alasan ibu memberikan makanan pendamping asi (mp

advertisement
ALASAN IBU MEMBERIKAN MAKANAN PENDAMPING ASI
(MP-ASI) DINI DENGAN PENDEKATAN TEORI HEALTH BELIEF
MODEL DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN
PESANGGRAHAN JAKARTA SELATAN TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
KIKI CHAIRANI SAPUTRI
NIM: 109101000086
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013 M/1434 H
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
Skripsi, Agustus 2013
Kiki Chairani Saputri, NIM : 109101000086
Alasan Ibu Memberikan
Makanan Pendamping ASI Dini Dengan
Pendekatan Teori Health Belief Model Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2013
xvi + 153 halaman, 6 tabel, 2 bagan, 8 lampiran
ABSTRAK
Menyusui eksklusif enam bulan adalah pemberian hanya ASI saja kepada
bayi sejak lahir sampai berumur enam bulan, tanpa tambahan cairan lain seperti
susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Dan Pemberian
makanan pendamping ASI terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pencernaan
pada bayi seperti diare, konstipasi, muntah dan alergi. Penelitian ini merupakan
lanjutan penelitian Anggraeni (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sekitar 8,9% ibu yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta
Selatan memberikan ASI eksklusif dan 91,1% ibu tidak memberikan ASI
eksklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan ibu memberikan
makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teori
health belief model. Informan penelitian ini terdiri dari ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif, keluarga terdekat yaitu suami, ibu kandung, dan ibu
mertua, dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan.
Alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini, karena ibu merasa
ASInya kurang, kembali bekerja, dan terjadi masalah dalam menyusui. Hal ini
diketahui bahwa ibu memiliki pengetahuan yang salah tentang ASI eksklusif
tetapi untuk pengetahuan tentang waktu pemberian makanan pendamping ASI ibu
mengetahui dan belum bisa meyakinkan ibu melakukan tindakan pemberian ASI
eksklusif, disamping itu adanya pengalaman, kebiasaan/adat pemberian makanan
pendamping ASI dini yang turun-temurun, dan kurangnya dukungan dari keluarga
terdekat. Sehingga berdampak kepada rendahnya persepsi ancaman ibu terhadap
penyakit yang akan ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini.
Berdasarkan hasil penelitian ini, untuk bisa meyakinkan pengetahuan yang
sudah didapatkan ibu dan menambah pengetahuan mengenai ASI eksklusif maka
melalui konseling ASI eksklusif diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan ibu
dan meyakinkan ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Daftar bacaan : 117 ( 1975 –2012)
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF PUBLIC NUTRITION
Undergraduated Thesis, Agust 2013
Kiki Chairani Saputri, NIM : 10910101000086
The Mother’s Reason for Early Complementary Feeding with Health Belief
Model Theory Approach at Working Area of Pesanggrahan Subdistrict
Health Centers District in South Jakarta Year 2013
xvi + 153 pages, 6 tables, 2 drafts, 8 appendixes
ABSTRACT
Exclusive 6 months breastfeeding is giving only breast milk (ASI) only to
infants from birth until the age of 6 months, without additional other liquid such
as infant formula, juice, honey, tea, water, and without additional solid food such
as bananas, papayas, milk porridge, biscuits, rice porridge and rice team. Giving
the complementary food too early can cause digestive disorders, diarrhea,
constipation, vomiting and allergies. This research was an advanced research from
Anggraeni (2012). The results of this research showed that 91,1% of mothers non
exclusively breastfeed their children and 8,9% of mothers exclusively breastfeed
them. This research was conducted at working area of Pesanggrahan subdistrict
health centers district in south Jakarta to find out the reason why mothers was
giving early complementary food.
This research used qualitative method with health belief model theory
approach. Samples are mothers who were not giving breastfeeding, their closest
family members such as husbands, mother, mothers in law and health workers
(midwife) of Pesanggrahan subdistrict health centers.
The mothers gave early complementary food for several reasons such as
their inability to give enough milk, complexity of working situations and
breasfeeding problems. This research shows that mothers have little knowledge
about exclusive breastfeeding, though they did have proper knowledge about the
timing for complementary feeding. It was still a hard task to encourage the
mothers to give exclusively breastfeeding; their experiences, culture and the lack
of support from family members even makes it harder. All These affects the low
awareness among mothers about the danger of disease caused by early
complementary foods.
Based on these results, more counseling are needed to support the
knowledge and awareness of the mothers about the importance of exclusive
breastfeeding.
References : 117 (1975-2012)
iii
iv
v
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Data Diri
Nama
: Kiki Chairani Saputri
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 08 Maret 1992
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Telepon
: 0813-6847-9488
Email
: [email protected]
Alamat
: Komplek Perhubungan Rayon Teratai No 4 A
RT 021 RW 004 Kecamatan Sukarami, Sumatera
Selatan. Palembang
Riwayat Pendidikan
1997 – 2003
: SD Muhammadyah 6 Palembang
2003 – 2006
: Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Palembang
2006 – 2009
: Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang
2009 – Sekarang
: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam selalu tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW karena dengan segala rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan
judul “Alasan Ibu Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Dini
dengan Pendekatan Teori Health Belief Model Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2013”
Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Selama proses penyusunan skripsi, banyak pihak yang turut membantu dan
memberikan petunjuk, dorongan, semangat, dan motivasi kepada penulis.
Sehingga pada kesempatan yang baik ini, perkenankanlah penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Ayah dan Ummi, Akhmad Nawawi dan Masayu Fauziah, yang tidak pernah
henti memberikan kasih sayang, menjadi motivator untuk menjalani kegiatan
perkuliahan ini sampai selesai, dido’a ayah ummi nama kiki pasti disebut,
terima kasih ayah ummi atas segalanya yang telah diberikan. Insyaalloh akan
kiki balas dengan segala kekuatan yang kiki punya agar bisa membahagiakan
ayah dan ummi aamin.
vii
2.
Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
Sumatera Selatan dan staf pengurus Program Beasiswa “Santri Jadi Dokter”
atas kesempatan yang begitu luar biasa sempurna ini, untuk bisa belajar dan
menimbah ilmu yang akan dipergunakan kelak dalam pengabdian kepada
masyarakat Sumatera Selatan. Menciptakan atmosfer Provinsi Sumatera
Selatan yang sehat, dan berpola pikir sehat.
3.
Bapak Prof. DR. (HC) dr. MK Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan selaku dosen
pembimbing satu skripsi, yang telah banyak memberikan dorongan, motivasi,
bantuan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.
5.
Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, selaku dosen pembimbing dua skripsi, yang
telah banyak memberikan dorongan, motivasi, bantuan dan masukannya
dalam penyelesaian skripsi ini.
6.
Sahabat-sahabat beasiswa “Santri Jadi Dokter”: Aandy Ihram, Rudianto,
Rifqy Fuady, Desly Ahdikanta, Tika Widya Sari, Nur khairani, Vita Fitria,
Nurul Komariah, Ira Sukaina, Zil Ardi, Susilowati, Fitri Nurmayanti, Putra
Mukhsinin, Seila Inayatullah, Maharani, Midun, Inti Pikria, Ani Oktavia,
Rafita Octavia, dan Etika Rahmawati, yang saling memberikan semangat dan
motivasi untuk bisa menyelesaikan skripsi ini.
7.
Sahabat-sahabat penelitian: Fitri Aryani, Nur Syamsiah, dan Desly Ahdikanta
yang telah berjuang bersama, sharing bersama dalam proses penyusunan
skripsi ini.
viii
8.
Nurul Komariah, Robi Johan, dan Mahmud Badarudin, terima kasih atas
segala tenaga dan waktunya membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini
khususnya membantu penulisan transkrip wawancara mendalam, mencari
alamat informan dan memberikan motivasi. Semoga Alloh memudahkan
langkah kalian dalam menyelesaikan skripsinya, aamin.
9.
Dulur-dulurku, Risma Oktaria, Tanti Anggriyawati, Ully Setia, Srikandi
Ningsih, dan Andriyansyah. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya
selama proses penyusunan skripsi ini, semoga Alloh memudahkan setiap
langkah kalian dalam urusan apapun, aamin.
10. Teman-teman Peminatan Kesehatan Masyarakat angkatan 2009. Peminatan
Gizi, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Manajemen Pelayanan
Kesehatan, semoga tali persaudaraan antara kita akan selalu terjaga, aamin.
11. Kak Septi, kak Ami, kak Ida, dan kak Anis, terima kasih kakak-kakak yang
sudah banyak membantu penulis dalam segala hal. Semoga Alloh
memudahkan setiap langkah kalian dalam urusan apapun, aamin.
12. Bapak Gazali yang telah banyak membantu dalam kelangsungan semuannya.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima Kasih untuk semuanya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil
penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akademis, khususnya bagi
mahasiswa Kesehatan Masyarakat, masyarakat pada umumnya dan bagi dunia
ilmu pengetahuan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Jakarta, Agustus 2013
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. i
ABSTRAK .........................................................................................................
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................
iv
PERNYATAAN PENGESAHAN .................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vii
DAFTAR ISI .....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xiv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................
xv
LAMPIRAN ......................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 12
1.3 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................
13
1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................................
14
1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................................
14
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................................
14
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 15
1.5.1 Bagi Peneliti .......................................................................................
15
1.5.2 Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan .......................................
15
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................................................
16
1.6 Ruang Lingkup ............................................................................................
16
x
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASI Eksklusif ................................................................................................ 17
2.1.1 Pengertian ASI Eksklusif .................................................................... 17
2.1.2 Manfaat ASI Eksklusif .......................................................................
20
2.1.3 Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui ............................ 25
2.2 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ......................................................... 27
2.2.1 Definisi MP-ASI ................................................................................. 27
2.2.2 Anjuran WHO tentang MP-ASI ........................................................
29
2.2.3 Jenis-Jenis MP-ASI ............................................................................
30
2.2.4 Manfaat Pemberian MP-ASI Sesuai dengan Umur............................. 31
2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pemberian MP-ASI ...............................
31
2.2.6 Implikasi Pemberian MP-ASI Dini ....................................................
33
2.2.7 Masalah-Masalah dalam Pemberian MP-ASI ....................................
34
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif ...........
36
2.3.1 Menurut Masalah dalam Menyusui ....................................................
36
2.3.2 Karakteristik Ibu .................................................................................
43
2.3.3 Hal-hal yang Berhubungan dengan Karakteristik ..............................
51
2.3.4 Penelitian Terkait Faktor-Faktor Pemberian ASI Eksklusif ............... 59
2.4 Teori Health Belief Model ............................................................................
61
2.4.1 Definisi Teori health belief model ......................................................
61
BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1 Kerangka pikir...............................................................................................
71
3.2 Definisi istilah................................................................................................ 73
xi
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian .............................................................................................
76
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................
76
4.3 Informan Penelitian ......................................................................................
76
4.4 Instrumen Penelitian .....................................................................................
76
4.5 Sumber Data .................................................................................................
77
4.6 Validasi Data ................................................................................................
77
4.7 Pengolahan Data ...........................................................................................
78
4.8 Penyajian Data ..............................................................................................
78
4.9 Analisis Data ................................................................................................. 78
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ..........................................................
79
5.1.2 Demografi Wilayah ...........................................................................
79
5.2 Karakteristik Informan .................................................................................. 80
5.2.1 Informan Utama .................................................................................. 80
5.2.2 Informan Pendukung ..........................................................................
82
5.3 Hasil Penelitian ............................................................................................. 83
5.3.1 Informan Pertama (Ibu Yu, 35 thn, 3 anak, IRT) ...............................
84
5.3.2 Informan Kedua (Ibu Si, 26 thn, 3 anak, IRT) ...................................
88
5.3.3 Informan Ketiga (Ibu Id, 37 thn, 3 anak, IRT) ...................................
91
5.3.4 Informan Keempat (Ibu Sa, 28 thn, 1 anak, PRT) ..............................
95
5.3.5 Informan Kelima (Ibu Am, 22 thn, 1 anak, Resepsionis) ................... 99
5.3.6 Informan Keenam (Ibu Ro, 28 thn, 2 anak IRT) ................................
102
5.3.7 Informan Ketujuh (Ibu Da, 35 thn, 4 anak, IRT) ................................ 106
xii
BAB IV PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................
109
6.2 Gambaran Praktek Pemberian MP-ASI Dini ................................................ 109
6.3 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Ancaman MP-ASI Dini ...............
123
6.4 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Manfaat Pemberian ASI ............... 137
6.5 Gambaran Persepsi Informan Mengenai Kendala dan Kepercayaan Diri ....
140
6.6 Gambaran Faktor Eksternal Mengenai Pemberian MP-ASI Dini ................
146
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan ......................................................................................................
151
7.2 Saran ............................................................................................................
153
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Halaman
2.1
Penelitian ASI Eksklusif
59
2.2
Konsep Teori Health Belief Model yang dikutip
65
Edberg (2009) dalam buku “Kesehatan
Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku”
3.1
Definisi Istilah
73
4.1
Validasi Sumber
77
5.1
Karakteristik Informan Utama
81
5.2
Karakteristik Informan Pendukung
83
xiv
DAFTAR BAGAN
Nomor Bagan
Halaman
2.1
Teori Health Belief Model
70
3.1
Kerangka Pikir Penelitian
72
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian
Lampiran 2
Surat Balasan Penelitian dari Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan
Lampiran 3
Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Ibu
Lampiran 4
Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Keluarga
Lampiran 5
Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Bidan
Lampiran 6
Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Ibu
Lampiran 7
Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Keluarga
Lampiran 8
Matriks Wawancara Mendalam Terhadap Bidan
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka
Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR). Menurut Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan
bahwa kematian bayi masih pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup dan
kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sama dengan
pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi
dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi
pada periode neonatus atau pada bayi yang dilahirkan kurang dari 28 hari
(SDKI, 2012).
Salah satu sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2010-2014 dan sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) 2015
melalui Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2005 dan nomor 5 tahun 2010
adalah menurunkan kematian balita sebesar dua pertiganya dari keadaan
tahun 1990 dengan indikator proksi yaitu menurunkan Angka Kematian
Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup dan menurunkan Angka
Kematian Balita (AKBal) menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes
RI, 2010).
1
2
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun
(2000), bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik
menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk
Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi. Satu dari tujuh anak balita
menderita diare, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007 menunjukkan bahwa hanya 61% anak balita yang menderita diare
diobati dengan terapi rehidrasi oral, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007 menyatakan diare sebagai penyebab 31% kematian anak antara
usia satu bulan sampai satu tahun, dan 25% kematian anak antara usia satu
sampai empat tahun (Kajian Unicef, 2012).
Peranan ASI dalam pencegahan dan terapi diare akut pada anak,
karena di dalam ASI terdapat berbagai komponen yang penting baik dalam
pencegahan maupun dalam terapi diare akut. Sehingga pada anak-anak yang
minum ASI lebih jarang sakit diare daripada anak yang minum susu
formula. Penelitian di Kanada membuktikan bahwa ASI melindungi bayi
terhadap infeksi saluran pencernaan dan pernapasan dalam 6 bulan pertama
kehidupan. Demikian pula dengan penelitian di California menunjukkan
bahwa angka kejadian diare pada anak yang minum ASI 50% lebih rendah
dari yang minum susu formula. Di samping itu kalau anak yang minum ASI
menderita diare, bila ASI diteruskan pada penatalaksanaan diare, maka diare
akan lebih cepat berhenti (Gibney, 2009).
Hasil penelitian Roesli (2000) menunjukkan bahwa bayi yang tidak
diberi ASI eksklusif mempunyai kemungkinan 14,2 kali lebih sering terkena
diare dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat
3
disebabkan karena ASI mengandung nilai gizi yang tinggi, adanya antibodi,
sel-sel leukosit, enzim, hormon, dan lain-lain yang melindungi bayi
terhadap berbagai infeksi.
Pada tahun 1991, pertemuan bersama antara perwakilan World Health
Organization (WHO) dan The United Nations Children’s Fund (UNICEF)
yang puncaknya dalam bentuk Deklarasi Innocenti tentang perlindungan,
promosi, dan dukungan pada pemberian ASI yang mendefinisikan
pemberian makan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai
dari saat lahir hingga usia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua
kehidupan sementara, makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika
bayi berusia sekitar 6 bulan. Selanjutnya, WHO menyelenggarakan
konvensi Expert Panel Meeting yang meninjau lebih dari 3000 makalah
riset dan menyimpulkan sebagai rekomendasi populasi bahwa periode 6
bulan merupakan usia bayi yang optimal untuk pemberian ASI eksklusif.
Kesimpulan ini diadopsi sebagai resolusi World Health Assembly (WHA)
pada bulan Mei 2001 (Gibney, 2009).
Pemberian Air Susu Ibu atau ASI eksklusif makin leluasa dilakukan
menyusul lahirnya PP nomor 33 tahun 2012. Peraturan pemerintah yang
disahkan bulan maret lalu, juga menegaskan ASI tetaplah susu terbaik bagi
bayi bersangkutan kelak sebagai anak yang cerdas. Pelaksanaan pemberian
ASI eksklusif, yaitu hanya memberikan ASI saja sampai 6 bulan, menyusui
dimulai 30 menit setelah bayi lahir, tidak memberikan cairan atau makanan
lain selain ASI kepada bayi yang baru lahir, menyusui sesuai kebutuhan
bayi, memberikan kolostrum (ASI yang keluar pada hari pertama yang
4
mempunyai nilai gizi tinggi), dan cairan lain yang boleh diberikan hanya
vitamin, mineral obat dalam bentuk drop atau sirup (Kemenkes RI, 2012).
ASI mengandung immunoglubin terutama Ig A dan terdapat banyak
dalam kolostrum. Selama dua minggu, ASI mengandung 4000 sel/ml yang
mengeluarkan Ig A (bekerja di usus dalam menahan bakteri tertentu dan
virus), laktoferin (mengikat zat besi sehingga bakteri tidak menyerap
mineral tersebut), lisozim (menghancurkan sejumlah bakteri berbahaya dan
berbagai virus), dan interferon (menghambat aktivitas bakteri dan virus
tertentu). Kebutuhan ASI sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi
yang berubah dan sesuai dengan kebutuhan bayi pada setiap saat (Suhardjo,
1992).
Laktoferin dengan Ig A bersama-sama mempunyai pengaruh sinergis
yang bersifat bakteriostatik. Pemberian ASI pada bayi merangsang
pertumbuhan bifidobacterium spp, yang merupakan flora utama usus.
Bifidobacterium spp menghasilkan suasana asam yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan lactobacillus sp dan untuk meningkatkan ketahanan saluran
pencernaan terhadap infeksi (Worthtington, 2000).
Hasil penelitian dari Oxford University dan Institute for Social and
Economic Research sebagaimana dilansir Daily Mail, menyebutkan bahwa
anak bayi yang mendapat ASI eksklusif akan tumbuh menjadi anak yang
lebih pintar dalam membaca, menulis, dan matematika. Salah satu peneliti,
Maria Lacovou mengemukakan asam lemak rantai panjang (long chain fatty
acids) yang terkandung di dalam ASI membuat otak bayi berkembang
(Kajian Unicef, 2012). ASI sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
5
perkembangan kecerdasan anak. Menurut penelitian, anak-anak yang tidak
diberi ASI mempunyai IQ (intellectual quotient) lebih rendah 7-8 poin
dibandingkan dengan anak-anak yang diberi ASI secara eksklusif (Yuliarti,
2010).
Mengingat bahwa kecerdasaan anak berkaitan erat dengan otak maka
jelas bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kecerdasan
adalah pertumbuhan otak. Dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai
bayi berusia 6 bulan akan menjamin tercapainya pengembangan potensi
kecerdasan
anak
secara optimal.
Nutrien
yang diperlukan
untuk
pertumbuhan otak bayi yang tidak ada atau sedikit sekali terdapat pada susu
sapi, antara lain: taurin, laktosa, dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AA,
omega-3, omega-6) merupakan asam lemak utama dari ASI yang hanya
terdapat sedikit dalam susu sapi (Roesli, 2000).
Hasil penelitian dr. Lucas (1993) terdapat 300 bayi prematur
membuktikan bahwa bayi prematur yang diberi ASI eksklusif mempunyai
IQ yang lebih tinggi secara bermakna (8,3 poin lebih tinggi) dibanding bayi
prematur yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva (1997) ditemukan
bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai
tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak
diberi ASI eksklusif (Roesli, 2000).
Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tercatat bahwa cakupan ASI eksklusif sebesar 38% (SDKI, 2007), menurun
dari kondisi tahun 2002-2003 yaitu 39,5% dari keseluruhan bayi. Sementara
jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula telah meningkat dari
6
16,7% (SDKI, 2002-2003) menjadi 27,9% (SDKI, 2007). Kondisi tersebut
menggambarkan bahwa pelaksanaan pemberian ASI eksklusif di Indonesia
masih sulit dilaksanakan (Fikawati dan Syafiq, 2009).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan
bahwa persentase bayi yang menyusu eksklusif sampai 6 bulan adalah
15,3% dari 22,3% bayi yang dalam 24 jam terakhir bayi hanya
disusui/diberi ASI saja dan sejak lahir sampai saat survei bayi belum diberi
makanan/minuman
selain
ASI,
sebenarnya
ada
7%
bayi
diberi
makanan/minuman pada awal kelahiran sebelum ASI keluar, sehingga bayi
yang menyusu eksklusif sampai 6 bulan adalah 15,3%.
Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and Health
Surveillance System (NSS) bekerjasama dengan Balitbangkes dan Hellen
Keller international di 4 kota ( Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar ) dan
8 pedesaan (Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Banten,
Jawa Timur, NTB, Sulawesi Selatan), menunjukan bahwa cakupan ASI
eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4-12%, sedangkan di pedesaan
4-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan antara 1-13%,
sedangkan di pedesaan 2-13%. Hanya 14% ibu di Tanah Air yang
memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai enam
bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang
dari dua bulan (Depkes RI, 2004).
Sedangkan berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta tahun 2009, diketahui bahwa jumlah bayi yang mendapat ASI
eksklusif di Provinsi DKI Jakarta sebesar 34%. Data per-wilayah Kota
7
Provinsi DKI Jakarta menunjukkan cakupan ASI eksklusif tertinggi yaitu
Jakarta Utara dengan persentase sebesar 60%. Kemudian tertinggi kedua
yaitu Jakarta Selatan dan Kepulauan Seribu dengan persentase sebesar 46%
(Dinkes DKI Jakarta, 2009).
Adanya kecenderungan penurunan data pemberian ASI eksklusif,
kemudian meningkatnya pemberian makanan/minuman kepada bayi
dibawah 6 bulan, menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif
di Indonesia masih jauh dari target nasional yang harus dicapai pada tahun
2015 yaitu sebesar 80%. Pemberian makanan/minuman kepada bayi
dibawah 6 bulan dapat disebut dengan pemberian makanan pendamping ASI
dini (Gibney, 2009). Makanan pendamping ASI adalah makanan atau
minuman yang mengandung gizi, diberikan pada bayi atau anak yang
berumur 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya (Depkes RI, 2006).
Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu
pemberian,
frekuensi,
jenis,
jumlah
bahan
makanan,
dan
cara
pembuatannya. Kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, salah
satunya adalah pemberian makanan terlalu dini. Pemberian makanan terlalu
dini dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah,
dan sulit buang air besar (Cott, 2003 dalam Padang, 2008).
Secara teoritis diketahui bahwa pemberian makanan pendamping ASI
terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pencernaan pada bayi seperti
diare, konstipasi, muntah dan alergi. Di samping itu akan mempengaruhi
tingkat kecerdasan anak setelah usia dewasa seperti memicu terjadinya
penyakit obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung koroner (Nadesul, 2005).
8
Penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Wonosobo,
Provini Jawa Tengah, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada
bayi sebelum usia 1 bulan mencapai 32,4% dan pada usia tersebut
didapatkan sebesar 66,7% jenis makanan yang diberikan adalah pisang
(Litbangkes, 2003).
Ansori (2002) yang meneliti hubungan umur pertama kali pemberian
makanan pendamping ASI dengan status gizi berumur 6-12 bulan
menemukan bahwa bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI
pada umur di bawah 4 bulan akan mendapatkan risiko gizi kurang 5,221 kali
dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan pendamping ASI dini pada
umur 4-6 bulan setelah dikontrol dengan asupan energi. Selain itu, umur
pertama kali pemberian ASI sangat penting dalam menentukan status gizi
bayi. Makanan prelakteal maupun makanan pendamping ASI dini
mengakibatkan kesehatan bayi menjadi rapuh. Secara nyata, hal ini terbukti
dengan terjadinya gagal tumbuh (growth faltering) yang terus kontinu
terjadi sejak umur 3 bulan sampai anak mencapai umur 18 bulan.
WHO dan UNICEF pada tahun 2003 melaporkan bahwa 60%
kematian balita langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh kurang
gizi, dan dua per tiga dari kematian tersebut terkait dengan praktik
pemberian makanan yang kurang tepat pada bayi dan anak (Depkes RI,
2009). Selain itu makanan prelakteal seperti madu, air teh, air tajin, dan
pisang sangat berbahaya bagi kesehatan bayi. Makanan padat seperti pisang
dapat menyebabkan sumbatan saluran pencernaan dan menyebabkan
kematian berkisar 5,1% (Wiryo, 1998) dan pemberian makanan prelakteal
9
seperti madu juga berbahaya karena di dalam madu terdapat kandungan
colustrum botulinum spora yang dapat membahayakan dan mematikan.
Pemberian makanan prelakteal adalah makanan yang diberikan kepada bayi
sebelum ASI keluar (Depkes RI, 2009).
Hasil penelitian Irawati tahun 2004, jenis makanan pendamping ASI
dini yang dikonsumsi bayi antara lain pisang, susu formula (bubuk dan
kental manis), biskuit, bubur beras, makanan bayi produk industri (SUN,
Promina dan Milna), dan nasi lumat. Ada tiga alasan di daerah Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat ibu memberikan makanan
pendamping ASI dini adalah mengikuti saran orang tua yang merupakan
tradisi di daerah tersebut, kebiasaan tersebut sesuai dengan budaya
masyarakat pedesaan bahwa pola pemberian makanan bayi termasuk
pemberian makanan pendamping ASI pada bayi di awal kehidupan bayi,
merupakan praktek turun temurun yang diajarkan dari leluhur ke orang tua
dan berlanjut ke generasi lebih muda (Suhardjo, 1989) kemudian ada
kekhawatiran bahwa ASI saja tidak cukup bagi bayi, dan dengan memberi
makanan pendamping ASI dini dimaksudkan agar bayi lebih kuat dan cepat
besar.
Hasil penelitian YLKI (1995) terhadap ibu-ibu se-Jabotabek yang
dikutip Roesli (2000) menunjukkan alasan pertama (31,7%) menghentikan
pemberian ASI pada anaknya adalah takut ditinggal suami. Hal ini
disebabkan persepsi yang salah yaitu menyusui akan mengubah bentuk
payudara menjadi jelek. Padahal sebenarnya yaitu mengubah bentuk
payudara adalah kehamilan dan bukan akibat menyusui. Adanya persepsi
10
yang salah di masyarakat tentang pemberian ASI seperti adanya anggapan
menyusui akan mengurangi kecantikan, turut menpengaruhi penurunan
jumlah ibu yang memberikan ASI. Hal ini dapat merugikan kampanye ASI
yang sudah digalakan 10 tahun terakhir (Roesli, 2000).
Persentase yang besar mengenai perempuan yang dilaporkan memiliki
persepsi ketidakcukupan ASI merupakan masalah yang paling umum terjadi
dalam pemberian ASI dan juga menjadi alasan utama ibu berhenti menyusui
pada usia bayi yang masih dini. Belum diketahui prevalensi yang pasti dari
persepsi ketidakcukupan ASI (diperkirakan antara 30-80% dari ibu
menyusui,
namun
banyak
peneliti
menyimpulkan
bahwa
persepsi
ketidakcukupan ASI tersebut merupakan alasan ibu untuk memberikan
makanan tambahan lebih awal kepada bayinya (Gatti, 2008).
Dari paparan yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini
di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun
2013. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Anggraeni (2012),
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada ibu yang melahirkan
di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2012, ibu
yang tidak memberikan ASI eksklusif sebesar 91,1%. Sedangkan 8,9% ibu
memberikan ASI eksklusif. Hal ini diketahui bahwa ibu sudah memberikan
makanan/minuman tambahan kepada bayi di bawah usia 6 bulan, dari 39
responden ibu yang memberikan makanan dan minuman tambahan, sebesar
8,9% memberikan madu, sebesar 22,2% memberikan air putih, sebesar
2,2% memberikan pisang. Sedangkan ibu yang memberikan madu, air putih
11
dan pisang yaitu sebesar 20%, yang memberikan madu dan air putih sebesar
24,4%, dan yang memberikan memberikan air putih dan pisang sebesar
8,9%.
Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Tahun 2011
diketahui cakupan ASI eksklusif di Jakarta Selatan sebesar 43,7%.
Sedangkan di wilayah puskesmas Kecamatan Pesanggrahan cakupan ASI
eksklusif sebesar 51,2%. Hal ini juga masih lebih rendah dari target nasional
yang ditetapkan yaitu sebesar 80%.
Melalui pendekatan teori health belief model dengan studi kualitatif,
peneliti mencoba untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan
yang dilakukan individu. Teori health belief model memiliki 4 komponen
yang menggambarkan persepsi terhadap pencegahan dan manfaatnya yaitu
perceived
susceptibility,
perceived
seriousness,
perceived
benefits,
perceived barriers. Sedangkan cues to action dipengaruhi faktor eksternal
dalam menentukan perilaku kesehatan. Perceived susceptibility (persepsi
terkena penyakit) dan perceived seriousness (persepsi keseriusan) dapat
mempengaruhi persepsi terhadap ancaman penyakit. Demikian halnya
dengan cues to action dan faktor modifikasi (demografis, struktural, dan
sosiopsikologis) juga dapat berpengaruh pada persepsi terhadap ancaman
penyakit yang berhubungan langsung dengan kecenderungan seseorang
untuk melakukan perilaku kesehatan. Sedangkan perceived benefits
(persepsi terhadap manfaat) dan perceived barriers (persepsi terhadap
kendala) merupakan prediktor utama dalam health belief model yang
memiliki dampak sangat besar pada kecenderungan perilaku kesehatan
12
seseorang (Pender, et al, 2002). Pada tahun 1988, Rosenstock, Strecher dan
Becker menambahkan komponen self-efficacy (kepercayaan diri) untuk
menyempurnakan konsep teori health belief model. kepercayaan diri dalam
teori health belief model merupakan suatu kepercayaan seseorang akan
kemampuannya melakukan tindakan (Glanz, 2008).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan profil Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2011,
diketahui cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan sebesar 51,2%. Ditambah dengan hasil
penelitian Anggraeni tahun 2012 menunjukkan gambaran perilaku
pemberian ASI eksklusif pada ibu yang melahirkan di Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2012 hanya sebesar 8,9%
dan sebesar 91,1% perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif.
Perilaku ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif ini diketahui karena ibu
memberikan makanan pendamping ASI dini. Hal ini menunjukkan bahwa
cakupan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan belum mencapai target nasional sebesar 80%.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Anggraeni (2012),
yaitu peneliti ingin mengetahui alasan ibu mengapa memberikan makanan
pendamping ASI dini, dengan pendekatan teori health belief model melalui
studi kualitatif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2013.
13
1.3
Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI
dini dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013?
1.3.2 Bagaimana gambaran persepsi ibu terhadap ancaman dari pemberian
makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori health belief
model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun
2013?
1.3.3 Bagaimana gambaran persepsi ibu mengenai manfaat yang
didapatkan dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan
teori health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan tahun 2013?
1.3.4 Bagaimana gambaran persepsi ibu mengenai kendala yang dihadapi
ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health
belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
tahun 2013?
1.3.5 Bagaimana gambaran kepercayaan diri ibu dalam memberikan ASI
eksklusif dengan pendekatan teori health belief model di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013?
1.3.6 Bagaimana gambaran cues to action (faktor eksternal) dari
pemberian makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori
health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan tahun 2013?
14
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini
dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya
gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini
dengan pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
1.4.2.2 Diketahuinya gambaran persepsi ibu terhadap ancaman dari
pemberian
makanan
pendamping
ASI
dini
dengan
pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
1.4.2.3 Diketahuinya gambaran persepsi ibu mengenai manfaat yang
didapatkan dalam memberikan ASI eksklusif dengan
pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
1.4.2.4 Diketahuinya gambaran persepsi ibu mengenai kendala yang
dihadapi ibu dalam memberikan ASI eksklusif dengan
pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
15
1.4.2.5 Diketahuinya
gambaran
kepercayaan
diri
ibu
dalam
memberikan ASI eksklusif dengan pendekatan teori health
belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan tahun 2013.
1.4.2.6 Diketahuinya gambaran cues to action (faktor eksternal) dari
pemberian
makanan
pendamping
ASI
dini
dengan
pendekatan teori health belief model di wilayah kerja
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan tahun 2013.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Sebagai pengembangan kompetensi diri, disiplin ilmu yang didapat
selama perkulihan, serta menambah wawasan dan pengalaman dalam
melakukan penelitian kesehatan masyarakat.
1.5.2 Bagi Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
1.5.2.1 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai penyebab keberhasilan dan kegagalan pemberian
ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013.
1.5.2.2 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan
kepada bagian pemegang atau koordinator program KIA dan
Gizi dalam meningkatkan penyuluhan mengenai pemberian
ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013.
16
1.5.2.3 Hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai sarana mencari
akar masalah atau kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan
program ASI eksklusif sehingga memudahkan menyelesaikan
permasalahan rendahnya cakupan ASI eksklusif dengan baik.
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian dapat memberikan gambaran atau informasi dasar
untuk peneliti selanjutnya agar menggunakan pendekatan teori-teori
perilaku kesehatan lainnya.
1.6
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui alasan ibu memberikan
makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan pada bulan Mei-Juni 2013. Penelitian ini menggunakan studi
kualitatif dengan pendekatan teori health belief model melalui wawancara
mendalam (indepth interview) terhadap ibu yang tidak memberikan ASI
eksklusif, keluarga terdekat (ibu kandung, ibu mertua, dan suami) dan
tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1
ASI Eksklusif
2.1.1 Pengertian ASI Eksklusif
ASI eksklusif menurut World Health Organization (WHO)
adalah pemberian ASI saja (tanpa tambahan cairan lain, seperti susu
formula, jeruk, madu, air teh, air putih, maupun makanan lain, seperti
pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, nasi tim, dan lain-lain), hingga
bayi berusia 6 bulan (Roesli, 2000). Dan menurut Kementerian
Kesehatan RI (2012) dalam Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun
2012, ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain.
WHO/UNICEF membuat deklarasi yang dikenal dengan
deklarasi Innocenti (innocenti declaration). Deklarasi yang dilahirkan
di Innocenti, Italia tahun 1990 ini bertujuan untuk melindungi,
mempromosikan, dan memberi dukungan pada pemberian ASI.
Deklarasi yang juga ditandatangani Indonesia ini memuat hal-hal
berikut (Roesli, 2000).
Sebagai tujuan global untuk meningkatkan kesehatan dan mutu
makanan bayi secara optimal maka semua ibu dapat memberikan ASI
eksklusif dan semua bayi diberi ASI eksklusif sejak lahir sampai
berusia 4-6 bulan. Setelah berumur 4-6 bulan, bayi diberi makanan
17
18
pendamping/padat yang benar dan tepat, sedangkan ASI tetap
diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih. Pemberian makanan untuk
bayi yang ideal seperti ini dapat dicapai dengan cara menciptakan
pengertian serta dukungan dari lingkungan sehingga ibu-ibu dapat
menyusui secara eksklusif (Roesli, 2000).
Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun,
(UNICEF) memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu
pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama
World Health Assembly (WHA) dan banyak negara lainnya adalah
menetapkan jangka waktu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
(Roesli, 2000).
Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan
tambahan sampai usia 6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus
dibenarkan untuk mulai memberi makanan padat setelah bayi berumur
4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi
peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau
didapatkan tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI
eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberi makanan
tambahan, sebaiknya coba perbaiki dahulu cara menyusuinya.
Cobalah
hanya
memberinya
ASI
saja
tanpa
memberi
minuman/makanan lain. Selain itu, bayi harus sering disusui,
perhatikan posisi menyusui, dan jangan diberi dot atau empeng.
Secara umum usahakan dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan
sebaik mungkin. Apabila setelah 1-2 minggu ternyata upaya perbaikan
19
di atas tidak menyebabkan peningkatan berat badan, barulah
dipikirkan pemberian makanan tambahan/padat bagi bayi berusia di
atas 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan (Roesli, 2000).
