mencari model evaluasi dengan pendekatan yang sesuai

advertisement
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
MENCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN
YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESAIN
KOMUNIKASI VISUAL
Maria N D K Indrayana
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakulitas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Prospek desain komunikasi visual pada tahun-tahun mendatang tampak lebih cerah dengan
fenomena kenaikan belanja iklan tiga tahun terakhir dan kebebasan pers yang memicu kelahiran
banyak media cetak dan media elektronik baru. Sehingga profesi ini akan semakin berperan
penting. Di pihak lain ada kenyataan ditariknya sejumlah iklan yang tengah ditayangkan karena
kritik yang diterimanya, sehingga desainer sebagai pengolah kreatif dianggap turut bertanggung
jawab .
Dengan berbagai latar belakang itulah institusi pendidikan Desain Komunikasi Visual di
Indonesia sebagai wadah penggodokan calon desainer dituntut untuk melahirkan desainer dengan
kualitas terbaik. Maka proses studi menjadi penting. Untuk itu diperlukan model evaluasi dengan
pendekatan yang sekiranya sesuai untuk pendidikan desain komunikasi visual, dewasa ini.
Kata kunci : model evaluasi, pendidikan desain komunikasi visual.
ABSTRACT
Visual communication design in coming years seem getting better. It can be seen by the
growth of commercial advertisment in the last three years and the pers freedom make the printing
media and new electronic media exist. It would make the Visual communication design proffesion
is became important. In the other side, there is a fact that many of advertisement have been
canceled because of many public critical. Because of this, the designer as a creatif person has to
be responsible.
Because of this fenomena, education of visual communication design in Indonesia as an
institution has to make the best quality designer. The process of study is become very important.
Because of that reason, the evaluation model with suitable approach is needed for education of
visual communication design.
Keywords : evaluation model, education of visual communication design.
PENDAHULUAN
Seorang seniman ketika menuangkan idenya ke dalam bentuk visual sesungguhnya
sedang melakukan penataan elemen-elemen estetis seperti garis, bentuk, ukuran, warna,
dan tekstur ke dalam sebuah bidang komposisi yang kelak melahirkan harmoni dari
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
179
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
bentukan-bentukan tersebut. Sementara bagi pengamat, melalui pengamatan dan
perenungan karya tersebut kemudian dinilai sebagai sebuah keindahan atau malah dinilai
sebaliknya, oleh sekelompok pengamat berlatar belakang pengalaman yang lebih kurang
sama dan berdasarkan prinsip estetis yang dianut. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Clive Bell, bahwa keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang
dalam dirinya memiliki pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam suatu
benda karya seni. 1 Kemampuan untuk merasakan dan menikmati hal-hal indah adalah
anugerah Tuhan dan kesadaran akan ini baru diketahui dan dipelajari oleh ilmuan Yunani,
dan selanjutnya dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumargen (1714-1762) sebagai
‘Aesthetica’ dan yang dikenal kemudian dengan istilah ‘Estetika’. Berdasarkan pengertian
kamus Webster istilah estetika ini dapat digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah
yang berkaitan dengan keindahan. 2
Proses menikmati dan pemberian makna atas karya seni/desain adalah proses wajar
dimana setiap orang bisa berfungsi sebagai penikmat atau pengamat sekaligus interpreter.
Fakta aktual adalah sebagaimana yang terjadi atas kasus ditariknya beberapa iklan yang
tengah ditayangkan. Contoh iklan rokok Sampurna - A Mild versi animasi kartun yang
kemudian ditarik dari peredaran karena kritik dan penilaian dari berbagai pihak
pengamat, baik itu target konsumen langsung, maupun oleh lingkungan sosialnya. Iklan
yang menampilkan tokoh-tokoh kartun yang cenderung digemari oleh anak-anak ini,
kemudian ditafsirkan oleh ahli psikologi secara langsung atau tidak mempengaruhi anakanak dan dianggap sejak dini memperkenalkan rokok kepada mereka.3
Belajar dari sini kita sadari penuh bahwa nilai-menilai atau evaluasi erat sekali
kaitannya dengan bidang seni. Khusus disiplin desain komunikasi visual sebagai salah
satu karya seni terapan, menurut Mudji Sutrisno dalam bukunya “Estetika, Filsafat
Keindahan” seharusnya berciri transformatif selain involutif – pengabdian kepada
kepentingan sendiri – yakni menampilkan kepedulian terhadap masyarakat ke arah
perbaikan kualitas hidup. Sehingga pro-kontra yang kemudian ditimbulkan oleh karya
1
Sutrisno, Mudji & Verhaak, Christ, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal.82 .
Lihat pengertian ini pada Kusmiati R., Artini, Teori Dasar Desain Komunikasi Visual, Jakarta, Djambatan, 1999, hal.1.
3
Majalah Cakram Komunikasi, edisi Februari 2002, hal. 14-15
2
180 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
seni tersebut akan bermuara pada kehidupan penuh dinamika yang bermanfaat bagi hidup
berbangsa. 4
Oleh karena itu penulis mencoba mencari model evaluasi dengan pendekatan yang
sesuai untuk pendidikan Desain Komunikasi Visual, dengan kerangka pengertian seperti
dijabarkan di bawah ini.
