Kasih dan Terima kasih.

advertisement
Namo tassa bhagavato arahato sammā sambuddhassa.
Pada kesempatan yang sangat baik ini saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya
kepada seluruh jajaran pengurus Dhammavihārī Buddhist Studies (DBS) atas terselenggaranya
perayaan Waisak 2560 BE. Perayaan ini merupakan yang pertama diadakan oleh DBS. Sebagai
institusi pendidikan yang belum genap satu tahun usianya, DBS telah menunjukkan kematangan
dalam mengelola program utamanya yaitu pendidikan Buddhis yang terstruktur untuk segala usia.
DBS telah memilih tema Waisak tahun ini yaitu Kasih dan Terima Kasih. Sebuah tema yang
sepertinya sangat umum dan mungkin dianggap remeh, sebagai ajaran untuk pelajar Dhamma
tingkat pemula dan nasehat yang hanya cocok untuk konsumsi anak-anak. Akan tetapi, apabila
kita memejamkan mata sejenak, mengucapkan kata tersebut di dalam hati berulang-ulang dan
sekaligus menghayati serta merenungkannya dalam-dalam, maka kita akan tertegun oleh
kemampuan Kasih dan Terima Kasih dalam melembutkan hati kita. Di dalam perenungan
tersebut kita akan melihat kilas balik dari keseluruhan kehidupan, diawali dari kejadian paling awal
yang mampu kita ingat, mungkin pada saat kita berumur satu atau dua tahun dimana kita benarbenar menjadi mahluk yang tanpa daya, tidak mampu melakukan apapun untuk menopang
keberlangsungan kehidupan kita secara mandiri. Dan kemudian kita menemukan bahwa energi
utama yang menopang kehidupan kita pada waktu itu adalah kasih yang kita terima dari orang lain,
baik dari orang tua kita sendiri atau bahkan dari pembantu rumah tangga. Tidak bisa kita
bayangkan apa yang akan terjadi pada diri kita apabila mereka tidak mempunyai kasih terhadap
kita. Dikarenakan kecerobohan mereka bisa saja hari ini kita tidak akan bisa berjalan, berbicara
atau berpikir dengan normal. Dan semakin kita merenungkan semakin kita melihat dengan jelas
bahwa kasih yang seperti itu telah kita terima sepanjang hidup sampai hari ini, tidak hanya dari
orang tua kita melainkan dari semua orang yang telah kita jumpai selama ini. Mengetahui akan hal
ini, masihkah kita berpikir bahwa kesuksesan yang telah dicapai adalah murni merupakan usaha
kita sendiri? Masihkah kita berpikir bahwa tidak ada terima kasih yang perlu diungkapkan dari hati
yang terdalam atas semua yang telah kita terima selama ini?
Buddha mengatakan bahwa dua jenis manusia berikut ini sangat jarang ditemukan di dunia, yaitu
“seseorang yang tergerak untuk memberikan kasih terlebih dahulu (pubbakārī, lit. seseorang yang
memberikan bantuan terlebih dahulu)” dan “seseorang yang berterima kasih (kataññū katavedī)”.1
Dan karena sangat jarang ditemukan itulah maka banyak sekali manusia yang melupakan orang
tua, guru — baik guru ilmu sekuler maupun guru Dhamma — saudara-saudara, sahabat dan
siapapun mereka yang telah berjasa di dalam kehidupannya. Banyak manusia tidak tergerak baik
tangan maupun hatinya untuk memberi bantuan dan membalas budi atas semua kebaikan yang
telah mereka terima. Mereka menjadi sombong, tinggi hati dan tidak mau mendengarkan nasehat
1
A 1.87
1
orang lain. Dan inilah mengapa banyak manusia yang depresi dan hidup dalam kesedihan karena
mereka tidak mengetahui seni untuk menjadi bahagia.
Di satu masa, Buddha mengungkapkan rasa hormatnya kepada Dhamma sebagai bentuk ekspresi
terima kasih karena telah mencerahkanNya. Beliau bahkan secara tegas mengatakan bahwa
seseorang yang tidak mempunyai rasa hormat hidup dalam penderitaan (dukkhaṃ kho agāravo
viharati appatisso).2 Para Arahat murid Buddha pun bisa kita jadikan teladan. YM. Sāriputta dikenal
luas mempunyai rasa hormat yang sangat besar terhadap YM. Assajī. Walaupun telah menjadi
murid utama Buddha, beliau sering diceritakan rajin mengunjungi dan memberikan penghormatan
kepada YM. Assajī yang diakuinya sebagai guru pertama. Beliau sadar akan jasa-jasa guru yang
telah memperkenalkannya kepada ajaran Buddha. Menanggapi keluhan para bhikkhu yang belum
tercerahkan yang menganggap perbuatan YM. Sāriputta tersebut tidak pantas dilakukan oleh
seorang murid utama, Buddha memberikan nasehat bahwa seseorang hendaknya menghormati
mereka yang telah mengajarkannya Dhamma.3 Jadi sangatlah penting untuk menghormati mereka
yang telah berjasa sebagai ungkapan kasih dan terima kasih. Karena memang sesungguhnya rasa
hormat hanya bisa muncul dari hati yang lembut, rendah-hati dan penuh kasih. Inilah ‘mata-air’
yang akan terus menyejukkan hati dan menjadi sumber kebahagiaan di dunia ini.