Terlepas dari isi rekomendasi baru UNICEF tadi, masih ada
pihak yang tetap mengusulkan pemberian makanan padat mulai pada
usia 4 bulan sesuai dengan isi Deklarasi Innocenti (1990), yaitu
“Hanya diberikan ASI sampai bayi berusia 4-6 bulan”. Namun,
pengetahuan terakhir tentang efek negatif pemberian makanan padat
yang terlalu dini telah cukup menunjang pembaharuan definisi ASI
eksklusif menjadi, “ASI saja sampai usia sekitar 6 bulan” (Roesli,
2000).
Konvensi hak-hak anak tahun 1990 antara lain menegaskan
bahwa tumbuh kembang secara optimal merupakan salah satu hak
anak. ASI selain merupakan suatu kebutuhan juga menjadi hak azasi
bayi yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Hal ini telah
dipopulerkan pada pekan ASI sedunia tahun 2000 dengan tema:
“memberi ASI adalah hak azasi ibu, mendapat ASI adalah hak azasi
bayi” (Anonim, 2003).
ASI sebagai makanan yang alamiah juga merupakan makanan
terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru
dilahirkannya dan komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi
serta ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari
bayi dari berbagai penyakit (Roesli, 2000).
20
2.1.2 Manfaat ASI Eksklusif
Menurut Roesli (2000), manfaat ASI eksklusif bagi bayi dan ibu
adalah sebagai berikut:
a. Manfaat ASI eksklusif bagi bayi
1) ASI sebagai nutrisi
ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan
komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi. ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna
baik kualitas maupun kuantitasnya. Dengan tatalaksana menyusui
yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi
kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia enam bulan. Setelah
usia enam bulan, bayi harus mulai diberi makanan padat, tetapi ASI
dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.
Komposisi ASI dari seorang ibu juga berbeda-beda dari hari
ke hari. ASI yang keluar pada saat kelahiran sampai hari ke-4 atau
ke-7 (kolostrum) berbeda dengan ASI yang keluar dari hari ke4/ke-7 sampai hari ke 10/ke-14 setelah kelahiran (ASI transisi).
Komposisi ini akan berbeda lagi setelah hari ke-14 (ASI matang).
Bahkan terdapat pula perbedaan komposisi ASI dari menit ke
menit. ASI yang keluar pada menit-menit pertama menyusui
disebut foremillk, sedangkan ASI yang keluar pada saat akhir
menyusui disebut hindmilk.
21
2) ASI meningkatkan daya tahan tubuh bayi
Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin
(zat kekebalan tubuh) dari ibunya melalui ari-ari namun, kadar zat
ini akan cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi
sendiri baru membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga
mencapai kadar protektif pada waktu berusia 9 sampai 12 bulan.
Pada saat kadar zat kekebalan bawaan menurun, sedangkan yang
dibentuk oleh badan bayi belum mencukupi, maka akan terjadi
kesenjangan zat kekebalan pada bayi. Kesenjangan akan hilang
atau berkurang apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan
hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi
dari berbagai penyakit infeksi, bakteri, virus, parasit dan jamur.
Dari hasil penelitian Kramer dan Kakuma (2003), didapatkan
hasil bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dapat
menurunkan risiko infeksi pencernaan, tidak menyebabkan alergi
serta efek samping pada pertumbuhan bayi (WHO, 2011).
3) ASI eksklusif meningkatkan kecerdasan
Mengingat bahwa kecerdasan anak berkaitan erat dengan
otak, maka jelas bahwa faktor utama yang mempengaruhi
perkembangan kecerdasan adalah pertumbuhan otak. Sementara
itu, faktor terpenting dalam proses pertumbuhan termasuk
pertumbuhan otak adalah nutrisi yang diberikan. Kesempatan ini
hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya agar otak bayi dapat
tumbuh optimal.
22
Dengan memberikan ASI secara eksklusif sampai bayi
berusia enam bulan, akan menjamin tercapainya pengembangan
potensi kecerdasan anak secara optimal. Hal ini karena selain
sebagai nutrien yang ideal dengan komposisi yang tepat serta
disesuaikan dengan kebutuhan bayi, ASI juga mengandung nutriennutrien khusus yang diperlukan otak bayi agar tumbuh optimal.
Nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi diantaranya
adalah :
a) Taurin
Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam
ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmitter dan berperan
penting untuk proses maturasi sel otak (Depkes RI, 2005).
Taurin merupakan bahan baku untuk pertumbuhan sel otak,
retina dan konjugasi bilirubin. Pada bayi baru lahir biasanya
menunjukkan peningkatan bilirubin karena mereka baru
mendapat trauma pada saat melalui jalan lahir (adanya
perdarahan) sedangkan usus bayi belum mampu menyintesis
vitamin K untuk proses pembekuan darah. ASI mengandung
taurin cukup tinggi dibanding dalam susu sapi, ini akan sangat
membantu sistem tubuh untuk melakukan konjugasi. Artinya
ASI dapat mengurangi atau kadar bilirubin yang tinggi dalam
tubuh bayi. Sedangkan vitamin K yang dibutuhkan untuk
membantu proses pembekuan darah dibantu asupannya dari luar
(Purwanti, 2003).
23
b) Laktosa
Merupakan hidrat arang utama dari ASI yang hanya sedikit
sekali terdapat pada susu sapi (Depkes RI, 2005). Hidrat arang
dalam ASI merupakan nutrisi yang vital untuk pertumbuhan sel
saraf otak dan pemberi kalori untuk kerja sel-sel saraf,
memudahkan penyerapan kalsium, mempertahankan faktor
bifidus di dalam usus, dan mempercepat pengeluaran kolostrum
sebagai antibodi bayi (Purwanti, 2003).
c) DHA, AA, Omega 3, Omega 6
Merupakan asam lemak utama dari ASI yang hanya terdapat
sedikit dalam susu sapi. Hasil penelitian dr. Lucas (1993)
terhadap 300 bayi prematur membuktikan bahwa bayi-bayi
prematur yang diberi ASI eksklusif mempunyai IQ yang lebih
tinggi secara bermakna (8,3 poin lebih tinggi) dibanding bayi
prematur yang tidak diberi ASI. Penelitian dr. Riva (1997)
ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia
9,5 tahun tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang
ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif.
d) ASI meningkatkan jalinan kasih sayang
Dekapan ibu ketika menyusui membuat bayi merasakan kasih
sayang ibunya, merasa aman dan tentram. Perasaan terlindung
inilah yang akan menjadi dasar perkembangan emosi bayi dan
membentuk kepribadian yang percaya diri dan dasar spiritual
yang baik.
24
b. Manfaat ASI eksklusif bagi ibu
Selain bermanfaat untuk bayi, ASI eksklusif juga dapat
bermanfaat bagi ibu. Berikut ini manfaat ASI eksklusif bagi ibu :
1) Mengurangi perdarahan setelah melahirkan
Apabila bayi disusui segera setelah dilahirkan, maka
kemungkinan terjadinya perdarahan setelah melahirkan akan
berkurang. Hal tersebut karena pada ibu menyusui terjadi
peningkatan kadar hormon oksitosin yang berguna untuk
konstraksi/penutupan pembuluh darah sehingga perdarahan akan
lebih cepat berhenti.
2) Menjarangkan kehamilan
Menyusui merupakan cara kontrasepsi yang aman. Selama
ibu memberi ASI eksklusif dan belum haid, 98% kehamilan tidak
akan terjadi sampai pada enam bulan pertama setelah melahirkan
dan tidak akan hamil sampai bayi berusia 12 bulan.
3) Mengurangi kemungkinan menderita kanker, seperti kanker
payudara dan kanker indung telur.
Pada ibu yang memberikan ASI eksklusif sampai dua tahun
atau lebih, diduga angka kejadian kanker payudara akan berkurang
sampai 25%. Beberapa penelitian menemukan juga bahwa
menyusui akan melindungi ibu dari penyakit kanker indung telur
pada ibu yang menyusui berkurang sampai 20-25%.
25
2.1.3 Sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui
Dalam rangka menjamin hak bayi, Kementerian Kesehatan telah
menetapkan program
Sepuluh
Langkah Menuju
Keberhasilan
Menyusui (10 LMKM) melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian air susu ibu (ASI) secara
eksklusif pada bayi di Indonesia. Penetapan program tersebut
diutamakan pada fasilitas pelayanan kesehatan khususnya yang
memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan anak (Depkes, 2010).
Pelaksanaan sepuluh langkah keberhasilan menyusui di fasilitas
kesehatan melindungi para ibu mendapatkan segala bantuan dan
dukungan yang dibutuhkan untuk keberhasilan menyusui, dimulai
pada saat pelayanan ibu hamil hingga setelah melahirkan (Depkes,
2010).
Sepuluh langkah keberhasilan menyusui jika diterapkan
diseluruh fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit, klinik
bersalin, fasilitas pelayanan kesehatan umum maupun swasta, sekitar
dua juta bayi atau separuh dari jumlah bayi yang lahir setiap tahun
di Indonesia akan mendapatkan hak mereka terhadap inisiasi menyusu
dini dan ASI eksklusif (Depkes, 2010).
Berikut ini adalah Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan
Menyusui (10 LMKM), yaitu :
1. Fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai kebijakan peningkatan
pemberian Air Susu Ibu (PP-ASI) tertulis yang secara rutin
dikomunikasikan kepada semua petugas.
26
2. Melakukan pelatihan bagi petugas dalam hal pengetahuan dan
keterampilan untuk menerapkan kebijakan tersebut.
3. Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui
dan penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi
lahir sampai umur dua tahun termasuk cara mengatasi kesulitan
menyusui.
4. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah
melahirkan, yang dilakukan di ruang bersalin. Apabila ibu
mendapat operasi caesar, bayi disusui setelah 30 menit ibu sadar.
5. Membantu ibu bagaimana cara menyusui yang benar dan cara
mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas
indikasi medis.
6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI
kepada bayi baru lahir.
7. Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama
bayi 24 jam sehari.
8. Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan
terhadap lama dan frekuensi menyusui.
9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.
10. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI (KP-ASI)
dan rujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari rumah
sakit/rumah bersalin/fasilitas pelayanan kesehatan.
27
2.2
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
2.2.1 Definisi MP-ASI
Menurut Depkes (2006) Makanan Pendamping Air Susu Ibu
(MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi,
diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi
kebutuhan zat gizi selain ASI. Pemerintah Indonesia mengeluarkan
keputusan baru soal pemberian ASI eksklusif (Permenkes nomor
45/MENKES/SK/VI/2004) sejak bayi lahir sampai dengan bayi
berumur 6 bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia
2 tahun dengan makanan tambahan yang sesuai. Pemerintah mengatur
pula makanan pendamping ASI (MP-ASI) dalam peraturan nomor
23/1997. MP-ASI merupakan makanan pendamping ASI bukan
sebagai makanan pengganti ASI.
Semakin meningkat umur bayi atau anak, kebutuhan akan zat
gizi semakin bertambah karena proses tumbuh kembang, sedangkan
ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi. MP-ASI
merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga.
Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap
baik
bentuk
maupun jumlahnya, sesuai
dengan kemampuan
pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam
kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan
perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode
ini (Depkes RI, 2000).
28
Tanda – tanda bayi siap menerima makanan pendamping ASI
adalah bayi yang lebih rewel dari biasanya, jangka waktu menyusui
menjadi lebih sering, terlihat antusias ketika melihat orang di sekitar
sedang makan. Ciri lainnya, bayi mulai memasukkan tangannya ke
mulut, mulai bisa didudukkan dan mampu menegakkan kepala serta
kemampuan refleks bayi dalam menelan mulai baik. Perkembangan
fungsi pencernaan bayi perlu diperhatikan dengan baik. jika
kemampuan refleks menelan bayi belum berkembang dan bayi belum
bisa menegakkan kepala sebaiknya pemberian makanan pendamping
ASI ditunda terlebih dahulu hingga bayi siap. Pengenalan dan
pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik waktu,
bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan
bayi atau anak (Sutomo, 2010).
Berdasarkan Gibney tahun 2009 makanan pendamping ASI
(MP-ASI) dini adalah makanan/minuman yang diberikan kepada bayi
sebelum berusia 6 bulan. WHO mendefinisikan ASI eksklusif bila
bayi hanya mendapat ASI tanpa tambahan makanan dan atau
minuman lain, kecuali vitamin, mineral dan obat-obatan (Gibney,
2009). Bayi yang mendapat ASI dan mendapat MP-ASI berupa cairan
termasuk vitamin, mineral dan obat-obatan didefinisikan sebagai
predominant breast-feeding. Bayi yang mendapat ASI dan mendapat
MP-ASI berupa makanan padat, semi padat dan atau cairan termasuk
vitamin, mineral dan obat-obatan didefinisikan sebagai partial breastfeeding (WHO, 2003 dalam Irawati, 2004).
29
2.2.2 Anjuran WHO tentang MP-ASI
Sebelum tahun 2001, WHO merekomendasikan bahwa bayi
harus ASI eksklusif selama 4 - 6 bulan dengan pengenalan makanan
pendamping (cairan atau makanan lain selain air susu ibu) setelahnya.
Pada tahun 2001, setelah review dan ahli konsultasi sistematis, saran
ini berubah, dan ASI eksklusif adalah sekarang direkomendasikan
untuk 6 bulan pertama kehidupan. WHO membandingkan keuntungan
dari pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dengan ASI eksklusif
selama 4 bulan, dan hasil review menyimpulkan bahwa bayi ASI
eksklusif selama 6 bulan akan menurunkan morbiditas dan mortalitas
penyakit menular, terutama karena infeksi pencernaan (penyakit diare)
(WHO, 2001).
Pemberian makan setelah bayi berusia 6 bulan memberikan
perlindungan besar dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan
imunitas bayi > 6 bulan sudah lebih sempurna dibandingkan umur
bayi < 6 bulan. Pemberian MP-ASI dini sama saja dengan membuka
gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit. Hasil riset
menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum
berumur 6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek,
dan panas dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif
(Williams, L dan Wilkins, 2006).
Saat bayi berusia 6 bulan atau lebih, sistem pencernaannya
sudah relatif sempurna dan siap menerima MP-ASI. Beberapa enzim
pemecah protein seperti asam lambung, pepsin, lipase, amilase baru
30
akan diproduksi sempurna. Saat bayi berusia kurang dari 6 bulan,
sel-sel di sekitar usus belum siap menerima kandungan dalam
makanan, sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi
imun dan terjadi alergi. Menunda pemberian MP-ASI hingga 6 bulan
melindungi bayi dari obesitas dikemudian hari. Bahkan pada kasus
ekstrim pemberian MP-ASI dini dapat menyebabkan penyumbatan
saluran cerna dan harus dilakukan pembedahan (Gibney, 2009).
2.2.3 Jenis-jenis MP-ASI
Jenis makanan pendamping ASI (MP-ASI) baik tekstur,
frekuensi, dan porsi makan harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak usia 6-24 bulan.
Kebutuhan energi dari makanan adalah sekitar 200 kkal per hari untuk
bayi usia 6-8 bulan, 300 kkal per hari untuk bayi usia 9- 11 bulan, dan
550 kkal per hari untuk anak usia 12-23 bulan (Depkes RI, 2000).
MP-ASI pertama sebaiknya adalah golongan beras dan serealia,
karena berdaya alergi rendah. Secara berangsur-angsur, diperkenalkan
sayuran yang dikukus dan dihaluskan, buah yang dihaluskan, kecuali
pisang dan alpukat matang dan yang harus diingat adalah jangan
berikan buah atau sayuran mentah. Setelah bayi dapat menerima beras
atau sereal, sayur dan buah dengan baik, berikan sumber protein (tahu,
tempe, daging ayam, hati ayam dan daging sapi) yang dikukus dan
dihaluskan. Setelah bubur dibuat lebih kental (kurangi campuran air),
kemudian menjadi lebih kasar (disaring kemudian dicincang halus),
lalu menjadi kasar (cincang kasar), dan akhirnya bayi siap menerima
31
makanan pada yang dikonsumsi keluarga. Menyapih anak harus
bertahap, dilakukan tidak secara tiba-tiba. Kurangi frekuensi
pemberian ASI sedikit demi sedikit (Depkes RI, 2000).
2.2.4 Manfaat pemberian MP-ASI sesuai dengan tahapan umur
Setelah usia 6 bulan, ASI hanya memenuhi sekitar 60-70%
kebutuhan gizi bayi. Sehingga bayi mulai membutuhkan makanan
pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian makanan padat pertama kali
harus memperhatikan kesiapan bayi, antara lain keterampilan motorik,
keterampilan mengecap, dan mengunyah serta penerimaan terhadap
rasa dan bau. Untuk itu, pemberian makanan pada pertama perlu
dilakukan
secara
bertahap.
Misalnya
untuk
melatih
indera
pengecapnya, berikan bubur susu satu rasa dahulu, baru kemudian
dicoba multirasa (Depkes, 2000).
2.2.5 Faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI dini
Menurut Gibney tahun 2009 dalam buku “Gizi Kesehatan
Masyarakat” mengatakan bahwa banyak kepercayaan dan sikap yang
tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para
ibu tidak melakukan pemberian ASI secara eksklusif kepada bayi
mereka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan umum mengapa
mereka memberikan MP-ASI secara dini meliputi :
1) Rasa takut bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup dan atau
kualitasnya buruk. Hal ini dikaitkan dengan pemberian ASI
pertama (kolostrum) yang terlihat encer dan menyerupai air.
32
Ibu harus memahami bahwa perubahan pada komposisi ASI akan
terjadi ketika bayinya mulai menghisap puting mereka.
2) Keterlambatan memulai pemberian ASI dan praktek membuang
kolostrum. Banyak masyarakat di negara berkembang percaya
bahwa kolostrum yang berwarna kekuningan merupakan zat
beracun yang harus dibuang.
3) Teknik pemberian ASI yang salah. Jika bayi tidak digendong dan
dipeluk dengan posisi tepat, kemungkinan ibu akan mengalami
nyeri, lecet pada puting susu, pembengkakkan payudara dan
mastitis (infeksi) karena bayi tidak mampu meminum ASI secara
efektif. Hal ini akan berakibat ibu menghentikan pemberian ASI.
4) Kebiasaan yang keliru bahwa bayi memerlukan cairan tambahan.
Pemberian cairan seperti air teh dan air putih dapat meningkatkan
risiko diare pada bayi. Bayi akan mendapat ASI yang lebih rendah
dan frekuensi menyusu yang lebih singkat karena adanya tambahan
cairan lain.
5) Dukungan yang kurang dari pelayanan kesehatan. Dirancangnya
rumah sakit sayang bayi akan meningkatkan inisiasi dini ASI
terhadap bayi. Sebaliknya tidak adanya fasilitas rumah sakit dengan
rawat gabung dan disediakannya dapur susu formula akan
meningkatkan praktek pemberian MP-ASI predominan kepada bayi
yang lahir di rumah sakit.
33
6) Pemasaran formula pengganti ASI. Hal ini telah menimbulkan
anggapan bahwa formula PASI (pengganti air susu ibu) lebih
unggul daripada ASI sehingga ibu akan lebih tertarik dengan iklan
PASI dan memberikan MP-ASI secara dini.
2.2.6 Implikasi pemberian MP-ASI dini terhadap growth faltering
Pemberian MP-ASI dini terbukti berpengaruh pada gangguan
pertambahan berat badan bayi walaupun setelah dikontrol oleh faktor
lainnya. Gangguan pertambahan bayi akibat pengaruh pemberian
MP-ASI dini terjadi sejak bayi berumur dua bulan dan berlanjut pada
interval umur berikutnya (WHO, 2003).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi
pada bayi dan anak disebabkan karena pemberian MP-ASI yang tidak
tepat. Keadaan ini memerlukan penanganan tidak hanya dengan
penyediaan pangan, tetapi dengan pendekatan yang lebih komunikatif
sesuai dengan tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat. Selain
itu, umur pertama kali pemberian ASI sangat penting dalam
menentukan status gizi bayi. Makanan prelakteal maupun MP-ASI
dini mengakibatkan kesehatan bayi menjadi rapuh. Secara nyata, hal
ini terbukti dengan terjadinya gagal tumbuh (growth faltering) yang
terus kontinu terjadi sejak umur 3 bulan sampai anak mencapai umur
18 bulan (Ansori, 2002).
Makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini dan makanan
prelakteal akan berisiko diare dan infeksi (ISPA) pada bayi. Dengan
terjadinya infeksi, tubuh akan mengalami demam sehingga kebutuhan
34
zat gizi dan energi semakin meningkat sedangkan asupan makanan
akan menurun yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh.
Dengan pemberian MP-ASI dini maka konsumsi energi dan zat gizi
dari ASI akan menurun yang berdampak pada kegagalan pertumbuhan
bayi dan anak (Pudjiadi, 2000).
2.2.7 Masalah-masalah dalam pemberian MP-ASI
Masalah dalam pemberian MP-ASI pada bayi/anak umur 0-24
bulan menurut Depkes (2000) adalah sebagai berikut :
a. Pemberian makanan prelakteal (makanan sebelum ASI keluar)
Makanan prelakteal adalah jenis makanan seperti air kelapa, air
tajin, air teh, madu, pisang, susu formula yang diberikan pada bayi
yang baru lahir sebelum ASI keluar. Hal ini sangat berbahaya bagi
kesehatan bayi, dan mengganggu keberhasilan menyusui.
b. Kolostrum dibuang
Kolostrum adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama, kental
dan berwarna kekuning-kuningan. Masih banyak ibu-ibu yang tidak
memberikan kolostrum kepada bayinya. Kolostrum mengandung
zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari penyakit dan
mengandung zat gizi tinggi. Oleh karena itu kolostrum jangan
dibuang.
c. Pemberian MP-ASI terlalu dini atau terlambat
Pemberian MP-ASI yang terlalu dini (sebelum bayi berumur 6
bulan) menurunkan konsumsi ASI dan meningkatkan terjadinya
gangguan percernaan/diare. Kalau pemberian MP-ASI terlambat,
35
bayi sudah lewat usia 6 bulan, dapat menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak.
d. MP-ASI yang diberikan tidak cukup
Pemberian MP-ASI pada periode umur 6-24 bulan sering tidak
tepat dan tidak cukup baik kualitasnya maupun kuantitasnya.
Adanya kepercayaan bahwa anak tidak boleh makan ikan dan
kebiasaan tidak menggunakan santan atau minyak pada makanan
anak, dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi terutama
energi dan protein serta beberapa vitamin penting yang larut dalam
lemak.
e. Pemberian MP-ASI sebelum ASI
Pada usia 6 bulan, pemberian ASI yang dilakukan sesudah MP-ASI
dapat menyebabkan ASI kurang dikonsumsi. Pada periode ini
zat-zat yang diperlukan bayi terutama diperoleh dari ASI. Dengan
memberikan MP-ASI terlebih dahulu berarti kemampuan bayi
untuk mengkonsumsi ASI berkurang, yang berakibat menurunnya
produksi ASI. Hal ini dapat berakibat anak menderita kurang gizi.
seharusnya ASI diberikan dahulu baru MP-ASI.
f. Frekuensi Pemberian MP-ASI kurang
Frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari kurang akan berakibat
kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi.
g. Pemberian ASI terhenti karena ibu kembali bekerja
Di daerah kota dan semi perkotaan, ada kecenderungan rendahnya
frekuensi menyusui dan ASI dihentikan terlalu dini pada ibu-ibu
36
yang bekerja karena kurangnya pemahaman tentang manajemen
laktasi pada ibu bekerja. Hal ini menyebabkan konsumsi zat gizi
rendah apalagi pemberian MP-ASI pada anak kurang diperhatikan.
h. Kebersihan kurang
Pada umumnya ibu kurang menjaga kebersihan terutama pada saat
menyediakan dan memberikan makanan pada anak. Masih banyak
ibu yang menyuapi anak dengan tangan, menyimpan makanan
matang tanpa tutup makanan/tudung saji dan kurang mengamati
perilaku kebersihan dari pengasuh anaknya. Hal ini memungkinkan
timbulnya penyakit infeksi seperti diare (mencret) dan lain-lain.
i. Prioritas gizi yang salah pada keluarga
Banyak keluarga yang memprioritaskan makanan untuk anggota
keluarga yang lebih besar, seperti ayah atau kakak tertua
dibandingkan untuk anak baduta dan bila makan bersama-sama
anak baduta selalu kalah.
2.3
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif
2.3.1 Menurut masalah dalam menyusui
a. Kurang informasi
Karena kurang informasi, banyak ibu menganggap susu
formula sama baiknya, bahkan lebih baik dari ASI. Hal ini
menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika
merasa ASI-nya kurang atau terbentur kendala menyusui. Masih
banyak pula petugas kesehatan tidak memberikan informasi pada
37
ibu saat pemeriksaan kehamilan atau sesudah bersalin (Priyono,
2010).
Untuk dapat melaksanakan program ASI eksklusif, ibu dan
keluarganya perlu mengetahui informasi tentang keuntungan
pemberian ASI, kerugian pemberian susu formula, pentingnya
rawat gabung, cara menyusui yang baik dan benar, dan siapa harus
dihubungi jika terdapat keluhan atau masalah seputar menyusui
(Priyono, 2010).
b. Puting susu yang pendek/terbenam
Bentuk puting susu ada yang panjang, pendek, dan datar atau
terbenam. Dengan kehamilan, biasanya puting menjadi lentur.
Namun, memang kerap terjadi sampai sesudah bersalin, puting
belum juga menonjol keluar. Banyak ibu langsung menganggap
hilang peluangnya untuk menyusui. Padahal puting hanya
kumpulan muara saluran ASI dan tidak mengandung ASI.
(Priyono, 2010).
ASI disimpan di sinus laktiferus yang terletak di daerah
aerola mamae. Jadi, untuk mendapatkan ASI, aerola mamae yang
perlu dimasukkan ke dalam mulut bayi agar isapan dan gerakan
lidah dapat memerah ASI ke luar. Untuk menarik puting keluar
atau menonjol, gunakan nipple puller atau breast-shield. Namun,
jika cara ini kurang menolong, ibu harus dibantu agar dapat
memasukkan areolanya sebanyak mungkin ke dalam mulut bayi
sehingga bayi memperoleh ASI (Priyono, 2010).
38
c. Payudara bengkak
Tiga hari pasca-persalinan payudara sering terasa penuh,
tegang, dan nyeri. Kondisi ini terjadi akibat adanya bendungan
pada pembuluh darah di payudara sebagai tanda ASI mulai banyak
diproduksi. Jika karena sakit ibu malah berhenti menyusui, kondisi
ini akan semakin parah, ditandai dengan mengilatnya payudara dan
ibu mengalami demam (Priyono, 2010).
Untuk menghindari dan mengatasi payudara bengkak, berilah
ASI pada bayi segera setelah lahir dan posisi yang benar dan tanpa
jadwal. Jika produksi ASI melebihi kebutuhan bayi, keluarkan ASI
dengan jalan diperah. Jangan berikan minuman lain pada bayi dan
lakukan perawatan payudara pasca persalinan seperti pemijatan.
Untuk mengurangi rasa sakit yang tidak tertahankan dan demam
akibat pembengkakkan, kompres payudara dengan kompres dingin
serta makanlah obat penurun demam (Priyono, 2010).
d. Puting susu nyeri/lecet
Masalah ini paling banyak dialami. Puting nyeri atau lecet
terjadi akibat beberapa faktor. Yang dominan adalah kesalahan
posisi menyusui saat bayi hanya mengisap pada puting. Padahal,
seharusnya sebagian besar areola masuk ke dalam mulut bayi.
Puting lecet juga dapat terjadi jika pada akhir menyusui, bayi tidak
benar melepaskan isapan atau jika ibu sering membersihkan puting
dengan alkohol atau sabun. Jika ibu melewati waktu menyusui
untuk menghindari rasa sakit, dapat menyebabkan tidak terjadinya
39
pengosongan payudara, akibatnya produksi ASI berkurang
(Priyono, 2010).
Untuk mengatasi puting lecet dan nyeri, perbaikin posisi
menyusui. Mulailah menyusui dari payudara yang tidak sakit
karena isapan pertama bayi yang lapar biasanya lebih keras.
Tetaplah mengeluarkan ASI dari payudara yang putingnya lecet.
Untuk mengobati lecet, gunakan cara alami, yaitu dengan
mengoleskan sedikit ASI pada puting tersebut dan biarkan kering.
Jika rasa sakit tidak tertahankan ibu dapat meminum obat
pengurang sakit (Priyono, 2010).
e. Saluran ASI tersumbat
Kelenjar air susu manusia memiliki 15-20 saluran ASI. Satu
atau lebih saluran ini bisa tersumbat karena tekanan jari saat ibu
menyusui, posisi bayi, atau BH yang terlalu ketat, sehingga
sebagian saluran ASI tidak mengalirkan ASI. Sumbatan juga dapat
terjadi karena ASI dalam saluran tersebut tidak segera dikeluarkan
karena ada pembengkakkan. Untuk mengatasinya, menyusuilah
dengan posisi benar, ubah-ubah posisi menyusui agar semua
saluran ASI dikosongkan, dan gunakan BH yang menunjang, tetapi
tidak terlalu ketat. Selain itu, sebaiknya ibu lebih sering menyusui
dari payudara yang tersumbat, dan pijatlah daerah yang tersumbat
ke arah puting agar ASI bisa keluar (Priyono, 2010).
40
f. Radang payudara
Jika
puting lecet,
saluran
payudara
tersumbat,
atau
pembengkakkan payudara tidak ditangani dengan baik, bisa
berlanjut menjadi radang payudara. Payudara akan terasa bengkak,
sangat sakit, kulitnya berwarna merah dan disertai demam.
Lakukan perawatan disertai istirahat yang cukup. Segeralah berobat
ke dokter untuk meminta antibiotik yang sesuai, juga obat pereda
sakit (Priyono, 2010).
g. Abses payudara
Jika sampai terjadi abses, perawatan yang bisa dilakukan
sama dengan jika terjadi radang payudara. Namun, nanah yang
terjadi harus dikeluarkan dengan insisi. Selama luka bekas insisi
belum sembuh maka bayi hanya dapat menyusui dari payudara
sehat (Priyono, 2010).
h. ASI kurang
Sebagian ibu merasa ASI-nya kurang, mungkin karena
setelah beberapa hari payudaranya tidak terasa tegang lagi,
sementara bayi sering minta disusukan. Kondisi ini sebenarnya
wajar. Payudara memang tidak terasa tegang lagi walaupun
produksi ASI tetap banyak (Priyono, 2010).
Tentang bayi, mereka sering minta disusukan karena ASI
cepat dicerna sehingga perut cepat kosong. Kecukupan ASI dapat
dinilai dengan menimbang kenaikan berat badan bayi secara
teratur. Jika kenaikan sesuai dengan pertumbuhan normal, berarti
41
bayi cukup ASI. Cukup-tidaknya ASI dapat diperkirakan dari
beberapa kali bayi buang air kecil. Bagi bayi yang mendapatkan
ASI eksklusif, enam kali buang air kecil dalam sehari adalah
pertanda ia cukup ASI (Priyono, 2010).
Hal-hal yang dapat mengurangi produksi ASI adalah tidak
melakukan inisiasi menyusu dini, menjadwal pemberian ASI,
memberikan minuman prelakteal (bayi diberi minum sebelum ASI
keluar), apalagi memberikannya dengan botol/dot, kesalahan pada
posisi dan perlekatan bayi pada saat menyusu, tidak mengosongkan
salah satu payudara saat menyusui (Priyono, 2010).
Ibu sebaiknya tidak menjadwalkan pemberian ASI. Menyusui
paling baik dilakukan sesuai permintaan bayi (on demand)
termasuk pada malam hari, minimal 8 kali per hari. Produksi ASI
sangat dipengaruhi oleh seringnya bayi menyusu. Makin jarang
bayi disusui biasanya produksi ASI akan berkurang. Produksi ASI
juga dapat berkurang bila bayi menyusu terlalu sebentar. Pada
minggu pertama kelahiran seringkali bayi mudah tertidur saat
menyusu. Ibu sebaiknya merangsang bayi supaya tetap menyusu
dengan cara menyentuh telinga/telapak kaki bayi agar bayi tetap
mengisap (Priyono, 2010).
Penggunaan kempeng akan membuat perlekatan mulut bayi
pada payudara ibu tidak tepat dan sering menimbulkan masalah
“bingung puting”. Pemberian makanan pendamping pada bayi
sebelum waktunya juga sering berakibat berkurangnya produksi
42
ASI. Bayi menjadi cepat kenyang dan lebih jarang menyusu. Posisi
dan perlekatan mulut bayi saat menyusu juga mempengaruhi
pengeluaran ASI (Priyono, 2010).
i. Menyusui setelah bedah caesar
Jika ibu dan bayi dalam keadaan baik, sebenarnya ibu dapat
segera menyusui bayi di ruang pemulihan setelah pembedahan
selesai. Namun, jika ibu merasa bingung akibat pengaruh
pembiusan atau bayi harus masuk kamar perawatan mungkin harus
menunggu dulu. Jika setelah 12 jam belum juga bisa menyusui,
mungkin perlu menanyakan penggunaan pompa untuk memerah
ASI
dan
menyimpannya
untuk
diberikan
kepada
bayi
menggunakan sendok. Banyak ibu yang menjalani bedah caesar
merasa sulit menyusui (Priyono, 2010).
Hal ini wajar tetapi jangan menyerah. Mungkin akan lebih
mudah jika menyusui dengan menghindari tekanan pada bekas
sayatan. Caranya, meletakkan bantal di pangkuan ibu sebagai alas
bayi menyusui dan menyusui sambil berbaring miring, atau
menggunakan bahan pendukung perut lain seperti yang digunakan
untuk berolahraga ditambah bantal selama menyusui (Priyono,
2010).
j. Ibu dengan penyakit
Alasan ibu sakit, penyusuan dihentikan. Padahal, dalam
banyak hal ini tidak perlu, karena lebih berbahaya bagi bayi jika
mulai diberi susu formula daripada terus menyusui (Priyono, 2010).
43
k. Ibu hamil
Ketika masih menyusui, kadang ibu sudah hamil kembali.
Jika ada masalah dengan kandungannya. Ibu masih dapat
menyusui. Namun, ia harus makan lebih banyak lagi. Selain itu,
mungkin ibu akan mengalami puting lecet, keletihan, ASI
berkurang, rasa ASI berubah, dan kontraksi rahim (Priyono, 2010).
2.3.2 Karakteristik Ibu
a. Usia Ibu
Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi
seseorang. Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang
lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda. Usia ibu akan
mempengaruhi kesiapan emosi ibu. Usia ibu yang terlalu muda
ketika
hamil
bisa
menyebabkan
kondisi
fisiologis
dan
psikologisnya belum siap menjadi ibu. Hal ini dapat mempengaruhi
kehamilan dan pengasuhan anak (Hurlock 1995).
Dari segi produksi ASI ibu-ibu yang berusia 19-23 tahun
lebih baik dalam menghasilkan ASI dibanding dengan ibu yang
berusia lebih tua. Primipara yang berusia 35 tahun cenderung tidak
menghasilkan ASI yang cukup (Pudjiadi, 2000).
Idealnya umur 20-30 tahun merupakan rentang usia yang
aman untuk bereproduksi dan pada umumnya ibu pada usia
tersebut memiliki kemampuan laktasi yang lebih baik daripada
yang berumur lebih dari 30 tahun (Roesli, 2004).
44
Berbeda halnya dengan hasil penelitian Fikawati dan Syafiq
(2009) yang menyatakan bahwa umumnya informan ASI eksklusif
6 bulan lebih tua daripada informan yang tidak ASI eksklusif
dengan perbedaan rata-rata umur 4 tahun. Rata-rata informan ASI
eksklusif berusia 30 tahun dan rata-rata informan ASI tidak
eksklusif berusia 26 tahun.
b. Tingkat pendidikan Ibu
Pendidikan
merupakan
proses
pembentukan
pribadi
seseorang melalui proses belajar yang dilakukan baik secara formal
maupun
nonformal.
Melalui
pendidikan
seseorang
akan
memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pendidikan
merupakan sarana belajar yang selanjutnya diperkirakan akan
menanamkan pengertian dan sikap yang baik dalam kehidupan
sehari-hari. Di era modern ini pendidikan bagi wanita terus
meningkat sehingga banyak wanita yang bekerja di luar rumah.
Dengan semakin banyaknya wanita yang bekerja khususnya pada
wanita yang memiliki bayi menyebabkan terganggunya rutinitas
menyusui (Mulyaningsih, 2010).
