fakultas hukum universitas sebelas maret surakarta 2008

advertisement
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT
DALAM PROSES PERADILAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
Endang Pujiastuti
NIM. E. 0004153
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT
DALAM PROSES PERADILAN
Disusun Oleh :
ENDANG PUJIASTUTI
NIM : E. 0004153
Disetujui untuk dipertahankan
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H., M.Hum.
NIP.131863797
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA
DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT
DALAM PROSES PERADILAN
Disusun Oleh :
ENDANG PUJIASTUTI
NIM : E. 0004153
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari
: ………………….
Tanggal
: ………………….
TIM PENGUJI
1.
: …………………………………….
Ketua
2.
: …………………………………….
Sekretaris
3.
: …………………………………….
Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
Moh. Jamin, S.H.M.Hum
NIP. 131 570 154
iii
MOTTO
v Tiada yang dapat kita lakukan melainkan atas usaha yang sungguh-sungguh
disertai do’a dan bertawakal kepadaNya.
v Jujur tidak akan membuat diri kita hancur, melainkan akan membawa kita
menjadi orang mujur, oleh karena do’a-do’a kita yang manjur.
v Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan. Jadilah seperti yang kamu
inginkan karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan.
(Endang Pujiastuti)
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulisan Hukum Ini Kupersembahan Kepada :
1. Yang Maha Kuasa, sumber dan pangkal segala pengetahuan.
2. Keluargaku
-
Bapak dan Ibu yang telah memberi motivasi dan semangat juang karena
merekalah penulisan hukum ini tercipta.
-
Adietku, yang tak pernah lelah dan tak pernah mengeluh mengorbankan
waktunya untukku.
-
Adikku – Yunita, yang selalu memberi keceriaan.
-
Tanteku – Terry dan Erny yang tak pernah mengeluh untuk membantuku
dan keluargaku.
3. Teman-temanku
-
Evani, yang telah memberi banyak bantuan dan tak pernah lelah
mendorongku untuk segera menyelesaikan penulisan hukum ini.
-
Erika, yang selalu memberikan waktunya untuk tempatku mengadu dan
mengeluh.
-
Astrie, yang banyak membantuku dalam kesulitan.
-
Teman-temanku semua angkatan 2004 yang selalu memberi warna dalam
hidupku.
4. Almamaterku – Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu
pengetahuan untuk mengarungi kehidupan ini.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang senantiasa memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita
semua makhluk-makhluk ciptaanNya.
Merupakan kebahagiaan tak tertikar bagi penulis, oleh karena akhirnya
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini yang berjalan kurang lebih satu
semester ini. Penyelesaian penulisan hukum ini memakan waktu cukup lama oleh
karena beberapa hal, yaitu kesibukan penulis yang juga harus membagi waktu
untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah lainnya serta faktor internal penulisan
hukum ini.
Penulisan hukum ini merupakan hal baru, atau setidaknya merupakan
salah satu tema yang belum pernah diangkat sebelumnya oleh mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta karena permasalahan contempt
of court sedang hangat dan marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Satu sisi
merupakan kebanggaan dan kepuasan batin tersendiri, di sisi lainnya banyak
kendala yang dihadapi penulis, yaitu referensi yang berkaitan dengan judul ini
sangat sedikit dan susah untuk dicari keberadaannya. Namun penulis tidak
berputus asa karena terdorong oleh motivasi yang cukup kuat, yaitu idealisme
penulis untuk menghasilkan karya ilmiah yang dapat menambah literatur ilmiah
dan menjadi landasan teoritis untuk dikaji melalui karya ilmiah selanjutnya.
Terdapat beberapa pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
membantu penulis menyelesaikan penulisan hukum ini. Oleh karena itu penulis
merasa berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai
berikut :
1. Bapak Moh Yamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
vi
2. Bapak Edi Herdiyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini., khususnya dalam penunjukan
Dosen Pembimbing Skripsi.
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi
yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan
dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
4. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum dan anggota PPH
Bapak Teguh Santoso, SH.MH. yang banyak membantu penulis dalam
konsultasi judul skripsi.
5. Bapak Moch. Najib I, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta
masyarakat umum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Januari 2008
Penulis
ENDANG PUJIASTUTI
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
MOTTO ...........................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN............................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI....................................................................................................
viii
ABSTRAK .......................................................................................................
x
BAB I
: PENDAHULUAN .....................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................
4
C. Tujuan Penelitian .................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...............................................................
5
E. Metode Penelitian ................................................................
6
: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
10
A. Kerangka Teoritis..................................................................
10
BAB II
1. Tinjauan
Umum
Tentang
Peradilan
dan
Proses
Mengadili ........................................................................
2. Tinjauan
BAB III
Tentang
Kekuasaan
Kehakiman
11
dan
Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim ..........
16
3. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court .................
25
B. Kerangka Pemikiran .............................................................
31
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................
35
A. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat
Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Dalam Hal Terjadi
Contempt of Court Dalam Proses Peradilan ........................
35
B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pengadilan Negeri
Surakarta Dalam Menerapkan Pasal-Pasal Contempt of
Court Dalam Proses Peradilan ..............................................
viii
55
BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................
58
A. Kesimpulan ...........................................................................
58
B. Saran .....................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
ABSTRAK
ENDANG PUJIASTUTI, E.0004153, PELAKSANAAN PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI
SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM
PROSES PERADILAN, Penulisan Hukum, 2008, 60 halaman.
Penulisan hukum ini bertolak dari perumusan masalah bagaimanakah
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim di Pengadilan Negeri
Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan dan
hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam menindak aksi contempt of court.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
sebagai berikut : jenis penelitian empiris-kualitatif, jenis data yang digunakan
adalah data primer dan sekunder, sumber data berasal dari pihak yang
berhubungan dengan permasalahan ini yaitu Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
dan dokumen-dokumen kepustakaan, yaitu KUHP, KUHAP, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Keputusan Mahkamah
Agung Nomor KMA / 104 A / SK / XII / 2006 tentang Perilaku Hakim,
KepMenKeh No. 01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, teknik pengumpulan data berupa wawancara dengan Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta dan studi kepustakaan, serta teknik analisis data analisis
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan
bahwa Hakim Pengadilan Negeri Surakarta jarang yang mengalami aksi Contempt
of Court. Selalu menjaga wibawa, profesional, adil dan tegas dalam memimpin
sidang dan memiliki pengetahuan hukum yang luas merupakan cara hakim
Pengadilan Negeri Surakarta agar terhindar dari aksi Contempt of Court. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap martabat
Hakim sebagaimana dapat kita lihat dalam materi yang dimuat. Hambatanhambatan yang dihadapi oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal
mencegah ataupun menangani aksi contempt of court antara lain : kurangnya
kerjasama antar aparat penegak hukum sendiri, keputus asaan hakim karena
jarangnya sebuah aksi contempt of court yang telah membahayakan dirinya ketika
dilaporkan tidak ada tindak lanjutnya, ancaman pihak-pihak tertentu yang
menyangkut keselamatan diri Hakim, pelaku aksi contempt of court yang biasanya
bergerombol tidak sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga keamanan
sidang.
Agar tidak lagi terjadi aksi contempt of court atau setidaknya mengurangi
jumlah aksi contempt of court yang semakin marak terjadi maka penulis memberi
saran-saran : hendaknya para hakim lebih tegas untuk menindak aksi tersebut agar
lembaga peradilan Indonesia tetap dihormati, perlunya pengawalan ketat terhadap
proses persidangan dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3)
bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum. Hal ini berarti bahwa negara
Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya (Kansil, 1993 : 175). Konsep rechsstaat ini bertumpu
pada aspek legalitas dalam kerangka adanya aturan perundang-undangan yang
tertulis dan berintikan kepastian. Ia lahir dari suatu perjuangan yang
menentang absolutisme, sehingga dapat dikatakan sangat revolusioner.
Saat ini, Indonesia telah memasuki era baru pemerintahanya. Era yang
dimaksud adalah Reformasi. Reformasi secara umum berarti perubahan
terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia reformasi
umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa tahun 1998 yang menjatuhkan
kekuasaan Presiden Soeharto atau era setelah orde baru. Indonesia yang
sedang dilanda semangat reformasi yang dikumandangkan masyarakat luas,
hasilnya sedikit banyak membawa pengaruh dalam segala bidang, baik politik,
ekonomi, budaya, pertahanan keamanan, termasuk juga dalam bidang hukum.
Hal ini tercermin melalui dibentuknya Undang-undang di bidang kekuasaan
kehakiman agar sesuai dengan semangat reformasi yaitu dengan mengganti
UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Terbentuknya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah membawa angin
segar terhadap perubahan pada sistem peradilan di Indonesia.
1
xi
Reformasi hukum yang menjadi dambaan masyarakat ditujukan pada
tegaknya kewibawaan hukum, yang mana kewibawaan hukum tersebut
meliputi adanya legalitas Undang-Undang, diterapkannya Undang-Undang
tersebut, serta peningkatan sumber daya manusia aparat penegak hukum.
Kewibawaan hukum itu ada jika kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan
lembaga penegak hukum itu ada.
Menurut
Fitri
Ayuningsih
(2007:2),
dalam
membicarakan
pembangunan hukum, termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum dalam
sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Untuk itu perlu
semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan hukum supaya
terwujud peningkatan kemampuan dan kewibawaannya. Penegakan hukum
merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan
ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun
usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum.
Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para
penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap
hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaharui hukum.
Seringkali dijumpai berbagai produk hukum seperti undang-undang yang
gagal dalam menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah
dan ini merupakan tantangan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan
moral dan kredibilitasnya, mengabdi pada hukum sehingga keadilan dapat
terwujud.
Akhir-akhir ini sering terlihat baik secara langsung ataupun melalui
media, suasana ruang sidang yang rusuh tanpa aturan. Para pengunjung sidang
terlihat berteriak-teriak, memakai topeng atau bahkan melempar kursi ke arah
majelis hakim. Tak jarang pula terjadi perselisihan antara penasehat hukum
dengan ketua majelis hakim yang diakhiri pengusiran penasehat hukum
tersebut dari ruang persidangan. Salah satu contoh yang mewakili tindakan
anarkhis tersebut adalah kasus persidangan seorang aktris bernama Lidya
xii
Pratiwi, dimana saat ia menjalani proses sidang sebagai terdakwa kasus
pembunuhan Naek Gonggong Hutagalung, ia terkena pukulan keras dari salah
satu pengunjung sidang sampai ia pingsan, sesaat setelah hakim mengetuk
palu menandai usai persidangan.
Seringnya terlihat gejala, baik secara individu maupun bersama-sama
yang kurang menghargai jalannya persidangan adalah contoh akibat dari
hilangnya kepercayaan terhadap aparat dan lembaga penegak hukum di
Indonesia sekarang ini. Fenomena aksi massa baik yang menyerang hakim
langsung atau mengeluarkan kata-kata kasar di ruang sidang terjadi hampir di
seluruh wilayah Negara Indonesia. Sidang-sidang peradilanpun semakin
rawan dari aksi brutal. Hal ini tidak lepas dari masalah integritas penegak
hukum. Jika hakim tidak mempunyai integritas yang baik, maka ia tidak akan
dihormati.
Terjadinya pelecehan terhadap institusi peradilan dan orang-orang
yang menggerakkannya tidak serta merta kesalahan lembaga peradilan semata.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum juga ikut berperan dalam
terjadinya kerusuhan tersebut. Banyak warga belum memahami mekanisme
beracara karena informasi yang tersedia di pengadilanpun minim.