PENGERTIAN DAN BATASAN JUDUL
1. Kata ‘model’. Menurut Kamus besar (1998) secara umum model diartikan sebagai
pola, contoh, acuan dari sesuatu yang akan dibuat.5
2. Kata ‘pendekatan’. Diartikan sebagai bentuk usaha dalam rangka aktivitas penelitian
untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode untuk
mencapai pangertian tentang masalah penelitian. 6 Secara lebih rinci Rencana Induk
Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta (RIP PTS) (1985) mengartikan sebagai caracara yang ditempuh dalam usaha pengembangan PTS atau dalam pemecahan dan
penanggulangan masalah yang dihadapi. 7
3. Kata ‘evaluasi’. Berarti penilaian. 8 Sedangkan menurut Feasley (1980), evaluasi
merupakan penilaian (judgment) terhadap kebaikan dan keburukan ataupun dampak
suatu program atau prosedur sekaligus penilaian terhadap proses terhadap pemberian
judgment itu sendiri. 9
4. Kata ‘pendidikan’. Diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau sekelompok orang dalam usaha pendewasaan melalui upaya pengajaran dan
latihan; proses; perbuatan; cara mendidik. 10
5. Istilah ‘desain komunikasi visual’ atau disingkat ‘deskomvis’, adalah merupakan
perluasan dari istilah desain grafis yang lebih dulu populer. Bidang cakupannya antara
lain adalah pekerjaan mendesain, seperti penataan tipografi dan ilustrasi, periklanan,
4
Sutrisno,FX.Mudji & Verhaak, Christ, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal.147-150
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Perum Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal. 5891.
6
Ibid, hal.129
7
Hadikoemoro, Soekismo & Sukma, A. Kosasih.,Rencana Induk Pengembangan Perguruan Tinggi Swasta, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985, hal 39
8
Tim Penyusun Kamus besar Bahasa Indonesia, op.cit, hal.238
9
Hadikoemoro, Soekismo & Soekma, A.Kosasih.,op.cit. hal.41.
5
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
181
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
produksi buku dan majalah, pembuatan Corporate Identity , yang meluas ke
komunikasi melalui fotografi, film dan televisi. 11
Penggunaan istilah ‘desain grafis’ dalam tulisan ini dipakai untuk penyebutan profesi
dan penjelasan sejarah perkembangannya.
Secara khusus pendalaman bidang studi Deskomvis diperoleh
pada mata kuliah
Desain Komunikasi Visual 1, 2, 3 dan 4. Bahasan ini lebih disempitkan untuk evaluasi
pada aplikasi corpeorate identity dan promosi produk lewat iklan (media cetak, media
elektronik) yang merupakan produk Deskomvis yang secara tidak langsung
membutuhkan tanggapan masyarakat.
Maka pengertian judul tulisan ini adalah sebuah upaya menemukan pola atau acuan
yang dapat dijadikan dasar evaluasi berdasarkan pola hubungan yang terjadi dalam
institusi pendidikan khususnya pendidikan desain komunikasi visual.
PENDEKATAN DAN MODEL EVALUASI
Memperhatikan hubungan Deskomvis dengan lingkungan kerja nantinya dan
proses pendidikan yang harus dilalui sebelumnya, maka ada hubungan interaktif antara
dosen-mahasiswa-institusi-lingkungannya yang akan ikut mempengaruhi proses evaluasi
itu sendiri sehingga beberapa model pendekatan belajar akan dijadikan dasar untuk
menemukan model evaluasi, dengan terlebih dahulu mengadakan peninjauan terhadap
beberapa pilihan model interaktif yang dicatat oleh Dr. Taliziduhu Ndraha (1988),12
sebagai berikut :
- Model belajar-mengajar
Merepresentasikan hubungan interaktif antara Mahasiswa dengan Dosennya. Perilaku
mahasiswa bergantung pada cara atau teknik mengajar yang dipergunakan Dosen.
Sebaliknya, teknik mengajar dapat dipengaruhi oleh sikap Mahasiswa.
- Model instruksional
Model ini berkaitan dengan fungsi dosen sebagai instruktor. Dosen memberi instruksi
dan mahasiswa mentaatinya.
- Model Challenge and Response
10
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit. hal.204.
Lihat Limandoko, Bagus, Desain Komunikasi Visual dan Perilaku Konsumen, Nirmana, Vol.2,Juli 2000,hal.85.
12
Ndraha, Taliziduhu, Manajemen Perguruan Tinggi, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 263-273
11
182 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
Lebih menitik beratkan kepada mahasiswa dituntut ‘learning from experience’
- Model otoritas dan tanggung jawab
Pertanggung jawaban institusi sangat dituntut oleh lingkungan karena perguruan tinggi
dianggap sebagai pemegang kepemimpinan intelektual (ilmiah) yang didasarkan atas
otoritas ilmiah. Model ini menggambarkan interaktif antara perguruan tinggi
(termasuk dosen dan mahasiswa) yang melayani lingkungan dengan otoritas
intelektualnya.