Pendidikan orang tua juga merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam tumbuh kembang anak. Dengan pendidikan yang
lebih baik, orang tua lebih dapat menerima segala informasi
terutama yang berkaitan dengan cara pengasuhan anak dan menjaga
kesehatan anaknya (Soetjiningsih, 1995). Menurut Khomsan (2002)
ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih semangat
45
untuk mencari dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan
dalam pengasuhan bayinya.
Pendidikan pada satu sisi mempunyai dampak positif yaitu
ibu semakin mengerti akan pentingnya pemeliharaan kesehatan
termasuk pemberian ASI eksklusif, tetapi di sisi lain, pendidikan
yang semakin tinggi juga akan berdampak adanya perubahan nilainilai sosial seperti adanya anggapan bahwa menyusui bayi
dianggap tidak modern dan dapat menpengaruhi bentuk payudara
ibu (Roesli, 2001). Sedangkan menurut Suhardjo (1992), semakin
tinggi pendidikan dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap
kemungkinan bayi
menderita kurang gizi
tertentu karena
konsentrasinya dalam ASI menurun jumlahnya sehingga ibu
cenderung memberikan makanan tambahan.
c. Pekerjaan Ibu
Bekerja selalu dijadikan alasan tidak memberikan ASI
eksklusif pada bayi karena ibu meninggalkan rumah sehingga
waktu pemberian ASI pun berkurang. Akan tetapi seharusnya
seorang ibu yang bekerja tetap dapat memberi ASI eksklusif
kepada bayinya dengan pengetahuan yang benar tentang menyusui,
perlengkapan memerah ASI, dan dukungan lingkungan kerja
(Soetjiningsih,1997).
Menurut Depkes RI (2002), idealnya memang setiap tempat
kerja yang memperkerjakan perempuan hendaknya memiliki
tempat penitipan anak/bayi, serta disediakan waktu untuk menyusui
46
sewaktu-waktu selama bayi umur 0-6 bulan. Namun hal ini
terkadang tidak mungkin dilakukan oleh ibu itu sendiri karena
tempat kerja yang jauh.
Khomsan (2004) menyatakan bahwa konsep tentang ASI
eksklusif sekarang ini terasa sulit untuk dilaksanakan oleh ibu-ibu
bekerja. Kesibukan akibat bekerja di luar rumah merupakan
penghambat utama seorang ibu untuk menyusui anaknya lebih
baik. Menurut Roesli (2001), ibu yang bekerja masih dapat
memberikan ASI eksklusif dengan cara memerah ASI sebelum
berangkat ke tempat kerja, dengan demikian bukanlah suatu alasan
bagi ibu untuk tidak menyusui ASI secara eksklusif.
Kualitas dan kuantitas ASI tidak berpengaruh dengan kondisi
ibu bekerja. Pada ibu telah diajarkan cara mempertahankan
produksi ASI dengan cara memompa ASI pada saat berada di
tempat kerja dengan menyusui bayi lebih sering pada malam hari,
ternyata jumlah ibu yang ASI nya masih cukup sampai bayi umur 6
bulan lebih sedikit jika dibandingkan dengan ibu yang tidak
bekerja, kondisi ini diduga akibat beban fisik ibu karena pekerjaan
sehingga tidak dapat mempertahankan produksi ASI (Suradi, 1992
dalam Mulyaningsih, 2010).
d. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan dalam objek tertentu seperti pengetahuan
tentang ASI, menurut Depkes RI (2004), ada beberapa hal yang
harus diketahui oleh ibu untuk meningkatkan cakupan ASI, yaitu:
47
 Pengertian ASI eksklusif dan kolostrum.
 Manfaat kolostrum bagi kesehatan bayi, manfaat pemberian
ASI, dan manfaat menyusui.
 Waktu, yaitu kapan ibu mulai menyusui bayinya, berapa lama,
dan sampai umur berapa.
 Cara menyusui yang baik dan benar, menghentikan bayi
menyusui, menyendawakan bayi setelah disusui, meningkatkan
produksi ASI, menyimpan ASI dan cara menyapih yang baik.
 Cara mengatasi permasalahan menyusui, antara lain: puting susu
datar dan terpendam, lecet dan nyeri, payudara bengkak, saluran
ASI tersumbat, radang payudara, payudara abses, produksi ASI
kurang dan bingung puting.
Pengetahuan, hambatan utama tercapainya ASI eksklusif
yang benar adalah karena kurang sampainya pengetahuan yang
benar tentang ASI eksklusif pada para ibu (Roesli, 2000).
Menurut hasil penelitian Afifah (2007) sebagian (50%)
subjek tidak mengetahui ASI eksklusif. Mereka umumnya pernah
mendengar tapi tidak mengerti maksudnya. Ada juga yang pernah
membaca buku KIA tetapi lupa. Pengetahuan ibu yang kurang
tentang ASI eksklusif inilah yang terutama menyebabkan gagalnya
pemberian ASI eksklusif. Selama mereka tidak tahu maka
merekapun tidak akan pernah melaksanakannya. Pengetahuan yang
dimiliki subjek tentang ASI eksklusif sebatas pada tingkat ”tahu
bahwa” sehingga tidak begitu mendalam dan tidak memiliki
48
keterampilan untuk mempraktekkannya. Jika pengetahuan subjek
lebih luas dan mempunyai pengalaman tentang ASI eksklusif baik
yang dialami sendiri maupun dilihat dari teman, tetangga atau
keluarga,
maka
subjek
akan
lebih
terinspirasi
untuk
mempraktekkannya.
Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, Pengetahuan
responden tentang dampak pemberian MP-ASI dini pada bayi
masih rendah. Hanya sekitar 18% responden yang berpengetahuan
baik dan sekitar 82% pengetahuannya kurang baik. Ini berarti
bahwa ibu dengan pengetahuan tentang dampak pemberian
MP-ASI dini pada bayi termasuk kategori baik, berpeluang 3,696
kali untuk tidak memberikan MP-ASI dini pada bayinya dibanding
ibu dengan pengetahuan kurang baik. Ini membuktikan pendapat
Notoatmodjo (1993) bahwa pengetahuan (dalam hal ini tentang
dampak pemberian MP-ASI dini pada bayi) merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (dalam
hal ini memberikan atau tidak memberikan MP-ASI dini pada
bayi).
Menurut penelitian Padang (2007) pengetahuan tidak
berpengaruh terhadap pemberian MP-ASI, hal ini disebabkan
karena perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pemberian makanan
kepada anak dibawah 6 bulan yang sudah mengakar secara turuntemurun.
49
e. Sikap Ibu
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2007).
Menurut hasil penelitian Saleh (2011) subjek umumnya
memiliki kemauan untuk memberikan ASI terhadap bayinya.
Namun para subjek mudah menghentikan pemberian ASI ketika
menemui tantangan. Pengetahuan tentang ASI eksklusif serta
motivasi pemberian ASI eksklusif yang kurang, mempengaruhi
sikap ibu yang diakibatkan oleh masih melekatnya pengetahuan
budaya lokal tentang pemberian makan pada bayi. Perilaku
menyusui yang kurang mendukung diantaranya membuang
kolostrum karena dianggap tidak bersih dan kotor, pemberian
makanan/minuman
sebelum
ASI
keluar
(prelakteal),
serta
kurangnya rasa percaya diri subjek bahwa ASI tidak cukup untuk
bayinya.
Sikap gizi ibu, khususnya tentang ASI eksklusif, di perdesaan
lebih rendah dibandingkan perkotaan. Hal ini terlihat dari
persentase ibu yang memiliki sikap dengan kategori sedang
mendominasi di perdesaan, sedangkan di perkotaan sebagian besar
ibu memiliki sikap dengan kategori tinggi, baik di perdesaan
maupun perkotaan, sebagian besar ibu setuju bahwa kolostrum baik
50
untuk kesehatan bayi. Persentase lebih besar ditemukan pada ibu di
perkotaan yang mencapai 93.5%, sedangkan di perdesaan hanya
mencapai 77.4%. Sebagian besar (71%) ibu di perdesaan masih
setuju bahwa makanan prelakteal seperti madu dan air putih
penting untuk diberikan pada bayi yang baru lahir (Rachmadewi,
2009).
Status kesehatan di pengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah sikap seseorang suatu penyakit. Sikap dapat
digunakan untuk memprediksikan tingkah laku apa yang mungkin
terjadi. Dengan demikian sikap dapat diartikan sebagai suatu
predisposisi tingkah laku yang akan tampak aktual apabila
kesempatan untuk mengatakan terbuka luas (Azwar, 2005 dalam
Anggraeni, 2012).
Penelitian Fikawati dan Syafiq (2009) menyatakan bahwa
hampir seluruh ibu bersikap setuju terhadap pemberian ASI
eksklusif 6 bulan. Bahkan informan yang tidak ASI eksklusif juga
setuju terhadap pemberian ASI eksklusif.
Berbeda
dengan
penelitian
Candriasih
(2010)
dalam
Anggraeni (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara sikap dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini
menemukan ibu yang mempunyai sikap baik pada pemberian ASI
eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan lebih banyak dibanding dengan
yang tidak baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemberian ASI
51
eksklusif. Hal ini disebabkan karena masih ada ibu dan keluarganya
yang percaya bahwa pemberian makanan tambahan selain ASI
dapat diberikan sedini mungkin sehingga bayi cepat besar tanpa
mengetahui efek dari pemberian makanan selain ASI pada bayi
usia di bawah 6 bulan.
2.3.3 Hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik ibu
a. Kepercayaan
Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam kehidupan manusia
mengarahkan budaya hidup, perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai
dan penggunaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan
menghasilkan pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya
kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku
(Ludin, 2008 dalam Anggraeni, 2012)
Membantu ibu agar bisa menyusui bayinya dengan benar
memerlukan pemahaman tentang perilaku ibu, keluarga, dan
lingkungan sosial budayanya dalam hal menyusui. Perlu diketahui
bagaimana pendapat tetua adat dan masyarakat sekitarnya tentang
ASI dan menyusui. Apakah mereka mendukung ASI eksklusif,
tidak peduli, atau justru menghalangi pemberian ASI (Afifah,
2007)
Kepercayaan dari orang tua serta lingkungannya bahwa ASI
yang pertama keluar hendaknya dibuang setelah bersih lalu
menyusui bayi, mereka beranggapan bahwa kolostrum adalah basi
dan tidak baik untuk bayi, para orang tua ada yang memberikan
52
madu sebelum usia bayi 6 bulan mereka beranggapan bahwa anak
yang yang diberi madu akan baik bagi kesehatannya (Pawenrusi,
2011 dalam Anggraeni, 2012).
Kepercayaan
sangat
dipengaruhi
oleh
tradisi
dalam
lingkungan maupun keluarga. Pemberian madu menurut penelitian
Wulandari (2011) dalam Anggraeni (2012) terhadap makanan
prelakteal menjelaskan bahwa pemberian madu merupakan
kebiasaan yang dilakukan kepada bayi baru lahir sejak dulu dan
dilakukan secara turun temurun oleh keluarga. Alasan pemilihan
madu sebagai makanan prelakteal berdasarkan kepercayaan
tertentu, diantaranya dapat mengobati demam, panas, dan dapat
meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga bayi tidak mudah
terkena influenza jika memakan makanan yang manis karena sejak
kecil sudah terbiasa memakan yang manis seperti madu, selain itu
pemberian madu dapat memerahkan bibir bayi jika pemberiannya
dioleskan pada bibir bayi.
Pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin
memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya
lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya
agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa
yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia
sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan
lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah
53
dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir
sebelum ASI keluar (Maas, 2004 dalam Afifah 2007).
b. Paritas
Menurut Soetjiningsih (1997), kenaikan jumlah paritas
menyebabkan ada sedikit perubahan produksi ASI yaitu pada anak
pertama: jumlah ASI ± 580 ml/24 jam, anak kedua: jumlah ASI ±
654 ml/24 jam, anak ketiga: jumlah ASI ± 602 ml/24 jam,
kemudian anak kelima: jumlah ASI ± 506 ml/24 jam. Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
jumlah paritas, maka produksi ASI semakin menurun.
Gatti (2008) dalam penelitiannya mengenai persepsi ibu
tentang kekurangan/ketidakcukupan suplai ASI menyebutkan
bahwa paritas dan pengalaman menyusui berpengaruh secara
signifikan terhadap kesuksesan menyusui, dimana wanita yang baru
pertama kali menyusui biasanya selalu berfikir akan resiko dan
masalah
menyusui
atau
penghentian
menyusui
di
awal
dibandingkan dengan wanita yang sudah pernah menyusui
sebelumnya.
Handayani (2009) dalam Anggraeni (2012) bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi pemberian ASI meliputi karakteristik
ibu yaitu pengalaman ibu menyusui. Perbedaan jumlah anak akan
berpengaruh terhadap pengalaman ibu dalam hal menyusui.
Seorang ibu yang telah sukses menyusui pada lahir sebelumnya
akan lebih mudah serta yakin akan dapat menyusui pada lahir
54
berikutnya. Seorang ibu muda dengan anak pertama akan merasa
sulit untuk dapat menyusui (Solihah, 2010 dalam Anggraeni,
2012).
Hasil penelitian Arasta (2010) menunjukkan sebagian besar
ibu yang gagal memberikan ASI selama dua bulan yaitu ibu yang
melahirkan anak
≥ 3 (multipara). Paritas diperkirakan ada
kaitannya dengan arah pencarian informasi tentang pengetahuan
ibu nifas/menyusui dalam memberikan ASI ekslusif.
Penelitian Fikawati dan Syafiq (2009) menyatakan bahwa
informan ASI eksklusif mempunyai paritas rata-rata lebih tinggi
(3 anak) daripada informan ASI tidak eksklusif (2 anak). Perbedaan
jumlah anak akan mempengaruhi terhadap pengalaman ibu dalam
hal menyusui.
c. Dukungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan ibu menyusui bayinya secara
eksklusif. Keluarga (suami, orang tua, mertua, ipar, dan
sebagainya) perlu diinformasikan bahwa seorang ibu perlu
dukungan dan bantuan keluarga agar ibu berhasil menyusui secara
eksklusif, misalnya untuk menggantikan sementara tugas rumah
tangga ibu seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah
(Afifah, 2007).
55
Dorongan
keluarga
untuk
melakukan
ASI
eksklusif
umumnya adalah suami dan orang tua. Suami dan orang tua adalah
orang terdekat yang dapat mempengaruhi seorang ibu untuk tetap
menyusui secara eksklusif atau malah memberikan makanan/
minuman tambahan kepada bayi. Bentuk dukungan suami berupa
nasihat untuk memberikan hanya ASI eksklusif saja kepada
bayinya, membantu ibu bila lelah, dan membantu melakukan
pekerjaan rumah. Sedangkan dukungan orang tua lebih terlihat
untuk mempengaruhi ibu memberikan makanan atau minuman
tambahan sebelum bayi mereka berusia 6 bulan (Fikawati dan
Syafiq, 2009).
Hasil penelitian kualitatif Fikawati dan Syafiq (2009)
menyatakan bahwa sebagian besar ibu yang memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya mendapatkan dukungan dari suaminya.
Sedangkan pada orang tua perannya kurang terlihat. Namun, pada
ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sangat terlihat bagaimana
peran orang tua untuk mempengaruhi pemberian makanan
tambahan. Sedangkan peran suami ada yang mendapat dukungan,
tapi sebagian lainnya menyerahkan keputusan menyusui kepada
ibu, artinya suami tidak memberikan dorongan kepada ibu untuk
menyusui.
d. Dukungan Tenaga Kesehatan
Menurut sejumlah ahli ternyata ada pengaruh yang kurang
baik terhadap pemberian ASI pada ibu-ibu yang melahirkan
56
di rumah sakit atau klinik bersalin. Petugas kesehatan yang bekerja
di RS atau klinik bersalin lebih menitikberatkan upaya mereka agar
persalinan dapat berlangsung baik, ibu, dan anak berada dalam
keadaan selamat dan sehat. Masalah pemberian ASI kurang
mendapat perhatian. Bahkan tidak jarang makanan pertama yang
diberikan kepada bayi justru susu buatan atau susu sapi. Hal ini
memberikan kesan yang tidak mendidik pada ibu, dan ibu akan
selalu beranggapan bahwa susu sapi lebih baik dari ASI.
Pengaruh itu akan menjadi semakin buruk apabila di
sekeliling kamar bersalin atau ruang pemeriksaan dipasang
gambar-gambar atau poster yang memuji penggunaaan susu buatan.
Selain itu, ternyata belum semua petugas paramedis diberi pesan
dan cukup informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui
bayi mereka. Praktek yang keliru dengan memberikan susu botol
kepada bayi yang baru lahir di klinik bersalin atau rumah sakit
masih sering dijumpai (Moehji, 1988).
Pada umumnya para ibu mau patuh dan menuruti nasehat
petugas kesehatan, oleh karena itu petugas kesehatan diharapkan
untuk memberikan informasi tentang kapan waktu yang tepat
memberikan
ASI
eksklusif,
manfaat
ASI
eksklusif
dapat
meningkatkan daya tahan tubuh, dan resiko tidak memberikan ASI
eksklusif pada bayi kecil (Roesli, 2005).
57
Hasil penelitian Saleh (2011) terdapat subjek 1 yang
memberikan kolostrum kepada bayinya segera setelah lahir atas
anjuran tenaga kesehatan (bidan) yang membantu persalinan di
rumah, subjek 2 mendengar informasi kesehatan khususnya
mengenai praktik ASI eksklusif dari tenaga kesehatan dan subjek 3
yang gagal dalam praktik ASI eksklusif karena pengaruh dari
tenaga kesehatan (bidan). Tenaga kesehatan (bidan) langsung
memberikan anjuran yang salah untuk memberikan susu formula
terlebih dahulu. Hal ini akan memberi pengaruh negatif terhadap
keyakinan subjek bahwa pemberian susu formula merupakan cara
yang paling efektif untuk menghentikan tangis bayi. Dapat
disimpulkan tenaga kesehatan sangat dominan memberikan
pengaruh negatif terhadap subjek dalam pemberian prelakteal dan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak dini.
Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, bidan sangat
berperan dalam pemberian MP-ASI dini pada bayi. Sebanyak
88,4% responden mengatakan bahwa yang memberikan makanan
pada awal kelahiran pada bayinya adalah bidan dan sekitar 30% ibu
dari bayi yang diberi makanan pada awal kelahiran mengatakan
bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan ASI mereka, tetapi
bidan sudah memberikan makanan pada bayinya tanpa ibu ketahui.
Sebanyak 95% dari responden yang menerima contoh susu formula
bayi dan umur cereal gratis mengatakan bahwa mereka
menerimanya dari bidan.
58
e. Pengaruh Iklan
Sumber informasi diduga berpengaruh dalam pemberian susu
formula. Media massa khususnya televisi dan radio memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap pemberian susu formula
karena dalam iklan pada media tersebut produsen berusaha
menampilkan atau menyatakan beberapa kelebihan produk mereka
yang sangat penting bagi pertumbuhan bayi, sehingga seringkali
ibu-ibu beranggapan bahwa susu formula lebih baik dari ASI.
Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Soelistyowati (1996) dalam Fitrisia (2002) bahwa banyak ibu yang
menggantikan ASI dengan susu formula karena terpengaruh oleh
iklan yang dilancarkan lewat pers, televisi dan radio. Sumber
informasi tentang susu formula paling banyak diketahui melalui
media televisi dan radio (42,5%), sedangkan dari tabel silang
diketahui bahwa contoh yang mendapatkan informasi tentang susu
formula dari bidan/dokter (40%) cenderung lebih mengikuti
anjuran untuk memberikan susu formula, hal ini mungkin
disebabkan karena tingkat kepercayaan contoh terhadap petugas
kesehatan tinggi.
Hasil penelitian Simandjuntak tahun 2001, tidak ditemukan
hubungan yang bermakna antara iklan dengan pemberian MP-ASI
dini pada bayi. Ketidak bermaknaan ini disebabkan pemberian
MP-ASI dini yang sangat tinggi sehingga data menjadi homogen,
penelitian menunjukkan bahwa 43% responden sudah menerima
59
contoh makanan bayi selama dirawat di tempat bersalin atau ketika
hendak pulang. Sebanyak 98,75% diantaranya menerima susu
formula bayi dan 1,25% ada menerima bubur cereal. Dan yang
memberikan makanan bayi gratis ini 95% adalah bidan, 2,5%
dokter bahkan ada yang menerimnya langsung dari petugas
perusahaan dan prakarya puskesmas.
2.3.4 Penelitian terkait faktor-faktor pemberian ASI eksklusif
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menggali faktorfaktor yang mempengaruhi praktek pemberian ASI eksklusif.
Pada Tabel 2.1 terlihat beberapa penelitian tentang ASI yang telah
dilakukan sebelumnya.
Tabel 2.1
Beberapa Penelitian tentang ASI Eksklusif
No
Nama
Judul
Hasil
Peneliti
1
Sandra
Fikawati,
Ahmad
Syafiq
2009
Penyebab keberhasilan
dan kegagalan praktik
pemberian ASI
eksklusif
Faktor predisposisi kegagalan ASI
eksklusif
adalah
karena
faktor
predisposisi yaitu pengetahuan dan
pengalaman ibu yang kurang dan faktor
pemungkin penting yang menyebabkan
terjadinya kegagalan adalah karena ibu
tidak difasilitasi melakukan IMD
2
Diana
Nur Afifah
2007
Faktor yang berperan
dalam kegagalan
praktik pemberian ASI
eksklusif
(studi kualitatif di
Kecamatan
Tembalang, Kota
Semarang Tahun 2007)
Tesis
Gagalnya pemberian ASI eksklusif
adalah kurangnya pengetahuan subjek
tentang ASI eksklusif, fasilitas rawat
gabung tidak berjalan semestinya,serta
adanya keyakinan, praktik yang keliru
tentang makanan bayi, promosi susu
formula, masalah kesehatan ibu dan
bayi.
60
Dahlia
Faktor-faktor yang
Simandjuntak berhubungan dengan
2001
pemberian makanan
pendamping ASI dini
pada bayi di Kecamatan
Pasar Rebo, Kotamadya
Jakarta Timur tahun
2001
Asdan
Analisa
Padang
faktor-faktor yang
2007
mempengaruhi ibu
dalam pemberian MPASI dini di Kecamatan
Pandan Kabupaten
Tapanuli Tengah tahun
2007
Pengetahuan ibu tentang dampak
pemberian makanan pendamping ASI
dini pada bayi masih sangat rendah dan
peran petugas kesehatan terutama bidan
cukup besar dalam pemberian makanan
pendamping ASI dini pada bayi
5
Annisa
Anggraeni
2012
Adapun faktor-faktor yang berhubungan
dengan pemberian ASI eksklusif adalah
umur, paritas, pendidikan, pekerjaan,
pengetahuan,
sikap,
kepercayaan,
tenaga yang melayani IMD, dukungan
keluarga dan tenaga, kader kesehatan.
6
La Ode Amal
Saleh
2011
7
Dessy Wahyu Faktor-faktor yang
Fitrisia
Mempengaruhi ibu
2002
dalam pemberian susu
formula pada bayi umur
0-12 bulan tahun 2002
3
4
Faktor-faktor yang
berhubungan dengan
pemberian ASI
eksklusif pada ibu yang
melahirkan
di rumah bersalin
Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta
Selatan tahun 2012
Faktor-faktor yang
menghambat praktik
ASI eksklusif pada bayi
usia 0-6 bulan tahun
2011
(studi kualitatif di Desa
Tridana Mulya,
Kecamatan Landono
Kabupaten Konawe
Selatan, Sulawesi
Tenggara)
Variabel predisposisi yang mempunyai
pengaruh secara signifikan terhadap
pemberian MP-ASI adalah sikap,
variabel pendukung adalah keterpaparan
media, variabel pendorong adalah
dukungan keluarga dan kebiasaan
memberi MP-ASI di masyarakat
Praktik ASI eksklusif pada bayi
terhambat dimana selain subjek
memberikan ASI sekaligus memberikan
prelakteal dan MP-ASI sejak dini.
Tingkat pendidikan yang tinggi namun
tidak disertai dengan pengetahuan
tentang praktik ASI eksklusif, status ibu
bekerja, tingkat pendapatan rendah,
dukungan suami kurang, dan peran
tenaga kesehatan yang memberikan
pengaruh negatif terhadap subjek dalam
pemberian prelakteal dan MP-ASI sejak
dini
Adanya pengaruh informasi mengenai
susu formula yang diperoleh dari
televisi dan radio
61
8
Asih
Persepsi ibu bekerja
Mulyaningsih terhadap implementasi
2010
ASI eksklusif (kasus
Kelurahan Karadenan
Kecamatan Cibinong
Kabupaten Bogor tahun
2010) tesis
9
Asrinia
Rachmadewi
2009
10
Ludfi Dini
Arasta
2010
Faktor-faktor internal dan ekskternal
yang berhubungan nyata dengan
persepsi ibu bekerja tentang ASI
eksklusif adalah tingkat pendidikan ibu,
jenis pekerjaan ibu, tingkat pendapatan
ibu, tingkat pendapatan keluarga,
pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif,
jumlah jam kerja, jarak tempat kerja,
peluang pemberi kerja, dan dukungan
suami
Pengetahuan, sikap, dan Tidak terdapat perbedaan yang nyata
praktek pemberian ASI baik di perdesaan dan perkotaan dalam
serta status gizi bayi
praktek ASI eksklusif, pengetahuan,
usia 4-12 bulan di
sikap gizi ibu dan mayoritas diperoleh
perdesaan dan di
dari petugas kesehatan
perkotaan
Hubungan pelaksanaan Ada hubungan yang signifikan antara
rawat gabung dengan
pelaksanaan rawat gabung dengan
perilaku ibu dalam
perilaku ibu dalam memberikan ASI
memberikan ASI
eksklusif di Polindes Harapan Bunda
eksklusif di Polindes
Desa Kaligading Kecamatan Boja
Harapan Bunda Desa
Kaligading Kecamatan Kabupaten Kendal
Boja Kabupaten Kendal
tahun 2010
2.4. Teori Health Belief Model
2.4.1 Definisi teori health belief model
Teori health belief model yang dikutip Edberg (2009) dalam
buku “Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku”, merupakan
teori yang mengarahkan pada proses berfikir yang dialami seseorang
sebelum melakukan suatu tindakan yang berkaitan dengan kesehatan.
Meskipun teori ini diarahkan pada apa yang terjadi pada seseorang,
juga perlu diingat konteksnya. Keputusan untuk melakukan ataupun
tidak melakukan suatu tindakan didasarkan pada petunjuk, rujukan
dan informasi yang berasal dari lingkungan, baik fisik, sosial, maupun
62
budaya seseorang tersebut. Proses berfikir yang dibahas dalam
psikologi kognitif diantaranya adalah persepsi, memori, pembuatan
keputusan, interpretasi, penalaran dan penilaian, diantara kemampuan
lainnya.
Komponen kognitif adalah aspek intelektual yang berkaitan
dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif ini adalah
olahan pikiran manusia atau seseorang terhadap kondisi eksternal atau
stimulus, yang menghasilkan pengetahuan, yang dikutip Notoatmodjo
(2010), dalam buku “Ilmu Perilaku Kesehatan”.
Persepsi merupakan faktor sosiopsikologi yang berasal dari
dalam individu itu sendiri yang mempengaruhi proses pembentukan
dan perubahan dalam perilaku kesehatan. Perubahan-perubahan
perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi.
Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang
mempunyai persepsi yang berbeda-beda, meskipun objeknya sama,
yang dikutip Notoatmodjo (2003), dalam buku “Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan”.
Persepsi adalah suatu proses memperhatikan dan menyeleksi,
mengorganisasikan dan menafsirkan stimulus lingkungan. Proses
memperhatikan dan menyeleksi terjadi karena setiap saat panca indera
kita (indera pendegar, perasa, penglihatan, penciuman dan peraba)
dihadapkan pada begitu banyak stimulus lingkungan. Akan tetapi
tidak semua stimulus tersebut kita perhatikan, sebab akan dapat
63
menyebabkan kebingungan pada diri kita sendiri. Sehingga stimulus
tersebut perlu diseleksi agar menjadi lebih berarti dan tidak bingung.
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh
proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat
indera, kemudian individu ada perhatian dan diteruskan ke otak,
selanjutnya
individu
menyadari
tentang
adanya
sesuatu.
Melalui persepsi disekitarnya, maupun tentang hal-hal yang ada
dalam diri individu yang bersangkutan (Azwar, 2000 dalam
Handayani, 2007).
Konsep dasar health belief model yang dikutip Smet (1994),
dalam buku “Psikologi Kesehatan” yaitu menjelaskan faktor
determinan dari perilaku kesehatan yang berorientasi pada personal
belief atau persepsi dan keyakinan mengenai suatu penyakit atau
kejadian tertentu dan cara yang akan dilakukan untuk mengurangi
kejadian tersebut. Proses kognitif dari health belief model dipengaruhi
oleh berbagai informasi yang datang, kemungkinan individu akan
melakukan tindakan pencegahan tergantung pada keyakinan atau
penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan individu dari sakit
dan pertimbangan antara keuntungan dan kerugian yang didapat.
Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap
resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seorang
berfikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman
kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang
dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan
64
meningkat. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan
pada: (a) ketidak-kekebalan yang dirasakan (perceived vulnerability)
yang
merupakan
kemungkinan
bahwa
orang-orang
dapat
mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka.
(b) keseriusan yang dirasakan (perceived severity). Orang-orang yang
mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut apabila
mereka mengembangkan masalah kesehatan mereka atau membiarkan
penyakitnya tidak ditangani. Penilaian yang kedua yang dibuat adalah
perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam
usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak,
yang dikutip Smet (1994) dalam buku “ Psikologi Kesehatan”.
Health
belief
model
merupakan
konsep
utama
yang
memprediksikan mengapa seseorang mengambil suatu tindakan untuk
pencegahan penyakit yang dilihat dari seberapa rentan penyakit
menimbulkan keseriusan, manfaat serta kendala yang dihadapi dalam
pengambilan tindakan, ditambah dengan kepercayaan individu dalam
mengambil tindakan untuk pencegahan penyakit, yang dikutip Glanz,
(2008) dalam buku “Health Behavior And Health Education; Theory,
Research and Practice”.
Dan dalam penelitian ini konsep health belief model dipakai
untuk mengetahui alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2013, dari teori health belief model ini dapat
dilihat pada konsep berikut :
65
Tabel 2.2
Konsep teori health belief model yang dikutip Edberg (2009) dalam buku
“Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Perilaku”
Persepsi kerentanan
Derajat risiko yang dirasakan
terhadap masalah kesehatan
seseorang
Persepsi keparahan
Tingkat
kepercayaan
seseorang
bahwa
konsekuensi masalah kesehatan yang akan
menjadi parah
Persepsi manfaat
Hasil positif yang dipercaya seseorang sebagai
hasil dari tindakan
Persepsi hambatan
Hasil negatif yang dipercaya sebagai hasil dari
tindakan
Petunjuk untuk bertindak
Peristiwa eksternal yang memotivasi seseorang
untuk bertindak
Efikasi diri
Kepercayaan seseorang akan kemampuannya
dalam melakukan tindakan
1. Persepsi kerentanan (Perceived susceptibility)
Persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit agar bertindak untuk
mengobati atau mencegah penyakitnya. Pemberian ASI secara eksklusif
dapat mencegah bayi terserang penyakit infeksi, dan akan berpotensi
berisiko terkena penyakit apabila pemberian ASI tidak sampai 6 bulan.
2. Persepsi keseriusan (Perceived seriousness)
Persepsi keseriusan penyakit apabila terkena maka konsekuensi
yang akan diterima akan berat. Bayi yang tidak mendapatkan ASI secara
eksklusif dapat menurunkan daya tahan tubuh bayi sehingga mudah
terserang
penyakit-penyakit
dan
berdampak
kepada
kegagalan
pertumbuhan bayi. Kombinasi persepsi kerentanan dan persepsi
66
keseriusan akan menghasilkan persepsi ancaman. Individu akan
mengubah perilaku mereka berdasarkan persepsi ancaman yang berasal
dari keseriusan penyakit tersebut, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku
“Health Behavior and Health Education; Theory, Research and
Practice”.
3. Persepsi manfaat (Perceived benefits)
Melakukan tindakan pencegahan akan bermanfaat jika merasa
sangat rentan terhadap penyakit-penyakit, persepsi positif ini sangat
berperan penting pada perilaku seseorang dalam mengambil suatu
keputusan kesehatan atas dirinya ataupun lingkungannya. Besarnya
keuntungan ataupun manfaat yang didapat dari suatu tindakan
pencegahan maka akan semakin besar peluang individu tersebut
menjalankan tindakan pencegahan penyakit. Akan tetapi bila manfaat
yang dirasakan kecil dari suatu tindakan yang akan dilakukan untuk
pencegahan akan semakin kecil.
Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat bagi bayi seperti
meningkatkan daya tahan tubuh bayi, meningkatkan kecerdasan bayi,
dengan pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, akan
terjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara
optimal, ASI mengandung nutrien-nutrien khusus yang diperlukan otak
bayi agar tumbuh optimal.
67
4. Persepsi kendala (Perceived barrier)
Persepsi individu bahwa tidak terlalu banyak konsekuensi negatif
bila mengambil tindakan pencegahan dan tidak banyak kendala dalam
prosesnya. Adanya kendala dalam pemberian ASI eksklusif seperti
puting susu yang pendek/terbenam, payudara bengkak, puting susu yang
lecet, produksi ASI kurang, dan ibu bekerja, membuat ibu langsung
menganggap bahwa hilangnya peluang untuk menyusui secara eksklusif
sehingga dengan alasan kendala ini, ibu memberikan selingan ASI yaitu
makanan pendamping ASI dini
5. Kepercayaan diri (Self efficacy)
Kepercayaan seseorang akan kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan dengan berhasil. Konsep ini ditambahkan oleh Rosenstock,
Strecher, dan Becker tahun 1988 untuk menyempurnakan teori health
belief model agar sesuai dengan tantangan perubahan perilaku atau
kebiasaan yang tidak sehat, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku
“Health Behavior and Health Education; Theory, Research and
Practice”.
Ibu memiliki kepercayaan diri dalam memberikan ASI eksklusif,
tetapi pada kenyataannya banyak ibu merasa khawatir pemberian ASI
saja selama 6 bulan tidak cukup ini disebabkan oleh bayi masih rewel
setelah diberikan ASI, maka ibu mulai memperkenalkan makanan
pendamping ASI dini dimaksudkan agar bayi tidak rewel setelah diberi
makanan.
68
6. Petunjuk untuk bertindak (Cues to action)
Peristiwa eksternal yang memotivasi seseorang untuk bertindak.
Adanya dukungan dari keluarga terdekat, dukungan tenaga kesehatan,
serta media masaa seperti majalah, televisi, dan radio dalam melakukan
tindakan pemberian makanan pendamping ASI dini.
7. Modifying factors (karakteristik individu yang dapat mempengaruhi
persepsi)
Variabel demografi, sosiopsikologi dan struktur yang berbeda dapat
mempengaruhi persepsi individu dan secara tidak langsung juga dapat
mempengaruhi perilaku kesehatan individu tersebut. Secara spesifik,
faktor sosiodemografi, khususnya tercapai pendidikan yang diyakini akan
memberikan efek secara tidak langsung dalam mempengaruhi persepsi
individu dalam persepsi kerentanan, keseriusan, manfaat dari tindakan
pencegahan, kendala dalam pencapaian tindakan dan kepercayaan diri
dalam melakukan tindakan pencegahan.
Variabel ini terdiri dari 3 variabel, yaitu :
a. Variabel demografi, dimana pada variabel ini meliputi (usia, suku
keturunan, adat/istiadat dan jumlah anak ibu)
b. Variabel sosiopsikologi, yang meliputi (pendidikan, pekerjaan dan
pengalaman ibu dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI
dini kepada anak sebelumnya)
c. Variabel struktural, meliputi (pengetahuan ibu mengenai pemberian
makanan
pendamping
memperlancar ASI)
ASI
dini,
ASI
eksklusif
dan
upaya
69
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai alasan
ibu memberikan makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori
health belief model di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
Jakarta Selatan tahun 2013. Penggunaan konsep teori health belief model
bermaksud agar lebih memudahkan peneliti mengambil benang merah yang
menjadi alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini. Konsep
teori health belief model ini lebih mengutamakan munculnya persepsi
ancaman terlebih dahulu, kemudian dipengaruhi oleh cues to action (faktor
eksternal) dan karakteristik ibu (variabel demografi, sosiopsikologi, dan
struktural) terhadap adanya persepsi ibu mengenai ancaman penyakit dari
pemberian makanan pendamping ASI dini, sehingga berhubungan langsung
dengan kecenderungan ibu untuk melakukan perilaku pemberian ASI
eksklusif.
