Buku Filsafat Ilmu BAB I DOUBLE RELATIONSHIP

advertisement
10
Buku ” Filsafat Ilmu
Lanjutan”
Filsafat Ilmu Lanjutan
Penerbit
Kencana
Prenada Media Group,
ISBN
:
978-602873094-5, 254 halaman
Cetakan
ke
1,
November 2011
DAFTAR ISI
Sambutan:
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.................................. V
Kata Pengantar........................................................................................................ VII
Daftar Gambar........................................................................................................ XII
BAB 1 DOUBLE RELATIONSHIP: ANALISIS VS SINTESIS……………….. 1
a. Pendahuluan………………………………………………………… 2
b. Hakikat Metode Analisis dan Sintesis……………………………… 3
c. Double Relationship (Relasi Ganda) Metode Analisis><Sintesis…. 9
d. Metode Analisis dan Sintesis dalam Pendekatan Ilmiah…………… 15
e. Implikasi bagi Teori Ilmiah………………………………………… 21
f. Penutup……………………………………………………………. 22
BAB 2
MASA BELAJAR YANG PANJANG:
DAMPAK PERKEMBANGAN ILMU DALAM HIDUP MANUSIA
(SUATU TINJAUAN FILSAFAT ILMU DIPANDANG DARI
PERSPEKTIF NEUROPSIKOLOGI...................................................... 25
a. Manusia sebagai Mahluk Individu yang Belajar............................... 26
b. Dampak Penelitian Neuroscience terhadap Belajar.......................... 29
c. Penundaan Kepuasan Sesaat
(Postponement of Gratification)....................................................... 32
d. Demokrasi kehidupan intelek dan kepemimpinan intelektual
(Democracy of Intellect dan intellectual Leadership)……………... 33
e. Imaginasi moral dan Pendidikan…………………………………… 35
f. Mengubah “takdir” yang terprogram dalam gen…………………… 38
g. Perkembangan Otak………………………………………………… 41
BAB 3
PENDEKATAN TRANSDISPLIN:
MENSTIMULASI SINERGI DAN
INTEGRASI PENGETAHUAN............................................................. 47
a. Pendahuluan..................................................................................... 48
b. Pendekatan Transdisiplin................................................................. 50
c. Kesimpulan...................................................................................... 53
BAB 4
PHYTAGORAS, PENDEKATAN ISLAM DAN BARAT
DALAM ILMU........................................................................................ 55
a. Phytagoras ......................................................................................... 56
b. Pendekatan Islam dalam Ilmu............................................................ 61
c. Pendekatan Barat dalam Ilmu............................................................. 79
BAB 5
POSTMODERNISME............................................................................ 91
a. Pengertian Postmodernisme............................................................ 92
b. Kelahiran Postmodernisme..............................................................93
c. Perkembangan Postmodernisme...................................................... 93
d. Asas-Asas Pemikiran Postmodernisme........................................... 95
e. Postmodernisme, Postmodernitas, dan Modernisme...................... 96
f. Peluang Postmodernisme................................................................ 97
g. Tantangan Postmodernisme............................................................ 98
BAB 6
ILMU, FILSAFAT, DAN FILSAFAT ILMU.......................................... 101
a. Ilmu dan Filsafat................................................................................. 102
b. Filsafat Ilmu........................................................................................ 109
c. Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya.......................................... 113
BAB 7 ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI
DALAM KEILMUAN............................................................................... 133
a. Pengantar…………………………………………………………….. 134
b. Ontologi, Epstemologi dan Aksiologi.................................................. 139
BAB 8
ILMU DAN NILAI: ALIRAN DAN
TOKOH-TOKOH FILSAFAT ILMU, APAKAH FILSAFAT.................. 165
a. Aliran-aliran dan tokoh-tokoh Filsafat Ilmu............................................ 166
Apakah Filsafat
b. Ilmu dan Nilai.......................................................................................... 177
c. Kajian Filsafat.......................................................................................... 188
d. Ilmu dan Agama....................................................................................... 194
BAB 9
LOGIKA DAN PENALARAN ILMIAH................................................... 207
a. Pendahuluan.......................................................................................... 208
b. Preposisi................................................................................................ 211
c. Logika Deduktif..................................................................................... 230
