Bab II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU FIQIH A.

advertisement
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU FIQIH
Oleh : Deni Ardi
NIM: 2013920005
Abstrak
Potensi fiqh sebagai wadah interpretasi sumber-sumber hukum Islam dalam
bentuk yang lebih aplikatif bagi kaum Muslim maupun para praktisi hukum, membuat
pemahaman terhadap fiqh sebagai sebuah disiplin keilmuan merupakan sebuah
keharusan yang harus dipelajari. Ilmu fiqih yang berkembang sampai saat ini,
merupakan perkembangan dari ilmu fiqih yang ada pada periode Rasulullah saw,
kemudian dilanjutkan pada periode sahabat, periode Imam Mujtahid, Periode
Kemunduran, dan Periode Kebangunan Kembali, yang masing-masing periode
memiliki perbedaan dalam menggunakan sumber hukum. Periode-periode inilah yang
menghantarkan ilmu fiqih yang kita kenal saat ini.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama saat ini, bukan merupakan hal yang
baru lagi, karna memang perbedaan pendapat dikalangan ulama sudah terjadi pada
Periode Sahabat dan Periode Mujtahidin. Hal ini dikarnakan penggunaan sumber
hukum yang berbeda dalam menetapakan suatu masalah. Adanya perbedaan pendapat
ditandai dengan munculnya mazhab-madzhab dalam aliran ilmu fiqih, diantaranya:
madhab imam Ja’far Shadiq, Madzhab Imam Hanafi, Madzhab Imam Malik,
Madzhab Imam Syafi’I, Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, Madzhab Syi’ah.
-
Kata kunci: Fiqh, Periode, Sumber Hukum, Mazhab.
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam merupakan sebuah system universal yang mencakup seluruh aspek
kehiduan manusia. Dalam islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia,
dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia menjalani kehidupan
yang lebih baik dan manusiawi sesuai dengan kodrat kemanusiaannya, jika hal itu
dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah
system, islam memiliki sumber ajaran yang lengkap yakni al-Qur’an dan al-hadits.
Rasulullah menjamin bagi mereka yang senantiasa berpegang teguh kepada keduanya,
maka tidak akan tersesat baik didunia maupun diakhirat selama-lamanya.
Ketika al-qur’an dan al-hadits difahami dan dijadikan sebagai bahan kajian,
maka muncullah penafsiran, pemahaman, dan dan pemikiran. Jika Al-Qur’an dan AlHadits, difahami dalam bentuk pengetahuan islam, kebenaran dari pemikiran itu bisa
menjadi relative, dan tidak lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan
penafsiran merupakan hasil upaya manusia mendekati kebenaran yang dinyatakan
dalam wahyu Allah SWT, karena produk hasil manusia bisa benar, bisa juga salah.
Bisa dalam waktu tertentu, bisa berubah dalam waktu yang lain.
Maka dari hal ini, ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu diantara ilmu-ilmu
islam yang membahas tentang kajian tersebut, yang didalamnya terdapat perintah
ijtihad guna menentukan persoalan yang tidak terperinci dibahas didalam Al-Qur’an
dan al-Hadits. Memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan melalui pendekatan fiqih,
yang didalamnya mengatur seluruh perilaku manusia dalam beribadah guna
mendekatkan diri kepada Allah, dan mengatur permasalahan yang berkaitan
hubungannya dengan sesama (habluminannas).
2
Bab II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU FIQIH
A. Periode Rasulullah
1. Masa Mekkah dan Madinah
Periode ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi Nabi dan
Rasul sampai wafatnya. Periode ini begitu singkat hanya sekitar 22 tahun dan
beberapa bulan saja. Akan tetapi, walaupun begitu sangat singkat, periode ini sangat
menentukan, pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqih selanjutnya besar sekali.
Masa rasulullah iniliah yang mewariskan sejumlah nash-nash hokum baik dari AlQur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum Islam baik yang
tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan AlSunnah.
Periode Rasulullah saw ini dibagi dua masa yaitu: masa Mekkah dan masa
Madinah. Pada masa Mekkah, Masyarakat diarahkan untuk memperbaiki Aqidah,
karena akidah yang benar inilah yang menjadi fondasi hidup. Oleh karena itu, dapat
kita pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai dakwahnya dengan mengubah
keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid,
membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah, Masa Mekkah
ini dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW menjadi Rasul sampai beliau hijrah
ke Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun lebih. Di
Madinah kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin
yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutuhkan cara pengaturanpengaturan baik dalam hubungan antar individu muslim dalam hubungannya dengan
kelompok lain dilingkungan masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan
Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah disyariatkan hukum yang meliputi keseluruhan
bidang ilmu Fiqih. 1
2. Sumber Hukum Masa Rasulullah
a. Al-Qur’an
kitab suci Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus, berbeda
dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Al-Qur’an turun sesuai dengan
kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya,
memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan
fatwa.2
1
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2012) hal 140-141
2
Muhammad Ali Asaa-is, Tarikh Attasyri al-Islam, (Kairo :Matba’ah Muhammad Ali Shubbi, tt), hal 16
3
b. Al-Sunnah
Sunnah merupakan sumber kedua dalam Islam, yang berdasarkan terhadap
perkataan, perbuatan, dan ketetapan dari Rasul, Al-Sunnah berfungsi menjelaskan
hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti ibadah shalat
dijelaskan cara-caranya dalam Al-Sunnah. Di samping itu juga menjadi penguat bagi
hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadits yang
memberi hokum tertentu, sedangkan prinsip-prinsip telah ditetapkan dalam AlQur’an.
Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan
Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusan dan kebijaksanaannya ketika
menyelesaikan satu kasus atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan
kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi
perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya
perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :
…‫اس‬
ِ ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا ِإلَي َْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َبيِنَ ِللن‬
“ dan kami turunkan kepadmu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. ( An-Nahl: 44)
Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan
penetapan hukum, maka beliau menunggu wahyu dari Allah. Apabila wahyu tidak
turun, maka beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran islam dan
dengan cara bermusyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya
itu salah, serta ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu. Seperti
dalam kasus tawanan perang Badar dan kasus pemberian izin kepada orang yang tidak
turut perang tabuk. Apabila tidak diperingatkan oleh Allah, maka berarti ijtihadnya itu
benar. Dari sisi ini jelas bahwa Hadits-hadits Qath’I yang berkaitan dengan hokum itu
bisa dipastikan adalah penetapan dari Allah juga.3
C. Ijtihad pada masa Rasulullah
Pada zaman Rasululllah pun ternyata ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan
juga dilakukan oleh para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara
Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muadz
bin jabal yang diutus ke Yunani. Hanya saja Ijtihad pada Zaman Rasulullah ini tidak
seluas pada zaman sesudah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang
ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselesaikan oleh
Rasulullah sendiri. Di samping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah
mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam kasus Ijtihad Amar bin Yasir
yang berjunub (hadats besar) yang kemudian berguling-guling dipasir untuk
3
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2012) 143
4
menghilangkan hadats besarnya. Cara ini salah, kemudian Rasulullah menjelaskan
bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum.4
Ijtihad Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihad
memberikan hikmah yang besar karena: ”memberikan contoh bagaimana cara
beristinbat dan memberi latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan
hukum dari dalil-dalil yang kulli, agar para ahli hukum islam (para fuqaha) sesudah
beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahakan masalah-masalah baru
dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur’an dan AlSunnah.
Dari uraian singkat ini jelas bahwa pada zaman Rasulullah sumber hukum itu
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduan-duanya diwariskan kepada generasi
susedahnya, dalam hadits dinyatakan:
ِ َ‫تَرْكت في ُكم أَمري ِن لن ت‬
.5‫كتاب هللا وسنّة رسولِه‬
‫ضلُّوا ما ََت َّس ْكتُ ْم هبما‬
َ
ْ َْ ْ ْ ُ
“ aku tinggalkan padamu semua hal dua, kamu tidak akan sesat apabila
berpedoman kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”
B. Periode Sahabat
Pada masa ini dunia Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya
masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
para periode sahabat ini ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Periode
sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW, sampai akhir abad pertama hijrah.
1. Sumber hukum
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat
Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam
satu mushaf datang dari sahabat Umar bin khatab, atas dasar karena banyak para
sahabat yang hafal AL-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh
Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut,
karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu
Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bi Tsabit
untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dan dihafal
oleh para sahabat. Mushaf ini kemudian disimpan pada Abu Bakar, kemudian setelah
Umar meninggal disimpan pada hafsah binti Umar. Kemudian pada zaman usman bin
Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafsah kemudian menugaskan lagi
kepada Zaid bi Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah
4
5
Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-kitab al-Arabi, 1958), hal 20
Malik bin Anas, Al-Muwattho, (Mesir: Dar Ihya Turos al-Arobiy, 2004), jilid 5, hal 1323, no 3338
5
Islam yaitu ke Madinah, Mekkah, Kuffah, Basrah, dan Damaskus. Mushaf itulah yang
sampai kepada kita sekarang.6
2. Ijtihad Sahabat
Seperti telah dijelaskan bahwa pada masa sahabat ini Islam telah menyebar
luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Negara-negara tersebut telah
memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,
peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya islam dengan kebudayaan di
luar Jazirah Arab ini mendorong pertumbuhan Fiqh Islam pada periode-periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat, seperti misalnya kasus
Usyuur (bea masuk barang-barang impor), tanah-tanah yang luas yang dikuasai
dijadikan tanah Khardj, kasus muallaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khatab.
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nashnya
dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru
berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk ihtihad jama’I.
apabila mereka bersepakat terjadilah ijima sahabat. Keputusan musyawarah ini
kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan
Ijtihad Sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’I dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan Ijtihad Fardi dalam hal-hal yang
bersifat pribadi.7
Di antara tokoh-tokoh fiqh pada periode sahabat ini adalah di Madinah: Abu
Bakar Shiddieq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa Al-Ansyari, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah
Radiyallahu Anha.
Di Mekkah, diantaranya: Abdullah bin Mas’ud kemudian disusul oleh
muridnya seperti Al-Qomah bin Qais bin Abdullah, Masyruk bin Al-Ajda AlHamdani, Al-Qodli Sureh Said bin Zubair, Asya’bi.
Di Mesir, diantaranya Abdullah bin Amr bin Ash, kemudian disusul oleh
murinya Yazid bin Abi Habib dan Alaist bin Sa’ad.
Di Yaman, di antaranya Muadz bin jabal.
C. Periode Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
Periode ini berlangsung selama + 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua
hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah.
6
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2012) hal 146
7
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh allMadzhib Al-Fiqhiyyah, (Kairo: Matba’ah Al-Madani, tt), hal 25
6
1. Sumber Hukum
Ada dua hal yang penting tentang Al-Qur’an pada masa ini yaitu:
Pertama : (adanya kegiatan) menghafal Al-Qur’an dan kedua: memperbaiki
tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal atau baris terhadap Al-Qur’an. Hal ini dirasa
penting sebab orang muslim non Arab bisa salah dalam membaca Al-Qur’an. Maka
Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta kepada Abu Aswad Aduali untuk
member Syakal. Maka Abu Aswad Aduali member syakal di setiap akhir kata, yaitu :
diberi satu titik diatas huruf sebagai tanda fathah, adapun tanda kasrah dengan satu
titik di bawah huruf tanda dhammah dengan satu titik di samping huruf dan tanda
tanwin dengan dua titik. Kemudian Al-Kholil bin Ahmad memperjelas bentuk tandatanda ini yaitu dengan alif di atas huruf sebagai tanda kasrah dan wawu di atas huruf
sebagai tanda dhommah. Di samping itu yang diberi tanda bukan hanya huruf akhir
dari kata, akan tetapi seluruh huruf.
Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqih dan ghairahnya berijtihad
pada periode ini antara lain adalah:
Pertama: wilayah islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok
dan ke Barat sampai ke Andalusia (spanyol sekarang) dengan jumlah rakyat yang
banyak sekali. Sudah tentu negeri yang sangat luas ini membutuhkan pengaturan yang
menjadi pegangan para hakim dan para pemimpin pemerintah, serta fatwa yang
dibutuhkan oleh rakyatnya, untuk perundang-undangan dan fatwa ini tidak ada
sumber lain kecuali syariah. Kondisi yang semacam ini mendorong para ulama untuk
berijtihad agar bisa menerapkan Syariah untuk semua wilayah yang berbeda-beda
lingkungannya dan bermacam-macam masalah yang dihadapinya.
Kedua: para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara
berijtihad yang mereka dapatkan dari periode sebelumnya. Di samping Al-Qur’an
telah dibukukan dan telah tersebar di kalangan muslimin, demikian pula As-Sunnah
sudah mulai dibukukan pada permulaan abad ketiga hijriah.
Ketiga: seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan yang
keras agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan Syariah islam baik dalam
ibadah mahdah maupun dalam ibadah ghairu mahdah (muamalah dalam arti luas).
Mereka meminta fatwa kepada para ulama, demikian pula halnya para hakim dan para
pemimpin pemerintahan. Oleh karena itu, para ulama menjadi sumber yang
dibutuhkan oleh masyarakat dan diperlukan oleh pemimpin masyarakat. Keadaan
yang semacam ini mendorong para ulama berijtihad lebih keras lagi.
Keempat : pada periode ini memang dilahirkan ulama-ulama yang memiliki
potensi untuk menjadi mujtahid. Seperti Imam Abu Hanifah dengan murid-muridnya,
Imam Malik dengan murid-muridnya, Imam al-Syafi’I dengan murid-muridnya, dan
Imam Ahmad Ibnu Hanbal dengan murid-muridnya.8
8
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2012) hal 152
7
2. Yang Diwariskan oleh Periode ini Kepada Periode Selanjutnya
Hal-hal yang terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode
berikutnya antara lain :
1. Al-Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian dibukukan berdasarkan urutan sanad
hadits dan sebagian lain dibukukan bedasarkan bab-bab fiqh. Di samping itu AlQur’an juga telah lengkap dengan syakalnya.
2. fiqih yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Diantaranya Kitab
Dhahir al-Riwayah al-Sittah di karang kalangan mazhab Hanafi. Kitab al-Mudawanah
dalam mazhab Maliki, kitab Al-Umm di kalangan mazhab al-Syafi’I dan lain
sebagainya.
3. Dibukukannya Ilmu ushul Fiqh. Para ulama mujtahid mempunyai warna masingmasing dalam berijtihadnya atas dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang
ditempuhnya. Misalnya, Imam Malik di dalam kitabnya Al-Muwatha’ menunjukan
adanya prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang di gunakan dalam berijtihad. Tetapi
orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip-prinsip ini dengan sistematis dan
memberikan alasan-alasan tertentu adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’I dalam
kitabnya yang termashur Al-Risalah. Oleh karena itu, beliaulah sebagai pencipta Ilmu
Ushul Fiqh.
4. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan
nama Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-Ra’yi. Madrasah Al-Ra’yi umumnya
terdapat di Irak. Penamaan Madrasah Al-Hadits atau Ahlul Hadits tidaklah berarti
mereka tidak menggunakan Ar-Ra’yu. Demikian pula penamaan madrasah Ar-Ra’yu
tidak berarti bahwa mereka tidak mempergunakan Hadits. Penamaan ini disebabkan
karena madrasah Ar-ra’yi atau Ahlul Ra’yi di Irak menitikberatkan tinjauannya
kepada maksud-maksud dan dasar-dasar Syara dalam pengambilan hukum, mereka
berkesimpulan bahwa hukum-hukum syara itu bisa dipahami maksud-maksudnya dan
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, hukum syara
berdasar pada prinsip yang sama dan maksud yang sama, maka tidak mungkin terjadi
pertentangan di antara ketentuan-ketentuan. Atsa dasar konsep inilah mereka
memahami nash yang ada, menguatkan nash atas nash yang lain dan memberikan
hukum terhadap kasus-kasus, kadang-kadang dengan menakwilkan bunyi lahir suatu
nash. Oleh karena itu mereka memperluas daerah ijtihad Bir-Ra’yi. Bahkan sering
memberikan hokum terhadap sesuatu hal yang belum terjadi yang disebut Fiqih
Iftirodi atau Fiqih Takdiri.
Adapun madrasah Al-Hadits di Hijaz, mereka lebih mengarahkan
perhatiannya kepada Hadits dan fatwa sahabat. Mereka melihat kepada kata-kata yang
ada pada Hadits tersebut serta menetapkan terhadap kejadian-kejadian yang timbul
tanpa membahas Ilat dan prinsip-prinsipnya.
Apabila terdapat perbedaan antara ketetapan nash dan akal pikiran, mereka
memegang kepada nash. Oleh karena itu, mereka segan sekali melakukan Ijtihad BirRa’yi kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.9
9
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2012) hal 154
8
Adapun sebab-sebab timbulnya dua aliran ini antara lain adalah :
1. lingkungan di Irak lain dengan Lingkungan di Hijaz. Seperti diketahui di Irak telah
berlaku sistem hukum yang meliputi baik hukum publik maupun hukum sipil. Hal ini
merupakan tantangan yang mengaruskan ulam-ulama Irak lebih keras berijtihad. Di
samping itu masyarakat irak lebih terbuka ketimbang masyarakat hijaz yang
menyebabkan masalah-masalah yang harus diselesaikan lebih banyak terdapat di Irak
dari pada di Hijaz.
2. Hadits-hadits dan fatwa sahabat lebih banyak tersebar di Hijaz ketimbang di Irak.
Dengan demikian ulama-ulama Hijaz telah bisa menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya dengan kembali kepada arti kata dalam Hadits dan fatwa-fatwa sahabat
dengan tidak merasa perlu mencari illat hukum atau mengembalikan masalah kepada
prinsip-prinsip hukum. Sedangkan di Irak disamping Hadits-hadits tidak sebanyak di
Hijaz juga banyak tersebar Hadits-hadits palsu yang menyebabkan ulama-ulama irak
lebih ketat di dalam memberikan persyaratan terhadap Hadits. Mereka hanya mau
menerima Hadits-hadits yang terkenal di kalangan ahli fiqh.