Dari model-model hubungan tersebut tampak bahwa pendidikan Deskomvis
khususnya dalam mata kuliah mayor aplikasi Deskomvis yaitu Desain Komunikasi Visual
1 - 4, bila ditinjau dari keistimewaan ilmu ini dan dihubungkan dengan tujuan kesenian
secara umum ternyata bahwa untuk pendekatan evaluasi ini lebih dekat kepada model
otoritas dan tanggung jawab, dimana pendidikan Deskomvis yang adalah ilmu terapan
lebih berorientasi pada lingkungan. Sehingga penulis menggunakan pendekatan ini untuk
mengusulkan model evaluasi, tanpa bermaksud mengatakan bahwa model lain tidak
berlaku.
Proses evaluasi Deskomvis ini sebagaimana pengertian judulnya dibatasi pada
proses evaluasi atas karya desain aplikatif yang didalami pada Mata kuliah Desain
Komunikasi Visual 1, 2, 3, 4.
Berdasarkan pendapat Feasley (1980) ada beberapa kegiatan evaluasi yang dapat
dilakukan, 13 antara lain:
- mengadakan analisa dan interpretasi
- menentukan kriteria keberhasilan
- menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan
Sehingga diperlukan dasar teori model evaluasi yang cocok untuk karya desain
termasuk didalamnya karya iklan. Untuk itu ada 2 model pendekatan evaluasi yang coba
diajukan yaitu 1) Model teori evaluasi estetika 14 dan 2) Model Kritik Seni Holistik.
13
Hadikoemoro,Soekismo & Sukma, A.Kosasih, op.cit, hal.41.
Sukarata, Made, Estetika Kamasutra , Surabaya 2001, hal. 26-28. Merupakan rangkuman dari empat buak Encyclopedia
yaitu Encyclopedia Americana, Collier’s Encyclopedia, Encyclopedia International, dan Britanica Encyclopedia , yang
diterjemahkan oleh Made Sukarata.
14
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
183
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
ALASAN PEMILIHAN MODEL EVALUASI
Model teori Evaluasi Estetika dianggap dapat mewadahi karya desain sebagai
bagian dari karya seni secara umum yang adalah wilayah Estetika, oleh karena itu dipilih
sebagai salah satu alternatif model evaluasi dalam tulisan ini.
Teori Kritik Seni Holistik dipilih karena beberapa dasar pemikiran ilmuan,
sebagaimana ditulis oleh Heribertus Sutopo dalam tulisannya ‘Kritik Seni Holistik
Sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif’. Antara lain pemikiran Eliot Eisner
(1979;1983) yang menekankan perlunya penelitian dan evaluasi dengan menggunakan
bahasa kritik seni, karena kritik seni dipandang merupakan pendekatan yang sangat
membantu dan melengkapi kegiatan penelitian karena kekuatannya yang mampu
menyajikan deskripsi dan interpretasi yang kaya dengan nilai kehidupan manusia. Eisner
menemukan bahwa kritik mampu menyajikan 3 aspek pokok dalam evaluasi, yaitu 1)
aspek deskriptif, 2) aspek interpretatif, 3) aspek evaluatif. Juga dikatakan bahwa aktivitas
kritik seni tidak bertujuan membuktikan suatu prediksi tetapi adalah upaya pemahaman
untuk menemukan makna konteks. Stolnitz (1996) menyatakan bahwa kritik seharusnya
berupa aktivitas evaluasi yang memandang seni sebagai objek untuk pengalaman estetik.
Pengalaman tersebut sejalan dengan Flaccus (1981) yang merumuskan kritik sebagai
studi rinci dan apresiatif tentang karya seni. Dalam pidato tersebut juga dikemukakan
bahwa penggunaan kritik seni sebagai strategi evaluasi sudah diterima dalam posisinya
sebagai salah satu alternatif dalam evaluasi kualitatif (Patton,1980). 15
DESAIN KOMUNIKASI VISUAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ASPEK
FUNGSI DAN NON FUNGSIONAL
Desain grafis mulai melebarkan sayapnya sekitar tahun 1960-an, dengan
pengenalan micro computer.16 Ketika itu desainer dikatakan telah menguasai proses pra
cetak. Akibatnya muncul bermacam-macam gaya desain yang mengkombinasikan ide,
kreativitas dan penguasaan teknis, sehingga desainnya dapat diwujudkan dan berguna
untuk khalayak.
15
Sutopo, Heribertus, Kritik Seni Holistik Sebagai Pendekatan Penelitian Kualitatif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Budaya Pada Jurusan Seni Rupa, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Sebelas Maret University Press, Surakarta,
1995, hal. 3-8
16
Hollis, Richard, Graphic Design A Concise History, Thames and Hudson ltd., London 1994.
184 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
Lingkup kerja profesi desainer komunikasi visual pada dasarnya ialah berhubungan
dan berkomunikasi dengan pengamat yang meliputi konsumen dan lingkungan sosialnya.
Bentuk hubungan timbal balik ini mempertemukan desainer sebagai pembawa pesan
mewakili klien atau produsen berupa karya desain dengan konsumen, yakni pihak yang
jadi target pasar atau pengamat pada umumnya. Lingkaran kerja demikian menjadi inti
pembedaan terhadap penilaian kualitas karya seni pada umumnya dengan karya terapan
semacam ini.