d. Logika Induktif...................................................................................... 231
e. Penalaran................................................................................................ 232
f. Kesesatan dalam Penalaran.................................................................... 246
g. Penalaran Ilmiah..................................................................................... 248
DOUBLE RELATIONSHIP: ANALISIS Vs SINTESIS
I. PENDAHULUAN
Topik ini pada hakikatnya memiliki keterkaitan sangat erat dengan topik-topik
lain dalam bahan ajar ini. Muhajir (2007) mengatakan bahwa tradisi keilmuan dan
teknologi yang berkembang sekarang adalah tradisi yang tumbuh dari sistem logika yang
berkembang dari Yunani (dengan tokoh-tokoh besarnya Socrates, Plato, dan Aristoteles),
dilanjutkan dengan logika renaissans Arab (yang berkembang dari Al Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Rushd), diteruskan dengan logika renaissans Eropa (yang berkembang dari
empirisme John Locke), menjadi ilmu dan teknologi mutakhir (yang berkembang dari
Wittgenstein ke pragmatisme Peirce, ke Fenomenologi Hubserl, sampai dekonstruksi
Loytard)
Dalam tradisi sistem logika tersebut di atas unsur utama adalah rasionalitas dan
empiri. Rasionalitas menjadi unsur pertama untuk berilmu pengetahuan, dan empiri
menjadi unsur keduanya. Menurut Muhadjir (2007) rasionalitas atau berperannya rasio
atau akal manusia yang mampu membuat abstraksi dan konsep atas banyak empiri
menjadi penting; dan selanjutnya mampu membuat analisis dengan prosedur kerja yang
raional dan konsisten, dan akhirnya mampu membuat pemaknaan atas tumpah-ruahnya
empiri yang dihadapi, menjadi produk ilmu. Di sisi lain, empiri merupakan pengalaman
keseharian manusia; dalam bahasa paling elementer disebut fakta atau kenyataan (lihat
Suriasumantri, 2006).
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rasio dan empiri
merupakan dua perangkat atau unsur dasar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Untuk mendayagunakan dua perangkat atau unsur itu seorang ilmuwan menggunakan
analisis dan sintesis (lihat Kallsoff (2004). Bab ini mencoba memberikan pembahasan
umum tentang analisis dan sintesis dalam kaitannya dengan usaha mengembangkan ilmu
pengetahuan. Untuk itu, subtopik yang disajikan meliputi (1) hakikat metode analisis dan
sintesis, (2) double relationship (relasi ganda) dalam metode analisis dan sintesis, (3)
metode analisis dan sintesis dalam pendekatan ilmiah, dan (4) implikasinya bagi teori
ilmiah.
II. HAKIKAT METODE ANALISIS DAN SINTESIS
1. Hakikat Metode Analisis
Secara etimologis, kata „analisis‟ yang dalam bahasa Inggris „analysis‟ berasal
dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana- dan lyein) berarti
„melonggarkan‟ atau „memisahkan‟ (memisahkan keseluruhan menjadi bagian-bagian).
Dalam kamus Meriam-Webster (2009: CD-ROM version), kata „analisis‟ memiliki
beberapa dimensi makna. Dua di antaranya yang berkaitan dengan filsafat dimaknai
dengan “a method in philosophy of resolving complex expressions into simpler or more
basic ones” (metode dalam filsafat yang menguraikan ungkapan yang rumit ke dalam
bentuk yang lebih sederhana atau yang lebih mudah) dan “clarification of an expression
by an elucidation of its use in discourse” (klarifikasi ungkapan dengan cara menjelaskan
penggunaannya dalam wacana). Selain itu, dalam konteks kebahasaan, „analisis‟
dimaknai sebagai penyederhanaan bentuk kata dengan memisahkan akar kata dari
imbuhannya sebagai salah satu metode bedah bahasa.
Istilah “analisis” menurut Kallsaff (2004) adalah “perincian”. Selanjutnya
ditegaskan oleh Kallsaff, bahwa di dalam filsafat analisis berarti perincian istilah-istilah
atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya sedemikian rupa sehingga kita
dapat melakukan pemeriksaan atas makna yang dikandungnya. Dalam perspektif lain
“analisis” merupakan kemampuan mengidentifikasi, memisahkan, dan membedakan
komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesis, atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya
kontradiksi. Dalam tingkat ini seseorang diharapkan menunjukkan hubungan di antara
berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip,
atau prosedur yang telah ditentukan.. Kata kerja operasional yang biasa digunakan
adalah: membedakan dan mendiskriminasikan, mendiagramkan, memilih, memisahkan,
membagi-bagikan, mengilustrasikan, mengklasifikasikan.
Analisis merupakan bentuk kegiatan logika yang menyarikan kebenaran konkret
suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma
lugasnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya (Palmquist, 2000).
Jika analisis dikategorikan sebagai metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan
dan kebijaksanaan, maka tentu di dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip,
dan prosedur yang digunakan untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan
atau hasil pemikiran. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas yang
dikandung dalam ungkapan pemikiran dan perasaan manusia.