Konsep teori health belief model menekankan bahwa seseorang akan
melakukan tindakan perilaku kesehatan apabila seseorang tersebut
menganggap bahwa dirinya rentan terhadap suatu penyakit, percaya
memiliki konsekuensi yang serius, adanya manfaat dalam mengurangi
kerentanan atau keparahan kondisi, adanya hambatan (diantisipasi) dan
sebanding dengan manfaat yang akan diterima serta keyakinan diri bahwa
dapat berhasil melakukan tindakan perilaku kesehatan tersebut yang dikutip
Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory,
Research and Practice”. Dapat digambarkan teori sebagai berikut:
70
Bagan 2.1
Teori Health Belief Model (Hochbaum 1958; Rosenstock, 1974; Kirscht,
1974; Becker, 1974; Janz and Becker, 1984, 1988)
Individual Perceptions
Persepsi kerentanan
dan persepsi keseriusan
Modifying Factors
Likelihood of Action
Usia
Suku keturunan
Adat/istiadat
Pengalaman
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Persepsi manfaat
dan persepsi kendala
Persepsi ancaman
terhadap penyakit
Tindakan/perilaku
Cues to action
(faktor eksternal)
Kepercayaan
diri/self-efficacy
BAB III
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH
3.1
Kerangka Pikir
Kerangka pikir disusun untuk mempermudah pemahaman dalam
menganalisis kegagalan-kegagalan dalam sistem pelayanan kesehatan
khususnya dalam pelaksanaan program ASI eksklusif.
Kerangka pikir dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori
health belief model yang menjelaskan faktor determinan dari perilaku
kesehatan yang berorientasi pada personal belief atau persepsi dan
keyakinan individu mengenai suatu penyakit. Berdasarkan kerangka pikir,
maka hal-hal berikut yang harus diketahui yaitu persepsi ibu mengenai
kerentanan dan keseriusan penyakit yang akan ditimbulkan dari pemberian
makanan pendamping ASI dini, persepsi ibu mengenai ancaman dari
pemberian makanan pendamping ASI dini, persepsi ibu mengenai manfaat
pemberian ASI eksklusif, persepsi ibu mengenai kendala pemberian ASI
eksklusif, dan kepercayaan diri ibu untuk dapat memberikan ASI eksklusif.
Persepsi pemberian makanan pendamping ASI dini juga dipengaruhi
dengan adanya faktor eksternal (cues to action) yaitu keluarga terdekat,
tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan dan media
massa. Dan variabel karakteristik ibu (demografi, sosiopsikologi, struktural)
yaitu umur ibu, suku keturunan ibu, kebiasaan/adat ibu dalam memberikan
makanan pendamping ASI dini, pengalaman ibu (jumlah anak) dalam
memberikan makanan pendamping ASI dini, pendidikan formal ibu,
71
72
pekerjaan ibu, dan pengetahuan ibu (ASI eksklusif, makanan pendamping
ASI dan upaya dalam memperlancar dan memperbanyak produksi ASI).
Persepsi ibu terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini,
karakteristik ibu, dan faktor eksternal dapat mempengaruhi keputusan ibu
dalam pemberian ASI eksklusif dan atau makanan pendamping ASI dini.
Berikut kerangka pikir penelitian untuk mengetahui alasan ibu memberikan
makanan pendamping ASI dini di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013.
Bagan 3.1
Kerangka Pikir Penelitian
Individual Perceptions
Modifying Factors
Usia
Suku keturunan
Adat/istiadat
Pengalaman
(jumlah anak)
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Persepsi ibu mengenai
kerentanan dan
keseriusan penyakit
yang dapat
ditimbulkan dari
pemberian MP-ASI
dini
Persepsi ancaman
terhadap MP-ASI dini
Cues to action
(faktor eksternal)
Dukungan keluarga
Dukungan tenaga
kesehatan
Media massa
Likelihood of Action
Persepsi manfaat
memberikan ASI
eksklusif
dan persepsi kendala
memberikan ASI
eksklusif
Perilaku
memberikan ASI
eksklusif
Kepercayaan
diri/self-efficacy
73
3.2
Definisi Istilah
Tabel 3.1
Definisi Istilah
No
Istilah
Definisi Istilah
Karakteristik ibu
1
Umur ibu
Jumlah tahun lamanya ibu hidup yang
diperoleh dari selisih tanggal kelahiran
dan tanggal wawancara.
2
Adat/kebiasaan ibu
Tradisi atau adat adalah sesuatu yang
dilakukan untuk sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama
dan adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun
(sering kali) lisan. Dalam hal ini meliputi:
tradisi/kebiasaan
pemberian
makanan
pendamping ASI dini serta kepercayaan
yang melatarbelakanginya
3
Suku keturunan ibu
Anggota
umumnya
suatu
suku
ditentukan
bangsa
pada
menurut
garis
keturunan ayah (patrilinial) seperti suku
bangsa Batak, menurut garis keturunan
ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau
menurut keduanya seperti suku Jawa.
dalam penelitian ini garis keturunan
informan (ibu) dimaksudkan berhubungan
dengan kebiasaan pemberian makanan
pendamping ASI dini.
74
4
Pengetahuan ibu
Hal-hal yang diketahui oleh informan (ibu)
yang berhubungan dengan pemberian ASI
eksklusif, makanan pendamping ASI dan
upaya memperlancar dan memperbanyak
produksi ASI bagi ibu.
5
Pendidikan ibu
Jenjang pendidikan formal yang terakhir
dimiliki informan (ibu) dan mempunyai
ijazah.
6
Pekerjaan ibu
Kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan
oleh seorang ibu yang memiliki balita
pada saat dilakukan penelitian (yang
menghasilkan uang).
7
Pengalaman ibu
Pengalaman informan (ibu) dalam
hal
pemberian makanan pendamping ASI dini.
Dapat dilihat dari praktek pemberian
makanan pendamping ASI dini pada anak
sebelumnya dan pada umur berapa anak
sudah diberikan makanan pendamping
ASI dini, seorang ibu akan memberikan
makanan
pendamping
ASI dini
jika
kelahiran anak sebelumnya juga diberikan.
Persepsi ibu
1
Kerentanan
(Perceived susceptibility)
Persepi
kerentanan
informan
penyakit
(ibu)
mengenai
yang
akan
ditimbulkan dari pemberian makanan
pendamping ASI dini
2
Keseriusan
(Perceived
severity/seriuosness)
Persepsi
informan
(ibu)
mengenai
keseriusan yang bisa disebabkan dari
pemberian makanan pendamping ASI dini
3
Ancaman
(Perceived threat)
Persepsi
informan
(ibu)
mengenai
ancaman penyakit terhadap anaknya
75
4
Manfaat
(Perceived benefits)
Persepsi informan (ibu) mengenai manfaat
yang didapatkan dari pemberian ASI
eksklusif
4
Kendala
(Perceived barrier)
Persepsi informan (ibu) mengenai kendala
yang dihadapi dalam pemberian ASI
eksklusif sehingga ibu dapat memberikan
makanan pendamping ASI dini
5
Kepercayaan diri
(Self efficacy)
Kepercayaan diri informan (ibu) dalam
pemberian ASI eksklusif
Faktor eksternal (Cues to action)
1
Dukungan keluarga
Bentuk perhatian, nasihat, dan dorongan,
yang dirasa didapatkan informan (ibu)
dari suami atau orang tua atau keluarga
terdekat
dalam
pemberian
makanan
pendamping ASI dini
2
Dukungan tenaga kesehatan
Anjuran
tenaga
kesehatan
yang
memberikan informasi tentang pemberian
ASI eksklusif dan pemberian makanan
pendamping ASI
3
Informasi iklan
Pernyataan
informan
(ibu)
mengenai
pernah atau tidak menerima susu atau
makanan lain ketika melahirkan, dan
pernah atau tidak mendapat informasi
iklan dari media televisi, majalah, radio.
4
Praktek pemberian makanan
Riwayat pemberian makanan pendamping
pendamping ASI dini
ASI dini oleh ibu meliputi waktu pertama
kali ASI keluar, jenis yang diberikan,
kapan pemberian, frekuensi pemberian,
kuantitas pemberian, waktu penghentian
pemberian,
dan
alasan
makanan pendamping dini
pemberian
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif. Hal tersebut dilakukan karena peneliti ingin mengetahui alasan
ibu memberikan makanan pendamping ASI dini dengan pendekatan teori
health belief model secara mendalam.
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan, pada bulan Mei – Juni 2013.
4.3
Informan Penelitian
Informan penelitian ini berdasarkan hasil penelitian Anggraeni (2012),
hasil penelitian menunjukkan kecenderungan perilaku ibu yang melahirkan
di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tidak memberikan
ASI eksklusif. Pemilihan informan ini dipilih sampai jenuh, yaitu sudah
mendapat sumber informasi yang maksimum, dan sumber informasi sudah
mencukupi, maka proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai.
4.4
Instrumen Penelitian
Pada tahap pengumpulan data, instrumen penelitian menggunakan
pedoman wawancara tidak berstruktur yang tergolong dalam bagian
wawancara mendalam untuk mewawancarai informan terkait dengan
pemberian makanan pendamping ASI. Selain itu, alat bantu perekam suara.
76
77
4.5
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu, data primer dan data sekunder.
Data primer merupakan hasil wawancara mendalam terhadap ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif pada hasil penelitian Anggraeni (2012), keluarga
terdekat ibu yang memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk
memberikan makanan pendamping ASI dini dan tenaga kesehatan/bidan
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan. Sedangkan data sekunder yaitu profil
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan.
4.6
Validasi Data
Teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai
teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiono, 2010).
Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber,
didapat dari keluarga terdekat ibu dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan.
Tabel 4.1
Validasi Sumber
Komponen yang divalidasi
Keluarga terdekat
(ibu kandung, ibu mertua, dan suami)
Terhadap
pengaruh
pengambilan
keputusan ibu memberikan makanan
pendamping ASI dini
Tenaga kesehatan/bidan Puskesmas
Kecamatan
Pesanggrahan
Jakarta
Selatan
Terhadap pemberian dukungan kepada ibu
mengenai pemberian ASI eksklusif dan
makanan pendamping ASI setelah 6 bulan
Validasi
Sumber
√
√
78
4.7
Pengolahan Data
Tahap pengolahan data yang dilakukan adalah hasil wawancara yang
sudah terkumpulkan dari seluruh informan dibuat dalam bentuk transkrip
data dan disimpulkan sementara sesuai hasil temuan, selanjutnya akan
dilakukan kategorisasi hasil wawancara berdasarkan pedoman wawancara
sehingga pada tahap pengolahan data ini dapat diketahui informasi mana
saja yang belum didapatkan dan informasi mana yang harus lebih mendalam
ditanyakan dalam wawancara berikutnya. Setelah informasi lengkap maka
hasil wawancara dapat disimpulkan, dan dibuat ringkasan data dalam bentuk
matriks wawancara.
4.8
Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk naratif sesuai kerangka pikir.
4.9
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis interpretasi.
Setelah memberikan interpretasi, selanjutnya peneliti mengelompokkan
hasil sesuai dengan teori health belief model. Maka dapat diketahui yang
menjadi alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di wilayah
kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kecamatan Pesanggrahan adalah salah satu dari 10 kecamatan di
wilayah Kotamadya Jakarta Selatan dengan luas wilayah seperti yang
ditetapkan dengan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1227 tahun 1989 yaitu
seluas 13,46 km2 terbagi menjadi 5 kelurahan yaitu :
Kelurahan Petukangan Utara seluas
: 2,99 km2, Jumlah RW 11 RT 122
Kelurahan Petukangan Selatan seluas : 2,11 km2, Jumlah RW 8 RT 85
Kelurahan Ulujami seluas
: 1,70 km2, Jumlah RW 9 RT 94
Kelurahan Pesanggrahan seluas
: 2,11 km2, Jumlah RW 8 RT 85
Kelurahan Bintaro seluas
: 4,55 km2, Jumlah RW 15 RT 141
Batas-batas wilayah Kecamatan Pesanggrahan adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Pesanggrahan
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rempoa, Tangerang
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pondok Betung, Tangerang
5.1.1 Demografi Wilayah
Berdasarkan data statistik di kantor Kecamatan Pesanggrahan,
jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Pesanggrahan adalah 214.843
orang terdiri dari 109.568 laki-laki dan 105.275 perempuan, tingkat
kepadatan penduduk mencapai 15.962 orang/km2 dengan kepadatan
79
80
tertinggi di Kelurahan Ulujami mencapai 25.337 orang/km2 dan
terendah di Kelurahan Bintaro sebesar 11.296 orang/km2.
5.2
Karakteristik Informan
Informan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu informan utama dan informan pendukung. Informan utama
merupakan sumber informasi utama yang terkait dengan penelitian ini, yaitu
ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada penelitian Anggraeni (2012)
dan bermukim di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan.
Sedangkan informan pendukung hanya bersifat sebagai sumber
informasi tambahan sekaligus sebagai metode untuk melakukan cross check
data dari informan utama. Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri
dari keluarga
terdekat
informan utama
yang berpengaruh dalam
pengambilan keputusan ibu untuk memberikan makanan pendamping ASI
dini (ibu kandung, ibu mertua dan suami) dan tenaga kesehatan/bidan
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan yang melayani informan saat
melakukan pemeriksaan kehamilan dan bersalin. Pengumpulan informasi
dari seluruh informan, baik informan utama maupun informan pendukung
dilakukan melalui metode wawancara mendalam (indepth interview).
5.2.1 Informan Utama
Berdasarkan hasil penelitian Anggraeni (2012) menunjukkan
bahwa jumlah ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 41
responden, dan responden yang bermukim di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan ada sebanyak 26 orang,
81
tetapi jumlah informan utama yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 9 orang, mengingat bahwa proses pengumpulan informasi
sudah mencukupi, sudah tidak lagi ditemukan variasi atau informasi
yang berbeda.
Karakteristik informan utama yang didapatkan yaitu umur,
pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anak yang hidup. Umur tertinggi
informan adalah 37 tahun, sedangkan umur terendah informan yaitu
umur 22 tahun. Latar belakang pendidikan informan berasal dari
tingkat pendidikan yang berbeda-berbeda, pendidikan tertinggi yang
ditamatkan adalah SMA, sedangkan pendidikan terendah adalah SD.
Sebagian besar pekerjaan informan dalam penelitian ini adalah ibu
rumah tangga (7 informan) dan yang bekerja ada 2 informan yaitu
bekerja sebagai resepsionis dan pembantu rumah tangga. Berikut tabel
mengenai karakteristik informan utama.
Tabel 5.1
Karakteristik Informan Utama
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nama
Informan
Ibu Yu
Ibu Si
Ibu Nr
Ibu Id
Ibu Da
Ibu Am
Ibu Ro
Ibu Sa
Ibu St
Umur (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
35
26
29
37
35
22
28
28
23
SD
SD
SMA
SMP
SMEA
SMA
SMA
SD
SMA
IRT
IRT
IRT
IRT
IRT
Resepsionis
IRT
Pembantu
IRT
Jumlah
anak hidup
3
3
2
3
4
1
2
1
1
82
5.2.2 Informan Pendukung
Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri dari keluarga
informan utama dan tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan
Pesanggrahan Jakarta Selatan, sebagai tenaga penolong persalinan dan
tenaga pemeriksaan kehamilan informan utama pada kelahiran anak
terakhir. Pemilihan keluarga untuk menjadi informan pendukung
diambil berdasarkan jawaban dari informan utama mengenai
dukungan/anjuran dalam praktek pemberian makanan pendamping
ASI dini. Dalam penelitian ini, sebagian besar keluarga terdekat yang
menganjurkan memberikan makanan pendamping ASI dini adalah ibu
mertua (4 informan), ibu kandung (3 informan) dan suami
(2 informan) pemilihan suami yang menjadi informan pendukung
disebabkan oleh ibu kandung yang menganjurkan memberikan
makanan pendamping ASI dini berdomisili bukan di daerah penelitian
ini. Karakteristik yang diperoleh yaitu umur, pendidikan, dan
pekerjaan. Informan pendukung dari keluarga terdekat memiliki umur
terendah yaitu 51 tahun dan tertinggi adalah 60 tahun, sedangkan
dengan latar belakang tingkat pendidikan yang berbeda-beda yaitu
tidak tamat SD, SD, dan SMP, dan seluruhnya merupakan sebagai ibu
rumah tangga.
Pemilihan tenaga kesehatan/bidan diperoleh melalui jawaban
mengenai dukungan tenaga kesehatan yang didapatkan informan
utama, yaitu dukungan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai 6
bulan, dan dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI
83
setelah bayi berumur 6 bulan. Karakteristik bidan terdiri dari umur,
pendidikan dan pekerjaan. Bidan yang menjadi informan pendukung
dalam penelitian ini adalah tenaga penolong persalinan yang berusia
46 tahun dan tenaga pemeriksaan kehamilan yang berusia 51 tahun,
dengan tingkat pendidikan terakhir D4 kebidanan. Berikut tabel
mengenai karakteristik informan pendukung.
Tabel 5.2
Karakteristik Informan Pendukung
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
5.3
Nama Informan
Ibu Mu
Ibu Nu
Ibu Ma
Ibu An
Ibu Si
Ibu At
Ibu Mr
Pak Ah
Pak Mu
Ibu El
Ibu Ai
Umur (tahun)
60
57
52
55
55
51
59
29
30
46
51
Pendidikan
Tidak tamat SD
Tidak tamat SD
SMP
Tidak tamat SD
SD
SD
Tidak tamat SD
SMP
SMA
D4 kebidanan
D4 kebidanan
Pekerjaan
IRT
IRT
IRT
IRT
IRT
IRT
IRT
Buruh
Guru Paud
Bidan
Bidan
Hasil Penelitian
Hasil penelitian akan dipaparkan perinforman utama, sesuai dengan
pendekatan teori health belief model, sehingga lebih memudahkan peneliti
untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian yaitu
diketahuinya alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI dini di
wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan.
84
5.3.1 Informan pertama (Ibu Yu, 35 thn, 3 anak, IRT)
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang
dilakukan informan adalah pemberian madu ketika bayi baru lahir,
dengan cara dioleskan di bibirnya, frekuensi pemberian madu dua kali
dalam sehari yaitu pagi dan siang hari yang diberikan informan dalam
tiga hari pertama awal kelahiran saja, setelah itu tidak diberikan lagi.
“...iya paling kalo diolesin dibibirnya itu pas lagi baru lahir,
dikasih itu madu, baru lahir, maksudnya pas aku keluar dari
kamar bersalin kan dibawain tuh madu ama ibu saya uda aku
kasih di bibirnya aku kasih madu, diolesin iya he’eh di bibirnya,
iya seperlunya sebibirnya aja ga usah pakek kedalem-dalem
pokoknya disini aja (peragaan olesan bibir), aku polesin aja
madu, madu rasa tuh, olesin di bibirnya...dirumah cuman sampe
3 hari lah aku kasih madu, kasih madu gitu...3 hari aja
dipakekin iya pagi siang gitu aja, kalo sore uda ga...”
Pemberian madu ketika bayi baru lahir dengan cara dioleskan di
bibir bayi selama 3 hari juga sudah dipraktekkan kepada anak pertama
dan kedua informan, alasan pemberian madu agar bibir bayi tidak
kering, tidak mudah sariawan, dan tidak pecah-pecah. Informan
mengatakan bahwa pemberian madu kepada bayi yang baru lahir
sudah
menjadi
turun-temurun
keluarganya,
berikut
penuturan
langsungnya:
“...iya pokoknya dari yang pertama ampe yang ini (anak yang
ketiga) iya aku pakeknya madu, diolesin 3 hari aja ga lebih
gitu...dikasihnya madu supaya bibirnya ga kering...biar ga
pecah-pecah lagi gitu... madu bagus buat sariawan...iya jadi
turun-temurun hehe...”
85
Kebiasaan pemberian madu ketika bayi baru lahir, disebutkan
oleh ibu kandung informan sebagai kebiasaan turun-temurun dalam
keluarga Betawi.
“...iya abis lahir, pas lahir dikasih madu dicolekin madu, iya
madu ini apa, madu ini madu yang tawon itu yang dibotol yang
asli madunya, saya mah asli orang sini, iya betawi kalo orang
dulu mah gitu kalo sekarang mah ga ada hehe, sekarang mah
kalo lahir uda ga dikasih apa-apa, dikasih asi aja, kalo saya
dulu mah kasih madu semua, iya seminggu he’eh...”(Ibu Mu, 60
thn)
Dalam praktek pemberian makanan pendamping ASI dini,
informan mengatakan mengetahui kapan sebaiknya bayi diberikan
makanan pendamping ASI, namun pada kenyataannya informan tidak
mengetahui bahwa pemberian madu merupakan pemberian makanan
yang tidak diperbolehkan untuk bayi dibawah 6 bulan. Sedangkan
pemahaman informan mengenai ASI eksklusif dapat diketahui dari
penuturan langsung berikut:
“...iya emang kalo misalkan bayi mau dikasih makan nunggu 6
bulan gitu, iya aku juga uda tau...pokoknya ini jangan kasih
makan dulu iya bu sebelum 6 bulan iya saya juga tau dok aku
bilangin gitu...pokoknya ga berani dah ngasih-ngasih makanan
orang katanya anaknya mencretlah apa gitu, biasanya kan
gitu...iya dibandingin dengan yang lain iya mending asi, iya
emang bagus sih sampe 2 tahun...kalo yang aku tau sih makan
nin aja sayur-sayuran yang banyak, daun katuk itu paling
banyak itu paling subur kalo lagi nyusuin makan sayur katuk
pasti banyak, cukup...”
Pemberian madu yang dilakukan informan tanpa sepengetahuan
tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, karena
tidak dianjurkan oleh bidan untuk memberikan apapun kepada bayi
86
yang baru lahir. Selain itu, adanya anjuran/dukungan untuk pemberian
ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI setelahnya.
“...kalo yang itunya sih bilang (bidan senior) pokoknya ini
jangan kasih makan dulu iya bu sebelum 6 bulan iya saya juga
tau dok aku bilangin gitu, iya dah kalo uda tau aku bilangin lagi
katanya tapi asi tetep iya, iya ialah tetep aku bilang gitu lagian
mau ngapain dikasih susu aku bilang aja gitu, aku ga pakek
apa-apa, ga kasih susu, iya bagus dah katanya gitu... kalo
ketahuan dokternya mana tau dah diomelin kali iya, itu mah
cuman tanpa sepengetahuan dia (dokter) aku kasih aja...”
“...satu ibu harus inisiasi menyusu dini, berikan bayinya ASI
eksklusif, perawatan payudara, perawatan tali puser, berikan
bayinya ASI eksklusif sampai 6 bulan kalo bisa sampe 2 tahun,
semuanya dikasih yang menyangkut kebidanan ga mungkin ga
dikasih...” (Bidan El, 46 thn)
Informan menganggap pemberian madu bukanlah penyebab
kerentanan ataupun dapat menimbulkan penyakit kepada bayi, tetapi
pemberian madu sebagai obat agar bibir bayi tidak pecah-pecah dan
tidak sariawan. Namun, malah sebaliknya pemberian makanan
pendamping ASI dini seperti pisang, dapat menyebabkan timbulnya
penyakit dikarenakan usus bayi belum kuat untuk mencerna makanan
tersebut. Anjuran dari ibu kandung untuk memberikan madu juga
memperkuat persepsi informan dalam memberikan madu.
Kondisi yang mengharuskan informan bangun ketika malam
hari untuk menyusui bukan suatu kendala yang mesti dihadapi
informan dalam pemberian ASI, ASI tetap diberikan meskipun
informan tidak mengetahui bahwa sudah memberikan makanan dini
kepada bayinya.
87
“...aku bilangin begitu yang penting yang ini makannya 6 bulan
biarin aja aku bilang, iya kasihan takutnya kan ntar susah
ususnya itu ga kuat dia, kalo aku sih emang ga berani...kalo
kepikiran sakit saya ga pernah ngalamin kalo dikasih madu
sakit iya belum tau tapi ga tau kalo yang lain, ga, ga ada itu
mah...iya kalo mertua aku sih madu ini bagus buat bayi juga,
buat supaya emang sering pecah-pecah begitu, anak kecil
dikasihnya madu biar ga pecah-pecah lagi gitu, itu aja sih
mertua aku ngomongnya, pokoknya bagus aja dibilang gitu,
pokoknya bagus deh...ya tetep aja aku kasih dari pada aku kasih
susu yang lain, iya ga apa-apa (gendong nangis bangun malemmalem) iya mendingan asi kalo misalnyakan kita pakek susu
mau buatin ke dapur dulu ah uda repot itu uda ga bisa tidur itu
mah heheh, enakkan asi pokoknya...”
“...madu mah waktu bayi, itu iya ga kan kalo itu kalo lahir kan
semua begitu kalo orang dulu mah dikasih madu biar ga
sariawan gitu jadi begitu lahir kasih madu ke bayi, iya ga
banyak dipeper-peperin aja iya dilidahnya iya ga banyak
makeknya...” (Ibu Mu, 60 thn)
ASI yang paling baik, memberikan ASI merupakan suatu
kebahagiaan sendiri bagi seorang ibu, tidak ada ruginya memberikan
ASI apalagi jika diberikan sampai anak berumur 2 tahun, berikut
adalah penuturan informan mengenai pemberian ASI dan dapat
diketahui bahwa informan memiliki kepercayaan diri yang baik untuk
bisa memberikan ASI kepada anak-anaknya sampai berumur 2 tahun.
“...iya dibandingin dengan yang lain iya mending asi, iya
emang bagus sih sampe 2 tahun, apa iya hehe ia iya malah uda
tiga anakkan hehee, iya bahagia aja ngasih asi seorang ibu iya
kan menyusui iya bahagia aja, seneng aja gitu, iya kalo
misalnya asi itu sih emang ga bakal bikin gendut iya kayak aku
ini biasa-biasa aja, pokoknya yang paling baik kasih asi aja itu
dari yang laen, ga ada lah (kerugian) kalo asi mah...”
88
5.3.2 Informan kedua (Ibu Si, 26 thn, 3 anak, IRT)
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang
dilakukan informan berupa pemberian madu yang dioleskan saja
di bibir bayi ketika bayi baru lahir kemudian pada umur 1 bulan bayi
diberikan makanan padat berupa pisang ambon dan bubur nestle.
Frekuensi pemberian pisang ambon 3 kali dalam sehari selama 3 hari.
Setelah itu informan menghentikan pemberian pisang ambon karena
adanya gangguan pencernaan pada bayi, bayi susah buang air besar.
Namun, informan kembali mencoba memberikan makanan lain berupa
bubur nestle dan ternyata kondisinya pun sama, maka pemberian
makanan baru diberikan lagi setelah bayi berumur 8 bulan.
“...ni lagi awal ni umur 1 bulan kita kasih eehh pisang dikasih
dikit tu mau tu pisang...iya pisang ambon dikit pake sendok
segini doang, dia itu abis satu sisir makan orangnya dia mau
lagi lep lep aja naa sehari itu kalo dia mau mana saya kasih
satu tapi gak ampe abis gitu maksudnya yang dagingnya aja
masih banyak yang terbuang separoh la juga sehari itu bisa
habis dua la yaaa saya kasih, jadi dari pagi separoh la siang
separo sorenya separoh, minimal dua la soalnya satu itu kan
tengahnya kebuang jadi langsung saya buang, gak sampe satu
minggu 3 hari udah saya stop...cobain neslte di kasih dikit itu
juga...uda begitu ee’nya keras...kemarenan 8 bulan di kasih
makan lagi mau neslte na tu di kasih makan tu doyan tu
neslte...”
Pemberian madu dan pemberian makanan padat berupa pisang
ambon pernah juga dipraktekkan kepada anak kedua, tetapi tidak
terjadi kondisi gangguan pencernaan seperti kondisi yang dialami
anak ketiga informan. Tujuan pemberian agar anak tidak rewel setelah
diberikan ASI dan anteng. Dan praktek pemberian makanan
89
pendamping ASI dini berupa pemberian pisang sudah menjadi
kebiasaan keluarga (ibu mertua) informan.
“...kalo itu yang kedua saya kasih makan pisang umur sebulan
sesisir ya,anak kedua dikasih makan iya lancar-lancar aja ga
macem-macem gitu jadi ga kapok, nah ini yang ketiga dikasih
makan ngikutin yang kedua...iya karena rewel doang, gara-gara
rewel aja makanya dikasih pisang, iya uda dikasih asi tetep aja
rewel, emang kalo dikasih makan anak kecil diem...intinya satu
kalo anak kagak rewel istilah kata asi cocok, iya ga dikasih
makan iya anaknya rewel iya pikir belum tenang biar anteng...”
“...mertua saya ga apa-apa kasih pisang ma gitu, kalo orang
dulu mah dikasih makan pisang mah,katanya malah ditumbuktumbuk pake nasi masak si pake nasi...”
Ibu mertua informan mengatakan bahwa pemberian makanan
pendamping ASI dini, yang diberikan kepada cucunya merupakan
kebiasaan orang Betawi dalam pemberian makanan kepada bayi, dan
sudah menjadi turun-temurun keluarga, yaitu memberikan pisang siem
yang diulek bersama nasi ataupun dapat diganti dengan tape.
“...pisang siem di rebus dalam dandang amah buntelan nasi di
buntel diceburin di dandang, kita kan masaknya pakai kayu
nasinya mateng pisangnya mateng udah itu di ulek-ulek aja
begitu tu pake sendok matangin dulu pisangnya direbus pake
nasi di ulek-ulek sampe udah lembut gitu... Dari yang pertama
kan orang nenek saya lalu kakaknya yang ini malah tape kalo
gak ada pisang, pisangnya lagi susah dicarinya tape dikukus
diulek ulek disuapin aja... asli betawi saya mah...”
Setelah diberikan ASI bayi masih menangis dan hal ini yang
mendasari ungkapkan informan bahwa pemberian ASI selama 6 bulan
tidak cukup, sebaiknya diberikan selingan ASI. Ketika wawancara
informan mengetahui kapan sebaiknya anak mulai diberikan makanan
pendamping ASI. Berikut penuturan langsungnya:
90
“...kalo kata saya sih kagak cukup asi aja 6 bulan, soalnya dia
nyereng/nangis mulu dianya makanya saya selingin pakek
susu...gua yang bandel ga ngikutin kata bidan yang asi
eksklusif, hehehe gua mah tiga-tiganya apalagi si adrian,
orang-orang pada bilang ga kasian dengan anak ibu namanya,
lah justru gua ngasih makanan sama anak karena kasihan biar
kata anak gua kagak nangis, kagak laper mulu, kalo kita selama
anak kita belom ini (sakit) ga kapok... kata kebidanan katanya
pas 6 bulan mungkin lambungnya ga kuat kalikan kalo masih
bayi 1 bulan 3 bulan itu kan lambungnya belum kuat buat
nyernai makanan makanya dianjurin 6 bulan sekarang, malah
dulu 4 bulankan baru dikasih makanan ehh karena katanya
banyak kejadian yang udah dikasih makanan katanya diususnya
ada apa waktu itu liat ditivi ada makanya dianjuri 6
bulan...bayam merah ya bayam merah sama apa si namanya
eeeh daun pepaya katanya bagus buat asi sama katuk yaaa
sama katuk...”
Anjuran untuk memberikan ASI eksklusif dan tidak memberikan
makanan kepada bayi dibawah 6 bulan merupakan anjuran/dukungan
yang didapatkan informan dari tenaga kesehatan/bidan Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan, berikut pernyataannya:
“...kalo pulang pasti kita eehhm kasih penyuluhan ibu jangan
dikasih apa-apa sampe umur 6 bulan ASI eksklusif, hanya ASI
tok... banyak ASI nya, terus harus punya juga keyakinan netekin,
kalo ibunya ga punya keyakinan netekin kemungkinan ASI nya
juga sedikit, sudah pernah saya banding-bandingkan...”
(Bidan Ai, 51 thn)
Mengenai persepsi informan terhadap timbulnya kerentanan dan
resiko keseriusan penyakit dari pemberian makanan pendamping ASI
dini, dapat diketahui dari kondisi yang terjadi pada anak ketiga setelah
diberikan makanan padat. Informan mengungkapkan bahwa resiko
pemberian makanan pendamping ASI dini hanya akan membuat
anaknya susah buang air besar saja dan tidak sampai mengalami
91
resiko lebih dari itu. Karena ada dukungan juga dari ibu mertua dalam
pemberian makanan pendamping ASI dini.
Pemberian makanan pendamping ASI dini tersebut bukan
karena adanya kendala dalam memberikan ASI dan informan tidak
menghentikan pemberian ASInya selama memberikan makanan padat
kepada anaknya.
“...gak biasa aja mah gitu ya paling resikonya itu buang aernya
keras eee ga sampe penyakitan kalo mikir kesitu ga soalnya
mikirnya gitu doang takutnya eegnya keras gitu aja orang kata
ibu orang dulu dikasih nasi ya udah dikasih...cuman ya udah
biarin orang kata nyoba ya udah kasih pernah kepikiran begitu
cuma dia nangis mulu minta makan dikasih pisang kata ibu gak
apa-apa dikasih pisang mah yaa abis satu soalnya yang kedua
gak apa-apa dikasih pisang eeehhh yang ketiga malah begitu
eegnya keras...”
“...ya gak adalah kalo di kasih asi kan malah bagus apalagi
asinya kan kiri kan na lebih bagus lagi kanan katanya kan kan
ya satu minum yang satunya nasi...”
“...kalo saya mah kalo ga mau nyusu iya kasih asi aja, orang
kasih makan begitu, iya kan kasih asi aja, asi juga bagus
katanya mah kalo asi masih bagus...”
5.3.3 Informan ketiga (Ibu Id, 37 thn, 3 anak, IRT)
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang
dilakukan informan adalah pemberian madu ketika bayi baru lahir,
yang dioleskan di bibirnya selama 1 minggu. Kemudian pada umur 2
bulan informan memberikan makanan padat berupa pisang dan bubur
nestle, diberikan dengan takaran sedikit dan sampai beberapa bulan
saja dikarenakan anak sudah tidak mau lagi diberikan makanan
tersebut.
92
“...kasih, kasih madu semua, diolesin aja digituin (peragaan
olesin bibir), madu seminggu semua, pagi, he’eh diolesin aja,
diolesin gitu ntar kan lidahnya dia keluar tuh, digituin sama dia
diemut-emut...”
“...anak yang ke tiga 2 bulan, dia makan sun eeh apa nestle,
pertama pisang dikit-dikit sebelah kok masih nangis nah terus
kesini lagi kasih satu masih nangis juga uda ah ganti nestle,
ngasih ga banyak, nestle juga ga banyak...itu neslte sampe
berapa bulan...”
Informan mengatakan pemberian makanan pendamping ASI
dini agar bayi menjadi anteng dan kenyang, kemudian ditambah
dengan adanya pengalaman mengurus anak keluarga, dan sudah
menjadi keturunan keluarga terdekat (ibu mertua) dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini.
“...yang pertama sebulan lebih, yang ini (anak ke tiga) dua
bulan, yang kedua dua minggu, iya kasih aja biar dianteng aja
dikasih biar dia kenyang kan, ga, maksudnya biar saya gimana
gitu maksudnya biar ga ini, anteng sih, he’eh iya saya suka aja
ngasih-ngasihin...ada pengalaman saya kan ngurusin bayi, dari
pertama juga belum punya anak saya juga kan ngurusin anak
mpok saya, makanya saya berani...katanya kasih makan aja ga
apa-apa, dulu mah dia yang ngasih makan pisang siem sama
nasi...”
Pemberian madu dan pemberian makanan padat seperti pisang
siem yang diulek dengan nasi, sudah menjadi kebiasaan keluarga
informan pendukung (ibu mertua) dalam memberikan makanan
kepada bayi. Informan pendukung mengungkapkan bahwa sudah
menjadi kebiasaan orang betawi dalam mengurus bayi.
“...kan madu ga ngapa-ngapa kan neng obat kan, obat
jagasirawan kan kalo bilang orang dulu mah sirawan kalo
sekarang panas dalem, iya gitu neng kalo ibu mah ngurusin
anak... pisangnya pisang siem kan pisangnya direbus, nasinya
direbus kan diulek tuh halus gitu, uda diulek gitu disaring tuh,
93
masih bayi namanya masih bayi iya...kalo ibu kan uda
pengalaman kan, uda punya anak lima cucu lima uda kan jadi
pengalaman, kalo ibu aslinya kebon kopi tapi saya dapet laki
orang sini, gitu neng, betawi orak ngomongnya...