Contoh-contoh keteladanan diatas sangatlah menginspirasi kita. Memupuk jiwa yang penuh kasih
dan hati yang berterima kasih adalah menumbuh-kembangkan dua bagian dari keberadaan kita —
sisi intelek dan sisi hati. Sisi intelek dikembangkan melalui pariyatti (belajar Tipiṭaka), sedangkan
sisi hati melalui paṭipatti (meditasi). Mengembangkan sisi intelek saja tidaklah cukup untuk
membuat kita menjadi manusia yang baik hati, penuh kasih dan tahu berterima kasih. Inilah
mengapa seringkali kejahatan yang sangat merusak, seperti misalnya korupsi, dilakukan oleh
orang-orang yang berpendidikan tinggi. Mereka tahu bahwa korupsi tidak baik tetapi tetap saja
melakukannya. Hal ini terjadi karena mereka gagal memahami dengan hatinya. Sebaliknya,
mengembangkan sisi hati saja tidaklah cukup. Kita tidak ingin menjadi orang baik-hati tetapi
bodoh. Karena sesungguhnya kualitas hati yang baik seperti itu hanya ada di permukaan, tidak
meresap sampai ke lapisan hati yang terdalam. Jauh di lubuk hati yang terdalam masih terdapat
lobha, dosa dan moha yang akan senantiasa merusak kedamaian dan kebahagiaan kita.
Kekotoran batin akan membuat kita dihantui oleh penyesalan, ketidak-tulusan, mengharapkan
imbalan dan kemarahan yang muncul di belakang hari setelah kasih dan terima kasih
diungkapkan. Semua ini terjadi karena masih adanya kebodohan di hati. Hati kita menjadi tidak
kokoh, mudah diombang-ambingkan oleh ketidak-pastian atas perbuatan baik yang telah kita
2
S 1.138
3
Sn 316
2
lakukan. Dan akhirnya kita pun akan meragukan Dhamma karena merasa kebajikan yang telah
dilakukan tidak bisa memberikan kedamaian dan kebahagiaan.
Jadi memupuk sisi intelek dengan pariyatti dan sisi hati dengan paṭipatti akan membuat kita
menjadi manusia yang sempurna. Dalam konteks ini sangat menarik untuk mencermati kata-kata
yang dipakai oleh Buddha untuk berterima-kasih yaitu kataññū dan katavedī. Kataññū berarti
‘mengetahui apa yang telah dilakukan (untuk kita)’ dan katavedī adalah ‘memahami apa yang
telah dilakukan (untuk kita).’ Keduanya mencakup aspek intelek dan hati. Dengan kataññū
katavedī kita akan bisa mengungkapkan kasih dan terima kasih. Tidak hanya itu, kita pun akan
tergerak untuk melakukan kebajikan-tanpa-pamrih dengan segera, menjadi seorang pubbakārī —
seseorang yang termotivasi untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu sebelum orang lain
melakukannya.
Level lain yang tidak kalah pentingnya adalah mengungkapkan kasih dan terima kasih yang tulus
kepada mereka yang telah melakukan hal yang tidak baik kepada kita; mereka yang telah
memarahi, mengkhianati ketulusan ataupun memfitnah kita. Inilah ujian yang sesungguhnya.
Sungguh mudah untuk mengekspresikan kasih kepada orang yang kita cintai seperti orang tua dan
saudara-saudara kita, tetapi sangatlah sulit untuk melakukannya kepada mereka yang kita anggap
telah menyakiti hati kita. Dari pariyatti kita tahu bahwa musuh sesungguhnya adalah kilesa
(kekotoran batin) kita sendiri. Dengan kata lain, orang ataupun mahluk lain (binatang dll) tidak
pernah menjadi objek yang harus kita hancurkan. Kemarahan adalah masalah psikologis internal
yang tidak ada hubungannya dengan pihak di luar diri kita. Oleh karena itu, pada saat kita sedang
menerima perlakuan yang tidak baik dari orang lain maka yang harus kita perhatikan adalah
gejolak yang menghalangi kemunculan kasih di hati kita. Dengan mengalirkan segenap perhatian
ke dalam hati —dan dengan latihan yang berulang-ulang— untuk mengamati gejolak hati maka
kita akhirnya akan menjadi mahir untuk melepaskan energi batin yang menghambat pertumbuhan
kasih di dalam hati.
