65 hubungan antara harga diri dengan

advertisement
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU
AGRESIF PADA ANGGOTA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP)
KABUPATEN BANYUMAS
Oleh :
M. Ali Nurdin
Alumni Fakultas Psikologi - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Suwarti
Dosen Fakultas Psikologi - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara harga diri dengan
kecenderungan perilaku agresif pada anggota satuan polisi pamong praja di
Kabupaten Banyumas. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada
hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan perilaku agresif pada
anggota satuan polisi pamong praja Kabupaten Banyumas. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan populasi penelitian adalah seluruh personil
satuan polisi pamong praja kabupaten Banyumas. Koefisien validitas skala harga
diri dengan r tabel (0.05) sebesar 0,361 (N=30), aitem yang valid tersebut bergerak
dari angka0,381 sampai 0,772 dengan reliabilitas sebesar 0,916. Untuk validitas
skala kecenderungan perilaku agresif dengan r tabel(0.05) sebesar 0,361
dengan(N=30), aitem yang valid tersebut bergerak dari angka 0,368 sampai 0,913
dengan reliabilitas sebesar 0,953. Teknik analisis data dengan menggunakan
korelasi product moment. Hasil penelitian diperoleh r hitung = -0,476, r tabel = 0,05
dan p = 0,000. Karena p < 0,05 (0,000 < 0,05) maka dapat disimpulkan terdapat
hubungan negatif antara harga diri dengan kecenderungan perilaku agresif pada
anggota satuan polisi pamong praja (SatPol PP) Kabupaten Banyumas. Dari hasil
penelitian juga diketahui bahwa sumbangan efektif variabel harga diri terhadap
kecenderungan perilaku agresif pada anggota satuan polisi pamong praja sebesar
0,2266 (22,66 %), sehingga masih ada 77,34 % yang merupakan sumbangan dari
variabel-variabel lain seperti: frustasi, stress, deindividuasi, provokasi, alkohol dan
obat-obatan.
Kata Kunci : Harga diri, Kecenderungan Perilaku Agresif, Satpol PP
PENDAHULUAN
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004
Tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja menyebutkan bahwa Satuan Polisi
Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara ketentraman
dan ketertiban umum serta penegakkan peraturan daerah. Lebih lanjut dalam pasal
1 ayat (4) PP No. 32 Tahun 2004 disebutkan Polisi Pamong Praja adalah aparatur
pemerintah daerah yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah.
Dalam Makalah Diklat Teknis Polisi Pamong Praja Tingkat Dasar Angkatan
IV (2002) disebutkan bahwa tugas pokok Satpol PP dalam penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum serta penegakkan peraturan daerah dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) hal, yaitu :
a.
Tugas preventif adalah mencegah timbulnya masalah yang mengarah pada
indikasi munculnya gangguan ketentraman dan ketertiban umum serta
pelanggaran peraturan daerah. Tugas ini dilaksanakan antara lain dalam
65
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
b.
bentuk pengamanan, patroli wilayah, penyuluhan, bimbingan, latihan,
pengawasan serta pembinaan baik kepada perorangan maupun kelompok
masyarakat.
Tugas represif adalah penindakan terhadap para pelanggar peraturan daerah
serta pelanggar ketentraman dan ketertiban umum sehingga pelaku harus
mematuhi ketentuan yang ada. Tindakan ini mengandung unsur pemaksaan
terhadap pelanggar karena tidak mematuhi ketentuan yang berlaku. Tugas ini
dilaksanakan antara lain dalam bentuk surat teguran, surat pernyataan, surat
peringatan, operasi penertiban/operasi yustisi dan kegiatan razia.
Dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan
bahwa Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi :
a.
Penyusunan Program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban
umum, penegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
b.
Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum di daerah
c.
Pelaksanaan kebijakan penegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah
d.
Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum serta penegakkan peraturan daerah, keputusan kepala
daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) dan atau aparatur lainnya
e.
Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati peraturan
daerah dan keputusan kepala daerah
Satuan Polisi Pamong Praja (Sapol PP) tetap dipertahankan keberadaannya dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satuan Polisi
Pamong Praja. Hal ini memberi arti bahwa Polisi Pamong Praja merupakan aparat
yang sangat dibutuhkan oleh Kepala Daerah dalam pemeliharaan ketentraman,
ketertiban masyarakat dan penegakan Perda. Dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya Satpol PP seringkali dihadapkan pada realita dan dinamika masyarakat
dengan berbagai karakter, kepentingan dan golongan yang sering bertentangan
dengan masalah penegakan peraturan daerah dalam memelihara dan
menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum. Sebagaimana contoh dalam
penertiban pada pedagang kaki lima, pembongkaran pada lokasi atau bangunan
yang tanpa ijin, penertiban dan razia penyakit masyarakat yaitu PSK miras,
gelandangan, pengemis, anak jalanan, pengamen dan lain-lain. Satpol PP dalam
melaksanakan tugasnya dituntut untuk dapat mengatasi masalah di masyarakat,
bekerjasama dan membina hubungan baik dengan masyarakat dalam mematuhi
dan mentaati peraturan daerah dan bupati dengan semangat untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan mampu mengendalikan diri untuk tidak
berperilaku agresif.
Dewasa ini media massa Indonesia disibukkan oleh berita-berita tentang
perilaku agresif yang dilakukan oleh Satpol PP. Misalnya: Koran Kompas tanggal 27
Juni 2009 memberitakan tentang kelalaian petugas Pol PP yang mengakibatkan
seorang PSK meninggal ketika melarikan diri saat terjadi razia dan terjun ke sungai
cisadane. Tv one tanggal 12 Oktober 2009 menayangkan adanya ratusan pedagang
Vs Satpol PP Pemkot Kendari terlibat bentrok yang dipicu adanya balasan
melempar batu oleh oknum Pol PP ke arah massa dan salah seorang pedagang
yang naas ditangkap dan diseret oleh Pol PP. Perilaku agresif yang dilakukan
petugas satuan Polisi Pamong Praja merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu
yang menekan atau mengganggu keadaan individu yang dapat dilampiaskan keluar
dalam bentuk fisik maupun verbal. Jika hal tersebut dibiarkan maka akan
66
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
menimbulkan efek yang negatif pada SatPol PP lebih-lebih apabila sasaran
agresivitas diarahkan pada masyarakat dengan tindakan-tindakan yang anarkhis.
Aronson (dalam Setiyadi, 2002) mendefinisikan perilaku agresif adalah
perilaku yang dijalankan individu dengan maksud melukai atau mencelakakan
individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Baron (dalam Dayakisni dan
Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang
ditunjukkan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut. Hal senada juga di kemukakan oleh Fishbien
(dalam Setiyadi, 2002) agresifitas merupakan suatu niat atau aktifitas untuk
menyakiti diri sendiri atau orang lain. Lorenz (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2006)
agresi merupakan dorongan atau naluri dasar. Dorongan agresi ada di dalam diri
setiap makhluk hidup yang memiliki fungsi dan peranan penting bagi pemeliharaan
hidup. Dorongan agresif ini akan di ekspresikan lewat perilaku agresif.
Rakhmat (2005)hwa menyatakan bahwa perilaku agresif dapat muncul
terutama karena motif harga diri. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Clerg
(1994) bahwa ada hubungan antara rendahnya harga diri dengan perilaku agresif.
Dimana semakin rendah harga diri seseorang, maka akan semakin tinggi perilaku
agresifnya. Perilaku agresif yang dilakukan oleh petugas Satpol PP Kabupaten
Banyumas dapat terjadi karena motif harga diri. Harga diri merupakan suatu
kebutuhan dalam mencapai aktualisasi diri. Harga diri merupakan bagian dari
kepribadian yang penting dan akan mempengaruhi tingkah laku individu dalam
kesehariannya. Harga diri bukanlah merupakan faktor yang dibawa sejak lahir,
namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman
individu. Coopersmith (1967) menjelaskan harga diri merupakan evaluasi yang
dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima,
menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan,
keberartian, kesuksesan, keberhargaan. Secara singkat, harga diri adalah “personal
judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam
sikap-sikap individu terhadap dirinya. Worchel (dalam Dayakisni dan Hudaniah,
2006) menjelaskan bahwa harga diri adalah komponen evaluatif dari konsep diri
yang dibuat dan dipertahankan oleh individu yang terbentuk karena adanya
pengalaman dalam keluarga, interaksi dengan lingkungannya, penerimaan,
penghargaan dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut, sehingga ada
penggolongan pada individu yang mempunyai harga diri tinggi, sedang dan rendah.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan
untuk mengetahui peranan harga diri terhadap kecenderungan perilaku agresif pada
anggota satuan polisi pamong praja di Kabupaten Banyumas.
HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara harga diri
dengan kecenderungan perilaku agresif pada anggota Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Banyumas.
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh anggota Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Banyumas yang berjumlah 60 (enam puluh) orang.
67
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan instrument
skala psikologis, yaitu skala harga diri dan skala kecenderungan prilaku agresif.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi product moment
dari Pearson yang dilah dengan menggunakan fasilitas program SPSS For
Windows Release 10.05.
HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Data
Data tentang harga diri diperoleh dari skala dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu kategori harga diri tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokkan ini
didasarkan pada nilai mean =130 dan SD = 26. Selengkapnya dapat dilihat dalam
tabel berikut :
No
1
2
3
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Harga Diri
Kategori
Skor
Frekuensi
Tinggi
X > 156
6
Sedang
104 > = X > = 156
54
Rendah
X < 104
0
Selanjutnya, data tentang agresi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kategori
kecenderungan perilaku agresif tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokkan ini
didasarkan pada nilai mean = 140 dan SD = 28. Selengkapnya dalam tabelberikut :
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kecenderungan Perilaku Agresif
No Kategori
Skor
Frekuensi
1
Tinggi
X > 168
0
2
Sedang
112 > = X > = 168
28
3
Rendah
X < 112
32
2. Uji hipotesis
Dengan teknik korelasi product moment dari Pearson yang menggunakan
program SPSS For Windows Release 10,05. Diperoleh hasil nilai r hitung -0.476
dengan p sebesar 0,000, menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara harga diri dengan kecenderungan perilaku agresif pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Banyumas. Hasil selengkapnya dalam tabel berikut
:
Hubungan
Harga Diri Kecenderungan
Agresif
Tabel 4. Hasil Analisis Uji Hipotesis
Rhitung
P
Interpretasi
-0.476
0.000
Ada
hubungan
Perilaku
yang
sangat
signifikan
68
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
Berikut ini gambar penerimaan dan penolakan Ho:
T hit=-4.122
H0 diterima
H0 ditolak
H0 ditolak
-t tabel = -2.00
0
t tabel = 2.00
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ada hubungan negatif antara harga
diri dengan kecenderungan perilaku agresif pada Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Banyumas, dengan nilai kepercayaan 95% didapat hasil dari uji
signifikansi dengan t hitung –4.122 dan t tabel 0.05 yaitu -2, karena nilai t hitung > t
tabel 0.05 (-4.122 >-2.00), maka t hitung berdasarkan gambar kurva jatuh pada
daerah penolakan Ho, maka dapat dinyatakan hipotesis nol yang menyatakan tidak
ada hubungan antara harga diri dan kecenderungan perilaku agresif ditolak, dan
hipotesis alternatif diterima. Jadi kesimpulannya koefisien korelasi antara harga diri
dengan kecenderungan perilaku agresif sebesar –0.476 adalah signifikan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean empirik variabel harga
diri sebesar 149,38 lebih besar dibandingkan mean hipotetik sebesar 130 dengan
standar deviasi 26, menunjukkan bahwa harga diri Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Banyumas pada taraf tinggi. Mean empirik variabel kecenderungan
perilaku agresif sebesar 109,53 lebih kecil dibandingkan mean hipotetik sebesar
140 dengan standar deviasi 28, menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku
agresif Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Banyumas pada taraf rendah. Clerq
(1994) mendeskripsikan mengenai konsep agresi yang secara umum adalah
seseorang yang membahayakan, menyakiti, atau melukai orang lain. Beberapa
peneliti menetapkan bahwa perilaku agresif mengandung maksud (intention) untuk
melukai orang lain. Menurut teori psikoanalisa, agresi adalah dorongan atau naluri
dasar. Dorongan agresif ini akan diekspresikan lewat perilaku agresif. Faktor-faktor
yang dipandang sebagai pendorong dan penguat timbulnya perilaku agresif adalah:
a. Frustrasi
Frustasi merupakan suatu keadaan dimana individu terhambat atau gagal
dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami
hambatan untuk bertindak dalam rangka mencapai tujuan (Dollard, dalam Setiyadi,
2002). Berkowitz (1995) menyebutkan bahwa frustasi bisa mengarahkan individu
untuk bertindak agresif bagi individu merupakan situasi yang tidak menyenangkan
dan dia ingin mengatasi atau menghindari dengan berbagai cara termasuk cara
agresif. Individu akan memilih tindakan agresif sebagai reaksi atau cara untuk
mengatasi frustasi yang dialaminya apabila terdapat stimulus-stimulus yang
menunjang tindakan agresif itu.
b. Kekuasaan dan Kepatuhan
Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat
dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan.
