paradigma vol. ix. no. 1. januari 2007 14 - E

advertisement
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE
MELALUI ARBITRASE DI INDONESIA
Oleh: Naba Aji Notoseputro
ABSTRAK
Perkembangan komputer dan teknologi informasi yang demikian pesatnya yang
berdampak pada hampir pada seluruh sistem dan tatanan kehidupan masyarakat,
termasuk pula sistem perdagangan dunia, tetapi disisi lain dampak tersebut juga
berakibat pada masalah-masalah hukum yang berkaitan perkembangan perdagangan
melalui elektronika (e-commerce) sebagai cara perdagangan baru. Penanganan untuk
sengketa-sengketa perdagangan elektronik (e-commerce) baik itu Business to Business
(B2B) atau Business to Costomer (B2C), untuk di Indonesia proses dengan arbitrase
dianggap lebih baik dikarenakan lebih fleksibel, lebih efektif dan efisien karena arbitrase
tidak terikat kepada formalitas seperti pengadilan biasa.
Untuk pengaturan tentang arbitrase, di Indonesia telah ada Undang-Undang Nomor:
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana putusan
arbitrase asing pun dapat dijamin keberadaannya, sehingga sengketa-sengketa yang
berkaitan dengan e-commerce dan terkait dengan pihak asing dapat dijamin
pelaksanaannya (enforcement) di Indonesia.
I. PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang ada saat ini telah
menjadi fenomena besar yang hampir
mempengaruhi semua aspek kehidupan
masyarakat, yang pada akhirnya dapat
menjungkir-balikkan
semua
tatanan
kehidupan yang ada. Fenomena baru
tersebut adalah internet, yang pada
awalnya internet hanya digunakan
manusia sebagai satu media untuk
berkomunikasi semata, tetapi kemudian
pada perkembangannya penggunaan
internet merambah ke dunia bisnis. Hal
tersebut ditandai dengan munculnya
suatu
bentuk
perniagaan
atau
perdagangan baru yang menggunakan
alat bantu komputer, dan bentuk itu
disebut
sebagai
perniagaan
atau
perdagangan
elektronik
(electronic
commerce atau e-commerce).
E-commerce sebagai bagian dari
kegiatan bisnis secara umum dapat
diartikan sebagai segala bentuk transaksi
perdagangan atau perniagaan barang
dan jasa (trade of goods and services)
dengan menggunakan media elektronik
(Makarim, 2003).
Media elektronik
tersebut dapat berupa telepon, telegraf,
teleks dan komputer.
E-commerce merupakan bidang
yang multi disiplin, sehingga memiliki
aspek-aspek
hukum
yang
harus
diperhatikan
dan
terkait
dalam
pelaksanaannya.
Diantara aspek hukum yang terkait,
antara lain : mengenai kontrak, asuransi,
perlindungan terhadap HAKI (Hak Atas
Kekayaan
Intelektual),
electronic
paymen dan legal settlement.
Di dalam e-commerce seperti
halnya transaksi jual-beli pada umumnya
terdapat kepentingan-kepentingan para
pihak (hak dan kewajiban). Hal tersebut
membuka
kemungkinan
terjadinya
benturan antara hak dan kewajiban dari
para pihak, baik yang disebabkan oleh
wanprestasi,
masalah
perlindungan
konsumen, atau hal-hal lainnya. Untuk itu
diperlukan adanya suatu mekanisme
penyelesaian sengketa.
14
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Di Indonesia pemanfaatan ecommerce
sudah
banyak
mulai
dilakukan oleh dunia bisnis, oleh
karenanya
untuk
melindungi
kepentingan hukum para pelaku bisnis
tersebut diperlukan suatu kerangka
hukum
tentang
pelaksanaan
ecommerce,
termasuk
didalamnya
mengenai penyelesaian sengketa.
Sebenarnya
sengketa
bisnis
tersebut dapat saja diselesaikan melalui
lembaga formal yaitu pengadilan, tetapi
biasanya penyelesaian sengketa tersebut
membutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang tidak sedikit. Terdapat
alternatif lain untuk mengantisipasi
kemungkinan
timbulnya
sengketa
tersebut, yaitu melalui Alternative Dispute
Resolution (ADR), misalnya dengan
negoisasi, mediasi ataupun arbitrase.
Penyelesaian sengketa di dalam ecommerce
terdapat
indikasi
para
pelakunya lebih menyukai penyelesaian
melalui ADR (out court settlement). Salah
satu
alasannya
adalah
dalam
penyelesaian sengketa tersebut lebih
fleksibel, sehingga para pihak dapat
membuat
kesepakatan
mengenai
mekanisme
pelaksanaannya,
seperti
misalnya : arbiter yang ditunjuk atau
lamanya penyelesaian. Hal lainnya
dalam menyelesaikan sengketa ecommerce dimana data yang ada pada
umumnya bersifat tidak riil (electronic
data), maka proses arbitrase dapat
menguntungkan karena hukum acara di
Indonesia belum mengatur mengenai
data elektronik. Dengan menggunakan
arbitrase selama ada persetujuan dari
kedua belah pihak maka data elektronik
dapat digunakan sebagai alat bukti.
Sebab lain mengapa arbitrase
umum dipakai apabila terjadi sengketa,
dengan alasan karena ‘lebih cepat,
murah dan sederhana’ (Gautama, 1999),
dibandingkan dengan berperkara di
pengadilan biasa yang memakan waktu
lebih lama. Alternatif penyelesaian
sengketa dengan arbitrase dianggap
sebagai mekanisme paling tepat untuk
menyelesaikan
berbagai
bentuk
sengketa, dan sebagai membantu
proses penyelesaian sengketa agar lebih
mudah dan sederhana (Abdurrasyid,
2002).