Berbagai situasi yang digambarkan di atas kerap terjadi dalam proses
persidangan di Indonesia. Tindakan-tindakan pelecehan terhadap peradilan ini
sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai tindakan tersebut makin sering
terjadi semenjak bergulirnya era reformasi yang lebih bebas. Tindakan dan
situasi yang terjadi di persidangan seperti yang disebutkan di atas dikatakan
sebagai tindakan contempt of court. Istilah contempt of court sebenarnya
berasal atau lahir dari sistem hukum common law pada beberapa abad yang
lampau. Masalah contempt of court menjadi aktual dibicarakan dan dibahas di
Indonesia menyusul terjadinya peristiwa yang dianggap sebagai suatu
penghinaan terhadap martabat pengadilan oleh advokat Adnan Buyung
Nasution bulan Januari 1986 (Hamzah Andi dan Bambang Waluyo, 1989 : 9).
xiii
Kewibawaan seorang hakim sangat diperlukan pada saat ia
mendapatkan perlakuan tidak pantas dari pengunjung sidang. Hakim bisa
bertindak menggunakan pasal-pasal contempt of court yang ada dalam KUHP
dan KUHAP. Dengan demikian, di Indonesia, perlindungan terhadap
peradilan, baik secara preventif (pencegahan) maupun represif (penghukuman)
sebenarnya telah ada. Walaupun telah ada pengaturan terhadap setiap usaha
untuk mencemarkan pengadilan baik berupa gangguan, hambatan, tantangan
maupun ancaman, berupa KUHP dan KUHAP, namun kenyataannya hakim
hampir tidak pernah menggunakan ketentuan tersebut ketika terjadi pelecehan
terhadap dirinya maupun terhadap institusi peradilan.
Bertilik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin
mengkaji lebih lanjut dalam perspektif yuridis mengenai pasal-pasal contempt
of court oleh hakim, dalam sebuah penulisan hukum yang berjudul :
“PELAKSANAAN
PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM
HAL
TERJADI
CONTEMPT
OF
COURT
DALAM
PROSES
PERADILAN”.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga
tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan
hasil yang diharapkan.
Berdasarkan pada masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim
Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam
proses peradilan ?
2. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta
dalam menerapkan pasal-pasal contempt of court dalam proses peradilan?
xiv
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas. Hal ini diperlukan untuk
memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Selain
itu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui Metode dan Kombinasi
Metode Penelitian manakah yang paling baik dan mengetahui dan dapat
digunakan dalam masing-masing macam penelitian. (Sunarjati Hartono, 1994 :
11). Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui jenis tindakan contempt of court yang pernah
dialami oleh hakim Pengadlan Negeri Surakarta dan untuk mengetahui
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan
Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses
peradilan.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para hakim
Pengadilan Negeri Surakarta berkenaan dengan penerapan pasal-pasal
contemp of court dalam proses peradilan.
2. Tujuan Subyektif
a. Guna memperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara
pidana, terkhusus dalam hal tindakan contempt of court yang akhirakhir ini sering terjadi di Indonesia.
b. Guna meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis
peroleh selama berada di bangku kuliah.
c. Sebagai salah satu syarat dalam menunjang kelulusan penulis pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan dunia
penegakan hukum pada umumnya, serta terkhusus dalam Ilmu Hukum
Acara Pidana, yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap tindakan
contempt of court, serta menambah kepustakaan dan bahan-bahan
xv
informasi ilmiah, mengingat seringnya terjadi aksi-aksi contemp of court
di Indonesia akhir-akhir ini.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan
membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengukur sejauh mana
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait
dengan masalah yang diteliti.
c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan
perlindungan hukum terhadap martabat hakim dari tindakan contempt
of court dan hambatan pelaksanaan pasal-pasal contempt of court oleh
Hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian yang
dilakukan ini termasuk dalam jenis penelitian empiris. Sedangkan ditinjau
dari metodenya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan
pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar serta informasi verbal
atau normatif verbal atau normatif dan bukan bentuk angka-angka
(Soerjono Soekanto, 1986 : 10).
2. Sifat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat
deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono
Soekanto, 1986 : 10). Dalam penelitian ini penulis ingin menemukan dan
memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang
xvi
seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan
yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengenai pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian diadakan di Pengadilan Negeri Surakarta.
4. Jenis Data
a) Data Primer
Adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Dalam
penelitian ini data diperoleh langsung dari Pengadilan Negeri
Surakarta.
b) Data Sekunder
Adalah data pendukung data primer yaitu diperoleh dari buku,
dokumen, laporan, peraturan perundang-undangan, internet dan lainlain.
5. Sumber Data
a) Sumber Data Primer
Yaitu sumber data yang langsung diperoleh dari pihak yang
berhubungan dengan permasalahan termasuk dalam hal ini yang
menjadi sumber data primer adalah Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta.
b) Sumber Data Sekunder
(1) Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar, Peraturan
Perundang-Undangan seperti KUHP, KUHAP, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Keputusan
Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang
Pedoman Perilaku Hakim, dan sebagainya.
xvii
(2) Bahan hukum sekunder, yaitu rancangan Undang-Undang, hasil
karya dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian yang terkait
dengan pokok bahasan yang peneliti kaji.
(3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu
kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan sebagainya.
6. Teknik Pengumpulan Data
a) Wawancara / Interview
Yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab
secara langsung dengan responden yang berhubungan dengan objek
penelitian. Wawancara yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri
Surakarta adalah dengan hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
b) Studi Kepustakaan
Yaitu
pengumpulan
data
yang
dilakukan
dengan
cara
mempelajari bahan-bahan tertulis berupa buku-buku, dokumendokumen resmi, peraturan perundang-undangan serta sumber tertulis
lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif. Adapun model analisis data yang penulis pergunakan
adalah interaktive model of analysis, atau model analisis interaktif yaitu :
proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yang terdiri dari
reduksi data, sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi)
yang diaktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data
sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut. (HB. Soetopo, 1998 :
40).
xviii
Pengumpulan
Data
Reduksi Data
Penyajian
Penarikan
Kesimpulan /
Verifikasi
Gambar 1. Skema Interaktive Model of Analysis
Keterangan :
Dari bagian di atas dapat dilihat bahwa proses analisis model interaktif bersifat
berputar (proses siklus) dan saling melengkapi (interaktif). Reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin menjalin
pada saat dan sesudah pengolahan data. Dengan cara ini kesimpulan yang
didapat sebagai hasil akhir benar-benar merupakan hasil kesimpulan yang
dapat dipertanggung jawabkan.
8. Sistematika Penulisan Hukum
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Halaman Motto dan Persembahan
Abstrak
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
xix
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai dua hal, yaitu yang
pertama adalah kerangka teori yang meliputi tinjauan umum
tentang peradilan dan prosesnya, tentang hakim dan kekuasaan
kehakiman dan tentang contempt of court sendiri. Kedua adalah
kerangka teori yang akan membahas tentang hal-hal yang
menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian dan
mengambil judul skripsi tentang Pelaksanaan Perlindungan
Hukum Terhadap Martabat Hakim Dalam Hal Terjadi
Contempt Of Court Dalam Proses Peradilan di Pengadilan
Negeri Surakarta.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, diuraikan hasil penelitian dan pembahasan
tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat
hakim dalam hal terjadi contempt of court dalam proses
peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta.
BAB IV
PENUTUP
Dalam bab akhir ini berisi kesimpulan dan saran. Pada
kesimpulan merupakan pemecahan terhadap permasalahan
yang dirumuskan. Pada bagian saran merupakan sumbangan
pemikiran dalam praktik peradilan baik untuk institusi
pengadilan dan orang-orang yang menggerakkan juga untuk
masyarakat agar lebih paham dan mengerti cara bersikap di
negara hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xx
xxi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Peradilan dan Proses Mengadili
Peradilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradilan
umum, khususnya peradilan pidana Indonesia. Yang dimaksud peradilan
pidana Indonesia adalah sebagai suatu proses dari mulai kepolisian hingga
Lembaga Permasyarakatan. Proses tersebut melalui empat tahapan, yaitu
penyelidikan oleh lembaga kepolisian, penuntutan oleh lembaga
kejaksaan,
pemeriksaan
dan
pengambilan
putusan oleh
lembaga
pengadilan, dan penghukuman terdakwa atau narapidana oleh lembaga
permasyarakatan.
Peradilan haruslah dilakukan berdasar asas “Demi Keadilan
Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini juga berarti di dalam
mengadili, haruslah menurut hukum dan ketentuan yang berlaku dengan
tidak membeda-bedakan orangnya.
Pada hakekatnya, proses mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana, berdasar
asas :
a. Perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan
jika ada perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan
Undang-Undang.
b. Bebas, jujur, dan tidak memihak di dalam sidang pengadilan. Tidak
memihak di sini maksudnya bahwa hakim harus mengambil keputusan
yang seadil-adilnya, sehingga yang benar tidak merasa dirugikan atas
keputusan tersebut. Hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah
dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hakim juga tidak menjalankan
perintah dari pemerintah.
11
xxii
c. Adanya kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum guna
pembelaan atas dirinya.
d. Sidang terbuka, dimana pemeriksaan dijalankan secara objektif dan
dihadiri khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti atau
mengawasi jalannya pemeriksaan.
e. Pembuktian, dimana tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian kecuali diatur lain dalam Undang-Undang.
Di dalam lembaga peradilan, Mahkamah Agung merupakan
lembaga pengadilan negeri tertinggi. Dalam hal memeriksa, mengadili dan
memutus perkara, maka dilakukan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim. Seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim
anggota. Sidang juga dibantu oleh seorang panitera (atau seorang yang
ditugaskan melakukan pekerjaan panitera).
Proses peradilan ini di awali dengan tahap penerimaan perkara
yang diajukan oleh Penuntut Umum. Selanjutnya Ketua Pengadilan
mempelajari apakah perkara tersebut termasuk wewenang pengadilan yang
dipimpinnya atau bukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat
bahwa perkara tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan yang
dipimpinnya, maka ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut
kepada Pengadilan Negeri yang dianggap berwenang mengadili dengan
suatu surat penetapan yang memuat pula alasannya (Pasal 148 KUHAP).
Proses selanjutnya adalah pemeriksaan perkara dalam persidangan.
Pemeriksaan tersebut harus sesuai dengan hukum dan ketentuan yang
berlaku dengan tidak membeda-bedakan orangnya, berdasar asas “Demi
Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adapun proses
pemeriksaan persidangan secara garis besar yaitu :
xxiii
a. Penunjukan Hakim atau Majelis Hakim dan penentuan hari dan
tanggal sidang.
Dalam Pasal 152 KUHAP setelah Pengadilan Negeri menerima
pelimpahan perkara dari Penuntut Umum tersebut dan berpendapat
bahwa perkara tersebut termasuk kewenangannya, Ketua Pengadilan
Negeri menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut
dan Hakim yang ditunjuk itu lalu menetapkan hari sidang.
b. Pemeriksaan Sidang
Pada awal persidangan, Hakim Ketua Sidang meneliti tentang
identitas lengkap Terdakwa yang meliputi: nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama,
dan
pekerjaan
serta
mengingatkan
Terdakwa
agar
memperhatikan sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (Pasal
155 ayat (1)).
c. Pembacaan Surat Dakwaan .
Pada awal persidangan dibacakan surat dakwaan oleh Penuntut
Umum. Dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, diisyaratkan agar
surat dakwaan disusun secara cermat, jelas dan lengkap. Maksudnya
agar dakwaan tersebut dapat dengan mudah dimengerti, terutama oleh
Terdakwa.
d. Keberatan Terdakwa atau Penasehat Hukum (Eksepsi).
