membangun partai yang demokratis dan memilih sistem pemilu

advertisement
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
MEMBANGUN PARTAI YANG DEMOKRATIS
DAN MEMILIH SISTEM PEMILU
Oleh :
Benyamin Pinem, ST.,MM
Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara
Abstract
The objective of this research is to : (1) revitalize the role and political party function in democratic
life, (2) test the validity of the role and functions of political parties in the post-1998 reforms, with: (a)
literature and mass media, (b) observe the character and activities of political parties, (c) the results of
the democratic process: (d) observing and exploiting regulatory loopholes to weakening political
process benefit (3) Structuring the party's role in the internal and external parties (4) reviewing
appropriate electoral system
Keywords: revitalization of political parties, the validity of the role and functions of political parties,
structuring role and function of the party, electoral system proper assessment
Partai politik merupakan salah satu
institusi dari pelaksanaan demokrasi modern.
Demokrasi modern mengandalkan sebuah
sistem dimana yang disebut keterwakilan, baik
keterwakilan dalam lembaga-lembaga formal
seperti parlemen maupun keterwakilan aspirasi
masyarakat dalam institusi kepartaiaan. 1
Dengan demikian Partai Politik merupakan
Pilar dari Demokrasi.
Secara sederhana, cita-cita ideal partai
politik hadir mempunyai fungsi yaitu sebagai
sarana pendidikan politik, artikulasi politik,
komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi
politik, dan rekrutmen. Dengan demikian
Partai politik merupakan sarana untuk
menghimpun aspirasi rakyat, artikulasi dan
agregasi kepentingan yang dilakukan kepada
masyarakat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan yaitu untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan publik.
1
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi,
Yogyakarta : Pustaka pelajar 2004, hlm. 1.
58
Setelah reformasi 1998, tuntutan untuk
hidup demokratis tidak dapat dihindarkan.
Hadirnya partai politik baru saat itu seolaholah memberi harapan lahirnya pemimpinpemimpin baru yang berkualitas dan
demokratis. Ternyata harapan itu masih jauh
untuk diwujudkan. Khusus terkait penetapan
calon DPR/DPRD di internal partai, sudah
menjadi rahasia umum bahwa penetapan calon
tersebut berdasrkan “kedekatan” dengan
pengurus partai. Sampai saat ini, imange partai
politik masih negatif dalam masyarakat.
Masyarakat masih enggan bergabung dengan
sukalera untuk menjadi anggota malah berfikir
apatis.
Salah satu penyebab dari permasalahan
diatas karena sejumlah Partai di Indonesia
dibangun oleh individu-individu yang kecewa
dengan partai sebelumnya, membuat partai
baru tanpa ideologi yang kuat, sehingga partai
itu merupakan sebuah “dinasti pribadi”. Yang
terjadi saat ini, partai politik digunakan
sekedar kendaraan untuk mewujudkan ambisi
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
individu-individu meraih kekuasaan. Kondisi
ini membuat partai tidak demokratis. Partai
politik telah terreduksi oleh kepentingankepentingan pribadi. Yang menjadi pertanyaan
bersama,
bagaimana kita menciptakan
Indonesia lebih demokratis, sementara partai
politik yang menjadi pilar dekokrasi tidak
memperlihatkan sisem yang demokratis? Partai
politk sampai masih sangat pragmatis dalam
mencari kekuasaan tanpa harus melakukan
pendidikan politik kepada masyarakat yang
menjadi fungsi idealnya hadir.
Dalam sistem demokrasi unsur yang
sangat penting adalah keberadaan partai
politik suatu negara. Partai mempunyai peran
yang strategis tehadap proses demokratisasi.
Selain sebagai struktur kelembagaan politik,
partai juga berperan sebagai wadah
penampungan aspirasi rakyat. Sedangkan
mekanisme untuk mewujudkan menyalurkan
aspirasi
serta
menentukan
perebutan
kekuasaan yang fair melalui Pemilihan
umum (pemilu).
