburan, seni dan kebudayaan.
Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal
jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun,
selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang
sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa
mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain.
Studi ini merupakan sebuah upaya untuk menemukan makna semiotik di
balik film 3 DOA 3 CINTA. Secara umum, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif untuk meneliti film ini. Metode kualitatif memungkinkan
penulis mengkaji film secara lebih mendalam untuk menggali makna yang tersirat
dalam berbagai simbol, kode, dan seluruh adegan yang hendak digunakan sebagai
objek penelitian.
Penulis akan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan semiotik
yang dikembangkan oleh pemikir Perancis, Roland Barthes. Pendekatan semiotik
ala Roland Barthes ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan
mitos. Makna denotatif adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign,
dan antara sign dengan objek dalam realitas. Makna konotatif adalah interaksi
yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca/pengguna
dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif.
Sedangkan mitos dalam pengertian Roland Barthes adalah pengkodean makna dan
nilai-nilai sosial (yang sebelumnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang
dianggap alamiah.
Beberapa pertanyaan yang selanjutnya mengarahkan penulis antara lain :
apa makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terdapat dalam film 3 Doa 3
Cinta? Apa makna judul dari film ini? Dan pesan apa yang hendak disampaikan
dalam film ini?
Studi ini berangkat dari keyakinan penulis tentang kekayaan nilai-nilai
moral ke-Islaman dalam film ini. Banyak adegan yang dengan jelas menunjukkan
nilai moral Islami yang pada saat ini seakan hilang ditelan ideologi teror
kelompok radikal Islam. Nilai-nilai inilah yang akan penulis gali lebih dalam
dengan menggunakan pendekatan semiotik ala Roland Barthes.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Berkat
pertolongan serta nikmat-Nya, penulis mampu melalui rintangan dan cobaan saat
mengerjakan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada yang tersayang,
penyeru kebenaran, pembawa keberkahan Rasulullah SAW, beserta keluarga,
sahabatnya dan semoga kita istiqomah menjadi umatnya sampai hari kiamat.
Amin.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dorongan
dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak DR. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi.
2. Ibu Hj. Asriati Jamil, M.Hum. selaku Koordinator Teknis Program NonReguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
3. Ibu Hj. Musfirrah Laily MA selaku Sekretaris Program Non-Reguler
Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang banyak memberi masukan
tentang masalah perkuliahan yang sangat berarti bagi penulis, serta
memudahkan urusan administrasi bagi penulis.
ii
4. Bapak Drs. Suhaimi M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu bersedia memberikan masukan yang sangat
bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang
telah memberikan ilmu serta berbagai macam pengalaman selama
menuntut ilmu.
6. Segenap staff perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Orang tua tercinta, Mudjahid dan Uminarsih yang dengan ketulusan hati
memberikan dorongan moral maupun materil serta iringan doa kepada
penulis untuk menuntut ilmu sampai saat ini, semoga Allah SWT
merahmati dan Hanya Dialah yang mampu membalas segala jasa
besarmu.
8. Adikku tercinta, Jihan Assyifa yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada Mas Nurman Hakim selaku sutradara dan penulis skenario Film
3 DOA 3 CINTA, terima kasih atas waktu, pengarahan, petunjuk yang
sangat berarti dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
10. Kepada KMF KALACITRA yang banyak memberikan pelajaran dan
pengalaman
tentang
kehidupan.
iii
Teman-teman
seperjuangan
di
KALACITRA “05” (M. Luthfi Rahman, M. Vicky Al Utsmany, Zakaria
Ahmad, Aden Senja, Ikhwan Maulana, Regita Nadha Ayu, Emma,
Nadya, Febby, Iqbal, Budi Astoni, Asri Rahmita, Kartini, Sifa, Ima,
Vina, Ajeng, Ayu, Zulfahmi Yasir Yunan,dll), Ahmad Rifky, Ahmad
Zaky, Agus Nugraha, Ridho, Hilma Imunk, Tedi K, Elisha, Kikim, Jose
iqbal, Didik S. Teman-teman dari Unit Kegiatan Mahasiswa lainnya
(RIAK, ARKADIA, FORSA, TEATER SYAHID, PSM, RANITA, dll),
Teman-teman di Komunitas SANJO BOYS. Teman-teman KKS 61.
11. Rekan-rekan Mahasiswa Non-Reguler, Ade W, Husni M, Anna, Ahyar Z,
Hidayat Riyadi, Bu Atty S, M. Siddiq, Hakim S, Johan AK, Adzfar,
Zamal A N, Kusniti, Iin, dan semua teman kelasku.
12. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik materi maupun
imateri sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis
haturkan kepada semua pihak yang telah turut mendukung dan membantu dalam
penulisan skripsi ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala budi baik dan
bantuan semua pihak yang telah diberikan kepada penulis.
Jakarta, September 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6
1. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
D. Metodologi Penelitian ........................................................................ 6
1. Jenis Data ...................................................................................... 7
2. Obyek Penelitian ........................................................................... 7
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 8
4. Teknik Analisis Data ..................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Semiotika .............................................................. 12
1. Konsep Semiotika
........................................................... 12
2. Konsep Semiotika Roland Barthez ............................................. 15
B. Tinjauan Umum Tentang Film .......................................................... 20
1. Pengertian Film ........................................................................... 20
2. Sejarah Film................................................................................. 21
3. Perfilman Di Indonesia ................................................................ 22
4. Fungsi Film .................................................................................. 27
5. Karakteristik Film. ...................................................................... 28
6. Jenis-jenis Film............................................................................ 30
v
7. Unsur-unsur Pembentuk Film...................................................... 31
8. Sinematografi .............................................................................. 32
9. Struktur Film ............................................................................... 34
C. Pesan Moral ...................................................................................... 35
BAB III GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA
A. Sekilas tentang Film 3 DOA 3 CINTA ............................................. 39
B. Sinopsis Film 3 DOA 3 CINTA ........................................................ 41
C. Para Pemain & Team Produksi Film 3 Doa 3 Cinta ......................... 42
D. Profile Nurman Hakim ...................................................................... 44
BAB
IV ANALISIS DATA
A. Analisis Semiotika Film 3 DOA 3 CINTA ...................................... 45
1. Perang Melawan Terorisme ........................................................ 47
2. Prasangka Negatif ....................................................................... 50
3. Menolak Sains dan Teknologi ..................................................... 56
4. Mitos Santri Ideal ........................................................................ 60
B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA.................................. 66
C. Pesan Moral dalam Film 3 DOA 3 CINTA...................................... 68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................ 70
B. SARAN ............................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
LAMPIRAN
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran
sebuah karya seni. Karya seni mengalami perkembangan dari tahun ke tahun,
hingga pada akhirnya tercipta sebuah perpaduan yang seimbang dan harmonis
antara seni sastra, seni musik, dan seni peran, serta komedi yang dikemas dalam
bentuk film. Film merupakan sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan
hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu serta menyajikan cerita,
peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat
umum.
Studi perfilman boleh dikatakan bidang studi yang relatif baru dan tidak
sebanding dengan proses evolusi teknologinya. Eksplorasi studi perfilman yang
pernah terjadi pada dekade 60-70 an di Eropa dan Amerika ternyata tidak banyak
membawa perubahan yang berarti. Hasrat untuk menghasilkan suatu pendekatan
yang holistik dan interdisipliner dalam studi perfilman nampaknya masih berupa
angan-angan. Tak terkecuali bila studi perfilman dilihat dalam konteks ilmu
komunikasi.
Meski film merupakan bagian integral dalam bidang ilmu komunikasi,
ternyata kesan “penganak-tirian” terhadap studi film memang harus diakui. Studi
film masih kurang memperoleh perhatian yang memadai di kalangan para ilmuan
komunikasi. Ini terbukti pada langkanya bahan-bahan acuan yang secara khusus
1
2
mengupas studi perfilman secara umum, apalagi yang berkaitan dengan konteks
ilmu komunikasi.
Film memiliki nilai seni tersendiri karena film tercipta sebagai sebuah
karya dari tenaga-tenaga kreatif yang profesional di bidangnya. Film sebagai
benda seni sebaiknya dinilai dengan secara artistik bukan rasional. Film dapat
dikelompokan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan non
cerita. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang
dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Film non cerita merupakan kategori film
yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada
fiksi tentang kenyataan.1
Film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikan, melainkan
juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik. Alasan-alasan
khusus mengapa seseorang menyukai film, karena adanya unsur dalam usaha
manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu, karena film tampak hidup
dan memikat. Hal ini merupakan sasaran utama bagi pembuatan film untuk dapat
menghasilkan produksi film yang dikemas dalam cerita-cerita yang menarik, dan
memasukkan nilai-nilai yang dapat memperkaya batin untuk disuguhkan kepada
masyarakat sebagai cerminan. Karena itu film dianggap sebagai suatu wadah
pengekspresian dan gambaran tentang kehidupan sehari-hari.
Dalam seni peran, unsur bahasa memang menjadi unsur utamanya. Proses
komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai
1
Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana,
Indonesia 1996) h. 10
3
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,
kial, isyarat, gambar, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu
menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
Bahwa bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi karena hanyalah
bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah
itu yang berbentuk ide, informasi, atau opini, baik mengenai hal yang berbentuk
konkret maupun abstrak.2
Dalam prakteknya komunikasi merupakan proses penyampaian pesan
dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa
ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sebagainya yang dilakukan
seseorang kepada orang lain, baik langsung atau secara tatap muka maupun tak
langsung melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, atau
perilaku. Lambang (simbol) bermakna dioperasikan dalam proses komonikasi
antar partisipan. Jika antar partisipan terdapat kesesuaian pemahaman tentang
simbol-simbol tersebut, tercapai suatu keadaan yang bersifat komunikatif. Dalam
proses ini terdapat simbol-simbol verbal (bahasa, baik lisan maupun tulisan) dan
simbol-simbol non verbal (gerak anggota tubuh, gambar, warna dan berbagai
isyarat yang tidak termasuk kata-kata tau bahasa). Sebagai simbol non verbal,
gambar dapat dipergunakan untuk menyatakan pikiran atau perasaan.
Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa ilmu yang mengulas tentang
tanda-tanda adalah semiotik. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda.
Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, Indonesia 2003) h. 33
4
dalam mencapai efek yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah
gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang
serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotik yang lebih
penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tandatanda yang menggambarkan sesuatu. Tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam
film mengisyaratkan pesan kepada penonton.
Bicara tentang film, TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI)
sebagai wadah perfilman telah berhasil memadukan antara seni peran, seni sastra,
dan seni musi. Film dengan judul “3 DOA 3 CINTA” ini telah berhasil menjadi
film kolaborasi yang mampu memikat penontonnya dalam alur cerita.
Film “3 DOA 3 CINTA” yang diproduksi TriXimages dan Investasi Film
Indonesia (IFI) bercerita tentang persahabatan 3 remaja yang diperankan oleh
Nicholas Saputra dan pendatang baru, Yoga Pratama dan Yoga Bagus. Film “3
DOA 3 CINTA” mengisahakan kehidupan 3 santri remaja di suatu pesantren di
sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka bertiga punya rencana dan cita-cita
sendiri sesudah lulus dari pesantren. Namun diawali dengan pertemuan Huda,
yang diperankan oleh Nicholas Saputra dengan Dona Satelit, seorang penyanyi
dangdut keliling, yang diperankan oleh Dian Sastro, peristiwa demi peristiwa
terjadi dan mengubah jalan hidup mereka. Dalam film ini juga terdapat potret suka
duka kehidupan di sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta,
ibadah dan nilai kemanusiaan.
Film ini tergolong film yang cukup sukses dalam menggambarkan dunia
Islam, terkhusus dunia pesantren. Dalam film ini memuat gambaran yang cukup
5
gamblang mengenai Islam dan dunia pesantren. Hal ini menjadi sangat penting
mengingat beberapa peristiwa yang membuat citra Islam semakin terpuruk di
mata dunia. Karena tentu saja kita berkepentingan membersihkan citra Islam di
dalam pergaulan internasional.
Dalam film ini banyak adegan yang melukiskan secara visual bagaimana
Islam disimpangkan dari garisnya dan disalah pahami, serta dengan cerdik
menyisipkan kritik dan kearifan nilai-nilai moral Islam.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas penulis
bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Analisis Semiotik Film 3 DOA 3
CINTA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi penelitian ini
dengan hanya menganalisis nilai-nilai moral yang terkandung dalam film “3 DOA
3 CINTA” dengan menggunakan semiotik. Adapun penelitian ini menggunakan
analisis semiotik model Roland Barthes, karena menurut Barthes semua objek
kultural dapat diolah secara tekstual. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti
bermacam-macam teks seperti berita, film, fashion, fiksi, dan drama. 3
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana makna denotasi, konotasi, mitos dan dalam film “3 DOA 3
CINTA”?
b. Bagaimana makna judul film 3 DOA 3 CINTA?
c. Apa pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3 CINTA”?
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 123
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam
film “3 DOA 3 CINTA”.
b. Mengetahui makna judul film 3 DOA 3 CINTA.
c. Mengetahui pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3
CINTA”.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini merupakan suatu terapan teori semiotik dalam studi
filmologi yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan studi Ilmu Komunikasi, khususnya studi tentang film.
b. Manfaat Praktis
Penulis mengharapkan penelitian ini akan dapat membuka cakrawala
audiens untuk memaknai pesan dalam film, dapat menghargai sinema
Indonesia dan lebih kritis dalam memilih film yang bermutu.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah bersifat
kualitatif. Jenis penelitian ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya
interpretasi-interpretasi alternatif. Maksudnya setiap orang memiliki pemaknaan
terhadap film berbeda.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik.