Dalam filsafat analitik (positivisme), “analisis” menurut Muhadjir (2007) berarti
menguraikan segala sesuatu sampai unit sekecil mungkin. Di sisi lain, dirumuskan oleh
Russel (1997) dengan pernyataan:
Dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya kita tempuh dengan
menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk, juga bermakna
ganda. Oleh karena itu saya bermaksud meyakinkan bahwa sikap bersikeras atau kepala
batu untuk tetap menggunakan bahasa biasa dalam mengungkapkan pemikiran kita
adalah penghalang besar bagi kemajuan filsafat.
Oleh sebab itu, tidak heran jika Russel menentukan titik tolak pemikirannya berdasarkan
bahasa logika. Hal ini terjadi karena ia berkeyakinan bahwa teknik analisis yang
didasarkan pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas.
Hal ini relevan dengan anggapan Descartes (dalam Honer dan Hunt, 2006) bahwa
pengetahuan memang dihadirkan oleh indra, tetapi karena dia mengakui bahwa indra itu
bisa menyesatkan (seperti dalam mimpi dan khayalan), maka dia terpaksa mengambil
kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan.
Analisis logis mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan apriori yang tepat bagi pernyataan. Dengan cara yang demikian, Russel (1997)
menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan masalah filsafat. Akan tetapi,
Russel lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis, karena teori yang terlalu
empirik (didasarkan atas fakta) tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Ia
memperkenalkan istilah data indrawi untuk hal-hal seperti warna, bau, kekerasan,
kekasaran, dan seterusnya dan mengundang kesadaran kita dengan sense datum a (of?)
sensation (sensasi akan data indra). Russel membedakan antara apa yang disebutnya
dengan pengetahuan dan pengenalan, serta pengetahuan dan deskripsi. Ia berargumen
bahwa kita tidak secara langsung berkenalan dengan objek-objek fisik tetapi
menyimpulkan objek-objek seperti meja, pohon, anjing, rumah, dan orang-orang dari data
indrawi. Kesulitannya di sini ialah bagaimana inferensi dibuat dari data indrawi untuk
sebuah entitas yang memenuhi penjelasan common sense tentang objek fisik. Bagi Russel
kebenaran bersifat logis dan matematik yang diungkapkan dalam analisis logis
“meyakinkan kita untuk mengakui keperiadaan sifat-sifat „universal‟ yang tak
terubahkan, padahal banyak teori
yang bersifat empirik murni tidak dapat
mempertanggungjawabkan hal seperti itu.
Sejalan dengan pandangan Russel, kritikus kaum empirik menunjukkan bahwa
fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tidak menujukkan
hubungan di antara mereka dan pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka
”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi
sebuah teori pengetahuan yang sistematis (Honer dan Hunt, 2006).
Merujuk pada penjelasan di atas, analisis pada akhirnya dimaknai sebagai
kegiatan berpikir yang melakukan perincian terhadap istilah-istilah atau pernyataanpernyataan ke dalam bagian-bagiannya agar dapat menangkap makna yang dikandungnya
atau memahami komponen terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen. Berkaitan
dengan itu, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada
suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah
logika penalaran yang bersangkutan. Jadi tidak salah kalau ada yang menyatakan bahwa
analisis adalah gerbang logika.
2. Hakikat Metode Sintesis
Pada bagian terdahulu kita telah membahas “metode analisis” yang menurut
Kattsoff (1986) bertentangan dengan ”metode sintesis.” Istilah sintesis secara etimologis,
berasal dari bahasa Yunani syntithenai (syn- + tithenai) yang berarti „meletakkan‟ atau
„menempatkan‟ (Meriam-Webster Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam sumber yang
sama, entri sintesis diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau
elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Selain itu, sintesis juga diartikan sebagai
kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara koheren, dan penalaran induktif
atau kombinasi dialektika dari tesis dan antitesis untuk memperoleh kebenaran yang lebih
tinggi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sintesis diartikan sebagai “paduan
berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras atau penentuan
hukum yang umum berdasarkan hukum yang khusus.” Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Kattsoff (1986) yang menyatakan bahwa logika sintesis adalah kegiatan
berpikir logis yang melakukan penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk
menyusun suatu pandangan atau konsep. Lebih lanjut dikatakan oleh Kallsaff, maksud
sintesis yang utama adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dapat diperoleh
untuk menyusun suatu pandangan dunia. Dalam perspektif lain “sintesis” merupakan
kemampuan seseorang dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur
pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh. Kata kerja
operasional yang dapat digunakan adalah mengategorikan, mengombinasikan, menyusun,
mengarang,
menciptakan,
merencanakan,
menyusun
mendesain,
kembali,
menjelaskan,
mengubah,
mengorganisasi,
merevisi,
menyimpulkan,
menghubungkan,
menceritakan, menuliskan, mengatur.
