BAB 2 Tinjauan Pustaka

advertisement
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1
Agresivitas
Perilaku Agresivitas menurut Buss (1961) adalah suatu perilaku yang
dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu
atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik
ataupun verbal. Intensi untuk menyakiti seseorang dipandang sebagai langkah
pertama untuk melakukan agresivitas, namun agresi terjadi jika tujuan akhir
agresi tersebut bersifat overt yaitu perilaku agresi yang terlihat secara langsung
sedangkan intensi untuk menyakiti seseorang tersebut bersifat covert yaitu
perilaku atau perasaan agresi yang tidak terlihat secara langsung.
2.1.1 Jenis agresivitas
Berikut 4 jenis agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) :
1. Physical Aggression (PA)
Merupakan agresi overt (terlihat).Tendensi individu melakukan serangan
secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan
fisik tersebut seperti mendorong, memukul, mencubit, menendang, dan
lainnya.
2. Verbal Aggression (VA)
Tendensi menyerang orang lain atau memberikan stimulus yang merugikan
dan menyakitkan secara verbal, melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk
serangan verbal tersebut meliputi cacian, makian, mengumpat, dan lainnya.
3. Anger (A)
Perasaan (covert) marah, kesal, sebal, dan bagaimana cara mengontrol hal
tersebut. Termasuk didalamnya adalah irritability, yaitu mengenai
tempramental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan
mengendalikan amarah.
4. Hostility (H)
Tergolong perilaku covert (tidak terlihat). Hostility terdiri dari dua bagian,
yaitu resenment yaitu perasaan iri dan cemburu terhadap orang lain, dan
supicion seperti adanya ketidakpercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari
rasa permusuhan terhadap orang lain.
Berdasarkan paparan diatas dapat dilihat bahwa jenis agresivitas hostility
dan anger yang mendorong seseorang untuk melakukan agresi secara verbal
ataupun fisik.
2.1.2 Bentuk tindakan agresivitas
Bentuk tindakan agresivitas yang secara operasional dapat digunakan untuk
mengukur agresivitas, yang secara langsung dapat dirasakan dalam kehidupan
sehari-hari (Buss dan Durkee dalam Edmunds & Kendrick,1980) :
1. Penyerangan: kekerasan fisik terhadap manusia termasuk perkelahian, tidak
termasuk perusakan properti.
2. Agresi tidak langsung: menyebarkan gosip yang berkonotasi negatif,
gurauan (yang negatif).
3. Negativime: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja
sama, menolak patuh dan pembangkangan.
4. Agresi verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam, dan memaki.
5. Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temper yang cepat dan kekasaran.
6. Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain.
7. Kecurigaan: rasa tidak percaya, dan proyeksi permusuhan terhadap orang
lain.
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi agresivitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas, secara garis besar, dapat
dilihat dengan 3 sudut pandang, yaitu pengaruh biologis, psikologis dan sosial
budaya (King, 2011). Secara biologis, agresivitas dapat dipengaruhi oleh:
a) Pandangan evolusioner (evolutionary views), yaitu agresivitas merupakan
respon yang ada sejak lahir akan stimulus tertentu atau sering disebut insting.
Melalui pandangan ini, perilaku agresivitas diperlukan untuk bertahan hidup.
b) Genetik. Pengaruh gen pada agresivitas manusia sulit untuk digambarkan
dan gen mempengaruhi tipe agresivitas tertentu pada manusia.
c) Faktor neurologis. Faktor neurologis yang mempengaruhi agresivitas adalah
sistem limbik, lobus frontal, kadar serotonin dan testoteron. Sistem limbik
yang distimulasi oleh arus listrik yang dapat menyebabkan agresivitas.
Agresivitas juga dapat timbul karena lobus frontal yang berfungsi untuk
perencanaan dan self-control mengalami penurunan fungsi. Kadar serotonin
yang rendah atau kadar testoteron yang tinggi juga dapat mempengaruhi
munculnya agresivitas.
