Dawai 48 - DhammaCitta

advertisement
contents 48
38
Âcariya Mun
4
Tiratana
Salah satu fondasi terpenting
dalam Buddhisme. Sudah saatnya
kita belajar kembali tentang nilainilai mulia Buddha, Dhamma, dan
Sangha, dan memahami apa
sebenarnya makna perlindungan
kepada Tiratana.
Seorang sosok pejuang spiritual zaman modern dari
Thailand. Sepak terjang beliau sungguh memberikan
inspirasi bagi usaha pencapaian tujuan tertinggi umat
Buddha, di tengah hilangnya kepercayaan sebagian
orang terhadap Magga, Phala, dan Nibbâna.
LIPUTAN
57
Sejuta Pelita Sejuta Harapan
PANDEGILING NEWS
59
Sebulan Dalam Dhamma 2007
NEWS ON
24
33
The Way of Loving Kindness
oleh Ajahn Brahm
Aku Melihat Aku Sedang
Melihat Aku
oleh YM Saddhâviro Thera
KISAH
60
Blackie Sang Nenek
RESENSI BUKU
64
65
Petavatthu | Cerita-cerita Makhluk Peta
Sebatang Pohon di Tengah Hutan
FILM BAGUS
67
Driving Miss Daisy
DO YOU KNOW
69
71
Mengapa Kita Harus Memaafkan?
Transfer Factor
ABHIDHAMMA COURSE
75
49
Angkor Wat
Keeksotisan Angkor Wat telah
diakui oleh dunia, bahkan negara
Kamboja sampai menaruh gambar
bangunan ini pada bendera nasionalnya. Angkor Wat tidak hanya
memukau dari segi arsitekturnya,
namun juga menyimpan nilai religi
dan historis yang tinggi.
Citta
STRIP
85
Xiao Bai dan Seekor Kura-kura
TALK
87
Damai Dalam Dhamma
AGENDA
dawai 48
Ajaran
ti
ratana
Agama Buddha yang oleh umat Buddha dikenal
sebagai Buddha Dhamma, bersumber pada kesunyataan
yang diungkapkan oleh Sang Buddha Gotama lebih dari
dua ribu lima ratus tahun yang lalu, yang menguraikan
hakekat kehidupan berdasarkan Pandangan Terang, dan
oleh karenanya dapat membebaskan manusia dari
ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha).
Dalam sejarah perkembangan agama Buddha, telah
timbul berbagai mazhab dan sekte, yang saling berbeda
dalam cara masing-masing menafsirkan segi-segi
tertentu dari ajaran Sang Buddha, juga dalam ritualnya.
Akan tetapi, sekalipun terdapat perbedaan di antara
mazhab dan sekte-sekte agama Buddha, namun
semuanya memiliki landasan-landasan dasar pokok dan
tujuan yang sama, yang bersumber pada ajaran Sang
Buddha Gotama. Perbedaan yang terdapat adalah
dalam titik berat dan penekanan, tafsiran serta
pengembangan falsafah dari pada landasan-landasan
pokok tersebut. Salah satu landasan pokok terpenting
yang terdapat dalam semua sekte dan mazhab tersebut
adalah TIRATANA.
04
| sept–nov 2007
apa itu tiratana?
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang
artinya permata/mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tira-tana
secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak
bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang
sangat penting untuk dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka
isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga Ratana, yaitu: Buddha
Ratana, Dhamma Ratana, dan Sangha Ratana.
buddha ratana
Buddha Ratana mengacu kepada Sang Buddha. Sang Buddha adalah
perwujudan dari seluruh kebajikan-kebajikan yang agung. Di dalam Buddha
terdapat perwujudan dari moralitas tertinggi (Sîla), konsentrasi paling
mendalam (Samadhi), dan kebijaksanaan mendalam (Pañña). Sifat-sifat
mulia yang tidak dapat dilampaui dan tiada bandingannya dalam sejarah
manusia.
sept–nov 2007 |
05
Setiap insan Buddhis di seluruh dunia membabarkan dan
merenungkan sembilan kebajikan agung dari seorang
Buddha dalam latihan puja bakti mereka sehari-hari.
Meskipun Sang Buddha memiliki berbagai kemuliaan yang
lain, di sini hanya digambarkan sembilan sifat agung Sang
Buddha. Di sekolah-sekolah Buddhis yang lain, para
pengikut telah memperkenalkan Buddha-Buddha yang
beragam dengan menyebutkan beberapa sifat agung dari
Sang Buddha. Bagaimanapun juga, cara apapun yang
dipergunakan untuk memperkenalkan Sang Buddha, adalah
sebuah fakta bahwa sejarah para Buddha telah muncul di
dunia ini dari waktu ke waktu, diilhami dengan kebajikankebajikan dan penerangan yang sama. Oleh karena itu,
seharusnya tiada perbedaan menghormat pada tiap-tiap
Buddha, jika Buddha yang dimaksud adalah seorang
Buddha yang sesungguhnya. Konsekuensinya, seharusnya
tidak perlu ada perselisihan berkaitan dengan Buddha yang
mana yang lebih berkuasa ataupun lebih hebat
dibandingkan Buddha yang lain.
Arti Buddha (dalam Khuddaka Nikaya) adalah:
1. Dia Sang Penemu (Bujjhita) Kebenaran
2. Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna
3. Ia yang memberikan penerangan (Bodhita) dari
generasi ke generasi
4. Ia yang telah mencapai kesempurnaan melalui
'penembusan', sempurna penglihatanNya, dan
mencapai kesempurnaan tanpa bantuan siapapun.
Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/265, disebutkan
tentang sifat-sifat mulia Sang Buddha, atau disebut
Buddhaguna. Ada sembilan Buddhaguna, yaitu sebagai
berikut.
1. Araham
Manusia suci yang terbebas dari kekotoran batin.
2. Sammâsambuddho
Manusia yang mencapai penerangan sempurna dengan
usaha sendiri.
3. Vijjâcaranasampanno
Mempunyai penglihatan jernih yang sempurna dan
tindak-tanduk bajik yang juga sempurna.
06
| sept–nov 2007
4. Sugato
Bertindak benar, berbicara benar.
5. Lokavidû
Mengetahui dengan sempurna keadaan setiap alam.
6. Anuttaro purisadammasârathi
Pembimbing umat manusia yang tiada bandingnya bagi
mereka yang tidak dapat ditundukkan.
7. Satthâ devamanussânam
Guru para dewa dan manusia.
8. Buddho
Yang sadar dan menunjukkan jalan
menuju kesadaran.
9. Bhagavâ
Yang patut dimuliakan (dijunjung).
Araham
Sang Buddha digambarkan sebagai seorang Arahat dalam 5
aspek, yakni:
1. Beliau yang telah terlepas dari semua kekotoran batin.
2. Beliau yang telah mengalahkan semua musuh berkaitan
dengan pelenyapan kekotoran batin.
3. Beliau yang telah menghancurkan ruji-ruji roda kelahiran.
4. Beliau patut menerima persembahan dan penghormatan.
5. Beliau tidak menyembunyikan rahasia apapun dalam
karakterNya ataupun ajaranNya.
Sang Buddha adalah figur terbesar dalam sejarah manusia,
dengan kehidupan sempurna, mutlak, tanpa cela, dan
tanpa noda. Di kaki pohon Bodhi, Beliau mengalahkan
semua kejahatan dan mengakhiri semua penderitaan
dengan pencapaian Nibbâna. Beliau adalah guru bagi para
dewa dan manusia yang begitu patut menerima semua
penghormatan. Ajaran-ajaran Beliau tidak menyimpan
misteri atau rahasia, dan sama seperti sebuah buku yang
terbuka bagi semuanya untuk datang dan melihat.
sept–nov 2007 |
07
Sammâsambuddho
Sang Buddha disebut demikian, karena Beliau memahami
keberadaan dunia dalam perspektifNya yang sesuai dan
menemukan Empat Kebenaran Mulia melalui pemahaman
Beliau
sendiri.
Lahir
sebagai
pangeran,
Beliau
meninggalkan keduniawian dan berusaha keras selama 6
tahun untuk mencari penerangan. Selama periode itu,
Beliau telah mendatangi seluruh guru ternama dan
mencoba segala cara yang yang diajarkan mereka. Setelah
mencapai pencapaian yang bahkan setara dengan guruNya,
beliau tetap tidak dapat menemukan tujuan penerangan
yang sukar dipahami. Akhirnya, berdasarkan penelitianNya
dengan pemahaman rasional dan menempuh Jalan Tengah,
Beliau menemukan solusi akhir dari permasalahan
universal dari ketidakpuasan, perselisihan, dan kekecewaan
(dukkha).
Beliau
menemukan
Hukum
Saling
Ketergantungan—Hukum Sebab Akibat yang dinilai Beliau
sebagai realita dunia, dengan demikian menjadi Yang
Tertinggi yang telah tercerahkan.
Vijjâcaranasampanno
Istilah ini berarti bahwa Sang Buddha yang terberkahi
dengan penglihatan yang jernih sempurna dan perbuatan
bajik yang patut diteladani. Ini memiliki dua aspek
signifikan seperti yang telah ditunjukkan dalam
pengetahuan beruas tiga dan kebijaksanaan beruas delapan.
Ketiga ruas pengetahuan dituliskan sebagai berikut:
1. Pertama-tama, Sang Buddha dapat mengingat kelahiran
di masa lampauNya dan menelusuri kembali keberadaan
Nya, sama seperti halnya menelusuri kembali keberadaan makhluk lain.
2. Kedua, terpisah dari kemampuan untuk menceritakan
masa lalu, Beliau memiliki keunikan tinjauan ke masa
depan, yaitu kemampuan untuk melihat masa depan
dan membayangkan keseluruhan jagad raya pada setiap
momen.
3. Ketiga, Beliau memiliki pengetahuan menembus ke
dalam mengenai ke-Arahat-an.
Pada kebijaksanaan beruas delapan, tertulis Sang Buddha
memiliki keunikan berkah penglihatan, kekuatan adi daya
untuk melakukan hal-hal di luar kemampuan normal,
08
| sept–nov 2007
telinga supranatural, kekuatan untuk membaca pikiran
orang lain, berbagai kekuatan fisik, kemampuan untuk
mengingat kembali berbagai kelahiran masa lampau, mata
supranatural, dan pengetahuan yang hebat mengenai
kehidupan suci yang tenang.
Mengenai kata “carana” atau tindakan bajik, aspek ini
dibagi menjadi 15 kategori yang berbeda atau jenis
kebajikan-kebajikan yang diilhami sepenuhnya di dalam
Sang Buddha. Kebajikan-kebajikan tambahan ini diklasifikasikan sebagai:
1. Menjaga perbuatan dan kata-kata,
2. Menjaga penyerapan pengaruh indera,
3. Makan makanan secukupnya,
4. Menghindari tidur yang berlebihan,
5. Menjaga kejernihan penglihatan sejernih kristal dalam
keyakinan,
6. Mewujudkan rasa takut dalam melakukan perbuatan
jahat,
7. Haus akan pengetahuan, energi, perhatian penuh, dan
pemahaman—empat kecenderungan yang berkaitan
dengan lingkup material,
8. Pañña, direfleksikan sebagai kebijaksanaan,
9. Karuna, direfleksikan sebagai belas kasih yang menganugerahi Beliau rasa kasih untuk melayani umat
manusia,
10. Menyadari apa yang baik dan tidak baik bagi semua
makhluk melalui kebijaksanaanNya,
11. Menuntun pengikutNya menjauhi kejahatan dan kesengsaraan melalui belas kasihNya,
12. Memancarkan tingkatan tertinggi toleransi bagi persaudaraan dan sifat-sifat luhur kepada semua makhluk.
Sugato
Sang Buddha juga disebut Sugato, yang berarti bahwa
jalan Beliau adalah baik, tujuanNya sempurna, dan katakata serta metode yang digunakan untuk menunjukkan
jalan adalah tidak berbahaya dan tanpa kesalahan. Jalan
Sang Buddha untuk pencapaian kebahagiaan adalah benar
dan suci, tidak berbelok, langsung, dan pasti. Kata-kata
Beliau maha mulia dan sempurna. Banyak para ahli sejarah
terkenal dan para ahli ilmu pengetahuan terkemuka telah
memberi komentar bahwa satu-satunya agama yang masih
sept–nov 2007 |
09
tidak tertandingi oleh ilmu pengetahuan dan para pemikir
bebas adalah kata-kata Sang Buddha.
Lokavidû
Istilah ini digunakan pada Sang Buddha sebagai seorang
dengan pengetahuan dunia yang sangat hebat (exquisite).
Sang Buddha telah mengalami, mengetahui, dan menembus ke dalam seluruh aspek kehidupan duniawi, secara
fisik maupun spiritual. Beliau adalah yang pertama kali
mengamati bahwa ada ribuan sistem di jagad raya. Beliau
juga yang pertama kali menyatakan bahwa duniawi itu
tidak ada melainkan hanya konseptual. Dalam kata-kata
Beliau, adalah tidak bermakna untuk memikirkan pada asal
dan akhir dunia atau alam semesta. Beliau berpandangan
bahwa asal mula dunia, tenggelamnya dunia, dan jalan
menuju tenggelamnya dunia dapat ditemukan di dalam
ukuran—sepanjang tubuh manusia—dengan persepsi dan
kesadarannya.
Anuttaro purisadammasârathi
Anuttaro berarti tiada tandingannya dan tiada tara
(matchless and unsurpassed). Purisadamma menunjuk pada
individual-individual yang mendapat berkah Dhamma,
sementara Sârathi berarti pemimpin. Ketiga istilah ini digabungkan bersama, secara tidak langsung menunjukkan
pemimpin tak tertandingi yang mampu menuntun orangorang pembangkang menuju pada Jalan Kebenaran. Di
antara mereka yang telah diajak mengikuti jalan Dhamma
dan menghindari kejahatan adalah pembunuh ternama
Angulimala, Alavaka dan Nalagiri, ratusan perampok, kanibal, dan pembangkang seperti Saccake. Mereka semuanya
dibawa menuju relung Dhamma, dan banyak di antaranya
bahkan mencapai ke-bodhisattâ-an dalam kehidupan
mereka. Bahkan Devadata, “musuh” Sang Buddha, telah disadarkan kembali oleh Sang Buddha dengan rasa kasih
Beliau yang besar.
Satthâ devamanussânam
Sang Buddha adalah Guru para dewa dan manusia. Ada
pun ‘deva’ yang digunakan dalam konteks ini menunjuk
pada makhluk yang dengan kamma baik mereka sendiri,
10
| sept–nov 2007
telah melampaui tingkatan manusia yang bukan merupakan
tingkatan akhir dari evolusi biologi. Deva dalam konteks
Buddhis tidak memiliki hubungan dengan dongeng teologi
tradisional kuno. Sang Buddha merupakan guru yang luar
biasa, yang fleksibel dan mampu memikirkan teknik yang
berbeda-beda sesuai kemampuan dan mentalitas dari deva
dan manusia. Beliau mengajarkan setiap orang ke jalan
hidup yang benar. Sang Buddha benar-benar seorang Guru
yang universal.
Buddho
Buddho berarti Guru Besar (Master), Yang Maha Tahu,
memiliki kekuatan luar biasa untuk meyakinkan yang lain
akan penemuan besar Beliau, melalui seni yang hebat
sekali dalam mengajarkan Dhamma kepada makhluk lain.
Teknik Beliau tidak dapat ditandingi guru yang lain. Istilah
Buddho memiliki pengertian sekunder yang diterjemahkan
sebagai 'Sadar' karena keadaan umum seseorang terus
menerus dalam keadaan tidak sadar. Sang Buddha adalah
yang pertama kali 'Sadar' dan melepaskan diri dari keadaan
tidak sadar. Sesudah itu, Beliau meyakinkan yang lain
untuk sadar dan menjauhi sifat samsara kemalasan, yakni
keadaan tidur atau tidak sadar.
Bhagavâ
Dari semua istilah yang digunakan untuk melukiskan Sang
Buddha, kata-kata 'Buddho' dan 'Bhagavâ' sering digunakan secara terpisah, ataupun bersama-sama sebagai 'Buddho Bhagavâ' yang berarti 'Yang Terberkahi'. Rasa kagum
dan hormat yang sudah sepantasnya, Terberkahi adalah
nama Beliau. Oleh karena itu, kata 'Bhagavâ' memiliki
bermacam-macam arti sesuai yang disarankan oleh beberapa komentator. Sang Buddha diistilahkan 'Bhagavâ' atau
'Yang Terberkahi' karena Beliau adalah yang paling berbahagia dan paling beruntung diantara manusia karena telah
mengalahkan semua kejahatan, mampu menguraikan secara
terperinci Dhamma tertinggi dan terberkahi dengan kemampuan intelektual supernormal, dan super manusiawi.
sept–nov 2007 |
11
Tingkat Kebuddhaan
Tingkat kebuddhaan adalah tingkat pencapaian penerangan
sempurna. Menurut tingkat pencapaiannya, Buddha dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
Sammâ Sambuddha
1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usaha
Nya sendiri, tanpa bantuan makhluk lain.
2. Mampu mengajarkan ajaran yang Ia peroleh (Dhamma)
kepada makhluk lain.
3. Yang diajar tersebut bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian
seperti diriNya.
Pacceka Buddha
1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan dengan usaha
Nya sendiri, tanpa bantuan makhluk lain.
2. Tidak mengajarkan ajaran yang Ia peroleh kepada makhluk
lain secara meluas.
3. Yang diajar tersebut belum mampu mencapai tingkattingkat kesucian seperti diriNya.
Savaka Buddha
1. Orang yang mencapai tingkat kebuddhaan karena mendengarkan dan melaksanakan ajaran dari SammaSambuddha.
2. Mampu mengajarkan ajaran yang Ia peroleh kepada makhluk lain.
3. Yang diajar bisa mencapai tingkat-tingkat kesucian seperti
diriNya.
12
| sept–nov 2007
Prinsip Dasar Ajaran
Para Buddha pada dasarnya mempunyai tiga prinsip dasar
ajaran, yaitu seperti yang tercantum di dalam Dhammapada 183 sebagai berikut.
Sabbapâpassa akaranam
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan.
Kusalasupasampadâ
Senantiasa mengembangkan kebajikan.
Sacittapariyodapanam
Membersihkan batin atau pikiran.
Etam buddhâna sâsanam
Inilah ajaran para Buddha.
Ajaran Sang Buddha memberikan bimbingan kepada kita
untuk membebaskan batin dari kemelekatan kepada hal
yang selalu berubah (anicca), yang menimbulkan ketidakpuasan (dukkha); karena semuanya itu tidak mempunyai
inti yang kekal, tanpa kepemilikan (anatta). Usaha pembebasan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan
pengertian masing-masing individu.
Jadi, ajaran Buddha bukan merupakan paksaan untuk
dilaksanakan. Sang Buddha hanya penunjuk jalan pembebasan, sedangkan untuk mencapai tujuan itu tergantung
pada upaya masing-masing. Bagi mereka yang tidak raguragu lagi dan dengan sema-ngat yang teguh melaksanakan
petunjukNya itu, pasti akan lebih cepat sampai
dibandingkan dengan mereka yang masih ragu-ragu dan
kurang semangat.
Adalah bijaksana bila sebagai umat Buddha, setelah
terlahir sebagai manusia tidak tenggelam di dalam
kepuasan sang 'aku'. Di dunia ini kita telah diberi warisan
yang sangat berharga oleh para bijaksana. Sungguh bahagia
bagi manusia yang bisa menerima ajaran Buddha yang
telah dibabarkan di hadapan kita.
sept–nov 2007 |
13
Mengapa? Karena hadirnya seorang Buddha di alam kehidupan ini adalah sangat jarang. Di dalam Dhammapada
182 disebutkan demikian:
Kiccho manussapatilâbho
Sungguh sulit untuk dapat dilahirkan sebagai manusia.
Kiccho maccâna jîvitam
Sungguh sulit kehidupan sebagai manusia.
Kiccho saddhammasavanam
Sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Ajaran Benar.
Kiccho buddhânamuppâdo
Sungguh sulit munculnya seorang Buddha.
Jadi, manfaatkanlah kehidupan kita sebagai manusia
sekarang ini untuk lebih giat lagi mempelajari Dhamma
yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Ajaran Sang
Buddha yang telah dibabarkan kepada manusia dan bahkan
juga kepada para dewa, adalah demi keuntungan manusia
dan para dewa itu sendiri guna mencapai Kebebasan
Mutlak (Nibbâna).
14
| sept–nov 2007
dhamma ratana
Dhamma berarti kebenaran, kesunyataan,
atau bisa juga dikatakan sebagai ajaran Sang
Buddha. Istilah Dhamma ini mempunyai
arti yang sangat luas, yaitu mencakup tidak
hanya segala sesuatu yang bersyarat saja,
tetapi juga mencakup yang tidak bersyarat/
yang mutlak. Untuk lebih jelasnya, dapat
diuraikan dalam penjelasan berikut. ini.
Di dalam Anguttara Nikaya Tikanipata 20/266, disebutkan tentang sifat Dhamma, atau Dhammaguna. Ada 6
Dhammaguna, yakni sebagai berikut.
1. Svâkkhâto bhagavatâ dhammo
Dhamma Ajaran Sang Bhagava telah sempurna
dibabarkan.
2. Sanditthiko
Berada sangat dekat (kesunyataan yang dapat dilihat
dan dilaksanakan dengan kekuatan sendiri).
3. Akâliko
Tak ada jeda waktu atau tak lapuk oleh waktu.
4. Ehipassiko
Mengundang untuk dibuktikan.
5. Opanayiko
Menuntun ke dalam batin (dapat dipraktekkan).
6. Paccattam veditabbo viññûhi
Dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masingmasing.
Dhamma terbagi menjadi dua bagian, yaitu Paramattha
Dhamma dan Paññatti Dhamma.
1. Paramattha Dhamma
Kenyataan tertinggi, ada empat, yaitu Citta (kesadaran),
Cetasika (faktor batin), Rûpa (materi), dan Nibbâna.