Sintesis merupakan bentuk lain dari kegiatan atau metode berpikir. Secara
sederhana, Russel menyatakan bahwa sintesis logis berarti menentukan makna
pernyataan atas dasar empirik. Meskipun demikian, kebenaran proposisi Russel perlu
dianalisis dengan membedah pengertian yang dikemukakan.
Dari hasil penelusuran melalui Wikipedia (2009) diperoleh informasi bahwa
analisis mempunyai arti luas dan dapat dipergunakan dalam bidang fisika, ideologi, dan
fenomenologi. Di sisi lain, menurut Kattsoff (1986) agaknya jauh lebih rumit untuk
menggambarkan sintesis dalam filsafat, karena tiadanya contoh-contoh singkat yang
dapat dikutip. Pada zaman modern, sistem yang paling ringkas serta paling besar adalah
sistem yang disusun oleh Hegel, seorang filsuf Jerman. Karya Hegel merupakan usaha
untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya,
juga meliputi susunan pengetahuan manusia. Bertolak dari pengertian tentang ”yang adayang murni” (pure being), Hegel berusaha menyimpulkan gagasan tentang metafisika,
alam fisik, manusia, masyarakat, dan bahkan gagasan agama, serta filsafat. Hegel
menyempurnakan konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai
dialektika ke dalam trilogi ”tesis, antitesis, dan sintesis”. Menurut Hegel tidak ada satu
kebenaran yang absolut karena hukum dialektika. Yang absolut hanyalah semangat
revosionernya (perubahan / pertentangan atas tesis oleh antitesis menjadi sintesis).
III. DOUBLE RELATIONSHIP (RELASI GANDA) METODE ANALISIS vs
SINTESIS
Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode argumentasi
antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia dengan Euklides. Dalam
Elements-nya, Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya
tidak dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya
memperlihatkan
ketepatan
teorema-teorema
geometrisnya
dengan
mula-mula
menggunakan metode argumentasi analitik (deduktif), dan kemudian mendukung
simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). Proses praktis penyusunan deduksi
(berlawanan dengan bentuk tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu
pembuktiannya dengan pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi
sebagai landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan
bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan.
Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan (yakni keluasan
pengetahuan), logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan (yakni kedalaman
pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap
bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling melengkapi, sebagaimana deduksi dan
induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode argumentasi yang
saling melengkapi (atau bersifat komplementer). Salah satu cara terbaik untuk
menggambarkan pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan
yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan kebodohanpasti.
Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja
bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas transendental (umpamanya,
sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi, begitu kata-kata untuk memberikan hal-hal
yang terletak di luar tapal batas ini digunakan, logika analitik bukan hanya kehilangan
daya penjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam
penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus sebagaimana yang diperlihatkan oleh
Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang
tidak begitu kita ketahui dengan pasti, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini
dengan memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan
untuk mendukung keyakinan-keyakinan itu.
Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf dengan berbagai cara
yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara yang pada umumnya diterima
pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode argumentasi adalah cara penggunaan
istilah-istilah ala Euklides. Akan tetapi, Kant mengembangkan cara baru penggunaan
istilah-istilah tersebut, yang dengan demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang
berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika subyeknya “terkandung di
dalam” predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar”
predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan “Merah adalah warna” termasuk analitik,
kategoris karena konsep “merah” masuk sebagai salah satu unsur konsep “warna”.
Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini putih” adalah sintetik, karena seseorang
tidak akan mengetahui bahwa benda tersebut adalah “kapur tulis” jika hanya diberitahu
bahwa kapur tulis itu putih (Palmquist, 2000).
Menurut Palmquist (2000), Kant juga memberi beberapa pedoman lain yang lebih
ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah analitik ataukah sintetik.
Kebenaran proposisi analitik selalu bisa diketahui melalui logika saja. Jadi, jika makna
kata-kata sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik mampu
menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan hanyalah mengatakan “merah” dan
bagi mereka yang memahami makna kata „merah‟ akan segera tahu bahwa pembicara
sedang membicarakan warna. Seperti halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran
proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, bersifat niscaya. Sebaliknya,
kebenaran proposisi sintetik mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar
konsep. Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi,
yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif dan
kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Jika
misalnya seseorang memberitahu bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi dalam
genggaman tangannya itu putih, maka kebenaran pernyataannya tergantung pada apakah
orang itu mengelabui pendengar atau berkata benar.