Dilihat dari pengetahuan informan mengenai kapan pemberian
makanan pendamping ASI yang tepat, informan tidak mengungkapkan
dengan jelas kapan seharusnya pemberian makanan pendamping ASI
kepada bayi tetapi informan mengatakan tenaga kesehatan/bidan
Puskesmas Pesanggrahan menyarankan untuk tidak diberikan susu
formula dan hanya ASI saja. Kemudian mengenai cara memperlancar
ASI informan menyebutkan bahwa makan sayur-sayuran saja.
“...iya itu bidan ela pernah bilang, jangan dikasih susu iya kan
saya kasih asi aja, kalo susu mah berat saya... sayur daun katuk,
sayur-sayuran, pokoknya apaan aja dibikini mertua saya yang
penting sayur, sayur apa kek sayur apa, iya yang paling yang
buatin air asi banyak daun katuk kan itu aja...”
Tenaga kesehatan/bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
pasti memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu yang bersalin dan setiap
melakukan kunjungan ANC (Antenatal Care). Termasuk penyuluhan
mengenai pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berumur
6
bulan
kemudian
dilanjutkan
dengan
pemberian
makanan
pendamping ASI.
“...kalo pemberian makanan ga saya kalo disini, kalo disini mah
cuman periksa kehamilan aja, iya paling penyuluhan ASI iya
ASI aja, ga terlalu mendalam setelah lahir, tapi kalo itu bisa
dirumah bersalin...kalo pulang pasti kita eehhm kasih
penyuluhan ibu jangan dikasih apa-apa sampe umur 6 bulan
ASI eksklusif, hanya ASI tok...” (Bidan Ai, bidan ANC)
94
“...iya semuanya, ibu kalo melahirkan itu, satu ibu harus
inisiasi menyusu dini, berikan bayinya ASI eksklusif, perawatan
payudara, perawatan tali puser, berikan bayinya ASI eksklusif
sampai 6 bulan kalo bisa sampe 2 tahun, semuanya dikasih yang
menyangkut kebidanan ga mungkin ga dikasih...” (Bidan El,
bidan bersalin)
Persepsi informan mengenai ancaman yang akan ditimbulkan
dari pemberian makanan pendamping ASI dini, dapat dilihat dari
ungkapan informan yang sudah pernah mempraktekkan pemberian
makanan pendamping ASI dini kepada anak saudaranya sehingga
informan memutuskan untuk memberikan makanan pendamping ASI
dini, kemudian adanya dukungan dari keluarga terdekat (ibu mertua)
juga mempengaruhi keputusan informan dalam praktek pemberian
makanan tersebut. Disamping itu juga tidak ada kendala yang dihadapi
ibu dalam pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI
dini bukan karena ada kendala dalam pemberian ASI informan.
“...saya sendiri (yang nyuruh ngasih makan)...saya suka aja
ngasih-ngasihin... nganjurin (ibu mertua), ga apa-apa katanya
kasih makan aja ga apa-apa, dulu mah dia yang ngasih makan
pisang siem sama nasi...”
“...iya, ga ribet malah dia nangis nih iya enak kalo susu kan kita
sedang lagi ngantuk-ngantuknya kita bangun iya kan, kita bikin
dulu susu, kalo ini kan asi, tinggal gini aja uda (peragaan kasih
asi) lagi nangis kita buka tetek kita, kalo asi paling enak kalo
susu saya repot makanya anak saya ga ada yang dari susu...”
“...iya saya yang nyuruh, kalo saya kan begitu, saya kalo
ngurusin anak begitu, semua saya punya anak kagak cucu kagak
anak semuanya saya mah ngurusin anak begitu, iya jadi
emaknya kagak tau-tau tuh iya urusan makan tuh saya gitu...”
(Ibu An, 55 thn)
95
Memberikan ASI tidak ribet, kalau bayi menangis bisa langsung
diberikan ASI tanpa harus repot bikin susu ke dapur, ungkapan berikut
yang dapat menunjukkan bahwa informan percaya diri bisa
memberikan ASI kepada anaknya meskipun sudah memberikan
makanan pendamping ASI dini.
“...iya, ga ribet malah dia nangis nih iya enak kalo susu kan
kita sedang lagi ngantuk-ngantuknya kita bangun iya kan, kita
bikin dulu susu, kalo ini kan asi, tinggal gini aja uda (peragaan
kasih asi) lagi nangis kita buka tetek kita, kalo asi paling enak
kalo susu saya repot makanya anak saya ga ada yang dari
susu...”
5.3.4 Informan keempat (Ibu Sa, 28 thn, 1 anak, pembantu rumah
tangga)
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang
dilakukan informan berupa pemberian madu dan susu formula ketika
bayi berumur 3 bulan, kemudian pemberian bubur sun ketika bayi
berumur 5 bulan. Informan mengungkapkan bahwa awal pengenalan
susu formula dikarenakan ingin menambah berat badan bayi yang
kelahirannya prematur, disamping itu juga pekerjaan informan sebagai
pembantu rumah tangga tidak memungkinkan untuk meninggalkan
bayi sendirian sehingga memberikan susu formula sebagai selingan
ASI. Dan bayi juga pernah diberikan kopi, hanya saja sebagai syarat
agar bayi tidak mudah terkena step apabila demam.
“...iya pas 3 bulan uda dikasih susu SGM soya...biar cepet
nambahin berat badan iya saya coba... kan saya kerja jadi untuk
nyelengin kalo saya lagi kerjakan saya bikinin susu gitu ntar
kalo sempet saya baru kasih asi, iya untuk selingan aja ga untuk
diganti dengan susu asi saya...2 bulan awal dikasih asi aja
setelahnya saya selingin susu formula...”
96
“...ngasih madu ada uda 3 bulanan, dia uda 3 bulanan... ditaruh
disusu misalkan berapa tetes gitu...”
“...ngasih kopi, iya dibawah 6 bulan sedikit iya setetes, sedikit
aja cuman buat syarat aja kan..iya kopi masih beberapa bulan
iya kasih kopi biar ga step kalo sakit panas...”
“...saya uda ngasih 5 bulan...makan bubur sun...”
“...ada orang-orang katanya bilang kalo prematur itu minum
susu ini bagus gendut badannya cepet berisi itu yang bikin saya
tertarik iya bener gitu katanya, awalnya saya ga mau ngasih
susu formula pertama juga biar ngirit juga...”
Pemberian makanan padat berupa bubur sun kepada bayi
dikarenakan bayi terus-terusan rewel setelah diberikan ASI, dan
informan menganggap bahwa bayi lapar dan mencoba memberikan
makanan
tersebut.
Ketika
bayi
mulai
mengalami
gangguan
pencernaan, informan menghentikan pemberian makanan tersebut.
“...iya kan rewel terus barang kali laper atau apa, iya pakek asi
juga cuman dia rewel dari kecil, jadi kita tuh bingung rewel tuh
apa penyebabnya apa, laper apa apa jadi kita coba ngasih
makan...katanya gangguan pencernaan gimana gitu sempet
gangguan pencernaan kata dokter, makan bubur sun, katanya
masih belum bisa itu belum kuat...”
Tidak ada tradisi/kebiasaan yang mendasari pemberian makanan
pendamping ASI dini dari ungkapan informan, pemberian makanan
pendamping ASI dini lebih disarankan dari lingkungan tetangga
disekitar rumah informan. Dan juga belum banyak pengalaman dalam
mengurus anak, sehingga informan sangat mudah menerima informasi
mengenai pemberian makanan kepada bayi.
97
“...dapet saran dari orang aja kan dari dokter sih dulu nyaranin
ga boleh, asi lebih bagus, cuma kan pikir saya gitu saran orang
mah biar cepet nambahin berat badan iya saya coba... denger
dari orang dikasih tau madu...yang ngasih saran orang-orang
dulu-dulu tapi sekarang juga katanya sih begitu juga, nyaranin
juga ngasih kopi...pengalamanannya juga belum ada..."
Informan pendukung (suami) juga mengungkapkan bahwa
pemberian makanan/minuman dini kepada bayi memang mengikuti
saran dari lingkungan rumah (tetangga) yang lebih banyak
berpengalaman dalam mengurus bayi, informan juga percaya selama
pemberian makanan/minuman dini tidak menimbulkan penyakit
kepada anaknya.
“...iya saya ngikutin tetanggga yang ibarat kata sudah
pengalamanlah gitu...iya percaya-percaya aja, iya orang juga
itu, iya juga ibaratnya anak saya ga kenapa-kenapa jadi ga apaapa...”(Ahyar, 29 thn)
Informan utama mengetahui dengan baik kapan sebaiknya
pemberian makanan pendamping ASI diberikan kepada bayi, begitu
juga dengan pelaksanaan ASI eksklusif dan cara memperlancar ASI.
“...iya dikasih makan harus 6 bulan... iya cukup iya saya aja
yang ga ngasihnya, cukup sih cukup kalo misalnya kita fokus
nyusuin sebenarnya orang juga uda ngomong sih kok ini ga
eksklusif uda campur nih si fajar susu formula...iya sebenernya
ga suka makan sayur iya karena menyusui iya harus suka
makan sayur...”
Dengan adanya dukungan saran dari lingkungan sekitar rumah
informan memiliki persepsi sendiri mengenai ancaman dari pemberian
makanan pendamping ASI dini. Dan memang pemberian makanan
pendamping ASI dini segaja dilakukan atas dasar saran dari tetangga,
sehingga informan tidak merasa ada ancaman ketika pemberian
98
makanan pendamping ASI dini tersebut, meskipun ketika pemberian
bubur sun, bayi mengalami sakit pada bagian pencernaannya.
Kemudian ditambah dengan informan yang bekerja sehingga bayi
mendapat selingan susu formula.
Adanya kendala dalam pemberian ASI yaitu ibu bekerja,
informan mengatakan bahwa pemberian susu formula juga diperkuat
dari kondisi informan yang tidak tenang ketika meninggalkan anaknya
sehingga mempengaruhi air susu, makanya ketika sudah diberikan
ASI tetap saja rewel.
“...2 bulan awal dikasih asi aja setelahnya saya selingin susu
formula, sama aja sih mungkin kata orang iya saya kerja
makanya ga tenang air susunya makanya rewel iya gitu aja, 2
bulan awal sih repot awal kerjanya, bentar-bentar nangis ga
kayak anak lainnya kalo uda dikasih asi tidur ini mah ga
tidurnya kurang, bangun tidur nangis, entar berapa menit
berapa jam nangis lagi, saya iya nyusuin terus, cuman karena
selingan aja kan awal saya belum tau baru pas itu denger dari
orang, iya saya coba aja...”
“...denger sana sini jadi dicobain gitu jadi masih inilah, iya
kemaren orang ngomong apa dicobain orang nyuruh apa
dicobain...ga soalnya kan itu emang uda umum...”
“...karena saya kerja aja, repot kalo nyusukan kelamaan kalo
misalkan kita ga kerja iya enakkan nyusu aja, takut ga sabar nih
jadi harus cepet-cepet, kan nyusuin harus lama minimal sejam
sejam lebih kan...tapi kalo formula kan kalo kita lagi ngapain
kita bisa kemana-mana kalo kerja dia bisa pegang sendirikan
kalo ditaruh dibotol, ntar kita ngapain iya begitu aja...”
Dalam hal kepercayaan diri untuk memberikan ASI sepertinya
informan tidak percaya diri untuk memberikan ASI, sehingga lebih
mudah menerima dan mengikuti saran yang ada, kemudian dukungan
99
dari tenaga kesehatan/bidan untuk memberikan ASI secara eksklusif
dan makanan pendamping ASI setelahnya tidak dapat mempengaruhi
tindakan informan dalam praktek pemberian makanan pendamping
ASI dini.
“...iya mendukung sebenernya saya denger orang gini-gini jadi
saya ngikut, iya karena apa ya masih lingkungan sini
perkampungan jadi susah saya mau ngikutin aturan sendiri
maksudnya ngikutin aturan dari dokter gitu...”
5.3.5 Informan kelima (Ibu Am, 22 thn, 1 anak, Resepsionis)
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini pada
informan berupa pemberian madu ketika bayi baru lahir yang
dioleskan di bibir bayi, informan mengatakan bahwa setiap menyusui
selalu merasakan perih sehingga madu pasti diberikan ketika ingin
menyusui, tetapi setelah tidak menyusui lagi informan menghentikan
pemberian madu. Pemberian ASI hanya sampai 3 minggu awal
kelahiran saja setelahnya informan memberikan susu formula.
“...iya pernah pas berapa hari iya itu saya dikasih madu, dibibir
dia juga terus diininya saya di puting apa namanya dia
nyedotkan perih tuh kata orang-orang kalo dikasih madu biar
agak ga perih gitu jadi lembut itunya jadi disaranin pakek madu
waktu pas asi, sering sih tiap dia mau nyusu pasti dikasih madu,
setiap dia nyusu kasih madu, stop iya karena kan dia uda ga
nyusu jadi uda ga berasa sakit,
Praktek pemberian madu sendiri memang sudah menjadi turuntemurun keluarga informan pendukung (ibu mertua) yang berasal dari
keturunan Betawi, yaitu ketika awal kelahiran diharuskan memberikan
madu sebelum diberikan air susu ibu, pemberian madu berguna untuk
100
membuang lendir yang berada dalam paru-paru bayi sehingga
terhindar dari penyakit asma.
“...ibu saya betawi, dulu dari nenek saya dulu gitu ampe
sekarang juga gitu hehehe turun-temurun dah, madunya iya
madu apa aja boleh, madu rasa itu yang mudah di warungwarung juga ada itu, pokoknya kalo uda asinya keluar iya uda
itu uda ga lagi (ngasih madu), kan dia suka ngeluarin kotoran
kalo dikasih madu, lendir keluar jadi bersih paru-parunya biar
bersih kalo muntah dia keluar kalo anak bayikan suka dalam
perutnya takut suka ada lendir atau apa gitu biar dia muntah
selanjutnya biar dia ga sakit asma gitu, itu faedahnya itu
intinya...” (Ibu At, 51 thn)
Dan penggantian susu formula disebabkan karena informan
merasakan sakit ketika menyusui, dengan kondisi puting berdarah dan
lecet setelah menyusui. Disamping itu juga informan memang dari
awal ingin memberikan susu formula kepada bayinya, atas dasar
pengalaman orang bahwa menyusui anak cowok akan merasakan
sakit. Dari ungkapan ini dapat diketahui informan tidak percaya diri
untuk memberikan ASInya.
“...sakit perih soalnya kalo dia nyusu lama sampe berdarahkan,
merah putingnya mbak ampe lecet...namanya apa tadinya juga
pas pertama lahir juga pengen dikasihnya formula kan cuma
kata suami jangan kasihan apa ntar kalo anaknya ada yang
bilang kalo anaknya minum susu formula suka ga nurut ama
orang tuanya jadi iya uda deh coba kan asi tuh selama 3
minggu eh lama-lama kok kayaknya sakit gitu jadi diganti ke
formula...saya ga mau sakit iya kan nama anak cowok kan ada
yang bilang nyedotnya sakit gitu terus juga iya ga enak aja gitu
jadi iya udahlah ke susu formula aja...”
Adanya kendala dalam menyusui kemudian kembali bekerjanya
informan juga merupakan hal yang memperkuat pemberian susu
formula, informan mengungkapkan bahwa pemberian susu formula
101
tidak membuatnya rugi. Namun, apabila informan dalam kondisi
bekerja ASI yang sudah lama diendapkan dibotol dan yang
dimasukkan dikulkas tidak baik lagi diberikan kepada bayi. ASI yang
baik informan mengungkapkan yaitu jika diberikan langsung.
“...ga sih ga rugi, takut saya kerja kalo misalkan diakan
otomatis kalo kita asi ini walaupun dia udah apa nyetok susu
buat dibotol kan masukin kulkas terus dipanasin katanya ada
juga yang bilang ga bagus kayak gitu bagusan secara langsung
ngasihinnya ni uda ngendap makanya sih mikirnya disitu ah
katanya ga baik juga katanya kalo asi diendapin gitukan...”
Serta dapat dilihat dari kondisi ini mengenai persepsi informan
mengenai
ancaman
dari
pemberian
susu
formula,
informan
menganggap bayi akan sakit jika minum ASI yang sudah lama
diendapkan di dalam botol dan sebaiknya ASI memang diberikan
secara langsung saja. Kondisi tersebut juga didukung keluarga
terdekat (ibu mertua).
“...ibu pikir iya ga apa-apalah dari pada susah-susah takut
entar basi atau gimana gitu ya, ya kasihan anaknya jadi
disambung dengan susu itu...” (Ibu At, 51 thn)
Informan mengetahui bagaimana pelaksanaan ASI eksklusif dan
kapan pemberian makanan pendamping ASI dini, dan bagaimana cara
memperlancar ASI, tetapi karena kondisi informan setelah menyusui
bayi seperti itu maka informan memutuskan untuk menggantinya
dengan susu formula saja. Kepercayaan untuk mengganti susu formula
didapat dari pendapat lingkungan sekitar dan keluarga terdekat.
102
“...iya harus kasih asi sampe 6 bulan iya namanya kita ga kuat
iya pengen kita juga kasih ampe 6 bulan iya tapinya saya udah
ga kuat banget tuh yang namanya sakit minta ampun mana juga
kita merasa meriang juga panas dingin...”
“...karena banyak yang bilang kalo pake susu asi itu sakit jadi
saya ragu untuk memberikan asi, ya awalnya meriang panas
dingin terus payudara membengkak dan puting berdarah...”
“...iya sayur daun katuk terus iya makan-makanan 4 sehat 5
sempurna aja terus, terus susu, penambah darah gitu, umur
setahun lebih, baru dia makan nasi tim, cukup emangkan
anjurannya ampe 6 bulan...”
Adanya
dukungan
tenaga
kesehatan/bidan
Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan mengenai pemberian ASI eksklusif dan
pemberian makanan pendamping ASI setelahnya. Tetap membuat
informan menggantikan ASI dengan susu formula.
5.3.6 Informan keenam (Ibu Ro, 28 thn, 2 anak, IRT)
Praktek pemberian makanan yang dilakukan informan berupa
pemberian air tajin, informan mengungkapkan bahwa mengapa
diberikan air tajin karena ASInya belum keluar, selama ASI belum
keluar bayi menangis, informan berusaha untuk menenangkan agar
bayi tidak menangis dan tetap menyusui sampai ASInya keluar. Air
tajin diberikan hanya pada saat bayi menangis dan setelahnya tidak
diberikan lagi. Kemudian pemberian susu formula ketika bayi
berumur 3 bulan dikarenakan informan mengalami sakit pada liver
yang diharuskan mengonsumsi obat-obatan dan tidak memungkinkan
untuk melanjutkan pemberian ASI.
103
“...iya karena air susunya belum keluar, sudah uda di iniin uda
dikenyotin tapi masih aja nangis lagi, pokoknya asinya ga
keluar uda dikenyotin masih nangis, emang belum keluar udah
dikujek-kujek tetep juga ga keluar, tiga hari iya baru keluar,
tapi tetep malam dikasih air tetek aja udah, iya uda disusuin aja
ntar juga dia keluar, iya bener lama-lama disusui keluar...”
“...sekali-kalinya itu aja udah ga pernah dikasih lagi, kan
kasihan, nangisnya ga diem ga kayak dia waktu di puskes
kecamatan kan kalo nangis digendong aja diem nangis
digendong lagi diem, ini nangis terus apa laper, apa panas tapi
badannya ga panas, uda dikipasin, eh dikasih air tajin cuma
sesendok eh malah diem, ada rasakan diem baru kasih tetek lagi
baru diem...”
“...iya ngaruh ga boleh obatnya kan keras jadi ga bisa
menyusui, katanya cuma livernya yang bengkak dan pindah ke
rumah sakit lain kata dokter ada pembengkakan jantung... Iya
pas banget 3 bulan...”
Karena bayi rewel dan menangis terus, akhirnya keluarga
terdekat (ibu mertua) menyuruh untuk memberikan air tajin agar bayi
tidak menangis lagi. Padahal ibu kandung informan mengatakan untuk
tidak memberikan apapun dan membiarkan saja sampai ASI ibunya
keluar, tetapi karena ibu dari suami menyuruh untuk dibuatkan air
tajin, maka ibu informan harus mengikuti saran dari ibu suami.
“...mana neneknya juga uda cerewet kan, katanya orang dulu
pengganti susu katanya, iya uda akhirnya dikasih tajin cuma
sesendok dikit kan diisep-isep kan terus ditetekin lagi uda
ditetekin iya anteng...”
“...iya namanya juga belum keluar kata mertuanya dikasih air
beras tajinan asi gitu ga apa-apa terus dikasih gula merah
sedikit iya saya kasih, katanya iya ganti susu ibu gitu biar
supaya ga laper abis pulang nangis kan orangtua kayaknya
bingung dikasih apa gitu iya uda dah kasih air tajin aja gitu,
yang bilang mertua ini, iya saya kasihin takut saya salah karena
ga mau dimasakin ga mau diginiin iya saya takut hehehe, iya
saya ga ngerti (pemberian air tajin)...” (Ibu Mr, 59 th)
104
Informan mengungkapkan bahwa anak menangis bukan karena
lapar, dan selama 3 hari setelah kelahiran anak masih mempunyai
cadangan makanan sehingga ketika bayi menangis setelah pulang dari
Puskesmas Kecamatan informan tidak merasa khawatir hanya saja
keluarga terdekat panik, kenapa anak menangis hanya dibiarkan saja.
Makanya diberikan air tajin tersebut agar bayi tidak menangis lagi.
“...yakin ama bidan kecamatan bilang tenang bu 3 hari itu
keluar dari rahim itu punya penampung jadi ga usah kaget dia
nangis karena popoknya basah, apa dia gerah gitu kan
bidannya ngasih tau kan iya saya mah ga khawatir iya saya
juga baca-baca uda ngerti kan, iya ayahnya yang panik sama
neneknya, iya udahlah dikasih, iya jangan biarin kata saya
anaknya nangis bukan laper, iyah ayahnya marah anak nangis
didiemin aja gitu iya uda disusuin ga mau, ditetekin juga mau
malah nangis lagi, dipindahin sebelahnya tetep nangis uda
ngeyot juga, iya emang dia laper kata ayahnya baru kemaren ga
makan pas lahir malam ga makan dia pas keluar, iya ayahnya
uda dijelasin sama bidannya juga ga usah khawatir tetep aja
ayahnya ga nurut niat mau beli susu formula iya kata saya iyah
jangan ntar ketagihan eh beneran umur 3 bulan bener kecapai
beli susu formulanya, iya kata mertua dikampung juga pada
dikasih air tajin ga apa-apa katanya...”
Pengalaman informan dalam pemberian ASI saja selama 6 bulan
sudah dilakukan dari anak pertama kemudian dilanjutkan dengan
pemberian makanan pendamping ASI, tetapi disebabkan karena
informan sakit sehingga pemberian ASI hanya sampai 3 bulan saja.
“...kalo kakaknya lumayan lama setahun 2 bulan, kadangnya
kasihan kakaknya setahun adiknya cuma 3 bulan
hehhe...tadinya dia ga mau terus dipaksain pakek botol iya abis
ga bisa nyusuin sayanya juga mikirnya jantungnya makin
kenceng kalo disusui iya uda jangan disusui deh katanya hehe
pas periksa dikasih dokter jangan disusui iya bu obatnya keras
kasihan anaknya iya uda tapi kalo emang ga minum obat
105
pengen nyusui lagi dianya uda ga mau (menunjuk anak ke 2)
rasanya lain dah hehe pas 3 bulan...”
Pengetahuan informan mengenai pelaksanaan ASI eksklusif dan
kapan sebaiknya diberikan makanan pendamping ASI dapat dikatakan
baik, ini tercermin dalam tindakan informan yang masih ingin
memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya dalam keadaan
informan yang sudah sakit liver.
“...pas di EKG emang ada masalah di jantungnya, bilang sama
dokter tiara dok saya masih menyusui oh iya ga apa-apa ini
obatnya ga apa-apa kalo menyusui obatnya ga ada pengaruh,
terus diperiksa lagi karena kayaknya ga ada perubahan, periksa
kedokter lain, dok saya masih menyusui dok oh iya buk obatnya
ga terlalu pengaruh, tapi masih aja ga sembuh-sembuh juga
tetep aja masih menyusui, nah pas selasa inget banget saya, pas
hari itu emang ga nyusui emang ga kuat, uda lemes uda pucat
bawaannya, iya uda dibawakan ke fatmawati, seharian itu ga
nyusui, kata di fatmawati katanya ga apa-apa pembengkakan di
liver disuruh istirahat aja dirumah aja, pas besoknya mau
nyusuin jangan deh seharian kemaren juga ga disusuin kata ibu,
iya uda dikasih susu formula...”
Informan menganggap bahwa pemberian susu formula dapat
membuat bayi rentan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan
pemberian ASI, begitu juga dengan pemberian air tajin pada awal
kelahiran bayi. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaan keluarga
terdekat, informan percaya pemberian air tajin tidak menimbulkan
kerentanan terhadap bayi. Dan sebenarnya kepercayaan informan
terhadap pemberian susu formula juga dibentuk dari saran dokter
ketika informan sakit, dan memperbolehkan pemberian susu formula
ditakutkan ada pengaruh dalam konsumsi obat-obatan.
106
“...iya pernah kepikiran soalnya kakaknya ga susu formula jadi
takutnya ntar sakit daya tahan tubuhnya kurang kalo susu
formula... soalnya suka ditivi-tivi susu formula itu katanya ada
bahan ini bahan ini iya takut...”
“...sebenerny takut, takut ada efek sampingnya apa buangbuang air tapi ga katanya neneknya orang dikasih ga banyak ini
ga kenapa-kenapa gitu kan, takut ususnya belum kuat, emang ga
kenapa-kenapa nek iya jangan sampe kan (pemberian air
tajin)...”
Kepercayaan diri informan yang kuat untuk tetap memberikan
ASI secara eksklusif harus dihentikan dikarenakan masa pengobatan
informan.
“...iya mendukung banget, manfaatnya banyak kan daya
tahannya kan lebih kuatlah dibandingkan dengan susu,
pengeluarannya juga ga berat hehhehe, lebih mudah kalo
kemana-mana kan kita ga perlu nyiapin iya botol air hangatnya
kan asi kan tinggal gini aja langsung tempat mana aja bisa,
susu formula mah ribet...”
5.3.7 Informan ketujuh (Ibu Da, 35 thn, 4 anak, IRT)
Praktek pemberian makanan pendamping dini yang dilakukan
informan berupa pemberian bubur nestle pada umur 5 bulan,
pemberian bubur nestle dikarenakan informan takut ASI yang
diberikan kurang banyak. Frekuensi pemberian bubur nestle yaitu 2
kali dalam sehari, pagi dan sore hari.
“...5 bulan sudah dikasih takutnya dia nih, asi saya takutnya
kurang banyak sedangkan susu botol tuh dia kurang mau iya
jadinya uda saya kasih, baru berapa 1 sachet itu ga semua,
cuman 2 sendok...aku kasih 2 kali jadi pagi sama sore, iya asi
juga, ga mau dia susu, maunya netek mulu...”
107
Pengalaman informan dalam praktek pemberian makanan
pendamping ASI dini sudah pernah diterapkan kepada anak
sebelumnya, informan menganggap anak sudah lapar dan tidak
kenyang jika diberikan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan hal
ini dikarenakan kondisi anak tetap menangis setelah diberikan ASI.
“...iya 5 bulan (anak yang ke 4), yang kedua itu kan iya aku
lupa, yang kedua itu dia makan juga sih tapi mungkin sama kali
sekitar uda kayak 5 bulanan gitu kan uda lama kan jadi lupa
gitu, yang pertama karena dia ga asi kan susu botol... iya tapi
aku sih kalo ngasih anak tuh ga pernah diatas 6 bulan, dibawah
6 uda aku kasih, 5 bulan, 4 bulan pokoknya uda aku kasih, kalo
ga nestle serelac gitu sama bubur bayi...”
Pemberian makanan pendamping ASI dini juga mendapat
dukungan dari keluarga terdekat informan (ibu kandung), dan
menganggap hal tersebut sama, jika harus menunggu 6 bulan, anak
sudah lapar.
“...5 bulan emang dikasih, saya kan gini iya dak (dahlia)
daripada dia nangis mulu, air tetek ga ada nyusu ga mau,
dikasih makan aja dah, emang ga apa-apa mak, ga, kalo kata
dokternya mah asal uda jalan 6 bulan baru kasih makan, kalo
saya kan ga sabaran, lapar kan anak kecil kalo lapar kan, kita
aja kalo lapar kan iya ini, uda dikasih dah tuh...” (Ibu Si, 55
thn)
Persepsi informan mengenai ancaman dari pemberian makanan
pendamping ASI dini, sudah pasti menganggap bahwa pemberian
makanan tersebut menjadi kebutuhan agar anak tidak lapar dan
anteng. Namun sebaliknya informan menganggap bahwa akan ada
ancaman apabila dibiarkan saja menangis setelah diberikan ASI.
Dengan adanya pengalaman serta dukungan dari keluarga terdekat
108
akan lebih mendukung keputusan informan dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini.
“...iya fikir itu anak nangis mulu laper, kasih tetek tapi kan
karena dia uda lama netek digendong-gendongin masih
nangis...tapi kan namanya saya ah kan dia nangis laper mulu
biarin aja ah aku bilang gitu kan...katanya kalo anak sampe asi
aja gitu iya belum tentu dia kenyang gitu kalo asinya sedikit
kan...ada kan bayi pada gendut-gendut banget gitu kan, dah dia
(anak yang ke 4) ga karena akunya uda sedikit (asinya)...”
Padahal informan mengetahui jika ditanya kapan seharusnya
diberikan makanan pendamping ASI dan kenapa pada umur tersebut
diberikan makanan pendamping ASI, dan pada kenyataannya sudah
memberikan makanan pendamping ASI dini. Informan tetap
menganggap bahwa ASI yang diberikan kurang apabila bayi tetap
menangis setelah diberikan ASI.
“...kalo kata orang ini katanya kalo ngasih makan sebelum 6
bulan keatas ususnya ga kuat ada yang ngomong gitu katanya
jangan dulu dikasih ususnya ntar takut ga kuat, tapi kan
namanya saya ah kan dia nangis laper mulu biarin aja ah aku
bilang gitu kan...kasih aja dulu asi, kalo asi kalo dia ga kenyang
gimana netek kurang...”
Kepercayaan informan untuk memberikan ASI dapat diketahui
dari penuturan berikut, informan menganggap ASInya kurang banyak,
tetapi tetap memiliki kepercayaan untuk memberikan ASI.
“...kalo kata susternya kalo uda 6 bulan baru dikasih makan,
kalo daripada dia lapar nangis, air teteknya kurangkan, jalan 5
bulan uda dikasih, iya kita ga, kalo iya kan kalo anjuran
dokterkan 6 bulan baru dikasih makan, tapi karena anak kita
takut uda laper, pas 5 bulan uda laper, asi uda abis, ia iya kalo
uda netekinnya uda lama masih nangis paling laper dia begitu,
6 bulan baru dikasih makan iya bu ntar kita nurutin kayak
begitu anak kayak ga kenyang...”
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah metode observasi yang tidak dapat
dilakukan untuk melihat secara langsung bagaimana praktek pemberian
makanan pendamping ASI dini yang dipraktekkan informan (ibu). Terkait
pada penelitian lanjutan Anggraeni (2012) dengan karakteristik responden
penelitian adalah ibu yang memiliki bayi usia 6-11 bulan tahun 2012, maka
dapat disimpulkan bahwa umur anak pada penelitian ini sudah mendapatkan
makanan pendamping ASI yang seharusnya.
6.2
Gambaran praktek pemberian makanan pendamping ASI dini
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan
oleh beberapa informan utama pada umumnya memberikan madu ketika
bayi baru lahir, dengan cara dioleskan di bibir bayi selama tiga hari, satu
minggu dan setiap ingin menyusui. Pemberian madu berguna untuk
mencegah agar bibir bayi tidak pecah-pecah, tidak kering, tidak mudah
sariawan dan mengurangi rasa sakit setelah menyusui.
Beberapa informan utama juga memberikan makanan padat lain
seperti pemberian pisang ambon, bubur nestle, bubur sun dan susu formula,
yang diberikan saat anak berumur satu, dua, tiga, dan lima bulan. Alasan
pemberian makanan padat karena anak masih menangis setelah diberikan
ASI, agar anak menjadi anteng, dan menambah berat badan anak yang
kelahirannya prematur. Disamping itu, adanya pemberian lain seperti
109
110
pemberian air tajin karena ASI belum keluar, dan pemberian kopi yang
berguna untuk mencegah step apabila bayi terkena demam. Pemberian air
tajin dan kopi tersebut diberikan informan utama pada kondisi saat itu saja,
dan setelahnya tidak pernah diberikan lagi. Mengingat setelah diberikan
anak menjadi anteng dan tidak sakit.
The Weaning Project yang disponsori oleh United States Agency For
International Development (USAID) pada tahun 1985-1989 di Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Jawa Timur mendapatkan hasil 64% ibu-ibu di
NTB dan 76% ibu-ibu di Jawa Timur memberikan makanan padat dini
berupa pisang yang dihaluskan atau dikunyah (Wiryo, 1996 dalam Suyatno,
2001). Selanjutnya, Wiryo dan Kasniah (1991) dalam Suyatno (2001)
melalui penelitian etnografi di NTB menemukan makanan padat yang
diberikan kepada bayi adalah madu, kelapa muda, bubur dan pisang.
Ditemukan sebanyak 94,80% ibu-ibu yang memberikan pisang atau
campuran nasi-pisang kepada bayi baru lahir.
Hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan 10% anak balita di Jawa
Tengah sejak usia 2 bulan sudah mulai diberi pengganti ASI (16 % berupa
makanan lumat) (BPS, 1994). Penelitian Suyatno (1996) di sejumlah desa di
Jawa Tengah, menemukan praktek pemberian makanan tradisional seperti
nasi ulek, pisang, madu, kelapa muda, pada bayi usia kurang dari 3 bulan,
bahkan beberapa jenis makanan tersebut telah diberikan pada bayi beberapa
saat setelah kelahirannya (Suyatno, 2001)
111
Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini adalah agar bayi
lebih kuat dan cepat besar. Jenis makanan pendamping ASI dini yang
dikonsumsi bayi antara lain pisang, susu formula (bubuk dan kental manis),
biskuit, bubur beras, makanan bayi produk industri (sun, promina, dan
milna), dan nasi lumat (Irawati, 2004).
Hasil penelitian Setyowati dan Budiarso tahun 1998, diantara anak
yang masih mendapat ASI sekitar 42% bayi umur < 4 bulan sudah mendapat
minuman atau makanan pendamping ASI. Hasil penelitian lain yang
mendukung, hasil penelitian Budi, dkk (1990) dalam Setyowati dan
Budiarso (1998), di Indramayu dan daerah Jakarta Utara melaporkan
persentase bayi yang mendapat minuman/makanan pendamping ASI cukup
tinggi yaitu sekitar 80% ibu dalam tiga bulan pertama telah memberikan
makanan tambahan berupa bubur beras, bubur kacang hijau atau tempe yang
dihaluskan bahkan dalam minggu pertama bayi telah mendapat makanan
pisang yang dilumatkan.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Afifah (2007),
sebagian subjek telah mulai memberikan makanan pendamping ASI sejak
bayi berusia kurang dari satu bulan, bahkan ada satu subjek yang
memberikan makanan berupa nasi dan pisang ulek pada saat bayi berusia 11
hari. Alasan umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui
dan diberi susu formula. Dan subjek-subjek penelitian yang persalinannya
yang ditolong oleh dukun bayi sudah diberikan madu, kelapa muda, dan
kurma ketika awal kelahirannya.
112
Dan hasil penelitian Maas, (2004) dalam Afifah (2007), bahwa pada
suku Sasak di Lombok, ibu yang bersalin memberikan nasi pakpak (nasi
yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu dan didiamkan selama satu
malam) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka
percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik
untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada
usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang dan lainlain. ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan
ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.
Penelitian ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Widodo (2001) di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang
mendapatkan bahwa 77% responden memberikan makanan tambahan
kepada bayi baru lahir. Jenis makanan yang diberikan, meliputi: madu, air
madu, air matang, dan susu formula. Menurut responden, madu merupakan
makanan terbaik bagi bayi baru lahir selain ASI. Alasan utama pemberian
makanan tersebut adalah karena ASI belum keluar (64,8%), agar bayi tidak
lapar (14,6%), disarankan dukun bayi (12,3%), disarankan orang tua (4,7%),
dan ibu belum kuat menyusui (3,6%).
