4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi kolon dan rektum Usus

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi kolon dan rektum
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi
makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon,
dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat dimana
kolon membentuk kelokan tajam, yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturutturut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid dimulai dari
krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang
dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat
kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum
sampai kanalis ani adalah 5,9 inci (Lindseth, 2005)
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, tunika serosa, muskularis, tunika
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambarangambaran yang khas berupa lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna,
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid
distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat
kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices
epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus. (Taylo,
2005)
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum
5
sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri
kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian
kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal).
Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri
hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum
diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran
balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan
inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang
mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah
ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara
vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal
dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik
pembuluh limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada
sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase
karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe
virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah
hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi
limfatisiiliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit
perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis. (Taylo, 2005)
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama
dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (Meissner).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang
6
berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan
interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya
tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus
aurbach dan meissner (Taylo, 2005)
2.2.
Fisiologi Kolon
Kolon berfungsi untuk penyimpanan feses dan mencegah terbuangnya cairan,
elektrolit, nitrogen, dan energi yang telah diabsorpsi di usus halus, sedangkan fungsi
rektum untuk pembuangan tinja. Pendaur ulangan nutrien bergantung pada aktivitas
metabolik flora normal kolon, motilitas kolon, dan absorpsi mukosa kolon.
Sedangkan pembuangan tinja terdiri dari penyerapan air dari isi kolon dan defekasi.
(Fry et al, 2008)
2.2.1.
Absorpsi
Luas daerah absorpsi kolon diperkirakan sekitar 900cm2. Sekitar 1000 hingga
1500 ml cairan mengalir dari ileum ke kolon setiap harinya, sedangkan jumlah air
yang berada dalam feses hanya sekitar 100 hingga 150 ml saja. Pengurangan hingga
10 kali lipat ini menunjukkan kolon merupakan tempat pengabsorpsian paling baik
pada saluran pencernaan. (Fry et al, 2008)
Epitel kolon menggunakan butirat yang dihasilkan oleh flora normal kolon dengan
memfermentasi karbohidrat sebagai bahan bakar. Butirat yang dihasilkan bakteri ini
dapat membantu penyerapan air dan sodium di kolon, stimulasi aliran darah di kolon,
memperbaiki mukosa kolon, dan meregulasi pH untuk menjaga homeostasis flora
normal kolon. (Fry et al, 2008)
2.2.2.
Motilitas
Dua pola motilitas terlihat di dalam kolon. Kontraksi mengaduk atau
meremas dan mencampur massa feses terjadi terutama dalam kolon kanan dan
transversum, serta tampak membantu dalam absorpsi air. Jenis kontraksi kedua
“gerakan massa” mendorong isi kolon ke distal. Gerakan massa membawa isi kolon
7
dari kolon kanan ke kolon sigmoid, kemudian ke rektum. Gerakan ini bisa dipicu
oleh makanan di dalam lambung. (Fry et al, 2008)
2.2.3.
Defekasi
Kerja defekasi yang menyebabkan pengeluaran feses merupakan refleks
terkontrol yang bisa dihambat hingga saat yang diinginkan. Ketika feses berada di
rektum, refleks inhibisi anorektal
akan terangsang, menyebabkan pasien akan
berusaha untuk menahan hasratnya untuk buang air, dengan adanya kontraksi
sfingter eksternal. (Fry et al, 2008)
2.3.
Karsinoma Kolorektal
2.3.1.
Definisi
Karsinoma kolorektal adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal
atau tumbuh di dalam saluran usus besar (kolon) dan atau rektum (Sander, 2012).
2.3.2.
Etiologi dan Patogenesis
2.3.2.1.
Faktor Lingkungan
Beberapa penelitian menyatakan bahwa lingkungan memiliki peran yang
penting dalam pertumbuhan kanker kolorektal. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa diet tinggi lemak berpotensi menyebabkan kanker kolorektal. Negara dengan
angka kejadian kanker kolorektal yang tinggi, sebagian besar masyarakatnya
mengkonsumsi 40-45% dari kebutuhan kalori total. Sedangkan negara dengan angka
kejadian yang rendah, masyarakatnya hanya mengkonsumsi 10-15% lemak dari
kebutuhan kalori total. (Bresalier, 2003)
Lemak dapat meningkatkan fungsi hati dalam mensintesis kolestrol dan asam
empedu. Kolestrol dan asam empedu ini akan diubah oleh bakteri yang terdapat pada
kolon menjadi asam empedu sekunder, metabolit kolestrol, dan substansi-substansi
toksik yang dapat merusak mukosa kolon, dan nantinya akan menyebabkan
meningkatnya proliferasi seluler. (Bresalier, 2003)
Kurangnya konsumsi serat juga menyebabkan timbulnya kanker pada daerah
kolon. Serat mengandung komponen yang dapat membantu proses pencernaan.