Tulisan ini selanjutnya membahas
mengenai bagaimana fenomena partai politik
saat ini di Indonesia serta bagaimana
seharusnya partai politik berperan untuk
mewujudkan pemilu yang berkualitas, dan
bagaimana sitem pemilu yang baik untuk
memberi penguatan pada fungsi partai
politik.
Situasi Kepartaian
Berikut ini akan di inventarisir
bagaimana keadaan partai saat ini. Pertama,
partai politik saat ini, dibentuk bukan
berdasarkan kekuatan ideologi yang berbeda
dengan partai lain, namun lebih kepada
ketidakpuasan terhadap partai sebelumnya.
Banyaknya “kutu loncat” dan menduduki
posisi penting dalam partai. Ini menjadi bukti
bahwa partai tersebut sebenarnya tidak punya
ideologi yang mengakar kepada anggotanya.
Kedua, partai politik saat ini hanya
menitikberatkan untuk mencari dan atau
mempertahankan kekuasaan baik dilembaga
eksekutif, legsilatif dan bahkan sampai ke
yudikatif.
Ketiga, banyaknya waktu dan dana
yang dibutuhkan untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan tidak sebanding
dengan kinerja parlemen atau kegiatan untuk
59
mendukung kepentingan masyarakat melalui
fungsi legislasi.
Keempat, pengelolaan partai politik
masih lebih banyak berdasarkan keputusan
pengurus dibawah kepeminpinan yang
sentralistik, oligarhik, dan personalistik
daripada
kepeminpinan
demokratis
berdasarkan keputusan Rapat Anggota. Baik
kepengurusan maupun kebijakan partai di
daerah ditentukan oleh Pengurus Pusat
(sentralistik), keputusan pengurus pusat
ditentukan oleh sekelompok kecil tokoh yang
dekat dengan Ketua Umum (oligarhik), dan
kata akhir dalam semua keputusan partai
berada
pada
tangan
Ketua
Umum
(personalistik).2
Kelima, dirasakan jumlah partai saat ini
masih terlalu banyak (multy party) dan relatif
berubah-ubah dari setiap pemilu. Masyarakat
cenderung bingung terhadap kehadiran atau
hilangnya
partai
karena
tidak
lulus
parliamentary threshold. Perubahan jumlah
partai ini didasari karena berbedanya setiap
aturan tentang syarat pendirian partai di
Indonesia. Saat ini belum ada sistem yang
baku dalam penentuan partai politik peserta
Pemilu, maka setiap menjelang Pemilu banyak
waktu dan energi dihabiskan untuk
memperdebatkan persyaratan partai politik
menjadi peserta Pemilu.
Keenam, beberapa peran partai politik
dalam pemilihan legislatif adalah sebagai
rekruitmen, kaderisasi, pencalonan. Namun
saat ini hanya peran pencalonanlah yang
benar-benar dilaksanakan oleh partai politik.
Peran sebagai rekruitmen dan kaderisasi
belum dapat dilaksanakan dengan nyata dan
belum mejadi fokus utama.
Dari berbagai fenomena di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa partai politik di
Indonesia telah mengalami perkembangan
dari segi jumlah dan masing-masing partai
melakukan kegiatan politik yang pragmatis
untuk
merebut
dan
mempertahankan
kekuasaan dan belum dapat mencerminkan
suasana yang demokratis di dalam internal
partai.
2
Ramlan Surbakti, dkk, Membangun Sistem Kepartaian
Pluralisme Moderat, Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2011
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
Dilema partai dan kualitas keterwakilan
Akhir 2008 lalu Mahkamah Konstitusi
(MK) mengeluarkan putusan membatalkan
Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu yang intinya membatalkan calon
terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
calon yang memperoleh suara sekurangkurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari
BPP. MK berpandangan bahwa pasal tersebut
bertentangan dengan pasal 18 d ayat 1 UUD
1945. Keputusan ini seolah-olah memutuskan
rantai oligarki partai dalam menetapkan calon
dalam pemilu DPR dan DPRD. Penetapan
calon terpilih tidak lagi berdasarkan nomor
urut melainkan suara terbanyak. Namun yang
menjadi pertanyaan bagi kita, seberapa jauh
sistem penetapan calon dengan suara terbanyak
akan berdampak positif bagi domokrasi dan
kekuatan kelembagaan partai yang ideal di
Indonesia. Apakah dengan suara terbanyak
sudah menjamin kualitas hubungan wakil
rakyat dengan pemilih yang diwakilinya?
