TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERNIKAHAN USIA

advertisement
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERNIKAHAN USIA REMAJA
(Fenomena Tingginya Angka Pernikahan Remaja di Masyarakat)
Oleh : Ismail Azwardi 1
1
Staff Kepaniteraan pada Pengadilan Agama Sanggau
A. Pendahuluan
Artinya : “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-Dzariat : 49)
Sebagai makhluk yang diciptakan dengan berpasang-pasangan, manusia
memerlukan pendamping hidup sesuai dengan fitrah penciptaannya. Selain itu,
manusia juga perlu meneruskan keturunannya, pasangan dan keturunan
merupakan
“qurrata
a‟yun”
dan
kebanggan
dalam
kehidupan
sosial
bermasyarakat.
Pernikahan merupakan salah satu dari sekian banyak anjuran agama, setiap
individu yang akan mengambil keputusan untuk menikah harus memiliki “niat”
bahwa pernihakan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk beribadah.
Pernikahan selain merupakan ibadah merupakan kebutuhan dasar manusia, saat
pernikahan dilihat dari perspektif kebutuhan maka pernikahan akan memiliki
variabel yang begitu komplek, sehingga dalam mengambil keputusan untuk
menikah harus memiliki “kesiapan” dari segala aspek. Bentuk kesiapan pra nikah
yang harus dimiliki antara lain kematangan spiritual dan kematangan emosi,
karena menikah merupakan ibadah dan merupakan “perjanjian suci”, sehingga
kematangan spiritual menjadi instrument penting dalam rangka menuju rumah
tangga sakinah. Selain bermuatan ibadah, pernikahan merupakan perpaduan dua
karakter yang memiliki latar belakang, sosial pendidikan dan berbagai macam
perbedaan, potensi masalah akan timbul ketika perbedaan tidak disikapi dengan
kematangan emosi. Sehingga dua hal penting yang harus disiapkan pra nikah
adalah kematangan spiritual dan kematangan emosi setiap individu.
Kedewasaan sering diidentikkan dengan kematangan emosi, namun
kedewasaan tidak dapat diukur dengan umur atau usia belaka, karena dewasa
bukan berarti tua, tetapi kedewasaan merupakan cara pandang dan pola pikir
terhadap “keragaman” yang mungkin muncul dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Pernikahan pada umumnya dilakukan individu yang telah dewasa dengan
tidak melihat pada status sosial, latar belakang pendidikan, suku bangsa dan
agama. Namun banyak juga ditemui di masyarakat sebagian orang yang sudah
dianggap dewasa (berumur) dan mapan tetapi enggan untuk menikah dikarenakan
berbagai alasan.
Dewasa dan enggan menikah merupakan fenomena tersendiri, tapi melihat
fenomena yang menarik di masyarakat yaitu pernikahan yang dilakukan oleh
remaja (menikah di usia remaja). Padahal batas minimal usia pernikahan sudah
diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam, hal ini membuktikan bahwa usia merupakan salah satu unsur yang
penting dalam sebuah pernikahan.
Keberhasilan sebuah pernikahan ditandai dengan kemampuan untuk saling
memikul tanggung jawab, serta mampu memberikan hak dan kewajiban antara
pasangan. Setiap orang yang mengambil keputusan untuk menikah harus mampu
menanggung segala tanggung jawab yang timbul akibat pernikahan tersebut.
Merujuk kepada besarnya tanggung jawab yang akan dipikul, pernikahan di usia
remaja sangat rentan terhadap “kelalaian” memikul tanggung jawab yang
menyertai pernikaiah dan pada akhirnya berakhir pada perceraian. Hal ini tidak
lain karena masih sangat lemah secara emosi dan finansial sehingga tanggung
jawab dalam keluarga tidak dapat ditunaikan secara maksimal.
Berdasarkan dari fenomena tentang pernikahan di usia remaja yang banyak
terjadi di masyarakat, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah “tinjauan
sederhana” dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pernikahan Remaja
(Fenomena Tingginya Angka Pernikahan Remaja di Masyarakat)”
B. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan pendahuluan yang penulis kemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:

Hukum pernikahan yang dilakukan saat masih berusia remaja atau di bawah
umur ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-undangan.
