BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PENGELOLAAN

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PENGELOLAAN TANAH
NEGARA DAN LEMBAGA MASYARAKAT ADAT
2.1. Pengertian Perjanjian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu
orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan
terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst
tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang
berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan
persetujuan. 1
Perjanjian
merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan
terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming
(persesuaian kehendak/kata sepakat).
Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena
adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari
perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain
meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang
memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hal. 97
21
1985,
2
pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat
hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk
menimbulkan suatu akibat hukum".2 Menurut Subekti, suatu perjanjian
merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di
mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
3
R. Setiawan,
menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.4 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian
merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah
proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran
oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai
kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah
pihak. Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH
Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih
mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan
berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap,
namun di lain pihak terlalu luas.
2
Ibid., hal. 97-98
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36
4
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987,
3
hal. 49
3
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313
BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini
lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan
hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para
pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang
cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan
hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang
satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada
akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para
pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan
konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.5
5
Salim H.S dkk, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),
Jakarta: Sinar grafika, Hal. 124.
4
Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai
kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus
menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling
penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta
syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.
Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung
terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan
usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum
dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang
yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya
sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia
diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas
namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara
perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya
tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga
merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang
menjalankan usaha/ kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya
lebih condong kepada jenis usaha/ kegiatan dan suatu badan usaha. Suatu Badan
usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undangundang.
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
5
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas
hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum
positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan
hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. Dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian,
yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta suntservanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas
kepribadian.
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH
Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:
a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;6
b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
6
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, hal. 4.
6
c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin
kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat
Buku III
KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga
para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap
pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
Asas konsensualisme ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan
dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata
semua menunjukkan bahwa setiap
menyatakan
keinginannya
orang
diberi
kesempatan
untuk
(will), yang dirasanya baik untuk menciptakan
perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan
perjanjian. Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat
(consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain
lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika
perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan
alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut
dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus
diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada
7
pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu
untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian
tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud
Pasal
1320
KUH
Perdata.
Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian
dan tersimpul dalam kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang
dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undangundang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di
dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah
oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian
hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas
ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur
maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui
dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian
seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif). 7
7
Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
8
2.2. Pengertian dan Konsep Tanah Negara
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA,
yaitu “ atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal
2 ditentukan adanya macam- macam hak atas tanah atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang- orang lain serta
badan- badan hukum”. Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas
sebagaian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar. Adapun ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas,
berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar, dan tingi, yang dipelajari dalam hukum
Penataan Ruang. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari
bumi, yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah 8 sebagai
bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “ atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam- macam hak atas tanah atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang- orang lain serta badan- badan hukum”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagaian tertentu
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
8
Ibid ., hlm. 96.
9
Adapun ruang dalam pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga, yaitu
panjang, lebar, dan tingi, yang dipelajari dalam hukum Penataan Ruang.
Yang dimaksud dengan hak tanah adalah yang memberi wewenang kepada
pemegang hak nya untuk menggunakan dan atau mengambil manfaat dari tanah
yang dihakinya. Perkataan “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak
atas tanah itu digunakan umtuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan
perkataan “mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah itu
digunakan untuk kepentinan bukan mendirikan bangunan misalnya pertanian,
perikanan, peternakan dan perkebunan. Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2),
kepada pemegang hak atas tanah di beri wewenang untuk menggunakan tanah
yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang diatsnya
sekadar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas- batasnya menurut UUPA dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi. Hukum tanah merupakan keseluruhan peraturanperaturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak- hak
penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga- lembaga hukum dan hubunganhubunngan hukum yang konkret.9
Obyek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud
dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang,
kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang hak nya untuk berbuat sesuatu
mengenai tanah yang di miliki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat yag merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau
9
Efendi Parangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Teaah Dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum, Rajawali, 1989, hlm. 195
10
tolok ukur pembeda diantara hak- hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
hukum tanah.
Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara
jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut
demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita
menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa
yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki
tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu
yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya
diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum
wewenang pemberian haknya. Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai
arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya.
Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun
mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah
tubuh bumi Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan
bumi” .10 “Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah
milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu
antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan
kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam
pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah
sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek
mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun
10
Pasal 4 ayat 1 UUPA
11
hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau
kepunyaan.
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki
ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti atau makna berbeda
dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama
dengan pengertian dimiliki.11 Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau
menguasai dalam arti “possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut
dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum
tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut.
Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan
dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa
tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun
bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin
adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu.
Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin
yang berhak “okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada
penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak (right) dalam arti sah secara
hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah
dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia
sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system
ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, (system feodalisme). Tanah
dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah
11
Efendi Parangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Teaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Rajawali, 1989, hlm. 195
12
kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah
kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut
berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989).
Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat
sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai
dotrin “land tenure". Tanah Negara adalah tanah milik Negara diterapkan di
Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “agrarisch besluit” yang
diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 (S. 1870118).
Dalam pasal 1, disebutkan:
“behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde
wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door
anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.
Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan
kepemilikan “Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan
domein umum (algemene Domein Verklaring ). Disamping itu, dikenal juga
adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum
dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan
dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55. Rumusannya sebagai
berikut:12
“alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren,
voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het
ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het
Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust
12
13
AP. Perlindungan, 1994, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal.
13
behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij
het Gouvernement”.
“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah
domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan
hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah
Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada
pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah
dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.
Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara atau
pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan
dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak
Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan
hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada
penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono,
h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini
paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW,
mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak
dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.13
Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk
tanah Negara yakni: Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah
Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas
artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu
hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam
ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang
pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat.