Memang benar, dengan penerapan
sistem proporsional terbuka terbatas pada
tahun 2004 sebelumnya masih menggunakan
nomor urut, Calon legislatif (Caleg) lebih
ditentukan oleh Partai Politik. Ketika itu, caleg
yang memperoleh suara terbanyak tetapi tidak
dapat memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP) akan tergusur oleh caleg yang berada di
nomor urut atas. Opini publik mengisyaratkan
partai politik “bermain-main” dengan aspirasi
rakyat. Kondisi ini membuat sentimen negatif
kepada partai, sehingga putusan MK lebih
mendengarkan
opini
publik
yang
menginginkan penetapan calon terpilih
berdasarkan suara terbanyak.
Pasca putusan MK tersebut konstelasi
politik pun berubah. Partai politik seolah-oleh
dikebiri oleh putusan tersebut. Munculnya
calon-calon legislatif yang “kutu loncat” dan
menempati posisi penting dipartai semakin
melemahkan fungsi partai politik dalam
sebagai kaderisasi. Banyak orang yang masuk
tiba-tiba yang tidak memiliki kontribusi ke
partai. Sistem proporsional terbuka dengan
suara terbanyak menimbulkan kaderisasi
internal partai menjadi masalah. Semua caleg
punya kemungkinan terpilih. Namun bisa saja
suara yang memilih partai politik akan
terdistrubusi suara kepada mereka yang bukan
60
kader namun menjadi caleg. Konflik internal
partaipun tak dapat dihindari. Dan banyak
kasus partai politik mencari calon yang
populer di luar partai hanya untuk mengambil
kesempatan untuk terpilih.
Sistem proporsional terbuka dengan
suara terbanyak telah dua kali digunakan yakni
pemilu 2009 dan pemilu 2014. Justifikasi logis
yang dibangun, kelemahan sistem proporsional
terbuka, melahirkan wakil rakyat karbitan yang
masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan
kader terbaik partai, sehingga terpilih wakil
yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral
dan tanggung jawab, alih alih perjuangkan
rakyat, fungsi pengawasan pun tidak
maksimal. Dalam sistem proporsional terbuka
rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi
masyarakat yang masih lapar dan miskin,
cenderung memilih wakil pemilik modal dan
berduit, mengabaikan soal fatsun politik,
moralitas apalagi kapasitas. Melihat bentangan
emperis selama ini, trend proporsional terbuka
melahirkan wakil rakyat instan, berbekal ekses
kapital dan popularitas semata 3, sehingga tidak
dapat dihindari bahwa sistem proporsional
terbuka semakin menyuburkan money politic.
Didalam proporsional terbuka ditambah
dengan suara terbanyak membuat persaingan
yang kurang sehat (politik destruktif) antar
caleg dalam satu partai, hal yang aneh
bersaingan sesama caleg dalam satu partai
bukan bersaing dengan partai lain. Yang
terjadi pada dua kali Pileg 2009 dan 2014
dengan menggunakan sistem proporsional
terbuka menyuguhkan pertarungan sengit
antarcaleg dalam satu partai yang bersifat
predatorik. Di sisi lain kelemahan dari sistem
proporsional terbuka, ada banyak calon yang
harus dipilih oleh pemilih pada saat itu.
Pemilih tidak dapat mengenali calon satu
persatu. Sebagai contoh di Dapil Sumatera
Utara 1 meliputi: Kabupaten Deli Serdang,
Kabupaten Serdang Bedagai, alokasi kursi 10
kursi dengan 12 partai maka caleg sekitar 120
orang.
