MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI

advertisement
MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI METODE
KLARIFIKASI NILAI DALAM PEMBELAJARAN PKn
Ari Wibowo
PGSD – Universitas PGRI Yogyakarta
Abstrak
Dewasa ini, nilai dan moralitas merupakan sesuatu yang sulit untuk ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Di kalangan pejabat, masyarakat, bahkan pelajar
sekalipun, moralitas luhur bangsa belum tampak secara nyata dalam kehidupan
disehari-hari. Oleh karenanya makalah ini dibuat untuk memberikan rekomendasi
kepada guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang dapat
menumbuh-kembangkan karakter siswa.
Untuk mencapai tujuan pendidikan agar sesuai dengan yang inginkan, perlu
dirancang dan dilaksanakan pendidikan yang baik dengan pembangunan karakter
siswa dalam pendidikan nilai. Melalui metode klarifikasi nilai siswa dapat
memiliki kebebasan dalam berpikir, menjadi kreatif dalam mengembangkan
imajinasi, dan mewujudkan nilai-nilai yang mereka percaya untuk menjadi baik
dan benar dalam kehidupan mereka. Pokok bahasan dalam makalah ini antara lain
pendahuluan, pendidikan karakter, kegagalan PKn dalam membentuk kakrakter
siswa, mengembangkan karakter melalui Klarifikasi Nilai dan Metode Klarifikasi
Nilai dalam pembelajaran PKn.
Kata kunci: Klarifikasi Nilai, Karakter
A. Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia dihadapkan pada krisis multi
dimensi yang menyinggung persoalan mendasar bagi kehidupan manusia. Mulai
dari aspek ekonomi, sosial, moral, budaya dan utamanya adalah krisis akhlak.
Krisis pada aspek sosial khususnya sudah sampai pada bentuk yang
memprihatinkan. Berbagai bentuk penyimpangan perilaku sosial diperlihatkan
tidak hanya oleh para siswa tetapi juga oleh mahasiswa, bahkan orang dewasa.
Banyak media massa yang memperlihatkan kebiasaan mereka seperti korupsi,
ketidakjujuran, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Tidak kalah pula
munculnya kemiskinan sosial yang banyak diperlihatkan dengan berbagai
bentuknya, seperti miskin kejujuran, miskin toleransi, miskin pengabdian, miskin
disiplin dan miskin empati terhadap masalah sosial. Perilaku masyarakat yang
semakin liar dalam menanggapi isu-isu, menambah panjang catatan buruk bangsa.
63
Masalah tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan yang terjadi dewasa
ini, mengingat bahwa pendidikan adalah pilar utama berdirinya sebuah negara.
Melalui pendidikan akan tercetak warga masyarakat sesuai dengan karakter
bangsa. Baik buruknya suatu negara di masa kini tidak terlepas dari pola
pendidikan yang diselenggarakan di masa lampau. Banyak pertanyaan muncul
terkait dengan penyelenggaran pendidikan di Indonesia, bagaimana peran
pendidikan? Bisakah hal tersebut hanya dibebankan pada pendidikan sekolah?
Bagaimana kualitas pendidikan, yang semestinya tidak hanya mengajarkan aspek
kognitif dan psikomotor, tetapi juga pendidikan afeksi?
Kenyataan seperti di atas terjadi pada setiap mata pelajaran, tidak
terkecuali mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kegagalan pendidikan
terkait dengan pembentukan karakter bangsa tersebut, tidak terlepas dari
kegagalan mata pelajaran PKn dalam usaha menginternalisasi nilai-nilai
Pancasila. Praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau
nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan
perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan. Tilaar (2008:142) menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
sangat penting dalam pembinaan ideologi Pancasila. Ideologi sangat penting
dalam meracik kesatuan bangsa Indonesia, namun perlu hati-hati dalam
perumusan dan metodologinya karena dalam prosesnya dapat jatuh kepada
praktik-praktik yang justru bertentangan dengan proses pendidikan dan nilai-nilai
Pancasila itu sendiri. Pada masa lalu Ideologi Pancasila diartikan sebagai proses
indoktrinasi dari pemerintah kepada generasi muda melalui pendidikan
Kewarganegaraan. Hasilnya justru mengalami kegagalan karena caranya
bertentangan dengan hakikat pendidikan.