2. Pannatti Dhamma
Sebutan, konsep, untuk dijadikan panggilan atau sebutan sesuai dengan keinginan manusia.
sept–nov 2007 |
15
Paramattha Dhamma terbagi lagi menjadi dua macam,
yaitu Sankhata Dhamma dan Asankhata Dhamma.
1. Sankhata Dhamma, berarti keadaan yang bersyarat,
yaitu:
- tertampak dilahirkan/timbulnya (uppado paññâyati)
- tertampak padamnya (vayo paññâyati)
- Selama masih ada, tertampak perubahan-perubahannya (thitassa aññathattan paññâyati).
2. Asankhata Dhamma, berarti sesuatu yang tidak bersyarat, yaitu:
- tidak dilahirkan (na uppado paññâyati)
- tidak termusnah (na vayo paññâyati)
- ada dan tidak berubah
(na thitassa aññathattan paññâyati)
Nibbâna disebut Asankhata Dhamma.
Untuk dapat mengerti dengan benar mengenai Dhamma
tersebut, maka kita harus melaksanakan dengan tiga tahap,
yaitu:
1. Pariyatti Dhamma
Mempelajari Dhamma secara teori, dalam hal ini, yaitu
mempelajari dengan tekun Kitab Suci Tipitaka.
2. Patipatti Dhamma
Melaksanakan (memraktekkan) Dhamma tersebut di
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pativedha Dhamma
Hasil (penembusan), yaitu hasil menganalisa dan
merealisasi kejadian-kejadian hidup melalui meditasi
pandangan terang (vipassanâ) hingga merealisasi Kebebasan Mutlak.
Dhamma akan melindungi mereka yang memraktekkan
Dhamma. Praktek Dhamma akan membawa kebahagiaan.
Barang siapa mengikuti Dhamma, maka tidak akan jatuh
ke alam penderitaan.
16
| sept–nov 2007
sangha ratana
Sangha berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu.
Kata Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok
Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha (persaudaraan para Bhikkhu),
yaitu:
1. Sammuti Sangha
Persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum
mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2. Ariya Sangha
Persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah
mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Pengertian “Sangha” di dalam Sangha Ratana ini, berarti
kumpulan para Ariya atau kumpulan para mahluk suci. Di
dalam ajaran Agama Buddha, dikenal adanya mahluk suci,
yang disebut dengan istilah Ariya Puggala.
sept–nov 2007 |
17
Ariya Puggala ini ada 4 tingkat, yaitu:
1. Sotâpanna
Orang suci tingkat pertama (sotâpatti-phala) yang terlahir paling banyak tujuh kali lagi.
2. Sakadâgâmi
Orang suci tingkat kedua (sakadâgâmi-phala) yang akan
terlahir sekali lagi (di alam nafsu).
3. Anâgâmi
Orang suci tingkat ketiga (anâgâmi-phala) yang tidak
akan terlahir lagi (di alam nafsu).
4. Arahat
Orang suci tingkat keempat (arahatta-phala) yang terbebas dari kelahiran dan kematian.
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada roda
kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci
ini juga dapat ditinjau dari segi kekotoran batin (kilesa)nya, yang telah berhasil mereka basmi. Di dalam Anguttara
Nikaya, Tikanipata 20/267, disebutkan tentang sifat-sifat
mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9 jenis
Sanghaguna, yaitu sebagai berikut.
1. Supatipanno
Bertindak/berkelakuan baik
2. Ujupatipanno
Bertindak jujur / lurus
3. Ñayapatipanno
Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang
mengarah pada perealisasian Nibbâna)
4. Sâmîcipatipanno
Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam
tindakannya.
5. Âhuneyyo
Patut menerima pemberian/persembahan.
6. Pâhuneyyo
Patut menerima (diberikan) tempat bernaung.
7. Dakkhineyyo
Patut menerima persembahan/dana.
8. Añjalikaranîyo
Patut menerima penghormatan (patut dihormati).
9. Anuttaram puññakhettam lokassâ
Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling
luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
18
| sept–nov 2007
Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti
Ariya Sangha. Jadi kita berlindung kepada Ariya Sangha.
Kita tidak berlindung kepada Sammuti Sangha; tetapi kita
menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma
yang jalan hidupnya mengarah ke jalan Dhamma.
Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah merupakan ladang yang subur juga bagi
para umat. Oleh karena itu para umat diharapkan juga
bersedia menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh dalam moralitas dan tindak-tanduknya.
Berlindung Kepada Tiratana
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan
kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha
dengan kata-kata dalam satu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama
TISARANA (Tiga Perlindungan), yang berbunyi:
Buddham saranam gacchâmi
Aku berlindung kepada Buddha
Dhammam saranam gacchâmi
Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi
Aku berlindung kepada Sangha.
sept–nov 2007 |
19
Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha Gotama sendiri
(bukan oleh para siswa-Nya atau oleh makhluk lain) pada
suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada
enam puluh Arahat siswa Beliau, ketika mereka akan
berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia. Sang Buddha Gotama
bersabda:
"Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi
samanerâ dan bhikkhu) hendaknya: setelah mencukur
rambut kepala dan mengenakan jubah kuning...
bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu
lutut dan merangkapkan kedua belah tangan di depan
dada, dan berkata: AKU BERLINDUNG KEPADA
BUDDHA, AKU BERLINDUNG KEPADA DHAMMA,
AKU BERLINDUNG KEPADA SANGHA".
(Vinaya Pitaka I. 22)
Sang Buddha Gotama menetapkan rumusan tersebut
bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi
samanerâ dan bhikkhu, tetapi juga umat awam. Setiap
orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam
atau pun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinan dengan
kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Tampak betapa
luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma, dan Sangha. Bagi
umat Buddha "berlindung kepada Tiratana" merupakan
ungkapan keyakinan, sama seperti "syahadat" bagi umat
Islam dan "credo" bagi umat Kristen.
Tisarana adalah ungkapan keyakinan (saddhâ) bagi umat
Buddha. Saddhâ yang diungkapkan dengan kata "berlindung" itu mempunyai tiga aspek:
Aspek Kemauan
Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana
dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddhâ
dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang
aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, "menunggu
berkah dari atas".
20
| sept–nov 2007
Aspek Pengertian
Ini mencakup pengertian akan perlunya Perlindungan,
yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua
makhluk dalam samsâra ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.
Aspek Perasaan
Yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan
cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan
memberikan keyakinan yang kokoh dalam diri sendiri,
serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya, dan pengertian akan
hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta
kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa "berlindung" dalam agama Buddha berarti: "Suatu tindakan yang
sadar yang bertujuan untuk mencapai pembebasan, yang
berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan".
Atau secara singkat: "Suatu tindakan sadar dari pada
keyakinan, pengertian dan pengabdian".
Ketiga aspek dari pada "berlindung" ini sesuai dengan
aspek kemauan, aspek pengertian dan aspek perasaan dari
batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus
dipupuk bersama-sama.
Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan katakata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu
kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung
kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari
suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya
terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan di luar tanpa
bertindak untuk mencapainya.
sept–nov 2007 |
21
Tindakan pertama ke arah keselamatan dan kebebasan
ialah dengan "berlindung" secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.
BUDDHA, sebagai perlindungan pertama, mengandung
arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan
dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa
yang telah dicapai oleh Sang Buddha Gotama.
"Seperti Sayalah para penakluk yang telah melenyapkan
kekotoran batin."
(Ariyapariyesana Sutta, Majjhima Nikaya)
Sebagai Perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Pertapa
Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi
daripada Bodhi (Kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).
DHAMMA, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti
kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin manusia biasa yang
masih berada dalam alam keduniaan (lokiya), melainkan
"Empat Tingkat Kesucian (Sotâpanna, Sakâdâgami,
Anâgâmi, dan Arahat) beserta Nibbâna" yang dicapai
pada akhir jalan.
SANGHA, sebagai perlindungan ketiga, bukan berarti
kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih
belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu Sangha),
melainkan Pasamuan Para Bhikkhu Suci yang telah
mencapai tingkat-tingkat Kesucian (Ariya Sangha).
Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh.
Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini
ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk
mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.
22
| sept–nov 2007
Buddha, Dhamma dan Sangha atau
Tiratana adalah manifestasi,
perwujudan, pengejawan-tahan dari
Tuhan yang mahaesa dalam alam
semesta ini, yang dipuja dan dianut
oleh seluruh umat Buddha di dunia ini.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam
aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha
merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan
terakhir semua makhluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana
adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia
biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh
Sang Buddha.
sumber
1. –www.buddhistonline.com/dsgb
2. Great Virtues of The Buddha
oleh Dr. K. Sri Dhammananda
3. Pokok Dasar Agama Buddha
WALUBI
4. miscellaneous from web
sept–nov 2007 |
23
dawai 48
News On
OLEH AJAHN SUMEDHO
the way of
loving-kindness
mettâ (bhs. pali), atau cinta kasih, atau belas kasih, adalah sebuah
kemampuan yang berarti bahwa kita dapat menggunakannya untuk mendekati hal-hal yang mengganggu atau tidak menyenangkan yang kita temukan
di dalam diri kita atau di sekitar kita. Ketika pertama kali saya datang ke
Inggris, saya bertanya kepada orang-orang, "Apakah Anda memraktekkan
mettâ?", dan mereka berkata, "Oh, saya tidak mampu!". Kemudian saya
bertanya, "Jadi, menurut Anda apa itu mettâ?". Dan mereka menjawab, "Itu
adalah semacam cara yang bijak untuk menetralkan hal-hal yang menjengkelkan atau membahayakan kita, sangat sulit bertahan pada cara ideal
demikian yang berusaha menyayangi orang-orang atau hal-hal seperti itu.
24
| sept–nov 2007
Mencintai dan Menyukai
Seperti pada umumnya diterjemahkan dalam bahasa
Inggris, kata 'mencintai' (loving) kurang lebih memiliki
arti yang sama dengan kata 'menyukai' (liking). Kita
mengatakan bahwa kita mencintai banyak hal–kita cinta makanan ini, kita cinta minuman itu, kita saling
mencintai; sebenarnya, apa yang kita maksud adalah
kita menyukai hal-hal itu, kita tertarik kepada mereka.
Mettâ mirip dengan kasih dalam kepercayaan umat
Nasrani, walaupun kadang persepsi mengenai kasih ini
juga dapat menjadi sangat idealis.
Kasih umat Nasrani cenderung datang dari gagasan
bagaimana Anda dapat mencintai semua pihak. Anda
mungkin mencoba untuk meyakinkan diri Anda bahwa
Anda lebih menyayangi musuh Anda daripada Anda
menyayangi diri sendiri. Dapatkah Anda membayangkan
menghabiskan satu jam hanya untuk berpikir tentang
seberapa dalam Anda mencintai diri Anda?
Saya menyadari bahwa mereka sama sekali tidak
mengerti tentang mettâ. Mettâ bukanlah sebuah pernyataan idealis tentang perasaan/pikiran. Kita dapat
merasakan cinta kepada semua orang selama tidak ada
yang mengganggu atau menyinggung kita. Kita diberitahu bahwa, "Cintailah tetanggamu seperti mencintai
dirimu sendiri" dan "Cintai musuh-musuhmu". Coba
renungkan apa artinya. Haruskah Anda menyukai
musuh-musuh Anda? Apakah Anda ingin selalu berada
di dekat mereka?
Sebenarnya, "cinta" tidak sama artinya dengan
sesuatu seperti "suka" dalam semua situasi. Dalam
hubungan ini, kata "cinta" adalah kata yang sangat
sering digunakan dalam bahasa Inggris. Mettâ tidak
berarti menyukai segala-galanya. Mettâ berarti suatu
sikap yang tidak berdiam pada keadaan yang tidak
menyenangkan atau menyalahkan semua situasi di
dalam atau di luar diri seseorang. Dengan memahami
mettâ, seseorang tidak membutakan dirinya dengan
sesuatu yang seolah tampak ideal. Justru, seseorang
dapat menyaksikan keadaan-keadaan tidak menyenang-
sept–nov 2007 |
25
Dengan memahami
mettâ, seseorang tidak
membutakan dirinya
dengan sesuatu yang
seolah tampak ideal.
kan dalam suatu situasi, hal, orang, atau di dalam dirinya
sendiri tanpa berusaha menciptakan segala sesuatu di
sekitarnya. Sederhananya, Anda dapat berhenti berpikir,
"Saya benci itu, Saya tidak menginginkan hal itu". Itulah
yang saya maksudkan sebagai mettâ.
Baru-baru ini seseorang mendatangi saya dan berkata
"Saya kesulitan merasakan mettâ untuk orang tertentu.
Terkadang saya ingin memukulnya; terkadang saya merasa
ingin membunuhnya. Saya tidak bisa menebar mettâ
untuk orang yang seperti itu dan hal itu membuat saya
gila!". Saya berkata, "Tetapi kamu belum memukulnya,
kamu juga tidak membunuhnya, bukan?". Dia menjawab,
"Tidak". Saya berkata, “Maka kamu sedang memraktekkan
mettâ". Mettâ adalah sesederhana itu.
26
| sept–nov 2007
Mettâ dan Moralitas
Dalam Buddha Dhamma, sangat jelas bahwa moralitas
bersumber pada tindakan dan ucapan yang benar secara
jasmaniah. Sekarang kita akui bahwa kita tidak selalu
dapat mengontrol apa yang akan ada dalam pikiran kita.
Kita tidak bisa mengatakan, "Saya hanya akan
mempunyai pikiran-pikiran yang baik, pikiran menyayangi
terhadap semua orang." Kita hanya bisa mencoba untuk
tidak mempunyai pikiran-pikiran buruk atau merasa
marah, cemburu, iri hati, dan kuatir. Tetapi hal ini berbeda dengan tindakan dan ucapan secara fisik. Kita bisa
berjanji saat ini untuk tidak membunuh siapapun. Kita
bisa mengambil lima sila. Kita bisa juga berjanji untuk
berhati-hati dengan apa yang kita ucapkan, karena itu
ketika kita sedang memikirkan sesuatu yang tidak baik
dan mengerikan, kita tidak sungguh-sungguh mengatakan
hal itu kepada orang-orang. Andaikan saya berpikir seperti
pikiran-pikiran orang gila sekarang: Saya bisa saja menahan diri dari mengekspresikan hal itu kepada Anda. Itu
adalah mettâ. Proses berpikir dan merasakan berjalan
terus; saya mengenalinya, tetapi saya menolak untuk
bereaksi pada hal-hal tersebut secara fisik atau verbal.
Kita mulai menyadari pikiran itu seperti sebuah
cermin yang merefleksikan segala sesuatu. Seperti sebuah
cermin, pikiran tidak dirusak oleh hal-hal yang
merefleksikannya. Sebuah cermin bisa menggambarkan
hal-hal yang sangat buruk, yang sangat jahat dari seluruh
dunia dan masih tetap tidak bernoda, walaupun pantulannya sangatlah mengerikan. Pikiran seperti halnya cermin
itu; pikiran itu sendiri bersih (murni). Tidak ada sesuatu
yang salah dengan pikiran, tetapi refleksi dari pikiran bisa
menjadi sangat kotor atau buruk atau jahat, atau juga
bisa menjadi sangat indah. Jika kita mencoba untuk
menghukum si cermin, kita merusak atau meretakkan
cermin itu, kita akan gila maka kita benar-benar telah
tertipu. Tetapi, jika kita mau, kita bisa mengenali bahwa
bayangan dalam cermin itu sebenarnya seperti itulah
adanya.
sept–nov 2007 |
27
Pengenalan ini adalah sebuah kemahiran dalam berhubungan dengan pikiran dan perasaan yang mungkin sangat
tidak menyenangkan bagi kita. Tidaklah sulit bagi saya
untuk merasakan kebaikan terhadap hal-hal yang saya
suka, seperti anak kucing dan anak anjing, anak-anak
kecil yang lucu, serta orang-orang menyenangkan yang
mengatakan hal-hal yang baik, cuaca yang cerah, dan
sebagainya. Saya tidak mempunyai masalah dengan halhal ini. Tetapi apa yang harus saya lakukan ketika orangorang dan hal-hal tersebut menjadi buruk dan curang?
Saya bisa berdiam pada keburukan tersebut dan berpikir,
"Saya tidak bisa berhadapan dengan orang itu; saya
membencinya. Orang yang seperti itu tidak sepantasnya
dibiarkan hidup. Saya berharap dia segera mati." Saya
bisa melakukan itu, bukan? Itu adalah hal termudah yang
bisa dilakukan. Tetapi berdiam pada perasaan yang tidak
disukai seperti itu tidaklah mendukung kedamaian
pikiran.
Melihat yang Tidak Disukai
Dalam Diri Sendiri
Kita selalu memulai latihan mettâ dengan diri kita sendiri
terlebih dahulu. Kita berkata, "Aham sukhito homi", yang
berarti "Semoga saya damai, semoga saya berbahagia".
Mungkin kita merasa tenteram dengan diri kita sendiri
ketika segalanya berjalan baik, tetapi ketika terjadi hal
tidak baik, kita cenderung mencoba untuk menghancurkan apa yang tidak kita sukai dalam diri kita.
Orang-orang datang pada saya sepanjang waktu,
bertanya, "Bagaimana saya menghindari kemarahan? Bagaimana saya menghindari iri hati? Bagaimana saya menghindari ketamakan dan nafsu keinginan? Bagaimana saya
menghindari rasa kuatir? Bagaimana saya menghindari
segala hal itu? Saya bisa saja pergi ke psikiatri; dia
mungkin dapat menolong saya menghindari hal-hal itu?"
Atau terkadang kita melatih meditasi untuk membuang
28
| sept–nov 2007
atau melepas semua hal-hal yang mengerikan ini, jadi
kita bisa mencapai keadaan pikiran yang penuh kebahagiaan dan penglihatan bodhisattâ. Kita berharap tidak
akan pernah memiliki perasaan-perasaan negatif lagi. Di
satu sisi, ada harapan dan kerinduan untuk menjadi
bahagia. Di sisi lain, ada kebencian dan reaksi dari
kemuakan dan keengganan terhadap kekejaman kita,
keadaan batin yang tidak menyenangkan.
Saya melihat bahwa orang-orang di Inggris sangat
kritis, sangat meremehkan. Kemudian ketika saya bertanya, "Apakah Anda memraktekkan mettâ?" orang-orang
yang suka meremehkan diri mereka sendiri, yang benarbenar perlu melatih mettâ, adalah orang-orang yang
berkata bahwa mereka tidak bisa. Kemampuan mengritik
diri sendiri kedengarannya seperti benar-benar orang yang
sangat jujur, bukan? Kita mempunyai pikiran cerdas yang
kritis, jadi kita berpikir tentang diri kita dengan cara yang
negatif. Kita mengritik diri sendiri karena banyak hal
yang telah kita lakukan di masa lalu yang muncul dalam
ingatan saat ini, kecenderungan-kecenderungan, atau kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal itu tidak bertahan pada apa
yang kita harapkan dari mereka. Demikian juga, kita tidak
bertahan pada apa yang kita pikir seharusnya dapat kita
lakukan.
Kemudian, karena kita bisa menjadi sangat kritis dan
meremehkan, kita juga cenderung merancang pendapat
negatif kita pada yang lain. Saya ingat diri saya selalu
menjadi kecewa dengan orang-orang karena mereka tidak
bisa bertahan pada standar-standar saya, pada jalan yang
saya pikir seharusnya mereka lakukan. Saya melihat
seseorang dan berpikir, "Oh, ini dia, ini orangnya, seorang
yang benar-benar baik, berhati dermawan, seorang penyayang. Akhirnya, saya menemukannya." Kemudian saya
mendapatinya bahwa dia marah, cemburu, iri hati, menakutkan, posesif, atau rakus. Dan saya berpikir kembali,
"Oh, kamu telah mengecewakan saya. Saya akan mencari
seseorang yang lain sekarang. Saya akan menemukan
seseorang yang bisa bertahan pada standar-standar saya."
Tetapi kemudian, ketika saya benar-benar melihat diri
sept–nov 2007 |
29
Mettâ adalah kasih yang
universal, tidak terbatas,
dan bebas dari sikap
mementingkan diri sendiri.
sendiri, saya bertanya, "Seberapa baik saya dapat bertahan pada standar-standar ini?" Kemudian saya dapat
melihat bahwa terdapat kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang sama pada saya juga.
Ketika saya mencoba menjadi seorang bhikkhu yang
baik, saya mati-matian mencoba bertahan pada sesuatu
yang ideal. Saya dapat melakukan itu sampai tahap
tertentu. Melewati kehidupan di mana kita hidup sebagai
bhikkhu dan pembatasan-pembatasan pada kehidupan itu,
kita bertahan dari melibatkan diri kita sendiri dalam
aktivitas kamma yang berat. Akan tetapi, kita masih
harus menghadapi ketakutan emosional yang menekan
dan hasrat-hasrat dari pikiran kita benar-benar tidak bisa
menjauh dari apapun dari kehidupan ini.
Sebagai bhikkhu, kita juga harus mau mengikuti
bahkan jika itu hal-hal yang tidak menyenangkan, sesuatu
yang mengerikan untuk mencapai kondisi yang sadar, dan
kita harus menghadapi hal-hal ini dalam meditasi, kita
mengikuti sesuatu di mana kita bergerak menjauh atau
menolak untuk menuruti kondisi sadar. Agar dapat melakukan ini, kita harus membangun mettâ, suatu bentuk
perilaku kesabaran dan kebaikan hati terhadap segala
ketakutan dan keragu-raguan yang menekan, dan terhadap kemarahan kita sendiri.