Disamping
itu,
pilihan
menggunakan arbitrase dinilai lebih
efisen dan efektif, karena arbitrase tidak
terikat
pada
formalitas-formalitas
sebagaimana peradilan umum dan juga
aspek kerahasiaannya terjaga, yang
berarti menjamin kerahasiaan identitas
dan kebonafitan dari para pihak. Selain
itu, proses pengadilan di Indonesia
dirasakan hanya membuang waktu dan
memerlukan
biaya
besar,
serta
ketidakpercayaan
para
pengusaha
kepada hukum positif Indonesia, belum
lagi hukum positif kita banyak yang
belum mengatur permasalahan yang
sekarang sedang aktual terjadi di
masyarakat.
II. PEMBAHASAN
Di dalam tulisan ini akan dibahas
tentang e-commerce secara umum dan
aspek-aspek
hukum
yang
ada
didalamya
terutama
penyelesaian
sengketa melalui arbitrase sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa.
Berdasarkan hal tersebut maka akan
dibahas dalam tulisan ini antara lain :
1. Bagaimana
proses
penyelesaian
sengketa
melalui
arbitrase
dilaksanakan dalam sengketa ecommerce, terutama yang berkaitan
dengan transaksi B2B atau B2C ?
2. Kesulitan dan kendala apa saja yang
ada di dalam penerapan arbitrase di
Indonesia khusus yang berkaitan
dengan penyelesaian sengketa B2B
atau B2C e-commerce melalui
arbitrase dan cara apa yang paling
baik untuk diterapkan saat ini,
mengingat belum adanya peraturan
perundang-undangan khusus yang
mengatur mengenai e-commerce di
Indonesia ?
15
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Tinjauan umum tentang E-Commerce.
Perkembangan teknologi informasi
yang ada saat ini telah mengubah pola
perdagangan yang ada di masyarakat
dunia,
dari
perdagangan
biasa
mengarah ke perdagangan secara
elektronik. Pada prinsipnya perdagangan
apapun itu sama saja semuanya
menyangkut transaksi yang terjadi antara
pelaku-pelaku usaha dalam dunia bisnis
atau yang biasa disebut transaksi
dagang. Pada umumnya transaksi
dagang tersebut berupa perjanjian yang
menimbulkan perikatan antara para
pihak.
Apabila kita melihat pernyataan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
segala bentuk perjanjian yang terjadi
dalam melakukan aktivitas perdagangan
pada hakikatnya diperbolehkan oleh
undang-undang untuk diadakan. Hal ini
juga berarti dengan dianutnya sistem
terbuka, juga dimungkinkan untuk para
pelaku usaha melakukan segala transaksi
dagangnya dengan cara-cara sendiri,
seperti memanfaatkan perkembangan
teknologi yang ada dengan melakukan
transaski secara elektronik melalui ecommerce. Tentang e-commerce sendiri
banyak ahli yang mendefinisikan sebagai
perdagangan secara elektronik, tetapi
sebagai perbandingan ada beberapa
definisi tentang e-commerce, antara lain:
“Electronic
Commerce
can
be
defined as commercial activities
conducted through an exchange of
information
genered,
stored,
or
communicated
by
electronical,
optical or analogues means, including
EDI, e-mail, and so forth” (Walden
dalam Makarim, 1996).
E-commerce (electronic commerce or
EC) is the buying and selling of goods
and services on the internet, especially
the Word Wide Web. In practice, this
term and a new term “e-business”, are
often
used
interchangeably.(lihat
pada http://www.whatis.com).
Menurut
Makarim
(2003)
ecommerce adalah ditujukan untuk
lingkup perdagangan atau perniagaan
yang dilakukan secara elektronik dalam
arti sempit, termasuk antara lain :
perdagangan via internet (internet
commerce),
perdagangan
dengan
fasilitas web internet (web commerce)
dan
perdagangan dengan
Sistem
Pertukaran Data Terstruktur Secara
Elektronik
(Electronic
Data
Interchange/EDI).
Dari definisi-definisi tersebut dapat
dipahami bahwa e-commerce adalah
segala transaksi yang terjadi atau yang
mendukung aktivitas perdagangan yang
dilakukan dengan menggunakan alatalat elektronik, seperti telepon, faksimili,
telegraf dan alat-alat elektronik lainnya
seperti komputer, serta difasilitasi oleh
jaringan sistem informasi (internet). Saat
ini untuk pendefinisian e-commerce di
masyarakat luas lebih diutamakan pada
transaksi
perdagangan
yang
menggunakan komputer dan melalui
jaringan internet. (Riswandi, 2003).
Dari keterangan tersebut maka
dapat dilihat unsur-unsur yang terdapat
dalam e-commerce, antara lain :
1. Segala transaski bisnis atau kegiatan
lain yang terdapat dalam lingkup
perdagangan,
2. Proses perdagangan tersebut terjadi
atau
dilakukan
dengan
menggunakan alat-alat elektronik,
3. Fasilitas
pendukung
proses
perdagangan
tersebut
dengan
memanfaatkan
jaringan
sistem
informasi dan sistem telekomunikasi
(internet).
E-Commerce sebagai salah satu sistem
perdagangan baru.
Dalam melakukan perdagangan
secara elektronik ini ada beberapa hal
yang berbeda jika dibandingkan dengan
perdagangan
biasa
(conventional
transaction).
Perbedaan-perbedaan
tersebut antara lain :
16
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
1.
2.
3.
Adanya
penggunaan
alat-alat
elektronik sebagai alat bantu dalam
menjalankan
transaksi-transaksi
dagang, dalam hal ini alat bantu
komputer. Perpaduan dari teknologi
komputer
dengan
jaringan
komunikasi
(communications
network) banyak merubah aspekaspek dalam aktivitas perdagangan
baik
pelaku
usaha
maupun
konsumen (Ramli, 2002).
