BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM YANG

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM YANG DISKRIMINATIF
TERHADAP HOMOSEKSUAL
2.1. Konsep Hukum
Secara umum, hukum diartikan sebagai undang-undang atau hukum tertulis
yang diciptakan oleh penguasa yang berwenang, aturan-aturan selain yang dibuat
atau ditetapkan oleh pihak yang berwenang tidak dianggap sebagai hukum,
termasuk pula aturan-aturan adat dan agama, meskipun keduanya mengikat secara
moral, namun tidak mengikat secara yuridis, aturan adat dan aturan agama baru
dapat mengikat secara yuridis apabila ada undang-undang yang mengakui
keberadaan aturan agama atau aturan adat tersebut ataupun apabila aturan-aturan
tersebut diundangkan kedalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai
dengan teori positivisme hukum yang menyatakan bahwa undang-undang adalah
satu-satunya sumber hukum, diluar undang-undang bukanlah hukum. Teori ini
juga mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai moral.1
Pada dasarnya, hukum diciptakan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk
mengatasi konflik. Dengan adanya hukum, konflik akan dipecahkan berdasarkan
aturan yang berorientasi pada nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara
yang kuat dan lemah.2 Agar bersifat objektif, maka oleh Reinhold Zippelius
dikatakan bahwa hukum harus merealisasikan tiga nilai dasar, yaitu3:
1
Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 154.
2
Ibid, h. 123.
Ibid, h. 52-57.
3
1) Nilai kesamaan
Dihadapan hukum semua pihak harus dipandang sama, sebab hukum
menjamin kedudukan yang sama bagi setiap anggota masyarakat, aturan
hukum harus berisi kriteria objektif yang berlaku bagi semua pihak karena
hukum berlaku umum. Nilai kesamaan inilah yang dalam etika politik disebut
keadilan.
2) Nilai kebebasan
Hukum mencegah pihak yang kuat mencampuri pihak yang lemah, sebab
pada dasarnya hukum melindungi kebebasan manusia. Inti dari kebebasan
ialah bahwa setiap orang atau sekelompok orang berhak untuk mengurus
dirinya sendiri lepas dari dominasi pihak lain yang dipaksakan secara
sewenang-wenang.
3) Nilai kebersamaan
Hukum adalah institusional dari kebersamaan manusia, sebagai makhluk
sosial, manusia selalu hidup bersama, pengakuan terhadap solidaritas ini
mengharuskan
tatanan
hukum
untuk
menjamin sikap senasib
dan
sepenanggungan. Sehingga dalam tatanan hukum tidak boleh ada pihak yang
dibiarkan menderita apalagi dikorbankan demi kepentingan orang lain.
Ketiga nilai tersebut harus terkandung dalam setiap instrumen hukum agar tujuan
hukum dapat tercapai.
2.2 Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia
2.2.1 Konsep Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) ialah hak yang melekat pada setiap individu
sejak lahir yang diberikan oleh Tuhan, sehingga tidak boleh ada orang, institusi
sosial, budaya atau bahkan negara yang boleh melanggar hak-hak individu
tersebut.4 John Locke menyatakan dalam teori hukum alam bahwa negara
bukanlah pencipta hak individu, namun bertanggungjawab atas pelaksanaannya,5
dan fungsi negara hanyalah menciptakan kondisi agar HAM dapat dinikmati oleh
setiap orang dan negara tidak berwenang mencabut HAM seseorang. 6 Namun
menurut Jeremy Bentham, hak adalah anak dari hukum, hak nyata berasal dari
hukum yang nyata (undang-undang), sebaliknya, hukum imajiner (hukum alam)
menimbulkan hak yang imajiner, artinya hak tersebut tidak memiliki arti apa-apa
jika tidak diatur oleh undang-undang.7
Pendapat Jeremy Bentham ini sesuai dengan aliran positivisme hukum dan
digunakan dalam praktik hukum HAM saat ini, sebab sesuatu hal tidak mungkin
diakui dan dilindungi sebagai hak jika tidak ada aturan hukum yang mengatur dan
mengakuinya sebagai hak, selain itu HAM juga diinpretasikan berbeda di setiap
negara, misalnya hak atas perkawinan, di beberapa negara perkawinan dianggap
sebagai hak setiap individu tanpa terkecuali, termasuk bagi pasangan sejenis,
namun di negara lain hanya pasangan beda jenis kelamin yang dapat
4
Tony Evans, 2011, Human Rights in the Global Political Economy, Critical Processes, Lynne Riener Publishers,
Inc., Boulder, Colorado, h. 31.
