Relevansi Universalisme Islam Nurcholish Madjid terhadap Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam di Indonesia M. Habibullah Abstract: This study was motivated by the reality of concern and require attention, namely the emergence of differing interpretations among Muslims about various issues in Islam. Some groups of Muslims today have become so exclusive even has a tendency to release various clash between religious communities. This fact does not need to exist when the universalism of Islam and Islamic cultural cosmopolitanism well understood, as never exemplified the Prophet and his companions. This background, triggering the author to propose a framework Indonesian Islamic scholars that can accommodate text and contextual Islamic tradition and modern Western positive tradition, namely Nurcholish Madjid which is considered to have an influence on the cultural cosmopolitanism in Indonesia. The results the authors found that the universalism of Islam as understood Cak Nur, have relevance to the cosmopolitanism of Islamic culture, including the culture of Islam in Indonesia. Where Islamic cosmopolitanism culture that builds on cultural universalism of Islam makes Muslims always according to all times and places (Saheeh al-Islam wa li kulli meal times). It is characterized by loss of ethnic boundaries, race, religion, respect for plurality / diversity of cultural, political and religious thought. Key words: universalism of Islam, Islamic cosmopolitanism, Islamic culture PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Universalisme Islam telah menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting berbagai bidang ajaran Islam, yang meliputi hukum agama (figh), keimanan (tauhid), etika (akhlaq), dan sikap yang menampilkan kepedulian besar kepada unsur-unsur kemanusiaan (al-insaniyah). Seperti prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kezaliman, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan, penjagaan terhadap hakhak mereka yang lemah dan menderita kekurangan, serta pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan. Semua itu menunjukkan keberpihakan Islam terhadap nila-nilai universal yang diimbangi keterbukaan terhadap berbagai wujud peradaban manusia. Nilai-nilai universal serta sifat keterbukaan terhadap budaya membuat kaum Muslim selama sekian abad dapat menyerkan segala macam wujud budaya dan wawasan keilmuan yang dating dari berbagai bangsa di sekitarnya, baik yang bersentuhan langsung dengan Islam ataupun yang telah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia dan Yunani). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antar peradaban yang dikenal ketika itu telah menjadikan budaya Islam bergerak maju dan kosmopolit. Kosmopilitanisme budaya tidak akan berakar kuat bila tidak ditunjang oleh universalisme. Universalisme merupakan landasan konseptual untuk mewujudkan kosmopolatisme budaya. Karena itu dua persoalan tersebut baik dibahas dalam satu kesatuan yang utuh, mengingat yang satu merupakan dataran konsep ideal sedangkan yang lain merupakan yang merupakan perwujudan/implementasi/ penrapan nyata dari konsep yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keragaman budaya termasuk seni, agama, politik, ekonomi, bngunan fisik dan sebagainya. Pernyataanya kini mengapa dua hal tersebut menjadi penting untuk di angkat dalam konteks Islam dank e-Indonesiaan dewwasa ini? Menjawab pertanyaan ini, penulis setuju dengan pendapat , bahwa yang menjadikan universalisme Islam dan juga kosmopolitisme budaya Islam penting untuk diangkat, yaitu : Pertama, dewasa ini varian muslim Indonesia, tidak lagi terdiri dari Santri, Abangan (Islam KTP) dan juga Priyayi, sebagaimana yang klasifikasi oleh Clifford Geertz beberapa dekade silam. Dewasa ini klasifikasi umat Islam Indonesia telah menjurus pada Islam konservatif, moderat dan liberal, di mana tiap-tiap kategori memiliki pemahaman dan penafsiran yang cenderung berbeda terhadap ajaran Islam. Sehingga satu konsep dapat dipahami secara berbeda, demikian juga dengan konsep universalisme Islam. Kedua, konsep syari’at Islam dewasa ini ternyata masih menyisakan ruang penafsiran yang memunculkan perbedaan atau bahkan perselisihan antar golongan (termasuk non-muslim). Sebagian pihak merasa perlu untuk menerapkan syari’at Islam di Indonesia. Kenyataan ini kiranya tidak perlu ada ketika universalisme Islam dan kosmopolianisme budaya Islam dipahami dengan baik, sebagaimana yang pernah dicontohkan umat islam terdahulu.1 Pada dekade terakhir, beberapa golongan umat Islam telah menjadi amat eksklusif dan memiliki kecenderungan untuk melepaskan diri dari sikap kosmopolotanisme Islam, yang pada dasarnya mengakui persamaan antar manusia, tanpa melihat perbedaan ras, sosial-budaya. Mereka bahkan berani menjadikan perbedaan keimanan dan keyakinan sebagai alasan untuk menghilangkan hak-hak manusia terhadap sesamanya, dan menjadi alasan untuk bertindak anarkis