Jadi dalam hubungannya dengan aspek fungsi, desainer adalah seniman kreatif
yang memberikan solusi pemecahan masalah terhadap permasalahan yang disodorkan
oleh klien (pengiklan, dll.) dan kemudian karya desain akan disuguhkan kepada
konsumen. Dalam konteks tersebut Deskomvis menjalankan beberapa fungsinya yaitu
informatif, persuasif, edukatif, mengingatkan, menyadarkan, menghibur, dan menjual
dalam rangka pencapaian tujuan pengiklan.
Hasilnya adalah terjadinya proses interpretasi oleh masyarakat yang diartikan
sebagai proses pemaknaan (signified) terhadap bentuk atau tanda (signifier) yang dalam
hal ini tingkat keberhasilannya diukur melalui kenaikan omset. Namun desainer hanya
bertanggung jawab pada aspek informatif, komunikatif tidak pada aspek ekonomi.
Karya Deskomvis juga memiliki aspek non fungsional atau aspek keindahan. Pada
sisi ini desainernya dianggap sebagai pihak yang paling memahami arti dan makna dari
desain yang dibuatnya dan ialah yang dianggap bertanggung jawab. Bagaimana desainer
berperan memilih dan mengkomposisikan elemen-elemen desain untuk menyatakan suatu
ide atau konsep kreatif dalam konteks (tema) tertentu.
Untuk memahami kedua aspek ini perlu disimak beberapa pendangan semiotik
seperti diangkat Yasraf Amir Piliang (1998) . Dalam pandangan semiotik seluruh praktek
sosial (termasuk kegiatan beriklan, fashion, arsitek , dll) dianggap sebagai fenomena
bahasa, maka semuanya juga dapat dianggap sebagai tanda (sign). Tanda menurut
linguistik Saussurean merupakan 2 kesatuan tak terpisahkan yaitu penanda (signifier) atau
bentuk dan petanda (signified) atau makna.17
Pada kerangka kelembagaan pendidikan dalam wadah fakultas seni dan desain
sebagai bagian dari aktivitas berkesenian maka pembahasan akan lebih kental pada aspek
17
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Mizan Pustaka, Bandung, 1998, hal.293.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
185
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
non fungsional dengan dasar pemikiran semiotik, dimana terjadi permainan penggunaan
tanda dan petanda untuk menyampaikan pesan-pesan. Berarti aspek fungsi
yang
tersentuh bukan pada segi komersial yang diharapkan pengiklan tetapi hanya pada aspek
keberlangsungan komunikasi melalui penggunaan tanda/petanda berdasarkan prinsipprinsip desain.
Pada sisi lain nampak prospek cerah industri periklanan seperti dilansir Majalah
Cakram mengutip AC Nielsen bahwa belanja iklan terus naik dari tahun ke tahun pasca
krisis ekonomi 1997-1998. 18 Pula kebebasan pers melahirkan banyak media cetak dan
beberapa stasiun televisi baru dan perkembangan dunia periklanan Indonesia dengan
masuknya perusahaan periklanan asing yang berafiliasi dengan perusahaan multi
nasional. Hal-hal tersebut mengindikasikan tuntutan pasar akan kualitas profesi ini juga
meningkat sekaligus membuka luas bidang kerja desainer komunikasi visual.
Kenyataan seperti adanya iklan-iklan yang ditarik dari peredarannya karena kritikkritik yang diterima pun menunjukkan masyarakat yang makin kritis terhadap suguhan
desain periklanan.
Maka dianggap penting menguatkan dasar-dasar evaluasi pada masa studi. Karena
proses studi adalah proses trial – error sehingga dapat menjadi salah satu bentuk
pengujian terhadap kualitas desain yang dihasilkan sebelum sebuah karya desain
dilemparkan kepada masyarakat konsumen. Padahal model pendekatan yang digunakan
untuk mengevaluasi akan ikut menentukan kualitas desain yang dihasilkan.
TINJAUAN TEORITIS
Sejauh mana sebuah karya dianggap baik dan bermanfaat bahkan dinilai indah
memang bergantung pada tingkatan mana karya ini berada. Apakah dalam proses kreatif
misalnya pada proses studi atau setelah karya tersebut mencapai sasarannya di
masyarakat. Namun di manapun karya tersebut berada, aspek fungsionalnya tetap
menjadi acuan, sehingga proses kritik yang diberlakukan bisa menjadi umpan balik
disamping sasaran dipenuhinya prinsip estetika yang wajar. Dan bahwa ada polemik atas
proses tersebut kemudian dapat dianggap sebagai wacana pembelajaran bagi semua pihak
terkait dalam rangka mencapai tujuannya. Bahkan harus juga memenuhi kaidah normatif
18
Cakram Komunikasi, Januari 2002, hal. 13-16
186 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
yang dianut masyarakat.19 Karena bila dilanggar maka yang terjadi adalah tuaian kritik
yang kemudian berbuntut pada ditariknya iklan yang tengah ditayangkan.
Untuk itu penting adanya alat kontrol seperti Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia atau badan sensor atas karya periklanan,20 karena dapat menjadi salah satu
sarana pengukur layak tidaknya sebuah desain dilempar ke masyarakat sehingga dapat
menjadi pedoman kritisi.