C. Pembahasan
1. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Perspektif Hukum Islam
Permasalahan seputar pernikahan usia remaja merupakan salah satu isu
yang marak terjadi di masyarakat, hal ini tidak hanya terjadi di lapisan
masyarakat bawah, tapi juga terjadi pada public figure. Mungkin kita masih
ingat dengan kasus Aceng Fikri (Bupati Garut) yang menikahi gadis di bawah
umur, yang pada akhirnya dilengserkan dari kursi Bupati Garut. Begitu juga
halnya dengan kasus Syech Puji yang menikahi gadis di bawah umur.
Fenomena tentang pernikahan usia remaja akan terus marak terjadi, karena
adanya disparitas pemahaman antara fiqh klasik dan peraturan PerundangUndangan yang ada di Indonesia tentang batas usia pernikahan.
Dalam memecahkan status batas umur menikah harus menggunakan
pendekatan kontekstual ayat, karena kalau merujuk kepada tekstual ayat, kita
tidak akan menemukan ketentuan yang jelas tentang batasan umur dalam
melangsungkan pernikahan, karena dalam literatur fiqh klasik batas minimal
menikah selalu diidentikkan dengan akil baligh.
Al-Qur’an maupun al-Sunnah tidak pernah menjelaskan secara rinci
tentang batasan umur untuk menikah, baik untuk calon mempelai perempuan
atau calon mempelai laki-laki. Dalam fiqh klasik batasan minimal untuk
menikah adalah baligh, ulama lewat ijtihad yang mereka lakukan menentukan
batasan tentang baligh, dan masih terjadi perbedaan pendapat terkait dengan
batasan umur baligh seseorang. Menurut jumhur ulama’ umur balig adalah 15
tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki. Sedangkan golongan
Hanafiyah berpendapat bahwa umur balig adalah 17 tahun.
Kondisi sosial menjadi salah hal penting dalam pembentukan hukum
Islam, karena kebiasaan setempat („urf) dapat menjadi hukum selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan alHadits. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh di bawah ini:
Artinya : “Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum” (Rahmat Syafei,
2007:274).
Sejak awal kelahirannya, hukum Islam sudah menunjukkan sifatsifatnya yang adaptif dan dinamis. Hukum Islam juga mempunyai sifat
kontekstual yang membuatnya bisa berkembang begitu pesat diberbagai
belahan dunia. Hukum Islam adalah hukum yang dalam tahap aplikasinya
senantiasa memperhatikan situasi dan kondisi dimana hukum itu berkembang.
Hal ini disebabkan karena karekteristik hukum Islam (fiqh) yang
merupakan produk pemikiran dari para mujtahid klasik. Sedangkan pemikiran
itu sendiri disesuaikan dengan kondisi masa dan kebutuhan manusia serta
sarana-sarana kehidupan dizamannya (Hasan Turobi, 2003:13). Tegasnya,
produk pemikiran hukum Islam merupakan interaksi antara ra’yu (pemikiran)
kaum muslim dan kondisi zaman berdasarkan petunjuk Allah SWT
sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW, ada beberapa sahabat
yang menikahkan putra-putrinya atau keponakannya yang masih berusia
muda. Sebagai contoh adalah Sahabat Ali bin Abi Thalib yang menikahkan
anak perempuannya yang bernama Ummi Kulsum dengan Sahabat Umar Bin
Khattab ketika masih muda. Begitu juga sahabat Urwah Bin Zubair yang
menikahkan anak perempuan saudaranya dengan anak laki-laki saudaranya
yang lain sedangkan umur kedua keponakannya itu masih di bawah umur.
(Husein Muhammad, 2001:92)
Ketidakjelasan tentang batasan umur ini juga dipertegas dengan tidak
adanya nash dari al-Qur’an dan as-Sunah yang menjelaskan batasan umur
untuk menikah. Nash hanya menjelaskan secara global tentang keharusan
dewasa bagi kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan.
Adapun yang perlu digaris bawahi disini adalah tidak adanya ketegasan nash
itu bukan berarti hukum Islam tidak mengatur lebih lanjut tentang batasan itu.