Menurut Roesli (2007), praktek memuaskan bayi baru lahir atau
memberikan makanan atau minuman berupa air masak, madu, atau air gula
kepada bayi baru lahir adalah tidak dibenarkan. Sampai bayi berusia 6 bulan
bayi tidak diperkenankan untuk diberikan jenis makanan lain, seperti buah,
bubur susu, nasi lumat, gula merah, air gula, madu, dan sebagainya kecuali
diberikan ASI saja.
113
Menurut Lubis (2006), dalam Afifah (2007), pemberian makanan
pendamping ASI dini seperti nasi dan pisang justru akan menyebabkan
penyumbatan saluran cerna karena liat dan tidak bisa dicerna atau yang
disebut phyto bezoar sehingga dapat menyebabkan kematian dan
menimbulkan
risiko
jangka
panjang
seperti
obesitas,
hipertensi,
atherosklerosis, dan alergi makanan. WHO melarang pemberian madu
kepada bayi dibawah 1 tahun karena terdapat kandungan Clostridium
botulinum, spora yang membahayakan dan mematikan (Susanto, 2007
dalam Afifah, 2007). Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini
tidak tepat karena akan menyebabkan bayi kenyang dan akan mengurangi
keluarnya ASI. Selain itu bayi menjadi malas menyusu karena sudah
mendapatkan makanan atau minuman terlebih dahulu (Depkes RI, 2005).
Mengisi perut bayi tidak cukup berbekal dengan naluri belaka. Kita
membutuhkan yang lain dan pilihan itu harus masuk akal, terukur dan bisa
dipercaya. Karena perut yang sehat berkaitan dengan hari depan anak.
Susunan pencernaan bayi belum sepenuhnya berfungsi seperti pencernaan
orang dewasa. Pada saat dilahirkan lambung dan usus bayi belum berfungsi
sepenuhnya, semua enzim pencernaan belum lengkap diproduksi, struktur
saluran pencernaan bayi belum terbentuk sempurna dan kemampuan bayi
untuk menelan segala macam makanan dan minuman seperti orang dewasa,
sekurang-kurangnya sampai bayi berumur 6 bulan belum boleh ada jenis
makanan lain bayi selain ASI (Nadesul, 2005).
114
Alasan pemberian makanan pendamping ASI dini yang disebabkan
karena bayi masih menangis setelah diberikan ASI bukan merupakan suatu
alasan yang tepat untuk mulai diperkenalkannya makanan pendamping ASI
dini pada bayi, menurut Bobak (2004), menangis tidak selalu berarti bayi
lapar. Bayi mungkin merasa tidak nyaman secara fisik atau hanya ingin
digendong, ingin disendawakan atau diganti popoknya. Menurut Yuliarti
(2010) menangis merupakan salah satu bayi berkomunikasi. Apabila bayi
menangis terlalu lama maka ia akan menjadi lelah sehingga kemampuan
mengisapnya berkurang. Selain itu, ibu juga menjadi kesal sehingga dapat
menganggu proses laktasi. Bayi menangis belum tentu lapar atau haus,
mungkin saja ia takut, kesepian, bosan, basah, kotor, sakit, atau ada rasa
yang tidak enak pada ASI yang disebabkan oleh makanan ibu atau obat
yang diminum ibu. Yang tidak dapat diterangkan karena sebab tersebut
biasanya disebut sebagai “kolik”. Bayi akan menangis terus-menerus pada
waktu-waktu tertentu dan dapat diusahakan dengan menggendongnya.
Tidak ada gangguan pertumbuhan pada bayi karena kolik. Biasanya, hal
tersebut akan hilang sendiri setelah 3 bulan (Yuliarti, 2010).
Menurut Suhardjo (1992), pada keadaan normal, air susu ibu mampu
memberikan zat gizi yang cukup bagi pertumbuhan bayi sampai umur 6
bulan. Meskipun ASI yang keluar pada beberapa hari pertama setelah
melahirkan sedikit menurut ukuran kita, tetapi volume kolostrum yang ada
dalam payudara mendekati kapasitas lambung bayi yang berusia 1-2 hari
(Roesli, 2000).
115
Biasanya pada hari-hari pertama ASI belum keluar. ASI baru keluar
kira-kira hari ke-3 atau ke-4, yang keluar adalah air susu kental kekuningkuningan yang disebut kolostrum (Dainur, 1995). Jika ASI belum keluar
atau tidak lancar, bayi masih memiliki daya tahan tubuh yang dibawa dalam
kandungan sehingga bayi tidak akan kelaparan selama 2x24 jam (Yuliarti,
2010).
Peran kolostrum sebagai imunisasi pasif yang dikeluarkan segera
setelah bayi lahir. Kolostrum pada hari pertama tiap 100 ml mengandung
600 IgA, 80 IgC, dan 125 IgM. Komposisi ini akan terus berubah sesuai
dengan ketahanan tubuh bayi. Peran kolostrum sampai hari ke 3 juga
mempunyai fungsi sebagai pencahar untuk mengeluarkan mekonium dari
usus bayi. Oleh karenanya, bayi sering defekasi dan feses berwarna hitam.
Proses ini dapat membersihkan mekonium yang ada dalam sistem
pencernaan bayi, ketika sistem pencernaan telah bersih, usus bayi siap
mencerna ASI (Purwanti, 2003).
Kolostrum kuning kental sesuai untuk kebutuhan bayi baru lahir.
Kolostrum mengandung antibodi vital dan nutrisi padat dalam volume kecil,
sesuai sekali untuk makanan awal bayi. Menyusui dini yang efisien
berkorelasi dengan penurunan kadar bilirubin darah. Kadar protein yang
tinggi di dalam kolostrum mempermudah ikatan bilirubin dan kerja laksatif
kolostrum untuk mempermudah perjalanan mekonium. Kolostrum secara
bertahap berubah menjadi susu ibu antara hari ketiga dan kelima selama
nifas (Bobak, 2004).
116
Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin (zat
kekebalan tubuh) dari ibunya melalui ari-ari. Namun, kadar zat ini akan
cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Badan bayi sendiri baru
membuat zat kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif
pada waktu berusia sekitar 9 sampai 12 bulan. Pada saat kadar zat kekebalan
bawaan menurun, sedangkan yang dibentuk oleh badan bayi belum
mencukupi, maka akan terjadi kesenjangan zat kekebalan pada bayi.
Kesenjangan akan hilang atau berkurang apabila bayi diberi ASI, karena
ASI adalah cairan hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, bakteri, virus, parasit, dan
jamur (Roesli, 2000).
Secara tidak langsung, posisi kolostrum yang keluar pada awal
kelahiran bayi berfungsi sebagai makanan awal bayi sekaligus sebagai
perisai dari penyakit-penyakit infeksi awal kelahiran bayi, kemudian posisi
kolostrum digantikan dengan ASI sebagai pelindung aktif dan pasif tubuh
bayi. Maka pemberian makanan/minuman pada awal kelahiran sebenarnya
sangat tidak berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi atau alasan
pemberian lainnya. Dan malah sebaliknya pemberian makanan lain selain
ASI dapat meningkatkan risiko terganggunya usus bayi yang masih belum
siap (Yuliarti, 2010).
ASI adalah makanan bernutrisi dan berenergi tinggi yang mudah
dicerna. ASI dirancang untuk sistem pencernaan bayi yang sensitif. Protein
dan lemak pada ASI lebih mudah dicerna oleh bayi. ASI mengandung
paling tidak 100 bahan yang tidak ditemukan dalam susu sapi dan tidak
117
dapat dibuat di laboratorium. Pada bulan-bulan pertama, saat bayi dalam
kondisi yang paling rentan, ASI eksklusif membantu melindungi bayi dari
diare, sindrom SID (sudden infant death) atau kematian mendadak, infeksi
telinga, dan penyakit infeksi lainnya (Prabantini, 2010).
Tubuh bayi belum memiliki protein pencernaan yang lengkap. Asam
lambung dan pepsin dibuang pada saat kelahiran. Jumlah asam lambung dan
pepsin baru meningkat mendekati jumlah untuk orang dewasa pada saat
bayi berumur 3-4 bulan. Sampai umur sekitar 6 bulan, jumlah enzim amilase
yang diproduksi oleh pankreas belum cukup untuk mencerna makanan
kasar. Enzim pencerna karbohidrat, seperti maltase, isomaltase, dan sukrase
belum mencapai tingkat orang dewasa sebelum bayi umur 7 bulan. Sebelum
umur 6-9 bulan, jumlah lipase dan bile salts juga sedikit sehingga
pencernaan lemak belum mencapai level orang dewasa. Selain itu, bayi
belum dapat mengontrol dengan baik otot-otot tenggorokan dan lidah karena
itulah proses menelan jadi sulit dan dapat menyebabkan bayi tersedak.
Refleks lidah masih sangat kuat dan dapat menyebabkan pemberian
makanan padat menjadi sulit (Prabantini, 2010).
Pada umur 6-9 bulan baik secara pertumbuhan maupun secara
psikologis, bayi siap menerima makanan padat. Makanan padat yang
diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya
mengakibatkan makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat
menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan (misalnya gangguan
pencernaan, timbulnya gas/kembung, konstipasi/sembelit, dan sebagainya)
(Prabantini, 2010).
118
Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012 menyebutkan bahwa pola
pemberian makan terbaik untuk bayi sejak lahir sampai anak berumur 2
(dua) tahun meliputi : (a) memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu
1 (satu) jam setelah lahir; (b) memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai
umur 6 (enam) bulan. Hampir semua ibu dapat sukses menyusui diukur dari
permulaan pemberian ASI dalam jam pertama kehidupan bayi. Menyusui
menurunkan risiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga,
haemophilus influenza, meningitis dan infeksi saluran kemih. Menyusui
juga melindungi bayi dari penyakit kronis masa depan seperti diabetes tipe
1. Menyusui selama masa bayi berhubungan dengan penurunan tekanan
darah dan kolesterol serum total, berhubungan dengan prevalensi diabetes
tipe 2 yang lebih rendah, serta kelebihan berat badan dan obesitas pada masa
remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2012).
Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan keputusan baru Menkes
sebagai penerapaan kode etik WHO. Keputusan tersebut mencantumkan
soal pemberian ASI eksklusif (Permenkes nomor 450/Menkes/SK/IV/2004).
ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan
dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi berumur 6 bulan,
kecuali obat dan vitamin (Depkes RI, 2005). Pemerintah mengatur pula
makanan pendamping ASI (MPASI) dalam peraturan nomor 237/1997.
Perlu ditegaskan bahwa MPASI bukanlah makanan pengganti ASI
(Prabantini, 2010).
119
Berbagai studi menunjukkan bahwa makanan padat dapat mengganti
porsi susu dalam menu makan bayi. Semakin banyak makanan padat yang
dimakan oleh bayi, semakin sedikit susu yang dia serap dari ibunya. Jika
susu yang diserap dari ibu semakin sedikit, berarti produksi ASI juga makin
sedikit. Bayi yang makan banyak makanan padat atau makan makanan padat
pada umur lebih muda cenderung lebih cepat disapih (Prabantini, 2010).
Prinsip produksi ASI adalah supply by demand, artinya semakin
banyak
disusui/diperah,
produksinya
akan
semakin
banyak.
Jadi, cara untuk meningkatkan produksi ASI, selain banyak-banyak disusui
langsung, perbanyak pula perah (Bonyata, 2011).
Ada beberapa posisi dan teknik menyusui benar yaitu ibu harus
menemukan posisi yang paling sesuai baginya. Bayi harus berada dalam
posisi yang nyaman untuk mempermudah keadaan dan tidak harus memutar
kepala atau meregangkan lehernya untuk dapat menjangkau puting. Ketika
ibu menyentuh lembut bibir bayi dengan putingnya, bayi akan memberi
respons dengan refleks rooting alami dan berpaling ke puting dan membuka
mulutnya. Puting dan sebagian besar areola harus berada di dalam mulut
bayi. Apabila hidung bayi kelihatan tertutup oleh payudara, ibu dapat
mengangkat panggul bayi, sehingga memberikan lebih banyak ruang untuk
bernapas. Menekan payudara biasanya akan membuat puting terlepas dari
mulut bayi. Ketika ibu sudah siap untuk membuat bayi bersendawa, ia harus
dengan lembut memasukkan jari tangannya ke sudut mulut bayi, di antara
kedua gusi untuk menghentikan isapan. Menarik bayi begitu saja tanpa
menghentikan isapan dapat menimbulkan nyeri pada puting (Bobak, 2004)
120
Menurut Bobak (2004) ketika bayi menyusui dengan benar, tidak akan
timbul nyeri di payudara atau kerusakan jaringan. Meletakkan bayi di
payudara dan melepasnya dengan hati-hati, meletakkannya pada posisi yang
benar, dan cara supaya bayi mengisap dengan benar memerlukan latihan,
baik bagi ibu maupun bagi bayi. Rasa nyeri biasanya merupakan tanda
bahwa bayi tidak berada dalam posisi yang benar. Misalnya ibu perlu
belajar menggendong bayi lebih dekat, memberi lebih banyak topangan
pada payudaranya, membuat mulut bayi membuka lebih besar, atau
memegang dagu bayi ke bawah untuk membantu lidah keluar. Apabila air
susu menetes keluar dan membasahi puting, rasa nyeri berkurang. Memeras
beberapa tetes susu untuk membasahi puting mempermudah bayi menyusu
dengan baik. Ibu perlu mencoba berbagai posisi untuk melakukan
penyesuaian terhadap isapan bayi (Storr, 1988)
Salah satu sebab tertahannya refleks pengeluaran ASI adalah bayi
tidak menempel dengan mantap pada payudara. Hal ini terjadi bila bayi
hanya memasukkan puting saja ke mulut sehingga tidak mampu merangsang
keseluruhan proses produksi ASI dalam payudara. Ibu tidak dapat
merasakan getaran dari refleks pengeluaran ASI dan bayi hanya berhasil
mendapat tetesan saja, meski berusaha keras untuk mendapatkan ASI.
Ibaratnya bayi hanya mendapatkan cemilan, bukan porsi makan yang
memuaskan. Karena bayi mengisap pada batang puting, sehingga puting ibu
akan perih dan berdarah. Bila ini terjadi, menyusui bisa menjadi hal yang
sangat traumatis. Solusinya adalah memastikan setiap kali bayi menyusu,
puting dan sebagian besar jaringan di sekitarnya harus benar-benar masuk
121
ke dalam mulutnya. Satu-satunya keahlian penting dalam menyusui
menyangkut seni meletakkan bayi pada posisi yang tepat di payudara.
Pastikan mulut bayi terbuka lebar sehingga bagian dalam lingkaran areola
(lingkaran berwarna gelap sekitar puting) masuk benar ke dalam mulutnya.
(bagian atas areola tidak perlu masuk ke dalam mulutnya) (Kitzinger, 2005).
Bayi prematur atau BBLR mempunyai masalah dalam hal menyusui
karena refleks mengisapnya masih lemah. Untuk bayi dengan kondisi
demikian, sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa atau diperah dan
diberikan pada bayi dengan menggunakan sonde lambung atau pipet
(Yuliarti, 2010)
Bayi yang disusui hanya makan sebanyak yang mereka butuhkan,
tidak lebih. Menyusui setiap kali bayi lapar mudah dilakukan karena air
susu selalu siap untuk diberikan. Beberapa bayi mungkin menjadi lapar
setiap jam atau setiap dua jam pada beberapa hari tertentu, pada hari yang
lain hanya setiap 4 jam. Semakin sering menyusu, lebih banyak air susu
yang diproduksi. Dengan demikian, jika seorang bayi ingin meningkatkan
suplai ASI selama masa pertumbuhannya yang cepat, ia harus menyusu
lebih sering. Beberapa bayi hanya menyusu pada satu sisi setiap kali dan
mengalami peningkatan berat badan yang cukup (Bobak, 2004).
Semakin
lama
bayi
mendapatkan
ASI
saja
maka
semakin
menguntungkan bayi. Bayi akan terhindar dari pengaruh pemberian
makanan di luar ASI, apalagi jika selepas pemberian ASI eksklusif selama 6
bulan, status gizi anak menurun drastis. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi penurunan tersebut, salah satunya adalah higienitas
122
makanan. Setelah lebih dari 6 bulan, bayi dapat diberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI), selain pemberian ASI. Buruknya kondisi
kesehatan bayi sering terjadi bila bayi tidak diberikan ASI eksklusif.
Pemberian makanan padat (tambahan) yang terlalu dini juga dapat
menganggu pemberian ASI eksklusif dan meningkatkan angka kesakitan
pada bayi (Yuliarti, 2010).
Ibu mengetahui bahwa bayinya mendapatkan cukup air susu jika bayi
sekurang-kurangnya buang air kecil 6 sampai 8 kali dan mengeluarkan urine
berwarna kuning pucat seperti jerami dan buang air besar satu kali dalam 24
jam. Dalam lingkungan udara yang hangat, bayi menjadi haus sehingga
memerlukan lebih banyak cairan (Bobak, 2004).
Menurut Nadesul (2007) normal bayi buang air besar satu sampai dua
kali dalam sehari. Masih dinilai normal bila buang air besarnya 36 jam-48
jam sekali. Selama konsistensi tinjanya normal, baru buang air besar setelah
48 jam tidak bermasalah. Bayi yang diberikan ASI umumnya tidak
bermasalah dengan buang air besarnya. Kasus sembelit jarang dijumpai
pada bayi yang mendapatkan ASI. Menurut Bobak (2004), tinja dari bayi
yang disusui tidak padat, bayi yang hanya diberi ASI tidak akan mengalami
konstipasi walaupun mungkin perlu mengedan saat defekasi. Kondisi yang
dialami bayi setelah diberikan ASI merupakan respon bayi yang alami.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian makanan pendamping
ASI dini sebelum bayi berumur 6 bulan memang tidak dianjurkan, secara
teoritis banyak kerugian atau risiko yang akan ditimbulkan oleh pemberian
makanan tersebut dalam jangka pendek dan jangka panjang kehidupan anak.
123
6.3
Gambaran persepsi informan mengenai ancaman dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini
Persepsi ancaman terhadap pemberian makanan pendamping ASI dini,
dapat dijelaskan dari persepsi informan mengenai kerentanan dan keseriusan
penyakit yang akan ditimbulkan setelah pemberian makanan tersebut.
Hampir seluruh informan utama menganggap bahwa pemberian makanan
pendamping ASI dini bukanlah suatu ancaman yang dapat menimbulkan
penyakit pada bayi. Namun, ada satu informan yang merasa khawatir dari
pemberian makanan terlalu dini dapat menimbulkan efek samping seperti
buang air/diare kepada anaknya. Hasil wawancara peneliti menyimpulkan
bahwa semua anggapan informan utama terhadap munculnya ancaman atau
tidak adanya ancaman dari pemberian makanan pendamping ASI dini,
informan akan tetap memberikan makanan tersebut hal ini dikarenakan
sudah pernah ada praktek pemberian makanan kepada anak sebelumnya,
kebiasaan keluarga memberikan makanan terlalu dini kepada bayi, dan
pengalaman mengurus anak saudara.
Informan utama mengetahui bahwa pemberian makanan pendamping
ASI dini dapat menganggu kesehatan bayi yang sistem pencernaannya
belum kuat. Informan juga mengungkapkan sebaiknya pemberian makanan
pendamping ASI diberikan setelah bayi berumur 6 bulan. Temuan dan hasil
wawancara hal ini tidak terealisasikan dengan baik. Hanya saja ada tindakan
yang dilakukan informan ketika terjadi kondisi yang menyebabkan anak
konstipasi dan gangguan pencernaan adalah penghentian makanan dan tidak
diberikannya lagi makanan tersebut.
124
Pengetahuan menurut Notoatmodjo (2005) adalah hasil penginderaan
manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obejk melalui indera yang
dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).
Kemampuan
pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu melalui penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu dan sangat penting terhadap terbentuknya
tindakan seseorang.
Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan
akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu
tingkat pengetahuan dan kemampuan tertentu. Pengetahuan diperoleh dari
proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga
seseorang berperilaku berdasarkan keyakinannya yang diperoleh melalui
media elektronik, media massa dan lain-lain (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa pengetahuan seseorang juga
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya pengalaman yang diperoleh
seseorang. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali
pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi
masa lalu. Pengaruh pengalaman mengasuh anak pada masa lalu akan
berdampak terhadap pengetahuan dan perilaku ibu dalam merawat anak.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik itu
lingkungan fisik, biologis maupun sosial yang berpengaruh terhadap proses
masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada di lingkungan
tersebut (Nursalam, 2003).
125
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) dalam teori tindakan beralasan,
nita/minat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh
keyakinan dan sikap terhadap perilaku tersebut. Keyakinan ini timbul
berdasarkan pengetahuan yang diterima tentang akibat positif atau negatif
tentang sesuatu atau perilaku tertentu. Niat/minat adalah kecenderungan
untuk melakukan sesuatu atau perilaku tertentu yang sejalan dengan
pengetahuan yang diyakini dan menjadi kontrol perilaku, sikap terhadap
sesuatu atau perilaku tersebut serta motivasi untuk bertindak sesuai
keinginan atau harapan normatif (Depkes RI, 1996).
Keyakinan tentang kemudahan dan kesulitan tentang sesuatu perilaku
adalah komponen yang berisikan aspek pengetahuan tentang pengalaman
masa lalu yang dialami sendiri maupun orang lain. Mengacu pada
pengetahuan tentang pengalaman-pengalaman tersebut, individu dapat
memperkirakan sulit atau mudahnya bila memutuskan untuk berperilaku
tersebut (Hayati, 2007).
Semua informan utama mengatakan bahwa pengetahuan mengenai
pemberian makanan pendamping ASI dan pemberian ASI eksklusif
didapatkan dari tenaga kesehatan/bidan puskesmas kecamatan. Adanya
pelaksanaan kelas ibu hamil, konseling, dan penyuluhan dalam pelayanan
ANC (Antenatal Care) dengan dibantu alat penyuluhan yaitu leaflet yang
berisikan tentang pesan-pesan kehamilan, perubahan tubuh selama hamil,
keluhan umum saat hamil, pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, pengaturan
gizi, kesiapan psikologis menghadapi kehamilan, hubungan suami istri
selama hamil, obat yang boleh dan tidak boleh, tanda bahaya kehamilan,
126
tanda bahaya persalinan, perawatan ibu nifas, posisi dan pelekatan ibu
menyusui yang benar, perawatan bayi baru lahir, pengamatan pertumbuhan
dan perkembangan bayi, tanda bahaya bayi baru lahir dan pemberian ASI
eksklusif. Tetapi, hasil wawancara menunjukkan bahwa pengetahuan
informan untuk memberikan ASI eksklusif tidak diikuti dengan prakteknya
yang sebenarnya.
Hasil penelitian Fikawati dan Syafiq (2003) sejalan dengan hasil
penelitian ini yaitu promosi mengenai ASI eksklusif sudah mulai terlihat
hasilnya dengan cukup tingginya pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif
yang berkisar antara 59,7%-79,0%. Namun demikian tingginya pengetahuan
ibu ini tidak diikuti dengan prakteknya, persentase praktek pemberian ASI
eksklusif hanya kurang dari seperempatnya persentase pengetahuan ibu,
responden yang tidak ASI eksklusif sampai 4 bulan umumnya telah
memberikan makanan/minuman prelakteal pada hari-hari pertama setelah
persalinan (Fikawati dan Syafiq, 2003).
Dan hasil penelitian Padang (2008), jawaban responden yang
berkaitan waktu pemberian makanan tambahan berdasarkan pengkategorian,
sebanyak 51,7% responden memiliki pengetahuan yang baik tentang
makanan pendamping ASI, pengetahuan dalam penelitian ini tidak
berpengaruh terhadap pemberian makanan pendamping ASI. Hal ini
disebabkan karena perilaku ibu dalam pemberian makanan pendamping ASI
dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pemberian
makanan kepada anak dibawah 6 bulan yang sudah mengakar secara turuntemurun.
127
Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan
bahwa tindakan merupakan respon internal setelah adanya pemikiran,
tanggapan, sikap, batin, dan pengetahuan. Tindakan atau perilaku
dipengaruhi oleh keturunan, lingkungan, dan pengetahuan. Dalam tahapan
proses beraktivitas, setelah individu melakukan pencarian dan pemprosesan
informasi, langkah berikutnya adalah menyikapi informasi yang diterima.
Apakah individu akan meyakini informasi yang diterimanya, hal ini
berkaitan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Keyakinan-keyakinan atas
suatu informasi membentuk sikap individu.
Sikap akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan
terhadap stimulus (Notoatmodjo, 1997). Perubahan sikap tergantung pada
sejauh mana komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima. Pengaruh
orang lain yang dianggap penting merupakan salah satu komponen yang
dapat mempengaruhi sikap (Hovland cit Muchlas, 1998 dalam Yuliarti
2008). Pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau
lembaga tertentu serta faktor emosi dalam diri individu yang bersangkutan
(Azwar, 2003 dalam Yuliarti, 2008).
Adanya pengalaman dalam praktek pemberian makanan pendamping
ASI dini, terlihat dari pengalaman informan dalam pemberian makanan
kepada anak sebelumnya, sebagian besar informan yang memiliki anak
lebih dari 2 (multipara) menyebutkan bahwa pemberian makanan sudah
pernah dipraktekkan kepada anak sebelumnya, tidak hanya pengalaman
informan sendiri tetapi ada pengalaman mengurus anak saudara. Namun,
128
untuk informan yang baru memiliki anak 1 (primipara) menuturkan bahwa
pengalaman didapat dari pengalaman orang terdekat yaitu teman dan
tetangga sekitar lingkungan rumah. Jika disimpulkan dari hasil wawancara
pengalaman informan utama didapatkan dari pengalamannya sendiri dan
pengalaman orang lain dalam hal ini keluarga terdekat informan yaitu ibu
kandung dan ibu mertua yang juga memiliki pengalaman dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini. Pengalaman dalam pemberian makanan
pendamping ASI dini akan membangun keputusan ibu terhadap tindakan
yang dilakukan, ibu yang memiliki anak lebih dari 2 (multipara) akan lebih
mudah mempraktekkan pemberian makanan, jumlah anak berpengaruh
terhadap pengetahuan ibu karena praktek sangat berhubungan dengan proses
belajar dari praktek ibu menyusui pada anak sebelumnya dan akhirnya
mengambil keputusan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini.
Bagi ibu yang baru memiliki anak pertama (primipara) asumsi peneliti hal
ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pengalaman ibu dalam praktek
menyusui, mengingat bayi yang disusui merupakan anak pertama, semua
kondisi dalam menyusui dapat ibu rasakan sehingga apabila terdapat
masalah menyusui maka ibu akan mengambil keputusan untuk memberikan
makanan pendamping ASI dini.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ginting, dkk
(2012), Paritas ibu diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
pemberian makanan pendamping ASI dini, diketahui bahwa dari 32 orang
ibu yang mempunyai paritas primipara, 27 orang (84,4%) diantaranya telah
memberikan makanan pendamping ASI dini kepada bayi usia < 6 bulan.
129
Ibu yang mempunyai paritas multipara, 41 orang (60,3%) yang telah
memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya. Hasil analisis
diperoleh pula ibu yang memiliki paritas primipara mempunyai risiko
sebesar 1,4 kali untuk memberikan makanan pendamping ASI dini pada
bayi usia kurang dari 6 bulan. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki
anak pertama memiliki pengalaman yang masih kurang dalam memberikan
makanan yang baik untuk anaknya, sehingga saran dari orang tua atau
keluarga dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan makanan pendamping
ASI tidak sesuai dengan usia bayi.
Hasil penelitian Marie di Hongkong tahun 2010 dan juga penelitian
Tan di Peninsular Malaysia tahun 2011 yang menyatakan bahwa ada
pengaruh paritas ibu terhadap pemberian MP-ASI dini pada bayi usia < 6
bulan. Hal ini disebabkan karena ibu yang memiliki paritas multipara telah
memiliki pengalaman dalam menyusui dan perawatan bayi.
Pengalaman menyusui merupakan suatu riwayat bagi ibu yang dapat
mempengaruhi proses menyusui selanjutnya, di mana pada kelahiran
berikutnya menentukan bayi diberi ASI eksklusif atau tidak. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa responden umumnya memiliki jumlah anak satu
orang yaitu 54 orang (54%), yang memperlihatkan bahwa sebaran ibu yang
menjadi responden adalah ibu muda yang baru memiliki satu orang anak.
Responden yang baru memiliki 1 anak, maka pengalaman menyusui baru
satu kali, sehingga tidak dapat diketahui apakah ibu akan memberikan atau
tidak memberikan ASI eksklusif pada anak kedua dan seterusnya.
Sementara responden yang pernah menyusui 2 anaknya berjumlah 31%,
130
responden yang pernah menyusui 3 anak berjumlah 9%, dan responden yang
pernah menyusui 4 anak berjumlah 6%. Hal ini menunjukkan bahwa
umumnya semua bayi pernah disusui oleh ibunya hanya saja lama menyusui
berbeda-beda antar responden (Mulyaningsih, 2010).
Menurut peneliti pengalaman yang didapatkan informan utama dapat
menentukan keputusan apakah informan akan memberikan ASI eksklusif
dan atau memberikan makanan pendamping ASI dini. Disamping itu
memperkuat persepsi informan terhadap ancaman penyakit yang akan
ditimbulkan dari pemberian makanan pendamping ASI dini. Penentuan
keputusan untuk memberikan ASI eksklusif dan atau memberikan makanan
pendamping ASI dini juga dilihat dari tradisi/kebiasaan dalam keluarga
untuk memberikan makanan pendamping ASI dini.
Hasil penelitian menyebutkan adanya kebiasaan atau adat keluarga
Betawi yaitu ketika bayi baru lahir selalu diberikan madu yang dioleskan di
bibirnya. Informan pendukung (ibu mertua) dari salah satu informan utama
mengungkapkan bahwa pemberian madu berguna untuk membuang lendir
yang berada dalam paru-paru bayi sehingga terhindar dari penyakit asma,
madu diberikan sebelum diberikannya ASI dan kebiasaan pemberian pisang
siem yang diulek dengan nasi.
Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Firanika (2010), dimasyarakat Bubulak terdapat tradisi pada bayi yang baru
lahir yaitu memberikan madu atau air gula agar ASInya terasa manis, dan
memberikan kopi supaya anak tidak terkena step, kemudian memberikan air
dari remasan daun pare untuk membersihkan kotoran bayi dari mulut.
131
Kebiasaan tersebut dilakukan turun-temurun dan masih diyakini oleh
masyarakat.
Hasil penelitian Kholifah (2008) menyebutkan bahwa pemilihan madu
sebagai makanan awal kelahiran bermanfaat untuk mengeluarkan kotorang
dari dalam tubuh bayi, dapat merangsang air susu agar cepat keluar,
merupakan makanan yang baik sebelum pemberian ASI dan memerahkan
bibir bayi jika pemberiannnya dioleskan menggunakan cabe merah.
Hasil penelitian Widodo (2001) juga mengungkapkan hal yang sama.
Dari hasil penelitian ini terungkap makanan/minuman yang diberikan pada
bayi baru lahir serta alasan pemberian makanan tambahan kepada bayi baru
lahir karena ASI belum keluar, agar bayi tidak lapar, serta disarankan oleh
dukun bayi dan orang tua, juga karena ibu belum kuat menyusui. Hal ini
juga diungkapkan oleh Sudiman (2004) bahwa sebagian besar ibu muda
memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya pada usia muda
yakni 0-3 bulan, dengan alasan agar bayi tidak sering menangis, dan
sebagian kecil karena ASI tidak keluar.
Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil disertasi oleh
Maas (2004) dalam Afifah (2007), bahwa pada susu sasak di Lombok, ibu
yang baru bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh
ibuya lebih dahulu dan didiamkan selama satu malam) kepada bayinya agar
bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari
mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
Pengetahuan budaya lokal berupa ideologi makanan untuk bayi, antara
lain pemberian madu kepada bayi. Secara umum informan menjawab bahwa
132
madu bagus dan dapat diberikan kepada bayi dengan alasan bahwa madu
dapat mencegah bayi dari penyakit dan bayi dapat tumbuh lebih cepat.
Madu ini merupakan salat satu makanan yang sering diberikan oleh ibu-ibu
responden kepada bayinya. Kecamatan Bonto Cani merupakan daerah
penghasil madu, nama “cani” dari kata Bonto Cani menunjukkan bahwa
kecamatan ini memiliki ciri khas yang melekat dengan madu, di mana
“cani” dalam bahasa Bugis berarti madu. Ideologi makanan lokal ini diduga
memberi andil dalam memanfaatkan madu sebagai makanan tambahan bayi
(Yulianah, dkk, 2013).
Kepercayaan yang dianut informan merupakan juga kepercayaan
keluarga terdekat informan dalam pemberian makanan pendamping ASI
dini, kepercayaan ini bersifat turun-temurun keluarga. Kepercayaan adalah
salah satu komponen dari budaya, dimana sistem kepercayaan yang diyakini
dipengaruhi oleh dalam kebiasaan dalam kehidupan (Wikipedia budaya).
Kepercayaan terhadap pemberian makanan/minuman kepada bayi dibawah
6 bulan adalah suatu hal yang perlu diperhatikan, praktek pemberian
makanan/minuman ini adalah bukti nyata bahwa pelaksanaan ASI eksklusif
belum berhasil.
Peneliti berasumsi untuk bisa mempengaruhi keputusan agar tidak
memberikan makanan pendamping ASI dini cukup sulit. Informan harus
disadarkan dengan adanya dampak yang akan mengancam kesehatan bayi.
Dan menganggap bahwa pemberian makanan pendamping ASI dini adalah
suatu ancaman yang dapat menimbulkan penyakit tertentu terhadap bayi
apabila pemberian makanan pendamping ASI dini masih diberikan.
133
Anggapan masyarakat tentang pemberian makanan pendamping ASI
dini dapat bermanfaat bagi bayi adalah hal sangat keliru, pemberian madu
yang dapat mengeluarkan kotoran dari perut bayi, sebagai obat pencegah
sariawan serta pemberian makanan padat dapat membuat bayi tidak rewel
dan anteng, menurut Roesli (2000), sudah tersedia pembersih alamiah
berupa kolostrum. Kolostrum merupakan pencahar yang ideal untuk
membersihkan zat tidak dipakai dari usus bayi yang baru lahir dan
mempersiapkan saluran pencernaan makanan bagi bayi makanan yang akan
datang. Kolostrum kuning kental sesuai untuk kebutuhan bayi baru lahir.
Kolostrum mengandung antibodi vital dan nutrisi padat dalam volume kecil,
sesuai sekali untu makanan awal bayi (Bobak, 2004). Ada beberapa jenis
madu mengandung spora Clostridium botulinum (Whaley, Wong, 1955),
spora ini sangat tahan terhadap panas dan tidak mati dalam proses
pembuatan madu. Bila ditelan bayi, spora dapat berkembang dan
melepaskan racun yang letal ke dalam lumen usus. Akhirnya botulisme bayi
terjadi dan pada beberapa kasus dapat berakibat fatal (Babok, 2004). Maka
dapat disimpulkan kebiasaan informan yang memberikan madu ketika bayi
baru lahir sebenarnya tidak berguna karena sudah sangat jelas kolostrum ibu
yang keluar pertama kali lebih baik dari madu yang bisa menangkal
berbagai penyakit, dan selanjutnya ditambah dengan pemberian ASI secara
eksklusif maka sempurnalah penangkal berbagai penyakit bagi bayi.
Ketika sistem tubuh bayi belum siap menerima makanan pendamping
ASI seperti usia yang kurang dari 6 bulan, maka selain ancaman obesitas,
banyak lagi dampak negatif yang akan ditimbulkan. Berikut dampak jangka
134
pendek dari pemberian makanan pendamping ASI dini yaitu (a)
menurunkan frekuensi dan intensitas isap, sampai usia 6 bulan aktivitas
mulut bayi adalah mengisap. Namun, ketika memaksa mulutnya untuk
mengunyah maka frekuensi dan intensitas isap menurun bahkan hilang;
(b) memicu diare, perut bayi dibawah 6 bulan sebenarnya baru bisa
mencerna ASI. Ketika diberi makanan pendamping ASI, maka sel-sel usus
kewalahan untuk mengolah zat-zat makanan, sehingga bereaksi seperti
menimbulkan gangguan diare; (c) menimbulkan defluk atau kolik usus,
kram usus yang ditandai dengan bayi menangis sambil menarik kakinya ke
arah perut, terjadi akibat usus yang belum matang dipaksa mencerna
makanan pendamping ASI; (d) bayi kehilangan nutrisi dari ASI, karena
kekenyangan makan makanan pendamping ASI. Padahal, nutrisi dari
makanan pendamping ASI tidak dapat diterima bayi 100% akibat tubuhnya
belum bisa mencerna makanan pendamping ASI dengan sempurna, hanya
ASI yang bisa bayi cerna. Konsumsi makanan pendamping ASI yang
mengenyangkan, tentu membuat bayi enggan minum ASI. Akibatnya,
kebutuhan nutrisi seimbang, justru tidak terpenuhi; (e) penyakit anemia zat
besi, pengenalan makanan seperti sereal, buah-buahan atau sayuran yang
terlalu dini, dapat mempengaruhi penyerapan besi dari ASI sehingga
menyebabkan bayi kekurangan zat besi (Simanjuntak, 2009 dan Cox, 2006).