Kritik seni sendiri berfungsi untuk memperkaya wawasan seseorang, dan banyak
tokoh estetika berpendapat bahwa fungsi kritik bukan untuk meloloskan atau menjegal
suatu karya seni ke jenjang yang lebih tinggi, melainkan untuk menolong orang awam
supaya gamblang terhadap kualitas seni yang sebelumnya tidak terpikirkan. 21 Dengan
demikian dapat diketahui sejauh mana karya seni/desain memberikan sumbangsihnya
dalam memperkaya khasanah kehidupan manusia.
Dua pendekatan yang diangkat untuk mengevaluasi sebuah karya desain adalah
sebagai berikut :
1. Model Teori Evaluasi22
Made Sukarata dalam bukunya Estetika Kamasutra merangkum 4 teori evaluasi
kontemporer, yaitu :
1. Teori Intuisionis
Teori Intuisionis adalah model evaluasi yang sangat dipengaruhi oleh intuisi karena
harus memberi penilaian atas kualitas obyek non empiris. Dianggap sebagai cara
untuk mengenal suatu obyek yang sulit dipahami oleh persepsi awam.
2. Teori Subyektif
Berdasarkan teori ini evaluasi bergantung pada subyek penilai pada kalangan
terbatas. Misalnya berdasarkan orang-orang yang memiliki apresiasi tertentu atau
yang dianggap cukup berbudaya.
19
Menurut Mudji Sutrisno (1993), kebebasan berkreasi sejalan dengan tanggung jawab berkesenian. Selalu ada titik kritis
manakala subyektifitas desainer sebagai seniman berbenturan dengan nilai normatif yang dianut oleh masyarakat atau
nilai-nilai lain yang dideskripsikan. Lihat Sutrisno, F.X. Mudji & Verhaak Christ, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius,
Yogyakarta, 1993, hal.151. Sebagaimana salah satu konsensus untuk tidak mengiklankan rokok, dan alkohol secara
‘bebas’yang tercantum pada Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, yaitu antara lain iklan harus jujur,
bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, tidak boleh menyinggung perasaan dan
merendahkan martabat negara, agama, susila, adat, budaya, suku, dan golongan serta harus dijiwai asas persaingan sehat.
Lihat Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia Yang Disempurnakan, Komisi Periklanan Indonesia, 1996.
20
RTS Masli (ketua P3I) & Bachtiar Ali (pakar komunikasi) dalam diskusi periklanan (Metro TV awal April 2002),
menegaskan perlunya integrasi terhadap berbagai Undang-Undang yang sifatnya mengatur dan menyensor sehingga ada
satu payung untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul.
21
Sukarata, Made, Estetika Kamasutra , Surabaya, 2001, hal.26-28.
22
Sukarata, Made, ibid, hal.5
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
187
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
3. Teori Emosifis
Evaluasi baik atau buruk adalah pernyataan ekspresi atau penalaran rasa dari si
pemakainya yang mengaitkan faktor emosi dan subyektif.
4. Teori Instrumentalis
Teori instrumentalis mengelak masalah pembatasan tolak ukur evaluasi yang
digunakan dalam ketentuan estetis (aesthetic judgment). Pemberian karakter karya
baik adalah suatu produk pemirsa yang memiliki pengalaman estetis yang baik dan
bermutu.
2. Kritik Seni Holistik 23
Model kritik seni holistik seperti yang dikemukakan oleh Heribertus Sutopo sebagai
pendekatan penelitian kualitatif, yakni :
1. Seniman sebagai sumber informasi genetik
Kritik ini melihat kepada seniman atau desainer sebagai sumber informasi
genetika, karena setiap karya seni selalu mencerminkan kecondongan suatu
kultural lewat seniman yang menciptakan karya .
2. Karya seni sebagai sumber informasi obyektif
Kondisi obyektif dari karya seni itu sendiri yang menjadi dasar penelitian. Standar
yang dipandang pantas adalah yang mempersyaratkan karya itu sendiri, bukan dari
luar karya tersebut.
3. Penghayat sebagai sumber informasi afektif
Penghayat sebagai sumber informasi afektif yaitu informasi yang berupa dampak
emosional pada diri penghayat. Dampak ini timbul setelah menghayati karya
dengan beragam tafsir makna nilai akibat melakukan interaksi dalam proses
penghayatan.
Ketiga komponen tersebut tidak dipakai sebagai standar nilai, melainkan sebagai
sumber informasi dalam aktivitas evaluasi dan menjadi faktor tak terpisahkan dalam
kesatuan nilai karya.
23
Sutopo, Heribertus, Kritik Seni Holistik Sebagai Pendekatan, Penelitian Kualitatif, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Budaya Pada Jurusan Seni Rupa, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Sebelas Maret University Press, Surakarta,
1995
188 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
Pandangan lain yang dikemukakan oleh Mudji Sutrisno yaitu bahwa titik tolak
berkesenian adalah (salah satu) ekspresi proses kebudayaan manusia. Dan kebudayan di
satu pihak adalah proses ‘pemerdekaan diri’. Dilain pihak kebudayaan juga berciri
fungsional yakni untuk melangsungkan hidup, maka ukuran atau nilai sebuah kebudayaan
tidak hanya manfaat atau guna, fungsional-efisien, tetapi juga pemerdekaan, membuat
orang lebih menjadi orang dan menjadi lebih manusiawi. 24
Dengan demikian ada dua dimensi berkesenian menurutnya :
1. Dimensi budaya (pemerdekaan) : pemanusiaan
2. Dimensi fungsional : kegunaan, efisiensi, teknik, laku keras
Contoh pemerdekaan antara lain : tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, belajar
berenang agar merdeka dari tenggelam.