Dewasa ini sebagian filsuf menduga bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang
sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga keseluruhan
pembedaannya dianggap tidak berguna. Hal itu memang dapat terjadi jika konteks
proposisi tidak berhasil diterapkan berdasarkan pedoman Kant dengan hati-hati. Kant
mengombinasikan pembedaan antara proposisi atau “penimbangan” analitik dan sintetik
dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan “a-priori” dan “a-posteriori”.
Pengetahuan “a-priori” ialah pengetahuan yang tidak tergantung pada adanya
pengalaman atau, yang ada sebelum pengalaman. Sebaliknya, sesuatu dianggap “aposteriori” jika terjadi sebagai akibat pengalaman. Hal itu menghasilkan empat
kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial yaitu pengetahuan
analitik a-priori yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan
sintetik analitik logis a-priori a-posteriori yang secara sederhana adalah pengetahuan
empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik a-posteriori, namun istilah ini pada
aktualnya memerikan suatu sintetik a-posteriori empiris kategori epistemologis yang
amat penting. Mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara
tersebut secara signifikan mampu menyelamatkan penampakan, baik supaya tidak
dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang lantaran
diakui sebagai penampakan belaka.
Kelompok pengetahuan sintetik a-priori banyak menarik perhatian Kant. Ia
menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental memiliki tipe seperti ini. Oleh
karena itu, ia mengatakan bahwa pertanyaan “Bagaimana penimbangan sintetik itu apriori?” merupakan pertanyaan sentral semua filsafat kritis.
Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua
jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika yang didasarkan pada prinsipprinsip penalaran yang disusun oleh Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah
hukum yang disebut “hukum kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di
Categories dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan
sekaligus “bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata
lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus tidak hitam “A” dan
sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini adalah:
“A bukan –A” atau “A ? -A”
Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini sangat menonjol.
Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah diajukan oleh filsuf-filsuf Barat.
Lagi pula, kita tidak akan mampu berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan
bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda
yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya. Dengan demikian, deduksi dan proposisi
analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu, keduanya dipasangkan
dengan fungsi sintetik komplementernya: induksi dan proposisi sintetik.
Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis,
dan kebanyakan versi eksistensialisme, sintesis, hampir mengabaikan atau bahkan secara
terang-terangan menolak makna penting kecenderungan lawanannya. Meskipun
demikian, dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap
kecenderungan tersebut saling bergantung untuk melanjutkan keberadaan masing-masing,
karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah gerakan.
Oleh sebab itu, menjelang akhir abad XX, kedua kecenderungan tersebut mulai
gugur dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni hermeneutik (Sumaryono,
1993). Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap filsafat itu semuanya menekankan
tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Unsur utama gerakan filosofis
yang mendominasi filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad XIX, dikenal
sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan nama-nama seperti
“filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi
filsuf yang bersangkutan. Akan tetapi, pada umumnya pendekatan ini menganggap
analisis bahasa sebagai tugas mendasar filsuf.
Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang
tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan yang tepat tentang apa yang
terhitung sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara
terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Akan tetapi, di tengah semua perbedaan
mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan
filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang
yang akar-akarnya pada bahasa manusia (Hidayat, 2006). Sebagiannya percaya bahwa
dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan
keterbatasan pengetahuan (yang dicanangkan oleh Kant) sampai pada pengertian bahwa
gagasan “peralihan transendental” dalam berfilsafat disangka oleh banyak filosof saat ini
sebagai sesuatu yang identik dengan “peralihan linguistik.”
IV. METODE ANALISIS DAN SINTESIS DALAM PENDEKATAN ILMIAH
Pada bagian awal penjelasan subtopik ini, ada baiknya dijelaskan dulu apa yang
dimaksud dengan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah merupakan gabungan antara
penalaran induktif dan deduktif. Kerlinger (1969) memberi definisi pendekatan ilmiah
sebagai “penyelidikan yang sistematik, terkontrol dan bersifat empiris atas suatu relasi
fenomena alam.” Sedangkan menurut Susilo (2009) pendekatan ilmiah adalah proses
berpikir di mana kita bergerak secara induktif dari pengamatan menuju pembentukan
hiptesis dan kemudian berbalik secara deduktif membuat verifikasi atas hipotesis kita tadi
kepada penerapan logisnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa proses kerja dalam
pendekatan ilmiah menimbulkan tiga sifat yang membedakannya dengan sumber
pengetahuan dari pengalaman. Pertama, pendekatan ilmiah bersifat sistematis dan
terkontrol karena menggunakan dua penalaran, yaitu induksi dan deduksi. Kedua, ia
bersifat empiris yang menghendaki validasi atas semua keyakinan subjektif seseorang.