8
Contohnya seral yang dapat meningkatkan pengeluaran feses dan mengurangi jumlah
bahan-bahan yang bersifat karsinogen, sehingga dapat mengurangi kontak bahan
bahan toksin terhadap mukosa dan meningkatkan pengeluarannya. Selulosa dan
hemiselulosa menurunkan level enzim bakteri dan mengurangi aktivasi karsinogen.
Di dalam kolon, selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dipecah oleh enzim maupun
bakteri, sedangkan di dalam traktus digestivus serat makanan ini akan menyerap air
dan menyebabkan bertambahnya volume feses, dan kemudian
merangsang
rektum.Meskipun begitu, suplementasi serat belum bisa dibuktikan berhasil dalam
mencegah terjadinya kanker kolorektal. (Bresalier, 2003)
Kalsium juga berpengaruh dalam mencegah terjadinya kanker kolorektal.
Beberapa studi epidemiologi menyatakan bahwa, pria yang mengkonsumsi kalsium
dalam jumlah sedikit memiliki risiko dua kali lebih sering terkena kanker kolorektal
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kalsium lebih tinggi. Kalsium dapat
meningkatkan ekskresi asam empedu melalui feses. Suplementasi kalsium juga dapat
menurunkan proliferasi mukosa kolon. (Bresalier, 2003)
Risiko perkembangan kanker kolorektal diketahui berkurang pada pengguna
aspirin dan obat obat NSAID lainnya. Mekanisme proteksinya masih belum bisa
diketahui. Kemungkinan karena meningkatnya kadar COX-2 pada kanker kolorektal
yang diinduksi oleh sitokin dan growth factor, sehingga penggunaan obat-obat jenis
NSAID yang bekerja menghambat enzim COX-2 berpengaruh pada proses ini.
(Bresalier, 2003)
2.3.2.2.
Faktor Genetik
Perubahan genetik yang menyebabkan perkembangan kanker kolorektal dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelas: perubahan pada protoonkogen, rendahnya
aktivitas tumor supresor gen, dan adanya abnormalitas struktur DNA. (Bresalier,
2003)
Protoonkogen seluler merupakan gen pada manusia yang mengandung sekuens
DNA yang homolog terhadap transformasi retrovirus. Banyak dari gen ini
yangberperan dalam regulasi pertumbuhan sel normal dan akan menyebabkan
proliferasi yang abnormal, bahkan pertumbuhan karsinoma. Contohnya mutasi gen
9
K-ras yang dapat ditemukan pada setidaknya 50% penderita kanker kolon. (Bresalier,
2003)
Alel yang hilang pada kromosom 5q, 18q, dan 17p sering ditemukan pada kanker
kolorektal. (Bresalier, 2003)
Perubahan gen APC pada kromosom ke 5 mengindikasikan adanya tanda awal
perkembangan kanker. APC merupakan tumor suppressor gen yang nantinya akan
berikatan dengan β-catenin yang berada di nukleus dan akan mendegradasinya.
Hilangnya gen APC mengakibatkan terjadinya akumulasi β-catenin, dimana catenin
akan berikatan dengan faktor transkripsi dan menyebabkan pertumbuhan sel.
(Bresalier, 2003)
Gen DCC yang ditemukan pada kromosom 18q sangat penting dalam progresifitas
kanker kolorektal, karena hilangnya gen ini pada penderita kanker kolorektal berarti
berhubungan dengan prognosis yang buruk.Gen hMSH2 dan hMLH1 berperan dalam
memperbaiki pasangan basa yang tidak sesuai selama replikasi DNA. Perubahan
pada gen ini mengakibatkan replikasi DNA terganggu, sehingga terjadi mutasi. Salah
satunya adalah dengan mempengaruhi sekuens DNA yang berperan dalam
mempertahankan fungsi normal seluler, seperti reseptor TGF-b yang dapat mencegah
terjadinya perkembangan tumor. (Bresalier, 2003)
2.4.
Faktor Risiko
2.4.1.