Dengan menggunakan komputer,
maka transaksi-transaksi yang terjadi
antara para pelaku usaha dilakukan
melalui suatu sistem jaringan informasi
baik itu berupa jaringan tertutup
ataupun jaringan terbuka, seperti
internet.
Pada transaksi-transaksi bisnis yang
terjadi dalam e-commerce para
pelaku tidak lagi bertemu secara fisik
langsung.
Perbedaan-perbedaan
di
atas
tersebut tentunya dapat menimbulkan
pertanyaan
apakah
transaksi
perdagangan yang dilakukan dengan ecommerce memenuhi syarat-syarat yang
ada di dalam peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam Hukum Perjanjian yang menganut
sistem terbuka, seperti yang tercantum
dalam pasal 1338 KUHPerdata maka
dapat dikatakan bahwa e-commerce
dapat dilaksanakan dan tidak menyalahi
peraturan perundangan yang ada.
Transaksi perdagangan dimana
para pihak tidak saling bertemu secara
fisik seperti dalam e-commerce, bukan
berarti transaksi tersebut menjadi tidak
sah.
Tetapi sah atau tidaknya suatu
perjanjian tergantung pada terpenuhi
atau tidaknya syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian yang ada pada pasal 1320
KUHPerdata.
Pada
dasarnya
e-commerce
menawarkan
banyak
keuntungankeuntungan bagi para pelakunya,
antara lain :
1. Keuntungan bagi pelaku bisnis :
a. Dapat digunakan sebagai lahan
menciptakan
pendapatan
(revenue generation) yang tidak
dapat diperoleh dengan cara
konvensional,
seperti
memasarkan langsung produk
atau jasa, menjual informasi, iklan
(banner), membuka cybermall,
dan lain lain. (Darajat, 1999).
b. Dapat
menurunkan
biaya
operasional, ini
berhubungan
langsung
dengan
pelayanan
melalui internet, antara lain :
menghemat
kertas,
biaya
telepon, tidak perlu menyiapkan
ruang
pamer
(outlet),
staf
operasional, gudang besar, dan
lain lain. (Baskoro, 1999).
c. Dapat memperpendek product
cycle dan management supplier.
Perusahaan dapat memesan
bahan baku atau produk ke
supplier langsung ketika ada
pesanan sehingga perputaran
barang lebih cepat dan tidak
diperlukan gudang besar untuk
menyimpan
produk
tersebut
(Darajat, 1999).
d. Melebarkan
dan
meluaskan
jangkauan
(global
reach).
Pelanggan dapat menghubungi
perusahaan atau penjual dari
manapun di seluruh dunia.
e. Waktu operasi tidak terbatas.
Bisnis melalui internet dapat
dilakukan selama 24 jam per hari,
dan 7 hari per minggu.
f. Pelayanan ke pelanggan lebih
baik, dikarenakan melalui internet
pelanggan
dapat
secara
langsung
menyampaikan
kebutuhan maupun keluhannya
sehingga
perusahaan
dapat
meningkatkan pelayanan.
g. Meningkatkan value chain (Value
chain, maksudnya adalah rantai
nilai yang ada pada proses
produksi mulai dari produsen
17
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
bahan baku sampai dengan
pendistribusian barang. Dengan
e-commerce, dapat lebih efisien
laju produksi yang ada). Dengan
mengkomplementasikan praktek
bisnis,
mengkonsolidasikan
informasi
dan
membukanya
kepada pihak-pihak yang terkait
dengan value chain tersebut.
i. Dapat meningkatkan loyalitas
konsumen.
Konsumen dapat
dengan mudah dan cepat,
produk suatu merek terkenal
melalui internet.
j. Keuntungan bagi konsumen.
k. Home shopping, para pembeli
dapat melakukan transaksi dari
rumah
sehingga
dapat
menghemat waktu, menghindari
kemacetan,
dan
dapat
menjangkau toko-toko yang jauh
dari lokasi pembeli.
l. Melakukan
transaksi
melalui
internet,
tidak
memerlukan
keahlian khusus.
m. Konsumen dapat memilih pilihan
yang sangat beragam dan dapat
membandingkan dengan produk
maupun jasa lainnya.
l. Konsumen
dapat
melakukan
transaksi kapan saja, selama 24
jam per hari dan 7 hari per
minggu.
Selain
keuntungan
dan
kemudahan yang didapat dengan
bertransaksi melalui e-commerce,
tentunya terdapat pula kerugian
atau kesulitan-kesulitan yang terjadi,
antara lain : (Musa, 1999).
a. Belum jelasnya aturan main dan
undang-undang yang mengatur
transaksi
e-commerce
di
Indonesia.
b. Infrastruktur yang masih kurang
memadai, seperti : jaringan
internat, bandwicth (kecepatan
transfer
data),
peralatan
pendukung, keamanan jaringan,
dan lain lain.
c. Tersedianya sumberdaya manusia
yang
berkualitas
untuk
mendukung e-commerce.
d. Dukungan pemerintah, dalam
menciptakan
insentif
dan
pengurangan hambatan bisnis
untuk
membangun
dan
memanfaatkan e-commerce.
Jenis-Jenis
Transaski
Dalam E-Commerce.
Perdagangan
Menurut Makarim (2003) jenis-jenis
e-commerce yang umum dan yang
paling banyak dikenal adalah jenis
business to business (B2B) dan business to
customer (B2C), tetapi selain keduanya,
terdapat juga beberapa jenis lainnya,
yaitu : customer to customer (C2C),
customer to government (C2G), dan
customer to business (C2B).
Uraian
tentang jenis-jenis e-commerce, sebagai
berikut :
a. Business to Business (B2B).