Analisis semiotik digunakan untuk dapat mengetahui makna yang terkandung
dalam bentuk verbal dan non verbal. Semiotik diterapkan pada tanda-tanda
7
simbol, lambang, yang tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu
hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan audience-nya. Audience itulah
yang menghubungkan tanda (significant) dengan apa yang ditandakan (signifie)
sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis atau prediksi. Studi ini menelaah makna pesan moral dalam film “3
DOA 3 CINTA” yaitu menganalisis pesan moral dan kritik sosial dalam berbagai
adegan yang ditampilkan.
1. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan dengan beberapa teknik
yang saling mendukung sattu sama lain, yang diperoleh dari:
Data Primer:
Yaitu data yang diperoleh dari hasil analisis semiotik tiap adegan yang
mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”.
Data Sekunder:
Yaitu data bersumber pada berbagai referensi seperti buku, film, jurnal,
dokumen, media internet, dan terbitan lain yang ada relevansinya dengan masalah
penelitian.
2. Objek Penelitian
Film yang dikaji dalam penelitian ini disebut sebagai film drama karena
mengungkapkan suatu jalinan cerita, yang dimainkan oleh manusia dengan unsur
drama dalam cerita tersebut. Di dalam cerita ini akan diteliti bagaimana pesan
moral yang disiratkan melalui film. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan
objek adalah setiap adegan yang mengandung pesan moral dalam film “3 DOA 3
8
CINTA” dengan menggunakan analisis semiotik. Simbol-simbol itu pada film
dipresentasikan melalui penampilan (appearance) perilaku tokoh dalam film.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik
yang saling mendukung satu sama lain, yang diperoleh dari:
a. Dokumentasi
Teknik ini merupakan pengumpulan data sekunder mengenai objek dan
lahan penelitian yang didapatkan dari sumber tertulis, seperti arsip, dokumen
resmi, tulisan-tulisan yang ada pada situs internet, dan sejenisnya yang dapat
mendukung analisa penelitian tentang film 3 Doa 3 Cinta.
b. Observasi
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan film sebagai alat utama untuk
mengkaji objek penelitian. Penelitian dilakukan dengan mengamati dan
menganalisis makna dan simbol-simbol yang terdapat pada film tersebut. Dari
hasil pengamatan tersebut akan dilanjutkan dengan mempresentasikan adegan
yang mengandung makna moralitas.
c. Wawancara
Wawancara adalah percakapan antara periset atau seorang yang berharap
mendapatkan informasi yaitu orang yang diasumsikan mempunyai informasi
penting tentang suatu obyek.
Adapun narasumber yang diwawancarai adalah sutradara Film “3 DOA 3
CINTA” yaitu (Nurman Hakim). Wawancara dalam penelitian kualitatif yang
disebut sebagai wawancara mendalam (depth interview) atau wawancara secara
9
intensif (intensive interview) dan kebanyakan tidak berstruktur. Tujuannya untuk
mendapatkan data kualitatif yang mendalam.4
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dengan analisa secara kualitatif berdasarkan data yang diperoleh dari
tiap adegan yang mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3
DOA 3 CINTA”.
Dalam menganalisis data di sini penulis menggunakan sistem milik
Roland Barthes yang memfokuskan tanda pada peran audience. Sistem yang
dikembangkan oleh Barthes adalah sistem “konotasi dan denotasi”. Kata konotasi
berasala dari bahasa latin ‘connotare’ menjadi ‘tanda’ dan mengarah kepada
makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan bentuk lain
dari komunikasi). Konotasi melibatkan simbol-simbol historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional, sehingga walaupun konotasi merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Sistem konotasi merupakan sistem tingkat kedua, dimana penanda dan
petanda pada denotasi menjadi penanda yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya.
Sedangkan, denotasi menunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari kata-kata
dan fenomena yang lain, Denotasi dan konotasi menguraikan hubungan antara
signifier dan referent nya. Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai
definisi secara literal atau nyata. Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya
dan assosiasi personal.5
4
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi. 2006, Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 96.
5
www.Aber.Ac.Uk. Artikel diakses pada 17 maret 2010
10
Dalam penelitian ini, analisis akan dilakukan dalam dua tahap: Tahap
pertama; adalah melakukan kajian dengan melibat tanda-tanda di dalam unsur
film yang terdapat di dalamnya. Tahap kedua; menarik kesimpulan berdasarkan
atas analisis semiotik yang dilakukan pada tahap pertama.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis
dan ternyata belum ada mahasiswa/i yang meneliti tentang judul ini. Hanya ada
beberapa mahasiswa/i yang menggunakan konsep penelitian analisis semiotik
terhadap foto, poster, iklan, film antara lain:
Analisis Semiotik Pada Poster HIV/AIDS di Yayaasan Pelita Ilmu,
disususn oleh Nama: Ranita Erlianti Harahap NIM: 104 0510011920 Tahun:
2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah poster dengan
menggunakan metode Gillian Dyer, Torben Vestergard, dan Judith Williamson.
Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotik Karya
Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id) disusun Nama: Fatimah NIM:
104051101942 Tahun: 2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah
foto dengan menggunakan metode semiotik Roland Barthes.
Analisis Semiotik Film Animasi UPIN dan IPIN, disusun oleh Nama:
Akhmad Bayhaki NIM: 105051001885 Tahun: 2009. Dalam penelitian tersebut
objek yang diteliti adalah film animasi dengan menggunakan metode semiotik
Jhon Fiske.
Dari beberapa skripsi tersebut di atas dan di Fakultas Dakwah belum ada
mahasiswa/I yang meneliti tentang film “3 DOA 3 CINTA” dengan menggunakan
semiotik Roland Barthes.
11
F. Sistemika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab. Di mana masing-masing bab
dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Yang memuat latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian serta
sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Bab ini memuat pengertian Semiotik; konsep semiotik, konsep
semiotik Roland Barthes, Pengertian Film; konsep film, sejarah
film, perfilman di Indonesia, fungsi film, karakteristik film, jenisjenis film, unsur-unsur pembentuk film, sinematografi, struktur
film, Pesan Moral
BAB III
PROFIL FILM 3 DOA 3 CINTA
Bab ini menggambarkan secara umum Film 3 DOA 3 CINTA,
Sinopsis Cerita serta para pemain dalam film 3 DOA 3 CINTA.
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Bab ini memuat Hasil Analisis Semiotik yang terkandung dalam
film 3 DOA 3 CINTA.
BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.
Kemudian bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan LampiranLampiran.
12
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Semiotika
1.
Konsep Semiotika
Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan
semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata
Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau „sign‟ dalam bahasa Inggris itu adalah
ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan
sebagainya.1
Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika
mempelajari
sistem-sistem,
aturan-aturan,
dan
konvensi-konsensi
yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut berarti.2 Dalam pengertian yang hampir sama
semiotika
adalah
studi
tentang
bagaimana
bentuk-bentuk
simbolik
diinterprestasikan. Kajian ilmiah mengenai pembentukan makna.3 Secara
substansial, semiotika adalah kajian yang concern dengan dunia simbol.
Alasannya, seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal),
sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.4
1
Heru Effendy, Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka
Konfiden, 2008), cet, ke-6, h. 149
2
www.wikipedia.com, arti diakses pada 22 Mei 2010
3
James Lull, Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj). A.
Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. Kel-1, h. 232
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet-ke-4,
h. 140
12
13
Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena berkembang
sejak awal abad ke-20. Memang pada abad ke-18 dan ke-19 banyak ahli teks
(khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah yang berkaitan dengan
tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotis.5
Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdiand de Saussure di dalam
course in general linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai
bagian dari kehidupan sosial.6 Sedangkan semiotika tidak hanya meneliti
mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka,
tanda yang berhubungan secara keseluruhan.7
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan Saussure adalah lingustik sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).8
Ada dua gagasan besar tentang tanda yang umumnya dijadikan dasar bagi
penelitian semiotika, yakni gagasan tentang tanda menurut Ferdinand de Saussure
dan Charles Sanders Peirce Filsuf sekaligus ahli logika. Beberapa konsep dasar
dari pemikiran Saussure dan juga pengikutnya, termasuk Barthes, yaitu :
5
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 81
Yasraf Amir Piliang, Hipesemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, h. 123
8
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual: Metode Analisis Tanda dan Makna
Pada karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2008), ke-2, h. 11
6
14
1)
A signifier (significant) forma atau citra tanda tersebut, misalnya:
tulisan di kertas, atau suara di udara. Atau dengan kata lain, wujud fisik
dari tanda.
2)
The signified (signifie) konsep yang direpresentasikan atau konsep
mental.9
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau
petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan
bermakna.10 Sementara itu. Charles Sanders Peirce, manusia hanya dapat
berkomunikasi lewat sarana tanda.11
Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning).
Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang
terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda objek, pengguna tanda (interpertant).
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah
sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen
tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka muncullah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.12
9
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Gitanyali, 2004), cet, ke-1, h. 45
10
Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. Ke-2, h.
46
11
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 16
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Sesuatu Pengantar, h. 115
15
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat panyai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. 13 Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda
situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan
istilah “order of signification”.14
Two orders of singnification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan
pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan
second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup
penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna
denotasi.15
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antra
tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung , dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi
makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.16
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268
15
M. Atonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi, h. 56
16
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94.
14
16
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes :
1. Signifier
(Penanda)
2. Signified
(Petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
(PENANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika kita mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.17
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi
penyempurnaan semilogi Saussure, yang berhenti pada penandanaan dan tatanan
denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam isitlah tingkat
representasi. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai
berikut.18
17
18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 57
17
a.
Denotasi adalah interaksi antara singnifier dan signified dalam sign,
dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
b.
Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan
perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya
mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih
terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung
makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif.
Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna
referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah
kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu
di samping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga
makna konotasional, makna emosif, atau makna evaluatif.19
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.
Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi.makna denotasi adalah apa yang
kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculka
denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk
selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum
digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.
19
AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
(Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006), cet, ke-1, h. 27-28
18
Gambar 1. The Orders of Signification20
Form
Konotasi
Signifier
Denotasi
Signified
Mitos
Content
Reality
First Order
Signs
Culture
Second Order
Dalam gambar tersebut, tanda panah dari signified mengarah pada mitos. Ini
berarti mitos muncul pada tataran konsep mental suatu tanda. Mitos bisa
dikatakan sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi
memiliki potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai third
order of signification (istilah ini bukan dari Barthes), Barthes menyebut konsep
ini sebagai myth (mitos).21
Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.22 Mitos adalah yang berhubungan dengan kepercayaan primitif tentang
kehidupan alam gaib, yang timbul dari usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak
20
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 58
ibid, h. 58-60
22
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94
21
19
berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam
sekitarnya.23
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa
aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang
sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, Mislanya, mengenai hidup dan
mati, manusiaa dan dewa, dan sebagainya. Seedangkan mitos masa kini mislanya
mengenai feminitas, maskulinitas ilmu pengetahuan, dan kekerasan.24
Menurut Urban, mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami
realitas. Atau seperti kata Midnowski, mitos adalah suatu pernyataan purba
tentang realitas yang lebih relevan.25 Mitos dalam pandangan Lappe & Collins
dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya
bertentang dengan fakta. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu
adalah jenis „mitos modern‟.26
Sedangkan menurut Barhers, mitos adalah sebuah kisah (a story) yan
melaluinya sebuah budaya mejelaskan dan memahami beberapa aspek dari
realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita
dalam satu konteks budaya tertentu.
Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional
dan mitos mdoern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenal mengenal
gejela-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos (mythes) adalah
suatu jenis tuturan (a type of speech), sesutau yang hampir mirip dengan „re23
Pius A Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka,
1994)
24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128
25
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 222
26
Ibid, h. 224
20
presen-tasi koleksi di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi,
sebab ia membawakan pesan. Maka dari itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan
pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.27
B. Tinjauan Umum Tentang Film
1.
Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik
adalah selaput tipis yang teerbuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang
akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).
Sedangkan melalui kesepakatan sosial istilah film memperoleh arti seperti yang
secara umum dipahami yaitu lakon (cerita) gambar hidup atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan gambar hidup. 28
Sedangkan Menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunukasi massa pandang-dengar
yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid,
pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya,
dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan
sisten proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. 29
Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal
jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun,
selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang
27
28
Ibid, h. 224
Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997).
29
UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman. Bab 1, Pasal 1 Ayat 1.
Departemen Penerangan RI.
21
sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa
mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain.
Secara mendasar pengertian film yang menyeluruh memang sangat sulit
untuk dijelaskan. Namun baru dapat diartikan kalau dilihat dari konteksnya;
misalnya dipakai untuk potret negatif atau plat cetak. Film mengandung
pengertian suatu lembaran pita seluloid yang diproses secara kimia sebelum dapat
dilihat hasilnya; atau yang berhubungan dengan cerita atau lakon, film
mengandung pengertian sebagai gambar hidup atau rangkaian gambar-gambar
yang bergerak menjadi suatu alur cerita yang ditonton orang, bentuk film yang
mengandung unsur dasar cahaya, suara, dan waktu.
2. Sejarah Film
Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada
publik Amerika Serikat adalah film The Life of an American Fireman dan film
The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903.
Tetapi film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit
dianggap sebagai film cerita yang pertama, karena telah menggambarkan situasi
secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik. 30
Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam
sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature,
lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang kita kenal sebagai Hollywood.
Periode ini juga disebut sebagai the age of Grifith karena David Wark Grifith-lah
30
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 201.