Keberatan dapat berupa Pengadilan tidak berwenang mengadili
perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan
harus dibatalkan. Atas eksepsi tersebut Penuntut Umum diberi
kesempatan untuk menaggapi kemudian Hakim mengambil putusan
atas eksepsi tersebut. Bila eksepsi diterima maka perkara tidak
diperiksa labih lanjut. Tapi apabila eksepsi ditolak atau Hakim
berpendapat
bahwa hal
tersebut
baru
dapat
diputus
setelah
pemeriksaan selasai maka sidang dilanjutkan (Pasal 156 KUHAP).
xxiv
e. Pemeriksaan Alat-Alat Bukti.
Penuntut Umum yang telah mengajukan terdakwa kehadapan
sidang pengadilan dengan dakwaan telah melakukan suatu tindak
pidana,
berkewajiban
membuktikan
perbuatan
dan
kesalahan
Terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Alat-alat bukti tersebut dapat
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Minimal adanya 2
alat bukti yang sah karena menurut Pasal 183 KUHAP Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali dengan sekurangkurangnya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa
bersangkutanlah yang melakukannya.
Setelah pemeriksaan alat-alat bukti oleh Penuntut Umum, maka
pemeriksaan dinyatakan selesai. Kepada Penuntut Umum diberi
kesempatan untuk mengajukan tuntutan pidana yang berisi uraian
tentang dakwaan, pembuktian yang telah dilakukan, kesimpulan hasil
pembuktian, pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan halhal yang meringankan serta tuntutan hukuman. Kemudian Terdakwa
atau Penasehat Hukum diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan. Setelah selesai proses tuntutan pidana dan pembelaan,
Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa pemeriksaan perkara tersebut
ditutup. Tapi sidang yang telah dinyatakan tertutup tersebut dapat
dibuka sekali lagi, hal ini berguna sebagai bahan musyawarah Hakim
dalam rangka mengambil keputusan.
f. Musyawarah Majelis Hakim.
Adalah musyawarah yang diadakan antara Hakim Ketua Majelis
dan para Hakim Anggota (Majelis), guna mengambil putusan dalam
perkara yang bersangkutan (Harun M. Husein, 1992 : 21).
xxv
g. Putusan Pengadilan.
Adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum. Sebelum menjatuhkan putusannya Hakim
harus memperhatikan serta mengusahakan sedapat mungkin jangan
sampai putusan yang akan disampaikan nanti memungkinkan
timbulnya perkara baru. Untuk itu Hakim harus memperhatikan 3
Faktor yang diterapkan secara proporsional, yaitu keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan (Sudikno Mertokusumo, 1993 : 1670).
Dalam hal putusan, semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Putusan pengadilan memuat alasan dan dasar putusan,
serta pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Terkait dengan hak untuk menolak putusan maka
disediakan berbagai upaya hukum antara lain :
1) Biasa
a) Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi)
b) Banding (upaya hukum terhadap putusan pemindanaan)
Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa / penasehat
hukumnya atau oleh Penuntut Umum karena tidak puas dengan
putusan Pengadilan Negeri.
Pengecualian banding :
(1) Putusan bebas
(2) Lepas dari segi tuntutan hukum berkenaan dengan kurang
tepatnya penerapan hukum.
(3) Putusan dalam acara cepat
c) Kasasi
Alasan mengajukan kasasi :
(1) Terdapat kelalaian adalam hukum acara (vormverzuim)
xxvi
(2) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan.
(3) Tidak melaksanakan caramelakukan peradilan sesuai
Undang-Undang.
2) Luar biasa
a) Kasasi demi kepentingan hukum.Hanya diajukan oleh Jaksa
Agung demi keputusan hukum dan tidak merugikan pihak
manapun (259 KUHAP).
b) PK
(http://te-effendi-acara.blogspot.com)
2. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perlindungan Hukum
Terhadap Martabat Hakim
a. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan
universal. Ia menjadi ciri pula suatu negara hukum. The Universal
Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 dinyatakan sebagai
berikut : “Everyone is entitled in full equality to a fair and public
hearing by an independent and impartial tribunal in the determination
of his rights and obligation and of any criminal charge against him.”
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan
suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka
dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibankewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan
kepadanya). Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :
“Everyone has the right to an effective remedy by the competent
national tribunals for act violating the fundamental rights granted him
by the constitution or by law”. (Setiap orang berhak atas pengadilan
yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang berkuasa terhadap
tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh
undang-undang dasar negara atau undang-undang) (Andi Hamzah,
2002 : 95).
xxvii
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, dalam
arti ia bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, bebas
dari tekanan, paksaan maupun rekomendasi yang datang dari
kekuasaan ekstra yudisial. Hakim-hakim dalam semua tingkatan
mempunyai kewenangan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya yang dilandasi oleh UUD 1945 dan Pancasila, serta
selalu mendasarkan putusannya kepada hukum, kebenaran dan
keadilan.
UUD 1945 juga menjamin adanya suatu kekuasaan kehakiman
yang bebas. Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan
kekuasaan yang merdeka, yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Didalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945
dengan tegas disebutkan bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu,
harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para
Hakim”.
Kemudian tentang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka juga
ditegaskan kembali baik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Makamah Agung maupun dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekusaan Kehakiman.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
xxviii
b. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada
badan-badan yang ditetapkan oleh Undang-undang.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya juga
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
setelah perubahan dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004). Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud adalah badan peradilan dalam lingkungan :
1) Peradilan Umum
2) Peradilan Agama
3) Peradilan Militer
4) Peradilan Tata Usaha Negara
c. Pengertian Hakim
Secara umum hakim dapat diartikan sebagai pejabat yang
memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak
yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan, dan
pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Kekuasaan
hakim berbeda-beda di setiap negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud hakim adalah pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang.
Hakim haruslah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.
d. Tugas Hakim
Dari perspektif yuridis, hukum Indonesia menganut sistem
Eropa Kontinental. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh
xxix
terhadap tugas hakim di Indonesia. Hakim Indonesia terbilang cukup
berat dalam menangani perkara. Hakim Indonesia bertugas mulai dari
memeriksa perkara,
membuktikan,
menetapkan
kesalahan
dan
akhirnya menetapkan berapa lama hukuman yang dipandang adil untuk
dijatuhkan kepada terdakwa. Belum lagi setelah itu menangani
administrasi perkara yang ditanganinya sampaiperkara tersebut
menjadi in-aktif. Berbeda dengan hakim pada sistem anglo saxon /
case law, tugasnya hanya terbatas memimpin jalannya sidang dan
kemudian menetapkan berapa lamanya hukuman sedang penetapan
kesalahan terdakwa diserahkan kepada juri yang dapat bersifat “grand
/ petit juri”, dan untuk masalah administrasi perkara telah dilaksanakan
oleh panitera.
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan
bahwa tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan
mengadili
serta
menyelesaikan
setiap
perkara
yang
diajukan
kepadanya.
Syarat-syarat pengangkatan, kedudukan serta pemberhentian
pejabat-pejabat pengadilan harus menjadi landasan pokok bagi hakim
untuk dapat menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan dalam masyarakat dan tidak terpengaruh oleh aliran politik,
kepentingan ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang lain dalam
masyarakat (Andi Hamzah, 2002 : 101).
e. Tanggung Jawab dan Kewajiban Hakim
Kewajiban dan tanggung jawab hakim secara yuridis formal
bersumber pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bab IV Pasal 2830, sedangkan pada Pasal 4 ayat (1) hanya menyiratkan tentang
tanggung jawab hakim. Adapun kewajiban hakim antara lain :
xxx
1) Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
3) Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji agamanya, sebelum
memangku jabatan.
4) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera. Selain
itu, hakim juga wajib mengundurkan diri apabila mempunyai
kepentingan langsung dengan perkara yang diperiksa.
f. Kewenangan Hakim
Wewenang utama Hakim adalah menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana yang dalam pelaksanaannya berpedoman
pokok pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran dan tidak memihak
(Bambang Waluyo, 2000: 20)
Selain itu kewenangan Hakim lainnya yaitu :
1) Hakim tidak wajib mengikuti atau terikat dengan putusan hakim
yang lebih tinggi.
Dalam keadaan masyarakat dan negara yang masih
menanjak take off di dalam segala hal, belum tercipta aparat
penegak hukum terutama hakim yang mapan maka sangat
berbahaya jika hakim-hakim yang lebih rendah diwajibkan
mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi. Hakim yang lebih
tinggi tersebut dalam keadaan seperti sekarang ini kadang masih
sebaya dengan hakim yang lebih rendah dalam pengalaman dan
pengetahuan (Andi Hamzah, 2002 : 100).
xxxi
2) Hakim tidak hanya memiliki wewenang dalam hal mengadili saja,
akan tetapi juga mempunyai wewenang dalam hal penuntutan.
Walaupun sebenarnya tugas penuntutan ada pada jaksa, namun
hakim juga dapat melakukan tindakan penuntutan, misal dalam hal
perpanjangan penahanan dan penentuan sidang atau pemanggilan.
3) Hakim mempunyai wewenang dalam hal pelaksanaan putusan
hakim, dimana pelaksanaan putusan hakim dilakukan oleh ketua
pengadilan yang bersangkutan.
4) Menteri Kehakiman melalui Kep. No. 01/M 01/PW 0703 Tahun
1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyinggung
tentang kemungkinan adanya contempt of court sehingga perlu
diberikan kewenangan bagi hakim yang memeriksa perkara di
persidangan untuk menjaga ketertiban selama sidang berlangsung.
Kewenangan hakim secara tidak langsung berhubungan dengan
martabat dan kewibawaan, maksudnya bagaimana cara hakim
menggunakan kewenangannya, akan berdampak pada keputusan yang
diambil dan tanggapan masyarakat terhadap putusan tersebut.
Meskipun hakim bebas dari intervensi pihak manapun dalam
menjalankan tugasnya, namun masyarakat tetap berhak untuk
mengawasi terhadap proses peradilan tersebut. Oleh karena itu, hakim
wajib menjunjung tinggi kewibawaan dirinya dan lembaga peradilan,
agar tetap dihormati dan dipercaya sehingga hukum di Indonesia dapat
berjalan secara adil, tertib dan sesuai peraturan perundang-undangan
yang ada.
g. Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim
Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa
dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan
moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum
dan keadilan bagi masyarakat banyak.
xxxii
Menurut Hermansyah, sebagaimana dikutip oleh Subagio Gigih
Wijaya, bahwa Hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya
harus didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kebenaran dan memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat, serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila
hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar
maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat
diwujudkan, tetapi juga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim akan terpelihara.
Hakim dipercaya untuk menjalankan tugas negara dengan
sebaik-baiknya.
Dalam
pelaksanaan
tugas
tersebut
diperlukan
keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab. Sebagai salah satu usaha
untuk menjamin pelaksanaan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya
maka setiap hakim wajib mengangkat sumpah dan janji di hadapan
atasan yang berwenang menurut agama atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tersurat dalam Pasal 30 ayat 2
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena sumpah
atau janji itu diikrarkan menurut agama atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa maka pada hakikatnya sumpah atau janji itu
bukan saja merupakan kesanggupan terhadap atasan yang berwenang,
tetapi juga merupakan kesanggupan terhadap Tuhan, bahwa yang
bersumpah atau berjanji akan mentaati segala keharusan dan tidak
melakukan segala larangan yang telah ditentukan.