Said Agil Husin Munawar dalam bukunya yang berjudul Hukum
Islam dan Pluralitas Sosial menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang dapat
merespon hukum Islam yang universal yaitu:
1. Keluwesan sumber-sumber hukum Islam.
2. Semangat ijtihad berdasarkan kompetensi dan keahlian.
3. Berijtihad dengan menggunakan metodologi ushul fiqh (Said Agil Husin
Munawar, 2005:23)
Unsur terpenting dalam pembahasan ini adalah pada unsur yang
tertuang pada point nomor tiga, yaitu berijtihad dengan metodologi ushul fiqh,
terutama dengan menggunakan teori maslahah mursalah.
Dasar atau azas pokok dalam perumusan hukum Islam adalah menarik
maslahat dan menolak kemudaratan, hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang
berbunyi :
Artinya : “Menarik maslahat dan menolak mafsadat” (Rahmat Syafei,
2007:272).
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu
prinsip dalam penetapan hukum Islam, dan pemimpin harus mengambil
tindakan sepanjang untuk kepentingan rakyatnya, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah kaidah:
Artinya : “Tindakan pemimpin terhadap
rakyat bergantung pada
kemaslahatan”. (Rahmat Syafei, 2007:260).
Konsep yang ditawarkan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan UU
No. 1 Tahun 1974 dan khususnya KHI merupakan produk ijtihad yang
bersumber atau merujuk kepada kemaslahatan masyarakat Indonesia secara
umum. Ijtihad yang menghasilkan KHI merupakan sebuah usaha untuk
menciptakan dan mengembangkan hukum Islam yang sesuai dengan budaya
dan kebutuhan bangsa Indonesia. Maka sangat tepatlah jika KHI menjadi salah
satu bagian hukum Islam di Indonesia yang mengatur permasalahanpermasalahan tentang pernikahan, kewarisan dan perwakafan.
Hukum Islam bukanlah hanya aturan-aturan yang dijelaskan secara
rinci dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum Islam bukanlah hukum
yang statis dan tidak bisa merespon perkembangan zaman. Lebih dari itu,
Hukum Islam adalah hukum yang dinamis dan bersifat adaptif terhadap
perkembangan zaman.
Dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah memang tidak pernah dijelaskan
secara rinci tentang batasan umur, akan tetapi demi kemaslahatan maka ijtihad
dilakukan oleh berbagai pihak yang memiliki kompetensi untuk itu, sehingga
aturan tentang batasan usia nikah telah tertuang pada Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-Undang No. 1 Th 1974 tentang perkawinan. Kedua produk
peraturan ini merupakan hasil ijtihad dan ijtihad merupakan alternatif hukum
saat al-Qur’an dan al-Hadits tidak menjelaskan secara rinci. Sehingga sebagai
seorang muslim harus memberikan apresiasi terhadap hasil ijtihad tersebut.
Dan dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa pernikahan di bawah
usia yang telah ditetapkan Undang-Undang merupakan pelanggaran terhadap
perintah agama. Karena perintah untuk mengikuti atau menaati Pemerintah
secara eksplisit dijelaskan dalam al-Quran surah an-Nisaa yang berbunyi
sebagai berikut:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa:59)
Selain itu dapat dijadikan Sunnah Nabi sebagai hujjah, diantaranya
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah :
Artinya : “Barang siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah,
barang siapa yang membantah kepadaku maka ia telah
membantah kepada Allah, barang siapa yang mentaati pemimpin
maka ia telah mentaatiku, dan barang siapa yang membantah
pemimpin maka ia telah membantah kepadaku” (HR. Muslim)
(Shahih Muslim, Juz III:1,466).
Dengan argumentasi dan dalil-dalil yang penulis sebutkan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa sebagai seorang muslim kita harus mengikuti
pemerintah selaku ulil „amri yang telah mengeluarkan peraturan perundangundangan mengenai pembatasan usia pernikahan sebagai kewajiban yang
harus kita ikuti untuk kemaslahan bersama.
2. Hukum Perkawinan di Bawah Umur Dalam Perspektif UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Pembahasan ini menjadi kajian teori lapangan yang paling inti dalam
tulisan sederhana ini. Pada pembahasan ini akan dibahas lebih jauh tentang
masalah hukum pernikahan di bawah umur, yang akhir-akhir ini pernah
menjadi sorotan publik. Akan tetapi yang menjadi kekecewaan penulis adalah
masih ada dikotomi yang sangat besar terhadap hukum Islam dan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Banyak kalangan masyarakat yang masih
belum paham secara utuh terhadap diskursus hukum Islam secara mendalam.