Berdasarkan sudut pandang psikologis, agresivitas dapat dipengaruhi atau
dibentuk oleh 3 hal, yaitu (King, 2011):
a) Frustasi atau keadaan yang tidak menyenangkan. Frustasi merupakan
keadaan di mana seseorang tidak dapat mencapai tujuannya, dan hal tersebut
dapat mendorong agresivitas. Selain itu, keadaan yang tidak menyenangkan
juga dapat memicu agresivitas, seperti rasa sakit secara fisik, hinaan,
keramaian, dan kondisi fisik lingkungan.
b) Faktor kognitif. Priming atau mengaktifkan informasi yang telah disimpan di
otak untuk membantu mengingat informasi baru lebih baik dan cepat,
merupakan contoh dari proses kognitif yang dapat mempengaruhi
agresivitas. Salah satu contohnya adalah dengan sering melihat senjata, maka
seseorang akan lebih cenderung berpikir bermusuhan dan mengarah kepada
agresivitas. Kognitif juga akan menentukan apakah seseorang akan
merespon dengan agresif jika dihadapkan dengan stimulus yang tidak
menyenangkan.
c) Observational learning. Seseorang bisa melakukan agresivitas melalui
pembelajaran. Dengan melihat seseorang berperilaku agresif dapat
mempengaruhi orang lain yang melihatnya untuk berperilaku agresif juga.
Terakhir, agresivitas dapat dilihat berdasarkan sudut pandang sosial budaya.
Agresi dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang bervariasi dan kebudayaan
mengenai hal yang dihormati. Seperti kebudayan yang mengharuskan pengantin
lelaki harus melawan pria didewasa lain kalau ingin menikahi gadis di desa lain
(King, 2011).
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa agresivitas pada dasarnya dilihat
dari 3 sudut pandang, berdasarkan definisi yang telah dipaparkan oleh Buss
&Perry salah satu faktor terkuat yang mempengaruhi agresivitas adalah faktor
psikologis.
2.2
Problematic Internet Use (PIU)
PIU merupakan penggunaan berlebihan atau penyalahgunaan fungsi-fungsi
konten spesifik dari internet. Penggunaan berlebihan internet itu sendiri yang
dapat menghasilkan kepribadian yang negatif dan konsekuensi professional. PIU
pada umumnya terjadi ketika seorang individu mengembangkan masalah karena
komunikasi yang unik terhadap konteks Internet. Dengan kata lain, seseorang
diajak untuk online (dalam jaringan internet) dan menunjukkan ketertarikan
berlebihan kepada dunia virtual, bukan tatap muka atau komunikasi
interpersonal kepada seseorang secara langsung. Perasaan yang tidak
menyenangkan ketika offline (diluar jaringan internet) akan meningkatkan
penggunaan internet yang berlebihan. Problematic internet use merupakan
sindrom multidimensional yang terdiri dari gejala kognitif, emosional, dan
perilaku yang mengakibatkan kesulitan seseorang dalam mengelola
kehidupannya disaat offline (Caplan, Williams, &Yee 2009).
Dari uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa problematic internet
use merupakan sindrom multidimensional dari tanda-tanda kognitif dan perilaku
yang menghasilkan hal yang negatif yang menciptakan masalah profesional
maupun non-profesional dalam kehidupan seseorang (Caplan, Williams, &Yee
2009).
2.2.1 Konstruk problematic internet use (PIU)
Caplan (2003) mengidentifikasikan sejumlah tanda kognitif dan perilaku dari
PIU, yakni: perubahan mood, persepsi dari keuntungan online sosial,
penggunaan kompulsif, penggunaan berlebihan, pengulangan kembali dan
merasakan kontrol sosial. Caplan juga melaporkan bahwa setiap dari tanda
kognitif dan perilaku ini secara signifikan memiliki hubungan negatif dari
penggunaan internet seseorang. Caplan meyakini bahwa dua tanda kognitif
(merasakan keuntungan online sosial dan merasakan kontrol online sosial) ini
akan membantu secara teoritis menjelaskan bagaimana hasil negatif memiliki
hubungan dengan penggunaan internet akan terhubung dengan preferensi virtual
seseorang, dibandingan dengan hubungan tatap wajah.
Sebelumnya terdapat GPIUS untuk mengetahui skor problematic internet
use seseorang. Namun sejak publikasinya di tahun 2002, GPIUS mendapatkan
banyak informasi baru yang membantu perkembangan GPIUS. Selanjutnya,
GPIUS memiliki tujuh dimensi yaitu perubahan perasaan, keuntungan sosial,
kontrol sosial, terlalu tenggelam dalam penggunaan internet, penggunaan
internet secara kompulsif, penggunaan waktu berlebih untuk berinternet, dan
dampak negatif dari sisi sosial atau segi profesional karena penggunaan internet
(Caplan, 2002, dalam Caplan, 2010). Setelah melakukan banyak pertimbangan
dengan para ahli lainnya, akhirnya dilakukan revisi pada GPIUS, menjadi
GPIUS2.