Transaksi perdagangan yang terjadi
antara suatu perusahaan dengan
perusahaan dimana para pelaku
tersebut bukanlah end user atau
pengguna
akhir
dari
obyek
perdagangan.
b. Business to Customer (B2C).
Transaksi perdagangan yang terjadi
antara produsen dengan konsumen
langsung sebagai end user dari
obyek perdagangan.
Biasanya
bentuk transaksinya adalah jual beli
melalui
internet
dengan
menggunakan
web-commerce
(penjual menawarkan produksnya
dengan
melakukan
penawaran
melalui
web
site),
contoh
:
Amazon.com, glodokshop.com, dan
lain lain.
c. Customer to Customer (C2C).
Transaksi dimana individu saling
menjual barang pada satu sama
lain,
seperti
lelang
barang,
contohnya : e-bay, clasifield2000,
dan lain lain (Riswandi, 2003).
18
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
d. Customer to Business (C2B).
Transaksi
yang
memungkinkan
individu menjual barang kepada
suatu perusahaan, contohnya :
pricelin.com.
e. Customer to Government (C2G).
Transaksi di mana individu dapat
melakukan transaksi dengan pihak
pemerintah,
seperti
membayar
pajak, dan lain lain.
Di
dalam
perkembangnya
ecommerce
yang
ditunjang
oleh
berkembangnya
teknologi
informasi,
maka muncul beberapa model sistem
perdagangan melalui e-commerce yang
lain, seperti business to government,
customer to government, government to
government, dan lain lain.
Tetapi
didalam tulisan ini hanya akan diulas dan
dibahas mengenai model transaksi
business to business (B2B) dan busisnes to
customer (B2C) saja.
Kerangka Hukum (Legal Framework).
E-Commerce
yang merupakan
cara
baru
dalam
melakukan
perdagangan,
memiliki
berbagai
macam keunikan seperti telah dijelaskan
di atas.
Agar dapat dicapai suatu
ketertiban dalam pelaksanaannya, maka
diperlukan suatu pengaturan khusus
yang dapat mengantisipasi segala
keunikan dan keunggulan yang ada
tersebut.
Untuk itu seharusnya pihak
pemerintah mengantisipasinya dengan
membentuk kerangka hukum yang
khusus mengatur dan spesifik tentang ecommerce, walaupun hal tersebut telah
ada untuk sistem internasional seperti :
UNCITRAL Model Law on electronic
commerce (Makarim, 2003).
Permasalahan
hukum
yang
terdapat dalam e-commerce cukup
banyak, diantaranya adalah tentang
Hak Atas Kekayaan Intelektual atau HAKI
(Intellectual Property Right) seperti : hak
cipta, merek dagang, rahasia dagang
dan paten (Sjahputra, 2002).
Permasalahan yang lain, seperti :
sistem pembayaran elektronik, sistem
pengaturan mata uang digital (digital
currency), tindak kejahatan komputer di
internet, dan masih banyak lagi masalah
yang berkaitan dengan e-commerce.
Mengenai kontrak juga merupakan
permasalahan hukum yang selalu ada di
dalam perdagangan, dengan adanya
suatu perjanjian perdagangan maka
akan ada perikatan yang menimbulkan
hak dan kewajiban secara hukum atas
para
pelakunya.
Oleh
karenanya
kemungkinan timbul perselesihan atau
sengketa perdagangan akan ada, untuk
itu cara penyelesaian sengketa tersebut
juga merupakan masalah hukum yang
harus diperhatikan.
Secara logika permasalahan hukum
yang muncul di dalam e-commerce,
dapat timbul karena beberapa hal,
seperti penggunaan jaringan internet,
dimana jaringan tersebut terbuka untuk
semua orang, maka pelanggaran di
bidang HAKI dapat sering terjadi, sebab
teknologi digital yang menyebabkan
semua hal dapat dikonversikan kedalam
bentuk digital. Disisi lain, transaksi dunia
maya (cyberspace) yang menyebabkan
hilangnya batas-batas wilayah secara
fisik,
akan
menyebabkan
masalah
yuridiksi yang berhubungan dengan
hukum mana yang akan digunakan
apabila terjadi suatu sengketa di dalam
e-commerce. (Sjahputra, 2002).
Di Dalam transaksi B2B contoh
sengketa yang mungkin timbul adalah
apabila terjadi wanprestasi antara pihakpihak yang terkait. Sedangkan di dalam
B2C, sengketa yang sering terjadi pada
umumnya
menyangkut
masalah
pembayaran
dan
perlindungan
konsumen. Misalnya seseorang membeli
buku di web Amazon.com ternyata tidak
mendapatkan kiriman buku yang telah
dipesan, padahal pembayaran sudah
dilakukan,
bagaimana
cara
menyelesaikannya dan dengan aturan
hukum mana dapat diselesaikan.
19
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Untuk
menghadapi
masalahmasalah tersebut maka diperlukan suatu
mekanisme penyelesaian sengketa yang
dinilai cukup efektif, hemat waktu dan
biaya, serta dapat segera diterima
kedua
belah
pihak,
penyelesaian
permasalahan tersebut yang paling
memungkinkan adalah melalui arbitrase.
Penyelesaian
Sengketa
Melalui
Arbitrase.
Arbitrase adalah salah satu cara
menyelesaikan sengketa yang dapat
ditempuh dalam perkara-perkara yang
menyangkut hukum perdata dan hukum
dagang.
Dengan arbitrase maka
penyelesaian
sengketa
tersebut
dilakukan diluar pengadilan atau yang
biasa disebut out court settlement.
Arbitrase ini memberikan suatu putusan
berkenaan dengan hak-hak dari para
pihak, putusan yang dijatuhkan oleh
suatu dengan arbitrase yang terdiri dari
seorang arbiter atau beberapa arbiter
ini, mengikat kedua belah pihak
(Gautama, 1996).