dan semena-mena terhadap umat yang beda iman. Hal ini yang kemudian memunculkan berbagai benturan antar umat beragama. Menurut Mahmud Ayoub setidaknya ada dua sebab yang dapat menjelaskan mengapa konflik dapat terjadi dalam masyarakat multi agama seperti di Indonesia, yaitu: Pertama model atau pola hubungan antar agama yang dibangun oleh tiap pemeluk agama tidak sama dan selalu mengalami pergeseran lantaran perkembangan pemikiran, budaya dan teknologi. Singkat kata konflik diakibatkan oleh adanya perubahan dalam pola hubungan dan sikap umat beragama terhadap pemeluk agama lainnya yang muncul oleh perubahan pemikiran, budaya dan teknologi. Kedua, Tidak mudah bagi agama-agama untuk bisa saling menerima antar satu penganut dengan yang lain. Sikap keberagaman seseorang ini sangat dipengaruhi oleh doktrin-doktrin yang bersifat tertutup dan ekslusif.2 Di sini Ayoub ingin menyatakan bahwa konflik tidak hanya diakibatkan oleh perbedaan pandangan teologi sebagai hasil penafsiran manusia terhadap manusia terhadap dogma agama itu sendiri namun juga oleh faktor-faktor yang bersifat culturalkemanusiaan. Pendapat ini didukung oleh Muchtar Gazalu yang menyatakan bahwa : 1 Lihat Hilman Latief, Mendefinisikan Universalisme Islam, http://psap.or.id/jurnal.php/id Lihat Mahmud Ayoub, Akar-akar Konflik Muslim Kristen, dalam Journal Ulumul Quran, (No. 4, Vol IV 1993), h. 26-39. 2 ...Konflik antar agama dapat muncul debagai akibat kesenjangan ekonomi (kesejahteraan), perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis. Di mana pada akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari ideologi politik (seperti HAM, humanisme dan demokrasi) ataupun wahyu dengan klaim kebenaran (truth claim)-nya sering menjadi alas an pembenaran penindasan kemanusiaan. Hal itupun dapat terjadi ketika pembangunan dan ekonomi atas nama kepentingan umum dijadikan pembenar tindak kekerasan. Ditambah dengan klaim kebenaran dan watak missioner (dakwah) dari setiap agama terbuka lebar, sehingga menyebabkan retaknya hubungan antar umat beragama…3 Benturan antar umar beragama yang terjadi di Indonesia merupakan kenyataanb yang mencemari keluhuran falsafah dan semboyan hidup berbangsa Indonesia. Sila pertasma Pancasila sebagai salah-satu landasan idiil Negara Indonesia, sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUd 1945 yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki dasar: “Ketuhanan yang Maha Esa” (tha Divine Omniptence). Sila ini merupakan dasar tatanan hidup beragama di Indonesia, yang menekankan persamaan dasar tatanan hidup beragama di Indonesia, yang menekankan persamaan antar agama di Indonesia yang diikat oleh pengakuan trerhadap ajaran monotheism satu Tuhan (tauhid). Soekarno sebagai salah-satu the founding father bangsa Indonesia pernah menyatakan bahwa gagasan ketuhanan dalam Pancasila sama dengan pengertian Tuhan dalam kepercayaan kaum spritualis agama) yang meniadakan segala ungkapan untuk atheism (tidak bertuhan), Sila Ketuhanan merupakan jaminan hak-hak setiap warga Negara untuk menyembah Allah menurut sebagai cara yang mereka yakini.4 Semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang berangkat dari kesadaran adanya perwujudan nyata pluralitas dalam kehidupan politik, sosial budaya dan keagamaan di Indonesia, sejak awal telah memberikan satu ajaran dasar tentang kesatuan budaya bangsa Indonesia walaupun terdiri dari beragama budaya, agama dan identitas dari kawasan nusantara. 3 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Jakarta Barat: Pustaka Setia, 2005). h. 24 Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial : diskusi teologi tentang isu-isu kontemporer, (Jakarta: Pustaka Cisendo, 1998), h. 14-15 4 Berdasarkan alas an-alsan tersebut, persoalan universalisme Islma dan kosmopolitanisme budaya Islam menjadi penting untuk dikemukakan sebagai upaya menyegarkan kembali ajaran prinsip Islam. Dataran ideal universalisme Islam dan juga beberapa wujud nyata kosmopolatisme budaya Islam akan penulils uraikan berdasarkan pendapat Nurcholish Madjid, dengan mempertimbangkan beberapa hal: Pertama Cak-Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid) merupakan cendikiawan Muslim Indonesia yang banyak membicarakan tentang universalisme Islam dalam upaya pembentukan kosmopolitanisme budaya di Indonesia. Kedua, Cak-Nur telah mendedikasikan seluruh pemikirannya pada konteks Islam, peradaban dan ke-Indonesiaan, yang diakui oleh pengamat masalah Islam di Indonesia, harno Leonardus,5 bervisi jauh ke depan dan dilandasi oleh kecintaannya terhadap agama, Tuhan dan Bangsanya. Melalui satu bab dalam karyanya “Islam, Doktrin dan Peradapan: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan” misalnya Cak-Nur menyatakan : …Kita bangsa Indonesia sering menyebut negeri kita sebagai sebuah masyarakat majemuk (plural), disebabkan hampir semua agama, khususnya agama-agama benar (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) terwakili di kawasan