30
| sept–nov 2007
Ketika saya baru saja ditahbiskan, saya berpikir diri saya
sebagai orang alami yang sangat baik yang tidak marah-marah
dan tidak membenci orang. Tetapi setelah pentahbisan saat
saya mulai bermeditasi, saya mulai merasakan setumpuk
kebencian yang menjalar ke semua orang, dan saya berpikir,
"Meditasi ini membuat saya menjadi iblis!" Saya berpikir,
"Saya akan pergi dan bermeditasi, tinggal di hutan sendirian,
menjadi sangat tenang dan bisa berhubungan dengan
makhluk-makhluk surga dan tinggal dalam suatu keadaan
berbahagia yang tinggi." Justru, saat saya pertama kali mulai
bermeditasi sebagai seorang bhikkhu, dua bulan pertama tidak
ada apa-apa malahan batin dipenuhi hal-hal yang tidak
disukai. Saya membenci setiap orang setiap kali saya
memikirkannya. Saya bahkan membenci orang-orang yang
saya cintai, dan saya membenci diri saya sendiri.
Saya mulai melihat bahwa ini adalah sisi lain dari diri saya
sendiri yang telah menekan, memaksa keluar dari kesadaran
saya, dengan bayangan ideal tentang diri saya sendiri dimana
saya telah mencoba berpegang padanya. Saya tidak pernah
membiarkan kebencian yang nyata, hal yang tidak disuka,
kekecewaan, atau keputusasaan untuk kemudian menjadi
sepenuhnya sadar; saya selalu bereaksi terhadapnya. Sebelum
saya ditahbiskan, saya mengalami keletihan dan keputusasaan
dalam menghadapi situasi-situasi sosial yang timbul karena
saya terbiasa berada di lingkungan yang mudah tersenyum
dan ucapan-ucapan yang menyenangkan.
Di dalam meditasi ketika saya tidak lagi dapat bertahan
untuk menghentikannya, semua perasaan yang menekan ini
mulai timbul lagi dalam kesadaran. Ada cara bertahan terhadap mereka tentunya, karena itu adalah cara yang selalu saya
lakukan dengan kondisi-kondisi itu: "Bagaimana saya dapat
menghindari mereka? Bagaimana saya dapat menghentikan
mereka? Oh, saya tidak seharusnya merasakan hal seperti ini;
ini memuakkan! Setelah semua yang mereka lakukan pada
saya, saya masih membencinya." Perasaan-perasaan ini membuat saya membenci diri saya sendiri. Jadi daripada mencoba
menghentikan mereka, saya belajar untuk menerima mereka.
Dan cara itu hanyalah melalui penerimaan (acceptance) di
mana pikiran-pikiran itu dapat terhalau melalui sejenis perasaan haru (kind of catharsis) yang mana semua kenegatifan telah
dimanifestasikan, dan juga telah berlalu.
sept–nov 2007 |
31
Renungan tentang Mettâ
Mettâ memiliki banyak arti, di antaranya kasih, sikap bersahabat,
itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap
tanpa-kekerasan. Para komentator kitab suci Pali menjelaskan
istilah mettâ sebagai, dambaan yang kuat akan kesejahteraan dan
kebahagiaan makhluk lain (parahita parasukhakamana). Intinya,
mettâ adalah tindakan kasih yang dibedakan dari keramahtamahan sebagai kedok kepentingan pribadi.
Dengan mettâ kita menolak setiap bentuk kekerasan, kebencian,
sakit hati, dan permusuhan. Sebaliknya kita lalu mengembangkan
sikap-batin yang bersahabat, murah hati, mudah mengerti dan
dimengerti, serta selalu menghendaki kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk lain. Mettâ yang sejati, bersih dari kepentingan
pribadi. Ia tumbuh di dalam hati yang hangat oleh kasih, simpati,
dan persahabatan, yang dapat dikembangkan tanpa batas,
melampaui segala rintangan sosial, agama, ras, ekonomi, dan
politik.
Mettâ adalah kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari
sikap mementingkan diri sendiri. Mettâ menjadikan kita sumber
rasa aman dan tentram bagi makhluk lain.
Mementingkan diri sendiri adalah dorongan batin paling primitif
dalam diri manusia. Jika dorongan ini diubah menjadi kehendak
luhur untuk memperhatikan kepentingan dan kebahagiaan
makhluk lain, maka bukan hanya dorongan primitif itu terlampaui
olehnya, tetapi batin menjadi universal, di mana tiada lagi
perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan makhluk
lain.
Mettâ adalah sikap melindungi dan kesabaran yang luar biasa
dari seorang ibu yang menjalani segala kesulitan demi kebaikan
anaknya. Mettâ juga mencakup sikap ingin memberi yang terbaik
dari seorang sahabat. Jika kualitas-kualitas mettâ ini diperkuat
dengan meditasi mettâ-bhâvanâ—meditasi dengan objek kasih
universal—hasilnya adalah suatu kekuatan batin yang
menakjubkan, yang akan menjaga, melindungi, dan berfaedah
bagi diri sendiri dan bagi makhluk lain.
sumber
The Mind and The Way Buddhist Reflection on Life
Edited versions of talk by Ajahn Sumedho
32
| sept–nov 2007
dawai 48
News On
OLEH YM SADDHÃVIRO THERA
Setiap orang ingin hidup tenang, dan
setiap orang juga mempunyai benih ketenangan. Walaupun benih ketenangan
dan keinginan untuk hidup tenang ada
pada setiap orang, namun ketenangan
hidup, tidak semua orang bisa memperolehnya. Di mana letak kesalahannya
jika tidak tenang? Dan bagaimana cara
untuk memperoleh ketenangan?
Cara Memperoleh Ketenangan
obyek—pikiran—kesadaran
Obyek diperlukan untuk melatih mengonsentrasikan pikiran,
maka dalam latihan ketenangan pikiran, obyek merupakan
bagian terpenting. Oleh karenanya, latihan ketenangan pikiran
tanpa menggunakan obyek, sama dengan halnya menyuruh
orang lagi kehujanan maupun kepanasan untuk berteduh,
tetapi tidak ada tempat berteduhnya.
sept–nov 2007 |
33
Pikiran adalah sasaran yang harus dicapai dalam latihan
ketenangan. Jika selama latihan, tanpa ada proses untuk
melatih mengarahkan pikiran ke arah ketenangan, maka cara
latihan semacam itu tidak benar. Jadi selemah apapun, hendaknya usaha terus-menerus harus dilakukan untuk menenangkan
pikiran pada obyek, agar pikiran bisa mencapai ketenangan.
Kesadaran berfungsi untuk mengarahkan dan mengontrol
pikiran, agar pikiran bisa mencapai ketenangan. Sewaktu pikiran lari dari obyek, kesadaran mengarahkan kembali pada obyek.
Apabila pikiran terkonsentrasi pada obyek, kesadaran mampu
mengontrol pikiran. Dalam proses kesadaran mampu mengarahkan dan mengontrol pikiran, maka pada saat itu juga terjadi
pengembangan kesadaran.
Dua Sisi Berlarinya Pikiran
masa lalu—masa yang akan datang
Jika pikiran sewaktu dilatih konsentrasi, tetapi pikiran lari ke
masa lalu, berarti pikiran melekat pada pengalaman yang
pernah dialami. Maka cirinya, pikiran akan muncul citra rasa
masa lalu. Hal itu bisa satu jam yang lalu, satu minggu yang
lalu, satu bulan yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan bisa
satu kelahiran yang lalu. Kita ingat atau tidak ingat, di
kelahiran masa lalu, tidak peduli. Namun pikiran yang melekat
pada pengalaman hidup, akan membawa larinya pikiran ke
masa lalu. Maka seindah apapun kesan di masa lalu, tidak
perlu diikuti, supaya pikiran bisa dilatih untuk tenang.
Apabila pikiran tidak lari ke masa lalu, pikiran akan lari ke
masa yang akan datang. Masa yang akan datang yang belum
terjadi, menjadi lamunan, khayalan, keinginan atau cita-cita.
Meliputi hal yang baik dan buruk, jika itu berakar pada masa
yang akan datang, yang belum terjadi, maka akan membawa
larinya pikiran.
34
| sept–nov 2007
Lima Rintangan Batin
Kâmacchanda
Byâpâda
Thinamiddha
Uddhacca-kukkucca
Vicikicchâ
Nafsu obyek keinginan indria
Ingin menyakiti orang lain
Kelambanan dan kemalasan (batin)
Kekacauan dan kekhawatiran
Keragu-raguan
Lima Faktor yang
Membantu Konsentrasi
1. Memulai latihan dengan keadaan fisik maupun mental yang
rileks
2. Sertakan rasa senang akan latihan
3. Yakinkan diri sendiri selagi latihan meditasi, bahwa dirinya
bisa meditasi
4. Selalu menyertakan sadar dan perhatian dalam latihan
5. Mengevaluasi untuk mendapatkan kemajuan dan mengetahui rintangan.
Dalam proses latihan meditasi ketenangan, harus mengenali
mana yang menjadi rintangan meditasi dan yang menjadi
pendukung meditasi sehingga bisa lebih efektif dalam latihan
untuk menuju kemajuan. Bukan hanya energi latihan dikuras
karena dimainkan kekotoran batin, dengan pikiran yang terus
lari dan berlari yang pada akhirnya hanya terasa kelelahan, dan
menimbulkan kejenuhan latihan.
Ada tiga hal berkaitan dengan meditasi yang perlu dimengerti :
1. Cerita meditasi, dengan menguraikan dan dan mendengar
pemaparan yang amat menarik, tapi tidak melihatnya
sendiri. Ini jenis yang pertama tentang meditasi, dalam bentuk cerita.
2. Melatih meditasi, bisa duduk sampai beberapa jam, tapi
pikiran belum juga memperoleh ketenangan, maka jenis ini
baru dikategorikan latihan meditasi.
3. Bermeditasi, karena bisa menenangkan pikiran dan menda
patkan buahnya dari pikiran yang tenang. Maka jenis ketiga
ini baru dikategorisasikan meditasi.
sept–nov 2007 |
35
Setelah melatih meditasi dan kemudian mengenali sifat dari
pikiran itu yaitu gesit dan lincah, disebabkan adanya kekotoran
batin. Maka upaya mengikis kekotoran batin dan tidak
membuat kekotoran batin baru, akan membuat pikiran menjadi
mudah dikendalikan untuk mencapai ketenangan. Dan pada
saat melatih sampai tahapan kekotoran batin mengendap,
pikiran menjadi tenang, kesadaran pun berkembang. Inilah
yang dinamakan proses latihan meditasi yang telah terjadi.
Cirinya meditasi mengembangkan ketenangan pikiran (samatha
bhâvanâ) adalah di mana kesadaran yang tumbuh berkembang,
mampu untuk mengendalikan atau intervensi pikiran, sehingga
pikiran tidak berhamburan ke masa lalu karena kemelekatan,
dan tidak lari ke masa yang akan datang karena khayalan. Pada
tahapan dan kondisi batin tenang, maka hal itu bisa sebagai
dasar munculnya kemampuan batin. Dan juga sebagai dasar
untuk memulai latihan memahami hidup sebagai mana adanya
atau mengembangkan pandangan terang (vipassanâ bhâvanâ).
Mengapa dianjurkan samatha bhâvanâ terlebih dahulu, sebelum vipassanâ bhâvanâ? Hal ini karena untuk memudahkan
mencapai tujuan latihan, dengan melalui tahapan berlatih.
Karena dalam keadaan pikiran yang belum tenang, akan sangat
sulit untuk mengetahui apa adanya hidup ini atau memahami
kebenaran hidup ini. Pasti pikiran akan terus membuat
pembenaran, bukan kebenaran, sebab ciri pikiran yang masih
dikuasai kekotoran batin cirinya tidak tahu yang benar sebagai
kebenaran. Hal ini bisa kita pahami sebagai halnya apa yang
ada di dalam danau, tentu kita akan kesulitan mengetahuinya.
Setelah pikiran tenang, kesadaran sebagai dasar latihan untuk
menyadari segala sesuatu yang muncul dan berkembang dan
berlalu, yang berkaitan dengan faktor batin (nama) dan faktor
badan (rûpa). Jika rasa sakit ini muncul sewaktu latihan
meditasi, hendaknya sadar akan rasa sakit itu berkembang; jika
rasa sakit itu tetap sakit yang terasa, hendaknya sadar rasa
sakit itu bertahan; jika rasa sakit itu pada akhirnya berlalu,
hendaknya sadar akan rasa sakit itu berlalu. Begitu hendaknya
kesadaran itu menyadari, tanpa ada upaya intervensi pun,
karena fungsi dari kesadaran dalam pelaksanaan vipassanâ
bhâvanâ hanya menyadari. Ini baru satu contoh kerjanya
36
| sept–nov 2007
kesadaran terhadap perasaan, sedangkan kesadaran akan
berfungsi kepada semua faktor nama dan rupa sebagai objek
kesadaran.
Kesadaran akan segala sesuatu obyek nama dan rupa yang
terus mengalami perubahan (anicca), kesadaran juga menyadari
adanya bahwa segala sesuatu tidak memuaskan (dukkha), dan
pada tahapan berikutnya kesadaran juga menyadari yang berubah (anicca) maupun tidak memuaskan (dukkha) itu jelas
tanpa inti (anatta). Kesadaran yang mampu menembus kebenaran anicca, dukkha, dan anatta, adalah kesadaran sebagai
dasar memunculkan pandangan benar.
Pada saat pandangan benar muncul, dalam proses latihan
penyadaran akan anicca, dukkha, dan anatta, menggunakan
obyek nama dan rupa, maka belenggu pandangan salah tentang
atta terputus, keragu-raguan tentang kebenaran lenyap, praktik
tahayul juga tidak ada lagi. Orang dinyatakan masuk arus
pertama Sotâpanna. Latihan vipassanâ bhâvanâ telah dijalani
dan mengantarkan pada pemahaman tentang kebenaran akan
kehidupan.
Jadi cirinya latihan vipassanâ bhâvanâ, kesadaran bukan berperan sebagai intervensi seperti pada latihan samatha, mela-inkan
kesadaran hanya menyadari proses untuk mengetahui apa adanya, sehingga tidak akan melekati proses hidup. Karena tidak
melekat pada proses hidup, maka akan terbebas dari proses
kelahiran kembali.
Seperti yang diuraikan oleh YM Saddhaviro Thera
dalam acara SADDHA EXTENDED,
PATRIA PC Surabaya, 29 Juni 2007,
di Wihara Buddha Kirti Surabaya.
sept–nov 2007 |
37
dawai 48
âcariya mun
bhûridatta thera
38
| sept–nov 2007
Orang Bijak
TEGUH
Secara konstan menekankan
pada kepentingan tertinggi,
Âcariya Mun selalu menegaskan bahwa hati adalah yang
paling penting di dunia ini.
yang mulia âcariya mun bhûridatta thera
adalah seorang tokoh terkemuka dalam
Buddhisme Thai jaman sekarang. Beliau dipuja
dan dihormati di mana-mana selama masa
hidup beliau untuk keberanian dan keteguhan
hati yang luar biasa yang telah beliau
tunjukkan di dalam menjalankan kehidupan
pertapa dan kedisiplinan beliau yang tanpa
kompromi dalam mengajar murid-muridnya.
Selama kurun waktu 50 tahun sejak beliau
wafat, beliau dianggap seorang sosok agung
dalam kalangan Buddhis dan keberadaan
beliau yang sangat berpengaruh masih
membekas, di mana hidup dan ajaran-ajaran
beliau telah menyamai pencarian mulia Sang
Buddha untuk transformasi diri.
Banyak warga Thai menyatakan pandangan
mereka bahwa mereka telah hilang
kepercayaan terhadap magga, phala, dan
Nibbâna yang dinyatakan masih relevan hingga
saat ini, akan tetapi dengan membaca biografi
Âcariya Mun, mereka menyadari bahwa cerita
tentang hasil-hasil yang telah dicapai, bukanlah
hanya potongan-potongan cerita kuno yang
telah mati dan mengering—melainkan
peninggalan luar biasa dari sosok yang hidup,
bercahaya, yang dapat digunakan oleh siapa
saja yang berkemauan dan dapat
mengupayakan usaha-usaha yang diperlukan
untuk mencapainya. Mereka telah memahami
bahwa bhikkhu Buddhis dengan jubah khusus
dan kehidupannya sebagai bhikkhu bukanlah
hanya figur ke-bhikkhu-an yang mewakili
Buddha, Dhamma, dan Sangha. Beberapa dari
mereka tentu saja telah terbukti hidup benar
sesuai dalam ajaran Buddha.
sept–nov 2007 |
39
Âcariya Mun lahir di dalam keluarga Buddhis tradisional pada hari
Kamis, 20 Januari BE 2413 (1870), di tahun kambing. Tempat kelahiran
beliau di desa Ban Khambong di daerah Khongjiam, perkampungan
Khambong, provinsi Ubon Ratchathani. Ayah beliau bernama Nai
Khamduang, Ibu beliau bernama Nang Jan dan nama keluarga beliau
Kaenkaew. Beliau adalah putra sulung dari delapan bersaudara, meskipun
hanya dua orang dari mereka yang masih hidup di saat beliau wafat.
Seorang anak kecil jangkung dengan kulit kuning langsat, beliau adalah
anak yang cekatan, energik, pandai dan banyak akal.
Pada usia 15 tahun, beliau ditahbiskan sebagai 1sâmanera di wihara
desanya. Beliau sangat bersemangat untuk belajar Dhamma, mampu mengingat teks-teks dengan kecepatan yang luar biasa. Seorang samanera
muda dengan karakter yang ramah, beliau tidak pernah menyulitkan
guru-guru ataupun para pengikut beliau.
Dua tahun di dalam kehidupan baru beliau, sang ayah meminta beliau
untuk melepas jubah dan beliau dibutuhkan untuk kembali ke kehidupan
perumah tangga dengan tujuan membantu di rumah. Bagaimanapun juga
kesenangan beliau akan kehidupan bhikkhu begitu jelas sehingga beliau
yakin akan ditahbiskan lagi suatu hari nanti. Kenangan indah akan
kehidupan dalam jubah bhikkhu tidak pernah pudar. Maka, beliau
memutuskan untuk memasuki kehidupan bhikkhu lagi secepat mungkin.
Keinginan kuat ini telah muncul, tanpa keraguan, pada kekuatan
keyakinan yang gigih, disebut sebagai 2saddhâ, yang merupakan bagian
pelengkap dari karakter beliau.
1 Seseorang yang telah ditahbiskan awal dalam melepaskan hidup berkeluarga serta melaksanakan 10 sila. Usia minimal
untuk penahbisan sâmanera adalah tujuh tahun dan setelah mencapai usia dua puluh tahun dapat ditahbiskan menjadi
bhikkhu. Upacara penahbisan sâmanera disebut pabbaja.
2 Keyakinan. Seorang umat Buddha dikatakan memiliki keyakinan apabila ia meyakini Buddha, Dhamma, dan Ariya
Sangha. Di dalam Majjhima Nikaya 47 dinyatakan bahwa keyakinan seyogyanya berakar dari pengertian yang benar. Umat
Buddha diminta untuk menyelidiki dan melakukan pengujian terhadap obyek keyakinannya.
40
| sept–nov 2007
UNIK
Âcariya Mun memiliki
kemampuan unik untuk berkomunikasi secara langsung dengan makhluk bukan manusia
dari banyak keberadaan alam
yang berbeda.
Saat beliau mencapai usia 22, beliau merasakan desakan untuk
ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu, maka untuk tujuan itu, beliau
berpamit kepada orang tua beliau. Tak ingin melarang aspirasi beliau dan
juga memiliki harapan bahwa putra mereka akan ditahbiskan lagi suatu
hari, mereka memberikan izin. Dengan semangat dan dukungan penuh
sampai akhir, mereka menyediakan keperluan dasar lengkap seorang
bhikkhu kepada beliau. Pada tanggal 12 Juni BE 2436 (1893), beliau
menerima penahbisan bhikkhu di Wihara Wat Liap di kota propinsi
Ubon Ratchathani.
3
Upajjhâya beliau adalah Yang Mulia Phra Ariyakawi, kammavâcariya
beliau adalah Phra Khru Sitha; dan anusâsanâcariya beliau adalah Phra
Khru Prajuk Ubonkhun. Beliau diberi nama bhikkhu 4“Bhûridatta”.
Setelah penahbisan, beliau tinggal di Wat Liap di tempat pelatihan
meditasi 5vipassanâ Âcariya Sao Kantasilo.
3 Upajjhâya (Upâdhyâya): guru pembimbing
4 Nama Bhûridatta ditemukan dalam salah satu kelahiran Buddha sebelumnya, pada 10 kelahiran yang
terakhir saat menyempurnakan 10 pâramî. Pada kelahiran yang ke-5 hingga kelahiran yang terakhir
Bodhisattâ terakhir sebagai Nâga Besar, atau Raja Naga, dengan nama Bhûridatta (yang berarti: Yang
Diberkahi Bumi). Jenuh dengan kehidupan di bawah tanah, dia muncul ke permukaan bumi dimana
akhirnya dia ditangkap oleh seorang pawang ular yang melihat kesempatan itu untuk menjadi kaya dan
terkenal dengan memaksa naga yang agung memperlihatkan kesaktiannya di hadapan anggota kerajaan.
Walaupun dia dapat menggunakan kekuatannya untuk membinasakan pawang ular dalam waktu singkat,
Naga Bhûridatta, yang dianugerahi kebaikan moral di atas segalanya, mengendalikan dirinya, melakukan
apa yang “diajarkan” gurunya, dan menahan penghinaan. Dengan cara ini, dia mengembangkan Khanti
Pâramî (Kebajikan Moral Kesabaran) untuk memenuhi kesempurnaannya. Menghubungkan dengan
cerita Bodhisattâ itu membuat nama Bhûridatta dipandang sangat bagus dan tepat, yang mungkin
karena alasan itulah guru pembimbing Âcariya Mun memilihnya. Kata bhûri dapat disamakan dengan
paññâ (kebijaksanaan), menurut Kitab Komentar Pâli. Karena itu, Bhûridatta dapat diartikan “Yang
Diberkahi oleh Kebijaksanaan”.