Dari pernyataan di atas, diperlukan pembenahan di bidang pendidikan.
Mendidik tidak hanya sekedar mengajarkan pengetahuan (transfer of knowledge),
akan tetapi juga memberikan keteladanan dan bimbingan untuk menerapkan nilainilai kejujuran, keadilan, penghargaan terhadap orang lain, dan lain-lain. Oleh
karenanya pendidikan harus dapat membangun aspek kognitif, afektif dan
psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan.
64
Selain itu, restorasi di bidang pendidikan sangat mendesak karena
pergeseran paradigma pembelajaran dari kognitifistik menjadi konstruktifistik.
Hal tersebut berimplikasi pula terhadap proses pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Paradigma konstruktifistik tidak lagi menempatkan siswa sebagai
objek pembelajaran, melainkan menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran
dan guru sebagai fasilitatornya. Dalam hal ini siswalah yang aktif ketika proses
pembelajaran berlangsung. Siswa lebih banyak diberikan kesempatan untuk
mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya, sedangkan guru hanya
memberikan arahan serta fasilitas agar proses pembelajaran tidak menyimpang
dari kurikulum yang sudah ditetapkan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menginternalisasikan nilai-nilai
karakter bangsa adalah melalui kegiatan pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai
karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat dilakukan melalui tahap
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
B. Pendidikan Karakter
Awilson (Tadkiroatun Musfiroh, 2008: 27) mendefinisikan karakter
sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan nilai benar salah, baik-buruk,
baik secara eksplisit maupun implisit. Studi tentang karakter telah lama menjadi
pokok perhatian para psikolog, pedagogi atau pendidikan. Apa yang disebut
karakter bisa dipahami berbeda-beda oleh pemikir sesuai penekanan dan
pendekatan mereka masing-masing. Secara umum istilah karakter sering
diasosiasikan dengan apa yang disebut tempramen. Selain itu, karakter dilihat dari
sudut pandang behavior yang menekankan unsur somatropsikis yang dimiliki
manusia sejak lahir. Dalam hal ini istilah karakter dianggap sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau
sifat khas dari seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima
dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari
seseorang sejak lahir.
Doyle & Ponder (Easterbrooks, 2004:255)
65
Character education is the effort to teach basic values and moral
reasoning to primary and secondary school students; it is based in the
premise that children can be thought basic values and moral
reasoning.
Jadi menurut Doyle & Ponder pendidikan karakter adalah upaya untuk
mengajarkan nilai-nilai dasar dan penalaran moral siswa sekolah dasar dan
menengah, hal ini didasarkan pada premis bahwa anak-anak dapat dianggap
memiliki nilai-nilai dasar dan penalaran moral. Lebih lanjut dalam pendidikan
karakter Lickona (1991: 53-62) menekankan pentingnya tiga komponen karakter
yang baik (competents of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan
moral, moral feeling atau perasaan moral, dan moral action atau perbuatan
bermoral seperti pada gambar berikut.
Gambar 1. Komponen Karakter
MORAL KNOWING
1.
2.
3.
4.
5.
6.
MORAL FEELING
Moral awareness
Knowing moral values
Perspective-talking
Moral reasoning
Dicsision-macing
Self-knowledge
1.
2.
3.
4.
5.
Conscience
Self-esteem
Empathy
Loving the
good
Self-control
MORAL ACTION
1.
2.
3.
Competenc
e
Will
Habit
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
karakter adalah merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan,
mengembangkan, mendewasakan, membentuk kepribadian seseorang yang
merupakan karakteristik ciri khas dari orang tersebut. Proses tersebut dilakukan
secara sadar dan sistematis, sehingga terbentuk kepribadian yang digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap dan bertindak.
66
Zubaedi
(2011:17)
mengemukakan
bahwa
pendidikan
karakter
merupakan upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam
bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku sesuai dengan nilai-nilai
luhur yang menjadi jati dirinya. Proses pengajaran karakter yang dikemukakan
oleh Kirschenbaum (2000: 16) bahwa:
If we teach or tell something directly, people may remember a certain
amount of it. If we demonstrate what we are teaching, they will
remember even more. But if we also give them an opportunity to
process that information and make personal meaning out of it, they
will remember still more and retain it longer, and it will have a deeper
impact on their behavior. Values education must be comprehensive to
be most effective.
Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa dalam mengajarkan karakter,
jika kita menunjukkan apa yang kita ajarkan, mereka akan mengingat lebih
banyak. Tetapi jika kita juga memberi mereka kesempatan untuk memproses
informasi tersebut dan membuat makna pribadi, mereka akan mengingat lebih
banyak dan mempertahankan lebih lama, dan itu akan memiliki dampak yang
lebih pada perilaku mereka. Oleh karena itu pendidikan nilai harus komprehensif
agar lebih efektif.
C. Kegagalan PKn dalam Pengembangan karakter Siswa
Mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang
pendidikan dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Mata pelajaran
PKn merupakan bagian integral dari muatan kurikulum yang memikul tanggung
jawab untuk mewujudkan salah satu aspek yang berkaitan dengan kepribadian.
Dalam Lampiran UU No 22 Tahun 2006 menyembutkan bahwa Mata Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak
dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Samsuri
(2011:18) menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan upaya
pendagogis pembentukan watak warga negara yang baik, yakni memiliki
67
penalaran moral untuk bertindak atau tidak bertindak dalam urusan publik
maupun privat.
Perlu dijelaskan bahwa dalam pembelajaran PKn yang menjadi target
yaitu terintegrasinya ketiga aspek pendidikan yaitu aspek pemahaman (teoritik),
sikap dan tingkah laku (praktik). Atas pemahaman yang benar diharapkan suatu
materi pembelajaran (nilai-nilai) maka diharapkan diwujudkan dalam sikap dan
perilaku sesuai warga negara yang baik atau berbudi
pekerti luhur. Sikap
sebenarnya merupakan hasil belajar yang merupakan kecenderungan bertindak
atas pemahaman suatu objek tertentu yang berada dalam hati seseorang.
Sedangkan perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan sebagai cerminan dari
sikapnya. Sikap merupakan hasil belajar yang berupa kecenderungan bertindak
terhadap sesuatu objek sosial yang terbentuk berdasarkan pengetahuan. Melalui
sikap akan menumbuhkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai atau
bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang dipelajari.
Gambar 2. Struktur Keilmuan PKn
Pengetahuan
PKn
Percaya diri
Kompeten
WNI
yang
baik
Komitmen
Keterampilan
PKn
Kebajikan
PKn
Kebajikan
Kn
(Mawardi, 2011:13)
Kegagalan dunia pendidikan dalam upaya membangun karakter bangsa
terutama dalam mata pelajaran PKn disinyalir karena proses pembelajaran selama
68
ini yang cenderung kognitifistik. Strategi pembelajaran yang sering disebut
sebagai pembelajaran konvensional dianggap gagal mendidik perilaku siswa
karena tidak mengabungkan ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Tidak sedikit pendidik yang lebih mengedepankan nilai-nilai kognitif dari peserta
didiknya. Mereka beranggapan bahwa ranah kognitif menyumbang lebih besar
dalam keberhasilan anak didiknya. Seorang siswa dianggap berprestasi dan
mendapat predikat sebagai pelajar teladan berdasarkan nilai mata pelajaran yang
bagus. Akibatnya, praktik pembelajaran yang selama ini berlangsung, siswa
dijejali dengan teori-teori dan konsep-konsep tanpa diberikan kesempatan untuk
memberikan pandangan dan pendapatnya terkait dengan materi pembelajaran
yang diajarkan. Strategi konvensional yang banyak menggunakan metode
ceramah cenderung meletakan siswa sebagai objek pembelajaran. Guru
menganggap bahwa dia yang paling tau materi pembelajaran dan kebutuhan
siswa. Padahal menurut Goleman (Darmiyati,2008:67) berpendapat bahwa EQ
(Emotional Quotient) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam
kehidupan, dan IQ (Intelligencie Quotient) hanya menyumbang 20% saja.
