UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH: PENERAPAN MODEL KONSERVASI MIRA E. LEVINE PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DI RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Oleh: DWI NUGROHO HERI SAPUTRO 1006748513 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH: PENERAPAN MODEL KONSERVASI MIRA E. LEVINE PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR DI RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Oleh: DWI NUGROHO HERI SAPUTRO 1006748513 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PENDIDIKAN NERS SPESIALIS KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DEPOK JULI 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 HALAMAN PENGESAHAN Karya ilmiah akhir ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Karya Ilmiah Akhir : : : : : Dwi Nugroho Heri Saputro 1006748513 Pendidikan Spesialis Keperawatan Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Model Konservasi Myra E. Levine pada Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pendidikan Spesialis Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing : Prof. Dra. Elly Nurachmah, M.App. Sc., DNSc. ( Pembimbing : Tuti Herawati, S.Kp., MN. ( Penguji : Ns. Rita Sekarsari, S.Kp, SpKV., MHSN ( Ditetapkan di : Depok Tanggal : 12 Juli 2013 iv Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 ) KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat, dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya ilmiah akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa apa yang telah diraih bukanlah karena usaha penulis semata melainkan atas kasih dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, serta bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Prof. Dra. Elly Nurrachmah, S.Kp., M.App.Sc., DN.Sc. selaku supervisor utama, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, saran, dan arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah akhir ini; 2. Ibu Tuti Herawati, S.Kp., M.N., selaku supervisor, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, saran, dan arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah akhir ini; 3. Ibu Rita Sekarsari, S.Kp, Ns.,SpKV., MHSN, selaku Ka. Bagian Diklat Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita Jakarta dan sekaligus penguji, yang telah memberikan persetujuan atas pelaksanaan praktik residensi keperawatan kardiovaskular, serta memberikan masukan yang konstruktif dan berharga untuk penyempurnaan penyusunan karya ilmiah akhir ini; 4. Direktur Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita Jakarta beserta staf, yang telah memberikan persetujuan atas pelaksanaan praktik residensi keperawatan kardiovaskular; 5. Ibu Dewi Irawaty, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; v Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 6. Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D., selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; 7. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Studi Magister dan Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; 8. Ibu Debie Dahlia, S.Kp., MHSM, selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis selama mengikuti pendidikan spesialis keperawatan; 9. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membantu dan memfasilitasi penulis selama mengikuti pendidikan; 10. Anak dan istri tercinta, orang tua beserta keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan moril, materil, doa, kasih sayang, dan kesabaran yang tak pernah habis, selama penulis mengikuti pendidikan; 11. Rekan sejawat Peserta Program Pendidikan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah khususnya Residensi Keperawatan Kardiovaskular Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, atas pengertian dan kebersamaan yang telah terjalin selama pendidikan serta senantiasa saling memberikan semangat, masukan, bertukar pikiran, dan berbagi informasi yang berguna; 12. Semua pihak yang telah memberikan motivasi dan bantuan kepada penulis selama masa pendidikan. Semoga segala bantuan, kebaikan, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, memperoleh berkat yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih. Selanjutnya, penulis mengharapkan masukan yang konstruktif guna penyempurnaan karya ilmiah akhir ini. Depok, 12 Juli 2013 Penulis vi Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Nama Program Studi Judul : Dwi Nugroho Heri Saputro : Pendidikan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Model Konservasi Myra E. Levine Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. ABSTRAK Kejadian penyakit jantung koroner merupakan masalah kesehatan utama yang terjadi didunia, termasuk di Indonesia. Dari tahun ke tahun angka kesakitan dan kematian terus mengalami peningkatan seiring dengan adanya perubahan gaya hidup masyarakat di Indonesia yang juga merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit jantung koroner. Angka kematian STEMI sangat tinggi, bahkan beberapa pasien tidak sempat mendapatkan pertolongan medis. Oleh karena itu peran perawat spesialis keperawatan medikal bedah sangat penting dalam pemberian asuhan keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan pasien dengan STEMI. Praktik residensi keperawatan medikal bedah bertujuan untuk melaksanakan peran perawat spesialis yang mencakup pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan konsep konservasi Myra E. Levine pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular terutama pada pasien dengan STEMI, penerapan tindakan pemberian terapi musik untuk menurunkan nyeri dan stabilisasi status hemodinamik, serta berperan aktif dalam program inovasi penyusunan pedoman pemberian obat kewaspadaan tinggi (high alert medications). Hasil analisis praktik menunjukkan bahwa model konservasi Levine dapat digunakan pada pasien dengan panyakit jantung koroner untuk mengoptimalkan derajat kesehatan pasien, pemberian terapi musik dapat membantu pasien mengurangi nyeri, tekanan darah dan denyut jantung, penyusuan panduan dan standar operasional prosedur pemberian obat kewaspadaan tinggi membantu perawat dalam memberikan obat untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada pasien. Kata kunci: Praktik residensi, keperawatan medikal bedah, terapi musik, model konservasi Myra E. Levine, panduan dan standar operasional prosedur, high alert medications. viii Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Name Study Program Title : Dwi Nugroho Heri Saputro : Medical Surgical Nurse Specialist, Faculty of Nursing, University of Indonesia : Analysis of Medical Surgical Nursing Residency Practice: Application of Model Myra E. Levine Conservation In Patients with Cardiovascular Disorder in National Cardiovascular center Harapan Kita Hospital Jakarta. ABSTRACT Incidence of coronary heart disease is a major health problem that occours in the world, including in Indonesia. Morbidity and mortality is increasing rapidly related to community lifestyle changes in Indonesia, which is also one of the predisposing factors of coronary heart disease. Mortality of STEMI is very high, even some patients are not able to get medical help. Therefore the role of medical-surgical nurse specialist are very important in the provision of nursing care to improve the health status of the STEMI patient. Medical-surgical nursing practice residency aimed to implement the role of the nurse specialist include provided nursing care with model of Myra E. Levine conservation approach in patients with cardiovascular system disorders, especially in patients with STEMI, application of music therapy to reduce pain and stabilization of hemodynamic status, and contributed in a program of innovation to develop a guideline of high alert medications delivery. Results of analysis practice showed that the model of Levine conservation can be used in patients with coronary heart disesase to optimize the health of patients, providing music therapy can help patients to reduce pain, blood pressure and heart rate, guidelines and standard operating procedures of high alert medications helped nurse to reduce error when they give medications to patient and improve quality of nursing care to patients. Keywords: Practice residency, medical-surgical nursing, music therapy, model of Myra E. Levine conservation, guidelines and standard operating procedures, high alert medications. ix Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. ABSTRAK .................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................. DAFTAR ISI................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. Hal i ii iii iv v vii viii ix ...... x ...... xii xiii 1. PENDAHULUAN..................................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................ 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................... 1 1 6 6 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 2.1 STEMI Anterior .................................................................................. 2.1.1 Pengertian ................................................................................. 2.1.2 Etiologi ..................................................................................... 2.1.3 Patofisiologi .............................................................................. 2.1.4 Manifestasi Klinis ..................................................................... 2.1.5 Pemeriksaan Fisik ..................................................................... 2.1.6 Uji Diagnostik ........................................................................... 2.1.7 Penatalaksanaan ........................................................................ 2.1.8 Komplikasi ................................................................................ 8 8 8 8 12 14 14 15 15 18 2.2 Edema Paru Akut (Acute Lung Oedema/ALO) .................................. 2.2.1 Pengertian .................................................................................. 2.2.2 Patofisiologi .............................................................................. 2.2.3 Manifestasi Klinis ..................................................................... 2.2.4 Penatalaksanaan ........................................................................ 21 21 21 21 22 2.3 Integrasi Teori Konservasi Levine dan Konsep Keperawatan dalam Proses Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular ................................................................................... 2.3.1 Konsep Konservasi ................................................................... 2.3.2 Keutuhan .................................................................................. 2.3.3 Adaptasi .................................................................................... 2.3.4 Proses Keperawatan dalam Konservasi Levine ........................ 2.3.5 Konsep Metaparadigma dalam Konservasi Levine .................. 23 23 27 29 30 31 x Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 2.4 Penerapan Model Konservasi Levine pada Pasien STEMI ................ 2.4.1 Pengkajian ................................................................................. 2.4.2 Trophicognosis .......................................................................... 2.4.3 Hipotesa dan Intervensi ............................................................. 2.4.4 Evaluasi ..................................................................................... 3. ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI PEMBERI ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KELOLAAN .............................. 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama...................................................... 3.2 Penerapan Model Konservasi Levine Pada Asuhan Keperawatan Kasus Kelolaan Utama ....................................................................... 3.3 Pembahasan ....................................................................................... 3.4 Analisis Penerapan Teori Konservasi Levine pada 30 Kasus ............ 33 34 34 34 35 36 36 38 57 65 4. ANALISIS PERAN PERAWAT BERBASIS BUKTI ....................... 4.1 Tesis/Critical Review .......................................................................... 4.2 Praktik Keperawatan Berbasis Pembuktian ........................................ 4.2.1 Prosedur ..................................................................................... 4.2.2 Hasil .......................................................................................... 4.2.3 Hambatan dan Pemecahan ........................................................ 4.2.4 Rekomendasi ............................................................................. 4.3 Pembahasan ......................................................................................... 73 73 76 76 76 78 78 78 5. ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR ................ 5.1 Analisa Situasi ..................................................................................... 5.2 Kegiatan Inovasi ................................................................................. 5.2.1 Tahap Persiapan ........................................................................ 5.2.2 Tahap Pelaksanaan .................................................................... 5.2.3 Tahap Evaluasi .......................................................................... 5.3 Pembahasan ......................................................................................... 82 82 85 85 85 86 87 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 91 6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 91 6.2 Saran .................................................................................................... 92 DAFTAR REFERENSI xi Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 Klasifikasi Perubahan Hemodinamik ............................................ 15 Tabel 2.2 Skor TIMI pada STEMI ................................................................. 15 Tabel 3.1 Analisa Data .................................................................................. 40 Tabel 3.2 Rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. RPL dengan pendekatan Konsep Konservasi Levine ............................................................ 41 Tabel 4.1 Distribusi frekuensi umur, intensitas nyeri, tekanan darah, denyut jantung dan saturasi oksigen sebelum dilakukan intervensi .......... 77 Tabel 4.2 Hasil uji statistik setelah pemberian intervensi terapi musik ......... 77 Tabel 5.1 Analisa SWOT ............................................................................... 83 Tabel 5.2 Rincian Pelaksanaan Inovasi ......................................................... 85 xii Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Resume 30 kasus kelolaan Lampiran 2: SPO Terapi musik Lampiran 3: Format Pengkajian Model Konservasi Levine Lampiran 4: Hasil Pelaksanaan Inovasi Lampiran 5: Daftar riwayat hidup xiii Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jantung merupakan organ yang sangat vital yang berfungsi memompa darah untuk mendistribusikan nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh. Agar dapat menjamin kelangsungan suplai oksigen dan nutrisi dengan optimal, maka jantung harus dalam kondisi yang sehat. Namun seringkali jantung mengalami gangguan sehingga fungsi utama jantung sebagai sistem pompa juga mengalami gangguan. Salah satu gangguan atau kerusakan yang dapat terjadi pada jantung adalah terjadinya kematian otot jantung akibat berkurang atau terhentinya suplai darah dan oksigen ke dalam otot jantung. Keadaan tersebut dikenal dengan myocard infarct. Myocard Infarct (MI) adalah kematian sel-sel otot jantung yang terjadi akibat kekurangan atau bahkan terhentinya suplai oksigen secara tiba-tiba. Kondisi tersebut terjadi setelah otot jantung mengalami iskemia. Dalam waktu 20 menit, sel-sel otot jantung akan mulai mengalami kematian karena kekurangan suplai darah yang mengandung oksigen (Corwin, 2009). Pada EKG tampak ST-segmen elevasi dan gelombang Q-patologis yang disebut ST-segmen Elevasi Miokard Infark (STEMI). Hal ini terjadi akibat terdapat sumbatan pada arteri koronaria utama, maka akan terjadi infark miokard transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard (Kabo, 2010; Rilantono, 2012). Infark miokard akut merupakan bagian dari penyakit jantung koroner dengan angka kematian yang tinggi. Berdasarkan data WHO (2011), pada tahun 2008 diperkirakan 17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Angka ini merupakan 30% dari seluruh kematian yang terjadi diseluruh dunia. Berdasarkan angka kematian tersebut, 7,3 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner. Diperkirakan dalam 20 tahun mendatang, di negara berkembang penyakit kardiovaskular akan meningkat 137% pada kali-laki, dan 120% pada wanita (Rilantono, 2012). 1 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 2 American Heart Association (AHA) (2008) dalam Ignatavisius & Workman (2010) sebanyak 64% wanita dan 50% pria yang mengalami miokard infark. Di Amerika Serikat, setidaknya setiap 26 detik seorang mengalami kejadian penyakit koroner, dan kematian terjadi setiap menit pada penderita panyakit jantung koroner, bahkan beberapa diantaranya meninggal tanpa sempat mendapatkan perawatan (Ignatavisius & Workman, 2010). Angka kejadian penyakit jantung di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hasil sensus nasional tahun 2001 menyatakan bahwa kematian akibat penyakit kardiovaskular termasuk didalamnya penyakit jantung koroner adalah sebesar 26,4% (Dep Kes RI, 2001 dalam Supriyono, 2008), dan sampai sekarang ini penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dini pada kurang lebih 40% dari penyebab kematian laki-laki pada usia menengah (Supriyono, 2008). Pada tahun 2002 penyakit akut miokard infark merupakan penyebab kematian pertama dengan angka kematian 220.000 (14%). Perawat spesialis mempunyai peran yang penting dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Aktivitas perawat spesialis menurut American Association of Colleges of Nursing (AACN, 2004) meliputi: 1) menggunakan kompetensi inti keperawatan dalam praktik keperawatan lanjut untuk merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program keperawatan untuk meningkatkan outcomes pasien, terutama untuk pasien dengan masalah keperawatan yang kompleks, 2) terlibat dalam pemberian dan perencanaan tergantung pada berbagai faktor, misalnya analisa kebutuhan pasien dan kebutuhan belajar staff, 3) memimpin kelompok multidisiplin dalam merancang dan melaksanakan solusi inovatif terhadap masalah pasien, 4) mengembangkan diagnosa diferensial dan intervensi untuk mengobati atau mencegah penyakit, 5) mengembangkan kriteria untuk mengevaluasi kualitas serta efektivitas praktek keperawatan dan sistem organisasi, 6) dan memberikan konsultasi untuk perawat yang lain dan petugas kesehatan profesional, terutama untuk pasien yang kompleks atau sakit kritis. Kemampuan perawat spesialis harus memenuhi kriteria telah menyelesaikan program master atau bahkan doktor. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 3 Dalam upaya untuk memenuhi kriteria sebagai perawat spesialis, setelah penulis menyelesaikan program master, penulis menempuh pendidikan sebagai perawat spesialis dengan melaksanakan praktik residensi keperawatan medikal bedah di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta selama 2 semester dengan ruang lingkup praktik meliputi: ruang diagnostik invasif dan intervensi non bedah, ruang diagnostik non invasif, ruang intermediate medikal (IW Medikal), ruang intermediate Bedah (IW Bedah), ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang perawatan GP 2 lantai 3, ruang perawatan intensif kardiovaskular (CVCU), ruang ICU Dewasa serta ruang rehabilitasi kardiovaskular. Dalam melaksanakan praktik residensi keperawatan medikal bedah, penulis di tuntut untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan menggunakan teori keperawatan. Banyak teori keperawatan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Salah satu model keperawatan yang dapat digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan adalah model konservasi yang dikembangkan oleh Mira E. Levine. Model tersebut berorientasi pada konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal, dan konservasi integritas sosial. Fokus model konservasi Levine adalah adanya peningkatan kemampuan pasien untuk dapat beradaptasi semaksimal mungkin dalam upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pendekatan model konservasi Levine sesuai untuk mengatasi trophicognosis yang muncul pada pasien dengan akut STEMI. Konsep utama model konservasi Levine adalah meliputi wholism (menyeluruh), adaptasi dan konservasi. Wholism adalah sesuatu yang bersifat organik, mengalami perubahan, bersifat saling menguntungkan antara fungsi yang berbeda dan bagian-bagian yang terdapat di dalam tubuh, bersifat terbuka dan saling mempengaruhi dengan lingkungan sekitar. Setiap individu akan melakukan adaptasi dalam rangka menghadapi perubahan lingkungan. Adaptasi adalah proses perubahan agar individu dapat mempertahankan integritas dalam lingkungannya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kondisi gangguan rasa nyaman Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 4 nyeri memerlukan adaptasi lingkungan internal tubuh maupun eksternal agar mampu mempertahankan dan mengembalikan kondisi homeostasis tubuh (Tomey & Alligood, 2006). Model konservasi Levine dapat dijadikan sebagai pedoman oleh perawat dalam melakukan pengkajian, menegakkan diagnosis dan merumuskan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pasien. Dengan menggunakan pendekatan model konservasi Levine maka diharapkan pasien dapat mencapai tingkat kesehatan yang menyeluruh (wholism) dengan memfokuskan pada aspek fisik, psikologis dan sosial pasien sehingga masalah yang terjadi pada pasien dengan penyakit jantung koroner dapat diatasi secara komprehensif. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis menerapkan teori konservasi yang dipelopori oleh Myra E. Levine untuk mengatasi trophicognosis yang muncul pada pasien penderita penyakit jantung koroner (STEMI) dirumah sakit Harapan Kita Jakarta. Penulis memilih pasien dengan STEMI dalam pemberian asuhan keperawatan saat melakukan praktik residensi dengan alasan bahwa pasien dengan STEMI memerlukan tindakan yang tepat, terutama tindakan revaskularisasi untuk mencegah kematian akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus yang menyebabkan cedera miokard transmural. Bila tidak dilakukan reperfusi dengan segera maka otot jantung tidak bisa diselamatkan (Kabo, 2010; Rilantono, 2012). Selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kardiovaskular, penulis juga melaksanakan peran sebagai peneliti dengan menerapkan Evidence Based Nursing (EBN). Evidence Based Nursing merupakan penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan keputusan tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu atau sekelompok pasien dan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut (Ingersoll, 2000). Tujuan evidence-based nursing adalah untuk memberikan praktik keperawatan dengan menggunakan data berbasis bukti untuk memberikan perawatan yang efektif, berdasarkan hasil penelitian yang terbaik, memecahkan masalah pada area Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 5 klinik, mencapai hasil yang memuaskan terhadap pemberian asuhan keperawatan, bahkan melampuai standar jaminan kualitas dan memicu proses inovasi (Spector, 2013). Penerapan EBN pada pasien akut STEMI adalah penggunaan terapi musik untuk menurunkan nyeri, tekanan darah, heart rate dan meningkatkan saturasi oksigen pada pasien yang menjalani bedah jantung (cardiac surgery). Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spritual (Erfandi, 2009). Menurut Joanna Briggs Institute (2009), tempo yang direkomendasikan untuk terapi musik adalah 60-80 ketukan permenit, dengan volume 60 dB. Tempo tersebut menunjukkan hasil yang positif terhadap relaksasi dan penurunan nyeri. Selain penerapan evidence based nursing, penulis juga melaksanakan peran sebagai inovator. Inovasi adalah proses mengembangkan pendekatan, teknologi dan cara kerja yang baru. Hal ini dapat dilakukan melalui organisasi atau perilaku individu dalam menggunakan alat, teknologi dan proses tersebut. Inovasi dimulai dengan ide yang baik, tetapi lebih jauh dari hal tersebut, inovasi mengacu pada proses mengubah ide baik kedalam sesuatu yang dapat digunakan, sesuatu yang dapat diimplementasikan dan dapat dicapai, dan akan meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik, pencegahan penyakit serta pemberian asuhan keperawatan pasien yang lebih baik (ICN, 2009). Inovasi yang dilakukan adalah pembuatan pedoman pelaksanaan pemberian obat kewaspadaan tinggi (high alert medication) yang mencakup adrenalin, propofol dan kalium klorida di ruang ICU Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. Penggunaan pedoman tentang pemberian obat kewaspadaan tinggi akan meningkatkan keamanan pasien yang mendapatkan obat tersebut. Kegiatan inovasi ini merupakan kegiatan yang penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 6 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem kardiovaskular di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunakan Model Konservasi Levine pada pasien gangguan sistem kardiovaskular terutama pasien akut STEMI di Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. b. Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien post operasi jantung di ruang Intermediate Bedah Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. c. Melakukan analisis terhadap kegiatan inovasi keperawatan di ruang ICU Dewasa Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. 1.3 Manfaat penulisan 1.3.1 Bagi pelayanan keperawatan a. Sebagai bahan acuan bagi perawat yang bertugas di rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular akut STEMI menggunakan pendekatan model Konservasi Levine. b. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang penerapan riset keperawatan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada pasien. c. Meningkatkan wawasan perawat dalam pengembangan kualitas pelayanan keperawatan melalui proyek inovasi keperawatan. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 7 1.3.2 Bagi ilmu keperawatan a. Sebagai bahan rujukan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular akut STEMI menggunakan pendekatan model Konservasi Levine, selain itu dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan pelaksanaan praktek keperawatan medikal bedah. b. Memberikan informasi tentang pelaksanaan intervensi mandiri keperawatan dalam rangka pelaksanaan evidence- based nursing tentang pemberian terapi musik pada pasien yang menjalani bedah jantung. c. Memberikan informasi tentang pelaksanaan inovasi keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Segmen ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) 2.1.1 Pengertian Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan miokard akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba. Penyempitan arteri koronaria oleh plak ateroma dan trombus yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma yang menjadi penyebab infark miokard akut. Infark miokard transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding miokard terjadi apabila arteri koronaria utama yang tersumbat. Pada gambaran akan EKG tampak segmen ST elevasi dan gelombang Q-patologis yang disebut ST-segmen Elevasi Miokard Infark, atau yang sering disebut dengan istilah STEMI (Kabo, 2010). STEMI merupakan bagian dari spektrum SKA yang menggambarkan cedera miokard transmural, akibat oklusi total arteri koroner oleh trombus. Bila tidak dilakukan revaskularisasi segera, maka akan terjadi nekrosis miokard yang berhubungan linear dengan waktu. Maka dikenalah paradigma “time is muscle”, yang berarti bila tidak dilakukan reperfusi segera, maka otot jantung tidak akan bisa diselamatkan. Paradigma ini menekankan perlunya reperfusi sedini mungkin (Rilantono, 2012). 2.1.2 Etiologi Penyebab STEMI adalah adanya oklusi atau sumbatan pada arteri koronaria karena trombus. Sumbatan terjadi akibat aterosklerosis yang mengenai lapisan otot dinding pembuluh darah. Sedangkan faktor resiko penyebab aterosklerosis yang berujung pada terjadinya infark miokard akut adalah sebagai berikut: 1. Kadar Kolesterol Lemak berikatan dengan fosfolipid dan juga suatu protein spesifik yang disebut lipoprotein, sehingga sering disebut sebagai lipoprotein, yaitu Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein (HDL). LDL dianggap mempunyai korelasi positif terhadap terjadinya penyakit jantung koroner 8 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 9 (Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Ai et al., (2010) terhadap 3188 responden didapatkan hasil bahwa peningkatan kadar kolesterol LDL plasma terbukti menjadi faktor resiko yang signifikan terhadap penyakit jantung koroner sedangkan penggunaan obat-obatan untuk menurunkan kadar LDL plasma telah terbukti mengurangi resiko penyakit jantung koroner. Penelitian analisis retrospektif yang dilakukan oleh Fernandez dan Webb (2008) terhadap 6.000 responden mendapatkan hasil bahwa rasio LDL/HDL merupakan pengukuran yang paling kuat terhadap resiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada usia lanjut. 2. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor resiko infark mikard, karena merokok akan menurunkan kadar HDL, meningkatkan koagulabilitas darah, merusak endotel, sehingga memacu terjadinya aterosklerosis (Aaronson & Ward, 2010). Nikotin yang terkandung dalam rokok akan menyebabkan dikeluarkannya katekolamin yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan terjadinya vasokontriksi perifer, kondisi ini dapat meningkatkan tekanan darah, peningkatan beban akhir jantung (afterload) dan oxygen consumption. Merokok juga dapat menyebabkan terjadinya disfungsi lapisan endotel pembuluh darah serta meningkatkan ketebalan dinding pembuluh darah, selanjutnya akan terjadi peningkatan pembekuan darah dan oklusi pembuluh darah (Aaronson & Ward, 2010). Faktor lain dari merokok sigaret adalah efek dari karbon monoksida yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah arteri. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi yang akan meningkatnya proses aterosklerotik karena meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah (Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2010). 3. Diabetes Mellitus Hiperglikemi menyebabkan terjadinya peningkatan agregasi trombosit. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya pembentukan trombus. Kadar gula darah yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan yang progresif terhadap susunan mikrovaskular ataupun areteri yang lebih besar. Selain itu akan terjadi kerusakan endotel dan peningkatan kadar LDL teroksidasi. Koagulabilitas darah yang Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 10 mengalami peningkatan pada penderita DM dipengaruhi oleh peningkatan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) dan peningkatan kemampuan agregasi trombosit (Aaronson & Ward, 2010). Serangkaian faktor resiko mencakup trigliserida dalamdarah yang tinggi, kadar HDL plasma yang rendah, peningkatan kadar gula darah plasma, hipertensi, serta obesitas seringkali berkaitan satu dengan yang lain. Kombinasi faktor-faktor resiko ini sangat terkait dan timbul akibat resistensi insulin. Individu dengan tiga atau lebih faktor resiko tersebut disebut dengan simdrom metabolik (Aaronson & Ward, 2010). Pada individu dengan DM, penurunan produksi insulin dan atau resistensi insulin akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi NO (nitric oxide) dimana NO merupakan substansi yang berguna dalam vasodilatasi dan mencegah agregasi trombosit (Kabo, 2008). 4. Hipertensi Menurut Smeltzer dan Bare (2002), hipertensi adalah faktor risiko yang sangat membahayakan. Tekanan darah tinggi akan menyebabkan tingginya gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus akan menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat, dengan demikian mulailah terjadi nyeri. Resiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah; untuk setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg, resiko PJK berkurang sebesar 16% (Gray, Dawkins, Morgan, dan Simpson, 2005). Terdapat hubungan yang erat antara hipertensi dan aterosklerosis, aterosklerosis menyebabkan hipertensi, sebaliknya hipertensi akan memacu terjadinya aterosklerosis. 5. Stres Pola perilaku tipe A seperti ambisius, kompetitif, selalu tergesa-gesa, dan agresif merupakan salah satu faktor resiko PJK. Stres fisik maupun mental, merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner. Respon tubuh terhadap stres adalah sekresi hormon-hormon dan neurotransmiter, diantaranya yang paling dominan adalah adrenalin dan noradrenalin. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 11 Stress juga akan menstimulasi otak untuk mengeluarkan hormon seperti aldosteron, adrenokortikotropik, kortisol, vasopresin dan thyroid stimulating hormon. Peningkatan jumlah zat-zat tersebut didalam tubuh, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah serta frekuensi denyut jantung. Selain itu juga akan terjadi vasokonstriksi, peningkatan kolesterol darah, peningkatan gula darah dan sel-sel darah cenderung akan terjadi koagulasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa stres mempunyai peranan yang penting dalam proses terjadinya penyakit jantung koroner (Kabo, 2008). 6. Inflamasi High sensitivity C-reactive protein (hsCRP), E-selection, cell adhesion molecules, dan sitokin lainnya merupakan substansi inflamasi yang dikeluarkan oleh tubuh pada saat terjadi proses inflamasi. Pada proses aterosklerosis termasuk penyakit jantung koroner, stroke iskemik dan penyakit vaskular perifer, akan terjadi peningkatan kadar hsCRP dalam darah. Morishima et al., (2002) melakukan penelitian terhadap 12 orang pasien akut miokard infark didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan kadar plasma hsCRP dan mencapai puncaknya pada hari 2,8 (8,68 ± 4,57 ml/dl). Peningkatan kadar hsCRP dalam tubuh berkaitan dengan keadaan inflamasi kronis, sehingga keadaan tersebut menyebabkan terjadinya pembentukan aterosklerosis, serta menyebabkan terjadinya proses kerusakan plak yang semula stabil, menjadi tidak stabil, kondisi tersebut rentan terhadap kejadian koroner (Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2008). 7. Jenis Kelamin American Heart Association (AHA) (2008) dalam Ignatavicius dan Workman (2010) menyatakan bahwa prevalensi miokard infark pada wanita adalah 64%, dan pada pria adalah 50%. Hal ini bertentangan dengan Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson, (2005), yang menyatakan bahwa angka kesakitan akibat penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek protektif hormon estrogen pada wanita yang meliputi menurunkan kadar LDL dan meningkatkan kadar Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 12 HDL, sebagai antioksidan, menstimulasi ekspresi dan aktivitas oksida nitrat sintase, menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan produksi palsminogen (Aaronson & Ward, 2010). Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan menjadi sama dengan laki-laki (Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson, 2005). 8. Usia. Penyakit jantung, terutama penyakit jantung koroner dan kardiomiopati sering ditemukan pada usia lanjut. Menurut AHA (2008) dalam Ignatavicius dan Workman (2010) rata-rata kejadian pertama kali miokard infark pada pria adalah saat usia 64,5 tahun, sedangkan untuk wanita adalah 70,4 tahun. Sedangkan data dari Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011 pada laki-laki terjadi peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada usia diatas 55 tahun sedangkan pada wanita adalah diatas 65 tahun. Pada usia lanjut akan terjadi penambahan massa otot jantung sebagai konsekwensi kekakuan arteri sentral dan perifer. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan beban akhir (afterload). Perubahan otot jantung ini akan menyebabkan gangguan fungsi diastolik ventrikel (Rilantono, 2012). 2.1.3 Patofisiologi Plak koroner yang cenderung ruptur biasanya terselubung oleh fibrosa tipis. Plak ini mengandung makrofag dan limfosit-T yang kemungkinan melepaskan metaloprotese dan sitokin yang melemahkan selubung fibrosa, hal ini menyebabkan plak mudah ruptur atau mengalami erosi akibat ketegangan dari regangan yang disebabkan oleh aliran darah. Ruptur plak menyebabkan paparan kolagen subendotel yang berperan sebagai lokasi adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit. Hal ini akan menyebabkan pelepasan substansi seperti tromboksan A2 (TXA2), fibrinogen, 5-hidroksitriptamin (5-HT), platelet activating factor dan ADP yang selanjutnya akan memacu agregasi trombosit. Selanjutnya akan terjadi aktivasi kaskade pembekuan, menyebabkan pembentukan fibrin dan penjalaran serta stabilisasi trombus oklusif. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 13 Endotel seringkali rusak disekitar area penyakit arteri koroner. Defisit faktor antitrombotik yang disebabkannya seperti trombomodulin dan prostasiklin memperkuat pembentukan trombus. Selain itu, kecenderungan beberapa faktor trombosit untuk menyebabkan vasokonstriksi menjadi meningkat pada keadaan tidak adanya faktor penyebab relaksasi yang berasal dari endotel, yaitu endhothelial derived constricting factor (EDCF) (Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2010). Hal ini dapat memacu perkembangan vasospasme lokal yang memperburuk oklusi koroner (Aaronson & Ward, 2010). Kematian mendadak dan onset sindrom koroner akut menunjukkan suatu variasi sirkadian, yang memuncak pada sekitar pukul 9 pagi kemudian menurun pada sekitar tengah malam. Kadar katekolamin memuncak sekitar sekitar 1 jam setelah bangun di pagi hari, menyebabkan level maksimal agregabilitas trombosit, tonus vaskular, laju denyut jantung dan tekanan darah yang dapat memicu ruptur plak dan trombosis (Aaronson & Ward, 2010). Selain itu sekresi katekolamin dari ujung-ujung saraf simpatis jantung, dan juga meningkatnya produksi EDCF, menyebabkan terjadi vasokonstriksi pada arteri koroner menjadi lebih hebat, maka jantung akan menjadi iskemik (Kabo, 2010). Derajat oklusi koroner dan kerusakan miokardium yang disebabkan oleh ruptur plak bergantung pada kadar katekolamin sistemik, dan juga faktor lokal seperti lokasi dan morfologi plak, kedalaman ruptur plak dan keparahannya hingga terjadi vasokonstriksi koroner. Iskemia yang berat dan lama menyebabkan suatu regio nekrosis yang terbantang di seluruh ketebalan dinding miokard, yang sering disebut dengan infark transmural. Pada rekaman EKG, infark tersebut ditandai dengan adanya segmen ST elevasi (Aaronson & Ward, 2010, Kabo, 2010; Rilantono 2012). Infark miokard akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis akan kehilangan daya kontraksi, dan otot yang ada disekitarnya yang belum mengalami nekrosis juga akan mengalami gangguan kontraksi. Infark miokard akan menyebabkan perubahan-perubahan pada fungsi otot jantung sebagai berikut: (1) penurunan daya kontraksi,(2) abnormalitas gerakan dinding, (3) perubahan daya kembang dinding ventrikel, (4) penurunan curah jantung, (5) Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 14 penurunan fraksi ejeksi, (6) peningkatan end-systolic volume dan end-diastolic volume ventrikel, serta (7) peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (Price & Wilson, 2006). 2.1.4 Manifestasi Klinis Pasien yang datang dengan STEMI biasanya memiliki riwayat angina atau penyakit jantung koroner, usia lanjut, dan kebanyakan laki-laki. Kejadian sebagian besar timbul pada pagi hari, berhubungan dengan aktivitas neurohormonal dan sistem syaraf simpatis. Presentasi klinis STEMI beragam, namun biasanya timbul timbul nyeri dada tibatiba pada area prekordial atau sesak nafas. Pasien biasanya menggambarkan sebagai sensasi dihimpit, diremas, atau ditekan pada retrosternal, dengan atau tanpa penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri dan lengan kiri. Nyeri dada umumnya cukup hebat sehingga terjadi aktiviyas simpatis berupa mual, muntah dan keringat dingin hingga membasahi pakaiannya. Harus diwaspadai pada beberapa pasien dengan gejala atipikal seperti nyeri pada lengan atau bahu, sesak nafas akut, sinkope atau aritmia. Pasien dengan elevasi segmen ST tanpa gejala, harus diwaspadai sebab lain elevasi ST selain cedera miokard. Kematian sebagian besar terjadi pada jam-jam pertama setelah STEMI, oleh karena gangguan irama ventrikular fibrilasi, kejadian ini sering terjadi sebelum pasien mencapai fasilitas kesehatan. Tanpa adanya defibrilator maka peluang untuk mengembalikan ke sirlukasi spontan sangat kecil ( Rilantono, 2012). 2.1.5 Pemeriksaan Fisik Aspek penting dari pemeriksaan fisik adalah pengkajian gejala dan tanda dari perburukan gagal jantung. Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk mengevaluasi status hemodinamik akibat cedera miokard dan memberikan informasi penting tentang prognosis. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 15 Tabel 2.1. Klasifikasi Perubahan Hemodinamik Kelas Killip Karakteristik Klinik I Tidak ada tanda CHF II Rales, distensi vena jugularis atau S3 III Edema paru IV Syok kardiogenik Sedangkan skor resiko TIMI pada STEMI adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Skor TIMI pada STEMI Variabel Poin Usia ≥ 75 3 Usia 65-74 2 Diabetes, hioertensi, angina 1 Tekanan darah sistolik < 100 mmHg 3 Laju nadi > 100 kali/menit 2 Kelas Killip II-IV 2 STEMI anterior atau LBBB komplit 1 Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai : a. Umum: kecemasan, sesak nafas, keringat dingin, tanda Levine (tangan mengepal didada), kadang normotensif atau hipertensif. b. Leher: normal atau sedikit peningkatan tekanan vena jugularis (JVP). c. Jantung: takikardia, S1 lemah, timbulnya S4, mungkin terdapat S3, murmur sistolik. d. Paru: rales atau mengi bila terdapat gagal jantung. e. Extremitas: normal atau terdapat tanda penyakit vaskular perifer. 2.1.6 Uji Diagnostik a. EKG 12 Sadapan Pemeriksaan EKG sangat penting untuk diagnosa STEMI. Elevasi segmen ST menunjukkan berpa milimeter lebih besar voltase dibandingkan dengan garis isoelektrik. EKG yang diagnostik dipertimbangkan pada elevasi segmen ST ≥ 1 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 16 milimeter pada dua atau lebih sadapan ekstremitas dan prekordial yang bersebelahan sesuai dengan regio dinding ventrikel. b. Ekokardiografi Transtorakal Ekokardiografi (TTE) dapat digunakan lebih dini bila EKG tidak dapat ditentukan atau diagnosis tidak yakin. Tidak adanya abnormalitas gerakan dinding dada dapat menyingkirkan diagnosis. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menentukan fungsi ventrikel kiri, yang mempengaruhi prognosis dan pilihan terapi berikutnya. Sering terdapat kelainan katup, stenosis katup aorta dan regurgitasi katup mitral juga merupakan hal yang penting. TTE dapat digunakan untuk menentukan ukuran infark miokard atau mendeteksi komplikasi infark miokard, seperti ruptur dinding ventrikel atau defek septum ventrikel. c. Biomarka Kardiak Biomarka kardiak bermanfaat untuk membantu diagnosis, melihat luas infark dan menentukan prognosis. Ada 2 biomarka kardiak yang digunakan yaitu troponin dan creatine kinase myocardial band (CK-MB). Troponin I dan T meningkat pada awal infark miokard dan lebih berguna untuk diagnosis. 2.1.7 Penatalaksanaan Rilantono (2012) menyatakan bahwa terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal yang sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah melampaui 12 jam dari awitan simptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa diselamatkan, infark miokard telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada, elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru. Ada dua jenis strategi reperfusi, pertama dengan intervensi koroner perkutan primer (primary PCI) dan kedua secara medikamentosa dengan obat fibrinolitik. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 17 a. Intervensi Koroner perkutan Primer Primary PCI merupakan pilihan pertama, karena hasil studi memperlihatkan angka kematian lebih rendah dibanding fibrinolitik. Dianjurkan untuk melakukan PCI sedini mungkin, idealnya kurang dari 90 menit sejak keluhan nyeri dada timbul. Pilihan reperfusi perlu mempertimbangkan waktu awitan dari STEMI, fasilitas, sumber daya dan demografi. Sekitar 50% kasus STEMI mempunyai penyempitan lebiih dari satu arteri koroner (multivesel). Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya dilakukan pada lesi culprit, yaitu lesi diarteri yang berhubungan dengan daerah infark. Pada syok kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intervensi. Kelebihan PCI primer, dapat mengidentifikasi lesi culprit terkait infark dan anatomi koroner yang lainnya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan stent, guna menurunkan kejadian thrombosis. Rescue PCI, angiografi koroner dengan tujuan revaskularisasi dilakukan segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil. Rescue PCI dilakukan bila terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis (nyeri dada berulang atau perubahan segmen ST) atau kapasitas latihan rendah atau stress test farmakologik memperlihatkan tanda-tanda iskemia. b. Terapi Reperfusi Medikanmentosa/Fibrinolitik Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang sangat penting terutama bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumber daya dan demografi. Keuntungan terbesar didapatkan bila dilakukan dalam 6 jam pertama. Terapi fibrinolitik dinyatakan berhasil bila angina berkurang, resolusi amplitudo segmen ST > 50%, dan dijumpai aritmia reperfusi. Resiko untuk terjadinya stroke hemoragik cukup rendah, yaitu 1%. Semua pasien post fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan PCI. Pasien yang gagal terapi fibrinolitik dengan kriteria angina disertai dengan resolusi segmen ST < 50%, perlu dilakukan “rescue PCI” secepatnya. Rekomendasi terapi antitrombotik untuk pasien yang mendapatkan fibrinolisis. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 18 Terapi medikal postreperfusi menurut Rilantono (2012) mencakup: 1. Aspirin 81 mg/hari harus dimakan seumur hidup. 2. Clopidogrel 600 mg dosis loading diikuti 75 mg/hari. Semua pasien yang mendapatkan drug-eluting stents melanjutkan Clopidogrel selama minimal 1 tahun. Pada yang mendapatkan bare-metal stents Clopidogrel dilanjutkan minimal 1 bualn, idealnya 1 tahun. 3. Penyekat Beta harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang datang dengan STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus dilanjutkan seumur hidup. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek seperti Lopresor; ketika dosis optimum tercapai berdasarkan laju nadi dan tekanan darah yang diinginkan, obat jangka panjang sekali sehari dapat diberikan. Pada pasien dengan disfungsi LV, dapat digunakan Carvedilol 3,25 mg dua kali sehari untuk dititrasi bila dapat ditoleransi. Beta Bloker harus dihindari pada pasien dengan STEMI Killip II, III atau bahkan IV atau dengan hipotensi, bradikardia dan syok. 4. ACE Inhibitors harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek (Captopril) pada 24 jam pertama sampai dosis maksimum tercapai. Setelah pasien dapat mentoleransi dosis obat ini, obat kerja panjang sekali sehari dapat diberikan misalnya Lisinopril. ACE Inhibitor harus dilanjutkan seumur hidup pasien dengan fraksi ejeksi <40% dan paling sedikit 1 bulan pada semua pasien. Inisiasi ACE Inhibitor dihubungkan dengan peningkatan awal kreatinin. Pertimbangkan ARB bila terdapat kontraindikasi ACE Inhibitor. 5. Terapi Insulin direkomendasikan untuk kontrol gula darah pada semua pasien yang dirawat di CVCU, berikan insulin-drip bila kadar gula darah >200 mg/dL. Hindari penggunaan glucophage pada pre dan post-PCI karena obat ini berhubungan dengan asidosis laktat. 6. Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasein stabil. Dapat diberikan atorvastatin 80 mg/hari. Low-density lipoprotein cholesterol (LDLC) harus dikurangi samapai 60-70 mg/dL pada semua pasien dengan STEMI. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 19 7. Amiodarone dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disritmia, sebaiknya dihindari pada pasien muda. Umumnya terapi beta bloker agresif cukup adekuat untuk mengatasi masalah aritmia pada STEMI. c. Terapi Bedah Tindakan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi awal dan segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun setelah upaya awal dengan PCI atau reperfusi fibrinolitik telah dilakukan, nyeri dada menetap/berulang, atau anatomi koroner resiko tinggi (stenosis left-main atau triple-vessel disease pada diabetes) atau terjadi komplikasi mekanis (ruptur septum ventrikel, ruptur muskukus papilaris) intervensibedah patut dipertimbangkan. Pada kondisi seperti ini, sebaiknya menunggu paling sedikit 24 jam setelah STEMI dan setelah hemodinamik stabil. Dukungan mekanik dengan intra-aortic ballon pump (IABP) dibutuhkan sebagai jembatan untuk pembedahan pada kasus nyeri dada menetap, aritmia, dan hemodinamik tidak stabil. 2.1.8 Komplikasi Komplikasi infark miokard akut menurut Corwin (2009) adalah sebagai berikut : 1. Tromboemboli. Akibat kontraktilaitas miokard berkurang, maka dapat terjadi tromboemboli. Embolus dapat menghambat aliran darah kebagian jantung yang sebelumnya tidak rusak oleh infark pertama. Embolus juga dapat mengalir ke organ lain sehingga dapat menyebabkan organ tersebut mengalami kerusakan dan bahkan infark. 2. Gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif dapat segera terjadi setelah infark apabila infark awal terjadi dengan ukuran yang sangat luas, atau setelah pengaktifan refleks baroreseptor. Dengan diaktifkannya refleks baroreseptor terjadi peningkatan tekanan darah yang kembali kejantung yang rusak serta terjadi kontriksi arteri dan arteriol dihilir. Hal ini menyebabkan darah berkumpul dijantung dan menimbulkan peregangan berlebihan pada sel-sel otot jantung. Apabila peregangan tersebut cukup hebat, maka kontraktilitas jantung dapat berkurang. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 20 3. Disritmia. Disritmia merupakan komplikasi tersering pada infark. Disritmia dapat terjadi akibat perubahan keseimbangan elektrolit dan penurunan pH. Daerah dijantung yang mudah teriritasi dapat mulai melepaskan potensial aksi sehingga terjadi disritmia. Nodus SA dan AV, atau jalur transduksi (serabut Purkinje atau berkas His), dapat merupakan bagian dari zona iskemik atau nekrotik yang mempengaruhi pencetusan atau penghantaran sinyal. Fibrilasi adalah penyebab utama kematian pada infark miokardium diluar rumah sakit. 4. Syok kardiogenik. Syok kardiogenik dapat terjadi apabila curah jantung sangat berkurang dalam waktu yang lama. Syok kardiogenik dapat fatal pada waktu infark, atau terjadi kelemahan beberapa haribahkan beberapa minggu kemudian akibat gagal paru atau ginjal karena organ-organ tersebut mengalami iskemik, atau bahkan dapat menyebabkan kematian. Syok kardiogenik biasanya berkaitan dengan kerusakan sebanyak 40% massa otot jantung. 5. Efusi perikardial dan tamponade jantung. Efusi perikardial mengacu pada masuknya cairan kedalam kantong perikardium. Kejadian ini biasanya disertai dengan perikarditis atau gagal jantung. Perkembangan efusi yang cepat dapat meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal dan menyebabkan penurunan curah jantung serta aliran balik vena kejantung. Hasil akhir proses ini adalah tamponade jantung. 6. Perikarditis. Perikarditis terjadi sebagai bagian dari reaksi inflamasi setelah cedera atau kematian sel. Beberapa diantaranya dapat terjadi beberapa minggu setelah infark, dan mungkin mencerminkan suatu reaksi hipersensitivitas imun terhadap nekrosis jaringan. 7. Ruptur miokardium. Meskipun jarang terjadi, ruptur dinding ventrikel dapat terjadi pada awal perjalanan infark transmural selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi perdarahan masif kedalam kantong perikardium (Price & Wilson, 2006). Pada beberapa kasus dapat terjadi aneurisma (Corwin, 2009). Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 21 2.2 Edema Paru Akut (Acute Lung Oedema/ALO) 2.2.1 Pengertian Edema paru akut adalah timbunan cairan abnormal didalam paru, baik didalam rongga interstitial maupun didalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar dan menimbulkan sesak nafas yang sangat berat (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.2 Pathofisiologi Kongesti paru akan terjadi bila paru-paru menerima darah yang berlebihan yang berasal dari ventrikel kanan, dimana tidak dapat lagi diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Penyebab utama edema paru adalah penyakit jantung berupa penyakit jantung aterosklerotik, tekanan darah tinggi, kelainan katup, serta miopati. Edema paling sering ditimbulkan oleh kerusakan otot jantung akibat akut infark miokard. Perkembangan edema paru menunjukkan bahwa fungsi jantung sudah sangat tidak adekuat. Peningkatan tekanan akhir diastole ventrikel kiri dan peningkatan tekanan vena pulmonal dapat terjadi. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik yang akan mengakibatkan cairan merembes keluar. Gangguan sistem limfatik juga berperan dalam penimbunan cairan didalam jaringan paru. Kapiler paru yang membesar oleh darah yang berlebihan akibat ketidakmampuan ventrikel kiri untuk memompa, tidak dapat lagi mempertahankan zat yang terkandung didalamnya. Pada awal edema cairan bersifat serous, kemudian akan mengandung darah, lolos ke jaringan alveoli sekitarnya melalui hubungan antara bronkhioli dan bronkhi. Karena adanya timbunan cairan, paru menjadi tidak elastis dan tidak dapat mengembang, sehingga udara tidak dapat masuk. Berikutnya akan terjadi hipoksia berat (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.3 Manifestasi Klinis Serangan mendadak yang khas pada edema paru terjadi setelah pasien berbaring selama beberapa jam. Posisi berbaring akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan memudahkan penyerapan kembali edema dari tungkai. Darah yang Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 22 beredar dalam sirkulasi menjadi lebih encer, volume darah juga mengalami peningkatan. Tekanan vena mengalami peningkatan dan pengisian atrium kanan akan lebih cepat. Akibatnya terjadi peningkatan curah ventrikel kanan, yang ternyata melebihi curah ventrikel kiri. Pembuluh darah paru membesar oleh darah dan mulai mengalami kebocoran (Smeltzer & Bare, 2002). Pasien akan mengalami kesulitan nafas mendadak dan perasaan tercekik. Tangan pasien menjadi dingin dan basah, kuku dan warna kulit menjadi sianosis. Berikutnya denyut nadi melemah serta cepat, dan vena jugularis akan mengalami peningkatan. Pasien dapat mengalami batuk, dengan sputum yang banyak. Dengan berkembangnya edema paru, pasien menjadi panik, pasien mulai konfusi serta stupor. Nafas berbunyi dan basah, dan pasien yang mulai tercekik oleh darah, mengeluarkan cairan berbusa ke bronkhi dan trakea (Smeltzer & Bare, 2002). 2.2.4 Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan edema paru akut adalah mengurangi volume sirkulasi untuk memperbaiki pertukaran gas. Penatalaksanaan edema paru menurut (Smeltzer & Bare, 2002) adalah sebagai berikut: a. Oksigenasi. Oksigen diberikan dengan konsentrasi yang adekuat untuk mengurangi hipoksia dan sesak nafas. Apabila hipoksia menetap, oksigen harus diberikan dengan tekanan posistif intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal nafas, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis. Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi (Positve End Expiratory Pressure/ PEEP) sangat efektif untuk mengurangi aliran balik vena, menurunkan tekanan kapiler paru, dan memperbaiki oksigenasi. Oksigenasi dipantau melalui pulsa oksimetri dan pengukuran gas darah arteri. b. Morfin Morfin diberikan secara intravena dalam dosis kecil untuk mengurangi kecemasan dan sesak nafas. Juga digunakan untuk menurunkan tekanan perifer sehingga darah dapat didistribusikan dari sirkulasi paru kebagian Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 23 tubuh yang lain. Hal tersebut akan menurunkan tekanan dalam kapiler paru dan mengurangi transudasi cairan ke jaringan paru. c. Diuretik Furosemide (Lasix) diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik yang cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah dipembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali kejantung. d. Digitalis Digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung, dan curah ventrikel kiri, maka pasien harus diberikan preparat digitalis kerja cepat. Perbaikan kontraktilitas jantung akan meningkatkan cardiac output, memperbaiki diuresis dan menurunkan tekanan diastole. Sehingga tekanan kapiler paru dan transudasi cairan ke alveoli akan berkurang. e. Aminofilin Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkhospasme, maka perlu diberikan aminofilin untuk mengurangi spasme bronkus. f. Posisi Posisi yang tepat dapat membantu mengurangi aliran balik vena ke jantung. 2.3 Integrasi Teori Konservasi Levine dan Konsep Keperawatan dalam Proses Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular 2.3.1 Konsep Konservasi Levine (1990) dalam Tomey & Alligood (2006) menyatakan secara eksplisit tentang pentingnya memahami rencana perawatan medis dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk pemahaman yang akurat tentang masalah pasien. Tujuan dari asuhan keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi dan kesejahteraan. Karena adaptasi didasarkan pada pilihan dan berakar dalam riwayat dan spesifisitas, intervensi terapeutik akan menjadi bervariasi, tergantung pada sifat unik dari respon masing-masing individu. Teori konservasi berakar pada prinsip universal konservasi, yang menyediakan landasan bagi model. Tujuan dari konservasi adalah untuk menjaga bersama- Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 24 sama. Menurut Levine (1990) dalam Tomey & Alligood (2006), untuk menjaga bersama-sama berarti untuk menjaga keseimbangan antara intervensi keperawatan aktif ditambah dengan partisipasi pasien di satu sisi dan batas-batas yang aman dari kemampuan pasien untuk berpartisipasi di sisi lain. Kegiatan asuhan keperawatan meningkatkan adaptasi seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan fisiologis, cedera struktural yang minimal, perkembangan neurologi, dan sistem keluarga yang stabil. Konservasi berasal dari bahasa latin conservatio, yang berarti tetap bersama. Conservatio menggambarkan cara sistem yang kompleks dapat terus berfungsi bahkan ketika ada ancaman yang sangat menantang. (Levine, 1991) dalam Tomey & Alligood (2006). Melalui konservasi, individu dapat menghadapi rintangan, beradaptasi, dan menjaga keunikan mereka. Tujuan dari konservasi adalah kesehatan dan kekuatan untuk menghadapi kecacatan, peraturan konservasi dan integritas terjadi dalam semua situasi di mana keperawatan diperlukan. Fokus utama konservasi adalah menjaga keutuhan bersama seseorang. Meskipun intervensi keperawatan dapat menangani satu prinsip konservasi tertentu, perawat juga harus menyadari pengaruh prinsip-prinsip konservasi lainnya. (Levine, 1990 dalam Tomey dan Alligood, 2006) . Konservasi adalah hukum alam yang menjadi dasar berbagai ilmu. Levine menjelaskan bahwa individu terus menerus mempertahankan keutuhan mereka. Konservasi adalah suatu upaya untuk mempertahankan sistem kehidupan. Mempertahankan berarti, di satu sisi, untuk menjaga keseimbangan antara intervensi keperawatan aktif ditambah dengan partisipasi pasien dan, di sisi lain, batas aman kemampuan pasien untuk berpartisipasi. Individu mempertahankan sistem interaksi secara konstan dengan lingkungan mereka dan menggunakan yang paling ekonomis, hemat, pilihan energy-sparing yang tersedia untuk menjaga integritas mereka. Sumber energi tidak dapat diamati secara langsung, namun konsekuensinya (manifestasi klinis) terhadap perubahan dapat diprediksi, dikelola dan dikenali. Konservasi adalah tentang mencapai keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan energi yang ada di dalam realitas biologis yang unik dari individu. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 25 Model Levine menekankan interaksi keperawatan dan intervensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan adaptasi dan mempertahankan keutuhan. Interaksi ini didasarkan pada latar belakang ilmiah dari prinsip konservasi. Konservasi berfokus untuk mencapai keseimbangan ketersediaan dan permintaan energi di dalam realitas biologis individu yang unik. Asuhan keperawatan didasarkan pada pengetahuan ilmiah dan keterampilan keperawatan. Ada empat prinsip konservasi: a. Konservasi energi: individu membutuhkan keseimbangan energi dan pembaharuan energi yang konstan untuk mempertahankan aktivitas kehidupan. Proses seperti penyembuhan dan penuaan merupakan tantangan energi. Hukum kedua termodinamik berlaku untuk segala sesuatu di alam semesta, termasuk manusia. Konservasi energi telah lama digunakan dalam praktek keperawatan bahkan dengan prosedur yang paling dasar. Intervensi keperawatan digunakan untuk mengetahui tingkatan kemampuan individu tergantung pada memberikan perawatan terhadap kebutuhan tambahan minimal paling mungkin diberikan (Levine, 1990 dalam Tomey dan Alligood, 2006) . Konservasi energi tergantung pada pertukaran energi bebas dengan lingkungan sehingga sistem kehidupan terus-menerus dapat mengisi kembali persediaan energi mereka. Konservasi energi merupakan bagian integral individu terhadap berbagai respon adaptif. b. Konservasi integritas struktural. Penyembuhan adalah proses mengembalikan struktur dan integritas fungsional melalui konservasi dalam mempertahankan keutuhan (Levine, 1991 dalam Tomey dan Alligood, 2006). Para penyandang cacat dipandu ke tingkat adaptasi yang baru (Levine, 1996 dalam Tomey dan Alligood, 2006). Perawat dapat membatasi jumlah jaringan yang terlibat dalam penyakit dengan pengenalan awal dari perubahan fungsional dan dengan intervensi keperawatan. Konservasi integritas struktural tergantung pada sistem pertahanan menyeluruh yang mendukung perbaikan dan penyembuhan serta bersifat responsif terhadap tantangan dari lingkungan internal dan eksternal. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 26 c. Konservasi integritas personal. Harga diri dan penghargaan terhadap identitas adalah sesuatu yang penting. Ini merupakan hal yang paling rentan pada pasien. Ini dimulai dengan hilangnya privasi dan adanya kecemasan. Perawat dapat menunjukkan rasa hormat pasien dengan memanggil nama mereka, menghormati keinginan mereka, menghargai barang-barang pribadi, memberikan privasi selama prosedur, mendukung pertahanan mereka dan mengajar mereka. Konservasi integritas personal mengakui individu yang menetapkan keutuhannya dalam menanggapi lingkungan. Hal ini mengakui bahwa individu berusaha untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan, kesadaran diri, kemanusiaan, kesucian, kemandirian, kebebasan, dan penentuan nasib sendiri. Tujuannya adalah perawat selalu memberikan pengetahuan dan kekuatan sehingga individu dapat melanjutkan kehidupan pribadi, tidak lagi tergantung. Konservasi integritas personal termasuk pengakuan terhadap kesucian setiap orang. (Levine, 1990 dalam Tomey dan Alligood, 2006) . d. Konservasi integritas sosial. Hidup yang bermakna didapat melalui komunitas sosial dan kesehatan ditentukan secara sosial. Perawat dalam memenuhi peran profesional, menyediakan diri untuk anggota keluarga, membantu kebutuhan tentang agama yang diperlukan, dan menggunakan hubungan interpersonal untuk mempertahankan integritas sosial (Levine, 1990 dalam Tomey dan Alligood, 2006) . Konservasi integritas sosial mengakui bahwa fungsi individu dalam masyarakat yang membantu menetapkan batas-batas diri. Integritas sosial yang dibuat oleh keluarga dan teman-teman, tempat kerja dan sekolah, agama, pilihan pribadi, dan warisan budaya serta etnis. Dengan kontrol politik dan ekonomi, sistem perawatan kesehatan merupakan bagian dari sistem sosial yang individual. Levine menyatakan bahwa konservasi integritas adalah penting untuk menjamin keutuhan dan memberikan kekuatan yang diperlukan untuk menghadapi penyakit dan kecacatan. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 27 2.3.2 Keutuhan Keutuhan menekankan pada sifat organik, progresif, dan hubungan yang saling menguntungkan antara fungsi yang beragam dan bagian dalam suatu keseluruhan, batas-batas yang terbuka dan saling mempengaruhi. Integritas berarti kesatuan dari individu, menekankan bahwa mereka merespon secara terpadu, kebiasaan tunggal terhadap tantangan yang berasal dari lingkungan. Keutuhan terjadi ketika interaksi atau adaptasi konstan lingkungan mengizinkan jaminan integritas. Perawat meningkatkan keutuhan melalui penggunaan prinsip-prinsip konservasi. Pengakuan mereka terbuka, mengalir, interaksi terus-menerus berubah antara individu dan lingkungan yang merupakan dasar untuk berpikir holistik, yang memandang individu secara keseluruhan. Keutuhan berarti kesehatan, dan kesehatan merupakan integritas. Kesehatan adalah pola adaptif perubahan, tujuan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan. Lingkungan melengkapi keutuhan individu. Setiap individu dipandang memiliki lingkungan internal dan eksternal sendiri. Lingkungan internal menggabungkan aspek fisiologis dan patofisiologis pasien. Lingkungan internal selalu ditantang oleh perubahan lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi dan menantang individu. Levine, 1973 dalam Tomey & Alligood (2006) juga memandang bahwa setiap individu memiliki lingkungan sendiri, baik internal maupun eksternal. Perawat dapat menghubungkan lingkungan internal sebagai aspek fisiologis dan patofisiologis pasien. Levine mendefinisikan lingkungan eksternal dan menunjukkan tiga level berikut: 1. Perseptual Tingkat persepsi meliputi aspek bahwa individu dapat menangkap dan menafsirkan dengan organ-organ indera mereka. 2. Operasional Tingkat operasional berisi hal-hal yang mempengaruhi individu secara fisik sekalipun tidak bisa langsung mereka rasakan, hal mikroorganisme tersebut. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 28 3. Konseptual Pada tingkat konseptual, lingkungan dibangun dari pola budaya, ditandai dengan keberadaan spiritual, dan dimediasi oleh simbol bahasa, pemikiran dan sejarah Kapasitas individu untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungannya disebut respon organ. Tingkatan integrasi dibagi menjadi sebagai berikut: 1. Perlawanan Merupakan respon yang paling primitif. Individu merasakan bahwa dirinya terancam, apakah benar-benar ada atau tidak ada ancaman. Rawat inap, penyakit dan pengalaman baru memperoleh tanggapan. Individu merespon dengan menjadi waspada untuk menemukan informasi lebih lanjut dan untuk memastikan keamanan dan kesejahteraannya. 2. Respon inflamasi Respon inflamasi. Mekanisme pertahanan melindungi diri dari penghinaan di lingkungan yang tidak bersahabat. Ini adalah cara penyembuhan. Tanggapan menggunakan energi yang tersedia untuk menghapus atau mencegah iritasi yang tidak diinginkan atau patogen. Itu terbatas dalam waktu karena menguras cadangan energi individu. Pengendalian terhadap lingkungan adalah penting (Levine, 1973 dalam Tomey dan Alligood, 2006). 3. Respon terhadap stres Selye (1956) dalam Tomey & Alligood (2006) menggambarkan bahwa respon sindrom stres dapat diprediksi, bersifat non-spesifik yang diinduksi oleh perubahan organik. Kerusakan pada jaringan dicatat dan mencerminkan respon hormonal jangka panjang untuk pengalaman hidup yang menyebabkan perubahan struktural. Hal ini ditandai dengan irreversibility dan mempengaruhi cara pasien menanggapi ancaman. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 29 4. Kesadaran perseptual Kesadaran perseptual. Respon ini didasarkan pada kesadaran persepsi individu. Hal ini terjadi hanya sebagai pengalaman individu terhadap dunia disekitarnya. Individu menggunakan respon ini untuk mencari dan mempertahan keselamatan. Ini adalah mencari informasi. (Levine, 1967; 1969 dalam Tomey dan Alligood, 2006). Pengobatan berfokus pada pengelolaan ke empat respon tersebut untuk sakit dan penyakit (Levine, 1969 dalam Tomey dan Alligood, 2006). 2.3.3 Adaptasi Adaptasi adalah proses perubahan dimana individu mempertahankan integritasnya dalam lingkungan internal dan eksternal. Konservasi merupakan hasil. Kesehatan dan penyakit merupakan pola dari perubahan adaptif, tujuannya adalah kesejahteraan. Kesehatan (keutuhan) tersirat menjadi kesatuan dan integritas individu, yang merupakan tujuan dari keperawatan. Penyakit dideskripsikan sebagai adaptasi terhadap kekuatan lingkungan yang berbahaya. Levine berpendapat bahwa penyakit merupakan upaya individu untuk melindungi integritas diri, seperti respon sistem inflamasi terhadap cedera. Penyakit adalah perubahan yang tidak teratur dan tidak disiplin yang harus dihentikan untuk mencegah kematian. Beberapa adaptasi sukses tetapi ada juga yang tidak. Levine (1991) dalam Tomey & Alligood (2006) mengidentifikasi adaptasi ke dalam tiga karakteristik berikut: 1. Historisitas Historisitas berfokus terhadap ide bahwa respon adaptif manusia didasarkan pada genetik dan sejarah masa lalu (riwayat). Setiap individu terdiri dari kombinasi genetik dan riwayat, dan respon adaptif merupakan hasil dari gabungan keduanya. 2. Kekhususan Levine menyatakan: "setiap spesies tetap memiliki pola respon unik yang dirancang untuk memastikan keberhasilan dalam kegiatan hidup yang penting, Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 30 menunjukkan bahwa adaptasi merupakan riwayat dan bersifat khusus. Selain itu, pola adaptif mungkin tersembunyi dalam kode genetik individu. 3. Redundansi Redundansi merupakan pilihan fail-safe yang tersedia bagi individu untuk memastikan adaptasi. Kehilangan pilihan baik akibat trauma, kondisi usia, penyakit atau lingkungan membuat sulit bagi individu untuk mempertahankan kehidupan. Levine (1991) dalam Tomey & Alligood (2006) menyatakan bahwa "ada kemungkinan proses penuaan merupakan konsekuensi dari kegagalan redundansi proses fisiologis dan psikologis". 2.3.4 Proses Keperawatan dalam Konservasi Levine Proses keperawatan dengan menggunakan model konservasi Levine dimulai dengan pengkajian. Pengkajian dilakukan tidak hanya melalui pemeriksaan fisik saja, namun perlu dilakukan anamnesa untuk menggali informasi tentang riwayat penyakit dan riwayat kesehatan pasien secara menyeluruh. Setelah melakukan pengkajian, perawat menegakkan diagnosa keperawatan. Terdapat perbedaan antara model konservasi Levine dibandingkan dengan model konsep yang lain. Pada model konservasi Levine, penggunaan istilah diagnosa keperawatan diganti dengan menggunakan istilah Trophicognosis, yaitu mencakup rumusan pernyataan atau justifikasi masalah. Tahap selanjutnya adalah pembuatan hipotesis. Hipotesis keperawatan disusun berdasarkan pada rumusan masalah yang sudah ditentukan pada tahap sebelumnya. Perawat melakukan validasi bersama dengan pasien dan keluarga tentang masalah yang dihadapi oleh pasien. Kemudian perawat menyusun hipotesis terhadap masalah dan mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut (Alligood, 2010). Dalam model konservasi Levine, hipotesis merupakan inti dari rencana keperawatan. Setelah tersusun hipotesis, maka langkah selanjutnya adalah melakukan intervensi keperawatan yang sesuai untuk pasien. Dalam model konservasi, penyusunan intervensi dibuat berdasarkan prinsip konservasi yang meliputi konservasi energi, Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 31 integritas struktural, integritas personal dan integritas sosial. Tujuan dari intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan wholeness dan membantu pasien untuk melakukan adaptasi (Alligood, 2010). Selanjutnya, rencana tindakan kemudian dilaksanakan/diimplementasikan berdasarkan konsep konservasi energi, integritas struktural, integritas personal dan integritas sosial. Secara umum, rencana tindakan keperawatan tergambar dalam hipotesis keperawatan. Dalam model konservasi Levine, istilah implementasi keperawatan tidak diungkapkan dengan jelas. Implementasi keperawatan termuat secara eksplisit dalam intervensi keperawatan. Tindakan keperawatan yang dilakukan difokuskan kepada respon orgasmik pasien, dimana respon orgasmik merupakan kriteria hasil yang akan dilihat pada evaluasi keperawatan. 2.3.5 Konsep Metaparadigma dalam Teori Levine Myra E. Levine mengembangkan teori keperawatan dengan model konservasi. Levine mengidentifikasi menjadi 4 yaitu manusia, lingkungan, keperawatan, dan kesehatan. 2.3.5.1 Manusia Manusia digambarkan sebagai individu yang utuh yang secara terus menerus melakukan upaya untuk mempertahankan keutuhan dan integritas sebagai makhluk yang berfikir, berorintasi terhadap masa depan dan masa lalu. 2.3.5.2 Keperawatan Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan adaptasi dan mempertahankan integritas individu maupun masyarakat. Keutuhan individu yaitu mencakup bio, psiko, sosial dan spiritual menjadi tanggung jawab perawat untuk membantu mempertahankannya. Untuk mencapai tujuan keperawatan diperlukan penggunaan prinsip-prinsip konservasi yang meliputi: konservasi energi, konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi integritas sosial. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 32 2.3.5.3 Sehat-Sakit Sehat dan sakit merupakan pola perubahan yang adaptif, tujuan yang meliputi kesejahteraan. Kesehatan (keutuhan) tersirat menjadi kesatuan dan integritas individu, yang merupakan tujuan dari keperawatan. Penyakit ini digambarkan sebagai adaptasi terhadap kekuatan lingkungan berbahaya. Levine berpendapat bahwa penyakit merupakan upaya individu untuk melindungi integritas diri, seperti respon sistem inflamasi terhadap cedera. Penyakit adalah perubahan yang tidak diatur dan tidak disiplin yang harus dihentikan untuk mencegah kematian. 2.3.5.4 Lingkungan Lingkungan melengkapi keutuhan seseorang. Setiap individu dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal. Levine membagi lingkungan menjadi 2 yaitu: 1. Lingkungan Internal; lingkungan internal menggabungkan aspek fisiologis dan patofisiologis pasien. Lingkungan internal selalu ditantang oleh perubahan lingkungan eksternal. 2. Lingkungan Eksternal; lingkungan eksternal meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi dan menantang individu. Levine mengadopsi tiga tingkat lingkungan: persepsi, operasional dan konseptual. a. Lingkungan perseptual Lingkungan perseptual merupakan lingkungan yang dapat ditangkap dan ditafsirkan melalui panca indera manusia yang mencakup respon terhadap cahaya, rasa, suara, sentuhan, dan suhu. b. Lingkungan operasional Lingkungan operasional meliputi unsur-unsur yang secara fisik mempengaruhi individu tetapi tidak secara langsung dirasakan (misalnya; radiasi, mikroorganisme). c. Lingkungan konseptual Lingkungan konseptual memiliki pola yang mempengaruhi perilaku ditandai dengan keberadaan spiritual dan dimediasi oleh simbol bahasa, pemikiran dan sejarah (misalnya; nilai-nilai, keyakinan). Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 33 2.4 Penerapan Model Konservasi Levine pada Pasien STEMI 2.4.1 Pengkajian STEMI adalah kondisi yang mengancam kehidupan karena terjadi infark transmural. Pengkajian berfokus pada penyelamatan jiwa pasien. Pengkajian menggunakan prinsip-prinsip konservasi sebagai berikut: a. Pengkajian lingkungan Terdapat 2 lingkungan pada pengkajian dengan konservasi Levine yaitu pengkajian lingkungan internal dan pengkajian lingkungan eksternal. Pengkajian lingkungan internal meliputi riwayat penyakit dan faktor resiko. Riwayat penyakit meliputi adakah riwayat penyakit stroke, gastritis dan asma. Sedangkan faktor resiko meliputi adakah penyakit hipertensi, DM, hiperkolesterol, merokok, faktor keturunan dan menopause pada wanita. Pengkajian lingkingan eksternal mencakup respon pasien terhadap penyakit, kepatuhan pasien, sistem nilai pasien dan keluarga. b. Pengkajian konservasi energi Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi suplai oksigen dan nutrisi miokard. Ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan suplai oksigen menimbulkan nyeri pada pasien STEMI. Oleh karena itu pengkajian difokuskan pada nyeri pasien meliputi pengkajian dengan prinsip PQRST (Muttaqin, 2009): 1) Provoking incident: peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri, apakah nyeri berkurang dengan istirahat, dan apakah nyeri bertambah berat dengan aktivitas. 2) Quality of pain: sifat nyeri seperti nyeri tajam, tumpul, seperti terbakar. 3) Region: lokasi nyeri, apakah nyeri menjalar ke lengan kiri, leher dan punggung. 4) Severity of pain: seberapa berat nyeri dirasakan, intensitas nyeri. 5) Time: kapan nyeri dirasakan, berapa lama (durasi), onset nyeri. c. Pengkajian konservasi integritas struktural Pengkajian difokuskan pada sistem pertahanan tubuh. Konservasi integritas struktural bertujuan untuk mencegah kerusakan otot jantung lebih lanjut. Pada pasien STEMI terjadi peningkatan preload dan afterload sehingga curah Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 34 jantung akan mengalami penurunan. Oleh karena itu pengkajian difokuskan pada sistem yang berkaitan dengan penurunan curah jantung seperti tingkat kesadaran pasien, status hemodinamik dan status oksigenasi pasien. d. Pengkajian konservasi integritas personal Pengkajian difokuskan pada harga diri pasien. Pasien dengan STEMI sering merasa rendah diri sehingga merasa dikucilkan oleh lingkungan termasuk orang terdekat. Oleh karena itu pengkajian difokuskan pada penerimaan pasien oleh keluarga. e. Pengkajian konservasi integritas sosial Pengkajian difokuskan pada kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam sistem sosial. Pengkajian antara lain mencakup kemampuan komunikasi pasien, hubungan antara pasien dengan perawat, petugas kesehatan lain dan anggota keluarga. Dukungan dan keterlibatan anggota keluarga dalam pengobatan pasien juga perlu dilakukan. 2.4.2 Trophicognosis Tropihicognosis yang muncul pada pasein STEMI berdasarkan NANDA menurut Herdman (2012) adalah sebagai berikut: a. Nyeri dada berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen otot jantung. b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, dan peningkatan afterload. c. Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan penurunan fungsi pengaturan cairan oleh ginjal sekunder terhadap penurunan curah jantung. d. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit dan prosedur perawatan. 2.4.3 Hipotesa dan Intervensi Berdasarkan trophicognosis yang muncul pada pasien STEMI, maka disusun hipotesa dan intervensi. Perumusan hipotesa berdasarkan Nursing Intervention and Classification (NIC) menurut Bulechek, Butcher & Dochterman (2008) adalah sebagai berikut: Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 35 a. Perawatan jantung: akut, cardiac precaution, akan mengatasi penurunan kardiak output. b. Manajemen cairan dan elektrolit, haemodinamic regulation akan mengatasi kelebihan volume cairan. c. Pendidikan: proses penyakit, program terapi/treatment akan dapat mengatasi manajemen regimen terapi tidak efektif. 2.4.4 Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk mengetahui efektifitas terapi yang dilakukan. Evaluasi dalam model konservasi Levine berdasarkan respon organismik sebagai berikut: a. Tidak ada keluhan nyeri dada. b. Terjadi peningkatan kardiak output. c. Tidak terjadi kelebihan volume cairan. d. Manajemen regimen terapi menjadi efektif. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULAR Bab ini akan menguraikan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular dengan menerapkan model konservasi energi Levine. 3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama Tn. RPL usia 57 tahun , status menikah, pendidikan perguruan tinggi, pekerjaan pensiunan departemen perindustrian, suku Batak, masuk rumah sakit pada tanggal 16 April 2013, pada pukul 23.30 WIB, dilakukan pengkajian pada tanggal 18 April 2013 pukul 08.00 WIB diruang CVCU RS PJNHK Jakarta dengan Acute STEMI anterior onset >12 jam. AHF ec. ACS, riwayat ALO, dan Hipertensi tak terkontrol. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri dada yang timbul 12 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS), terasa saat tidur, seperti ditusuk-tusuk dan menjalar ke punggung. Nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Saat di IGD nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dengan skala 7 (0-10). Keringat dingin (+), berdebar-debar (-), batuk (+), sekret keputih-putihan keluar saat pasien batuk. Sesak nafas (+), DOE (+), PND (-), OP (-). Sebelumnya pasien mengalami keluhan serupa namun lebih ringan saat 18 jam SMRS. Pasien dibawa ke RS Islam Pondok Kopi dan mendapatkan Cedocard 5 mg (SL), loading Plavix 300 mg, loading Aspilet 160 mg, extra Lasix 2 ampul (IV , Morphin 50 mg (IV), NTG 10 mcg/jam, Pantoprazole 1 ampul, dan Captopril 12,5 mg, selanjutnya pasien dirujuk ke RS Harapan Kita. Nyeri dada dirasakan pertama kali 2 minggu SMRS, bersifat hilang timbul dan bertambah sering. Pasien tidak menderita asma, gastriris dan stroke. Pasien mengatakan adik dari ayah pasien menderita penyakit jantung, tetapi pasien tidak tahu persis apakah diagnosis dari penyakit jantung paman pasien tersebut. Sedangkan untuk faktor 36 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 37 resiko adalah pasien menderita hipertensi sejak usia kurang lebih 40 tahun, merokok > 2 bungkus/hari dan minum kopi > 2 gelas/hari. Tn. RPL merupakan pasien baru di RS PJNHK. Di IGD RS PJN Harapan Kita Jakarta pasien mendapatkan terapi sebagi berikut: oksigen 3 liter/menit, Aspilet 1 x 80 mg, Plavix 1 x 80 mg, ISDN 3 x 5 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Captopril 3 x 12,5 mg, Bisoprolol 1 x 1,25 mg, Lasik 2 x 40 mg, Heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc, Diazepam 1 x 5 mg, Laxadine 1 x CI, Amlodipin 1 x 5 mg dan NTG 70 μg/menit. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang di IGD. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain adalah EKG dengan hasil SR, QRS rate 63 x/menit, QRS axis normal, P wave normal, PR interval 0,12 detik, QRS duration 0,08 detik, ST elevasi dengan Q wave di V1-V3, T inverted di I, aVL, V4-V6. Pada saat pasien dirawat diruang observasi di IGD pasien juga dilakukan pemeriksaan EKG dengan hasil SR, QRS rate 88 x/menit, QRS axis normal, P wave LAE, PR interval 0,16 detik, QRS duration 0,11 detik, ST elevasi dengan Q wave di V1-V4, T inverted di V2V6. Selain pemeriksaan EKG juga dilakukan pemeriksaan Echocardiografi dengan hasil EDD 53, ESD 39, EF 50%, Tapse 2,0 cm, SV: 48 ml, CO: 4,2 liter/menit. Hipokinetik di mid anterior dan mid septal. Hasil foto rontgen thorak didapatkan CTR 52%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung (+), apex downward, kongesti (+), infiltrat (-), edema paru (+). Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut: Hemoglobin: 18,2, Hematokrit: 50, Leukosit: 19.630, Kolesterol total: 204, HDL: 28, LDL: 153, Trigliserid: 204, Ureum: 33, BUN: 15, Creatinin: 1,67, CKMB: 386, hS Troponin T: 7028, GDS: 126, Na: 136, K: 3,8, Ca: 2,31, Cl: 101, Mg: 1,6. Pada saat dilakukan pengkajian di CVCU, keluhan nyeri dada sudah berkurang bila dibandingkan pada saat di IGD. Saat di CVCU keluhan nyeri dada dengan skala 4. Keluhan yang paling dirasakan pasien adalah sesak nafas. Diruang CVCU dilakukan pemeriksaan EKG untuk mengevaluasi EKG sebelumnya dan didapatkan hasil SR, QRS rate 83 x/menit, QRS axis normal, P wave N, PR interval 0,16 detik, QRS duration 0,08 detik, Q Patologis di III, QS wave di V1V3, T inverted di aVL, V1-V6. Pada tanggal 18-April 2013 dilakukan echocardiografi on bed dengan hasil EDD: 56, ESD: 45, EF: 40%. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 38 3.2 Penerapan Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan 3.2.1 Pengkajian Teori Konservasi : 3.2.1.1 Perubahan lingkungan internal : Hasil Echocardiografi : EDD 53 mm/m2, ESD 39 mm/m2, EF 50%, Tapse 2,0 cm, SV: 48 ml, CO: 4,2 liter/menit. Hipokinetik di mid anterior dan mid septal. Hasil echocardiogarfi tanggal 18 April 2013 EF: 40%. Terdapat Q patologis di Lead III dan QS di V1-V3, T inverted di aVL, V1-V6. 3.2.1.2 Perubahan lingkungan eksternal : Pasien merokok sebanyak >2 bungkus perhari sejak usia remaja. Pasien mengatakan merokok karena ikut-ikutan teman saat sekolah di SMP, tetapi akhirnya menjadi kebiasaan. Berhenti merokok setelah dinyatakan terkena serangan jantung yaitu pada tahun 2013. Keluarga menolak untuk dilakukan PCI primary terhadap pasein dengan alasan bahwa berdasarkan pengalaman kerabat yang menderita penyakit yang sama kemudian dilakukan tindakan intervensi koroner namun tidak berhasil, sebaliknya ada kerabat dengan penyakit yang sama tetapi tidak dilakukan intervensi koroner (PCI) sampai sekarang masih bisa bertahan dan menurut keluarga yang bersangkutan masih bisa beraktivitas seperti biasa. 3.2.1.3 Konservasi Energi: Pasien mengatakan tidak ada keluhan mual, muntah, anoreksia, kesulitan menelan dan mengunyah. Pasien makan 3 kali dalam sehari dan pada siang serta sore hari pasien juga mendapatkan snack. Kebutuhan kalori pasien adalah 2100 kal/hari dengan jenis diet jantung II. Pasien mengatakan selalu menghabiskan makanan dan snack yang disediakan. Total cairan yang diperbolehkan dikonsumsi pasien adalah 1700 cc/24 jam, berupa air putih, susu dan sirup. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 18,2 g%, Ht: 50%. Tinggi badan pasien 172 cm, dengan berat badan 84 kg. Berdasarkan IMT pasien termasuk obesitas yaitu dengan IMT: 29 (Hartono, 2006), maka dengan kondisi sakit sekarang ini untuk menghitung jumlah kalori yang diperlukan adalah dengan menggunakan metode Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 39 tingkat aktivitas dan intensitas penyakit yaitu BB x 25 kalori/kg, maka didapatkan kebutuhan kalori pasien adalah 2100 kalori/hari. Selama dirumah sakit pasien belum buang air besar, sedangkan untuk buang air kecil (urine output) pada tanggal 17 April 2013 adalah 2500 cc, sedangkan jumlah cairan yang boleh dikonsumsi pasien adalah sebanyak 1700 cc/24 jam. Dengan demikian terjadi balance cairan -800 cc, hal ini sesuai dengan target balance cairan yaitu -500 sampai dengan -1000 cc/24 jam. Target urine output 1,5 cc/kg/24 jam. Pada saat dilakukan pengkajian pasien buang air kecil dengan volume 200 cc dengan warna kekuningan. Pasien istirahat siang dari pukul 12.00-14.00 WIB dan istirahat malam dari pukul 20.00-05.00 WIB. Pasien mengatakan badan terasa lemas. Aktivitas pasien selama dirawat di CVCU dibatasi. Pasien melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan dari perawat dan keluarga seperti mandi, toileting dan berpakaian. 3.2.1.4 Konservasi Integritas Struktur: Keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis. TD: 186/100 mmHg, HR: 65x/mnt, RR: 26 x/mnt, Suhu: 36,50C. Pemeriksaan Fisik: Mata tidak terdapat anemis pada konjungtiva, dan ikterik sklera pada sklera. Leher JVP 5 + 2 cmH2O. Jantung S1-S2 normal, tidak terdapat murmur maupun gallop. Paru suara nafas vesikuler, ronkhi basah basal pada 1/3 lapang paru, tidak terdapat suara Whezing pada kedua paru. Abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus 9 x/menit. Ekstremitas: akral hangat, tidak terdapat oedema pada ekstremitas bawah maupun atas. 3.2.1.5 Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan bahwa petugas kesehatan menghargai pasien dan menyertakan pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan oleh petugas kesehatan. Pasien masih menolak untuk dilakukan tindakan catheterisasi jantung dengan alasan keluarga pasien (istri dan anak pasien) tidak menyetujui tindakan catheterisasi jantung. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 40 3.2.1.6 Konservasi Integritas Sosial: Keluarga kurang mendukung untuk dilakukan tindakan catheterisasi jantung dengan alasan bahwa ada kerabat pasien yang pernah menjalani tindakan yang sama, namun beberapa waktu kemudian mengalami kekambuhan, sebaliknya ada kerabat/teman pasien yang mengalami penyakit yang sama, tetapi tidak bersedia menjalani catheterisasi jantung, namun sampai saat ini masih bisa bertahan hidup. Tetapi keluarga mendampingi pasien selama pasien dirawat di RS Pusat Jantung nasional Harapan Kita. Pasien merupakan pensiunan pada departemen perindustrian, dan mendapatkan asuransi kesehatan dari departemen tersebut. 3.2.2 Trophicognosis Trophicognosis yang teridentifikasi dalam kasus ini adalah sebagai berikut: 1) nyeri dada, 2) penurunan kardiak output, 3) kelebihan volume cairan, dan 4) manajemen regimen terapeutik tidak efektif. Berdasarkan trophicognosis yang didapatkan, maka analisa data pada kasus STEMI diuraikan dalam tabel 3.1 Tabel 3.1 Analisa Data No Analisa Data 1 Konservasi energi: Nyeri dada skala 4/10. Trophicognosis Nyeri dada Konservasi integritas struktural: Hasi CKMB: 386, hS Trop T: 7028 2 Penurunan kardiak output Konservasi energi: - Pasien mengeluh cepat lelah. - Pasien mengeluh sesak nafas. Integritas struktural: - Hipokinetik pada mid anterior dan mid septal, ESD: 39, EDD: 53, EF: 40%. Integritas personal: - Merokok Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 41 Lanjutan tabel 3.1 3 Kelebihan volume cairan Konservasi energi: - Pasien mengeluh cepat lelah. - Pasien mengeluh sesak nafas. Integritas struktural: - Terdapat ronkhi basah 1/3 lapang paru. - Hasil rontgen thorak terdapat kongesti paru. 4 Integritas struktural: - STEMI anterior, EF: 40%. Manajemen regimen terapeutik tidak efektif Integritas sosial: Keluarga tidak mendukung pasien untuk dilakukan PCI. 3.2.3 Rencana Keperawatan: Tabel3.2 Rencana Keperawatan Tn. RPL Tanggal No Trophicognosis 18/04/13 1 Nyeri dada berhubungan dengan ketidakseimbang an suplai dan kebutuhan oksigen otot jantung. Hipotesis Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Pain Level: Manajemen nyeri : - Melaporkan - Lakukan nyeri pengkajian nyeri - Lama nyeri secara - Respirasi komprehensif - Tekanan darah meliputi: lokasi, sifat, lama, onset, frekuensi, Pain Control: - Pasien intensitas dan mengatakan pencetus. nyeri - Kaji respon berkurang/ nonverbal. tidak ada - Berikan informasi - Tanda vital tentang nyeri, dalam batas seperti penyebab normal. nyeri dan cara - Pasien dapat mengatasi. melakukan - Berikan oksigen tindakan terapi sesuai penanganan program. nyeri. - Berikan istirahat Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 42 Gambaran EKG tidak ada segmen ST elevated / depresi. (Moorhead , Johnson, Maas & Swanson , 2008). yang cukup dengan posisi kepala lebih tinggi/semifowler. Ajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada. - Kaji pengetahuan dan keyakinan pasien tentang nyeri. - Kaji faktor yang dapat meningkatkan nyeri. - Ajarkan teknik untuk mengurangi nyeri. - Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg. 18/04/13 2 Penurunan curah Cardiac Pump jantung Effectiveness berhubungan dengan kriteria: dengan - Tekanan darah perubahan dan denyut kontraktilitas jantung dalam otot jantung, dan batas normal. peningkatan - Tidak terjadi afterload hipotensi orthostatic. - Bunyi paru vesikular. - Distensi vena jugularis tidak ada. - Edema perifer tidak ada - Denyut nadi perifer kuat. Cardiac Care : - Evaluasi nyeri dada. - Monitor irama dan frekuensi jantung. - Auskultasi suara paru. - Monitor status neurologis. - Monitor masukan dan keluaran cairan, waspadai adanya edema. - Monitor kadar elektrolit. - Monitor tekanan darah dan status hemodinamik. - Berikan oksigen terapi sesuai program dan Cardiopulmonary monitor efektifitas status: - Tekanan darah oksigen terapi. sistolik - Anjurkan untuk - Tekanan darah menghindari Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 43 - diastolik Irama jantung Saturasi oksigen Tissue perfusion: Cardiac - Tekanan darah sistolik - Tekanan darah diastolik - Fraksi ejeksi aktivitas yang menghasilkan valsava manuever. - Berikan terapi sesuai program: ISDN 3x 5 mg , Simvastatin 1 x 20 mg, Amlodipin 1 x 5 mg, dan Captopril 3 x 12,5 mg. Cardiac Precaution: - Hindari situasi yang dapat meningkatkan emosi. - Batasi stimulus lingkungan (cahaya berlebihan, suara, suhu). - Motivasi pasien untuk menghentikan merokok. - Tingkatkan tekhnik yang efektif untuk mengurangi stress. 18/04/13 3 Kelebihan volume cairan tubuh berhubungan dengan penurunan fungsi pengaturan cairan oleh ginjal sekunder terhadap penurunan curah jantung. Cardiopulmonary status: - Tekanan darah sistolik - Tekanan darah diastolik - Irama jantung - Saturasi oksigen - Urin output Manajemen cairan/ elektrolit: - Monitor kadar elektrolit. - Monitor status hemodinamik. - Monitor tanda vital. - Berikan cairan sesuai program. - Pertahankan keseimbangan Fluid Balance dengan kriteria: intake dan output - Balance cairan cairan. seimbang - Berikan tambahan Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 44 - Tidak ada elektrolit bila tanda-tanda perlu. kelebihan - Berikan terapi cairan: edema sesuai program: tidak ada, Lasik 2 x 1 ampul distensi vena IV. jugularis tidak ada, haluaran urin > 30 Haemodinamic ml/jam. BB regulation: stabil. - Perhatikan - Intake dan perubahan tekanan output adekuat. darah. - Observasi suara paru. - Monitor edema. - Berikan terapi inotropik positif. Respiratory Status: - Frekuensi - Berikan diuretik pernafasan sesuai program. - Suara paru - Monitor balance - Saturasi cairan. oksigen 18/04/13 4 Manajemen regimen terapeutik tidak efektif Dukungan keluarga selama perawatan: - Menanyakan informasi tentang prosedur Teaching Disease Process: - Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit. - Jelaskan patofisiologi penyakit. Pengetahuan: - Jelaskan tanda dan Proses Penyakit - Penyebab dan gejala. faktor yang - Identifikasi faktor berkontribusi penyebab. - Faktor resiko - Tanda dan Teaching gejala Procedur/Treatent: komplikasi penyakit. - Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 45 Pengetahuan: Prosedur/Perawat an - Prosedur perawatan - Tujuan prosedur - Langkahlangkah dalam prosedur Jelaskan patofisiologi penyakit Berikan waktu kepada pasien dan keluarga untuk bertanya tentang prosedur Diskusikan alternatif tindakan bila diperlukan Terima nilai dalam keluarga tanpa mengahakimi. Diskusikan terapi dan pilihan pengobatan. Jelaskan kemungkinan komplikasi kronis bila diperlukan. Jelaskan tujuan prosedur/tindakan. - - - - 3.2.4 Implementasi : Tabel 3.3 Implementasi Keperawatan Tn. RPL Tgl/Jam Trophi Implemetasi Hasil/Evaluasi cognosis 18/04/13 1 Konservasi Energi - Mengkaji nyeri pasien: sifat, lokasi, durasi, intensitas dan progresifitas nyeri. - Memberikan posisi semi fowler. - Memberikan oksigen 3 liter / menit. Subyektif - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Memberikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 5 mg. - Memberikan NTG 70 mcg/menit. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 - - Pasien mengatakan dada masih terasa nyeri. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dengan skala 4 (010). Pasien mengatakan dada terasa lebih enak setelah minum obat. Pasien mengatakan sudah mengerti tentang penyebab Universitas Indonesia 46 Konservasi Integritas personal - Memberikan penjelasan penyebab nyeri kepada pasien. - Mengajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada. nyeri. Obyektif - TD: 143/75 mmHg, HR: 80 x/menit, RR: 26 x/menit, Capilary refill < 3 detik. Analisis Nyeri teratasi sebagian Planning - Monitor intensitas dan progresifitas nyeri. - Berikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 20 mg. - Berikan NTG 70 mcg/menit. 18/04/13 2 Konservasi Energi Subyektif - Pasien mengatakan badan masih terasa lemah. - Pasien mengatakan dada masih sesak Konservasi Integritas Struktural apabila tidak menggunakan - Memonitor tekanan darah, selang oksigen. frekuensi nadi dan status - Pasien mengatakan hemodinamik. mengerti bahwa - Memonitor status neurologis. saat buang air besar - Auskultasi bunyi jantung dan suara tidak boleh paru. mengejan. - Memonitor kadar elektrolit. - Memberikan terapi sesuai Obyektif program: ISDN 5 mg, Simvastatin - TD: 143/75 mmHg, 20 mg, Amlodipin 5 mg, dan HR: 80 x/menit, Captopril 12,5 mg. RR: 26 x/menit. Ronkhi (+). Konservasi Integritas Personal - Kesadaran compos - Menganjurkan pasien supaya bed mentis (CM). rest. - Pasien masih - Menganjurkan menghindari - Memberikan oksigen 3 liter/menit, dengan binasal kanul. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 47 aktivitas yang dapat menimbulkan valsava manuever. tampak lemah. - Hasil Echo: EDD: 53, ESD: 39 dan EF: 50%. Analisis Penurunan cardiak output belum teratasi. Planning - Monitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Monitor irama dan frekuensi jantung. - Auskultasi suara paru. - Monitor status neurologis. - Monitor masukan dan keluaran cairan, waspadai adanya edema. - Monitor kadar elektrolit. 18/04/13 3 Konservasi Energi - Menganjurkan pasien untuk mengkomsumsi cairan sesuai program yaitu 1700 cc/24 jam. - Memonitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan -1000 cc/24 jam. Subyektif - Pasien mengatakan haus. Obyektif - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tanda vital. - Memonitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. - Memberikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. - Intake cairan 1495 cc, output 2500 cc, balance cairan – 1005 cc. Ronkhi (+). JVP 5+2 cm H2O. Hasil pemeriksaan elektrolit: Na: 145 mmol/L K: 3,4 mmol/L, dan Cl: 102 mmol/L. Konservasi Integritas Personal - Jelaskan perlunya modifikasi diet dengan diet jantung. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 48 - Jelaskan perlunya pembatasan cairan. Analisis Masalah kelebihan cairan belum teratasi. Planning - Berikan terapi elektrolit (Kalium) 25 meq dalam RL 500 cc/24 jam dan monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. - Berikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV - Pertahankan balance cairan – 500 cc/24 jam. 18/04/13 4 Konservasi Integritas Personal: Subyektif: - Mengkaji tingkat pengetahuan - Pasien pasien tentang penyakit. mengatakan - Menjelaskan patofisiologi mengerti akibat penyakit. dari penyakit - Menjelaskan tanda dan gejala. karena tidak - Mengidentifikasi faktor dilakukan penyebab. tindakan - Menjelaskan kemungkinan catheterisasi komplikasi kronis bila diperlukan. jantung. - Menjelaskan tujuan - Pasien prosedur/tindakan. mengatakan sebenarnya tidak masalah untuk dilakukan tindakan catheterisasi. Obyektif: Analisis: Masalah teratasi belum Planning: - Diskusikan dengan anggota keluarga tentang rencana Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 49 - Tgl/Jam Trophi Implemetasi catheterisasi. Beri kesempatan kepada keluarga untuk mendiskusikan program terapi yang akan dilakukan kepada pasien. Hasil/Evaluasi cognosis 19/04/13 1 Konservasi Energi - Mengkaji nyeri pasien: sifat, lokasi, durasi, intensitas dan progresifitas nyeri. - Memberikan posisi semi fowler. - Memberikan oksigen 3 liter / menit. Subyektif - - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi status hemodinamik. - Memberikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 20 mg. - Memberikan NTG 70 mcg/menit. Pasien mengatakan dada masih terasa nyeri. Skala 3 (010). Pasien mengatakan dada terasa lebih enak setelah minum obat. Obyektif - TD: 129/76 mmHg, HR: 66 x/menit, RR: 22 x/menit. Analisis Nyeri dada sebagian teratasi Planning - Kaji nyeri pasien. - Berikan oksigen 3 liter / menit. - Monitor tekanan darah, frekuensi Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 50 nadi. - Berikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 20 mg. - Berikan NTG 70 mcg/menit. 19/04/13 2 Konservasi Energi Subyektif - Memberikan oksigen 3 liter/menit, dengan binasal kanul. Konservasi Integritas Struktural - Pasien mengatakan badan masih terasa lemah. Obyektif - TD: 129/76 mmHg, HR: 66 x/menit, RR: 22 x/menit. - Pasien masih tampak lemah. - Kesadaran CM. - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Memonitor status neurologis. - Auskultasi bunyi jantung dan suara paru. - Memonitor kadar elektrolit. - Memberikan terapi sesuai program: ISDN 5 mg, Simvastatin Analisis 20 mg, Amlodipin 5 mg, dan Penurunan cardiak Captopril 12,5 mg. output belum teratasi. Planning - Monitor tekanan darah dan frekuensi nadi. - Auskultasi suara paru. - Berikan terapi sesuai program: ISDN 20 mg, Simvastatin 20 mg, Captopril 12,5 mg dan Bisoprolol 1,25 mg. 19/04/13 3 Konservasi Energi - Batasi intake cairan 1700 cc / 24 jam atau sesuai program. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Subyektif - Pasien mengatakan haus. Universitas Indonesia 51 - Memonitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan -1000 cc/24 jam. - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), penambahan BB, peningkatan derajat edema. - Memonitor kadar elektrolit darah:. - Memberikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. Pasien mengatakan mengerti pentingnya pembatasan cairan. Obyektif - - Intake cairan 1955 cc, output 2950 cc, balance cairan – 775 cc. Ronkhi (+). JVP 5 +2 cm H2O. Kadar elektrolit: Kalium: 3,8 mmol/L, Kalsium total: 2,17 mmol/L dan Magnesium: 2,1 mmol/L. Analisis Masalah cairan sebagian. kelebihan teratasi Planning - Lanjut balance cairan – 500 cc/24 jam. - Lakukan koreksi KCl 25 meq dalam larutan RL 500 cc. 19/04/13 4 Konservasi Integritas sosial: Subyektif: - Memberikan waktu kepada pasien - Keluarga dan keluarga untuk bertanya menyatakan tidak tentang prosedur setuju kalau pasien - Menerima nilai dalam keluarga dilakukan tindakan tanpa menghakimi. catheterisasi. - Mendiskusikan terapi dan pilihan - Keluarga pengobatan. mengatakan bahwa ada kerabat yang punya penyakit Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 52 yang sama dengan pasien, tidak dilakukan catheterisasi namun sampai sekarang masih bertahan, sebaliknya ada yang menjalani catheterisasi namun malah meninggal. Obyektif: Analisis: Masalah belum teratasi (Keluarga tetap menolak tindakan catheterisasi). Planning: Hentikan intervensi. Tgl/Jam Trophi Implemetasi Hasil/Evaluasi cognosis 20/04/13 1 Konservasi Energi Subyektif - Memberikan posisi semi fowler. - Pasien - Memberikan oksigen 3 liter / mengatakan dada menit. sudah tidak terasa - Memonitor intensitas dan nyeri. progresifitas nyeri. Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi. - Memberikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 20 mg. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Obyektif - TD: 139/71 mmHg, HR: 60 x/menit, RR: 18x/menit. Universitas Indonesia 53 Analisis Nyeri dada sebagian teratasi. Planning - Monitor intensitas dan progresifitas nyeri. - Monitor tekanan darah, frekuensi nadi. - Berikan Bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 20 mg. 20/04/13 2 Konservasi Energi Subyektif - Memberikan posisi pasien semi fowler - Memberikan oksigen 3 liter/menit, dengan binasal kanul. Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Memonitor status neurologis. - Auskultasi bunyi jantung dan suara paru. - Memonitor kadar elektrolit. - Memberikan terapi sesuai program: ISDN 20 mg, Simvastatin 20 mg, Amlodipin 5 mg, dan Captopril 12,5 mg. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 - Pasien mengatakan badan masih terasa lemah. Obyektif - TD: 139/71 mmHg, HR: 60 x/menit, RR: 18 x/menit. - Pasien masih tampak lemah. - Kesadaran CM. Analisis Penurunan output teratasi. cardiak sebagian Planning - Monitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Berikan terapi sesuai program: ISDN 20 mg, Simvastatin 20 mg, dan Captopril 12,5 mg. Universitas Indonesia 54 20/04/13 3 Konservasi Energi - Batasi intake cairan 1700 cc / 24 jam atau sesuai program. - Memonitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan -1000cc/24 jam. Subyektif - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), penambahan BB, peningkatan derajat edema. - Memonitor kadar elektrolit darah. - Memberikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. Pasien mengatakan haus. Pasien mengatakan mengerti pentingnya pembatasan cairan. Obyektif - - Intake cairan 2316 cc, output 3200 cc, balance cairan – 884 cc. Ronkhi (+). JVP 5 +2 cm H2O. Kadar elektrolit: Kalium: 3,6 mmol/L, Kalsium total: 2,16 mmol/L dan Magnesium: 1,6 mmol/L. Analisis Masalah kelebihan cairan teratasi sebagian. Planning - Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan 500cc/24 jam. - Berikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. - Berikan koreksi Kalium 25 meq dalam RL 500 cc/24 jam. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 55 Tgl/Jam Trophi Implemetasi Hasil/Evaluasi cognosis 22/04/13 1 Konservasi Energi - Memberikan posisi semi fowler. - Memberikan oksigen 3 liter / menit. - Memonitor intensitas dan progresifitas nyeri. Subyektif - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi. - Memonitor dan merekam EKG serial setiap 24 jam. - Memberikan bisoprolol 1,25 mg dan ISDN 5 mg. - Memberikan NTG 70 mcg/menit. 22/04/13 2 Konservasi Energi Obyektif - TD: 134/83 mmHg, HR: 63 x/menit, RR: 27 x/menit. Subyektif - Memberikan posisi pasien semi fowler - Memberikan oksigen 3 liter/menit, dengan binasal kanul. Konservasi Integritas Struktural Pasien mengatakan dada sudah tidak terasa nyeri. - Pasien mengatakan badan masih terasa lemah. Obyektif - TD: 134/83 mmHg, HR: 63 x/menit, RR: 27 x/menit. - Pasien masih tampak lemah. - Pasien bed rest. - Memonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan status hemodinamik. - Memonitor status neurologis. - Auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Analisis - Memonitor kadar elektrolit. - Memberikan terapi sesuai Penurunan cardiak program: ISDN 5 mg, Simvastatin output belum teratasi. 20 mg, Amlodipin 5 mg, dan Captopril 12,5 mg. Planning - Monitor tekanan darah dan frekuensi nadi. - Berikan terapi Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 56 sesuai program: ISDN 20 mg, Simvastatin 20 mg, Captopril 12,5 mg dan Bisoprolol 1,25 mg. 22/04/13 3 Konservasi Energi - Batasi intake cairan 1700 cc / 24 jam atau sesuai program. - Memonitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan -1000 cc/24 jam. Subyektif - Konservasi Integritas Struktural - Memonitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), penambahan BB, peningkatan derajat edema. - Memonitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. - Memberikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. Pasien mengatakan haus. Pasien mengatakan mengerti pentingnya pembatasan cairan. Obyektif - - Intake cairan 1500 cc, output 1800 cc, balance cairan – 300 cc. Ronkhi (-). JVP 5 +2 cm H2O. Kadar elektrolit: Kalium: 3,9 mmol/L, Kalsium total: 2,17 mmol/L dan Magnesium: 2,1 mmol/L. Analisis Masalah cairan sebagian. kelebihan teratasi Planning - Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan 500cc/24 jam. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 57 - Berikan terapi sesuai program: Lasik 1 ampul IV. - Berikan koreksi kalium 25 meq dalam RL 500 cc/24 jam. 3.4 Pembahasan Keluhan utama yang dirasakan Tn. RPL adalah nyeri dada. Nyeri dada merupakan keluhan yang seringkali muncul pada pasien dengan STEMI. Hal ini sesuai dengan manifestasi yang sering kali muncul pada pasien dengan akut miokard infark yaitu adanya nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung lebih dari 30 menit dan tidak mereda dengan pemberian nitrogliserin (Kabo, 2010; Aaronson & Ward, 2010). Bahkan pada beberapa kasus nyeri dada tidak hilang dengan istirahat, hal ini berbeda dengan nyeri dada yang muncul pada angina yang tidak khas, yaitu hanya muncul dalam waktu 5-10 menit, sedangkan nyeri dada pada infark miokard berlangsung selama lebih dari 30 menit, tidak hilang dengan istirahat dan nitrogliserin, serta nyeri bertahan dalam beberapa jam bahkan beberapa hari (Smeltzer & Bare, 2002; Aaronson & Ward, 2010). Tn. RPL mengeluh nyeri dada muncul saat tidur, hal ini terjadi karena infark miokard sering terjadi setelah aktivitas berat atau emosi ekstrem, jarang pada puncak aktivitas, bahkan 50% pasien terbangun dari tidur (Smeltzer & Bare, 2002; Gray, Dawkins, Morgan dan Simpson, 2005). Nyeri juga dirasakan menjalar oleh Tn. RPL, hal ini terjadi karena pada penyakit jantung koroner sensasi nyeri disalurkan melalui aferen saraf simpatis jantung. Saraf ini bergabung dengan saraf somatik cervicothoracalis pada jalur ascending didalam medula spinalis (Kabo, 2010). Dari hasil pengkajian, didapatkan pasien juga mengeluarkan keringat dingin, hal ini terjadi akibat nyeri dada yang hebat akan menyebabkan aktivasi simpatis sehingga dapat memicu terjadinya keluarnya keringat dingin bahkan sampai membasahi pakaian pasien, serta mual dan muntah yang terjadi karena respon vagal (Rilantono, 2012). Tn. RPL juga mengalami sesak nafas, hal ini terjadi juga Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 58 karena aktivitas saraf simpatis (Smeltzer & Bare, 2002; Rilantono, 2012). Berdasarkan anamnesa, didapatkan data bahwa 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien juga mengalami nyeri dada yang bersifat hilang timbul dan tidak bertambah sering. Rilantono (2012) menyatakan bahwa pada pasien STEMI biasanya memiliki riwayat angina atau penyakit jantung koroner. Hal ini sesuai dengan Gray, Dawkins, Morgan dan Simpson (2005) yang menyatakan bahwa pasien dengan angina pektoris tidak stabil memperlihatkan gejala berupa angina dengan frekuensi dan derajat keparahan yang meningkat, dengan serangan yang lebih lama dan hanya hilang sebagian dengan nitrat sublingual. Faktor resiko yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya penyakit pada Tn. RPL adalah hipertensi dan merokok. Hipertensi merupakan faktor resiko yang paling membahayakan terhadap terjadinya penyakit jantung koroner. Hipertensi akan menyebabkan terjadinya peningkatan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus-menerus menyebabkan kebutuhan oksigen jantung meningkat (Smeltzer & Bare, 2002). Pada individu yang normal, pulse wave velocity adalah 750 cm/detik, sedangkan pada penderita hipertensi akan terjadi peningkatan pulse wave velocity yaitu mencapai 1500 cm/detik. Hal ini terjadi karena kekakuan pembuluh darah yang sering dialami pada penderita hipertensi. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, maka akan menyebabkan terjadinya ventrikel hipertropi, peningkatan komsumsi oksigen miokard, dan penurunan perfusi koroner (Kabo, 2010). Merokok akan meningkatkan kadar karbon monooksida (CO) dalam darah. Hal ini akan menyebabkan hemoglobin akan lebih mudah terikat dengan CO daripada dengan oksigen. Kondisi ini akan menyebabkan oksigen yang disuplai ke jantung menjadi sangat berkurang, sebagai akibatnya jantung akan bekerja lebih berat untuk menghasilkan energi yang sama (Smeltzer & Bare, 2002). Nikotin yang terkandung dalam tembakau akan menyebabkan terjadinya pelepasan katekolamin, hal ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang sehingga aliran darah dan oksigenasi jaringan terganggu (Smeltzer & Bare, 2002). Selain itu asam nikotinat merupakan zat yang bersifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah (Kabo, 2010). Dampak dari rokok juga akan Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 59 menyebabkan terjadinya adhesi trombosit yang dapat menyebabkan terbentuknya trombus (Smeltzer & Bare, 2002). Selain faktor resiko merokok dan hipertensi, pasien juga mengkonsumsi kopi > 2 gelas/hari. Kafein yang terkandung dalam kopi, teh dan minuman yang mengandung kola dapat menyebabkan takhikardi, bahkan pada individu yang sensitif dapat terjadi aritmia seperti kontraksi ventrikel premature. Hal ini disebabkan karena kafein juga dapat meningkatkan sekresi hormon seperti norepineprin dan kortisol yang dapat meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah (Nurani, 2012). Faktor lain adalah kafein dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kolesterol karena kafein dapat menyebabkan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa sehingga akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang merupakan faktor resiko penyakit jantung koroner (AHA, 2013). Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan infark miokard akut dapat digunakan biomarka kardiak yang meliputi CK-MB (creatine kinase-myocardial band) dan Troponin I dan T. Pada pasien yang mengalami infark miokard akan terjadi peningkatan kadar enzim jantung yang mengindikasikan telah terjadi kerusakan otot jantung (Smeltzer & Bare, 2002; Gray, Dawkins, Morgan & Simpson, 2005; Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2010). Troponin T meningkat pada awal infark miokard, dan digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan CK-MB bermanfaat untuk diagnosis dan melihat luas infark (Rilantono, 2010). Kadar CK-MB mulai meningkat dalam 4-8 jam, memuncak dalam 24 jam, dan akan mengalami penurunan hingga normal pada 2-3 hari. Sedangkan troponin T mulai meningkat dalam 4-8 jam dan tetap tinggi selama 4-7 hari. Peningkatan lebih dari dua kali lipat pada konsentrasi enzim selular jantung dalam plasma menunjukkan bahwa telah terjadi nekrosis miokardium (Rilantono, 2010). Berdasarkan hasil pemeriksaan labiratorium terhadap enzim jantung didapatkan terdapat peningkatan kadar CK-MB dan hs Troponin T, hasil pemeriksaan CK-MB didapatkan 386 dan hs Troponin T adalah 7028 U/L. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi nekrosis otot jantung pada Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 60 pasien Tn. RPL karena berdasarkan hasil pemeriksaan kadar enzim jantung telah terjadi peningakatan kadar enzim tersebut lebih dari dua kali lipat. