prevalensi infeksi menular seksual dan aspek sosial

advertisement
Artikel Asli
PREVALENSI INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN ASPEK SOSIAL
PADA WPS DALAM REHABILITASI DI PANTI SOSIAL KARYA
WANITA MULYA JAYA DEPARTEMEN SOSIAL PASAR REBO
JAKARTA
Hanny Nilasari
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
ABSTRAK
Infeksi Menular Seksual (IMS) masih merupakan masalah nasional, di antaranya pada
wanita penjaja seks (WPS) yang merupakan target penting dalam upaya pencegahan, pengobatan
dan edukasi menuju perubahan perilaku seksual berisiko tinggi. Penelitian ini menggambarkan
prevalensi berbagai jenis IMS periode 2009-2013 dan aspek sosial pada WPS.
Data diambil dari rekam medis mengenai karakteristik dasar jenis IMS, alasan menjajakan
diri, kekerapan melakukan hubungan seksual per hari, kebiasaan menawarkan dan menggunakan
kondom, serta kebiasaan memeriksakan alat reproduksi.
Dari 1101 WPS, sebagian besar berusia muda,kisaran umur 20-25 tahun,status janda, dan
88,82% berpendidikan rendah. Sebagian besar WPS mengaku tidak mendapat informasi tentang
pentingnya pemeriksaan alat reproduksi, dan bahaya mengobati diri sendiri. Tiga puluh delapan
persen WPS mengabaikan penawaran penggunaan kondom dan 77,56% mengobati diri sendiri.
Kasus IGNS dan sifilis tercatat masing-masing sebesar 31,69%, trikomoniasis 18,61% dan
servisitis gonore 7,62% serta HIV reaktif pada 3,36% WPS.
Prevalensi IMS ditemukan pada lebih dari 70 % dan HIV sebesar 3,36 %. Pendidikan yang
rendah disertai angka kejadian IMS yang tinggi, menunjukkan kebutuhan intervensi dengan
melakukan edukasi di dalam panti untuk mengubah perilaku risiko tinggi.(MDVI 2014; 41/4:147
- 151)
Kata kunci: infeksi menular seksual, wanita penjaja seks, aspek sosial
ABSTRACT
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat
Telp/Fax: 021 31935383
Email: [email protected]
Sexually Transmitted Infections (STIs) is a national problem, the female sex workers (FSWs)
are an important target in the prevention, treatment and education to the changes in high-risk
sexual behavior. This study describes the prevalence of various types of STI in 2009-2013 and the
social aspects.
Data retrieved from the medical records of characteristics, types of STIs, the frequency of
sexual intercourse per day, offering custom and use condoms, and check their reproductive habits.
From 1101 subject mostly young, age range 20-25 years old, divorced, and 88.82% less
educated. Most of them said did not receive the information about the importance of reproductive
examination, and the effect of self-medicating. Thirty-eight percent of the subject ignores the offer
and condom use ;77.56% subject did self-medicate. Nonspecific genital infection and syphilis
cases recorded respectively by 31.69%, and 18.61%. Trichomoniasis, and gonorrhea cervicitis
was 7.62% and 3.36% was reactive HIV.
STI prevalence is found in more than 70% in subject and 3.36% reactive of HIV. Low
education accompanied by a high incidence of STIs, indicating the need for intervention in the
conduct of education in the institutions to change high-risk behavior.(MDVI 2014; 41/4:147 15 1)
Key words : Sexually transmitted infections, female sex workers, social aspect
147
MDVI
PENDAHULUAN
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah
kesehatan nasional yang memerlukan perhatian khusus,
terutama pada populasi kunci misalnya wanita penjaja seks
langsung (WPSL). Berbagai jenis IMS terutama yang
bermanifestasi sebagai luka atau lecet di genital merupakan
pintu masuk infeksi virus lain yang juga dapat ditularkan
melalui hubungan seksual, yaitu virus HIV dan virus
papiloma humanus (VPH).1 Kedua infeksi tersebut akan
menimbulkan dampak kesehatan yang lebih besar lagi, dan
bahkan menjadi masalah serius di kemudian hari. Masalah
IMS menjadi perhatian khusus pada populasi kunci misalnya
wanita penjaja seks (WPS) yang merupakan target penting
dalam upaya pencegahan,pengobatan dan edukasi menuju
perubahan perilaku berisiko tinggi. Data surveilans yang
dilakukan di Jawa Timur dan Jakarta oleh Kementerian
Kesehatan pada tahun 2007, menunjukkan sebanyak 36-60%
WPSL paling tidak mengalami satu jenis IMS.2
Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab
infeksi saluran reproduksi (ISR). Hal ini perlu dikenalkan
secara luas,karena dampak komplikasinya akan memberikan
beban kesehatan nasional. Sebagian besar IMS/ISR
sebetulnya dapat dicegah, sehingga layanan kesehatan
reproduksi berperan penting dalam menegakkan diagnosis
dini, karena umumnya banyak perempuan yang tidak
menunjukkan gejala yang khas meskipun sudah terinfeksi
IMS/ISR.3
Istilah WPS dikenal luas sebagai salah satu populasi
kunci kejadian IMS dan ISR, terdapat dua penggolongan
WPS yaitu WPSL atau semua WPS yang langsung melayani
klien untuk menerima bayaran akibat pekerjaannya.