Akibat dari proses belajar yang demikian adalah peserta didik hanya
memiliki pengetahuan, tetapi tanpa memahami nilai-nilai yang terkandung
didalamnya. Seperti yang sudah diketahui, menurut beberapa praktisi pendidikan,
pembelajaran konvensional memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang
sering terjadi antara lain: 1) kurangnya pengalaman belajar, 2) prestasi belajar
diantara siswa tidak seimbang, 3) kurangnya motivasi siswa dalam pembelajaran.
D. Mengembangkan Karakter melalui metode klarifikasi Nilai
Sejalan dengan paradigma pembelajaran saat ini yaitu kontruktifistik,
maka strategi pembelajaranpun harus dibenahi. Belajar tidak lagi memindahkan
pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan belajar adalah proses untuk
memaknai pengetahuan. Pembelajaran merupakan sarana untuk menggali
kreativitas dan potensi yang dimiliki oleh siswa. Paradigma konstruktifistik
dikembangkan dalam dunia pendidikan untuk megembangkan kemampuan siswa
agar dapat memanfaatkan pengetahuannya didalam kehidupan sehari-hari.
69
Paradigma ini meletakkan siswa sebagai subjek pembelajaran, sedangkan guru
sebagai fasilitator. Tugas guru sebagai fasilitor antara lain: (1) Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menampilkan, menciptakan, menghasilkan, atau
melakukan sesuatu; (2) Mendorong tingkat berpikir yang lebih tinggi dan
keterampilan pemecahan masalah; (3) Memberikan tugas-tugas yang menuntut
aktivitas belajar yang bermakna; (4) Menerapkan apa yang dipelajari dalam
konteks nyata.
Misi sebagai pendidikan aspek afeksi ini terutama berkaitan dengan
fungsi pengembangan sikap kewarganegaraan (civic skills). Dalam Pembelajaran
moral siswa pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh
sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat
membentuk kepribadian. Salah satu alternatif yang bisa dipilih guru dalam
pembelajaran adalah mengunakan metode klarifikasi nilai. Melalui klarifikasi
nilai diharapkan dapat menjadikan anak didik memiliki sikap kritis dalam
menghadapi dinamika interaksi sosialnya. Kemampuannya seperti memilih
dan memilah, memahami dan mengeksplorasi dari beragam konsekuensi nilainilai moral yang telah didapatnya melalui klarifikasi nilai dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui klarifikasi nilai ini siswa diharapkan
mampu menetapkan mana nilai-nilai moral yang terbaik bagi kebaikan dan
kehormatan dirinya. Anak akan selalu berhati-hati dan kritis terhadap nilainilai yang berlangsung dalam interaksi sosialnya, baik pada kondisi yang
memang diciptakan untuk melahirkan nilai-nilai moral maupun pada kondisikondisi dilematis moral yang dihadapinya.
Wina Sanjaya (2008:283) menjelaskan bahwa teknik klarifikasi nilai
atau sering disebut Value Clarification Technique dapat diartikan sebagai
teknik
pembelajaran untuk membentuk
siswa
dalam
mencapai dan
menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu
persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam
dalam diri siswa. Hall (1973:11) mengartikan teknik klarifikasi nilai (VCT)
sebagai:
70
By value clarification we mean a methodology or process by which
we help a person to discover values through behavior, feelings,
ideas, and through important choises he has made and is
continually, in fact, acting upon in and through his life.
Menurut Hall VCT adalah metode klarifikasi nilai, di mana peserta
didik tidak disuruh menghafal dan tidak “disuapi” dengan nilai-nilai yang
sudah dipilihkan pihak lain, melainkan dibantu untuk menemukan,
menganalisis,
mempertanggungjawabkan,
mengembangkan,
memilih,
mengambil sikap dan mengamalkan nilai-nilai hidupnya sendiri. Dengan
demikian, penggunaan metode klarifikasi nilai ini akan membantu siswa untuk
mengambil keputusan sendiri, mengarahkan kehidupannya sendiri, tanpa
campur tangan yang tidak perlu dari pihak lain.