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) menunjukkan bahwa terjadi segmen ST elevasi yaitu pada V1-V4 yang mengindikasikan terjadinya infark pada area anterior, serta terjadi segmen ST elevasi pada lead I, aVL, V1-V6 yang mengindikasikan terjadi infark pada area anterolateral. Segmen ST elevasi akan terjadi dalam waktu 2-8 jam pertama. Selanjutnya akan mengalami evolusi terjadi gelombang Q sesuai dengan onset penyakit yaitu dalam waktu 8 hingga 2 hari, yang selanjutnya akan disertai dengan gelombang T inverted yang akan terjasi dalam waktu > 2 hari (Rilantono, 2010; Aaronson & Ward, 2010). Hasil echocardiografi pada Tn. RPL adalah EDD: 53 mm/m2, ESD: 39 mm/m2, sedangkan fraksi ejeksi (EF): adalah 50%, hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan fungsi ventrikel kiri dalam memompa darah. Fungsi ventrikel kiri (EF) normal adalah > 55%, sedangkan pada pasien telah terjadi penurunan EF yaitu hanya 50%, hal ini nampak dari hasil echokardiografi yang menunjukkan adanya hipokinetik mid anterior dan mid septal dengan end-diastolic dimmension (EDD) dan end systolic dimmension (ESD) yang menggambarkan dimensi akhir diastolik dan dimensi akhir sistolik mengalami peningkatan (Noviyanti, 2009). Hasil rontgen thorak menunjukkan terdapat kongesti pada paru. Hal ini menunjukkan adanya akumulasi cairan pada paru. Hasil rontgen tersebut memperkuat diagnosa bahwa pasien juga mempunyai riwayat acute lung oedema (ALO). ALO merupakan salah satu dari komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan infark miokard (Rilantono, 2012). 3.4.1 Trophicognosis Berdasarkan Model Konservasi Levine 3.4.1.1 Nyeri dada Nyeri dada pada pasien Tn. RPL dirasakan seperti ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung dengan durasi > 30 menit. Nyeri dengan karakteristik tersebut merupakan nyeri khas infark dimana terjadi secara spontan, tidak seperti nyeri angina yang muncul setelah terjadi peningkatan aktivitas atau emosi (Smeltzer & Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 61 Bare, 2002; Rilantono, 2012). Tindakan keperawatan yang dilakukan kepada Tn. RPL adalah: memberikan posisi tidur semi fowler, memberikan oksigen 3 liter/menit, memberikan terapi berupa ISDN, dan Nitrogliserin. Oksigen harus diberikan bersamaan dengan terapi lain untuk menjamin berkurangnya nyeri secara optimal. Pemberian oksigen dapat menggunakan kanula hidung dengan dosis 2-4 liter/menit, dosis tersebut dapat mempertahankan kadar saturasi oksigen 96%-100% secara adekuat (Smeltzer & Bare, 2002). Pemberian ISDN (Isosorbid dinitrat). ISDN didalam tubuh akan berubah menjadi nitric oxide (NO) setelah berikatan dengan sulfhydryl. NO merangsang guanilat siklase meningkatkan pembentukan cyclic guanosine mono-phosphate (cGMP) didalam otot polos pembuluh darah. Akumulasi cGMP selanjutnya mengaktifkan protein kinase dan cyclic nucleotide phosphodiesterase didalam sel otot polos. Proses ini menghambat masuknya kalsium kedalam sel dan meningkatkan ambilan kalsium oleh retikulum sarkoplasmik, sehingga terjadi penurunan konsentrasi kalsium intraselular, disamping itu terjadi defosforilasi myosin light-chain yang akan menyebabkan vasodilatasi. Mekanisme lain dari nitrat yang menyebabkan vasodilatasi adalah menghambat sintesis tromboksan A2, meningkatkan produksi prostasiklin, dan meningkatkan pelepasan NO dari sel endotel serta menghambat agregasi trombosit (Kabo, 2010). Selain efek vasodilator, nitrat juga dapat menurunkan beban kerja jantung (Smeltzer & Bare, 2002; Aaronson & Ward, 2010). Selain nitrat, pasien juga mendapatkan Bisoprolol untuk mengurangi nyeri. Bisoprolol merupakan β-blocker yang bersifat kardioselektif memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif sehingga dapat meningkatkan suplai oksigen dan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung (Kabo, 2010; Rilantono, 2012). Pemberian oksigen kepada Tn. RPL dilakukan dengan menggunakan binasal kanul dengan dosis 3 liter/menit. Prinsip pengobatan pasien dengan edema paru akut adalah dengan menurunkan konsumsi oksigen miokard, meningkatkan kapasitas vena, menurunkan preload dan afterload, dengan memperhatikan secara seksama mean arterial pressure (MAP). Pasien harus diberikan suplemen oksigen untuk memaksimalkan saturasi oksigen hemoglobin. Pemberian continous positive airway pressure digunakan untuk meningkatkan pertukaran gas. Pada pasien Tn. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 62 RPL tidak diberikan pemberian oksigen dengan ventilator karena saturasi oksigen diatas 97%. 3.4.1.2 Penurunan Curah Jantung Segera setelah otot jantung mengalami kerusakan akibat infark miokard, maka curah jantung menjadi sangat turun, bahkan dapat mencapai 2 liter/menit, namun tekanan atrium kanan meningkat sampai 4 mmHg karena pengembalian darah dari tubuh melalui vena yang ke jantung terbendung pada atrium kanan (Guyton & Hall, 2008). Bila curah jantung menurun sampai derajat yang membahayakan, maka tubuh akan melakukan kompensasi dengan mengaktifkan refleks saraf simpatis sehingga akan meningkatkan kembali curah jantung, aktivitas tersebut berjalan secara bertahap, dan dalam waktu 1 minggu dengan curah jantung dapat kembali mencapai 5 liter/menit, tetapi dengan tekanan atrium kanan yang meningkat sampai dengan 6 mmHg (Guyton & Hall, 2008). Kondisi tersebut terjadi bila kerusakan otot jantung terutama ventrikel kiri tidak lebih dari 25%. Apabila kerusakan mencapai 25% maka akan terjadi gagal jantung, bahkan bila kerusakan mencapai 40% pada ventrikel kiri akan menyebabkan syok kardiogenik (Aaronson & Ward, 2010). Hasil echocardiografi pada Tn. RPL didapatkan SV: 48 ml, CO: 4,2 liter/menit dengan EF: 50% dan terdapat hipokinetik pada mid anterior dan mid septal. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan cardiac output pada Tn. RPL, sekalipun tekanan darah pasien tinggi. Tekanan darah yang tinggi pada pasien dengan infark miokard terjadi karena adanya rangsangan simpatis pada jantung (Guyton & Hall, 2008). Selain itu Tn. RPL juga menderita Advanced Heart Failure (AHF) akibat Acute Coronary Syndrome (ACS). Pada beberapa kasus, gagal jantung dapat disertai dengan tekanan darah yang tinggi (Rilantono, 2012). Tindakan keperawatan yang diberikan untuk mengatasi masalah Tn. RPL adalah memonitor adanya tanda vital dan adanya penurunan curah jantung, memberikan terapi sesuai program: ISDN 3x 5 mg , Simvastatin 1 x 20 mg, Amlodipin 1 x 5 mg, dan Captopril 3 x 12,5 mg dan menganjurkan pasien supaya bed rest. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 63 Pemberian ISDN pada Tn. RPL adalah karena pasien mengalami gagal jantung karena Acute Coronary Syndrome (ACS). Pemberian ISDN sangat berguna bagi penderita gagal jantung yang juga memliki riwayat jantung koroner (Kabo, 2010). ISDN didalam tubuh akan berubah menjadi nitric oxide (NO) setelah berikatan dengan sulfhydryl. NO merangsang guanilat siklase meningkatkan pembentukan cyclic guanosine mono-phosphate (cGMP) didalam otot polos pembuluh darah yang akan menyebabkan vasodilatasi (Kabo, 2010). Pemberian nitrat pada pasien juga bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload sehingga akan menurunkan konsumsi oksigen miokard dan akan meningkatkan curah jantung (Gray, Dawkins, Morgan & Simpson, 2005; Kabo, 2010; Rilantono, 2012). Pemberian Simvastatin pada pasien dengan infark miokard merupakan upaya untuk stabilisasi plak yaitu dengan menghambat biosintesis kolesterol serta meningkatkan ekspresi LDL di hepar, statin memiliki efek menurunkan LDL kolesterol dan prekursornya. Selain itu statin juga memiliki efek pleiotropik yaitu perbaikan fungsi endotel, anti-inflamasi, anti-proliferasi otot polos, anti-oksidan, anti-trombosis dan stabilisasi plak, sehingga pemberian statin dianjurkan pada pasien dengan sindrom koroner akut dengan target kadar LDL < 70 mg/dL (Kabo, 2010). Amlodipin merupakan salah satu obat golongan calcium channel bloker yang sering digunakan pada pasien dengan infark miokard untuk menurunkan preload dan afterload, sehingga curah jantung akan meningkat (Aaronson & Ward, 2008). Selain itu Amlodipin akan meningkatkan aliran darah koroner karena efek vasodilatasi serta dapat mengurangi konsumsi oksigen otot jantung (Kabo, 2010). Amlodipin merupakan obat pilihan pada pasien karena Amlodipin aman diberikan pada pasien yang mengalami fungsi ginjal (Kabo, 2010). Oleh karena itu Tn. RPL mendapatkan Amlodipin karena berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Creatinin Tn. RPL adalah 1,67 mg/dL. 3.4.1.3 Kelebihan Volume Cairan Kelebihan volume cairan yang terjadi pada Tn. RPL ditandai dengan adanya ronkhi basah halus pada 1/3 lapang paru. Selain itu pada hasil rontgen thorax Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 64 didapatkan kongesti dan edema pada paru. Edema paru mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan tekanan pengisian dari jantung (preload). Peningkatan preload akan mengakibatkan edema paru dan bendungan pada sistem vena (Kabo, 2010; Rilantono, 2012). Peningkatan tekanan pengisian sering terjadi pada infark miokard (Kabo, 2010). Edema paru sering ditandai dengan sesak nafas, terdapat ronkhi basah pada hampir semua lapang paru dan penurunan saturasi oksigen (Rilantono, 2010). Penatalaksanaan kelebihan volume cairan pada Tn. RPL adalah dengan membatasi intake cairan 1700 cc / 24 jam atau sesuai program, memonitor intake dan output cairan dalam 24 jam, target balance sampai dengan -1000 cc/24 jam, memonitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl, memberikan terapi sesuai program: Lasik 2 x 1 ampul IV, menjelaskan perlunya diet jantung, dan menjelaskan perlunya pembatasan cairan. Pada pasien dengan infark miokard perlu dilakukan pembatasan cairan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Tn. RPL hanya diperbolehkan mengkonsumsi cairan sebanyak 1700 cc /24 jam. Pengukuran haluaran urin sangat penting, terutama dalam hubungannya dengan asupan cairan. Pada sebagian besar kasus cairan yang seimbang atau bahkan cenderung negatif akan lebih baik karena pasien dengan infark miokard harus menghindari kelebihan cairan (Smeltzer & Bare, 2002). Pemberian Lasik 2 x 40 mg digunakan untuk mengeluarkan cairan pada Tn. RPL. Pada pasien dengan gagl jantung kongestif yang ringan maupun sedang pemberian Lasik 20 – 40 mg/hari akan memberikan respon yang baik (Kabo, 2010). Hal ini dibuktikan dengan balance cairan pasien yang diprogram -500 sampai dengan 1000 cc/24 jam. Pemberian pendidikan kesehatan tentang perlunya pembatasan cairan kepada pasien juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya overload cairan pada pasien. Pemberian pendidikan kesehatan dan melibatkan pasien dalam implementasi program terapi akan meningkatkan kerjasama dan kepatuhan pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 65 3.4.1.4 Manajemen regimen terapeutik tidak efektif Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan bahwa sebenarnya pasien mau saja dilakukan tindakan catheterisasi jantung (PCI), namun kemauan pasien tidak mendapatkan dukungan dari anggota keluarga yang lain. Alasan anggota keluarga tidak memberikan persetujuan terhadap tindakan PCI adalah berdasarkan pengalaman kerabat dan teman pasien yang menderita penyakit yang menurut anggota keluarga sama dengan penyakit yang diderita oleh pasien bahwa mereka dengan penyakit tersebut tanpa dilakukan PCI mereka bisa sembuh dan pulih, sebaliknya kerabat mereka yang menjalani PCI beberapa diantaranya meninggal. Keluraga menyimpulkan bahwa kerabat mereka yang meninggal setelah dilakukan PCI adalah karena efek samping dari tindakan tersebut. Berdasarkan alasan tersebut anggota keluarga menolak dilakukan PCI. Ketidakpatuhan terhadap tindakan akibat efek samping merupakan masalah yang sering dilaporkan. Menurut Gulanick (2012) kalau efek samping dari suatu tindakan merupakan suatu masalah, maka penjelasan bahwa efek samping dapat dikendalikan atau diminimalkan. Tindakan keperawatan yang dilakukan kepada pasien dan keluarga adalah mencakup mengkaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit, menjelaskan patofisiologi penyakit, menjelaskan tanda dan gejala, mengidentifikasi faktor penyebab, menjelaskan kemungkinan komplikasi kronis bila diperlukan, menjelaskan tujuan prosedur/tindakan, memberikan waktu kepada pasien dan keluarga untuk bertanya tentang prosedur, menerima nilai dalam keluarga tanpa menghakimi, dan mendiskusikan terapi dan pilihan pengobatan. Meskipun tindakan keperawatan telah dilakukan, tetapi keluarga pasien tetap menolak dilakukan PCI sampai pasien pulang pada tanggal 23 April 2013. 3.5 Analisis Penerapan Teori Konservasi Levine pada 30 Kasus Selama praktik residensi keperawatan medikal bedah di RS PJNHK Jakarta, penulis telah memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan model konsep konservasi Levine pada pasien dengan gangguan pada sistem kardiovaskular sebanyak 30 kasus. Adapun 30 kasus tersebut terdiri dari 17 kasus dengan coronary artery diseases, 11 kasus dengan gagal jantung dan 2 kasus Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 66 penyakit jantung bawaan yang muncul pada pasien dewasa yaitu atrial septal defect (ASD) sebanyak 2 kasus. Berdasarkan data diatas, maka frekuensi terbanyak yang didapatkan penulis adalah pasien dengan acute coronary syndrome yang meliputi unstable angina pectoris, NSTEMI dan STEMI. Berdasarkan data pasien Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta (RS PJNHK), penyakit jantung koroner menempati urutan pertama jumlah pasien yang berobat ke RS PJNHK yaitu sebesar 25%, sedangkan pasien dengan pasien dengan gagal jantung menempati urutan kedua yaitu sebesar 18% (Burhani, 2010). Keluhan utama yang muncul pada pasien dengan acute coronary syndrome (ACS) adalah nyeri dada. Nyeri dada merupakan manifestasi klinis utama yang terjadi pada pasien dengan ACS. Hal ini terjadi karena otot jantung yang mengalami iskemia akan menyebabkan terjadinya metabolisme an-aerob, sehingga dihasilkan laktat sebagai hasil akhir metabolisme tersebut. Laktat sebagai hasil metabolisme pada keadaan iskemia akan menyebabkan nyeri (Guyton & Hall, 2008). Pada kondisi iskemia, juga akan terjadi perubahan proses glikolisis yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan oksidasi metabolik yang akan menyebabkan dilepaskannnya adenin nukleotida. Sebagai produk hasil degradasi adenin nukleotida, maka akan dihasilkan adenosin dalam jumlah yang banyak. Adenosin sebebarnya mempunyai efek kardioprotektif karena substansi adenosin ini menghambat pelepasan enzim proteolitik, menghambat interaksi antara endotel dan neutrofil, menghambat agregasi platelet dan menghambat pelepasan tromboksan. Namun jumlah adenosin yang berlebihan akan menyebabkan nyeri pada ACS (Kabo, 2010). Pada sebagian besar kasus, didapatkan nyeri dada yang menjalar. Penyebab nyeri dada yang menjalar adalah karena nyeri dada disalurkan melalui aferen saraf simpatis jantung yang bergabung dengan saraf somatik cervico-thoracalis pada jalur ascending didalam medula spinalis, sehingga nyeri dada dirasakan pada dada kiri atau substernal, yang menjalar ke bahu kiri dan diteruskan ke lengan kiri (Kabo, 2010). Rilantono (2012) menjelaskan bahwa saraf simpatis yang terlibat dalam nyeri dada masuk kedalam medula spinalis pada segmen cervical ke-8 sampai thorakal ke-4, Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 67 selanjutnya impuls akan dilanjutkan ke ganglia spinalis menuju thalamus dan korteks cerebri. Pada beberapa kasus, nyeri dada dirasakan kurang dari 20 menit (antara 5-20 menit), hilang atau berkurang dengan istirahat atau dengan pemberian nitrat, namun pada kasus yang lain nyeri dirasakan lebih dari 20 menit, bahkan samapi 30 menit. Hal ini yang membedakan antara nyeri pada angina pektoris stabil, dengan nyeri pada ACS. Pada beberapa kasus, ACS tidak disertai dengan gejala nyeri dada. Keadaan ini disebut dengan silent ischemia yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus (DM). Neuropati yang sering terjadi pada penderita DM merupakan penyebab terjadinya silent ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002; Gray, Dawkins, Morgan, dan Simpson, 2005; Kabo, 2010, Rilantono, 2012). Pada 53 % kasus resume didapatkan bahwa pasien dengan ACS datang ke rumah sakit dengan onset penyakit kurang dari 12 jam, sedangkan lainnya datang ke rumah sakit dalam waktu lebih dari 12 jam. Pasien ACS dengan onset < 12 jam perlu segera dilakukan tindakan reperfusi. Reperfusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan primary percutaneous coronary intervention (primary PCI) atau dengan terapi medikamentosa dengan obat fibrinolitik (Rilantono, 2012). Primary PCI diberikan apabila masih ditemukan tanda-tanda berupa nyeri dada yang mengindikasikan adanya iskemik, elevasi segmen ST dan adanya left bundle branch block baru. Onset penyakit yang lebih dari 12 jam akan menyebabkan kerusakan sel yang bersifat progresif, dan akan menjadi ireversibel setelah lebih dari 12 jam. Pemberian Plavix dan Aspilet merupakan upaya yang dilakukan untuk fibrinolitik. Dari 17 orang pasien resume yang menderita ACS, 8 orang diantaranya datang kerumah sakit dalam waktu kurang dari 12 jam. Dari 8 orang pasien dengan onset < 12 jam, 3 orang diantaranya menjalani PCI, sedangkan sisanya mendapatkan terapi fibrinolisis. PCI atau fibrinolisis dilakukan untuk menyelamatkan otot jantung yang belum mengalami infark dengan memberikan reperfusi miokard (Rilantono, 2012). Hal ini akan menyebabkan reperfusi zona infark. Reperfusi membatasi ukuran infark dan mengurangi risiko komplikasi seperti ekspansi infark, aritmia dan gagal jantung (Kabo, 2010; Aaronson & Ward, 2010; Rilantono, 2012). Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 68 Pada sebagian besar kasus ACS didapatkan riwayat hipertensi sebanyak 70%. Hipertensi merupakan faktor resiko ACS. Hipertensi menyebabkan terjadinya peningkatan gradien tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri pada saat memompa darah. Hipertensi juga memicu terjadinya atherosklerosis berhubungan dengan gangguan sistem renin-angiotensin. Angiotensin II menyebabkan penurunan aktivitas NO, sehingga hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotel dan menyebabkan trombosis (Kabo, 2010; Aaronson & Ward; 2010, Rilantono, 2012). Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah pasien terkait dengan konservasi energi adalah menganjurkan kepada pasien untuk bed rest. Istirahat ditempat tidur dapat membantu mengurangi nyeri dan dispnea (Smeltzer & Bare, 2002). Selain itu bed rest akan menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Pengaturan posisi kepala lebih tinggi juga diberikan kepada pasien. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), posisi kepala lebih tinggi memberikan keuntungan kepada pasien karena akan memperbaiki volume tidal karena tekanan isi perut terhadap diafragma berkurang, sehingga pertukaran gas akan menjadi lebih baik, drainase lobus atas paru menjadi lebih baik dan aliran balik vena ke jantung (preload) akan berkurang, sehingga akan mengurangi beban kerja jantung. Selain itu diberikan pemberian oksigen kepada pasien. Pemberian oksigen penting doberikan kepada pasien untuk mengurangi nyeri. Oksigen diberikan dengan dosis 2-4 liter/menit apabila tidak ada penyakit lain yang menyertai. Oksigen dengan aliran tersebut mampu mempartahankan kadar saturasi oksigen 96-100% secara adekuat (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan keperawatan terkait dengan integritas struktural adalah dengan pemberian vasodilator yang meliputi ISDN. ISDN didalam tubuh akan mengalami perubahan menjadi substansi yang disebut nitric oxide (NO) setelah berikatan dengan sulfhydryl group. NO akan merangsang guanilat siklase untuk meningkatkan pembentukan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) didalam otot polos pembuluh darah. Mekanisme tersebut akan menyebabkan defosforilasi myosin yang akan menyebabkan vasodilatasi (Kabo, 2010). Vasodilatasi arteri koroner akan meningkatkan suplai oksigen miokard, sehingga nyeri akan berkurang. Selain nitrat, beberapa pasien juga mendapatkan terapi berupa β-blocker seperti Bisoprolol. Bisoprolol memiliki efek inotropik dan Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 69 kronotropik negatif, sehingga akan menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dan meningkatkan suplai oksigen (Kabo, 2010). Jumlah penderita gagal jantung pada resume adalah 10 orang pasien. Dari 10 orang pasien tersebut, kasus terbanyak pada resume adalah pasien dengan ADHF wet and warm. Pasien dengan kasus ADHF wet and warm mengindikasikan bahwa telah terjadi kongesti. Penyakit jantung iskemik merupakan penyebab paling sering terjadinya gagal jantung ventrikel kiri. Penurunan curah jantung menyebabkan peningkatan end-diastolic pressure ventrikel kiri (preload) serta tekanan vena pulmonalis karena darah kembali kedalam sirkulasi pulmonal, akibatnya akan terjadi kongesti pulmonal. Jantung akan berdilatasi, akan terjadi akumulasi cairan pada jaringan interstitial paru akibat peningkatan tekanan kapiler pulmonal (Aaronson & Ward, 2010). Akumulasi cairan dalam paru-paru akan menyebabkan seak nafas (dispnea). Hal ini tampak pada sebagian besar keluhan pasien yang mengatakan bahwa mereka mengeluh sesak nafas. Terjadi variasi dispnea pada pasien yang mengalami gagal jantung. Dispnea yang muncul pada saat pasien tidur dalam posisi berbaring datar (ortopnea) akibat cairan terdistribusi ke dalam paru-paru. Apabila pasien mengalami sesak nafas pada malam hari pada saat istirahat dan terbangun akibat sesak nafas maka disebut paroxysmal nocturnal dyspnea (Aaronson & Ward, 2010). Tindakan keperawatan terkait dengan konservasi energi yang dilakukan kepada pasien adalah dengan menganjurkan pasien untuk bed rest. Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung dan tekanan darah. Istirahat juga akan mengurangi kerja otot pernafasan dan penggunaan oksigen, penurunan frekuensi jantung yang akan memperpanjang periode diastol sehingga memperbaiki efisiensi kontraksi jantung (Smeltzer & Bare, 2002). Selain bed rest pasien juga diberi tindakan berupa posisi tidur dengan elevas kepala (semifowler). Posisi ini akan menurunkan preload, sehingga akan mengurangi kongesti paru serta meminimalkan penekanan hepar terhadap paru-paru (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan keperawatan yang terkait dengan konservasi integritas struktural adalah berupa pemberian obat-obatan yang dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung seperti Digoxin. Digoxin merupakan digitalis yang Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 70 bekerja dengan cara meningkatkan Ca2+ sehingga akan meningkatkan kontraktilitas dan durasi potensial aksi dan periode refrakter pada sel-sel atrium dan ventrikel (Aaronson & Ward, 2010). Terapi lain yang diberikan kepada pasien adalah Lasix. Lasix mengurangi akumulasi cairan dengan meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal, oleh karena itu preload, kongesti paru dan edema sistemik dapat berkurang (Smeltzer & Bare, 2002; Aaronson & Ward, 2010). Pada beberapa kasus pasien dengan gagal jantung perlu diberikan penghambat enzim konversi angiotensin (ACE-I) seperti Captopril. Captopril akan menyebabkan dilatasi arteri dan vena serta menurunkan volume darah dan edema. Vasodilatasi arteri akan menyebabkan penurunan afterload dan kerja jantung, dan memperbaiki perfusi jaringan dengan meningkatkan isi sekuncup dan curah jantung. Efek lain dari Captopril adalah terjadi penurunan retensi cairan sehingga akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema (Aaronson & Ward, 2010). Kelainan kongenital yang muncul pada usia dewasa adalah atrial septal defect (ASD). ASD adalah suatu kelainan berupa terdapat hubungan abnormal antara kedua atrium (Moser & Riegel, 2008). Penyakit jantung kongenital jarang ditemukan pada pasien dewasa, namun frekuensi berubah karena perbaikan ketahanan hidup setelah pembedahan dan kecenderungan yang lebih besar ke arah perbaikan korektif daripada pembedahan paliatif pada awal kehidupan (Gray, Dawkins, Morgan & Simpson, 2005; Aaronson & Ward, 2010). Sedangkan menurut Morer & Riegel (2008), ASD pada usia 40 atau 50 tahun adalah karena pemeriksaan fisik yang dilakukan secara tidak cermat, atau tidak didapatkan temuan pada pemeriksaan fisik. Kejadian ASD lebih banyak terjadi pada pasien wanita dibandingkan pada pasien laki-laki (Moser & Riegel, 2008), hal ini tampak bahwa pada resume kasus, didapatkan semua pasien ASD berjenis kelamin wanita. Pada kasus didapatkan ASD sekundum. ASD sekundum merupakan jenis kelainan ASD dengan frekuensi terbanyak (Moser & Riegel, 2008; Aaronson & Ward, 2010; Rilantono, 2012) dengan frekuensi antara 50-70% dari semua kasus ASD (Rilantono, 2012). Pada ASD dengan ukuran <8 mm akan dapat menutup dengan spontan pada usia sebelum 1,5 tahun, namun apabila ukuran defek >8 mm, jarang sekali terjadi penutupan secara spontan (Rilantono, 2012). Bahkan pada ASD besar yang terjadi pada salah Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 71 satu pasien yang mencapai ukuran 42 mm pada usia 20 tahun akan terjadi hipertensi pulmonal. Hal ini sesuai dengan Rilantono (2012) yang menyatakan bahwa pada usia 20-30 tahun pasien dengan ASD besar akan terjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang menetap terjadi akibat terjadi pirau kiri ke kanan, sehingga aliran darah pulmonal meningkat (Aaronson & Ward, 2010). Selain itu pada pasien dengan ASD akan terjadi peningkatan volume atrium kanan, hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran dan peregangan yang berlebihan pada atrium kanan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya fibrilasi atrial (Moser & Riegel, 2008). Keluhan utama yang muncul pada pasien dengan ASD adalah sesak nafas. Sesak nafas terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas (Gray, Dawkins, Morgan & Simpson, 2005; Moser & Riegel, 2008). Tindakan keperawatan terkait dengan konservasi energi yang diberikan untuk mengatasi masalah pasien adalah dengan menganjurkan pasien untuk menyeimbangkan antara aktivitas dan istirahat. Sesuai dengan perkembangan kondisi pasien, perawat dapat memberikan ambulasi dini kepada pasien. ambulasi dini dapat dilakukan pada hari ke-2 rawat inap. Perawat harus melakukan pemeriksaan terhadap tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah aktivitas (Ignatavicius & Workman, 2010). Sedangkan untuk tindakan keperawatan terkait dengan konservasi integritas struktural adalah dengan memberikan Aldactone 1 x 40 mg. Aldactone merupakan anti-aldosteron yang mempunyai efek diuretik hemat kalium, sehingga obat ini selalu dikombinasi dengan Furosemide untuk mencegah terjadinya hipokalemi (Kabo, 2010). Aldactone juga mempunyai efek mencegah terjadinya aritmia pada pasien karena Aldactone mencegah penurunan K+ bila dibandingkan dengan diuretik jenis lain (Aaronson & Ward, 2010). Selain Aldactone pasien juga mendapatkan Lasix. Lasix merupakan diuretik kuat yang bekerja pada loop Henle asendens dengan cara menghambat reabsorbsi Na+ dan Cl- sehingga meningkatkan pembuangan cairan melalui urin (Aaronson & Ward, 2010; Kabo, 2010). Tujuan pemberian diuretik pada pasien adalah untuk menurunkan preload, kongesti pulmonal dan edema sistemik (Aaronson & Ward, 2010), dengan demikian sesak nafas pasien akan berkurang. Tindakan keperawatan terkait dengan integritas sosial adalah dengan memberikan dukungan kepada pasien dan memberikan Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 72 kesempatan kepada keluarga untuk mendampingi pasien selama menjalani rawat inap. Selain itu juga melibatkan pasien dalam setiap tindakan yang akan diberikan. Melibatkan pasien dalam setiap program terapi akan meningkatkan kerjasama dan kepatuhan pasien (Smeltzer & Bare, 2002). Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia BAB 4 PELAKSANAAN EVIDENCE BASED NURSING Pelaksanaan Evidence Based Nursing (EBN) adalah menerapkan terapi musik untuk menilai efek fisiologis pada pasien post operasi jantung (Cardiac Surgery) di Intermediate Ward Bedah RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta. 4.1 Tesis (Critical Review) Penelusuran literatur menggunakan Google, dengan kata pencarian “cardiac surgery, music therapy, physiologis outcome.” Bedah jantung (cardiac surgery) merupakan upaya yang dilakukan untuk melakukan koreksi terhadap kelainan baik yang didapat maupun bersifat kongenital, penggantian atau perbaikan katup, perbaikan pembuluh darah yang tersumbat (graft) ataupun pemasangan implant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien penyakit jantung yang menjalani operasi jantung akan mengalami nyeri dan juga perubahan hemodinamik. Pasien melaporkan adanya nyeri dada akibat insisi merupakan masalah yang sering dialami pasien setelah CABG dan operasi jantung yang lain. Jafari, Zeydi, Khani, Esmaeili, & Soleimani (2012) menyatakan bahwa lebih dari 75% pasien bedah jantung di ICU menyebutkan pengalaman nyeri sedang sampai dengan berat, sehingga nyeri merupakan keluhan utama pada pasien yang disampaikan kepada perawat, dan ini menjadi perhatian perawat. Manajemen nyeri pasca pembedahan jantung yang tidak adekuat seperti ketidakmampuan pasien untuk batuk dan kebutuhan terhadap pergerakan merupakan faktor predisposisi terhadap terjadinya komplikasi seperti pneumonia, atelektasis dan trombosis vena dalam (Jafari, Zeydi, Khani, Esmaeili, & Soleimani 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Jafari, Zeydi, Khani, Esmaeili, & Soleimani (2012) tentang efek mendengarkan musik yang disukai terhadap intensitas nyeri pada pasien yang menjalani operasi jantung didapatkan hasil dengan analisa ANOVA terdapat indikasi bahwa musik secara signifikan menurunkan nyeri (p < 0,0001). Penelitian tersebut menggunakan metode ranzomized clinical trial 73 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 74 terhadap 60 orang pasien yang telah menjalani bedah jantung. Pasien dibagi kedalam 2 kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Dibutuhkan intervensi untuk mengurangi stress, nyeri dan kecemasan dengan memberikan lingkungan yang lebih kondusif untuk proses penyembuhan dan dapat digunakan sebagai bagian integral dari regimen terapi pada pasien yang menjalani operasi. Salah satu yang dapat diberikan adalah terapi musik, digunakan sebagai audio analgesia dan atau audio relaxation yang didefinisikan sebagai sumber pendukung dari lingkungan yang dapat menstimulasi dan mempertahankan relaksasi ( Nilsson, 2008). Cadigan et al, 2001 melaporkan bahwa pasien yang mendengarkan musik simfoni selama 30 menit dengan suara yang alami selama bed rest karena tindakan intraarotic balloon pump (IABP) dapat menurunkan tekanan darah, frekuensi pernafasan dan stress psikologis. Sedangkan untuk mengurangi nyeri, denyut jantung dan frekuensi pernafasan diperlukan waktu selama 45 menit pada pasien yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI). Nyeri dapat menyebabkan respon simpatetik yang umum, termasuk peningkatan denyut jantung, tahanan perifer, tekanan darah, cardiac output dan kedalaman serta frekuensi pernafasan (Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard, 2006). Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan pernafasan (Guyton & Hall, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Nilsson (2008) didapatkan kesimpulan bahwa mendengarkan musik setelah menjalani operasi jantung mempunyai efek relaksasi, sehingga terapi musik perlu diberikan kepada pasien yang menjalani operasi jantung sebagai bagian integral dari terapi modalitas. Aragon, Farris & Byers (2002) melakukan penelitian terhadap 17 orang pasien yang menjalani bedah vaskular dan bedah thorak mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara live harp playing dengan nyeri (p= 0,000) dan terdapat hubungan yang signifikan antara live harp playing dengan tekanan darah (p=0,046 ) dan saturasi oksigen (p=0,011). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 75 The Joanna Briggs Institute (2009) terapi musik yang direkomendasikan untuk pasien post operasi termasuk didalamnya operasi jantung adalah sebagai berikut: tempo musik antara 60-80 beat per menit, dengan irama yang lembut dan mengalun; direkomendasikan dengan musik tanpa lirik, tone yang rendah dengan string, dan bass serta perkusi yang minimal; volume yang direkomendasikan berkisar 60 dB. Penelitian yang dilakukan oleh Hatem, Lira, & Mattos (2006) dengan metode randomized clinical trial terhadap 84 responden dengan penyakit jantung kongenital asianotik dengan shunt dari kiri ke kanan (41 pasien, 44 kontrol). Secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok setelah dilakukan terapi musik terhadap skala nyeri wajah dan parameter obyektif denyut jantung dan frekuensi pernafasan (p < 0.001). Kesimpulan penelitian adalah terdapat manfaat dari pemberian terapi musik telah diobservasi pada anak selama periode post operasi jantung, yaitu terhadap tanda vital berupa denyut jantung dan frekuensi pernafasan, serta penurunan nyeri (facial pain scale). Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard, (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan metode randomized control trial terhadap 86 orang pasien yang menjalani operasi jantung didapatkan bahwa terapi musik dapat menurunkan nyeri pada pasien yang menjalani operasi jantung (p= 0,009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: a. Problem/Population: Permasalahan yang ada adalah nyeri dapat mempengaruhi status hemodinamik pada pasien post operasi jantung. b. Intervention: Intervensi yang akan dilakukan adalah pemberian terapi musik untuk menurunkan nyeri. c. Comparation: Penelitian Hatem, Lira dan Matos serta Sendelbach et al, memberikan hasil bahwa terapi musik dapat menurunkan nyeri. d. Outcome: Pemberian intervensi terapi musik dapat menurunkan nyeri dan menurunkan risiko komplikasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 76 4.2 Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian 4.2.1 Prosedur Pelaksanaan EBNP berupa pemberian terapi musik akan dilakukan diruang IW Bedah. Berdasarkan jurnal, pemberian terapi musik dilakukan pada pukul 08.00-10.00 dan sore hari pada pukul 14.00-16.00 waktu setempat. Pada EBNP hanya dilakukan sekali dalam sehari, hal ini berdasarkan pertimbangan kenyamanan pasien dan disesuaikan dengan kebutuhan pasien terhadap kebutuhan istirahat pasien. Selain itu dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard, 2006 pasien dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada pelaksanaan EBNP, pasien hanya terdiri dari 1 kelompok saja yang terdiri dari 20 orang pasien, namun penilaian dilakukan 2 kali yaitu pre dan post terapi musik. Kriteria inklusi dalam EBNP ini adalah mereka yang bersedia menjadi responden, tingkat kesadaran compos mentis, tidak mengalami gangguan pendengaran, pasien yang menjalani operasi jantung pada hari ke 1-3, usia pasien diatas 20 tahun. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi pasien dengan penurunan kesadaran atau mempunyai riwayat mental disorder, dan pasien yang mendapatkan terapi komplemen lain pada saat dilakukan pemberian terapi musik. 4.2.2 Hasil Selama pelaksanaan EBNP, berhasil didapatkan 20 orang pasien yang bersedia untuk dilakukan pemberian intervensi terapi musik. Distribusi umur, tingkat nyeri, tekanan darah, dan denyut jantung, dan saturasi oksigen pasien post operasi jantung sebelum dilakukan intervensi terapi musik tercantum dalam tabel 4.1. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 77 Tabel 4.1. Distribusi frekuensi umur, intensitas nyeri, tekanan darah, denyut jantung dan saturasi oksigen sebelum dilakukan intervensi. No Variabel Min Maks Mean SD 1 Usia 44 73 58 8,16 2 Intensitas Nyeri 4 7 5,35 0,18 3 TD Sistolik 123 161 136,9 10,81 4 TD Diastolik 62 94 78,25 9,35 5 Denyut jantung 68 105 87,1 10,01 6 Saturasi oksigen 94 100 97,3 1,89 Pada pelaksanaan pemberian terapi musik, penulis menggunakan monitor status hemodinamik yang terdapat pada setiap tempat tidur pasien, sedangkan untuk menilai intensitas nyeri, penulis menggunakan numeric rating scale. Hasil uji statistik setelah pemberian intervensi terapi musik terdapat dalam tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil uji statistik setelah pemberian intervensi terapi musik No Intervensi Intensitas TD Sistolik TD Denyut Saturasi Diastolik jantung oksigen Mean ± SD Mean ± SD Mean ± SD Mean ± SD 5,32±0,81 136,9±10,81 78,25±9,35 87,1±10,01 97,30±1,89 4,45±0,94 132,4±10,17 73,8±8,43 82,6±9,18 97,50±1,67 nyeri Mean ± SD 1 Sebelum intervensi 2 Setelah intervensi 3 Nilai t 7,28 4,31 4,32 4,88 -0,89 4 p value 0,000 0,000 0,000 0,000 0,385 Berdasarkan tabel diatas, intensitas nyeri pasien menurun setelah mendapatkan terapi musik. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara intensitas nyeri sebelum mendapatkan terapi musik dan intensitas nyeri setelah mendapatkan terapi musik (p<0,000). Begitu juga dengan tekanan darah, terjadi penurunan TD sistolik, terdapat perbedaan yang signifikan antara TD sistolik sebelum terapi musik dan setelah terapi musik (p<0,000). TD diastolik juga mengalami penurunan, dan terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 78 Demikian pula terjadi penurunan denyut jantung setelah mendapatkan intervensi terapi musik, terdapat perbedaan yang signifikan antara denyut jantung sebelum intervensi dan setelah intervensi (p=0,000). Hasil yang berbeda adalah pada saturasi oksigen, terdapat peningkatan saturasi oksigen pada pasien, namun hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum pemberian terapi musik dengan setelah pemberian terapi musik (p=0,385). 4.2.3 Hambatan dan Pemecahan Hambatan yang penulis dapatkan selama melakukan EBNP dengan terapi musik adalah beberapa pasien saat akan dilakukan pemberian terapi musik, pasien sedang tidur, sehingga penulis menunggu sampai pasien terbangun. Sedangkan pada beberapa pasien terapi musik harus diberikan pada shift berikutnya karena pemberian terapi musik bersamaan dengan jam kunjung rumah sakit. Beberapa orang pasien meminta lagu yang tidak tersedia dalam daftar musik terapi yang disiapkan oleh penulis, sehingga penulis harus memberikan informasi lebih lanjut kepada pasien tentang jenis musik yang akan diberikan kepada pasien. 4.2.4 Rekomendasi Pemberian terapi musik dapat dijadikan sebagai intervensi keperawatan mandiri untuk menurunkan intensitas nyeri pasien dan tekanan darah serta denyut jantung pada pasien dengan operasi jantung. Tindakan tersebut termasuk tindakan yang mudah dan aman dilakukan oleh perawat karena bukan merupakan tindakan invasif, sehingga hampir tidak memberikan efek samping pada pasien. 