Sedangkan WPSTL (wanita penjaja seks tidak langsung)
adalah yang mendapatkan klien ketika bekerja di tempattempat hiburan misalnya kelab malam, panti pijat, salon dan
sebagainya.4
Panti sosial karya wanita (PSKW) Mulya Jaya adalah
panti rehabilitasi milik Departemen Sosial yang didirikan sejak
tahun 1959 sebagai proyek percontohan rehabilitasi sosial.
Sejak 1989 menerima 100-120 WPSL per semester. Panti ini
menerima peserta secara rutin dari hasil penangkapan WPSL
di jalanan dan juga para korban traficking yang dipaksa
menjadi WPSL. Layanan dan rehabilitasi bertujuan untuk
memulihkan kondisi fisik, mental psikis, sosial, sikap dan
perilaku WPSL agar mampu melaksanakan fungsi sosial
secara wajar dan umum dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat. Proses layanan dalam panti ini, meliputi kegiatan
bimbingan fisik dan mental, bimbingan sosial berupa
penyuluhan, terapi dan dinamika kelompok, serta konseling
dan juga bimbingan keterampilan kewanitaan. 5
Di dalam panti terdapat klinik layanan umum yang
dikembangkan dengan konsep "well women clinic" (klinik
kesehatan wanita) sesuai dengan konsep layanan standar
WHO, karena selain melayani keluhan kesehatan umum,
148
Vol. 41 No. 4 Tahun 2014; 147 - 151
Klinik ini lebih menitik beratkan layanan kesehatan reproduksi
wanita, sebagai hasil kerjasama antara Departemen Sosial
RI, Departemen Ilmu Kesehatan FKUI/RSCM dan
Puskesmas kecamatan Pasar Rebo.
Layanan penapisan dan konseling dilakukan
berdasarkan kebutuhan. Untuk layanan kesehatan
reproduksi, dilakukan pemeriksaan dan pengobatan IMS,
konseling serta ceramah; dengan tujuan memberikan bekal
edukasi kesehatan sehingga para WPSL dapat kembali ke
masyarakat dengan bekal yang cukup dan tidak kembali ke
lingkungan prostitusi. Berbagai masalah dihadapi dalam
melakukan intervensi populasi kunci seperti WPSL ini.
Pendidikan rendah, kurangnya keterampilan, keinginan
mencari uang dengan cara yang mudah serta rendahnya
penghargaan masyarakat terhadap wanita menjadi kendala
yang besar dalam tatalaksana.5
Tujuan penelitian adalah menggambarkan prevalensi
berbagai jenis IMS selama periode tahun 2009-2013 dan
aspek sosial yang muncul pada WPSL dalam panti
rehabilitasi.
CARA KERJA
Data dikumpulkan melalui catatan rekam medis WPS
yang diterima di Panti Rehabilitasi PSKW Mulya Jaya
Departemen Sosial RI tahun 2009-2013. WPS terjaring dari
berbagai daerah melalui rujukan operasi malam melalui
penjaringan yang dilakukan Dinas Penertiban Sosial. Definisi
WPSL adalah wanita yang langsung melakukan pekerjaan
sebagai pekerja seks dan menerima bayaran dari hasil kerja
tersebut. Pencatatan meliputi data sosiodemografik antara
lain: umur, pendidikan, kekerapan melakukan hubungan
seksual berisiko per hari, pengetahuan tentang kesehatan
yang berhubungan dengan ISR/IMS, kebiasaan mencari
pengobatan sendiri dan kebiasaan menggunakan kondom
saat melakukan hubungan seks berisiko. Dari catatan rekam
medis, diperoleh pula data berbagai diagnosis IMS yang
diperiksa berdasarkan pemeriksaan fisis dan genital, serta
laboratorium dari bahan duh genital, serta serologi darah
STS dan HIV. Terdapat keterbatasan pemeriksaan
laboratorium di lokasi layanan kesehatan ini, karena
penegakkan diagnosis servisitis gonore hanya dengan
pewarnaan Gram dari sediaan apusan serviks, yang
sensitivitasnya hanya <50%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam kurun waktu tahun 2009-2013, terdapat 1101
WPSL dengan jumlah masing-masing 218-226 WPS per semester yang mendapatkan kesempatan direhabilitasi di
PSKW Mulya Jaya Departemen Sosial Republik Indonesia.