Rath, Harmin, dan Simon (1966: 30), mengemukakan ada tujuh
langkah dalam metode klarifikasi nilai yaitu:
1) Memilih
a) Memilih dengan bebas
b) Memilih dari berbagai alternatif
c) Memilih dari berbagai pertimbangan alternatif setelah
mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
2) Menghargai
d) Menghargai dan merasakan bahagia dengan pilihannya
e) Bersedia mengakui/menegaskan pilihannya di depan umum
3) Bertindak
f) Berbuat/berperilaku sesuai dengan pilihannya
g) Berulang-ulang betindak sesuai dengan pilihannya hingga
akhirnya menjadi kebiasaan/pola hidupnya
E. Metode Klarifikasi Nilai dalam Pembelajaran PKn
Cheppy (Sotarjo 2009: 89) mengemukakan beberapa metode yang
dapat dilakukan agar proses klarifikasi nilai dapat berlangsung secara efektif
dalam proses pembelajaran, antara lain:
1) Metode dialog
71
Pendidik menawarkan nilai tertentu untuk dibicarakan, dibahas
secara dialogis di antara perserta didik. Dialog ini garis besarnya
sebagai berikut:
a) Pendidik menawarkan nilai tertentu dalam suatu dilema moral,
peserta didik mendalami dengan metode inkuiri, analisis
dilema moral
b) Peserta
didik
diberikan
kebebasan
untuk
menanggapi,
bertanya, menjelaskan satu sama lain yang berlangsung dalam
diskusi kelompok.
c) Peserta didik bebas mengambil pilihan, keputusan dan
kesimpulan terkait dengan nilai yang jadi bahan dialog.
d) Pilihan ini diberi alasan dan dikemukakan pada teman yang
lain lewat presentasi.
e) Pendidik atau teman sejawat memberikan pertanyaan kritis
terhadap nilai pilihan peserta didik.
f) Peserta
didik
menyampaikan niat
untuk
melaksanakan
pilihannya.
2) Diskusi kelompok- cooperative learning
Pendidik membentuk kelompok-kelompok dalam
kelas, dan
kepada kelompok pendidik menyampaikan sejumlah daftar nilai
berserta pernyataan kritis terkait dengan nilai-nilai tersebut secara
berbeda. Masing-masing peserta didik secara bebas dalam
kelompok berdiskusi, menanggapi pertanyaan-pertanyaan kritis
terhadap nilai yang ditawarkan, memberi argumentasi atas
pilihannya. Kemudian setiap kelompok mencoba merangkum
pendapat bersama dan dalam pleno peserta didik atau kelompok
diberi kebebasan mengutarakan pilihan serta alsannya, termasuk
niat untuk melaksanakan pilihan yang telah dipilih. Peran pendidik
di sini adalah sebagai pendamping dan fasilitator dalam proses
diskusi agar jalannya diskusi dapat berjalan dengan lancar.
72
3) Studi kasus dengan problem solving, studi kasus moral yang
berdilema
Pendidik memberikan cerita berkasus yang menngudang unsurunsur problem solving atau pemecahan kasus yang mengundang
dilema moral atau nilai tertentu, disertai sejumlah pertanyaan
untuk ditanggapi peserta didik baik secara individual maupun
secara kolektif dalam diskusi kelompok dan dipresentasikan dalam
pleno. Penggunaan metode problem moral sebaiknya mengandung
dilema nilai ata moral yang jelas dan tajam sehingga peserta didik
ditantang untuk mencari penyelesaian. Dalam diskusi kelompok
peserta didik bebas memilih jalan keluar dari dilema yang ada,
dengan disertai alasannya. Peran pendidik sebagai fasilitator dalam
diskusi, hanya memberi petanyaan-pertanyaan kritis terhadap
argumen peserta didik, tanpa memaksakan pendapatnnya.
Dari beberapa metode diatas, langkah-langkah pembelajaran menggunakan
metode klarifikasi nilai secara umum dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3. Kerangka Pikir Metode Klarifikasi Nilai Mata Pelajaran
PKn
Kondisi Awal Siswa
Pemahaman dan nilai
yang dimiliki siswa
sebelum proses
pembelajaran
Dilema Moral
Deskripsi faktual
baik normatif
maupun empirik
problema/dilema
moral untuk
dipecahkan
Proses Klarifikasi
Kemampuan perilaku
cognitive : mengidentifikasi,
mendifinisikan, memecahkan,
mengevaluasi dan
memprediksi behavior /life
style : menunjukkan,
menjelaskan, menganalisis
berargumentasi, menilai dan
menyimpulkan.