Sedangkan yang ketiga, bersifat self-correcting yang berarti bahwa prosedur yang
sistematis dan terkontrol tersebut memungkinkan seseorang terhindar dari kesalahan yang
signifikan tatkala menggunakan proses pendekatan ilmiah ini untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan.
Mengacu pada penjelasan di atas, muncul pertanyaan “Apakah temuan yang
diperoleh melalui pendekatan ilmiah betul-betul sahih?” Jawaban pertanyaan ini tentu
tidak mudah. Satu hal dari sekian hal yang ada yang dapat menjadi petunjuk bagi kita
adalah pernyataan Bronowsky (1987) yang menyatakan bahwa pada kala Kepler,
Copernicus, Galileo, dan Newton mengadakan berbagai temuan dalam kaitan dengan
deskripsi kedudukan matahari dan planet kita di alam semesta, maka dalam
mempertanggungjawabkan berbagai temuannya, yang mereka pikirkan terutama adalah
kebenaran ilmunya. Untuk membangun kebenaran secara ilmiah, dilakukan kegiatan
penelitian.
Penelitian adalah suatu kegiatan yang menggunakan pendekatan ilmiah sebagai
prinsip kerjanya. Penelitian merupakan suatu proses pencarian kebenaran melalui
prosedur ilmiah dan biasa dikatakan sebagai kebenaran ilmiah yang objektif karena
kesimpulan itu ditarik berdasarkan data empirik dengan prosedur yang sistematis serta
menggunakan pendekatan ilmiah. Dalam mencapai kebenaran ilmiah tersebut, kita harus
melalui proses kegiatan penelitian yang secara umum bisa meliputi langkah berikut: (1)
perumusan masalah, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, dan (4) penarikan
kesimpulan.
Seorang peneliti dalam melakukan penelitian biasanya menggunakan paradigma,
yaitu pendekatan positivisme empiris dan pendekatan konstruktivis/fenomenologis yang
sering dikonotasikan masing-masing dengan orientasi kuantitatif dan kualitatif
(Semiawan, 2007). Kedua paradigma tersebut sesuai dengan pengertiannya menunjuk
pada suatu pola pikir yang merupakan suatu kerangka pikir konseptual (conceptual
framework) berkenaan dengan teori tertentu dalam bidang riset yang dikonstruksikannya
(Colman, 2001).
Penjelasan berikut akan mengambil uraian yang disampaikan oleh Semiawan
dalam bukunya Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan (Semiawan,2007). Pada bahasan ini, penjelasan dalam buku tersebut
diperlukan untuk implementasi metodologisnya agar kita tidak mencampuradukkan
berbagai landasan filsafat ilmu yang berbeda. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa
positivisme bersumber dari orientasi ilmu alam yang kajiannya diarahkan pada
pengembangan teori. Riset seperti ini mendasarkan pengetahuan pada fakta yang dapat
diamati secara langsung dan percaya bahwa secara ontologis hanya ada satu realitas
tunggal. Para positivis percaya bahwa setiap riset bebas nilai dalam mempersoalkan
aksiologi penelitian. Dalam kajian epistemologi hubungan antara yang hendak
mengetahui (the knower) dan materi pengetahuan (the known) bersifat independen.
Adanya hubungan sebab-akibat yang mendahului atau muncul bersamaan dengan
efeknya adalah ciri lain dari paradigma positivistis. Pada umumnya para positivis lebih
menekankan logika induktif atau mendasarkan kajiannya pada hipotesis a priori atau
teori tertentu. Paradigma positivis yang paling terkenal adalah metode eksperimental.
Dalam metode ini hipotesis dijabarkan secara logis dari teori mencakup suatu test dalam
kondisi terawasi. Paradigma ini disebut scientific inquiry yang bersifat konvergen,
tunggal, fragmentaris, indepeden, dan terfokus pada persamaan untuk dapat
digeneralisasikan.
Kondisi yang terawasi ini melihat dunia sebagai kesatuan yang nyata yang
merupakan proses yang berkelanjutan dan terbagi dalam seri subsistem yang berdiri
sendiri dan fragmentaris serta disebut variabel. Penelitian ini menuntut homogenitas
respons dalam kategori terbatas, dan sejumlah sampel besar. Karena pendekatan ini
mencari hukum-hukum tertentu melalui perhitungan statistik berkenaan dengan
kebermaknaan penelitian bagi responden, posisi pelaku riset dalam kaitan hubungan
subjek-objek tidak diperkarakan. Sering hasil penelitian positivistis ini dalam praktiknya
kurang bermanfaat bagi subjek penelitian.