Bahkan kepatuhan itu sendiri diduga memiliki pengaruh yang kuat terhadap
69
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
kecenderungan dan intensitas agresi individu (dalam Dayakisni dan Hudaniah,
2006).
c. Stres
Engle (dalam Setiyadi, 2002) mengatakan bahwa stress menunjuk pada
segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi-kondisi internal maupun
lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme. Stres bisa
muncul berupa stimulus eksternal dan intrernal yang diterima dan dialami individu
sebagai hal yang tidak menyenangkan dan menghasilkan efek, baik somatic
maupun behavioral. Efek stress yang menjadi fokusnya adalah efek behavioral
berupa perilaku agresif. Merton (dalam Setiyadi, 2002) mengemukakan bahwa
stress yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan sosial dan memburuknya
kondisi perekonomian memberikan andil terhadap peningkatan kriminalitas
termasuk di dalamnya tindak-tindak kekerasan atau agresi.
d. Jenis kelamin
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan perbedaan perilaku agresif
antara pria dan wanita diantaranya dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin, yang
mengemukakan bahwa pria lebih agresif secara fisik. Ditambahkan oleh Parke dan
Slaby (dalam Setiyadi, 2002) yang menemukan bahwa anak laki-laki yang
mendapat serangan sedikitnya membalas dua kali lipat dibanding anak perempuan.
e. Deindividuasi
Deindividuasi merupakan suatu keadaan dimana identitas dan kesadaran
diri berkurang secara nyata, individu lebih memfokuskan diri pada kelompok
sehingga rasa tanggungjawab pun menjadi kabur (Zanden, dalam Setiyadi, 2002).
Menurut Lorenz (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2006) menyebutkan bahwa
deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan
agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens, karena
deindividuasi menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang
terdapat pada individu, yakni identitas diri pelaku maupun identitas diri korban
agresi, serta keterlibatan emosi pelaku agresi terhadap korbannya.
f. Provokasi
Moyer (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa
provokasi bisa mencetuskan agresi, karena provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat
sebagai ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan
bahaya yang diisyaratkan oleh ancaman itu. Dalam menghadapi provokasi yang
mengancam, para pelaku agresi agaknya cenderung berpegang pada prinsip bahwa
daripada diserang lebih baik mendahului menyerang, atau daripada dibunuh lebih
baik membunuh.
g. Alkohol dan Obat-Obatan
Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang
mengkonsumsi alkohol. Menurut hasil penelitian Pihl dan Ross (dalam Dayakisni
dan Hudaniah 2006) mengkonsumsi alkohol dalam dosis yang tinggi meningkatkan
kemungkinan respon agresi ketika seseorang diprovokasi. Penjelasan yang lain
menyatakan bahwa mengkonsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk
gangguan kognitif terutama pada informasi yang kompleks dan menyebabkan
gangguan kognitif, yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi atau
bertahan dalam situasi-situasi yag sulit. Gangguan kognitif ini khususnya
mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat (cues) yang samar, sehingga lebih
mungkin mereka akan melakukan interpretasi yang salah tentang perilaku orang lain
sebagai agresif atau mengancam dirinya. Kadang-kadang alkohol digunakan
70
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
sebagai dalih pembenar atau rasionalisasi untuk tindakan-tindakan agresif yang
dilakukan seseorang.
h. Suhu Udara
Anderson (dalam Setiyadi, 2002) menyebutkan bahwa pada musim panas
terjadi lebih banyak tingkah laku agresif karena pada musim panas hari-hari lebih
panjang serta individu-individu memiliki keleluasaan bertindak yang lebih besar
dibanding musim lain.
h. Kondisi Aversif
Watson (dalam Setiyadi, 2002) mengatakan bahwa kondisi aversif adalah
suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ingin dihindari oleh seseorang.