Makna atau maksud dari kewajiban mengucap sumpah atau
janji ialah agar hakim yang bersangkutan bermental baik, bersih, dan
berwibawa, serta setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, negara dan pemerintah serta sadar akan tanggung
jawabnya sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
serta abdi hukum (Bambang Waluyo, 2000 : 77).
xxxiii
Dalam kode kehormatan hakim terdapat suatu janji hakim yang
dikenal dengan Tri Prasetya Hakim Indonesia, yang berbunyi:
“Saya berjanji :
1. Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi citra, wibawa, dan
martabat hakim Indonesia,
2. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan akan berpegang teguh
pada kode kehormatan hakim Indonesia,
3. Bahwa saya bersedia menerima sanksi, apabila saya mencemarkan
citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang
benar.”
Sikap seorang hakim dilambangkan dengan kartika, cakra,
candra, sari dan tirta yang merupakan cerminan perilaku hakim harus
senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil,
bijaksana, berwibawa, berbudi luhur serta menunjung tinggi kejujuran.
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsipprinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku, bermakna pengamatan
tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan
tersebut akan mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh
tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing.
Pada tanggal 22 Desember 2006 lalu, Mahkamah Agung telah
mengeluarkan suatu pedoman perilaku hakim. Pedoman perilaku
hakim ini merupakan penjabaran dari sepuluh prinsip pedoman yang
meliputi kewajiban-kewajiban untuk berperilaku adil, jujur, arif dan
bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, rendah hati serta profesional.
Dalam hal bertanggung jawab penerapan yang diharapkan. Pertama,
penggunaan Predikat Jabatan implementasinya hakim tidak boleh
menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.
xxxiv
Kedua,
penggunaan
informasi
Peradilan,
hakim
tidak
boleh
mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia,
yang didapat dalam kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak
ada hubungannya dengan tugas-tugas peradilan.
Kehormatan hakim terutama akan terlihat pada putusan yang
dibuatnya, putusan tersebut perlu dilandasi suatu pertimbangan yang
matang dan sesuai fakta yang ada, atau keseluruhan proses
pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan pada peraturan
perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari
masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat
yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang
mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan
dipertahankan olehhakim melalui sikap tindak atau perilaku yang
berbudi pekerti luhur, dengan demikian kehormatan dan keluhuran
martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa kekuasaan
kehakiman di Indonesia adalah kekuasaan yang merdeka, sehingga
walaupun hakim itu diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun ia
tegak berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak dipengaruhi oleh
pemerintah. Berhubung dengan kedudukannya yang istimewa tersebut,
ia perlu mendapat jaminan yang cukup.
Dilihat secara teoritik, perlunya suatu perlindungan hukum
tentunya didasarkan pada adanya suatu kepentingan hukum yang
sepatutnya
dilindungi.
Terlaksananya
sistem
penyelenggaraan
peradilan yang tepat / yang seharusnya (the due administration of
justice) jelas merupakan suatu kebutuhan hukum dan sekaligus
kepentingan umum bagi setiap masyarakat (setiap kehidupan
xxxv
bermasyarakat / bernegara) (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 :
216)
Perlindungan hukum terhadap hakim merupakan elemen
penting dalam upaya penegakan hukum, karena dengan adanya
jaminan terhadap diri hakim dalam menjalankan tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya, maka diharapkan proses peradilan dapat berjalan
sebagaimana mestinya, dan hakim dapat menjatuhkan putusan seadiladilnya sesuai fakta dan alat bukti yang ada dalam pemeriksaan
persidangan serta bebas dari tekanan pihak manapun.
Adapun pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap
hakim ini dapat dijumpai antara lain dalam KUHP, KUHAP, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
No.
01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP.
3. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court
a. Pengertian Contempt of Court
Istilah contempt of court berasal dari tradisi hukum sistem
common law dengan case law nya, diantaranya adalah Inggris dan
Amerika Serikat. Sejak tahun 1742, Inggris telah menerapkan
contempt of court dengan adanya doktrin pure streams of justice yang
dianggap sebagai dasar untuk memberlakukan contempt of court yang
selanjutnya
pada
tahun
1981
diadakan
pembaruan
dengan
diterapkannya contempt of court Act 1981. Amerika Serikat pertama
kali mengundangkan adalah pada tahun 1989.
Dalam ceramah Nico Keijer di UNDIP tahun 1987 dan di
BPHN tahun 1988 pernah mengemukakan, bahwa sejarah atau tradisi
xxxvi
hukum contempt of court di Inggris berhubungan erat dengan sejarah
dan bentuk kerajaan yang sangat kuat di Inggris pada abad
pertengahan. Semua orang harus tunduk para Raja sebagai kekuasaan
tertinggi. Raja merupakan sumber hukum dan keadilan yang
kekuasaannya didelegasikan kepada para hakim. Oleh karena itu
contempt of court dipandang identik dengan contempt of the king
(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 206).
Dalam praktek yurisprudensi di Inggris selanjutnya, contempt
of court tidak hanya ditujukan pada hakim atau pengadilan saja,
melainkan juga ditujukan pada bentuk gangguan terhadap kelancaran
jalannya proses peradilan. Sehingga, menurut kepustakaan common
law system, contempt of court merupakan istilah umum untuk
menggambarkan setiap perbuatan yang bermaksud mencampuri atau
mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang
seharusnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992 : 208).
Menurut definisi terminologis, contempt of court berasal dari
kata contempt and court. Contempt artinya melanggar, menghina,
memandang rendah, sedangkan court artinya pengadilan. Jadi,
contempt of court artinya upaya melanggar, menghina atau
memandang rendah pengadilan (Andi Hamzah dan Bambang Waluyo,
1988 : 9).
Menurut Oemar Seno Adji, contempt of court secara singkat
dirumuskan sebagai suatu tidak berbuat atau suatu perbuatan yang
secara substansial menimbulkan distribusi ataupun suatu abstruksi
terhadap suatu proses peradilan dalam suatu perkara tertentu.
Dalam Black Law Dictionary dijelaskan bahwa : contempt of
court is any act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct
court in administration of justice or which is calculated to lessen its
xxxvii
authority or dignity as a party to a proceeding therein, willfull
disobeyes its lawfull order or fail to comply with and undertaking
which he has give. (Contempt of court adalah suatu perbuatan yang
dipandang mempermalukan, menghalangi atau merintangi pengadilan
di dalam penyelenggaraan peradilan, atau dipandang sebagai
mengurangi kewibawaan atau martabatnya. Dilakukan oleh orang yang
sungguh melakukan suatu perbuatan yang melanggar secara sengaja
kewibawaan atau martabat atau cenderung merintangi atau menyianyiakan penyelenggaraan peradilan atau oleh seseorang yang berada
dalam kekuasaan pengadilan sebagai pihak dalam perkara di
pengadilan itu, dengan sengaja tidak mentaati perintah pengadilan
yang
sah
atau
tidak
memenuhi
hal
yang
ia
telah
akui)
(www.pemantauperadilan.com).
Di Indonesia, istilah contempt of court pertama kali ditemukan
dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung butir 4 alinea ke-4, yaitu : “Selanjutnya untuk dapat lebih
menjamin
terciptanya
suasana
yang
sebaik-baiknya
bagi
penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-undang yang
mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai
contempt of court.”
Berdasarkan definisi di atas, maka secara singkat contempt of
court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan baik secara aktif maupun
pasif, dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan
yang dianggap melecehkan kewibawaan pengadilan (Andi Hamzah
dan Bambang Waluyo, 1988 : 11).
xxxviii
b. Ruang Lingkup Contempt Of Court
Contempt of court memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan
berbeda pada setiap negara. Ruang lingkup tersebut antara lain,
meliputi:
1) Perbuatan,
2) Tingkah laku,
3) Sikap dan atau ucapan
Namun demikian, untuk dapat disebut sebagai contempt of court, maka
perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan tersebut harus
mengandung
akibat
yaitu
dapat
merendahkan,
merongrong
kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan, dimana
perbuatan, tingkah laku dan sikap atau ucapan tersebut tidak harus
selalu diartikan secara aktif tetapi dapat pula bersifat pasif atau tidak
berbuat, akan tetapi akibatnya dapat merendahkan martabat peradilan.
c. Bentuk Contempt Of Court
Menurut Oemar Seno Adji, terdapat 5 (lima) bentuk konstitutif
dari contempt of court, yaitu :
1) Perbuatan-perbuatan
penghinaan
terhadap
peradilan
yang
dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (sub judice
rule), yaitu suatu usaha berupa perbuatan, atau sikap yang
ditunjukkan ataupun pernyataan secara lisan apalagi secara tulisan,
yang nantinya menjadi persoalan pers dan aspek hukumnya untuk
dapat mempengaruhi suatu putusa yang akan dijatuhkan oleh
hakim.
2) Tidak memenuhi perintah pengadilan (disobeying a court order),
yaitu suatu perbuatan yang tidak mematuhi perintah pengadilan
ataupun yang merendahkan otoritas, wibawa atau keadilan dari
pengadilan.
3) Mengacaukan peradilan (obstructing justice), yaitu suatu perbuatan
yang ditujukan terhadap ataupun yang mempunyai efek memutar
xxxix
balikkan, mengacaukan fungsi normal dan kelancaran suatu proses
judisial.
4) Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing
the court), yaitu pernyataan di luar pengadilan dan sering
merupakan pubikasi yang mengandung suatu lapangan yang luas
mengenai situasi. Scandalizing the court meliputi pernyataan yang
menjengkelkan, mengandung kata-kata penyalahgunaan ataupun
ucapan yang mengandung penghinaan yang ditujukan kepada
hakim.
5) Tidak berkelanjutan baik dalam pengadilan (misbehaving in court),
yaitu tiap perbuatan isyarat (gesture) ataupun kata-kata yang
merupakan rintangan atuapun mengadakan obstruksi terhadap
aliran (flow) normal dan harmonis dari proses di sidang pengadilan.
Yang termasuk kategori ini adalah semua perbuatan berupa isyarat
atau kata-kata ancaman terhadap pengadilan.
d. Lingkup Pembedaan Bentuk Contempt of Court
1) Pembedaan mengenai apakah pelecehan tersebut termasuk
pelecehan pidana atau perdata (The Contempt of Criminal in nature
or civil in nature)
Apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan tidak
menghormati
pengadilan
atau
acaranya
atau
menghalangi
penyelenggaraan peradilan sehingga pengadilan tidak dihormati,
maka itu termasuk dalam criminal contempt. Sanksi dari criminal
contempt ini adalah denda atau penjara bagi pelakunya.
Apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
tidak menghormati pihak yang mendapat kuasa dari pengadilan
(tidak mematuhi perintah pengadilan) maka perbuatan itu termasuk
dalam civil contempt. Civil contempt bukan merupakan delik
terhadap martabat pengadilan. Sanksinya adalah benda sebagai
ganti kerugian bagi pelakunya.
xl
2) Pembedaan mengenai apakah pelecehan tersebut dilakukan di
hadapan sidang atau di luar sidang pengadilan (The Contempt in
Direct or Indirect).
Dikatakan direct contempt atau contempt in facie apabila
pelecehan berupa tindakan mencampuri jalannya proses peradilan,
meliputi perbuatan yang dilakukan di dalam sidang pengadilan.
Permasalahannya bukan terletak pada apakah martabat pengadilan
(the dignity of the court) telah diserang atau dilanggar akan tetapi
apakah proses pengadilan terganggu atau tidak.
Sedangkan perbuatan dikatakan sebagai indirect contempt
atau contempt of facie apabila melakukan perbuatan berupa
publikasi yang dianggap mencampuri suatu proses peradilan dalam
perkara tertentu.