5 Pengembangan Pandangan Terang, merupakan meditasi dalam agama Buddha yang membimbing
seseorang untuk mencapai Penerangan Sempurna. Obyek Vipassanâ Bhâvanâ adalah Nâma (batin) dan
Rûpa (jasmani) atau Panca Khanda (lima kelompok kehidupan), sehingga akan tertampak bahwa
makhluk itu dicengkeram oleh anicca (selalu berubah), dukkha (penderitaan), dan anatta (tanpa inti/aku
yang kekal).
sept–nov 2007 |
41
Tujuan mulia dari kebebasan spiritual harus dicapai dengan jalan yang
sesuai yaitu Jalan Tengah seperti
yang diajarkan Sang Tathagatha,
Buddha Gotama. Meskipun Sang
Buddha melarang penggunaan rasa
malu diri sebagai jalan untuk mencapai penerangan, namun demikian
Beliau mengizinkan dan mendukung
praktek pertapa khusus tersebut,
yang dikenal sebagai Dhutanga, di
mana secara efektif harmonis dengan usaha-usaha mulia ini. Jalan
Tengah yang sesungguhnya bukanlah
jalan mulus dengan sedikit rintangan, dapat dinegosiasi dengan kompromi yang mudah, atau jalan
tengah yang menyenangkan; tetapi
lebih dari itu, merupakan jalan praktek yang paling efektif melawan kekotoran batin yang menghalangi kemajuan dengan cara menahan setiap langkah di jalan tersebut. Jalan
spiritual seringkali sukar, penuh penderitaan dan tidak menyenangkan.
Sementara batin menghalangi kesuksesan dengan hebatnya dan bahkan
menakut-nakuti. Jadi, para pejuang
spiritual memerlukan “perlawanan”
(baca: usaha atau daya upaya) yang
keras untuk mencabut akar-akar kemalasan, kecanduan, rasa bangga
diri dan mementingkan diri, sehingga Sang Buddha mendorong para
bhikkhu yang benar-benar tekun
dalam pelepasan hati mereka dari
perwujudan halus kekotoran batin
yang tersembunyi dan membahaya42
| sept–nov 2007
kan, untuk berlatih dhutanga. Praktek pertapaan semacam ini diciptakan secara khusus untuk mengembangkan kesederhanaan, kerendahan
hati, menahan diri, kewaspadaan,
dan introspeksi dalam kehidupan sehari-hari seorang bhikkhu, dan Sang
Buddha dikenal memuji para bhikkhu yang menjalankan praktek mereka.
Untuk alasan ini, cara hidup
seorang bhikkhu Buddhis dikenal
sebagai cara hidup seorang pengembara tanpa rumah yang telah meninggalkan keduniawian dan meninggalkan rumah tangga, mengenakan jubah terbuat dari kain yang
telah dibuang, bergantung pada sedekah untuk kehidupan, dan tinggal
di hutan. Ini cara ideal seorang
bhikkhu hutan mengembara untuk
bersungguh-sungguh dalam pencarian spiritual tradisional Sang Buddha
yang dilambangkan dengan jalan
hidup Dhutanga Kammatthâna.
Seperti dhutanga, kammatthâna
adalah istilah yang menunjukkan
orientasi khusus yang diberikan oleh
para bhikkhu Buddhis yang mengabdi untuk mempertahankan cara
hidup meditatif yang keras. Kammatthâna (lit. ”dasar kerja”) menunjuk
pada sebuah pendekatan praktek
meditasi yang secara langsung
menumbangkan segala aspek keserakahan, kebencian dan delusi dari
hati dan kemudian merobohkan
semua jembatan yang menghubung-
kan pikiran pada lingkaran kelahiran
dan kematian yang berulang. Kammatthâna dengan penekananan pada
pengembangan meditatif dan dhutanga dengan penekanan pada jalan
hidup pertapa mendukung pada
meditasi intensif, saling dipuji secara
sempurna dalam usaha mulia untuk
mengatasi lingkaran tumimbal lahir.
Keduanya bersama dengan disiplin
kode monastik adalah batu peletakan pertama pada berdirinya bangunan pelatihan bhikkhu.
Catatan dan semangat meditasi
kehidupan pertapaan ini didapati
tertanam dalam kehidupan dan
ajaran Âcariya Mun. Sejak hari pertama beliau ditahbiskan hingga hari
beliau wafat, seluruh jalan hidup
beliau dan contoh yang telah beliau
berikan bagi para murid beliau
ditunjukkan pada prinsip-prinsip
yang tergabung dalam praktek ini.
Beliau dihargai dengan menghidupkan kembali, membuat lebih hidup
dan pada akhirnya memopulerkan
tradisi dhutanga kammatthâna di
Thailand. Melalui upaya sepanjang
hidupnya, para bhikkhu dhutanga
(atau para bhikkhu kammatthâna,
keduanya dapat digunakan bergantian) dan model praktek yang mereka
sertakan, menjadi dan masih tetap
merupakan ciri khas menonjol gambaran Buddhis di sana.
Âcariya Mun secara khusus dianugerahi sebagai seorang motivator
dan guru. Banyak para bhikkhu yang
dilatih secara langsung di bawah
asuhan beliau menjadi terkenal
dengan pencapaian spiritual mereka
sendiri, menjadi guru-guru terkenal
dengan kebenaran mereka sendiri.
Mereka telah menyampaikan metode
pengajaran khusus beliau kepada
murid-murid mereka dalam garis
silsilah yang berlanjut hingga saat
ini. Sebagai hasilnya, cara pelatihan
dhutanga kammatthâna secara berangsur-angsur menyebar di seluruh
negeri, seiring dengan reputasi
agung Âcariya Mun. Sambutan seluruh negara ini mulai meluas selama tahun-tahun terakhir dalam
hidup beliau dan terus bertambah
setelah wafatnya beliau sehingga beliau dianggap sebagai seorang suci
nasional hampir dengan kesepakatan
bulat. Pada dasawarsa baru-baru ini,
beliau sudah dikenal hingga melampaui batas tanah air beliau, sebagai
salah satu tokoh religius yang benarbenar hebat di abad ke-20.
Kehidupan Âcariya Mun melambangkan ideal Buddhis bhikkhu pengembara yang bertujuan untuk peninggalan keduniawian dan keheningan, berjalan seorang diri melewati hutan dan gunung untuk mencari tempat terpencil yang menawarkan ketenangan tubuh dan pikiran,
lingkungan yang hening untuk praktek meditasi dengan tujuan mengatasi semua penderitaan. Kehidupan
beliau merupakan sebuah kehidupan
yang hidup sepenuhnya di alam luar
sept–nov 2007 |
43
bergantung pada elemen-elemen belas kasih dan cuaca alam. Dalam
lingkungan semacam ini, seorang
bhikkhu dhutanga mengembangkan
sikap menghargai alam. Kehidupan
sehari-harinya penuh dengan hutan
dan gunung, sungai dan sungai kecil, gua, batu karang terjal yang
bergantungan, dan binatang buas
besar dan kecil. Beliau berpindahpindah dari tempat ke tempat dengan berjalan seorang diri sepanjang
jalan setapak hutan belantara di daerah perbatasan terpencil di mana
populasinya jarang dan komunitas
desa terpisah jauh. Karena mata
pencaharian beliau tergantung pada
sedekah makanan yang beliau kumpulkan dari perkampungan kecil, seorang bhikkhu dhutanga tidak pernah mengetahui berasal dari mana
makanan berikutnya, atau apakah
akan memperoleh makanan.
Di samping kesukaran dan keadaan yang berubah-ubah, hutan merupakan sebuah rumah bagi bhikkhu
pengembara, hutan adalah tempat
untuk belajar, hutan adalah tempat
untuk berlatih, dan tempat perlindungan; dan hidup di sana menawarkan keamanan agar dia tetap
waspada dan setia pada prinsipprinsip ajaran Sang Buddha. Hidup
dan berlatih tanpa pendidikan secara
relatif di pedalaman liar terbelakang
yang merupakan sebagian besar daratan Thailand pada peralihan abad
ke-20, seorang bhikkhu dhutanga
44
| sept–nov 2007
seperti Âcariya Mun mendapati
dirinya berkelana melintasi abad
—dengan latar belakang yang tidak
jauh berbeda dengan keadaan pada
zaman Sang Buddha 2500 tahun
yang lalu.
Adalah bermanfaat untuk dipahami, latar belakang sementara dan
budaya cara hidup mengembara
Âcariya Mun. Di akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 Thailand merupakan sebuah persekutuan kerajaankerajaan yang terpecah-pecah di mana sebagian besar tidak dapat dikuasai oleh kekuasaan pusat karena
hampir seluruh wilayahnya padat
oleh hutan, dan jalan beraspal hampir tidak ada. Selama periode tersebut, 80% benua Thailand dipenuhi
oleh hutan liar di mana hampir
seluruh kayu pohon bertumbuh (berganti daun setiap tahun) dan subtropis tebal belukar. Kehidupan penduduk di wilayah pedalaman didukung dengan bertani dan berburu
binatang buas. Padat oleh harimau
dan gajah-gajah, hutan luas dianggap
tempat yang berbahaya dan menakutkan, sehingga penduduk berkumpul bersama dalam komunitas desa
yang menyediakan keamanan dan
persahabatan (sosialisasi). Di wilayah
perbatasan yang lebih terpencil, seperti perkampungan, satu tempat
dengan yang lain sering berjarak
satu hari perjalanan, mengikuti jalan
kecil melintasi hutan-hutan.
Hutan dan irama alam mendefini-
sikan ciri-ciri cerita dongeng dan
budaya bagi orang-orang yang tangguh. Bagi para penduduk yang tinggal dalam komunitas terisolasi, hamparan hutan belantara merupakan
tempat terlarang, wilayah tidak ramah di mana binatang buas berkeliaran dengan bebas dan jin berhati
dengki dikatakan dapat merasuki
atau memengaruhi. Harimau-harimau Bengal yang besar berasal dari
bagian dunia yang sangat menakutkan. Makhluk-makhluk seperti ini
tidak hanya menguasai hutan-hutan,
tetapi sepertinya juga menguasai ketakutan dan khayalan-khayalan penduduk setempat dan para bhikkhu.
Ketakutan populer akan wilayah
hutan yang tak dapat ditembus
mengarahkan mereka pada tempattempat terisolasi dan sunyi dimana
tidak ada seorang pun yang berani
bepergian seorang diri. Di lingkungan hutan belantara terpencil inilah
Âcariya Mun dan para bhikkhu dhutanga tinggal dan mengembara, berlatih jalan kehidupan pertapa. Praktek meditasi mereka dan mental
yang tabah yang ditanamkan di
dalam diri mereka merupakan satusatunya pertahanan mereka menghadapi kesukaran dan potensial bahaya
yang mereka hadapi setiap harinya.
Hujan dan gunung terbukti merupakan lahan berlatih bagi bhikkhu seperti ini, yang melihat diri mereka
sendiri sebagai pejuang spiritual bertempur dengan kekotoran batin me-
reka sendiri demi kemenangan akhir.
Cerita riwayat hidup Âcariya Mun
adalah potret hidup seorang pejuang
spiritual sempurna tiada taranya di
zaman modern. Beliau merupakan
sosok yang bersungguh-sungguh berlatih di jalan Sang Buddha menuju
kebebasan dengan kesempurnaan, di
mana beliau meninggalkan mereka
yang mengetahui dan memuja beliau
tanpa ragu bahwa beliau benarbenar seorang murid yang mulia.
Sebuah cerita indah
dari awal hingga akhir,
kehidupan beliau mengingatkan pada cerita
terkenal sejarah para
murid besar Sang
Buddha di teks-teks
kuno. Seperti mereka,
hidup beliau menunjukkan pada kita bahwa jalan spiritual ideal
yang telah diajarkan
Sang Buddha ternyata
dapat juga dicapai oleh
manusia nyata yang
berjuang melawan
sept–nov 2007 |
45
rintangan fundamental
yang sama, di mana
kita menemukannya di
dalam diri kita sendiri.
Jadi kita merasakan
bahwa jalan Sang
Buddha di masa lampau demi menuju
kebebasan spiritual
ternyata seluruhnya
relevan dengan saat
ini, seperti halnya
2500 tahun yang lalu.
Âcariya Mun memiliki kemampuan unik untuk berkomunikasi secara
langsung dengan makhluk bukan
manusia dari banyak keberadaan
alam yang berbeda. Beliau secara
berlanjut berhubungan dengan makhluk dari alam lebih tinggi dan lebih
rendah dari alam-alam surgawi, roh
dari alam bumi, näga-näga, yakkhayakkha, jenis-jenis hantu dan bahkan penghuni alam-alam neraka—semuanya yang tidak tampak oleh
mata manusia dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia tetapi secara jelas diketahui dengan kemampuan kekuatan batin penglihatan
46
| sept–nov 2007
dan pendengaran (divine sight and
divine hearing).
Pandangan dunia menyeluruh
yang mendasari ilmu semesta Buddhis sangat berbeda dari pandangan
semesta fisik kasar yang diberikan
kepada kita oleh ilmu pengetahuan
jaman ini. Dalam gambaran Buddhis
tradisional, alam semesta dihuni tidak hanya oleh makhluk fisik kasar
yang meliputi manusia, hewan dunia, tetapi juga oleh berbagai golongan non-fisik, makhluk spiritual yang
disebut deva, yang memiliki berbagai
macam tingkatan, dan dengan berbagai golongan makhluk lebih rendah yang hidup di dalam bagian keberadaan alam manusia (sub-human
realms of existence). Hanya dunia
manusia dan hewan yang dibedakan
oleh kemampuan indera manusia
normal. Yang lainnya tinggal di sebuah dimensi spiritual yang ada di luar
wilayah konsep ruang dan waktu
manusia, dan oleh karena itu melampaui lapisan materi semesta seperti yang kita rasakan.
Merupakan kehebatan Âcariya
Mun, memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan berbagai golongan makhluk hidup yang menjadikan beliau seorang guru yang sangat penting di seluruh semesta.
Mengetahui bahwa makhluk-makhluk hidup di seluruh alam perasaan
(sentient universe), berbagi warisan
bersama dari kelahiran yang berulang, dan keinginan bersama untuk
menghindari penderitaan dan memperoleh kebahagiaan, seorang guru
besar menyadari kebutuhan mereka
bersama untuk memahami jalan
Dhamma dengan tujuan memenuhi
potensi spiritual dan mencapai kebahagiaan abadi. Dengan mata kebijaksanaan, beliau tidak membuat perbedaan yang mendasar antara hati
manusia dan hati para deva, tetapi
menyelaraskan ajaran beliau untuk
disesuaikan dengan keadaan khusus
dan tingkatan pengertian mereka.
Meskipun inti pesannya sama,
media komunikasinya berbeda. Beliau berkomunikasi dengan manusia
melalui media ucapan lisan, sementara beliau menggunakan komunikasi
non-lisan, telepati dengan segala golongan makhluk non manusia.
Untuk menghargai kemampuan
luar biasa Âcariya Mun, kita harus
siap untuk menerima bahwa dunia
yang kita rasakan melalui indera
hanya merupakan sebagian kecil dari
kenyataan yang berdasarkan pengalaman, bahwa ada dunia spiritual
deva dan brahma yang melampaui
batasan kemampuan indera kita.
Sebagai kebenaran, semesta bagi
orang yang bijaksana jauh lebih luas
daripada yang dirasakan oleh ratarata orang. Orang bijak dapat mengetahui dan memahami dimensi
kenyataan di mana yang lain tidak
akan menyangka keberadaannya, dan
pengetahuan mereka akan prinsipprinsip yang mendasari semua kebe-
radaan memberikan mereka pengetahuan yang mendalam pada fenomena dunia yang menentang batasan konvensional.
Kekuatan perasaan sempurna dari
Âcariya Mun menghubungkan berbagai macam fenomena eksternal
yang tak terbatas, dan di dalam
tradisi Buddhis yang terbaik, beliau
menghabiskan amat banyak waktu
dan energi berkaitan dalam pengajaran Dhamma bagi mereka. Makhluk-makhluk seperti ini merupakan
bagian dari keberadaan dunia personal seperti hewan buas di hutan dan
para bhikkhu yang beliau latih begitu tiada letih-letihnya. Dengan kebajikan dari keahlian beliau yang tiada
bandingnya dalam hal ini, beliau
selalu merasakan sebuah kewajiban
khusus pada kesejahteraan spiritual
mereka.
Semacam fenomena yang oleh
Âcariya Mun disebut “misteri hati”,
bagi mereka makhluk sadar, hidup
tinggal di dimensi spiritual yang
sama nyatanya dengan yang kita
tinggali, meskipun lapisan tersebut
terletak di luar alam konsep keberadaan manusia. Kata ”hati” dan
“pikiran” digunakan saling bertukar
dalam bahasa daerah Thai. “Hati”
sering merujuk pada istilah, sedangkan “pikiran” cenderung tidak mengikutsertakan dimensi emosional dan
spiritual yang berhubungan dengan
hati. Hati adalah mengetahui secara
alami yang penting yang membentuk
sept–nov 2007 |
47
fondasi dasar dari seluruh kemampuan merasakan alam semesta. Ini adalah
kesadaran mendasar yang mendasari seluruh keberadaan yang sadar dan yang
sangat dasar dari semua proses mental dan emosional. Hati membentuk inti
di dalam tubuh dari semua makhluk hidup. Hati adalah pusat, unsur, inti
utama di dalam tubuh. Secara konstan menekankan pada kepentingan
tertinggi, Âcariya Mun selalu menegaskan bahwa hati adalah yang paling
penting di dunia ini. Untuk alasan inilah, cerita kehidupan Âcariya Mun dan
ajaran beliau adalah sebuah cerita tentang perjuangan hati untuk spiritual
yang luar biasa dan sebuah pengungkapan misteri yang tak terkatakan dari
intisari murni hati.
Istilah Pâli, “citta” adalah sebuah kata yang sering digunakan Âcariya
Mun saat menunjuk pada pengetahuan alami yang penting ini, seringkali
dikenal sebagai hati dan pikiran. Seperti layaknya begitu banyak kata-kata
dalam kamus Buddhis, ini adalah istilah teknis yang sangat penting digunakan khususnya dalam ilmu teori dan praktek Buddhis. (~)
the relics
Berikut ini adalah
pecahan atau sisa-sisa
tulang dari hasil kremasi
tubuh jasmani Âcariya
Mun yang mana telah
bertransformasi menjadi
semacam kristal relik
dalam berbagai macam
corak/warna yang tembus
cahaya dan memiliki
opasitas atau ketajaman
warna yang berbeda-beda
(dikatakan juga, relik
beliau hampir
menyerupai relik Sang
Buddha).
sumber
Venerable Âcariya Mun Bhûridatta Thera - A Spiritual Biography
By Âcariya Mahâ Boowa Ñânasampanno
– http://www.forestdhammabooks.com/
48
| sept–nov 2007
dawai 48
Jalan Jalan
angkor wat
Ada dua kompleks candi besar di Asia Tenggara.
Satu terdapat di Bagan, Myanmar, dan satunya lagi
di Angkor, Kamboja. Kompleks candi di Angkor yang
sangat terkenal ini dinamai Angkor Wat (atau Angkor
Vat). Meskipun Angkor Wat lebih dikenal sebagai
situs Hinduisme, namun nuansa Buddhis di sana juga
turut memperkenalkan dan menyedot banyak orang
untuk datang berkunjung menikmati keanggunannya.
sept–nov 2007 |
49
angkor wat dibangun pada masa
pemerintahan Khmer pada rentang
tahun 802 hingga 1220 Masehi. Candi
ini dibangun untuk Raja Suryawarman
II sebagai ibukota kerajaan pada masa
itu. Candi terbesar dan yang paling
terawat di kompleks ini telah menjadi
pusat keagamaan Hindu dan Buddha
yang sangat mencolok karena nuansa
yang menjadi dasar pembangunan
Angkor Wat. Candi ini adalah representasi gaya klasik arsitektur Khmer
yang dikenal memiliki nilai intelektual
yang tinggi. Angkor Wat juga merupakan simbol negara Kamboja, tampak
dari bendera nasionalnya yang menggunakan gambar sketsa Angkor Wat.
Selain itu, Angkor Wat juga menjadi
daya tarik wisata utama di Kamboja.
Angkor Wat menggabungkan dua
plan dasar dari arsitektur Khmer, yaitu
candi gunung dan candi teras (tangga).
Kompleks candi ini didesain untuk
merepresentasikan Gunung Meru,
yang dikenal sebagai tempat tinggal
para dewa dalam Hinduisme dan
Buddhisme. Di sekeliling kompleks dibangun parit yang dipagari oleh tembok sepanjang 3,6 kilometer. Di dalamnya terdapat tiga candi teras berbentuk persegi yang saling bertum-puk
satu dengan yang lain dan di tengahnya berdiri sebuah menara yang dikelilingi empat menara serupa yang lebih
kecil. Angkor Wat diakui karena kebesaran dan harmoni arsitekturnya, seni
pahatnya, dan sosok dewa-dewa yang
menghiasi sebagian besar dinding-dinding di sana.
50
| sept–nov 2007
Angkor Wat dilihat dari ketinggian
Sejarah
A N G KO R WAT D I P E TA
Angkor Wat terletak pada
posisi paling selatan di
antara candi-candi lainnya
yang ada di Angkor.