Perubahan Perilaku
Namun demikian, ada kelemahan-kelemahan yang perlu diperhatikan
dalam metode klarifikasi nilai antara lain guru harus memiliki persiapan
73
yang baik untuk merancang pembelajaran. Kelemahan lainnya adalah
kemungkinan materi tidak dapat luas karena siswa yang asik berdiskusi.
Selain itu kriteria benar-salah dapat relatif, karena sangat mementingkan
nilai individu. Dengan demikian guru harus mempersiapkan rancangan
pembelajaran dengan matang agar proses pembelajaran menggunakan
metode klarifikasi nilai dapat berjalan dengan baik dan dapat meminimalisir
kelemahan yang ada.
F. Kesimpulan
Mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk
membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. PKn tidak hanya
mengajarkan tentang konsep bernegara, tetapi mengajarkan pula bagaimana
menjadi warga negara yang baik. Oleh karena itu dalam pembelajaran PKn sangat
dimungkinkan adanya pengintegrasian nilai-nilai dan moralitas sebagai upaya
pendidikan karakter menuju perbaikan kualitas moral bangsa Indonesia. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan afeksi yaitu model pembejaran yang berusaha
mengembangkan aspek emosi atau perasan yang umumnya terdapat dalam
pendidikan humaniora dan seni, namun juga dihubungkan dengan sistem nilai
hidup, sikap, dan keyakinan untuk mengembangkan moral dan watak seseorang
(Nurul Zuriah, 2007: 19). Implementasi pendidikan afeksi salah satunya adalah
dengan menggunakan VCT.
Metode VCT merupakan salah satu metode yang paling cocok untuk
meningkatkan sikap, nilai, dan kemandirian siswa. Kecocokan ini didasarkan pada
tekniknya yang melibatkan diri siswa dalam menentukan nilai-nilai yang akan
diputuskan. Dilema moral merupakan salah satu metode yang sangat penting
untuk mengetahui sampai dimanakah pemikiran dan pemahaman moral seseorang
menurut teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg. Dengan
diketahuinya tingkat pemahaman moralnya, maka kita akan dapat mengetahui
bagaimanakah sikap dan tanggapan mahasiswa ketika berada dalam situasi-situasi
yang dilematis.
74
Daftar Pustaka
Bunyamin Maftuh. (2008). Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Educationist Vol. 2 No. 2, 60-78.
Darmiyati Yuchdi. (2008). Humanisme Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Diknas. (2006). Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006,
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Doni Koesoema (2007). Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Easterbrooks, S. R. & Scheetz N.A. (2004). Applying Critical Thinking Skills to
Character Education and Values Clarification With Students Who Are
Deaf or Hard of Hearing. American Annals of the Deaf,149, 255-26.
Goleman, D. (2002). Emotional Intelegence : Kecerdasan Emosional,
(Terjemahan T. Hermaya) Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
H.A.R., Tilaar. (2004). Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Tranformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Ine K.A. & Markum S. (2010). Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Kirschenbaum, H. (2000). From Values Clarification to Character Education: A
Personal Journey. Journal of Humanistic Counseling, Education &
Development, 39(1), 4-20. Retrieved from EBSCOhost.
Krathwohl, D. R., Benjamin S. B., & Betarm B M. (1964). Taxonomy of
educational objectives: the classification of educational goal handbook II:
affective domain. London: Longman.
Lickona, T. (1991). Educating fot Character. How Our Schools can Theach
Respect and Responsibility. New York: Batam Books.
Raths, L. E., Merrill H. & Sidney B. S. (1966) Values and Teaching: Working
with Values in the Classroom. Columbus, Ohio : Charles E. Marrill
Publishing Co.
Samsuri, 2011. Pendidikan Karakter Warga Negara. Yogyakarta: Diandara
Pustaka Indonesia.
Simon, S. B. (1972).Values Clarification. New York : Hart Publishing Company.
75
Tadkiroatun Musfiroh. (2008). Pengembangan Karakter Anak Melalui
Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Berbacai Aspek, Character
Building, Yogyakarta: lembaga pelitian UNY.
Wina Sanjaya. (2008). Strategi pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Preanda Media Group.
76
Download