Sebaliknya, phenomenology adalah suatu metode penelitian ilmiah filosofis yang
diperkenalkan oleh filsuf Jerman Edmund Husserl yang berkonsentrasi terhadap deskripsi
pengalaman sadar dan secara umum mencakup metodologi penelitian kualitatif yang
lebih menganalisis pengalaman mental dari pada perilaku nyata (Colman, 2001).
Konstruktivisme adalah mazhab psikologi yang diperkenalkan oleh Jean Piaget kurang
lebih 60 tahun yang lalu. Teorinya berkenaan dengan aktivitas mental untuk memperoleh
gambaran yang eksak tentang kenyataan dunia serta merupakan modifikasi dari struktur
atau proses psikologi dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Prinsip konstruktivisme
menuntut transformasi kualitatif dalam berbagai aspek yang diamatinya, yang merupakan
konstruksi pengetahuan yang comes from within. Metode penelitiannya dilatarbelakangi
oleh tradisi hermeneutis.
Orientasi hermeneutis ini dilandasi oleh pengertian Verstehen, yaitu pemahaman
kebermaknaan yang merupakan keterkaitan pengertian fenomena atau bagian tertentu
dari
keseluruhan
yang
bermakna.
Vestehen
adalah
kondisi
ontologis
dari
intersubjektivitas, bukan semata empati terhadap pengalaman orang lain, melainkan juga
pengertian, yang termasuk kemampuan bahasa sebagai media organisasi kehidupan sosial
manusia.
Penelitian naturalistik berfokus pada sesuatu dengan cara berbeda, divergen dan
jamak, dan mendeteksi interelasinya. Jadi, fokus inquiry naturalistik umumnya bersandar
pada realitas jamak, sebagaimana lapis kulit sebuah bawang putih, saling melengkapi,
meskipun dilihat dari perspektif yang berbeda dalam kenyataan (Guba dan Lincoln,
1985).
Penelitian ini menampilkan diri dalam berbagai bentuk kebenaran. Lapisanlapisan tersebut secara intrinsik berinteraksi sehingga membentuk pola kebenaran. Polapola ini harus dijelajahi lebih jauh, bukan saja untuk dikendalikan, tetapi lebih-lebih lagi
untuk dipahami, apalagi dalam situasi kelas di mana anak manusia sedang belajar.
Paradigma inquiry naturalistik bertolak dari asumsi bahwa terjadi interaktivitas antara
peneliti dan data, karena kolektor data adalah anak manusia yang terkena efek persepsi
informasi yang dikembangkannya.
Peneliti yang merupakan naturalistic inquirer bertolak dari pendapat bahwa
kebenaran realitas yang bersifat jamak dan multidimensional bisa berubah dari konteks
yang satu ke konteks yang lain. Ia juga memperhatikan berbagai interaksi yang kompleks
antar individu yang berbeda-beda. Dalam kaitan pengertian belajar perubahan tersebut
bersifat relatif permanen dikarenakan pengalaman yang diperolehnya dari lingkungannya
yang selanjutnya diolah secara intrenal. Meskipun demikian, manusia memiliki realitas
yang berbeda-beda dan adalah konstruktor dari pengetahuannya sendiri, sehingga hasil
perubahan itu “comes from within.”
Dari penjelasan di atas, sesuai dengan filsafat ilmunya, postitivisme tunduk
kepada bukti kebenaran empirik. Positivisme berpikir analitik: mengurai segala sesuatu
sampai unit sekecil mungkin. Dengan demikian, berpikir analitik menjadi sifat dominan
dalam berpikir positivistik, dipilahkan atau dipisahkan secara jelas dengan sintesisnya.
Pemilahan tersebut perlu ditata pada laporan hasil penelitian. Menurut Muhadjir (2007)
biasanya bab IV karya skripsi, tesis, atau disertasi berisi laporan hasil analisis
pengumpulan data dan hasil analisis data untuk membuktikan hipotesis atau pertanyaan
penelitiannya. Barulah pada bab V dibuat sintesis atau kesimpulan serta saran hasil
penelitian.
Pada dasarnya memilahkan analisis dan sintesis pada yang kualitatif lebih sulit
dari pada yang kuantitatif. Menurut Semiawan (2007), secara ontologis mazhab
konstruktivisme dalam psikologi menyebut bahwa dunia sosial berubah terus-menerus,
sehingga memerlukan aktor-aktor sosial untuk menangkap makna dari berbagai kejadian
dalam dunia sosial. Ilmuwan yang mengadakan riset karenanya perlu terlibat secara aktif
dalam konstruksi sosial. Untuk itu, diperlukan pendekatan riset yang berbeda, demikian
juga pengumpulan datanya juga berbeda.