4.3 Pembahasan Nyeri merupakan fenomena utama setelah pembedahan, termasuk didalamnya pasca bedah jantung pasien akan mendapatkan pengalaman nyeri setelah mengalami pembedahan (Jafari, Zeydi, Khani, Esmaeili, & Soleimani (2012). Rowlingson (2009) menyatakan bahwa aktivitas fisik seperti pembedahan, pemotongan jaringan, biopsi, implantansi akan menyebabkan stimulasi ujung syaraf bebas serta nosiseptor seperti bradikinin, serotonin dan histamin. Mediator Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 79 kimiawi tersebut akan disekresikan selama proses pembedahan. Pasien melaporkan nyeri dada akibat insisi setelah operasi jantung (Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard (2006). Respon stress terhadap pembedahan mengalami puncaknya pada periode setelah pembedahan. Efek utama tersebut berpengaruh terhadap sistem kekebalan, jantung, dan koagulasi darah (Rowlingson, 2009). Beberapa peneliti telah melakukan penelitian efek musik atau musik dengan relaksasi pada pasien yang menderita penyakit jantung, seperti miokard infark, atau angina dan menujukkan hasil yang signifikan terhadap penurunan denyut jantung, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, mean arterial pressure, dan frekuensi pernafasan (Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard, 2006). The Agency for Healthcare Research and Quality dalam Sendelbach, Halm, Doran, Miller dan Gaillard (2006) merekomendasikan bahwa manajemen nyeri dapat menggunakan teknik intervensi perilaku kognitif seperti relaksasi, musik, distraksi dan imagery. Terapi nonfarmakologi yang menjadi pilihan adalah terapi yang bersifat noninvasif, mempunyai risiko yang rendah, ekonomis, dan mudah dilakukan (Potter & Perry, 2006). Musik merupakan suatu komponen yang dinamis yang dapat berpengaruh terhadap kondisi psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya (Nilsson, 2008). Mendengarkan musik merupakan prosedur perilaku kognitif yang dapat meningkatkan makna dari pemikiran, sikap dan nilai dalam respon emosi dan perilaku. Dengan merubah proses pikir memungkinkan untuk mempengaruhi emosi dan pengalaman sensasi seseorang. Metode perilaku kognitif terdiri dari bermacam-macam teknik dan tujuan. Metode yang sering dilakukan adalah relaksasi, guided imagery, nafas dalam dan teknik kombinasi antara relaksasi dan terapi musik untuk mengurangi nyeri (Nilsson, 2008). Musik yang disukai merangsang otak untuk meningkatkan sekresi hormon endorfin (Nilsson, 2008; Vaajoki, 2012). Endorfin merupakan senyawa yang dapat menyebabkan inaktivasi jaras nyeri sehingga dapat menekan sinyal-sinyal nyeri yang masuk melalui perifer (Guyton & Hall, 2008). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 80 Chlan (1998) dalam Arslan, Ozer dan Ozyurt (2007) menjelaskan bahwa musik dapat digunakan sebagai musik terapi yang berfokus pada relaksasi. Efek yang ditimbulkan musik adalah terjadi penurunan aktivitas sistem syaraf simpatis. Berikutnya akan terjadi penurunan aktifitas adrenalin, penurunan ketegangan neuromuskular, dan peningkatan ambang kesadaran. Indikator yang dapat diukur adalah penurunan denyut jantung, frekuensi pernafasan, laju metabolisme, penurunan konsumsi oksigen, penurunan sekresi epinefrin, serta penurunan tekanan darah. Menurut Nilsson (2008) mendengarkan musik selama istirahat setelah operasi jantung terbuka memiliki beberapa efek pada sistem relaksasi sesuai dengan kadar oxytocin dan tingkat relaksasi subyektif efek ini tampaknya memiliki hubungan kausal dari psikologis (musik membuat pasien rilek) dan dan secara fisiologis (pelepasan oxytocin). Oksitosin dilepaskan oleh neurohipofisis kedalam sirkulasi darah. Oksitosin dapat menyebabkan perubahan terhadap denyut jantung dan tekanan darah. Efek terhadap sistem kardiovaskular tersebut dipengaruhi oelh mediator seperti atrial natriuretic peptide, nitric oxide dan alpha 2adrenoreceptors (Petersson , 2002). Hasil penerapan EBNP menyatakan bahwa saturasi oksigen mengalami peningkatan pada pasien yang mendapatkan terapi musik, tetapi secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian terapi musik dengan peningkatan saturasi oksigen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Trappe (2102) yang menyatakan bahwa terapi musik dapat menurunkan kadar kortisol dalam darah, tetapi tidak terdapat perbedaaan yang signifikan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Selama pelaksanaan EBNP, tidak dilaporkan adanya keluhan berupa berdebar-debar, dan sakit kepala selama pemberian terapi musik. Semua responden mengatakan merasa nyaman dengan instrumen musik yang diberikan. Beberapa orang pasien mengatakan bahwa musiknya bagus, bahkan beberapa orang pasien meminta musiknya untuk dicopikan ke flashdisck agar bisa didengarkan setelah pulang dari rumah sakit. Dapat disimpulkan bahwa Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 81 pemberian terapi musik dapat menurunkan nyeri, tekanan darah dan denyut jantung, sehingga pemberian terapi musik dapat dilaksanakan oleh perawat sebagai intervensi keperawatan yang mandiri dalam mengurangi nyeri pada pasien dengan operasi jantung. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 BAB 5 ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR Inovasi yang dilakukan oleh kelompok diruang ICU Dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta adalah tentang pembuatan Panduan dan Standar Prosedur Operasional (SPO) tentang high alert medication (pemberian obat kewaspadaan tinggi) oleh perawat. Pelaksanaan kegiatan Inovasi bertujuan untuk menjalankan peran sebagai Ners spesialis yang mempunyai peran sebagai inovator. Tujuan pelaksanaan inovasi adalah untuk meningkatkan keselamatan pasien (pasien safety) dengan cara menurunkan kemungkinan resiko terjadinya kesalahan pemberian obat kewaspadaan tinggi kepada pasien yang dirawat diICU Dewasa. Anggota kelompok dalam kegiatan inovasi ini adalah: 1) Sadar Prihandana, 2) Dwi Nugroho Heri Saputro, dan 3) Ani Widiastuti. 5.1 Analisa Situasi Pasien safety atau yang dikenal sebagai keselamatan pasien merupakan fokus utama dari pemberian obat secara tepat. Meningkatkan keamanan dalam pemberian obat-obatan kewaspadaan tinggi (high alert medication) merupakan standar ke-3 dari The JCI International Patient Safety Goals (IPSG) (JCI, 2010). Perlu dikembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obatan kewaspadaan tinggi oleh rumah sakit. Selain itu secara kolaboratif perlu disusun suatu prosedur atau kebijakan tentang daftar obat-obatan yang perlu diwaspadai, termasuk dalam hal pemberian obat tersebut berdasarkan data obat-obatan yang ada dirumah sakit (Kemenkes, 2011). Menurut Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), High alert medication atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat-obatan yang mempunyai risiko yang tinggi apabila terjadi kesalahan dalam pemberian, dan akan menyebabkan kerugian yang signifikan. Obat kewaspadaan tinggi menurut ISMP 2012 terdiri dari 19 kategori dan 14 jenis obat khusus yang termasuk dalam golongan obat kewaspadaan tinggi. 82 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 83 Obat-obatan yang termasuk dalam kategori kewaspadaan tinggi seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 adalah: a) mempunyai persentase kesalahan yang tinggi, b) menyebabkan terjadi kesalahan yang serius (sentinel event), c) bila diberikan tidak tepat berisiko tinggi menyebabkan dampak buruk, d) risiko efek samping (adverse outcome) yang tinggi, dan e) mirip baik dalam bentuk maupun nama. Kategori tersebut bersumber dari Joint Commission International/JCI dalam Accreditation Standards for Hospitals (2010). Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) Jakarta, dalam pelayanan sehari-hari, terutama pada unit-unit tertentu seperti unit perawatan intensif paska bedah jantung (ICU Dewasa), penggunaan obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi sangat sering diberikan kepada pasien. Berdasarkan hasil observasi pada ruang ICU Dewasa, obat-obatan yang sering diberikan kepada pasien adalah obat golongan adrenergik agonis yaitu berupa adrenalin, obat golongan sedatif hipnotik yaitu propofol dan juga konsentrat cairan elektrolit berupa KCl 7,4%. Meskipun pemberian obat-obatan dengan kewaspadaan tinggi tersebut sangat sering dilakukan, namun perawat belum memiliki pedoman pemberian obatobatan tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk melakukan standarisasi pemberian obat-obatan tersebut untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi risiko terjadinya kesalahan pemberian obat. Berdasarkan hasil obserbvasi tersebut, maka dilakukan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats). Analisa tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 5.1. Analisa SWOT No 1 Elemen Kekuatan (Strength) Analisa a. Jenjang pendidikan perawat yang bervariasi mulai dari D3, S1-Ners, dan Ners spesialis Kardiovaskular b. Divisi Diklat Keperawatan selalu meningkatkan kemampuan perawat melalui pelatihan. c. Adanya sistem “leveling” perawat berdasarkan kompetensi kewenangan tertentu. d. Sertifikasi minimal Kardiologi Dasar untuk perawat yang bertugas di ICU dewasa. e. Intensitas interaksi perawat dengan obat-obatan kewaspadaan tinggi di ICU dewasa adalah sering f. Fasilitas di ICU dewasa yang lengkap dan modern. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 84 Lanjutan tabel 5.1 No 2 3 4 Elemen Analisa a. Beban kerja serta tanggung jawab perawat yang tinggi karena hampir setiap pasien mendapatkan 4-6 jenis (Weakness) obat kewaspadaan tinggi. Kondisi ini berisiko dapat menyebabkan kesalahan baik dalam pemberian maupun pengawasan b. Pengambilan keputusan secara cepat oleh perawat terkait dengan kondisi klinis pasien yang tidak stabil serta adanya interaksi obat yang dapat menyebabkan efek samping ataupun kontraindikasi serta efek terapeutik obat yang sempit. Hal ini berisiko terjadi keasalahan c. Belum adanya panduan dalam pengelolaan atau pemberian obat-obatan kewaspadaan tinggi untuk perawat sebagai standar d. Kebijakan tentang pengawasan dan pengelolaan obatobatan kewaspadaan tinggi dari rumah sakit belum ada a. Penerapan standar ke-3 tentang keselamatan pasien Peluang dengan cara meningkatkan keamanan dari penggunaan (Opportunity) obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) oleh JCI IPSG b. Visi RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta sebagai rumah sakit pusat rujukan nasional maupun regional, oleh karena itu rumah sakit selalu berusaha melakukan pengembangan baik sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana c. Permenkes RI Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, tentang keselamatan pasien rumah sakit. Salah satunya adalah tentang pemberian obat kewaspadaan tinggi. Tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan Ancaman kesehatan yang lebih berkualitas (threats) Kelemahan Berdasarkan analisa SWOT tersebut, kelompok tertarik untuk melakukan kegiatan inovasi tentang pembuatan panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi dan SPO pemberian obat kewaspadaan tinggi. Setelah itu, panduan dan SPO disosialisasikan ke perawat untuk dilaksanakan, kemudian dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan SPO tersebut. Setelah itu panduan dan SPO yang dibuat direkomendasikan ke bidang keperawatan sebagai dasar pertimbangan untuk dijadikan panduan dan standar bagi perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. Dengan adanya panduan dan SPO, diharapkan risiko kesalahan dalam pemberian akan berkurang, sebaliknya keselamatan pasien akan meningkat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 85 5.2 Kegiatan Inovasi Kegiatan inovasi dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Inovasi dilakukan di ruang ICU dewasa RS PJN Harapan Kita Jakarta. Sasaran dalam kegiatan inovasi tersebut adalah semua perawat yang bekerja di ruang ICU dewasa RS PJN Harapan Kita Jakarta. 5.2.1. Tahap persiapan Berdasarkan hasil analisa situasi terhadap RS PJN Harapan Kita terutama ruang ICU Dewasa RS PJN Harapan Kita dapat disimpulkan bahwa ruang tersebut membutuhkan suatu panduan dan SPO dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi, maka dimulai tahap persiapan kegiatan inovasi dari awal bulan Maret sampai dengan 7 April 2013. Kegiatan meliputi studi literatur tentang high alert medication, penyusunan proposal kegiatan inovasi, perumusan strategi yang tepat, dan penyusunan time schedule kegiatan inovasi. Proposal inovasi diajukan kepada supervisor klinik sehingga supervisor klinik dapat memberikan bimbingan dan arahan yang tepat dalam kegiatan inovasi. 5.2.2. Tahap pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan inovasi dimulai dari tanggal 8 April sampai dengan 8 Mei 2013. Rincian kegiatan pada tahap pelaksanaan sebagai berikut: Tabel 5.2. Rincian Pelaksanaan Inovasi. No Waktu 1 8 s.d. 21 2 Kegiatan a. Melakukan studi literatur b. Menyusun panduan tentang pemberian obat kewaspadaan April 2013 tinggi, meliputi: adrenalin, propofol, dan KCl 7,4% c. Melakukan konsultasi proposal inovasi dengan supervisor klinik a. Melakukan studi literatur 22 April b. Menyusun standar prosedur operasional tentang pemberian s.d. 5 Mei obat kewaspadaan tinggi, meliputi: adrenalin, propofol, dan KCl 7,4% 2013 c. Melakukan konsultasi dengan supervisor klinik d. Melakukan konsultasi dengan Kepala Unit ICU yang juga sekaligus sebagai clinical instructure Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 86 3 6 s.d. 8 Mei 2013 a. Melakukan presentasi tentang panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi: adrenalin, propofol, dan KCl 7,4% b. Melakukan presentasi tentang standar prosedur operasional pemberian obat kewaspadaan tinggi yaitu meliputi: adrenalin, propofol, dan KCl 7,4% c. Menerapkan standar prosedur operasional di ruang ICU Dewasa selama 3 hari pada shift pagi dan sore. d. Melakukan wawancara mendalam tentang pengalaman perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi e. Melakukan wawancara mendalam tentang pengalaman perawat dalam menerapkan standar prosedur operasional f. Mencatat setiap masukan dan kesulitan perawat dalam memahami dan melaksanakan standar prosedur operasional 5.2.3. Tahap evaluasi Evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir shift, dengan melakukan diskusi mendalam tentang pemahaman perawat dalam menggunakan standar prosedur operasional, antara lain memahami setiap kalimat yang ada dalam standar prosedur operasional, memahami langkah dan standar prosedur operasional, serta kesulitan perawat dalam melakukan standar prosedur operasional. Hasil evaluasi penerapan panduan dan standar prosedur operasional adalah sebagai berikut: a. Sampai sejauh mana tanggung jawab, kewenangan, dan peran perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. b. Sampai sejauh mana kewenangan perawat dalam mengencerkan obat? Pengenceran obat menurut JCI (2010) adalah kewenangan farmasi, terutama pencampuran 2 obat atau lebih. Dalam panduan dan standar prosedur operasional diharapkan dimasukkan kewenangan perawat dalam pengenceran obat kewaspadaan tinggi c. Pemberian obat kewaspadaan tinggi mempunyai risiko tinggi, selain itu dosis seringkali berubah sesuai dengan kondisi klinis pasien. Pada perawat level manakah yang diperbolehkan untuk memberikan obat kewaspadaan tinggi terkait dengan perubahan dosis akibat perubahan kondisi pasien? Dalam panduan dan standar prosedur operasional diharapkan dijelaskan level perawat mana yang bisa memberikan obat kewaspadaan tinggi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 87 d. Dosis obat kewaspadaan tinggi selalu cepat berubah dikarenakan kondisi pasien yang tidak stabil. Bagaimana dengan perubahan dosis yang cepat, apa yang harus dilakukan oleh perawat? e. Pada kegiatan “double check”, sebagian besar perawat hanya melakukan cek nama obat dan tanggal kadaluarsa sehingga perlu dirancang strategi untuk hal tersebut. Perlu juga dimasukkan tentang identifiaksi pasien pada saat melakukan double check. Pengecekan dilakukan oleh perawat satu level atau dilakukan oleh level perawat yang lebih tinggi? Tanggal 9-11 Mei 2013, dilakukan revisi panduan dan SPO sesuai dengan hasil evaluasi pelaksanaan tersebut. Hasil revisi dipresentasikan kembali kepada kepala leader dan kepala ruang ICU dewasa pada tanggal 13 Mei 2013. Evaluasi akhir dilaksanakan pada tanggal 15 Mei 2013 dengan melakukan presentasi akhir tentang panduan dan SPO yang telah direvisi dihadapan kepala ruang, kepala unit, kepala bidang dan divisi diklat keperawatan. 5.3 Pembahasan Panduan dan standar prosedur operasional pemberian obat kewaspadaan tinggi merupakan inovasi keperawatan yang disusun dari berbagai sumber literatur termasuk jurnal keperawatan. Inovasi keperawatan berupa panduan pemberian obat ini berfokus pada intervensi keperawatan yaitu pemberian obat yang merupakan kewenangan perawat. Hal ini mengingat bahwa kewenangan lain dari obat kewaspadaan tinggi (high alert medication) merupakan kewenangan farmasi atau medis seperti proses pengadaan, penyediaan, permintaan serta penyimpanan obat. Inovasi ini bertujuan untuk mencegah kesalahan yang terjadi akibat pemberian obat kewaspadaan tinggi oleh perawat. 5.3.1. Tanggung jawab dan kewenangan perawat Perawat memerlukan landasan hukum atau landasan kebijakan yang kuat dalam proses pemberian obat kewaspadaan tinggi, karena obat jenis tersebut mempunyai risiko tinggi terjadi efek samping yang berat, sehingga perawat mendapatkan perlindungan apabila terjadi efek samping yang membahayakan pasien. Di Indonesia belum ada peraturan yang menjelaskan tentang tanggung jawab dan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 88 kewenangan perawat dalam pemberian obat tersebut. Bahkan dalam Permenkes No. 1691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit, juga tidak dijelaskan tentang tanggung jawab dan kewenangan perawat dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi tersebut. College and Association of Registered Nurses of Alberta (CARNA) Provincial Council (2007), memberikan informasi tentang tanggung jawab perawat dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi dalam Medication Administration: Guidelines for Registered Nurses. Dijelaskan bahwa setiap registered nurse (RN) sebelum memberikan obat bertanggung jawab untuk mendiskusikan dengan dokter penanggung jawab, apabila ditemukan kejanggalan atau masalah dalam pengobatan tersebut. Masing-masing perawat bertanggung jawab untuk menyiapkan sendiri obat yang akan diberikan kepada pasien. Perawat tidak diperbolehkan melakukan peracikan obat untuk perawat lain, karena hal ini akan meningkatkan kesalahan, selain itu juga akan membingungkan garis komando atau tanggung jawab. RS PJN Harapan Kita perlu segera untuk membuat kebijakan yang sifatnya internal tentang pemberian obat kewaspadaan tinggi, sehingga perawat mempunyai landasan kebijakan yang legal dari rumah sakit dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi tersebut. Kebijakan dibuat untuk melindungi petugas kesehatan dan pasien. 5.3.2. Pengenceran atau pengoplosan obat Pada saat melakukan sosialisasi pedoman dan SPO, terdapat pertanyaan tentang proses pengenceran atau pengoplosan obat, terutama obat kewaspadaan tinggi. Ungkapan dari pertanyaan perawat antara lain sebagai berikut: “Siapakah yang mempunyai kewenangan dalam proses pengenceran obat?” Dalam pemberian obat, pengenceran atau pengoplosan obat masuk ke dalam proses “compounding” dan “dispensing.” College of Registered Nurses of Nova Scotia/CRNNS (2011), menyatakan bahwa peracikan (compounding) dan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 89 pengeluaran (dispensing) obat bukan merupakan lingkup praktek perawat (registered nurses), tetapi berada dalam lingkup praktek apoteker.” An Board Altranais (2007) menyatakan bahwa untuk pelaksanaan yang terbaik, obat-obatan harus dikeluarkan oleh apoteker, perawat (registered nurses) hanya bisa mengeluarkan obat apabila dalam keadaan luar biasa (exceptional circumstances) dan dispensing obat oleh perawat merupakan tugas tambahan dari praktek keperawatan profesional. RS PJN Harapan Kita dapat membuat kebijakan tentang pengenceran atau pengoplosan obat, dengan melibatkan unit farmasi, unit medis, dan unit keperawatan, sehingga terbentuk regulasi yang mengatur dalam situasi dan kondisi seperti apa perawat mempunyai kewenangan melakukan pengoplosan obat dan memberikan kepada pasien, mengingat peran perawat dalam memberikan obat di RS PJN Harapan Kita sangat penting. 5.3.3. Level Perawat Menurut CRNNS (2011), perawat yang diperbolehkan memberikan obat kewaspadaan tinggi adalah perawat yang memiliki kompetensi tentang pengelolaan obat kewaspadaan tinggi. Berdasarkan hasil diskusi dengan leader, kepala unit ICU, dan kepala sub. instalasi bedah, perawat yang ada di ICU dewasa semuanya telah lulus pelatihan Kardiovaskular Dasar (KD). Diperoleh informasi juga tentang level terendah di ruang ICU Dewasa adalah level beginner. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan analisa lebih lanjut apakah perawat level beginner mempunyai kompetensi dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. Dari hasil diskusi, didapatkan kesimpulan bahwa perawat yang berkompeten dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi adalah perawat level advance beginner, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pengalaman kerja yang diperoleh selama yang bersangkutan menjadi perawat di ruang ICU dewasa. Sedangkan untuk double check adalah diperlukan perawat dengan level competent yang telah mengikuti pelatihan post basic. RS PJN Harapan Kita seyogyanya membuat suatu kajian untuk menentukan kompetensi apa saja yang harus dipenuhi oleh perawat dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi, dan perawat level mana yang dianggap mampu memenuhi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 90 kompetensi tersebut. Kompetensi tersebut dapat difasilitasi dengan mengadakan pelatihan tersendiri untuk memenuhi kompetensi yang diinginkan. Oleh karena itu RS PJN Harapan Kita perlu mengadakan pelatihan untuk mewujudkan perawat yang kompeten dalam pemberian obat kewaspadaan tinggi. 5.3.4. Perubahan dosis obat Pasien yang dirawat di ICU dewasa RS PJN Harapan Kita adalah pasien dengan kondisi kesehatan yang tidak stabil, dimana kondisi klinis tersebut setiap saat dapat mengalami perubahan. Oleh karena itu, dosis obat yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Kondisi klinis pasien yang tidak stabil, memerlukan perencanaan dan strategi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. CARNA (2007), memberikan strategi untuk mengatasi kondisi tersebut, yaitu dengan menggunakan peresepan dalam bentuk dosis rentang (range dose). Dosis rentang akan memberikan kewenagan kepada perawat untuk membuat keputusan dalam menentukan dosis yang tepat yang diberikan ke pasien secara fleksibel, berdasarkan hasil pengkajian terhadap kondisi pasien pada waktu tertentu. Selain dosis rentang, perawat juga harus mempunyai kemampuan professional judgment dalam menggunakan parameter-parameter di dalam protokol medis untuk menentukan apakah pasien masuk ke dalam parameter tersebut atau tidak dan mendapatkan intervensi sesuai protokol. Berdasarkan hal tersebut, RS PJN Harapan Kita perlu untuk menyusun protokol medis yang baku yang dapat digunakan oleh perawat sebagai pedoman dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran yang terkait dengan uraian pada bab-bab sebelumnya. 6.1 Kesimpulan 6.1.1 Praktik residensi ini menggunakan model “Konservasi Levine” yang memberikan suatu kerangka kerja yang efektif dalam menilai kondisi klien dengan penyakit kardiovaskular yang sangat kompleks dan memberikan arah dalam pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas untuk mempertahan kualitas hidup serta memberdayakan klien dan keluarga sebagai support sistem. Model Konservasi Levine sangat tepat diterapkan sebagai pendekatan dalam pemberian asuhan keperawatan klien dengan penyakit kardiovaskular karena sebagain besar pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular mengalami penurunan cardiac output sehingga akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplay dan demand energi karena gangguan pompa jantung. 6.1.2 Pasien dengan penyakit kardiovaskular yang menjalani operasi jantung akan mengalami nyeri akibat proses pembedahan. Nyeri dapat menyebabkan aktivasi saraf simpatis yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hemodinamik pasien. Pemberian Evidence-based nursing practice dengan terapi musik pada pasien yang menjalani operasi dapat menurunkan nyeri dan menurunkan tekanan darah serta denyut jantung pasien. Evidence-based nursing practice merupakan salah satu cara untuk membuktikan bahwa perawat adalah profesional. 6.1.3 Pembuatan pedoman dan standar operasional prosedur tentang pemberian obat kewaspadaan tinggi (high allert medications) dapat menjadi pedoman pada saat perawat memberikan obat kewaspadaan tinggi yang mempunyai risiko terjadi kondisi yang fatal akibat kesalahan dalam pemberian obat tersebut. 91 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia 92 6.2 Saran 6.2.1 Bagi Pelayanan Keperawatan 6.2.1.1 Perlu dilakukan sosialisasi dan penerapan Model Konservasi Levine sebagai pendekatan dalam pemberian asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular, sehingga dapat menjadi model yang dapat diterapkan dalam praktik keperawatan profesional yang berdampak terhadap peningkatan status kesehatan pasien. 6.2.1.2 Perlu diadakan suatu kebijakan yang mengatur siapa yang berhak untuk memberikan obat kewaspadaan tinggi sekaligus disusun kebijakan yang dapat menjadi payung hukum bagi perawat yang memberikan obat kewaspadaan tinggi sesuai dengan kewenangan. 6.2.2 Bagi Pengembangan Keilmuan Keperawatan Perlu dilakukan kajian yang mendalam serta sosialisasi tentang penerapan model konsep konservasi Levine dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular sebagai dasar pengembangan praktik keperawatan, sehingga dapat dijadikan panduan dalam praktik keperawatan berbasis teori keperawatan. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI AACN, (2004). AACN Statement of suport for clinical specialist nurse. http://www.aacn.nche.edu/publications/position/CNS.pdf Aaronson P.I & Ward J.P.T (2010). At a Glance: Sistem Kardiovaskular (Edisi ke-3). Jakarta: Penerbit Erlangga. AHA (2013). Caffeine and Heart Disease. http://www.heart.org/HEARTORG/GettingHealthy/NutritionCenter/Health yDietGoals/Caffeine-and-Heart-Disease_UCM_305888_Article.jsp Ai M., Otokozawa S., Azstalos B.F., Ito Y., Nakajima K., White C.C., et al., (2010). Small dense LDL cholesterol and coronary hearth disease: Results from Framingham Offsping study. http://www.clinchen.org/content/56/6/967.full.pdf+html diunduh 12 April 2012. Alligood M.R (2010). Nursing Theory: Utilization & Application. Fourth Edition: USA: Mosby Elsevier. An Board Altranais. (2007). Guidance to nurses and midwives on medication management. Aragon D., Farris C., Byers J.F., (2002) The effects of harp music in vascular and thoracic surgical patients. http://www.mhtp.org/data/web/medsurg.pdf Arslan, S., Ozer, N.,& Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety during undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced Nursing, 26 (2), 46-54. http://www.ajan.com.au/vol26/26-2_ozer.pdf Bulechek G.M., Butcher H.W., & Doctherman J.M., (2008). Nursing Intervention Classification (NIC). Fifth edition. USA: Mosby Elsevier. Burhani R., (2010). RS Jantung Harapan Kita Kembangkan Tindakan Non-Bedah. http://www.antaranews.com/berita/1268226806/ Cadigan et al. (2001). The effect of music on cardiac patients on bed rest. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11252881 College and Association of Registered Nurses of Alberta Provincial Council. (2007). Medication administration: Guidelines for Registered Nurses. Dari http://www.nurses.ab.ca Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia College of Registered Nurses of Nova Scotia. (2011). Medication guidelines for Registered Nurses. Dari http://www.crnns.ca Corwin, E. J., (2009). Buku saku patofisiologi. (Edisi ke-3). Jakarta : EGC. Departemen Kesehatan RI. (2009). http://www.depkes.go.id. Profil kesehatan Indonesia 2008. Erfandi (2009). Konsep Terapi Musik. http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/16/konsep-terapi-musik/ Fernandez M.L., & Webb D., (2008). The LDL to HDL cholesterol ratio as a valueable tool to evaluate coronary heart disease risk. http://www.jacn.org/content/27/1/1/full.pdf+html Gray H.H., Dawkins K.D., Simpson I. A., & Morgan J.M., (2005). Lecture Notes : Kardiologi (Agus Azwar & Asri Dwi Rahmawati, Penerjemah.) Jakarta: Erlangga. Gulanick M. (2012). Ineffective Management of Therapeutic Regimen: Individual. http://www1.us.elsevierhealth.com/MERLIN/Gulanick/archive/Constructo r/gulanick32.html Guyton A.C., & Hall J.E., (2008) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hartono A., (2006). Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta : Buku Penerbit Kedokteran: EGC. Herdman T.H. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell. Hatem P.T., Lira P.T.i., & Mattos S. S (2006) The therapeutic effects of music in children folloowing cardiac surgery. http://www.scielo.br/pdf/jped/v82n3/en_v82n3a06.pdf ICN (2009). Delivering quality, serving communities nurses leading care innovations. http://www.icn.ch/images/stories/documents/publications/ind/indkit2009.p df Ignatavisius D.D., & Workman M.L., (2010). Medical Surgical Nursing : Critical thinking and collaborative care. (6th ed.). Missouri : Elsevier. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Ingersoll G.L., (2000). Evidence-Based Nursing: What it is snd what it isn’t. http://www.nursingoutlook.org/article/S0029-6554(00)76732-7/fulltext Institute for Safe Medication Practices/ISMP. (2012). ISMP’s list of high-allert medications. http://www.ismp.org Joint Commision International. (2011). Joint Commission International Acreditation Standards for Hospitals, 4th edition. http://www.jointcommissioninternational.org Jafari H., Zeydi A. E., Esmaeili R., dan Soleiman A. (2012). The effects of listening to prefereed music on pain intensity after open heart surgery. http://www.sid.ir/en/VEWSSID/J_pdf/118120120101.pdf Kabo, P. (2008). Mengungkap pengobatan penyakit jantung koroner. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kabo P., (2010) Bagaimana menggunakan obat-obatan kardiovaskular secara rasional. Jakarta: Balai Penerbit Universitas Indonesia. Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., & Swanson E. (2008) Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: Mosby Elsevier. Morishima I., Sone T., Tsuboi H., Kondo J., Mukawa H., Kamiya H., et al. (2002). Plasma C-reactive protein predicts left ventricular remodeling and functionafter a first acute anterior wall myocardial infarction treated with coronary angioplasty: comparison with brain natriuretic peptide. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11890369?dopt=Abstract. Moser D.K., & Riegel B., (2008). Cardiac Nursing A Companion to Braunwald’s Heart Disease. Canada: Saunders & Elsevier. Muttaqin A., (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardivaskular. Jakarta: Salemba Medika. Nilsson U. (2008). Sooting music can increase oxytocin levels during bed rest after open-heart surgery: a randomised control trial. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2702.2008.02718.x/pdf Noviyanti (2009). Perbedaan left ventricular ejection fraction (LVEF) dan end sistolic dimension (ESD) pada penderita regurgitasi mitral kronik sebelum dan sesudah mitral valve replacement. http://eprints.undip.ac.id/28907/1/Noviyanti_Tesis.pdf Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Nurani N.A. (2012). Kopi, Kafein, dan Stress Kombinasi buruk bagi Kesehatan. http://health.okezone.com/read/2012/08/15/486/678052/kopi-kafein-streskombinasi-buruk-bagi-kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Petersson M. (2002). Cardiovascular effects http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12436943 of Oxytocin. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Fundamental of Nursing : Concepts, Process and Practice. Edisi 4. Jakarta : EGC. Price S.A., & Wilson L.M., (2006) Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC. Rilantono L.I., (2012). Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rowlingson, J.C. (2009). Acute Pain Management Revisited. Anesthesiology, http://www.iars.org/2003RCLtest/pdftext/rowlingson2003.pdf Sendelbach S.E., Halm M. A., Doran K.A., Miller E.H., dan Gaillard P., (2006). Effects of music therapy on physiological and psychological outcomes for patients undergoing cardiac surgery. http://www.allinahealth.org/ahs/united.nsf/page/Music_therapy.pdf/$FILE/ Music_therapy.pdf Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth’s Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Spector N., (2013) Evidence-Based Health Care in Nursing Regulation. https://www.ncsbn.org/Evidence_based_HC_Nsg_Regulation_updated_5_ 07_with_name.pdf Supriyono M. (2008). Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok umur ≤ 45 tahun. (Studi Kasus di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan RS Telogorejo Semarang). http://eprints.undip.ac.id/ The Joanna Briggs Institute (2009). Evidence based information sheets for health professionals: Music as an intervention in hospitals. http://connect.jbiconnectplus.org/ViewSourceFile.aspx?0=493 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Tomey A.M., & Alligood M.R (2006). Nursing theory utilization & application. 3th edition. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc. Trappe H . J (2012). Music and Medicine: The efffects of music on the human being. http://www.applied-cardiopulmonarypathophysiology.com/fileadmin/downloads/acp-20122_20120517/03_trappe.pdf Vaajoki A. (2012). Postoperative Pain in Adult Gastroenterological PatientsMusic intervention in Pain alleviation. http://epublications.uef.fi/pub/urn_isbn_978-952-61-0956-5/urn_isbn_978952-61-0956-5.pdf World Health Organization (WHO), (2011). Cardiovascular Diseases (CVDs). http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs317/en/index.html. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Universitas Indonesia Lampiran 1 Evaluasi Intervensi Pengkajian Konservasi Informasi Umum 1 Resume Kasus : ADHF Wet and Warm. Tn. AH, usia 57 tahun, menikah, pendidikan SLTA, pekerjaan swasta, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2012-16-39-15, masuk rumah sakit tanggal 9 Oktober 2012 dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan memberat sejak 5,5 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Pasien mengeluh sesak nafas yang memberat sejak kurang lebih 5,5 jam yang lalu. Sesak nafas dirasakan memberat saat pasien melakukan aktivitas. DOE (+), OP (+) dan PND (+). Terdapat nyeri epigastrik, mual. Tetapi pasien tidak mengeluh berdebar-debar dan keluar keringat dingin. Pasien merupakan pasien lama RS PJNHK dan pasien kontrol serta minum obat teratur. Obat yang dikonsumsi pasien adalah Lasix 1 tab/2 hari dan Captopril 3 x 1 tablet. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: EDD : 76, ESD : 65, EF 20 %, tapse 1,7 mm, Akinetik anteroseptal s/d apex, apikal rounded, segmen lain normokinetik. AF NVR 86x/m, QRS Axis LAD, QRS dur 0,1, QS wave II,III, aVF, poor R progresion di V1-V6, T inv I, aVL, V5,V6, VES. Pasien menderita diabetes mellitus. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari dan minum kopi sedikitnya 1 gelas setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 3 – 4 jam, dan malam hari 8 – 9 jam. Pasien makan habis ½ porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema . Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan tidak merasa malu terhadap kondisi yang dialami saat ini, hubungan keluarga dan tetangga tetap terjalin dengan baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh istri dan anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg. Lasik 2 x 1 ampul IV.Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien batuk efektif jika kondisi pasien memungkinkan, ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 93/52 mmHg, Frekwensi nadi 86 x/menit, frekwensi nafas 32 x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Balance cairan (1010-2012): negative 1000 cc, ronkhi -/-. Kadar Kalium: 3,8 meq/liter, Calsium: 2,2 meq/liter, Clorida: 109 meq/liter dan Magnesium: 2,0 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 2 Resume Kasus : NSTEMI, ADHF wet/warm pada CHF ec. HHD Ny. APH, usia 83 tahun, pendidikan SLTA pekerjaan pensiunan bidan, suku Batak, masuk rumah sakit tanggal 29 Maret 2013 dengan keluhan sesak nafas sejak 6 hari SMRS, sesak nafas dirasakan terjadi berulang kali. Saat dilakukan pengkajian, sesak nafas sudah berkurang. Pasien mengeluh sesak nafas. Pasien 3 kali dirawat di RS Pondok Indah, keluar dan masuk RS dengan keluhan yang sama. Sesak dirasakan terus-menerus, berkurang dengan Lasix, keringat dingin (+) membahasi baju, mual (+), muntah (+), nyeri dada (+), muncul bila nafas mulai sesak. DOE (+), PND (+), OP (+), berdebar-debar (-), pingsan (-). Pasien merupakan pasien baru PJNHK. Pemeriksaan Fisik: Kesadaran compos mentis, TD: 124/71 mmHg, HR: 98x/mnt, RR: 22x/mnt. Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak iktherik, Paru: vesikuler, ronkhi-/-, wheezing +/+, Cor: S1S2 Normal, murmur (-), gallop (-), abdomen supel, BU (+) Normal, ekstremitas: akral hangat, edema -/-. Hasil lab: hs Trop T: 581 U/L. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: ST depresi di V5-V6, T inverted di V5-V6. Hasil foto thorax terdapat kongesti dan infiltrat. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merasa asing dengan lingkungan rumah sakit yang baru. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2-3 jam, dan malam hari 7-8 jam. Pasien makan habis ½ porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan keluarga dan tetangga tetap terjalin dengan baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mendapatkan kesembuhan. Nyeri dada, gangguan pertukaran gas, kelebihan volume cairan. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien batuk efektif jika kondisi pasien memungkinkan, ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg. Lasik 2 x 1 ampul IV. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (-), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 105/72 mmHg, Frekwensi nadi 85 x/menit, frekwensi nafas 22 x/mnt. Suhu tubuh 36,60C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Balance cairan (1-042012): negative 700 cc, ronkhi -/-. Kadar Kalium: 3,1 meq/liter, Calsium: 2,2 meq/liter, Clorida: 102 meq/liter dan Magnesium: 2,0 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 pasien dipindahkan ke GP II lantai 5. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 3 Resume Kasus : ASD Sekundum , Pulmonal Hipertensi. Ny. S., usia 33 tahun, status menikah, pendidikan PT, pekerjaan ibu rumah tangga, suku Sunda, dengan nomor rekam medis 2011-30-26-67, masuk rumah sakit tanggal 2 Oktober 2012 dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian keluhan sesak nafas sudah berkurang. Sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas. Terdapat DOE (+), OP (+) dan PND (+). Pasien rencana akan menjalani ASD closer, tetapi pada saat di ruang catheterisasi pasien mengeluh sesak nafas yang memberat, akhirnya tindakan ASD closer ditunda. Pasien merupakan pasien lama PJNHK dengan ASD sekundum. Pasien mendapatkan terapi Lasix 1 x 40 mg dan Aldactone 1 x 25 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat ASD sekundum EF 63%, tapse 2,6 mm, PH (+). Perubahan lingkungan eksternal: sesak nafas saat melakukan aktifitas sedang. Konservasi Energi: Pasien lebih banyak istirahat ditempat tidur, pasien mengeluh sesak nafas saat kekamar mandi. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan bahwa petugas kesehatan dan keluarga menghargai pasien dan menyertakan pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan oleh petugas kesehatan. Konservasi Integritas Sosial: Keluarga mendukung proses penyembuhan pasien dengan mendampingi pasien selama menjalani pengobatan. Perubahan pola nafas , risiko penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan tubuh. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Aldactone 1 x 25 mg. Lasik 1 x 40 mg. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (-), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 134/106 mmHg, Frekwensi nadi 100 x/menit. irama regular. Tingkat kesadaran compos mentis. Pulsasi arteri perifer kuat, CRT < 3 dtk, akral hangat, kelemahan (-), murmur (-), gallop (-).Balance cairan (02-10-2012): negative 550 cc, JVP : 5 + 2 cmH2O, tidak terdapat ascites, tidak terdapat edema pada ektremitas bawah dan suara nafas ronkhi -/-. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dirawat di GP II lantai 3, pasien diperbolehkan pulang. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 4 Resume Kasus : ASD Sekundum . Nn. L usia 23 tahun, belum menikah, pendidikan SLTA, pekerjaan swasta, suku Lampung, dengan nomor rekam medis 2011-30-26-67, masuk rumah sakit tanggal 2 Oktober 2012 dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian keluhan sesak nafas sudah berkurang. Pasien mengeluh sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh sesak nafas semakin memberat. Terdapat DOE (+), OP (+) dan PND (+). Pasien merupakan pasien lama PJNHK dengan ASD sekundum. Pasien mendapatkan terapi Lasix 1 x 40 mg dan Aldactone 1 x 25 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat ASD sekundum, ESD 51, EDD: 59, EF 27%, tapse 0,9 mm, PE minimal. Hasil rontgen thorak : CTR ; 60% Perubahan lingkungan eksternal: sesak nafas saat melakukan aktifitas sedang. Konservasi Energi: Pasien lebih banyak istirahat ditempat tidur, pasien mengeluh sesak nafas saat kekamar mandi. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan bahwa petugas kesehatan dan keluarga menghargai pasien dan menyertakan pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan oleh petugas kesehatan. Konservasi Integritas Sosial: Keluarga mendukung proses penyembuhan pasien dengan mendampingi pasien selama menjalani pengobatan. Perubahan pola nafas , risiko penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan tubuh. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Captopril 3x 50 mg, Digoxin 1 x 0,125 mg, Aldactone 1 x 25 mg. Lasik 1 x 40 mg. Batasi intake cairan 1250 cc / 24 jam. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (-), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 92/72 mmHg, Frekwensi nadi 106 x/menit. irama regular. Tingkat kesadaran compos mentis. Pulsasi arteri perifer kuat, CRT < 3 dtk, akral hangat, kelemahan (-), murmur (-), gallop (-).Balance cairan (19-10-2012): negative 165 cc, JVP : 5 + 2 cmH2O, tidak terdapat ascites, tidak terdapat edema pada ektremitas bawah dan suara nafas ronkhi -/-. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 5 pasien dirawat di GP II lantai 3, pasien diperbolehkan pulang. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Resume Kasus : ADHF wet and warm ec. Old AMI Anterior Tn. D, usia 67 tahun, agama Islam, menikah, pndidikan SR, pekerjaan tidak bekerja, suku Sunda, dengan nomor rekam medis 2012-33-68-54, masuk rumah sakit tanggal 27 September 2012 dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak 4 tahun yang lalu, sesak nafas memberat saat pasien melakukan aktivitas. Saat dilakukan pengkajian keluhan sesak nafas sudah berkurang. Intervensi Pasien mengeluh sesak nafas sejak kurang lebih 4 tahun yang lalu, dirawat di RS diSukabumi, keluhan tidak berkurang. Sesak nafas dirasakan memberat saat pasien melakukan aktivitas. DOE (+), OP (+) dan PND (+). Tidak terdapat nyeri dada, tidak berdebar-debar, tidak mual dan muntah, dan tidak disertai keringat dingin. Pasien baru saja dirawat di RS di Sukabumi selama 5 hari, obat yang diminum pasien adalah Spironolakton 1 x 25 mg. Selama dirawat di RS di Sukabumi pasien mengeluh demam dan kencing sedikit. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: Hipertensi dan hiperkolesterol. Perubahan lingkungan eksternal: Merokok dengan jumlah > 1bungkus/hari sejak usia muda. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 4 jam, dan malam hari 7 – 9 jam. Pasien makan hanya habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema.. Konservasi Integritas Personal: seluruh anggota keluarga menghargai pasien, anak pasien membantu dan mendampingi pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung Konservasi Energi: Memberikan posisi pasien semi fowler, berikan oksigen 3 liter/menit sesuai program, monitor tanda vital, monitor kecepatan, irama dan kedalaman pernafasan, auskultasi bunyi jantung dan suara paru, monitor adanya disritmia melalui sistem monitoring, monitor adanya tanda dan gejala penurunan curah jantung. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg, Digoxin 1 x 0,125 mg . Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, timbang BB setiap hari, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), penambahan BB, peningkatan derajat edema, monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Berikan terapi sesuai program: Lasik 1 x 1 ampul IV. Konservasi Integritas Personal:, ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Evaluasi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 5 Tekanan darah 146/85 mmHg, Heart rate 125 x/menit, dan respirasi rate 28 x/menit. bunyi nafas rales, hasil pemeriksaan EKG sinus aritmia dengan ST depresi dan T inverted di I, aVL, V5-V6. Balance cairan input: 1342 cc, output 2156 cc, balance – 814 cc. Sesak nafas sudah berkurang dibandingkan dengan saat di IGD (respirasi rate 34 x/menit). Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 5 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 6 Resume Kasus : NSTEMI Timi 3/7, Hipertensi Stage II. Tn. DS., usia 56 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan Swasta, suku Batak. Masuk rumah sakit pada tanggal 9 April 2013 dengan keluhan nyeri dada sejak 18 jam yang lalu. Nyeri sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu dengan intensitas yang lebih ringan dan berkurang dengan Cedocard sub lingual. Saat dilakukan pengkajian, nyeri dada sudah berkurang. Nyeri dada sejak 18 jam SMRS. Nyeri pertama kali muncul 1 bulan yang lalu dengan intensitas yang lebih ringan dan berkurang dengan Cedocard sub lingual, saat ini nyeri tidak berkurang dengan Cedocard. Nyeri dirasakan ditengah dada terasa berat, menjalar ke lengan kiri dengan durasi > 20 menit, keringat dingin (-), mual muntah (-), sesak nafas (-). Pasien riwayat CABG tahun 2000, dan pasien tidak kontrol teratur. Pemeriksaan fisik: kesadaran compos mentis, TD: 154/102 mmHg, HR: 62 x/mnt, RR:18 x/mnt. Mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak iktherik. Leher: JVP 5-2 cmH2O. Cor: S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Paru: vesikuler, tidak terdapat ronkhi dan wheezing. Abdomen: supel, hepar dan lien tidak teraba. Ekstrmitas: akral hangat, tidak terdapt edema. Hasil lab: hs Trop T: 128 U/L, creatinin: 1,69. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: ST depresi di II, III, dan aVF dan T inv di I, aVL, V5-V6. Kadar hs Trop. T: 128 U/L. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sejak masih muda, setiap hari rata-rata habis 1 bungkus. Konservasi Energi: pasien mengatakan badan terasa cepat lelah, pasien bedrest. Pasien makan hanya habis ½ porsi, makanan yang diperbolehkan dikonsumsi adalah 2000 kalori / 24 jam, sedangkan total cairan adalah 1700 cc/24 jam. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema . Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan tidak merasa malu terhadap kondisi yang dialami saat ini, hubungan keluarga dan tetangga tetap terjalin dengan baik. Pasien beragama Islam dan taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh istri dan anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, resiko penurunan cardiac output. Intervensi keperawatan meliputi konservasi energi: Memberikan posisi semi fowler, memberikan oksigen sesuai program, observasi balance cairan dengan mengukur intakeoutput cairan setiap hari, membatasi intake cairan sesuai program, memberikan terapi medis sesuai program untuk menurunkan beban jantung, meningkatkan kontraktilitas otot jantung, memonitor tanda-tanda vital, menganjurkan pasien bedrest & beraktivitas sesuai kemampuan, konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg. Lasik 2 x 1 ampul IV. Batasi intake cairan 1700 cc / 24 jam. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (-), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. konservasi integritas personal: memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 103/82 mmHg, HR: 60x/mnt dan RR: 20x/mnt. Pasien mengatakan dada sudah tidak nyeri lagi. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Pengkajian Konservasi Informasi Umum 7 Resume Kasus : NSTEMI Tn. M, usia 54 tahun, menikah, pendidikan universitas, pekerjaan PNS, suku Jawa dengan nomor rekam medis 2010-29-01-10, masuk rumah sakit tanggal 19 September 2012 dengan keluhan nyeri dada sejak 1 hari yang lalu. Saat dilakukan pengkajian pasien masih mengalami nyeri dada. Pasien mengeluh nyeri dada sejak 1 hari yang lalu. Pencetus terjadinya nyeri dada adalah karena pasien tidak mengkonsumsi obat. Pasien pernah menjalani PTCA MCI pada 2010 pada CAD 2 VD. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: CAD 2 VD. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merasa terganggu mendengarkan bunyi alat monitor. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 3 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis ½ porsi, kadar Hb 8,8 gr%. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: keluarga menghargai pasien sebagai kepala keluarga. Pasien dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan tindakan yang akan dilakukan. Konservasi Integritas Sosial: Pasien mengatakan seluruh anggota keluarga menyayangi pasien. Pasien juga mengasihi semua anggota keluarga. Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Evaluasi Intervensi Trop Nyeri dada, resiko penurunan cardiac output, Konservasi Energi: Memberikan posisi pasien semi fowler, berikan oksigen 3 liter/menit sesuai program, monitor tanda vital, monitor kecepatan, irama dan kedalaman pernafasan, auskultasi bunyi jantung dan suara paru, monitor adanya disritmia melalui sistem monitoring, monitor adanya tanda dan gejala penurunan curah jantung. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: ISDN 1 x 5 mg, Captopril 3 x 50 mg, Digoxin 1 x 0,125 mg, tromboaspilet 1 x 80 mg. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, timbang BB setiap hari, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), penambahan BB, peningkatan derajat edema, monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Berikan terapi sesuai program: Lasik 1 x 1 ampul IV. Konservasi Integritas Personal:, ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 119/66 mmHg, Frekwensi nadi 80 x/menit, frekwensi nafas 20 x/mnt. Suhu tubuh 36,60C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Balance cairan (2009-2012): negative 1200 cc, ronkhi -/-. Kadar Natrium: 145 meq/L, Kalium: 3,0 meq/liter, Calsium: 1,6 meq/liter, Clorida: 96 meq/liter dan Magnesium: 2,1 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 pasien dipindahkan ke GP II lantai 5. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 8 Resume Kasus : ADHF wet and warm ec. Old MI Tn. PS, usia 59 tahun, menikah, pendidikan SLTA, pekerjaan Wiraswasta, suku Batak, masuk rumah sakit dengan keluhan sesak nafas yang dialami sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Pasien mengeluh sesak nafas yang dialami sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit,sesak nafas dirasakan saat sedang istirahat setelah sarapan pagi. Nyeri dada disangkal, keringat dingin (-), susah tidur (+), badan lemas (+), DOE (+), OP (-), PND (+). Pasien riwayat berobat ke UGD 1 hari sebelumnya dengan keluhan yang sama dengan diagnosa CHF ec. CAD dan pasien menjalani rawat jalan. Pemeriksaan fisik: Kesadaran CM, TD 79/59 mmHg, HR: 82 x/menit, RR: 18 x/menit. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ichterik, leher JVP 5+0 cmH2O, Cor: S1S2 Normal, Gallop (-), murmur (-), paru: ronkhi basah halus +/+ minimal dibasal, whezing -/-. Abdomen hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), BU (+). Ekstremitas: akral hangat, edema -/-. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal:ST depresi di lead I, T inverted di I, aVL. CTR 70%, segmen aorta elongasi. Hasil echo: EF 33%. MR mild, akinetik anteroseptal sampai dengan apikal, inferoseptal, segmen lain hipokinetik. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok 2 bungkus sehari, pasien minum kopi sedikitnya 2 gelas/hari. Konservasi Energi: Pasien bedrest, pasien istirahat siang hari 2 ajm, sedangkan pada malam hari 9 jam. Pasien makan habis 1 porsi, kadar Hb pasien 14,5 gr%. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan petugas kesehatan melibatkan pasien terkait dengan tindakan yang akan dilakukan. Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), berikan posisi pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan heart rate, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi integritas struktur: Berikan terapi sesuai program: Captopril 2 x 50 mg. Lasik 2 x 1 ampul IV. Batasi intake cairan 1700 cc / 24 jam atau sesuai program Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien batuk efektif jika kondisi pasien memungkinkan, ajarkan pasien nafas dalam. memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 119/80 mmHg, Frekwensi nadi 93 x/menit, frekwensi nafas 20 x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Balance cairan (5-122012): negative 200 cc, ronkhi -/-. Kadar Natrium: 126 meq/L, Kalium: 4,3 meq/liter, Calsium: 2,41 meq/liter, Clorida: 94 meq/liter dan Magnesium: 2,3 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 5. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Resume Kasus : Acute STEMI anterior ekstensif onset 3 jam Informasi Umum Tn. Sg., usia 41 tahun, beragama Islam, menikah, pendidikan PT, pekerjaan karyawan swasta, suku Jawa, alamat Jelambar, Grogol Jakarta Barat, dengan nomor rekam medis 2013-34-5911, masuk rumah sakit tanggal 14-03-2013 dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 18 Maret 2013 keluhan nyeri dada sudah berkurang. Intervensi Pasien mengeluh nyeri dada 2,5 jam sebelum masuk rumah sakit, durasi dirasakan terus menerus dan pasien tidak bisa menunjukkan lokasi nyeri dada. Nyeri dada dirasakan seperti tertekan benda berat, keringat dingin membasahi baju (+). Sesak nafas (+), DOE (+), PND (-), OP (-), kaki bengkak (-), tidur dengan menggunakan 1 bantal. Perut begah (-), muntah (+). Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal : Terjadi total oklusi pada LAD proksimal dan stenosis non signifikan pada RCA dan LCx. Perubahan lingkungan eksternal : Klien merokok sebanyak 1 – 2 bungkus perhari sejak usia remaja. Konservasi Energi : Pasien istirahat siang dari pukul 12.00-13.00 WIB dan istirahat malam dari pukul 21.00 – 05.00 WIB. Pasien melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan minimal dari keluarga seperti makan, minum, mandi, toileting dan berpakaian. Pasien makan habis 1 porsi dari setiap makanan yang disajikan. Konservasi Integritas Struktur : tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal : Pasien mengatakan bahwa petugas kesehatan menghargai pasien dan menyertakan pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan oleh petugas kesehatan. Konservasi Integritas Sosial : Keluarga mendukung proses penyembuhan pasien dengan mendampingi pasien saat dilakukan tindakan dan selama rawat inap keluarga mendampingi pasien. Nyeri dada, penurunan curah jantung Konservasi Energi: Posisikan pasien semi fowler dan istirahat total (bedrest), berikan oksigen 2 – 4 liter / menit (O2 saturasi diatas 95%), monitor intensitas dan progresifitas nyeri, monitor tekanan darah, frekwensi nadi, monitor dan merekam EKG serial setiap 24 jam, Konservasi integritas struktur: Pertahankan akses intra vena, berikan terapi sesuai program :Bisoprolol 1 x 1,25 mg dan ISDN 2 x 5 mg. Konservasi Integritas personal: ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, diskusikan pengertian infark, tanda gejala, faktor resiko, dan ajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada, ajarkan pasien untuk latihan nafas dalam, dan anjurkan pasien supaya bed rest selama fase akut. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Evaluasi Trop Pengkajian Konservasi 9 Nyeri berkurang dengan skala nyeri 4 dari skala 0-10, tanda vital: tekanan darah 90/52 mmHg, HR : 106 x/menit dan respirasi rate 20x/menit. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 10 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI Timi 4/7 Tn. S.P. usia 47 tahun, agama Kristen, menikah, pendidikan PT, pekerjaan dosen, suku Toraja, alamat Kemuning, Jakarta dengan nomor rekam medis 2012-17-33-40, masuk rumah sakit tanggal 18 September 2012 pukul dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Klien mengeluh nyeri dada sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri dada dirasakan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu, dengan intensitas yang lebih rendah. Pasien merupakan pasien lama PJNHK, riwayat minum obat tidak teratur. Nyeri timbul saat klien sedang melakukan aktivitas. Penjalaran nyeri tidak bisa dilokalisir, nyeri hilang sendiri. Keringat dingin membasahi baju (-), mual (+), muntah (-),sesak nafas (-), berdebar (-), DOE (-), OD (-), dan PND (-). Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: Hasil EKG QRS rate 129 x/menit, axix LAD, RSr di V1, terdapat riwayat DM. Perubahan lingkungan eksternal: pasien mengatakan masih tetap mengajar walaupun kadang muncul nyeri dada, minum obat tidak teratur. Konservasi Energi: Pasien istirahat siang dari pukul 12.00-13.00 WIB dan istirahat malam dari pukul 21.00 – 05.00 WIB. Pasien melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan minimal dari keluarga seperti makan, minum, mandi, toileting dan berpakaian. Pasien makan habis 1 porsi dari setiap makanan yang disajikan. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan bahwa petugas kesehatan menghargai pasien dan menyertakan pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan oleh petugas kesehatan. Konservasi Integritas Sosial: Keluarga mendukung proses penyembuhan pasien dengan mendampingi pasien saat dilakukan tindakan dan selama rawat inap keluarga mendampingi pasien. Nyeri dada, penurunan curah jantung , risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Konservasi Energi: Posisikan pasien semi fowler dan istirahat total (bedrest), berikan oksigen 2 – 4 liter / menit (O2 saturasi diatas 95%), monitor intensitas dan progresifitas nyeri, monitor tekanan darah, frekwensi nadi, monitor dan merekam EKG serial setiap 24 jam. Konservasi Integritas Struktur: pertahankan akses intra vena, berikan terapi sesuai program : Bisoprolol 1 x 25 mg, ISDN 3 x 5 mg, Lipartyl 1 x 200 mg, monitor intake nutrisi dan kalori, pantau adanya tanda/gejala hiperglikemia (trias poli, kelemahan, sakit kepala, hipotensi, penurunan kesadaran), pantau adanya tanda-tanda hipoglikemia: (takhikardi, palpitasi, tremor, gelisah, rasa lapar, konfusi, penurunan kesadaran), monitor kadar glukosa darah, KGDH sesuai program, berikan Humulin 1 x 10 unit, berikan diet DM RG 1800 kkal, makanan lunak sesuai program. Konservasi Integritas personal: ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, diskusikan pengertian infark, tanda gejala, faktor resiko, dan ajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada, ajarkan pasien untuk latihan nafas dalam, dan anjurkan pasien supaya bed rest. Konservasi Integritas Sosial : Keluarga mendukung proses penyembuhan pasien dengan mendampingi pasien saat dilakukan tindakan dan selama rawat inap keluarga mendampingi pasien. Tekanan darah 126/75 mmHg, Frekwensi nadi 86 x/menit, frekwensi nafas 21 x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Klien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Akral hangat, kelemahan (-), murmur (-), gallop (-). Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Resume Kasus : UAP Timi Risk 1/7 dd NSTEMI Informasi Umum Ny. S., usia 45 tahun, agama Islam, menikah, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, suku Jawa, alamat Kepa Duri, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dengan nomor rekam medis 2012-33-58-99. Masuk rumah sakit pada tanggal 11 September 2012 dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi 11 Nyeri dada sebelah kiri sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit dengan karakteristik seperti tertekan benda berat, menjalar ke punggung dan lengan kiri, keluar keringat dingin sampai badan basah, mual (+), muntah (-). Nyeri muncul saat posisi sedang duduk, tidak berkurang dengan penekanan atau perubahan posisi. Pasien berobat ke klinik Tomang dan diberi obat dibawah lidah, nyeri berkurang. Saat dilakukan pengkajian masih kadang dirasakan nyeri dada. Skala nyeri 6 dari skala 0 – 10. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: Hasil EKG: SR, QRS rate 92 x/mnt, axis normal, P wave normal, PR interval 0,12, QRS duration 0,08, ST elevasi (-), T inverted di V1 dan V2. Perubahan lingkungan eksternal: Pasien merasa tidak betah dirumah sakit . Konservasi Energi: Pasien merasa cepat lelah, pasien bedrest, pasien makan habis ½ porsi. Personal hyegene dan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga dan perawat. Konservasi Integritas Struktur: : tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan petugas kesehatan melibatkan pasien terkait dengan tindakan yang akan dilakukan. Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak dan suami pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, penurunan curah jantung Konservasi Energi: berikan posisi pasien semi fowler dan istirahat total (bedrest), berikan oksigen 2 liter / menit (O2 saturasi diatas 90%), monitor intensitas dan progresifitas nyeri, monitor tekanan darah, frekwensi nadi, monitor dan merekam EKG serial setiap 24 jam, Konservasi Integritas Struktural: pertahankan akses intra vena, berikan terapi sesuai program : ISDN 3 x 5 mg, aspilet 1 x 80 mg dan simvastatin 1 x 20 mg, Captopril 3 x 6,25 mg, lakukan persiapan pasien untuk angiografi koroner bila diperlukan. Konservasi Integritas Personal: ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, diskusikan pengertian infark, tanda gejala, faktor resiko, ajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada, ajarkan pasien untuk latihan nafas dalam, anjurkan pasien supaya bed rest selama fase akut. Konservasi integritas Sosial: libatkan keluarga dalam perawatan pasien. Tekanan darah 132/92 mmHg, Frekwensi nadi 78 x/menit. irama regular. Pulsasi arteri perifer kuat, CRT < 3 dtk, akral hangat, kelemahan (-), mur-mur (-), gallop (-). Klien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Tro p Pengkajian Konservasi Informasi Umum 12 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI timi 4/7, DM 2 GD tak terkontrol Tn. AS., usia 56 tahun, pekerjaan Swasta, suku Arab, dengan nomor rekam medis 2013-2061-80, masuk rumah sakit pada tanggal 7 April 2013 dengan keluhan nyeri dada sejak 6,5 jam SMRS, nyeri dada dirasakan dengan dada panas. Saat dilakukan pengkajian, nyeri dada sudah berkurang. Pasien mengeluh nyeri dada sejak 6,5 jam SMRS, keluhan nyeri dada dirasakan dada terasa panas. Nyeri dada menjalar ke lengan kiri, disertai dengan keluhan sesak nafas, mual (+), muntah (+), tetapi tidak disertai dengan keluarnya keringat dingin. Pasien merupakan pasien baru PJNHK dengan diagnosa UAP d/d NSTEMI timi 4/7, DM 2 GD tak terkontrol. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat diabetes mellitus dan merokok > 1 bungkus/hari. Hasil pemeriksaan EKG : PR interval 0,20 detik, QRS axis LAD, ST depresi II, III , V4-V6 dan lead I serta aVL. Hasil pemeriksaan Lab: CKMB: 163 U/L, dan hs Trop T: 1847 U/L, Na: 127 meq/L, K: 6,0 meq/L dan Cl: 87 meq/L. Hasil ro. thorax: CTR 62%, segmen aorta elongasi, kongesti (+), infiltrat (+). Hasil pemeriksaan Echo: EDD: 44,ESD: 32, EF: 49%, MR Mild, Hipokinetik di mid apikal dan anteroseptal. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok > 1 bungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan sesak nafas dan badan cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 9-10 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke. Tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, JVP: 5+4 cmH2O, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesicular, terdapat ronkhi basah halus ½ lapang paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas akral hangat dan tidak terdapat edema pada ekstremitas bawah. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, gangguan pertukaran gas, resiko penurunan cardiac output. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg, Plavix 1 x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Lantus 1 x 10 IU, Diazepam 1 x 5 mg dan Heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 2100 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 116/63 mmHg, Frekwensi nadi 92 x/menit, frekwensi nafas 24x/mnt. Suhu tubuh 36,70C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 135 meq/L, K: 3,3 meq/L, Ca total: 2,2 meq/L, Cl: 97 meq/L dan Mg: 2,1 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di IW Medikal, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 13 Resume Kasus : Acute STEMI inferior onset 13 jam, timi 2/14, riw. CHF ec. HHD, HT Tn. BS., usia 50 tahun, pendidikan PT, pekerjaan swasta, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2013-34-68-48, masuk rumah sakit pada tanggan 31 Maret 2013 dengan keluhan nyeri dada sejak 12,5 jam. Nyeri dada muncul saat pasien sedang pijat. Saat dilakukan pengkajian, nyeri dada sudah berkurang. Pasien mengeluh nyeri dada 12,5 jam SMRS saat pasien sedang pijat, keluhan dirasakan seperti ditusuk-tusuk tembus kepunggung dengan durasi > 20 menit, nyeri tidak hilang dengan istirahat, disertai keluar keringat dingin membasahi seluruh badan, pasien tidak mual dan muntah. Keluhan nyeri dada juga pernah dirasakan oleh pasien 1 hari sebelum masuk rumah sakit, dengan durasi 5 menit, muncul saat aktivitas (bulu tangkis). Keluhan hilang dengan istirahat. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, dislipidemia dan merokok 3 bungkus/hari. Hasil pemeriksaan EKG : sinus aritmia, PR interval 0,24 detik, QRS durasi 0,10 detik, terdapat ST elevasi di II, III, aVF, ST depresi I, aVL, V1-V4. Hasil pemeriksaan Lab: CKMB: 577 U/L, dan hs Trop T: 2791 U/L. Leukosit 14.300 /mmk. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok > 3 bungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan terasa lemah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 8-10 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan stroke, tetapi pasien menderita gastritis. Tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesicular, tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas akral hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, resiko penurunan cardiac output. Konservasi energi: Monitor status hemodinamik : tekanan darah, heart rate, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3liter/menit), posisikan pasien semi fowler, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Dobutamin 2,5 μg/kg/menit, Captopril 3 x 6,25 mg, ISDN 3 x 5 mg, Brilinta 2 x 90 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Pantoprazole 1 x 1 ampul, Diazepam 1 x 5 mg, Aspar K 3 x 1 tablet, Laxadin1 x CI dan Heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 107/73 mmHg, Frekwensi nadi 60 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 144 meq/L, K: 3,8meq/L, Ca total: 2,08 meq/L, Cl: 94 meq/L dan Mg: 2,1 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 14 Resume Kasus : UAP d/d STEMI timi 2/7 Tn. DS., usia 37 tahun, pendidikan PT, pekerjaan PNS, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-74-50, masuk rumah sakit pada tanggal 9 April 2013 dengan nyeri dada yang dirasakan saat sedang tiduran. Nyeri dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Pasien mengeluh nyeri dada 1 jam SMRS saat pasien sedang tiduran, keluhan dirasakan ± 30 menit, menjalar ke punggung, tetapi tidak disertai dengan keluar keringat dingin. Keluhan berkurang dengan istirahat. Keluhan dirasakan pertama kali 1 minggu yang lalu dengan karakteristik nyeri seperti ditusuk-tusuk , saat itu nyeri dada dipicu oleh emosi, durasi ± 30 menit, keringat dingin tetapi tidak sampai membasahi baju, nyeri hilang dengan dipijat. Pasien tidak mengeluh sesak nafas, mual, muntah dan berdebar-debar. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat faktor resiko; merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat T Inv di III, dan aVF. Hasil pemeriksaan Lab: CKMB: 39 U/L, dan hs Trop T: 255 U/L. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh terasa lemah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 8-10 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke. Tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesicular, tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas akral hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, resiko penurunan kardiak out put. Konservasi energi: Monitor status hemodinamik : tekanan darah, heart rate, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3liter/menit), berikan pasien posisi semi fowler, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg, Plavix 1x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Concor 1 x 2,5 mg, Laxadin1 x CI dan Heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 120/65 mmHg, Frekwensi nadi 75 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 133 meq/L, K: 4,1 meq/L, Ca total: 2,35 meq/L, Cl: 99 meq/L dan Mg: 2,0 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 15 Resume Kasus : ADHF w/w pada CHF ec. acute anterior MI, Hipertensi St. II Tn. GHC., usia 64 tahun, pendidikan SLTA,pekerjaan pedagang, suku Tionghoa, dengan nomor rekam medis 2012-33-60-07, masuk rumah sakit pada tanggal 7 Maret 2013 dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan memberat sejak 2 minggu SMRS. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Sesak nafas dirasakan memberat sejak 2 minggu SMRS, DOE (+), PND (+) dan OP (+), selain itu pasien juga mengeluh perut begah dan kaki bengkak. Sesak nafas sudah sering dirasakan oleh pasien sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu, hanya berobat jalan. Pasien tidak mengeluh nyeri dada. Pasien merupakan pasien lama RS PJNHK. Terakhir kontrol pada bulan Oktober 2012. Obat yang diminum pasien adalah Lasix 1 x 1 tab, Aspilet 1 x 1 tab, Digoxin 1 x ½ tab. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, dislipidemia, faktor keturunan dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG: QRS rate 110x/menit, axis LAD, ST elevasi di V1-V5, rS di V1-V5, II, III , aVF, ST depresi dengan T inv di V6, terdapat VES dan LVH. Hasil rontgen thorak CTR 80%, dan terdapat kongesti. Hasil Echocardiografi: EDD 69, ESD 63, EF: 16%, Tapse 1,4 cm, akinetik anteroseptal, segmen lain hipokinetik. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 7 – 9 jam. Pasien makan habis 1/3 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma dan stroke, tetapi pasien menderita gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, dan terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan terdapat edema pada ekstremitas bawah. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg, Tromboaspilet 1 x 80 mg, Aldactone 1 x 25 mg, Interpril 1x2,5 mg, Lasix 2x80 mg, Simvastatin 1x20 mg, Aldactone 1 x 50 mg, Tromboaspilet 1 x 80 mg. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 152/94 mmHg, Frekwensi nadi 110 x/menit, frekwensi nafas 22 x/mnt. Suhu tubuh 36,60C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 132 meq/L, K: 4,0 meq/L, Ca total: 2,3 meq/L, Cl: 99 meq/L dan Mg: 2,0 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial belum adequat, pasien belum stabil sehingga pasien belum beradaptasi secara optimal dan pasien dipindah ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 16 Resume Kasus : CHF fc III ec. acute anterior MI. Tn. HD., usia 59 tahun, pendidikan PT, pekerjaan Swasta, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2012-33-48-51, masuk rumah sakit pada tanggal 4 Maret 2013 dengan keluhan sesak nafas sejak 6 hari yang lalu. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Sesak nafas dirasakan memberat sejak 6 hari SMRS, DOE (+), PND (+) dan OP (+), selain itu pasien juga mengeluh perut begah dan kaki bengkak. Sesak nafas sudah sering dirasakan oleh pasien sejak kurang lebih 7 bulan SMRS. Pasien tidak mengeluh nyeri dada. Pasien sering opname di RS Fatmawati, terakhir opname tanggal 26 Februari 2013. Di RS Fatmawati dilakukan aspirasi cairan paru. Pasien merupakan pasien baru RS PJNHK. Obat yang diminum pasien adalah Captopril 2x12,5 mg, Nitrokaf R 2x150 mg, OMZ 2x1 cap, Furosemide 3x40 mg, Simvastatin 1x20 mg, Plavix 1x75 mg dan Salbutamol 3x2 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat Q di V1-V4. Hasil rontgen thorak CTR 60% dan terdapat kongesti serta efusi pleura bilateral. Hasil Echocardiografi: LV dilatasi dengan EF: 26%. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 7 – 9 jam. Pasien makan habis 1/3 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma dan stroke, tetapi pasien menderita gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan terdapat edema pada ekstremitas bawah. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 12,5 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Nitrokaf R 2x150 mg, OMZ 2x1 cap, Furosemide 3x40 mg, Simvastatin 1x20 mg, Plavix 1x75 mg, Salbutamol 3x2 mg, Bisoprolol 1 x 1,25 mg, Aldactone 1 x 50 mg, Tromboaspilet 1 x 80 mg, Digoxin 1 x 1,25 mg dan Lantus 1 x 16 IU. Batasi intake cairan 1500 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 87/77mmHg, Frekwensi nadi 130 x/menit, frekwensi nafas 18x/mnt. Suhu tubuh 36,70C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 134 meq/L, K: 3,1 meq/L, Ca total: 2,24 meq/L, Cl: 90 meq/L dan Mg: 1,8 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial belum adequat, pasien belum stabil sehingga pasien belum dapat beradaptasi dan pasien dipindah ke CVC. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 17 Resume Kasus : NSTEMI timi 5/7. CAD 3 VD post CABG, Hipertensi, DM 2. Tn. IS., usia 41 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan swasta, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2012-34-09-46, masuk rumah sakit pada tanggal 8 Maret 2013 dengan keluhan nyeri dada kiri khas angina dan progresif. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Nyeri dada kiri khas angina dan progresif. Pasien mengeluh nyeri dada kiri sejak 4 jam SMRS dirasakan pasien dengan durasi > 20 menit, disertai dengan keringat dingin membasahi baju, tidak berkurang dengan pemijatan, tidak dipengaruhi oleh peruabahan posisi, mual (+), muntah (+), sesak nafas (-), OP (-), DOE (+), PND (-), pasien tidak mengeluh berdebar-debar. Nyeri dada berat (8/10), lebih berat dari pada sebelum CABG (pasien CABG pada 22/1/2013). Obat yang diminum pasien adalah: Norvask 1 x 5 mg, Cedocard 3x20 mg, Glucophage1 x 500 mg, Aprovel 1 x 300 mg dan Tromboaspilet 1x80 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat T inverted di I, dan aVL, dan LVH. Hasil rontgen thorak terdapat segmen aorta elongasi. Hasil pemeriksaan Lab: hs Trop T: 28 U/L, GDS 219 mg/dL. Tekanan darah 165/105 mmHg. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah, terutama jika melakukan aktivitas yang berat. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 7-9 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, gangguan pertukaran gas. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 6,25 mg, ISDN 3 x 5 mg, Loading Plavix 300 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Furosemide 1 x 40 mg, Glucophage 1 x 500 mg, Aprovel 1 x 300 mg, Lasix1 x 20 mg dan Heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc.Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 129/79 mmHg, Frekwensi nadi 92 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 137 meq/L, K: 3,9 meq/L, Ca total: 2,24 meq/L, Cl: 108 meq/L dan Mg: 2,1 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di IW Medikal, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 18 Resume Kasus : UAP d/d STEMI, Hipertensi dan DM type 2. Tn. J.S., usia 52tahun, pendidikan PT, pekerjaan PNS, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-64-80, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada seperti diremas-remas 4 jam SMRS, nyeri timbul saat pasien sedang tidur. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Nyeri dada dirasakan sejak 4 hari SMRS, nyeri dada muncul saat pasien sedang tidur, nyeri tidak dapat dilokalisir, durasi > 20 menit, keringat dingin (+),tetapi tidak sampai membasahi baju, mual (-), muntah (-), sesak nafas (-) dan pasien tidak mengeluh berdebar-debar. Nyeri berkurang dengan ISDN. Pasien merupakan pasien baru RS PJNHK. Kurang lebih 5 tahun yang lalu pasien dipasang 2 stent di RS Medan. Obat yang diminum pasien adalah Manecto 2x20 mg, Amlodipine 1x10 mg, Amaryl 1x3 mg, Lanzoprazole 1x30 mg, Bisoprolol 1 x 5 mg dan Aspilet 1x80 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat rS di V1, Q di III, aVF, dan S persisten di V5-V6. Hasil rontgen thorak terdapat dilatasi segemen Aorta. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh lemes dan cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 8-9 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, penurunan curah jantung. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg, Plavix 1 x 75 mg, Monecto 2 x 20 mg, Tromboaspilet 1 x 80 mg, Amaryl 1x3 mg, Simvastatin 1 x 20 mg dan Diazepam 1 x 5 mg, Laxadin1 x CI serta heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1500 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 129/82 mmHg, Frekwensi nadi 70 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 134 meq/L, K: 3,9 meq/L, Ca total: 2,07 meq/L, Cl: 106 meq/L dan Mg: 2,1 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 4. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 19 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI, DM type 2 tak terkontrol. Tn. J.L., usia 50 tahun, pendidikan PT, pekerjaan swasta, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-66-75, masuk rumah sakit pada tanggal 26 Maret 2013 dengan keluhan nyeri dada 1 hari yang lalu pada saat makan malam. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Pengkajian Konservasi Nyeri dada, penurunan curah jantung Evaluasi Intervensi Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat diabetes mellitus ( GDS 177 mg/dL) dan merokok. T inv diIII dan aVF. Hasil rontgen thorak terdapat kongesti. Perubahan lingkungan eksternal: pasien mengatakan sakit kepalanya bertambah karena suara monitor tekanan darah. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama kurang lebih 2 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1/2 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Trop Nyeri dada dirasakan sejak 1 hari SMRS, pada saat pasien sedang makan malam, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dengan durasi 15-20 menit. DOE (-), PND (-) dan OP (-). Selain itu pasien juga mengeluh punggung terasa pegal. Dalam 1 bulan terakhir pasien mengalami nyeri dada sebanyak 3 kali. 3 minggu sebelumnya pasien berobat ke RS UKI. Keluhan yang dirasakan saat ini adalah sakit kepala, terutama saat pasien membuka mata. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg. Loding Plavix 300 mg, Loding Aspilet 160 mg, Simvastatin 1 x 20 mg dan DZP 1 x 5 mg, Laxadin 1 x CI serta heparinisasi dengan Arixtra 1x 2,5 mg. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 125/60 mmHg, Frekwensi nadi 68 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 2 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 20 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI timi 5/7. AV Block 1st degree, CAD, Hipertensi, DM 2. Tn. MS., usia 70 tahun, pendidikan PT, pekerjaan PNS, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-53-08, masuk rumah sakit pada tanggal 24 Maret 2013 dengan keluhan nyeri dada hebat hingga keringat dingin membasahi baju. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Nyeri dada hebat hingga keringat dingin membasahi baju, mual (+), muntah (-), dialami sejak 3 hari yang lalu. Sejak 4 hari yang lalu pasien tidak mau makan. Sebelumnya pasien mengeluh nyeri dada 6 hari yang lalu, saat sedang tidur, sesak nafas (-), OP (-), DOE (-), PND (-). Pasien juga mengeluh mudah lelah bila beraktivitas berat. Pasien sudah terjadwal CABG bulan April 2013. Obat yang diminum pasien adalah ISDN: 3 x 10 mg, Ramipril 1x2,5 mg, Simark 1 x 2 mg, Flumucyl 2 x 10 mg, Carvedilol 1 x 3, 25 mg dan Aspilet 1x80 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat PR interval 0,24 detik, Q di III dan aVF, ST depresi di V4-V6. Hasil rontgen thorak CTR 56% dan terdapat kongesti. Hasil pemeriksaan Lab: hs Trop T: 42 U/L, GDS 205 mg/dL. Hasil Cath Lab: LAD multiple stenosis 70-80%, LCx stenosis multiple 70-80% dan RCA total oklusi. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah, terutama jika melakukan aktivitas yang berat. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, penurunan curah jantung. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Carvedilol 2 x 3,125 mg, ISDN 3 x 10 mg, Plavix 1 x 2,5 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Hidralazine 3x12,5 mg, Simvastatin 1 x 20 mg dan Furosemide 1 x 40 mg, Laxadin1 x CI dan DZP 1 x 5 mg. Batasi intake cairan 2000 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 140/69mmHg, Frekwensi nadi 77 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 134 meq/L, K: 3,0 meq/L, Ca total: 2,07 meq/L, Cl: 102meq/L dan Mg: 2,5 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 21 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI timi 2/7, ADHF ec ACS. Hipertensi emergensi. Ny. M., usia 87 tahun, menikah, pendidikan SR, pekerjaan ibu rumah tangga, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2013-34-73-72, masuk rumah sakit pada tanggal 9 April 2013 dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, dirasakan hilang timbul. sesak nafas dirasakan semakin lama semakin memberat. Saat dilakukan pengkajian, sesak nafas masih dirasakan. Pasien mengeluh sesak nafas yang memberat sejak kurang lebih 1 minggu yang lalu. Sesak nafas dirasakan memberat. DOE (+), OP (+) dan PND (+). Tidak terdapat nyeri dada, mual dan muntah. Pasien tidak mengatakan adanya keringat dingin. Pasien merupakan pasien baru RS PJNHK. Selama ini pasien berobat ke RS di Boyolali. Obat yang dikonsumsi pasien adalah Natrium diklofenax 2 x 1 tab., ISDN 2 x 5 mg, Nifedipin 2 x 10 mg dan Allupurinol 1 x 1 tablet. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, dislipidemia dan menopause. EDD : 34, ESD : 18, EF 50 %, tapse 2,3 cm, P wave mitral, ST depresi V5-V6, T inv V2,V6. Hasil rontgen thorak terdapat kongesti. Pasien menderita diabetes mellitus. Perubahan lingkungan eksternal: pasien minum obat tidak teratur dan minum kopi sedikitnya 1 gelas setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah dan sesak nafas. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 4 jam, dan malam hari 8 – 9 jam. Pasien makan habis ½ porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga terjalin dengan baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg. Aspilet 1 x 80 mg, dan Amlodipin 1 x 10 mg serta heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. .Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis, menganjurkan pasien mobilisasi sesuai kemampuan. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 190/98 mmHg, Frekwensi nadi 82x/menit, frekwensi nafas 20 x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam, ronkhi -/-. Kadar Natrium: 138 meq/L, Kalium: 3,2 meq/liter, Calsium: 2,14 meq/liter, Clorida: 106 meq/liter dan Magnesium: 2,0 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial belum baik, pasien belum stabil sehingga pasien masih perlu dilakukan perawatan diruang CVC. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 22 Resume Kasus : ADHF e.c LA Myxoma, Efusi pleura dextra. Tn. PJP., usia 39 tahun, pendidikan universitas, pekerjaan swasta, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2013-34-84-03, masuk rumah sakit pada tanggal 25 April 2013 dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 2 minggu SMRS. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Sesak nafas dirasakan sejak 2 minggu SMRS, sesak nafas dirasakan saat melakukan aktivitas maupun tidak, DOE (+), PND (+) dan OP (+), batuk (+),demam (-), mual (-), muntah (-) dan nyeri dada (-). 2 minggu yang lalu pasien sudah dilakukan echocardiografi di Surabaya, hasil Echo : LA myxoma. Pasien dirujuk ke PJNHK untuk terapi lebih lanjut. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: hasil Echocardiogram terdapat myxoma pada LA besar dan bertangkai. Hasil rontgen thorak CTR 70%, terdapat kongesti dan efusi paru kanan. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 3 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus 1/3 lapang paru dan wheezing (-), ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, resiko penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (4 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 6,25 mg, Lasix drip 5 mg/jam. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 107/68 mmHg, Frekwensi nadi 103 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,60C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 2 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 23 Resume Kasus : ADHF wet/warm ec. HHD, VES multifokal Tn. SMR., usia 83 tahun, pendidikan tidak sekolah, pekerjaan (-), suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2012-33-01-46, masuk rumah sakit pada tanggal 4 April 2013 dengan keluhan sesak nafas yang memberat sejak 2 hari yang lalu. Saat dilakukan pengkajian, sesak nafas sudah berkurang. Sesak nafas yang memberat sejak 2 hari yang lalu, sesak nafas timbul saat melakukan aktivitas sedang (menimba air). Sesak nafas pertama kali dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengalami DOE (+), PND (+), dan OP (+). Selain itu juga pasien mengeluh cepat lelah. Sejak 2 hari SMRS pasien mengeluh sulit tidur karena sesak nafas. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat stroke sejak 2 tahun yang lalu, faktor keturunan dan menopause. QRS LAD, P wave LAE, VES multifokal. Hasil rontgen thorax: CTR 67%, segmen aorta elongasi, kalsifikasi (+), infiltrat (+) dan kongesti (+). Perubahan lingkungan eksternal: pasien merasa asing dengan lingkungan rumah sakit yang baru. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 3-4 jam, dan malam hari 7-9 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah 1/3 basal paru dan tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema terdapat hemiparese dekstra. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Candesartan 1 x 5 mg. Lasix 1 x 40 mg, Tromboaspilet 1 x 80 mg, Amaryl 1 x 2 mg, DZP 1x5 mg, Laxadin1 x CI, Metformin 3x500 mg, dan Carvedilol 2x3,125 mg serta Amiodarone bolus 150 mg, maintenance 360 mg 6 jam I dan 540 mg 18 jam II. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 131/68 mmHg, Frekwensi nadi 89 x/menit, frekwensi nafas 22x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Hasil pemeriksaan lab: Na: 134 meq/L, K: 4,0 meq/L, Ca Total: 2,22 meq/L, Cl: 103meq/L dan Mg: 2,2 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 perawatan di IW Bedah, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 24 Resume Kasus : ADHF wet/warm pada CHF fc III ec. acute anterior MI, VES trigemini . Tn. SW., usia 52 tahun, pendidikan SR, pekerjaan buruh, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2009-27-12-03, masuk rumah sakit pada tanggal 26 Maret 2013 dengan keluhan sesak nafas yang memberat yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Sesak nafas dirasakan memberat sejak 3 hari SMRS, sesak nafas muncul saat pasien melakukan aktivitas ringan, DOE (-), PND (-) dan OP (-). Selain sesak nafas pasien juga mengeluh batuk. Pasien merupakan pasien lama RS PJNHK dengan diagnosa ADHF w/w pada CHF ec. Old AMI. TR mild, PH moderate. Obat yang diminum pasien adalah Captopril 3x50 mg, Spironolaktone 1x20 mg, Furosemide 3x40 mg, Simvastatin 1x20 mg, Bisoprolol 1x1,25 mg dan Aspilet 1x80 mg. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat VES dan poor R di V1V5. Hasil rontgen thorak CTR 70% dan terdapat infiltrat. Hasil Echocardiografi: EDD 83, ESD: 74, EF: 24%, dan Tapse: 1,5 cm. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, terdapat pansystolic murmur (PSM) 3/6, tidak terdapat gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung, kelebihan volume cairan. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 50 mg, Simarc 2 x 2 mg, Maintate 1 x 2,5 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Metformin 1x500 mh, Simvastatin 1 x 20 mg dan Furosemide 2 x 80 mg, Laxadin1 x CI serta heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1500 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 93/67mmHg, Frekwensi nadi 92 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 134 meq/L, K: 3,6 meq/L, Ca total: 2,09 meq/L, Cl: 104 meq/L dan Mg: 1,7 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Informasi Umum 25 Resume Kasus : UAP d/d NSTEMI, Hipertensi TD tak terkontrol, DM type 2. Tn. SBD., usia 52 tahun, pendidikan SD, pekerjaan buruh, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2013-34-71-96, masuk rumah sakit pada tanggal 5 April 2013 dengan keluhan nyeri dada sejak 5 jam SMRS. Nyeri dada dirasakan seperti diremas-remas, menjalar kepunggung saat pasien sedang tiduran. Saat dilakukan pengkajian, nyeri dada sudah berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Nyeri dada dirasakan sejak 5 jam SMRS, nyeri dirasakan seperti di remas-remas, menjalar ke punggung saat pasien sedang tiduran. Nyeri dada baru pertama kali dirasakan, tidak disertai mual dan muntah, tetapi terdapat keringat dingin yang membasahi baju. Pasien tidak mengalami sesak nafas dan berdebar-debar. Kurang lebih 1 tahun belakangan ini pasien mengeluh cepat capek/lelah. DOE (-), PND (-) dan OP (-). Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus ( GDS 311 mg/dL) dan merokok. QRS rate 48x/menit, ST elevasi diIII dan aVF. Hasil rontgen thorak terdapat kongesti. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari dan sering minum teh manis. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 3 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg, Plavix 1 x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Simvastatin 1 x 20 mg dan DZP 1 x 5 mg, Laxadin1 x CI serta heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 126/62 mmHg, Frekwensi nadi 53 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,60C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 2 perawatan di CVC, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Tro p Pengkajian Konservasi Informasi Umum 26 Resume Kasus : ADHF e.c old anterior MCI, unstable VT, DM 2. Tn. SS., usia 56 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan swasta, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2007-23-64-91, masuk rumah sakit pada tanggal 9 April 2013 dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS, memberat sejak 3 jam SMRS. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Pasien mengeluh sesak nafas sejak 1 hari SMRS, keluhan memberat 3 jam SMRS. Pasien tidur dengan posisi duduk, cepat lelah (+), batuk (+), perut begah (+), kaki bengkak (+), sesak ketika tidur hingga terbangun (+), nyeri dada (-), mual (+), muntah (-), berdebar-debar (+). Pasien merupakan pasien lama PJNHK dengan diagnosa ADHF e.c anterior AMI. Sudah 1minggu pasien tidak minum obat karena sudah merasa enakan. Kontrol terakhir pada tanggal 23 Februari 2013 saat itu dapat terapi : Digoxin 1 x 6,25 mg, Lantus 1 x 10 IU, Lasix 2 x 2 tab, Candesartan 1 x 4 mg. Riwayat asma (-), gastritis (-), dan stroke (-). Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan merokok > 1 bungkus/hari. Hasil pemeriksaan EKG : ventrikel takhikardi, rate 221 x/menit, QRS durasi 0,16 detik. Hasil pemeriksaan Lab: leukosit 21.000 /mmk, creatinin: 2,23, CKMB: 577 U/L, dan hs Trop T: 2791 U/L. Leukosit 14.300 /mmk. Hasil ro. thorax: CTR 75%, segmen aorta elongasi. Hasil pemeriksaan Echo: EDD: 54,ESD: 44, EF: 24%, PE minimal. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok > 3 bungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan badan cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 jam, dan malam hari 9-10 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, gastritis dan stroke. Tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, JVP: 5+4 cmH2O, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesicular, terdapat ronkhi basah halus ½ lapang paru, tidak terdapat wheezing, abdomen: ascites (+), ekstremitas akral hangat dan terdapat edema pada ekstremitas bawah. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, resiko penurunan cardiac output. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Digoxin 1 x 0,25 mg, Spironolakton 1 x 25 mg, Candesartan 1 x 4 mg, Lasix 2 x 1 ampul, Lantus 1 x 10 IU dan Dobutamin 5 μg/kg/menit. Batasi intake cairan 2100 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 93/70 mmHg, Frekwensi nadi 117 x/menit, frekwensi nafas 24x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 135 meq/L, K: 3,3 meq/L, Ca total: 2,2 meq/L, Cl: 97 meq/L dan Mg: 2,1 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan di IW Medikal, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 27 Resume Kasus : ADHF wet/warm pada CHF ec. CAD, CAD 3 VD, DM 2. Tn. S.N., usia58 tahun, pendidikan PT, pekerjaan PNS, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-65-29, masuk kerumah sakit pada tanggal 4 April 2013, dengan keluhan sesak nafas yang memberat dalam 2 jam. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas sudah berkurang. Sesak nafas memberat dirasakan sejak 2 jam SMRS, sesak nafas pertama kali dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. DOE (+), PND (+), OP (+). Pasien tidak mengalami nyeri dada dan berdebar-debar. Pasien dengan CAD 3 VD dengan jadwal operasi CABG pada tanggal 6 Mei 2013. Obat yang diminum pasien adalah Vascardin 3 x10 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Ramixal 1 x 5 mg, Furosemide 1 x 40 mg dan Nitrokaf 1 x 1 tablet. Obat tidak teratur diminum. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat 3 VD yaitu; RCA stenosis total, LAD stenosis proximal 70-80%, dan LCx oklusi total. Terdapat riwayat gastritis, diabetes mellitus dan merokok. QRS axis LAD, ST depresi V3-V6, terdapat VES dan LVH. Hasil echocardiografi EF 42%, LV dilatasi dan hipokinetik anteroseptal. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari dan sering minum teh manis. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 2 – 3 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma dan stroke, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus 1/3 lapang paru. Tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Lasix 2x80 mg, ISDN 3 x 5 mg. V Block 2x3,125 mg, Nitrokaf R 2x1, Simvastatin 1x20 mg dan Aldactone 1x12,5 mg. Batasi intake cairan 1500 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 93/52 mmHg, Frekwensi nadi 86 x/menit, frekwensi nafas 32 x/mnt. Suhu tubuh 36,50C. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Balance cairan (6April-2013): negative 550 cc, ronkhi -/-. Kadar Natrium: 138 meq/L, Kalium: 2,5 meq/liter, Calsium: 2,47 meq/liter, Clorida: 99 meq/liter dan Magnesium: 1,7 meq/liter. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 5 pasien dipindahkan ke GP II lantai 5. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 28 Resume Kasus : Acute ant. STEMI onset 18 jam, timi 6/14, riw. Hipertensi, DM 2. Tn. KT., usia 63 tahun, pendidikan PT, pekerjaan swasta, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2013-34-31-62, masuk rumah sakit pada tanggal 21 Februari 2013 dengan keluhan dada terasa berat (khas infark) 18 jam SMRS. Saat dilakukan pengkajian nyeri dada sudah berkurang. Pasien mengeluh dada terasa berat (khas infark) 18 jam SMRS saat pasien sedang tidur, keluhan dirasakan > 20 menit, menjalar ke punggung, disertai keringat dingin (baju tidak sampai basah). Keluhan berkurang dengan istirahat. Keluhan memberat bila pasien beraktivitas. Kurang lebih 1 minggu yang lalu pasien dirawat di RS “X” karena sesak nafas, rutin kontrol di rumah sakit tersebut. Pasien dikatakan menderita tekanan darah tinggi. Obat yang diminum pasien adalah Captopril, obat yang lain pasien lupa. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat hipertensi, diabetes dan merokok. Hasil pemeriksaan EKG terdapat ST elevasi di V1-V4, T bifasik di V1-V3, T Inv di V4 dan QS di V1-V4. Hasil rontgen thorak terdapat segmen aorta elongasi dan infiltrat (+). Hasil pemeriksaan Lab: CKMB: 118 U/L, dan hs Trop T: 2565 U/L. Leukosit 16.900 /mmk, CRP: 28. Tekanan darah 141/59 mmHg. Hasil Echocardiogram: EF: 48%. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merokok sedikitnya sebungkus setiap hari. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah, terutama jika melakukan aktivitas yang berat. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 3 jam, dan malam hari 8-10 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis. Pasien menderita stroke pada tahun 1999, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan terdapat ronkhi basah halus pada 1/3 basal paru, tidak terdapat wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, gangguan pertukaran gas. Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (3liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: Captopril 3 x 6,25 mg, ISDN 3 x 5 mg, Loading Plavix 300 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Simvastatin 1 x 20 mg, Furosemide 1 x 40 mg, Lantus 1 x 8 IU, Aprovel 1 x 300 mg, Laxadin1 x CI dan Heparinisasi dengan UFH bolus 3000 IU, maintenance 600 IU. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 105/53 mmHg, Frekwensi nadi 82 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,40C. Hasil pemeriksaan laboratorium: Na: 137 meq/L, K: 4,1 meq/L, Ca total: 2,31 meq/L, Cl: 94 meq/L dan Mg: 1,9 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 4 perawatan, pasien dipindahkan ke GP II lantai 3. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi Informasi Umum 29 Resume Kasus : Acute STEMI inferiposterior onset 18 jam. Killip II Timi 5/14/ Ny. W.M., usia 79 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga, suku Jawa, dengan nomor rekam medis 2013-34-70-29, masuk rumah sakit pada tanggal 2 April 2013dengan keluhan nyeri dada kiri 18 jam SMRS. Saat dilakukan pengkajian nyeri sudah berkurang. Nyeri dada dirasakan sejak 18 jam SMRS, nyeri dirasakan seperti tertimpa benda berat, tidak menjalar dirasakan > 20menit, lokasi dapat ditunjuk, keringat dingin (+), mual (-), muntah (-). Pasien juga mengalami hemiparese dekstra karena stroke yang diderita pasien sejak 2 tahun yang lalu, bicara kurang jelas. Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: terdapat riwayat stroke sejak 2 tahun yang lalu, faktor keturunan dan menopause. QRS rate 45x/menit, PR int 0,24 detik, ST elevasi diII, III dan aVF, ST depresi V1-V4, T inv V1-V4. Hasil pemeriksaan lab: hs Trop T: 3422 U/L, CKMB: 254 U/L. Perubahan lingkungan eksternal: pasien merasa asing dengan lingkungan rumah sakit yang baru. Konservasi Energi: Pasien mengatakan tubuh cepat lelah. Pasien bed rest. Pasien tidur siang selama 3 jam, dan malam hari 7 – 8 jam. Pasien makan habis 1 porsi. Konservasi Integritas Struktur: tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung S1S2 normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi dan wheezing, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema terdapat hemiparese dekstra. Konservasi Integritas Personal: Hubungan dalam keluarga baik. Pasien taat beribadah. Pasien berdoa berharap mendapat kesembuhan atas sakit yang diderita saat ini. Komunikasi dengan orang lain baik, kontak mata (+). Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Nyeri dada, penurunan curah jantung Konservasi energi: Monitor status respirasi: frekwensi nafas, pola nafas, dan status oksigenasi: O2 saturasi, auskultasi bunyi nafas, berikan oksigen sesuai program (2 liter/menit), posisikan pasien semi fowler, monitor tekanan darah dan frekwensi nadi, auskultasi bunyi jantung dan suara paru. Konservasi integritas struktur : Berikan terapi sesuai program: ISDN 3 x 5 mg. Plavix 1 x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg, Clopidogrel 1 x 750 mg, DZP 1x5 mg dan NTG 5 mcg/menit, Laxadin1 x CI serta heparinisasi dengan Lovenox 2 x 0,6 cc. Batasi intake cairan 1800 cc / 24 jam atau sesuai program. Monitor intake dan output cairan dalam 24 jam, monitor adanya indikasi kelebihan cairan: distensi vena jugularis, asites, rhonki (+), monitor kadar elektrolit darah: Na, K, Cl. Konservasi Integritas Personal: ajarkan pasien nafas dalam, memberikan privasi kepada pasien, memberikan kebebasan kepada pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam tindakan keperawatan dan medis. Konservasi integritas sosial: memberikan kesempatan pasien untuk didampingi keluarga saat dirawat. Tekanan darah 131/90 mmHg, Frekwensi nadi 55 x/menit, frekwensi nafas 20x/mnt. Suhu tubuh 36,30C. Hasil pemeriksaan lab: Na: 142 meq/L, K: 3,9 meq/L, Ca Total: 2,42 meq/L, Cl: 107 meq/L dan Mg: 2,2 meq/L. Pasien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan pada hari ke 3 perawatan di ICU Bedah, pasien dipindahkan ke IW Bedah. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Resume Kasus : ADHF wet and warm ec. ACS, DM type 2. Informasi Umum Tn. RRN., usia 63 tahun, agama Islam, menikah, pendidikan SLTA, pekerjaan swasta, suku Batak, dengan nomor rekam medis 2005-20-64-50. Masuk rumah sakit pada tanggal 30 Oktober 2012 dengan sesak nafas yang dirasakan sejak ½ jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian sesak nafas masih ada, tetapi sudah agak berkurang. Evaluasi Intervensi Trop Pengkajian Konservasi 30 Sesak nafas sejak ½ jam SMRS , dada terasa berat, DOE (+), OP (+), PND (+), demam (-), batuk (-), nyeri dada (-), jantung berdebar (-), mual (-), muntah (-), keringat dingin (-). Sesak nafas dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, pasien merupakan pasien lama PJNHK, pasien menjalani CABG pada tahun 2005. Sesak nafas semakin memberat sejak 1 minggu terakhir (dalam sehari > 3 kali). Sesak nafas muncul saat aktivitas ringan. Pasien kontrol tidak teratur. Obat yang masih diminum pasien adalah: Vasco 1 x 75 mg, Amaryl 1 x 1 mg, Maintate 1 x 5 mg Pengkajian Teori Konservasi: Perubahan lingkungan internal: Hasil EKG: SR, QRS rate 102 x/mnt, axis LAD, P wave normal, PR interval 0,12, QRS duration 0,08, ST elevasi (-). Hasil rontgen : CTR 56%. Perubahan lingkungan eksternal: kontrol tidak teratur . Konservasi Energi: Pasien merasa cepat lelah, pasien bedrest, pasien makan habis ½ porsi. Personal hyegene dan kebutuhan sehari-hari dibantu oleh keluarga dan perawat. Konservasi Integritas Struktur: : tidak terdapat riwayat asma, dan gastritis, tidak terdapat anemis pada konjungtiva dan iktherik pada sklera, suara jantung normal, tidak terdapat murmur dan gallop. Suara paru vesikular dan tidak terdapat ronkhi, ekstremitas hangat dan tidak terdapat edema. Hasil pemeriksaan laboratorium hs Trop T: 80 U/L, GDS: 424 mg/dL. Konservasi Integritas Personal: Pasien mengatakan petugas kesehatan melibatkan pasien terkait dengan tindakan yang akan dilakukan. Konservasi Integritas Sosial: Selama dirawat di RS pasien didampingi oleh anak dan istri pasien yang juga membantu pasien memenuhi kebutuhan pasien saat dirawat dirumah sakit. Pasien mengatakan keluarga sangat mendukung pasien untuk mencapai kesembuhan. Gangguan pertukaran gas, resiko penurunan curah jantung Konservasi Energi: berikan posisi pasien semi fowler dan istirahat total (bedrest), berikan oksigen 4 liter / menit, monitor intensitas dan progresifitas nyeri, monitor tekanan darah, frekwensi nadi, monitor dan merekam EKG serial setiap 24 jam, Konservasi Integritas Struktural: berikan terapi sesuai program : ISDN: 1 x 5 mg Vasco 1 x 75 mg, Aspilet 1 x 80 mg dan Simvastatin 1 x 20 mg, Captopril 3 x 6,25 mg, Carvedilol 1 x 3 125 mg, Lasix 1 x 40 mg dan Heparinisasi dengan UFH 720 UI/jam. Konservasi Integritas Personal: ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, diskusikan pengertian infark, tanda gejala, faktor resiko, ajarkan cara-cara mencegah dan mengatasi nyeri dada, ajarkan pasien untuk latihan nafas dalam, anjurkan pasien supaya bed rest selama fase akut. Konservasi integritas Sosial: libatkan keluarga dalam perawatan pasien. Tekanan darah 141/92 mmHg, Frekwensi nadi 90 x/menit. irama regular. Pulsasi arteri perifer kuat, CRT < 3 detik, akral hangat, kelemahan (-), mur-mur (-), gallop (-). Klien mampu melakukan teknik relaksasi nafas dalam. Kemampuan wholeness pasien untuk melakukan konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial berlangsung cukup baik, pasien stabil sehingga pasien dapat beradaptasi dan setelah dirawat selama 4 jam di IGD, pasien dipindahkan ke ruang GP 2 lantai 4. Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 2: SPO Terapi Musik Standar Prosedur Operasional (SPO) TERAPI MUSIK Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jl. S. Parman Kv. 87 Slipi Jakarta Barat No. Dokumen No. Revisi Halaman : Ditetapkan, Direktur Utama, SPO Pengertian Tanggal Terbit Dr. Hananto Andriantoro, SpJP(K). FIHA NIP. 195711041986101001 Suatu tindakan mendengarkan musik melalui MP3 player dan headset atau alat pemutar musik atau yang lain yang digunakan secara individu sesuai dengan pilihan pasien yang menjalani bedah jantung pada hari 1–3 post operasi jantung. Tujuan Mengkaji tingkat nyeri dan status hemodinamik pada pasien dengan post operasi jantung pada hari ke 1–3, yaitu berupa tekanan darah, denyut jantung dan frekuensi pernafasan pasien. Alat dan bahan 1. Alat tulis 2. Jam tangan 3. MP3 player dan headset/alat khusus untuk mendengarkan musik secara individual yang berisi berbagai jenis musik atau lagu. Kebijakan Setiap pasien yang menjalani operasi jantung (cardiac surgery) pada hari 1-3 wajib dilakukan pemberian terapi musik sebagai salah satu cara untuk memberikan kenyamanan pada pasien Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 serta untuk menurunkan nyeri, tekanan darah, denyut jantung dan frekuensi pernasafan sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi post operasi. Prosedur 1. Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien. 2. Memberikan inform consent (lembar persetujuan) kepada pasien. 3. Mengkaji tingkat nyeri pasien dengan menggunakan numeric rating scale. 4. Mengukur tekanan darah, menghitung denyut jantung dan frekuensi pernafasan pasien. 5. Mempersilakan pasien untuk memilih musik yang akan didengarkan oleh pasien sesuai dengan keinginan pasien. 6. Mempersilakan pasien untuk mendengarkan musik selama kurang lebih 20 menit dengan menggunakan MP3 dan headset. 7. Setelah terapi musik diberikan, dilakukan pengkajian terhadap skala nyeri dan dilakukan pengukuran kembali tekanan darah, menghitung denyut jantung dan frekuensi pernafasan pasien. 8. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan. Unit terkait Ruang IW Bedah Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine PENGKAJIAN KEPERAWATAN KARDIOVASKULAR APLIKASI MODEL KONSEP KONSERVASI LEVINE DATA PASIEN Nama : _____________________ No RM : _____________________ Tgl MRS : _____________________ Tgl Pengkajian: ________________ Ruang : _____________________ Tgl lahir : ________ usia ____th Sex :L P Agama : Is KrsKtl HdBd Status : NkhBlmJd/dd Pendidikan:SD/SMP Dpl/Unv Pekerjaan : _______________________ Suku : _______________________ Jaminan : _______________________ Alamat: : _______________________ SMA LINGKUNGAN EKSTERNAL (Perjalanan penyakit) Keluhan utama MRS: Nyeri dada  Sesak napas  Sesak napas memberat  Dada berdebardebar Riwayat keluhan: Nyeri dada: [Pencetus:  istirahat  Aktivitas]  [Karakteristik:  seperti ditekan benda berat seperti terbakar]  [Nyeri dapat ditunjuk/dilokalisir:  Ya  Tidak] [Nyeri penjalaran ke bahu/lengan:  Ya  Tidak]  [Intensitas Nyeri:  menetap  meningkat] [Disertai:  keringat dingin  mual  muntah  sesak napas]  [Hilang dengan ISDN:  Ya  Tidak]  [Durasi : _____ mnt] [Serangan dirasakan paling berat _____ SMRS] [Onset mulai dirasakan: _____SMRS] Sesak napas: DOE  OP  PND: _______________________________________________________________ Dada berdebar: ____________________________________________________________________________________ Riwayat pengobatan SMRS: __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ Kontrol teratur:  Ya  Tidak, Minum obat teratur:  Ya  Tidak Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine Alat bantu tambahan:  Ventilator : ___________________________________________________________________________________  IABP : ___________________________________________________________________________________  Pace maker : ___________________________________________________________________________________  eksternal : ___________________________________________________________________________________  internal : ___________________________________________________________________________________  NGT : ___________________________________________________________________________________  Folley cath : ___________________________________________________________________________________  Line arteri : ___________________________________________________________________________________  Line vena : ___________________________________________________________________________________ Terapi/program pengobatan yang didapat di ruangan: __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ __________________________________________________________________________________________ _________ LINGKUNGAN INTERNAL Riwayat Penyakit:  asma  gastritis  stroke Faktor risiko: DM  Hipertensi  dislipidemia  merokok  faktor herediter  menopause Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine Pemeriksaan penunjang: EKG: Irama: ________, QRS rate: ____ x/menit, QRS durasi: ___”, Axis: ____, P wave: _____, PR interval: ______ Q wave/ST elevasi/ST depresi/T inverted: _______________________________________________________ __________________________________________________________________________________________ ____ Kesimpulan: __________________________________________________________________________________ Rontgen thoraks: CTR: ____%; Segmen Aorta:  normal  elongasi; Segmen Pulmonal:  normal  elongasi; Pinggang jantung:  ada  tidak; Apex:  downward  mendatar  upward; infiltrat  ada  tidak; Kongestif:  ada  tidak Kesimpulan: __________________________________________________________________________________ Ekho kardiografi: __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ Kesimpulan: __________________________________________________________________________________ Laboratorium: __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ Kesimpulan: __________________________________________________________________________________ Diagnostik invasif dan intervensi non bedah: Angiografi:  Diagnostik  Coroangiografi  PCI elektif  PCI standby  PCI primer  Clossure  Elektrofisiologi Hasil: Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ Intervensi bedah:  CABG  Valve replacement/repair  Septal clossure  bental procedure  redo  tindakan lain Hasil: __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ __________________________________________________________________________________________ ____ Diagnosa kerja: __________________________________________________________________________________________ ____ KONSERVASI ENERGI Keluhan (saat ini):  Nyeri dada:  tidak ada  ada:  menetap  menurun, skala _____  Sesak napas:  tidak ada  ada:  menetap  menurun,  DOE  PND  OP,  Dada berdebar:  tidak ada  ada:  menetap  menurun Oksigenasi:  saturasi O2: ___%  spontan,  nasal, ___lt/menit,  NRM/RM, ___ lt/menit,  NIV, _________________  Ventilator, ____________ Aktivitas: Riwayat aktivitas:  NYHA fc. I,  NYHA fc. II,  NYHA fc. III,  NYHA fc. IV Aktivitas dianjurkan:  bedrest total,  mobilitas ringan di bed  mobilitas ringan turun dari bed ADL:  dibantu penuh,  dibantu sebagian,  mandiri Pola istirahat dan tidur:  tidak ada keluhan,  ada keluhan: ____________________________________________ Program nutrisi:  oral  NGT  parenteral; Diet: ____________________________________________________________ Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine Keluhan: __________________________________________________________________________________________ __ Program cairan: Intake cairan: _________ cc/24 jam Balans cairan: Input : _____ cc/24 jam, Output:: urin output: _____ cc/24 jam, drain dan lainnya: _____ cc/24 jam Total balans cairan: ________ Terapi diuretik  Tidak  Ya: _____ Nilai elektrolit: Na/K/Ca/Cl/Mg: _________________ Nilai Ureum/Creatinin/BUN: _____________________ KONSERVASI INTEGRITAS STRUKTURAL Keadaan umum:  baik  sedang  lemah Kesadaran:  compos mentis  apatis  somnolen  soporo koma  koma  pengaruh anestesi Pemeriksaan fisik: Mata: Konjunctiva anemis:  ya  tidak; sklera ikterik:  ya  tidak Leher: JVP:  tidak meningkat  meningkat, _____ Jantung: bunyi jantung S1-S2  normal  iregular, gallop,  murmur Paru: suara:  vesikular  menurun;  wheezing;  ronkhi: < 1/3 lapang paru > 1/3 lapang paru Abdomen: dinding abdomen: _______________________; bising usus: ___________________ hepar dan lien:  teraba  tak teraba; ascites: Ekstremitas:  Hangat  dingin; capirally refill < 3 detik > 3 detik, pulsasi perifer  adekuat  tidak Edema:  ya  tidak. Kulit: Dekubitus  ya  tidak; integritas jaringan kulit:  baik  menurun Kebersihan kulit:  baik  kurang  Luka post operasi: ________________________________________________  Luka post insisi PCI: ______________________________________________  Luka post insisi arteri line/vena sentral line: _________________________ Status hemodinamik: Tanda vital: TD: ______ mmHg; Nadi: ___ x/menit; Respirasi: ___x/menit; Suhu: ___ oC Stroke volume: _____; Cardiac Output: _____; Cardiac Index: _____; CVP: _____; PAP: _____; PCWP: _____ SVR: _____; SVRi: _____; PVR: _____; PVRi: _____; KONSERVASI INTEGRITAS PERSONAL Keluhan cemas terhadap kondisi sakitnya:  ada  tidak, skala VAS kecemasan: _____ Pengendalian emosi pasien:  stabil  labil Kepatuhan pasien:  patuh  tidak patuh Jaminan pengobatan:  askes  Jamkesmas  Jamkesda DKI  Jamkesda luar DKI  Perusahaan  Pribadi Pengetahuan tentang: Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 3: Format Pengkajian Model Levine  Proses penyakit  Program terapi/pengobatan  Obat yang diresepkan  Aktivitas  Diet  Berhenti merokok : ________________________________________ : ________________________________________ : ________________________________________ : ________________________________________ : ________________________________________ : ________________________________________ KONSERVASI INTEGRITAS SOSIAL Anggota keluarga yang menunggu: ________________ Dukungan anggota keluarga terhadap perawatan:  Baik Interaksi pasien dengan keluarga:  Baik Interaksi pasien dengan petugas medis:  Baik Interaksi pasien dengan pasien lain:  Baik  Kurang  Kurang  Kurang  Kurang Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 4: Hasil Pelaksanaan Inovasi PANDUAN PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI (HIGH ALERT MEDICATIONS) AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4% DI RUANG ICU DEWASA RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA Inovasi Praktek Residensi 3 PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH KEKHUSUSAN KARDIOVASKULAR FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA MEI 2013 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) PANDUAN PEMBERIAN OBAT DENGAN KEWASPADAAN TINGGI (HIGH ALERT MEDICATIONS)  AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN  SEDASI-HIPNOTIK: PROPOFOL  KONSENTRAT ELEKTROLIT: KALIUM CHLORIDE 7,4% DI RUANG ICU DEWASA RS PUSAT JANTUNG NASIONAL HARAPAN KITA JAKARTA 1. 