Dampak jangka panjang dari pemberian makanan pendamping ASI
dini yaitu (a) obesitas, terjadi akibat bayi menerima tambahan kalori ekstra
dari makanan pendamping ASI. Padahal, jumlah kalori makanan padat dan
susu formula melebihi jumlah kalori yang dibutuhkan. Hanya ASI yang
135
dapat memenuhi kebutuhan kalori bayi secara lengkap dan seimbang.
Pemberian makanan pendamping ASI secara dini juga mengajarkan pola
makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh. Konsekuensi pada usiausia selanjutnya adalah terjadi kelebihan berat badan atau kebiasaan makan
terlalu banyak; (b) hipertensi, disebabkan asupan garam natrium dari
makanan pendamping ASI yang sangat tinggi, yaitu lebih dari 15 mg/100 m;
(c) arteriosklerosis, yaitu bentuk gangguan yang terjadi pada pembuluh
darah arteri, sebagai akibat dari konsumsi kolestrol serta lemak berlebihan
dari makanan pendamping ASI; (d) alergi makanan, belum matangnya
sistem kekebalan usus bayi, menyebabkan risiko reaksi alergi lebih kerap
terjadi (Simanjuntak, 2009 dan Cox, 2006).
Sehingga dapat disimpulkan dari penjelasan dan hasil penelitian,
anggapan informan mengenai pemberian makanan pendamping ASI dini
yang bukan suatu ancaman ataupun tidak menimbulkan penyakit setelah
pemberian makanan dipengaruhi dari pengalaman informan yang pernah
memberikan makanan pendamping ASI dini kepada anak sebelumnya,
kebiasaan/adat keluarga dalam pemberian makanan pendamping ASI dini,
dan pengetahuan mengenai makanan pendamping ASI yang belum bisa
diyakini informan utama.
Menurut Notoatmodjo (2010), untuk meningkatkan pengetahuan
kesehatan perlu diberikan penyuluhan yang bertujuan untuk tercapainya
perubahan perilaku individu, keluarga maupun masyarakat, dalam membina
dan memelihara hidup sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal.
136
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan keyakinan,
sedangkan keyakinan itu timbul berdasarkan pengetahuan yang diterima dan
bertujuan agar pengetahuan tersebut bisa berdampak positif apabila sampai
dilakukannya tindakan atau perilaku. Dengan meningkatkan pengetahuan
ibu hamil melalui konseling laktasi, penyuluhan dan kelas ibu hamil di
Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan mengenai manfaat dan pentingnya
pemberian ASI eksklusif. Tenaga kesehatan/bidan puskesmas juga harus
bisa meyakinkan ibu hamil untuk memberikan ASI eksklusif, dan dampak
pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini.
Metode ceramah, selain sederhana juga efektif dalam upaya
penyampaian informasi secara cepat kepada kelompok sasaran yang cukup
besar, sedangkan metode diskusi kelompok dapat digunakan untuk
penyampaian informasi dengan lebih memberikan kesempatan untuk
mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai
alternatif pemecahan masalah (Sofa, 2008a). Diharapkan dengan metode ini
pengetahun mengenai pemberian ASI eksklusif dapat meningkat sehingga
praktek pemberian makanan pendamping ASI dini tidak dilakukan.
Menurut (Potter, 1993 dalam Setyowati, 2008), proses komunikasi
dipengaruhi oleh 10 faktor diantaranya adalah tatanan interkasi/lingkungan
yaitu situasi kondisi lingkungan pada saat memberikan pendidikan
kesehatan. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif jika dilakukan dalam
suatu lingkungan yang menunjang. Tempat yang bising, kurang keleluasaan
pribadi, dan ruang sempit dapat menimbulkan kerancuan, ketegangan,
maupun ketidaknyamanan. Saat penyuluhan semua kondisi harus bisa
137
diatasi dengan baik seperti jumlah sasaran terlalu banyak yang
memungkinkan saling berbincang ikut mempengaruhi dalam komunikasi.
6.4 Gambaran persepsi informan mengenai manfaat pemberian ASI
eksklusif
Berdasarkan hasil wawancara peneliti berasumsi bahwa persepsi
manfaat yang terbentuk pada informan utama adalah persepsi manfaat
pemberian ASI, hal ini disimpulkan dari praktek pemberian makanan
pendamping ASI dini, informan masih memberikan ASInya ketika
pemberian makanan tersebut. Sehingga dapat diketahui juga persepsi
informan mengenai ASI eksklusif masih rendah. Seharusnya apabila
informan mengetahui manfaat ASI eksklusif maka praktek pemberian
makanan pendamping ASI dini tidak dilakukan, mengingat manfaat ASI
eksklusif berhubungan langsung dengan pengetahuan informan mengenai
ASI eksklusif.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian informan utama
memiliki pengetahuan yang salah mengenai pemberian ASI eksklusif,
informan menyebutkan bahwa ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan
sampai 2 tahun, ASI lebih baik dibandingkan dengan susu, dan pemberian
ASI tidak repot.
Hasil wawancara ini juga sejalan dengan hasil penelitian Yulianah,
dkk (2013), menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64,4%)
memiliki pengetahuan ASI eksklusif dalam kategori kurang dan tidak
terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan responden dengan
pemberian ASI eksklusif. Rendahnya pengetahuan responden diduga
138
disebabkan antara lain kurangnya informasi, kurang jelasnya informasi, dan
kurangnya kemampuan responden untuk memahami informasi yang
diterima. Penelitian yang dilakukan Afifah (2007) menemukan bahwa
pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat diperoleh dari berbagai sumber
informasi. Rendahnya pengetahuan para ibu tentang ASI eksklusif, pada
saat yang sama mereka memiliki pengetahuan budaya lokal berupa ideologi
makanan untuk bayi. Pengetahuan budaya lokal ini dapat disebut
penghambat bagi praktik pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan yang
rendah tentang ASI eksklusif karena tidak memperoleh penyuluhan intensif
saat pemeriksaan kehamilan tentang manfaat dan tujuan pemberian ASI
eksklusif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Yulfira, 2007 dalam Igo,
2009) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian
besar ibu mempunyai pengetahuan yang baik tentang menyusui, akan tetapi
pengetahuan ibu tentang pemberian ASI secara eksklusif masih sangat
rendah. Begitu juga dengan perilaku pemberian ASI secara eksklusif, pada
umumnya mereka tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif. Hal
tersebut disebabkan karena masih banyaknya persepsi yang salah di
masyarakat terkait dengan pemberian ASI, sehingga hal itu menjadi beban
tersendiri bagi ibu menyusui dan proses menyusui menjadi terganggu.
Hasil penelitian Hannon tahun 2000 di Amerika Serikat menemukan
bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi keputusan ibu dalam
pemberian makanan dan praktek pemberian ASI, yang meliputi: (1) persepsi
ibu mengenai manfaat ASI, (2) persepsi ibu mengenai kesulitan menyusui,
139
dan (3) pengaruh dari orang lain (public exposure). Adapun kesulitan
menyusui yang dimaksud adalah tekanan pihak luar yang menghambat
pemberian ASI dan rasa tidak nyaman secara fisik akibat menyusui.
Maka informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklusif perlu lebih
ditingkatkan, menurut hasil penelitian Journal of Human Nutrition Diet,
Stewart, dkk (2003) menjelaskan bahwa masih rendahnya cakupan
pemberian ASI eksklusif penyebabnya diduga karena masih lemahnya
informasi seputar manfaat pemberian ASI dan dukungan sosial dari
lingkungan masyarakat sekitar terhadap praktek menyusui selain kondisi
demografis dan ekonomis.
Upaya memberikan penyuluhan mengenai informasi ASI eksklusif
tidak hanya kepada ibu hamil, tetapi harus kepada keluarga dan masyarakatmasyarakat umum agar ikut dukungan ibu memberikan ASI eksklusif.
Informasi pemberian ASI eksklusif harus bisa menekan semua aspek jenis
promosi apapun yang berkaitan dengan keputusan ibu dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini. Informasi mengenai ASI eksklusif akan
meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemberian ASI eksklusif. Menurut
Azis (1995) pengetahuan adalah segala informasi yang diperoleh dari pihak
luar diri subjek yang disertai pemahaman pada informasi yang diterima.
Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara bertanya kepada orang lain,
pengalaman sendiri, mendengarkan cerita orang atau melalui media massa.
Pengetahuan tentang manfaat breastfeeding (menyusui) berpengaruh kuat
terhadap awal dan periode menyusui. Ibu yang mempelajari ASI dan
140
tatalaksana menyusui sebelum melahirkan bayi merupakan langkah
mencapai keberhasilan pemberian ASI secara eksklusif.
6.5 Gambaran persepsi informan mengenai kendala dan kepercayaan diri
ibu dalam pemberian ASI eksklusif
Hasil wawancara mengungkapkan bahwa hampir semua informan
utama tidak merasakan ada kendala ketika pemberian ASI. Ungkapan
tersebut selaras dengan kepercayaan diri yang baik untuk memberikan ASI
kepada anaknya, meskipun praktek pemberian makanan pendamping ASI
dini juga diberikan informan. Hasil wawancara juga menyebutkan bahwa
ada 3 kondisi kendala yang dialami informan utama untuk memberikan
ASInya yaitu ibu bekerja, merasa ASInya kurang dan kendala menyusui
seperti adanya luka ketika menyusui.
Sediaoetomo,(1996) dalam Zai, (2003) mengemukakan bahwa alasan
ibu bekerja tidak memberikan ASI eksklusif tidak dapat dibenarkan. Karena
hal tersebut dapat diatur dengan menitipkan anak dekat tempat kerja atau
jika tempat kerja tidak terlalu jauh, ibu dapat pulang sewaktu-waktu untuk
menyusui anaknya.
Roesli (2001) juga berpendapat bahwa alasan ibu bekerja adalah tidak
benar. Bekerja bukan alasan untuk menghentikan pemberian ASI eksklusif.
Ibu bekerja tetap dapat memberikan ASI eksklusif dengan cara memerah
ASInya sehari sebelum ibu pergi dan ASI perah dapat tahan disimpan
selama 24 jam di dalam termos es yang diberi es batu.
141
Menurut Bobak (2004), apabila seorang ibu kembali bekerja, ia perlu
memompa payudaranya saat ia tidak bersama bayinya. Air susu ibu dapat
dikeluarkan dengan tangan (mengeluarkan air susu secara manual) atau
dengan bantuan pompa payudara. Proses ini akan lebih mudah jika ibu
rileks. Ibu mungkin ingin minum cairan sebelum mengeluarkan air susu. Air
susu yang dihasilkan dapat diberikan kepada bayi dengan memakai botol
atau dapat disimpan atau dibekukan di dalam lemari es. Apabila air susu
harus dibawa dalam perjalanan, air susu ini harus diusahakan tetap dingin.
Air susu ibu dapat disimpan dengan aman di dalam lemari es selama 24
sampai 48 jam. Apabila tidak dipakai dalam 48 jam maka air susu ini harus
dibekukan segera setelah dikeluarkan. Air susu ibu boleh dibekukan selama
6 bulan. Untuk mencairkannya, tabung tempat penyimpanan harus
diletakkan di dalam air kran yang hangat. Air susu yang sudah dicairkan ini
harus segera dipakai. Air susu ini tidak boleh dibekukan ulang, jangan
menggunakan microwave untuk mencairkan air susu yang beku atau untuk
menghangatkan ASI (Worthington-Roberts, 1993 dalam Bobak, 2004).
Microwave dapat menimbulkan titik panas, yang dapat menyebabkan mulut
dan tenggorokan bayi terbakar panas.
Alasan lainnya seperti bayi menangis terus dan ASI kurang, juga
bukan alasan yang benar. Roesli (2001) menyatakan bahwa dari 100 ibu
yang mengatakan ASInya kurang sebenarnya hanya 2 ibu yang ASInya
betul-betul kurang. 98 orang lainnya mempunyai ASI yang cukup, hanya
kurang dapat menata laktasi ASI dengan benar. Demikian halnya dengan
alasan BB turun bukan merupakan alasan yang benar karena jika produksi
142
ASI cukup, maka pertumbuhan bayi untuk 4-5 bulan pertama akan menjadi
2 kali lipat dari pada BB lahir. BB turun diduga berhubungan juga dengan
manajemen laktasi yang belum benar. Bayi sakit perut juga merupakan
alasan yang salah karena justru ASI mengandung substansi anti infeksi yang
melindungi bayi terhadap penyakit infeksi terutama bila kebersihan
lingkungannya tidak baik (Pudjiadi, 2000).
Kalaupun produksi ASI kurang, hal tersebut tidak dapat dijadikan
alasan untuk berhenti menyusui. Jika semakin sering menyusui maka dapat
merangsang produksi ASI. Umumnya, ibu memerlukan waktu sekitar 1
minggu untuk mengembalikannya pada kondisi normal, yang dalam hal ini
produksi ASI cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Demikian pula
dengan gangguan yang muncul saat menyusui, bukanlah alasan untuk
menghentikan ASI. Gangguan tersebut umumnya berupa puting lecet atau
nyeri dan terkait dengan posisi menyusui yang keliru. Jika puting lecet maka
ibu dapat menggunakan krim guna menghilangkan lecet tersebut (Yuliarti,
2010).
Pemberian susu formula merupakan alternatif pemberian susu yang
berhasil pada beberapa keadaan tertentu, termasuk keadaan-keadaan berikut,
keluarga memutuskan untuk tidak menyusui bayi atau ibu tidak mampu
menyusui karena suatu penyakit atau anomali, jadwal ibu tidak
memungkinkannya menyusui bayinya, formula khusus dibutuhkan karena
bayi alergi atau memerlukan suatu makanan tertentu, memberi tambahan
makanan bagi bayi yang ibunya kadang-kadang tidak dapat menyusui,
melengkapi ASI jika produksi susu ibu tidak mencukupi, bayi adopsi.
143
Pemberian susu formula harus menjadi pilihan jika ibu mengidap infeksi
aktif, seperti tuberkulosis, lesi sifilis, pada payudara atau acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS) (Bobak, 2004).
Menurut hasil penelitian Zai, (2003) alasan-alasan yang diberikan oleh
ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif itu menunjukkan bahwa informasi
khusus tentang ASI tidak pernah diperoleh. Hal ini dibuktikan oleh
persentase contoh yang tidak tepat menjawab pertanyaan tentang lamanya
pemberian ASI saja kepada bayi, yaitu sebanyak (62,2%). Pemberian ASI
non eksklusif ini juga diduga berhubungan dengan pemberian makanan
pendamping ASI terlalu dini.
Hal yang menarik juga terjadi pada para ibu yang sebenarnya mindset
awalnya ASI, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 38,2%
responden yang mindset awalnya akan menyusui ASI, namun akhirnya
gagal memberikan ASI selama dua bulan, penyebabnya adalah ASI keluar
setelah beberapa hari, dan sebagian ada yang bayinya tidak mau menyusu
serta rewel saja sehingga pemberian susu formula menjadi alternatifnya
(Hikmawati, 2008).
Banyak kepercayaan dan sikap yang tidak berdasar terhadap makna
pemberian ASI yang membuat pada ibu tidak melakukan pemberian ASI
eksklusif kepada bayi-bayi mereka dalam periode 6 bulan pertama. Alasan
umum mengapa mereka tidak memberikan ASI eksklusif, meliputi rasa
takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang mereka hasilkan tidak cukup
dan/atau memiliki mutu yang jelek, keterlambatan memulai pemberian ASI
dan praktik membuang kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah,
144
kepercayaan yang keliru bahwa mereka haus dan memerlukan cairan
tambahan, kekurangan dukungan dari pelayanan kesehatan, dan pemasaran
susu formula pengganti ASI (Gibney, 2009).
Beberapa kendala ibu tidak percaya diri bahwa dirinya mampu
menyusui dengan baik sehingga mencukupi seluruh dengan baik sehingga
mencukupi seluruh kebutuhan gizi baik. Hal ini antara lain disebabkan
karena kurangnya pengetahuan ibu, kurangnya dukungan keluarga serta
rendahnya kesadaran masyarakat tentang manfaat pemberian ASI eksklusif.
Selain itu kurangnya dukungan tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan
kesehatan, dan produsen makanan bayi untuk keberhasilan ibu dalam
menyusui bayinya (Kemenkes RI, 2012).
Ketidakcukupan suplai ASI merupakan persepsi ibu terhadap
kuantitas dan kualitas ASI-nya tidak dapat memenuhi kebutuhan bayinya,
melibatkan beberapa faktor seperti kepercayaan diri ibu, dukungan suami,
kesehatan maternal, dukungan mertua, berat badan bayi lahir, perilaku bayi,
makanan padat, dan susu formula (Worthington, 2000 dan WHO, 2004).
Namun, hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan informan utama
terhadap dukungan yang diberikan keluarga terdekat. Pemberian makanan
pendamping ASI dini didukung kuat oleh keluarga terdekat informan utama
yang dilihat dari kondisi bayi yang rewel, menangis setelah disusui,
sehingga peluang untuk ibu memberikan makanan pendamping ASI dini
sangat besar. Disamping itu juga pengetahuan ibu terhadap produksi ASI
belum banyak diketahui hal ini yang membuat ibu dengan mudah
memberikan makanan pendamping ASI dini. Sebenarnya produksi ASI
145
sangat dipengaruhi oleh faktor kejiwaan ibu. Ibu yang selalu dalam keadaan
gelisah, kurang percaya diri, rasa tertekan dan berbagai bentuk ketegangan
emosional, mungkin akan gagal dalam menyusui bayinya (Moehji, 1988).
Dalam menyusui, seorang ibu tentu akan banyak menghadapi
masalah. Meskipun ia sudah berpengalaman sekalipun, dalam hal menyusui,
kemungkinan timbulnya masalah tetap besar. Tentunya masalah timbul itu
akan membuat proses menyusui menjadi tidak lancar. Masalah menyusui
dapat diatasi dengan tepat agar ibu bisa memberikan ASI secara eksklusif.
Pemberian ASI eksklusif merupakan suatu investasi yang tidak bisa
tergantikan dalam menentukan kesehatan dan kecerdasan anak. Generasi
sehat berkualitas akan tercapai jika ASI sebagai gizi utama yang diperlukan
anak dalam dua tahun periode awal kehidupannya diberikan sampai
dilakukan penyapihan. Seribu hari pertama yaitu terhitung sejak bayi dalam
kandungan (40 minggu hingga dua tahun pertama) menjadi penentu kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa kita (Permatasari, 2012).
Kunci utama keberhasilan pemberian ASI eksklusif yaitu membangun
kepercayaan diri dan motivasi ibu selama menyusui, mendukung ibu dalam
pengambilan keputusan untuk memberikan ASI eksklusif. Hasil ini akan
lebih optimal jika suami dan keluarga terdekat ibu lainnya yaitu orangtua
dan anggota keluarga lainnya ikut mendukung dan berperan aktif untuk
bekerjasama melaksanakan tugas utamanya memberikan ASI eksklusif
(Permatasari, 2012).
146
6.6 Gambaran faktor eksternal mengenai pemberian makanan pendamping
ASI dini
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan
oleh informan utama diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh informan
pendukung, hampir seluruh informan pendukung dalam penelitian ini
menganjurkan pemberian makanan pendamping ASI dini serta mengambil
alih dalam persoalan pemberian makanan. Dukungan keluarga sebagian
besar bersifat negatif sehingga terjadi kegagalan pemberian ASI eksklusif.
Menurut
Gultom
(2010),
ibu
yang
menyusui
membutuhkan
rangsangan-rangsangan dari keluarganya, yaitu dalam bentuk dukungan,
baik dukungan fisik, psikologi dan ekonomi. Dukungan ini diberikan untuk
memperkuat perilaku ibu agar memberikan ASI kepada bayinya. Kemudian
ibu memberi respon atas dukungan yang diberikan keluarga tersebut dalam
bentuk perilaku untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Proses
stimulasi ini juga terjadi dalam pemberian MP-ASI, dimana jika keluarga
memberikan dukungan untuk memperkuat perilaku ibu agar memberikan
MP-ASI dini. Kemudian ibu akan merespon atas dukungan tersebut
sehingga membentuk perilaku pemberian MP-ASI dini
Pada penelitian Nuraeni (2002) dalam Rohmiana (2007), orang tua
atau mertua (33,6%) merupakan keluarga yang menganjurkan memberikan
makanan atau minuman selain ASI pada bayi baru lahir. Selain itu dari hasil
penelitiannya, bayi yang mendapatkan ASI saja sejak lahir sampai umur 4-6
bulan hanya 19,82%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak
pemahaman-pemahaman praktek pemberian makanan pendamping ASI
147
yang salah sehingga berdampak kepada pemberian makanan pendamping
ASI secara dini kemudian adanya kebiasaan-kebiasaan terdahulu yang
sudah tidak cocok pada masa sekarang ini dan masih sering diterapkan oleh
orang tua terutama ibu kandung ataupun mertua yang merupakan salah satu
pengaruh dalam pengampilan keputusan ibu dalam pemberian makanan
pendamping ASI dini.
Sejalan dengan penelitian Afifah (2007) di Kecamatan Tembalang
Semarang, yang menyatakan sebagian subjek telah mulai memberikan
makanan pendamping ASI sejak bayi berusia kurang dari satu bulan, bahkan
ada satu subjek yang memberikan makanan berupa nasi dan pisang „ulek‟
pada saat bayi berusia 11 hari. Pemberian makanan pendamping yang terlalu
dini biasanya karena anjuran orang tua terutama nenek (ibu subjek). Alasan
umumnya karena bayi menangis terus meskipun telah disusui dan diberi
susu formula.
Hasil penelitian Saleh (2011), pemberian makanan pendamping ASI
yang terlalu dini biasanya karena anjuran orang tua terutama nenek (ibu
subjek). Penelitian yang dilakukan Clin Ped (1994) seperti yang dikutip
Roesli dalam Saleh (2011), yang menyatakan bahwa keberhasilan menyusui
pada 115 ibu yang tahu ASI hanya 26,9% pada kelompok ayah yang tidak
mengerti ASI dan keberhasilan menyusui 98,1% pada kelompok ayah yang
tahu ASI. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa suami sangat
berperan dalam menentukan keberhasilan menyusui secara eksklusif. Subjek
mengetahui bahwa ASI sangat baik untuk bayi namun tidak mendapat
motivasi yang kuat baik dukungan suami, keluarga serta lingkungan.
148
Peranan keluarga terdekat terhadap berhasil tidaknya informan
memberikan ASI eksklusif sangat besar, pemilihan informan pendukung
dalam penelitian ini adalah keluarga terdekat yang menyebabkan informan
memutuskan untuk memberikan makanan pendamping ASI dini, dan dalam
penelitian ini menunjukkan pola pengasuhan biasanya dilakukan oleh nenek.
Disini tampak bahwa ibu kandung/mertua berperan dalam pengasuhan anak,
terutama dalam pemberian makanan/minuman kepada bayi.
Selain dukungan keluarga, dukungan sosial yaitu dukungan teman
atau
tetangga
juga
memberikan
dorongan
untuk
pemberian
makanan/minuman kepada bayi, menurut Cobb dan Jones (1984) yang
dikutip oleh Niven (2000) dukungan sosial juga dukungan yang berasal dari
teman ataupun interaksi dengan tetangga lainnya. Lingkungan tetangga juga
mempunyai pengaruh terhadap pola kehidupan keluarga. Dalam penelitian
ini juga ada informan yang mengungkapkan bahwa anak pertamanya
mengalami masalah ketika menyusui yaitu puting lecet dan sampai
berdarah, seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami
masalah ketika menyusui yang sebetulnya hanya karena tidak tahu cara-cara
yang sebenarnya dan apabila ibu mendengar ada pengalaman menyusui
yang kurang baik yang dialami orang lain hal ini memungkinkan ibu ragu
untuk memberikan ASI kepada bayinya (Perinasia, 2004) hal ini sejalan
dengan hasil penelitian bahwa informan merasakan sakit ketika menyusui
dan mendengar dari pengalaman dari orang lain kalau menyusui anak lakilaki itu akan merasakan sakit, dan akhirnya informan memberikan makanan
pendamping ASI lebih awal.
149
Selain mendapat dukungan pemberian makanan pendamping ASI dini
yang kuat dari keluarga terdekat, sebenarnya informan juga mendapat
dukungan serta anjuran positif untuk memberikan ASI secara eksklusif dan
memperkenalkan makanan pendamping ASI setelah bayi berumur 6 bulan.
Tetapi pada pelaksanaannya informan memberikan makanan pendamping
ASI dini meskipun pemberian ASI masih diberikan. Dukungan yang kuat
dari bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan untuk memberikan ASI
secara eksklusif dikalahkan dengan kurangnya dukungan keluarga informan
mengenai
pemberian
ASI eksklusif
sehingga pemberian makanan
pendamping ASI dini mudah diberikan. Dukungan/anjuran yang diberikan
tenaga kesehatan khususnya bidan puskesmas, tidak hanya diberikan begitu
saja tetapi melalui pemeriksaan kehamilan dan pascapersalinan berdasarkan
pengakuan bidan ketika wawancara, bidan selalu mengingatkan dan
menganjurkan ibu harus memberikan ASI secara eksklusif dengan tidak
memberikan makanan/minuman sebelum bayi berumur 6 bulan.
Dukungan petugas kesehatan sendiri, baik itu dokter, bidan, perawat
maupun kader kesehatan, sebenarnya memiliki peran yang sangat penting
dalam menunjang keberhasilan memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian
dari Josefa (2011) bahwa dukungan petugas kesehatan pada masa sebelum
dan sesudah persalinan, seperti edukasi dan penyuluhan, belum seperti
diharapkan, tidak ada tenaga kesehatan yang mendukung dan menjelaskan
bagaimana jalan keluar yang tepat. Beberapa bidan memang mengajari cara
menyusui, merawat puting dan memijat payudara. Tetapi, ibu-ibu tidak
diyakinkan bawah ASI cukup dan tetap menyusui bayinya. Edukasi yang
150
diberikan hanya berupa larangan meminum jamu dan memakan makanan
tertentu yang bisa melancarkan ASI, sedangkan dokter hanya memberikan
resep.
Dan penelitian Josefa (2011) tidak sejalan dengan hasil penelitian ini,
dukungan yang diberikan bidan Puskesmas Kecamatan sangat baik. Namun,
praktek pemberian makanan pendamping ASI dini masih gencar diberikan
informan, penyuluhan yang diberikan ketika pelayanan pemeriksaan
informan biasanya mendapatkan edukasi mengenai keluhan-keluhan
informan selama kehamilan, kemudian diruang bersalin informan juga
biasanya mendapatkan informasi mengenai pasca persalinan meliputi
pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan pernyataan informan mengenai
pengetahuan pemberian makanan pendamping ASI yang seharusnya,
informan mengetahui dengan baik kapan waktu yang tepat diberikan
makanan pendamping ASI, hal ini dapat menunjukkan bahwa dukungan
yang diberikan bidan puskesmas kecamatan baik.
Faktor eksternal seperti dukungan dari orang tua, mertua, tetangga dan
tenaga kesehatan (baik sebagai penolong persalinan maupun tidak)
merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam pemberian
makanan pendamping ASI dini (Simandjuntak, 2001). Untuk itu peneliti
berasumsi bahwa perlu adanya penyuluhan kepada keluarga agar dapat
memberikan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif dan bukan malah
mendukung pemberian makanan pendamping ASI dini. Keberhasilan
pemberian ASI eksklusif tidak hanya datang dari dukungan tenaga
kesehatan tetapi juga dukungan dari keluarga terdekat.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan ibu
pada umumnya memberikan madu ketika bayi baru lahir, beberapa ibu
juga memberikan makanan padat saat anak berumur satu, dua, tiga, dan
lima bulan yaitu pisang ambon, bubur nestle, bubur sun, dan susu
formula. Adanya pemberian lain seperti air tajin saat air susu ibu belum
keluar dan pemberian kopi sebagai syarat untuk mencegah agar anak
tidak step.
2. Persepsi ibu tentang ancaman pemberian makanan pendamping ASI dini
diketahui ibu menganggap bahwa pemberian makanan pendamping ASI
dini bukan suatu ancaman yang dapat menimbulkan penyakit terhadap
bayi. Namun, ada satu ibu yang merasa khawatir setelah memberikan
makanan pendamping ASI dini dapat menimbulkan efek samping seperti
diare. Persepsi ancaman diperkuat dengan pengalaman, kebiasaan/adat
turun-temurun keluarga dalam pemberian makanan pendamping ASI
dini, dan pengetahuan terhadap waktu yang tepat pemberian makanan
pendamping ASI yang belum diyakini ibu.
151
152
3. Persepsi ibu tentang manfaat ASI eksklusif dapat diketahui dari praktek
pemberian makanan pendamping ASI dini yang dilakukan ibu, ibu tetap
memberikan ASI ketika memberikan makanan. Sehingga yang terbentuk
adalah persepsi ibu terhadap manfaat ASI bukan manfaat ASI secara
eksklusif, karena pemberian makanan dan ASI sama-sama memberikan
manfaat untuk anak.
4. Persepsi ibu tentang kendala pemberian ASI eksklusif, hampir semua
ibu tidak merasakan adanya kendala ketika pemberian ASI meskipun
praktek pemberian makanan pendamping ASI dini sudah diberikan ibu.
Tetapi ada kondisi yang dialami ibu untuk memberikan ASI yaitu
kondisi ibu ketika menyusui, ibu kembali bekerja dan persepsi ibu
terhadap ASI yang kurang.
5. Beberapa ibu memiliki kepercayaan diri yang kuat (breastfeeding selfefficacy) untuk menyusui. Namun, ada kondisi yang dialami ibu yang
membuat ibu tidak percaya diri untuk memberikan ASI yaitu ketika
kondisi puting lecet saat menyusui dan ketidakcukupan ASI.
6. Dukungan yang baik dari bidan Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan
untuk memberikan ASI secara eksklusif dikalahkan dengan kurangnya
dukungan keluarga terdekat ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
Dukungan yang didapatkan ibu berupa dukungan pemberian makanan
pendamping ASI dini.
153
7.2
Saran
1. Disarankan kepada bidan pelayanan ANC (Antenatal Care) Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan untuk bisa menambah materi
tentang ASI eksklusif yaitu pengertian ASI eksklusif, manfaat ASI
eksklusif, keunggulan ASI eksklusif, anjuran pemberian ASI eksklusif,
pelaksanaan pemberian ASI eksklusif dan langkah keberhasilan
pemberian ASI eksklusif. Melalui konseling dan meyakinkan ibu-ibu
hamil untuk memberikan ASI secara eksklusif.
2. Disarankan kepada TPG Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta
Selatan dan bidan desa untuk memberikan pelatihan kepada kader-kader
posyandu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan agar
mampu dan mandiri memberikan penyuluhan kepada ibu hamil tentang
manfaat pemberian ASI eksklusif dan dampak pemberian makanan
pendamping ASI terlalu dini, dan dituntut untuk bisa meyakinkan ibu-ibu
memberikan ASI secara eksklusif.
3. Disarankan kepada Kepala Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta
Selatan, agar mengajak tokoh masyarakat di wilayah kerja puskesmas
kecamatan untuk turut meyakinkan ibu-ibu agar mau memberikan ASI
secara eksklusif.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, Diana Nur. Faktor yang Berperan dalan Kegagalan Praktik Pemberian
ASI Eksklusif (Studi Kualitatif di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang
Tahun 2007). Tesis. Program PascaSarjana Universitas Diponegoro
Semarang.
2007.
Diakses
melalui
http://eprints.undip.ac.id/17024/1/Diana_Nur_Afifah.pdf pada tanggal 16
Februari 2013
Anggraeni, Annisa. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI
Eksklusif pada Ibu yang Melahirkan di Rumah Bersalin Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan Tahun 2012. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2012.
Ansori, Muhammad. Hubungan Umur Pertama Kali Pemberian MP-ASI dengan
Status Gizi Bayi Umur 6-12 Bulan Di Kecamatan Pedamaran Kabupaten
Ogan Ilir Sumatera Selatan Tahun 2001. Tesis. Depok: FKM-UI. 2002.
Anonim.
Strategi
Nasional
PP-ASI.
2003.
Diakses
http://www.gizi.net/kebijakangizi/html. pada tanggal 19 Juli 2013.
melalui
Arasta, Ludfi Dini. Hubungan Pelaksanaan Rawat Gabung dengan Perilaku Ibu
dalam Memberikan ASI Eksklusif di Polindes Harapan Bunda Desa
Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal. 2010. Diakses melalui
http://akbid-purworejo.ac.id tanggal 2 april 2013.
Azis, S. Ibu dan Anak Bayi Sehat Menjamin Kualitas Sumberdaya Manusia.
Buletin Direktorat Jenderal POM No.3. 1995.
Bisyaroh, Neneng. Hubungan Karakteristik, Sikap, Pengetahun, dan Peran Ayah
terhadap Praktek Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Harjamukti Kota
Depok Tahun 2011. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
BKKBN. Persepsi dan Perilaku Menyusui di Bali. Jakarta : Data Gerakan KB
Nasional. 1991.
Bobak, Lowdermik and Jensen. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, edisi 4.
Jakarta: EGC. 2004.
Bonyata, Kelly. Breast Feeding Basics, Preparing To Breastfeed, Supply Basics.
Bs, IBCLC. 2011.
Cox, S. Breastfeeding with Confidence, Panduan untuk belajar menyusui dengan
percaya diri. Jakarta: PT Elex Media Kamputindo. 2006.
Dainur. Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Widya
Medika. 1995.
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Profil Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2009. Jakarta: Dinkes Provinsi DKI. 2009.
Depkes dan Kesejahteraan Sosial. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
Jakarta : Depkes RI dan Kesejahteraan Sosial RI. 2000.
Depkes, RI. Gerakan Partipasif Penyelamatan Ibu Hamil, Menyusui dan Bayi.
Jakarta : Depkes RI. 2000.
Depkes, RI. Manajemen Laktasi. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. 2002.
Depkes, RI. Ibu Bekerja Tetap Memberikan Air Susu Ibu (ASI). Jakarta Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. 2002.
Depkes, RI. Pedoman Hidup Sehat. Jakarta : UNICEF – Depkes RI. 2002.
Depkes, RI. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian
Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
2004
Depkes, RI. Pedoman Pekan Kesehatan Nasional. Pusat Promosi Kesehatan.
Jakarta: Depkes, RI. 2005.
Depkes, RI. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendampng ASI lokal. Jakarta:
Depkes, RI. 2006.
Depkes, RI. Pemberian Air Susu Ibu Dan Makanan Pendamping ASI. Jakarta:
Depkes, RI. 2009.
Depkes, RI. Paket Modul-Kegiatan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
Eksklusif. Jakarta: Depkes, RI 2008.
Depkes, RI .Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta: Depkes, RI. 2010b
Depkes, RI. Surat Edaran Penguatan Pelaksanaan Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui (10 LMKM). Jakarta. 2010
Edberg. Mark. Buku Ajar Kesehatan Masyarakat, Teori Sosial dan Teori
Perilaku. Jakarta : EGC. 2009
Fika, Sandrawati dan Syafiq, Ahmad. Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan
Praktik Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Volume IV No. 2 Edisi Mei-Agustus 2003, h. 47-53
http://www.scribd.com/doc/98732627/IMD-Dan-ASI-Eksklusif
Diakses
Pada Tanggal 16 Februari 2013.
Fitrisia, Dessy W. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian Susu
Formula pada Bayi Umur 0-12 Bulan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber
Daya Keluarga Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 2002.
Firanika, Rayuni. Aspek Budaya dalam Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan
Bubulak Kota Bogor Tahun 2010. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Skripsi Keperawatan. 2010.
Fishbein, M. Ajzen, I. Belief, Attitude, Intention and Behavior, An Introduction to
Theory and Research, London: Addison-Wesley Publishing Comp, 1975
Gatti, L. Maternal Perception Of Insufficient Milk Supply In BreastFeeding. J
Nurs. Scholarch 40 (4) : 335-63. 2008.
Gibney, MJ. Gizi Kesehatan Masyarakat (Hartono Andry dan Widyastuti Palupi,
Penerjemah). Jakarta : Penebit buku kedokteran EGC. 2009.