22
yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The
Adventures of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birth of Nation (1915) serta
film Intolerence (1916).31 Grifith mempelopori gaya berakting yang lebih
alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan yang paling utama mengangkat
film sebagai media yang memiliki karakteristik yang unik, dengan gerakangerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik dan teknik
editing yang baik. Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan
Keystone Company-nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang
legendaris Charlie Chaplin.
Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di
Broadway, Amerika Serikat, muncul film bicara yang pertama meskipun belum
sempurna.
3. Perfilman di Indonesia
Dari sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar berjudul
Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada
tahun 1927/1928 Krueger Coorporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai
tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh.
Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda
dan China.
Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh
Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia, Saerun.
Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan
perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan
31
Ibid, h. 202
23
kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah
namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film untuk
media informasi dan propaganda. Namun tatkala bangsa Indonesia sudah
memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon
Eiga Sha diserahakan secara resmi kepada pemerintah Republik Indonesia.
Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak pemerintah Militer
Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI bersamaan
dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung
dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi
Perusahaan Film Nasional. 32
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana
status dan peranan film ditumbuhkan. Yang pertama, film dilahirkan sebagai
tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis
besar jasa hiburan di masa depan manusia kota. Yang kedua, film dicap „hiburan
rendahan‟ orang kota, namun sejarah membuktikan bahwa film mampu
melakukan kelahiran kembali untuk mampu menembus seluruh lapisan
masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan
budayawan. Bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri
Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film
personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni. 33
32
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 135-136
33
www.geocities.com/paris/7229/film.html. Artikel diakses pada 27 Mei 2010
24
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood
ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga
bersitegang. Masing-masing memiliki karakter sasaran pasar, festival, dan pola
pengembangannya sendiri. Sementara itu pada proses pertumbuhannya film
Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap
rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk
kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagi teknologi dan
unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan
rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik berupa seni rupa, teater,
sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuhnya film sangatlah
bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsurunsur seni dari film yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat
dicangkokan dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu
bersaing dengan teknologi media dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal
dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat
dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni
lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak
mendapatkannya dalam film. 34
34
Disarikan dari tulisan Garin Nugroho : "Krisis sebagai Momentum Kelahiran",
Kompas, Agustus 1991
25
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail
menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1990 jumlah produksi film nasional mencatat angka 112, pada tahun 1991 turun
menjadi 85 judul film, dan tahun 1992 mencapai angka di bawah 30, data-data
dari Sinematek Indonesia, yang masih rajin mencatat produksi film indonesia,
menunjukkan bahwa “keruntuhan” itu terjadi mulai tahun 1998. Tahun itu tercatat
hanya empat produksi film, sementara tahun-tahun berikutnya: 1999 tiga judul,
2000 tiga judul, dan 2001 empat judul. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat
27 judul, 1996: 15 judul, dan 1995: 12 judul. Jumlah itu tentu sangat tidak berarti
bila dibandingkan dengan produksi lebih dari 100 judul per tahun yang pernah
dicapai pada tahun-tahun sebelumnya. 35
Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun
1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi,
video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya
yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar beragam sekaligus saling
berhubungan, namun masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di
Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum
efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk
menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
36
Faktor yang
mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya
35
J. B. Kristianto, Film Indonesia dan Akal Sehat,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001)
Cet. 1 hal. 216
36
Nugroho, Garin, "Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan" Tempo, Mei
1993
26
kualitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak
memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Ada beberapa sebab mengapa film nasional kita terpuruk:
Pertama, soal selera dan apresiasi masyarakat kita sudah berubah.
Perfilman tahun 60-an dan 70-an masih begitu jaya. Kejayaan film-film pada era
tahun ini cukup logis karena masyarakat kita masih sederhana dan terpaan media
masih belum besar. Ketika dekade tahun 80-an, mulailah terpaan media begitu
gencarnya. Setiap orang hampir setiap hari membaca berbagai media massa.
Kemudian, dengan munculnya televisi swasta, sajian film-film layar lebar di
televisi sudah demikian memukau masyarakat. Masyarakat yang tadinya hanya
menikmati film-film nasional, seolah dikejutkan dengan budaya asing dengan
film-film Hollywood-nya.
Memang, sebelumnya kita sudah mengimpor film-film produksi India
yang dikenal dengan Bollywood. Dalam film-film Bollywood, masih terasa
tampilan budaya Asianya. Juga impor film-film kungfu Hongkong yang juga
masih ada nilai proximity-nya karena semata-mata berbasis Asia. Namun, begitu
film Hollywood mulai menggempur secara membabi buta, mau tidak mau film
kita bertekuk lutut.
Kedua, munculnya cineplek atau gedung bioskop kembar yang lebih
banyak menayangkan film-film asing. Dengan semakin tingginya intensitas
menayangkan film asing sesuai dengan kelonggaran pemerintah yang diberikan
27
kepada PT Subentra, maka film nasional pun semakin tersisih. 37 Akibatnya dapat
kita tebak, film nasional jadi tidak laku.
Ketiga, kurangnya SDM di bidang perfilman yang berkualitas.
38
SDM
perfilman yang seharusnya menerima estafet tongkat kepemimpinan dari para
sineas senior kurang tampak. Akibatnya SDM di bidang film kita habis.
Sementara, yang masih muda ada banyak hambatan baik yang besifat birokrasi
maupun freme film yang umumnya film mayor.
Terakhir adalah film yang hanya dipandang sebagai komoditas industri.
Padahal sebagai satu bentuk seni, seharusnya film tidak melulu dikaitkan dengan
bisnis. Di sini terlihat sekali, karena film dibebani tugas mencari keuntungan bagi
produsernya maka beban yang berat ini justru mematikan film itu sendiri.
Kemunculan film indie tidak lain merupakan reaksi atas kekuasaan kaum
pengusaha terhadap para seniman film. di mana mereka merasa begitu
beranggapan bahwa para sineas muda yang memang tidak punya modal untuk
membuat film. Padahal, sebagai seni film bisa diekspresikan dengan berbagai cara
dan bentuk yang berbeda pula.
4. Fungsi Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
adalah ingin mendapatkan hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung
fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan
misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain media hiburan, film
37
www.scribd.com/doc/18681861/Film-in-Die-Indonesia artikel diakses pada 15 juni
2010
38
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 238.
28
nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda
dalam rangka nation and character building. 39
Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi filmfilm sejarah yang objektif, atau film dokumenter, dan film yang diangkat dari
kehidupan sehari-hari secara berimbang. 40
5. Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar
lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 41
a. Layar yang luas / lebar
Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media
film adalah layarnya yang berukuran luas. Meskipun saat ini ada layar televisi
yang berukuran jumbo, itu digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di
ruangan terbuka, seperti pada pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang
luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan
yang disajikan dalan film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film
di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolaholah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.
b. Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot
dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan
panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut
39
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3 h. 227
40
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 136
41
Ibid, hal. 136-138.
29
dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga
film menjadi lebih menarik. Perasaan kita akan tergugah melihat seseorang
(pemain film) sedang berjalan di gurun pasir pada tengah hari yang amat panas.
Manusia yang berjalan tersebut terlihat bagai benda kecil yang bergerak di tengah
luasnya padang pasir. Di samping itu, melalui panoramic Shot, kita sebagai
penonton dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang
cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum
pernah berkunjung ke tempat tersebut. Misalnya, kita dapat mengetahui suasana
sekitar menara Eiffel di Paris, air terjun Niagara di Amerika Serikat dan lain-lain.
Sebaliknya, pengambilan gambar pada televisi lebih sering jarak dari jarak dekat.
c. Konsentrasi penuh
Saat kita menonton film di bioskop, kita akan mengalami suasana yang
berbeda dibandingkan dengan saat kita menonton televisi di rumah. Di dalam
bioskop kita semua terbebas dari gangguan hiruk-pikuk suara diluar karena
biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara
pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita
juga terbawa oleh suasana.
d. Identifikasi Psikologis
Penonton dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah
membuat pikiran dan perasaannya larut dalam cerita yang disajikan. Karena
penghayatan para penonton yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar
mereka menyamakan (mengidentifikasikan) pribadinya dengan salah seorang
pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah dialah yang sedang berperan. Gejala
ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.42
42
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikas, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2003) Cet. Ke-3 hal. 207
30
6. Jenis-jenis Film
Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film
dokumenter, dan film kartun.
a. Film Cerita
Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita
yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar
dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat
menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang
dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari
segi gambar yang artistik.
b. Film Berita
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada
publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah
penting dan menarik. Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya
terekam secara utuh.
c. Film Dokumenter
Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty
sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”.
Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter
merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
d. Film Kartun
Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan
utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya
31
adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung
unsur-unsur pendidikan di dalamnya. 43
7. Unsur-Unsur Pembentuk Film
Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur
naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan
diolah, berhungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur
seperti: tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik
adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita unsur naratif adalah
perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik
merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.44
Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni:
a. Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera.
b. Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta
hubungan kamera dengan objek yang diambil.
c. Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.
d. Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui
indera pendengaran.
Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur drramatik dalam
istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk
melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain:
konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik adalah suatu pertentangan yang
terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense adalah
43
Elvinaro Ardianto, lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa, suatu pengantar
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media) h. 138-140
44
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 1-2
32
ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan
selanjutnya. Curiosity adalah rasa ingin tahu atau penasaran penonton terhadap
jalannya cerita sehingga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai.
Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit
ditebak. Perasaan surprise pada penonton timbul karena jawaban yang mereka
saksikan adalah di luar dugaan. Efek surprise ini bisa membuat penonton senang,
bisa juga kecewa atau sedih. 45
8. Sinematografi
Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-en-scene telah
tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, pada tahap inilah
unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi
menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera
dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok
filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan
sebagainya.
Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil,
seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera
dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah objek
diambil gambarnya oleh kamera. 46
Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam
sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of shot), yaitu47 :
45
Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo, 2004) cet. Ke-3,
h. 100-103.
46
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008) h. 89.
47
Ibid, h. 104-106
33
a. Extreme long shot
Extreme long shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari
obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya
untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama
yang luas.
b. Long shot
Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar
belakang masih dominan. Long shot sering digunakan sebagai estabilising shot,
yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.
c. Medium long shot
Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.
Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang.
d. Medium shot
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.
Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam
frame.
e. Medium close-up
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok
tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan
percakapan normal biasanya menggunakan jarak medium close-up.
f. Close-up
Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah obyek kecil
lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta
34
gestur yang mendetil. Close-up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang
lebih intim. Close-up juga memperlihatkan mendetil sebuah benda atau obyek
g. Extreme close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian
dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah
obyek.
9.
Struktur Film
Seperti halnya sebuah karya literatur yang dapat dipecah menjadi bab
(chapter), alinea, dan kalimat, film jenis apapuun, panjang atau pendek, juga dapat
memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi unsurunsur sebagai berikut 48 :
a. Shot merupakan unsur terkecil dari film, yakni proses perekaman gambar
atau perekaman gambar (satu kali take) sejak kamera diaktifkan (on)
hingga dimatikan (off). Dalam novel shot bisa diibaratkan satu kalimat.
Sekumpulan shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan.
Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot. Satu shot dapat
berdurasi kurang dari satu detik, beberapa menit, bahkan jam.
b. Scene (Adegan) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang
memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang,
waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya
terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita
terdiri dari 30-35 adegan.
48
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29-30
35
c. Sequence (Sekuen) adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu
rangkaian peristiwa yang utuh. Atau sequence adalah sebuah rangkaian
adegan.49 Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling
berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diibaratkan bab atau
sekeumpulan bab. Film cerita biasanya terdiri dari 8-15 sequence.
C. Pesan Moral
Istilah pesan dalam bahasa Inggris message berasal dari kata latin yaitu
message yang bersumber dari kata yang berarti perintah, nasehat, permintaan,
kata-kata, lambang, ide, amanat yang harus disampaikan atau dilakukan kepada
orang lain. 50
Akan tetapi, pengertian pesan yang dipaparkan di atas bersifat mendasar,
dalam arti kata bahwa pesan itu adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat
pengantar yang dapat menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif
yaitu pesan-pesan berjalan dengan struktur yang melalui komunikator dan
diterima oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan
keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain. 51
Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu efektifitas
suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain komunikator dan
komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa adanya komunikasi pesan,
maka tidak pernah terjadi komunikasi yang jelas antar manusia. 52
49
Heru Effendy, Mari Membuat Film; Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka
Konfiden, 2008) cet. Ke-6, h. 149
50
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), cet. Ke-9, h. 761
51
James G. Robinson, Komunikasi yang Efektis, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
1986), cet.ke-3 h. 35
52
M. Jamaluddin Piktoringa, Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005),
cet.ke-1, h. 1
36
Menurut beberapa ahli, pesan mempunyai macam-macam arti. Pesan
dapat diartikan sebagai lambang, ide, kata, atau isi pernyataan. Menurut Hoeta
Soehoet, pesan adalah isi pernyataan yaitu hasil penggunaan akal budi yang
disampaikan manusia kepada manusia lain. Artinya berfungsi untuk mewujudkan
isi pernyataan dari bentuknya yang abstrak menjadi konkret. Dari berbagai
definisi yang telah disebutkan, meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan
dapat disimpulkan bahwa pesan merupakan suatu isi pernyataan yang
mendatangkan makna dan respon tertentu.
Sebenarnya suatu pesan tidak hanya sebatas menstimulasi emosi
khalayak. Pesan dapat pula dikatakan persuasif manakala menyentuh rasio
khalayak. Bahkan pesan yang disampaikan tidak hanya menyentuh ratio khalayak
tapi juga dapat mengajak khalayak untuk menjadi sesuatu yang lebih baik.