ini. Bergandengan dengan itu kita sering menunjuk dengan perasaan bangga yang sulit disembunyikan kepada kadar toleransi keagamaan yang tinggi pada bangsa kita. Bahkan tidak jarang sikap itu disertai sedikit banyak anggapan bahwa kita adalah unik di tengah bangsa-bangsa di dunia. Dan, sudah tentu Pancasila acapkali disebut sebagai salah satu bahan dasar, jika bukan yang terpenting bagi keadaankeadaan positif itu.6 Anggapan atau pandangan di atas menurut Cak-Nur tidak salah7, tapi hendaknya diimbangi kemampuan untuk menumbuhkan dan memelihara segi-segi 5 Lihat Harno Leonardus “Enlightenment” Nurcholish Madjid: Universalisme Islam “dari Teks ke Konteks, Selasa 23 Maret, 2006, http://rethar.blogspot.com/2006 03 01 archive.html 6 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah keimanan, Kemanusiaan, dan Kemordnan, (Jakarta: Yayasan Wakaf paramadina, 1992). h. 177 7 Dalam hal ini sebenarnya Cak-Nur menemukan satu anggapan kosong tentang pluralitas agama yang unik di Indonesia. Karena dalam pengalaman dan pengetahuannya (bukan hasil penerawangan) praktis tidak ada masyarakat tanpa pluralitas dalam arti antar umat (terdiri dari positif yang telh ada dengan lebih terarah dan sadar. Untuk itu diperlukan pengertian mengenai persoalan tentang pluralitas secara lebih substansif dan tidak berhenti sebatas jargon-jargon sosio-politis semata.8 Artinya ikatan kebersamaan yang dapat mempersatukan umat beragama tidak seharusnya dipahami sebatas jargon-jargon positif yang tidak memiliki dasar dalam pemahaman sebagian besar umat beragama. Untuk itu, menurut Cak-Nur, umat Islam Indonesia harus sadar bahwa Islam adalah sebuah agama universal rahmatan li al-alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kesadarn ini dapat diwujudkan dalam bentuk sikap toleransi, keadilan dan kejujuran dan berbagai prinsip dasar yang masih Nampak dalam perikehidupan umat Islam hingga kini, tanpa mengurangi keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran agamanya. Hal itulah yang Nampak jelas dan sangat fenomenal dalam kehidupan generasi muslim klasik (salaf).9 Dasar-dasar kesadaran seperti inilah yang ditekankan CakNur untuk menumbuhkan pemahaman yang positif terhadap universalisme Islam. Persoalannya kini apakah kesadaran serupa telah menjadi landasan bangunan kehidupan beragama dan berkebudayaan di Indonesia yang pluralis? Jika melihat beberapa pandangan tokoh agama yang memiliki perhatian terhadap kehidupan beragama di Indonesia, tampaknya tidak semua sependapat dengan kesadaran yang coba dibangun oleh Cak-Nur.bn H. A. Mukti Ali merupakan salah satu tokoh yang tidak sependapat, ia misalnya menekankan pluralism agama di Indonesia dalam konteks agree in_disagreement (setuju dalam perbedaan),10 dalam artinya pluralism dapat dibangun dalam perbedaan tanpa harus menekankan persamaan. Untuk itu diperlukan dialog agama atau dialog iman dalam datarn teologis. Dialog ini dibutuhkan dalam menjalani hidup para penganut berbagai agama yang berbeda-beda) kecuali di kota-kota ekslusif tertentu saja seperti Vatikan, Mekkah dan Madinah (dewasa ini). Bahkan negeri-negeri Islam Timur Tengah (Dunia Arab) yang nota bone bekas pusat-pusat agama Kristen dan yahudi, sampai saat ini masih mempunyai kelompok-kelompok penting minoritas Kristen dan yahudi. Apalagi melihat kenyataan bahwa Islam menjadi mayoritas melalui proses pengislaman yang berjalan alami (Madjid, Islam, Doktrin dan peradaban, h. 177-178) 8 Madjid, Islam, Doktrin dan peradaban, h. 177 9 Madjid, Islam, Doktrin dan peradaban, h. 179 10 Menurut H.A. Mukti Ali, selain berpegang teguh pada konsep Agree Disagrreement, dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama juga harus belajar ilmu perbandingan agama. ditengah pluralism agama, pluralism kebertuhanan, pluralism keyakinan, pluralism kelas social dan lain sebagainya.11 Lebih jauh Kukti Ali juga menolak pluralism agama yang dibangun berdasarkan pandangan bahwa keragaman merupakan kenyataan hidup yang tidak bias dihindari dank arena itu memerlukan sikap saling memahami untuk dapat hidup berdampingan.12 Pendapat di atas jelas berbeda dengan pandangan Cak-Nur yang melihat keragaman sebagai keniscayaan, yang kemudian harus disikapi dengan merujuk sebagai keniscayaan, yang kemudian harus disikapi dengan merujuk pada universalisme yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan dataran luar agama, pandangan seperti ini kemudian diharapkan meredam pemahaman keagamaan bersifat ekslusif13 yang memiliki kecenderungan kuat untuk mempertahankan klaim kebenaran satu agama atas yang lainnya. Pandangan seperti inilah yang kemudian menjadi syarat bagi pembentukan budaya yang kosmopolit di Indonesia. Jelas bahwa pemikiran keagamaan Cak-Nur secara umum cenderung bertolakbelakang dengan mainstream (arus utama) pemikiran umat Islam. Sehingga pemikirannya bukanlah pemikiran yang dapat menjadi trend pemikiran Islam di Indonesia, pada satu sisi pemikiran Cak-Nur dihujat dan dikritik, namun pada sisi lain pemikirannya justru sangat berpengaruh dalam benak elit akademik moderat 11 Lihat H. A. Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 6162. Bandingkan dengan Burhanuddin Daya (ed), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), h. 228-230 12 Baca Raimundo Pannikar, Dialog Intra Religius, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 18-24. 13 Sikap ini merupakan pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini. Bagi kaum Kristiani, inti pandangan ini adalah bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan. “Akulah jalan da kebenaran dalam hidup. Tidak ada seorangpun yang dating kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes, 14:6). Ayat ini dalam persepektif orangorang yang bersifat eksklusif sering dibaca literal. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan; “…dan keselamatan tidak ada pada siapapun juga selain didalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain” – dari sinilah dikenal istilah yang santer diungkap “No Other Name” – yang diberikan kepada manusia dan olehnya kita dapat diselamatkan”. Sementara untuk kasus Islam terdapat beberapa ayat biasa dipakai sebagai unkapan eksklusivitas, antara lain; “Sungguh, agama pada Allah adalah hanya Islam” (QS. Ali Imran : 19). “Barangsiapa menerima agama selain islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia termasuk golongan orang yang merugi” (QS. Ali Imran : 19). Tegasnya, inti sikap eksklusif adalah bahwa kebenaran hanya milik agama tertentu saja. Baca Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Keselamatan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.44-45. yang dibangun Cak-Nur, terutama lewat Yayasan Paramadina dan teknologi inklisifnya. Karena itu fachry Ali melihat figure Cak-Nur sebagai sosok fenomenal di Indonesia, yaitu sosok yang memiliki kekuatan pribadi dan pemikiran, yang mampu mempengaruhi perubahan pemikiran agama dan islam khususnya di Indonesia.14 Kekaguman terhadap Cak-Nur sebagai pendekar islam dari Jombang.15 Majalah tempo juga pernah menyebut Cak-Nur sebagai penarik gerbong pembaruan di Indonesia.16 William Liddle bahkan melihat pengaruh pemikiran Cak-Nur cukup besar di kalangan sosial kelas menengah dan kelas bawah, mulai dari birokrasi yang pada tahun 70-an dikuasai oleh kelompok abangan (Islam KTP) hingga elit kekuasan dan masyarakat biasa.17 Hal itu menjadikan pemikiran Cak-Nur tidak bias diabaikan, walaupun tidak dipungkiri banyak nada-nada sinis dan kritikan tajam diajukan kepadanya. Seperti yang dilontarkan Prof. Dr. HM. Rasjidi, yang menilai Cak Nur bukan orang yang percaya pada Qur’an, ketika memunculkan slogan controversial “Islam Yes, Partai Islam No”. Karena slogan itu bagi sang Profesor berbau sekuler dan mengarah pada pemisahan dimensi agama yang spiritual-pribadi dengan Negara rasionalkolektif.18 Beberapa kalangan bahkan lebih jauh menilai pemikiran Cak-Nur menyimpang dari koridor Islam dan memiliki benang merah dengan Yahudi.19 Hingga kini bahkan pemikiran Cak-Nur masih menjadi bahan kritik beberapa kalangan seperti Adian Husaini dan Daud Rasyid. 14 Lihat pengantar Fachry Ali dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Komtemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. xxi-xxii. Bahkan jauh sebelumnya Fachry Ali sudah mengatakan bahwa Cak-Nur bersama Gus Dur telah membuat Islam menjadi kekuatan masyarakat yang tidak bias ditolak oleh kelompok-kelompok lain (lihat kolom bertajuk “ Cak Nur dan Gus Dur “, Tempo, 19 Januari 1991) 15 Gelar serupa juga diberikan kepada Gus Dur. Bagi Moeslim keduanya merupakan pendekar islam Jombang yang menyemarakkan pemikiran public di Indonesia, tidak hanya kalangan Islam. (Moeslim Abdurrahman, Dua pendekar, Tempo, 2 januari 1993). 16 Tempo, 14 Juni 1986 17 Lihat R. Willian Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), h. 32-53 18 Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, (Jakarta: Republika, 2004), h.3 19 Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid, (Bandung: Yadia, 1994), h.1 Posisi Cak-Nur dalam gelanggang pemikiran Islam di Indonesia terlihat dilematis, pada satu sisi diagungkan dan pada sisi lain dihujat. Hal itu wajar, tiap orang bebas menentukan arah pemikirannya dan Islam sangat terbukan bagi berbagai interpretasi. Dalam kesadaran demikian, penulis merasa bahwa pemikiran CAk-Nur cukup bijak untuk didalami, digali dan dipahami untuk melihat perspektif sejati pemikirannya. Dalam hal ini penulis hanya berupaya menelisik pemikiran Cak-Nur secara terbata, yaitu tentang universalisme agama yang dikaitkan dengan upaya pembentukan kosmopolitanisme budaya di Indonesia. B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Penelitian diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan. Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu : a. Mengetahui latar belakang dan landasan pemikiran universalisme Islam Nurcholish Madjid. b. Mengetahui bentuk pemikiran universalisme Islam Nurcholish Madjid. c. Memetakan posisi universalisme Islam Nurcholish Madjid dalam peta pemikiran Islam di Indonesia. d. Menelusuri relevansi pemikiran universalisme Islam Nurcholish Madjid terhadap kosmopolotanisme kebudayaan Islam di Indonesia. Universalisme dan Kosmopolitanisme Kebudayaan dalam Sejarah Islam 1. Universalisme dalam sejarah Islam Wajah universalisme Islam sejak awal telah diperlihatkan oleh Nabi, melalui piagam Madinah yang menaungi warga Madinah ketika itu. Bermula dalam peristiwa hijrah, yang menjadi starting point peletakan dasar-dasar kehidupan yang universal dalam Islam. Hal itu dimungkinkan, karena Nabi di Madinah tidak saja bertindak sebagai pimpinan agama, tapi juga pimpinan politis yang memiliki kekuasaan terhadap seluruh penduduk Madinah yang plural.20 Karena itu dapat dikatakan bahwa peristiwa hijrah Nabi merupakan momentum terbentuknya Negara Madinah yang mengakui pluralis dalam tatanan kemasyaraktan yang terdiri dari berbagai agama dan suku, yang kemudian coba diikat dalam satu kesatuan pandangan universal yang diakui dan dijalankan bersama. Melalui usaha-usaha diplomatis Nabi yang elegan, disertai dengan integritas pribadinya yang diakui semua kalangan masyarakat Madinah, wewenang keagamaan sebagai Nabi di kalangan umat Islam, dan otoritas (kekuasaan) yang diakui secara luas, maka Nabi berhasil membangunun suatu komunitas masyarakat “muslim” pertama yang bebas dan merdeka. Terdiri dari pengikut Nabi yang hijrah dari Mekah (Muhajirin), penduduk asli Madinah yang memeluk Islam (Anshar), serta orang-orang Yahudi dan suku-suku Arab yang tetap bertahan pada agama nenek moyangnya (penyembah berhala/ paganism).21 Untuk memperkokoh komunitas masyarakat baru tersebut, Nabi segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat: Pertama, pembangunan masjid. Selain untuk tempat shalat, masjid juga difungsikan sebagai sarana mempersatukan umat muslim dalam pertalian jiwa (ashabiyah), dan tidakjarang masjid difungsikan sebagai sarana musyawarah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi sehari-hari. Bahkan ada indikasi kuat bahwa masjid juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan di Madinah: Kedua, pembentukan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesame muslim. Hal ini dibutuhkan untuk meminimalisir pertikaian antar umat Islam sendirir. Dalam hal ini nabi berupaya keras mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Anshar, yang belum solid, dengan harapan akan memunculkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang hangat. Apa yang dilakukan Nabi tersebut merupakan bentuk persaudaraan baru kala itu, yaitu persaudaraan berdasarkan agama yang menggantikan bentuk persaudaraan berdasarkan hubungan darah dan klan-kesukuan; Ketiga, hubungan persahabatan dengan pihak- pihak lainyang tidak seagama . Masyarakat Madinah 20 Harun nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press, 1985), cet. 5, jilid 1, h.101 21 Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 10 tidak hanya tertdiri dari komunitas muslim, meliputi pula komunitas yahudi dan orang – orang Arab penyembah berhala. Dalam rangka menciptakan stabilitas masyarakat, maka hubungan antara umat Islam dan umat non – Islam mesti dibina secara bai, dengan mengambil prinsip kebenaran universal yang terkandung dalam ajaran Islam.22 2. Kosmopolitanisme Dalam Sejarah Islam Kosmopolitanisme Islam sangat jelas terlihat dalam peri kehidupan Nabi dan para pengikutnya. Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh umat manusia.23 UNIVERSALISME ISLAM NURCHOLISH MADJID DAN RELEVANSINYA TERHADAP KOSMOPOLITANISME KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA A. Latar Belakang dan landasan pemikiran Universalisme Islam Nurcholish Madjid Gagasan universalisme Islam, pada dasarnya bukan pandangan baru dan senyatanya telah terkandung secara inhern dalam ajaran islam. Sehingga kesadaran dan perwujudan nilai-nilai universal Islam telah ada sejak awal-awal pertumbuhan islam di Jazirah Arab, sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu. Dalam konteks kehidupan modern Cak-Nur melihat ada beberapa alas an yangmenjadikan universalisme Islam penting dikemukakan kembali dari gugus bebatuan skalaktik yang mulai mengendp dalam kesadarn umat islam. Pertama, Cak-Nur berupaya menampilkan wajah Islam yang universal sebagai upaya memupus anggapan yang member kesan agama Islam seolah-olah hanya untuk bangsa tertentu. Ada banyak orang (baik muslim maupun non muslim) yang berpendapat bahwa ada semacam keejajaran antara “ke-Islam-an” dengan “ke22 Badri yatim, Sejarah peradaban islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RagaGrafindo Persada, 1997), cet. Ke-5., h.26. Dapat pula dirujuk dalam Muhammad husein Haekal, (Ter.) 23 Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 442 Arab-an”. Pendapat ini timbul misalnya menyangkut peran Bahasa Arab yang begitu sentral terutama sebagai