5
Masykuri Abdillah, 2015, Islam dan Demokrasi, Respons Intelektual Muslim Terhadap Konsep Demokrasi 19661993 Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 91.
6
M. Said Nasar, 2006, Kewarganegaraan (Pemahaman dalam Konteks Sejarah, Teori dan Praktik), Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, h. 63.
7
Peter Mahmud, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. III, Kencana, Jakarta, h. 165.
melangsungkan perkawinan. Atas dasar inilah, maka dalam hukum HAM dikenal
dua istilah hak, yaitu8:
a. Hak alam (natural rights), yaitu hak yang diperoleh seseorang karena ia
manusia dan bersifat universal; dan
b. Hak hukum (positive rights), yaitu hak yang diperoleh seseorang karena
menjadi warga negara, hak ini bersifat domestik.
Dalam praktiknya, hanya hak hukum yang diakui oleh negara, namun tidak
dapat dipungkiri bahwa hak hukum adalah hak alam yang diundangkan, artinya
bukan hukum yang menciptakan hak, melainkan hak yang memaksa adanya
hukum.9 Karena itulah hukum HAM terus berkembang sesuai tuntutan hak
masyarakatnya.
2.2 Perkembangan Hak Asasi manusia
HAM berkembang sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial
yang diciptakan oleh kekuatan politik, ekonomi dan keagamaan yang
mendominasi masyarakat.10 Isi atau subtansinya juga berkembang seiring
timbulnya kesadaran individu atau kelompok atas hak-hak mereka, diawali oleh
kesadaran hak para bangsawan Inggris yang melahirkan Magna Charta, kemudian
rakyat juga menyadari hak-hak mereka sehingga tercipta Deklarasi Kemerdekaan
di Amerika Serikat dan Deklarasai Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di
8
M. Said, Op.Cit, h. 62.
Peter, Op.Cit, h. 172.
10
Thomas Meyer, 2003, Demokrasi, Sebuah Pengantar untuk Penerapan, Cet. II, Friedrich-Ebert-Stiftung
Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, h. 14.
9
Perancis, dan yang berlaku diseluruh dunia ialah Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). 11
DUHAM sesungguhnya bukanlah konseptualisasi HAM paling akhir, sebab
sesudah DUHAM, muncul berbagai instrumen HAM yang merupakan penjabaran
dari DUHAM terkait sifat HAM yang universal, setara dan nondiskriminasi.
Adapun pengaruh dari hal tersebut ialah munculnya kesadaran kelompokkelompok minoritas serta kelompok-kelompok yang selama ini mengalami
diskriminasi akan hak-hak mereka, seperti kaum wanita, orang-orang disabilitas
serta kelompok homoseksual. Mereka mendesak agar mendapatkan hak yang
setara dengan kelompok lain.
Akibat adanya desakan-desakan tersebut, dibentuklah berbagai instrumen
yang mengatur secara khusus mengenai hak-hak kelompok ini, misalnya
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan Tahun 1979, Konvensi Internasional tentang Hak-hak Penyandang
cacat Tahun 2006 dan bagi kelompok homoseksual diatur dalam Resolusi Dewan
HAM PBB 17/19 tentang HAM, Orientasi Seksual dan Identitas Gender pada
tahun 2011.
Hal tersebut menunjukkan bahwa HAM bersifat dinamis, sekalipun HAM
dasar sudah diakui, tidak ada halangan bagi perluasan penafsiran HAM atau
11
Majda, Ibid, h. 52-53.
diterimanya hak-hak tambahan.12 Hal ini bertujuan agar HAM dapat dinikmati
semua orang.
12
Julie Mertus, 2001, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan: Langkah Demi Langkah, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, h. 12.
2.2.3 Prinsip Kesetaraan dan Nondiskriminasi
Prinsip kesetaraan sering kali digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena
hal yang fundametal dari lahirnya ide HAM adalah meletakkan setiap individu
dalam posisi yang sederajat dalam hubungannya satu sama lain.13
Kesetaraan tidak berarti bahwa semua manusia adalah sama. Manusia secara
alamiah berbeda satu sama lain, seperti agama, budaya, jenis kelamin, keinginan
dan sebagainya. Istilah kesetaraan digunakan karena maknanya memperhitungkan
semua perbedaan ini, dan tidak bertujuan menghapus perbedaan alamiah tersebut,
makna dari kesetaraan menekankan bahwa ada hak-hak yang tidak dapat dicabut
dari setiap orang bukan karena ia menganut agama tertentu, ras atau jenis kelamin
tertentu, melainkan karena ia adalah manusia. Kesetaraan berarti bahwa tidak ada
orang yang harus dikorbanan untuk kebaikan orang lain. Dan prinsip kesetaraan
maknanya adalah bahwa setiap orang adalah sama dihadapan hukum, tidak ada
hukum yang ditujukan untuk beberapa orang, sementara hukum yang berbeda
ditujukan bagi orang lain.14
Larangan diskriminasi adalah bagian tak terpisahkan dari prinsip kesetaraan.
Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif selain
tindakan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan.15 Prinsip nondiskriminasi
pada hakikatnya terkandung dalam seluruh instrumen HAM. Dalam kamus hukum
oxford, diskriminasi dimaknai sebagai:
“Discrimination: n. Treating a person less favourably than others and
grounds un related to merit, usually because he or she belongs to a
13
14
15
Hesti, Op.Cit, h. 89.
Hesti, Loc.Cit.
Wahyu Wibowo, 2014, Pengantar Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hukum Militer, Jakarta, h. 20.
particular group or category. As well as direct discrimination, this may
involve indirect discrimination, victimization, or harassment. It is unlawful
to discriminate on racial grounds, on grounds of sex (including gender
reassignment), sexual orientation, religion or belief, disability or age.” 16
Definisi tersebut menyatakan bahwa diskriminasi terjadi bukan karena
orang tersebut malakukan suatu hal yang tidak patut sehingga dapat diperlakukan
berbeda, misalnya menghukum orang karena mencuri. Diskriminasi terjadi karena
seseorang termasuk atau dikaitkan dengan suatu kelompok sosial tertentu,
misalnya jenis kelamin, orientasi seksual maupun agama. Diskriminasi dibagi
menjadi dua, yaitu17:
a) diskriminasi langsung, yakni ketika seseorang baik secara langsung maupun
tidak langsung diperlakukan berbeda.
b) diskriminasi tidak langsung, yakni ketika dampak praktis dari hukum
merupakan bentuk diskriminasi meskipun hal itu tidak ditujukan untuk tujuan
diskriminasi.
Prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi merupakan ciri khas HAM yang saling
berkaitan erat, hukum diciptakan untuk menjamin HAM, oleh sebab itu hukum
harus berlaku setara dan nondiskriminasi, sebab semua instrumen HAM
diciptakan tidak lain adalah untuk menjamin terlaksananya kedua prinsip ini.
16
Elizabeth A. Martin, 2007, Oxford Dictonary of law, seventh Edition, Oxford University Press Inc. New York,
h. 175.
17
Eko Riyadi et. al, 2012, Vulnerable groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia UniversitasIslam Indonesia, Yogyakarta, h. 16.
2.2.4 Diskriminasi atas Jenis Kelamin
Diskriminasi yang dialami oleh kelompok homoseksual tidak dapat
dipisahkan dengan diskriminasi atas jenis kelamin, diskriminasi ini terjadi akibat
adanya konsep peran gender dalam masyarakat, yakni tatanan sosial yang
melekatkan jenis kelamin lahir seseorang pada beberapa hal, mulai dari nama,
pakaian, gaya rambut, cara bicara, bahasa tubuh, minat, karakter, perilaku,
kedudukan, dan tujuan hidup.18 Dalam konsep peran gender ini, wanita dianggap
lemah, tidak memiliki kemampuan apa-apa, serta menggantungkan hidup dan
nasibnya pada pria,19 wanita hanya bertugas mengasuh anak, memasak,
membersihkan rumah dan melayani suami serta melakukan pekerjaan domestik
lainnya.20 Sedangkan pria dilekatkan dengan maskulinitas, mewajibkan pria
berperilaku jantan, kuat, tidak cengeng dan bekerja diluar rumah untuk menafkahi
keluarga.21 Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pria memiliki kedudukan lebih
unggul dibanding wanita atau biasa disebut patriarki.
Budaya patriarki ini membentuk wanita bergantung pada pria, wanita tidak
mampu mengambil keputusan bahkan untuk dirinya sendiri.22 Diskriminasi ini
juga dibenarkan oleh tradisi dan ajaran agama, sebab pada umumnya tradisi dan
agama meletakkan norma hanya pada perspektif pria.23 Hal ini kemudian
dilegitimasi ke dalam aturan-aturan hukum dan kebijakan negara yang bias
18
Curtis O. Byer et. al., 2002, Dimension of Human Sexuality, Sixth Edition, McGraw-Hill Higher Education,
New York, h. 288.
19
Free Hearty, 2015, Keadilan Jender: Perspektif Feminis Muslim dalam Sastra Timur Tengah, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, h. 80.
20
Ibid, h. 141.
21
Hendri, Op.Cit, h. 25.