Dengan demikian pesan akan dapat menghasilkan respon tertentu
seandainya dirancang dengan baik. Untuk itu pesan hendaknya mengoptimalkan
lambang komunikasi yang tersedia (verbal, non-verbal dan paralinguistik) yang
disesuaikan dengan topik yang dikomunikasikan. Saluran komunikasi yang
digunakan dan khalayak yang dituju. Selain itu, pesan yang dirancang biasanya
merupakan refleksi dari prilaku khalayak yang dituju, sehingga diharapkan
merupakan hasil pengkondisian dari sumber. 53
Dalam penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan pada khalyak adalah
pesan yang mengandung nilai-nilai moral. Pesan moral merupakan suatu materi
atau gagasan mengenai ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan
yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya.
53
Ibid, h. 4
37
Sebagaimana tema, pesan moral hanya dapat ditangkap melalui
penafsiran cerita. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk praktis mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah
laku, dan sopan santun pergaulan. Sutradara atau pembuat film ini menyampaikan
semua hal tersebut di atas melalui penampilan tokoh-tokoh cerita.
Sebenarnya yang dimaksud dengan moral menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
54
Dan
menurut istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. 55
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang mulai
berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus tidak dilakukan.
Seseorang akan bertindak dengan alasan-alasan tertentu dan tidak dikendalikan
oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional, alasannya pun harus
operatif. Jadi, tidak sekedar rasional semata. Pada intinya, setiap orang harus
mampu bertindak sebagai makhluk yang bermoral. 56
Menurut pandangan Rest, moralitas mencakup makna yang begitu luas,
antara lain:
a. tingkah laku membantu orang lain;
b. tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial;
c. timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya;
d. penalaran tentang keadilan, dan
e. memperhatikan kepentingan orang lain. 57
54
W.J, S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Rajawali Press, 1980),
cet.II, h. 654.
55
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), cet.V, h. 93.
56
Cheppy Haricahyono, Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Pres,
1995), h. 67.
57
Ibid, h. 210.
38
Moralitas sering diartikan juga sebagai norma dan perilaku dalam
masyarakat yaitu anggapan mengenai perilaku yang baik dan buruk. Perilaku
sosial yang baik (positif) disebut sebagai perilaku prososial. Sedangkan perilaku
sosial yang buruk (negative) disebut perilaku antisosial.
Uraian ini menjadi suatu acuan khusus dalam seluruh penelitian ini.
Berbagai pesan moral tersirat dan tersurat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. Dan
penggalian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik ala
Roland Barthes.
39
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA
A. Sekilas Tentang Film 3 DOA 3 CINTA
Pada bulan September 2008 dunia perfilman nasional kembali diramaikan
dengan kehadiran Film “3 DOA 3 CINTA”, yang kembali mempertemukan dua
bintang muda berbakat Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo setelah debut
awal mereka di AADC.
Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection
competition di Pusan International Film Festival di Korea. Artinya Film “3 DOA
3 CINTA” akan mendapat kehormatan untuk ditayangkan perdana atau world
premier di Korea pada bulan Oktober 2008.1
Tentu saja ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri untuk film yang
proses penggarapan skenarionya memakan waktu lebih dari 3 tahun. 2 Bahkan
skenario film ini berhasil mendapatkan script development grant dari Global Film
Initiative di San Francisco, Amerika Serikat, Goteborg International Film Festival
Fund dari Swedia dan Fonds Sud Cinema dari Perancis. Pada bulan Mei 2008, “3
DOA 3 CINTA” diundang ke Cinema du Sud di Cannes Film Festival di Perancis
dimana film ini diputar di depan para produser, sutradara dan distributor film
internasional.3
1
http://www.bangadang.com/perspektif/resensi/95-3-doa-3-cinta-toleransi-dari-pesantren
artikel diakses pada 25 februari 2010.
2
Hasil Wawancara dengan Nurman Hakim, Sutradara, Penulis Skenario, Produser Film 3
Doa 3Cinta, pada 20 Juni 2010. Pukul 19.00 WIB.
3
http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/3-doa-3-cinta-tampilkan-sisi-humanismepesantren-z9otddx.html artikel diakses pada 25 februari 2010.
39
40
Film “3 DOA 3 CINTA”, yang merupakan film layar lebar karya dari
sutradara muda, Nurman Hakim. Film ini juga didukung oleh Butet Kartaredjasa
dan Jajang C. Noer. “3 DOA 3 CINTA” adalah potret suka duka kehidupan di
sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah dan nilai
kemanusian. Di film ini kita bisa lihat bagaimana Nicholas Saputra begitu
menjiwai perannya sebagai seorang santri yang jatuh hati dengan penyanyi
dangdut keliling, yang diperankan dengan sangat apik oleh Dian Sastro.
Film “3 DOA 3 CINTA” adalah film yang bercerita tentang proses
pendewasaan atau ”coming of age” santri yang dididik secara Islam dalam
memahami kehidupan di luar pesantren. Film “3 DOA 3 CINTA“ merupakan
produksi TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI). TriXimages telah
memproduksi antara lain ”Bendera” dan terakhir ”The Photograph” di tahun 2007.
IFI sendiri telah memproduksi Coklat Stroberi (2007), Radit dan Jani (2008) dan
terakhir Coblos Cinta (2008).
Setelah world premiere pada bulan Oktober lalu, di Pusan International
Film Festival, Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection
competition di Dubai International Fim Festival yang akan diselenggarkan pada
tanggal 9-18 Desember 2008. Film “3 DOA 3 CINTA” terpilih dari sekitar 1800
film yang diterima oleh panitia festival.4 Hal ini merupakan suatu kebanggaan
tersendiri, karena sebelum film ini release di Indonesia sudah berhasil lolos dalam
berbagai festival film di mancanegara.
4
http://www.ifi.co.id/id/news/49-film-3-doa-3-cinta-di-dubai-film-festival.html aritkel
diakses pada 25 februari 2010.
41
B. Sinposis Film 3 DOA 3 CINTA
Ini cerita tentang tiga sahabat, Huda, Rian dan Syahid, tiga remaja yang
tinggal di pesantren di sebuah kota kecil yang terletak di daerah Jawa Tengah.
Mereka punya rencana dalam hidup mereka masing-masing setelah lulus dari
pesantren dan SMA sebulan lagi. Mereka memiliki sebuah lokasi rahasia, sebuah
dinding tua di belakang pesantren, di mana mereka menulis harapan-harapan
mereka di dinding. Hingga sebuah situasi merubah hidup mereka.
Huda (Nicholas Saputra), ingin mencari ibunya yang kabarnya berada di
suatu tempat di Jakarta. Huda bertemu dengan Dona Satelit (Dian Sastrowardoyo)
seorang penyanyi dangdut pemula yang sangat seksi ketika di panggung dan
terobsesi menjadi bintang terkenal di Jakarta. Diantara mereka tertanam benihbenih asmara. Rian (Yoga Pratama) santri dari suatu kota besar. Dia mendapatkan
sebuah kado handycam dari ibunya pada saat ulang tahunnya. Rombongan pasar
malam terutama layar tancap yang kebetulan sedang singgah di desa itu membuat
Rian semakin obsesif terhadap kamera. Rian ingin melanjutkan usaha Ayahnya.
Syahid (Yoga Bagus), berasal dari keluarga miskin. Ayahnya sakit keras. Syahid
merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya yang akan memberikan
dampak bagi kedua temannya. Bagaimana kehidupan mereka bertiga dan
terwujudkah segala impian dan harapan mereka yang pernah mereka tulis di
tempat rahasia itu?
42
C. Para Pemain dan Team Produksi FILM 3 DOA 3 CINTA
Director NURMAN HAKIM
Producers NAN ACHNAS, NURMAN HAKIM, ADIYANTO SUMARJONO
Executive Producers NAN ACHNAS, ADIYANTO SUMARJONO
Co-Executive Producer CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE, MADIYAN
SAHDIANTO, SENDI SUGIHARTO, TIARA DHARANI JOSODIRDJO
Story and Screenplay NURMAN HAKIM
Cast
Huda
Dona Satelit
Rian
Syahid
Kyai Wahab
Farokah
Fatimah
Zamroni
Zaki
Wulan
Toha
Uztad Anas
Munif
Kyai Ridwan
Uztad Garis Keras
George Smith
Santri Kecil
Sumardi
Ningsih (Ibu Rian)
Penjaga Kubur
Ibu Pemilik Warung
Perempuan ABG
Dokter
Polisi 1
Instruktur Latihan Perang
Santriwati Cantik
Pacar Ibu Rian
MC Dangdut
Zainal
NICHOLAS SAPUTRA
DIAN SASTROWARDOYO
YOGA PRATAMA
YOGA BAGUS SATATAGAMA
BROHISMAN
HESSA NURHAYATI
DIAH ARUM
DAVID ARI WIBOWO
ANDREAS PRAMUDYA W
JAJANG C.NOOR
BUTET KARTAREDJASA
JOHAN EKSPRESI
ARFIAN PUNGKY WIBAWA
YUSUF
DOUBLEH ZULKARNAEN
DUGEL
BAGUS WIBOWO
MEMED JANTAN AUGUST
BETIDO
MASROOMBARA
NINA ARTHA
ELY MARLIANA
YUDI SANDIKA
TUNJUNG SATRIYA
DONI SUWUNG
S.ANGREINI
ALFRED BETIDO
TONI ALKAUTSAR
WAHYU GOGON
Extras
Kuniarto Mayko Purnama, Rama, Husni ISI, Eko Nova, Dicky, Eko Yogya, Indra,
Rocky, Krisna, Doni Suwung, Anouk Wilke,, Ruben Panging, Ulin Yahya,
Aditya, Eka Pegrianto, Daniel Bramanto, Singgih Hermawan, Coki Bayu W,
Dedy Kurniawan, Antoni, Eijda Setiaji, Aprian Syahputra. Nunit, Retno, Nur
43
Laifatul, Rizka M., Auliya, Nurul Hidayati, Windhar, Ayu S., Noviyana, Pijianti,
Sri Maryati, Fatma, Hesti, Usna, Bunga, Novalin, Rizki A., Nugraheni, Anggi Lis
Fitrianingsih, Sonya, Aulia Elhaq, Antok, Rohmat, Koko, Yuli, Hasan, Fajar,
Wahyu, Nopan, Harwanto, Iis, Adi, Hadi, Agus, Bgle, Sugeng, Angki, Komar,
Sumar, Surojo, Lilik, Kuni, Yudi, Rama, Nonot, Pipit, Nunu, Dwi.P., Eko, Kris,
Nasli.
Assistant Producer SULUNG LANDUNG
Production Manager TRIYAS SANDIYATI GUNTUR
Art Director TJ YOEWONO
Director Of Photography AGNI ARIATAMA
Editor SASTHA SUNU
Unit Manager First Assistant Director WICAKSONO WISNU LEGOWO
Second Assistant Director ULIN YAHYA
Script Continuity & Digital Image Technician TIKA INDRAPUTRI
Production Assistants AJENG NURUL AINI, NOVIAR EKA PUTRA General
Helper RUDY WAHONO ABIYOSO
Camera Assistant SUGIARTO PRASETYO
Clapper GALIH FAJAR KUSUMA
Gaffer YATSKI HIDAYAT A.
Lightingmen HARIS RIESKY AFRIEZA
Lightingmen Apprentice TAKDIR SYAHBANA
GALANG GALIH
Generator Set Operator RULLY
Sound Recordist HADRIANUS EKO SUNU
Boomer JANTRA SURYAMAN
Boomer Apprentice HARVANDO DAFNE
Assistant to Art Director YUDI MARYADI
Prop Masters ANDRI V.W.
Art Crew ARIS TETET, BAMBANG EMPRIT, MUL CACING, KRIS
GAMPING, YOYO JENGGOT
Art Crew Apprentices, RISKY J.P., EDI WIBOWO
Make-up/Hair Stylist/Wardrobe, TANTY S. KARYAATMAJA
Assistants to Make-up/Hair/Wardrobe, APRILIA TRI.W, AYOU CALEDA
Location manager, ANDRI BUDYANTORO
Talent Coordinator, ULIN YAHYA
Legal Advisor THOMAS ADIYARSO
Finance Director IKA GAYATRI
Finance Staff ARIF BUDIARKO, BARBARA SARI
Publicist, DAVID MANDANG LULU UTAMI NINGRUM
Drivers, Abai, Anjar, Hadi Sugito, Tris, Zaini, Aris, Yono, Bagio, Rodj
Assistant Sound Editor, HADRIANUS EKO SUNU
All Music, Composed, Arranged and Performed by, DJADUK FERIANTO
Studio Music, KUAETNIKA
Sound Music Engineering, Gendel
44
D. Profile Nurman Hakim sebagai Sutradara Film “3 DOA 3 CINTA”
Penulis dan Sutradara Film 3 DOA 3 CINTA adalah Nurman Hakim.
Nurman Hakim memulai debutnya sebagai sutradara, produser dan penulis
program televisi. Lahir di Demak, Jawa Tengah dan semasa sekolah ia juga
pernah tinggal di pondok pesantren di daerah Semarang. Pria yang lulus dari
Fakultas Film dan Televisi-Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ) ini juga telah
banyak menyutradarai film pendek. Beberapa karyanya antara lain Sebelum Senja
(2001), Topeng Bayangan (2005), Tembang Sunyi Seorang Lelaki ( 2002), dan
pada tahun 2003 salah satu karyanya yang berjudul “Seribu Kali Dunia” juga
berhasil memenangkan Festival Film Independent. Saat ini ia aktif sebagai
pengajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta.
45
BAB IV
ANALISIS DATA FILM 3 DOA 3 CINTA
A.
Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos Film 3 DOA 3 CINTA
Film 3 DOA 3 CINTA adalah film dengan latar belakang sebuah pesantren
kecil yang terletak di Jawa Tengah, persisnya berlatar di Yogyakarta. Karenanya,
banyak berbicara mengenai tradisi pesantren dan seluk-beluknya. Dari mulai
perbincangan yang ringan mengenai hubungan pertemanan sesama santri hingga
menyentuh isu terorisme yang belakangan dilekatkan kepada Islam, terkhusus
pesantren. Entahlah, kita akan lihat, apakah sang sutradara memang berpretensi
mengurai kehidupan pesantren dengan segala pernak perniknya, atau hanya
bercerita tentang pesantren tetapi hendak menyampaikan sesuatu yang lain. Inilah
pentingnya analisis semiotik.
Pesantren, dalam sebuah analisis semiotik, kini adalah sebuah penanda
(signifier). Pesantren adalah aspek materialnya, sedang apa yang ditunjuknya atau
petandanya adalah apa yang diceritakan dalam film 3 DOA 3 CINTA ini. Penulis
ingin memulainya dengan cara demikian, sedemikian rupa hingga mampu
menguraikan apa yang tersirat dan apa yang tersurat dalam teks, atau film ini.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah beruratakar dalam tradisi Islam Indonesia. Peran pesantren tidak diragukan lagi teramat
besar di sepanjang sejarah Indonesia. Pesantren juga telah ikut membentuk
struktur sosial-keagamaan yang sangat berpengaruh. Trikotomi santri-priyayi-
45
46
abangan yang dipopulerkan oleh C. Geertz1 sangat bermanfaat dalam berbagai
bidang penelitian ilmiah.
Kata “santri” juga bukan hanya berarti seseorang atau sekelompok orang
yang sedang mempelajari ilmu agama, tapi telah menjadi idiom kultural yang
berarti suatu kelompok sosial yang preferensi tindakannya bersifat relijius.
Pengertian ini tentu saja bersifat longgar dan tidak seperti asumsi dalam penelitian
sosial yang ilmiah, tapi sebagai penanda yang mengarah pada sebuah kelompok
sosial tersendiri dengan tradisi dan budaya yang khas.
Golongan santri adalah sekelompok orang yang dianggap mumpuni dalam
membincang soal-soal keagamaan. Kelompok ini adalah kelompok sosial yang
paling getol menjalankan perintah agama, dan sekaligus menyampaikan dakwah
kepada masyarakat awam. Karenaya, kelompok ini juga menikmati prestise sosial
karena kemampuannya di bidang agama.
Tapi, analisis semiotik a la Roland Barthes tidak berhenti pada apa yang
kasat mata. Kajian semiotika budaya yang dikembangkan pemikir Perancis ini
adalah pisau bedah yang terus memeriksa ke dalam jantung kebudayaan,
menelaah cara kerja sebuah tanda (sign), mempersoalkan makna yang terlanjur
dianggap natural, menunjukkan terjadinya distorsi makna, dan menelanjangi
motifnya yang terselubung. Kata-kata dan objek memiliki ketidakjujuran yang
senantiasa tampak alami di mata para konsumernya, seakan-akan apa yang
diujarkan itu abadi, benar, penting, ketimbang arbitrer, buatan dan bersifat relatif.
1
1976, h. 6.
Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: University of Chicago Press,
47
Di bawah ini merupakan upaya penulis untuk menguraikan tanda dan
simbol yang termuat dalam film 3 DOA 3 CINTA. Film ini banyak menyisipkan
nilai-nilai dakwah Islamiyah yang relevan dengan perkembangan zaman. Ini yang
menyebabkan film ini penting untuk dikaji secara ilmiah. Untuk selanjutnya
disarikan ke dalam sekumpulan pengertian moral Islami yang bermanfaat bagi
umat Islam itu sendiri.
1. “Perang Melawan Terorisme”
Di bagian awal film ini, tampak seorang Kiyai sedang menyampaikan tafsir
sebuah ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian diselingi dengan adegan aktifitas para
santri pada umumnya. Adegan pertama menemukan anti-tesis di bagian
selanjutnya; tampak seorang ustadz radikal sedang memberikan ceramah yang
menggebu-gebu kepada para jamaahnya. Kontrasnya adalah perbedaan tafsir yang
dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut. Sementara pak Kiyai mengajarkan sikap
menghargai dan toleran terhadap perbedaan keyakinan, sang ustadz radikal
menghalalkan darah mereka kaum Yahudi dan Nashrani.
Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Pluralitas tafsir
Pluralitas tafsir
Tampak jelas
terhadap Al-
adalah sebuah
ajakan untuk
Qur’an.
keniscayaan
melawan ideologi
Kemungkinan
terhadap teks
terorisme yang
tafsir terhadap
apapun, terlebih
mengatasnamakan
48
Al-Qur’an
Al-Qur’an yang
Islam sebagai
sangat banyak
sangat puitis.
basis
dan beragam,
Monopoli
ideologisnya. Hal
bergantung
terhadap
tersebut jelas
pada
kebenaran justru
mencemarkan
pendekatan
memasung
nama baik Islam
yang digunakan
kreatifitas
dalam pergaulan
oleh penafsir
manusia untuk
internasional dan
dan kadangkala
berkembang dan
merusak citra
unsur subjektif
beradaptasi
Islam sebagai
sang penafsir
dengan
agama pembawa
juga ikut
perkembangan
rahmat bagi
mewarnai corak
zaman.
seluruh alam
penafsiran.
Penghargaan
semesta.
terhadap
perbedaan dan
sikap
demokratis
merupakan cara
yang sangat
dianjurkan
dalam Islam.
49
Sebagai sistem denotatif, adegan ini menunjuk pada pluralitas penafsiran
terhadap Qur’an sebagai pedoman umat Islam. Ada satu lagi adegan yang
menggunakan tehnik contrasting seperti ini. Tapi pengulangan ini mengarahkan
kita pada kritik terhadap upaya radikalisasi Islam.
Beberapa adegan menunjuk pada pengertian gugatan terhadap kelompok
Islam radikal yang digambarkan secara diam-diam dan terselubung menyebarkan
kebencian dan dendam ke dalam hati umat Islam. Seperti tindakan Syahid yang
meninggalkan barisan shalat setelah shalat berjamaah. Ia justru mendatangi
pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal tersebut. Tempat pengajian tersebut
juga secara blak-blakan digambarkan tersembunyi dan jauh dari kontrol sosial.
Sementara Kiyai dan para santri sibuk berdzikir, tradisi khas kelompok Nahdathul
Ulama.
Penulis melihat motif ini semakin diperkuat dalam adegan lain yaitu ketika
sang ustadz radikal tampak sedang memberikan ceramah yang provokatif.
Keterlibatan Syahid dalam gerakan Islam radikal pun semakin intensif, terbukti
ketika ia memutuskan untuk mengambil jalan jihad seperti yang dijelaskan
ustadznya. Beberapa faktor ditunjukkan ikut mendorong Syahid mengambil
keputusan tersebut. Tapi rupanya latar ini memberikan insight yang cukup
mencerahkan bagi penulis. Untuk sementara, penulis hanya bisa mengatakan
bahwa Syahid adalah anak muda yang termakan provokasi kelompok Islam
radikal. Cuplikan-cuplikan berita televisi yang meliput aksi terorisme lokal dan
internasional semakin mempertegas gugatan terhadap ideologi Islam radikal.
50
Sebagai sistem mitis, penulis melihat adanya himbauan “perang melawan
terorisme”2. Gerakan Islam radikal yang mulai menyusup masuk ke Indonesia
memang merepotkan, karena siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di
manapun kita selalu terancam. Sifatnya yang eksklusif menyulitkan identifikasi,
militansinya menakutkan, aksinya yang tak berprikemanusiaan, dan seterusnya.
Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi persoalan yang kini merundung
bangsa ini.
Dalam al-Qur’an begitu banyak anjuran untuk mengadakan perbaikan di
antara Umat manusia, antara lain tersebut dalam Surat 4:114 sebagai berikut:
                 
         
Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,
kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan
barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak
Kami memberi kepadanya pahala yang besar. ( QS. An-Nisa’ : 114)
2. Prasangka Negatif
Prasangka adalah sebuah asumsi, persepsi dan atau pengertian yang kebenarannya
belum teruji atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin prasangka adalah
sebuah pengetahuan yang berasal dari tradisi atau sejarah sebuah bangsa,
golongan dan atau agama yang kebenarannya tidak dipertanyakan lagi.
2
Kata-kata ini pernah diucapkan oleh presiden Amerika Serikat George W. Bush sesaat
setelah peristiwa 11 September 2001.
51
Dendam, kebencian, amarah dan sejenisnya secara sosiologis bisa
diwariskan kepada generasi selanjutnya. Di satu sisi, proses transmisi ini sangat
berarti. Hal ini bisa mengeratkan hubungan generasi sekarang dengan masa lalu.
Selain itu, berbagai pengertian dan pengetahuan yang didasarkan pada sejarah
kelompok mampu menegaskan identitas kelompok, sehingga menciptakan
integrasi sosial.
Namun di sisi yang lain, transmisi kebencian, amarah dan dendam telah
dan akan membentuk persepsi negatif terhadap suatu kelompok. Proses transmisi
ini bisa terjadi dalam banyak proses sosialisasi yang dimapankan dalam berbagai
institusi sosial, budaya, politik dan agama.
Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Penilaian yang
Ayat tersebut di
Mitos yang
tak berdasar
atas adalah ayat
muncul dari
terhadap
yang sangat
beberapa scene
seseorang atau
sering digunakan
di atas adalah
suatu kelompok.
oleh kelompok
mitos mengenai
Prasangka inilah
Islam radikal
musuh abadi
yang
untuk
umat Islam.
menyebabkan
menumbuhkan
Alih-alih
kebencian,
rasa benci dan
membenahi diri
dendam dan
dendam kepada
dan memperkuat
menutup mata
umat Yahudi dan
iman, kita justru
kita untuk
Nashrani,
akan terperosok
52
melihat kebaikan sehingga tampak
ke dalam jurang
orang lain.
bahwa ayat ini
permusuhan
memiliki
yang tiada
konotasi
habisnya.
intoleran, dan
menjadi katalis
dalam proses
radikalisasi umat
Islam.
Contoh yang begitu jelas adalah kontrasnya penjelasan tentang sebuah ayat
yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal.
         
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS Al-Baqarah: 120)
Dua model penjelasan yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal
memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sikap toleran yang diajarkan oleh Romo
Kiyai mendapat pembenarannya jika kita sandingkan dengan beberapa ayat lain
yang mengajarkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamiin, atau dengan surah
53
Al-Kafiruun. Ini adalah satu kemungkinan tafsir yang bisa diberikan kepada ayat
di atas.
Sementara sang ustadz radikal, merujuk pada pengalaman historis umat
Islam, justru menghalalkan darah kaum Yahudi dan Nashrani. Dalam penalaran
umat Islam, kaum Yahudi dan Nashrani memang sering dicitrakan sebagai
kelompok kafir yang telah menyimpangkan ajaran Tauhid dan keMaha-Kuasaan
Allah. Padahal kalau ditilik ke belakang, Islam, Yahudi dan Nashrani berasal dari
satu nenek moyang, yaitu Ibrahim. Seiring berjalannya waktu, banyak peristiwa
terjadi dan meninggalkan bekas yang tak mudah dihapuskan dalam memori setiap
kelompok.
Banyak peristiwa besar terjadi, dan pengalaman-pengalaman ini terus
diwacanakan dan direproduksi secara terus-menerus. Misalnya, pengalaman pahit
bangsa muslim ketika berhadapan dengan umat Kristiani dalam Perang Salib.
Kekalahan di Perang Salib terus diwacanakan dan direproduksi, bahkan ada
sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Perang Salib masih terjadi hingga
saat ini.
Dalam film 3 DOA 3 CINTA, Syahid dengan jelas menunjukkan
ketertarikannya pada pengajian-pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal
tersebut. Dalam sebuah obrolan dengan dua orang kawannya yang lain, ia dengan
bangga mengatakan ingin mati syahid. Bahkan, ia rela mengorbankan jiwanya di
jalan Allah.
Latar belakang Syahid mengambil keputusan itu bukan hanya karena
keberhasilan provokasi sang ustadz radikal. Syahid memang sedang mengalami
cobaan yang sangat berat; sang ayah sakit parah, gagal ginjal yang biayanya
54
sangat besar. Ayah Syahid harus cuci darah seminggu sekali secara rutin.
Rutinitas ini tentu mengganggu stabilitas perekonomian keluarga Syahid yang
notabene ayahnya hanya seorang petani. Solusi yang diberikan oleh dokter pun
cukup memberatkan Syahid dan keluarganya. Operasi pencangkokan ginjal yang
memakan biaya puluhan bahkan ratusan juta.
Akhirnya, ayah Syahid dengan bijaksana memutuskan untuk menjual
tanahnya kepada orang asing yang diperantarai oleh tetangganya sendiri yang
culas. Syahid hanya menurut apa yang dikatakan ayahnya, menemui sang makelar
tanah lalu menjual tanahnya kepada orang asing. “Sampaikan pada Yahudi
Amerika kafir itu, jangan terus jadi penjajah! Suruh bikin pabrik di negaranya
sendiri, jangan di sini!” begitu sengit Syahid ketika bertemu dengan orang asing
yang ingin membeli tanah ayahnya. Setelah itu Syahid memutuskan untuk
berjihad di jalan Allah. Menjadi lebih dramatis lagi ketika Syahid membuat
rekaman video menggunakan handycame milik Rian. Celakanya, rekaman ini
diambil oleh seorang ustadz dan dilaporkan kepada Romo Kiyai yang akhirnya
menjadi barang bukti pihak kepolisian untuk memenjarakan Syahid.