Pandangan Mudji Sutrisno ini nampaknya sejalan dengan nafas desain komunikasi
visual, dimana sebuah karya seni/desain tidak mungkin lepas dari dimensi budaya dimana
karya tersebut muncul. Berkenaan dengan pendangan modern yang menolak ‘l art pour
art’(seni untuk seni) sehingga terlebih dalam bidang komunikasi visual, karya desain
yang adalah seni terapan tidak mungkin melepaskan diri dari dimensi budaya dan dimensi
fungsinya.
Dalam kerangka evaluasi karya seni/desain pantaslah tulisan dari M. Dwi Marianto
dapat menjadi dasar pemahaman, ia mengemukakan sebagai berikut
25
:
1. Pentingnya karakter visual sebagai signifier. Bahwa signifier membantu pemirsa
untuk menyusun suatu pemahaman atau konsep dari tampilan karya bersangkutan.
Tujuannya adalah menangkal kecendrungan membaca karya seni yang hanya
mengutamakan ide atau hakekat saja sehingga mengabaikan tampilan luar fisiknya.
Dalam hal ini signifier sebagai ciri fisik yang dapat dikenal dalam elemen-elemen
desain termasuk huruf, gambar/ simbol juga idiom bahasa 26
2. Makna sesuatu tak pernah beku.
Bahwa tanda bahasa bersifat ‘multi accentual’, yang selalu menggemakan maknamakna lain. Tidak saja mengekspresikan pikiran yang paling dalam dan orisinal, tetapi
24
Sutrisno, Mudji &Verhaak, Christ, op.cit,hal. 6.
Marianto, M.Dwi, Menginterpretasi Secara Produktif, Nirmana, vol.4, Januari 2002, hal. 24-37.
26
Lihat Istanto, Freddy H. Nirmana, Vol. 2.No. 2, Juli 2000, 115-118.
25
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
189
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
sekaligus mengungkap makna-makna yang telah mengendap dalam sistem bahasa dan
budaya.
Pernyataan ini dikaitkan dengan proses interpretasi seperti kritik atau evaluasi ketika
memaknai karya seni/ desain, bahwa tidak ada harga mati untuk sebuah karya seni.
3. Interpretasi.
Karya seni/ desain senantiasa mengandung makna atau menyatakan sesuatu sehingga
dibutuhkan interpretasi untuk memaknainya. Sebuah interpreatasi baik bila didahului
deskripsi. Dalam deskripsi dapat muncul pendapat atau pernyataan yang sama, namun
dalam interpretasi dan mengevaluasi dapat saja muncul perbedaan yang diakibatkan
oleh perbedaan sudut pandang atau paradigma.
Sehingga beberapa prinsip Terry Barrett (dalam Marianto, 2002) tentang
interpretasi penting dipahami seperti ditulis M. Dwi Marianto antara lain sebagai
berikut27 :
- Interpretasi harus masuk akal
- Pentingnya obyektifitas di atas subyektifitas
- Dapat terjadi interpretasi-interpretasi yang berlainan, bersaingan, bahkan bertentangan
satu sama lain atas satu karya.
- Interpretasi sering didasarkan pada pandangan dunia seperti interpretasi atas dasar
studi psikoanalisis atau filsafat.
- Interpretasi dapat berbeda dari maksud penciptanya
- Interpretasi harus mengemukakan keadaan terbaik dari karya seni bukan keadaan
terburuknya, sebagai penghargaan atas hak intelekual seniman.
- Semua karya seni mengandung sesuatu yang berkenaan dengan dunia atau keadaan
dimana karya itu muncul. Ini menunjuk pada faktor budaya yang selalu membentuk
cara pandang seniman atas dunianya.
Sebagian teori Holistik yang telah dipaparkan sejalan dengan teori Deconstruction
dari Jacques Derrida dalam “Of Grammatologi”(1967). Derrida berpendapat bahwa
sebuah kritik harus selalu memperhitungkan dua sisi berlawanan dari sebuah obyek
sebagai sebuah nilai sendiri-sendiri. Tidak membenarkan sisi yang satu dan menyalahkan
27
Marianto, M.Dwi, ibid, hal.31-36
190 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
sisi yang lain –sebagaimana dianut kaum intelektual di Barat cukup lama – misalkan
faktor inside/outside, reality/representasi, original/copy, mind/body. Salah satu fokus
Deconstruction adalah sistem institusi yang membatasi pelahiran karya dan berkembang
dalam sistem kelembagaan sosial dimana terjadi aktivitas kritik atas karya seni/ desain. 28
Dengan demikian, teori ini meneguhkan fakta tentang keterkaitan sebuah karya
seni dengan kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya tempat dilahirkannya karya seni
tersebut sebagaimana fenomena yang di catat di awal tulisan ini. Maka kritik atau
evaluasi harus didasarkan pada banyak faktor baik subyektif maupun obyektif, dari sisi
karya seni maupun dari sisi pengamat dan dilihat dalam kerangka seluruh sistem
sosialnya.