KLASIK
Gambar Angkor Wat yang
diambil pada tahun 1866
oleh Emile Gsell
Sebenarnya Angkor Wat dibangun
sebagai persembahan kepada Dewa
Wisnu (dewa paling terhormat dalam
Hinduisme) dan juga sebagai ibukota
sekaligus istana kerajaan. Dari semua
catatan naskah kuno dan sumbersumber lainnya, tidak ditemukan nama
asli dari bangunan ini. Namun pernah
disebutkan bahwa nama asli Angkor
Wat adalah Vrah Vishnulok. Angkor
Wat terletak sekitar 5,5 km di sebelah
utara kota modern Siem Reap, dan di
sebelah selatan Baphuon (ibukota terdahulu). Pembangunan Angkor Wat
sepertinya selesai pada masa sekitar
kematian Raja Suryawarman II, namun
ada beberapa gambar relif yang belum
terselesaikan. Pada tahun 1177, Angkor Wat dirampok dan dirusak oleh
tentara Chams, musuh tradisional kerajaan Khmer. Namun kemudian, kerajaan dapat diperbaiki kembali oleh raja
baru, Jayawarman VII, yang juga membangun ibukota baru dan candi nasional Angkor Thom dan Bayon, beberapa
kilometer di sebelah utara Angkor Wat.
Pada abad ke-14 atau ke-15, Angkor
Wat diorientasikan sebagai candi Buddha Theravâda, dan masih berlanjut
sampai sekarang. Tidak seperti candicandi lainnya di Angkor, Angkor Wat
pernah hampir terabaikan pada abad
ke-16, namun tidak pernah benarbenar dilupakan, karena itu, Angkor
Wat masih ada hingga saat ini. Pada
zaman dulu, bangunan ini dikenal dengan nama Preah Pisnulok. Nama
sept–nov 2007 |
51
SAKRAL
Bendera nasional Kamboja
yang memuat gambar
Angkor Wat
'Angkor Wat' mulai digunakan pada abad ke-16, yang
berarti 'Candi Negara'. Kata angkor, dari bahasa
daerah nakor, berasal dari bahasa Sansekerta nagara
(negara), sedangkan kata wat adalah kata dari bahasa
Khmer yang artinya candi.
Salah satu pengunjung pertama dari Barat ke
Angkor Wat adalah Antonio da Magdalena, pada
tahun 1586. Biarawan berkebangsaan Portugal ini
mengatakan bahwa Angkor Wat adalah sebuah
bangunan yang menakjubkan, yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, dan bangunan ini tidak ada
duanya di dunia. Seorang penjelajah Prancis bernama
Henri Mouhot yang berjasa memopulerkan Angkor
Wat di dunia Barat lewat catatan perjalanannya pada
pertengahan abad ke-19. Mouhot sempat tidak
percaya bahwa orang Khmer mampu membuat
bangunan seperti Angkor Wat.
Angkor Wat pun memerlukan perbaikan di sana
sini, terutama memindahkan gundukan tanah dan
tanaman yang mengganggu yang memenuhi bangunan
itu. Pada abad ke-20, proses restorasi Angkor Wat
terganggu oleh perang sipil dan kemudian Khmer
Merah mengambil alih pemerintahan Kamboja pada
tahun 1970-an. Pada masa itu, kerusakan yang
dialami Angkor Wat relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan situs-situs lainnya di Angkor. Pada
bulan Januari 2003, sempat terjadi kericuhan yang
disebabkan oleh beredarnya rumor seorang aktris
Thailand mengklaim bahwa Angkor Wat adalah
kepunyaan Thailand.
52
| sept–nov 2007
D E N A H A N G KO R WAT
Arsitektur
Angkor Wat adalah sebuah contoh paling awal gaya
arsitektur Khmer—gaya Angkor Wat. Pada masa pembangunannya, para arsitek Angkor Wat sudah yakin untuk
menggunakan batu pasir (daripada batu bata) sebagai
materi utama bangunan. Desain Angkor Wat dipuji di
antara yang lain karena harmonisasinya, yang sering
dibandingkan dengan arsitektur bangunan Romawi dan
Yunani kuno. Menurut Maurice Glaizer, seorang konservator Angkor Wat di pertengahan abad 20, Angkor Wat
mencapai sebuah kesempurnaan klasik karena proses
pengerjaan yang mengagumkan dari penyusunan elemenelemennya dan ketepatan penataan proporsi bangunannya. Itu semua merupakan gabungan dari kekuatan,
kesatuan, dan corak budaya.
Secara arsitektural, karakteristik elemen dari bangunan
candi terdiri dari ogival (sebuah struktur kubah dengan
dua kerangka diagonal yang saling menyilang pada bagian
tengahnya), menara yang berbentuk seperti kuncup
bunga teratai, teras-teras sebagai tempat berjalan, terasteras dengan struktur menyilang yang menghubungkan
tanah berpagar, yang dapat ditemukan di sepanjang
kerangka utama kompleks. Sebagian besar area di sana
terbuat dari bongkahan batu pasir. Pada umumnya, elemen dekoratif dari candi adalah relif bergambar sosok
dewa-dewa. Patung-patung yang terdapat di sana sangat
dijaga, tampak lebih indah dibanding pada saat awal
perbaikan candi.
sept–nov 2007 |
53
Struktur
Angkor Wat adalah sebuah kombinasi unik dari candi
gunung—desain standar untuk candi kerajaan, stuktur
teras yang bertangga dan konsentris. Angkor Wat merepresentasikan Gunung Meru, tempat tinggal para dewa,
dengan menara-menara di tengah kompleks menyimbolkan lima puncak gunung, dan tembok-tembok serta parit
di sekelilingnya melambangkan pegunungan dan samudera.
Tidak seperti candi-candi yang lainnya di Angkor,
candi Angkor Wat menghadap ke arah barat, bukan ke
timur. Hal ini menguatkan pendapat bahwa Angkor Wat
dulunya dibangun oleh Suryawarman sebagai candi untuk
pemakaman beliau, selain adanya bukti gambar relif di
sana yang dibuat dengan urutan terbalik. Dalam kepercayaan Hindu, ritual pemakaman dilakukan dalam urutan
yang berkebalikan dengan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh kaum Brahmana.
KERANGKA MODEL
A N G KO R WAT
Tidak seperti candi-candi
yang lainnya di Angkor, candi
Angkor Wat menghadap ke
arah barat, bukan ke timur.
54
| sept–nov 2007
Pagar Luar
Angkor Wat dikelilingi oleh tembok yang tingginya 4,5 meter dan
parit besar yang lebarnya 190 meter. Jalan utama memasuki
kompleks candi adalah melalui sebuah jalan yang terbuat dari batu
yang melintasi parit. Jalan ini dibangun menggantikan jembatan
dari kayu yang merupakan jalan masuk pada masa awal berdirinya
Angkor Wat dulu. Tembok yang mengelilingi kompleks candi
menutupi area seluas 820 ribu meter persegi. Sebagian besar dari
area tersebut sekarang tertutupi oleh hutan.
Kumpulan candi terletak pada bagian pusat kompleks. Bangunan
candi berdiri pada struktur yang lebih tinggi dari tanah di
sekitarnya. Struktur ini terdiri dari tiga buah teras yang bertumpuk,
dan tepat di tengahnya berdiri menara pusat. Pada tepi tiap teras
mempunyai bangunan menyerupai piramida, dan pada dua teras
teratas terdapat menara-menara pada tiap sudutnya. Pada tiap
sudut teras terluar terdapat bangunan seperti paviliun yang di
bagian dinding-dindingnya memuat relif-relif bergambar cerita
mitologi Hindu.
Pada bagian barat dari teras terbawah yang berhubungan
dengan pagar dalam, terdapat struktur bangunan berbentuk seperti
salib, yang dikenal dengan nama Preah Poan (Ruang Seribu
Buddha). Pada dinding-dindingnya dapat ditemukan gambar-gambar
Buddha. Gambar-gambar ini dibuat oleh para peziarah selama
berabad-abad, namun sebagian telah dihapus sekarang. Dalam
bangunan ini juga ditemukan banyak naskah kuno yang berisi
catatan para peziarah, yang kebanyakan ditulis dalam bahasa
Khmer, dan ada juga yang ditulis dalam bahasa Myanmar dan
Jepang. Di sebelah selatan dan utara bangunan ini terdapat
perpustakaan.
Menara pusat Angkor Wat memiliki tinggi 43 meter di atas
permukaan tanah dan bagian yang terdapat di dalam tanah
panjangnya 65 meter. Menara ini awalnya merupakan tempat suci
yang memuat patung Dewa Wisnu, dengan keempat sisinya yang
terbuka. Namun keempat sisi ini kemudian ditutupi oleh tembok
ketika Angkor Wat diubah menjadi candi Buddhis. Sekarang pada
dinding-dinding tersebut terdapat relif Buddha dalam posisi berdiri.
Pada tahun 1934, seorang konservator yang bernama George
Trouvé menggali terowongan di bawah menara pusat, mengisinya
dengan pasir dan air, dan tanpa sengaja menemukan lembaran
emas di sana, dua meter di atas bagian dasar tanah.
sept–nov 2007 |
55
Angkor Wat Sekarang
Sejak 1990, Angkor Wat telah mengalami kemajuan yang sangat
pesat dalam hal usaha konservasi dan peningkatan kuantitas turis.
Pada tahun 1992 berdiri Angkor World Heritage Site, sebuah
organisasi yang mengumpulkan dana untuk mendukung pemerintah
Kamboja melindungi Angkor Wat. Ada juga GACP (German Apsara
Conservation Project) yang bekerja melindungi relif-relif yang
menghiasi dinding-dinding candi, dari kerusakan. Organisasi ini
menemukan bahwa sekitar 20% dari relif di Angkor Wat dalam
keadaan rusak yang sangat parah, kebanyakan disebabkan oleh
erosi alam, namun sebagian juga terjadi pada saat proses restorasi
awal. Beberapa usaha juga dilakukan untuk memperbaiki bagianbagian yang runtuh dan mencegah keruntuhan di kemudian hari,
misalnya pada bagian depan dari tingkat atas candi telah dibangunkan penopang di bawahnya sejak 2002. Beberapa tenaga ahli dari
Jepang menyelesaikan restorasi pada perpustakaan utara di luar
pagar utama pada 2005.
Angkor Wat telah menjelma menjadi tujuan utama dari
wisatawan dari seluruh dunia, meski promosi mengenai bangunan
ini sangat minim, namun pada 2004, Kamboja mengklaim bahwa
Angkor Wat telah menerima kunjungan lebih dari satu juta
wisatawan internasional. Turisme juga ikut andil menyumbang dana
bagi pemeliharaan Angkor Wat—sekitar 28% dari penjualan tiket
masuk dialokasikan untuk dana konservasi candi—meski sebagian
besar dana masih disokong oleh pihak asing. Hmm, Candi
Borobudur pun seharusnya bisa seperti Angkor Wat, jika saja kita
semua mau peduli...
sumber
1. –http://en.wikipedia.org/wiki/Angkor_Wat
2. –http://www.sacredsites.com/asia/cambodia/angkor_wat
56
| sept–nov 2007
dawai 48
Liputan
sejuta pelita
sejuta harapan
untuk ketiga kalinya dalam kurun waktu tiga tahun,
event Sejuta Pelita Sejuta Harapan (SPSH) kembali digelar
oleh umat Buddhayana Indonesia. Kegiatan berskala nasional
ini dihelat sebagai bentuk usaha memperkenalkan budaya
Buddhisme, sekaligus dalam rangka memperingati hari suci
Asadha 2551 BE. Namun tujuan utama SPSH adalah memanjatkan doa bersama bagi keselamatan dan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. Suatu bentuk kesadaran yang wajar
mengingat kondisi negara ini yang masih belum stabil di
tengah bertubi-tubinya bencana yang terjadi tahun ini. Satu
hal yang istimewa, SPSH digelar di Tugu Pahlawan Surabaya,
sebuah tempat yang memiliki nilai historis tinggi dan telah
menjadi kebanggaan bagi warga Surabaya. Pemilihan tempat
ini tentu saja menambah semarak SPSH.
Sesuai dengan nama kegiatan ini, SPSH merupakan sebuah
semi-festival yang menggunakan pelita sebagai pertunjukan
utamanya. Pelita adalah simbol penerangan yang memberi
jalan bagi kebaikan dan kedamaian. Pelita yang dipakai berupa
sumbu berbahan bakar minyak tanah yang ditempatkan dalam
sept–nov 2007 |
57
botol kaca. Karena keterbatasan area di Tugu Pahlawan,
maka pelita yang disediakan hanya berjumlah sekitar
20.000 buah. Sekadar info, pada penyelenggaraan SPSH
yang pertama di Candi Borobudur, pelita yang digunakan
konon mencapai satu juta buah. Untuk menyiapkan
pelita sebanyak ini, tentu saja diperlukan tenaga sukarelawan dalam jumlah yang besar. Pihak panitia kemudian mengajak para pemuda pemudi Buddhis yang sebagian besar adalah mahasiswa, untuk menjadi sukarelawan. Kebanyakan dari para sukarelawan mengaku bahwa
mereka sangat senang dapat menjadi bagian dari SPSH,
apalagi event ini berskala nasional dan mem-punyai misi
memromosikan Buddhisme.
Puncak acara SPSH berlangsung sekitar pukul 8
malam. Satu persatu pelita mulai dinyalakan oleh para
sukarelawan. Sebagian pelita ditempatkan di sela-sela
tempat duduk para undangan, sebagian lagi dideretkan di
pinggir area acara, dan yang paling banyak adalah pelita
yang ada di dekat panggung utama. Pelita-pelita itu
tampak indah karena ditata sedemikian rupa membentuk
tulisan-tulisan dan simbol-simbol. Setelah seluruh pelita
menyala, para pemuka agama dari lima agama bergantian
memanjatkan doa dengan cara mereka masing-masing,
yang kesemuanya ditujukan bagi keselamatan bangsa.
Suasana pada saat itu terasa tenang dan damai. Para
undangan pun ikut larut dalam kesungguhan dan kekhidmatan doa. Ritual pradaksina menjadi penutup rangkaian
acara SPSH. Ritual ini mengajak seluruh umat berjalan
mengelilingi rupang (patung) Sang Buddha yang ada di
panggung sebanyak tiga kali, sembari merenung-kan
kebajikan dan keluhuran Beliau.
SPSH tampak menjadi ajang reuni bagi para tokoh
Buddhis Surabaya dan nasional, serta para pemuda pemudi Buddhis dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya. Di SPSH, masyarakat Buddhis seolah-olah ingin
menunjukkan bahwa mereka juga bisa rukun, kompak,
dan bersatu padu. Sebuah kenyataan yang menyejukkan
dan semoga ini hanyalah awal dari masa depan cerah
kiprah Buddhisme di tanah air. Sampai jumpa lagi dalam
event akbar berikutnya. (~)
58
| sept–nov 2007
dawai 48
Pandegiling News
sebulan
dalam
dhamma
2007
sebulan dalam dhamma (sdd) adalah kegiatan tahunan yang diadakan oleh Vihara Dhammadipa Surabaya
untuk menyambut Trisuci Waisak. Kegiatan seperti ini
juga dilakukan oleh wihara-wihara lainnya di seluruh
Indonesia, dan biasanya setiap wihara mempunyai cara
tersendiri dalam mengemas kegiatan semacam ini. Vihara
Dhammadipa meneruskan tradisi SDD sejak tahun 2002
dengan mengadakan Sebulan Dalam Dhamma ke-6 tahun
2007 selama sebulan penuh dari tanggal 1 Mei hingga
31 Mei yang lalu. SDD kali ini diisi oleh para pembicara
yang sebagian besar terdiri dari anggota Sangha seperti
YM Abhayanando, YM Sucirano, YM Sukhito, YM
Candakaro, YM Sujano, YM Dhammiko, dan masih
banyak lagi. Selain itu, ada juga beberapa pandita dan
upacarika yang turut berpartisipasi dalam SDD keenam
ini.
Mengacu pada tema Waisak yang lalu, yaitu
'Kehadiran Buddha Sebagai Sumber Ketegaran dan
Kepedulian', secara garis besar topik setiap Dhammadesana mengajak kita semua untuk terus mengembangkan kesadaran dalam hidup sehari-hari demi meningkatkan kepekaan kita terhadap fenomena sosial di sekeliling
kita. SDD diadakan setiap malam, kecuali hari Minggu
diadakan pada pagi hari. Selain membacakan paritta dan
mendengarkan Dhammadesana, para umat juga diberi
kesempatan untuk melakukan latihan delapan sila
(Atthasîla) selama sebulan penuh. (~)
sept–nov 2007 |
59
dawai 48
Kisah
Blackie
Sang Nenek
pada suatu waktu di zaman dahulu kala, ketika raja
Brahmadatta berkuasa di Benares, hiduplah seorang wanita
tua yang mempunyai seekor anak sapi dengan tubuh berwarna gelap. Sesungguhnya, warna anak sapi itu adalah hitam
dengan sebuah bintik besar putih. Anak sapi itu ternyata
adalah seorang Bodhisattâ–calon Buddha.
Si wanita tua tersebut merawat dan membesarkan anak
sapi itu sama seperti beliau merawat anak kandungnya sendiri. Beliau memberinya makanan nasi dan bubur dari bahanbahan terbaik. Beliau sering mengelus kepada dan leher si
anak sapi, dan kemudian anak sapi itu menjilati tangan beliau. Mereka berdua menjadi kian akrab, dan orang-orang
mulai memanggil si anak sapi dengan nama "Blackie Sang
Nenek".
60
| sept–nov 2007
Bahkan setelah si anak sapi tumbuh menjadi seekor banteng
besar yang kuat, Blackie masih bersikap sangat jinak dan kalem.
Anak-anak di desa sangat senang bermain bersama Blackie.
Mereka kerapkali bergelantungan di leher, telinga, dan tanduk
Blackie. Mereka juga bahkan suka memegang ekornya dan menaiki punggungnya dan kemudian menunggangi Blackie. Blackie
sangat menyukai anak-anak sehingga dia tidak pernah protes
ataupun mengeluh.
Sapi yang ramah ini berpikir, "Nenek yang baik, yang telah
membesarkanku, sudah seperti ibuku sendiri. Beliau merawatku
seperti anaknya sendiri. Beliau hidup miskin dan kesusahan, tapi
terlalu sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Beliau tidak
tega menyuruhku bekerja. Karena aku juga menyayangi beliau,
aku berharap bisa meringankan beban beliau dari kemiskinan."
Maka kemudian, Blackie mulai mencari pekerjaan.
Suatu hari, sebuah rombongan yang terdiri dari 500 kereta
gerobak datang ke desa. Rombongan itu terhenti di sebuah tepi
sungai. Mereka tampaknya sangat kesulitan menyeberangi sungai
itu. Banteng-banteng yang menariki gerobak tidak mampu menarik gerobak melewati sungai. Pemimpin rombongan kemudian
memindahkan ke-500 ekor pasang banteng ke satu gerobak untuk
ditarik. Namun karena medan sungai tersebut sangat berat,
bahkan 500 ekor pasang sapi pun tidak mampu menari satu
gerobak.
Dihadapi oleh masalah ini, si pemimpin mulai berusaha
mencari banteng-banteng lain. Si pemimpin kebetulan terkenal
pandai memilih banteng berkualitas. Pada saat memeriksa kawanan gembala di sekitar desa, dia menemukan Blackie. Saat itu juga
dia berpikir, "Banteng yang bersahaja ini kelihatannya punya
kekuatan dan potensi untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi
sungai."
Kemudian si pemimpin berbicara kepada penduduk yang ada
di dekat sana, "Siapa yang memiliki banteng hitam ini? Saya
ingin memakainya untuk menarik gerobak-gerobakku melintasi
sungai, dan saya akan membayar pemiliknya untuk jasa banteng
itu." Penduduk di sana berkata,"Baiklah, silakan bawa banteng
itu. Pemiliknya sedang tidak ada di tempat."
sept–nov 2007 |
61
Maka dari itu, si pemimpin mengikatkan sebuah tali ke hidung
Blackie. Namun ketika ia menariknya, ia tidak dapat menggerakkan Blackie! Blackie berpikir, "Hanya jika orang ini mengatakan
apa yang akan ia bayar untuk kerjaku, baru aku akan bergerak."
Karena sudah terbiasa dengan perangai banteng, si pemimpin
dengan cepat dapat mengerti kenapa Blackie tidak mau ditarik.
Maka kemudian dia berkata, "Banteng yang baik, setelah kamu
menarik 500 gerobakku menyeberangi sungai, saya akan membayarmu dua koin emas untuk setiap gerobak–tidak hanya satu, tapi
dua koin!" Mendengar itu, Blackie segera berjalan ke arah sungai
bersama si pemimpin.
Kemudian si pemimpin mengikatkan Blackie ke gerobak
pertama. Ia mulai mengatur penyeberangan gerobak-gerobak-nya,
yang tidak mampu dilakukan seribu banteng sebelumnya. Apa
yang terjadi kemudian, Blackie mampu menarik semua gerobak
menyeberangi sungai satu persatu, tanpa jeda, dan tanpa perlambatan sedikit pun!
Pada saat semua gerobak sudah menyeberang, si pemimpin
menyiapkan bayaran hanya satu koin emas untuk satu gerobak,
total 500 koin emas. Kemudian ia menggantungkan kantung yang
berisi koin-koin emas ke leher Blackie. Blackie langsung berpikir,
"Laki-laki ini menjanjikan dua koin emas per gerobak, tapi ia
hanya memberiku separuhnya saja. Aku tidak akan membiarkannya pergi." Kemudian Blackie pergi ke depan kumpulan gerobak,
dan menutupi jalan mereka.
Si pemimpin mencoba mendorong Blackie untuk minggir,
namun Blackie tidak bergerak. Ia mencoba mengambil jalan ke
samping. Namun banteng-banteng yang lain sudah melihat betapa
kuatnya si Blackie, jadi mereka juga tidak mau bergerak.
Si pemimpin berpikir, "Tidak diragukan lagi, banteng ini sangat
cerdas. Ia bisa tahu kalau aku hanya membayarnya separuh dari
janjiku." Maka si pemimpin menyiapkan kantung baru berisi seribu koin emas penuh, dan menggantungkannya ke leher Blackie.
62
| sept–nov 2007
Setelah meninggalkan rombongan gerobak dan menyeberangi
sungai kembali, Blackie pergi menemui si Nenek, 'ibunya'.
Sepanjang perjalanan pulang, anak-anak di desa mencoba
menjamah kantung koin di leher Blackie, namun Blackie dapat
lolos.