Banyaknya
caleg
ini
akan
membingungkan pemilih karena banyaknya
nama-nama tersebut. Banyaknya caleg tersebut
semuanya berpotensi juga melakukan money
politic.
3
http://www.pikiranrakyat.com/politik/2016/07/22/sistem-proporsionalterbuka-atau-tertutup-375473
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
Dengan kondisi menggunakan sistem
proporsional terbuka tersebut, dimana lagi
partai politik hadir mempunyai fungsi sebagai
sarana pendidikan politik, artikulasi politik,
komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi
politik, dan rekrutmen?
Menata
Internal
Partai
dengan
Demokratisasi
Serperti dijelaskan di atas, bahwa
sistem proporsional terbuka ternyata belum
menjadi sitem yang ideal untuk mendapatkan
kualitas keterwakilan yang baik. Di lain sisi
fungsi partai politik sebagai pendidikan politik,
artikulasi
politik,
komunikasi
politik,
sosialisasi politik, agregasi politik, dan
rekrutmen
belum
dapat
diwujudkan
sepenuhnya. Sistem pemilu yang baik akan
membutuhkan sistem kepartaian yang baik
pula.
Harus diakui bahwa masih banyak
terdapat kelemahan dalam UU No. 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik. Ini berimplikasi
pada lemahnya sistem politik kepartaian,
sehinggah rendahnya kualitas partai politik.
Hasil Perubahan UU No. 8 Tahun 2008
tentang Partai Politik tidak mendorong
terbentuknya demokratisasi internal partai
politik
dalam
melahirkan
calon-calon
pemimpin,
dimulai
dari
Bupati/Walikota/Gubernur, Anggota DPR
maupun DPRD, dan Pejabat-pejabat Negara di
tingkat Lembaga Negara. Selain itu perubahan
ini juga tidak mengatur secara rinci, jelas,
disertai sanksi yang tegas bagi partai politik
yang memainkan politik uang, padahal politik
uang
inilah
yang
menjadi
sumber
“kebobbrokan” tatanan dan peradaban politik.
Tanpa ketentuan tersebut, keberadaan partai
politik
justru
dapat
membahayakan
perkembangan demokrasi, serta eksistensi dan
peradaban bangsa, seperti komersialisasi
pemilukada, dan munculnya elit politik yang
tidak berkualitas.4
Untuk mewujudkan kualitas demokrasi
yang efektif, Menurut Prof Ramlan Surbakti,
terdapat sejumlah alasan dapat diajukan untuk
menunjukkan betapa partai politik secara
internal harus dikelola secara demokratis.
Pertama, dalam sistem politik demokrasi,
partai politik adalah sarana dan aktor utama
kekuasaan politik. Semua kegiatan politik,
mulai dari mencari kekuasaan sampai pada
penggunaan kekuasaan, melibatkan partai
politik sebagai aktor. Karena itu partai politik
harus secara internal demokratis, baik dari segi
isi dan proses maupun tujuannya. Kedua,
partai politik adalah struktur dan forum utama
dalam membentuk kehendak politik warga
negara dan dalam memobilisasi kegiatan
politik warga negara. Proses pembentukan
kehendak politik warga dan pelaksanaan
kegiatan politik dalam demokrasi haruslah
dilakukan
secara
demokratis.
Ketiga,
demokrasi tidak berfungsi secara otomatis.
Prinsip dasar dan tujuan mulia yang tertulis
dalam AD/ART dan dokumen partai politik
lainnya tidak akan terwujud secara spontan.
keempat, demokrasi tidak hanya mengenai
pemilihan pemimpin dan pemegang jabatan
politik secara periodik. Demokrasi juga
menyangkut seperangkat norma sosial yang
mengatur tindakan dan perilaku warga negara.