Rujukan terbanyak berasal dari propinsi Jawa Barat, diikuti
oleh Propinsi Banten, DKI Jakarta, dan lain-lain yaitu: Jawa
Timur, Jawa Tengah, Yogya, dan luar Jawa.
H Nilasari
Prevalensi IMS dan aspek sosial pada WPS
Tabel 1. Distribusi WPS dan asal rujukan di Panti Rehabilitasi PSKW Mulya Jaya Pasar Rebo,
tahun 2009-2013 (n=1101)
Tahun
Asal rujukan
Jumlah SP
20 09
Propinsi jawa Barat
Banten
Propinsi DKI JKT
Lain-lain
22 6
20 10
Propinsi Jawa barat
Banten
DKI Jakarta
Lain-lain
21 9
20 11
Propinsi Jawa barat
Banten
Propinsi DKI Jakarta
Lain-lain
21 7
Propinsi jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lain-lain
22 1
Propinsi Jawa Barat
Banten
DKI Jakarta
Lain-lain
21 8
20 12
20 13
Jumlah
Tabel 2 menggambarkan karakteristik sosiodemografi
sebagai berikut: SP terbanyak berusia 26-30 tahun (24,61.%),
diikuti oleh kisaran usia 21-25 tahun (22,43%) dan usia 15-20
tahun sebanyak 20,61%. Pada umumnya SP mengaku
berstatus janda sebanyak 54,6%, dan 25,26% serta 20,07%
mengaku masih dalam status lajang dan dalam pernikahan
resmi.
Sebagian WPS berpendidikan rendah yaitu setingkat
SD sampai tamat SD sebanyak 978 orang ( 88,82%) , dan
tidak satu WPS pun yang berpendidikan tinggi.
Temuan di atas sesuai dengan hasil surveilans terpadu
biologis dan perilaku (STBP) tahun 2011, yang dilakukan di
23 kota kabupaten, dan 11 propinsi untuk seluruh populasi
kunci (WPS, penasun, LSL, dan waria). Karakteristik
responden (populasi) dengan kelompok umur 20-29 tahun
paling banyak terdapat pada WPS. Mayoritas WPS pada
penelitian ini berpendidikan rendah, yaitu tidak sekolah
sampai setingkat SMP.
Tingkat pendidikan rendah akan sangat berpengaruh
pada penerimaan informasi untuk edukasi perubahan perilaku
dan kesempatan mendapat pekerjaan layak untuk
meningkatkan status ekonomi yang lebih baik. Status janda,
juga berkontribusi pada harapan perubahan perilaku karena
perempuan tersebut harus bekerja memenuhi kebutuhan
keluarga.6
Dari anamnesis tentang jumlah pasangan seksual per
minggu, sebagian besar WPS, 80,1% (882 orang) mengaku
melakukan hubungan seksual dengan 2 sampai 5 orang
11 01
pelanggan, dan 85 WPS (7,7%) mengaku melakukan
hubungan seksual dengan lebih dari 5 orang pelanggan.
Mengenai kepatuhan pemakaian kondom, sebanyak 428
SP(38,87%) mengaku tidak pernah menawarkan penggunaan
kondom saat melakukan hubungan seksual berisiko. Lima
puluh empat persen SP menyatakan bahwa hanya kadangkadang menawarkan kondom. Sebagian besar SP pun
mengaku tidak tahu, bahwa kondom dapat mencegah IMS.
Berbagai cara dilakukan untuk mempromosikan kondom,
antara lain penyediaan kondom di layanan kesehatan secara
gratis, ketersediaan kondom di apotik, dan pendidikan oleh
kaum sebaya sebagai kunci pendukung WPS dalam
menjalankan profesinya. 3
Thailand telah berhasil menurunkan prevalensi IMS/
ISR dengan melakukan promosi kondom dan meningkatkan
layanan pengobatan IMS pada WPS di negara tersebut.