Bahasa Al-Quran, Bahkan anggapan yang lebih ekstrim mengatakan Bahsa Arab identik dengan Islam. Padahal pendapat ini lebih merupakan sebuah kesan/citra dan tidak menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Bahasa Arab bukan bahasa ekslusif (hanya) untuk orang Muslim atau satu-satunya bahasa Islam, melainkan juga bahasa yang digunakan oleh komunitas non-Muslim dan agama bukan Islam, misalnya yahudi dan Kristen. Orang-orang Kristen Arab yang tinggal di provinsi Hijaz (Makkah-Madinah) misalnya juga menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa mereka sehari-hari. Kedua, menurut Cak-nur , ajaran islam tentang universalisme yang memuat penegasan bahwa ajaran islam ditujukan untuk seluruh umat manusia, harus disadari berasal ajaran islam ditujukan untuk seluruh umat manusia, harus disadari berasal dari konsequensi bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan bagi seluruh alam (termasuk seluruh umat manusia). Artinya ajaran Islam berlaku bagi bangs Arab dan bangsa-bangsa non-Arab/ ‘Ajam dalam tingkat yang sama. Di mana sebagai suatu agama universal, Silam tidak tergantung kepada suatu bahasa, tempat, masa dan kelompok manusia. Maka berkaitan erat dengan universalisme Islam patut direnungkan penegasan Al-Qur’an tentang apa yang dinamakan kebajikan.24 Jadi, menurut Cak-Nur, nilai-nilai ajaran universal harus dipahami sebagai nilai-nilai yang berlaku di sepanjang waktu dan tempat seta berlaku untuk semua kelompok manusia, tidak terbtasi oleh suatu formalitasme, seperti formalitasme menghadap Timur dan Barat (formalitasme Agama, bahsa, Bangsa ataupun Negara).25 Ketiga, karena makna atau nilai yang terkandung dalam ajaran Islam hakikatnya adalah universal, maka tentu tidak diperlukan adanya pembatasan atau perubahan (dalam arti penambahan atau pengurangan arti) oleh penggunaan suatu bahsa. Maka dari itu, penggunaan bahsa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an pun 24 25 Madjid, Islam Doktrin dan Peradapan, h.360-361 Madjid, Islam Doktrin dan peradapan, h.362 sesungguhnya lebih banyak menyangkut masalah teknis penyampaian lisan/teks daripada masalah nilai. Penggunaan bahsa Arab untuk Al-Qur’an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahsa kaumnya, yaiut masyarakat yang menjadi audience langsung seruan rasul dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW diutus dalam komunitas masyarakat Arab, khususnya masyarakat Makkah dan sekitarnya, sehinggan bahasa Al-Qur’an pun sesungguhnya adalah bahasa Arab dialek penduduk Makkah, yaitu dialek Quraysy.26 Hal ini tidak harus menimbulkan pemahaman bahwa Islam hanya untuk bangsa Arab. Menutup uraiannya, Cak-Nur menyadari beberapa alas an glossarium yang penting diperhatikan, yaitu : a. Risalah (tugas kerasulan) Nabi Muhammad SAW adalah untuk semua umat, sehingga ajarannya pun bersifat universal, karena itu pula ajarannya tidak dibatasi oleh factor kebahasaan manusia yang terbatas, termasuk bahsa Arab. b. Nabi Muhammad SAW adalah orang Arab, karena itu tidak mengherankan bila wahyu yang diturunkan kepadanya dalam bahasa Arab, tanpa harus mengurangi universalitas ajaran Islam. Di mana penggunaan bahasa Arab sebagai pengantar Al-Qur’an adalah masalah teknis penyampaian audience awalnya. c. Akan tetapi, dalam kesatuannya yang utuh, terutama berkaitan dengan I’jaz Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari bahasa pengantar (bahasa Arab) maka dalam hal ini bahasa Arab menjadi bagian integral dari kesucian Al-Qur’an, sehingga dapat dipahami bahwa Al-Qur’an hanya ada dalam bahasa Arab. Adapun selainnya hanya dilihat sebagai terjemahan/tafsir yang tidak bias menggantikan kedudukan Al-Qur’an yang berbahasa Arab. d. Apresiasi terhadap Al-Qur’an tidak dapat dibatasi hanya pada aspek rasionjal (usaha menangkap makna yang dikandung), tetapi harus dilengkapi dengan apresiasi mistik atau spiritual yang dikandung Al-Qur’an.27 26 27 Madjid, Islam Doktrin dan peradapan, h.363 Madjid, Islam Doktrin dan peradapan, h.369-370 B. Bentuk Universalisme islam menurut Nurcholish Madjid Pembahasan tentang universalisme Islam pada bahasan ini diarahkan sepenuhnya untuk melihat narasi universalisme Islam berdasarkan karya-karya dan pemikiran Cak-Nur terutama yang termuat dalam Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Namun bukan berarti pembahasan ini menutup kemungkinan pertautannya dengan pemikir-pemikir lain yang juga memiliki perhatian terhadap universalisme Islam. Setelah menjelaskan beberapa alasan yang menterbelakangi pentingnya upaya mengungkap kembali universalisme Islam dan juga landasan normative universalisme Islamnya, kemudian Cak-Nur mulai menguraikan beberapa ajaran universalisme Islam, yang tertuang terutama dalam karyanya Islam, Doktrin dan Peradaban. Berdasarkan landasan pemikiran normatif yang telah dikemukan CakNur melihat tiga item penting yang terdapat dalam ajaran universalisme Islam, yaitu universalisme manusia, universalisme konsep manusia dan universalisme konsep kenabian. 