Berkowitz (1995) mengemukakan bahwa keadaan yang tidak menyenangkan,
misalnya bau yang tidak enak, tempat yang menjijikan, penderitaan merupakan
salah satu penyebab agresi. Alasannya adalah bahwa orang akan selalu berusaha
mencari keseimbangan dengan jalan berusaha menghilangkan atau mengubah
situasi tersebut. Apabila situasi yang tidak menyenangkan itu adalah makhluk hidup
atau orang, maka akan timbul agresi terhadap orang tersebut.
i.Harga Diri
Rakhmat (2005) Motif harga diri, erat kaitannya dengan kebutuhan untuk
memperlihatkan kemampuan dan memperoleh penghargaan, ialah kebutuhan untuk
menunjukkan eksistensi di dunia. Kita ingin kehadiran kita bukan saja dianggap
bilangan, tetapi juga diperhitungkan. Oleh karena itu, bersamaan dengan kebutuhan
akan harga diri, orang bisa cenderung berperilaku agresif. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Clerq (1994) Mengemukakan bahwa ada hubungan antara
rendahnya harga diri dengan perilaku agresif.
Agustiani (2006) Mengatakan harga diri ialah suatu kemampuan seseorang
untuk dapat melakukan penghargaan terhadap diri sendiri. Kemampuan menghargai
diri tidak dapat dilepaskan dengan kemampuan untuk menerima diri sendiri. Bila
individu sudah mampu menerima diri sendiri apa adanya, maka ia pun akan dapat
menghargai dirinya sendiri dengan baik. Kemampuan untuk dapat menghargai
terhadap diri sendiri sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk
memandang, manganalisa, mengevaluasi dan menilai keberadaan dirinya sendiri.
Penelitian yang telah dilakukan di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten
Banyumas menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antara harga diri
dengan kecenderungan perilaku agresif pada Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Banyumas. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi harga diri, maka
semakin rendah kecenderungan perilaku agresif. Sebaliknya semakin rendah harga
diri, maka semakin tinggi kecenderungan perilaku agresif.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa perilaku agresif
anggota Satpol PP rendah dan tingkat harga diri tinggi yang tidak sesuai dengan
asumsi awal. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor psikologis anggota Satpol PP
yang lebih matang, adanya pembinaan rohani dan mental dan didukung adanya
penghargaan, pengakuan, dari masyarakat ketika di lapangan, sehingga
mempengaruhi tingginya tingkat harga diri anggota Satpol PP yang memiliki
kestabilan emosi, mampu menghargai dan menghormati dirinya sendiri dan orang
lain yang dapat berpengaruh pada rendahnya perilaku agresif. Serta adanya
pengawasan melekat dari fungsi internal, pengawasan dan pengendalian anggota
(Wasdal) atau Provos dan atasan ketika di lapangan.
71
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
Dengan demikian, pelatihan atau pembinaan dan pengembangan khususnya
yang berkaitan dengan mental dan harga diri personil Satpol PP sangatlah penting,
termasuk adanya penghargaan dan pengakuan terhadap eksistensi Satpol PP baik
sebagai personil maupun institusi yang menangani bidang ketentraman dan
ketertiban umum sekaligus sebagai aparatur penegak Perda dan Keputusan kepala
daerah, khususnya dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Maslow (1984) Bahwa penghargaan merupakan kebutuhan
seseorang dalam mencapai aktualisasi diri. Alwisol (2006) mengemukakan bahwa
setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan yaitu menghargai
diri sendiri dan penghargaan dari orang lain.
Coopersmith (1967) mengelompokkan ciri-ciri harga diri ke dalam tiga
tingkatan sebagai berikut :
a. Ciri-ciri harga diri tinggi. Memiliki sifat-sifat mandiri, kreatif, yakin pada penilaian
serta gagasannya sendiri, berani, berdikari secara social, memiliki kestabilan
emosi, tidak cemas dan lebih berorientasi pada keberhasilan, memandang diri
kompeten menaruh harapan besar pada masa depan. Sejalan dengan
penelitian Frey dan Carlock (dalam Handayani, 1998) mengemukakan bahwa
seseorang yang mempunyai harga diri tinggi mampu menghargai dan
menghormati dirinya sendiri, mempunyai pandangan bahwa dirinya sejajar
dengan orang lain, tidak menjadikan dirinya selalu sempurna karena mengerti
akan keterbatasan kemampuan dan berharap untuk berkembang lebih baik.