Usia
Karsinoma kolorektal umumnya merupakan penyakit yang menyerang kelompok
usia yang lebih tua. 90% angka kejadian terjadi pada kelompok usia 50 tahun, dan
dengan puncak insidensi pada usia 70 tahun. Kelompok usia 50 tahun memiliki
kemungkinan terkena kanker kolorektal pada usia 80 tahun sebanyak 5% dari
populasi, dan 2,5% meninggal karena kanker kolorektal. Meskipun risiko kanker
kolorektal meningkat setelah usia 50 tahun pada populasi umum, kanker ini juga
dapat terjadi pada kelompok usia yang lebih muda, terutama yang memiliki riwayat
penyakit yang sama. (Bresalier, 2003)
Patomekanisme usia dapat menyebabkan karsinoma kolorektal diduga antara lain
adalah:
10
1. Mutasi DNA sel penyusun dinding kolon terakumulasi sejalan dengan
bertambahnya umur (Wallace, 2005)
2. Penurunan fungsi sistem kekebalan dan bertambahnya asupan agen-agen
karsinogenik. (Best, 2012)
2.4.2.
Polip Adenomatosa
Umumnya kanker kolorektal disebabkan karena adanya polip adenomatosa.
Ditemukannya lesi makroskopik yang terjadi karena epitel yang mengalami
displasia. Polip ini bisa saja melekat pada dinding kolon. Jenis yang paling sering
ditemukan adalah adenoma tubulovili yang merupakan gabungan antara bentuk
tubular dan vili. Tubular adenoma memiliki karakteristik ditemukannya kelenjar
adenoma bercabang yang kompleks. Adenoma vili memiliki kelenjar yang
memanjang dari permukaan hingga ke dasar polip. Seluruh adenoma memiliki epitel
yang mengalami displasia merupakan neoplasma jinak yang memiliki potensi untuk
berubah menjadi ganas. Risiko berubahnya adenoma menjadi karsinoma bergantung
pada ukuran polip dan karakteristik histologinya. Polip besar dengan banyaknya vili
lebih sering menjurus ke karsinoma. Polip adenomatosa berkaitan dengan adanya
proliferasi sel yang abnormal. Pada kolon normal, sintesis DNA dan proliferasi
seluler terjadi hanya pada bagian bawah dan tengah kripta. Gangguan aktivitas
proliferasi merupakan karakteristik adenoma dan merupakan tanda dari adanya
neoplasia. Abnormalitas ini kemungkinan terjadi karena adanya perubahan biokimia,
contohnya pada protein kinase C, dan marker molekuler seperti APC dan mutasi
protoonkogen K-ras. Studi klinis menyatakan bahwa perkembangan kanker kolon
terjadi selama bertahun tahun, dan perubahan adenoma menjadi karsinoma
membutuhkan kurun waktu sekitar 5 tahun. (Bresalier, 2003)
2.4.3.
Riwayat keluarga
2.4.3.1.
Familial Adenomatous Polyposis (FAP)
FAP adalah gangguan autosomal dominan yang ditandai dengan tidak
aktifnya gen APC yang berlokasi di kromosom 5q. Polip umumnya muncul pada
11
usia 15-20 tahun. Jika kolon tidak diangkat, maka risiko berkembangnya kanker akan
lebih tinggi. Pemeriksaan histologi menunjukkan adanya sejumlah mikroadenoma.
2.4.3.2.
Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer
HNPCC merupakan penyakit autosomal dominan dimana kanker kolon
tumbuh dari adenoma, tetapi tidak terjadi poliposis. HNPCC terjadi pada populasi
umum dengan persentase 4-6%. Setidaknya harus terdapat minimal tiga anggota
keluarga dengan kanker kolorektal, satu merupakan keluarga yang dekat. Kanker
kolorektal setidaknya harus mengenai dua generasi, salah satunya terserang pada usia
sebelum 50 tahun. Munculnya kanker pada HNPCC dapat terjadi pada usia muda
(40-50 tahun), yang sering menyerang bagian proksimal kolon. Pada HNPCC
terdapat peubahan pada gen yang mengatur perbaikan DNA. Kehilangan hMSH2 dan
hMLH1 menyebabkan meningkatnya kemungkinan mutasi dari gagalnya perbaikan
pasagan basa. (Bresalier, 2003)
2.4.4.
Sindrom Herediter lainnya
2.4.4.1.
Sindrom Peutz-Jeghers
Sindrom Peutz-Jeghers (pigmentasi mukokutan dan adanya hamartoma pada
saluran pencernaan) merupakan sindrom autosomal dominan, dimana terdapat
gangguan pada kromosom 19p13.3 dan gen STK11. Adenoma yang menyebar bisa
saja diikuti dengan hamartoma. 15% dari penderita sindrom ini memiliki
kemungkinan terkena karsinoma kolorektal. (Bresalier, 2003)
2.4.4.2.