Karena itu prinsip-prinsip dasar, metode, dan
nilai-nilai demokrasi harus diterapkan tanpa
kecuali dalam semua bidang kehidupan sosial
dan publik sehingga pada gilirannya akan
berkontribusi pada upaya demokratisasi
masyarakat, negara, dan lembaga publik. 5
Dengan demikian partai politik tidak akan
dapat
menjadi
aktor
utama
dalam
pembangunan demokrasi apabila partai politik
tidak dikelola secara demokratis.
Dengan merangkum pendapat dari
beberapa
ahli
untuk
mewujudkan
demokratisasi partai secara internal maka
partai politik harus kembali merumuskan halhal sebagai berikut, pertama, bagimana partai
politik memilih pengurus pada semua
tingkatan
secara
demokratis?
Kedua,
bagaimana merumuskan kebijakan partai yang
demokratis dalam mencari anggota, metode
dan materi dalam pengkaderan dan,
sumbangan kader, kriteria dan tata cara
pemberhentian anggota partai, pedoman dan
mekanisme menampung dan merumuskan
aspirasi
masyarakat,
serta
pembagian
4
Disadur dari ANDI ZASTRAWATI, HTTP://DOKTORPOLITIK-UI.NET/2016/08/REKONSTRUKSI-PERANPARPOL-DALAM-PEMILIHAN-PEMIMPIN/#_FTN5
61
5
Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi Internal
partai Politik, Kemitraan Patnership, 2013
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
kewenangan DPR dan DPRD. Ketiga,
bagiamana melakukan seleksi yang demokratis
dalam menentukan calon anggota DPR, calon
anggota DPRD bahkan bila ada yang mendapat
“tawaran” menduduki jabatan eksekutif.
Menurut Prof. Ramlan Surbakti
terdapat
sejumlah
langkah
dalam
melaksanakan demokratisasi internal partai
politik, yaitu:
1.
memutahirkan daftar anggota partai
politik.
2.
merumuskan buku saku tentang Hak
dan
Kewajiban
Anggota
untuk
kemudian
mencetak
dan
mendistribusikannya kepada anggota.
3.
melaksanakan Pendidikan Politik bagi
Anggota Partai yang setidaktidaknya
berisi AD/ART Partai, Hak dan
Kewajiban Anggota, dan Hak dan
Kewajiban sebagai Warga Negara
Indonesia.
4.
merumuskan tata cara pelaksanaan
Pemilihan
Pendahuluan
secara
operasional untuk memilih Ketua
Umum Partai, Ketua DPD Provinsi,
Ketua DPD Kabupaten/Kota, Ketua
PAC, dan Ketua Pengurus Ranting.
5.
merumuskan tata cara pelaksanaan
Pemilihan
Pendahuluan
secara
operasional untuk memilih calon
anggota DPR, pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden, calon anggota
DPRD Provinsi dan calon anggota
DPRD Kabupaten/ Kota, dan pasangan
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
6.
merumuskan tata cara pelaksanaan
Rapat Umum Anggota pada tiga tingkat
kepengurusan (Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota)
secaraoperasional
untuk membahas dan mengambil
keputusan tentang Visi, Misi dan
Program Partai Politik untuk Pemilu
Nasional (Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden, dan Pemilu Anggota DPR).
7.
merumuskan tata cara pelaksanaan
Rapat Umum Anggota pada tiga tingkat
kepengurusan secara operasional untuk
membahas dan mengambil keputusan
tentang Visi, Misi dan Program
Pembangunan untuk Pemilu Lokal
(Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/ Kota, dan Pemilu
62
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah).
merumuskan pembagian tugas dan
kewenangan
semua
tingkat
kepengurusan partai (Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota,
Kecamatan,
dan
Desa/Kelurahan) berdasarkan asas
desentralisasi dan subsider (kalau suatu
masalah dapat ditangani pengurus
kabupaten/ kota,mengapa diambil alih
oleh Pusat).
merumuskan pembagian tugas dan
kewenangan antara Fraksi Partai di
DPR dan Fraksi Partai DPRD dengan
DPP/DPD Partai.
Merumuskan tata cara pelaksanaan
kewajiban anggota membayar iuran,
dan tata cara transparansi dan
pertanggungjawaban penggunaan iuran
anggota.