b. Ciri-ciri harga diri sedang. Individu yang memiliki harga diri sedang mempunyai
ciri hampir sama dengan yang di atas hanya sangat tergantung pada
penerimaan sosial.
c. Ciri-ciri harga diri rendah. Memiliki ciri rendah diri, kurang percaya diri dan segan
menyatakan diri ke dalam suatu kelompok, khususnya bila memiliki gagasan
baru atau ide-ide kreatif. Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni dan Hudaniah,
2006) orang yang harga dirinya rendah memiliki suatu sikap mengalah diri yang
dapat memperangkap diri mereka sendiri ke dalam suatu lingkaran setan.
Dayakisni dan Hudaniah (2006) orang yang harga dirinya rendah karena
cenderung untuk membaca tanda-tanda penolakan dalam perilaku sehariharinya sehingga mengganggu proses penyesuaian mereka baik secara mental
maupun perilaku.
Dari hasil penelitian di dapat juga bahwa sumbangan efektif variabel harga
diri terhadap kecenderungan perilaku agresif adalah sebesar 0,2266 (22,66 %) yang
berarti bahwa ada sumbangan sebesar 77,34 % dari variabel-variabel lain seperti:
frustasi, stress, deindividuasi, provokasi, alcohol, obat-obatan dan lain-lain. Setiyadi
(2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa stres kerja dapat mempengaruhi
perilaku agresif, yang mana hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan
positif yang signifikan antara stres kerja dengan perilaku agresif dengan nilai r xy =
0,287 dengan p < 0,05 (p = 0,02). Dengan demikian, masih ada sumbangan besar
dari variabel-variabel lain selain variabel stres dan harga diri yang dimungkinkan
dapat mempengaruhi perilaku agresif.
KESIMPILAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dijelaskan bahwa hasil analisis
hubungan antara harga diri dengan kecenderungan perilaku agresif menunjukkan
nilai r hitung -0.476 dengan p sebesar 0,000, hasil ini menunjukkan bahwa r
hitung> rtabel 0.05 (-0.476>0.254) dan p<0,000 (0,000<0,05) dengan taraf
kepercayaan 95% maka ada hubungan negatif antara harga diri dengan
kecenderungan perilaku agresif.
72
Semnas “Mengurai Akar Kekerasan Massa di Indonesia”.
SARAN
1. Bagi Satuan polisi Pamong Praja
Diharapkan dalam pelayanan ketentraman dan ketertiban, lebih mengedepankan
tindakan preventif daripada represif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan intensitas kegiatan sosialisasi / penyuluhan Perda berikut sanksi bagi
pelanggarnya kepada masyarakat dan aktif dalam kegiatan atau forum masyarakat
dalam rangka menjalin komunikasi dan kerjasama dengan masyarakat. Dan
senantiasa memberikan arahan atau APP kepada anggota dalam setiap sebelum
pelaksanaan tugas untuk senantiasa mengacu atau tetap berpedoman pada Juklak
Juknis dan sesuai SOP.
2. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian serupa, kiranya perlu
mempertimbangkan dan melibatkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku
agresif selain harga diri, dan perlu diperhatikan ketajaman-ketajaman item yang
digunakan dalam pengambilan data agar dapat diperoleh hasil yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiani, H. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung. PT Refika Aditama
Alwisol. 2006. Psikologi Kepribadian. Malang. UMM Press
Berkowitz, L. 1995. Agresi, Sebab dan Akibatnya. Jakarta. PT Pustaka Binaman
Pressindo
Clerq, L.D. 1994. Tingkah Laku Abnormal dari Sudut Pandang Perkembangan.
Jakarta. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Coopersmith. 1967. The Antecedent Of Self Esteem. San Fransisco : Freeman &
Company.
Dayakisni T., dan Hudaniah. 2006. Psikologi Sosial. Malang. UMM Press
Maslow, A. 1984. Motivasi Dan Kepribadian. Jakarta. PT Pustaka Binaman
Pressindo
Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya
Setiyadi, D. 2002. Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Perilaku Agresif Pada
Guru Sekolah Dasar. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang : Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata
73
Download