Ketika si Nenek melihat kantung besar di leher Blackie, beliau
terkejut. Anak-anak menceritakan tentang semua yang telah
terjadi di sungai. Kemudian beliau membuka kantung itu dan
menemukan seribu koin emas di dalamnya.
Si Nenek melihat wajah kelelahan 'anaknya'. Beliau berkata,
"Oh anakku, apakah kau berpikir saya berharap hidup dari emas
yang kau terima? Mengapa kau berharap untuk bekerja begitu
keras dan menderita karenanya? Tidak peduli sesulit apa pun
nanti keadaanku, saya akan selalu memperhatikan dan menjagamu."
Kemudian wanita tua yang baik itu memandikan banteng
kesayangannya dan memijat punggungnya dengan minyak. Beliau
memberinya makanan yang baik dan menjaganya, sampai akhir
hidup mereka yang bahagia. (~)
sumber
Grandma's Blackie
Buddhist Tales for Young and Old
–http://www.buddhanet.net
sept–nov 2007 |
63
dawai 48
Resensi Buku
1
petavatthu
2
Cerita-cerita Makhluk Peta
3
adalah hal yang sangat baik untuk dapat memiliki cinta
kasih dalam diri; kualitas terbaik yang bisa kita bagikan tidak
hanya kepada manusia saja, tapi juga kepada makhluk-makhluk
lainnya yang tak tampak yang berada di seluruh semesta,
terutama kepada para makhluk yang terlahir di alam Peta.
Membaca buku Petavatthu ini, yang juga merupakan salah
satu bagian dari Kitab Suci Agama Buddha, yaitu Khudakka
Nikaya (Sutta Pitaka, Tipitaka), kita dapat mengetahui dan
merenungkan mengapa ada yang terlahir sebagai makhluk Peta;
perbuatan seperti apa yang membawa mereka ke alam itu, dan
bagaimana pula kita dapat membantu mereka agar terlahir di
alam yang lebih bahagia—bagaimana memanfaatkan pengetahuan Dhamma untuk dapat mengasihi mereka. Dengan memancarkan cinta kasih seperti yang telah Guru Agung kita ajarkan,
sesungguhnya sangat besar artinya bagi para makhluk Peta
tersebut, karena mereka dapat menikmati jasa-jasa kebajikan
yang ditujukan bagi mereka; penderitaan hebat yang mereka
alami sedikit demi sedikit dapat berubah menjadi kebahagiaan
karena menikmati jasa kebajikan tersebut.
Buku yang terbagi menjadi 3 seri dengan judul asli Peta
Stories ini: Petavatthu I-III, adalah buku yang layak kita miliki
dan kita baca hingga tuntas, agar kewaspadaan kita meningkat
terhadap apa yang kita perbuat melalui badan jasmani dan
pikiran dalam kehidupan saat ini sehingga tidak terlahir di
alam-alam tingkat rendah. (~)
64
| sept–nov 2007
dawai 48
Resensi Buku
sebatang pohon
di tengah hutan
"Orang-orang
sering bertanya
tentang latihan
saya. Bagaimana saya mempersiapkan pikiran saya untuk bermeditasi?
Tidak ada sesuatu yang
khusus, saya hanya mempertahankannya pada tempat
yang selayaknya. Mereka
bertanya, 'Kalau demikian,
apakah Anda seorang Arahat?' Apakah saya mengetahui? Saya bagaikan sebatang
pohon di tengah hutan, yang
penuh dengan daun, bunga,
dan buah. Burung-burung
beterbangan datang dan bersarang, dan hewan-hewan
berlindung di antara kerimbunannya. Walaupun demikian, pohon itu sendiri tidak
mengetahuinya. Pohon tersebut hanya mengikuti jalur
alaminya. Pohon itu bertindak sebagai pohon, apa adanya."
Kemahiran Ajahn Chah dalam menyampaikan
Dhamma Sang Buddha tidak perlu diragukan
lagi. Ajahn Chah memiliki kemampuan yang
terdengar aneh untuk menangkap Dhamma
tanpa kata dan mengalihkannya kepada umatnya
dalam perumpamaan yang segar, mudah diikuti,
terkadang lucu, kadang puitis, tetapi selalu
mendapat tempat di hati, tempatnya bergema
atau
memberikan
inspirasi
yang
paling
mendalam. Bagi beliau, ajaran-ajaran Sang
Buddha (Dhamma) adalah tanpa bentuk, dan
cara terbaik untuk memahaminya adalah melalui
perumpamaan-perumpamaan.
Ven. Ajahn Chah (Tan Chao Khun Bohinyana
Mahâthera) adalah seorang guru meditasi yang
sangat terkenal di Thailand. Beliau telah
meninggal dunia pada tanggal 16 Januari 1992
dalam usia 73 tahun. Apa yang beliau sampaikan,
kebenaran yang merupakan hasil meditasi, telah
memberikan kegembiraan bagi banyak orang yang
mau dan dapat menghayatinya.
Buku ini merupakan salah satu dari sekian
banyaknya koleksi buku yang ditulis oleh Ajahn
Chah, yang telah dicetak berulang kali dan
dihadirkan ke hadapan kita untuk membuka
penglihatan kita akan Dhamma. (~)
sept–nov 2007 |
65
dawai 48
Rekomendasi
dasar pandangan agama buddha
Kamma
Kembali kami hadirkan
Dasar Pandangan Agama
Buddha sebagai buku
rekomendasi kali ini. Hal
ini karena tak sedikit dari
kita yang masih belum
mengenal ajaran Guru
Agung yang dijunjungnya
secara lebih mendalam.
Buku ini menawarkan sisi
intelektual, etika,
kejiwaan, dan realisasi
ajaran Buddha dalam
bahasa yang mudah
dimengerti, namun
mengandung arti yang
dalam dan relevan hingga
saat ini.
Untuk memperolehnya,
Anda dapat menghubungi
Bursa Dhammadipa,
seharga Rp 30.000.
Untuk pembelian seharga
Rp 100.000, Anda
berkesempatan memiliki
4 (empat) buku.
66
| sept–nov 2007
"Bila seseorang berkata,
bahwa hanya apa yang diperbuat
itulah yang diperolehnya, maka
bila hal itu benar, maka
menuntut kehidupan suci
tidaklah berarti sebab tak ada
kesempatan untuk mengatasi
penderitaan. Tapi bila seorang
berkata, bahwa bila seorang
berbuat demi apa yang akan
diperolehnya, lalu itulah yang
diperolehnya, maka menuntut
kehidupan suci adalah berarti,
sebab ada kesempatan untuk
menghancurkan penderitaan."
Jadi, hukum kamma adalah
sesuatu yang menyangkut
kecenderungan, bukan suatu
konsekuensi yang tak dapat
diubah serta tak dapat dielakkan.
bergairah (adhitana), senantiasa
bertekad (tibbacchanda), dan
mempunyai cita-cita yang kuat
untuk mencapai Nibbana
(chandajato anakkate).
Jalan Mulia Beruas Delapan
Sang Buddha mengajarkan
menghindari 2 jalan ekstrim, jalan
“pemuasan-diri” dan jalan
“pemusnahan-diri”. Seorang
buddhis hendaknya melaksanakan
Jalan dengan moderat
(mattaññuta), luwes (mudu) dan
disertai kemauan untuk
mempertimbangkan sudut
pandang yang lain. Dalam setiap
aspek kehidupan dan
pelaksanaannya, seorang buddhis
hendaknya menjadi seorang yang
mengambil jalan tengah yang
bahagia.
Kelahiran Kembali
Henry Ford:
"...Sewaktu saya menemukan
paham reinkarnasi, rasanya
seakan saya menemukan suatu
rencana alam-semesta. Saya sadar
bahwa selalu ada kesempatan
untuk melaksanakan ide-ide
saya... Dengan mengetahui
adanya reinkarnasi, membawa
ketenangan batiniah bagi saya..."
Jalan Berunsur Delapan menuntun ke
Nibbâna
Empat Kebenaran Mulia
Inti dari seluruh ajaran Sang
Buddha adalah Empat Kebenaran
Mulia. Penderitaan bukan suatu
paham; itu adalah kenyataan. Ia
juga bukan sesuatu yang diterima
keberadaannya hanya karena
terdapat dalam kitab suci, tapi
sesuatu yang kita ketahui lewat
pengalaman sendiri.
Sang Buddha mengajarkan
perbedaan antara keinginan yang
tumbuh dari ketidaktahuan dan
keinginan yang timbul atas dasar
pengertian. Beliau sering berkata,
bahwa kita seharusnya senantiasa
Mereka yang menjalani Jalan hendaknya
menghindari hal yang ekstrem
Dana dapat dikirimkan via rekening:
BCA Margorejo Surabaya
A/n Yulianti
acc. no. 5600-120-818
Bukti transfer dapat dikirim via fax.
ke no. 031.532 0587
dawai 48
Film Bagus
driving miss daisy
mrs. ("miss) daisy werthan adalah seorang
janda berusia 72 tahun yang tinggal bersama
pembantunya yang setia bernama Idella yang
setiap hari menyiapkan makanan dan melayani
Miss Daisy. Pada suatu hari Miss Daisy
mengalami kecelakaan kecil saat ingin berpergian dengan mengendarai mobil. Miss
Daisy memang sudah terbiasa pergi mengendarai mobil sendiri. Setelah kecelakaan itu,
anaknya, Boolie meminta Miss Daisy untuk
mempekerjakan seorang supir. Namun dasar
keras kepala, Miss Daisy menolak mentahmentah keinginan anaknya itu.
Secara kebetulan, di pabrik milik Boolie
ada seorang pria paruh baya yang ramah
bernama Hoke yang telah berpengalaman
menjadi supir selama puluhan tahun. Boolie
pun langsung setuju mempekerjakan Hoke,
dengan perjanjian bahwa Miss Daisy tidak
berwenang untuk memecat Hoke karena
Boolie-lah yang membayar Hoke.
Pada awalnya Miss Daisy menolak untuk
diantar Hoke. Dia lebih memilih berjalan kaki
ke supermarket untuk berbelanja. Namun
karena Hoke terus mengikuti Miss Daisy di
sepanjang jalan, akhirnya Miss Daisy masuk
ke dalam mobil. Miss Daisy sebenarnya tidak
mau orang-orang berpikiran bahwa ia adalah
orang kaya yang mampu membayar seorang
supir untuk bepergian.
Pada suatu hari, Miss Daisy mendapati
ikan kaleng di dapurnya lenyap. Ia pun
langsung mengatakan kepada anaknya bahwa
Hoke telah mencuri. Ketika Hoke muncul,
sebelum Miss Daisy sempat berkata-kata,
Hoke mengatakan bahwa ia mengambil ikan
kaleng di dapur karena makanan yang
diberikan oleh Miss Daisy sudah rusak.
sept–nov 2007 |
67
Driving Miss Daisy
(1989)
starring
written by
directed by
running time
68
Morgan Freeman
Jessica Tandy
Dan Aykroyd
Esther Rolle
Alfred Uhry
Bruce Beresford
99 min.
| sept–nov 2007
Kemudian Hoke berkata bahwa ia pergi ke
supermarket untuk membeli ikan kaleng untuk
mengganti ikan kaleng yang telah ia makan, dengan
uangnya sendiri. Miss Daisy sangat terkejut dan
tidak dapat berkata apa-apa.
Miss Daisy mulai menerima Hoke karena mau
tidak mau ia memerlukan seorang supir untuk
mengantarnya bepergian, mengingat Miss Daisy tidak
diizinkan mengendarai mobil oleh anaknya. Seiring
waktu, Miss Daisy semakin mengenal Hoke dan
karena keramahan Hoke, ia mulai menaruh simpati
pada Hoke. Miss Daisy mengetahui bahwa Hoke
tidak bisa membaca, maka ia mengajari Hoke
membaca. Ketika saatnya tiba untuk membeli mobil
baru, Hoke membeli mobil Miss Daisy yang lama
untuk dijadikan mobil pribadinya.
Suatu hari, Miss Daisy meminta Hoke untuk
mengantarnya ke pesta ulang tahun saudaranya di
luar kota. Dalam perjalanan, Hoke mengaku bahwa
itu pertama kalinya ia bepergian ke luar kota.
Selama perjalanan itu juga, Miss Daisy menyadari
adanya perbedaan perlakuan orang-orang terhadapnya, karena ia bersama Hoke. Miss Daisy melihat
sendiri bagaimana orang-orang melakukan diskriminasi terhadap Hoke karena Hoke adalah orang kulit
hitam. Miss Daisy juga sangat terkesan oleh berbagai
macam kemampuan yang dipunyai Hoke. Pada saat
terjadi badai, Hoke dengan sigap membantu dan
menjaga Miss Daisy.
Ada sebuah pelajaran yang dapat kita petik dari
film ini, bahwa bagaimana pun perlakuan orangorang terhadap kita, selama kita tetap memberikan
kebaikan dan ketulusan, suatu saat nanti mereka
pasti akan tersentuh dan membalas apa yang telah
kita berikan. Pada akhir film, setelah beberapa tahun
kemudian, Miss Daisy dan Hoke tetap menjalin
persahabatan, dan Hoke masih tetap setia menjaga
Miss Daisy. (~)
dawai 48
Do You Know
mengapa kita harus
memaafkan?
Ketika kita disakiti, menderita,
dihina dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan lainnya dari orang lain, kita akan
merasa sedih, marah, sakit hati, dan segala macam perasaan
yang tidak menyenangkan dalam diri kita. Dan tentunya hal
ini tidak begitu mudah dilupakan bukan?
dalam mengalami kondisi seperti ini nasehat bijaksana yang dianjurkan
kepada kita adalah memaafkan perbuatan orang tersebut. Tetapi rasanya
sangat sulit sekali melakukannya bukan? Rasanya tidak rela bila melihat sang
pelaku bisa melenggang dari kesalahan tanpa dibalas. Ah… berat rasanya
dada ini bila mengingat kembali kejadian tidak menyenangkan tersebut. Meskipun kita dalam ucapan mengatakan maaf tetapi terkadang rasa dendam
masih membekas dalam pikiran kita, susah untuk dihapuskan, sudah menjadi
noda yang melekat dalam ingatan kita.
Tahukah Anda mengapa kita harus memaafkan semua perbuatan tidak
menyenangkan yang kita alami? Sebenarnya memaafkan adalah untuk kebaikan kita sendiri, untuk kebahagiaan kita sendiri kawan.
Cobalah kita melihat secara lebih obyektif apa yang terjadi saat seseorang
membuat kita merasa tidak senang dan merasa disakiti? Segala macam
kondisi yang tidak menyenangkan akan membuat diri kita menderita bukan?
Ini adalah fakta bahwa kejadian tersebut membuat kita menderita. Bila saat
itu kita menderita mungkin masih bisa diterima akal sehat, karena kita masih
sept–nov 2007 |
69
sedang mengalaminya. Tetapi apa
yang terjadi selanjutnya? Dalam kurun waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun kemudian ketika kita
teringat kembali akan kejadian tersebut atau melihat orang yang melakukan hal tersebut maka muncul penderitaan yang sama dengan kejadian
saat lampau itu. Marilah kita lihat
secara obyektif. Pada saat kita bertemu dengan orang yang menyakiti kita
dan saat ingatan tentang kejadian
tersebut muncul dalam pikiran kita,
maka rasa sakit dan semua penderitaan akan muncul kembali dalam diri
kita. Melihat kejadian ini kita hendaknya menyadari dan melihat secara
obyektif kejanggalan yang terjadi.
Bukankah realita saat itu kita tidak
sedang disakiti oleh orang tersebut?
Tetapi kenapa kita bisa merasakan
penderitaan yang seharusnya tidak
terjadi saat itu? Ini adalah sebuah
fakta bahwa pikiran kita mampu
menghadirkan ilusi dari ingatan dan
persepsi masa lampau menjadi sekanakan nyata dan masih berlangsung,
padahal kejadian itu sudah berlalu.
Dengan ini bisa kita simpulkan bahwa yang menyakiti diri kita saat ini
adalah pikiran kita sendiri yang penuh dengan dendam dan kebencian,
bukan?
Bila kita sudah menyadari hal ini,
lalu mengapa kita masih harus menyimpan dendam dan kebencian tersebut dalam diri kita sendiri secara
terus menerus? Memaafkan adalah
cara di mana kita bisa melepaskan
cengkeraman pikiran yang penuh
kebencian dan dendam tersebut. Merelakannya untuk lepas dan dibuang
dari pikiran kita. Bila kita meman70
| sept–nov 2007
dang memaafkan sebagai cara
merelakan hal negatif yang membuat kita menderita, maka tentunya akan lebih mudah dibandingkan kita berpikir bahwa memaafkan adalah memberi kesempatan
orang yang berbuat untuk terhindar dari pembalasan. Dengan pendekatan pola pikir yang kedua,
pasti kita tidak rela bukan? Inilah
mengapa terkadang kita sangat
sulit memaafkan kesalahan orang
lain. Karena kita memiliki pandangan salah terhadap kata “memaafkan”. Bila kita menyayangi diri
kita maka kita tidak akan membiarkan hal sekecil apapun menyebabkan diri ini menjadi menderita.
Jadi dengan memaafkan sebenarnya kita membersihkan pikiran kita dari cengkeraman kebencian
(dosa) yang membuat diri ini
menderita.
Dengan melihat realita secara
obyektif maka kita akan melihat
kehidupan ini secara apa adanya.
Bila kita bisa melihat semuanya
secara apa adanya maka tidak
akan ada rasa puas dan tidak puas
tetapi yang ada hanyalah pemahaman dalam kebijaksanaan. Marilah kita mulai melatih diri untuk
hidup trampil dalam menghadirkan kebahagiaan di dalam kehidupan ini. Semoga berbahagia. (~)
dawai 48
Do You Know
transfer factor
Apakah Anda tahu, kenapa dalam
satu keluarga yang pola hidup, pola
makan dan lingkungannya sama,
namun bisa ada yang mudah sakit
sementara yang lain tidak? Ada
yang mudah kena penyakit seperti
flu atau demam dan cepat sembuh,
tapi ada pula yang lama sembuhnya. Apakah penyebabnya ?
kesehatan kita dipengaruhi langsung oleh sistem
imun. Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit yang terdiri lebih dari triliyunan sel-sel NK
(1Natural Killer), yang jumlah berat totalnya kira-kira 1 kg
(2,2 pons). Ada tiga fungsi penting di sistem imun:
Pertama, kemampuannya untuk mengenali benda-benda
asing seperti bakteri, virus, parasit, dll. Kedua, bisa bertindak secara khusus untuk menghadapi serangan masingmasing benda asing itu; dan Ketiga, sistem imun mengingat penyerang-penyerang asing itu dan dengan cepat
menolak serangan ulang di masa depan. Sistem imun yang
seimbang dan sehat adalah penting untuk kemampuan
tubuh dalam melawan penyakit.
1 Sel NK (Natural Killer) adalah sel imun yang bertanggung jawab mencari dan memusnahkan sel-sel “jahat” asing yang
tidak dikenali oleh tubuh, termasuk sel kanker dan sel yang terinfeksi serangan virus, bakteri, dll. Jika seseorang memiliki
aktivitas sel NK kurang dari 20% maka akan beresiko mudah terserang penyakit atau kurang kekebalan tubuh dalam
upaya sembuh dari penyakit. Dari penelitian, TF yang diekstrak dari kolostrum mampu meningkatkan aktivitas sel NK
sebanyak 103%. Dan campuran TF dengan bahan-bahan alami lain yang berada pada 6 tingkat pertama daftar bahan awal
induk mampu meningkatkan sel-sel NK menjadi 283%–437%. Perlu diingat, TF sendiri bukan obat, namun TF akan
melatih/mendidik dan merangsang sistem kekebalan tubuh seseorang untuk melawan dan mengatasi penyakit tersebut.
sept–nov 2007 |
71
Saat ini, begitu banyak faktor yang
bisa memperlemah daya tahan tubuh
(sistem imun). Antibiotik sudah tidak
berfungsi karena sudah banyak kuman yang kebal terhadapnya. Belum
lagi masalah polusi udara dan air, gizi
buruk dan campuran-campuran bahan kimia dalam makanan, juga karena stress dan faktor usia, yang akan
semakin memperburuk daya tahan
tubuh (sistem imun) terhadap penyakit.
Untungnya, penelitian terkini telah
membuka tabir sesuatu yang alami
yang bisa meningkatkan kemampuan
melawan penyakit dan meningkatkan
kualitas hidup seseorang. Transfer
Factor adalah nama yang diberikan
untuk sesuatu yang baru itu. Itu
ditemukan di dalam 2kolostrum (susu
awal induk) dan sumber-sumber lainnya dan itu cara yang alami untuk
memperkuat sistem imun kita dalam
melawan penyakit.
Apa itu
Transfer Factor ?
Transfer Factor adalah penemuan ilmiah yang menggembirakan pada
dekade ini. Transfer Factor adalah
molekul-molekul kecil pembawa pesan imun yang diproduksi organisme
tingkat tinggi. Peranan mereka adalah untuk mengirim tanda pengenal
imun antara sel-sel NK (Natural Killer) dan kemudian mendidik sel-sel
NK yang masih lugu untuk menge-
nali bahaya dari musuh-musuhnya
(kuman-kuman).
Di lingkungan yang 'keras' dan
'bermusuhan' seorang bayi yang
ma-sih lemah dan sendirian,
diserang
mikroorganisme
penganggu dengan cepat dan
menghancurkan
kehidu-pannya.
Alam telah menyediakan sistem
imun lugu yang bisa belajar
dengan cepat. Saat melahirkan bayi, ibunya telah menyiapkan imunisasi alami yang canggih untuk
bayinya yang ada dalam susu awal
yang diproduksinya. Transfer Factor
adalah kunci utama pada proses
ini. Molekul-molekul TF yang sangat kecil ini mengandung inti
dari pembawa pesan imun.