Dalam penelitian kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan
rangkaian angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara
(observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses”
kira-kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau
alih tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun
dalam teks yang diperluas. Proses analisis tersebut terdiri dari tiga jalur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Ini berarti dalam penelitian kualitatif analisis dan sintetis berjalan
serentak.
Sebaliknya, dalam penelitian kuantitatif peneliti mampu memilahkan analisis dan
sintesis menjadi karakteristik penting penelitian positivistik. Tuntutan analisis yang
rasional, objektif berdasar empiri penting dalam positivisme. Hasil analisis lalu diolah
menjadi sintesis dan akhirnya menjadi kesimpulan hasil penelitian.
V. IMPLIKASINYA BAGI TEORI ILMIAH
Berhubung ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu
penyelidikan ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul
sebagai hasil dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan
terkontrol. Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah. Teori
ilmiah didefinisikan sebagai “seperangkat konsep (konstruk), definisi, atau proposisi
yang menggambarkan sebuah pandangan yang sistematis atas fenomena dengan cara
memberi spesifikasi hubungan antar variabel yang tujuan akhirnya adalah memprediksi
atau menerangkan sebuah fenomena tersebut.” Ada dua fungsi utama dari teori ilmiah,
yaitu: mengorganisasikan temuan dari berbagai pengamatan dan penyelidikan yang
tercecer sehingga sebuah kerangka teori yang bisa menjelaskan suatu fenomena, dan
menjelaskan keterkaitan antar variabel, serta menjelaskan bagaimana sifat keterkaitannya.
Melalui sebuah kerangka teori yang bisa dijelaskan, seorang ilmuwan bisa memberi
prediksi dan kontrol terhadap suatu fenomena.
Misalnya, dalam sebuah teori pengajaran bahasa, dikatakan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara minat baca anak dengan prestasi pemahaman bacaan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan informasi dari teori ini seorang ahli pengajaran
bahasa bisa memprediksi prestasi membaca pemahaman anak didik dalam pelajaran
bahasa Indonesia dengan cara mengetahui minat baca mereka. Setelah mengetahui
informasi tersebut, selanjutnya ia bisa mengontrol prestasi anak didik tersebut dengan
cara meningkatkan minat baca mereka agar prestasi membaca mereka dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia lebih baik.
VI. PENUTUP
Sebagai penutup ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1.
Secara umum, analisis didefinisikan sebagai suatu metode yang prosedurnya
memecah suatu substansi menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen. Sedangkan
sintesis diartikan sebaliknya, yaitu menggabungkan elemen-elemen atau komponenkomponen yang terpisah menjadi suatu kesatuan yang koheren.
2. Metode analisis dan metode sintesis sangat berguna dalam membangun pengetahuan
keilmuan. Pengetahuan keilmuan meliputi semua apa yang dapat diteliti dengan jelas atau
dengan eksperimen sehingga bisa terjangkau oleh rasio atau otak dan panca indra
manusia.
3.
Ilmu pengetahuan diperoleh secara sahih dan andal dengan suatu penyelidikan
ilmiah, yaitu penelitian, maka ia merupakan sebuah proposisi yang timbul sebagai hasil
dari kesimpulan suatu proses pencarian pengetahuan yang sistematis dan terkontrol.
Proposisi inilah yang apabila terakumulasi akan menjadi teori ilmiah
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar.. 2008. Filsafat dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Bronowsky, J. 1987. The Ascent of Man. Boston : Little Brown & Co.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Pustaka.
Hidayat, A.A. 2006. Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.
Bandung : Rosda Karya.
Kattsoff, O. L. 2004. Pengantar Filsafat. (Alih Bahasa Soejono Soemargono).
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Merriam-Webster Dictionary (2009) CD-ROM Version.
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Jogyakarta: Rake Sarasin.
Palmquist, S. 2000. The Tree of Philosophy: A course of introductory lectures for
beginning students of philosophy (Enlarged fourth edition, with Glossary and eight new
lectures). Hong Kong: Philosophy Press, Hong Kong .
Ritchey, T. 1996. Analysis and Synthesis. On Scientific Method – Based on a Study by
Bernhard Rieman. (Downloaded from the Swedish Morphological Society:
www.swedmorph.com)
Russel, B. 1997. The Problems of Philosophy. New York: Oxford University Press.
Semiawan, C. 2007. Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kanisius.
Suriasumantri, S, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Suriasumantri, S , Jujun. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. (Sebuah kumpulan karangan
tentang hakekat ilmu). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Susilo. 2009. Prinsip dan Teori Dasar Penelitian Pendidikan. Jakarta: Poliya Widya
Pustaka
The Liang Gie. 2007. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Sudah disunting Juli 2011, SABARTI
Download