Merumuskan mekanisme penyampaian
aspirasi ataupun pengaduan dari
anggota kepada pengurus partai di
berbagai tingkatan atau kepada anggota
DPR/D dari partai yang mewakili
daerah yang menjadi domisili anggota,
dan mekanisme pertanggungjawaban
pengurus atau anggota DPR/D dalam
menindak-lanjuti
aspirasi
atau
pengaduan tersebut.
mengidentifi kasi sejumlah praktek
demokrasi yang selama ini sudah
dijalankan walaupun tidak diatur dalam
Undang-Undang ataupun AD/ART
Partai.
Membiasakan partai melakukan dialog
terbuka antar kader dan anggota partai
dengan
menjamin
kebebasan
menyatakan pendapat secara jujur dan
terbuka untuk membahas persoalan
partai, seperti substansi poin nomor 1
sd 10 di atas.
Mengembangkan sikap dan perilaku
menghormati pandangan yang berbeda
antar pengurus, kader, dan anggota
partai sehingga perbedaan sikap dan
pandangan tidak perlu diikuti sikap
bermusuhan. „Tidak sependapat berarti
bukan teman alias musuh,‟ merupakan
contoh sikap dan perilaku tidak
demokratis.
Membiasakan setiap pengurus, kader
dan
anggota
mencatat
setiap
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
16.
17.
penerimaan dan pengeluaran untuk
kegiatan partai untuk kemudian
mempertanggungjawabkan penerimaan
dan pengeluaran tersebut melalui
mekanisme yang ditetapkan oleh partai
(transparan dan akuntabel).
Membiasakan setiap pengurus dan
kader menyusun laporan tentang apa
yang dilakukan dan yang tidak
dilakukan dalam bidang tugasnya untuk
kemudian
mengumumkan
dan
mempertanggungjawabkannya kepada
partai dan publik (transparan dan
akuntabel).
Menyusun „Road Map‟ tentang
langkah-langkah
pelaksanaan
demokrasi internal partai beserta
persiapan pelaksanaan setiap tahap:
dimensi dan indikator mana yang akan
dilaksanakan pada jangka pendek (1 sd
3 tahun), dimensi dan indikator mana
yang akan dilaksanakan pada jangka
menengah (4 sd 7 tahun), dan dimensi
dan indicator mana yang akan
dilaksanakan dalam jangka panjang (8
sd 10 tahun).6
Memilih sistem pemilu
Seperti dijelaskan diatas Penerapan
Sistem Proporsional dengan Open List (List
terbuka) dalam pemilihan anggota DPR dan
DPRD belum dapat memberikan solusi
terhadap penguatan demokrasi sekaligus
penguatan fungsi partai politik. Dalam UUD
1945 pasal 22 E ayat 3 “Peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Bukan “persorangan”. Kenyataan
selama ini bahwa Anggota legislatif yang
terpilih adalah mereka yang sudah populer dan
menggunakan
berbagai
cara
untuk
memperoleh suara terbanyak. Partai sematamata hanya sebagai “perahu” untuk mencapai
tujuan masing-masing individu. Sehingga
partai politik berpikir pragmatis mencari calon
legislatif yang sudah populer dan mempunyai
sumber dana. Keadaan ini disambuat baik oleh
6
Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi Internal
partai Politik, Kemitraan Patnership, 2013
63
individu yang ingin berkarir di dunia politik
dengan cara yang instan. Sehingga calon yang
terpilih
“lebih
bersar”
dari
partai
pengusungnya. Partai tidak dapat mengontrol
calonnya dengan baik.
Penerapan sistem open list membuat
partai semakin lemah. Partai bukan lagi tempat
mencipkatan para pemimpin melalui kaderisasi
di partai. Anggota legislatif yang terpilih
merasa tidak memiliki partai dan berjuang
untuk kepentingannya saja. Ini sangat
bertentangan dengan prinsip bahwa Partai
Politik merupakan pilar dari demokrasi.