Apabila dihubungkan dengan lima bentuk konstitutif
Contempt of Court menurut Oemar Seno Adji sebagaimana
tersebut di atas, maka yang termasuk dalam contempt of facie
adalah misbehaving in court, disobeying court orders dan
scandalizing the court, sedangkan yang termasuk dalam ex facie
adalah disobeying court orders, scandalizing the court dan sub
judice rule.
e. Contempt of Court di Indonesia
Di Indonesia, belum ada definisi yang dapat diterima umum
apakah sebenarnya yang menjadi patokan sehingga suatu delik dapat
dimasukkan ke dalam Contempt of Court. Sehingga sampai saat ini,
lebih tepat apabila menggunakan ketentuan yang ada dalam KUHP dan
KUHAP.
Untuk lebih mudah dalam memahami maka dapat dijelaskan
melalui bagan sebagai berikut :
xli
UU No. 4 Tahun 1985
SKB No. : M 03-PR
’08.05 Tahun 1987
UU No. 25 Tahun 2000
Keterangan :
Istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan
dalam penjelasan umum UU No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung butir 4 alinea ke-4 tentang isyarat perlunya dibuat suatu
Undang-Undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan
penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan,
martabat dan kehormatan pejabat peradilan. Kemudian diterbitkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) No : M 03-PR ’08.05 Tahun 1987
tentang tata cara pengawasan, penindakan dan pembelaan diri
penasehat hukum. Selain itu, dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang
Propenas kembali disebutkan bahwa pembuatan Undang-Undang
tentang Contempt of Court menjadi matriks kebijakan hukum tahun
2002.
B. Kerangka Dasar Pemikiran
Dalam melakukan penelitian hendaknya terdapat kerangka berfikir
yang sistematis dan holistik agar penelitian mendapatkan hasil yang optimal
dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya.
Menurut Samsul Hadi, kebanyakan perkara yang masuk pengadilan
merupakan langkah terakhir yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa.
xlii
Pengadilan hanya menyelesaikan sengketa antara dua pihak, yang nantinya
setelah diputuskan pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah.
Pihak yang kalah pada umumnya tidak terima dengan keputusan hakim
sehingga melakukan berbagai upaya hukum untuk menolak putusan tersebut.
Hal seperti inilah yang membuat posisi hakim terpojok, sehingga dalam
pandangan publik, nama hakim menjadi buruk karena orang yang tidak puas
terhadap putusan hakim cenderung akan menyalahkan hakim tersebut
(www.umy.ac.id)
Penelitian ini berangkat dari maraknya aksi contempt of court dalam
proses peradilan di Indonesia akhir-akhir ini, dimana korban dari aksi tersebut
adalah para aparat penegak hukum khususnya para hakim.
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang
memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di
ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman
(wikipedia Indonesia).
Untuk dapat mencegah dan menindak terhadap gangguan, baik barupa
ancaman atau hambatan dalam proses peradilan, perlu adanya sarana
perundang-undangan yang memadai sehingga hakim dapat menjadi sentral
penentu keadilan dalam suatu peradilan (Andi Hamzah dan Bambang
Waluyo).
Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud antara lain adalah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
mengatur tentang jaminan terhadap kedudukan hakim yang bebas dalam
menjalankan profesinya. Namun begitu, bebas di sini bukan berarti tanpa
batas. Ketua MA Bagir Manan sudah menerbitkan Keputusan No. KMA/104
A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Pedoman ini berisi
xliii
bagaimana seharusnya hakim bersikap dan berperilaku di ruang sidang
maupun di luar sidang.
Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, ketentuan contempt of court juga telah diatur dalam
KUHP
dan
KUHAP.
Sehingga
tinggal
bagaimana
hakim
mengimplementasikan peratiran tersebut. Berawal dari upaya perlindungan
hukum oleh hakim ketika berhadapan dengan aksi contempt of court menjadi
pokok permasalahan utama dalam penelitian ini.
Penelitian ini akan mendeskripsikan secara utuh tentang upaya hakim
dalam menyikapi aksi contempt of court yang terjadi dalam proses peradilan.
Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Surakarta.
Hal ini didasari bahwa maraknya aksi contempt of court akhir-akhir ini tidak
terlepas dari kurang tegasnya aparat penegak hukum dalam memberikan
sanksi terhadap pelaku aksi contempt of court. Hakim harus berani mengambil
sikap memidanakan seseorang yang nyata-nyata melecehkan institusi
pengadilan, karena martabat dan kewibawaanya sendiri yang menjadi taruhan.
Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan dengan diagram sebagai
berikut :
xliv
Martabat dan Wibawa Hakim
Proses peradilan
Berjalan secara tertib sesuai
peraturan
Aksi COC
Upaya Perlindungan
Hukum
Pasal-Pasal
KUHP dan
KUHAP
tentang COC
xlv
UU Nomor 4
Th 2004
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
C. Pelaksanaan
Perlindungan
Hukum
Terhadap
Martabat
Hakim
Pengadilan Negeri Surakarta Dalam Hal Terjadi Contempt of Court
Dalam Proses Peradilan
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Pengadilan Negeri Surakarta yang terletak di Kota Surakarta ini
memiliki lokasi yang strategis, yang mudah dijangkau oleh setiap orang
yang akan melakukan sidang maupun kegiatan lainnya. Lebih detailnya,
Pengadilan Negeri Surakarta terletak di Jl. Slamet Riyadi No. 290
Surakarta, berdiri di atas tanah Hak Pakai dengan luas 9.640 M2, berada di
Kampung Priyobadan, Kalurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan,
Kotamadya Surakarta. Bangunan Pengadilan Negeri Surakarta memiliki
luas kurang lebih 2.733 M2 terdiri dari bangunan yang memanjang dari
arah utara ke selatan dan bangunan tersebut berdiri sejak zaman Belanda.
Pada zaman Belanda, Pengadilan Negeri Surakarta terdiri atas 2 (dua)
bagian, yaitu Landraad dan Landgrecht.
Adapun ruangan-ruangan yang terdapat di Pengadilan Negeri
Surakarta sekarang telah dibagi-bagi menjadi beberapa bagian antara lain
ruang sidang, ruang untuk kantor-kantor, ruang tahanan, hingga masjid.
Ruang sidang di Pengadilan Negeri Surakarta terdiri atas lima ruang,
dimana Ruang Sidang I (satu) berada di depan dan Ruang Sidang II, III,
IV, dan V berada di dalam. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara dapat
menggunakan ruang sidang tersebut sesuai dengan jadwal yang telah
disusun. Selain ruang sidang, juga terdapat ruang untuk kantor antara lain
Ruang Ketua Pengadilan negeri, Ruang Panitera / Sekretaris, Ruang
Panitera Hukum, Ruang Panitera Perdata, Ruang Panitera Pidana dan
masih banyak ruang di Pengadilan Negeri Surakarta yang mana digunakan
untuk mendukung setiap pelayanan proses peradilan di wilayah Surakarta.
35
xlvi
Berdasar struktur pengadilan, secara umum Pengadilan Negeri
Surakarta dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian tehnis peradilan
(kepaniteraan) dan bagian administrasi. Kepaniteraan atau bagian tehnis
peradilan secara umum bertugas membantu pimpinan pengadilan dalam
membuat program jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya
serta pengoranisasiannya. Bagian tehnis peradilan ini dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu Kepaniteraan Hukum, Kepaniteraan Perdata dan
Kepaniteraan Pidana.
1) Kepaniteraan Hukum
Kepaniteraan hukum dipimpin oleh seorang Panitera Muda
Hukum. Tugas dan kewenangan dari kepaniteraan hukum antara lain :
a. Pendaftaran CV dan pembubarannya.
b. Register atau pendaftaran Pengacara dan Notaris.
c. Pelayanan Surat Kuasa Bantuan Hukum.
d. Pelayanan SKBRI.
e. Legalisasi.
f. Pengarsipan dan lain-lain.
2) Kepaniteraan Perdata
Kepaniteraan Perdata mempunyai tugas secara umum
membantu proses pemeriksaan perkara perdata hingga perkara tersebut
diputus oleh hakim. Pemeriksaan perkara perdata akan dilaksanakan
apabila ada dua hal yaitu :
a. Gugatan.
b. Permohonan.
3) Kepaniteraan Pidana
xlvii
Kepaniteraan Pidana mempunyai tugas secara umum
membantu proses pemeriksaan perkara pidana hingga perkara tersebut
diputus oleh hakim dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan Negeri Surakarta merupakan Pengadilan Negeri Kelas
IA. Kelas tersebut didasarkan pada banyaknya jumlah perkara yang
ditangani oleh pengadilan ini. Sampai pada akhir bulan November tahun
2007 ini, Pengadilan Negeri Surakarta telah dan sedang menangani 2.179
(dua ribu seratus tujuh puluh sembilan) jenis perkara pidana. Agar lebih
mudah dalam memahami jenis perkara tersebut, maka dapat penulis
jelaskan bahwa dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tak
bersalah (presumption of ennocence) maka pidana sebagai reaksi atas delik
yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang
peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila tidak
terbukti bersalah, maka Tersangka harus dibebaskan.
Adapun mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan utamanya
mengacu pada KUHP. KUHP telah menetapkan jenis-jenis pidana yang
termaktub dalam Pasal 10. Diatur 2 pidana yaitu : pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas 4 jenis pidana dan pidana
tambahan terdiri atas 3 jenis pidana (Bambang Waluyo, 2000 : 10).
Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP tersebut yaitu :
a. Pidana Pokok, meliputi :
1). Pidana Mati.
2). Pidana Penjara.
3). Pidana Kurungan.
4). Pidana Denda.
b. Pidana Tambahan, meliputi :
1). Pencabutan hak-hak tertentu.
2). Perampasan barang-barang tertentu.
3). Pengumuman putusan hakim.
xlviii
Untuk jenis perkara pidana biasa, Pengadilan Negeri Surakarta
telah menerima 113 (seratus tiga belas) perkara hingga akhir November
2007 ini. Adapun perinciannya dapat dilihat dalam tabel seperti di bawah
ini :
Tabel 1. Jenis Perkara Pidana (Pidana Biasa)
Keterangan
No
Jumlah
1.
Sisa bulan lalu
70
2.
Masuk dalam bulan ini
43
3.
Putus dalam bulan ini
45
4
Terdakwa / Jaksa Menerima
5.
Terdakwa / Jaksa Banding
13 / -
6.
Terdakwa / Jaksa Kasasi
1/-
7.
Terdakwa Minta Grasi
42 / 43
-
Untuk jenis pidana cepat atau ringan (lalu lintas), Pengadilan
Negeri Surakarta telah menerima 2.012 (dua ribu dua belas) perkara pada
bulan November tahun 2007 ini. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Tabel 2. Jenis Perkara Pidana Cepat / Ringan / Lalu Lintas
Keterangan
No
Jumlah
1.
Sisa bulan lalu
-
2.
Masuk bulan ini
2.012
3.
Putus dalam bulan ini
2.012
4
Kasasi
-
5.
Grasi
-
xlix
Sedangkan untuk jenis tindak pidana selain yang telah tersebut di
atas, Pengadilan Negeri Surakarta telah menerima 54 (lima puluh empat)
perkara sampai pada akhir bulan November tahun 2007 ini. Adapun
perinciannya dapat dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 3. Jenis Tindak Pidana Lainnya
No
Jenis Tindak Pidana
Pria
Wanita
1.
Kejahatan yang membahayakan keamanan
umum bagi orang / barang
1
-
2.
Pemalsuan uang
1
-
3.
Kejahatan perjudian
15
-
4.
Penganiayaan
3
-
5.
Menyebabkan mati / luka karena alpha
1
-
6.
Pencurian
17
4
7.
Penggelapan
4
-
8.
Penipuan
5
-
9.
Penadahan
3
-
10.