Familial Juvenile Polyposis Syndrom (JPS)
JPS merupakan sindrom autosomal dominan yang cukup jarang, yang bisa
saja berhubungan dengan polip yang terdapat pada kolon, terbatas pada abdomen dan
saluran pencernaan. 15% pasien dengan JPS menderita kanker kolorektal di usia
muda dan 68% di umur 60 tahun. Pada JPS terdapat gangguan pada gen SMAD4 di
kromosom 18 dan PTEN di kromosom 10. (Bresalier, 2003)
12
2.4.4.3.
Torres’s Syndrom (Muir’s Syndrom)
Sindrom Torres’s merupakan variasi dari HNPCC dimana adenoma kolon
disertai dengan lesi kulit yang multipel, seperti adenoma atau karsinoma sebasea,
karsinoma sel skuamus, dan keratoacanthoma. (Bresalier, 2003)
2.4.4.4.
Turcot’s Syndrom
Sindrom Turcot’s merupakan kombinasi dari polip adenoma dan tumor ganas
otak. Diketahui adanya mutasi pada gen APC atau mutasi pada hMLH1 dan hPMS2.
(Bresalier, 2003)
2.4.5.
Inflammatory Bowel Disease
2.4.5.1.
Kolitis ulseratif
Risiko terserang kanker kolorektal memiliki hubungan dengan durasi
terjadinya kolitis. Risiko kanker cukup tinggi pada orang-orang yang memiliki
pankolitis di seluruh saluran pencernaan. Kanker tumbuh dari epitel yang mengalami
displasia, tetapi tidak seperti populasi umum dimana displasia tumbuh dari polip
adenomatosa. Displasia pada kolitis sering terjadi pada mukosa yang datar. Jika pada
kolonoskopi ditemukan displasia pada mukosa kolon atau displasia disertai dengan
adanya massa, dianjurkan melakukan total kolektomi. (Bresalier, 2003)
2.4.5.2.
Chron’s disease
Risiko mengenai terjadinya kanker kolorektal pada penderita Chron’s disease
masih belum bisa dijelaskan, akan tetapi, sama dengan kolitis, terdapat displasia dan
kemunculan kanker berkorelasi dengan durasi Chron’s disease. (Bresalier, 2003)
2.5.
Gejala Klinis
Pasien dengan karsinoma kolorektal mempunyai gejala klinis yang cukup
bervariasi yang dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomi primernya. Tumor
pada sekum dan kolon bagian kanan ditemukan sekitar 20% dari karsinoma usus
besar, 70% terjadi di bagian distal sampai fleksura splenikus, dan sekitar 45 % di
13
bawah rektosigmoid junction. Karsinoma kolon kanan terjadi lebih sering pada
wanita, dan umumnya mempunyai gejala yang silent atau asimptomatik. (Schwartz et
al, 1999)
2.5.1.
Karsinoma sekum dan kolon kanan
Banyak pasien tampak dengan gejala dan tanda dari anemia defisiensi besi
(Fe) yang berasal dari kehilangan darah secara samar yang lama (occult blood loss).
Jarang kehilangan darah dalam jumlah banyak, terutama pada pasien yang mendapat
antikoagulan. Feses masuk ke sekum dalam bentuk cair dan obstruksi biasanya
terjadi relatif lambat. Karena lumen usus menjadi lebih sempit pasien biasanya
mengeluh nyeri kolik yang intermitten, di sentral atau di fossa iliaka kanan, dimana
sering timbul setelah makan, distimulasi oleh refleks gastrokolik. Nyeri sering diikuti
oleh diare, kemungkinan karena fermentasi feses dan akumulasi toksin bakteri di
dalam lumen usus besar. Obstruksi ileum distal dapat terjadi bila tumor menutup
katup ileosekum, atau jika katup ileosekum menjadi inkompeten karena obstruksi
komplit sekum. Gelombang dari kolik abdomen sentral dapat terjadi, dengan distensi
abdominal sentral progresif dan borborigmus. Peristaltis usus mungkin dapat terlihat,
muntah feses, dan dehidrasi merupakan menifestasi lambat yang dapat muncul..