Untuk menjawab kebuntuan tersebut,
penerapan sistem tertutup (Close list)
merupakan alternatif. Selain sesuai dengan
penjabaran UUD 1945 pasal 22 E ayat 3 juga
memperkuat fungsi partai dalam demokrasi
untuk memilih calon yang terbaik sesuai
dengan visi-misi partai. Harus diakui selama
ini penerapan close list dalam pemilu
sebelumnya seperti “membeli kucing dalam
karung”, hal ini disebabkan karena di internal
partai terjadi tarik merarik kepentingan.
Penerapan Close list dapat dilakukan
setelah terbentuk suatu sistem demokratisasi
dalam partai yang kuat dan sistemik seperti
dijelaskan di atas. Untuk perbaikan kedepan,
bahwa proses demokratisasi didalam partai
harus diatur dalam Undang-undang partai
politik. Ini menjadi suatu keharusan untuk
menciptakan sistem pemilu yang kuat. Partai
wajib melakukan pendidikan politik, wajib
melakukan kaderisasi dan hanya dapat
mencalonkan anggotanya yang telah “magang”
di partai beberapa lama, dan bukan “karbitan”.
Ini akan membuat calon yang diusulkan benarbenar kader terbaik dan bukan hanya modal
populer dan dana.
Salah satu kelebihan sistem pemilu
proporsional tertutup mampu menekan praktik
politik uang yang terjadi serta menekan biaya
pemilu yang cenderung mahal terutama dalam
internal partai. Dengan sistem ini Partai tahu
betul siapa kader yang punya kapasitas dan
integritas dan sesuai dengan visi-misi partai.
Sistem ini juga untuk menyederhanakan
pilihan, dimana masyarakat cukup memilih
partai, kemudian partai mengirim kader-kader
terbaiknya ke parlemen, sebab partai telah
mengetahui rekam jejak masing-masing calon.
Kesimpulannya
bahwa
penerapan
sistem
tertutup
diharapkan
memberi
Jurnal Saintech Vol. 08 - No.03-September 2016 ISSN No. 2086-9681
kesempatan kader partai menjadi wakil rakyat,
menutup ruang kutu loncat, mengurangi
praktik money politics, dan efisien. Para kader
partai yang telah mengikuti sekolah kader
dapat memperjuangkan kepentingan rakyat
yang diwakilinya secara hakiki. Dan itulah
fungsi yang ideal didirikannya sebuah partai
politik.
Daftar Pustaka
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi
Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka
pelajar 2004
Ramlan Surbakti, dkk, Membangun Sistem
Kepartaian
Pluralisme
Moderat,
Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2011
http://www.pikiranrakyat.com/politik/2016/07/22/sistemproporsional-terbuka-atau-tertutup375473
ANDI ZASTRAWATI, HTTP://DOKTORPOLITIKUI.NET/2016/08/REKONSTRUKSIPERAN-PARPOL-DALAMPEMILIHAN-PEMIMPIN/#_FTN5
Ramlan Surbakti, Mendorong Demokratisasi
Internal partai Politik, Kemitraan
Patnership, 2013
Syarif Hidayattullah. Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, Dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Prenada Media, 2005
HAW Widjaja. Penyelenggaraan Otonomi di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2005, hal. 186
Kompas, 13 Maret 2001 “Otonomi Daerah
Lahirkan
Konflik
Kewenangan”.
Yogyakarta
VHRmedia.com,
Jakarta.
Konflik
Kewenangan
Pemda
Rugikan
Masyarat. 15 Februari 2008 - 22:28
WIB
Haposan Siallagan.
˝Ilmu
PerundangUndangan Di Indonesia˝. Medan :
UHN PRESS, 2008, hal. 20-21
64
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara.
Jakarta : Rajawali Pers, 2005, hal. 352
Bagir Manan. Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah. Bandung: Pustaka Pelajar
Offset. 2001, hal. 37
HAW Widjaja. Otoomi Daerah dan Daerah
Otonom. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2002, hal.225
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Download