Untuk menghadapi tantangan masa kita, cara beristinbat hukum, seperti yang
ditempuh oleh ahlu Ra’yi ini terutama sekali dalam bidang hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia perlu mendapat perhatian kita dan dipelajari lebih
mendalam lagi.
3. Aliran-aliran dalam Fiqih
A. macam-macam Mazhab
Sejak kira-kira pertengahan abad pertama Hijriah sampai pada awal abad
keempat, tidak kurang dari Sembilan belas aliran hukum sudah tumbuh dalam islam.
Kenyataan ini saja cukuplah sudah menunjukkan betapa ahli-ahli hokum kita dahulu
tak putus-putusnya bekerja untuk disejalankan dengan kebutuhan-kebutuhan
peradaban yang terus tumbuh.10
Pada masa sekarang ini tidak kurang dari enam aliran fiqh yang besar dan
banyak dianut di dunia Islam, yaitu mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, mazhab Syafi’I,
Mazhab Syi’ah, dan mazhab Dhahiri.
Adanya aliran-aliran dalam fiqh ini karena adanya perbedaan di sekitar metode
berijtihad yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan pendapat ini
terbentuklah kelompok-kelompok fiqh yang pada mulanya terdiri murid-murid para
Imam Mujtahid. Kelompok-kelompok ini berkembang dan tersebar. Selain itu,
kelompok-kelompok ini pun mempertahankan pendapat Imamnya, kemudian akhirnya
tebentuklah mazhab-mazhab seperti yang kita lihat sekarang.
Sebenarnya para Imam Mujtahid sendiri tidaklah menganjurkan untuk
mengikuti mereka. Yang dianjurkan oleh para Imam Mazhab justru kembali kepada
10
Muhammad iqbal, The Reconstruction of Religious thought in islam. Terjemahan Ali Audah dengan
judul, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam,( Jakarta: Tintamas,1996) hal 160
9
dalil-dalil dalam berijtihad, meskipun dengan cara itu ada kemungkinan hokum yang
dihasilkan berbeda dengan pendapat mereka. Dengan kata lain para imam mujtahid
mendorong untuk berijtihad. Hal ini dibuktikan oleh ucapan imam mazhab itu sendiri.
Misalnya : Imam Abu Hanifah berkata tentang hasil ijtihadnya : “Inilah hasil
Ijtihadku, tetapi barang siapa yang mempunyai pendapat yang lebih baik dari hasil
ijtihadku ini, maka itulah yang harus dipegang”. Imam Syafi’I juga berkata:” Apabila
hadits itu shohih itulah pendapatku”. Maksudnya Imam Syafi’I akan selalu berpegang
kepada Hadits yang shahih.
Dalam hubungan ini pegangan para imam mazhab dalam berijtihad seperti: a)
Imam Abu Hanifah berpegang kepada Al-Qur’an, Assunah, dan pendapat sahabat.
Kemudian dalam ijtiihadnya beliau menggunakan Qiyas, Al-Istihsan, ijma Sahabat,
Dan Urf. b) Imam Maliki berpegang kepada Al-Qur’an, Assunah, Amal Ahli
Madinah, Fatwa Sahabat, Al-Qiyas, Maslahah al-Mursalah, dan Adzari’ah. c) Imam
Syafi’I berpegang kepada Al-Qur’an, Assunah, Ijma, Qiyas, dan Istidlal. d) Imam
Ahmad bin Hanbal berpegang kepada Al-Qur’an, Assunan, Fatwa Sahabat, Qiyas, dan
Addzari’a. e) mazhab Dhahiri berpegang kepada Al-Qur’an, Assunnah, pendapat
sahabat dan Istishab. f) Madzhab Syiah berpegang pada Al-Qur’an, Assunah, Qiyas,
Istihsan al-marsalah al-Mursalah, dan al-aqal (apa yang menurut akal baik) ini
digunakan apabila tidak ada jalan lain (Syiah Zaidiyah. Adapaun Syiah Ja’fariyah
menggunakan Al-Qur’an, Assunah, ijma , Al-maslah al-Mursalah, aqal.11
B. Riwayat Singkat Imam mazhab
- Imam Ja’far (80-148H/699-765M)
Ja’far Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-baqir bin Ali Zainal
Abidin bin husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahra binti Rasululllah
Muhamammad SAW. Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriah (699M). ibunya
bernama ummu Farwah binti Al-Qasin bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq.
Pada beliaulah terdapat perpaduan dara Nabi SAW dengan Abu Bakar As-Siddiq ra.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya yang bernama Muhammad Al-Baqir
disekolah kepunyaan ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar
Islam. Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu,
seperti ilmu Filsafat, Tasauf, Fiqih, Kimia dan Ilmu Kedokteran. Beliau adalah imam
yang keenam dari dua belas Imam dalam mazhab Syiah Imamiyah. Dikalangan kaum
sufi beliau adalah guru dan Syaikh yang besar dan di kalangan ahli kimia beliau
dianggap sebagai pelopor ilmu kimia. Di antaranya beliau menjadi guru Jabir bin
Hayyan yang terkenal dengan seorang ahli kimia dan kedokteran islam. Dalam
mazhab Syiah, fiqih ja’fariahlah sebagai fiqih mereka, karena sebelum Ja’far AshShadiq dan pada masanya tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan pendapat
baru muncul setelah masa beliau.
Ahli Sunnah berpendapat bahwa Ja’far Ash-Shadiq adalah seorang mujtahid
dalam ilmu fiqih, yang mana beliau sudah mencapai ketingkat Ladunni, beliau
dianggap sebagai sufi ahli sunnah di kalangan Syaikh-syaikh mereka yang besar, serta
padanyalah tempat puncak pengetahuan dan darah Nabi SAW yang suci.