Jarang massa yang dapat dipalpasi sebagai keluhan utama. (Schwartz et al, 1999)
Pasien kadang-kadang tampak dengan gejala dan tanda dari apendisitis akut
jika karsinoma menutup orificium apendicular dan menghasilkan inflamasi akut, atau
dari perforasi karsinoma. Diagnosis mungkin tidak jelas pada saat apendiks diangkat
dan harus dilihat dengan barium enema atau dengan kolonoskopi. Tumor dapat
berpenetrasi ke dinding posterior kolon, menimbulkan perforasi dan abses di
muskulus psoas. Pasien demikian tampak dengan gejala dan tanda infeksi dengan
massa yang nyeri pada fossa iliaka kanan. Nyeri dapat menjalar ke bawah menuju
tungkai atau panggul. Nyeri juga dapat menjalar ke belakang jika abses mengiritasi
otot-otot lumbal. Terkadang tumor anterior dapat menyebabkan perforasi
menimbulkan peritonitis akut dengan nyeri seluruh abdomen yang berat, bising usus
dapat menghilang, dan dapat ditemukan defans muskular serta nyeri ketok.
(Schwartz et al, 1999)
14
Terkadang karsinoma kolon kanan tampak dengan gejala umum malaise atau
perasaan tidak enak badan, kadang dengan demam yang tidak diketahui asalnya.
Gejala-gejala ini muncul karena abses kecil yang samar atau karena masalah tumor
itu sendiri. Gejala dan tanda metastase sangat bervariasi, tetapi biasanya disertai
dengan nyeri dan pembesaran hati, dimana merupakan tempat metastasis yang
sering. Gejala-gejala ini disebabkan oleh pertumbuhan yang cepat dari metastasis ke
kapsula hati. Metastasis juga dapat tumbuh aliran darah sendiri, sebagian infark dan
mengalami nekrosis. (Schwartz et al, 1999)
2.5.2.
Karsinoma kolon kiri dan sigmoid
Feses kehilangan air dan menjadi keras ketika sampai dan melewati kolon kiri
untuk disimpan di rektosigmoid sebelum defekasi. Pasien dengan karsinoma kolon
kiri umumnya tampak dengan perubahan kebiasaan pola defekasi, sering konstipasi
kadang diselingi diare, biasanya disertai kolik abdomen bawah, mungkin mengalami
distensi, dan keinginan untuk defekasi. Gejala-gejala cenderung menjadi progresif
memberat, dan ini mungkin dapat membedakan antara karsinoma dengan penyakit
divertikular atau iritasi kolon. Irritable bowel syndrome biasanya pada dewasa muda.
Jika pasien usia setengah baya atau lebih tua dengan gejala perubahan kebiasaan pola
defekasi sebaiknya diasumsikan sebagai kanker kolon sampai terbukti bukan.
(Schwartz et al, 1999)
Perubahan pola defekasi sering dengan buang air besar disertai darah segar,
dan kadang mukus atau lendir di feses atau permukaannya, khususnya pada tumor di
distal sigmoid. Konstipasi progresif dan diare merupakan perubahan pola defekasi
yang lebih jarang (Schwartz et al, 1999).
Beberapa pasien datang dengan nyeri atau massa di fossa iliaka kiri, dan
massa sering terpalpasi di abdomen pada pemeriksaan fisik. Palpasi karsinoma pada
fleksura splenikus harus dibedakan dari pembesaran lien / spleen atau ginjal.
(Schwartz et al, 1999)
Beberapa pasien, mempunyai gejala asimptomatik hingga mereka datang
dengan distensi abdomen masif karena obstrukis komplit dari usus besar. Pada
keadaan ini sekum menjadi sangat distensi. Kecuali distensi dikenali dan diterapi
15
dengan cepat, atau kecuali katup ileosekal menjadi inkompeten, perforasi sekum
dapat terjadi. Terkadang tumor itu sendiri mengalami perforasi, menyebabkan nyeri
mendadak akut abdominal dan peritonitis. Lebih sering tumor melekat dengan organ
didekatnya dan menginvasinya. Kanker sigmoid dapat menginvasi dinding abdomen
lateral dan membentuk abses, atau menginvasi usus kecil dan menghasilkan fistula
ileocolic dengan diare berat atau obstruksi usus kecil. Kanker di fleksura splenikus
atau kolon descending dapat menginvasi jejunum, kadang tampak dengan perdarahan
usus berat. Kanker sigmoid umumnya menginvasi uterus, ovarium, atau vesika
urinaria. Kanker kolon adalah penyebab terbanyak kedua fistula kolovesikal setelah
penyakit divertikular, dan pasien biasanya tampak dengan hematuria dan infeksi
saluran kemih berulang, dan akhirnya dapat kencing disertai udara (pneumaturia)
atau feses (fecaluria). Kanker sigmoid terfiksasi di pelvis dan dapat menimbulkan
fistula ke vagina menghasilkan bau tidak sedap (malodorous), dan discharge.
(Schwartz et al, 1999)
2.5.3.