Bahkan yang lebih parah adalah ketika seseorang memaksakan kehendaknya
untuk melakukan pernikahan di bawah umur dengan alasan bahwa hukum
Islam tidak pernah menjelaskan secara rinci tentang batasan umur seseorang
boleh melakukan pernikahan.
Dalam KHI Pasal 15 disebutkan:
a. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
pada pasal 7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
b. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),
(5) UU No. 1 Tahun 1974.
Jadi, dalam KHI ini sebutkan secara tegas bahwa batas umur minimal
calon mempelai yang akan menikah adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki. Adapun yang perlu dicermati disini adalah bahwa pasal
dan ayat yang tercantum dalam KHI ini bukanlah sekedar aturan yang dibuat
dengan main-main dan hanya menjadi aturan legal formal saja tanpa ada
perhatian yang serius dari kalangan umat Islam pada tahap aplikasinya. KHI
ini bukan sekedar hukum positif Indonesia yang terpisah dan tidak berkorelasi
erat dengan hukum Islam yang dianut umat muslim di Indonesia. KHI
merupakan hukum Islam yang dihasilkan oleh ijtihad kolektif (jama’i) umat
Islam Indonesia dari berbagai lapisan, Mahkamah Agung, Departemen
Agama, Ulama, Kiai, Cendikiawan Muslim dan juga perorangan. (Warkum
Sumitro, 2005:183).
Aturan-aturan dalam KHI, walaupun sebagiannya tidak pernah
dijelaskan secara tegas dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah, aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum Islam yang juga dihasilkan melalui ijtihad
(Ulama dan cendikiawan muslim Indonesia) sesuai dengan kebutuhan dan
budaya lokal bangsa Indonesia.
Pada Pasal 15 KHI disebutkan bahwa batas umur calon mempelai
yang akan menikah adalah 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki.
Walaupun dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menjelaskan tentang batasan
itu, aturan pada pasal 15 ini (16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki) sudah
merepresentasikan hukum Islam yang memperjelas dan membatasi umur
kedua calon mempelai yang akan menikah. Adanya batasan tersebut demi
terwujudnya kepastian hukum dan tercapainya kemaslahatan kedua belah
pihak, suami dan istri. Adanya maslahah yang tidak ditegaskan oleh nas
terkait legalitas dan penafian inilah yang disebut maslahah mursalah dalam
Ushul Fiqh. Hukum Islam adalah tidak sah dan nikahnya menjadi batal demi
hukum. Alasannya sangat sederhana, termasuk dari syarat pernikahan adalah
kedua belah pihak harus mencapai asas kedewasaan yang termanifestasi dalam
batasan umur, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Jika
syarat ini tidak dipenuhi, maka secara otomatis nikahnya tidak sah dan batal
demi hukum. Pembatalan ini juga karena didasarkan pada kemaslahatan yang
terkandung pada batasan umur menikah itu.
Rasionalisasi di atas lebih tegas lagi dijelaskan pada pasal 7 UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatakan bahwa
umur minimal boleh menikah adalah 16 bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
berbunyi: (a) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun; (b) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Sebagai umat Islam, kita wajib untuk mentaati pemerintah yang dipilih
secara sah. Kita juga diwajibkan untuk mengikuti semua produk hukum yang
dihasilkan dari kebijakan pemerintah selama hal itu tidak bertentangan dengan
aturan-aturan yang ada dalam syariat Islam. Allah berfirman dalam surat anNisa’ ayat 59:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An Nisa : 59) (Depag RI, 1971: 128)
Ayat di atas menjelaskan kepada kita semua untuk taat kepada Alla
SWT, taat kepada Nabi Muhammad SAW dan Ulil „Amri (Pemerintah).