Angka yang dihasilkan cukup fantastis yaitu penurunan
angka kejadian IMS sampai 90%.7 Di Indonesia, pada tahun
2006 telah disosialisasikan vending machine kondom, tetapi
hal ini tidak berjalan baik, sehingga belum dapat menekan
angka IMS di Indonesia. Di Indonesia kondom lebih di
promosikan sebagai alat kontrasepsi. 3
Sebanyak 71,39% tidak mengetahui pentingnya
pemeriksaan IMS dan umumnya merekan membeli obat
sendiri, bila ada keluhan. Kebiasaan minum obat sebagai
upaya pencegahan infeksi dilakukan oleh banyak WPS.
Beberapa alasan yang diungkapkan antara lain tidak
mengetahui lokasi layanan, akses layanan yang sulit, tidak
149
MDVI
Vol. 41 No. 4 Tahun 2014; 147 - 151
Tabel 2. Karakteristik sosiodemografi WPS Panti Rehabilitasi PSKW Mulya Jaya
Pasar Rebo Jakarta tahun 2009-2013 (N=1101)
Karakteristik demografi
Jumlah
Persentase
Um ur
15 -2 0
21 -2 5
26 -3 0
31 -3 5
36 -4 0
> 41
22 7
24 7
27 1
17 0
11 2
74
20,61
22,43
24,61
15,44
10,17
6,72
22 1
60 2
27 8
20,07
54,67
25,26
97 8
12 3
0
88,82
11,18
0
84
88 2
13 5
7,26
80,10
12,26
1.Pentingnya pemeriksaan penapisan IMS
Tahu
Tidak tahu
31 5
78 6
28,61
71,39
2.Kebiasaan SP mengobati diri sendiri
Ya
Tidak pernah
85 4
24 7
77,56
22,44
3. Kekerapan menawarkan dan
penggunaan kondom saat melakukan
hubungan seksual berisiko
Selalu
Kadang-kadang
Tidak pernah
78
59 5
42 8
7,13
54
38,87
Status Pernikahan
Resmi
Janda
Lajang
Pe ndi dikan
Rendah
Menengah
Tinggi
Jumlah pasangan seksual per hari
<1
2 -5
>5
Pengetahuan tentang:
ada waktu menunggu dan keberatan biaya. Dengan adanya
panti rehabilitasi yang mempunyai layanan IMS/ISR dan
terpaparnya SP dengan edukasi pemanfaatan layanan di
Puskesmas, diharapkan SP dapat mengubah perilaku dalam
kedua masalah tersebut.
Gambaran berbagai jenis infeksi menular seksual sesuai
pembagian umur pada SP tergambar dalam tabel 4
Sesuai data STBP Indonesia, tahun 2007, sebanyak 32%
WPSL, 23% WPSTL, pernah mengalami salah satu gejala
IMS dalam setahun terakhir.
Infeksi menular seksual yang terbanyak ditemukan pada
WPS adalah IMS beberapa sekaligus sebesar 50,04 % yang
terdiri atas IGNS, trikomoniasis dan bakterial vaginosis (
58,4%) dan IGNS, trikomoniasis dan kandidosis vaginalis
sebanyak 42,6% .2
Pada penelitian ini data IMS tunggal didapatkan jumlah
terbanyak yaitu IGNS sebanyak 31,69 %, dengan proporsi
150
terbesar pada usia 21-30 tahun. Semakin muda terjadi infeksi
pada serviks akan makin sering komplikasi yang terjadi dan
penularan HIV semakin mudah.
Angka kejadian trikomoniasis tunggal terdapat pada
205 SP atau sebesar 18,61%, hal ini seolah-olah
menggambarkan prevalensi kasus yang rendah, tetapi bila
dilihat data keseluruhan maka proporsi tersering infeksi
adalah akibat IGNS dan trikomoniasis sebanyak 41,92%,
karena jumlah kasus yang dihitung, masuk dalam data IMS
campuran. Hasil temuan dari STBP 2011, terdapat 30,43%
WPS terinfeksi trikomoniasis.6
Serologi tes sifilis yang reaktif tanpa gejala klinis
diasumsikan sebagai sifilis laten, tercatat sebesar 36,9% .
Angka kejadian herpes genitalis tidak tercatat, dan pada SP
tidak dilakukan pemeriksaan serologi rutin untuk herpes
genitalis.