Arbitrase dikenal sebagai suatu
cara untuk menyelesaikan sengketa
yang cukup efektif, dan pada saat ini
banyak digunakan. Arbitrase merupakan
cara menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan oleh pihak ketiga yang netral
didasarkan pada perjanjian tertulis yang
merupakan kesepakatan para pihak,
dimana keputusan pihak ketiga tersebut
mengikat
para
pihak.
Peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia
untuk arbitrase adalah Undang-Undang
Nomor : 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pengertian arbitrase menurut Pasal 1
ayat (1) UU No. 30/1999 :
“Arbitase
adalah
cara
penyelesaian
suatu
sengketa
perdata di luar peradilan umum
yang
mendasarkan
pada
perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”.
Tetapi
sengketa
yang
dapat
diselesaikan melalui arbitrase terbatas
pada sengketa perdata, yaitu bersifat
hukum perdata dan hukum dagang.
(Gautama, 1996).
Alasan Penggunaan Arbitrase.
Keuntungan dan alasan-alasan yang
menjadikan
arbitrase
lebih
suka
digunakan
dibandingkan
dengan
berperkara di peradilan umum, antara
lain (Goodpaster, 1995) :
1. Kebebasan,
kepercayaan
dan
keamanan.
Arbitrase memberikan kebebasan
yang tidak perlu mengikuti formalitas
yang ketat dan kaku, memberikan
rasa aman terhadap keadaan tidak
menentu dan ketidakpastian sistem
hukum yang berbeda, juga terhadap
kemungkinan putusan hakim yang
berat sebelah (memihak).
2. Keahlian.
Arbitrase dipilih karena kepercayaan
yang lebih besar pada keahlian
arbiter mengenai persoalan yang
menjadi
sengketa
dibandingkan
hakim di peradilan umum.
3. Cepat dan hemat biaya.
Arbitrase seringkali lebih cepat, tidak
terikat formalitas dan lebih murah dari
pada proses litigasi di pengadilan.
4. Bersifat rahasia.
Dikarenakan
terjadi
dilingkungan
yang bersifat pribadi (bukan terbuka
atau umum), arbitrase juga lebih
bersifat
pribadi
dan
tertutup
dibandingkan litigasi di hadapan
badan pengadilan umum.
Sifat
rahasia arbitrase dapat melindungi
para pihak dari hal-hal yang tidak
diinginkan atau merugikan akibat
dari penyingkapan informasi bisnis
kepada umum.
5. Bersifat nonpreseden.
Keputusan arbitrase tidak terikat oleh
keputusan arbitrase untuk perkara
sebelumnya yang serupa.
20
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
6. Putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat (Gautama, 1995).
Putusan arbitrase final dan mengikat,
serta tidak dapat diajukan banding,
kecuali atas dasar yang sangat
khusus.
7. Segi kepentingan komersial (Adolf,
2002).
Dengan
menyelesaikan
suatu
sengketa melalui arbitrase, para
pihak diusahakan untuk tetap dapat
berhubungan komersial di masa
depan.
Arbitrase mengusahakan
agar para pihak tidak bermusuhan,
tetapi tetap menjaga hubungan
komersial
mereka
setelah
sengketanya diputus.
Kelemahan Arbitrase.
Meskipun
arbitrase
memberikan
banyak kelebihan dan keuntungan,
tetapi
pada
prakteknya
ternyata
arbitrase memiliki pula kelemahankelemahan, antara lain (Adolf, 2002) :
1. Kesulitan
untuk
mempertemukan
kedua belah pihak yang bersengketa
ke badan arbitrase.
2. Pengakuan
dan
pelaksanaan
keputusan arbitrase asing, dimana
dewasa ini di banyak negara masalah
tentang pengakuan dan pelaksanaan
keputusan arbitrase asing masing
menjadi persoalan yang sulit.
3. Di dalam arbitrase tidak dikenal
adanya preseden hukum (legal
precedent) atau keterikatan kepada
putusan-putusan
arbitrase
sebelumnya,
sehingga
setiap
sengketa yang telah diputus tidak
dapat dijadikan sebagai tolak ukur
untuk keputusan arbitrase berikutnya
(jurisprudensi).
4. Arbitrase ternyata tidak mempu
memberikan jawaban yang bersifat
definitif terhadap semua sengketa
hukum. Hal ini berkaitan erat dengan
adanya konsep yang berbeda pada
setiap negara (sistem Anglo Axon,
Continental
atau
sosialis),
dan
dipengaruhi pula oleh sejarah hukum
dan struktur hukum dari masingmasing negara.
5. Keputusan
arbitrase
selalu
bergantung kepada bagaimana
arbitrator mengeluarkan keputusan
yang memuaskan keinginan para
pihak.
6. Ternyata
arbitrase
pun
dapat
berlangsung lama dan karenanya
membawa akibat biaya tinggi,
terutama dalam hal arbitrase di luar
negeri.
Karakteristik Arbitrase.
Arbitrase baru dapat dilakukan
apabila terdapat kesepakatan dari para
pihak untuk menggunakan metode
penyelesaian
sengketa
ini
untuk
sengketa yang ada diantara para pihak.
Kesepakatan dari para pihak tersebut
dapat berupa :
1. Klausul arbitrase.
Suatu
klausul
yang
mengatur
mengenai kesepakatan para pihak
untuk menggunakan arbitrase apabila
dikemudian hari diantara mereka
terjadi sengketa. Klausul ini terdapat
di dalam kontrak atau perjanjian
pokok
mengenai
transaksi
perdagangan yang mereka lakukan.
Contohnya dalam kontrak untuk
menggunakan EDI dalam hubungan
B2B antara perusahaan A dan B,
disebutkan dalam salah satu pasalnya
mengenai penyelesaian sengketa
akan diselesaikan melalui arbitrase.