11
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-madzahib al-Fiqhiyah,( Mathba’ah al-madani, tt) hal 86
10
-
Imam Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi adalah Abu Hanifah An-Nukman
bin Tsabit bin Zufi At-tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan
kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa
bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian
dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.
Dilahirkan di Kufah pada tahun 150H/699M, pada masa pemerintahan AlQalid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan
tumubh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan
menghafal Al-Qur’an. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang- ulang bacaannya,
sehingga ayat-ayat suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya sekaligus
menjadikan beliau mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal
memperdalam pengetahuannya tentang Al-Qur’an beliau sempat berguru kepada
Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu.
Selain memperdalam Al-Qur’an, beliau juga aktif mempelajari Ilmu fiqih.
Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah
bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga
mendalami Ilmu hadis.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedangan. Beliau sendiri
sempat terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau
memusatkan perhatian pada soal-soal keilmuan.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu.
Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqih kepada ulama yang paling terpandang
pada masa itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya.
Setelah wafat gurunya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis
ilmu di Kufah.
Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130H. Imam Abu
Hanifah pergi meninggalkan Kufah menuju Makkah. Beliau tinggal beberapa tahun
lamanya di sana dan tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid
Abdullah bin Abbas ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat
dalam ilmunya, ahli Zuhud, sangat Tawadhu, dan sangat teguh memegang ajaran
agama. Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau
pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadli) yang ditawarkan oleh Al-Mansur.
Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir
hayatnya.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150H/ 767M, pada usia 70 tahun. Beliau
dimakamkan di perkuburan Khizra. Pada tahun 450H/1066M, didirikanlah sebuah
sekolah yang diberi nama Jami’ Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya
yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah Abu Yusuf,
Abdullah bin Mubarak, Waki’ bin Jarah ibn Hasan Al-Syaibani dan lain-lain. Sedang
diantara kitab-kitab Imam Abu Hanifah adalah: Al-Musuan (kitab hadis, dikumpulkan
oleh murid-muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu
Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akhbar (kitab fiqih yang lengkap).
11
-
Imam Malik bin Anas (93-179H/711-795M)
Imam Malik bin Anas, beliau pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah,
pada tahun 93 H. Beliau berasal dari kabilah Yamaniah, sejak kecil beliau telah rajin
menghadiri majlis-majlis Ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil itu pula beliau telah
hafal Al-Qur’an. Tak Kurang dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imam
Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal
pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab,
disamping juga mempelajari Ilmu Fiqih dari para sahabat.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai seorang
ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang ilmu hadis dan fiqih. Bukti atas hal itu,
adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata :” Malik adalah orang yang paling ahli
dalam bidang Hadis di Madinah, yang paling mengetahui tentang keputusankeputusan Umar, yang paling mengerti tentang pendapat-pendapat Abdullah bin
Umar, Aisyah ra, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar itulah dia memberi fatwa.
Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan memberi fatwa”.
Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik
mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.
Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau
tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, dan
bermusyawarah dengan ulam lain.
Imam Malik adalah seorang ulama terkemuka, terutama dalam ilmu fiqih dan
hadits, beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut.
Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwatha yang merupakan kitab Hadits
dan fiqh.
Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun, namun demikian mazhab
Maliki tersebar luas dan dianut dibanyak bagian di seluruh penjuru dunia.12
Imam Syafi’i (150-204H/767-822M)
Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin
Sa’ib bin Abid bin Abu yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin
Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw pada
Abdi Manaf bin Qusayyi.
Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Orang – orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiah
melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Thalib dan Imam Syafi’i.
Imam Syafi’I dilahirkan pada Tahun 150H. bertepatan dengan dimana Imam
Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di Desa Ghazzah, Asqalan. Ketika
usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian
besar penduduknya berasal dari Yaman, Ibuya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu
keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh
-
12
Muhammad Jawab Mughniyyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, (Beirut: daru jawad, tt),
diterjemahkan oleh Masykur A.B dkk, Fiqh Lima Mazhab ( Jakarta: Lentera, 2002), hal xxviii
12
tahun, ibunya mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan
nasabnya.
Imam Syafi’I sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan
ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya
terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan
sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi’I kecil dengan ketajaman akal pikiran
yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya.
Setiap kali gurunya beridiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi’I kecil
mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak
yang lain, sehingga dari apa yang dilakukan Syafi’I kecil ini mendapatkan upah.
Sesudah usianya menginjak ketujuh Syafi’I telah berhasil menghafal Al-Qur’an
dengan baik.
Imam Syafi’I bercerita:” saat kami menghatamkan Al-Qur’an dan memasuki
masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa
hadits dan beberapa masalah fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah.
Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk
membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami
gunakan untuk menulis.”
Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan bacaan
Al-Qur’an kepada orang-orang yang berada di Masjidil Haram, dia memiliki suara
yang sangat merdu.
Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat Bahr
bin Anas, bahwa dia berkata: “jika kami ingin menangis, kami mengatakan
kepada sesame teman” Pergilah kepada Syafi’I” jika kami telah sampai
dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca Al-Qur’an sehingga manusia
yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya
menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya,
sedemikian tinggi dia memahami Al-Qur’an sehingga sangat berkesan bagi para
pendengarnya.
Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga
mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum’at sesudah shalat Maghrib,
yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau dimakamkan pada hari jum’at pada
tahun 204 H. bertepatan dengan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota
Kairo, dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang
bernama Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i banyak memiliki Guru di dalam memperdalam ilmunya,
diantaranya: Muslim bin Khalid Al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun
180 H yang bertepatan dengan 796 M. dia adalah maula Bani Makhzum. Sufyan
bin Uyainah Al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang
terkenal kejujurannya dan keadilannya. Ibrahim bin Yahya, salah satu Ulama di
Madinah. Malik bin Anas, pengarang kitab Al-Muwatha. Waki bin Jarrah bin
Malih Al-Kufi. Hammad bin Usamah Al-Hisyami Al-Kufi. Abdul Wahab in
Abdul Majid Al-Bashri.