Proporsi kejadian kondiloma akuminata sebesar 24,43
H Nilasari
Prevalensi IMS dan aspek sosial pada WPS
Tabel 4. Distribusi WPS berdasarkan jenis IMS dan usia di Panti rehabilitasi PSKW Mulya Jaya
Pasar Rebo Departemen Sosial Jakarta tahun 2009-2013 (N=1101)
Jenis IMS
Infeksi genital non spesifik
Trikomoniasis
Servisitis gonore
Sifilis laten
Kondiloma akuminata
Herpes genitalis
HIV
Bakterial vaginosis
Kandidosis vaginalis
Infeksi campuran:
-Servisitis dan Trikomoniasis
-IGNS dan trikomoniasis
-Vaginitis kandida, BV, IGNS,
trikomoniasis
Usia
Tota l
%
31,69
18,61
7,62
31,69
24,43
0
3,36
30,51
35,51
42
15-20
21-25
26-30
31-35
36-40
28
59
7
67
65
0
0
49
45
14 6
16
38
12 9
29
27
89
37
0
10
87
67
16
22
42
10 8
38
31
85
88
0
8
11 6
11 7
38
37
45
84
47
12
57
34
0
9
14 3
54
92
28
63
36
32
7
51
45
0
10
59
85
10 2
12
43
34 9
20 5
84
34 9
26 9
0
37
33 6
39 1
22
11 5
23 1
92
38
31
21
23
20 5
Tota l
%, dan angka ini cukup besar, tidak tercatat data tentang
herpes genitalis pada rekam medik semua SP.
Data infeksi HIV hanya tercatat pada tahun 2011-2013,
didapatkan reaktif pada 3,3 % SP, sedangkan data prevalensi
pada WPSL berdasarkan data SBTP 2011 adalah sebesar
10%.6
KESIMPULAN
Berdasarkan data dari rekam medis terdapat 1101 SP
yang direhabilitasi di Panti Sosial Karya wanita Departemen
Sosial RI Jakarta. Sebagian besar WPSL berpendidikan
rendah, yang sebetulnya merupakan hal penting dalam
strategi mengubah pola hidup dan perilaku populasi kunci.
Tiga puluh delapan persen SP mengabaikan
penggunaan kondom saat melakukan hubungan seksual
berisiko dan 77,56% SP cenderung mengobati diri sendiri
Tingginya prevalensi IMS terlihat dari tingginya angka
kejadian IMS campuran pada SP usia 20-30 tahun terutama
yang menyebabkan servisitis, serta besarnya angka kejadian
HIV dan kondiloma akuminata, pada populasi WPSL.
Berdasarkan kesimpulan tersebut dibutuhkan intervensi
berupa edukasi dalam bentuk apapun dengan bahasa yang
sederhana dan menarik serta memperkenalkan Puskesmas
sebagai salah satu contoh layanan IMS/ISR yang mudah
dijangkau oleh populasi kunci; agar para WPS dapat
menemukan lokasi layanan kesehatan yang tepat untuk
keluhan yang berhubungan dengan masalah IMS.
Bimbingan dalam rehabilitasi mental dan spiritual serta
penambahan keterampilan yang komprehensif selama dalam
panti rehabilitasi diharapkan dapat mengubah perilaku dan
memberikan wacana baru agar WPSL tidak kembali pada
profesi sebelumnya.
11 01
41,92
10 0
DAFTAR PUSTAKA
1. Bea Vuylsteke and Marie Laga, Approach to management of
STIs in developing country. Dalam: Sexually Transmitted
Disease. Holmes King, Sparling P. Frederick, Stamm E Walter,
Piot Peter, Wasserheit Judith Corey Lawrence, Cohen Myron,
Watts Heather.4th ed. New York: the McGraw- Hill
companies, Inc: 2008. 1993- 2005.
2. Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada risiko
tinggi, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
3. Pedoman dasar IMS/ISR lainnya pada pelayanan kesehatan
reproduki terpadu, DepKes RI (WHO); 2006: 1-8
4. Depkes RI. Buku pegangan Pendidikan kelompok sebaya dalam
penanganan HIV AIDS dan IMS lainnya di kalangan risiko
tinggi, Depkes RI Jakarta: 2006-2007
5. Profil PSKW Mulya Jaya Departemen Sosial RI: 2014:
mulyajaya.depsos.go.id
6. Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) pada risiko
tinggi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011
7. Evaluation of the 100% condom programme in Thailand,
Geneva, Joint Nation Programme on HIV/AIDS. 2000
8. Comprehensive reproductive health and family planning
training curriculum reproductive health training module 12:
prevention and management of reproductive tract infection.
Watertown: Pathfinder International; 2000.
151
Download