Keindahan, yang meninjau karya seni/desain sebagai obyek, mensyaratkan
pentingnya elemen estetis dan prinsip-prinsip desain bagi desainer komunikasi visual.
Karena desain komunikasi visual tidak akan ada artinya bila hanya mementingkan aspek
fungsi tanpa memperhatikan unsur-unsur keindahan yang menjadikan desain lebih
menarik (Artini Kusmiati, 1999:1-15)
Batas minimal sebuah desain dikatakan baik adalah terpenuhinya prinsip-prinsip
desain melalui komposisi elemen-elemen estetis, seperti keseimbangan, keserasian,
proporsi, ukuran dan irama. Keberhasilan pencapaian prinsip desain ditentukan pula oleh
penataan elemen desain yang menyangkut pemilihan dan penataan tipografi, pada
penyusunan teks atau head line, pemilihan dan penataan foto/ ilustrasi.
ANALISA DAN CONTOH KASUS
Berdasarkan pendekatan teori dan pandangan lain yang telah dibahas di atas, dapat
disepakati nilai sebuah karya seni/ desain pada umumnya. Dalam proses pemaknaan atas
karya seni/desain perlulah memperhatikan aspek-aspek yang melatar belakangi
kemunculan suatu karya dimana faktor budayalah yang membentuk wawasan atau cara
pandang seseorang akan dunianya.
Beberapa simpulan sederhana dapat ditarik berlandaskan berbagai tinjauan teori
diatas, sebagai berikut :
28
Lupton, Ellen & Abbott, Miller, Design Writing Research - Writing on Graphic Design, Phaidon, London, 1996, hal. 3-
23
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
191
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
1. Model teori Evaluasi dapat saja dipakai sebagai dasar evaluasi bagi pendidikan desain
komunikasi visual tetapi lebih cenderung untuk perkuliahan yang mengarah pada
pengasahan skill penggunaan peralatan teknis dalam merepresentasi obyek atau
memvisualkan ide. Tidak tepat diterapkan pada mata kuliah Desain Komunikasi
Visual 1 - 4 yang menekankan desain aplikatif.
Pada model ini pengamat yang bertindak sebagai evaluator dapat dipengaruhi oleh
intuisi atau kulitas obyek non empiris, faktor subyektifitas, faktor emosi yang
melandasi bentuk pernyataan ‘baik’atau ‘buruk’. Nilai ‘baik’ yang muncul dianggap
sebagai salah satu produk pengalaman estetis pengamat yang baik, tanpa melihat tolak
ukur evaluasi.
Menurut model evaluasi ini, seorang evaluator dapat saja menjatuhkan penilaian atas
dasar otoritas yang dimilikinya. Pertimbangan estetis menjadi dasar bagi penilaian
yang diberikan.
2. Berdasarkan kritik seni holistik. Sebagai model pendekatan penelitian kualitatif yang
bersifat holistik yang selalu memperhitungkan sisi seniman sebagai pencipta karya
seni, melihat karya seni sebagai sumber informasi obyektif yang akan dievaluasi dan
mempertimbangan pengamat atau dalam dunia desain komunikasi visual ia berfungsi
sebagai konsumen sekaligus interpreter sebagai sumber informasi afektif, dipandang
lebih mewadahi evaluasi yang dilakukan atas karya-karya desain aplikatif, termasuk
iklan.
Macam-macam karya desain komunikasi visual merupakan karya seni aplikatif,
sehingga aspek komunikasi menjadi tolak ukur utama bagi keberhasilan sebuah karya
desain yang dicapai melalui penataan elemen desain (signifier) berdasarkan
pemenuhan prinsip dasar desain.
Berikut di bawah ini contoh kasus pendidikan Jurusan Deskomvis UK Petra.
Sebagai contoh pertama, pembuatan corporate identity pada mata kuliah Desain
Komunikasi Visual 2, yang melingkupi pembuatan logo, logo type, dan aplikasi
praktisnya. Di sini perancang akan berkreasi mengolah ide ke dalam ikon-ikon yang
mewakili idiom budaya jamannya. Dengan begitu pilihan-pilihan desain yang dibuat
dapat dikenali oleh masyarakat pada umumnya dan tidak terkesan aneh. Terlebih lagi
corporate identity yang dibuat harus merepresentasi bentuk usaha perusahaan
192 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
bersangkutan dengan mempertimbangkan penerimaan orang atas bentuk identitas yang
diperkenalkan, maka kemudian ‘syarat logo yang baik’, antara lain harus sesuai
dengan kebudayaan, unik, artistik, simple, menarik, mudah diingat atau dikenali
menjadi pertimbangan. 29
Contoh kedua, pemahaman dan kemampuan merancang yang di asah pada Desain
Komunikasi Visual 3 dan 4 dimana mahasiswa dituntut mampu membuat paket desain
promosi sebuah produk barang atau jasa melalui media cetak dan media elektronik
(Below The Line dan Above the Line)-.