Transfer Factor tidak menimbulkan alergi dan tidak hanya
untuk spesies tertentu. Maksudnya, TF yang diproduksi dari susu
kolostrum sapi juga efektif untuk
manusia, juga untuk sapi-sapi/
makhluk-makhluk yang lainnya.
Kemampuan yang menggembirakan ini bisa menjadi titik awal
revolusi di dunia pengobatan dan
telah dikemukakan dalam pernyataan berikut ini:
"Transfer Factor punya peranan
penting dalam dunia pengobatan,
bisa membantu pengobatan mulai
dari AIDS sampai virus Ebola,
atau dari kuman-kuman baru
maupun lama seperti kuman
TBC."
2 Kolostrum merupakan susu dari induk/ibu yang diproduksi pada masa 1–3 hari setelah melahirkan, karena itu digunakan
istilah susu awal, karena diproduksi pada awal-awal setelah melahirkan.
72
| sept–nov 2007
Fungsi
Transfer Factor
Transfer Factor mempunyai tiga fungsi utama yaitu:
1. MENGHANTAR
INFORMASI
pada sel-sel imun kita untuk dapat
mengenali macam-macam virus,
bakteri, parasit serta sel-sel "rusak" seperti 3fibroid, tumor dan
sel kanker.
2. MERANGSANG sistem imun untuk menyerang musuh-musuh serta mengingat bentuknya agar tindakan dapat diambil dengan lebih
cepat pada serangan balik di masa
depan.
3. MENENANGKAN sistem imun
untuk kembali kepada status
"standby" (berjaga-jaga) apabila
musuh-musuh telah berhasil diatasi. Fungsi ketiga ini yang tidak
terdapat pada produk-produk untuk kekebalan tubuh lainnya.
Sejarah Penemuan
Transfer Factor
Pada tahun 1949, Dr. H. Sherwood
Lawrence, saat meneliti penyakit
TBC (Tuberculosis) telah menemukan
"molekul informasi" yang terkandung
dalam sel darah putih manusia (sistem imunnya). Beliau menemukan
bahwa molekul itu bisa dipindahkan
dari satu orang ke orang yang lain
(yang bisa memberikan kepada
pene-rimanya, 'kekebalan' dari
penyakit
TBC).
Beliau
menamakan molekul itu "Transfer
Factor" (TF). Pene-litian lebih
lanjut menemukan bahwa TF juga
terdapat di dalam kolostrum (susu
awal) sapi dan kuning telur ayam.
Mengapa kolostrum sapi? Itu
karena sapi bisa menghasilkan
susu yang banyak pada awal
menyusui. Wa-laupun TF ini
terbuat dari kolos-trum sapi, tapi
ia tidak mengan-dung susu sapi,
ia juga tidak mengandung 4kasein
dan imuno-globulin yang bisa
menimbulkan
alergi.
Jika
dibandingkan,
kalau
kita
mengonsumsi
45.000
mg
kolostrum sebanding dengan hanya
mengonsumsi 600 mg TF.
Selama 50 tahun setelah penemuan itu, banyak para ilmuwan
dan dokter yang melakukan penelitian tentang TF itu. Lebih dari
3.500 laporan ilmiah telah diterbitkan dengan pengeluaran lebih
dari US$ 40 juta untuk penelitian-penelitian itu. Pada tahun
1989, Dr. Gary Wilson dan Dr.
Greg Paddock telah berhasil menciptakan teknologi untuk memisahkan TF dari kolostrum susu
lembu. Melalui teknik pemisahan
ini, TF tulen dapat dikumpulkan,
dikeringkan dan dijadikan kapsul
3 Fibroid: jaringan sel tubuh yang mengalami kerusakan atau perubahan bentuk.
4 Kasein dan imunoglobulin: ini memang berguna juga untuk kekebalan tubuh, tapi fungsinya hanya spesifik untuk
species yang sama, dari sapi untuk sapi, dsb. Jika digunakan pada manusia bisa menimbulkan alergi, yang sering disebut
alergi susu.
sept–nov 2007 |
73
untuk kegunaan manusia. Pada tahun
2002, proses pengekstrakan TF dari
kolostrum sapi dan kuning telur ayam
telah dipatenkan oleh perusahaan
4Life Research dan produk-produknya
telah digunakan di 60 negara di
dunia.
Pada penderita kanker, TF mampu
meningkatkan fungsi sel-sel NK yang
berperan memerangi sel-sel kanker.
Dr. Darryl See, seorang peneliti dari
University of California dan pakar
kesehatan dunia dari WHO, mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap 20 pasien pengindap kanker stadium 3 dan 4, menunjukkan 16 pasien mengalami pemulihan dan dalam
kondisi stabil setelah menjalani terapi
TF ini.
Pembuktian keampuhan TF juga
dilakukan di Rusia lewat serangkaian
riset yang terkait dengan penyakit
infeksi HIV, hepatitis B, hepatitis C,
herpes, kanker lambung, 5clamidiosis
urogenital,osteomyelitis, opisthorchiasis,
psoriasis, dermatitis atopik dan busuk
usus besar, dengan hasil riset yang
sangat menggembirakan.
Untuk di Indonesia, sudah ada
cukup banyak juga dokter yang
menggunakan terapi TF ini. Beberapa
yang penulis ketahui sudah menggunakan produk-produk TF ini, antara lain di Semarang, Dr. Amanullah,
seorang ahli bedah, dan Prof. Dr. Edi
Darmana, MSc., Phd, seorang ahli
imunologi dan parasitologi dari Undip. Terapi TF ini pun bisa dilakukan
orang awam, karena produknya
benar-benar aman tan-pa efek
sampingan. Biasanya yang sering
timbul adalah apa yang disebut
healing
crisis
(proses
penyembuhan), karena tubuh sedang
menyesuaikan diri untuk kesembuhan dari penyakit yang diderita.
Dari penelitian sejauh ini tidak
ada efek negatif dari penggunaan
terapi TF. Demikian pula kendala
dalam perolehan bahan baku kolostrum juga tidak ada, karena
produknya diambil dari susu sapi
yang melimpah jumlahnya dan semuanya itu diproses di Amerika,
sehingga produk TF yang dihasilkan sudah dalam bentuk jadi,
yaitu berbentuk kapsul, tablet kunyah, atau serbuk/bubuk yang siap
dikonsumsi siapa saja mulai dari
bayi baru lahir sampai orang tua,
sepanjang orang itu tidak punya
masalah dengan cangkok organ tubuh. Khusus bagi orang yang telah
ada kasus cangkok organ tubuh
sangat dianjurkan untuk tidak mengonsumsinya, alasannya karena
organ tubuh yang dicangkokkan
itu tidak sama sel-selnya dengan
sel-sel tubuhnya. Jika dikonsumsi
maka akan dikira musuh dan akan
diserang oleh sel-sel NK-nya sendiri.
OLEH KUNTJORO SUHARLI
[email protected]
5 Clamidiosis urogenital, Osteomyelitis, Opisthorchiasis, Psoriasis, Dermatitis atopik: istilah-istilah ini merupakan nama-nama
penyakit dalam ilmu kedokteran, untuk penjelasan lebih lanjut ada baiknya jika melihat kamus kedokteran, karena tidak
mungkin dijelaskan secara ringkas.
74
| sept–nov 2007
dawai 48
Abhidhamma Course
Mulai edisi ini, Dawai akan
menyajikan ulasan mengenai
Abhidhamma, salah satu
bagian pokok dari Tipitaka
yang menjabarkan fenomena
bekerjanya pikiran secara
sangat detail dan mendalam.
Ulasan ini ditulis oleh Bapak
SASMITA, seorang upasaka
yang sekarang aktif
mempelajari dan mengajar
Abhidhamma di Vihara
Dhammadipa Surabaya
Anda yang mungkin ingin
belajar atau bertanya lebih
jauh mengenai Abhidhamma,
silakan hadir pada acara
diskusi Dhamma reguler, di
Vihara Dhammadipa Surabaya
setiap hari Jumat, pukul 7
malam.
Agama Buddha atau Buddha Dhamma
adalah suatu ajaran keagamaan yang perlu
dipelajari dengan seksama oleh para penganutnya, karena berbeda dengan ajaran-ajaran
agama yang lain, yang mengutamakan doktrin kepasrahan kepada yang maha mutlak.
Buddha Dhamma merupakan jalan yang
harus ditempuh oleh semua penganutnya,
agar bisa mencapai tujuan akhir dari perjalanan hidup ini yaitu Nibbâna.
Mengingat masih banyaknya pemeluk
Agama Buddha di Indonesia yang kurang
menguasai bahasa Inggris, maka masih
banyak ajaran-ajaran Sang Buddha yang belum bisa dipelajari. Walaupun demikian, kita
semua para penganut Buddha Dhamma di
Indonesia, bersyukur dan berterima kasih
kepada Romo Pandita PANJIKA dan para
tokoh Buddhis yang lain atas buku-buku
yang pernah ditulisnya, sebab sudah sangat
membantu, minimal agar kita bisa menjalani
kehidupan ini dengan lebih baik, sesuai
dengan Dhamma ajaran Sang Buddha.
Bila manusia berada di dalam Dhamma,
ia akan dapat melepaskan dirinya dari penderitaan akibat dari ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha),
serta akan mencapai Nibbâna yang merupakan akhir dari semua penderitaan. Nibbâna
hanya dapat dicapai dengan meningkatkan
pengembangan batin. Pengembangan batin
hanya dapat dicapai dengan jalan meningkatkan kebajikan, yaitu melakukan semua
perbuatan yang bermanfaat baik bagi dirinya
sendiri maupun orang lain, melalui ucapan,
jasmani, dan pikiran sehingga padamnya api
keserakahan, kebencian dan kebodohan batin. Abhidhamma akan menguraikan semua
ini dengan sangat terperinci.
sept–nov 2007 |
75
Sebelum kita mempelajari Abhidhamma, sebaiknya para penganut Buddha Dhamma, mengetahui pokokpokok dasar Agama Buddha terlebih
dahulu, seperti:
— Panca-Khanda
(Lima Kelompok Kehidupan) yang
terdiri dari :
- Rûpa-Khanda
(kelompok jasmani)
- Vedana-Khanda
(kelompok perasaan)
- Sañña-Khanda
(kelompok pencerapan)
- Sankhara-Khanda
(kelompok bentuk-bentuk
pikiran)
- Viññana-Khanda
(kelompok kesadaran)
Pengertian makhluk menurut Buddha Dhamma adalah panca-khanda
(lima kelompok kehidupan).
— Tiratana
(Tiga Mustika) yang terdiri dari:
- Buddha Ratana
(Mustika Buddha)
- Dhamma Ratana
(Mustika Dhamma)
- Sangha Ratana
(Mustika Sangha)
— Cattari Ariyasaccani
(Empat Kesunyataan Mulia)
- Dukkha Ariyasacca
(Kebenaran Mulia tentang derita)
- Dukkha Samudaya Ariyasacca
76
| sept–nov 2007
(Kebenaran
Mulia
tentang
asal mula timbulnya derita)
- Dukkha Nirodha Ariyasacca
(Kebenaran Mulia tentang
berhentinya derita)
- Dukkha Nirodha Gaminipatipada Ariyasacca
(Kebenaran Mulia tentang jalan menuju berhentinya derita).
— Tilakkhana
(Tiga Corak Umum)
- Anicca-Lakkhana
(corak berubah-ubah/tidak kekal)
- Dukkha-Lakkhana
(corak penderitaan)
- Anatta-Lakkhana
(corak tanpa aku/inti yang kekal)
—
Kamma dan
Patisandhi/Punnabhava
(Hukum
Lahir)
Kamma
dan
Tumimbal
— Paticcasamuppada
(Hukum Sebab Akibat yang Saling
Bergantungan)
—
Nibbâna
(Kebahagiaan Tertinggi)
Setelah kita memahami pokok-pokok
dasar Agama Buddha seperti di atas
maka untuk mempelajari Dhamma
dan Abhidhamma akan terasa lebih
mudah. Dhamma bukanlah merupakan suatu teori yang bersifat spekulasi. Semua ini merupakan proses
yang terjadi secara terus-menerus di
alam semesta ini, yang tidak pernah
disadari oleh semua makhluk, tapi
telah berhasil dilihat dengan jelas
oleh Sang Buddha pada saat Beliau
mencapai penerangan sempurna dan
semua ini dapat dibuktikan oleh
siapa saja. Sedangkan Abhidhamma
Pitaka merupakan pelajaran mengenai Citta (kesadaran/pikiran), Cetasika (bentuk-bentuk batin), Rûpa
(materi), dan Nibbâna (kebahagiaan
tertinggi). Oleh karena itu, Abhidhamma juga bisa disebut sebagai
filsafat, metafisika dan ilmu jiwa
Buddha Dhamma.
Dhamma
Dhamma berarti kesunyataan mutlak atau hukum abadi. Dhamma
tidak hanya ada di dalam hati
sanubari atau pikiran manusia saja
tapi Dhamma berada di seluruh
alam semesta ini. Semua fenomena
yang terjadi di seluruh alam semesta
ini baik yang menyenangkan, yang
tidak menyenangkan maupun yang
netral, semuanya adalah Dhamma
dan terjadi karena Dhamma. Dhamma terdiri dari 2 macam, yaitu:
1. Paramattha Dhamma
yaitu kesunyataan tertinggi mengenai citta (kesadaran/pikiran),
cetasika (bentuk-bentuk pikiran),
rûpa (materi), dan Nibbâna (kebahagiaan tertinggi).
2. Paññati Dhamma
yaitu sesuatu yang diberi sebutan/nama atas kesepakatan bersama sekedar untuk membedakan
yang satu dengan yang lainnya.
Paramattha Dhamma terdiri dari 2
macam Dhamma, yaitu:
1. Sankhata Dhamma
(keadaan yang bersyarat), yaitu:
- tampak munculnya
- tampak lenyapnya
- selama masih ada tampak pula
perubahan-perubahannya.
Citta, cetasika, dan rûpa merupakan Sankhata Dhamma.
2. Asankhata Dhamma
(keadaan yang tidak bersyarat),
yaitu:
- tidak dilahirkan
- tidak musnah
- ada dan tidak berubah
Nibbâna merupakan Asankhata
Dhamma.
Citta
Yang disebut citta (kesadaran/ pikiran) adalah sesuatu yang dapat mengetahui obyek, dapat menerima
obyek, dapat mengingat obyek dan
merupakan alat untuk berpikir. Citta
(kesadaran/pikiran) adalah Sankhata
Dhamma (keadaan yang bersyarat),
yaitu tertampak munculnya, tertampak lenyapnya dan selama masih
sept–nov 2007 |
77
ada tertampak pula perubahan-perubahannya. Kesadaran/pikiran itu juga
dicengkeram oleh Tilakkhana (tiga
corak umum), yaitu:
1. Anicca-Lakkhana
Kesadaran/pikiran itu tidak kekal,
tidak tetap, tidak kuat/tidak dapat bertahan untuk selamanya.
2. Dukkha-Lakkhana
Karena kesadaran/pikiran itu tidak dapat bertahan, selalu muncul dan padam, sehingga menimbulkan dukkha.
3. Anatta-Lakkhana
Kesadaran/pikiran itu tidak mempunyai inti/pribadi yang kekal,
ada pada saat muncul, tapi pada
saat lenyap tidak tertampak bekas-bekasnya kalau pernah ada.
Jumlah Citta
Bila dilihat dari sifat atau keadaannya yang mana citta (kesadaran/
pikiran) itu merupakan sesuatu yang
dapat mengetahui obyek saja maka
citta itu hanya satu. Akan tetapi,
bila ditinjau dari keadaan yang diketahui dan bagian yang diketahui,
maka citta itu menjadi banyak.
Yaitu, mengetahui dalam hal nafsu
keinginan (kâma) yang baik maupun
yang tidak baik/jahat, mengetahui
dalam hal ketenangan batin baik
yang bermateri (Rûpa Jhâna) mau
pun yang tidak bermateri (Arûpa
Jhâna) dan mengetahui dalam hal
Nibbâna maka jumlah citta bila
dihitung secara terperinci menjadi
78
| sept–nov 2007
89 atau 121 (biasa ditulis 89-121)
macam/bulatan yang terdiri dari 4
macam kategori/kelompok, yaitu:
1. Kâmavacara Citta
berjumlah 54 bulatan
2. Rûpâvacara Citta
berjumlah 15 bulatan
3. Arûpâvacara Citta
berjumlah 12 bulatan
4. Lokuttara Citta
berjumlah 8–40 bulatan
(baca: 8 atau 40)
Jumlah keseluruhan citta:
89–121 bulatan
Istilah kâmâvacara citta bila dipisahkan merupakan gabungan dari 3
suku kata yaitu kâma, avacara, dan
citta.
1. Kâma berarti kesenangan dan
kemelekatan hati terhadap 6
obyek baik yang bermanfaat mau
pun yang jahat melalui 6 indriya
yaitu:
- Obyek warna/bentuk (rûpârammana) yang dicerap oleh indriya mata dan menimbulkan kesadaran penglihatan.
- Obyek suara (saddârammana)
yang dicerap oleh indriya telinga dan menimbulkan kesadaran mendengar.
- Obyek bau (gandhârammana)
yang dicerap oleh indriya hidung dan menimbulkan kesadaran mencium.
- Obyek rasa (rasârammana)
yang dicerap oleh indriya lidah
dan menimbulkan kesadaran
mencicip.
– Obyek sentuhan (photthabbârammana) yang dicerap oleh
indriya badan dan menimbulkan kesadaran rasa sentuhan.
– Obyek hati (dhammârammana)
yang dicerap oleh indriya pikiran dan menimbulkan kesadaran
batin.
2. Avacara yang berarti berkelana
atau berdiam/berada.
3. Citta yang berarti kesadaran/ pikiran.
Jadi Kâmâvacara Citta adalah kesadaran/pikiran yang berkelana/berada
di Kâmâ Bhumi atau Kâmâ Loka
11 yang mencengkeram/dimiliki oleh
semua makhluknya. Semua makhluk
yang berada atau terlahir di Kâmâ
Loka 11 batinnya masih senang dengan hal-hal yang bermanfaat, mau
pun hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kâmâvacara Citta 54 terbagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Akusala Citta
berjumlah 12 bulatan
2. Ahetuka Citta
berjumlah 18 bulatan
3. Kâmâvacara Sobhana Citta
berjumlah 24 bulatan
Jumlah Kâmâvacara Citta
54 bulatan
Akusala Citta 12
Citta (kesadaran/pikiran) sebenarnya
bersifat netral (bukan baik pun
bukan tidak baik). Karena sifat
alaminya, bahwa citta selalu berse-
kutu dengan cetasika (bentuk-bentuk batin), maka citta kemudi-an
menjadi ada yang baik dan ada pula
yang tidak baik/jahat.
Sebagai ilustrasi dari pengertian
di atas, ibarat air putih di dalam
gelas, bila kita beri tinta berwarna
merah, maka air putih itu akan
berubah menjadi sesuai dengan warna tinta yang kita masukkan. Demikian pula yang terjadi dengan citta
yang asalnya netral itu, bila bersekutu dengan cetasika, maka citta itu
akan berubah menjadi ada yang baik
(bermanfaat) maupun yang tidak baik/merugikan sesuai dengan cetasika
yang memengaruhinya. Berarti cetasika-lah yang menjadi penentu dalam pemberian makna pada obyek
yang masuk melalui indriya kita.
Setelah terjadi pemberian makna
pada obyek yang masuk, maka akan
terjadi tindakan sebagai reaksi.
Akusala Citta bersekutu dengan
Dhamma 3 bagian/macam, yaitu:
1. Bersekutu dengan vedanâ
(perasaan)
2. Bersekutu dengan ditthi
(pandangan)
3. Bersekutu dengan sankhâra
(wujud)
keterangan
1. Vedanâ (perasaan) seluruhnya
ada 5 macam, yaitu:
– Sukha vedanâ
perasaan senang dari jasmani
– Dukkha vedanâ
perasaan derita dari jasmani
– Somanassa vedanâ
perasaan senang dari batin
sept–nov 2007 |
79
– Domanassa vedanâ
perasaan derita dari batin
– Upekkha vedanâ
perasaan seimbang yaitu bukan
senang pun bukan derita
2. Ditthi (pandangan/pendapat)
Karena ditthi yang dimaksud di
sini bersekutu dengan Akusala
Citta (kesadaran/pikiran yang tidak baik/jahat), maka ditthi tersebut merupakan pandangan
yang tidak baik/salah.
3. Sankhâra (wujud) ada 2 macam,
yaitu:
– Asankhârika (tanpa ajakan)
munculnya citta tanpa ajakan
– Sasankhârika (dengan ajakan)
munculnya citta karena ajakan
Akusala Citta (kesadaran/pikiran)
yang tidak baik semuanya berjumlah
12 bulatan dan terbagi menjadi 3
kelompok, yaitu:
1. Lobhamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran tamak)
berjumlah 8 bulatan.
2. Dosamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran benci)
berjumlah 2 bulatan.
3. Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh)
berjumlah 2 bulatan.
Jumlah Akusala Citta
12 bulatan.
perincian
Lobhamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran tamak), timbul karena
citta bersekutu dengan Akusala Cetasika (bentuk-betuk batin) yang ja80
| sept–nov 2007
hat dan Lobha Cetasika sebagai pemimpin, sehingga kesadaran/pikiran
mempunyai kesenangan dan kemelekatan terhadap berbagai macam
obyek sebagai awal dari suatu kebiasaan/kecenderungan.
Akusala Citta bila masing-masing
dihubungkan dengan Dhamma 3
macam, yaitu vedanâ, ditthi, dan
sankhâra, maka akan terbentuk
sebagai berikut.
Hubungan Lobhamula Citta (asal
mula ketamakan) dengan vedanâ
(perasaan)
Mengingat ketamakan itu muncul
bukan dari jasmani dan tidak
mengandung unsur derita, maka
lobha hanya disertai Somanassa
dan Upekkha Vedana saja. Maka
Lobhamula Citta sekarang menjadi 2 citta, yaitu: Somanassasahagatam (dengan kesenangan)
dan Upekkhâsahagatam (dengan
sedikit kesenangan).