GPIUS2 memiliki empat buah konstruk dengan dua buah konstruk baru
yaitu preference for online social interaction (POSI) dan deficient selfregulation. Pada pengukuran sebelumnya, keuntungan sosial dan kontrol sosial
merupakan faktor yang terpisah, namun kini pada GPIUS2 item-itemnya telah
ditulis sebagai konstruk singel, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Caplan
(2003, dalam Caplan, 2010).
GPIUS2 kemudian ditulis dalam empat buah konstruk yaitu (Caplan, 2010) :
1.
Preference for online social interaction (POSI)
Merupakan sebuah perbedaan karakteristik kognitif individual yang ada
karena kepercayaan akan mana yang lebih aman, yang lebih bisa dipercaya,
dan mana yang lebih nyaman dengan interaksi interpersonal, maka seseorang
akan memilih melakukan secara online lebih nyaman daripada aktifitas tatap
muka secara tradisional.
2.
Mood Regulation
Pada penelitian sebelumnya, Caplan (2002, dalam Caplan, 2010)
menemukan bahwa regulasi perasaan merupakan sebuah patokan prediksi
dari hasil negatif yang diasosiasikan pada penggunaan Internet. Namun pada
penelitian selanjutnya, Caplan (2007, dalam Caplan, 2010) menyatakan
bahwa secara sosial individu yang mengalami kecemasan akan memilih
interaksi melalui internet untuk mengurangi kecemasan tentang presentasi
diri mereka sendiri dalam situasi interpersonal.
3.
Deficient self-regulation
Model yang diadopsi oleh La Rose dan para ahli lainnya menyatakan bahwa
pengurangan regulasi diri dari penggunaan internet merupakan sebuah
keadaan dimana kesadaran kontrol diri secara relatif berkurang. Namun
menurut Bandura (1986, 1991, dalam Caplan, 2010) secara spesifik
mengatakan bahwa pengurangan regulasi diri mengacu pada sebuah
kegagalan untuk memonitor penggunaan seseorang, menilai perilaku
penggunaan seseorang dan menentukan pola seseorang dalam penggunaan.
Sebagai konsekuensinya, pengurangan regulasi diri ini akan menyebabkan
kesulitan pada hubungan personal seseorang di tempat kerja maupun di
sekolah (Kubey., dkk, 2001, dalam Caplan, 2010). Deficient self-regulation
pada GPIUS2 ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:
(a) Cognitive Preoccupation, ini mengacu kepada pola pemikiran yang
obsesif mencakup penggunaan internet, seperti pemikiran bahwa
seseorang tidak bisa berhenti untuk berinternet atau ketika sedang tidak
berinternet seseorang tidak bisa berhenti memikirkan apa saja yang
terjadi pada internet (Caplan, 2010).
(b) Compulsive Internet Use, merupakan keinginan seseorang untuk terus
berinternet bahkan ketika dirinya tidak sedang keperluan berinternet.
Individu juga mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang
dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol
pemakaian Internet (Caplan, 2010).
4.
Negative Outcome
Negative outcome merupakan dampak negatif yang dirasakan oleh pengguna
Internet seperti kesulitan dalam mengatur hidup, gangguan kehidupan sosial
serta permasalahan-permasalahan lainnya (Caplan, 2010).
2.2.2 Gejala-gejala problematic internet use (PIU)
Gejala yang ditimbulkan oleh problematic internet use (PIU) telah
menyebabkan orang menjadi bergantung dan tidak bisa lepas dengan Internet
dalam kehidupan sehari-hari, mengidentifikasi sejumlah pemikiran dan perilaku
berupa gejala-gejala, antara lain (Caplan, 2002):
a. Perubahan suasana (menggunakan internet untuk mendukung beberapa
perubahan negatif yang terjadi).
b. Mengubah persepsi sosial tentang manfaat online.
c. Penggunaan yang kompulsif (ketidakmampuan untuk mengontrol aktivitas
online seseorang bersama dengan perasaan bersalah tentang kurangnya
kontrol).
d. Penggunaan berlebihan (dianggap yang melebihi normal dan biasa, jumlah
perencanaan waktu online, atau bahkan kehilangan jejak waktu ketika
menggunakan internet).
e. Penarikan diri (kesulitan mengendalikan diri untuk online saat jauh dari
Internet).
f. Persepsi pengendalian sosial (punya kontrol yang lebih kuat akan persepsi
sosial saat berinteraksi dengan orang lain secara online jika dibandingkan
dengan tatap muka).