Termasuk juga mentaati peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah,
antara lain Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Selain dalil yang penulis sebutkan di atas, ada sebuah kaidah fiqh yang
mengatakan :
Artinya : Hukum yang diputuskan oleh Hakim (pemerintah) dalam masalahmasalah
2006:154).
ijtihad
menghilangkan
perbedaan
pendapat”.(ibid,
Kaidah ini secara umum mendeskripsikan bahwa seorang hakim atau
lebih luas lagi adalah Ulil „Amri (Pemerintah) dapat menghilangkan perbedaan
pendapat, baik dalam bentuk Undang-Undang yang dikeluarkan oleh
Pemerintah, atau berbentuk putusan hakim dalam perkara tertentu. Dalam
kasus hukum pernikahan di bawah umur, Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Pasal 7 menjelaskan bahwa pernikahan di bawah umur
hukumnya tidak sah karena tidak memenuhi syarat umur boleh menikah, yaitu
19 tahun bagi laki-laki, dan 16 bagi perempuan. Jika masih ada penyimpangan
ataupun perselisihan terkait batas umur ini, maka bisa diselesaikan oleh hakim
yang berwenang di sidang pengadilan.
Tranformasi hukum Islam ke dalam hukum positif tidak lain untuk
memberikan kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam
konteks pernikahan. Dengan begitu, perkawinan yang dilakukan di Indonesia
akan mempunyai payung hukum yang jelas sehingga jika ada permasalahanpermasalahan dalam pernikahan, sudah ada Undang-Undang yang mengatur
dan bisa diselesaikan oleh hakim-hakim yang berkompeten di peradilan
agama. Dengan begitu, kemaslahatan umat Islam di Indonesia terkait dengan
hukum pernikahan tentunya akan terjaga.
D. Penutup
Pembatasan pernikahan usia remaja yang diatur secara eksplisit di Indonesia
tidak lain untuk kemaslahatan remaja itu sendiri, karena begitu sakralnya
pernikahan maka seluruh rangkaian yang ada sebelum pernikahan itu terjadi
harus dipersiapkan dengan maksimal. Kematangan spritiual, kematangan emosi
dan kemapanan secara finansial merupakan berbagai instrument yang harus
disiapkan untuk mengarungi “samudera pernikahan” yang memiliki variabel yang
begitu komplek.
Islam sebagai agama rahmatal lil „alamin berkembang sesuai dengan
kebutuhan pemeluknya, hal ini dapat kita rasakan di Indonesia. Transformasi
Hukum Islam dalam Perundang-Undangan merupakan salah satu bentuk ijtihad
yang harus terus diperjuangkan.
Pembatasan pernikahan untuk usia remaja dalam perundang-undangan
merupakan manifestasi dari kemaslahatan yang menjadi konsep Islam dalam
penerapan hukum. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemaslahatan dan
menjaga diri dari kemudaratan maka pernikahan yang menyimpang dari aturan (di
bawah umur) harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Hal ini
membuktikan peran penting hakim dalam memberikan izin menikah (dispensasi
kawin) bagi pasangan yang secara usia belum mencukupi.
E. Referensi
Abdullah, Abdul Gani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan
Agama. Jakarta : PT. Intermasa, 1991.
Al-Naisaburi, Imam Abi Husain Muslim bin Hujja ibn Muslim al-Qusyairi, alJami‟us Shahih, Beirut: Dar al-fikr, tth.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Terjemahan oleh
Mu’ammal Hamidy, Lc dan Drs. Imron A. Manan dari Tafsir Ayat
Ahkam, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2008.
Departemen Agama RI., Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Madinah : Mujamma‟ al
Malik Fahd li thiba‟ a Mush-haf asy Syarif, 1971.
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:
2001.
Husein, Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS, 2001.
Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta:
Penamadani, 2005.
Sumitro, Warkum, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial
Politik di Indonesia, Malang: Banyu Media, 2005.
Syafe’i, Rachmat, Prof. Dr., MA., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2007, Cetakan III.
Turobi, Hasan, Fiqh Demokratis, Bandung: ARASY, 2003.
Zahari, Ahmad, H., et. all, Kumpulan Peraturan Perkawinan Bagi Masyarakat
Islam di Indonesia, Pontianak : FH Untan Press, 2010, Cetakan II.
F. Tentang Penulis
Nama
: Ismail Azwardi, S.H.I
NIP
: 19801021 201212 1 001
Jabatan
: Staf Panitera Muda Gugatan pada Pengadilan Agama Sanggau
No. HP
: 081 345 908 543
E-Mail
: [email protected]
“Klise itu Kadang Mengingatkan Kita Tentang Hal-Hal Kecil yang Terlupakan”
Download