13
Adapun Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Syafi’I, diantaranya: Al-Risalah
Al-Qadimah, Al-Risalah Al-Jadidah, Ikhtilaf Al-Hadits, Ibthal Al-Istihsan, Ahkam
Al-Qur’an, Bayadh Al-fardh. Sifat Al-Amr wa Al-Nahyi, Ikhtilaf Al-Iraqiyin,
Ikhtilaf Muhammad bin Husain, Fadha’il Al-Quraisyi, Kitab Al-Umm, Kitab AlSunan.13
-
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
Imam Ahmad ibn Hanbali dilahirkan pada bulan Rabiul Awwal tahun 164 H,
di Baghdad, bapak dan ibunya berasal dari kabilah Asya-bani bagian dari Kabilah
di Arab.
Sejak kecil sudah tampak minatnya kepada Agama, beliau menghafal AlQur’an, mendalami bahasa Arab, belajar Hadits, Atsar sahabat dan tabi’in serta
sejarah Nabi, dan para sahabat. Beliau belajar fiqh dari Abu Yusuf muridnya Abu
Hanifah dari Imam Al-Syafi’I, tetapi perhatiannya kepada Hadits ternyata lebih
besar. Beliau belajar hadits di Baghdad, Basrah, Kuffah, Mekkah, Madinah, dan
Yaman. Beliau selalu menuliskan Hadits dengan perawi-perawinya dan cara ini
pun diharuskannya kepada murid-muridnya.
Imam Ahmad memiliki daya ingat yang kuat dan ini adalah kemampuan yang
terdapat pada ahli-ahli hadits, beliau juga sangat sabar dan ulet, memiliki
keinginan yang kuat dan teguh dalam pendirian. Di samping itu seperti imamimam yang lain, beliau adalah orang yang sangat ikhlas dalam perbuatannya.
Imam Ahmad yang menentang pendapat Muktazilah,pernah dijatuhi hukuman
dan dipenjara oleh Khalifah Al-Ma’mun yang menganut paham Mu’tazilah.
Ketika Khalifah Al-Ma’mun wafat, imam Ahmad masih tetap dalam penjara di
masa Mu’tashim Billah. Sesudah keluar dari penjara, beliau sakit-sakitan dan
akhirnya wafat pada tahun 241 H.
Seperti dijelaskan di atas bahwa Imam Ahmad perhatiannya lebih banyak
dicurahkan kepada Hadits daripada Fiqh. Ini berarti tidaklah berarti beliau tidak
memakan fiqh, bahkan Imam Ahmad memiliki warna tersendiri dalam cara
berijtihad. Misalnya saja sesudah Al-Qur’an dan Assunah beliau sangat kuat
memegang Qaul Sahabat. Disamping itu juga Imam Ahmad terkenal sekali sebagi
ulama yang tidak percaya adanya Ijma, dnegan ucapannya yang terkenal :” Siapa
yang menyatakan terdapat Ijma maka ia adalah pendusta”. Menurut Dr. Abu
Zahrah Ijma yang ditentang oleh Imam Ahmad adalah Ijma sesudah masa
Sahabat. Adapun Ijma pada masa sahabat diakui keberadaanya.
Imam Ahmad tidak menulis kitab-kitabnya sendiri, meskipun beliau
mempunyai banyak catatan tentang Hadits. Kitab Musnad Ahmad dalam Hadits
disusun dan dikumpukan oleh putranya yang bernama Abdullah. Bahkan untuk
masalah fiqih, Imam Ahmad tidak mencatatnya. Fiqih Imam Ahmad kemudian
ditulis oleh murid-muridnya. Diantara murid-muridnya adalah Abdullah bin
13
Imam Syafi’I, Mukhtashar Kitab Al-Umm fii al-fiqh, diterjemahkan oleh Abu Vida Anshori , Ringkasan
Al-Umm, (Kudus: Menara Kudus, 2007), hal xx
14
Ahmad, Abu Bakar Al-Asdom, Abdul Malik, al-Malmuny, Ibrahim bin Ishak, AlHasbi , dan lain-lain.
Yang mengembangkan Mazhab Hanbali yang terkenal serta pengaruhnya
terasa didunia Islam sekarang adalah Ibn Taimiyah (661H) yang lahir + 450 tahun
setelah Imam Ahmad meninggal Murid Ibn Taimiyah adalah Ibn Qoyyim. 14
D. Periode Kemunduran
Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriah sampai + akhir
abad ketiga belas Hijriah yaitu waktu pemerintah Turki Usmani memakai kitab
undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang
tersebut materi-materi fiqh disusun dengan sistematis dalam satu kitan UndangUndang hukum perdata.
1. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran
Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran dibidang politik, pemikiran,
mental, dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam fiqih :
1) Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi
beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling
berebut kekuasaan, saling memfitnah, berperang sasama muslim yang
mengakibatkan ketidak amanan dan ketidak tentraman masyarakat muslim.
Kondisi uang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh.
2) Dengan dianutnya pendapat mazhab tanpa pikiran yang kritis serta
dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak
mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup
mengikuti mazhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya
tanpa mengembalikan kepada sumber pokok al-qur’an dan Al-Sunnah. Hal ini
diperkuat lagi oleh penetapan satu mazhab tertentu bagi suatu wilayah
kekuasaan tertentu. Misalnya pemerintahan Turki termasuk para Hakim-nya
menganut dan membatu mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat
mengokohkan madzhab Maliki dan disebelah timur Madzhab Al-Syafi’i.
3) Dengan banyaknya kitab-kitab fiqih, para ulama dengan mudah bisa
menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal
ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan
tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa
memerhatikan kembali Al-Qur’an dan Sunnah, membawa akibat kehilangan
kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak
menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang
mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah
kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
14
Abu Zahrah: Ushul Fiqh, (Mesir:Dar al-Fikri al-Arabi,1973), hal 359-360
15
4) Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di Barat tahun
1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam di
Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung kebudayaan Islam baik
di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran masyarakat
Islama masa itu. Ulama-ulama di bagian Timur berusaha mencoba untuk
menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad
untuk menyeragamkan kehidupan social bagi semua rakyat, dengan demikian
diharapkan timbulnya ketertiban social. Rupanya usaha ini tidak banyak
menolong, karena nasib sesuatu masyarakat tidak hanya tergantung kepada
keseragaman kehidupan social tetapi juga kepada hasil kekuatan dan
kreativitas perorangan.