2. Perjanjian arbitrase.
Berbeda dengan klausul arbitrase
yang ada dalam kontrak pokok,
perjanjian arbitrase di sini terpisah dari
perjanjian
pokoknya.
Perjanjian
arbitrase pada umumnya dibuat
setelah timbulnya sengketa atau
masalah diantara para pihak dimana
sebelumnya belum ada kesepakatan
terlebih dahulu mengenai metode
penyelesaian sengketa yang akan
digunakan.
21
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Apabila dilihat dari keterangan di
atas, maka tentang perjanjian arbitrase
ini dalam prakteknya dibedakan antara
perjanjian
yang
dibuat
sebelum
timbulnya sengketa atau ‘pactum de
compromittendo”, dengan perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah timbulnya
sengketa atau “acte van compromis”
(Gautama, 2006).
Pada Pasal 2 undang-undang No.
30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian
Sengketa,
disebutkan
perlunya adanya kesepakatan para
pihak terlebih dahulu untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Sehingga
dengan adanya kesepakatan tertulis dari
para pihak untuk menggunakan arbitrase
ini, maka berarti para pihak telah setuju
untuk tidak menyelesaikan sengketa
mereka dengan cara berperkara di
muka
pengadilan
umum
biasa
(Gautama, 1996).
Dengan demikian
yang dilakukan adalah semacam pilihan
forum yang berbeda dengan pengertian
pilihan hukum.
Perjanjian mengenai kesepakatan
para pihak untuk menggunakan arbitrase
dalam penyelesaian sengketa, baik yang
berupa
klausul
arbitrase
maupun
perjanjian arbitrase, mengatur sejauh
mana kewenangan arbiter. Arbiter tidak
boleh berbuat melebihi kewenangan
yang
diberikan
oleh
para
pihak
padanya. Berdasarkan pasal 1 angka 7
UU No. 30/1999 disebutkan bahwa arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri
atau oleh lembaga arbitrase, untuk
memberikan
putusan
mengenai
sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
Arbitrase dapat dilakukan secara adhoc atau dapat juga dilakukan dengan
menunjuk kepada salah satu badan
arbitrase atau yang biasa disebut
institutional arbitras.
Bila melalui suatu
badan arbitrase tertentu, misalnya Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di
Jakarta atau International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, maka kaidahkaidah yang digunakan adalah kaidahkaidah yang sudah ditetapkan oleh
badan arbitrase itu sendiri. Sedangkan
apabila arbitrase dilakukan secara adhoc, dapat mengacu pada kaidahkaidah UNCITRAL Arbitration Rule (UAR).
PBB telah menganjurkan agar UAR ini
dapat diterima secara umum dalam
perdagangan internasional di seluruh
dunia (Gautama, 1996).
Cara Penyelenggaraan Arbitrase.
Dalam B2B apabila para pihak
yang terlibat didalamnya hanyalah
pelaku usaha dan konsumen domestik,
berasal dari satu negara yang sama
maka
dapat
digunakan
arbitrase
dagang domestik. Permasalahannya
adalah dalam hal terjadinya hubungan
dagang
dimana
para
pelakunya
berbeda
kewarganegaraan
atau
berbeda tempat usaha, misalnya terjadi
sengketa
jual
beli,
B2C
antara
perusahaan retail barang elektronik
Jepang dengan konsumen Indonesia,
maka perlu diadakan arbitrase dagang
internasional.
Berbagai
negara
mempunyai
ketentuan
perundang-undangan
arbitrase untuk keperluan domestik dan
kemudian menambahkannya dengan
peraturan mengenai arbitrase yang
sifatnya internasional. Sebagai contoh
Singapura sudah memiliki Arbitration Act
untuk keperluan domestik, dan kemudian
menerima UNCITRAL Model Law untuk
keperluan
arbitrase
yang
sifatnya
internasional (Gautama, 1996).
Dalam Model Law UNCITRAL ada
perumusan tersendiri tentang Arbitrase
Internasional ini. Pada pasal 1 ayat 3 UU
No.
30/1999
menyatakan
bahwa
arbitrase menjadi ‘internasional’ jika para
pihak pada saat membuat perjanjian
arbitrase mempunyai tempat usaha
(places of business) di dalam negara
yang berlainan, seperti contoh dalam
22
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
hubungan e-commerce di atas, atau jika
salah satu dari tempat tersebut di bawah
ini letaknya di luar negara dimana para
pihak mempunyai tempat usaha mereka,
yakni (Gautama, 1996) :
1. Tempat arbitrase yang ditentukan di
dalam perjanjian arbitrase.
2. Setiap tempat di mana bagian
terpenting dari pada kewajiban yang
berdasarkan
hubungan
dagang
harus dilaksanakan atau tempat
dengan mana pokok persoalan
sengketa
adalah
paling
dekat
kaitannya (most closely connected),
atau
3. Para pihak telah secara tegas
memufakati
bahwa
pokok
permasalahan
dari
perjanjian
arbitrase ini berhubungan dengan
lebih dari satu negara.
Peraturan UU No. 30/1999 tidak
mengatur bila mana menghadapi
arbitrase yang dilakukan antara para
pihak pembuat perjanjian arbitrase yang
mempunyai tempat usaha di negara
yang berbeda.
Dalam
undang-undang
tersebut
hanya
diatur
mengenai
masalah
pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional. Sehingga dalam
B2B dan B2C yang melibatkan pihak
asing,
dapat
mengacu
atau
berpedoman pada peraturan arbitrase
internasional yang berlaku di dunia,
seperti;
UNCITRAL
(United
Nations
Commision on International Trade Law),
WIPO
(World
Intelectual
Property
Organization), ICSID (International Centre
for Settlement of Invesment Dispute), ICC
Court of Arbitration, dan lain lain.