Tindak pidana narkotika
2
2
2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta
Pembahasan putusan ini lebih dikhususkan pada putusan dalam
perkara
pidana.
Putusan
pemidanaan
terjadi
apabila
pengadilan
berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya (vide Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang
pengadilan, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan Hakim yakin Terdakwa
yang bersalah melakukan (Bambang Waluyo, 2000 : 86).
l
Dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP, ditentukan bahwa segera
sesudah
putusan
pemidanaan
diucapkan
Hakim
Ketua
Sidang
memberitahukan kepada Terdakwa tentang segala apa yang menjadi
haknya, yaitu :
a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau
menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan Undangundang ini.
c. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh Undang-undang untuk dapat mengajukan
grasi, dalam hal ia menerima putusan.
d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini, dalam hal ia
menolak putusan.
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam
tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini
(Harun M. Husein, 1992 : 25).
Pada bulan November tahun 2007 ini, Pengadilan Negeri Surakarta
telah menjatuhkan putusan pidana denda untuk 4 (empat) Terdakwa dan
pidana penjara untuk 58 (lima puluh delapan) Terdakwa. Adapun
perinciannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 4. Putusan Pengadilan
No
Jenis Putusan
Pria
Wanita
Anak
1.
Pidana denda
2
2
-
2.
Pidana penjara
52
2
4
3. Personil Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
li
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, menurut Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa yang dimaksud Hakim
adalah pejabat yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam
Undang-undang. Hakim haruslah memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang
hukum. Wewenang Hakim utamanya adalah : menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana yang dalam pelaksanaannya berpedoman pokok
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
dilandasi asas kebebasan, kejujuran dan tidak memihak (Bambang
Waluyo, 2000 : 20).
Kewajiban Hakim antara lain :
a) Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
b) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari Terdakwa.
c) Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji agamanya, sebelum
memangku jabatan.
d) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan Ketua, salah
seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat atau Panitera. Selain itu,
Hakim juga wajib mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan
langsung dengan perkara yang diperiksa.
Tugas keseharian daripada Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara
yang diajukan kepadanya. Mereka biasa memulai tugasnya kurang lebih
pada pukul 10.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB, kecuali pada hari Kamis,
karena pada hari tersebut Hakim Pengadilan Negeri Surakarta harus
mengadili sidang tindak pidana lalu lintas mulai pukul 09.00 WIB.
lii
Saat ini, Pengadilan Negeri Surakarta memiliki 14 (empat belas)
hakim dengan pangkat, golongan dan jabatan yang berbeda-beda. Para
hakim tersebut dapat dilihat dalam tabel seperti berikut :
Tabel 5. Daftar Formasi (Bezetting) Hakim Pengadilan Negeri Klas IA
Surakarta
No
Nama / NIP
Pangkat / Gol
Jabatan
1.
Roba’a, SH
NIP. 040 013 619
Pembina Utama Muda Ketua
(IV / c)
2.
Djanatul Firdaus, SH
NIP. 040 014 348
Pembina Utama Muda Wakil Ketua
(IV / c)
3.
Istiningsih Rahayu, SH
NIP. 040 047 676
Pembina Tk. I
(IV / b)
Anggota
4.
Susanto Isnu Wahyudi, SH
NIP. 040 049 590
Pembina Tk. I
(IV / b)
Anggota
5.
Yohannes Sugiwidarto, SH
NIP. 040 049 573
Pembina Tk. I
(IV / b)
Anggota
6.
Fakih Yuwono, SH
NIP. 040 049 669
Pembina
(IV / b)
Anggota
7.
Ganjar Susilo, SH
NIP. 040 049 565
Pembina
(IV / b)
Anggota
8.
M. Najib Sholeh, SH
NIP. 040 056 659
Pembina
(IV / b)
Anggota
9.
Dwi Sudaryono, SH
NIP. 040 052 027
Pembina
(IV / b)
Anggota
10.
Pragsono
NIP. 040 052 096
Pembina
(IV / b)
Anggota
11.
Wiwik Suhartono, SH
NIP. 040 052 080
Pembina
(IV / b)
Anggota
12.
Johny Jonggi Hamonangan
Simanjuntak, SH
NIP. 040 053 747
Pembina
(IV / b)
Anggota
13.
Lasito, SH
NIP. 050 053 709
Pembina
(IV / a)
Anggota
14.
I Wayan Sosiawan, SH
Pembina
Anggota
liii
NIP. 040 053 608
(IV / a)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatur serta memberikan perlindungan hukum terhadap Hakim.
Perlindungan hukum tersebut diperlukan untuk menegakkan hukum dan
keadilan sebagaimana tersebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004.
4. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim
Pengadilan Negeri Surakarta dalam Hal Terjadi Contempt Of Court
dalam Proses Peradilan
Penulis banyak memperoleh informasi khususnya yang terkait
dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal
terjadi contempt of court dalam proses peradilan beserta hambatan yang
dihadapi para hakim tersebut untuk menindak aksi contempt of court.
Berdasar hasil wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 12 sampai
dengan 18 Desember 2007 dengan 4 (empat) hakim Pengadilan Negeri
Surakarta, yaitu :
a. Sugi widarto, SH
b. Lasito, SH
c. Dwi Sudaryono, SH dan
d. Pragsono, SH
Adapun Hasil Wawancara adalah sebagai berikut :
a. Definisi Contempt of Court oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
Contempt of Court dalam pandangan hakim yang satu tidaklah
sama dengan definisi contempt of court dalam pandangan hakim
lainnya. Para hakim tersebut memberikan makna tersendiri tentang
suatu perbuatan sehingga perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai
aksi contempt of court. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan
penindakan yang dilakukan oleh hakim yang satu dengan hakim yang
lain karena perbuatan yang dianggap contempt of court oleh hakim
liv
yang satu belum tentu dianggap sebagai aksi contempt of court oleh
hakim lainnya.
Menurut Lasito, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai
contempt of court adalah perbuatan pelecehan yang hanya terjadi di
dalam ruang sidang, sedasng jika pelecehan tersebut terjadinya sudah
diluar sidang, maka tidak dapat lagi dikatakan sebagai contempt of
court. Selama 15 (lima belas) tahun masa jabatannya, beliau sendiri
belum pernah mengalami aksi pelecehan yang sekarang marak terjadi
di Indonesia tersebut. Adapun cara mengantisipasi agar tidak terjadi
contempt of court pada diri beliau yaitu dengan senantiasa menjaga
wibawa dan ketegasan dan bila perlu mengancam dalam bentuk
penuntutan.
Sedangkan menurut Sugi Widarto, suatu perbuatan dapat
dikatakan sebagai aksi contempt of court apabila pelecehan atau
penghinaan atau perbuatan anarkhisme lainnya, selama hal tersebut
ditujukan atau mengenai hakim, tidak peduli terjadi di dalam sidang
maupun di luar sidang, maka hal tersebut masuk dalam kategori
contempt of court. Tidak jauh berbeda dengan Lasito, Sugi Widarto
yang telah berkarier sebagai hakim selama 15 (lima belas) tahun ini
juga belum pernah mengalami aksi contempt of court, meskipun beliau
pernah
merasakan
aksi
pelecehan
ketika
sedang
memimpin
persidangan namun beliau tidak mengambil langkah lanjut (menindak)
pelecehan tersebut karena menganggap masih dalam batas wajar dan
ketika pelaku pelecehan tersebut diperingatkan, ia tidak lagi
mengulangi perbuatannya.
Dwi Sudaryono memberikan definisi yang lebih rinci lagi
mengenai aksi contempt of court ini. Menurut beliau, yang dikatakan
sebagai aksi contempt of court adalah segala bentuk pelecehan pada
lv
hakim baik di dalam ruang sidang maupun di luar sidang selama proses
peradilan berlangsung. Beliau sendiri belum pernah mengalami
contempt of court selama 17 (tujuh belas) tahun masa kariernya.
Menurut beliau, ada atau tidaknya contempt of court tergantung pada
kesadaran hukum dan pengetahuan akan hukum masyarakat. Beliau
mencontohkan, ketika menjabat sebagai Hakim di Palembang, dimana
masyarakatnya terkenal berwatak keras, namun karena masyarakat
tersebut sadar hukum maka mereka dapat menjaga sikap dan
mengendalikan diri ketika proses persidangan berlangsung.
Berbeda pula dengan pendapat Pragsono, seorang hakim yang
telah berkarier selama 17 (tujuh belas) tahun ini. Menurut beliau,
contempt of court adalah perbuatan pelecehan dan sebagainya
sebagaimana tersebut dalam KUHP dan KUHAP yang hanya terjadi di
dalam proses persidangan, jika yang dibicarakan adalah contempt of
court dimana korbannya adalah hakim. Beliau pernah mengalami aksi
contempt of court ketika menjabat Hakim di Madura, Jawa Timur.
Ketika itu beliau bertugas sebagai Hakim anggota dalam kasus tindak
pidana pembunuhan. Salah satu keluarga korban pembunuhan merasa
bahwa pertanyaan Hakim Ketua yang disertai emosi begitu
memojokkan saksi korban. Dan karena saksi korban merasa tidak
terima dan juga tidak dapat menahan emosi, ia berteria memaki hakim
dan menendang kursi yang semula ia duduki. Aksi tersebut kemudian
dilaporkan kepada penyidik (kepolisian) untuk ditindak namun hingga
habis masa jabatan beliau di Madura, Jawa Timur tersebut, tidak ada
proses penindaan lebih lanjut dari pihak kepolisian. Menurut beliau,
ada atau tidaknya aksi contempt of court dalam proses persidangan
tergantung bagaimana hakim memimpin sidang. Ibarat sebuah bus,
dimana hakim sebagai sopir dan penumpangnya adalah semua yang
terlibat dalam persidangan tersebut, maka sopir harus berhati-hati agar
penumpangnya merasa nyaman. Begitu pula dalam persidangan, hakim
lvi
harus bisa menjaga wibawa dan bertindak tegas tanpa harus
mengedepankan emosi agar persidangan dapat berjalan lancar sesuai
tata tertib.
b. Faktor Penyebab Terjadinya Contempt Of Court
Ada atau tidaknya suatu tindakan contempt of court dalam
sebuah proses peradilan dilatar belakangi oleh beberapa hal sebagai
berikut :
1) Tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat
Pada dasarnya hakim memahami perasaan pihak yang kalah
dalam suatu perkara. Masalahnya tidak semua orang paham tentang
hakikat hukum. Barangkali pengacara, hakim, akademisi, dan
pengamat hukum paham tapi belum tentu masyarakat Indonesia
keseluruhan mempunyai tingkat kesadaran dan pengetahuan akan
hukum yang sama.
2) Hakim tidak mampu menjaga wibawa dan nama baiknya
Hakim di dalam menjalankan tugasnya, tidaklah mudah. Di
Indonesia,upaya penyuapan terhadap lembaga pemerintahan dan
lembaga
peradilan
demi
tercapainya
suatu
tujuan
yang
menguntungkan bukanlah hal yang baru lagi. Maka di sini hakim
diuji apakah dirinya mampu menjaga wibawa dan nama baik
ataukah sebaliknya, mengorbankan kebenaran dan keadilan demi
kepentingan pribadi. Jika secara kasat mata sang hakim
mempraktekkan mafia peradilan, maka sulit mengharapkan
masyarakat menghormatinya.
3) Perbedaan perlakuan hakim terhadap para pihak dalam persidangan
Terkadang walaupun belum ada putusan Terdakwa salah
atau
tidak
dalam
sebuah
perkara
pidana,
hakim
sudah
memperlakukan Terdakwa tersebut secara tidak baik dan
dipojokkan seolah terdakwa memang bersalah.