2. Klasifikasi Mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini masih sekitar hasil Ijtihad para imam-imam
Mujtahid yang sebelumnya. Misalnya membuat ikhtisar-ikhtisar yang disebut
Matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan-penjelasan yang disebut Syarah dan
syarah-syarah ini diberi penjelasan-penjelasan lagi yang disebut Hasyiah. Kadangkadang juga mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dalam satu madzhab
tertentu kemudian memisah-misahkannya antara pendapat yang kuat dari pendapat
yang kurang kuat. Hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang
memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya selalu
mengikatkan diri dengan madzhab yang ada. Atas dasar ini kemudian timbul
istilah-istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al-Madzhab, dan lain-lain
seperti penjelasan dibawah ini:
1) Mujtahid Mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi Syar’I yaitu mujtahid
yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbat hokum, mereka
inilah imam-imam madzhab, seperti Abu Hanifah, Maliki, Al-Syafi’I, dan
Ahmad ibn Hanbal.
2) Mujtahid Muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti pendapat Imam
Mazhab dalam usul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya
(hokum Furunya) ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat
Imam Mazhab. Seperti Al-Muzani dalam mazhab al-Syafi’i.
3) Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti Imam mazhab baik
dalam usul maupun Furu hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi, hanya
memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam
mazhab, seperti al-Ghozali dalam mazhab al-Syafi’i.
4) Mujtahid fi al-Masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad
dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka, dengan
menggunakan metode imam-imam mereka, seperti al-Karbi di kalangan
mazhab Hanafi dan Ibn Arabi di kalangan mazhab Maliki.
5) Ahlu Takhrij, yaitu fuqaha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan
memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam
mazhabnya, seperti al-jashosh dalam mazhab Maliki.
6) Ahli Tarjih, yaitu Fuqaha yang kegiatannya hany menarjih atau menguatkan
pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya.
16
Di samping itu bisa juga ditinjau dari sisi lain yaitu:
1) Mujtahid yang mempunyai kemampuan dalam membentuk hukum dengan
metodenya yang mandiri.
2) Mujtahid yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam batas-batas metode
itjtihad Imam Mazhabnya.
3) Mujtahid yang hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh
imam mazhabnya.
E .Periode Kebangunan Kembali
1. Tanda-tanda Kemajuan
a. Di Bidang perundang-undangan
Periode Ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-ahkam al-Adliyah
yaitu kitab undang-undang Hukum perdata islam pemerintah Turki Usmani
pada tahun 1292 H atau Tahun 1876 M. Baik bentuk maupun isi dari Kitab
undang-undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fikih dari satu
madzhab tertentu. Bentuk dan isi madzhab tertentu saja . meskipun warna
Hanafi sangat kuat.
Di Mesir dengan keluarnya undang-undang No.25 tahun 1920 M., dalam
sebagian pasal-pasalnya dalam hokum keluarga tidak menganut madzhab
Hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari madzhab al-arba’ah. Kemudian
dalam undang undang no.25 tahun 1929 M. juga tentang hokum keluarga maju
selangkah yaitu tidak hanya mengambil dari madzhahib al-arb’ah, tetapi juga
dari madzhab yang lain . Pada tahun 1936 M, undang-undang hukum keluarga
di mesir tidak mengikat diri secara ketat dengan madzhab ,tetapi juga
mengambil pendapat ulama lain yang sesuai dengan kemaslahatan manusia
dan perkembangan masyarakat. Contoh lain tentang al-washiyah al-wajibah di
mesir tahun 1946, di Syiria tahun 1953, di Tunis tahun 1957, di Maroko tahun
1958 di Indonesia dengan UU No.1 tahun 1974 tidak melalui tahap – tahap
seperti di mesir ,tetapi tampaknya langsung mengambil pendapat-pendapat
yang maslahat untuk di terapkan di Indonesia. demikian pula halnya dengan
PP No.28 tahun 1977 dan pengaturan zakat di beberapa provinsi .
b. Di bidang pendidikan
Di perguruan-perguruan tinggi agama Mesir, Pakistan maupun Indonesia
dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya di pelajari satu madzhab yang lain
secara moqoronah atau perbandingan , bahkan juga dipelajari system hokum
romawi dengan demikian di harapkan wawasan berpikir hukum di kalangan
mahasiswa Islam menjadi lebih mendekatkan hokum islam dengan hukum
yang selama ini berlaku , bukan hanya di bidang hukum keluarga tapi juga di
berbagai bidang hukum lainnya. Pendekatan semacam ini akan lebih intensif
lagi apabila di fakultas –fakultas hukum di ajarkan hukum islam, sehingga
17
terjadi perpaduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat
khususnya di Indonesia.
Sekitar tahun 1966 di Indonesia di perkenalkan pula mata kuliah fiqh
siyasah pada fakultas syariah
yang banyak berorientasi kepada
kemaslahatan dalam penerapan hukum, serta menekankan prinsip-prinsip
hukum dan semangat ajaran dalam fiqh islam. aturan yang berlaku yang
tidak bertentangan atau bahkan sesuai dengan ajaran islam. Pengetahuan
semacam ini akan memperlancar perpaduan hukum seperti dimaksud di atas.
Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan di sini ialah mempelajari
ushul fiqh haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk
memungkinkan ilmu fiqh berkembang lebih terarah , sebab ushul fiqh itulah
cara pemikiran hukum dalam islam.
C. Di Bidang penulisan buku-buku dalam bahasa Indonesia dan
penerjemahan.