Ginting, Daulat. Sekarwarna, Nanan. Sukandar, Hadyana. Pengaruh
Karakteristik, Faktor Internal dan Eksternal Ibu Terhadap Pemberian MPASI Dini Pada Bayi Usia <6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Barusjahe
Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. 2012 Diakses melalui
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/01/pustaka_unpad_peng
aruh_karakteristik_faktor_internal.pdf tanggal 19 Juli 2013.
Glanz, Karen. K. Rimer, Barbara. Viswanath, K. Health Behavior And Health
Education; Theory, Research and Practice. 4th Edition; Jossey-Bass: USA.
2008.
Gultom, D, Y. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MP-ASI pada
bayi 0-6 bulan oleh ibu-ibu di pedesaan di kabupaten hulu sungan selatan.
Al’ulum vol.34 no.4 oktober halaman 39-43. 2010.
Hannon, P.R, S.K. Willis, V.Bishop-Towsend, I.M. Marinez dan S.C.
Schrimshaw. African-American and Latina Adolescent Mother’s
InfantFeeding Decidions and BreastFeeding Practises: A Qualitative Study.
Journal Of Adolescenct health, 26:399-407. 2000
Handayani, Dini Saraswati. Gambaran Pengetahuan Ibu Menyusu Tentang
Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Karakteristik Ibu di Puskesmas
Sukawarna Kota Bandung Periode Desember 2006 – Januari 2007. 2007
Hardjito, Koekoeh. Wahjurin, PH. W Linda, Wahyu. Hubungan Pemberian ASI
eksklusif dengan Frekuensi Kejadian Sakit pada Bayi Usia 6-12 Bulan di
Desa Jugo Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Jurnal Penelitian Suara
Forikes. 2011.
Hayati, Nur Rahmah. Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Motivasi terhadap Minat
Bidan Mengikuti Uji Kompetensi Di Kota Semarang Tahun 2007. Tesis.
Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Kebijakan
Kesehatan.Diakses
melalui
http://eprints.undip.ac.id/18812/1/RAHMAH_NUR_HAYATI.pdf
pada
tanggal 25 Juli 2013.
Hikmawati, Isna. Sakundarno, Mateus. Purwanti, Asri. Risk Factors Of Failure to
Give BreastFeeding During Two Months (Case Study Of Infants Aged 3 To
6 Months Old In Banyumas Distrisct). 2008.
Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
RentangKehidupan, Alih Bahasa; Istiwidayanti & Soedjarwo, Edisi 5.
Jakarta : Penerbit Erlangg. 1995.
Igo, Lusiana Martha. Nadhiroh, Matun A’im. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Perilaku Ibu dalam Pemberian ASI eksklusif pada Bayi Usia 0-6
Bulan di Krembangan Jaya Surabaya. Jurnal Insan Kesehatan, Stikes Insane
Se Agung Bangkalan. Vol 1. No 2. 2009.
Irawati, Anies. Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI dini Terhadap
Gangguan Pertumbuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Normal Sampai
Umur Empat Bulan. Disertasi. Depok : FKM UI. 2004
Josefa, Gafriela Khrist. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemberian
ASI eksklusif pada Ibu (Studi Kasus DI wilayah Kerja Puskesmas
Manyaran, Kecamatan Semarang Barat). Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2011. Diakses
melalui http://eprints.undip.ac.id/33391/1/Khrist_Gafriela.pdf tanggal 25
Juli 2013
Kajian Unicef. Ringkasan Kajian: Kesehatan ibu dan anak. 2012. Diakses
melalui
http://www.unicef.org/indonesia/id/A5__B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_
REV.pdf tanggal 19 Juli 2013
Kajian Unicef. Ringkasan Kajian: ASI Eksklusif, ingin bayi secerdas Einstein.
2012.Diakses
melalui
http://www.depkes.go.id/downloads/advertorial/adv_ingin_bayi_secerdas_ei
nstein.pdf tanggal 19 Juli 2013
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pekan ASI Sedunia (PAS) 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. 2010
Kementerian Kesehatan RI. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun
2010-2014. Jakarta. 2010
Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2012.
Diakses
melalui
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/01/BUKU-PP-NO-33-2012_ASI__.pdf
tanggal 19 Juli 2013.
Kitzinger, Sheila. Memahami Tangisan Bayi. Jakarta: Erlangga. 2005.
Kholifah, Neneng. Analisis Kualitatif Perilaku Pemberian Makanan Prelakteal
Pada bayi usia 0-6 buan Didesa Cipicung Kecamatan Cikedal Kabupaten
Pandeglag tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008.
Khomsan, A. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian. Bogor. 2002.
Khomsan, A. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia. 2004.
Kresno, Sudarti. Aspek sosial budaya dalam kesehatan. Jakata: Universitas
Indonesia, 2005.
Kramer, M.S, & Kakuma, R. Infant growth and health outcomes associated with
3 compared with 6 mo of exclusive breastfeeding. American Journal of
Clinical Nutrition. Vol. 78, No. 2. 2003.
Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010
Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2012
Laporan Profil Tahunan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Tahun 2011
Marie Tarrant et al. BreastFeeding and Weaning Practises among Hong Kong
Mothers: A Prospective Study. BMC Pregnancy and Chilbirth. 2010
Mulyaningsih, Asih. Persepsi Ibu bekerja Terhadap Implementasi ASI Eksklusif
(Kasus Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor).
Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. 2010. Diakses melalui
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40886/2010amu1.pd
f pada tanggal 20 Agustus 2013
Moehji, S. Pemeliharaan Gizi dan Balita. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. 1998.
Nadesul, Hendrawan. Makanan Sehat untuk Bayi. Cetakan VII. Jakarta: Puspa
Swara. 2005
Nadesul, Hendrawan. Membesarkan Bayi Jadi Anak Pintar, Panduan Bagi Ibu.
Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2007.
Niven, N. Psikologi kesehatan : Pengantar untuk perawat dan profesional
kesehatan lain. Jakarta : EGC. 2000.
Notoatmodjo, Soekidjo. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. 1993.
Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. 1997
Notoatmodjo, Soekidjo. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
2002.
Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta. 2003.
Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta. 2007.
Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika. 2003
Padang, Asdan. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam
Pemberian MP-ASI Dini Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli
Tengah Tahun 2007. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara
Medan. 2008.Diakses melalui
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6728/1/08E00834.pdf pada
tanggal 28 agustus 2013
Pender, Nola J, Carolyn L Murdaugh., Mary Ann P. Health Promotion in Nursing
Practice. New Jersey : Pearson education, Inc. 2002
Permatasari, Endah Astika Tria. Optimalisasi Peran Keluarga terhadap
Keberhasilan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Dosen Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2012.
Diakses melalui http://ns1.fkkumj.ac.id/rapb-2012/1-rapb-2012/detail/78rapb-2012?tmpl=component&phocadownload=2 pada tanggal 28 Juli 2013.
Perinasia, Melindungi, Meningkatkan dan Mendukung Menyusui (Cetakan Ke 2).
Jakarta: Bina Rupa Akasara: Jakarta. 1994.
Perinasia. Majalah kedokteran FK UKI: Air Susu Ibu. Jakarta: persadaan Bukit.
2002.
Perinasia. Manajemen Laktasi, Menuju Persalinan Aman dan Bayi Lahir Sehat,
2nd ed. Jakarta. 2004.
Pudjiadi, Solihin. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru. 2000.
Purwanti, H.S. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: EGC. 2003.
Prabantini, Dwi. A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: ANDI. 2010.
Priyono, Yunisa. Merawat Bayi Tanpa Baby Sitter. Yogyakarta : Medpress. 2010.
Rachmadewi, Asrinisa. Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta
Status Gizi Bayi Usia 4-12 Bulan di Perdesaan dan di Perkotaan. Skripsi.
Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian
Bogor. 2009. Diakses melalui http://repository.ipb.ac.id tanggal 25 maret
2013.
Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Niaga Swadaya. 2000
Roesli, Utami. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif. Jakarta : Gramedia. 2001
Roesli, Utami. ASI Eksklusif. Edisi II. Jakarta : Trubus Agriwidya. 2004
Roesli, Utami. Air Susu Ibu (ASI). Anugrah Tuhan yang Tersia-siakan: Informasi
terpilih untuk para insan pers. Depkes RI. Jakarta. 2007
Roesli, Utami. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta : Pustaka Bunda
(Grup Puspa Swara), Anggota IKAPI. 2008.
Rohmiana, Siti. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) dini pada bayi di posyandu wilayah kerja
puskesmas kampung sawah kota tangerang selatan tahun 2012. UIN
Kesehatan Masyarakat. 2012
Saleh, La Ode Amal. Faktor-Faktor yang Menghambat Praktik ASI Eksklusif
Pada Bayi Usia 0-6 Bulan. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. 2011. Diakses melalui
http://eprints.undip.ac.id tanggal 25 maret 2012.
Setyowati, Exsi. Rahayu, Betty Faizah. Pengetahuan Tenaga Kesehtan Tentang
ASI dengan Kemampuan Memberikan Pendidikan Kesehatan ASI Eksklusif
pada Ibu Prenatal Di Puskesmas II Kartasura. Bertia Ilmu Keperawatan
ISSN 1979-2697, Vol 1 No 2. 2008.
Setyowati, Titiek dan Budiarso, Ratna. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan
Pemberian Minuman/Makanan Pada Bayi. 1998. Buletin Penelitian
Kesehatan.
Diakses
melalui
http://bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/287/380
tanggal 28 agustus 2013
Simandjuntak, Dahlia. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian
Makanan Pendamping ASI Dini Pada Bayi Di Kecamatan Pasar Rebo,
Kotamadya Jakarta Timur. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. 2001.
Smet, Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo Anggota IKAPI. 1994.
Stewart-Knox B, Gardiner K, and Wright M. What is the Problem with BreastFeeding? A Qualitative Analysis of Infant Feeding Perception. Journal Of
Human Nutrition Diet, 16:265-73. 2003.
Sudiman, Herman. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak Usia di Bawah Tiga
Tahun (Batita). Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol XIV
No 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2004.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung:
Alfabeta. 2010
Suhardjo. Pemberian makanan pada bayi dan anak. Yogyakarta: Kaninus. 1992.
Suhardjo. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi Aksara. 1996
Suhardjo. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
1989
Sutomo, Budi. Anggraini, Yanti Dwi. Makanan Sehat Pendamping ASI. Jakarta:
Demedia. 2010.
Suyatno. Pengaruh Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Tradisional
pada Usia Dini terhadap Pertumbuhan dan Kesakitan Bayi, studi kohort
pada bayi 0-4 bulan di Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro. Gizi
Kesehatan. 2001.
Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. 1995
Soetjiningsih. ASI petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: EGC.1997
Sofa. Metode Ceramah dalam Pembelajaran, Jakarta: 2008a.
Tan Leong Kok. Factors Associated with Exclusive BreastFeeding Among Infants
Under Six Months of Age in Peninsular Malaysia. Internasional
BreastFeeding Journal. 2011.
Widodo, Yekti. Kebiasaan Memberikan Makanan Kepada Bayi Baru Lahir di
Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Vol. XI No.3/2001. 2001.
Williams, L dan Wilkins. Modern Nutrition in Health and Disease (10th ed).
USA : wolters Kluwer Company. 2006.
Winikoff, B, Castle M.A dan Laukaran V.H. Feeding Infants in Four Societies.
Causes and Consequences of Mother’Choices. Greenwood Press Inc, USA.
1988.
Wiryo. H. Dampak pemberian pisang terhadap timbulnya sumbatan saluran
cerna neonatus. Majalah Kedokteran Indonesia 54 (2). 1998.
Worthington, RBS. Lactation : Breast-Feeding is a diserable option. Nutrition
Throughout The Life Cycle. McGraw Hill. Fourth edition. P. 130-181. 2000.
WHO. Global Strategy For Infant and Young Child Feeding. Switzerland:
UNICEF. 2003.
WHO. The Optimal Duration Of Exclusive Breast Feeding. Report Of An Expert
Consultation. Department Of Nutrition For Health and Development
(NHD). Geneva, Switzerland 28-30 March 2001
WHO. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001- 2005. Jakarta : Dirjen
Kesehatan Masyarakat Depkes RI. 2000.
WHO. Exclusive breastfeeding for six months best for babies everywhere. Diakses
melalui
http://www.who.int/mediacentre/news/statements/2011/breastfeeding_2011
0115/en/index.html. 2011. Pada Tanggal 28 Juni 2012.
Wulandari, Melli. faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian makanan
prelakteal pada bayi baru lahir di desa supat timur kabupaten musi
banyuasin. Sumatera selatan tahun 2011. Skripsi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Yuliarti, Dwi Iin. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan Perilaku
Pemberian ASI Eksklusif. Tesis Program Studi Kedokteran Keluarga
Program Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2008.
Yuliarti, Nurheti. Keajaiban ASI, Makanan Terbaik Untuk Kesehatan,
Kecerdasan dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta: ANDI. 2010.
Zai, Elfrida Hideni. Pola Pemberian ASI dan MP-ASI Serta Status Gizi Anak
Baduta Di Desa Maliwa’a dan Desa Bobozioli Loloana’a Kecamatan
Idanogawo Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara. 2003. Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. ITB. Diakses melalui
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/17392/A03hez.pdf?..
.2 pada tanggal 28 Juni 2013.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 3
Pedoman wawancara informan (Ibu)
“Alasan ibu memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini dengan
pendekatan teori Health Belief Model di wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan tahun 2013”
A.
Identitas Informan
1. Nama informan
:
2. Umur informan
:
3. Pendidikan informan
:
4. Pekerjaan informan
:
5. Jumlah anak
:
Identitas Balita
B.
1. Berat badan lahir balita
:
2. Umur balita
:
3. Jenis kelamin balita
:
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini informan
 Pada saat bayi baru lahir, ketika ASI belum keluar, apakah bayi tersebut
diberikan makanan/minuman? Jenis makanan/minuman apa yang
diberikan kepada bayi tersebut? (probing: usia berapa bayi pertama kali
diperkenalkan makanan/minuman selain ASI)
 Mengapa makanan/minuman tersebut diberikan? (probing: apakah
kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk memberikan ASI atau
anaknya yang tidak mau menyusu?)
 Berapa kali makanan/minuman tersebut diberikan?
 Berapa banyak makanan/minuman tersebut diberikan?
 Kapan pemberian makanan/minuman tersebut dihentikan?
C.
Pengetahuan informan
 Kapan seharusnya makanan/minuman diberikan kepada bayi? (probing:
mendapat informasi dari mana waktu pemberian makanan/minuman
tersebut?)
 Bagaimana menurut ibu mengenai pemberian ASI secara eksklusif
kepada bayi sampai 6 bulan? (probing: dan apakah pemberian ASI
selama 6 bulan kepada bayi tanpa diberikan apapun sudah cukup?
 Bagaimana cara memperlancar dan memperbanyak produksi ASI?
D.
Pengalaman informan
 Bagaimana dengan anak sebelumnya? (probing: apakah diberikan
makanan/minuman juga? Dan pada umur berapa diberikan?)
 Jenis makanan/minuman apa yang diberikan kepada anak sebelumnya?
(probing: apakah anak mau dan bagaimana setelah diberikan?)
E.
Persepsi/pandangan informan
 Persepsi kerentanan
 Menurut ibu adakah risiko terserang penyakit setelah ibu memberikan
makanan/minuman tersebut kepada bayi ibu?
 Persepsi keseriusan
 Menurut ibu apakah setelah pemberian makanan/minuman tersebut dapat
menimbulkan penyakit? (probing: pernah kepikiran dapat menimbulkan
penyakit atau dampak yang parah kepada bayi?)
 Persepsi manfaat
 Manfaat yang didapatkan dari pemberian makanan/minuman dan
pemberian ASI eksklusif kepada bayi?
 Persepsi kendala
 Apakah ada kendala dalam pemberian ASI eksklusif kepada bayi?
 Efikasi diri/kepercayaan diri
 Apakah ibu percaya bahwa ibu dapat memberikan ASI secara eksklusif?
F.
Informasi Iklan
 Apakah mendapat informasi melalui majalah, televisi, dan radio
mengenai pemberian makanan/minuman? (probing: jenis informasi apa
yang didapatkan?)
G.
Kebiasaan dan suku keturunan informan
 Apakah kebiasaan mengenai pemberian makanan/minuman sudah
menjadi
turun-temurun
keluarga?
(probing:
bagaimana
dengan
lingkungan daerah tempat tinggal, apakah kebiasaan pemberian
makanan/minuman juga diberikan kepada bayi?)
H.
Dukungan/anjuran keluarga informan
 Siapa yang menganjurkan pemberian makanan/minuman tersebut?
(probing: apakah mendapat anjuran dari keluarga untuk pemberian
makanan/minuman? Dan bagaimana anjurannya?)
I.
Dukungan tenaga kesehatan
 Apakah mendapat informasi dari bidan puskesmas mengenai pemberian
makanan/minuman kepada bayi? (probing: bagaimana informasi yang
diberikan?)
LAMPIRAN 4
Pedoman wawancara mendalam bagi keluarga informan
(suami, ibu kandung, dan ibu mertua) yang berpengaruh dalam penentuan
keputusan ibu dalam memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dini
A.
Identitas Informan
1. Nama Informan
:
2. Umur Informan
:
3. Pendidikan Informan
:
4. Pekerjaan Informan
:
5. Status hubungan dengan ibu bayi :
B.
Praktek pemberian makanan pendamping ASI dini keluarga informan
 Pada saat bayi baru lahir, ketika ASI belum keluar, apakah bayi tersebut
diberikan makanan/minuman? Jenis makanan/minuman apa yang
diberikan kepada bayi tersebut? (probing: usia berapa bayi pertama kali
diperkenalkan makanan/minuman selain ASI?)
 Mengapa makanan/minuman tersebut diberikan? (probing: apakah
kondisi ibu yang tidak memungkinkan untuk memberikan ASI atau
anaknya yang tidak mau menyusu?)
 Berapa kali makanan/minuman tersebut diberikan?
 Berapa banyak makanan/minuman tersebut diberikan?
 Kapan pemberian makanan/minuman tersebut dihentikan?
C.
Dukungan/anjuran keluarga informan
 Apakah bapak/ibu menganjurkan pemberian makanan/minuman pada
bayi? (probing: bagaimana anjuran yang diberikan ibu/bapak?)
 Bagaimana anjuran dalam pemberian ASI? (probing: bagaimana anjuran
yang diberikan ibu/bapak mengenai pemberian ASI?)
D.
Kebiasaan/turun-temurun keluarga informan
 Apakah sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun ibu/bapak dalam
pemberian makanan/minuman tersebut kepada bayi?
(probing: bagaimana kebiasaan pemberian makanan/minuman tersebut
dan manfaat pemberian makanan/minuman?)
LAMPIRAN 5
Pedoman wawancara mendalam bagi bidan penolong persalinan dan bidan
pemeriksaan kehamilan terkait dukungan yang diberikan dalam pemberian
ASI eksklusif di Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan
A.
B.
Identitas Bidan
1. Nama Bidan
:
2. Umur Bidan
:
3. Pendidikan Bidan
:
4. Pekerjaan di Puskesmas
:
Dukungan Bidan

Apakah pada saat pemeriksaan kehamilan dan dirumah bersalin ibu
bidan pernah menanyakan hal-hal ini (keluhan-keluhan ibu hamil,
masalah-masalah ibu hamil seperti masalah ASI yang belum keluar,
serta perawatan payudara?)

Ketika saat pemeriksaan kehamilan dan dirumah bersalin, penyuluhan
apa saja yang diberikan oleh ibu bidan? (probing: apakah setelah
melahirkan ibu diberikan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif
dan pemberian makanan pendamping ASI kepada bayi?) (probing:
apakah ketika pemeriksaan juga diberikan penyuluhan tentang
pemberian ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping kepada
bayi?)
MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN PENDUKUNG
INFORMAN PENDUKUNG
VARIABEL
Ibu Mu
Praktek
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Kapan anak
diberikan
makanan
pendamping
ASI dini
Frekuensi
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Ibu Nu
Ibu Ma
Ibu An
Ibu Si
Ibu At
Ibu Mr
Pak Ah
Pak Mu
Diberikan
madu , dan
pisang
Diberikan
pisang sama
nasi diulek
Dan tape
Diberikan
madu
Diberikan
madu, pisang
sama nasi
Diberikan
Diberikan
beras merah, madu
kacang ijo,
bubur sehat,
nasi bulet dan
madu
Diberikan air
tajin
Diberikan
madu, kopi,
susu
formula
Diberikan
madu
Begitu baru
lahir
Setelah tali
pusat
kering/lepas
Ketika ASI
belum
keluar
Setelah dua
minggu
kelahiran
Ketika bayi
berusia lima
bulan
Ketika ASI
belum
keluar
Ketika ASI
belum keluar
Ketika bayi
berusia tiga
bulan
Ketika
awal lahir
Seminggu
Dua kali
dalam sehari,
pagi dan sore
Sebelum
ASI keluar
terus
diberikan
Dua kali
dalam sehari,
pagi dan sore
Selalu
diberikan
sampai bayi
sudah tidak
mau lagi
Sebelum
ASI keluar
terus
diberikan
Satu kali
Selalu
diberikan
sampai bayi
sudah tidak
mau lagi
Lima kali
Kuantitas
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Waktu
penghentian
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Alasan
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Dukungan
Keluarga
Anjuran
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Sedikit
Satu sendok
Setetes tiap
satu kali
pemberian
Sedikit
Sedikit
Setetes tiap
satu kali
pemberian
Satu sendok
kecil
Setelah
seminggu
Setelah anak
sudah bisa
jalan
Setelah ASI
keluar
Setelah anak
sudah bisa
jalan
Setelah anak
sudah bisa
jalan
Setelah ASI
keluar
Ketika anak
Ketika anak
tidak
sudah tidak
menangis lagi mau lagi
Ketika
sudah lima
kali
Biar tidak
sariawan
Biar tidak
rewel dan
anteng
ASI Belum Biar tidak
keluar dan rewel dan
sebagai obat anteng
sariawan
ASI kurang
ASI belum
keluar
ASI belum
keluar dan
bayi
menangis
Sebagai
susu
tambahan
Sebagai
perasa
Karena
sudah biasa
memberikan
makanan
tersebut
sebelum
ASI
diberikan
Orang tua
menyarankan
memberikan
makanan
tersebut
Karena
sudah biasa
memberikan
makanan
tersebut
sebelum
ASI keluar
Orang tua
menyarankan
memberikan
makanan
tersebut
Karena
sudah
turuntemurun
begitu awal
lahir
diberikan
makanan
tersebut
Orang tua
menyarankan
memberikan
makanan
tersebut
Mendapat
sarana dari
orang
sekitar
tempat
tinggal
Karena
sudah
turuntemurun
orang tua
begitu
awal lahir
diberikan
makanan
tersebut
Orang tua
menyarankan
memberikan
makanan
tersebut
Botol kecil
Diolesin
sedikit
Anjuran
pemberian ASI
Eksklusif
Kebiasaan/
turun
temurun
keluarga
dalam
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Fungsi
makanan
pendamping
ASI dini
Lebih baik
anak
diberikan
ASI
daripada
susu
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
kalau
lahiran
diberikan
madu dulu
Agar bayi
tidak
menangis
ketika
sudah
diberikan
ASI
Lebih baik
anak
diberikan
ASI daripada
susu
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
kalau
memberikan
makanan
pada anak
Lebih baik
anak
diberikan
ASI saja
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
kalau ASI
belum
keluar
diberikan
madu
Agar bayi
Agar bayi
anteng dan
tidak
orangtua bisa menangis
membereskan ketika ASI
pekerjaan
belum
rumah
keluar
Lebih baik
anak
diberikan
ASI daripada
susu
Lebih baik
anak
diberikan
ASI daripada
susu
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
kalau
memberikan
makanan
pada anak
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
kalau
memberikan
makanan
pada anak
Agar
pertumbuhan
bayi menjadi
bagus, anteng
sehingga
orang tua
bisa
membereskan
pekerjaan
rumah
Agar bayi
tidak
menangis
ketika sudah
diberikan asi
Lebih baik
anak
diberikan
ASI
daripada
susu
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
kalau awal
lahir
diberikan
madu dulu
Untuk
mengeluar
kan kotoran
dalam perut
bayi agar
bersih serta
tidak sakit
asma
Lebih baik
anak
diberikan
ASI daripada
susu
Asli orang
betawi, dan
sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
kalau bayi
menangis
diberikan
makanan
tersebut
Agar bayi
tidak
menangis
ketika ASI
belum keluar
Dari umur
tiga bulan
sudah
diberikan
makanan
lain
Mendapat
saran dari
tetangga
sekitar
Diberikan
ASI dan
susu
formula
juga
Agar bayi
tidak
menangis
ketika
terbangun
malam hari
Agar bayi
mulai
merasakan
Asli orang
betawi,
dan sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
kalau
lahiran
diberikan
madu
LAMPIRAN 8
MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN PENDUKUNG (BIDAN)
INFORMAN PENDUKUNG
VARIABEL
Penyuluhan/anjuran
yang diberikan
Penyuluhan/anjuran
dalam pemberian ASI
eksklusif dan
pemberian makanan
pendamping ASI
Bidan Persalinan (Ibu El)
Bidan Pemeriksaan (Ibu Ai)
Penyuluhan-penyuluhan yang biasa diberikan pada ibu yang
melahirkan yaitu mengenai ASI eksklusif, perawatan bayi
baru lahir, IMD (inisiasi menyusu dini), perawatan tali puser,
perawatan nifas, vulva higiene, dan perawatan payudara
Menjawab semua keluhan-keluhan ibu yang memeriksakan
kehamilannya pada semester 1, 2, dan 3 yaitu diberikan
penyuluhan menjaga kebersihan ketika hamil dan
penyuluhan gizi (menjaga pola makan, senam hamil)
Diberikan penyuluhan ASI eksklusif sampai 6 dan dianjuran
sampai anak berusia 2 tahun, ketika lahiran harus langsung
diberikan ASI, dan setelah 6 bulan baru boleh ditambah
dengan makanan pendamping (MP-ASI)
Selalu diberikan penyuluhan mengenai ASI eksklusif setelah
melakukan pemeriksaan dan untuk penyuluhan dalam
pemberian makanan pendamping ASI tidak diberikan karena
dibagian pemeriksaan kehamilan hanya penyuluhan ASI saja
MATRIKS WAWANCARA MENDALAM DENGAN INFORMAN UTAMA
INFORMAN UTAMA
VARIABEL
Ibu Yu
Praktek
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Waktu pertama
ASI keluar
Pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Kapan anak
diberikan
makanan
pendamping
ASI dini
Frekuensi
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Ibu Si
Ibu Nr
Setelah
melahirkan
Ibu Id
Sebelum
melahirkan
Ibu Da
Setelah
melahirkan
Ibu Am
Ibu Ro
Setelah
melahirkan
Tiga hari
setelah
melahirkan
Setelah
melahirkan
Sebelum
melahirkan
Susu formula
bubur sun,
madu dan
kopi
Tiga bulan
Madu
Satu kali
Dua kali
Setelah
melahirkan
Sebelum
melahirkan
Madu
Madu,
Madu
pisang, dan
bubur nestle
Madu,
Bubur nestle
pisang, dan
bubur nestle
Susu
formula dan
madu
Air tajin
dan susu
formula
Ketika bayi
baru lahir
Satu bulan
Bayi baru
lahir
Dua bulan
Lima bulan
Tiga
minggu
Bayi baru
lahir ketika
ASI belum
keluar
Dua kali
Tiga kali
Dua kali
Satu kali
Dua kali
Setiap hari
Satu kali
Ibu Sa
Ibu St
Ketika bayi
baru lahir
Kuantitas
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Waktu
penghentian
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Alasan
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Dioleskan
saja dibibir
Sedikit
Dioleskan
saja dibibir
Hanya
sampai tiga
hari saja
Hanya
sampai
pemberian
tiga hari
Agar bibir
bayi tidak
kering dan
tidak pecahpecah
Pengetahuan
Pengetahuan
mengenai ASI
eksklusif
ASI lebih
baik
dibanding
dengan yang
lain dan
sampe dua
tahun
Sedikit
Sedikit
Tujuh botol
susu kecil
Setengah
sendok
kecil
Sedikit
Satu sendok
kecil
dicampur
air
Beberapa saat Hanya
bayi
sampai
menangis
beberapa
bulan saja
Hanya
sampai
beberapa
bulan saja
Masih
diberikan
sampai
sekarang
Beberapa
saat saja
(setelah
bayi tidak
menangis)
Masih
diberikan
sampai
sekarang
Pemberian
Jarangjarang
Bayi masih
menangis
(setelah
diberikan
ASI)
Bayi
menangis
(saat ibu
tidak ada)
Agar anak
menjadi
anteng
Bayi
menangis
(setelah
diberikan
ASI)
Karena
payudara
bengkak
dan puting
berdarah
Bayi
menangis
(ASI belum
keluar)
Agar bibir
bayi
tidak kering
dan tidak
sariawan
ASI tidak
cukup jika
diberikan
selama
enam bulan
saja
sehingga
harus
diberikan
selingan
Mendukung
apalagi kalau
asinya
banyak
ASI saja
jangan
diberikan
susu
formula
ASI tidak
cukup jika
diberikan
selama enam
bulan saja
sehingga
harus
diberikan
makanan
ASI
seharusnya
sampai
enam bulan
dikarenakan
tidak kuat
menahan
rasa sakit
ASI lebih
baik
dibanding
dengan
yang lain
dan sampe
dua tahun
Agar anak
bertambah
berat badan
dan tidak
rewel
menangis
Mendukung
apalagi
ibunya fokus
memberikan
dan tidak
kerja
ASI lebih
baik
dibanding
dengan susu
Cara
Makan
memperlancar sayuran
dan
memperbanyak
produksi ASI
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Makan
sayuran
Pemberian
makanan
pendamping
ASI
Pengalaman
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Pada umur
berapa anak
diberikan
makanan
pendamping
ASI dini
Setelah enam
bulan
Setelah
enam bulan
Setelah enam
bulan
Setelah enam
bulan
Setelah
enam bulan
Setelah
enam bulan
Setelah enam
bulan
Setelah
enam bulan
Anak
pertama:
Pemberian
madu selama
tiga hari
Anak
kedua, anak
ketiga:
Pemberian
madu selama
tiga hari
Anak
pertama:
tidak
diberikan
makanan
Anak
kedua:
Pemberian
ketika bayi
berumur
tiga bulan
Anak
ketiga:
Pemberian
ketika bayi
berumur
satu bulan
Anak
pertama:
Pemberian
madu karena
putingnya
kecil jadi
agak susah
menyusui
Anak
kedua:
Pemberian
ketika bayi
baru lahir
Tidak boleh
diberikan
susu
formula
Anak
pertama:
Pemberian
makanan
ketika satu
bulan
Anak
kedua:
Pemberian
ketika bayi
berumur
dua minggu
Anak
ketiga:
Pemberian
ketika bayi
berumur
dua bulan
Anak
pertama:
Pemberian
ketika bayi
dipisahkan
setelah ibu
melahirkan
Anak kedua,
anak ketiga
Pemberian
ketika bayi
berumur
lima bulan
Anak
pertama:
Pemberian
ketika bayi
berumur
tiga minggu
Anak
pertama:
Hanya
diberikan
ASI
Anak
kedua:
Pemberian
ketika bayi
berumur
tiga bulan
Anak
pertama:
Pemberian
susu ketika
bayi berumur
tiga bulan,
dan
pemberian
makanan
ketika lima
bulan
Anak
pertama:
Pemberian
ketika awalawal bulan
kelahiran
Jenis makanan
yang diberikan
kepada anak
Madu
Persepsi
Kerentanan
penyakit
terhadap
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Keseriusan
penyakit yang
ditimbulkan
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Tidak ada,
malah kalau
lagi sakit
juga
diberikan
madu
Tidak
kepikiran
sakit dan
tidak pernah
mengalami
Sakit
Ketika bayi
baru lahir
umumnya
diberikan
madu, anak
pertama
hanya ASI,
anak kedua
dan anak
ketiga
diberikan
pisang dan
bubur nestle
Hanya
kepikiran
saja
Madu
Tidak ada,
baca
kandungan
nya dulu
kalau mau
memberikan
makanan
tersebut
Tidak
Tidak
sampai sakit kepikiran
paling
resikonya
buang air
anak keras
Ketika bayi
baru lahir
umumnya
diberikan
madu,
Anak
pertama,
kedua, dan
ketiga
diberikan
pisang dan
bubur nestle
Anak
pertama,
kedua, dan
ketiga
diberikan
bubur nestle
Susu
formula dan
madu
Anak
pertama
hanya
diberikan
ASI dan
anak kedua
diberikan
susu
formula
Susu
formula,
madu, bubur
sun dan kopi
Madu
Tidak ada
karena
sudah ada
pengalaman
mengurus
anak
saudara
Tidak ada,
daripada anak
nangis dan
ASI belum
tentu
kenyang
ASI yang
mengendap
tidak bagus
buat anak
Takut anak
sakit daya
tahan
tubuhnya
kurang
Tidak ada,
dicoba dulu
Khawatir,
dan tidak
apa-apa
kata orang
tua
Berani
memberikan
karena
pernah
mengurus
anak orang
saudara
Tidak apaapa daripada
anak nangis
karena laper
Karena
kerja
sehingga
tidak bisa
memberikan
ASI
Kepikiran,
karena anak
pertama
hanya
diberikan
ASI saja
Sudah
menjadi
kebiasaan
umum jika
anak
diberikan
makanan
Tidak
kepikiran
seperti itu
ASI membuat ASI bagus
Manfaat
Pemberian ASI bahagia
buat bayi
eksklusif
Kekebalan
bayi lebih
baik
ASI tidak
ribet
ASI tidak
ribet
ASI tidak
rugi
Daya tahan
anak akan
lebih baik
ASI bagus
buat bayi
ASI tidak
repot
Tidak ada
Kendala
Pemberian ASI
eksklusif
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
ASI kurang
Karena
sakit (liver)
Bekerja
Tidak ada
Percaya dan
keadaan
anaknya yang
tidak mau
makan
sehingga
pasti
diberikan
ASI
Tidak ada
ASI bagus
dari pada
anak tidak
makan lebih
baik nyusu
ASI
Percaya ASI
karena ASI
juga banyak
ASI lebih
tidak ribet
Percaya ASI
lebih baik
dari susu
formula
Tidak kuat
sakit dan
kembali
bekerja
Tidak
percaya diri,
takut sakit
Percaya
ASI lebih
baik dari
susu
formula
Tidak
percaya diri
dan lebih
mudah
mengikuti
saran
lingkungan
sekitar
Percaya
ASI lebih
baik dari
susu
formula
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Majalah
Majalah
batita
Betawi
Sunda
Betawi
Betawi
Betawi
Bandung
Betawi
Cilacap
Sunda
Kepercayaan
diri
ibu dalam
pemberian
ASI eksklusif
Iklan
Informasi
mngenai
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Suku
keturunan
Asli/keturunan
mana
Kebiasaan
atau tradisi
Pemberian
MP-ASI dini
Dukungan
keluarga
Dukungan
keluarga untuk
pemberian
makanan
pendamping
ASI dini
Dukungan
tenaga
kesehatan
Dukungan
bidan untuk
memberikan
makanan
pendamping
ASI dini
Turuntemurun
keluarga
Sudah
anjuran
dulu
Sudah
Sudah
anjuran orang anjuran
dulu
orang dulu
Disuruh sama Disuruh
ibu kandung
sama
ibu mertua
Disuruh sama Disuruh
dari ibu
sama ibu
mertua
mertua
Bidan
menyuruh
memberikan
makanan
setelah enam
bulan
Bidan
menyuruh
memberikan
makanan
setelah enam
bulan
Bidan
menyuruh
memberikan
makanan
setelah
enam bulan
Jangan
diberikan
susu
formula
Sudah
Sudah
anjuran orang anjuran
dulu
orang dulu
Sudah
menjadi
kebiasaan
orang dulu
Disuruh sama Disuruh ibu Disuruh ibu
ibu kandung
mertua dan mertua
dan
(pemberian
disarankan
air tajin)
lingkungan Ibu
rumah
kandung
(pemberian
ASI)
Bidan
Bidan
Bidan
menyuruh
menyuruh
menyuruh
memberikan
memberikan memberikan
makanan
makanan
makanan
setelah enam setelah
setelah
bulan
enam bulan enam bulan
Sudah
menjadi
kebiasaan
umum
Disuruh
suami
Sudah
menjadi
pengalaman
orang dulu
Disuruh
suami
Bidan
menyuruh
memberikan
makanan
setelah enam
bulan
Bidan
menyuruh
memberikan
makanan
setelah
enam bulan
Download