4) Penyalah artian kata ”reformasi” oleh masyarakat
lvii
Reformasi yang intinya menginginkan sebuah perubahan
dimana perubahan yang dimaksudkan ditujukan ke arah yang lebih
baik, ternyata tidak semua masyarakat memahami bagaimana
mekanisme
reformasi
yang
benar.
Sebagian
masyarakat
menganggap bahwa sebuah protes terhadap lembaga pemerintahan
maupun lembaga peradilan, dimana proses tersebut tidak jarang
diwarnai aksi anarkhi inilah yang dinamakan reformasi yang
terpenting bagi masyarakat tersebut, apa yang mereka inginkan
terpenuhi.
5) Kurangnya pengawalan sidang
Dalam sebuah persidangan, khususnya jenis pemeriksaan
perkara yang menyita perhatian publik terkadang hanya ada satu
hingga dua aparat keamanan saja, padalah jika sampai terjadi aksi
contempt of court, maka jumlah tersebut jelas tidak sebanding
dengan pelaku aksi yang biasanya jumlahnya bergerombol.
c. Jenis Pemeriksaan Perkara Yang Dilakukan Oleh Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta Yang Rawan Terhadap Aksi Contempt of Court
Menurut pendapat para hakim tersebut, jenis pemeriksaan
perkara pidana-lah yang rawan terkena aksi contempt of court,
khususnya dalam perkara tindak pidana pembunuhan, perkara tindak
pidana pemerkosaan (asusila), tindak pidana korupsi, dan parkara
tindak pidana terorisma. Walaupun begitu, bukan berarti dalam perkara
atau sengketa perdata tidak pernah timbul aksi contempt of court.
Dalam sengketa perceraian atau sengketa wanprestasi misalnya, juga
bisa terkena aksi ini.
Di Pengadilan Negeri Surakarta sendiri sebenarnya pernah
terjadi sebuah aksi pada tahun 2003. Ratusan murid Pondok Pesantren
Al Mukmin dan Majelis Mujahidin (MM) dan LPD Surakarta
mendatangi Pengadilan Negeri Surakarta. Mereka menuntut agar
lviii
pemimpin
Majelis
Mujahidin
Indonesia Abu
Bakar
Ba’asyir
dibebaskan dan harus dihormati sebagaimana layaknya seorang ulama.
Massa mulai berkumpul pukul 13.00 di depan Pengadilan Negeri
Surakarta dan berkali-kali meneriakkan Allahu Akbar sambil berorasi.
Mereka membawa poster yang bertuliskan ”Wahai ustadz bersabarlah
kami selalu mendukungmu,” berapa episode lagi sidang ini berakhir?”,
dan
wahai
hakim
jangan
bekerjasama
dengan
Amerika”
(http://www.kompas.com 16 : 43 PM)
Meskipun aksi tersebut cenderung meremehkan kemampuan
Hakim dalam memutus perkara, namun aksi tersebut tidak ditindak
lanjuti dan tidak dikategorikan sebagai aksi contemp of court oleh
Hakim Pemeriksa Perkara. Karena menurut beliau aksi tersebut
memang wajar jika terjadi dan dianggap oleh Hakim sebagai sebuah
tantangan tersendiri dalam mengambil keputusan.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa ada atau
tidaknya aksi contempt of court ini tergantung pada hakim. Sebagai
pemimpin sidang, maka hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
haruslah selalu menjaga kewibawaan dan martabatnya. Di tangan
mereka sebuah proses persidangan ditentukan apakah berjalan tertib
sesuai peraturan ataukah berjalan rusuh dan tidak tertib sehingga
timbul yang dinamakan aksi contempt of court tersebut. Dalam jenis
perkara apapun, sesulit apapun, apabila hakim berusaha keras
memimpin persidangan dengan tegas dan adil, maka para pihak juga
akan merasa bahwa masing-masing merasa diperlakukan adil sehingga
persidanganpun dapat berjalan lancar.
d. Upaya Preventif (Pencegahan) dan Represif (Penghukuman) oleh
Hakim Pengadilan Negeri Surakarta bila terjadi aksi Contempt of
Court
lix
Upaya preventif dari para hakim Pengadilan Negeri Surakarta
untuk mengantisipasi agar tidak terjadi aksi contempt of court dalam
proses persidangan yang dipimpinnya antara lain :
1) Hakim harus sungguh-sungguh mengetahui peraturan hukum dari
perkara yang sedang diperiksa.
Untuk menghasilkan putusan yang adil, maka hakim harus
tahu benar peraturan hukum dari masing-masing perkara. Dengan
kata lain, hakim harus cerdas dan pandai dalam merumuskan
putusan sesuai ketentuan yang ada.
2) Hakim dalam mengadili suatu perkara harus dengan hati nurani
sehingga akan berimplikasi secara langsung maupun tidak
langsung menuntun mata batin pada keseimbangan yang timbul
yaitu kepentingan negara, individu, pelaku tindak piana dan
kepentingan korban kejahatan.
3) Hakim harus menjaga wibawa dan ketegasannya
Hal ini dimaksudkan agar pengunjung sidang maupn pihakpihak yang berkaitan langsung dengan proses persidangan dapat
menjaga sikap dan menghormati jalannya persidangan. Selain itu,
dengan kewibawaan seorang hakim, para pihak tersebut dapat
menaruh kepercayaan bahwa persidangan dapat berjalan secara adil
dan tidak ada kecurangan.
4) Hakim harus selalu mengingatkan kepada para pihak yang
berkaitan dengan proses persidangan maupun para pengunjung
sidang bahwa siapapun yang berusaha membuat kerusuhan, akan
diancam dengan penuntutan.
Sedangkan upaya represif apabila aksi contempt of court telah
terjadi dalam suatu proses persidangan, yaitu :
1)
Hakim
menunda
sidang,
karena
dianggap
sudah
tidak
memungkinkan lagi meneruskan jalannya persidangan dalam
keadaan rusuh dan kepala panas.
lx
2)
Hakim melakukan penuntutan yaitu melaporkan aksi contempt of
court terhadap dirinya tersebut kepada pihak berwenang yaitu
kepolisian agar ditindak lanjuti.
3)
Hakim memerintahkan kepada pelaku untuk meninggalkan ruang
sidang. Apabila masih belum dipatuhi maka hakim dapat
memerintahkan pihak keamanan untuk melakukan penertiban.
5. Pembahasan
Membicarakan pranata contempt of court dalam sistem peradilan
Indonesia tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi harus
dilihat dari sistem peradilan itu secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan
peradilan kita merupakan suatu sistem, dimana terdapat keterkaitan yang
absolute antara satu sama lain.
Dalam sejarahnya, contempt of court sebagai pranata hukum
muncul dari negara Common Law yang kebanyakan menganut adversary
system, yaitu sistem hukum dimaan dalam pemeriksaan dipersidangan
hakim lebih bersifat pasif atau dapat diibaratkan hakim hanya sebagai
wasit saja. Sistem ini lebih bertumpu pada kemampuan para pihak dalam
memperjuangkan kepentingan masing-masing. Konsekuensi dari sistem ini
adalah terbatasnya kewenangan hakim dalam ruang persidangan.Untuk
mengimbangi hal inilah, maka negara yang menganut adversary system
contempt of court mengaturnya dalam suatu peraturan perundangundangan, yaitu sebagai dasar hukum yang memberikan kekuatan kepada
hakim untuk menindak seseorang yang telah melakukan penghinaan
kepada sidang (baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung). Gambaran dari pengadilan yang menganut adversary system
yaitu :
1) Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang berperkara.
2) Adanya aturan-aturan yang melindungi Terdakwa selama proses dari
kesewenang-wenangan kekuasaan.
lxi
3) Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan.
4) Adanya praduga tak bersalah.
Sedangkan kebanyakan negara Civil Law termasuk Indonesia
menganut sistem inquisitorial system (non adversary system) dimana
dalam proses peradilan penentuan fakta, kesalahan, hukum dan hukuman
merupakan urusan negara dan pengadilan merupakan pendelegasian
wewenang saja. Sehingga dalam persidangan, hakim adalah pemimpin dan
menjaga tata tertib persidangan. Oleh sebab itu maka segala sesuatu yang
terjadi dalam ruang sidang harus dengan seizin hakim. Kekuasaan hakim
yang besar ini diberikan melalui kitab undang-undang hukum pidananya
(dan acara pidana) tidak dalam suatu undang-undang khusus. Gambaran
dari proses pengadilan non adversary system yaitu :
1) Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control).
2) Secara diam-diam berpraduga bersalah.
3) Dengan hukuman tinggi.
4) Dukungan pada polisi.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa istilah contempt of court di
Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4. Dalam
penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 diisyaratkan perlu dibuat suatu
Undang-undang
yang
mengatur
tentang
ancaman
hukuman
dan
penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat
dan kehormatan pejabat peradilan.
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat
Keputusan Bersama (SKB) No. M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 tentang Tata
Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihan Hukum.
Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 Tahun 1985
lxii
itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu
dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur
contempt of court. Oleh karena itu, sampai saat ini kiranya lebih tepat
untuk memperhatikan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP,
antara lain sebagai berikut :
1) Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
contempt of court
a) Pasal 209 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang
pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.
b) Pasal 210 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang
hakim, penasihat atau adviseur.
c) Pasal 211 : memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan
jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah.
d) Pasal 212 : melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan
tugas yang sah.
e) Pasal 216 : tidak menuruti perintah atau permintaan yang
dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya
mengawasi sesuatu.
f) Pasal 217 : menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan.
g) Pasal 224 : sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban.
h) Pasal 233 : merusak / menghilangkan barang bukti
(www.pemantauperadilan.com)
2) Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
contempt of court, yang dapat dikenakan kepada pers :
a) Pasal 207 : lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan
umum yang ada di Indonesia.
lxiii
b) Pasal 208 : menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan
terhadap suatu penguasa atau badan umum
(www.pemantauperadilan.com).
3) Pasal dalam KUHAP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
contempt of court
a) Pasal 217 : Menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan.
(1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan
memelihara tata tertib di persidangan.
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua
sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan
wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
b) Pasal 218
: Melanggar tata tertib persidangan
(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat
kepada pengadilan.
(2) Siapapun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan
martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat
peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang
bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi
kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
(www.pemantauperadilan.com).
4) Keputusan
Menteri
Kehakiman
Republik
Indonesia
No.
01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan
KUHAP, mengisyaratkan adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan
(www.pemantauperadilan.com).
Dalam keputusan ini dikatakan bahwa KUHAP mengisyaratkan
adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan. Hal ini mencerminkan
asas demokrasi di bidang pengadilan dan tidak dapat dilepaskan dari
lxiv
fungsi pers untuk mengadakan pemberitaan, reportase tentang jalannya
pengadilan.
Pada sidang pengadilan yang terbuka itulah pemeriksaan
dijalankan seobyektif-obyektifnya dan dihadiri oleh khalayak ramai
dengan tertib agar dapat mengikuti atau mengawasi jalannya
pemeriksaan. Dengan demikian sifat terbuka dari suatu proses pidana
tidak terletak pada dapatnya orang keluar masuk ruang sidang
pengadilan, tetapi terletak pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan
dapat dipertanggung jawabkan sedemikian rupa, sehingga “the fair
administration of justice” tidak menjadi terdesak karenanya.
Persidangan terbuka demi keadilan, hak seseorang untuk diadili secara
terbuka, tidak boleh mengakibatkan ia diadili oleh “public”. Oleh
karena itu hakim ketua sidang diwajibkan menjaga agar ketertiban di
sidang pengadilan tidak dilanggar oleh siapapun. Pelaku pelanggaran
tata tertib persidangan yang bersifat tindak pidana dimungkinkan untuk
dilakukan penuntutan terhadap dirinya (Pasal 218 KUHAP)
(www.pemantauperadilan.com).