1. Universalisme Manusia Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa mengatakan Islam agama universal hamper sama kedengaran dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Hal itu terutama benar untuk masa-masa akhir ini, ketika ide dalam ungkapan itu sering dikemukan orang, baik untuk sekedar pembelaan (apologia) maupun untuk pembahasan ilmiah yang lebih sungguh-sungguh. Namun, bagi Cak-Nur agaknya benar jika dikatakan bahwa tidak semua orang menyadari apa hakikat universalisme Islam itu, apalagi implikasinya dalam bidang-bidang lain yang luas. Sama dengan tidak sadarnya banyak orang tentang apa hakikatnya bulatnya bumi apalagi akibat yang ditimbulkannya, secara praktis maupun teoritis. 2. Universalisme Konsep Islam Menurut Cak-Nur yang pertama-tam menjadi sumber ide tentang universalisme Islam ialah pengertian perkataan “Islam” itu sendiri. Lebih jauh Cak-Nur melihat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan tuntunan alami manusia, maka agama (al-din), yang secara harfiah antara lain berarti kutip “ketundukan”,”kepatuhan” atau “ketaatan”, yang akrenanya tidak sah tanpa sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Maka tidak ada agama tanpa sikap pasrah, karena keagamaan tanpa kepasrahan kepada Tuhan adalah tidak sejati.28 Bahwa setiap manusia di muka bumi apapun ras, bangsa dan agama mereka dapat memperoleh keselamatan selama mereka berpegang kepada tradisi keagamaan al-Islam, yaitu tradisi kepasrahan terhadap Allah. 3. Universalisme Risalah Kenabian Nurcholish Madjid tidak hanya melihat indikasi universalisme dalam ajaran Islam tentang kenyataan fisik manusia, ataupun ajaran Islam tentang istilah atau konsep al-Islam itu sendiri, namun lebih jauh ia melihat universalisme terkandung pula dalam ajaran Islam tentang risalah kenabian. Hal ini tampaknya merupakan penjelasan lebih jauh dan kesinambungan dari universalisme konsep Islam-nya Cak-Nur. Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, bahwa dalam pemikiran CakNur sikap pasrah atau al-Islam manusia kepada Tuhan sedah menjadi tuntutan dan keharusan sejak saat-saat pertama kali manusia diciptakan. Maka Tuhan dengan rahmat dan kasih-Nya memperingatkan manusia akan fitrahnya sendiri, melewati ajaran-ajaran kepasrahan yang disampaikan bahwa risalah-Nya ajaran itu dibawa oleh para nabi dan rasul silih berganti, sejak Nabi Adam, bapak umat manusia, sampai akhirnya ditutup oleh Nabi Muhammad SAW. Namun tambah Cak-Nur, secara jelas dan harfiah al-Qur’an menuturkan bahwa Nabi yang pertama kali menyadari al-Islam atau sikap pasrah kepada Tuhan itu sebagai inti agama ialah nabi Nuh, Rasul Allah urutan ketiga dalam deretan dua puluh lima Rasul (seperti dipercayai umum), setelah Adam dan Idris. Dalam Al-Qur’an dituturkan bahwa Nabi Nuh mendapat perintah Allah untuk 28 Madjid, Islam Doktrin dan peradapan, h.427 menjadi salah seorang yang muslim yakni, pelaku yang bersifat al-islam, pasrah kepada Tuhan.29 PENUTUP Kesimpulan 1. Secara umum ada dua hal yang melatarbelakangi pemikiran (mind set) bagi Cak-Nur untk mengemukakan kembali paham universalisme Islam: Pertama mengahpus adanya kesan seolah-olah Islam tidak bersifat universal. Beberapa anggapan itu misalnya, Islam hanya diperuntukkan bagi bangsa tertentu misalnya arab dan Negara-negara ketika. Kenyataan ini diperkuat oleh gambaran secara sosiologis bahwa Negara-negara yang rakyatnya mayoritas beragama Islam termasuk Negara dunia ketiga, misalnya Indonesi, Pakistan, Bangladesh, bahkan Negara-negara Islam di Afrika Utara, Sudan, Somalia, Aljazair dan lainnya; Kedua, ada kepentingan local dalam konteks keIndonesiaan untuk menjadikan Umat islam di Indonesia dapat bersifat terbuka ( Insklusif), yang berguna dalam menghadapi era globa, yang membuat umat manusia hidup dalam sebuah desabuana (global village). Dalam desa buana itu, manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga lih mudah terbawa pada penghadapan dan konfrontasi langsung. Adapun landasan pemikirannya tentang universalisme Islam adalah pemahaman tentang makna Islam sebagai agama yang dinilainya memiliki tiga makna pokok, yaitu : Islam sebagai agama alam semesta, islam sebagai agama kemanusiaan sejagad, dan islam sebagai agama sekalian para Nabi. 2. Pandangan Universalisme Islam menurut Cak-Nur dapat dirujuk dari tiga pandangan Universal, yaitu : Universalisme manusia, Universalisme Konsep Islam dan Universalisme Risalah Kenabian. Pandangan Universalisme Islam terejawantah dalam kospomopolitanisme budaya klasik Islam yang terbuka terhadap berbagai ras dan juga budaya disekitarnya. Karena itu Universalisme 29 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.432-433 Islam bagi Cak-Nur memiliki relevansi terhadap kosmopolitanisme budaya Islam, termasuk budaya Islam di Indonesia. Dimana kosmopolitanisme Islam yang dibangun berdasarkan universalisme Islam menjadikan budaya Islam senantiasa sesuai dengan segala