Seperti kita ketahui ajaran islam pada umumnya dan fiqh pada
khususnya tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa arab. Sudah
tentu ilmu-ilmu dalam bahasa arab itu hanya sedikit orang-orang Indonesia
yang mampu membaca dan memahaminya tetapi sekarang tampak satu
kegiatan penulisan tentang ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia.
baik yang sudah dicetak dan tersebar luas di masyarakat maupun yang
masih berupa diktat-diktat yang stensilan. demikian pula halnya dengan
penerjemahan menampakan kegiatan yang meningkat meskipun masih
sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kitab-kitab yang baik untuk
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk jadi
seorang ahli dalam bidang fiqh tetap harus kembali membaca dan meneliti
kitab-kitab fiqh aslinya dalam bahasa arab. Bagaimanapun juga kitab kitab
(buku) ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia serta terjemahannya
sangat bermanfaat untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran dalam
bidang fiqh kepada kalangan yang lebih luas .
Pemikiran kembali tentang fiqh sedang tumbuh dan tampaknya
pemikiran-pemikiran itu seperti alur ijtihadnya Umar, Abdullah bin
Mas’ud, dan Abu Hanifah. Yaitu berpegang teguh kepada dalil-dalil kulli,
prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran, sedang yang selebihnya bisa
mengambil dari fiqih atau dengan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi. Altetnatif ini rupanya yang terbaik dalam menghadapi
masalah-masalah yang bukan saja ruang lingkupnya sangat luas, tetapi juga
sangat rumit dan tidak realistis apabila hanya dihadapi dengan materi fiqh
yang ada, tetapi juga tidaklah Islami apabila melemparkan Fiqh secara
keseluruhan.
18
2. Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syari’ah Islam
Pada bulan Agustus 1932 berlangsung Konferensi Perbandingan Hukum
Internasional (Comperative International Law Conference) di Den Haag,
Negeri Belanda. Dalam konferensi itu Prof Dr Ali Badawi berbicara tentang
“Hubungan antara dan Hukum, sebagai jalan untuk sam[ai kepada
pembicaraan tentang Syari’ah Islam. Akhirnya konferensi memutuskan agar
dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusus bagi Syari’ah Islam
sebagai salah satu sumber dalam perbandingan hukum.
Pada bulan Agustus 1937, diadakan lagi sidang yang berbicara tentang
Syari’ah Islam waktu itu adalah Mahmud Syaltut dengan judul
“Pertanggungjawaban Pidanma dan Perdata dala Islam, serta prof. Dr.
Abdurrahman Tag dengan judul: Sistem Hukum Romawi dan Sistem Hukum
Islam.
Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain:
1) Hukum Islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan
umum.
2) Hukum Islam berdiri sendiri, tidak mengambil dari Hukum
Romawi.
3) Hukum Islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.
Pada bulan juli di Den Hag diadakan pula Konferensi pengacarapengacara Internasional yang dihadiri oleh 53 negara. Keputusan yang
terpenting tentang Hukum Islam adalah: mengingat adanya fleksibilitas di
dalam Huukum Islam dan kedudukannya yang sangat pentig, maka persatuan
Pengacara Internasional harus mengambil Hukum Islam bahan
perbandingan.15
15
Ali Mansur, Al-Syari’ah Al-islamiyah Wa Al-Qonun al-Dauli Al-Am, alih bahasa: Muhammad Zaen
hasan dengan judul: Syariah Islam dan Hukum Internasional Umum, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal
17-20
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa Uraian yang sudah penulis tulis pada makalah ini, maka penulis
dapat simpulkan bahwa” Semakin banyaknya perbedaan pendapat di kalangan
ulama, menandakan semakin bertambah majunya Ilmu pengetahuan”. Hal ini
ditandai dengan banyaknya karya-karya ulama yang dapat ditemui lewat sebuah
tulisannya yang telah dibukukan yang mudah untuk didapatkan.
Hal lain yang mendukung pernyataan penulis tadi ialah dengan melihat
perkembangan ilmu fiqih yang sudah penulis uraiakan sebelumnya yang dimulai pada
Periode Rasulullah SAW, Periode Rasulullah SAW ini dibagi dua masa yaitu: masa
Mekkah dan masa Madinah. Pada masa Mekkah diarahkan untuk menjadi fondasi
dalam hidup. Sedangkan di Madinah mulai disyariatkannya hukum yang meliputi
keseluruhan bidang ilmu fiqh. Adapun sumber Hukum pada Masa Rasulullah ialah
Al-Qur’an, As-sunah dan Ijtihad Rasulullah SAW.
Pada periode Sahabat, dimulai ketika Rasulullah SAW wafat sampai akhir
abad pertama hijrah. Adapun sumber hukum yang digunakan pada masa Sahabat,
disamping Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga menggunakan Ijtihad Sahabat. Ijtihad ini
terbagi kedalam Ijtihad Ijma’I dan Ijtihad Fardi.
Pada Periode Imam Mujtahid, sudah mulai dibukukannya As-Sunnah, Fiqih
yang dilengkapi dengan dalil dan Hujjah, ilmu Ushul Fiqh. Pada periode ini pula
munculnya dua Aliran yang terkenal dengan nama Madrasah Al-Hadits di Hijaz dan
Madrasah Ar-Ra’yi di Irak.
B. Daftar Pustaka





Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Mesir:Dar al-Fikri al-Arabi,1973)
Ali Mansur, Al-Syari’ah Al-islamiyah Wa Al-Qonun al-Dauli Al-Am, alih
bahasa: Muhammad Zaen hasan dengan judul: Syariah Islam dan Hukum
Internasional Umum, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
H.A. Djazuli, ilmu fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012)
Imam Syafi’I, Mukhtashar Kitab Al-Umm fii al-fiqh, diterjemahkan oleh Abu
Vida Anshori , Ringkasan Al-Umm, (Kudus: Menara Kudus, 2007).
Muhammad Ali Asaa-is, Tarikh Attasyri al-Islam, (Kairo: Matba’ah
Muhammad Ali Shubbi, tt)
20



Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-kitab alArabi, 1958)
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh allMadzhib Al-Fiqhiyyah, (Kairo: Matba’ah
Al-Madani, tt)
Muhammad Jawab Mughniyyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah,
(Beirut: darul jawad, tt), diterjemahkan oleh Masykur A.B dkk, Fiqh Lima
Mazhab ( Jakarta: Lentera, 2002)
21
Download