Arbitrase Internasional.
Seperti telah disebutkan di
bahwa para pihak dapat memilih
melakukan
arbitrase
ad-hoc
menunjuk badan arbitrase, baik
nasional maupun internasional.
atas
untuk
atau
yang
UNCITRAL.
UNCITRAL
(United
Nations
Commission on International Trade Law)
tidak menyediakan fasilitas arbitrase,
namun UNCITRAL telah mensponsori
untuk
terbentuknya
hukum
dalam
arbitrase internasional, salah satunya
dengan The Uncitral Model Law on
International
Commercial
Arbitration
(Model
Hukum
untuk
Arbitrase
Perdagangan Internasional).
WIPO
WIPO (World Intellectual Property
Organization)
merupakan
suatu
organisasi antar pemerintah berbagai
negara dan berpusat di Geneva ini telah
membentuk
“The
WIPO
Arbitration
Center” atau pusat arbitrase WIPO, untuk
menyelesaikan
sengketa-sengketa
internasional yang berkaitan dengan
HAKI (Lindsay, 2001).
Ada 4 (empat) macam prosedur
yang
telah
disediakan
untuk
penyelesaian sengketa, yaitu: (1) mediasi
menurut WIPO Mediation Rules, (2)
arbitrase sesuai dengan WIPO Arbitration
Rules, (3) arbitrasi secara dipercepat
dibawah WIPO Expedited Arbitration
Rules, dan (4) prosedur secara kombinasi
dari mediasi yang diikuti dengan
arbitrase bila cara mediasi tidak berhasil
(Gautama,
1996).
Sehingga
untuk
sengketa-sengketa dalam B2B atapun
B2C yang menyangkut masalah HAKI
dapat dipilih forum arbitrase ini sebagai
upaya penyelesaian sengketa.
The ICC Court of Arbitration
The ICC Court of Arbitration adalah
institusi
paling
penting
dalam
penyelesaian sengketa perdagangan
internasional melalui arbitrase. Lembaga
ini bukan sebuah institusi pemerintah,
namun
sebuah
lembaga
yang
diciptakan oleh International Chamber of
Commerce (ICC) yang berkantor pusat
di Paris. Arbitrase di bawah peraturan
ICC ini terbuka untuk anggota atau non
23
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
anggota, pihak yang bersengketa dapat
mengajukan
permohonan
arbitrase
melalui cabang-cabang International
Chamber of Commerce (ICC) di
negaranya atau langsung ke pusat.
ICSID
ICSID (The International Centre For
Setllement of Invesment Dispute) adalah
sebuah
lembaga
yang
khusus
menangani sengketa-sengketa yang
menyangkut penanaman modal asing
disuatu negara. ICSID membuat suatu
fasilitas yang memungkinkan untuk pihakpihak yang melakukan kontrak di suatu
negara dengan investor asing, untuk
menyelesaikan sengketa berdasarkan
peraturan yang mereka sepakati.
Masalah e-commerce dan kelemahan
arbitrase di Indonesia .
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa
titik lemah penyelesaian sengketa ecommerce melalui arbitrase di Indonesia
adalah masalah teknis di lapangan
(proses administrasi pengadilan) dan
aspek
penguasaan
sumberdaya
manusia. Maka untuk masalah arbitrase
internasional yang berkaitan dengan ecommerce
dalam
prakteknya
di
Indonesia
memiliki
kelemahankelemahan, antara lain (Abdurrasjid,
2003) :
1. Untuk mempertemukan kehendak
para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase
tidaklah mudah, seringkali untuk
mencapai
kesepakatan
atau
persetujuan itu sulit.
2. Pengakuan
dan
pelaksanaan
keputusan arbitrase asing. Dewasa ini
di
banyak
negara,
masalah
pengakuan
dan
pelaksanaan
keputusan arbitase asing masih
menjadi persoalan yang sulit (Adolf,
2002).
3. Telah dimaklumi dalam arbitrase tidak
selalu
ada
perikatan
kepada
keputusan-keputusan (yurisprudensi)
arbitase sebelumnya.
4. Arbitrase ternyata tidak mampu
memberikan jawaban yang definitive
terhadap semua sengketa hukum,
hal ini berkaitan erat dengan adanya
konsep dan sistem hukum yang
berbeda di setiap negara.
5. Bagaimanapun
juga
keputusan
arbitrase selalu tergantung kepada
kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan
keputusan
yang
memuaskan dan sesuai dengan rasa
keadilan para pihak.
6. Arbitrase ternyata di beberapa kasus
dapat
berlangsung
lama
dan
berakibat
pada
biaya
tinggi,
terutama dalam hal arbitrase di luar
negeri. Sebagai contoh adalah kasus
Kartika Plaza (Adolf, 2002).
Uraian-uraian
dan
keteranganketerangan di
atas, menerangkan
bahwa proses alternatif penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, tidaklah
semudah yang digambarkan di dalam
teori-teori hukum.
Disisi-sisi lain masih
banyak
benturan-benturan
birokrasi,
proses
administrasi
dan
aspek
kemampuan
sumberdaya
manusia
terutama yang menyangkut kasus-kasus
yang
berkaitan
dengan
transaksi
perdagangan elektronik (e-commerce)
dikarenakan banyak kasus-kasus belum
ada aturan hukumnya untuk menunjang
pelaksanaan
putusan
arbitrase
di
Indonesia.
Untuk
keputusan
arbitrase
ecommerce yang berkaitan dengan
arbitrase internasional untuk dapat
diimplementasikan di Indonesia, juga
masih
banyak
masalah
yang
menghambatnya, seperti : pengakuan
atas arbiter asing, proses administasi,
birokrasi, yurisprudensi, perbedaan sistem
dan konsep hukum di suatu negara, serta
kemampuan dari sumberdaya manusia
di pengadilan itu sendiri.