22
Free, Op.Cit, h. 138.
23
Free, Op.Cit, h. 80-81.
gender. Para wanita kemudian menyuarakan hak-haknya dan memperjuangkan
kesetaraan dengan pria, gerakan menuntut kesetaraan hak dengan pria ini biasanya
dikenal dengan istilah feminisme. Salah satu bentuk kesetaraan yang dituntut
dalam gerakan ini adalah hak untuk memilih pasangan, sebab selama ini wanita
hanya dijadikan objek seks pria, wanita tidak benar-benar dapat memilih
pasangannya sendiri.
Diskriminasi terhadap homoseksual kemudian dianggap sebagai salah satu
bentuk dari diskriminasi gender yang didasarkan pada budaya patriarki, sebab
menurut budaya ini wanita menggantungkan hidup pada pria, dengan demikian
hubungan yang dijalin oleh pasangan jenis kelamin terutama sesama wanita tidak
mungkin dapat dilakukan karena wanita dianggap lemah, sehingga butuh pria
sebagai pelindung dan pemimpin.
2.3. Pengertian Homoseksual
Homoseksual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan tertarik
terhadap orang dengan jenis kelamin sama,24 dan dalam Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa jilid II, homoseksual diartikan sebagai rasa ketertarikan
perasaan (kasih sayang, hubungan emosional, dan/atau secara erotik), secara
eksklusif terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa
hubungan fisik.25
24
Departemen Pendidikan Nasional, 2015, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, h. 506.
25
Argyo
Dematoro,
2013,
Seks,
Gender,
Seksualitas
dan
Lesbian,
URL
:
http://argyo.staff.uns.ac.id/2013/04/24/seks-gender-seksualitas-gay-dan-lesbian/ diakses tanggal 28 Januari 2016.
Homoseksual sendiri merupakan salah satu varian dari orientasi seksual
manusia selain heteroseksual (ketertarikan terhadap lawan jenis) dan biseksual
(ketertarikan terhadap lawan jenis dan sesama jenis). Orientasi seksual dapat
diartikan sebagai rasa ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap
jenis kelamin tertentu, orientasi seksual ini dapat diikuti dengan adanya perilaku
seksual atau tidak.26 Orientasi seksual berbeda dengan perilaku seksual, sebab
orientasi seksual bukan semata ketertarikan seks secara jasmani, namun juga
menjangkau hubungan batin dan merupakan pola berkelanjutan, sedangkan
perilaku seksual dimaknai sebagai perilaku yang menggambarkan hadirnya
erotisme. Erotisme sendiri ialah kemampuan secara sadar dalam mengalami hasrat
akan dorongan seks, orgasme atau hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan
seksual.27
Istilah homoseksual diperkenalkan oleh Anne Fausto-Sterling pada tahun
1869 dalam buku Sex/Gender, namun baru pada tahun 1892 istilah homoseksual
merujuk pada orientasi seksual sesama jenis, sebelumnya penggunaan istilah
homoseksual merujuk pada pria yang bersifat feminin.28 Anggapan ini masih
sering berlaku sampai saat ini, dimana homoseksual identik dengan pria feminin
atau wanita maskulin. Padahal orientasi seksual berbeda dengan identitas gender.
Istilah lain untuk homoseksual adalah gay dan khusus untuk homoseksual wanita
disebut lesbian.
26
27
28
Ibid.
Sinyo, Op.Cit, h. 2-4.
Hendri, Op.Cit, h. 10-11.
1.4. Pengertian Heteronormatitas
Heteronormativitas adalah suatu tatanan sosial yang menganggap bahwa
orientasi heteroseksual adalah suatu norma yang ideal dan sebagai sesuatu yang
normal,29 artinya setiap orang harus berpasangan dengan orang yang jenis
kelaminnya berbeda. Mereka yang tidak berperilaku berdasarkan norma sosial ini
akan dianggap menyimpang atau tidak normal karena tidak sesuai tatanan sosial.
Hal ini terkait erat dengan fungsi reproduksi serta konsep peran gender dalam
masyarakat.
Kondisi ini kemudian mengakibatkan terbentuknya perilaku yang disebut
homophobia, yakni sikap atau perasaan negatif, tidak suka terhadap homoseksual
secara umum, atau penolakan terhadap orang-orang yang dianggap homoseksual
dan semua yang diasosiasikan dengan mereka.30 Homophobia inilah yang
kemudian memunculkan diskriminasi terhadap kelompok homoseksual.
29
Hendri, Op.Cit, h. 13.
Moh. Yasir Alimi, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama,
LkiS, Yogyakarta, h.38.
30
Download