Latihan seperti ini memperkuat persepsi kita tentang anicca (ketidak-kekalan). Persepsi inilah yang
akan meningkatkan daya tahan kita dalam menerima ujian dari luar. Seseorang yang mengerti
bahwa kemarahan dan emosi negatif apapun adalah tidak kekal akan bisa menerima semua
kesulitan hidup dengan senyuman. Sebaliknya mereka yang putus asa dan reaktif-emosional
adalah mereka yang belum mempunyai persepsi tentang ketidak-kekalan yang kuat. Apabila kita
gagal mengalirkan energi perhatian kedalam hati dan sebaliknya bahkan mengalirkannya keluar,
yaitu dengan terus menerus melihat wajah dan mengingat perlakuan tidak baik yang telah
dilakukan mereka maka efeknya adalah kemarahan akan mendapatk kesempatan untuk
berkembang; hal ini terjadi karena kita terkelabui oleh kebodohan yang memberikan data yang
3
keliru kepada kita bahwa orang tersebut adalah orang yang jahat sampai kapan pun. Dalam
keadaan seperti ini kita hendaknya mengembangkan kebijaksanaan yang muncul dari hasil
mengamati gejolak hati kita sendiri. Dari pengamatan tersebut kita mendapatkan pengetahuanlangsung bahwa kemarahan dan kebencian telah merusak kedamaian dan akal sehat kita. Dan
kita pun tahu bahwa keadaan yang sama juga dialami oleh mereka yang telah melakukan hal tidak
baik terhadap kita. Mereka menderita dan mereka memerlukan kasih kita. Terlebih lagi, dengan
memahami diri kita yang belum terbebaskan dari kemarahan dan emosi negatif lainnya maka
bagaimana mungkin kita menuntut orang lain untuk menjadi sebaliknya? Melalui perenungan yang
demikian maka kita akan bisa hidup bebas dari keluhan serta bisa menerima dan memaafkan
mereka.
Ada satu sisi yang sering kita lupakan yaitu peran mereka yang di dalam kehidupan kita. Apabila
direnungkan secara mendalam sesungguhnya mereka yang memperlakukan kita dengan tidak
baik pada hakikatnya sedang berperan sebagai guru kita. Mereka sedang mengajarkan dan
menunjukkan kepada kita apa itu kemarahan, kebencian, dendam, ketidak-sabaran melalui
pengalaman langsung, bukan hanya sekedar teori. Kita merasakan dan menikmati semua emosi
tersebut sehingga membuat kita makin mengenalnya. Lalu, bukankah seharusnya kita berterima
kasih kepada orang-orang tersebut? Dengan mengungkapkan kasih dan terima kasih kepada
mereka maka kita menjadi manusia yang tidak hanya bisa menuntut dan meratapi sulitnya mencari
teman yang baik hati, tetapi kita melangkah ke level yang lebih tinggi yaitu menjadi seseorang
yang mempunyai kualitas yang dideskripsikan oleh Buddha sebagai manusia yang sulit ditemukan
di dunia ini (puggalā dullabhā lokasmiṃ) — menjadi seorang pubbakārī dan seorang yang
senantiasa bisa bersyukur atas apa yang kita alami.
Saya akan menutup sambutan saya dengan secara khusus mengucapkan terima kasih yang
sangat mendalam kepada seluruh pengurus dan staff DBS, fasilitator sekolah minggu dan para
Abdi Dhamma yang selama ini telah mencurahkan segenap waktu, tenaga, pikiran dan materi
untuk penyebaran Dhamma yang murni. Saya mengerti dengan sebaik-baiknya bahwa semuanya
ini anda lakukan karena kekuatan kasih di hati anda; dan untuk semua yang telah dilakukan anda
berhak untuk hidup berbahagia. Marilah kita bersama-sama mengungkapkan rasa terima kasih kita
kepada semua murid dan umat yang telah mendukung kita selama ini; karena tanpa mereka kita
tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk berkembang.
Selamat hari Waisak 2560 BE.
Jakarta, 17 Mei 2016,
Sabbe sattā averā hontu, abyāpajjā hontu, anighā hontu, sukhī hontu.
Ashin Kheminda.
4
5
Download