Hubungan Lobhamula Citta (asal
mula ketamakan) dengan ditthi
(pandangan)
– Bagi mereka yang tidak pernah
belajar Dhamma atau yang tidak
mengenal etika, biasanya banyak
tindakannya yang bermula dari
pikiran yang bersekutu dengan
pandangan salah, di antaranya:
merugikan orang lain, tidak tahu
malu, tidak menyadari bahwa tindakannya tidak pantas untuk dilakukan, dsb. Dalam Abhidhamma hal ini disebut ditthigatasampayuttam (bersekutu dengan
pandangan salah).
– Bagi mereka yang mengenal
Dhamma dan mempunyai etika
yang baik, biasanya tindakannya
tidak merugikan orang lain dan
tindak-tanduknya tidak mengarah
pada hal-hal yang bersifat merugikan. Dalam Abhidhamma hal
ini disebut ditthigatavipayuttam
(tidak bersekutu dengan pandangan salah).
Dengan demikian, maka Lobhamula Citta sekarang menjadi 4
bulatan yaitu: Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam, Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam,
Upekkhasahagatam
ditthigatasampayuttam, dan Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam.
Hubungan Lobhamula Citta (asal
mula ketamakan) dengan sankhâra
(wujud)
– Banyak di antara kita yang
mempunyai kebiasaan yang telah
menjadi kegemaran seperti mempercantik diri, menimbun harta,
gila kekuasaan, dsb. Munculnya
semua pikiran itu bukan karena
dorongan dari luar, tapi justru
dari diri sendiri karena sudah
menjadi watak baru kita. Dalam
Abhidhamma ini disebut asankharika (tanpa ajakan).
– Apabila munculnya keinginan
setelah kita melihat sesuatu,
dalam Abhidhamma disebut Sasankharika
(dengan
ajakan).
Lobhamula Citta setelah bersekutu dengan sankhâra (wujud)
sekarang jumlahnya menjadi 8
bulatan, yaitu:
1. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam asankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
tanpa ajakan disertai kesenangan bersekutu dengan pandangan salah.
2. Somanassasahagatam ditthigatasampayuttam sasankharikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
dengan ajakan disertai kesenangan bersekutu dengan pandangan salah.
3. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam asankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
tanpa ajakan disertai kesenangan tidak bersekutu dengan
pandangan salah.
4. Somanassasahagatam ditthigatavippayuttam sasankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
dengan ajakan disertai kesenangan tidak bersekutu dengan
pandangan salah.
5. Upekkhâsahagatam ditthigatasampayuttam asankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
tanpa ajakan disertai masa
bodoh bersekutu dengan pandangan salah.
6. Upekkhâsahagatam ditthigatasampayuttam sasankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
dengan ajakan disertai masa
bodoh bersekutu dengan pandangan salah.
7. Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam asankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
tanpa ajakan disertai masa bodoh tidak bersekutu dengan
pandangan salah.
sept–nov 2007 |
81
8. Upekkhâsahagatam ditthigatavippayuttam sasankhârikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
dengan ajakan disertai masa
bodoh tidak bersekutu dengan
pandangan salah.
Dosamula Citta 2
Dosamula Citta adalah kesadaran/
pikiran yang mempunyai kemarahan
sebagai sebab utama. Semua itu
terjadi karena kesadaran/pikiran menyentuh obyek yang tidak disenangi.
Dosamula Citta timbul, karena citta
bersekutu dengan Akusala Cetasika
dan Dosa Cetasika sebagai pemimpin. Dosa secara harfiah berarti
benci. Tetapi secara psychology, berarti telah terjadi konflik/pertentangan batin, karena ada sesuatu yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dosamula Citta bila dihubungkan dengan Dhamma 3 macam seperti pada Lobhamula Citta, maka
akan terjadi seperti berikut.
Bila dihubungkan dengan vedana
Karena Dosamula Citta merupakan derita dari batin, maka
vedana yang menyertai hanya
Domanassasahagatam (ketidaksenangan).
Bila dihubungkan dengan ditthi
Berhubung
Dosamula
Citta
mempunyai obyek yang tidak disenangi, maka ditthi (pandangan)
tidak muncul. Sebagai gantinya
patigha (dendam) yang akan
muncul. Hal ini disebabkan karena sudah menjadi kebutuhan
82
| sept–nov 2007
dari semua makhluk untuk merasa bahagia. Dan seperti yang
telah kita ketahui, bahwa munculnya kebahagiaan adalah pada
saat obyek yang datang sesuai
dengan yang kita sukai. Apabila
ternyata obyek yang disadari melalui indriya bukan seperti yang
diharapkan, maka muncullah domanassa (ketidaksenangan). Saat
ketidaksenangan terjadi, muncul
respon menghindar atau melawan. Kedua macam respon inilah
yang disebut patigha (dendam).
Karena Abhidhamma menyebutkan bahwa dosa selalu bersekutu
dengan patigha. Jadi tidak ada
istilah patighavippayuttam (tidak
bersekutu dengan dendam). Maka Dosamula Citta sampai disini
jumlahnya tetap satu, yaitu: Domanassasahagatam patighasampayuttam (ketidaksenangan bersekutu dengan dendam).
Bila dihubungkan dengan sankhara
Pada saat citta (kesadaran/pikiran) muncul bukan karena pengaruh obyek dari luar, ini disebut tanpa ajakan (asankhârika).
Sebagai contoh, suatu saat tanpa
sebab yang jelas suasana hati
rasanya ingin marah, merasa tidak nyaman dan pikiran tidak
dapat berfungsi sebagaimana adanya. Bila munculnya citta karena
pengaruh obyek dari luar disebut
sasankhârika (dengan ajakan).
Dosamula Citta sekarang menjadi dua bulatan, yaitu ada yang
asankhârika juga ada yang sasankhârika, lengkapnya sebagai berikut.
1. Domanassasahagatam patighasampayuttam asankharikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
tanpa ajakan, disertai ketidaksenangan bersekutu dengan
dendam.
2. Domanassasahagatam patighasampayuttam sasankharikam
Kesadaran/pikiran yang timbul
dengan ajakan, disertai ketidaksenangan bersekutu dengan
dendam.
Mohamula Citta 2
Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh) secara etika berarti kesadaran/pikiran yang mempunyai kebodohan, kegelapan, sehingga
tidak mampu untuk mengetahui segala sesuatu dengan sewajarnya, tetapi secara psychology berarti kesadaran/pikiran tidak bisa menetap pada
satu obyek. Kesadaran/pikiran selalu
gelisah dan terombang-ambing dengan keadaaan. Dalam mengerjakan
segala sesuatu asal dikerjakan saja,
tidak pernah memikirkan akibatnya.
Mohamula Citta bila dihubungkan
dengan Dhamma 3 macam seperti
pada Lobhamula Citta dan Dosamula Citta akan terjadi seperti
berikut ini.
Bila dihubungkan dengan vedanâ
Mohamula Citta (akar dari kesadaran/pikiran bodoh) pada saat
muncul tidak mengandung unsur
kesenangan maupun derita baik
dari jasmani maupun batin. Jadi
vedanâ yang mengiringi Mohamula Citta hanya masa bodoh,
yaitu Upekkhasahagatam
ngan masa bodoh).
(de-
Bila dihubungkan dengan ditthi
Karena tidak mempunyai keeratan dengan obyek, maka Mohamula Citta tidak bersekutu dengan pandangan dan dendam.
Oleh karena itu ditthi dan patigha tidak bisa muncul. Sebagai
gantinya yang muncul adalah
Vicikicchâ (keragu-raguan) dan
Uddhacca (kegelisahan). Bunyi/
nama Mohamula Citta menjadi:
1. Upekkhasahagatam vicikicchasampayuttam
Kesadaran/pikiran yang timbul
disertai masa bodoh bersekutu
dengan keragu-raguan.
2. Upekkhasahagatam uddhaccasampayuttam
Kesadaran/pikiran yang timbul
disertai masa bodoh bersekutu
dengan kegelisahan.
Bila dihubungkan dengan ditthi
Karena mempunyai sifat ketidaktahuan, maka Mohamula Citta
tidak mempunyai keeratan dan
ketertarikan terhadap obyek. Mohamula Citta munculnya dari dalam diri sendiri masing-masing
makhluk yang belum mencapai
tingkat kesucian sempurna (Arahatta). Dalam Abhidhamma ini
disebut asankharika (tanpa ajakan). Karena Mohamula Citta
jumlahnya hanya dua bulatan
dan kedua-duanya muncul tanpa
ajakan (asankhârika) maka sebutan asankhârika tidak perlu dicantumkan untuk membedakan
sept–nov 2007 |
83
yang satu dengan yang lain seperti pada Lobhamula Citta dan
Dosamula Citta.
Jadi bunyi selengkapnya Mohamula
Citta adalah sebagai berikut.
1. Upekkhasahagatam
vicikicchasampayuttam
Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan keragu-raguan.
2. Upekkhasahagatam
uddhaccasampayuttam
Kesadaran/pikiran yang timbul disertai masa bodoh bersekutu dengan kegelisahan. (~)
anniversary
agustus
1 lidya 3 luciana 8 milionita gunawan 10 sally 11 elok abati, michael 12 henky
sandrayana 13 fransisca (lang lang) 15 dewi cahyadi 16 anang, bobby, suparno
20 budi yuwono 21 yanto 23 sugiono 24 yulian 25 henky sumanggalo
27 edward 28 t. selvi 31 yanee
september
2 devi 3 tan dhian kiat 4 caroline tanjaya 5 lia sumarti 7 junny 8 selvia 9 donny
erna, rudy tjan 14 setiadi 18 hansen 19 tonny 23 kevin w. 24 yulian 25 fredy s.
29 anthony muliadi
oktober
3 henry 4 robert 5 chung sien 6 indarsono 10 linda oktaviana 12 eki 16 albert
17 victor 18 agus wibowo 21 lian 23 monica 27 herryanto, budiyanto 28 vivi,
ronny gunawan, wira 29 luly susilo 30 ani effendi
november
1 linda 3 alfian 7 merry 9 hendro 10 irwan. asiong 16 ika 18 hari bagus 21 nova
23 hendry 25 herlik w.
84
| sept–nov 2007
dawai 48
Strip
xiao bai &
seekor kura-kura
Suatu hari, seekor kura-kura kecil
berjalan perlahan di atas tanah.
Tiba-tiba datang seorang anak bernama
Xiao Bai
Wah... Ada
binatang lucu!
Bawa pulang
ahh...
Xiao Bai berusaha mengeluarkan kura-kura malang tersebut.
Lho?!
Koq dia
masuk?
sept–nov 2007 |
85
Xiao Bai akhirnya bosan, lalu...
Huh! Sebal! Tidak mau
keluar! Biar tenggelam saja
sana! Biar tau rasa!!
Ooh..
Tak lama kemudian...
Ternyata biar dia keluar,tak
harus dengan cara kasar ya...
Xiao Bai pun gembira melihat si kura-kura
berenang dengan riangnya...
Maaf ya?
Mulai sekarang
kita berteman
ya...
Perbedaan antara kebijaksanaan dengan kebodohan hanyalah masalah
pemikiran. Seorang yang bodoh terikat kepada hal-hal yang ia lihat dengan
matanya. Seorang yang bijaksana akan mengarah pada pencarian jalan
kesunyataan.
Jika Xiao Bai menggunakan waktunya untuk mempelajari sifat alamiah kurakura, ia tidak akan menghabiskan energinya untuk memaksa kura-kura kecil
untuk keluar dari tempurungnya.
Cerita dikutip dari Majalah Buddhis Indonesia Edisi 079 tahun 2000.
Ilustrasi oleh Veranica.
86
| sept–nov 2007
dawai 48
Talk
Damai Dalam Dhamma
hari ini kita sudah dan masih menjadi umat buddha. tak
terhitung mungkin perjalanan waktu sampai kita menjadi
seperti pada hari ini. Entah itu, Anda, saya, atau kita semua
menjadi lebih baik atau lebih buruk; telah memraktekkan
ajaran dengan sungguh-sungguh atau belum, waktu tetap terus
berjalan. Terlepas dari kuantitasnya, adalah lebih baik memperhatikan kualitas waktu-waktu yang telah kita lewatkan. Sudahkah hari ini kita lalui dengan berbahagia? Apakah Dhamma
telah dijadikan pedoman bertindak, berucap, dan berpikir pada
hari ini? Benarkah Dhamma yang didengar, dibaca, dan dipraktekkan itu telah bermanfaat pada diri sendiri? Sejauh manakah
terjadi perubahan cara pandang kita yang keliru dalam tindakan
dan ucapan sehari-hari? Dan yang lebih mengesankan dari
semuanya adalah pengaruh dari praktek nyata yang bersumberkan pada Buddha Dhamma terhadap orang-orang di sekitar
kita. Inspirasi kebajikan dan moral dari tindakan nyata selalu
memiliki energi positif luar biasa yang dapat berpindah-pindah
namun tidak akan pernah habis.
Mungkin kita telah berjalan melalui lika-liku panjang dan
sulit sampai kita berhasil mengetahui Dhamma yang semula
tak tampak oleh kita, dikarenakan kebodohan dan nafsu
keinginan kotor yang tebal, hingga kemudian kita bisa merasakan Dhamma di mana-mana, di sekitar kita bahkan sampai
ke pori-pori kulit; Dhamma pun telah merasuk di hati. Walau
pun hal itu mungkin diketahui sedikit demi sedikit, pengetahuan kita setidaknya telah bertambah hari demi hari. Karena
keindahan Dhamma mampu mengubah yang keras, kaku,
dingin menjadi lunak, lembut, dan hangat; yang tidak
mengenakkan menjadi berasa, nikmat, dan berfaedah; yang
lemah dan rapuh menjadi kuat dan fleksibel. Sungguh tidak
ada yang dapat menyamai rasa Dhamma!
Bagaimana Dhamma bisa dimengerti dan dilihat, padahal ia
tiada bentuk, tidak kasat mata? Adalah hal yang nyata melalui
pengalaman, seseorang bisa merasakan kebenaran kata-kata
Sang Buddha. Kita semua melalui hidup hingga detik ini
dengan ribuan pengalaman, kesan-kesan, dan konsep tentang
ini dan itu. Kita memiliki sistem imun untuk mendeteksi bibitbibit penyakit yang masuk ke tubuh. Sistem imun ini adalah
sept–nov 2007 |
87
filter tubuh terhadap penyakit. Bila kesan dan konsep diibaratkan daun teh dalam sepanci air, pengalaman atau pelajaran
yang diperoleh sebagai air teh yang kita minum, maka
Dhamma adalah penyaringnya. Sebelum membiarkan sesuatu
yang baru atau asing (konsep, ajakan, cara pandang suatu
pihak) memasuki pemikiran kita, hendaknya kita meneliti satu
per satu terlebih dahulu dengan mengikuti formula yang
ditemukan Guru Agung kita, Buddha Gotama. Agar yang masuk
ke tubuh kita—batin kita, hanyalah hal-hal bermanfaat yang
bersifat menyembuhkan batin dari dukkha.
Hidup adalah demikian adanya; terkadang kita berhenti
sejenak karena lelah, karena lemahnya diri kita menghadapi
realita, masuk dalam pergaulan salah, pengaruh duniawi yang
menggiurkan; kita melupakan moralitas buddhis demi hal-hal
yang serba instan itu. Begitu mudahkah diri kita terbawa arus
duniawi yang sebenarnya tak bersahabat untuk batin kita yang
membutuhkan kedamaian? Mungkinkah kita telah 'menukar'
Dhamma untuk hal-hal yang tak kekal, tak memuaskan, dan
tak berbekas seperti itu? Di waktu yang lain, kita melaju
demikian kencang, kita tenggelam dalam kesibukan mencari
kepuasan dari pelayanan, pada hal-hal di luar diri; kita keras
dengan kehidupan, dengan segala sesuatu yang menghalangi
jalan kita, demi meraih sesuatu yang kita harapkan baik bagi
orang lain dan berhasil baik pula untuk diri kita, tapi kita lalai
mengamati batin (hati); ia ternyata telah berubah menjadi
keras, mudah marah, tidak bersabar, tiada lagi memancarkan
metta. Kita dikuasai kebencian, keegoan, iri hati, keserakahan,
ketidaktahuan; lengah dalam kenyamanan hidup, kekuasaan,
kesibukan mencari harta dan kepandaian duniawi; kita lemah,
tidak ada kedamaian dalam diri; tidak punya pijakan saat
masalah-masalah datang justru dari hal-hal yang kita kejar itu.
Kita tidak melihat Dhamma pada setiap momen kehidupan
kita. Tidak ada yang salah dari mengejar sesuatu yang duniawi
selama batin (hati) ini dapat kita rawat, terkendali dengan baik
sehingga kedamaian selalu ada di relung hati, kokoh keberadaannya, yang bersandar pada pengertian sejati terhadap Dhamma. Melangkahlah dengan hati-hati pada jalan hidup kita, agar
kualitas terbaik dapat kita beri untuk diri sendiri dan orang
lain.
Ketika kita sedang duduk mengerjakan sesuatu hal, larut
dalam kesibukan, makin dalam... kemudian sesuatu terjadi,
gangguan kecil saja tapi tiba-tiba amarah kita meledak. Padahal
tadinya kondisi batin baik-baik saja. Apa sebabnya? Pikiran kita
dipenuhi hal-hal akan masa berikutnya. Kita tidak bisa
memisahkan yang lalu, yang kini, dan yang akan datang. Kita
melekati yang lalu dengan menjadi marah, melepas kesadaran
saat ini dengan menjadi marah, dan mengabaikan kedamaian
88
| sept–nov 2007
yang seharusnya bisa kita pertahankan dengan menjadi marah.
Kita kehilangan tiga momen sekaligus karena hal sepele. Jika
hal sepele saja sudah membuat kita terpedaya, maka hal-hal
sulit berikutnya yang mungkin datang pada kita tak mungkin
bisa kita lewati dengan ketenang-seimbangan. Betapa menderitanya kita!
Menyadari gerak pikiran yang cepat itu sulit jika tidak
melatihnya dalam kewaspadaan penuh. Latihan kesadaran ini meditasi ini, adalah penting, sangat penting; agar kita dapat
mengenali diri kita, potensi dan bahaya laten yang ada dalam
diri sendiri; serta membawa kita pada kedamaian batin. Ketika
dapat mengenali dengan baik inilah, kita akan bisa mengatasi
persoalan-persoalan batin juga fisik (nama dan rupa) dalam
kehidupan ini dengan tangkas, tenang, dan seimbang. Mungkin
tidak semua persoalan fisik dapat selesai saat itu juga, tapi
batin yang damai mampu memberi kita solusi yang cukup
untuk menyelesaikan masalah. Bahkan tak jarang solusi itu
memberi kita rasa aman dan damai untuk jangka panjang.
Keyakinan terhadap Tiratana akan menjadi semakin kokoh.
Kita juga mampu menerima hal-hal yang baik (untung, pujian)
dan buruk (rugi, celaan) dengan pengertian yang benar. Sikap
menerima mungkin terdengar seperti sesuatu yang pasif karena
kita terbiasa untuk selalu bereaksi terhadap segala sesuatu
dengan tindakan berwujud (membalas). Dalam meditasi Vipassanâ, kita mengamati obyek-obyek yang datang, bertahan, dan
pergi. Kita hanya duduk mengamati saja. Sikap penerimaan
yang dimaksud pun sama dengan ini (mengamati). Reaksi kita
akan ditentukan oleh sikap menerima yang apa adanya, yang
disadari. Kesadaran yang baik menuntun pengetahuan dan
pikiran kita menjadi terbuka untuk melihat hal-hal secara
alami; dengan sendirinya kita melihat kebenaran sehingga dapat
bereaksi secara bijak terhadap hal-hal tidak menyenangkan yang
lewat dalam kehidupan kita. Kebijaksanaan menjadi tumbuh
dan berkembang untuk mempertahankan diri, setia, dan konsisten pada Jalan Sejati yang telah ditunjukkan Sang Buddha.
Ketika berhasil melalui hal-hal sulit dalam hidup ini dengan
latihan penaklukkan diri, buah yang kita rasakan adalah kebahagiaan dan kedamaian untuk waktu yang cukup lama; karena
kita akan mengingatnya sedemikian rupa setiap saat, selalu bersyukur karena dapat mengenal Dhamma di kehidupan ini. Dan
dalam kedamaian hasil penilikan batin dan pemraktekkan
Dhamma ini, kita akan selalu dapat melihat Guru Agung junjungan kita, Buddha Gotama, kemana pun kita melangkah. NH
sept–nov 2007 |
89
dawai 48
Agenda
reguler
puja bakti minggu, pk. 9–11 pagi
sekolah minggu minggu, pk. 9–11 pagi
obrol santai rabu, mulai pk. 7 malam
latihan meditasi kamis, pk. 7–9 malam
latihan baca paritta jumat, pk. 7–7.30 malam
diskusi dhamma jumat, pk. 7.30 – 9.30 malam
olahraga pagi minggu, pk.5-7 pagi
bursa wihara minggu, pk. 11–1 siang
spesial
kathina puja 2551 4 november 2007
vipassanâ bhâvanâ
pembimbing Sayadaw U Rajinda
5 November – 18 November 2007
di Brahmavihâra Ârâma Singaraja
kontak Bapak Dhammajoti 0362-92954
08164733609
dawai 48
Laporan
Keuangan
90
Dawai 47
Biaya pencetakan 1000eksp
Biaya pendistribusian
Biaya perlengkapan
Sisa saldo
4.650.000
338.000
537.000
532.000
Dawai 48 (estimasi)
Dana dari para donatur
Biaya pencetakkan 1000eksp
Saldo (per 25 agustus 2007)
5.335.000
4.650.000
685.000
| sept–nov 2007
Download