Karsinoma rektum
Kebanyakan pasien dengan kanker rektal datang dengan perdarahan dari
anus. Darah sering gelap bercampur dengan feses atau menyelimuti permukaaannya,
darah juga mungkin merah terang dan pisah dengan feses. Karenanya gejala sering
dikira hemoroid. Perubahan pola defekasi, seperti meningkatnya frekuensi defekasi,
mukus dengan feses, atau diare mukus juga sering terjadi. Diare mukus terutama
berhubungan dengan adenoma vili yang sering menjadi ganas (malignant). Mukus
kaya dengan potassium dan dapat cukup banyak menyebabkan dehidrasi dan koma.
Tenesmus, perasaan ingin defekasi yang mendesak / tidak tertahankan dan terus
menerus, adalah gejala yang penting yang disebabkan tumor rektal yang
menginduksi sensori untuk defekasi. Nyeri anus, pada awal defekasi dan setelahnya
dapat timbul jika kanker rektal bawah menginvasi kanal anus. Inkontinensia terjadi
jika sfingter anal telah hancur. Darah merah segar yang keluar saat defeksi sebaiknya
dievaluasi dengan proctosigmoidoscopy. semua tipe perdarahan lainnya juga
sebaiknya dilakukan evaluasi yang lengkap. (Schwartz et al, 1999)
16
2.6.
Diagnosis
2.6.1.
Pada pasien simptomatis
Ketika gejala klinis dari kanker kolorektal sudah didapati, seperti anemia,
hematokezia, nyeri abdomen, dan berat badan yang menurun, evaluasi diagnostik
bisa ditegakkan dengan endoskopi maupun radiograf. Ditemukannya darah pada tinja
meningkatkan kemungkinan adanya neoplasia. (Bresalier, 2003)
2.6.1.1.
Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan tindakan yang paling akurat untuk mengevaluasi
mukosa, juga dalam melakukan biopsi lesi yang mencurigakan. Kolonoskop
merupakan serat optik fleksibel yang dapat mengikuti bentuk kolon. Rekaman video
pada kolonoskopi memungkinkan tersedianya catatan pasien yang permanen. Dengan
kolonoskopi pemeriksaan kolon hingga sekum dapat dilakukan hingga 95%,
meskipun adanya komplikasi berupa perdarahan pada 0,5% pasien. Akurasi
diagnostik ini mencapai 90-95% dalam mendeteksi adanya lesi polipoid.
Kolonoskopi 12% lebih akurat dibandingkan barium enema kontras udara, terutama
dalam mendeteksi lesi kecil seperti adenoma. Kolonoskopi memang memiliki
keakuratan yang tinggi, tetapi berbanding lurus dengan keakuratannya, pemeriksaan
kolonoskopi memerlukan biaya yang cukup tinggi. (Bresalier, 2003)
2.6.1.2.
Barium Enema kontras udara
Barium enema kontras udara merupakan alternatif dari kolonoskopi, tapi
sering tidak bisa mendeteksi adanya lesi-lesi kecil. Tetapi jika kolonoskopi tidak
tersedia, atau pasien menolak melakukan kolonoskopi, pemeriksaan
ini dapat
dianjurkan.Pemeriksaan ini cukup akurat dalam mendeteksi karsinoma dan adenoma
yang besar. (Bresalier, 2003)
2.6.1.3.
Carcinoembryonic Antigen
CEA merupakan bimarker bagi karsinoma kolon. Peningkatan kadar CEA
dalam darah dapat membantu manajemen klinis dari kanker kolorektal. Akan tetapi
peningkatan CEA tidak hanya disebabkan oleh kanker kolon, penyakit hepatik dan
17
pankreas atau kanker primer dari tempat lain juga dapat meningkatkan CEA.
Carcinoembryonic antigen berkorelasi dengan volume tumor, respons terapi anti
tumor, dan berhubungan dengan sisa tumor setelah reseksi. Kadar CEA akan
menurun menjadi normal dalam 4—8 minggu setelah reseksi kuratif. Rekurensi
tumor post operasi masih ada kemungkinan meskipun kadar CEA normal (Bresalier,
2003)
2.6.1.4.
Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi
maka sikat sitologi akan sangat berguna (Albert dan Goldberg, 2009)
2.6.2.
Skrining pada pasien asimptomatik
Kanker kolorektal dapat diatasi jika pasien datang pada stadium awal.
Skrining adenoma praneoplastik dan kanker sekarang sudah mulai diperhatikan.