13
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hlm., 281
14
Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka
rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari
atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang
diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia
Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya
dibedakan menjadi dua:1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena
dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap
tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; 2. Tanah
Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu
departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan
departemen dalam negeri (Binnen van bestuur).
2.3. Pengelolaan Tanah Negara oleh Lembaga Masyarakat Adat
Secara keseluruhan terhadap perkembangan akomodasi pariwisata dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2016 selalu mengalami pertumbuhan, pertumbuhan
tersebut diakibatkan karena adanya para pihak yang terkait turut serta di dalam
melakukan promosi pariwisata, dengan mengarahkan pertambahan arus
kunjungan pariwisata ke Bali. Pengembangan potensi wisata di Kabupaten
Badung akan mendukung kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan Provinsi
Bali sebagai salah satu destinasi wisata unggulan baru, di samping untuk
kemajuan daerahnya sendiri
Guna memenuhi keperluan wisatawan yang
berkunjung di Kabupaten Badung diperlukan pengembangan daya hunian berupa
hotel-hotel dan villa-villa. Dalam melakukan pengembangan investasi pariwisata
15
salah satunya dipergunakan adalah tanah adat. Karena tanah adat sangat potensial
dipergunakan sebagai akomodasi pariwisata dibandingkan dengan tanah hak
milik, di samping itu tanah adat bersifat religius magis mendapatkan kontribusi di
dalam pengembangan Desa adat, khususnya di Kabupaten Badung. Pembangunan
investasi pariwisata yang ada di Kabupaten Badung tanah adat sebagai salah satu
peluang di dalam pengembangan pariwisata. Pentingnya tanah bagi kehidupan
manusia mengakibatkan tanah betul-betul difungsikan untuk kehidupan manusia
tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Jumlah luasnya tanah
yang dapat dikuasai oleh manusia sangat terbatas sekali, sedangkan jumlah
manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Oleh karena itu
semakin lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit,
sedangkan permintaan selalu bertambah, maka tidak heran kalau nilai tanah jadi
meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan
akan tanah itu, telah menimbulkan berbagai persoalan.14
Karakteristik tanah adat di Kabupaten Badung, sesuai dengan pendapat
Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu :Karena Sifatnya.15
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami keadaan
bagaimanapun juga, dan masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadangkadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Karena Fakta. Yaitu suatu
kenyataan, bahwa tanah itu :
14
Wantjik Saleh, K, 1979, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Cetakan Kedua,
Jakarta, hal. 7.
15
Surojo Wignjodipuri, 1988, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Hajimasagung,
Cetakan Ketujuh, Jakarta, hal. 197.
16
1. Merupakan tempat tinggal persekutuan.
2. Memberikan penghidupan kepada persekutuan.
3. Merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia
dikebumikan.
4. Merupakan pula tempat
tinggal
kepada
dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur
Berkaitan dengan hal tersebut dikaitjkan dengan konsep negara hukum,
maka Negara hukum Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila,
ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya harus didasarkan pada norma- norma hukum yang berlak, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Secara konstitusional, Negara Indonesia
sebagai Negara Hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang
menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian
semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.
Beberapa sarjana menyebutkan mengenai ciri- cir dari negara hukum,
Paul Scholten, mengatakan ciri- ciri egara hukum adalah ;
a. negara mempunyai hak terhadap negara, individu mempunyai hak
terhadap masyarakat;
b. dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan.
Pemerintahan yang berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang
menjunjung supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada kemauan
manusianya. Dalam hal ini terdapat istliah the goverment not by man but by
17
law.16 Pemerintahan bukan oleh manusia melainkan oleh hukum. Dalam hal
negara hukum dianut suatu ajaran kedaulatan hukum yang menempatkan
hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding principle bagi
segala kativitas organ- organ negra, pemerintah, pejabat- pejabat beserta
rakyatnya. Hal ini sejalan dengan prinsip pemecarn kekuasaan, pembagian
kekuasaan pemerintah.
Bertitik tolak dari pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum (Rechtstaat), maka ideal sekali apabila semua perbuatan negara atau
penguasa termasuk perbuatan dalam mencampuri kehidupan masyarakat,
didasarkan atas peraturan hukum yang berlaku. Namun terkait karekteristik
dengan pengelolaan tanah negara oleh lembaga swadaya masayarakat adat saat
ini, merupakan suatu perbuatan yang bisa dikatakan sebagai bentuk ketidak
konsistenan pemerintah terhadapa upaya penegakan hukum dalam bidang hukum
perjanjian dan agraria, hal ini terlihat dari beberapa pengelolaan daerah wilayah
pesisir pantai Kedonganan Badung. Pengelolaaan tanah negara yang di kelola oleh
lembaga swasdaya masyarakat adat Kedonganan. Bahwa fakta yang yang terjadi
bahwa berdasarkan perbup lembaga masyarakat adat memanfaatkan kondisi
tersebut dengan menyewakan tanah negara. Hal ini mengaskan bahwa telah terjadi
berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan dalam pengertian pernjanjian diatas
bahwa haruslah jelas dahulu siapa-siapa saja yang berhak melakaukan perbuatan
hukum dalam hal ini perjanjian sewa menyewa. Kondisi ini mengakibatkan,
16
Sudikno Mertokusumo, Upaya Peningkatan Supremasi Hukum dalam majalh Justitia Et
Pax, Fak. Hukum Univ Atmajaya, Yogyakarta, Edisi Bulan Mei- Juni, 2000, thn. XX Nomor 19,
hlm., 2
18
potensi penyalah gunaaan wewenang oleh pengelola wilaya pesisir pantai
Kedonganan.
Download