2. 3. 4. 5. Supervisor Utama Supervisor Supervisor klinik 1 Supervisor klinik 2 Anggota Tim : Prof. Dra. Elly Nurachmah, S.Kp., M.App., DN.Sc : Tuti Herawati, S.Kp., MN : Ns. Rita Sekarsari, S.Kp., SpKV., MHSN : Ns. Harpen Dewisasmita, S.Kp., SpKV : 1. Ns. Dwi Nugroho Heri Saputro 2. Ns. Sadar Prihandana 3. Ns. Ani Widiastuti Program Inovasi Residensi 3 Ners Spesialis KMB (Kardiovaskular) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta Mei 2013 2 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan program inovasi berupa penyusunan panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi. Program inovasi ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi kompetensi selama praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah kekhususan Kardiovaskular di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta (PJNHK). Kompetensi yang telah dilakukan tersebut merupakan bagian dari perwujudan peran perawat spesialis sebagai inovator. Pelaksananaan program inovasi dilakukan secara berkelompok dengan menyusun panduan pemberian obat kewaspadaan tinggi. Dalam proses pelaksanaan program inovasi tersebut, tak lepas dari bimbingan serta arahan dari para supervisor, untuk itu kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dra. Elly Nurachmah, S.Kp., M.App.Sc., DN.Sc., selaku supervisor utama yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses praktek residensi 2. Tuti Herawati, S.Kp, MN., selaku supervisor yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses praktek residensi 3. Ns. Rita Sekarsari, S.Kp., Sp.KV., MHSM., selaku supervisor klinik yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan baik dalam proses praktek residensi maupun dalam proses penyusunan panduan 4. Ns. Harpen Dewisasmita, S.Kp., Sp.KV., selaku pembimbing klinik di ruang ICU dewasa yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan baik dalam proses praktek residensi maupun dalam proses pelaksanaan inovasi di ruang ICU dewasa Semoga panduan ini bermanfaat dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan khususnya dalam hal meningkatkan patient safety di lingkungan RS PJNHK. Kami sangat mengharapkan saran dan kritik agar panduan ini menjadi lebih baik lagi. Jakarta, Mei 2013 Tim Residensi KMB-Kardiovaskular 3 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) DAFTAR ISI A. Latar Belakang 1 B. Tujuan 1 C. Sasaran 1 D. Ruang Lingkup 1 E. Pengertian “High Alert Medication” 1 F. Jenis obat kewaspadaan tinggi 2 G. Tanggung jawab dan kewenangan perawat 3 H. Strategi 4 I. 6 Pemberian Adrenalin J. Pemberian Propofol 7 K. Pemberian KCl 7,4% 9 Daftar Pustaka 11 Lampiran: Lampiran 1: SPO Prosedur Keamanan Pemberian Obat “High Alert” Agonis Adrenergik: Adrenalin 12 Lampiran 2: SPO Prosedur Keamanan Pemberian Obat “High Alert” Sedative-Hipnotik: Propofol 14 Lampiran 3: SPO Prosedur Keamanan Pemberian Obat “High Alert” Elektrolit: KCL 7,4% 16 Lampiran 4: Contoh label 18 4 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) A. Latar belakang Standar ke-3 dari 6 standar The JCI International Patient Safety Goals (IPSG) adalah meningkatkan keamanan dari penggunaan obat-obat dengan kewaspadaan tinggi (high alert medication) (JCI, 2010). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, menyebutkan rumah sakit harus mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai. Ruang ICU dewasa RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (RS PJNHK) Jakarta, banyak sekali menggunakan obat-obatan yang termasuk ke dalam kategori obat kewaspadaan tinggi, seperti pemberian elektrolit konsentrasi tinggi KCl 7,4%, pemberian obat intravena secara titrasi, pemberian sedasi, serta beberapa obat kardiovaskular yang memerlukan pengawasan tinggi, misalnya adrenalin, dobutamin, dan dopamin. Karena itu diperlukan suatu panduan bagi perawat dalam memberikan obat “high alert” sehingga risiko kesalahan dapat diminimalkan. B. Tujuan 1. Sebagai acuan bagi perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi 2. Meningkatkan kewaspadaan perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi sehingga risiko kesalahan obat dapat diminimalkan 3. Meningkatkan keselamatan pasien C. Sasaran Perawat yang bekerja di ICU Dewasa RS PJNHK Jakarta. D. Ruang lingkup Panduan ini membahas tentang kategori obat dengan kewaspadaan tinggi, tanggung jawab dan kewenangan perawat, perhatian perawat dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi yang meliputi adrenalin, propofol, dan koreksi kalium di Ruang ICU Dewasa RS PJNHK Jakarta E. Pengertian “High Alert Medication” Institute for Safe Medication Practices/ISMP (2012), mendefinisikan “High alert medication” atau obat dengan kewaspadaan tinggi adalah obat yang mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan (ISMP, 2012). Joint Commission International/JCI dalam Accreditation Standards for Hospitals (2010) dan dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011, obat yang termasuk ke dalam kategori kewaspadaan tinggi adalah obat yang a) mempunyai persentasi kesalahan tertinggi, b) menyebabkan terjadi kesalahan yangs serius (sentinel event), c) obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak buruk bila diberikan 5 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) tidak tepat, d) pengobatan yang mempunyai risiko tinggi terjadinya efek samping(adverse outcome), dan e) obat yang memiliki kemiripan baik nama maupun bentuknya. F. Jenis obat kewaspadaan tinggi Jenis obat yang masuk ke dalam kategori obat kewaspadaan tinggi, tercantum dalam tabel 1 (ISMP, 2012). Tabel 1. Jenis obat termasuk kategori kewaspadaan tinggi No 1 2 3 4 5 Kategori/kelas obat Agonis adrenergik (i.v.) Antagonis adrenergik (i.v.) Agen anestesi (general, inhalasi, dan i.v.) Anti aritmia (i.v.) Agen antitrombotik: a. Antikoagulan b. Faktor Xa inhibitor c. Direct thrombin inhobitor 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 d. Thrombolitik e. Inhibitor glycoprotein IIb/IIIa Larutan kardioplegi Agen kemoterapi (parenteral dan oral) Dextrose, hipertonik, 20% atau lebih Cairan dialisat (peritoneal dan hemodialisa) Obat epidural atau intrathecal Obat hipoglikemik (oral) Obat inotropik (i.v.) Insulin (s.c. dan i.v.) Obat dalam bentuk liposomal dan turunannya Obat sedasi moderate Obat sedasi anak (oral) Contoh obat epinephrine, phenylephhrine, norepinephrine propanolol, metoprolol, labetolol propofol, ketamine lidocaine, amiodarone warfarin, low molecular weight heparin (s.c.), unfractionated heparin (i.v.) Fondaparinux argatroban, bivalirudin, dabigatranetexilate, lepirudin alteplase, reteplase, tenecplase Eptifibatide Digoksin, milrinone Regular insulin liposomal amphotericin B, amphotericin B desoxycholate dexmedetomidine, midazolam Chloralhydrate Lanjutan tabel 1. No 17 Kategori/kelas obat Narkotik/opiat a. i.v. Contoh obat 6 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) 18 19 20 21 22 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 b. transdermal c. oral (termasuk konsentrat cair, formulasi lepas lambat dan cepat Agen blok neuromuskular succinylcholine, rocuronium, vecuronium Nutrisi parenteral Agen radiokontras (i.v.) Air steril (aqua) dalam kemasan 100 ml atau lebih untuk injeksi, inhalasi, dan irigasi NaCl konsentrasi lebih dari 0,9% untuk injeksi Obat-obatan spesifik/khusus Epoprostenol/Flolan (i.v.) Magnesium sulate injeksi Methotrexate penggunaan non onkologi (oral) Opium tincture Oxytosin i.v. Nitroprusside sodium injeksi Potassium chloride injeksi Potassium phosphates injeksi Promethazine (i.v.) Vasopressin (i.v. atau intraosseus) G. Tanggung jawab dan kewenangan perawat Perawat mempunyai tanggung jawab dan kewenangan dalam memberikan obat kewaspadaan tinggi. Tanggung jawab dan kewenangannya adalah (CARNA, 2007; CRNNS, 2011): a. Perawat yang dapat memberikan obat kewaspadaan tinggi adalah perawat yang memiliki kompetensi tentang obat kewaspadaan tinggi. b. Sebelum diberikan obat, perawat bertanggung jawab dalam mengkonsultasikan obat dengan dokter yang menginstruksikan bila perawat mempunyai pertanyaan atau masalah dengan obat yang diresepkan c. Perawat dapat menggunakan “professional judgment” dalam menggunakan protokol medis, untuk menentukan apakah pasien masuk kriteria untuk intervensi d. Perawat harus menyiapkan sendiri obat yang akan diberikan kepada pasien e. Perawat tidak diperkenankan untuk memberikan obat yang disiapkan oleh perawat lain, kecuali dalam keadaan kegawatan f. Perawat mempunyai fleksibilitas untuk membuat keputusan dosis yang diberikan berdasarkan kondisi klinis pasien, bila dosis yang diresepkan dalam bentuk dosis rentang (range dose) 7 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) g. Perawat harus melakukan verifikasi persetujuan pasien sebelum diberikan obat dosis awal atau ketika terapi obat berubah. Ketika pasien menolak pengobatan, perawat harus bisa menentukan alasan penolakan dan kaji tingkat pemahaman pasien tentang efek obat h. Perawat mendokumentasikan obat yang diberikan sendiri. i. Perawat tidak diperkenankan untuk mendokumentasikan obat yang diberikan oleh perawat lain, kecuali dalam keadaan kegawatan. j. Perawat mendokumentasikan obat secara lengkap meliputi: nama pasien, nama obat, dosis dan rute obat, waktu pemberian, copy resep, dan tanda tangan perawat yang memberikan. k. Perawat mendokumentasikan informasi yang berhubungan dengan pemberian obat, misal pertanyaan pasien, keluhan pasien, penolakan pasien, intervensi tambahan seperti edukasi kepada pasien, dan efek terapeutik atau efek samping. H. Strategi Strategi yang tepat perlu disusun untuk meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi. College of Registered Nurses of Nova Scotia/CRNNS (2011), merumuskan strategi untuk meningkatkan keamanan pada pemberian obat kewaspadaan tinggi, tercantum dalam tabel 2. Tabel 2. Strategi meningkatkan keamanan pemberian obat kewaspadaan tinggi Strategi 1. Meningkatkan kompetensi Kegiatan a. Memiliki pengetahuan tentang pemberian obat, meliputi: 1) Tekhnik aseptik 2) Matematika, dalam menghitung dosis 3) Nama generik dan nama dagang obat 4) Risiko interaksi obat ketika mendapat dua atau lebih obat 5) Pengenceran obat 6) Stabilitas, penyimpanan, dan pelabelan obat yang diencerkan atau dilarutkan 7) Penanganan bila terjadi efek samping b. Berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab untuk verifikasi ketepatan instruksi pengobatan Lanjutan tabel 2. Strategi Kegiatan c. Melakukan pengecekan ganda (double check), meliputi: 1) Membandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis di dokumentasi 2) Melakukan verifikasi setiap perhitungan obat yang membutuhkan persiapan/pengenceran 3) Memastikan akurasi program pompa infus intravena sesuai program, termasuk memasukkan berat badan pasien 8 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) 2. Meningkatkan komunikasi 3. Meningkatkan sistem 4. Meningkatkan budaya d. Memperhatikan nama obat yang mirip (look alike/sound alike) sehingga dapat memastikan obat yang tepat e. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya, dan tindakan yang diperlukan f. Mematuhi prinsip 10 benar dalam proses pemberian obat, yaitu: 1) benar pasien, 2) benar obat, 3) benar rute, 4) benar waktu, 5) benar dosis, 6) benar alasan, 7) benar edukasi, 8) hak untuk menolak, 9) benar evaluasi, dan 10) benar pendokumentasian a. Memeriksa riwayat pengobatan yang lalu dan sekarang b. Melakukan klarifikasi terhadap instruksi obat yang tidak lengkap/jelas c. Melakukan instruksi obat secara lisan hanya dalam keadaan kegawatan d. Menggunakan komunikasi yang konsisten dan jelas e. Melakukan standarisasi tabel penghitungan dosis, misalnya x ml = y mcg f. Menuliskan di catatan obat atau label dengan huruf kapital untuk membedakan obat yang mirip, misal DOBUtamine dan DOPAmine a. Melakukan medication reconciliation, yaitu mencatat setiap riwayat obat yang telah diberikan kepada pasien b. Menyiapkan dan mencampur/mengencerkan obat di tempat yang bebas dari gangguan c. Membatasi dan melakukan standarisasi tempat penyimpanan obat, stok, dan distribusi d. Melakukan standarisasi peralatan untuk memberikan obat, infusion pump, dengan meminimalkan pilihan merek dan jenis alat, dan meningkatkan kemampuan dalam mengoperasionalkan alat tersebut e. Menyediakan tempat yang aman dan memadai untuk menyiapkan pengobatan a. Melakukan edukasi dan memotivasi pasien untuk menanyakan obat yang digunakan b. Menunjukkan perhatian pada setiap aspek dari tahapan pemberian obat Lanjutan tabel 2. Strategi Kegiatan c. Melihat instruksi bersama pasien saat pasien menunjukkanperhatian tentang pengobatannya d. Selalu mengidentifikasi penyebab masalah dari sistem yang dapat mengakibatkan kesalahan pengobatan e. Menciptakan budaya “tidak menyalahkan” sehingga kesalahan penggunaan obat dapat tercatat f. Melakukan pemantauan pasien selama dan sesudah pemberian 9 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) g. h. 5. Meningkatkan kewaspadaan a. b. c. obat terhadap efek obat yang diharapkan dan efek sampingnya, dan tindakan yang diperlukan Menyimpan obat di lokasi yang aman bila ternyata obat belum digunakan setelah disiapkan Membuat label obat: Label di tempat infus adalah obat, dan konsentrasi. Label di pompa infus adalah nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, data, waktu, dan tetesan infus. Label di ujung selang adalah nama obat dan tempat insersi iv. Melakukan pencampuran/pengenceran obat secara benar. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim Memperhatikan pemberian obat dengan dosis rentang dengan memperhatikan klinis pasien Memperhatikan pemberian obat yang diberikan dengan sliding scale, algoritme, dan dosis koreksi, disesuaikan hasil pemeriksaan laboratorium rutin dan keadaan klinis pasien I. Pemberian adrenalin Adrenalin masuk kedalam jenis obat agonis adrenergik yang termasuk dalam obat kewaspadaan tinggi. Tata laksana tercantum dalam tabel 3. Tabel 3. Tata laksana pemberian obat adrenalin Indikasi Kontra indikasi Efek terapeutik Pengenceran Dosis Hipotensi, cardiac output (CO) dan cardiac index (CI) yang rendah. Hipertensi, cerebral arteriosclerosus, hipertiroidisme, glaukoma sudut sempit, selama persalinan, atau pasien yang menerima obat digitalis Mencapai tekanan darah, cardiac output dan cardiac index yang efektif dan tanpa efek samping a. 4 mg dalam 50cc NaCl 0,9% (80 mcg/ml): single strenght dose b. 8 mg dalam 50cc NaCl 0,9% (160 mcg/ml): double strenght dose Dosis yang direkomendasikan: a. Dosis awal: untuk efek inotropik, mulai dengan 0,02 mcg/kg/menit, b. Dosis titrasi: setiap 5 menit ditambah 0,02 mcg/kg/menit sampai maksimal 0,2 mcg/kg/menit sampai tercapai tekanan darah dan cardiac output yang diinginkan Lanjutan tabel 3 Rute pemberian Pengecekan ganda a. Adrenalin harus diberikan melalui vena sentral, kecuali dalam keadaan emergensi adrenalin bisa diberikan perifer b. Infus adrenalin tidak boleh diberikan melalui tempat infus obat dalam sirkuit hemodialisa c. Adrenalin harus diberikan melalui syringe pump a. Identifikasi pasien b. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis c. Verifikasi pengenceran obat 10 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Kewaspadaan perawat d. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai berat badan pasien, dan tepat memasukkan padasyringe pump, termasuk mengubah dosis titrasi pasien a. Adrenalin hanya diberikan di area perawatan kritis dimana pasien sudah terpasang monitor jantung b. Validasi instruksi untuk konsentrasi cairan, jumlah tetesan awal, parameter tekanan darah awal. c. Instruksi harus dalam bentuk mcg/kg/menit d. Pastikan oksigenasi pasien adekuat ditandai dengan saturasi oksigen 98-100% e. Catat parameter hemodinamik untuk menentukan titrasi obat. Parameter yang digunakan adalah tekanan darah sistole 100-120 mmHg, MAP > 60, atau CI>2). f. Monitor tekanan darah pasien selama 5 menit di awal, kemudian tiap 30 menit sampai 1 jam sampai terlihat tekanan darah yang stabil atau cardiac output tercukupi g. Monitor adanya nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan penurunan aliran darah ke ginjal juga sering terjadi. h. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia lain, dan perubahan signifikan lainnya. i. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi waktu, dosis, dan parameter hmeodinamik pasien J. Pemberian Propofol Propofol adalah obat general anaestesi yang bekerja cepat dengan efek kerja dicapai dalam waktu 40 detik. Propofol adalah cairan emulsi yang terdiri dari minyak dan air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Propofol masuk ke dalam obat kewaspadaan tinggi. Tata laksana pemberian propofol tercantum dalam tabel 4. Tabel 4. Tata laksana pemberian obat propofol Indikasi Kontra indikasi Efek terapeutik Pengenceran Dosis Sedasi dan hipnotik pada induksi maupun pemeliharaan pada anestesi, pada pasien terintubasi atau pasien yang gelisah Tidak direkomendasikan untuk induksi pada pasien dibawah usia 3 tahun maupun pemeliharaan anestesi pada usia dibawah 2 bulan karena keamanan dan keefektivitasnya tidak dipastikan Pemeliharaan sedasi pada pasien terintubasi dan penurunan stress pasien Kemasan 200 mg dalam 10 ml, tidak dilakukan pengenceran Dosis yang direkomendasikan: 11 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Rute pemberian Pengecekan ganda Kewaspadaan perawat a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit, atau sesuai dengan instruksi medis. b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai tingkat sedasi yang diinginkan dicapai (dengan dosis maksimum 50 mcg/kg/menit). d. Pasien akan dipertahankan pada tingkat infus 10 sampai 50 mcg/ kg/menit. a. Pemberian melalui intra vena dengan kontrol syringe pump b. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan hipotensi, bolus hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi secara cepat a. Identifikasi pasien b. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis c. Lakukan pemeriksaan visual botol obat terhadap partikel dan perubahan warna d. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan berat badan pasien, dan tepat memasukkan pada syringe pump, termasuk mengubah dosis titrasi pasien a. Monitor adanya efek samping yang harus diperhatikan: 1) Pernafasan: depresi pernafasan, sesak nafas, bronkospasme dan laringospasme. 2) Kardiovaskular: hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, dan hipertensi. 3) Susunan saraf pusat: sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, opistotonus, kejang, mual dan muntah. 4) Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga dianjurkan dicampur dengan lidokain pada saat pemberian. Cara lain untuk mengurangi nyeri pada saat pemberian propofol adalah dengan cara memilih vena yang besar. b. Monitor dan catat tanda vital tiap 1 jam selama titrasi aktif c. Berikan bersama dengan analgesik narkose bila perlu, karena propofol tidak memiliki sifat analgesik Lanjutan tabel 4. 12 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) d. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik aseptik yang ketat, karena propofol merupakan tempat yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme e. Pantau kadar lipid darah pada pasien dengan hiperlipidemi atau yang berisiko terjadi hiperlipidemi f. Hentikan bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi g. Hentikan propofol 10-15 menit sebelum dilakukan ekstubasi. h. Bila terjadi hipotensi ringan selama titrasi, kurangi kecepatan infus dan tinggikan ekstremitas bawah pasien i. Bila terjadi hipotensi berat dan bradikardi (depresi kardiovaskular), hentikan infus propofol dan berikan terapi vasopresor dan cairan intravena j. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik K. Pemberian KCl 7,4% Koreksi hipokalemi merupakan hal yang sederhana tetapi bila tidak tepat dalam melakukannya dapat mengakibatkan gejala yang memburuk, bahkan kematian. Hipokalemi seringkali asimptomatik dan ditemukan bila dilakukan pemeriksaan elektrolit. Hipokalemi ringan meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien iskhemik, gagal jantung atau hipertrofi ventrikel kanan. Asupan kalium harus dipikirkan untuk menambah kalium pada level 3,5-4 mmol/L, tidak perlu menunggu kadar kalium turun sampai < 3,5 mmol/L. Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah bila ada hipokalemi pada pasien gagal jantung, sehingga kadar kalium serum dipertahankan dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Tatalaksana pemberian elektrolit KCl 7,4% tercantum dalam tabel 5. Tabel 5. Tata laksana pemberian KCl 7,4% Indikasi Kontra indikasi Efek terapeutik Pengenceran Koreksi Kalium atau untuk pemeliharaan kadar kalium darah post operasi jantung KCl7,4% tidak boleh diberikan sebelum didapatkan nilai kadar kalium melalui pemeriksaan laboratorium Kadar Kalium tercapai 4,0-4,5 mmol/L a. Pemberian KCl 7,4% harus diencerkan dalam volume yang besar, dengan konsentrasi minimal adalah 80 mEq per liter. b. Dalam kasus dimana dibutuhkan kalium secara cepat, dapat diencerkan dengan 50-100 ml. c. Konsentrasi yang direkomendasikan: 1) Pemeliharaan: 60 mEq per liter 2) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml 3) Vena sentral: 40 mEq per 100 ml Lanjutan tabel 5. 13 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Dosis d. Cara mencampur KCl 7,4% adalah melepas terlebih dahulu insersi yang ada di plabot, kemudian masukkan cairan KCl 7,4% ke dalammya, dan secara perlahan dikocok 10 kali untuk memastikan tercampur sempurna. e. Jangan memasukkan cairan KCl 7,4% ketika plabot tergantung dan tersambung dengan selang infus, karena cairan akan langsung menuju ke bawah dan konsentrasi di bawah akan lebih tinggi. Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam Rute pemberian Pengecekan ganda Kewaspadaan perawat c. Pemberian KCl7,4% harus melalui kontrol syringe pump d. Pemberian KCl7,4% diatas 10 mEq harus melalui vena sentral dan dengan kontrol intensif monitor jantung e. Pemberian KCl 7,4% tidak boleh diberikan secara bolus atau secara push a. Identifikasi pasien b. Bandingkan label dan isi produk yang diterima dengan instruksi yang tertulis c. Verifikasi pengenceran obat d. Pastikan penghitungan tetesan infus awal tepat sesuai dengan hasil laboratdan tepat memasukkan pada syringe pump, termasuk mengubah dosis koreksi pasien a. Monitor efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri abdomen, bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung, kelemahan otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan EKG. b. Periksa kadar kalium darah setiap 6 jam setelah koreksi, dan setiap 12 jam untuk pemberian kalium secara maintenans. c. Periksa kadar magnesium untuk memastikan adekuat untuk mendukung koreksi kalium. d. Dokumentasikan pemberian KCl meliputi kadar kalium sebelum diberikan, waktu pemberian, dosis, dan rute pemberian 14 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) DAFTAR PUSTAKA 1. American Hospital Association, Health Research & Educational Trust, and the Institute for Safe Medication Practice (2002). Checklist/action plan for the management of highalert medications. Dari http://www.medpathways.info 2. An Board Altranais. (2007). Guidance to nurses and midwives on medication management. 3. College and Association of Registered Nurses of Alberta Provincial Council. (2007). Medication administration: Guidelines for Registered Nurses. Dari http://www.nurses.ab.ca 4. College of Nurses of Ontario. (2011). Practice standard: Medication, revised 2008. 5. College of Registered Nurses of Nova Scotia. (2011). Medication guidelines for Registered Nurses. Dari http://www.crnns.ca 6. Dennision, R.D. (2008). High-alert drugs: Strategies for safe i.v. infusions. American Nurse Today 7. Hadaway, L.C. (2000). Managing i.v. therapy: “high alert” drug keep nurse managers ever watchful. Nursing Management. Vol. 31 (10), 38-40 8. Institute for Safe Medication Practices/ISMP. (2012). ISMP’s list of high-alert medications.Dari http://www.ismp.org 9. Joint Commission International. (2011). Joint Commission International Acreditation Standards for Hospitals, 4th edition. Dari http://www.jointcommissioninternational.org. 10. Liverpool Health Service Intensive Care Unit. (2005). Drug administration protocol: Adrenaline. 11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit 12. Pharmaceutical Services Division-Ministry of Health Malaysia. (2011). Guideline on safe use of high alert medications. 13. Salmon, N., Di Leonardi, B.C. (2012). High-alert medications: Safe practices. RN.com (AMN Healthcare Education Services). 14. Sydney South West Area Health Service (SSWAHS). (2005). Guidelines Potassium Chloride: Safe use of intravenous Potassium Chloride (adult patients). Lampiran 1 15 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” AGONIS ADRENERGIK: ADRENALIN No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan Adrenalin adalah obat golongan agonis adrenergik yang masuk kategori obat kewaspadaan tinggi, yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian obat adrenalin 1. Adrenalin masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi 2. Pemberian adrenalin harus terpasang monitor jantung, 3. Adrenalin diberikan melalui vena sentral dengan kontrol syringe pump, kecuali dalam keadaan emergensi, adrenalin bisa diberikan melalui vena perifer 4. Pemberian adrenalin drip diindikasikan untuk hipotensi, cardiac output (CO) dan cardiac index (CI) yang rendah 5. Jalur adrenalin tidak boleh diberikan melalui jalur sirkuit hemodialisa 6. Pengenceran: a. Single strenght dose: 4mg dalam 50cc NaCl 0,9% (80 mcg/ml) b. Double strenght dose: 8mg dalam 50cc NaCl 0,9% (160 mcg/ml) 7. Adrenalin hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus Kardiologi Dasar (atau advanced beginner) atau pelatihan khusus high alert medication 8. Pengecekan ganda dilakukan oleh perawat minimal level “competent” 9. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim 10. Dosis dalam bentuk dosis rentang 11. Dosis pemberian adrenalin yang direkomendasikan: a. Dosis awal untuk efek inotropik: dapat dimulai dari 0,02 mcg/kg/menit atau sesuai klinis pasien b. Dosis titrasi: ditambah 0,02 mcg/kg/menit tiap 5 menit, maksimal 0,2 mcg/kg/menit, sampai tercapai tekanan darah 16 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Prosedur: Unit terkait dan cardiac output yang diinginkan 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam status pasien. 2. Komunikasikan dengan dokter penanggung jawab bila ada kontra indikasi 3. Lakukan pengecekan ganda (double check) sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Identifikasi pasien b. Label dan isi produk yang diterima c. Verifikasi pengenceran obat dan jumlah dosis sesuai berat badan d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump 4. Buat label obat: a. Tempat infus: nama obat dan konsentrasi b. Syringe pump: nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, tanggal, waktu pemberian, dan tetesan infus c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv 5. Pastikan oksigen pasien adequat ditandai dengan saturasi O2 98100%. 6. Berikan adrenalin melalui syringe pump, dan masukkan jumlah tetesan dengan benar sesai dosis yang diresepkan 7. Catat parameter hemodinamik awal: tekanan darah sistole 100120 mmHg, MAP > 60, atau CI>2). 8. Catat parameter hemodinamik tiap jam 9. Monitor: a. Tekanan darah sampai terlihat tekanan darah yang stabil b. cardiac outputdan cardiac index minimal tiap 8 jam sekali c. Nyeri dada, aritmia (terutama takikardi), dan hipertensi. Sakit kepala, pusing, cemas, dan urin output (penurunan aliran darah ke ginjal juga sering terjadi) 10. Laporkan bila tidak tercapai peningkatan tekanan darah sistolik dan MAP pada keadaan dosis maksimal, takikardi atau aritmia lain, dan perubahan signifikan lainnya 11. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi dokter yang meresepkan, waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik. ICU Dewasa Lantai 2 17 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Lampiran 2 PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” SEDATIVE-HIPNOTIK: PROPOFOL No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan Propofol adalah obat yang bersifat sedative-hipnotik dimana obat ini mempunyai risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian propofol 1. Propofol masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi 2. Pemberian propofol harus terpasang monitor jantung, diberikan melalui vena sentral dengan kontrol syringe pump. 3. Propofol diberikan untuk pemeliharaan sedasi pada pasien terintubasi dan penurunan stress pasien 4. Propofol tidak dilakukan pengenceran 5. Propofol hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus Kardiologi Dasar 6. Pengecekan ganda dilakukan oleh perawat minimal level “competent”yang telah lulus ACLS 7. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim 8. Dosis dalam bentuk dosis rentang 9. Dosis dapat diberikan dalam bentuk mg/jam, atau dosis propofol yang direkomendasikan: a. Dosis awal: 10 mcg/kg/menit b. Dosis pemeliharaan: 5 mcg/kg/menit c. Dosis titrasi: 10 mcg/kg/menit setiap 5-10 menit sampai tingkat sedasi yang diinginkan dicapai d. Dosismaksimum 50 mcg/kg/menit 10. Pemberian propofol secara bolus tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan hipotensi. Pemberian bolus hanya digunakan dalam keadaan darurat untuk meningkatkan kedalaman sedasi secara cepat 18 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Prosedur: Unit terkait 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam status pasien. 2. Komunikasikan dengan dokter penanggung jawab bila ada kontra indikasi 3. Periksa secara visual botol obat terhadap partikel dan perubahan warna. 4. Lakukan pengecekan ganda (double check)sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Identifikasi pasien b. Labeldan isi produk yang diterima c. Verifikasi jumlah dosis d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump 5. Buat label obat: a. Tempat infus: nama obat dan konsentrasi. b. Syringe pump: nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, tanggal, waktu pemberian, dan tetesan infus. c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv 6. Berikan propofol melalui syringe pump, dan masukkan jumlah tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan 7. Hentikan pemberian propofol 10-15 menit sebelum dilakukan ekstubasi 8. Monitor: a. Tekanan darah pasien tiap 1 jam selama titrasi aktif b. Kadar lipid darah pada pasien hiperlipidemia dan pada pasien yang beresiko hiperlipidemi. Hentikan pemberian propofol bila kadar trigliserida menjadi sangat tinggi. 9. Ganti spuit dan selang infus setiap 12 jam, dengan tekhnik aseptik yang ketat. 10. Dokumentasikan setiap perubahan dosis yang terjadi, meliputi dokter yang meresepkan, waktu, indikasi, perubahan dosis, dan parameter hemodinamik ICU Dewasa Lantai 2 19 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Lampiran 3 PROSEDUR KEAMANAN PEMBERIAN OBAT “HIGH ALERT” ELEKTROLIT: KCL 7,4% No. Dokumen No. Revisi Halaman: 2 Ditetapkan Direktur Utama, SPO Tanggal terbit: dr. Hananto Andriantoro, Sp.JP(K), FIHA NIP. 195711041986101001 Pengertian Tujuan Kebijakan KCl 7,4% adalah obat dengan kewaspadaan tinggi dimana dalam pemberian memiliki risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerugian yang signifikan ketika terjadi kesalahan penggunaan. Meningkatkan keamanan dalam pemberian KCl 7,4% 1. KCl 7,4% masuk dalam kategori Obat Kewaspadaan Tinggi 2. Pemberian KCl 7,4% harus terpasang monitor jantung dengan kontrol syringe pump 3. Pemberian KCl 7,4% lebih dari 10 mEq harus diberikan melalui vena sentral 4. KCl 7,4% hanya dapat diberikan setelah didapatkan nilai kalium melalui pemeriksaan laboratorium 5. Kadar Kalium yang diinginkan adalah 4,0-4,5 mmol/L 6. Dosis dalam bentuk dosis rentang 7. Pengenceran KCl 7,4% direkomendasikan: 1) Dosis pemeliharaan: 60 mEq per liter 2) Dosis koreksi: 20-25 mEq per 50 ml 3) Vena perifer: 20 mEq per 100 ml atau 40 mEq per 250 ml 4) Vena sentral: 20-25 mEq per 50 ml 8. KCl 7,4% hanya diberikan oleh perawat yang telah lulus Kardiologi Dasar 9. Pengecekan ganda dilakukan oleh perawat minimal level “competent” 10. Perawat hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri, kecuali dalam keadaan emergensi yang membutuhkan kerja tim. 11. KCl 7,4% diberikan secara drip, tidak boleh diberikan secara bolus atau secara push 20 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Prosedur: Unit terkait 12. Pemberian dosis KCl 7,4% dikurangi apabila terdapat gangguan fungsi renal 13. Dosis total pemberian adalah 20-60 mEq dalam 24 jam dan tidak boleh lebih dari 200 mEq dalam 24 jam 1. Verifikasi instruksi obat dan tempelkan copy resep di dalam status pasien. 2. Pastikan pasien terpasang infus vena sentral, monitor jantung, dan tersedia syringe pump 3. Verifikasi indikasi pemberian KCl 7,4% 4. Lakukan pengenceran KCl 7,4% sesuai indikasi 5. Lakukan pengecekan ganda (double check)sebelum diberikan. Pengecekan meliputi: a. Identifikasi pasien b. Labeldan isi produk yang diterima c. Verifikasi konsentrasi pengenceran d. Verifikasi tetesan infus di syringe pump 6. Buat label obat: a. Tempat infus: nama obat dan konsentrasi. b. Syringe pump: nama pasien, obat, jumlah obat yang dimasukkan, tanggal, waktu pemberian, dan tetesan infus. c. Ujung selang: nama obat dan tempat insersi iv 7. Lakukan pengenceran KCl 7,4% dengan tepat, dengan cara: a. Mencampur KCl 7,4% tidak boleh pada plabot yang tergantung dan tersambung dengan selang infus b. Lepas terlebih dahulu insersi selang ke plabot, kemudian masukkan cairan KCl 7,4%, kemudian kocok 10 kali untuk memastikan cairan tercampur sempurna 8. Berikan KCl 7,4% melalui syringe pump, dan masukkan jumlah tetesan dengan benar sesuai dosis yang diresepkan 9. Monitor: a. efek samping peningkatan kalium, yaitu: nyeri abdomen, bradikardi, nausea, muntah, disfagia, bingung, kelemahan otot, distress respirasi, cardiac arrest, dan perubahan EKG. b. kadar kalium darah setiap 4-6 jam setelah koreksi c. kadar magnesium. Magnesium yang adekuat diperlukan untuk koreksi kalium 10. Dokumentasikan pemberian KCl 7,4% meliputi kadar kalium sebelum dan sesudah pemberian, waktu pemberian, dosis, dan rute pemberian ICU Dewasa Lantai 2 21 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) Lampiran 4 Contoh Label Pelabelan di kemasan obat dan vial atau ampul, merupakan tanggung jawab dari farmasi. Perawat bertanggung jawab atas pelabelan kotak/laci pada unit pelayanan pasien bila terdapat obat kewaspadaan tinggi. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan harus disimpan di area yang terbatas dan diberi label. Contoh label di syringe pump: Nama pasien: BB: __kg Tgl: Jam: Obat: Konsentrasi: ___ mg dalam ____ NS/D5 _____ ml Dosis: ____mcg/kg/menit Ners: Tetesan: _____ ml/jam Ners II: Contoh label di ujung selang HIGH ALERT ADRENALIN 22 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 (lanjutan lampiran 4) 23 Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013 Lampiran 5: Daftar Riwayat Hidup DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Dwi Nugroho Heri Saputro Tempat, tanggal lahir : Wonosobo, 10 Mei 1978 Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Staf Pengajar Stikes Bethesda Yakkum Yogyakarta Alamat rumah : Bakungan, RT 02, RW 04, Bumitirto, Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah Alamat institusi : Jln. Johar Nurhadi No. 6 Yogyakarta Riwayat Pendidikan 1984-1990 : SD Kristen Bendungan, Wonosobo 1990-1993 : SMP Kristen Bendungan, Wonosobo 1993-1996 : SMA Kristen Wonosobo 1996-1999 : Akper Bethesda Yogyakarta 2001-2003 : Program S.Kep PSIK FK UGM Yogyakarta 2003-2004 : Program Profesi Ners PSIK FK UGM Yogyakarta 2010-2012 : S2 Keperawatan Universitas Indonesia Riwayat Pekerjaan 2000 – sekarang : Staf Pengajar Stikes Bethesda Yakkum Yogyakarta Analisis praktik..., Dwi Nugroho Heri Saputro, FIK UI, 2013