Skrining pada populasi umum terkonsentrasi pada fecal occult blood test (FOBT) dan
sigmoideskopi. Pilihan skrining untuk masyaratkat biasanya FOBT setiap tahun,
sigmoideskopi dilakukan setiap 5 tahun sekali, barium enema setiap 5 tahun sekali,
atau kolonoskopi setiap 10 tahun sekali. (Bresalier, 2003)
2.6.2.1.
Fecal Occult Blood Testing
Pemeriksaan FOBT dilakukan pada kelompok masyarakat dengan usia di atas
50 tahun. Sebelum melakukan pemeriksaan ini pasien dianjurkan untuk tidak
mengkonsumsi daging merah selama 3 hari untuk mencegah adanya false positive.
(Bresalier, 2003)
2.6.2.2.
Sigmoideskopi
Merupakan alat skrining yang dapat mendeteksi polip atau kanker sejauh 60
cm dari anus. Maka alat ini hanya bermanfaat untuk mengetahui adanya lesi sampai
sigmoid saja. (Dragovich, 2013)
18
Pemeriksaan ini dapat menurunkan mortalitas dari kanker kolorektal
sebanyak 70%. Pemeriksaan sigmoideskopi dianjurkan setiap 5 tahun sekali pada
individu yang berusia di atas 50 tahun dan asimptomatik. (Bresalier, 2003)
2.6.2.3.
Kolonoskopi
Beberapa test menyatakan bahwa penmeriksaan FOBT dan sigmoideskopi
saja kemungkinan melewatkan neoplasma yang berada di proksimal kolon. Karena
itu dianjurkan melakukan pemeriksaan kolonoskopi dalam rentang waktu 10 tahun
sekali. (Bresalier, 2003)
2.6.3.
Metode skrining lainnya
Virtual colonoscopy menggunakan CT beresolusi tinggi, menghasilkan
gambaran abdomen dan pelvis. Metode ini merupakan metode yang cepat dan aman,
tetapi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, terutama untuk polip
berukuran < 1cm. (Bresalier, 2003)
Test imunologi juga dapat mendeteksi antigen kanker, seperti deteksi mutasi
protoonkogen K-ras di dalam tinja. (Bresalier, 2003)
2.7.
Staging
Dua klasifikasi yang digunakan berdasarkan tumor primer dan metastasenya
(sistem TNM) serta yang berdasarkan Dukes.
19
Tabel2.1.Klasifikasi berdasarkan sistem TNM
Stage
Tumor Primer (T)
Metastase
Metastase
KGB (N)
Jauh (M)
Stage 0
Karsinoma in situ
N0
M0
Stage I
Tumor menginvasi submukosa (T1)
N0
M0
N0
M0
N1
M0
N2-3
M0
N1-3
M1
atau muskularis propria (T2).
Stage II
Tumor menginvasi muskularis (T3)
atau jaringan perirektal (T4).
Stage
IIIA
T1-4
Stage
IIIB
T1-4
Stage
IV
T1-4
Tabel 2.2.Klasifikasi Dukes
Stage
Dukes Stage A
Charasteristics
Karsinoma in situ terbatas pada mukosa atau submukosa (T1,
N0, M0)
Dukes Stage B
Kanker meluas ke muskularis (B1), masuk atau menembus
serosa (B2)
Dukes Stage C
Kanker meluas ke KGB (T1-4, N1, M0)
Dukes Stage D
Kanker telah bermetastase ke tempat yang jauh (T1-4, N1-3,
M1)
20
Terdapat hubungan yang erat antara stadium dan angka bertahan hidup 5
tahun (5-year survival rate) pada pasien kanker kolorektal. Untuk stadium I atau
Dukes A, 5-year survival rate setelah operasi reseksi mencapai 90%. Untuk stadium
II atau Dukes B, 5-year survival rate sekitar 70-85% setelah reseksi, dengan atau
tanpa terapi adjuvant (terapi tambahan). Untuk stadium III atau Dukes C, 5-year
survival rate adalah 30-60% setelah reseksi dan kemoterapi. Untuk stadium IV atau
Dukes D, 5-year survival rate sangat buruk (kira-kira 5%). (Dragovich, 2013)
2.8.
Pengobatan
Satu-satunya terapi kuratif ialah dengan tindakan bedah. (Sjamsuhidajat,
1997)
2.8.1.
Persiapan preoperatif
Operasi yang dilakukan pada kolon yang tak dipersiapkan mempunyai tingkat
infeksi sekitar 40%. Suatu pendekatan dikombinasikan dari pencucian mekanis dan
zat antibiotik telah dilaporkan untuk mengurangi tingkat infeksi hingga 9%. Dengan
penambahan antibiotic pelindung parenteral, tingkat infeksi dapat lebih dikurangi
hingga 5% atau kurang. (Nugent, 2012)
Dua hari sebelum pembedahan, pasien mulai suatu diet pembersihan cairan.