Tapi tanah sudah dijual, dan semuanya digunakan untuk biaya perawatan
ayahnya dirumah sakit, itupun masih kurang. Dan datang pertolongan dari Allah
yang ternyata diperantarai oleh orang asing yang dikira jahat oleh Syahid. Orang
asing tersebut mau menanggung semua biaya perawatan rumah sakit ayah Syahid.
Tapi Syahid masih belum mengetahui identitas si orang baik hati tersebut, karena
orang asing tersebut mungkin memang tidak mau membeberkan identitasnya.
55
Sebagai sebuah sistem tanda tingkat pertama, cuplikan-cuplikan di atas
merupakan gambaran proses radikalisasi yang dialami oleh Syahid. Yang perlu
ditekankan, proses radikalisasi yang terjadi disini merupakan hasil perpaduan dari
provokasi ustadz radikal yang mendasarkan diri pada teks-teks keagamaan dan
pengalaman traumatik bangsa Muslim dan kesulitan ekonomi yang menerpa
keluarganya. Sehingga keputusan Syahid menjadi bisa dipahami.
Kebencian dan dendam, atau bisa kita katakan prasangka buruk, telah
tertanam dalam benak Syahid. Tapi perasaan tersebut, yang didasarkan pada
asumsi tentang watak jahat yang dilekatkan pada sebuah kaum, tentu tidak
mendasar jika dilekatkan pada semua orang Yahudi dan Nashrani.
Kemudian Syahid sadar dan mengurungkan niatnya untuk berjihad,
mungkin karena tahu bahwa orang asing, “Yahudi Amerika”, yang dikiranya jahat
dan suka menipu itu ternyata ada juga yang baik hati, atau mungkin teringat
hikmah yang diberikan Romo Kiyai dalam suatu pengajian di surau. Mungkin apa
yang dipikirkan Syahid adalah sebuah prasangka buruk yang selama ini tidak
pernah kita pertanyakan lebih jauh kebenarannya.
Pada pemaknaan level kedua, penulis melihat prasangka buruk menutup
mata kita dari kebenaran. Telah terjadi distorsi dalam proses pemahaman,
terutama seperti yang dialami oleh Syahid. Kesulitan-kesulitan ekonomi memang
dapat mendorong proses radikalisasi, dan agama adalah salah satu alat efektif
untuk membangun gerakan perlawanan. Pertemuan berbagai momen inilah yang
memuluskan jalan radikalisasi Islam.
56
Mungkin tidak semua “Yahudi Amerika” itu jahat, mungkin hanya
beberapa gelintir orang saja yang eksploitatif dan menindas yang mengakibatkan
pencitraan yang begitu kuat terhadap suatu kelompok sosial. Dan memang banyak
ayat yang memperingatkan umat Islam terhadap bahaya dan ancaman dari umat
dan bangsa lain. Tapi pemahaman kita perlu terus diuji, karena ada banyak cara
pandang lain yang memiliki kebenarannya sendiri.
                
              
Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir (1) Aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah (3)
Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah (5) Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku (6)" ( QS. Al-Kaafiruun : 1-6)
3. Menolak Sains dan Teknologi (?)
Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Cita-cita mulia
Kritik terhadap
Pesantren
Rian untuk
kurikulum dan
sebagai lembaga
membangkitkan
budaya
pendidikan
perekonomian
pesantren yang
tradisional
keluarga dengan
cenderung kaku
Islam. Dalam
perangkat
dan kurang
merespon arus
teknologi
mengikuti
deras
mutakhir yang
perkembangan
modernisasi,
terhambat aturan
sains dan
kalangan Islam
57
pesantren. Hal
teknologi. Hal
terpecah
ini tampak dari
ini jelas
menjadi
berbagai
menghambat
beberapa
penerapan aturan
beragam potensi
kelompok.
yang melarang
yang dimiliki
Secara
santri membawa
para santri di
sederhana bisa
alat-alat
bidang sains dan
dikatakan ada
elektronik ke
teknologi. Tapi,
kelompok yang
dalam pondok
menurut penulis,
menganjurkan
pesantren.
kecenderungan
pada pemurnian
seperti ini sudah
Islam. Artinya,
semakin
menolak Barat
berkurang. Pihak lengkap dengan
pondok
produk-produk
pesantren
yang
semakin tahu
dihasilkannya.
dan banyak
Dan ada yang
belajar arti dan
menganjurkan
manfaat
untuk tetap
penggunaan
berpegang teguh
teknologi dalam
pada nilai-nilai
dunia
ke-Islaman
pendidikan.
sambil
Semoga akan
mengadopsi
58
terus seperti itu.
perkembangan
yang telah
berhasil diraih
bangsa Barat.
Tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama dalam film ini, Rian, memiliki
cita-cita hendak meneruskan usaha peninggalan ayahnya yaitu usaha video
shooting. Usaha ini dulu pernah jaya, sayang ayah Rian meninggal dunia dan tak
ada yang meneruskan usahanya tersebut. Kehidupan ekonomi keluarga makin
lama makin tak menentu. Rian menuliskan cita-cita mulia itu di dinding tempat
persembunyiannya dengan dua orang sahabat lainnya.
Di tempat yang sama, Rian sibuk membuka bingkisan yang diberikan
ibunya dari Surabaya. Adegan ini secara denotatif memperlihatkan aturan
pesantren yang kaku yang melarang para santrinya memiliki benda-benda
teknologi. Tambah, adegan ketika Rian dan Syahid sedang mendengarkan radio,
dan ternyata ada seorang ustadz yang sedang mengontrol kamar para santri. Sang
ustadz langsung mendekati sumber suara radio tersebut, karena barang tersebut
terlarang di pesantren, dan tidak berarti dilarang oleh agama. Buktinya, sang
ustadz di scene lain mengambil handycame milik Rian setelah dipinjam secara
diam-diam oleh Syahid, kemudian menyerahkannya pada Romo Kiyai.
Melarang para santri untuk membawa barang elektronik ke dalam pondok
adalah upaya dari pihak pondok pesantren untuk mengikis kesenjangan sosial
yang terjadi di tengah masyarakat. Ada lagi beberapa larangan seperti larangan
59
penggunaan celana jeans dan larangan membawa handphone. Mungkin upaya ini
cukup berhasil untuk mencegah masuknya kesenjangan sosial ke dalam pondok
pesantren, dan menciptakan rasa egaliter di antara sesama santri.
Namun upaya ini sinonim dengan menghalangi tumbuh dan kembangnya
potensi para santri di bidang IPTEK. Padahal Rian, yang mungkin merepresentasikan sekian banyak santri lainnya, sangat berbakat di bidang teknologi multimedia.
Pertemuan Rian dengan pak Toha kemudian memberikan sedikit titik
terang. Meskipun pondok pesantren tidak memberikan wawasan mengenai film
dan video shooting, tapi Rian bisa mendapatkannya secara diam-diam dari pak
Toha, seorang pengusaha film keliling atau layar tancep. Rian hanya bisa bertemu
dan berdiskusi dengan pak Toha jika ia bisa keluar di malam hari dari pondok
secara sembunyi-sembunyi. Dan, dalam suatu obrolan yang cukup intens, Rian
memutuskan untuk ikut rombongan film kelilingnya pak Toha. Tapi sayang pada
saat yang telah ditentukan itu, Rian, Romo Kiyai dan dua orang sahabatnya yang
lain ditangkap oleh polisi dengan tuduhan terlibat dalam aktifitas teror kelompok
Islam radikal.
Rian tetap konsisten dengan cita-citanya itu. Ia ingin meneruskan usaha
sepeninggalan ayahnya. Seiring waktu, bakat Rian semakin tereksplorasi dan terus
belajar dari pengalaman, hingga akhirnya pada pernikahan Huda dengan putri
Romo Kiyai, Rian sudah bisa menggunakan kamera dan memiliki beberapa
karyawan. Artinya, ia sudah mulai melanjutkan usaha peninggalan almarhum
ayahnya.
60
Penulis melihat sistem signifikasi yang berkembang dalam beberapa
adegan yang tersebut di atas adalah kritik terhadap kurikulum pondok pesantren
yang cenderung kaku dan kurang mengikuti perkembangan zaman. 3 Alternatifnya,
mungkin perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung para santri untuk
lebih bisa mengembangkan bakatnya di berbagai bidang. Jadi, upaya pengikisan
kesenjangan bisa dilakukan, dengan tidak mengorbankan beragam potensi yang
dimiliki oleh para santri.
Film ini tidak tampak sedang mengambil satu posisi tertentu. Tidak begitu
gamblang gambaran di dalamnya. Tapi, “Dari dulu kok peraturannya engga
berubah berubah. Radio aja engga boleh. Gimana mau maju?”. Kutipan ini adalah
sindiran. Mungkin karena pencitraan yang sangat kuat mengenai pesantren
sebagai lembaga pendidikan “murni” agama. Makanya, pihak pondok pesantren
melarang para santrinya membawa alat-alat elektronik ke dalam pondok
pesantren, yang kini semakin terasa manfaatnya bagi umat manusia.
4. Huda: Mitos Santri Ideal
Nicholas Saputra, yang berperan sebagai Huda dalam film ini, adalah seorang
santri yang paling disayang Romo Kiyai. Huda diproyeksikan sebagai pemimpin
pondok pesantren oleh Romo Kiyai setelah bertahun-tahun berusaha mendapatkan
anak laki-laki namun tidak berhasil. Untuk memastikan usahanya, Romo Kiyai
menjodohkan Huda dengan putrinya, Farokah.
Huda dititipkan kepada Romo Kiyai oleh ibunya untuk mendapatkan
pelajaran agama yang intensif. Namun setelah sekian lama, ibunya tak pernah
3
M. Dawam Rahardjo, Intelektual Integensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah
Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993) h. 196
61
datang lagi ke pondok pesantren sekedar untuk menjenguk Huda atau
menanyakan kabarnya. Huda berkomunikasi hanya melalui surat, komunikasi
lewat surat pun sudah terhenti selama kurang lebih satu tahun. Sejak itu Huda
bertekad untuk mencari dan menemukan keberadaan ibunya yang katanya bekerja
di Jakarta.
Gambar
Denotasi
Konotasi
Mitos
Secara denotatif,
Berbagai kualitas
Kelompok santri dilukiskan
penanda-penada
moral dan
memiliki ciri-ciri sebagai
yang berceceran
keilmuan yang
berikut: sebagai pengemban
tersebut
melekat pada
tradisi, taat beribadah,
mengarahkan kita
Huda yang
shaleh, orang yang paham
pada konsep-
merepresentasikan hukum Islam dan
konsep tentang
kelompok santri
seterusnya. Melekatnya ciri
ketaatan pada
secara konotatif
tersebut pada diri seseorang
guru, keshalihan
berarti bahwa
bukan melalui proses
sosial dan relijius,
kelompok santri
formal, tetapi melalui
berbakti pada
dengan segala
pengakuan setelah proses
orang tua, birrul
kualitas yang
panjang dalam masyarakat
walidain,
melekat padanya
itu sendiri dimana unsur-
menjaga jarak
adalah pewaris
unsur berupa integritas,
pada yang bukan
paling layak dan
kualitas keilmuan dan
muhrim, dan
absah nilai-nilai
kredibilitas, kesalehan
lainnya.
luhur Islam.
moral dan tanggung jawab
62
Huda sebagai
sosialnya dibuktikan. Hal
santri yang rajin,
tersebut tidak akan
taat dan patuh
termanifestasi secara riil
kepada Kiyai,
jika tidak dibarengi dengan
mencintai orang
penampakan sifat-sifat
tua, taat beribadah
pribadi yang harus mereka
dan luwes serta
miliki.
mampu bergaul
Berbagai kualitas moral dan
dengan berbagai
keilmuan yang harus
golongan.
dimiliki oleh seseorang,
Singkatnya, Huda
sebelum benar-benar
adalah seseorang
mendapatkan pengakuan
yang sangat
dari masyarakat, merupakan
bermoral dalam
mitos tentang golongan
pengertian yang
“santri” dalam pengertian
Islami.
Barthesian. Pengertian ini
secara alami dan tanpa
dipersoalkan lagi dianggap
benar, bahwa kualitaskualitas tersebut merupakan
sebuah ukuran atau kategori
moral dalam stratifikasi
sosial. Dan secara ideologis
pengertian ini
63
dipertahankan melalui
berbagai institusi, pesantren
salah satunya, untuk
mempertahankan kekuatan
dan pengaruh serta privilise
sosial yang dimiliki
golongan santri.
Huda di mata Romo Kiyai adalah seorang santri yang taat dan rajin.
Mungkin itu alasan Romo menjadikannya sebagai calon pemimpin penerusnya
nanti. Ketika mengaji Huda selalu berada di barisan depan, ketika shalat pun
demikian. Ia selalu mematuhi apa yang dikatakan oleh Romo Kiyai, bahkan ketika
Romo berencana menikahkan Huda dengan putrinya. Semua santri di pondok tahu
bahwa Huda adalah santri kesayangan Romo Kiyai.
Tapi Huda memang kelihatan sangat “nyantri” dalam film ini. Pakaiannya
sangat sopan dalam pengertian baik sebagai seorang santri ataupun dalam
pandangan orang awam. Dan begitu jelas dalam banyak adegan dengan Dona,
sang penyanyi dangdut pasar malam. Huda sangat menjaga jarak ketika berbicara
dengan Dona. Lalu, Huda juga enggan bersalaman dengan Dona ketika Dona
mengajak berkenalan. Apalagi ketika Dona mencium bibir Huda di ruang rias
artis, ia langsung berucap “astaghfirullah”.