Jadi contempt of court adalah jenis tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suat proses perkara maupun
tidak terlibat, didalam maupun di luar pengadilan, dilakukan secara
aktif maupun pasif yang ditujukan untuk mempermalukan kewibawaan
dan martabat pengadilan atau merintangi pejabat pengadilan di dalam
menjalankan peradilan.
Penyebab terjadinya aksi contempt of court bukan hanya karena
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum namun juga
karena perilaku hakim sendiri yang terkadang tidak dapat menjaga
martabat dan wibawa dalam memimpin sebuah proses peradilan.
lxv
Perkembangan terbaru saat ini sedang marak dibicarakan
mengenai perlu atau tidaknya sebuah ketentuan perundang-undangan
yang khusus mengatur contempt of court. Sebagian menganggap
bahwa undang-undang contempt of court tersendiri belum perlu dan
tidak mendesak untuk dibuat namun sebaliknya, sebagian kalangan
hakim sudah lama mengusulkan agar dibuat suatu undang-undang
yang memberi perlindungan kepada hakim dan aparat penegak hukum
lainnya dalam menjalankan tugasnya. Di dalam RUU KUHP,
ketentuan mengenai contempt of court terdapat dalam BAB IV di
bawah titel Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan.
D. Hambatan Yang Dihadapi Hakim Pengadilan Negeri Surakarta
dalam Menindak Aksi Contempt Of Court
Maraknya aksi contempt of court di Indonesia akhir-akhir ini,
bukan berarti tidak ada penanganan sama sekali dari pemerintah maupun
aparat penegak hukum. Hakim sebagai tokoh sentral yang memiliki
peranan penting untuk mencegah dan mengatasi aksi contempt of court
sebenarnya juga telah melakukan berbagai tindakan untuk menangani aksi
tersebut. Hanya saja penanganan tersebut terkadang dihadapkan pada
berbagai hambatan. Begitupun yang dialami oleh Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya
mencegah dan mengatasi aksi contempt of court menurut Hakim
Pengadilan Negeri Surakarta antara lain :
a. Tidak adanya koordinasi atau kerjasama yang solid antar aparat
penegak hukum.
Kerjasama merupakan jalan terbaik dalam mengatasi berbagai
masalah. Begitu juga dalam upaya mencegah dan mengatasi aksi
contempt of court ini. Apabila antar lembaga (lembaga penyidik,
penuntut dan pemeriksa perkara) dapat bekerjasama dan saling
membantu tentunya aksi contempt of court dapat dicegah dan diatasi.
lxvi
Namun terkadang salah satu pihak kurang dapat diajak bekerjasama.
Misal seperti yang dialami oleh salah seorang Hakim Pengadilan
Negeri Surakarta, Pragsono, dimana ketika beliau mengalami aksi
contempt of court kemudian melaporkan hal tersebut kepada aparat
penyidik (kepolisian), laporan tersebut seolah hanya berhenti disitu
saja dan tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian. Hal seperti inilah
salah satu penyebab mengapa aksi contempt of court di Indonesia
masih marak terjadi.
b. Keputusasaan Hakim
Karena contempt of court yang terkadang membahayakan diri
hakim ketika dilaporkan oleh hakim yang bersangkutan untuk ditindak
lanjuti ternyata tidak sedikit yang terputus di tengah jalan, misal hanya
sampai pada tahap penyidikan. Hal ini tentunya membuat Hakim putus
asa dan menganggap tidak ada manfaatnya menindak aksi sebuah
contempt of court. Kembali hal ini diungkapkan oleh Pragsono. Karena
sampai saat ia pindah tugas pun contempt of court yang pernah
menimpa dirinya tersebut belum juga selesai proses hukumnya.
c. Ancaman dari pihak-pihak tertentu, dimana ancaman tersebut
menyangkut keselamatan hidup hakim atau keluarganya
Dalam
sebuah
kesempatan
Sugi
Widharto
pernah
mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan mengapa di Indonesia
terjadi aksi contempt of court salah satunya adalah ancaman dari
pihak-pihak tertentu. Walaupun ada juga hakim yang menganggap
bahwa hal ini merupakan salah satu tantangan berprofesi sebagai
hakim namun tidak semua hakim mau untuk mengambil resiko
tersebut dan memilih jalan aman saja.
d. Pelaku aksi contempt of court biasanya bergerombol dan berjumlah
banyak sehingga menyulitkan hakim melakukan penuntutan.
lxvii
Hal ini juga termasuk salah satu hambatan. Karena hakim sulit
menindak aksi contempt of court tersebut ketika dua pihak tidak
berimbang jumlahnya. Inilah salah satu hasil pengamatan dari Dwi
Sudaryono ketika melihat fenomena banyaknya aksi contempt of court
di Indonesia saat ini.
Pembahasan
Tidak mudah untuk menindak sebuah aksi contempt of court. Hal
ini terbukti dari hasil wawancara dengan beberapa hakim Pengadilan
Negeri Surakarta bahwa dalam menindak aksi contempt of court
kenyataannya tidak seperti dalam teori. Ancaman penuntutan sesuai
ketentuan yang ada tidak semudah itu dipraktekkan. Banyak faktor yang
menghalangi atau menghambat hakim dalam menindak aksi tersebut.
Bagaimanapun hakim bukan satu-satunya orang yang harus
dipersalahkan ketika aksi contempt of court semakin marak terjadi. Pihak
keamanan sebagai pelindung dan pengatur ketertiban juga mempunyai
peran besar. Dan memang sudah seharusnya jika antar lembaga penegak
hukum saling bekerjasama untuk menindaknya bukan malah saling
menyalahkan dan mencari pembenaran diri ketika sebuah masalah datang
menghadang. Tidak seharusnya Hakim putus asa dan takut akan ancaman
yang ditujukan pada dirinya. Karena hal itu justru merupakan parameter
seberapa berani hakim menanggung resiko profesinya.
lxviii
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan
perlindungan
hukum
terhadap
martabat
hakim
Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court
dalam proses peradilan
a. Dari berbagai macam definisi yang ada, maka dapat disimpulkan
bahwa contempt of court adalah jenis tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses perkara maupun
tidak terlibat, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan secara
aktif maupun pasif yang ditujukan untuk mempermalukan kewibawaan
dan martabat Pengadilan atau merintangi pejabat pengadilan didalam
menjalankan peradilan.
b. Pranata contempt of court merupakan pranata yang tumbuh dan
berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law dan
sistem peradilan yang dianutnya adalah adversary system. Keberadaan
pranata ini ditujukan untuk melindungi kekuasaan peradilan,
khususnya Hakim dalam menjalankan proses peradilan dari segala
ancaman, gangguan dan hambatan yang akan menghalangi Hakim
dalam menjalankan tugasnya.
c. Penyebab terjadinya aksi contempt of court bukan hanya karena
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum namun juga
karena perilaku hakim sendiri yang terkadang tidak dapat mejaga
martabat an wibawa dalam memimpin sebuah proses peradilan.
d. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi aksi contempt of court yaitu
Hakim harus senantiasa menjaga wibawa dan ketegasannya tanpa
58
lxix
harus mengedepankan emosi sehingga masyarakat pada umumnya dan
orang-orang yang terlibat dalam proses peradilan pada khususnya
dapat menaruh kepercayaan bahwa Hakim dapat memberikan putusan
yang adil, bijaksana dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada. Sedangkan upaya untuk mengatasi aksi contempt of court
yang telah terjadi yaitu Hakim harus tegas menindak pelaku aksi
tersebut melalui sebuah penuntutan sehingga dapat membuat jera
pelaku dan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat lainnya agar
tidak melakukan aksi serupa.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta dalam hal mencegah ataupun menangani aksi contempt of
court antara lain :
a. Kurangnya kerjasama antar aparat penegak hukum sendiri.
b. Keputus asaan Hakim karena jarangnya sebuah aksi contempt of court
yang telah membahayakan dirinya ketika dilaporkan tidak ada tindak
lanjutnya.
c. Ancaman pihak-pihak tertentu yang menyangkut keselamatan diri
hakim.
d. Pelaku aksi contempt of court yang biasanya bergerombol tidak
sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga keamanan sidang.
B. Saran
1. Terhadap semakin maraknya aksi contempt of court di Indonesia akhirakhir ini, hendaknya para hakim lebih tegas untuk menindaknya supaya
lembaga Peradilan Indonesia tetap berwibawa dan dihormati.
2. Perlunya pengawalan dan perhatian yang lebih ketat terhadap proses
persidangan dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat.
3. Perlunya memberikan penyuluhan agar masyarakat lebih memahami
hukum khususnya mekanisme beracara di dalam proses peradilan
lxx
mengingat tidak semua masyarakat Indonesia mempunyai pengetahuan
hukum yang sama baiknya.
4. Tidak perlu menperdebatkan permasalahan perlu atau tidaknya membuat
peraturan khusus mengenai contempt of court karena semua itu kembali
pada mampu atau tidaknya hakim mengimplementasikan peraturan yang
ada dan menjaga wibawanya sehingga sebuah proses peradilan dapat
berjalan tertib dan adil sesuai peraturan perundang-undangan.
lxxi
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Andi
Hamzah dan Bambang Waluyo. 1989. Delik-Delik Terhadap
Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court). Jakarta : Sinar Grafika.
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika.
Darto Hamoko. 2003. Demokrasi Dalam Perjalanan Sejarah (Studi Kasus di
DIY 1945 – Awal Reformasi). Yogyakarta : Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata.
Fitri Ayuningsih. 2007. Studi Tentang Penerapan Syarat Formil dan Materiil
Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum dan Akibat Hukumnya Jika
Dinyatakan oleh Hakim (Studi Kasus Oada Perkara Pidana Korupsi
Pengadaan Helikopter dengan Terdakwa Abdullah Puteh). Skripsi.
Universitas Sebelas Maret.
Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
HB Soetopo. 1998. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surakarta : Sebelas Maret
University Press.
Kansil. 1993. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II
(Pengantar Hukum Indonesia). Jakarta : Balai Pustaka.
Martiman Pradjohamidjojo. 1992. Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang Untuk
Mengadili. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung : Alumni.
Oemar Seno Adji. 1980. Pengadilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga.
______________. 1993. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Sejak Kembali ke
UUD 1945. Jakarta : Sinar Harapan.
Satcipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
lxxii
Subagio Gigih Wijaya. 2007. Pranata Dissenting Opinion sebagai Instrumen
Meningkatkan Tanggung Jawab Individual Hakim Dalam Memutuskan
Perkara Pidana Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Skripsi. Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Tanpa Pengarang. 2007. “Awas … Hakim Terancam!”. Tahun Ke IV Nomor
52.2007. Legal Review. Tahun Ke-IV Nomor 52.
Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali). Jakarta : Sinar Grafika.
Http://www/balispot.com. (15 Juli 2007 Pukul 19.00 WIB)
Http://www.icel.or.id (15 Juli 2007 Pukul 19.15 WIB)
Http://id.wikipedia.org/wiki/reformasi (15 Juli 2007 Pukul 19.20 WIB)
Http://id.wikipedia.org/wiki/reformasi (15 Juli 2007 Pukul 19.30 WIB)
Http://library.USU.ac.id (15 Juli 2007 Pukul 19.45 WIB)
Http://SuaraMerdeka.com (15 Juli 2007 Pukul 20.00 WIB)
Http://www.umy.ac.id (15 Juli 2007 Pukul 20.15 WIB)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.
Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang
Pedoman Perilaku Hakim.
lxxiii
Download