Pada studi mayor lanjut ini mahasiswa dituntut untuk mampu mempertanggung
jawabkan desain yang dibuat, melalui sebuah bentuk presentasi. Presentasi menjadi
semacam pengujian atas karya desain. Di sana mahasiswa dihadapkan pada pengujipenguji yang menjadi evaluator.
Berdasarkan pengamatan penulis, dasar evaluasi yang dipakai selalu meliputi 3
komponen holistik, sebagai berikut :
a. Evaluasi menyangkut perancang - pencetus ide kreatif dalam mengolah signifier
budayanya - dan yang bertanggung jawab atas tampilan fisik desain mereka.
b. Nilai kreativitas rancangan
(sebagai obyek bermakna) dalam memanfaatkan
elemen-elemen desain - signified.
c. Tingkat penerimaan audiens, berdasarkan macam-macam interpretasi penguji.
Berarti model evaluasi berdasarkan kritik holistik dipandang sesuai karena dapat
mengakomodasi kebutuhan pendidikan Desain Komunikasi Visual.
Kesimpulan lain yang dapat ditarik :
- Bahwa karya-karya desain desain komunikasi visual yang bermunculan sadar atau
tidak, benar-benar dipengaruhi oleh iklim sosial budaya, sosial ekonomi dan
politik. Sehingga makna sebuah desain yang mengalami evaluasi akan semakin
diperkokoh oleh pengujian-pengujian atas kreativitas mengolah ikon jaman dalam
menjalankan fungsinya dan melalui interpretasi pengamat yang kritis.
- Bagi sebuah karya desain komunikasi visual evaluasinya tidak berhenti pada
jenjang pendidikan saja tetapi akan terus mengalami evaluasi seiring tugasnya di
29
Lihat : DeNeve, Rose, The Designer’s Guide to Creating Coorporate I.D. System for Companies of all types and size,
1992., Lip, Evelyn .,Desain dan Feng Shui, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1996.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
193
NIRMANA Vol. 4, No. 2, Juli 2002: 179 - 196
masyarakat. Sehingga evaluasi yang berlaku selama pendidikan dapat dianggap
sebagai cerminan dunia desain komunikasi visual sesungguhnya.
- Dilain pihak pemahaman akan model evaluasi holistik ini berguna bagi siswa untuk
memahami posisinya selama proses evaluasi studi dan macam-macam interpretasi
dikemukakan oleh Terry Barret, memberi wawasan akan keberagaman interpretasi
yang mungkin di terima oleh sebuah karya desain.
KEPUSTAKAAN
Hadikoemoro, Soekismo & Soekma, A. Kosasih., Rencana Induk Perguruan Tinggi
Swasta : Pokok-pokok penyusunan dan Evaluasi, Direktorat Jendral Perguruan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1985.
Hollis, Richard, Graphic Design, A Concise History, Thames and Hudson Ltd., London,
1994.
Istanto, Freddy H., Rajutan Semiotika Untuk Sebuah Iklan, Studi Kasus Iklan Long
Beach, Jurnal Nirmana, Vol.2, No.2, Desain Komunikasi Visual Univ.Kristen Petra,
2000.
Kusmiati, Artini & Pudjiastuti, Sri & Suptandar, Pamudji, Teori Dasar Disain
Komunikasi Visual, Djambatan, Jakarta, 1999.
Limandoko, Bagus, Desain Komunikasi Visual & Perilaku Konsumen, Jurnal Nirmana,
Vol.2, No.2, Desain Komunikasi Visual, FSD, Univ.Kristen Petra, 2000.
Lupton, Ellen & Miller, Abbott, Design Writing Research – Writing on Graphic Design,
Phaidon, London, 1996.
Majalah Cakram Komunikasi, edisi Januari 2002.
Majalah Cakram Komunikasi, edisi Februari 2002.
Marianto, M.Dwi, Menginterpretasi Secara Produktif , Jurnal Nirmana, Vol. 4 No. 1,
Desain Komunikasi Visual, FSD, UK Petra, 2002.
Ndraha, Taliziduhu.,Manajemen Perguruan Tinggi, Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Piliang, Yasraf Amir.,Sebuah Dunia Yang Dilipat, Mizan, Bandung, 1998.
Sukarata, Made, Estetika Kamasutra, Surabaya, 2001.
194 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
MEMCARI MODEL EVALUASI DENGAN PENDEKATAN YANG SESUAI UNTUK PENDIDIKAN DESKOMVIS (Maria N D K)
Sutopo, Heribertus, Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian Kualitatif ,
Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Budaya pada jurusan Senirupa, Fak. Sastra
Universitas Sebelas Maret, Sebelas Maret University Press, Surakarta ,1995.
Sutrisno, Mudji & Verhaak, Christ, Estetika Filsafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta,
1993.
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia Yang Disempurnakan, Komisi
Periklanan Indonesia, Jakarta, 1996
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1998.
Wong, Wucius, Principles of Form and Design, Van Nostrand Reinhold, New York,
1993.
Wright, Charles R., Sosiologi Komunikasi Massa, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
195
Download