MENGAMATI PERILAKU BINATANG UNTUK MENDETEKSI BENCANA ALAM Oleh: DOMINICA DWIKORI SITARESMI Gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter di Jepang yang terjadi Jumat, 11 Maret 2011 sungguh membuat hati miris. Gempa akibat lempengan bergerak di sekitar daerah Miyagi ini memunculkan gelombang tsunami setinggi 10 meter yang menyapu semua yang dilaluinya. Mobil-mobil yang sedang bergerak terseret tanpa daya, begitu pula benda-benda lain dan gedung-gedung rusak parah. Angka pasti korban belum diketahui, yang jelas telah mencapai ribuan dan yang hilang juga ribuan. Bencana di Jepang ini langsung mengingatkan penulis pada gempa di Yogyakarta yang terjadi 27 Mei 2006. Saat itu Gunung Merapi yang terletak di wilayah D.I. Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah sedang meningkat aktivitasnya. Badan Meteorologi dan Geofisika D.I. Yogyakarta beberapa waktu sebelumnya mengingatkan masyarakat di sekitar Gunung Merapi untuk waspada dan mengungsi, namun ternyata bukan Gunung Merapi yang bergejolak, tetapi lempengan bumi yang patah yang kita sebut gempa bumi yang saat itu berkekuatan 6.3 Scala Richter yang terjadi. Seperti kita ketahui gempa bumi dahsyat di Yogyakarta ini menelan korban 6.234 orang tewas dan menghancurkan ribuan rumah yang memang tidak dirancang untuk tahan gempa. Dari begitu banyak kisah tentang gempa di Yogyakarta, penulis mendapatkan sebuah kisah yang menarik. 3 hari menjelang gempa Yogya, para dokter hewan yang berpraktek di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan pasien yang sangat signifikan. Ratusan pets (hewan kesayangan/peliharaan di rumah) dibawa ke dokter hewan dan para dokter hewan mengatakan semua anjing, kucing dan binatang kesayangan lainnya yang dibawa kepada mereka kasusnya sama yaitu sangat gelisah. Sayangnya dokter-dokter hewan ini hanya terheran-heran, tidak punya dugaan sama sekali akan bencana dahsyat yang akan terjadi. Dewi Wahyundari seorang dokter hewan yang sempat penulis wawancarai di Yogyakarta untuk kepentingan penulisan makalah pada 8 Maret 2007 mengatakan, memang sebenarnya perilaku binatang bisa dijadikan alat untuk mendeteksi akan adanya bencana alam. Binatang memiliki insting yang sangat tajam dan mereka akan gelisah sekali kalau sesuatu yang mengerikan akan terjadi di alam. Sayangnya, tambah Dewi Wahyundari, di Jurusan Ilmu Kedokteran Hewan di Indonesia, perilaku binatang hanya dipelajari 1 semester, sementara di Inggris dan negara-negara barat lainnya dipelajari dalam 4 semester atau lebih sehingga kurang digunakan untuk kepentingan mendeteksi bencana alam. Dokter hewan alumni Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta angkatan 1981 ini menambahkan, ketika terjadi tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, tidak ada satu pun binatang yang bebas berkeliaran mati. Yang kita lihat mati adalah binatang yang diikat atau dikurung di dalam rumah. Binatang-binatang yang bebas sudah lari ke bukit-bukit atau daerah yang tinggi beberapa waktu sebelum tsunami terjadi. Begitu pula di daerah rawan bencana seperti lereng Merapi, penduduk akan waspada dan mendeteksi bencana terjadinya letusan Merapi dengan menyaksikan turunnya binatang-binatang dari lereng Merapi. Hanya menjadi masalah adalah bagaimana kalau biantang ini turun tengah malam dalam keadaan hujan ketika masyarakat terlelap? Ini yang menyebabkan mereka tidak menyaksikan eksodus besarbesaran dari penghuni hutan Merapi seperti kera, ular saat bencana wedus gembel terjadi tahun lalu. Wilayah Timor juga merupakan jalur gempa yang berpotensi besar untuk memunculkan gelombang tsunami karena wilayah ini dikelilingi lautan. Menanam mangrove atau tanaman bakau di sepanjang pantai sangat penting untuk mengurangi korban tsunami karena tanaman ini mampu menahan gelombang setinggi 6 meter lebih, namun mengamati perilaku binatang juga merupakan alat praktis yang dapat kita kembangkan untuk mendeteksi akan munculnya bencana guna mengurangi banyaknya korban jiwa. Semua binatang, baik binatang kesayangan, binatang produksi atau binatang liar akan berperilaku sama. Mereka memiliki insting yang kuat dan akan menyelamatkan diri kalau bencana alam seperti gempa atau tsunami akan terjadi. Manusia pun sebenarnya memiliki insting seperti binatang. Hanya sayangnya, pengembangan ilmu barat yang diagungkan sebagai logika dan ketidak percayaan manusia pada indranya sendiri menyebabkan kemampuan insting manusia banyak yang mengalami penurunan. Hanya orang-orang sederhana yang tidak mengenyam bangku sekolah yang masih tajam instingnya, dan kalau kita yang berilmu mempercayai mereka, kita biasanya merasa malu. Insting atau yang biasa disebut indra keenam ini sebenarnya tetap dapat kita pelihara dengan cara rajin mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Kaum Yogi (penganut Yoga yang taat), orang-orang yang rajin meditasi, secara alamiah tanpa mereka sadari sebenarnhya selalu mengasah indra keenam ini. Mereka ini umumnya tidak memiliki kehendak yang berlawanan dengan Sang Pencipta, bahkan berhasrat untuk menyatu dan mencintai alam. Mereka mencari dan terus mencari apa yang selaras yang dikehendaki Sang Pencipta dengan mendekatkan diri pada alam. Maka melalui meditasi yang teratur, mereka lambat laun menyatu dengan alam sehingga bisa merasakan sesuatu yang dahsyat yang akan terjadi di alam ini. Bagi kita yang kini terlalu sibuk dengan urusan logika dan teknologi terjadi sebaliknya, yakni penurunan insting yang sangat besar. Kalau indra keenam kita sudah tumpul seperti ini, amati saja perilaku binatang agar kita memiliki pegangan yang dapat diandalkan untuk lari menyelamatkan diri atau tetap tenang. Mari kita pakai alat deteksi yang praktis ini, yakni mengamati perilaku biantang di sekitar kita untuk meminimalasir jumlah korban jiwa sebelum terjadi bencana alam seperti gempa atau tsunami. Maka kalau anjing-anjing di sekitar kampung kita yang biasa menggonggong dan berkelahi lenyap tak tampak satu pun, dan binatang kesayangan yang di dalam rumah sangat gelisah, kita harus waspada. Pasti akan terjadi bencana alam. Bila semua binatang berperilaku gelisah, yakinlah kita harus waspada dan lari menyelamatkan diri. Kalau mereka tidur pulas dan tenang, kita pun harus bersikap tenang dan dapat tidur dengan damai. Maka mari kita mulai menyadari juga betapa pentingnya mencintai binatang, sebagai karya yang indah dari Sang Pencipta. Dili, 12 Maret 2011 Dominica Dwikori Sitaresmi, M.A. Alumni S1 dan S2 Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. NOTE: Tulisan ini telah di publikasikan di Surat Kabar Timor Post, Kamis, 24 Maret 2011