zaman dan tempat (al-islam salih li kulli zaman wa makan).Hal ini di tandai dengan hilangnya batasan etnis, ras, agama,dihargainya pluralitas/keragamaan budaya, poliutik, serta kemungkinan juga pemikiran keagamaan. karena kosmopolitanisme ini juga akan berdampakpada kehidupan beragama yang bersifat eklektik (memilih mana yang terbaik). Inilah sebenarnya yang menjadi gambaran sebuah kebudayaan yang modern/maju (bedakan dari modernisme sebagai ideologi masyarakat barat), yaitu kebudayaan yang kosmopoli, yang dipenuhi dengan keterbukaan, toleran, moderat, menghargai keragaman umat manusia, dimana tiap budaya diakui keberadaannya tanpa kecuali; dengan demikian justru diharapkan kebudayaan-kebudayaan lokal yang dimiliki dan melimpah ruah di Indonesia dapat saling mengisi, sehingga pada akhirnya tanpa dipaksakan dan dikondisikan akan membentuk sebuah budaya yang lebih baik yang memadukan berbagai keunggulan budaya dan cita rasa. 3. Posisi Cak-Nur ditempatkan oleh Budi Handrianto, dalam deretan pemikir liberal islam bersama-sama dengan H.A. Mukti Ali, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahid, Dhjohan Effendi, Harrun Nasution, M.Dawam Rahardjo, dan Musawir Sjadzali. Liberal dalam hal ini diterjemahkan dalam konteks pemataan Yudi Latif dalam karyanya in intelegensia Muslim dan kuasa : geneologi intelegensia muslim abad ke-20. Yaitu pemikir yang berorientasi Barat ( sekuler – liberalis ). Namun lebih cepat jika Cak-Nur ditempatkan sebagai pemikir neo-modernis seperti hanya Fazlur Rahman. Karena pemikirannya universalisme Islam yangdibangun Cak-Nur adalah pemikiran Islam yang berupaya mengadaptasikan dirinya dengan nilai-nilai ( positif ) Barat, sehingga ia senantiasa mengembangkan pesan-pesan Islam melalui racikan bahasa Barat yang modern, lebih jauh hal tersebut kemudian berupaya ia kontkstualisasikan dalam iklim ke-indonesiaan, karena bagi Cak-Nur Islam harus dapat memberikan sumbangan bagi peradaban umat Islam dan juga peradaban dunia modern. Karakter pemikiran inilah yang kemudian mempengaruhi kalangan para madinah dan juga dalam batasan tertentu JIL. 4. Relefansi universalisme Islam Cak-Nur dalam pembentukan kosmopolitanis budaya di Indonesia dapat dilihat dari kenyataan-kenyataan yang menunjukkan betapa kebudayaan di Indonesia belum kosmopolit. Terutama terlihat dalam perbatasan kebebasan beragama, primordialisme, serta ekslusifisme beragama jelas memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas adalah Islam belum mampu menerapkan prinsip-prinsip universalisme Islam dalam kosmopolitanisme budaya. Selain itu masih benyak hal-hal yang menunjukkan perlunya universalisme dalam upaya membangun budaya yang cosmopolitan di Indonesia, antara lain, bagaimana umat Islam memperlakukan bangsa lain, atau seorang pria memperlakukan wanita baik dalam ruang privat rumah tangga ataupun ruang publik dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Belum lagi pandangan sebagian besar umat Islam terhadap orang - orang miskin yang dilihat secara “hina”, termasuk pandangan antar etnis yang terlihat saling tuding dalam keburukan walaupun hanya disuarakan dalam lokalitas etnisnya masing–masing. BIBLIOGRAFI Abdurrahman , Moeslim, Dua pendekar, Tempo, 2 januari 1993 Ali, H.A. Mukti, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1991 Ayoub , Mahmud, Akar-akar Konflik Muslim Kristen, dalam Journal Ulumul Quran, No.4, Vol IV 1993 Ghazali , Adeng Muchtar, Ilmu Studi Agama, Jakarta Barat: Pustaka Setia, 2005 Daya, Burhanuddin (ed), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda, Jakarta : INIS, 1992 Djaelani , Abdul Qadir, Menelusuri kekeliruan Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid, Bandung: Yadia, 1994 Latief, Hilman, Mendefinisikan Universalisme Islam, http://psap.or.id/jurnal.php?id=7 Leonardus , Harno, “Enlightenment” Nurcholish Madjid: Universalisme Islam “dari Teks ke Konteks, Selasa 23 Maret, 2006, http://rethar.blogspot.com/2006 03 01 archive.html Liddle, R. Willian, Islam, Politik dan Modernisasi, Jakarta: Sinar Harapan, 1997 Madjid , Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, 2005, cet -----, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Komtemporer, Jakarta: Paramadina, 1998 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta:UI Press, 1985, cet. 5, jilid 1 Pannikar, Raimundo, Dialog Intra Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994 Rahman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Keselamatan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001 Sjadzali, Munawir, Islam dan tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993 Tanja , Victor I., Pluralisme Agama dan Problema Sosial : diskusi teologi tentang isu-isu kontemporer, Jakarta: Pustaka Cisendo, 1998 Urbaningrum , Anas, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika, 2004 Yatim, Badri, Sejarah peradaban islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RagaGrafindo Persada, 1997), cet. Ke-5