2.3
Game Online
Game online atau yang sering disebut online games adalah sebuah
permainan (games) yang dimainkan dalam suatu jaringan Local Area Network
(LAN) ataupun jaringan internet (Muslikah,2010). Kata game online sendiri
berasal dari bahasa Inggris dari kata game dan online. Game online modern ini
telah menjadi media penghibur maupun pembelajaran (Afrianti,2009). Maka
dapat disimpulkan bahwan game online adalah suatu media hiburan atau
pembelajaran yang harus terhubung langsung dengan jaringan internet.
2.3.1 Jenis game online
Menurut Grace (2005) game online terbagi menjadi 5 jenis, yaitu:
1. First Person Shooter (FPS), sesuai judulnya game ini mengambil pandangan
orang pertama, sehingga pemain seakan-akan berada dalam game tersebut.
Kebanyakan game ini mengambil setting peperangan (Counter-Strike, Point
Blank, Cross Fire, Call of Duty, dll).
2. Real-Time Stategy, merupakan game yang permainannya menfokuskan pada
penggunaan strategi dan pemain tidak hanya menggunakan 1 karakter saja,
tetapi banyak karakter (Age of Empires, Rise of Nation, dll).
3. Cross-Platform Online, merupakan game yang dapat dimainkan dengan online
dengan perangkat yang berbeda. Contoh Need for Speed Undercover dapat
dimainkan dengan Personal Computer (PC) ataupun Xbox 360 (merupakan
konsol game yang secara khusus dapat terhubung dengan internet).
4. Browsers Game, merupakan game yang dimainkan didalam browers (FireFox,
Internet Exploler, Google Chrome, Opera dan Safari). Syarat agar game dapat
dimainkan adalah browsers sudah mendukung javascript, php maupun flash.
5. Massive Multiplayer Online Games Role Playing Game (MMORPG),
merupakan game yang dapat dimainkan dalam skala besar (>100 pemain),
pemain dihadapkan dalam 1 dunia lain yang antar pemain dapat berinteraksi
seperti halnya dalam dunia nyata (Seal, Ragnarok, Dota II, dll).
2.4
Emerging Adulthood
Emerging adulthood (Arnett, 2004) adalah tahapan perkembangan pada
periode remaja akhir menuju dewasa awal, yaitu usia 18 – 29 tahun. Tahapan ini
merupakan periode ketika individu akan menghadapi begitu banyak perubahan
atau transisi serta pengambilan keputusan hidup, jika dibandingkan dengan
tahapan perkembangan lain. Berbagai perubahan dan keputusan tersebut diawali
dengan peralihan dari pendidikan standar ke perguruan tinggi maupun pelatihan,
kemudian mencari pekerjaan yang memuaskan untuk memulai karir, mencari
pasangan yang cocok untuk memulai hubungan romantis dan berkeluarga. Pada
emerging adulthood, individu cenderung mencari karir apa yang ingin dilakukan
dimasa yang akan datang, ingin menjadi apa, dan kehidupan seperti apa yang
mereka inginkan. Pada tahap ini, peralihan juga terjadi dari sekolah menegah
atas menuju dunia perkuliahan. Beberapa individu dari emerging adulthood,
umumnya tertantang untuk meningkatkan intelektual dari sisi pendidikan,
percintaan, dan pekerjaan (Santrock, 2013).
2.4.1 Agresivitas dan emerging adulthood
Sebelum emerging adulthood tentunya seorang individu akan megalami
masa bayi hingga remaja yang akan terus berkembang menjadi dewasa. Menurut
Kartono (1995) masa remaja umumnya mengalami suatu krisis, dan remaja yang
tidak dapat menyelesaikan krisis tersebut akan tetap menjalani krisis tersebut
hingga dewasa. Merasa tidak bahagia serta dipenuhi banyak konflik batin, baik
konflik dari dalam diri ataupun lingkungannya. Dalam kondisi seperti itu
individu akan mengalami frustasi dan menjadi sangat agresif (Kartono, 1995).
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Farrington (1989) juga menemukan
bahwa masa kecil, remaja, sampai dewasa kekerasan yang terjadi itu mempunyai
kemiripan sehingga perlunya intervensi dalam masa kecil dan remaja sehingga
tidak terjadi kekerasan dimasa depannya, sebagai contoh jika waktu remaja
seseorang pernah melakukan pencurian maka di dewasanya kemungkinan
remaja yang telah dewasa akan melakukan perampokan dan sebagainya.