Sehari sebelum pembedahan, pasien diinstruksikan untuk mengambil satu galon
Golytely untuk mencuci keseluruhan kolon. Mekanisme pembersihan kira-kira 3 jam
hingga sempurna. Penambahan suatu zat antibiotic yang diserap dengan aerobic dan
anaerobic secara bersamaan dengan mantap mengurangi timbulnya infeksi. (Nugent,
2012)
2.8.2.
Tindakan operasi
Reseksi tumor primer merupakan pilihan terapi yang paling sering dilakukan.
Dilakukan reseksi luas pada segmen bowel. Garis tepi minimum untuk melakukan
reseksi tumor adalah 5 cm disetiap sisi. (Bresalier, 2003)
21
2.8.3.
Kemoterapi adjuvan
Kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dibedakan menjadi kemoterapi
adjuvan dan kemoterapi advance. Terapi adjuvant bertujuan untuk membasmi
metastase mikroskopis pada pasien yang menjalani reseksi tapi memiliki risiko tinggi
untuk kembalinya sel kanker, karena adanya metastasis dan prognosis yang buruk.
Kemoterapi adjuvan menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) dan levamisole dapat
menurunkan kembalinya kanker hingga 40%, juga dapat menurunkan angka
kematian hingga 33% setelah operasi pada pasien dengan stadium III (dukes C).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kombinasi 5-FU dan leucovorin lebih baik
dibandingkan dengan kombinasi 5-FU dan levamisole. (Bresalier, 2003)
2.8.4.
Kemoterapi advance
Kemoterapi advance pada kanker kolorektal biasanya berhubungan dengan
angka harapan hidup yang rendah dan minimalnya perbaikan kondisi pasien.
Kombinasi fluorouracil dengan leucovorin dosis tinggi (tetrahidrofolat) lebih baik
dibandingkan bila menggunakan fluorouracil saja. Responnya dapat meningkat
hingga 50%. (Bresalier, 2003)
2.8.5.
Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. (Ford, 2006)
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana
radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan
untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi
jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian
radiasi hanya berlangsung beberapa menit. (Ford, 2006)
Radiasi internal (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi
yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang
menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral,
22
parenteral, atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat
radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan
eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara
menetap didalam tubuh (Ford, 2006).
2.9.
Prognosis
Prognosis pasien bergantung pada stadium tumor pada saat diagnosis.
Stadium tumor berkaitan dengan derajat penetrasi dinding usus dan ada tidaknya
metastasis.
Pasien dengan tumor yang berasal dari mukosa atau submukosa, (Dukes A, atau T1
N0 M0) atau meluas melewati submukosa, tetapi masih berada pada dinding usus
(Dukes B1, atau T2 N0 M0) memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Angka
harapan hidup menurun jika terdapat penetrasi dinding usus (dukes B2, atau stadium
II) juga bila adanya metastasis ke kelenjar getah bening. (Dukes C, atau stadium III).
Jumlah kelenjar getah bening yang terkena juga berpengaruh terhadap prognosis.
Pasien yang memiliki satu hingga tiga kelenjar yang terkena memiliki angka harapan
hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelenjar getah bening yang terkena
lebih dari 4. Metastasis jauh (Dukes D, atau stadium IV) berkaitan dengan prognosis
yang buruk, dengan harapan hidup selama 5 tahun hanya 5-10%. (Bresalier, 2003)
Gejala klinis maupun histopatologi juga memiliki peran dalam menentukan
prognosis, walaupun tidak terlalu berpengaruh dibandingkan stadium patologis.
Gejala klinis tertentu seperti adanya obstruksi, perforasi, terkena pada usia muda, dan
kadar CEA yang tinggi memiliki prognosis yang buruk. (Bresalier, 2003)
2.10.
Pencegahan
2.10.1.
Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang
mempunyai diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek
proteksi yang lebih baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council
telah merekomendasikan pola diet pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya :
(a) menurunkan lemak total dari 40% ke 30% dari total kalori, (b) meningkatkan
23
konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi makanan yang diasinkan,
diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung bahan
pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol. (Schwartz, 2005)
2.10.2.
Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID
sulindac dosis 150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter
dari polip bila dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah
dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat tiga bulan setelah perlakuan
dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi formasi, ukuran
dan jumlah dari polip, dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada
kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat
membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari
selama 1 tahun (Albert dan Goldberg, 2009)
Download