24
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Paradigma baru hukum pada sistem
perdagangan elektronik
Dengan digunakannya alat-alat
elektronika
dan
berkembangnya
teknologi informasi dalam kegiatan
perdagangan di dunia, selain membawa
keuntungan-keuntungan juga dapat
menimbulkan beberapa permasalahan
hukum baru.
Permasalahan
hukum
tersebut
antara lain : sistem keamanan jaringan di
internet,
kontrak
online,
sistem
pembayaran elektronik, penyelesaian
sengketa, dan lain-lain.
Hal tersebut
menjadi
karekateristik
dari
cara
perdagangan baru yang disebut ecommerce.
Diantara masalah-masalah hukum
yang
harus
diperhatikan
dalam
perkembangan e-commerce sebagai
cara
perdagangan
baru
adalah
penyelesaian sengketa apabila terjadi
sengketa antara para pihak yang
melakukan transaksi di dalam ecommerce tersebut.
Penanganan
untuk
sengketasengketa perdagangan baik itu business
to business (B2B) atau business to
customer (B2C), agak berbeda dengan
penyelesaian sengketa perdagangan
pada umumnya mengingat keunikan
yang ada di dalam e-commerce.
Terdapat 2 (dua) macam penyelesaian
sengketa, yaitu melalui pengadilan (in
court settlement) dan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan (out court
setllement), dalam hal ini dengan cara
arbitrase.
III. KESIMPULAN.
Perkembangan teknologi informasi
yang demikian pesatnya berdampak
pada sistem perdagangan dunia, tetapi
disisi lain dampak tersebut juga berakibat
pada masalah-masalah hukum yang
berkaitan perkembangan e-commerce
sebagai
cara
perdagangan
baru.
Penanganan untuk sengketa-sengketa
perdagangan elektronik (e-commerce)
baik itu B2B atau B2C, untuk di Indonesia
proses dengan arbitrase dianggap lebih
baik dikarenakan lebih fleksibel, lebih
efektif dan efisien karena arbitrase tidak
terikat
kepada
formalitas
seperti
pengadilan biasa.
Untuk
pengaturan
tentang
arbitrase, di Indonesia telah ada UndangUndang Nomor: 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dimana putusan arbitrase
asing
pun
dapat
dijamin
keberadaannya, sehingga sengketasengketa yang berkaitan dengan ecommerce dan terkait dengan pihak
asing dapat dijamin pelaksanaannya
(enforcement) di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Suatu Pengantar. PT. Fikahati
Aneska. Jakarta.
Adolf, Huala. 2002. Arbitrase Komersial
Internasional. PT. Raja Grafindo
Perkasa. Jakarta.
Gautama, Sudargo. 1996. Aneka Hukum
Arbitrase (Kearah Hukum Arbitrase
di Indonesia Yang Baru). PT. Citra
Aditya Bakti. Bandung.
_________________ . 1999. Undang-Undang
Arbitrase Baru 1999. PT.Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Makarim, Edmon. 2003. Kompilasi Hukum
Telematika. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Riswandi, Budi Agus. 2003. Hukum Internet
di Indonesia. Penerbit UII Press,
Yogyakarta.
Sitompul, Asri. 2003. Hukum Internet:
Pengenalan Mengenai Masalah
Hukum di Cyberspace, PT. Citra
Adytia Bakti. Bandung.
25
PARADIGMA VOL. IX. NO. 1. JANUARI 2007
Sjahputra, Imam. 2002. Problematika
Hukum Internet Indonesia. PT.
Prehallindo. Jakarta.
Subekti. 1990. Hukum Perjanjian, cet. 12.
PT. Intermasa. Jakarta.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani.
2000 .Hukum Arbitrase, PT. Raja
Grafindo Perkasa. Jakarta.
Jurnal / Makalah
Eddie R, Darajat. 1999. Membangun ECommerce di Indonesia: Sebuah
Pengalaman(Makalah)
dalam
Seminar “Sukses Bisnis Melalui ECommerce”.
Majalah
Warta
Ekonomi,
1
Desember
1999.
Jakarta.
Ichjar, Musa. 1999. Aspek Legal dan
Kelembagaan
E-Commerce
(Makalah) dalam Seminar “Sukses
Bisnis
Melalui
E-Commerce”.
Majalah
Warta
Ekonomi,
1
Desember 1999. Jakarta.
Latifulhayat, Atip. 2002. Perlindungan
Data Pribadi Dalam Perdagangan
Secara E-Commerce, Jurnal Hukum
Bisnis, Edisi Maret 2002. Yayasan
Pengembangan
Hukum
Bisnis.
Jakarta.
Ramli,
Sentot, Baskoro. 1999. Becoming an
Entrepreneur
From
The
ECommerce,
dalam
Seminar
“Sukses
Bisnis
Melalui
ECommerce”.
Majalah
Warta
Ekonomi,
1
Desember
1999.
Jakarta.
Sutan
Remi, Sjahdeni. 2002. Sistem
Pengamanan E-Commerce, Jurnal
Hukum Bisnis, Edisi Maret 2002.
Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis. Jakarta.
WEB SITE
Http://www.uncitral.org
Http://www.hukum.ui.ac.id/lembaga/lkb
h.htm
Http://www.komisihukum.go.id/artikel
Http://www.hukumonline.com/ad/bphn
http://www.whatis.com
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
KAMUS
Sudarsono. 2002. Kamus Hukum.
Rineka Cipta. Jakarta.
PT.
Ahmad R. 2002. Perlindungan
Hukum Terhadap Konsumen Dalam
Transaksi
E-Commerce,
Jurnal
Hukum Bisnis, Edisi Maret 2002.
Yayasan Pengembangan Hukum
Bisnis. Jakarta.
26
Download