Perilaku agresivitas ini dapat disalurkan dalam perbuatan, akan tetapi bila
tingkah laku tersebut tidak keluar maka akan keluar melalui kata-kata.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwan agresivitas dapat membuat
emerging adulthood melakukan tindakan kekerasan (agresivitas) yang lebih jauh
mengarah ketindakan kriminal atau melanggar hukum.
2.4.2 Problematic internet use (PIU) dan emerging adulthood
Menurut Andika (2010) seorang yang memasuki usia remaja memiliki
kecenderungan untuk mencoba banyak hal baru, salah satunya online.
Penggunaan internet pada remaja pada umumnya sering dilabelkan sebagai
sesuatu yang negatif dan tanpa kontrol dan pengetahuan dari orang tua. Internet
menawarkan segala macam informasi, mulai dari hal-hal positif hingga negatif,
seorang anak bisa saja mendapatkan informasi yang tidak benar mengenai seks
dan informasi tersebut dipendam sendiri, dan informasi tersebut dibawa hingga
dewasa (Andika, 2010). Dalam penelitian Derbyshire, Lust & Schreiber pada
tahun 2013 juga mengemukakan bahwa problematic internet use menyebabkan
berbagai masalah yang terjadi pada dewasa muda.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Problematic internet use (PIU)
dapat membuat emerging adulthood menarik diri dari lingkungan sosialnya dan
menciptakan dunianya sendiri, melakukan agresi, dan menciptakan kepribadian
yang dipengaruhi interaksi dari online yang menghasilkan konsekuensi negatif.
2.5
Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, subjek penelitian adalah emerging adulthood yang
berusia 18-25 tahun yang bermain game online berjenis MMORPG. PIU
merupakan sindrom multidimensional dari tanda-tanda kognitif dan perilaku
yang menghasilkan hal yang negatif yang menciptakan masalah profesional
maupun non-profesional dalam kehidupan seseorang (Caplan, Williams, Yee,
2009). Pada dasarnya, setiap individu memiliki potensi untuk melakukan
agresivitas (Kartono, 1995).Agresivitas merupakan suatu perilaku yang
dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu-individu
atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik secara fisik atau
verbal (Buss, 1961). Agresivitas memiliki 4 macam bentuk yang yakni :Physical
Aggression (PA), Verbal Aggression (VA), Anger (A), dan Hostility (H).
Emerging Aduluthood
Agresivitas
Game online
Problematic internet use
PA
VA
A
H
Gambar 2.1 : Bagan kerangka berpikir
PIU dan agresi telah dibuktikan korelasinya berdasarkan studi literatur yang
telah di kemukaan oleh Kim pada tahun 2008 menyebutkan bahwa “agresi and
kepribadian narsistik berkorelasi positif dengan kecanduan game online,
sedangkan pengendalian diri berkorelasi negatif dengan kecanduan game
online”. Selain itu pada tahun 2010 (Griffiths, 2010) dilakukan penelitian pada
mahasiswa bahwa kecanduangame online berkorelasi signifikan dengan traits
kepribadian (sensation seeking, self-control, aggression, neuroticism, state
anxiety, and trait anxiety). Dan pada tahun 2009 C.H. Ko dan kawan-kawan juga
melakukan penelitian yang cukup mirip di Cina, dengan 9405 sampel remaja dan
mahasiswa dengan hasil remaja dan mahasiswa yang melakukan kegiatan online
(online chatting, adult sex video viewing, online gaming, online gambling,
&Bulletin Board System) sangat terasosiasi dengan perilaku agresif walau faktor
menonton aksi kekerasan di TV telah dihilangan (Ko, Yen, Lie, Huang, &Yen,
2009). Kemudian faktor media (televisi, video game, internet) sangat
berpengaruh kepada individu untuk melakukan tindakan kekerasan karena dapat
diakses dengan mudah oleh masyarakat terutama untuk para remaja dan anakanak (Krahe, 2005).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa problematic internet use dan
agresivitas memiliki korelasi yang signifikan, sehingga peneliti berasumi bahwa
jika terdapat problematic internet use maka agresivitas akan muncul juga pada
pemain game online MMORPG dewasa muda di Jakarta, dalam hal ini
problematic internet use dapat memprediksi munculnya agresivitas.
2.6
Asumsi Penelitian
Dalam penelitian kali ini peneliti berasumsi bahwa problematic internet use
memiliki peran dalam memprediksi agresivitas pada pemain online MMORPG
dewasa muda di Jakarta.
Download