Dalam beberapa scene lainnya, Huda juga sangat menghargai profesi dan
pekerjaan Dona sebagai penyanyi dangdut di pasar malam. Bahkan, Huda
64
membantu Dona membuat rekaman video untuk modal casting. Ketulusan Huda
mengetuk pintu hati Dona yang sejak semula dimintai mencari tahu keberadaan
orang tua Huda di Jakarta.
Sedangkan Dona adalah seorang wanita pribumi yang sedari kecil sudah
dibawa merantau ke Jakarta oleh ayahnya. Obsesinya menjadi seorang artis
terkenal. Kepulangannya ke Jogja adalah untuk berziarah ke makam ibunya, dan
mengumpulkan uang dengan menyanyi di pasar malam. Kemudian Dona juga
sangat membantu Huda pencarian ibunya yang sudah lama meninggalkan Huda di
pondok.
Dona membantu Huda mencarikan alamat ibunya seperti tertera di surat
terakhir yang diterima Huda di Jakarta. Mungkin pertemuan ini adalah sebuah
kebetulan. Tapi pertemuan ini jadi sangat berarti bagi Huda sendiri. Dan akhirnya
Dona, dengan bantuan kawannya di Jakarta, berhasil menemukan sebuah alamat
di Jakarta yang akan mempertemukan Huda dengan ibunya.
Huda pergi melenggang sendirian ke Jakarta, tanpa pamit kepada Romo
Kiyai. Ia mencari alamat yang diberikan Dona. Alamat itu mengarahkannya pada
sebuah diskotik dangdut bernama “Café Iguana”. Disitulah kemudian Huda
bertemu dengan seorang kawan lama ibunya. Huda terkejut karena ternyata
ibunya telah meninggal dunia setahun yang lalu.
Huda pun pulang dengan membawa perasaan sedih dan puas. Sedih karena
ternyata ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Puas karena tahu dan menyadari
betapa ibunya tak pernah punya niat buruk terhadapnya dan sangat mencintainya.
Huda berusaha melupakan kepergian sang ibu, dan melanjutkan pendidikannya di
65
pondok pesantren. Hingga akhirnya Huda melanjutkan kepemimpinan Romo
Kiyai di pondok pesantren.
Kita dapat mengerti mengapa Huda sangat ingin menemui ibunya di
Jakarta. Tentu saja, karena semua anak pasti ingin memiliki keluarga yang utuh.
Mungkin Huda iri melihat kawan-kawannya selalu dijenguk dan diperhatikan oleh
orang tuanya. Secara denotatif, penanda-penada yang berceceran tersebut
mengarahkan kita pada konsep tentang berbakti pada orang tua, birrul walidain.
Usaha gigih tanpa mengenal putus asa Huda sangat jelas mengarah pada konsep
tersebut.
Namun sebagai sebuah mitos, pengertian di atas sulit diterka. Penulis ingin
mengatakan bahwa gambaran tentang Huda adalah sebuah idealisasi dari
golongan santri. Dengan lain kata, Huda merupakan sosok ideal dari golongan
santri yang taat dan patuh kepada Kiyai, yang bisa bergaul dengan berbagai
golongan, bisa menghargai perbedaan, dan berbakti kepada orang tua. Meskipun
ia juga sering keluar malam bersama dua orang sahabatnya untuk mencari hiburan
dan kesenangan dan melenggang sendirian ke Jakarta tanpa pamit, itu semua
bukanlah sebuah cacat moral yang harus dipersoalkan lebih jauh.
Komunitas santri adalah komunitas yang independen, kecenderungan
mereka untuk membentengi tradisi dan eksistensinya dilakukan dengan berbagai
cara termasuk dengan bahasa agama, bahkan komunitas santri berusaha
mempengaruhi komunitas lainnya, sedangkan komunitas lainnya dalam hal
penyebaran nilai-nilai ke-Islaman merupakan kelompok dependen (terpengaruh).
Demikian perpaduan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam pengertian yang
66
sama sekali tidak politis telah mengangkat derajat kaum santri ke strata sosial
yang lebih tinggi, dan berhasil mendapat prestise sosial serta hak-hak istimewa.
Melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren bukan hanya berarti
mengajar ngaji para santri dan menjadi imam shalat jamaah, tapi juga mengemban
sebuah misi keagamaan yang besar yaitu dakwah Islamiyah. Tidak hanya di
lingkungan pondok pesantren tetapi juga di tengah-tengah masyarakat Indonesia
yang plural. Rasa enggan Huda untuk kembali lagi ke pengajian yang diadakan
oleh ustadz radikal, tata krama dalam keseharian, gaya bertutur yang santun,
menunjukkan bahwa Huda mampu menjaga dan meneruskan tradisi yang telah
dibangun selama berabad-abad.
B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA
Seperti kita ketahui, film yang sedang penulis analisis adalah berjudul 3
DOA 3 CINTA. Angka tiga (3) di sana mengarah pada tiga tokoh utama yang
bermain dalam film ini. Ketiga tokoh ini memiliki kebiasaan menuliskan harapan
dan cita-cita mereka di sebuah dinding ruangan tempat mereka berkumpul dan
bersembunyi dari keramaian. Momen berkumpul di ruang tersebut adalah momen
di mana mereka berdoa dan berharap akan sesuatu kepada Allah, dan bercerita
satu sama lain.
“Doa” merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab Ad-Du’a, yang
secara etimologis berarti memanggil.4 Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, kata doa memiliki muatan relijius yang kental. Doa merupakan
sejenis komunikasi keagamaan yang dapat dilakukan secara formal atau dalam
4
Atabik Ali & A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003)
67
kehidupan sehari-hari, namun tak pernah kehilangan nuansa relijiusnya. Doa bisa
berupa ungkapan keluh kesah, keinginan, harapan dan cita-cita yang secara
relijius diarahkan kepada Allah SWT.
Menurut Kahlil Gibran, cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan
mekar dalam setiap hati manusia tanpa adanya bantuan musim. Dan merupakan
satu-satunya kebebasan di dunia, sebab cinta membangkitkan jiwa saat hukumhukum kemanusiaan dan fenomena alam tidak dapat lagi mengubah bagiannya.5
Sepertinya tidak ada yang sederhana dalam cinta, begitu rumit mendefinisikannya.
Dalam film ini, cinta terlukis sebagai ketulusan dan kemurnian, sikap menerima
tanpa prasyarat apapun.
Makna denotatif dari judul film ini adalah harapan dan cinta ketiga tokoh
utamanya kepada orang yang mereka cintai. Ketiga tokoh utama dalam film ini
adalah yatim/piatu. Huda adalah seorang anak yatim sejak kecil, dan baru sadar
bahwa ia juga piatu setelah menemui kawan lama ibunya di Jakarta. Rian juga
seorang
yatim.
Sedangkan
Syahid
digambarkan
sedang
mati-matian
memperjuangkan nasib ayahnya yang menderita gagal ginjal (dan akhirnya
meninggal dunia), dan tak pernah sedikit pun dikisahkan keberadaan ibunya.
Film ini mempertontonkan tiga permasalahan, 3 harapan, dan 3 cara
penyelesaian yang berbeda dan khas. Judulnya yang cukup sederhana menyiratkan
keunikan setiap orang dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Tiga jalan
yang ditempuh oleh ketiga tokoh utama dalam film ini merupakan sebuah proses
pembelajaran yang menuntut resiko yang beragam pula. Sebagai sebuah sistem
konotatif, judul film ini bisa berarti penghargaan terhadap perbedaan dan
5
Kahlil Gibran, Hikmah-hikmah Kehidupan (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya,
1999) h. 20
68
keunikan setiap jalan hidup yang ditempuh seseorang. Perbedaan latar belakang
sosial, ekonomi dan budaya jelas mempengaruhi setiap keputusan yang diambil
oleh seseorang.
C. Pesan Moral yang disampaikan dalam Film 3 DOA 3 CINTA
Setelah pemaparan yang cukup panjang, tentu kita semua dapat
menangkap banyak pesan moral yang termuat dalam film ini. Tidak hanya itu,
nada kritik pun dimunculkan dalam film ini. Di bawah ini adalah beberapa pesan
moral dan visi etis yang dapat penulis sarikan dalam tulisan ini.
Gerakan Islam radikal telah berkembang luas ke seluruh penjuru Indonesia
dan dunia. Siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di manapun kita
selalu terancam. Mereka mengajarkan kebencian, dendam dan amarah ke dalam
hati anak muda bangsa Indonesia.
Sikap toleran dan demokratis mungkin bisa lebih membantu kita untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia. Setidaknya,
kita mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam hidup, bukan teror. Pada
gilirannya kita akan mampu menemukan solusi dari semua persoalan dengan
pikiran yang jernih. Karena kita tidak mungkin bisa berpikiran jernih dalam
kondisi teror di mana-mana. Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi
persoalan yang kini merundung bangsa ini.
Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Sebagai makhluk yang berakal, manusia akan dan harus
mempertanggung-jawabkan semua tindakannya. Prasangka buruk juga ikut
mengganggu dalam relasi sosial seseorang. Hal ini tampak jelas dalam kasus
Syahid. Prasangka buruk justru akan memperkeruh persoalan, dan mengganggu
69
proses rekonsiliasi dengan pihak yang terkena stigma. Prasangka buruk hanya
akan mendorong kita jatuh ke dalam jurang, dan menutup mata kita dari
kebenaran.
Dari sosok Huda, kita bisa belajar tentang bagaimana berbakti kepada
kedua orang tua. Karena, seperti kata Huda, “surga ada di bawah telapak kaku
ibu”, dan ridho orang tua adalah ridho Allah. Sikap taat dan patuh kepada orang
yang lebih tua, guru, kiyai, juga mampu bergaul dengan berbagai golongan, tanpa
membedakan suku, ras dan agama.
Sikap menghargai terhadap perbedaan dan keunikan setiap jalan hidup
yang ditempuh seseorang merupakan sikap yang menyiratkan kebesaran jiwa
seseorang. Karena perbedaan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya jelas
mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh seseorang.
Dan yang terakhir adalah sebuah kritik sekaligus saran mengenai upaya
pengembangan kurikulum pondok pesantren yang cenderung kaku dan kurang
mengikuti perkembangan zaman. Tentu penulis memahami bahwa Islam tidak
pernah mengajarkan umatnya untuk menolak ilmu pengetahuan. Mungkin perlu
dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung para santri untuk lebih bisa
mengembangkan bakatnya di berbagai bidang lain selain agama. Sehingga upaya
mengikis kesenjangan sosial bisa terus dilakukan, dengan tidak mengorbankan
kepentingan para santri untuk mengembangkan potensi mereka.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang telah dilakukan terhadap
film 3 DOA 3 CINTA, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Film 3 DOA 3 CINTA merupakan sebuah gambaran mengenai
kehidupan pesantren yang cukup rumit. Pandangan simplistis yang
mengatakan pesantren basis terorisme terbantahkan jika kita tidak
menutup mata tentang kompleksitas kehidupan pesantren.
2. Penafsiran tunggal terhadap kitab suci Qur’an justru seringkali
menjerumuskan seseorang atau kelompok pada sikap yang arogan dan
ingin menang sendiri. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak
berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat berujung
pada permusuhan. Sikap terbuka merupakan sikap yang paling
bijaksana, bahkan memungkinkan kita melihat sesuatu secara lebih
dewasa.
3. Perkembangan teknologi informasi yang kini terjadi tidak lagi dapat
dibendung. Lagipula manfaat yang dirasakan masyarakat dengan
kehadiran teknologi informasi sangat besar. Sudah saatnya pesantren,
dan juga lembaga pendidikan lainnya, tidak melihatnya sebagai produk
Barat atau pandangan sentimentil lainnya.
70
71
B.
Saran
Pada bagian ini, penulis ingin menyampaikan bahwa semua kehidupan
anak-anak muslim muda ini ditampilkan oleh Nurman Hakim dalam
penggambaran yang sederhana dan sama sekali tak berambisi. Penyutradaraannya
demikian polos sehingga ia seakan lupa membangun tensi dramatik filmnya.
Saran yang penulis ingin berikan adalah:
1. Sikap toleran dan demokratis bisa lebih membantu kita untuk
membangun relasi sosial di dalam masyarakat yang plural.
2. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan, dan dapat berujung pada permusuhan.
Penghargaan terhadap perbedaan menjadi nilai yang sangat positif
dalam membangun kehidupan masyarakat yang plural seperti
Indonesia.
3. Berbakti kepada kedua orang tua, terutama kepada ibu karena surga
berada di bawah telapak kaki ibu. Selain itu, bersikap taat dan patuh
kepada orang yang lebih tua, guru, dan kiyai.
4. Saat menonton sebuah film, sebaiknya kita tidak bersikap pasif
terhadap apa yang disuguhkan di dalam film tersebut. Tetapi bersikap
kritis dan menilai pesan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh
sutradaranya. Sehingga kita tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi
oleh sebuah film.
5. Klimaks dalam film ini tidak terlalu tampak, sehingga dari awal hingga
menjelang akhir film terasa datar-datar saja. 3 DOA 3 CINTA
72
merupakan sebuah karya yang lahir dari sebuah dunia yang intim dan
diketahui dengan baik.
Film ini telah berhasil mengantar sebuah dunia yang sangat khas, tapi pada
saat yang sama juga akrab. Sang sutradara, Nurman, berhasil menghindar dari
hanya asyik dengan dunianya sendiri, justru ketika ia dengan tulus dan rendah hati
tampak ingin bercerita saja. Maka, alih-alih membawa sebuah subkultur yang
asing dan abai terhadap penonton, pesantren sebagai latar belakang 3 DOA 3
CINTA berhasil membawa gambaran sebuah dunia Islam yang akrab dan
universal milik Indonesia.
73
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Attabik. A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2003)
Ardianto, Elvinaro. Lukiati Komala Erdiyana. Komunikasi Massa, suatu
pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005.
Barthes, Roland. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, Semiotika atau
Sosiologi Tanda, dan Representasi. Jala Sutra. Yogyakarta dan Bandung.
2007.
Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Gitanyali, 2004)
Christomy, Tommy. Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004)
Dawam Rahardjo, M., Intelektual Integensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah
Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993)
Effendy, Heru. Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, (Jakarta:
Pustaka Konfiden, 2008)
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, Indonesia 2003.
Geertz, Clifford, Religion of Java, (Chicago and London: University of Chicago
Press, 1976)
Gibran, Kahlil Hikmah-hikmah Kehidupan. Yogyakarta: Yayasan Benteng
Budaya, 1999.
Haricahyono, Cheppy. Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang
Pres, 1995)
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Prenada Media Group.
Jakarta. 2006.
Kris Budiman, Semiotika Visual. Yogyakarta, Penerbit Buku Baik, 2004
____________, Ikonisitas : Semiotika Sastra dan Seni Visual, Yogyakarta,
Penerbit Buku Baik, 2005
Kurniawan, Semiologi Roland
Indonesiatera, 2001
Barthes,
73
Yogyakarta,
Penerbit
Yayasan
74
Lechte, John. 50 Filusuf Kontemporer darii Strukturalisme
Postmedernitas,Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 2001
sampai
Lull, James. Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj).
A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997)
Lutters, Elizabeth. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Grasindo, 2004.
Morrisan. Jurnalistik Televisi Mutakhir, Tangerang, Ramdina Prakarsa, 2005
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003)
Piktoringa, M. Jamaluddin. Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005)
Piliang, Yasraf Amir. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna, Yogyakarta, Penerbit Jalasutra, 2003
Piktoringa, M. Jamaluddin. Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005)
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Peneltian Komunikasi. Remaja Rosda Karya.
Bandung. 2004.
Robinson, James G. Komunikasi yang Efektis, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
1986)
Santana K, Septiawan. Jurnalisme Kontemporer, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor
Indonesia, 2005
Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006)
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004
Sumandiria, AS Haris. Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
(Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2006)
Sumandria, Aris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan
Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Penerbit Simbioas Rekatama Media,
2006
Sumarno, Marseli. Dasar-dasar Apersiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana, Indonesia 1996
Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
75
.
Sunardi ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta. Kanal 2002.
Tinarbuko, Sumbo Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta, Penerbit Jalasutra,
2008
Zoest, Van, Aart. Fiksi dan Non Fiksi dalam Kajian Semiotik. Intermasa, Jakarta.
1991.
Sumber Lain
http//www.wikipedia.org
www. Aber. ac. uk.
www. Geocities.com/paris/7229/film.html.
www. Kompas.com
Hasil Wawancara
Nama : Nurman Hakim
Pekerjaan : Script writer /Director/Produser (Film 3DOA 3 CINTA)
Tempat : Cilandak Town Square, Jak-Sel.
Tanggal : 20-6-2010/Kamis
Pukul : 19.00 wib.
Keterangan : Wawancara untuk data penelitian Analisis Film 3 Doa 3 Cinta
1.
Interviewer : Apa Kabar Mas Nurman Hakim?
Responden : Alhamdulillah, baik.
2.
Interviewer : Lagi sibuk apa? Ada Garapan atau Project apa?
Responden : lagi persiapan untuk Film Layar Lebar selanjutnya setelah 3
Doa 3 Cinta. Bolak-balik keluar kota untuk survey tempat untuk syuting
pengambilan gambar. Cari Sponsorship atau dana untuk produksi Film yang
sedang dalam proses produksi.
3.
Interviewer : Apa Judul Film yang sedang dalam penggarapan?
Responden : wah, belum bisa saya beri tahu, nanti kamu lihat aja kalau sudah
mau direalease di pasaran yaa, nanti ga surprise lagi.
4.
Interviewer : Dari mana ide atau gagasan untuk membuat Film 3DOA
3CINTA?
Responden : Saya menonton dengan perasaan yang galau berita tentang
rencana pihak kepolisian untuk mengambil sidik jari semua santri yang
tinggal di pesantren, sebagai usaha memberantas aksi-aksi terorisme di
Indonesia. Walaupun rencana ini dibatalkan setelah berbagai protes dari
lapisan masyarakat, saya menjadi resah dan timbul niat untuk membuat film
yang meluruskan asumsi-asumsi buruk tentang kehidupan pesantren.
5.
Interviewer : Berapa biaya produksi untuk Film 3DOA 3CINTA?
Responden : Biaya yang dikeluarkan untuk produksi film ini mencapai 3
miliar rupiah.
6.
Interviewer : Dari mana biayanya? Pribadi atau Sponsor?
Responden : 50 % dari sponsor asing, Global Film Fund (Amerika Serikat),
Goteborg Internasional Film Festival Fund (Swedia), Cinema Fonds Sud
(France), 50 % dari dana Produser (Nurman Hakim).
7.
Interviewer : Bagaimana proses pemilihan para pemain dalam film 3DOA
3CINTA? Apakah melalui audisi?
Responden : Untuk tokoh utama seperti Dian ataupun Nico, Jajang C. Noor,
Butet Kertaradjasa, Yoga Bagus, Yoga Utama saya yang memilih langsung.
Untuk para pemain lainnya, dipilih oleh asisten sutradara dengan
sepengetahuan dan persetujuan saya.
8.
Interviewer : Bagaimana proses penggarapan skenario Film 3DOA
3CINTA? Apakah Mengalami Hambatan? Berapa lama proses
penggarapannya?
Responden : Proses Penggarapan skenario Film 3 Doa 3 Cinta sekitar awal
tahun 2007. Saya juga mengalami berbagai hambatan. Syukur Alhamdulilah,
saya bisa melewatinya. Proses penggarapan atau penulisan skenario ini lebih
dari 3 tahun, untuk pastinya saya lupa. Bisa dibilang hampir 4 tahun.
9.
Interviewer : Apa Makna Judul Film 3 Doa 3 Cinta?
Responden : 3 orang ( 3 tokoh utama: Huda, Rian, Syahid) dalam film ini
yang berdoa untuk 3 orang yang mereka cintai. Siapa yang mereka cintai?
Orang tua mereka masing-masing. Huda: untuk Ibundanya, Rian: untuk Ayah
dan Ibundanya, Syahid: untuk Ayahnya.
10. Interviewer : Pesan apa yang ingin disampaikan dalam Film 3 Doa 3 Cinta?
Responden : Islam di Indonesia yang penuh toleransi, walaupun ada juga
segelintir atau sekelompok kecil Islam yang radikal. Islam di Indonesia yang
Rahmatan Lil Alamin. Islam di Indonesia yang cinta damai. Islam di
Indonesia yang ramah.
11. Interviewer : Ada adegan-adegan yang (??????) di film Anda, apa tidak ada
masalah dengan adegan itu di Indonesia dan BSF /LSF?
Responden : Semua scene yang tampil di Bioskop tidak ada masalah dengan
BSF atau LSF. Saya juga tidak mendapat masalah atau teguran dari BSF/LSF
tentang isi pada film 3 Doa 3 Cinta. Karena apa yang saya buat atau ceritakan
dalam film ini adalah berangkat dari kenyataan yang ada atau sesungguhnya
dalam realitas kehidupan. Bukan mengada-ada atau rekayasa cerita.
12. Interviewer : Dengan sukses di berbagai film festival, apakah sekarang
Anda merasa ada dorongan membuat film sesuai yang diharapkan oleh
sebuah festival?
Responden : Ya, saya membuat film dengan berbagai tujuan, saya ingin
membuat film yang bisa lolos seleksi pada festival-festival film internasional
dan juga mendapat penghargaan pada ajang tersebut.
13. Interviewer : Berapa lama anda butuhkan waktu sampai menemukan cerita
yang anda inginkan?
Responden : Dari tahun 2002 – 2007. Saya membutuhkan waktu 4 tahun
untuk mendapatkan cerita yang saya inginkan.
14. Interviewer : Di 3 DOA 3 CINTA, Anda bertindak sebagai multiple staff.
Sebagai sutradara, penulis skenario, produser . Apa kendalanya?
Responden : Tidak ada kendala atau kesulitan yang berarti kecuali masalah
biaya atau dana. Dana atau biaya menjadi salah satu faktor yang sangat
penting dalam produksi sebuah film.
15. Interviewer : Kenapa anda selalu mencari lokasi-lokasi yang bisa dibilang
jauh dari peradaban, terpencil?
Responden : Saya memilih lokasi atau tempat syuting pengambilan gambar
sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan pada skenario. Untuk pengambilan
gambar setting pesantren pada film 3 Doa 3 Cinta, saya memilih lokasi di
Pabelan. Semata karena tuntutan dalam skenario. Dalam skenario, pesantren
dengan setting latar belakang dan budaya Jawa. Bangunan-bangunan pada
Pesantren Pabelan sesuai dengan kebutuhan artistik untuk pengambilan
gambar. Syuting film ini dilakukan di daerah Magelang dan Yogyakarta pada
April 2008 selama 16 hari.
16. Interviewer : Dalam pembuatan film ini format apa yang Anda gunakan?
Kenapa?
Responden : proses syuting menggunakan format digital. Lalu ditransfer ke
format seluloid atau 35mm untuk pemutaran di Bioskop atau Cinema 21.
Karena dengan begini dapat menghemat biaya atau cost produksi film ini.
Jikalau semua proses syuting pengambilan gambar menggunakan format
seluloid atau film 35mm akan menghabiskan biaya yang sangat banyak.
17. Interviewer : Film ini sangat “self-absorbed”, artinya, sangat asyik dengan
dunianya sendiri, dengan masalah pribadi si pembuat filmnya sendiri....
Menurut Anda?
Responden : Iya, enggak apa-apa, karena cerita dalam film ini akan menjadi
lebih kuat. Karena berangkat dari hasil pengalaman pribadi bukan rekayasa.
18. Interviewer : Tapi kalau lantas dibilang, film ini “Anda banget”...lantas,
kapan Anda bisa bicara tentang orang lain, tentang masalah lain? Apakah
anda sudah melakukannya? Film apa?
Responden : Dalam film ini saya tidak hanya bicara tentang dunia pesantren
dan kehidupan di dalamnya. Saya bicara tentang Islam Indonesia yang
Rahmatan Lil Alamin, ramah, penuh toleransi, dan cinta damai. Walaupun
ada juga segelintir atau kelompok kecil Islam yang radikal. Gambaran dunia
islam yang akrab dan universal milik Indonesia.
19. Interviewer : Soal Nyantri sepertinya itu pengalaman sendiri?
Responden : Iya, pengalaman pribadi. Sewaktu SMA, saya di pesantren.
Selama 3 tahun. Pesantren di daerah Demak. Saya besar di lingkungan
pesantren. Keluarga saya, semuanya lulusan pesantren. Bisa dibilang, saya
sangat akrab atau dekat dengan dunia pesantren.
20. Interviewer : Oh ya? Bagaimana reaksi mereka, khususnya para pimpinan
pesantren dengan Film Anda ini?
Responden : Alhamdulillah, sampai saat ini saya tidak mendapatkan reaksi
atau respon yang negative dari mereka. Semua baik-baik saja. Karena saya
bicara fakta, bukan rekayasa.
21. Interviewer : Bagaimana dengan skenario 3 DOA 3 CINTA?
Responden : skenario film ini mencapai 10 halaman. Pengerjaan atau
penulisannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena saya tidak ingin
terburu-buru dalam membuatnya atau terkesan datar bahkan biasa saja.
22. Interviewer : Bagaimana dengan aspek estetika di film Anda.
Responden : Menurut saya, Bagus.
23. Interviewer : Bagaimana dengan rencana film selanjutnya?
Responden : Saya sedang dalam proses penggarapan sebuah film tentang
feminisme dalam islam. Akan realese pada januari 2011. Diperankan oleh
Ben Joshua dan Marsha Timoty. Untuk judulnya, saya tidak bisa
memberitahukannya.
24. Interviewer : Apa dan bagaimana Islam di Indonesia ? Menurut Anda?
Responden : Islam yang toleran, Rahmatan Lil Alamin, walaupun ada juga
sebagian golongan yang radikal.
25. Interviewer : Kehidupan pesantren sepertinya tidak asing bagi Anda? bisa
tolong jelaskan?
Responden : Iya, sejak dari kecil saya hidup dengan lingkungan pesantren
atau kultur pesantren. Di kalangan keluarga saya, semua memiliki
background pendidikan di pesantren. Bisa dibilang kehidupan pesantren
bukan hal yang asing bagi saya.
26. Interviewer : Dunia Pendidikan di pesantren seperti apa? Apa seperti yang
anda gambarkan dalam scene-scene di film ini?
Responden : Tidak semua pesantren menerapkan sistem pendidikan yang
tradisonal. Ada juga yang modern. Dalam konteks scene atau adegan yang
ada di film saya, bahwa memang betul ada pesantren yang melarang para
santrinya untuk membawa alat-alat elektronik atau telephon seluler selama
berada di pesantren. Ada juga pesantren yang membatasi para santrinya untuk
menonton televisi, kecuali hanya untuk menonton tayangan berita.
27. Interviewer : Orang Asing yang terdapat dalam film ini merujuk kepada
siapa? Apakah orang Asing (Yahudi, Nasrani)? Atau siapa? Maksud adegan
tersebut apa? Citra baik orang Non Muslim?
Responden : Citra orang Asing yang baik hati. Citra Bangsa Barat yang
penuh toleransi. Citra baik orang Non Muslim.
LAMPIRAN
FOTO-FOTO WAWANCARA
Download